Agustus 2014 Laporan Nusantara VOLUME 9 NOMOR 3 |1 Halaman ini sengaja dikosongkan Laporan Nusantara Daftar Isi 3 Kata Pengantar 5 Bagian I Ringkasan Perkembangan dan Prospek Ekonomi Daerah 7 Bagian II Perekonomian Kawasan Timur Indonesia 13 II.1. Perekonomian Sulawesi, Maluku, dan Papua 15 II.2. Perekonomian Kalimantan 28 II.3. Perekonomian Bali-Nusa Tenggara 39 Perekonomian Jawa 49 III.1. Perekonomian Jawa Bagian Timur 51 III.2. Perekonomian Jawa Bagian Tengah 63 III.3. Perekonomian Jawa Bagian Barat 72 III.4. Perekonomian Jakarta 85 Perekonomian Sumatera 99 IV.1. Perekonomian Sumatera Bagian Selatan 101 IV.2. Perekonomian Sumatera Bagian Tengah 113 IV.3. Perekonomian Sumatera Bagian Utara 125 Isu Khusus Daerah 139 Isu Khusus 1: Reformasi Struktural Dalam Rangka Meningkatkan Daya Saing Perekonomian Isu Khusus 2: Hilirisasi Ekspor Mineral – Menjaga Keseimbangan Ekonomi, Sosial, dan Lingkungan Boks: Kredit Karbon Untuk Pembiayaan Mitigasi Dampak Lingkungan Isu Khusus 3: Dinamika Kemiskinan pada Daerah Penghasil Sumber Daya Alam 139 144 Bagian III Bagian IV Bagian V Informasi lebih lanjut dapat menghubungi: Bank Indonesia Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter Grup Asesmen Ekonomi Divisi Asesmen Ekonomi Regional Ph. 021-29818119, 29818868 Fax. 021-3452489, 2310553 Laporan Nusantara 147 150 Halaman ini sengaja dikosongkan Laporan Nusantara|2 Dalam proses perumusan kebijakan moneter, Bank Indonesia mempertimbangkan seluruh aspek perekonomian termasuk berbagai dinamika dan isu terkini yang berkembang di daerah. Pembahasan menyeluruh tentang perkembangan perekonomian terkini dan berbagai isu strategis yang mengemuka di daerah dilakukan secara periodik antara Dewan Gubernur dengan para Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia dari seluruh Indonesia. Hasil pembahasan tersebut menjadi bagian penting yang melengkapi pemahaman Bank Indonesia terhadap kondisi makroekonomi dengan berbagai aspek risiko yang berkembang. Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan II 2014 sebesar 5,12% (yoy), melambat daripada triwulan I 2014 sebesar 5,21% (yoy). Hal ini dipengaruhi oleh melambatnya kinerja ekonomi kawasan Sumatera karena melemahnya kinerja di sektor pertanian. Sementara itu, perekonomian Jawa relatif stabil ditopang oleh membaiknya pertumbuhan ekonomi Jakarta dan Jawa Barat, dan perekonomian KTI membaik yang didukung oleh industri pengolahan. Perkembangan inflasi di daerah selama triwulan II hingga Juli 2014 berada dalam tren inflasi yang menurun. Hal ini dipengaruhi anatara lain oleh masih berlanjutnya koreksi harga beberapa komoditas pangan strategis seiring cukup melimpahnya pasokan. Beberapa kebijakan administered prices seperti penyesuaian tarif tenaga listrik (TTL) rumah tangga dan kenaikan surcharge angkutan udara relatif masih berdampak minimal. Peran aktif Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) dalam mengatasi gangguan pasokan pangan juga berkontribusi positif terhadap terkendalinya harga pangan di berbagai daerah. Meskipun demikian, beberapa daerah di KTI seperti Sulawesi Tengah, Maluku Utara, dan Kalimantan Barat masih mencatat tingkat inflasi cukup tinggi yang antara lain disebabkan oleh kenaikan surcharge angkutan udara. Pertumbuhan ekonomi daerah pada triwulan III 2014 secara agregat diperkirakan masih tumbuh melambat. Perekonomian KTI diprakirakan tumbuh melambat karena berlanjutnya proses konsolidasi di sektor tambang terkait kebijakan pengaturan ekspor minerba serta melemahnya permintaan dari negara mitra utama. Sementara itu, perekonomian Sumatera diperkirakan tumbuh stabil. Di sisi lain, perekonomian berbagai daerah di Jawa diprakirakan kembali meningkat seiring dengan indikasi berlanjutnya perbaikan kinerja ekspor manufaktur. Inflasi di berbagai daerah masih berada dalam tren yang menurun. Pada akhir tahun 2014 inflasi secara agregat diprakirakan masih berada pada lintasan yang konsisten dengan pencapaian sasaran inflasi nasional sebesar 4,5%±1%. Terjaganya pasokan pangan disertai koreksi harga pasca Ramadhan berkontribusi positif bagi masih berlanjut tren penurunan inflasi. Namun, Bank Indonesia terus mewaspadai sejumlah risiko inflasi ke depan, termasuk gangguan pasokan pangan akibat El Nino serta konsolidasi fiskal, khususnya kebijakan pembatasan Bahan Bakar Minyak bersubsidi, dan kenaikan tarif tenaga listrik (TTL). Terkait dengan hal ini, upaya untuk membawa inflasi kembali ke arah sasarannya akan terus ditingkatkan melalui penguatan koordinasi antara Bank Indonesia dan pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah. Dinamika terkini perekonomian di berbagai daerah tersebut dan semakin besarnya risiko yang akan dihadapi ke depan mengisyaratkan semakin pentingnya upaya untuk mendorong reformasi struktural di Laporan Nusantara|3 daerah. Fokus untuk mengatasi berbagai persoalan struktural di daerah memerlukan strategi kebijakan yang tepat dan saling terintegrasi dengan baik. Langkah reformasi struktural perlu ditempuh dan difokuskan pada upaya peningkatan daya saing ekspor manufaktur dan diversifikasi perekonomian daerah melalui penguatan lingkungan pendukung (enabling environment), termasuk logistik dan konektivitas, kemudahan berusaha, dan akses pembiayaan jangka panjang. Asesmen lebih lengkap mengenai dinamika terkini dan prospek ekonomi daerah diuraikan secara lengkap dalam buku Laporan Nusantara ini. Laporan Nusantara edisi kali ini juga mengangkat beberapa isu khusus terkait dengan reformasi struktural dalam rangka meningkatkan daya saing perekonomian, hilirisasi ekspor mineral khususnya strategi untuk menjaga keseimbangan ekonomi, sosial, dan lingkungan, serta gambaran kemiskinan terkini di daerah-daerah yang merupakan basis produksi sumber daya alam. Penyusunan buku Laporan Nusantara dilakukan bersama oleh Departemen Kebijakan Ekonomi Moneter (DKEM) di kantor pusat Bank Indonesia dan para peneliti ekonomi dari seluruh Kantor Perwakilan Wilayah Bank Indonesia. Akhir kata, kami berharap buku Laporan Nusantara ini dapat menjadi referensi para pemangku kepentingan dan pemerhati ekonomi daerah, serta menjadi salah satu kontribusi Bank Indonesia dalam pembangunan ekonomi daerah. Jakarta, 18 Agustus 2014 Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter Juda Agung Direktur Eksekutif Laporan Nusantara|4 PERKEMBANGAN TERKINI EKONOMI DAERAH Perekonomian Indonesia pada triwulan II 2014 mengalami pertumbuhan yang melambat yakni tercatat sebesar 5,12% (yoy) dibandingkan dengan triwulan I 2014 sebesar 5,21%. Hal ini dipengaruhi oleh melambatnya kinerja ekonomi Kawasan Sumatera terutama karena melemahnya kinerja sektor pertanian terkait dengan harga komoditas perkebunan yang belum menunjukkan perbaikan yang berarti. Sementara itu, perekonomian Jawa secara keseluruhan masih dapat tumbuh relatif stabil karena ditopang oleh perbaikan ekonomi Jakarta dan Jawa Barat seiring membaiknya kinerja ekspor manufaktur. Namun, provinsi-provinsi lain di Jawa masih cenderung tumbuh melambat terkait dengan kinerja produksi pertanian yang melambat dan dampak dari masih lemahnya aktivitas perdagangan antara daerah, terutama dengan KTI. Sementara itu, pertumbuhan ekonomi di Kawasan Timur Indonesia (KTI) menunjukkan perbaikan meski masih cenderung terbatas. Membaiknya pertumbuhan ekonomi di KTI lebih ditopang oleh meningkatnya produksi industri makanan olahan dan mulai beroperasinya pabrik olahan CPO baru di Sulawesi Barat, perbaikan produksi LNG di Papua Barat, serta meningkatnya kinerja pariwisata di Bali. Kinerja sektor tambang yang cenderung menurun karena penyesuaian terhadap kebijakan pengaturan ekspor minerba menjadi faktor utama yang menahan perbaikan ekonomi KTI lebih lanjut. Di samping itu, melemahnya permintaan ekspor batubara terutama dari Tiongkok yang merupakan salah satu negara tujuan ekspor batubara terbesar, juga berdampak pada terbatasnya kenaikan pertumbuhan ekonomi di KTI. Beberapa daerah yang merupakan basis produksi tambang seperti Kalimantan Timur, Nusa Tenggara Barat, Riau, dan Sulawesi Tengah bahkan mencatat angka pertumbuhan yang lebih rendah daripada daerah-daerah lainnya (Grafik 1.1.). Sumber: BPS, diolah Gambar I.1. Peta Pertumbuhan Ekonomi Daerah Triwulan II 2014 Laporan Nusantara|5 Di sisi inflasi, laju perkembangan inflasi selama triwulan II hingga Juli 2014 masih berada dalam tren yang menurun di seluruh daerah. Masih berlanjutnya koreksi harga beberapa komoditas pangan strategis seiring cukup melimpahnya pasokan, moderasi permintaan domestik, dan ekspektasi inflasi yang terjaga berkontribusi pada terkendalinya inflasi inti di berbagai daerah. Sementara itu, beberapa kebijakan administered prices seperti penyesuaian tarif tenaga listrik (TTL) rumah tangga dan kenaikan surcharge angkutan udara relatif masih berdampak minimal. Terkendalinya tekanan inflasi di berbagai daerah juga tercermin dari perkembangan inflasi selama periode Ramadhan yang cenderung lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata tiga tahun terakhir. Hal ini juga tidak terlepas dari semakin aktifnya partisipasi daerah melalui Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) dalam mengantisipasi kemungkinan terjadinya gejolak harga, terutama harga pangan. Kendati berada dalam tren inflasi yang menurun, beberapa daerah seperti Maluku Utara, Kalimantan Barat, dan Sulawesi Tengah masih perlu mendapat perhatian karena masih mencatat inflasi di kisaran yang cukup tinggi, yakni 7%, antara lain karena kenaikan surcharge angkutan udara (Grafik 1.2.). Gambar I.2. Peta Inflasi Daerah, Juli 2014 Memasuki triwulan III 2014, perkembangan berbagai indikator ekonomi di daerah secara agregat mengindikasikan perekonomian belum mengalami perbaikan yang berarti (Tabel I.1). Perekonomian KTI diprakirakan masih akan tumbuh melambat karena berlanjutnya proses konsolidasi di sektor tambang terkait kebijakan pengaturan ekspor minerba. Demikian pula halnya dengan kinerja ekspor batubara dari Kalimantan yang diperkirakan masih terbatas karena melemahnya permintaan dari negara mitra utama. Perekonomian NTB bahkan diperkirakan akan mengalami kontraksi pertumbuhan yang cukup dalam akibat tidak beroperasinya salah satu perusahaan tambang besar di sana sejak bulan Juni 2014. Ekspor tembaga oleh perusahaan penambang besar di Papua yang mulai kembali dapat dilakukan pada awal Agustus 2014 diperkirakan belum dapat mendorong kinerja tambang secara keseluruhan. Di sisi lain, perekonomian berbagai daerah di Jawa diprakirakan kembali meningkat seiring dengan indikasi berlanjutnya perbaikan kinerja ekspor manufaktur. Permintaan ekspor manufaktur Jawa dipengaruhi oleh perbaikan ekonomi negara maju, terutama Amerika Serikat, antara lain untuk barang tekstil dan produk tekstil (TPT), serta makanan olahan. Di samping itu, konsumsi pemerintah yang meningkat seiring dengan pergeseran realisasi anggaran Pemerintah Pusat, khususnya pembayaran gaji Laporan Nusantara|6 ke-13, serta peningkatan belanja infrastruktur daerah berdampak positif pada membaiknya pertumbuhan ekonomi Jawa. Kenaikan realisasi anggaran pemerintah disertai permintaan domestik yang masih cukup kuat diperkirakan turut menopang perekonomian Sumatera untuk tumbuh stabil di tengah kinerja ekspor, khususnya CPO dan karet olahan, yang menghadapi tantangan akibat belum membaiknya harga komoditas di pasar global. Meski demikian, secara keseluruhan prakiraan membaiknya pertumbuhan ekonomi Jawa dan stabilnya perekonomian Sumatera belum dapat menutupi melambatnya kinerja perekonomian KTI. Tabel I.1. Tendensi Arah Perekonomian Daerah Triwulan III 2014 Jawa Sumatera Bag. Utara Bag. Bag. Tengah Selatan Asesmen Jakarta Bag. Barat Bag. Tengah Bag. Timur KTI Kaliman tan Asesmen Bali- Sulamp Nustra ua Asesmen PDB/PDRB Konsumsi RT Meningkatnya konsumsi terkait Idul Fitri, tahun ajaran baru, dan terjaganya ekspektasi Meningkatnya konsumsi terkait Idul Fitri, tahun ajaran baru, dan terjaganya ekspektasi Meningkatnya konsumsi terkait Idul Fitri, tahun ajaran baru, MICE, dan terjaganya ekspektasi Konsumsi Pemerintah Realisasi gaji ke-13, peningkatan belanja pemerintah Realisasi gaji ke-13, peningkatan belanja pemerintah Realisasi gaji ke-13, peningkatan belanja pemerintah Investasi (PMTB) Pembangunan infrastruktur terkait MP3EI Investor bersikap wait and see untuk melihat hasil Pilpres; lebih didukung oleh proyeksi infrastruktur berskala besar Investasi pabrik pemurnian mineral, percepatan realisasi proyek infrastruktur Ekspor LN Perbaikan ekspor CPO dan karet alam Perbaikan ekspor manufaktur Penurunan permintaan batu bara, terbatasnya ekspor tembaga Impor LN Peningkatan impor bahan baku Peningkatan impor bahan baku dan barang modal Penurunan impor barang modal di sektor pertambangan *) Prakiraan arah kondisi ekonomi secara tahunan (year-on-year) Sementara itu, pada triwulan III 2014, inflasi di berbagai daerah masih berada dalam tren yang menurun dan secara agregat diprakirakan berada di kisaran 4,7% (yoy). Terjaganya pasokan pangan disertai koreksi harga pasca Ramadhan berkontribusi positif bagi masih berlanjut tren penurunan inflasi. Pasokan untuk beberapa komoditas strategis seperti cabai merah, daging ayam, dan bawang merah diperkirakan masih memadai disertai permintaan yang kembali ke pola normalnya. Beberapa risiko yang dapat memberikan kenaikan tekanan inflasi antara lain terkait dengan penerapan pembatasan penjualan Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi, dampak kebijakan perluasan kebijakan kenaikan tarif tenaga listrik, serta potensi gangguan produksi pangan karena dampak El-Nino (moderate). Di samping itu, beberapa daerah di KTI seperti Maluku Utara, Kalimantan Barat, dan Nusa Tenggara Timur cenderung mengalami tekanan inflasi yang lebih tinggi dibandingkan daerah lainnya karena kompleksnya permasalahan distribusi pangan sehingga rentan mengalami gejolak harga. Di tengah kinerja ekonomi daerah yang cenderung melambat, stabilitas sistem keuangan di daerah masih terjaga. Penyaluran kredit terlihat tumbuh sejalan dengan perkembangan ekonomi yang cenderung melambat di berbagai daerah namun dengan tingkat risiko yang masih berada pada level yang aman. Penurunan kualitas kredit lebih terkonsentrasi di beberapa daerah, terutama daerah-daerah yang merupakan basis produksi tambang seperti di Sulawesi dan Kalimantan, namun masih belum menyentuh Laporan Nusantara|7 tingkat yang mengkhawatirkan. Meskipun demikian, beberapa daerah di Sumatera mengindikasikan potensi sumber kerentanan dari penurunan harga komoditas ekspor utama (seperti CPO dan karet alam) yang dapat berimbas pada pendapatan masyarakat dan kemampuan membayar kembali kreditnya (repayment capacity). Kendati kinerja perekonomian mengalami perlambatan, transaksi keuangan melalui sistem pembayaran masih meningkat. Sepanjang triwulan II 2014, transaksi pembayaran melalui Real Time Gross Settlement (RTGS) rata-rata sebesar Rp30,02 ribu triliun per bulan, meningkat dibandingkan dengan rata-rata triwulan sebelumnya sebesar Rp21,87 ribu triliun. Meningkatnya aktivitas pada sistem pembayaran di berbagai daerah khususnya di Jakarta dan beberapa kota besar di Jawa diperkirakan turut dipengaruhi oleh aktivitas kampanye menjelang Pemilihan Umum (Pemilu). Pada aspek kesejahteraan, tingkat kemiskinan menunjukkan kecenderungan menurun. Menurunnya angka kemiskinan tersebut menggambarkan bahwa di tengah laju pertumbuhan ekonomi yang melambat, masih terdapat peluang dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Meski demikian, beberapa indikator kesejahteraan lainnya menunjukkan masih besarnya tantangan yang perlu diatasi. Dilihat secara spasial penurunan kemiskinan tersebut tidak terjadi secara merata. Tingkat kemiskinan di Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua justru cenderung meningkat dibandingkan tahun sebelumnya. Hal ini diperkirakan terkait dengan menurunnya pendapat masyarakat dan melemahnya aktivitas di sektor-sektor terkait sumber daya alam karena menurunnya harga komoditas. Beberapa daerah seperti Papua, Nusa Tenggara, Maluku dan sebagian besar daerah di Sulawesi mencatat angka kemiskinan yang cukup tinggi disertai semakin melebarnya ketimpangan antar penduduk miskin di daerah-daerah tersebut sebagaimana ditunjukkan oleh Indek Keparahan Kemiskinan yang meningkat. PROSPEK EKONOMI DAERAH DAN TANTANGAN KE DEPAN Prospek Ekonomi Daerah Tahun 2014 Perkembangan terkini mengindikasikan pertumbuhan ekonomi untuk keseluruhan tahun 2014 lebih lambat daripada prakiraan sebelumnya yakni berada pada batas bawah dari kisaran 5,1%-5,5% (yoy), lebih rendah dibandingkan dengan tahun 2013 yang sebesar 5,78% (yoy). Perlambatan ekonomi akan dialami di hampir seluruh daerah, terutama daerah-daerah yang memiliki peran komoditas tambang cukup besar dalam perekonomiannya seperti daerah-daerah di KTI dan sebagian Sumatera. Kondisi ini disebabkan oleh proses konsolidasi yang harus dilakukan oleh para pelaku usaha di sektor tambang terkait implementasi dari UU Minerba pada awal tahun. Di samping itu, pemulihan ekonomi global yang cenderung moderat dan terbatas pada beberapa negara maju memengaruhi kinerja ekspor daerah. Perkembangan ekonomi Tiongkok yang justru cenderung tumbuh melambat berdampak pada melemahnya permintaan ekspor komoditas tambang dari beberapa daerah di Kalimantan dan Sumatera. Demikian halnya dengan kinerja ekspor manufaktur dari Jawa yang turut mengalami tekanan karena melambatnya permintaan dari Tiongkok. Namun, perlambatan kinerja ekspor manufaktur di Jawa lebih lanjut tertahan oleh masih cukup kuatnya permintaan ekspor dari negara maju, khususnya Amerika Serikat yang merupakan salah satu pasar tujuan utama ekspor Jawa (sekitar 15% dari total nilai ekspor Jawa). Secara keseluruhan, permintaan domestik diperkirakan lebih tinggi terutama terkait dengan masih kuatnya konsumsi rumah tangga, sehingga dapat menahan pelemahan ekonomi lebih lanjut di berbagai daerah. Laporan Nusantara|8 Momentum penurunan laju inflasi diperkirakan akan berlangsung sampai dengan triwulan III 2014, untuk kemudian kembali meningkat hingga mendekati batas atas kisaran sasaran inflasi nasional 4,5±1% pada akhir 2014. Meningkatnya kembali tekanan inflasi diperkirakan bersumber dari beberapa komponen administered prices, terutama dampak dari kenaikan tarif tenaga listrik (TTL) dan tarif angkutan. Selain itu, potensi terjadinya El-Nino masih menjadi risiko bagi produksi pangan yang pada gilirannya dapat menekan kembali naiknya inflasi volatile food. Mengatasi potensi risiko inflasi yang masih cukup besar, upaya yang ditempuh oleh Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) akan terus diarahkan untuk dapat memperkuat kesinambungan dan kelancaran pasokan di daerah. Tantangan Ke Depan Ke depan, perekonomian daerah masih akan dibayangi berbagai risiko yang dapat memengaruhi prospek pertumbuhan ekonomi dan inflasi di daerah. Dalam jangka pendek perekonomian akan dihadapkan pada lima risiko utama, yakni: 1. masih rentannya proses pemulihan ekonomi global yang cenderung diikuti penurunan harga komoditas sehingga pada gilirannya akan dapat berdampak pada kinerja ekspor daerah dan memberi tekanan bagi neraca perdagangan nasional; 2. proses konsolidasi di sektor tambang sebagai dampak dari penerapan kebijakan pengaturan ekspor mineral, terutama di daerah-daerah yang merupakan basis produksi tambang, dalam jangka pendek akan memberi tekanan bagi kinerja ekspor daerah; 3. risiko fiskal yang mungkin timbul apabila kapasitas fiskal tidak lagi memadai untuk mengakselerasi perekonomian karena besarnya beban subsidi energi; 4. potensi kenaikan inflasi karena kenaikan harga minyak dunia dan implikasi dari kebijakan yang ditempuh untuk membatasi penyaluran BBM bersubsidi tetap sesuai dengan kuotanya, serta rentannya gangguan distribusi karena kualitas infrastruktur khususnya konektivitas yang belum sepenuhnya memadai; 5. kemampuan daya saing daerah, khususnya daya saing ekspor manufaktur, menghadapi persaingan global terutama dengan implementasi Komunitas Ekonomi ASEAN yang berlaku pada 2015. Daya saing ekspor manufaktur secara umum masih rendah dan cenderung menurun, serta secara spasial hanya Jawa yang memiliki kekuatan daya saing ekspor manufaktur dibandingkan daerah lainnya. Kerentanan ekonomi daerah terhadap berbagai risiko tersebut di atas tidak terlepas dari permasalahan struktural yang masih perlu diatasi. Permasalahan struktural utama di daerah adalah terkait daya saing dan kapasitas industri yang terbatas karena masih lemahnya faktor SDM dan infrastruktur. Di samping itu, perbaikan lingkungan pendukung (enabling factors) di berbagai daerah, termasuk pembangunan infrastruktur dan perbaikan layanan birokrasi/perizinan, berjalan lebih lambat dibandingkan dengan negara-negara peers di Asia. Untuk mengatasi berbagai persoalan struktural diperlukan strategi kebijakan yang tepat dan saling terintegrasi dengan baik. Langkah reformasi struktural perlu ditempuh dan difokuskan pada upaya peningkatan daya saing ekspor manufaktur dan diversifikasi perekonomian daerah melalui penguatan lingkungan pendukung (enabling environment), termasuk logistik dan konektivitas, kemudahan berusaha, dan akses pembiayaan jangka panjang. Terdapat beberapa hal pokok yang perlu ditempuh dan menjadi Laporan Nusantara|9 bagian penting di dalam agenda reformasi struktural untuk mendorong percepatan pembangunan ekonomi daerah. Pertama, kebijakan dan regulasi yang mendukung pada perbaikan kemudahan berusaha dan daya saing, khususnya untuk industri berorientasi ekspor. Dukungan kebijakan tersebut, antara lain berupa penyederhanaan layanan perizinan investasi, peningkatan pelayanan terpadu satu atap (PTSP), penyediaan insentif fiskal dan pengembangan strategi investasi nasional-daerah yang terintegrasi. Strategi peningkatan investasi diarahkan pada barang manufaktur berorientasi ekspor dan masuk ke dalam rantai pasok global. Kedua, mempercepat penyelesaian target pembangunan infrastruktur dan sistem logistik nasional sebagaimana telah tertuang di dalam strategis MP3EI. Implementasi percepatan pembangunan infrastruktur didukung oleh penerapan kebijakan Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) nasional, serta ketegasan implementasi RTRW di tingkat daerah. Ketiga, upaya memperbaiki kualitas layanan birokrasi dan perizinan, termasuk penyelarasan peraturan baik di antara pusat dan daerah maupun antar daerah. Di samping itu, dukungan fiskal daerah diarahkan untuk mendukung pengembangan infrastruktur dan terjaganya stabilitas harga sehingga dapat mendorong penciptaan daya saing yang lebih baik. Keempat, khusus pengembangan ekonomi Kawasan Timur Indonesia (KTI) dilakukan melalui pengembangan industri manufaktur berbasis Sumber Daya Alam (SDA) serta strategi pembangunan berwawasan maritim dan ramah lingkungan. Prioritas kebijakan ditempuh dan diarahkan secara konsisten dalam rangka menurunkan biaya logistik, perbaikan kebijakan tata ruang dan konektivitas maritim, pembangunan energi alternatif terbarukan, penguatan modal manusia, serta mendorong peningkatan kapasitas penelitian dan pengembangan (research and development). Kelima, untuk pembiayaan pembangunan perlu dilakukannya reformasi fiskal dalam rangka memperbesar ruang fiskal bagi pembiayaan pembangunan dan mendorong skema Kerjasama Pemerintah-Swasta (KPS) yang efektif. Terakhir, penciptaan lingkungan makroekonomi yang stabil dan kondusif bagi kesinambungan pembangunan ekonomi didukung oleh adanya koordinasi yang kuat antara otoritas moneter, fiskal, dan sektor riil, serta antara pemangku kebijakan di tingkat pusat dan daerah. Laporan Nusantara ini disarikan dari hasil pertemuan Dewan Gubernur Bank Indonesia dengan KepalaKepala Perwakilan Bank Indonesia tingkat Wilayah di seluruh Indonesia pada 11 Agustus 2014 di Manado. Pertemuan dilakukan setiap triwulannya untuk membahas perkembangan terkini dan berbagai isu strategis yang menjadi perhatian di daerah sebagai bahan pertimbangan penting dalam perumusan kebijakan moneter di Bank Indonesia L a p o r a n N u s a n t a r a | 10 Perekonomian Kawasan Timur Indonesia (KTI) pada triwulan II 2014 mencatat angka pertumbuhan yang membaik yakni sebesar 4,9% (yoy) dibandingkan dengan triwulan sebelumnnya yang sebesar 4,6% (yoy). Membaiknya pertumbuhan KTI ditopang oleh industri pengolahan, terutama industri makanan olahan dan mulai beroperasinya pabrik olahan CPO baru di Sulawesi Barat, meningkatnya produksi liquified natural gas (LNG) di Papua Barat, serta meningkatnya kinerja pariwisata di Bali. Meski demikian, sektor pertambangan, yang memiliki peranan cukup besar dalam perekonomian KTI, masih mengalami kontraksi pertumbuhan. Hal ini disebabkan oleh konsolidasi terhadap penerapan kebijakan pengaturan ekspor mineral yang mulai berlaku sejak awal tahun 2014. Di samping itu, berlanjutnya tren perlambatan ekonomi Tiongkok berimbas pada melemahnya kinerja ekspor batubara dari Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan. Kontraksi pertumbuhan sektor pertambangan relatif dapat tertahan oleh adanya perbaikan kinerja ekspor feronikel di Sulawesi Tenggara, mulai beroperasinya beberapa smelter untuk alumina di Kalimantan Barat, biji besi di Kalimantan Selatan dan nikel di Sulawesi Utara. Sementara itu, meningkatnya pertumbuhan ekonomi di Papua pada triwulan laporan lebih dipengaruhi faktor base effect kondisi operasional tambang yang sempat terhenti selama triwulan II 2013. Memasuki triwulan III 2014, berbagai indikator ekonomi daerah-daerah di KTI mengindikasikan laju pertumbuhan ekonomi secara agregat cenderung melambat. Kontraksi pertumbuhan ekonomi di sektor pertambangan diperkirakan masih berlanjut, walaupun pada perkembangan terakhir ekspor tembaga dari Papua dapat kembali dilakukan sejak awal Agustus 2014. Di sisi lain, kegiatan produksi tembaga di Nusa Tenggara Barat (NTB) justru terhenti sejak Juni 2014 dan diperkirakan berdampak pada kontraksi pertumbuhan ekonomi yang cukup dalam di NTB. Perkembangn di sektor tambang yang melambat juga terindikasi di sebagian besar Kalimantan seiring dengan masih melemahnya permintaan ekspor batubara dan cenderung turunnya produksi LNG. Pertumbuhan ekonomi KTI pada triwulan III 2014 diperkirakan lebih banyak ditopang oleh konsumsi domestik. Realisasi pembayaran gaji ke-13 dan peningkatan kinerja pariwisata di sejumlah daerah tujuan wisata utama di KTI seperti Bali, Sulawesi Utara, dan NTB diperkirakan menopang pertumbuhan ekonomi KTI. Kenaikan kinerja pariwisata tersebut seiring dengan masuknya masa liburan sekolah dan cenderung meningkatnya arus kunjungan wisatawan asing. Selain itu, masih berlanjutnya pembangunan proyek infrastruktur, yang termasuk dalam program MP3EI, dan pabrik pemurnian mineral di beberapa daerah seperti Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan dan Kalimantan Barat, diperkirakan dapat menahan perlambatan ekonomi KTI lebih lanjut. Perkembangan inflasi KTI hingga Juli 2014 masih berada dalam tren yang menurun. Hal ini disebabkan oleh hilangnya pengaruh kenaikan harga BBM yang terjadi pada pertengahan 2013 (base effect), serta relatif terkendalinya inflasi pada masa lebaran, seiring peran aktif Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID) di wilayah KTI dalam memastikan kelancaran pasokan dan gejolak komoditas pangan strategis. Tren penurunan inflasi diperkirakan akan berlanjut pada triwulan III 2014 yang disebabkan oleh kembali normalnya permintaan masyarakat pasca-lebaran yang akan mendorong koreksi harga dan tarif beberapa komoditas dan jasa. Kendati juga berada dalam tren yang menurun, beberapa daerah di KTI seperti Maluku Utara, Kalimantan Barat, dan Sulawesi Tengah masih mencatat angka inflasi yang cukup Laporan Nusantara| 11 tinggi yakni di kisaran 7% terutama karena kenaikan tarif angkutan udara dan sempat terkendalanya pasokan pangan di Maluku Utara. Sejalan dengan kondisi perekonomian yang melambat, pembiayaan perbankan di KTI cenderung tumbuh melambat dari triwulan I 2014 sebesar 17,4% (yoy) menjadi 13,0% (yoy) pada akhir triwulan II 2014 2014. Hampir seluruh sektor korporasi utama mengalami perlambatan pertumbuhan pembiayaan, terutama sektor pertambangan. Demikian halnya dengan pembiayaan kepada sektor rumah tangga yang menunjukan perlambatan. Perlambatan pembiayaan perbankan juga terjadi pada kredit UMKM dengan pertumbuhan kredit yang tercatat sebesar 17,9% (yoy), menurun dari triwulan I 2014 sebesar 19,9% (yoy). Namun, pembiayaan perbankan di sektor industri pengolahan mengalami peningkatan dengan adanya pembangunan industri pemurnian logam dan industri pengolahan CPO di beberapa daerah di Kalimantan dan Sulawesi. Sementara itu, sesuai dengan pola historisnya, transaksi tunai dan nontunai (melalui SKNBI dan BI-RTGS) cenderung meningkat pada triwulan II 2014. Hal ini dipengaruhi oleh berbagai kegiatan pada triwulan II 2014 yang mendorong nasabah melakukan penarikan uang seperti adanya perayaan keagamaan (Ramadhan dan Idul Fitri), liburan sekolah dan tahun ajaran baru. Perkembangan terkini mengindikasikan perekonomian KTI pada tahun 2014 diprakirakan tumbuh di kisaran 4,5% - 5,0% (yoy) atau di bawah prakiraan sebelumnya. Perkembangan di sektor tambang di berbagai daerah di Kalimantan, Nusa Tenggara Barat yang belum membaik, kontraksi lifting gas (natural declining) di Kalimantan dan melemahnya permintaan ekspor dari mitra dagang khususnya Tiongkok untuk komoditas batubara diperkirakan menyebabkan pertumbuhan ekonomi di sebagian besar Kalimantan cenderung melambat. Demikian halnya dengan berhenti totalnya operasional kegiatan tambang tembaga di Nusa Tenggara Barat sejak Juni 2014 berimplikasi pada lebih dalamnya kontraksi pertumbuhan ekonomi di NTB. Perkembangan positif yang dapat menahan perlambatan ekonomi lebih lanjut berasal dari mulai kembali dilakukannya ekspor tembaga dari Papua sejak Agustus 2014, serta berlanjutnya pembangunan proyek infrastruktur berskala besar, dan pembangunan industri pemurnian logam di berbagai daerah di KTI. Pada sisi harga, inflasi KTI tahun 2014 masih sejalan dengan prakiraan sebelumnya yakni berada pada kisaran 4,7% – 5,2 % (yoy), lebih rendah dibandingkan dengan tahun 2013 (7,8%, yoy). Tekanan inflasi diperkirakan terutama bersumber dari kelompok bahan makanan dan kenaikan TTL yang terjadi pada semester II 2014. Beberapa risiko yang perlu diwaspadai dapat berpotensi mendorong inflasi tahun 2014 adalah kebijakan pembatasan penjualan BBM bersubsidi untuk mengamankan kuota APBN-P 2014 yang mulai berlaku per 1 Agustus 2014 yang berpotensi untuk meningkatkan tarif angkutan dan kenaikan harga komoditas. Risiko inflasi pangan terkait potensi El-Nino jika intensitasnya meningkat menjadi moderat-kuat, serta tidak adanya kuota penyaluran Raskin pada bulan November dan Desember 2014. Selain itu, adanya resiko terkait rencana pemerintah untuk menyesuaikan tarif batas atas angkutan udara pasca-lebaran, terutama untuk wilayah KTI, mengingat transportasi mempunyai porsi yang besar dalam mobilisasi orang dan barang di wilayah KTI. Laporan Nusantara| 12 PERTUMBUHAN EKONOMI Perekonomian berbagai daerah di wilayah Sulawesi-Maluku-Papua (Sulampua) secara agregat mencatat kenaikan angka pertumbuhan ekonomi pada triwulan II 2014. Beberapa provisi seperti Papua, Papua Barat, Sulawesi Barat, dan Sulawesi Tenggara dapat mencatat angka pertumbuhan yang lebih tinggi dibanding triwulan sebelumnya sehingga pertumbuhan ekonomi Sulampua mencapai 6,8% (yoy), lebih tinggi dari triwulan I 2014 (5,4%, yoy). Meningkatnya angka pertumbuhan ekonomi tersebut terutama didorong oleh perbaikan kinerja industri pengolahan, terutama industri makanan olahan dan mulai beroperasinya pabrik olahan CPO baru di Sulawesi Barat, membaiknya kinerja ekspor feronikel di Sulawesi Tenggara, serta meningkatnya produksi LNG di Papua Barat. Sementara itu, meningkatnya angka pertumbuhan ekonomi di Papua lebih dipengaruhi oleh faktor base effect karena sempat terhentinya operasional penambangan pada triwulan yang sama tahun sebelumnya. Memasuki triwulan III 2014, perkembangan indikator ekonomi terkini di Sulampua mengindikasikan potensi kembali meningkatnya pertumbuhan ekonomi. Faktor pendorong pertumbuhan berasal dari akselerasi komponen investasi serta relatif stabilnya kinerja ekspor dengan orientasi penjualan ke luar negeri. Selain itu, kembali dilakukannya ekspor tembaga Papua sejak Agustus 2014 dapat mendukung perbaikan angka pertumbuhan ekonomi di Sulampua. Perkembangan terakhir ini mengindikasikan perekonomian Sulampua untuk keseluruhan tahun 2014 berpotensi untuk dapat tumbuh di kisaran 6,4% - 6,9% (yoy), lebih tinggi dari prakiraan sebelumnya. Meski demikian, pertumbuhan ekonomi Sulampua di tahun 2014 akan tumbuh dibawah capaian tahun sebelumnya sebagai imbas dari konsolidasi di sektor tambang. Konsumsi Konsumsi Rumah Tangga Pada triwulan II 2014, konsumsi rumah tangga (termasuk konsumsi nirlaba) tumbuh sebesar 7,8% (yoy), lebih tinggi dari triwulan sebelumnya (7,4%, yoy). Meningkatnya laju pertumbuhan konsumsi rumah tangga didorong oleh peningkatan belanja rumah tangga karena adanya musim panen raya, hari besar keagamaan, musim liburan di akhir periode, pemilu, serta maraknya penyelenggaraan kegiatan berskala nasional maupun internasional di Sulampua. Hal ini juga tercermin dari perkembangan arus barang yang dibongkar di pelabuhan Makassar yang tumbuh lebih tinggi dibandingkan periode triwulan I 2014 (Grafik II.1.1). Perkembangan indikator terkini mengindikasikan konsumsi rumah tangga cenderung tumbuh lebih lambat pada triwulan III 2014. Hal ini terindikasi dari nilai tukar petani di beberapa daerah sentra yang mulai menurun pada awal triwulan III 2014 sehingga ada potensi penurunan tingkat pendapatan (Grafik II.1.2). Bersamaan dengan hal tersebut, kinerja subsektor perdagangan yang dicerminkan oleh indeks penjualan eceran riil (IPER) tidak menunjukkan peningkatan pada Juli 2014 sedangkan optimisme masyarakat yang ditunjukkan oleh indeks keyakinan konsumen (IKK) cenderung melemah. Penyaluran kredit yang digunakan untuk kebutuhan konsumtif juga dinilai masih akan berada dalam tren yang melambat (Grafik II.1.3). Namun, aktivitas terkait Pemilu 2014 di awal triwulan III 2014, perayaan Idul Laporan Nusantara| 13 Fitri, serta event besar yang juga mendukung kinejra pariwisata di beberapa kota (Raja Ampat, Ambon, Makassar, Tomohon, Manado) diperkirakan dapat menopang kinerja konsumsi sehingga pertumbuhannya masih terjaga di tingkat yang cukup tinggi. Konsumsi Pemerintah Konsumsi pemerintah berbagai daerah di Sulampua secara agregat mengalami akselerasi pada triwulan II 2014. Komponen ini tumbuh sebesar 7,9% (yoy) setelah pada triwulan sebelumnya mencatat pertumbuhan sebesar 7,4% (yoy). Membaiknya kinerja konsumsi pemerintah didorong oleh meningkatnya intensitas penyerapan anggaran belanja pemerintah pada triwulan II 2014 dibandingkan triwulan sebelumnya. Kendala akibat adanya pergantian formasi karena mutasi pegawai pemerintah juga relatif minimal sehingga pelaksanaan program kerja dapat berlangsung dengan intensitas yang lebih tinggi. Adanya seleksi CPNS di beberapa daerah serta pencairan tunjangan sertifikasi guru juga turut menunjang peningkatan belanja operasional pemerintah daerah. Pada triwulan III 2014, kinerja konsumsi pemerintah diprakirakan tumbuh lebih tinggi dibandingkan triwulan sebelumnya. Meningkatnya pertumbuhan konsumsi pemerintah terutama berasal dari realiasi belanja terkait proyek infrastruktur pemerintah, khususnya di Sulawesi Barat, Gorontalo, Sulawesi Utara, Papua, dan Papua Barat. Hal ini diperkirakan dapat mendorong penyerapan anggaran belanja lebih lanjut. Selain itu, realisasi pembayaran gaji ke-13 bagi PNS, TNI, polri, pejabat negara, dan penerima pensiun/tunjangan turut berdampak positif bagi peningkatan kinerja konsumsi pemerintah. Indikator giro pemerintah daerah hingga Juni 2014 juga tercatat lebih tinggi dari rata-rata tiga tahun sebelumnya sehingga kegiatan belanja pemerintah diharapkan dapat dioptimalkan pada triwulan III 2014 (Grafik II.1.3). Volume Barang Dalam Negeri yang Dibongkar gVolume Ribu Ton %, yoy 30 2,000 1,800 1,600 1,400 1,200 1,000 800 600 400 200 0 Indeks NTP Papua Barat NTP Sulawesi Tengah IPER Makassar IKK Ambon - Skala Kanan Indeks 105 160 20 10 0 (10) (20) (30) (40) I II III 2011 IV I II III 2012 IV I II III 2013 IV I II 2014 Sumber: Kantor Administrasi Pelabuhan Grafik II.1.1. Volume Barang yang Dibongkar 150 100 140 95 130 120 90 110 85 100 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 I II III IV 2012 I II III 2013 IV I II III 2014 Sumber: BPS, diolah Grafik II.1.2. Indeks Indikator Konsumsi Investasi Kinerja investasi masih dapat tumbuh tinggi walaupun dengan arah yang cenderung melambat pada triwulan II 2014 yaitu dari 11,4% (yoy) menjadi 11,2% (yoy). Investasi di beberapa provinsi masih tumbuh di atas 10% yaitu di Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Maluku, dan Papua Barat. Perlambatan yang terjadi dinilai disebabkan oleh realisasi penanaman modal asing maupun modal dalam negeri di Sulampua yang turun pada triwulan II 2014 dibandingkan triwulan yang sama tahun sebelumnya. Indikator penyaluran kredit investasi serta realisasi pengadaan semen juga bergerak sejalan dengan melambatnya investasi (Grafik II.1.3 dan Grafik II.1.4). Laporan Nusantara| 14 Giro Pemerintah Daerah gKredit Konsumsi - Skala Kanan gKredit Investasi - Skala Kanan gKredit Modal Kerja - Skala Kanan Rp Triliun 30 25 %, yoy 60 50 20 40 15 30 10 20 5 10 0 0 I II III 2011 IV I II III IV I 2012 II III 2013 IV I II 2014 Grafik II.1.3. Pertumbuhan Kredit Menurut Jenis Penggunaan dan Baki Debet Giro Pemerintah Daerah Realisasi Pengadaan Semen gPengadaan Semen - Skala Kanan Ribu Ton 1,800 1,600 1,400 1,200 1,000 800 600 400 200 0 I II III 2011 IV I II III IV 2012 I II III 2013 %, yoy 35 30 25 20 15 10 5 0 (5) (10) IV I II 2014 Sumber: Asosiasi Semen Indonesia Grafik II.1.4. Realisasi Pengadaan Semen Pertumbuhan investasi diprakirakan kembali meningkat pada triwulan III 2014 seiring berjalannya proyek pembangunan multiyears milik pemerintah maupun swasta. Proyek yang berlanjut antara lain adalah pembangunan smelter (Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Maluku Utara, Sulawesi Selatan), pembangunan pembangkit listrik (Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara, Maluku Utara), pabrik semen (Papua Barat), pusat hiburan dan perbelanjaan (Sulawesi Utara, Papua Barat), jalan lingkar pulau (Maluku, Maluku Utara), hotel dan rumah sakit (Papua Barat), serta berlanjutnya pembangunan beberapa proyek infrastruktur MP3EI seperti jalan raya, jembatan, dan sarana irigasi. Adapun proyek jalan tol Manado-Bitung serta jalur KA penumpang maupun barang dengan rute Makassar-Parepare diharapkan dapat memasuki fase groundbreaking pada triwulan III 2014. Perdagangan Luar Negeri Ekspor Kinerja ekspor luar negeri nonmigas Sulampua pada triwulan II 2014 masih cenderung menurun meski tidak sedalam periode triwulan sebelumnya. Nilai ekspor luar negeri nonmigas Sulampua selama periode April-Juni 2014 tercatat sebesar USD1,02 miliar atau turun sebesar -36,93% (yoy) setelah turun hingga -39,45% (yoy) pada triwulan sebelumnya. Perbaikan kinerja ekspor luar negeri didorong oleh ekspor pertanian dan industri pengolahan. Permintaan yang meningkat berdampak positif bagi ekspor kakao (Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah), rempah-rempah (Sulawesi Utara), ikan olahan (Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Maluku), serta aneka sayur/buah olahan. Hal ini didukung oleh pasokan yang terjaga karena adanya musim panen dan cuaca yang lebih kondusif pada triwulan II 2014. Harga kakao di pasar global yang sedang berada dalam tren meningkat juga dinilai menambah insentif produksi. Pada triwulan III 2014, kinerja ekspor luar negeri diprakirakan masih belum akan menunjukkan perbaikan yang berarti. Kegiatan ekspor luar negeri akan ditopang oleh peningkatan ekspor LNG (Papua Barat) seiring perbaikan harga jual serta ekspor nikel olahan (Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan) dan minyak nabati (Sulawesi Utara, Sulawesi Barat) seiring terjaganya tingkat produksi. Sementara itu, kembali dapat dilakukannya ekspor konsentrat tembaga dari Papua akan memperbaiki kinerja ekspor lebih lanjut. Namun, dibandingkan dengan capaiannya pada triwulan III 2013, ekspor konsentrat tembaga akan tetap mengalami kontraksi pada triwulan III 2014. Hal ini masih ditambah dengan penurunan ekspor bijih nikel Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Tengah. Dari sisi eksternal, terdapat risiko Laporan Nusantara| 15 penahan pertumbuhan seiring mulai turunnya indikator purchasing managers index (PMI) negara tujuan ekspor Sulampua (Grafik II.1.5). Jepang Tiongkok Korea Selatan Zona Eropa Indeks US$ Juta 58 700 56 600 54 500 Total Impor - Skala Kiri gImpor Barang Antara gImpor Barang Modal gImpor Barang Konsumsi %, yoy 350 300 250 200 150 100 50 0 (50) (100) (150) 400 52 300 50 200 48 100 46 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 2013 4 5 2014 Sumber: Bloomberg Grafik II.1.5. Purchasing Managers Index Manufaktur Negara Tujuan Ekspor 6 7 I II III 2011 IV I II III 2012 IV I II III 2013 IV I II 2014 Sumber: Bea Cukai, diolah Grafik II.1.6. Pertumbuhan Nilai Impor Luar Negeri Menurut Kategori Barang Impor Impor luar negeri nonmigas mengalami penurunan yang lebih besar dari triwulan sebelumnya. Impor luar negeri nonmigas tercatat sebesar US$430,97 juta pada triwulan II 2014 atau terjadi kontraksi sebesar -31,78% (yoy) setelah kinerjanya turun hingga -10,17% (yoy) pada triwulan I 2014. Lebih rendahnya pertumbuhan impor terutama didorong oleh turunnya impor barang antara dan barang modal dari luar negeri untuk sektor pertambangan karena berkurangnya aktivitas produksi akibat pembatasan ekspor mineral dalam bentuk mentah (Grafik II.1.6). Selain itu, tidak adanya impor pesawat terbang pada triwulan II 2014 seperti yang dilakukan pada triwulan II 2013 membuat laju pertumbuhan tidak terakselerasi secara tahunan. Memasuki triwulan III 2014, kinerja impor luar negeri diprakirakan masih akan mengalami kontraksi. Masih turunnya kinerja sektor pertambangan tetap menjadi faktor utama penahan laju impor dari luar negeri. Selain itu, impor barang konsumsi dinilai tidak akan terakselerasi seiring melambatnya kegiatan konsumsi. Meski demikian, masih terdapat beberapa faktor yang akan menopang kinerja impor pada triwulan III 2014. Faktor-faktor tersebut antara lain adalah kebutuhan barang modal untuk proyek investasi serta adanya peningkatan aktivitas industri pengolahan nontambang yang membutuhkan bahan baku/penolong seperti seperti gandum, raw sugar, ampas kedelai, dan bahan kimia. Kinerja Sektor Utama Daerah Sektor Pertambangan dan Penggalian Kinerja produksi di sektor pertambangan dan penggalian masih cenderung menurun pada triwulan II 2014 sebagaiman diprakirakan sebelumnya. Hal ini terutama dipengaruhi oleh konsolidasi di sektor tambang terkait penerapan kebijakan pengaturan ekspor mineral sejak awal tahun 2014. Aktivitas produksi tembaga di Papua sepanjang triwulan II 2014 hanya berada di kisaran 40% - 50% dari kapasitas normalnya dan diperuntukkan bagi pemenuhan kebutuhan smelter di Jawa Timur. Meski demikian, perbaikan kinerja produksi tambang nikel di Sulawesi Tenggara terkait dengan peningkatan kebutuhan industri feronikel, dan faktor base effect produksi tembaga di Papua yang sempat terhenti pada triwulan yang sama tahun sebelumnya, menyebabkan angka penurunan kinerja sektor pertambangan di wilayah Sulampua tidak sedalam triwulan sebelumnya. Laporan Nusantara| 16 Pada triwulan III 2014, produksi sektor pertambangan dan penggalian Sulampua diprakirakan masih mengalami kontraksi namun kondisinya tidak seburuk triwulan II 2014. Perbaikan di sektor ini didukung oleh dapat kembali dilakukannya ekspor tembaga dari Papua pada Agustus 2014. Diperolehnya ijin ekspor akan kembali memacu kegiatan produksi yang sebelumnya terhenti. Kinerja produksi bijih nikel di Sulawesi Tenggara juga diprakirakan membaik untuk memenuhi kebutuhan bahan baku feronikel yang permintaannya meningkat sejak triwulan II 2014 dari negara mitra dagang di Eropa. %, yoy gProduksi Konsentrat Tembaga (Papua) 250 gProduksi Bijih Nikel (Sulawesi Tenggara) 200 gProduksi Emas (Papua) gProduksi Feronikel (Sulawesi Tenggara) %, yoy gProduksi Nikel Matte (Sulawesi Selatan) 80 gProduksi Terigu (Sulawesi Selatan) 60 150 40 100 20 50 0 0 (20) (50) (40) (100) I II III IV 2011 I II III IV 2012 Sumber: Produsen, diolah I II III 2013 IV I II IIIp 2014 p) Proyeksi Bank Indonesia Grafik II.1.7. Pertumbuhan Produksi Mineral I II III 2011 IV I II III 2012 Sumber: Produsen, diolah IV I II III 2013 IV I II IIIp 2014 *) Angka sementara Grafik II.1.8. Pertumbuhan Produksi Manufaktur Sektor Industri Pengolahan Pada triwulan II 2014, sektor industri pengolahan mengalami kenaikan pertumbuhan sebesar 9,1% (yoy) setelah sebelumnya tercatat tumbuh 3,2% (yoy). Peningkatan laju pertumbuhan sektor ini didorong oleh beberapa industri yakni industri feronikel, industri LNG, dan industri CPO, serta industri makanan olahan. Peningkatan produksi feronikel (Sulawesi Tenggara) dipengaruhi oleh faktor eksternal berupa harga yang masih terjaga dan meningkatnya permintaan dari Belanda. Kenaikan produksi LNG (Papua Barat) terjadi seiring akan mulai berlakunya harga jual yang baru dengan salah satu buyer utama di Tiongkok pada Juli 2014. Sementara itu, beroperasinya pabrik pengolahan CPO baru di Sulawesi Barat mampu mendorong pertumbuhan sektor industri pengolahannya hingga hampir mencapai 70%. Di samping itu, naiknya permintaan terhadap produk makanan olahan (terigu dan kakao), produk sandang, dan produk percetakan seiring momen persiapan Lebaran dan pemilu juga turut berkontribusi pada percepatan di sektor ini (Grafik II.1.8). Memasuki periode triwulan III 2014, kinerja sektor industri pengolahan diprakirakan masih akan cenderung meningkat. Hal ini didorong terutama oleh kinerja sektor industri pengolahan hasil tambang (nikel) di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara yang dinilai tidak akan mengalami gangguan operasional. Di samping itu, setelah renegosiasi harga jual yang ditetapkan naik menjadi US$8,0 per mmbtu dari sebelumnya sebesar US$2,7 per mmbtu, produksi LNG di Papua Barat diprakirakan mengalami percepatan. Industri barang yang dikonsumsi serta industri pengolahan minyak nabati (Sulawesi Utara dan Sulawesi Barat) juga dinilai akan tetap memberi kontribusi positif seiring lanjutan aktivitas pemilu, liburan sekolah, dan perayaan Lebaran di awal triwulan. Selain itu, meski terbatas pada tahap uji coba, kegiatan salah satu smelter tipe home industry di Sulawesi Tenggara berpotensi mendorong kinerja sektor industri pengolahan. Sektor Pertanian Laju pertumbuhan sektor pertanian pada triwulan II 2014 tercatat relatif stabil dibandingkan dengan triwulan I 2014 yaitu sebesar 7,0% (yoy). Stabilnya perkembangan sektor pertanian didukung oleh Laporan Nusantara| 17 musim panen subsektor tabama dan perkebunan serta minimalnya gangguan bagi subsektor perikanan budidaya. Penggunaan bibit unggul (Sulawesi Selatan) serta meningkatnya luas panen seiring irigasi yang lebih baik (Sulawesi Tenggara) diyakini mampu menjaga pertumbuhan subsektor tabama. Adanya musim panen kakao serta peningkatan permintaan produk kakao dari Tiongkok mendukung produksi subsektor perkebunan. Sementara itu, subsektor perikanan budidaya (udang) mengalami akselerasi karena meningkatnya permintaan dari Eropa di tengah penurunan pasokan dari Vietnam dan India akibat ganguan penyakit (virus).1 Di sisi lain, faktor penahan percepatan adalah kinerja subsektor tabama (Gorontalo) dan subsektor perkebunan (Maluku) yang tidak tumbuh lebih tinggi dari triwulan I 2014 (Grafik II.1.9) serta masuknya masa tanam di Papua. Pada triwulan III 2014, kinerja sektor pertanian diprakirakan akan tumbuh dengan kecenderungan melambat. Masuknya masa tanam di sebagian besar daerah di Sulawesi membuat produksi tidak setinggi periode sebelumnya. Selain itu, prospek kakao masih pesimis hingga akhir tahun 2014 setelah lewatnya puncak panen. Penurunan produktivitas kakao memang merupakan isu di tingkat nasional. Di Sulawesi, masalah umur tanaman yang sudah tua menjadi penyebab utama terjadinya penurunan produksi. Sementara itu, faktor musiman datangnya Ramadhan dan Lebaran dinilai akan menekan kinerja subsektor perikanan tangkap karena kecenderungan nelayan di wilayah Sulampua yang akan berhenti beroperasi menjelang dan beberapa hari setelah Lebaran (Grafik II.1.10). Luas Panen Jagung (Gorontalo) %, yoy %, yoy Produksi Kopra (Maluku) 150 150 Produksi Karet (Maluku) - Skala Kanan 100 100 50 50 0 0 (50) (50) (100) (150) (100) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 I II III 2012 IV I II III 2013 IV I II Ribu Ton 20 18 16 14 12 10 8 6 4 2 0 PPS Bitung PPS Kendari PPN Ambon gProduksi - Skala Kanan 150 100 50 0 (50) (100) (150) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 I II 2014* Sumber: Produsen dan Dinas Pertanian *) Angka sementara %, yoy III 2012 Sumber: KKP IV I II III 2013 IV I II III 2014 *) Angka sementara Grafik II.1.10. Produksi Ikan Tangkap Grafik II.1.9. Pertumbuhan Produksi Komoditas Pertanian PERKEMBANGAN INFLASI Pada triwulan II 2014, laju inflasi Sulampua tidak mengalami perubahan yang berarti dibandingkan dengan triwulan I 2014 yaitu dari 6,64% (yoy) menjadi 6,68% (yoy). Stabilnya inflasi didukung oleh terjaganya harga-harga di beberapa provinsi dengan bobot kota IHK yang besar seperti Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Papua, dan Papua Barat. Kenaikan laju inflasi komponen inti (core inflation) serta volatile food pada triwulan II 2014 tertahan oleh penurunan laju inflasi tahunan komponen administered price karena efek basis perhitungan seiring tidak adanya kebijakan harga dari pemerintah yang berdampak signifikan seperti saat penyesuaian BBM yang terjadi pada Juni 2013. Rilis inflasi periode Juli 2014 memperlihatkan inflasi secara tahunan masih dalam tren yang menurun yakni menjadi 4,51% (yoy). Dilihat dari komponen disagregasinya, penurunan inflasi pada Juli 2014 1 Hasil liaison kepada eksportir udang Laporan Nusantara| 18 disumbangkan oleh komponen administered price dan volatile food. Hal ini terutama disebabkan oleh hilangnya pengaruh kenaikan harga BBM yang telah meningkatkan tekanan inflasi sejak akhir Juni 2013. Penyesuaian harga BBM bersubsidi tersebut juga berdampak pada naiknya harga bahan pangan melalui jalur ekspektasi yang kemudian ikut turun pada Juli 2014 bersamaan dengan penurunan inflasi administered price. Inflasi aneka bumbu, daging, ikan, sayur, dan buah relatif menurun karena didukung juga oleh kondisi pasokan yang cukup baik di musim panen dengan curah hujan yang lebih terbatas (Grafik II.1.11). Di lain pihak, inflasi inti masih berada pada tren yang meningkat seiring ekspektasi masyarakat yang juga menguat pada Juli 2014 (Grafik II.1.12). Di samping itu, cukup baiknya harga emas internasional dan naiknya permintaan seiring Lebaran turut memengaruhi kenaikan inflasi inti. Perkembangan harga yang cukup stabil hingga Juli 2014 diperkirakan berdampak positif bagi terjaganya inflasi di triwulan III 2014. Meski panen raya telah selesai di beberapa daerah, beberapa daerah masih akan mengalami panen komoditas tabama dan hortikultura. Curah hujan dan gelombang laut yang relatif sama dengan periode sebelumnya dinilai akan mendukung penangkapan ikan dan distribusi. Hal ini masih didukung oleh koreksi harga dan tarif beberapa komoditas setelah Lebaran. Adapun beberapa provinsi perlu mendapat perhatian khusus karena tantangan distribusi (Maluku Utara, Maluku) dan masalah disparitas harga pangan (Sulawesi Tengah) yang kerap mendorong kenaikan inflasi. %, yoy 50 40 30 %, yoy Emas Perhiasan Daging Sapi Rokok Kretek Bawang Merah - Skala Kanan 500 400 Indeks Ekspektasi Harga Konsumen Makassar Inflasi Sulampua (mtm) Kumulatif 3 Bulan - Skala Kanan % 200 8 190 6 300 20 200 10 0 (10) (20) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 2012 2013 2014 Grafik II.1.11. Perubahan Harga Beberapa Komoditas, Survei Pemantauan Harga Bank Indonesia di Makassar 4 180 2 100 170 0 160 (100) 150 0 (2) (4) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 2012 2013 2014 Grafik II.1.12. Ekspektasi Harga Jangka Pendek Konsumen, Survei Konsumen Bank Indonesia di Makassar Koordinasi Pengendalian Inflasi Kelembagaan Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) di Sulampua terus bertambah dan mendukung semakin baiknya kegiatan pengendalian inflasi yang ada. Selama periode April-Juli 2014, telah bertambah TPID DATI II antara lain di Jeneponto, Toraja Utara, Selayar, Pinrang, Sidrap, dan Luwu Utara (Sulawesi Selatan); TPID Bolaang Mongondouw Timur (Sulawesi Utara); TPID Mamuju dan Polewali Mandar (Sulawesi Barat); serta TPID Banggai, Tolitoli, Morowali Utara, dan Morowali (Sulawesi Tengah). Total TPID DATI II yang telah terbentuk adalah sebanyak 47 TPID dari 139 DATI II (kabupaten/kota) yang ada di Sulampua. Adapun 18 kota IHK di Sulampua seluruhnya telah memiliki TPID. Secara kewilayahan, rapat koordinasi dilakukan secara intensif. Selain melakukan rapat koordinasi wilayah (Rakorwil Pertama TPID Tahun 2014) pada 14 April 2014 di Makassar untuk membahas penguatan kelembagaan dan sosialisasi slogan TPID Sulampua, juga telah dilakukan Rakorwil Kedua TPID Tahun 2014 pada 18 Mei 2014 di Palu. Rakorwil Kedua tersebut lebih khusus membahas mengenai isu konektivitas antardaerah dengan pemateri dari Pelindo serta peran dan kebijakan pemerintah di bidang transportasi laut. Dari hasil pembahasan, Pelindo akan mendukung upaya peningkatan konektivitas melalui perbaikan pada fasilitas fisik dan sistem kerja operasional. Selain itu, dalam Laporan Nusantara| 19 menghadapi Ramadhan dan Lebaran, TPID se-Sulampua berupaya menjaga pasokan pangan, seperti cabe dan cabe rawit (Sulawesi Utara), ikan segar (Maluku), ikan budidaya dan beras (Sulawesi Tengah), serta komoditas pangan utama di provinsi lainnya. Sidak ke pasar serta penyelenggaraan pasar murah juga menjadi agenda utama TPID. Kegiatan rapat high level serta rapat teknis di kabupaten/kota pun terus dilakukan untuk memperkuat koordinasi dan komunikasi pengendalian inflasi. STABILITAS SISTEM KEUANGAN DAN PENGELOLAAN SISTEM PEMBAYARAN Ketahanan Sektor Korporasi Penyaluran kredit produktif (Rp90,3 triliun) di Sulampua hingga Juni 2014 didominasi oleh kredit sektor perdagangan (61,7%). Sementara itu, sektor industri tercatat hanya memiliki pangsa 6,6%, diikuti sektor pertanian sebesar 4,7%, dan sektor pertambangan sebesar 1,0%. Hal ini menunjukkan bahwa peran perbankan terhadap sektor ekonomi utama di Sulampua masih belum optimal, khususnya untuk sektor primer. Dari sisi pertumbuhan, kredit produktif yang disalurkan kepada sektor utama di Sulampua masih berada dalam tren yang melambat (Grafik II.1.13). Kredit ke sektor industri pengolahan bahkan mengalami kontraksi. Dari sisi kualitas kredit, sektor perdagangan yang memiliki pangsa terbesar memiliki non-performing loan (NPL) yang berada dalam level yang terjaga yakni di bawah 5% (Grafik II.1.14). Sumber kerentanan terutama berasal dari imbas penerapan pengaturan ekspor komoditas tambang yang berpotensi dapat memengaruhi NPL kredit terutama di sektor yang terkait. Pertanian %, yoy Industri 100 Perdagangan 80 Pertambangan - Skala Kanan 60 40 20 0 (20) (40) I II III 2011 IV I II III 2012 IV I II III 2013 IV I %, yoy % Pertanian 140 120 100 80 60 40 20 0 (20) (40) 12 Industri II 2014 Grafik II.1.13. Pertumbuhan Kredit Sektor Utama % 25 Perdagangan 10 20 Pertambangan - Skala Kanan 8 15 6 10 4 5 2 0 0 I II III 2011 IV I II III 2012 IV I II III 2013 IV I II 2014 Grafik II.1.14. Perkembangan NPL Kredit Sektor Utama Ketahanan Sektor Rumah Tangga Penyaluran kredit rumah tangga2 di Sulampua tumbuh cenderung meningkat pada triwulan II 2014 (Grafik II.1.15), terutama didorong oleh KKB serta kredit multiguna. Di sisi lain KPR masih tumbuh cukup tinggi meski melambat. Hal ini memberi sinyal bahwa permintaan masyarakat masih cukup kuat di Sulampua. Dari total kredit rumah tangga sebesar Rp68,7 triliun, kredit multiguna memiliki pangsa terbesar yaitu 51,5% sedangkan KPR dan KKB masing-masing mengambil pangsa 36,3% dan 7,3%. Arah perkembangan NPL KPR dan kredit multiguna cenderung meningkat. Peningkatan NPL tersebut dinilai merupakan dampak kenaikan suku bunga yang membuat kewajiban nasabah ikut meningkat sehingga muncul kendala bagi nasabah yang tadinya belum memperhitungkan potensi kenaikan suku bunga. Meski demikian, secara umum pembiayaan kepada rumah tangga di Sulampua masih memiliki 2 Terdiri dari kredit pemilikan rumah (KPR), kredit kendaraann bermotor (KKB), kredit multiguna, kredit perlengkapan rumah tangga, serta kredit rumah tangga lainnya yang tidak diklasifikasikan di tempat lain. Kredit bukan lapangan usaha tidak lagi dihitung sebagai kredit rumah tangga. Laporan Nusantara| 20 ketahanan yang cukup baik dengan rasio NPL seluruh jenis kredit rumah tangga yang masih berada di bawah level aman (Grafik II.1.16). Pembiayaan Sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) Laju pertumbuhan kredit kepada UMKM di Sulampua masih berada dalam tren melambat pada triwulan II 2014 (Grafik II.1.15). Kredit kepada UMKM di Sulampua tercatat sebesar Rp64,0 triliun dengan pangsa sebesar 34,8% dari total kredit yang disalurkan. Kualitas pembiayaan UMKM cukup berisiko seiring dengan peningkatan angka NPL sehingga berada di atas threshold 5% (Grafik II.1.16). Untuk menekan NPL tersebut, upaya terintegrasi antara pemerintah dan perbankan harus terus digalakan untuk membimbing UMKM yang ada di Sulampua agar memperoleh akses kepada sumber pembiayaan serta mampu melakukan manajemen yang baik dalam menjaga repayment capacity mereka. Adapun secara umum, upaya pengembangan klaster dan UMKM binaan terus dilakukan oleh Bank Indonesia se-Sulampua. Beberapa program pengembangan klaster yang berlangsung sepanjang tahun 2014 antara lain adalah klaster cabe (Sulawesi Utara), sapi (Gorontalo, Sulawesi Selatan), hortikultura (Maluku), dan klaster bawang merah (Maluku Utara). %, yoy KPR 80 70 60 50 40 30 20 10 0 (10) I II III 2011 KKB IV I UMKM II III IV 2012 Multiguna - Skala Kanan I II III 2013 IV I %, yoy % 500 6 400 5 300 4 200 3 100 2 0 1 (100) 0 II 2014 Grafik II.1.15. Pertumbuhan Kredit Rumah Tangga dan Kredit UMKM I II III 2011 IV KPR Multiguna KKB UMKM I II III 2012 IV I II III 2013 IV I II 2014 Grafik II.1.16. Perkembangan NPL Kredit Rumah Tangga dan NPL UMKM Kinerja Sistem Pembayaran Sesuai dengan pola historisnya, kegiatan sistem pembayaran Sulampua menunjukkan peningkatan pada triwulan II 2014, diilihat dari indikator transaksi melalui Real Time Gross Settlement (BI-RTGS). Sementara itu, meski menurun hingga pertengahan triwulan II 2014, transaksi Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI) mengalami akselerasi pada akhir periode (Grafik II.1.17 dan Grafik II.1.18). Peningkatan transaksi yang cukup pesat pada triwulan laporan baik melalui RTGS maupun kliring dikarenakan banyaknya kebutuhan transaksi masyarakat menjelang Ramadhan dan persiapan menjelang Hari Raya Idul Fitri serta peningkatan realisasi anggaran yang intensitasnya lebih tinggi pada triwulan laporan. Laporan Nusantara| 21 Rp Triliun Total Transaksi RTGS %, yoy gTotal Transaksi - Skala Kanan 80 70 60 50 40 30 20 10 0 70 60 50 40 30 20 10 0 (10) (20) (30) II III IV I II 2012 III IV I 2013 II %, yoy gTotal Transaksi Kliring - Skala Kanan 30 25 20 15 10 5 0 (5) (10) (15) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 I Total Kliring Kredit dan Debet Penyerahan Rp Triliun 8 7 6 5 4 3 2 1 0 I III II III IV I II 2012 2014 Grafik II.1.17. Perkembangan Total Transaksi RTGS III IV I 2013 II 2014 Grafik II.1.18. Perkembangan Total Transaksi Kliring Kinerja Pengelolaan Uang Tunai Pengedaran uang kartal di Sulampua mencatat peningkatan pada sisi outflow dan penurunan pada sisi inflow selama triwulan II 2014 dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Hal ini terjadi sebagai dampak peningkatan aktivitas masyarakat sehingga kebutuhan akan uang ikut meningkat (Grafik II.1.19). Kemudian, pada Juli 2014 yang merupakan bulan perayaan Lebaran, penarikan uang tercatat meningkat signifikan seperti yang terjadi pada tahun sebelumnya. Sementara itu, temuan uang palsu sepanjang periode triwulan II 2014 lebih banyak dari triwulan I 2014 yaitu dari 530 lembar menjadi 963 lembar (Grafik II.1.20). Untuk mengantisipasi peredaran uang palsu, kegiatan sosialisasi ciri-ciri keaslian uang rupiah akan terus ditingkatkan intensitas maupun luas cakupannya. Kegiatan sosialisasi tersebut biasanya dilakukan bersamaan dengan sosialisasi mengenai kebanksentralan dan edukasi keuangan lainnya baik kepada pelajar, UMKM, maupun nelayan dan petani di wilayah kerja Bank Indonesia di Sulampua. Dalam memastikan pengedaran uang layak edar, selain melalui layanan penukaran uang, Bank Indonesia telah dan akan melakukan kegiatan kas keliling. Selama triwulan II 2014, kegiatan kas keliling ke daerah pelosok telah dilakukan antara lain di Sulawesi Utara (Tamako, Sitaro, Tahuna), Papua Barat (Raja Ampat, Fak-Fak, Sarmi, Wamena), Maluku Utara (Pulau Morotai, Pulau Bere-Bere), serta Maluku (Pulau Banda, Lontor). Rp Triliun 10 8 6 4 2 0 2 4 6 8 10 12 1 2 I Outflow (Penarikan Nasabah) Inflow (Penyetoran Nasabah) 1,200 1,000 800 1.59% Total 2011-2014 Sulampua (6,153 lembar) Lembar Nasional (379,688 lembar) Temuan Uang Palsu di Sulampua 600 400 200 0 3 4 5 6 7 II 2012 8 9 10 11 12 1 2 III IV I 3 4 5 6 7 II 2013 8 9 10 11 12 1 2 III IV I 3 4 5 II 2014 Grafik II.1.19. Perkembangan Aliran Uang 6 7 III 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 I II III 2012 IV I II III 2013 IV I II 2014 Grafik II.1.20. Perkembangan Temuan Uang Palsu PROSPEK PEREKONOMIAN Prospek Pertumbuhan Ekonomi Perekonomian Sulampua untuk keseluruhan tahun 2014 diprakirakan tumbuh pada kisaran 6,4% - 6,9% (yoy), di atas prakiraan sebelumnya. Hal ini didasari pertimbangan kembali dapat dilakukannya ekspor Laporan Nusantara| 22 konsentrat tembaga dan emas dari produsen utama di Papua. Adanya kesepakatan antara pemerintah dan produsen terkait bea keluar serta komitmen pembangunan smelter telah menghasilkan ijin ekspor bagi produsen yang selanjutnya akan mulai melakukan ekspor pada Agustus 2014 ini. Pemerintah kemudian akan mengambil langkah evaluasi setiap semester untuk melihat perkembangan pembangunan smelter yang dijanjikan produsen. Apabila target tidak dipenuhi, kegiatan ekspor akan kembali dihentikan. Meski telah direvisi ke atas, pertumbuhan ekonomi pada tahun 2014 tetap lebih rendah dari tahun sebelumnya (8,7%, yoy) sebagai dampak penerapan kebijakan pengaturan ekspor mineral. Dengan melihat kondisi di atas, tantangan pada sektor primer masih tetap mengemuka dalam perekonomian Sulampua, khususnya terkait dengan hilirisasi. Dalam beberapa periode terakhir, Sulampua menghadapi tantangan dalam hal peningkatan produksi biji kakao sebagai bahan baku industri kakao. Masalah kakao menjadi sangat krusial karena Sulawesi merupakan daerah produsen terbesar di Indonesia. Selain itu, pada sektor pertanian, terdapat tantangan untuk menjaga produktivitas komoditas pertanian lainnya seperti padi, jagung, dan perikanan. Selanjutnya, hilirisasi mineral, dalam hal ini melalui pembangunan smelter, harus terus didorong dan dipantau oleh pihak terkait, termasuk di dalamnya adalah memastikan keberlangsungan pasokan bahan baku bagi smelter yang dibangun. Prospek Inflasi Pada akhir 2014, proyeksi inflasi Sulampua masih sejalan dengan proyeksi sebelumnya yaitu pada kisaran 4,65% - 5,15% (yoy) dengan kecenderungan ke batas atas. Kecenderungan ini didorong oleh cukup tingginya inflasi inti dan volatile food pada triwulan II 2014 yang melebihi prakiraan sehingga dapat memengaruhi pergerakan inflasi hingga di akhir tahun. Proyeksi inflasi tersebut lebih rendah dari realisasi inflasi 2013 (7,02%, yoy) seiring hilangnya dampak kenaikan harga BBM bersubsidi yang terjadi pada Juni 2013. Pada triwulan III 2014, tekanan inflasi diprakirakan akan kembali ke pola normal dan cenderung turun setelah Lebaran. Inflasi kemudian akan bergerak naik di akhir tahun akibat menguatnya permintaan pada periode liburan dan perayaan hari besar keagamaan. Curah hujan juga kembali tinggi pada periode tersebut. Selain faktor musiman, beberapa faktor risiko non-musiman terhadap inflasi di Sulampua tetap harus diwaspadai dan diberi perhatian oleh TPID. Kebijakan pemerintah seperti penyesuaian tarif tenaga listrik industri secara bertahap berpotensi meningkatkan inflasi melalui jalur cost-push. Ekspektasi berlebih saat adanya event tertentu dan hari raya keagamaan sedapat mungkin diatasi melalui komunikasi yang simetris. Upaya pengembangan dan penyempurnaan PIHPS harus terus dilakukan oleh setiap TPID hingga di tingkat kabupaten/kota. Dengan informasi dan komunikasi yang tepat, diharapkan ekspektasi harga dapat terkendali di akhir tahun agar tidak meningkat secara signifikan (Grafik II.1.22). Laporan Nusantara| 23 Palu Indeks Manokwari Manado Makassar 180 170 160 150 140 130 120 110 100 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 I II III IV I II 2013 III Indeks Ekspektasi Konsumen 202 200 198 196 194 192 190 188 186 Ekspektasi Pedagang - Skala Kanan Indeks 100.15 100.10 100.05 100.00 99.95 99.90 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 IV I 2014 II III IV I 2013 Grafik II.1.21. Indeks Ekspektasi Kegiatan Dunia Usaha, Survei Konsumen Bank Indonesia II III IV 2014 Grafik II.1.22. Ekspektasi Harga Jangka Panjang, Survei dari Bank Indonesia TabeI II.1.1. Prakiraan Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi Sulawesi-Maluku-Papua Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi Wilayah PDRB (%,yoy) Sisi Permintaan Konsumsi Konsumsi swasta Konsumsi Pemerintah Pembentukan Modal Tetap Bruto Ekspor Impor Sisi Produksi Sektor pertanian Sektor pertambangan & penggalian Industri pengolahan Listrik, gas & air bersih Bangunan Perdagangan, hotel & restoran Pengangkutan & komunikasi Keuangan, persewaan dan jasa perush. Jasa-jasa Inflasi IHK (%,yoy) 2011 2012 7.2 2013 2014 8.1 I 9.4 II 5.9 III 9.1 IV 10.4 Total 8.7 I 5.4 II 6.8 IIIp 7.0 IVp 7.0 - 7.5 Totalp 6.4 - 6.9 6.6 6.9 5.7 9.8 (2.5) 2.1 7.2 7.0 7.9 13.5 1.9 5.7 6.7 6.9 6.0 11.1 11.2 4.9 6.4 6.8 5.2 11.6 2.7 4.3 6.7 6.8 6.3 11.3 15.7 (0.1) 7.3 6.8 8.9 10.3 22.7 5.5 6.8 6.8 6.6 11.0 13.3 3.6 7.4 7.4 7.4 11.4 (2.7) 12.6 7.9 7.8 7.9 11.2 0.2 10.0 7.6 7.3 8.5 14.5 0.5 8.6 5.0 (11.7) 18.5 8.1 13.1 10.7 9.6 11.9 8.8 2.9 5.2 0.1 12.7 11.6 12.7 10.2 10.8 11.9 7.1 5.0 3.3 27.7 9.6 8.1 8.6 10.2 8.0 15.1 7.5 5.1 2.2 (1.5) 5.5 10.9 9.3 10.0 8.8 13.1 6.1 4.3 4.4 24.8 7.2 10.4 8.9 9.1 8.6 13.9 7.6 7.6 8.3 22.6 11.4 10.3 7.4 10.2 7.5 13.0 7.4 7.0 4.5 18.3 8.4 9.9 8.5 9.9 8.2 13.7 7.2 7.0 7.0 (18.5) 3.2 9.3 9.8 10.1 8.9 11.4 9.5 6.6 7.0 (8.4) 9.1 9.6 9.1 9.6 6.8 8.3 8.8 6.7 4.9 3.5 - 4.0 5.3 - 5.8 (3.4) (1.6) - (1.1) (7.7) - (7.2) 9.9 9.5 - 10.0 8.0 - 8.5 10.6 9.9 - 10.4 9.7 - 10.2 9.7 11.8 - 12.3 10.0 - 10.5 9.6 9.3 - 9.8 9.7 - 10.2 8.6 9.4 - 9.9 8.3 - 8.8 10.1 9.6 - 10.1 9.7 - 10.2 9.1 8.6 - 9.1 8.8 - 9.3 4.1 4.7 - 5.2 4.7 - 5.2 7.6 - 8.1 7.4 - 7.9 7.0 - 7.5 6.9 - 7.4 8.6 - 9.1 8.0 - 8.5 14.2 - 14.7 12.7 - 13.2 0.1 - 0.6 (0.6) - (0.1) 6.7 - 7.2 9.2 - 9.7 Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah p proyeksi Bank Indonesia Laporan Nusantara| 24 PERTUMBUHAN EKONOMI Perekonomian wilayah Kalimantan pada triwulan II 2014 tumbuh melambat karena menurunnya kinerja ekspor tambang. Hal ini terutama dipengaruhi oleh melemahnya kinerja ekspor batubara di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur, seiring dengan melemahnya permintaan dari Tiongkok, yang merupakan negara tujuan ekspor utama untuk batu bara dari Kalimantan. Selain itu, berlanjutnya konsolidasi di sektor tambang terkait dengan kebijakan pengaturan ekspor mineral yang berlaku sejak awal tahun 2014 turut memengaruhi kinerja perekonomian Kalimantan. Kalimantan Timur bahkan mencatat angka pertumbuhan yang cukup rendah yakni hanya 1,9% terkait masih terbatasnya perbaikan kinerja produksi LNG. Disamping itu, berlalunya masa panen tanaman bahan makanan di Kalimantan Barat dan penurunan produksi karet di Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah turut menyebabkan melambatnya pertumbuhan ekonomi Kalimantan secara keseluruhan. Memasuki triwulan III 2014, berbagai indikator ekonomi di wilayah Kalimantan mengindikasikan pertumbuhan ekonomi belum akan mengalami perbaikan yang berarti. Perkembangan ekspor diperkirakan masih akan mengalami kecenderungan yang menurun terkait dengan prospek permintaan dari Tiongkok yang masih melemah. Di samping itu, kinerja produksi LNG di Kalimantan Timur juga diperkirakan masih mengalami tren yang menurun sehingga turut memengaruhi kinerja ekonomi Kalimantan secara keseluruhan. Namun, mulai beroperasinya smelter bauksit dapat menahan perlambatan sektor pertambangan Kalimantan lebih lanjut. Berlanjutnya pembangunan beberapa smelter lainnya disertai pembangunan beberapa proyek infrastruktur lainnya berdampak positif bagi perbaikan kinerja investasi. Perkembangan terakhir mengindikasikan, prospek perekonomian Kalimantan untuk keseluruhan tahun 2014 diperkirakan cenderung berada di bawah prakiraan sebelumnya terkait kinerja aktivitas di sektor pertambangan yang melambat. Untuk keseluruhan tahun 2014, perekonomian Kalimantan diprakirakan tumbuh dikisaran 3,3-3,7% (yoy). Konsumsi Konsumsi Rumah Tangga Konsumsi rumah tangga pada triwulan II 2014 tumbuh melambat seiring dengan melemahnya kinerja ekspor yang memberikan dampak langsung pada pendapatan masyarakat. Penurunan konsumsi rumah tangga Kalimantan sejalan dengan penurunan indeks keyakinan konsumen dari Survei Konsumen, terutama di Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat yang mengalami perlambatan perekonomian pada triwulan II 2014 (Grafik II.2.1). Menurunnya konsumsi rumah tangga juga sejalan dengan menurunya Nilai Tukar Petani (NTP) di seluruh wilayah Kalimantan karena melambatnya sektor pertanian. Selain itu, belum direalisasikannya gaji ke-13 diperkirakan turut memengaruhi konsumsi rumah tangga yang tumbuh melambat pada triwulan tersebut. Pada triwulan III 2014, konsumsi rumah tangga diperkirakan cenderung tumbuh meningkat. Meningkatnya pertumbuhan konsumsi dipicu oleh pola konsumsi masyarakat yang meningkat selama masa Ramadhan disertai realisasi pembayaran gaji ke-13 pada Juli 2014. Survei Penjualan Eceran terakhir mengindikasikan adanya kecenderungan peningkatan penjualan pada triwulan III 2014. Dari sisi pembiayaan, penyaluran kredit perbankan untuk konsumsi barang tahan lama (durable goods), seperti Laporan Nusantara| 25 kepemilikan kendaraan roda empat dan kredit multiguna juga menunjukkan tren yang meningkat (Grafik II.2.2). Meski demikian, kenaikan daya beli masyarakat yang lebih tinggi diperkirakan tertahan oleh terbatasnya perbaikan pendapatan karena melemahnya kinerja ekspor. Grafik II.2.1 Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) Grafik II.2.2 Penyaluran Kredit Konsumsi Konsumsi Pemerintah Konsumsi pemerintah pada triwulan II 2014 tumbuh membaik yang didorong mulai cairnya anggaran pemerintah yang berasal dari Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk realisasi program pemerintah yang biasanya dimulai pada triwulan II. Dampak dari cairnya DAU dan DAK adalah mulai berjalannya program-program pemerintah daerah yang sebelumnya tertunda di triwulan I 2014. Selain itu, tingginya penyerapan anggaran pemerintah pusat di daerah terkait pelaksanaan Pemilu juga mendorong pertumbuhan konsumsi pemerintah. Namun, kenaikan konsumsi masih tertahan akibat belum terealisasinya Dana Bagi Hasil (DBH), yang merupakan pos terbesar dalam pemasukan pemerintah daerah Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan, dan pergeseran periode realisasipembayaran gaji ke-13 tahun 2014. Memasuki triwulan III 2014, konsumsi pemerintah diperkirakan kembali menunjukan peningkatan. Pertumbuhan membaik ini dipengaruhi oleh realisasi pembayaran gaji ke 13 pada awal triwulan III 2014 serta terselesaikanya sejumlah kendala administrasi anggaran. Selain itu, dengan terealisasinya Dana Bagi Hasil (DBH) untuk pertambangan batubara juga turut mendorong konsumsi pemerintah di triwulan III 2014. Namun, kebijakan penghematan anggaran kementerian dan lembaga di pemerintah pusat diperkirakan dapat berdampak pada penurunan pengeluaran pemerintah pusat untuk berbagai proyek di daerah. Lebih lanjut, rasionalisasi pengeluaran yang mulai dilakukan di Kalimantan Timur dalam rangka efisiensi anggaran juga menjadi faktor penahan pertumbuhan konsumsi pemerintah. Investasi Investasi wilayah Kalimantan pada triwulan II 2014 tumbuh meningkat dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Peningkatan pertumbuhan investasi hampir terjadi di sebagian besar daerah di Kalimantan. Peningkatan ini sejalan dengan banyaknya pembangunan beberapa proyek sektor riil yang bernilai cukup besar seperti pembangunan Kawasan Industri dan Pelabuhan Internasional (KIPI) Maloy, serta pembangunan Bandara Samarinda Baru di Kaltim dan infrastruktur (PLTU dan transmisi) listrik di Kalbar. Selain itu, peningkatan investasi juga didukung oleh pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan seperti pembangunan jalan dan jembatan Trans-Kalimantan, jalan tol Samarinda-Balikpapan serta Jembatan fly-over Jl. A. Yani Banjarmasin, Jembatan Pulau Balang & Jembatan Mahkota II di Kalimantan Laporan Nusantara| 26 Timur. Investasi pada triwulan II 2014 juga didorong oleh investasi di sektor perkebunan dan industri pengolahan, khususnya pengolahan logam bauksit dan bijih besi dan kelapa sawit. Memasuki triwulan III 2014, pertumbuhan investasi diperkirakan masih meningkat. Selain didorong oleh terus berjalannya proyek-proyek infrastruktur seperti pada triwulan II, pertumbuhan juga meningkat seiring berjalannya proyek-proyek baru, antara lain seperti Indonesian Deepwater Development (IDD) di Blok Rapak dan Ganal, Kalimantan Timur serta penyelesaian satu smelter bauksit di Kalimantan Barat yang ditargetkan akan memasuki tahap ujicoba pada tahun 2015. Perdagangan Luar Negeri Ekspor Kinerja ekspor luar negeri wilayah Kalimantan pada triwulan II 2014 masih cenderung menurun. Kondisi ini terkait dengan melemahnya perekonomian Tiongkok yang merupakan pasar tujuan utama ekspor batubara dari Kalimantan. Di samping itu, pemberlakuan kebijakan pengaturan ekspor mineral turut memengaruhi perlambatan ekspor di Kalimantan. Namun, mulai beroperasinya pabrik pemurnian smelter bauksit di Kalimantan Barat, biji besi di Kalimantan Selatan dan zicron di Kalimantan Tengah turut meningkatkan ekspor Kalimantan dapat menopang kinerja ekspor lebih lanjut. Untuk triwulan III 2014, kinerja ekspor kembali diprakirakan mengalami kontraksi yang lebih dalam. Penurunan ekspor wilayah Kalimantan dipengaruhi oleh kinerja ekspor LNG Kalimantan Timur terkait terbatasnya lifting gas. Selain itu, masih cenderung lemahnya permintaan ekspor dari Tiongkok, serta kemungkinan bergesernya pola impor batubara oleh Korea Selatan ke Amerika Serikat atau Australia yang memiliki batubara kalori tinggi turut menyebabkan kinerja ekspor Kalimantan masih cenderung turun. Namun, kebijakan India yang cenderung menggunakan batubara kalori rendah sebagai input generator listrik di India akan menjadi sentimen positif bagi ekspor batubara Kalimantan. Sementara itu, masih terbatasnya kapasitas produksi smelter menyebabkan ekspor mineral juga cenderung terbatas. Berdasarkan hasil liaison, sampai dengan triwulan II 2014 baru satu smelter alumina, yakni di Kalimantan Barat yang sudah mulai beroperasi dengan kapasitas input terpasang satu juta ton bauksit per tahun Impor Impor luar negeri Kalimantan pada triwulan II 2014 masih cenderung tumbuh menurun. Hal ini terkait dengan terbatasnya kinerja ekspor tambang terutama batubara. Liaison mengindikasikan kebutuhan alat berat untuk di sektor tambang yang cenderung turun. Impor terindikasi dilakukan lebih untuk memenuhi kebutuhan untuk pembangunan smelter dan beberapa proyek infrastruktur berskala besar. Untuk triwulan III 2014, impor luar negeri diperkirakan masih cendeung tumbuh negatif. Penurunan kinerja sektor utama seperti menurunya pertambangan yang didorong penurunan permintaan batubara dari Tiongkok dan penurunan produksi LNG menyebabkan penurunan impor barang modal seperti struktur kapal dan peledak tambang. Selain itu, penurunaan impor juga terjadi di Kalimantan Barat akibat kebijakan pemerintah untuk membatasi kapal diperbolehkan lewat di Sungai Kapuas, sehingga mengakibatkan turunnya impor kapal bermuatan besar. Laporan Nusantara| 27 Kinerja Sektor Utama Daerah Sektor Pertambangan Pada triwulan II 2014 pertumbuhan ekonomi di sektor pertambangan mengalami kontraksi karena pengaruh melemahnya permintaan ekspor batu bara dan dampak dari penyesuaian terhadap kebijakan pengaturan ekspor mineral. Perlambatan ekonomi yang terjadi di Tiongkok memberikan dampak langsung pada melemahnya permintaan ekspor batubara dari Kalimantan. Selain itu, pemberlakuan kebijakan pengaturan ekspor mineral berimplikasi pada terhentinya kegiatan pertambangan bauksit di Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah. Berdasarkan hasil liason, sekurang-kurangnya terdapat tujuh perusahaan tambang bauksit besar di Kalimantan Barat dan enam perusahaan sejenis di Kalimantan Tengah menghentikan produksinya. Perusahaan-perusahaan tersebut menghentikan produksi karena tidak dapat melakukan ekspor hasil tambang dan tidak adanya permintaan di pasar domestik. Pada triwulan III 2014, kinerja sektor pertambangan terindikasi mengalami perbaikan, terutama didukung oleh adanya perkembangan positif di sisi pertambangan batubara. Perusahaan pertambangan batubara masih terus berupaya meningkatkan produksinya untuk mencapai efisiensi sehingga margin terjaga di tengah harga batubara yang belum pulih. Mulai beroperasinya beberapa pembangkit listrik, baik oleh PLN maupun swasta dan juga keperluan industri lainnya, berdampak positif bagi penyerapan batubara di pasar domestik. Meski demikian, terhentinya kegiatan operasional beberapa mineral diperkirakan menahan perbaikan kinerja sektor pertambangan lebih lanjut. Sumber : Dinas Pertambangan Provinsi, diolah Grafik II.2.3 Produksi Batubara Kalimantan Sumber: KPPBC, diolah Grafik II.2.4 Ekspor Tambang Non Migas Kalimantan Sektor Industri Pengolahan (Non Migas) Perkembangan industri pengolahan nonmigas Kalimantan pada triwulan II 2014 menunjukkan peningkatan yang terutama didorong oleh kinerja industri pengolahan kelapa sawit (CPO). Hasil produksi CPO di Kalimantan tercatat tumbuh mencapai 36,90% (yoy), yang dipicu oleh meningkatnya pasokan bahan baku Tandan Buah Segar (TBS) sawit, khususnya di Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah. Peningkatan kinerja industri CPO ini juga didorong oleh peningkatan permintaan terutama menjelang Ramadhan, serta peningkatan penyerapan untuk industri biodiesel di Amerika Serikat. Program mandatori biodiesel yang ditetapkan oleh pemerintah juga mendorong terjaganya perkembangan kinerja industri tersebut di pasar domestik. Meski demikian, harga komoditas CPO internasional yang masih cenderung melemah menyababkan kenaikan produksi CPO masih relatif terbatas. Berdasarkan hasil liaison, penurunan harga tersebut dipengaruhi oleh berlangsungnya masa panen minyak nabati lainnya, seperti minyak kedelai, rapeseed dan bunga matahari, serta penurunan harga minyak dunia. Laporan Nusantara| 28 Sumber : Dinas Perkebunan Provinsi, diolah Grafik II.2.5 Produksi CPO Kalimantan Sumber: KPPBC, diolah Grafik II.2.6 Ekspor CPO Kalimantan Pada triwulan III 2014, kinerja sektor industri nonmigas diperkirakan masih mengalami peningkatan dengan terjaganya perkembangan industri CPO. Meskipun demikian peningkatan tersebut belum dapat menahan laju penurunan kinerja di industri migas. Peningkatan produksi CPO tersebut diperkirakan masih berada dalam kisaran 30%-40% dibandingkan dengan periode sebelumnya. Terjaganya permintaan dunia akan minyak nabati setelah berlalunya masa panen rapeseed, kedelai dan bunga matahari, turut mendorong peningkatan tersebut. Hal tersebut juga diperkirakan dapat mendorong peningkatan harga CPO internasional. Sementara itu, di pasar industri, kinerja industri pengolahan CPO didorong oleh tingginya penyerapan CPO untuk biodiesel. Pemerintah menargetkan penyerapan biodiesel pada tahun 2014 sebesar 4 juta kilo liter, atau meningkat dibandingkan dengan tahun 2012 dan tahun 2013, yang masing-masing sebesar 669 ribu kiloliter dan 1,07 juta kiloliter. Pengembangan industri CPO juga didorong oleh upaya hilirisasi produk CPO di Kalimantan Timur, yaitu kawasan industri pengolahan minyak sawit terpadu di Kawasan Industri dan Pelabuhan Internasional Maloy, dan investasi pabrik-pabrik pengolahan CPO baru di Kalimantan Barat. Sektor Pertanian Kinerja sektor pertanian Kalimantan pada triwulan II 2014 tumbuh melambat, terutama karena perkembangan produksi tanaman bahan makanan. Berlalunya puncak masa panen padi di Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah yang telah terjadi pada triwulan I 2014 menjadi faktor perlambatan sektor pertanian wilayah Kalimantan. Meskipun terdapat panen di Kalimantan Selatan pada periode April-Mei. Luas panen padi Kalimantan pada triwulan II 2014 diprakirakan hanya seluas 184 ribu ha, atau mengalami penurunan 2,99%(yoy). Selain itu, relatif tingginya curah hujan pada awal triwulan II 2014 memengaruhi produksi dan kualitas karet, serta masih rendahnya harga karet internasional menyebabkan menurunya produksi karet. Namun, produksi tandan buah segar (TBS) kelapa sawit mengalami peningkatan mencapai 47% seiring dengan kondisi cuaca yang mendukung pada periode enam bulan menjadi penahan perlambatan sektor pertanian. Berdasarkan hasil liaison, peningkatan produksi tersebut juga didorong oleh mulai berproduksinya lahan-lahan sawit baru. Perkembangan terkini mengindikasikan pada triwulan III 2014 sektor pertanian cenderung tumbuh meningkat. Masuknya puncak panen raya beras lokal Kalimantan di Kalimantan Selatan yang diperkirakan jatuh pada bulan Agustus 2014, serta masuknya masa panen sawit di pertengahan Tw III 2014 menjadi faktor pendorong utama meningkatnya sektor pertanian. Meskipun demikian, dengan adanya potensi kondisi cuaca ekstrim seiring fenomena el-nino yang diperkirakan terjadi pada semester II 2014 dapat membuat produksi tidak maksimal. Selain itu, dari subsektor perkebunan, terdapat risiko penurunan produksi kelapa sawit dikarenakan kurangnya pasokan pupuk berkualitas. Laporan Nusantara| 29 PERKEMBANGAN INFLASI Perkembangan inflasi di Kalimantan sampai dengan Juli 2014 kembali menunjukan tren menurun. Tingkat inflasi Kalimantan pada Juli 2014 tercatat sebesar 5,16% (yoy) yang lebih rendah dari triwulan II 2014 sebesar 7,29% (yoy). Hilangnya pengaruh kenaikan harga BBM bersubsidi pada tahun 2013 dan relatif terjaganya inflasi pada masa bulan Ramadhan dan Idul Fitri seiring peran aktif TPID dan Pemerintah Daerah memberikan pengaruh positif terhadap tingkat inflasi di Kalimantan. Meskipun demikian, tingkat inflasi di Kalimantan Barat pada awal triwulan III 2014 ini masih tercatat cukup tinggi yang disebabkan kenaikan tarif angkutan udara yang cukup signifikan. Tekanan inflasi selama triwulan III 2014 lebih banyak dipengaruhi oleh kenaikan beberapa harga komoditas pangan seperti daging ayam ras dan telur ayam ras. Kenaikan harga pada dua komoditas tersebut dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah yang melakukan pembatasan produksi DOC (Day Old Chick), kenaikan permintaan pada periode Ramadhan dan perayaan Idul Fitri pada bulan Juni dan Agustus 2014, serta efek peningkatan TTL untuk enam golongan listrik, khususnya untuk golongan rumah tangga (R1 – 1300 VA). Selain itu, pada periode ini banyak dipengaruhi oleh meningkatnya permintaan masyarakat dan tingginya penggunaan jasa transportasi udara. Kenaikan tarif angkutan udara ini bahkan menyebakan inflasi di Kalimantan Barat masih cukup tinggi kendati juga berada dalam tren yang menurun. Namun, secara keseluruhan, melimpahnya pasokan pangan seiring masuknya masa panen raya, serta relatif minimalnya kendala distribusi, cukup dapat mengimbangi kenaikan permintaan sehingga tekanan inflasi di Kalimantan cukup terkendali. Sumber: BPS, diolah Grafik II.2.7 Perkembangan Inflasi di Kalimantan Sumber: BPS, diolah Grafik II.2.8 Disagregasi Inflasi Wilayah Kalimantan Koordinasi Pengendalian Inflasi Menghadapi potensi kenaikan harga selama periode Ramadhan dan Idul Fitri, TPID di wilayah Kalimantan telah melakukan berbagai upaya untuk meredam peningkatan harga pangan. Berbagai bentuk kegiatan seperti koordinasi di level provinsi telah dilakukan semua TPID Provinsi di wilayah Kalimantan menjelang bulan Ramadhan. Selain itu, kegiatan pengendalian inflasi lainnya seperti 1) Pelaksanaan operasi pasar/pasar murah/pasar penyeimbang di semua provinsi untuk menekan harga pangan, 2) Melakukan sidak (inspeksi mendadak) pasar untuk memastikan tidak adanya kenaikan harga yang berlebihan di level pengecer dan mencegah penimbunan, 3) Melakukan himbauan kepada masyarakat agar lebih bijaksana dalam melakukan pembelian, 4) Memprioritaskan sandar kapal dan bongkar muat pelabuhan untuk barang-barang komoditas pangan strategis (Kalsel dan Kaltim), 5) Memprioritaskan pengisian BBM untuk truk yang mengangkut bahan pokok khususnya untuk operasi pasar, selama kendaraan tersebut telah didaftarkan terlebih dahulu (Kalsel). Laporan Nusantara| 30 STABILITAS SISTEM KEUANGAN DAN PENGELOLAAN SISTEM PEMBAYARAN Ketahanan Sektor Korporasi Melambatnya pertumbuhan ekonomi wilayah Kalimantan pada triwulan II 2014 juga tercermin pada perlambatan pertumbuhan kredit di Kalimantan. Kredit yang disalurkan di wilayah Kalimantan pada triwulan II 2014 mencapai Rp220,13 triliun atau tumbuh 11,41% (yoy) menurun dari pertumbuhan kredit triwulan sebelumnya yang mencapai 17,03% (yoy). Menurunnya kinerja sektor pertambangan,sektor pertanian dan PHR memengaruhi penyaluran kredit pada sektor utama. Penurunan penyaluran kredit terutama terjadi di sektor pertambangan yang tercatat tumbuh negatif sebesar 26% (yoy) seiring melemahnya aktivitas di sektor pertambangan karena melemahnya permintaan ekspor dan penerapan kebijakan pengaturan ekspor mineral. Selain itu, penurunan kinerja pertanian terutama pada subkelompok tanaman bahan makanan dan perkebunan karet menyebabkan penurunan penyaluran kredit di sektor pertanian yang tercatat tumbuh 11,41% (yoy) menurun dibandingkan dengan triwulan I 2014 sebesar 17,03% (yoy). Dari sisi kualitas kredit, hampir semua sektor masih memiliki non performing loan (NPL) dibawah 5%, kecuali di sektor konstruksi yang cenderung menunjukkan kenaikan lebih tinggi. Grafik II.2.9 Pertumbuhan Kredit Kalimantan Grafik II.2.10 NPL Kredit Perbankan Kalimantan Ketahanan Sektor Rumah Tangga Penyaluran kredit rumah tangga (konsumsi) di Kalimantan triwulan II 2014 tumbuh melambat dari 15,81% (yoy) menjadi 12,89% (yoy). Namun jika dilihat volume kredit/pembiayaan pada triwulan II 2014 mengalami sedikit peningkatan dibandingkan dengan triwulan I 2014, dari Rp59,11 triliun menjadi Rp60,76 triliun. Perlambatan terutama didisebabkan oleh penurunan kredit KPR dibawah type 70 dan kredit kendaraan bermotor (KKB), seiring diterapkannya kebijakan LTV yang ditetapkan pada pertengahan tahun 2013 dan kecenderungan naiknya suku bunga. Namun disisi lain, kredit multiguna mengalami peningkatan yang signifikan menjadi 10,3% (yoy) pada triwulan II 2014 dibandingkan dengan triwulan sebelumnya sebesar 0,7% (yoy). Dari sisi kualitas kredit, meskipun terjadi peningkatan Non Performaing Loan dari 1,41% pada triwulan I 2014 menjadi 1,58% di triwulan II 2014, namun resiko kredit sektor rumah tangga tersebut masih dalam batas aman (dibawah 5%). Laporan Nusantara| 31 Grafik II.2.11 Pertumbuhan Kredit Rumah Tangga di Grafik II.2.12 Pertumbuhan Kredit UMKM di Kalimantan Kalimantan Pembiayaan Sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) Sejalan dengan penyaluran kredit perbankan secara keseluruhan yang tumbuh melambat, kredit untuk Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) pada triwulan II 2014 tercatat 18,14% (yoy), sedikit menurun dibandingkan dengan periode sebelumnya yang tumbuh 18,55% (yoy). Secara sektoral, penurunan kinerja penyaluran kredit UMKM ini terutama ditopang oleh menurunya realisasi kredit di sektor perdagangan hotel restoran (PHR) yang tumbuh sebesar 13,55% (yoy) lebih rendah dari triwulan sebelumnya sebesar 26,55% (yoy). Pembiayaan sektor UMKM di wilayah Kalimantan kedepan diprakirakan akan kembali meningkat, seiring dengan mulai beroperasinya Perusahaan Penjamin Kredit Daerah (PPKD) di Provinsi Kalimantan Tengah, sehingga telah ada 3 PPKD yang ada di Kalimantan (Kaltim, Kalteng dan Kalsel). Pengembangan UMKM juga dilakukan oleh Bank Indonesia melalui berbagai kegiatan pemberdayaan UMKM dan edukasi kepada masyarakat umum terkait lembaga keuangan guna memperluas akses masyarakat kepada lembaga keuangan. Pengembangan UMKM yang dilaksanakan dalam aktivitas kewirausahaan dan pengembangan klaster seperti pelatihan kepada wirausaha kepada UMKM binaan (inkubator bisnis) serta klaster Kerajinan Bidai dan Anyaman Rotan di Kalimantan Barat. Pengembangan Klaster Padi, Cabe Merah dan Bawang Merah di Kalimantan Timur, Klaster Cabe, Padi Unggul, Sapi Pedaging dan Klaster Bawang Merah di Kalimantan Selatan, dan Klaster Rumput Laut dan Sarung Tenun Samarinda di Kalimantan Timur, lalu yang terakhir pengembangan klaster beras, cabai dan bawang merah di Kalimantan Tengah. Dalam setiap kegiatan klaster yang dilaksanakan juga dilengkapi dengan pemberian bantuan teknis dan penguatan kelembagaan UMKM pada klaster tersebut. Kinerja Sistem Pembayaran Perkembangan transaksi nontunai pada triwulan II 2014 masih tumbuh negatif, namun lebih baik dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Kondisi tersebut seiring dengan adanya perlambatan ekonomi wilayah Kalimantan pada triwulan I dan II 2014. Transaksi melalui RTGS pada triwulan II 2014 mencapai Rp279,40 triliun (tumbuh -6,0%, yoy), meningkat dibandingkan triwulan sebelumnya yang mencapai Rp182,67 triliun (tumbuh -29,6%, yoy) . Pada transaksi kliring terlihat adanya peningkatan dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Peningkatan baik dari sisi nominal maupun jumlah warkat transaksi (lembar). Jumlah warkat yang dikliringkan pada triwulan sebelumnya sebesar 528.715 lembar dan pada triwulan II 2014 turun menjadi 313.382. Sedangkan volume transaksi kliring pada triwulan II 2014 sebesar Rp13,19 triliun, turun dibandingkan dengan triwulan sebelumnya sebesar Rp21,80 triliun. Hal tersebut seiring dengan masih kecilnya transaksi pada awal tahun 2014 di wilayah Kalimantan. Laporan Nusantara| 32 Sementara itu, jumlah penolakan cek dan bilyet giro kosong yang ditemukan dalam transaksi kliring juga mengalami penurunan dari jumlah lembar warkat dan jumlah nominal sebesar Rp345 miliar pada triwulan II 2014 dari Rp701 miliar pada triwulan I 2014. Penurunan yang cukup signifikan dari nominal cek dan bilyet giro kosong tersebut berasal dari wilayah Kalimantan Selatan yang mengalami penurunan dari Rp386 miliar pada triwulan I 2014 menjadi Rp101 miliar pada triwulan II 2014. Grafik II.2.13 Perkembangan Inflow Outflow Grafik II.2.14 Perkembangan Transaksi Non Tunai Kinerja Pengelolaan Uang Tunai Pengelolaan uang tunai di Kalimantan pada triwulan II 2014 mengalami Net Outflow di wilayah Kalimantan dibandingkan dengan triwulan I 2014. Kondisi tersebut sejalan dengan meningkatnya kebutuhan uang masyarakat menjelang masa libur sekolah dan pelaksanaan pemilu legislatif. Kegiatan pengelolaan uang tunai Bank Indonesia di wilayah Kalimantan pada triwulan II 2014 mencatat inflow sebesar Rp5,73 triliun, turun sebesar 25,45% dibandingkan triwulan sebelumnya. Sedangkan, outflow tercatat sebesar Rp8,68 triliun, mengalami peningkatan sebesar 78,80% dibandingkan triwulan sebelumnya. Peningkatan outflow dan penurunan inflow di wilayah Kalimantan menyebabkan terjadinya netflow negatif (net outflow) sebesar Rp2,95 triliun pada triwulan II 2014. Selain itu, selama triwulan II 2014 rata-rata temuan uang kertas palsu di wilayah Kalimantan mengalami penurunan dari 532 lembar per bulan pada triwulan I 2014 menjadi 403 lembar per bulan pada triwulan laporan. Rasio temuan uang palsu dalam satuan lembar per 1 juta uang yang diedarkan mengalami penurunan pada triwulan II 2014 sebesar 0,113 dari 0,160 pada triwulan sebelumnya. PROSPEK PEREKONOMIAN Prospek Pertumbuhan Ekonomi Perkembangan terkini mengindikasikan perekonomian Kalimantan untuk keseluruhan tahun 2014 diprakirakan tumbuh di kisaran kisaran 3,3%-3,7% (yoy) atau di bawah prakiraan sebelumnya. Hal ini disebabkan oleh kinerja pertambangan yang masih terbatas seiring melemahnya permintaan barubara dari Tiongkok dan masih berlanjutnya konsolidasi di sektor tambang terkait dengan kebijakan pengaturan ekspor mineral yang berlaku sejak awal tahun 2014. Pertumbuhan ekonomi Kalimantan diperkirakan lebih banyak ditopang oleh permintaan domestik, khususnya konsumsi, yang dipengaruhi oleh membaiknya daya beli masyarakat yang didorong oleh tingkat inflasi yang diperkirakan lebih rendah dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Kegiatan investasi juga diperkirakan masih dapat tumbuh meningkat didukung pelaksanaan proyek Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), upaya hilirisasi sektor perkebunan, pembangunan smelter dan pertambangan migas Laporan Nusantara| 33 yang masih berlanjut. Sementara itu, dari sisi sektoral, perekonomian Kalimantan masih didorong oleh tiga sektor utamanya, yaitu sektor pertanian, sektor pertambangan serta sektor industri pengolahan; terutama meningkatnya kinerja sektor industri pengolahan seiring bertambahnya pabrik CPO di Kalimantan Barat dan mulai beroprasinya pabrik pemurnian logam di Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan. Selain itu, meningkatnya permintaan barubara dari dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan PLTU berpotensi untuk mengkompensasi penurunan permintaan batubara Tiongkok. Kedepan, terdapat beberapa faktor risiko yang berpotensi semakin memperlambat laju pertumbuhan tahun 2014. Belum pulihnya perekonomian Tiongkok dengan kecenderungan memburuk dan adanya rencana penerapan beberapa ijin ekspor dan biaya royalti hasil tambang batubara, berpotensi untuk semakin menekan kinerja sektor pertambangan. Selain itu, resiko tidak beroperasinya pabrik pemurnian logam sesuai dengan target waktu akibat kendala pembangunan dan perijinan dapat semakin menekan sektor pertambangan dan menghambat kinerja sektor industri pengolahan. Untuk sektor pertanian, terjadinya El-Nino dengan intensitas moderat-tinggi pada semester II 2014 dapat mempengaruhi kinerja sektor pertanian. Prospek Inflasi Dengan mencermati perkembangan terakhir, tingkat inflasi tahunan di wilayah Kalimantan pada tahun 2014 diperkirakan masih dalam kisaran perkiraan sebelumnya yaitu 5,3%-5,7 % (yoy). Tingkat inflasi tersebut lebih rendah dari tahun sebelumnya yang tercatat sebesar 8,7% (yoy). Tekanan inflasi pada semester II 2014 diperkirakan bersumber pada kelompok bahan makanan seiring berlalunya musim panen komoditas pangan strategis dan adanya potensi El-Nino yang dapat menghambat produksi pertanian. Selain itu, kebijakan kenaikan TTL, terutama golongan rumah tangga, yang dilakukan secara bertahap pada semester II 2014 akan membarikan tekanan inflasi dar kelompok administered price. Beberapa faktor risiko yang berpotensi memicu inflasi tahun 2014 menjadi lebih tinggi dari perkiraan terutama bersumber dari beberapa hal sebagai berikut: 1) kondisi cuaca yang relatif sulit diprediksi seperti sampai dengan pertengahan tahun masih sering terjadi hujan, yang akan berpengaruh pada produksi hortikultura (sayuran dan buah-buahan) dikarenakan menimbulkan wabah ulat dan meningkatnya rontok bunga sebelum berkembang menjadi buah, 2) kebijakan pembatasan penjualan BBM bersubsidi untuk mengamankan kuota APBNP 2014 yang mulai berlaku per 1 Agustus 2014, yang berpotensi untuk meningkatkan tarif angkutan barang dan orang, dan 3) rencana pemerintah untuk menyesuaikan tarif batas atas angkutan udara pasca-lebaran yang berpotensi akan semakin memberikan tekanan inflasi pada Kalimantan Barat dan Kalimantan Selatan, yang tingkat inflasinya sangat dipengaruhi oleh tarif angkutan udara. Laporan Nusantara| 34 Tabel II.2.2. Prakiraan Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi Kalimantan Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi Wilayah PDRB (%,yoy) 2011 2012 5,0 2013 2014 I II III IV Total I II IIIp IVp Totalp 4,8 2,9 3,5 3,8 3,8 3,5 3,8 3,3 3,4 3,3-3,7 3,3-3,7 Sisi Permintaan Konsumsi 6,5 7,0 7,1 6,7 6,5 6,7 6,7 6,9 7,0 7,2 6,5-6,9 6,7-7,1 Konsumsi swasta 6,3 7,1 7,3 6,7 5,7 6,0 6,4 6,7 6,1 6,3 6,1-6,5 6,1-6,5 Konsumsi Pemerintah 7,3 6,5 6,6 6,5 9,2 8,8 7,8 7,5 9,9 10,3 7,8-8,2 8,7-9,1 7,9 9,8 7,9 6,4 5,7 5,9 6,5 4,9 5,5 6,9 6,8-7,2 5,9-6,3 Ekspor 5,2 3,0 4,7 3,9 7,1 4,3 5,0 (3,9) (3,8) (4,1) (3,8)-(3,4) (4,0)-(3,6) Impor 8,4 8,7 8,7 7,4 13,0 8,7 9,4 (3,7) (1,7) (2,7) (4,5)-(4,1) (3,3)-(2,9) Sektor pertanian 4,7 4,4 2,6 5,7 3,9 6,4 4,6 5,1 2,8 3,7 3,9-4,3 3,7-4,1 Sektor pertambangan & penggalian 6,7 4,8 0,7 1,4 0,2 0,1 0,6 0,4 (0,9) (0,1) (0,3)-0,1 Industri pengolahan (3,7) (3,5) (3,1) (3,5) 0,9 (1,0) (1,7) 0,3 1,7 (0,4) 0,0-9,4 (0,1)-0,3 Listrik, gas & air bersih 8,7 7,3 5,9 5,4 4,7 4,8 5,2 4,4 4,6 5,2 5,2-5,6 4,7-5,1 Bangunan 9,8 11,6 10,6 8,2 6,7 7,4 8,1 7,5 8,3 6,4 5,5-5,9 6,7-7,1 Perdagangan, hotel & restoran 8,5 8,2 5,2 6,6 7,2 6,8 6,5 6,6 5,9 6,9 6,3-6,7 6,3-6,7 Pengangkutan & komunikasi 8,9 9,2 7,4 7,4 8,2 8,2 7,8 7,8 7,7 7,6 7,1-7,5 7,4-7,8 Keuangan, persewaan dan jasa perush. 10,1 12,6 13,1 12,1 10,0 9,2 11,0 9,4 10,0 10,0 8,8-9,2 9,4-9,8 Jasa-jasa 8,5 8,5 7,6 6,6 8,9 8,4 7,9 7,8 6,3 6,8 6,5-6,9 6,7-7,1 5,3 5,8 6,0 6,3 8,4 8,6 8,6 7,3 7,6 5,0 5,3-5,7 5,3-5,7 Pembentukan Modal Tetap Bruto Sisi Produksi Inflasi IHK (%,yoy) 0,2-0,6 Sumber: Badan Pus at Statis tik, diolah p proyeks i Bank Indones ia Laporan Nusantara| 35 Bagian II.3 Perekonomian Bali dan Nusa Tenggara PERTUMBUHAN EKONOMI Perekonomian wilayah Bali dan Nusa Tenggara (Bali-Nustra) pada triwulan II 2014 tumbuh sebesar 4,9% (yoy), melambat dibandingkan dengan pertumbuhan triwulan sebelumnya yang mencapai 5,3% (yoy). Perlambatan tersebut terutama disebabkan oleh melambatnya pertumbuhan ekonomi di Nusa Tenggara Barat (NTB) yang cukup dalam yakni hingga berada di bawah 3%. Sementara itu, perekonomian Bali yang masih tumbuh meningkat dan stabilnya pertumbuhan perekonomian Nusa Tenggara Timur (NTT) relatif dapat menopang kinerja perekonomian wilayah Bali-Nustra secara keseluruhan. Memasuki triwulan III 2014, perkembangan ekonomi di wilayah Bali-Nustra diprakirakan masih cenderung tumbuh melambat pada kisaran yang lebih dalam yakni 2,3% (yoy). Prakiraaan terus melambatnya kinerja pertumbuhan ekonomi disebabkan terutama oleh kontraksi yang lebih dalam di sektor pertambangan karena terhentinya operasional kegiatan penambangan di NTB sejak Juni 2014, sebagai dampak dari tidak dapatnya dilakukan ekspor mineral. Pertumbuhan ekonomi pada triwulan III 2014 lebih ditopang oleh konsumsi rumah tangga yang masih tumbuh cukup kuat seiring dengan peningkatan kinerja pariwisata di Bali. Konsumsi Konsumsi Rumah Tangga Konsumsi rumah tangga triwulan II 2014 tumbuh melambat dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Pertumbuhan konsumsi rumah tangga melambat dari 6,4% menjadi sebesar 4,9% (yoy). Perlambatan tersebut terjadi di NTB dan NTT, sementara pertumbuhan konsumsi rumah tangga di Bali masih tercatat tumbuh meningkat. Perlambatan konsumsi rumah tangga ini sejalan dengan perkembangan kredit konsumsi yang tumbuh melambat dari 16,5% menjadi sebesar 15,6% (yoy) (Grafik II.3.1). Selain itu, terhentinya aktivitas pertambangan di NTB diperkirakan juga turut memengaruhi tingkat konsumsi rumah tangga NTB. Hal tersebut tercermin dari Indeks Tendensi Konsumen (ITK) NTB yang menurun dari 111,6 menjadi sebesar 110,7 (Grafik II.3.2). Pada triwulan III 2014, konsumsi rumah tangga terindikasi kembali mengalami peningkatan dibandingkan dengan pertumbuhan triwulan sebelumnya. Meningkatnya konsumsi dipengaruhi oleh peningkatan jumlah kunjungan wisatawan mancanegara, masa liburan sekolah di bulan Juli, dan libur panjang Idul Fitri di bulan Agustus. Meski demikian, terhentinya aktivitas produksi penambangan diperkirakan masih akan berimbas pada pendapatan masyarakat, terutama di NTB, sehingga pada gilirannya akan menahan aktivitas konsumsi lebih lanjut. Laporan Nusantara| 36 Grafik II.3.1. Penyaluran Kredit Konsumsi Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah Grafik II.3.2. Indeks Tendensi Konsumen Konsumsi Pemerintah Konsumsi pemerintah pada triwulan II 2014 tumbuh melambat cukup dalam dari 7,3% menjadi sebesar 3,7% (yoy). Perlambatan tersebut dipicu oleh melambatnya pertumbuhan konsumsi pemerintah Bali dan NTB. Pada Tabel II.3.1 terlihat bahwa realisasi belanja pemerintah triwulan II 2014 jauh lebih rendah dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya. Kondisi ini diperkirakan terkait dengan bergesernya realisasi penyaluran gaji ke-13 dan adanya penundaan penyaluran dana bantuan sosial hingga berakhirnya pelaksanaan Pemilu. Pertumbuhan konsumsi pemerintah diperkirakan kembali meningkat pada triwulan III 2014. Penyerapan anggaran terkait dengan realisasi gaji ke 13 pada bulan Juli 2014 diperkirakan berdampak positif bagi peningkatan pertumbuhan konsumsi pemerintah triwulan III 2014. Selain itu, pertumbuhan konsumsi pemerintah NTB juga diperkirakan meningkat seiring dengan peningkatan pengeluaran belanja infrastruktur pemerintah pada triwulan berjalan. Namun, pertumbuhan konsumsi pemerintah NTT diperkirakan sedikit melambat pada triwulan berjalan. Tabel II.3.1. Realisasi APBD Bali-Nustra Triwulan II Item Pendapatan Daerah Pendapatan Pajak Daerah Belanja Daerah Belanja Tidak Langsung Belanja Modal Realisasi Provinsi Bali Tw II (%) Realisasi Provinsi NTB Tw II (%) Realisasi Provinsi NTT Tw II (%) 2011 2012 2013 2014 2011 2012 2013 2014 2011 2012 2013 2014 51.5 51.7 56.0 56.5 47.2 51.7 44.7 22.3 47.2 51.9 53.0 51.3 50.0 50.9 59.0 55.8 49.4 54.3 47.2 17.4 44.1 55.4 45.9 34.0 19.3 22.7 28.9 28.2 24.9 35.3 31.9 14.3 31.7 33.8 42.4 34.8 22.0 26.0 32.0 30.6 30.9 34.7 37.8 13.1 37.2 37.9 45.8 23.9 2.7 7.0 18.0 10.5 26.0 26.0 10.9 1.2 12.9 15.7 23.5 20.3 Investasi Kinerja investasi wilayah Bali-Nustra triwulan II 2014 kembali mengalami kontraksi sebesar 1,7% (yoy), meski tidak sedalam kontraksi yang terjadi pada periode sebelumnya yang mencapai 2,8% (yoy). Kontraksi pertumbuhan tersebut khususnya terjadi di Bali dan NTB, sedangkan pertumbuhan investasi NTT masih tumbuh positif. Untuk provinsi Bali, tingginya realisasi investasi triwulan II 2013 menjelang KTT APEC menyebabkan pertumbuhan investasi mengalami kontraksi pada triwulan II 2014 (faktor base effect). Sementara menurunnya kinerja investasi di NTB terkait dengan berakhirnya fase pelebaran dinding tambang produsen utama tembaga. Kontraksi tersebut tercermin pada pertumbuhan penyaluran kredit investasi Bali-Nustra yang masih menunjukkan trend perlambatan dari 35,9% menjadi Laporan Nusantara| 37 sebesar 20,4% (yoy) (Grafik II.3.3). Selain itu, pertumbuhan impor barang modal juga terus menunjukkan kecenderungan yang melambat salama triwulan II 2014 (Grafik II.3.4). Pada triwulan III 2014, investasi wilayah Bali-Nustra diperkirakan kembali tumbuh positif dan meningkat dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Peningkatan investasi tersebut diperkirakan terjadi di Bali dan NTB, sedangkan investasi NTT diperkirakan tumbuh melambat karena proyek-proyek yang dananya bersumber dari pihak swasta sebagian besar telah memasuki tahap pengerjaan. Peningkatan kinerja investasi didukung oleh pembangunan hotel dan sarana penunjang kepariwisataan, serta beberapa proyek infrastruktur pemerintah berskala besar. Prospek pembangunan kondominium-hotel (kondotel) di Bali pun semakin baik seiring dengan prospek pertumbuhan wisatawan baik mancanegara maupun nusantara. Beberapa proyek pembangunan kondotel baru akan dibangun di daerah Ungasan, Nusa Dua, Tanjung Benoa, serta Pecatu, yang belakangan menjadi salah satu destinasi utama wisatawan. Selain itu di provinsi Bali, pembangunan infrastruktur yang masih berlanjut antara lain penambahan dermaga di Gilimanuk dari dua dermaga menjadi empat dermaga dan penyelesaian renovasi terminal kedatangan domestik di Bandara Ngurah Rai, serta perbaikan beberapa jalan menjelang Lebaran pada bulan Juli. Sementara itu, di NTB, pengerjaan bypass BIL dan bendungan rababakka, serta penyelesaian bendungan pandan duri diperkirakan juga menjadi faktor pendorong peningkatan investasi Bali-Nustra triwulan III 2014. Grafik II.3.3. Penyaluran Kredit Investasi Grafik II.3.4. Perkembangan Impor Barang Modal Perdagangan Luar Negeri Ekspor Kinerja ekspor luar negeri Bali-Nustra triwulan II 2014 cenderung menurun lebih dalam dibandingkan dengan periode triwulan sebelumnya (Grafik II.3.5). Berlanjutnya kontraksi ekspor terutama disebabkan oleh penurunan ekspor biji tembaga, seiring dengan larangan ekspor mineral mentah yang diterapkan sejak awal tahun 2014 (Grafik II.3.6). Tidak dapat dilakukannya ekspor biji tembaga sejak Februari 2014 menyebabkan pangsa ekspor biji tembaga pada triwulan II 2014 semakin menurun, dari 32% di tahun sebelumnya menjadi hanya 8%. Pengiriman biji tembaga dilakukan hanya sebatas pengiriman domestik ke perusahaan smelter di Jawa Timur. Selain itu, perlambatan ekspor luar negeri Bali-Nustra juga dipengaruhi oleh melambatnya kinerja ekspor komoditas utama lainnya seperti pakaian jadi, kayu olahan, barang dari logam dan mulia, serta ikan olahan. Laporan Nusantara| 38 Grafik II.3.5. Perkembangan Nilai Ekspor Grafik II.3.6. Ekspor Konsentrat Tembaga Kecenderungan kontraksi kinerja ekspor diperkirakan masih berlanjut pada triwulan III 2014. Ekspor biji tembaga di NTB diperkirakan mencatat kontraksi pertumbuhan. Pengiriman yang dilakukan diperkirakan hanya pengiriman berskala domestik untuk menghabiskan stok yang ada. Selain itu, kinerja ekspor luar negeri dari Bali dan NTT diperkirakan juga sedikit mengalami perlambatan. Berdasarkan hasil liaison ke beberapa pelaku usaha perikanan dan industri pengolahan ikan, masalah pasokan masih mejadi kendala tersendiri sepanjang tahun 2014. Pesimisme terhadap ketersediaan bahan baku ikan lokal ke depan, serta persaingan yang semakin ketat, khususnya dari negara TIongkok dan Thailand diperkirakan menghambat kinerja ekspor perikanan. Selain itu, ekspor pakaian jadi, yang memiliki pangsa terbesar dalam total ekspor Bali-Nustra, diperkirakan menunjukkan penurunan kinerja, seiring dengan menurunnya permintaan dari Amerika Serikat dan Perancis. Impor Sejalan dengan perkembangan ekspor, pertumbuhan impor triwulan II 2014 juga mengalami perlambatan dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Selama periode April-Juni 2014, impor secara kumulatif tercatat mengalami penurunan 35,9% (yoy) dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya (Grafik II.3.7). Penurunan terutama terjadi untuk impor bahan mentah (raw material) serta impor barang modal (capital goods) yang memiliki pangsa masing-masing sebesar 60,3% dan 28,4% terhadap total impor (Grafik II.3.8). Penurunan tersebut juga sejalan dengan melambatnya pertumbuhan investasi pada triwulan II 2014. Memasuki triwulan II 2014, pertumbuhan impor dari luar negeri yang masuk ke Bali-Nustra triwulan III 2014 diperkirakan mengalami peningkatan dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Hal ini dipengaruhi oleh adanya indikasi peningkatan kegiatan investasi pada triwulan III 2014, terutama untuk infrastrutur. Proyek pembangunan bypass BIL serta bendungan rababakka di NTB diperkirakan akan berdampak pada peningkatan impor, khususnya impor barang modal (capital goods) maupun bahan material (raw material). Selain itu, semakin maraknya pembangunan hotel dan kondotel di Bali diperkirakan juga akan meningkatkan pertumbuhan impor triwulan III 2014. Laporan Nusantara| 39 Grafik II.3.7. Perkembangan Nilai Impor Grafik II.3.8. Impor menurut Penggunaan Kinerja Sektor Utama Daerah Sektor Perdagangan, Hotel, dan Restoran (PHR) Pertumbuhan sektor PHR pada triwulan II 2014 meningkat dibandingkan dengan pertumbuhan triwulan sebelumnya. Pertumbuhan sektor PHR mencapai 8,1% (yoy), lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan sebelumnya yang sebesar 6,4% (yoy). Masuknya peak season musim panas pada bulan Mei 2014 mendorong peningkatan pertumbuhan kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) dari 14,4% (yoy) menjadi sebesar 17,0 (yoy) (Grafik II.3.9). Selain itu, masuknya musim liburan sekolah di bulan Juni 2014 juga mendorong peningkatan kunjungan wisatawan nusantara triwulan II 2014. Masuknya bulan Ramadhan pada bulan Juni juga mendorong berbagai event maupun aktivitas perdagangan, khususnya di provinsi NTB. Sejalan dengan hal tersebut, hasil Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) juga menunjukkan adanya peningkatan realisasi kegiatan usaha pada triwulan II 2014 (Grafik II.3.10). Peningkatan aktivitas perdagangan juga terjadi di NTB, khususnya menjelang masuknya bulan Ramadhan. Selain itu, diselenggarakannya Festival Komodo di NTT pada bulan Mei 2014 juga mendorong kinerja sektor PHR triwulan II 2014. Pertumbuhan sektor PHR triwulan III 2014 diperkirakan sedikit melambat dibandingkan dengan pertumbuhan triwulan sebelumnya. Perlambatan tersebut diperkirakan terjadi di provinsi Bali dan NTB pasca-puncak aktivitas kunjungan pariwisata pada triwulan II 2014. Selain itu dari sisi perdagangan, adanya penurunan kuota tembakau rakyat di NTB diperkirakan menurunkan aktivitas perdagangan, khususnya untuk perdagangan komoditas pertanian. Sumber: Dinas Pariwisata Provinsi Bali, diolah Grafik II.3.9. Jumlah Kunjungan Wisman ke Bali Grafik II.3.10. Hasil SKDU – Sektor PHR Laporan Nusantara| 40 Sektor Pertanian Pertumbuhan sektor pertanian di wilayah Bali-Nustra pada triwulan II 2014 melambat dibandingkan dengan triwulan sebelumnya, yakni dari 2,6% menjadi sebesar 1,5% (yoy). Perlambatan tersebut terjadi di seluruh provinsi di wilayah Bali-Nustra. Bergesernya musim panen raya di NTB dari bulan April – Mei ke Maret menyebabkan pertumbuhan sektor pertanian triwulan II 2014 cenderung melambat. Selain itu, kontraksi pertumbuhan subsektor tanaman bahan makanan (tabama) Bali juga mendorong perlambatan sektor pertanian Bali-Nustra. Namun dari sisi kredit, pertumbuhan penyaluran kredit sektor pertanian kembali menunjukkan peningkatan. Pada triwulan III 2014, pertumbuhan sektor pertanian diperkirakan kembali menunjukkan peningkatan dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Peningkatan pertumbuhan tersebut didorong oleh meningkatnya kinerja pertanian di Bali dan NTT, sedangkan sektor pertanian NTB diperkirakan tumbuh stabil. Untuk provinsi Bali dan NTT, membaiknya kondisi cuaca pada triwulan III 2014 diperkirakan akan meningkatkan kinerja subsektor perikanan dan perkebunan, yang pada akhirnya berdampak pada peningkatan sektor pertanian. Khusus di NTT, Angka Ramalan (ARAM I) menunjukkan adanya peningkatan produktivitas untuk tanaman padi sawah maupun padi ladang. Selain itu, luas tanam padi dan jagung di beberapa daerah di wilayah Bali-Nustra diperkirakan akan mengalami peningkatan yang cukup besar sehingga berpotensi meningkatkan produksi pada triwulan III 2014. Sedangkan di NTB, masuknya musim panen raya tembakau serta musim panen raya padi ke dua pada triwulan III 2014 berpotensi meningkatkan pertumbuhan sektor pertanian, namun adanya penurunan kuota tembakau rakyat diperkirakan akan menahan peningkatan pertumbuhan sektor pertanian. Sektor Pertambangan dan Penggalian Pertumbuhan sektor pertambangan mengalami kontraksi pada triwulan II 2014 sebesar 8,2% (yoy). Penerapan kebijakan pengaturan ekspor mineral dan belum tercapainya kesepakatan antara produsen utama tembaga NTB dan pemerintah menyebabkan pengiriman tembaga ke luar negeri belum dapat terealisasi. Produksi tambang tembaga diperkirakan mengalami penurunan hingga sekitar 54,7% dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya. Di samping itu, kapasitas gudang yang sudah penuh, serta terkendalanya realisasi pengiriman domestik ke perusahaan smelter di Gresik akibat daya tampung yang juga terbatas, menyebakan dilakukannya penyesuaian operasional kegiatan produksi. Bahkan sejak Juni 2014, produksi tembaga di NTB tidak dapat dilakukan. Pada triwulan III 2014, pertumbuhan sektor pertambangan diperkirakan akan mengalami penurunan lebih dalam. Penghentian kegiatan operasional tambang di NTB sejak Juni 2014 menjadi faktor utama yang akan menyebabkan kontraksi pertumbuhan sektor ini lebih dalam pada triwulan III 2014. Dalam jangka pendek, proses konsolidasi terkait pelaksanaan kebijakan pengaturan ekspor mineral terutama untuk tembaga di Bali-Nustra akan memengaruhi perekonomian wilayah secara keseluruhan. Namun, dalam jangka panjang, konsistensi terhadap penerapan kebijakan ini dan langkah upaya untuk mendorong peningkatan nilai tambah hasil SDA akan berdampak positif bagi perekonomian Bali-Nustra. Laporan Nusantara| 41 PERKEMBANGAN INFLASI Inflasi wilayah Bali-Nustra pada triwulan II 2014 sedikit meningkat dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yakni dari 6,6% menjadi sebesar 6,8% (yoy). Peningkatan tekanan inflasi terutama terjadi di Bali dan NTT, sementara inflasi di NTB tercatat mengalami penurunan (Grafik II.3.11). Berdasarkan disagregasinya, peningkatan tekanan inflasi terutama didorong oleh kelompok inti (core inflation) sebagai dampak penyesuaian harga obat-obatan, kontrak rumah, serta kendaraan bermotor yang terjadi di Bali dan NTT pada awal triwulan II 2014. Namun, laju inflasi Bali-Nustra tertahan oleh mulai berlalunya dampak kenaikan BBM bersubsidi yang terjadi pada Juni tahun 2013 silam. Kelompok volatile foods juga melandai seiring dengan meningkatnya pasokan pada masa panen raya beras, disertai dengan kondisi cuaca yang kondusif serta terjaganya kelancaran distribusi (Grafik II.3.12). Selain itu, respons pemerintah dalam menjaga kelancaran pasokan pangan juga berkontribusi positif terhadap stabilitas harga pangan di Bali-Nustra. Pada triwulan III 2014, tekanan inflasi Bali-Nustra diperkirakan melandai seiring dengan hilangnya dampak kenaikan BBM bersubsidi. Namun, masih terdapat beberapa faktor risiko yang berpotensi memberikan tekanan inflasi pada triwulan III tahun 2014. Dari sisi domestik, tekanan inflasi bersumber dari kondisi cuaca yang kurang mendukung (El Nino) yang berpotensi memengaruhi produktivitas pertanian, bertambahnya cakupan rumah tangga yang terkena tarif tenaga listrik yang baru per Juli (1300 VA-5500 VA), adanya rencana perubahan tarif batas atas tarif angkutan udara yang akan diberlakukan setelah Lebaran, penyesuaian LPG 12 kg, serta potensi Kebijakan Kementerian Perdagangan (Kemendag) untuk pengaturan supply Day Old Chick (DOC) yang berpotensi meningkatkan harga daging ayam dan telur ayam. Dari sisi eksternal, masih berfluktuasinya nilai tukar rupiah akan berdampak pada kenaikan harga bahan baku (khususnya terkait impor) yang pada tahap selanjutnya akan berimbas pada kenaikan harga jual barang dan jasa. Sumber : Badan Pusat Statistik, diolah Grafik II.3.11. Perkembangan Inflasi Bali-Nustra Sumber : Badan Pusat Statistik, diolah Grafik II.3.12. Disagregasi Inflasi Bali-Nustra Koordinasi Pengendalian Inflasi Sebagai wadah dan sarana untuk mengendalikan inflasi, Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) di wilayah Bali-Nustra secara konsisten terus melakukan peningkatan upaya nyata dalam menjaga stabilitas harga barang dan jasa di daerah. Upaya penguatan koordinasi dilakukan melalui Rapat Koordinasi Wilayah (Rakorwil) pada awal triwulan II 2014 di NTB. Rakorwil merumuskan kesepakatan Laporan Nusantara| 42 langkah-langkah kolaboratif pengendalian inflasi berdasarkan lima pilar TPID (Produksi dan Distribusi, Kelembagaan, Regulasi, Edukasi, serta Kajian). Selain itu, rapat juga merumuskan sasaran inflasi di masing-masing provinsi sehingga dapat mendukung pencapaian sasaran inflasi nasional. Dalam rangka mengantisipasi besarnya tekanan inflasi pada triwulan III 2014, TPID Bali-Nustra secara berkesinambungan melaksanakan langkah 4K (ketersediaan pasokan, keterjangkauan harga, kelancaran distribusi, dan komunikasi). Beberapa kegiatan yang telah dilaksanakan diantaranya sidak ke berbagai pasar modern dan tradisional, gudang distributor dan gudang BULOG; peningkatan infrastruktur perhubungan; pasar murah serta kegiatan komunikasi dengan masyarakat melalui media massa dalam rangka menjaga ekspektasi masyarakat. STABILITAS SISTEM KEUANGAN DAN PENGELOLAAN SISTEM PEMBAYARAN Ketahanan Sektor Korporasi Kinerja pembiayaan perbankan di wilayah Bali-Nustra cenderung mengalami perlambatan sejak awal tahun 2013. Pada triwulan II 2014, kredit perbankan tercatat melambat dari 20,0% menjadi 17,0% (yoy) (Grafik II.3.13). Perlambatan ekspansi kredit perbankan ini diindikasikan sebagi dampak dari perlambatan pertumbuhan ekonomi dan kecenderungan peningkatan suku bunga perbankan. Di sisi lain, risiko kredit masih terjaga walaupun terdapat indikasi kenaikan Non Performing Loan (NPL) dari 1,1% pada triwulan I 2014 menjadi 1,7% pada triwulan II 2014. Penyaluran pembiayaan kepada sektor utama Bali-Nustra memiliki kecenderungan yang sejalan dengan pembiayaan secara umum. Struktur pembiyaan produktif masih sangat didominasi oleh pembiayaan untuk kegiatan sektor perdagangan dan perhotelan yang mencapai 62,0% dari total kredit produktif. Kinerja pembiayaan subsektor perdagangan relatif terjaga, hal ini tercermin dari tingkat NPL yang masih stabil sebesar 1,5% pada periode laporan. Sumber kerentanan diperkirakan berasal dari sektor penyediaan akomodasi dan pertambangan yang mulai mengalami kenaikan NPL meski masih dalam batas aman. Grafik II.3.13. Penyaluran Kredit Bali-Nustra Grafik II.3.14. Kredit Sektor Rumah Tangga Ketahanan Sektor Rumah Tangga Pembiayaan sektor rumah tangga memiliki kecenderungan yang melambat (Grafik II.3.14). Pemberlakukan kebijakan loan to value (LTV) tahap kedua pada September 2013 dan kecenderungan peningkatan suku bunga sejak pertengahan tahun 2013 diperkirakan menjadi salah satu faktor penahan Laporan Nusantara| 43 laju pertumbuhan pembiayaan sektor rumah tangga. Walaupun memiliki kecenderungan melambat, pembiayaan sektor rumah tangga memiliki risiko kredit yang terjaga dan rendah. Hal ini ditengarai sebagai akibat dari proses pemilihan debitur yang cukup ketat. Risiko kredit, yang tercermin dari rasio NPL sektor rumah tangga pada triwulan II 2014 tercatat sebesar 0,71%, relatif terjaga dalam beberapa tahun terakhir. Risiko kredit yang rendah ini juga terjadi di seluruh provinsi di wilayah Bali-Nustra. Meskipun terdapat perbedaan karakteristik dan struktur ekonomi, terdapat indikasi bahwa penyaluran kredit sektor rumah tangga di provinsi Bali, NTB, dan NTT memiliki pola yang sama baik dalam konsentrasi porsi pembiayaan yang dialokasikan untuk sektor rumah tangga maupun dari sebaran debiturnya. Hal ini menjadi alasan kinerja kredit sektor rumah tangga dapat dikatakan sama pada triwulan II 2014. Pembiayaan Sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) Perkembangan pembiayaan sektor UMKM di wilayah Bali-Nustra pada triwulan II 2014 tercatat mengalami perlambatan, walaupun masih tumbuh di atas level pertumbuhan kredit secara umum. Perlambatan kredit UMKM terutama terjadi pada kredit untuk golongan debitur menengah dan kecil. Sementara itu, kredit untuk kelompok debitur mikro cenderung mengalami peningkatan yang cukup tinggi (Grafik II.3.15). Peningkatan pada kredit mikro terutama didorong oleh ekspansi perbankan yang mampu meningkatkan debitur kredit sektor ini. Walaupun secara umum kredit UMKM mengalami perlambatan, risiko kredit terindikasi meningkat. Hal ini tercermin dari peningkatan rasio NPL kredit yang meningkat dibandingkan dengan triwulan sebelumnya (Grafik II.3.16). Sementara itu, kredit untuk kelompok debitur mikro tercatat mengalami peningkatan yang cukup tajam dibandingkan dengan posisi akhir tahun 2013. Grafik II.3.15. Perkembangan Kredit UMKM Grafik II.3.16. Perkembangan NPL Kredit UMKM Kinerja Sistem Pembayaran Volume transaksi ekonomi melalui sarana RTGS tercatat mengalami peningkatan pada triwulan II 2014 dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Volume transaksi RTGS meningkat dari Rp134,7 triliun menjadi sebesar Rp 142,8 miliar. Peningkatan volume transaksi RTGS terjadi di NTB dan NTT, sedangkan volume transaksi RTGS di Bali cenderung menunjukkan penurunan. Hal tersebut menunjukkan bahwa kegiatan transaksi nontunai di wilayah Bali-Nustra menunjukkan peningkatan dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Perkembangan RTGS dapat dilihat pada Grafik II.3.17. Laporan Nusantara| 44 Grafik II.3.17. Perkembangan RTGS Grafik II.3.18. Perkembangan Net Inflow-Outflow Kinerja Pengelolaan Uang Tunai Perkembangan peredaran uang pada triwulan II 2014 masih didominasi oleh aliran inflow. Jumlah net inflow yang tercatat mencapai Rp 4,49 triliun (Grafik II.3.18). Perkembangan net inflow-outflow dalam dua tahun terkahir menunjukkan pola yang sejalan dengan kecenderungan pertumbuhan ekonomi wilayah. Hal ini menunjukkan bahwa aliran uang kartal di Bank Indonesia juga dipengaruhi oleh dinamika perkembangan ekonomi. Sejalan dengan peningkatan jumlah inflow, Pemberian Tanda Tidak Berharga (PTTB) pada uang kartal selama triwulan II 2014 juga cenderung meningkat. PROSPEK PEREKONOMIAN Prospek Pertumbuhan Ekonomi Perkembangan terakhir mengindikasikan pertumbuhan ekonomi Bali-Nustra tahun 2014 cenderung tumbuh di bawah prakiraan sebelumnya, yakni menjadi di kisaran 3,4% – 3,9% (yoy). Perkembangan aktivitas di sektor pertambangan dan penggalian, yang mengalami kontraksi cukup dalam karena terhentinya kegiatan produksi, menjadi sumber utama yang menyebabkan lebih rendahnya capaian pertumbuhan ekonomi Bali-Nustra. Sektor bangunan diperkirakan juga tumbuh melambat seiring dengan berkurangnya aktivitas investasi bangunan pada tahun 2014 serta menurunnya pembangunan properti dikarenakan tingginya harga lahan, khususnya di provinsi Bali. Investasi bangunan diperkirakan juga belum menunjukkan kenaikan yang lebih tinggi pasca-booming investasi tahun sebelumnya. Pertumbuhan ekonomi wilayah Bali-Nustra lebih banyak ditopang oleh konsumsi, seiring dengan perkiraan meningkatnya aktivitas pariwisata sepanjang tahun 2014. Prospek Inflasi Masih sejalan dengan yang disampaikan pada triwulan sebelumnya, tekanan inflasi pada tahun 2014 diperkirakan akan lebih terkendali dan berangsur kembali ke pola normalnya. Risiko inflasi pada tahun 2014 dipengaruhi oleh faktor cuaca dan tekanan dari sisi eksternal. Beberapa kebijakan pemerintah seperti kenaikan harga LPG dan Tarif Tenaga Listrik (TTL) juga turut memberikan tekanan pada inflasi administered prices. Peningkatan Tarif Tenaga Listrik (TTL) industri diperkirakan akan memengaruhi harga komoditas industri olahan yang disebabkan oleh relatif tingginya kenaikan TTL yaitu sebesar 38,9% untuk industri golongan III dan 64,7% untuk industri golongan IV. Sementara itu, faktor penahan inflasi diperkirakan berasal dari membaiknya ekspektasi masyarakat terhadap dinamika harga di tahun Laporan Nusantara| 45 2014, ketersediaan stok komoditas pangan, kebijakan impor, dan respons terhadap dampak bencana yang cukup efektif. Pada tahun 2014, pemerintah daerah juga fokus pada upaya peningkatan produksi pangan dan peningkatan kelancaran distribusi serta kerjasama antardaerah. Tabel II.3.2. Prakiraan Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi Bali dan Nusa Tenggara Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi Wilayah PDRB (%,yoy) 2014 2011 2012 2013 3.2 4.2 5.8 5.3 4.9 2.4 1.6-2.1 3.4-3.9 6.7 4.2 6.7 6.5 4.7 8.4 7.8-8.3 6.7-7.2 6.4 4.3 5.6 6.4 4.9 7.8 6.5-7.0 6.2-6.7 I p II III IV p p Total Sisi Permintaan Konsumsi Konsumsi swasta Konsumsi Pemerintah 8.1 3.9 12.1 7.3 3.7 10.9 13.1-13.6 8.9-9.4 10.0 15.0 7.9 (2.8) (1.7) 3.8 2.7-3.2 0.3-0.8 Ekspor 2.7 2.5 8.0 11.1 6.2 2.7 6.2-6.7 6.2-6.7 Impor 10.2 5.9 12.7 14.4 9.4 8.8 10.5-11.0 10.5-11.0 2.4 4.2 2.3 2.6 1.5 1.9 2.3-2.8 1.9-2.4 (24.3) (23.7) 6.8 0.7 (8.2) (58.1) (62.2)-(62.7) (33.0)-(33.5) Industri pengolahan 3.1 5.6 5.9 6.3 6.3 6.7 7.1-7.6 6.4-6.9 Listrik, gas & air bersih 7.9 8.5 8.6 4.7 7.4 5.3 4.4-4.9 5.2-5.7 Bangunan 6.6 10.3 5.5 2.5 3.6 3.9 2.4-2.9 2.9-3.4 Perdagangan, hotel & restoran 8.4 6.6 6.5 6.4 8.1 7.8 6.5-7.0 7.0-7.5 Pengangkutan & komunikasi Keuangan, persewaan dan perusahaan 6.6 6.9 6.0 6.9 5.7 5.6 4.9-5.4 5.6-6.1 7.5 8.8 7.9 7.5 8.2 7.2 6.7-7.2 7.2-7.7 8.6 6.1 8.7 8.0 7.1 7.3 7.8-8.3 7.4-7.9 4.9 4.6 8.3 6.6 6.8 5.5 5.2-5.7 5.2-5.7 Pembentukan Modal Tetap Bruto Sisi Produksi Sektor pertanian Sektor pertambangan & penggalian Jasa-jasa Inflasi IHK (%,yoy) jasa Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah p proyeksi Bank Indonesia Laporan Nusantara| 46 Perekonomian Jawa tumbuh stabil sebesar 5,8% (yoy) pada triwulan II 2014 dibandingkan dengan triwulan I 2014, ditopang oleh kinerja perekonomian wilayah DKI Jakarta dan Jawa Bagian Barat. Kegiatan Pemilu, yang sebagian besar terpusat di Jawa, serta daya beli masyarakat yang masih terjaga, merupakan faktor yang mendorong konsumsi rumah tangga tumbuh meningkat. Sebaliknya, konsumsi pemerintah mengalami kontraksi cukup tajam, terkait penyerapan anggaran yang belum dilakukan. Kinerja ekspor juga mengalami penurunan, sebagaimana terlihat dari turunnya ekspor ke daerah lain (perdagangan antardaerah) di wilayah Jawa Bagian Timur dan Jawa Bagian Tengah. Hal ini ditengarai sebagai dampak melambatnya perekonomian di Kawasan Timur Indonesia yang disebabkan oleh menurunnya kinerja sektor tambang. Namun, kinerja ekspor luar negeri di seluruh wilayah Jawa masih menunjukkan kinerja yang cukup baik. Sementara itu, investasi melambat signifikan, sejalan dengan kecenderungan investor untuk menahan kegiatan investasi hingga adanya kepastian hasil Pemilihan Presiden tahun 2014. Seiring dengan masih kuatnya permintaan domestik dan perbaikan kinerja ekspor, kinerja perekonomian Jawa pada triwulan III 2014 diperkirakan lebih baik dari triwulan sebelumnya. Pertumbuhan ekonomi Jawa diprakirakan mampu mencapai 6,0% (yoy). Kuatnya konsumsi domestik tersebut terkait dengan adanya momen Hari Raya Idul Fitri dan tahun ajaran baru. Selain itu, tingginya permintaan domestik juga didukung oleh konsumsi pemerintah, yang diperkirakan meningkat terkait dengan adanya realisasi gaji ketigabelas dan bantuan sosial yang pencairannya ditangguhkan pada triwulan sebelumnya. Di sisi ekspor, baik ekspor luar negeri maupun ke daerah lain, diprakirakan meningkat di seluruh wilayah Jawa. Hal ini sejalan dengan kondisi perekonomian negara maju yang tumbuh lebih tinggi dari prakiraan awal. Sementara itu, kinerja investasi diprakirakan membaik, didukung oleh investasi bangunan, khususnya dari pembangunan proyek-proyek infrastruktur strategis. Di sisi perkembangan harga, realisasi inflasi hingga Juli 2014 menunjukkan tren penurunan yang signifikan. Selain itu, inflasi di kelompok pangan pada periode Januari hingga Juli 2014 relatif lebih rendah dibandingkan dengan pola historisnya. Koordinasi kebijakan pengendalian harga antara pemerintah dan Bank Indonesia melalui forum TPI/TPID, terutama pada komoditas pangan strategis, juga memengaruhi terkendalinya inflasi. Sementara itu, kelompok administered prices masih memberikan tekanan inflasi, yang bersumber dari penyesuaian tarif listrik, kenaikan bahan bakar rumah tangga, dan tarif angkutan. Pada triwulan III 2014, inflasi Jawa diprakirakan masih terkendali, meski terdapat risiko dari perluasan kebijakan yang membatasi penjualan BBM bersubsidi. Hingga saat ini, kebijakan pembatasan solar bersubsidi di wilayah Jakarta belum memberikan dampak terhadap tingginya inflasi. Adapun tekanan inflasi diperkirakan bersumber dari meningkatnya permintaan pada periode tahun ajaran baru dan menurunnya pasokan bahan pangan domestik. Menurunnya pasokan bahan pangan terkait dengan menurunnya produksi padi. Memerhatikan perkembangan tersebut, laju tekanan inflasi pada triwulan III 2014 di Jawa diprakirakan pada kisaran 4,2% – 4,6%, masih tetap mendukung target sasaran inflasi nasional tahun 2014. Penyaluran kredit perbankan pada triwulan II 2014 tumbuh sekitar 18% (yoy), jauh lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan kredit pada triwulan I 2014 sekitar 20% (yoy). Selain itu, di tengah indikasi penurunan spread suku bunga kredit, kualitas kredit belum terlihat mengalami perubahan yang Laporan Nusantara| 47 signifikan tercermin dari rasio kredit nonlancar terhadap total kredit sebesar 1,9%. Meski demikian, kualitas kredit UMKM cenderung menurun. Hal ini diperkirakan terkait dengan terbatasnya kemampuan membayar kembali (repayment capacity) sejumlah debitur UMKM sebagai dampak dari tingginya suku bunga. Penyaluran kredit di Jawa sebagian besar diberikan kepada sektor-sektor ekonomi utama yakni sektor industri pengolahan dan sektor perdagangan, hotel, dan restauran. Sementara itu, pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) di sebagian besar kelompok bank menunjukkan peningkatan. Terkait dengan pengelolaan uang rupiah, ketersediaan uang tunai pada periode Lebaran di Jawa cukup terjaga guna mendukung kelancaran transaksi ekonomi. Sementara itu, dari sisi sistem pembayaran, volume transaksi nontunai di Jawa mengalami peningkatan. Hal ini sejalan dengan semakin besarnya dukungan perbankan, dan meningkatnya preferensi masyarakat terhadap kegiatan transaksi nontunai . Sejalan dengan dinamika perekonomian terkini, pertumbuhan ekonomi Jawa pada tahun 2014 diprakirakan berada pada kisaran 5,6% – 6,0% (yoy), melambat dibandingkan dengan tahun 2013. Hal ini terutama disebabkan oleh kinerja ekspor dan investasi yang tumbuh melambat signifikan. Lambatnya pemulihan ekonomi global menjadi penyebab penurunan ekspor pada tahun 2014. Sementara itu, melambatnya investasi terkait dengan perilaku investor yang cenderung menunggu kepastian hasil pemilu tahun 2014 dan kebijakan pemerintah baru. Di sisi lain, konsumsi rumah tangga relatif masih kuat, yang ditopang dengan daya beli masyarakat menengah atas. Inflasi Jawa tahun 2014 diperkirakan kembali ke pola normalnya yaitu berada pada kisaran 4,7% – 5,1% (yoy). Hal tersebut didukung oleh terjaganya ketersediaan pasokan dan keterjangkauan harga komoditas pangan strategis. Selain itu, semakin solidnya koordinasi antara Pemerintah dan Bank Indonsia dalam forum TPI/TPID turut mendukung penurunan inflasi Jawa pada tahun 2014. Namun, terdapat berbagai risiko inflasi pada semester II 2014, diantaranya dampak dari perluasan kebijakan pembatasan BBM bersubsidi dan El Nino yang mengganggu produksi pangan. Laporan Nusantara| 48 PERTUMBUHAN EKONOMI Perekonomian wilayah Jawa Bagian Timur (Jabagtim) sedikit melambat pada triwulan II 2014. Pertumbuhan ekonomi pada triwulan ini mencapai 5,94% (yoy), menurun 0,4% (yoy) dibandingkan triwulan sebelumnya (6,40%, yoy). Melambatnya kinerja ekspor dan masih rendahnya realisasi investasi mendorong pelemahan ekonomi Jabagtim. Terbatasnya konsumsi di Kawasan Timur Indonesia (KTI) pasca-pemberlakuan UU Minerba turut memengaruhi pertumbuhan ekonomi Jabagtim melalui saluran perdagangan antarpulau. Dari sisi kinerja eksternal, ekspor luar negeri masih tertekan terkait dengan melemahnya daya saing industri yang sebagian besar memiliki ketergantungan impor. Rendahnya realisasi investasi disebabkan oleh masih berlangsungnya aksi menunda (wait and see) dari pelaku usaha, terkait dengan pelaksanaan Pemilu 2014. Investasi lebih didominasi kelompok nonbangunan yang bersifat perawatan (maintenance) mesin industri. Di sisi lain, peningkatan konsumsi rumah tangga mampu menahan perlambatan laju ekonomi Jabagtim. Dari sisi sektoral, perlambatan ekonomi Jabagtim triwulan ini terutama disebabkan oleh melambatnya kinerja sektor non-tradable. Kinerja sektor, bangunan, pengangkutan dan komunikasi, keuangan, persewaan dan jasa perusahaan serta sektor jasa tercatat melambat pada triwulan II 2014. Penurunan cukup dalam pada sektor jasa disebabkan oleh tertundanya penyaluran hibah dan dana sosial. Selain itu, penurunan kinerja subsektor tanaman bahan makanan dan peternakan mendorong perlambatan sektor pertanian. Namun, sektor Perdagangan, Hotel & Restoran (PHR) masih mampu tumbuh meningkat. Tren perbaikan ekonomi Jabagtim diperkirakan terjadi pada triwulan III 2014. Pertumbuhan ekonomi Jabagtim diprakirakan meningkat dari 5,9% pada triwulan II 2014 menjadi 6,2%. Sektor-sektor ekonomi utama diperkirakan mengalami peningkatan. Kondisi ini dikonfirmasi oleh hasil survei dan liaison yang memperkirakan sektor usaha mulai tumbuh optimis. Di sisi permintaan, pertumbuhan didukung oleh meningkatnya konsumsi rumah tangga dan potensi membaiknya kinerja ekspor. Secara keseluruhan, ekonomi Jabagtim tahun 2014 diyakini tumbuh di kisaran 6,0% - 6,5%. Konsumsi Konsumsi Rumah Tangga Konsumsi rumah tangga, yang memiliki pangsa 67% terhadap perekonomian Jabagtim, pada triwulan II 2014 mengalami peningkatan dari 8,2% (yoy) menjadi 8,7%. Bonus demografi kelompok usia produktif dan meningkatnya kelompok ekonomi menengah ke atas mendorong peningkatan daya beli penduduk Jabagtim. Berbagai faktor tersebut mendorong optimisme kelompok rumah tangga sebagaimana tercermin dari Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) yang terjaga stabil di atas level 110. Di sisi lain, Pemilihan Presiden (Pilpres) tidak berkontribusi signifikan pada belanja masyarakat. Belanja Pilpres ditengarai lebih terkonsentrasi pada iklan media massa di wilayah DKI Jakarta. Hal ini berbeda dengan penyelenggaraan Pilpres sebelumnya yang cenderung terdesentralisasi ke daerah, seiring dengan penggunaan media non elektronik untuk kampanye di daerah. Laporan Nusantara| 49 Peningkatan konsumsi rumah tangga terutama terjadi pada belanja perlengkapan rumah tangga, yang mencerminkan masih tingginya belanja rumah tangga pada kelompok barang tahan lama (durable good). Dari sisi pembiayaan, kredit konsumsi dalam tren yang melambat (Grafik III.1.3) seiring dengan adanya pembatasan kredit konsumtif oleh perbankan di Jabagtim. Belanja rumah tangga diperkirakan masih berada dalam tren peningkatan pada triwulan III 2014. Hal ini didukung antara lain dengan pencairan gaji ke-13 Pegawai Negeri Sipil dan Tunjangan Hari Raya (THR). Selain itu, hasil survei Konsumen juga mengonfirmasi menguatnya optimisme masyarakat sebagaimana terlihat dari Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) yang masih berada di level optimis. Adanya ekspektasi penghasilan yang lebih tinggi pada masa mendatang, juga akan mendorong semakin tingginya pengeluaran rumah tangga untuk konsumsi. Grafik III.1.1. Indeks Omset Riil Grafik III.1.2. Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) Grafik III.1.3. Kinerja Kredit Konsumsi Grafik III.1.4. Realisasi Belanja Tw. II 2014 Konsumsi Pemerintah Konsumsi Pemerintah Provinsi maupun Kabupaten/Kota di wilayah Jabagtim mengalami perlambatan pada triwulan II 2014 bila dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2013. Pertumbuhan konsumsi pemerintah pada triwulan II 2014 terkontraksi sebesar 0,9%. Tertahannya realisasi dana hibah (bantuan sosial) menyebabkan rendahnya serapan anggaran belanja pemerintah daerah. Namun, Pemprov Jawa Timur telah mengupayakan percepatan proses realisasi belanja bantuan keuangan kepada Kabupaten/Kota. Laporan Nusantara| 50 Realisasi belanja pemerintah diperkirakan meningkat pada triwulan III 2014, seiring disalurkannya dana hibah atau bantuan sosial ke daerah dan kenaikan realisasi belanja pegawai saat pencairan gaji ketigabelas Pegawai Negeri Sipil (PNS). Investasi Kinerja investasi pada triwulan II 2014 tumbuh lebih rendah sebesar 5,1% (yoy) dibandingkan dengan triwulan I 2014 sebesar 7,5% (yoy). Perlambatan investasi terutama dari Penanaman Modal Asing (PMA) yang mencatat pertumbuhan negatif (terkontraksi) 21,8% (Grafik 1.15). Sementara investasi Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) relatif stabil dengan tumbuh sebesar 0,28% (Grafik III.1.15). Berdasarkan hasil liaison dan survei, kenaikan komponen biaya produksi meliputi upah tenaga kerja dan tarif energi turut memberikan sentimen negatif terhadap minat investor, baik asing maupun dalam negeri, untuk berinvestasi di Jabagtim. Sejumlah kontak liaison cenderung untuk menunda investasi (wait and see), menunggu hasil Pilpres tahun 2014 sebelum merealisasikan investasi. Pada triwulan III 2014, investasi diperkirakan masih tumbuh melambat sebesar 4,25% (yoy). Hal ini dipengaruhi oleh masih adanya kecenderungan para pelaku usaha untuk mencermati proses transisi pemerintahan. Namun, beralihnya sistem produksi sektor industri menuju semi otomasi semakin mendorong pertumbuhan realisasi investasi nonbangunan. Hal ini, pada akhirnya turut berpengaruh pada kinerja impor barang modal, yang didominasi kelompok mesin industri dan suku cadang. Di sisi lain, kenaikan upah minimum kota (UMK) yang tinggi dalam dua tahun terakhir, pada akhirnya berpengaruh pada penurunan minat investasi industri padat karya di Jabagtim. Hal tersebut dikonfirmasi dalam berbagai forum diskusi dan liaison dengan pelaku usaha. Sementara itu, realisasi pembangunan infrastruktur jalan tol masih memasuki tahap pembebasan lahan. Grafik III.1.5. Realisasi Investasi Jabagtim Grafik III.1.6. Perkembangan Impor Barang Modal Perdagangan Luar Negeri Ekspor Ekspor luar negeri Jabagtim mengalami kontraksi (pertumbuhan negatif) sebesar 10,5% (yoy) pada triwulan II 2014, dipicu oleh menurunnya volume ekspor hasil olahan logam, sebagai dampak dari implementasi UU Minerba, dan industri makanan minuman (Grafik III.1.7). Upaya diversifikasi negara tujuan mulai membuahkan hasil dengan meningkatnya ekspor ke Afrika dan Timur Tengah, meskipun Laporan Nusantara| 51 masih belum mampu mengimbangi proporsi ekspor ke negara mitra dagang utama (Jepang dan AS). Lebih dalamnya penurunan kinerja ekspor dibandingkan dengan impor menyebabkan defisit neraca perdagangan mencapai USD142,2 juta (Grafik III.1.8). Pada triwulan III 2014, kinerja ekspor luar negeri Jabagtim diperkirakan tumbuh membaik, seiring meningkatnya permintaan untuk memenuhi kebutuhan menjelang perayaan Natal dan Tahun Baru. Komoditas ekspor yang diperdagangkan umumnya adalah hasil olahan industri makanan, minuman dan tembakau, perhiasan, alas kaki dan furniture. Net Ekspor LN gImpor LN-Skala Kanan 2,500,000 gEkspor LN-Skala Kanan (%,yoy) (Juta Rp) 10 2,000,000 5 1,500,000 1,000,000 0 500,000 -5 0 -500,000 I II III 2011 IV I II III 2012 IV I II III 2013 IV I II* 2014 -10 -1,000,000 -15 -1,500,000 Grafik III.1.7. Kinerja Perdagangan LN & DN Grafik III.1.8. Neraca Perdagangan Ekspor LN Grafik III.1.9. Negara Utama Tujuan Ekspor Grafik III.1.10. Bongkar Muat Ekspor DN (Tj.Perak) Impor Kinerja impor pada Triwulan II 2014 mengalami penurunan, sebagaimana ditunjukkan oleh Grafik III.1.8. Impor Jabagtim, yang sebagian besar didominasi oleh bahan baku dan barang modal, mencirikan karakter ekonomi Jabagtim sebagai daerah industri. Perlambatan impor periode ini lebih disebabkan oleh menurunnya impor barang konsumsi, sedangkan impor barang modal dan bahan baku masih mengalami peningkatan. Berdasarkan klasifikasi HS (harmonized system) 2 digit, komposisi impor Jabagtim pada triwulan II 2014 masih didominasi oleh komoditas mesin industri (14,8% dari total impor) serta plastik (7,1%). Tren perlambatan pertumbuhan impor Jabagtim diperkirakan masih berlanjut pada triwulan III 2014. Pertumbuhan impor Jabagtim diperkirakan masih berada pada level 4%. Impor yang juga diperkirakan Laporan Nusantara| 52 masih akan didominasi oleh impor barang modal guna memenuhi kebutuhan proses transisi industri Jabagtim menuju semi otomasi. Selain itu, impor barang konsumsi umumnya mengalami peningkatan di saat perayaan Lebaran untuk kelompok barang tahan lama (durable goods). Perdagangan Antar Daerah Di tengah melambatnya ekspor Jabagtim ke daerah lain, kondisi neraca perdagangan antardaerah masih mencatatkan angka surplus sebesar USD 0,29 juta. Ekspor antardaerah Jabagtim tumbuh melambat dari 17,4% (yoy) pada triwulan I 2014 menjadi 14,2% pada triwulan II 2014. Perlambatan performa ekspor perdagangan antardaerah Jabagtim terutama didorong oleh menurunnya permintaan barang impor kendaraan industri sebagai akibat melambatnya kinerja sektor pertambangan pascapemberlakuan UU Minerba. Impor dari daerah lain relatif tumbuh stabil sekitar 10% (yoy), seiring dengan stabilnya kinerja sektor industri pengolahan di Jabagtim (Grafik III.1.8). Berdasarkan data, impor Jabagtim dari daerah lain didominasi oleh kelompok bahan baku industri, diantaranya aneka kayu dan makanan laut. Sementara itu, impor barang logam menurun tajam pasca pemberlakuan UU Minerba di awal tahun 2014. Transaksi perdagangan antar daerah yang lebih rendah terindikasi pada data volume barang yang dikirim melalui Pelabuhan Tanjung Perak (Grafik III.1.10). Memasuki triwulan III 2014, kinerja perdagangan antardaerah diperkirakan membaik, seiring dengan meningkatnya permintaan masyarakat KTI pada saat momentum Lebaran. Ekspor Jabagtim yang diperkirakan meningkat adalah kelompok barang bahan makanan dan industri mamin. Transaksi impor antardaerah pun diperkirakan mengalami peningkatan seiring prakiraan kenaikan kapasitas produksi sektor industri guna memenuhi permintaan ekspor luar negeri Jabagtim. Kinerja Sektor Utama Daerah Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran (PHR) Kinerja sektor PHR pada triwulan II 2014 menunjukkan perbaikan. Meningkatnya pertumbuhan PHR disebabkan oleh kenaikan transaksi perdagangan besar Jabagtim, khususnya penjualan retail, seiring masih tingginya daya beli masyarakat. Kian maraknya kegiatan MICE (meetings, incentives, conferences, and exhibitions) dan keberadaan Kota Surabaya sebagai kota dagang, juga mendorong kinerja sektor PHR. Di sisi lain, terjadi sedikit penurunan pada jumlah kunjungan wisatawan mancanegara ke wilayah Jabagtim (Grafik III.1.12). Grafik III.1.11. Konsumsi Listrik Bisnis Grafik III.1.12. Indikator Subsektor Hotel Laporan Nusantara| 53 Perbaikan kinerja di subsektor perhotelan dan restoran diperkirakan terus berlanjut pada triwulan III 2014, sebagai pengaruh dari kegiatan mudik, yang dilanjutkan dengan rangkaian libur Lebaran dan tahun ajaran baru. Pelaksanaan kegiatan Jember Fashion Carnival (JFC) di Jember juga turut mendukung kenaikan kinerja sektor PHR. Selain itu, kenaikan transaksi perdagangan antarpulau saat masa puasa dan Lebaran berpotensi meningkatkan pertumbuhan sektor PHR di Jabagtim. Sektor Industri Pengolahan Sektor industri pengolahan pada triwulan II 2014 masih mampu tumbuh cukup tinggi. Pertumbuhan sektor industri pengolahan tercatat sebesar 6,81% (yoy), relatif stabil jika dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Masih tingginya pertumbuhan sektor industri pengolahan didorong oleh masih tingginya aktivitas di industri semen dan barang galian, industri makanan, minuman dan tembakau, industri tekstil, serta industri barang dari kayu dan hasil hutan lainnya. Sementara itu, kinerja industri alat angkut mesin dan peralatannya, industri logam dasar, serta industri kertas menurun. Penurunan kinerja pada industri-industri tersebut menyebabkan tertahannya laju pertumbuhan sektor industri pengolahan. Berdasarkan hasil liaison, dampak Pemilu Presiden pada tahun ini cenderung terbatas. Tidak seperti pola Pemilu sebelumnya, yang mempu mendongkara omset penjualan, dampak pemilu tahun 2014 tidak memberikan dampak yang signifikan bagi peningkatan omset penjualan. Peningkatan Tarif Tenaga Listrik (TTL) untuk perusahaan yang go public dan industri besar yang mulai berlaku pada awal Juli 2014 masih direspons terbatas oleh dunia usaha di Jabagtim. Namun, kenaikan biaya energi, yang menambah biaya operasional perusahaan sekitar 20% tersebut, berpotensi meningkatkan harga jual ke konsumen. Pada triwulan III 2014, kinerja sektor industri pengolahan diperkirakan masih terjaga stabil. Proses produksi yang mulai mengarah kepada sistem semi otomasi akan meningkatkan produktivitas sektor industri di tengah. Meski demikian perkembangan sektor industri pengolahan masih dibayangi penurunan kinerja subsektor industri tembakau dan belum pulihnya permintaan industri alat angkut dan peralatannya ke wilayah Kawasan Timur Indonesia (KTI), terkait dengan belum adanya perbaikan yang berarti di sektor pertambangan. Sektor Pertanian Kinerja sektor pertanian pada triwulan II 2014 mengalami penurunan, yang didorong oleh melambatnya pertumbuhan subsektor tanaman bahan makanan dan peternakan. Dinas pertanian Jabagtim mengonfirmasi bahwa salah satu penyebab perlambatan sektor pertanian adalah terjadinya peningkatan biaya usaha tani. Keterbatasan jumlah pupuk bersubsidi mendorong sebagian petani beralih ke pupuk nonsubsidi. Peningkatan biaya juga didorong oleh naiknya biaya tenaga kerja. Pada akhirnya, kenaikan biaya tersebut tidak sebanding dengan harga jual produk pertanian yang cenderung stabil dan bahkan menurun pada komoditas cabai. Penurunan kinerja subsektor tanaman bahan makanan juga disebabkan oleh penurunan luas panen padi dan jagung pada triwulan II 2014. Penurunan luas panen tersebut disebabkan karena tanaman padi sedang berada pada masa tanam sehingga panen menurun signifikan, jika dibandingkan dengan triwulan I 2014. Sementara itu, beberapa tanaman hortikultura seperti cabai merah, cabai rawit dan tomat sayur di wilayah Kediri mengalami pergeseran panen sebagai dampak dari erupsi Gunung Kelud sehingga replanting dilakukan pada Maret hingga April 2014. Laporan Nusantara| 54 Grafik III.1.13. Indeks Produksi & Kapasitas Industri Grafik III.1.14. Konsumsi Listrik Industri Grafik III.1.15. Perkembangan Kinerja Pertanian Grafik III.1.16. Luas Lahan Tanam dan Panen Padi Pada triwulan III 2014, kinerja sektor pertanian diprediksi meningkat seiring dengan dimulainya masa panen tanaman bahan makanan (tabama). Sementara itu, di sektor peternakan, permintaan daging sapi, daging ayam dan telur ayam yang tinggi pada lebaran turut berkontribusi pada peningkatan sektor ini. Risiko yang perlu diwaspadai adalah keterbatasan pasokan pupuk bersubsidi dan kebijakan pembatasan penggunaan solar bersubsidi yang berpengaruh pada aktivitas penangkapan ikan. Di sisi lain, juga terdapat dampak atas kebijakan pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 10% pada penjualan produk pertanian ke industri pengolahan. PERKEMBANGAN INFLASI Inflasi Jabagtim hingga Juli 2014 mencapai 4,01% (yoy), lebih rendah dibandingkan dengan inflasi nasional yang mencapai 4,53% (Grafik III.1.17). Inflasi pada periode ini telah kembali kepada pola normalnya. Dampak base effect inflasi akibat kenaikan bahan bakar minyak (BBM) pada tahun 2013 telah hilang. Berdasarkan disagregasinya, inflasi Jabagtim terutama disebabkan oleh peningkatan harga di kelompok administered prices, sebagai akibat dari kenaikan tarif transportasi, penyesuaian tarif listrik dan kenaikan harga rokok kretek filter. Sementara itu, masih berlanjutnya persepsi masyarakan akan kenaikan harga barang-barang (ekspektasi harga masyarakat) dan peningkatan transaksi ekonomi mendorong kenaikan harga pada kelompok inflasi inti. Di sisi lain, deflasi harga pada kelompok volatile food menjadi penahan laju inflasi periode laporan. Penurunan harga kelompok volatile food banyak disumbang oleh kelompok bumbu-bumbuan dan buah-buahan. Laporan Nusantara| 55 Pada triwulan III 2014, inflasi di Jabagtim diperkirakan akan meningkat. Penyumbang inflasi terbesar masih pada kelompok administered prices dan inflasi inti. Potensi tekanan inflasi kelompok administered prices berasal dari kenaikan tarif tenaga listrik rumah tangga per 1 Juli 2014, kebijakan pembatasan penjualan BBM bersubsidi sebesar 46 juta KL, yang mulai berlaku per 1 Agustus 2014, serta pemberlakuan pajak tembakau. Selanjutnya, meningkatnya tekanan inflasi inti didorong oleh masih tingginya ekspektasi masyarakat sebagai respons atas berbagai kebijakan pemerintah, serta potensi kenaikan harga pada kelompok pendidikan seiring tibanya tahun ajaran baru. Dari sisi eksternal, pergerakan nilai tukar rupiah dan fluktuasi harga komoditas internasional diperkirakan masih memengaruhi level harga di Jabagtim khususnya untuk sisi tradable. Dari kelompok volatile foods, potensi tekanan kenaikan harga bersumber dari meningkatnya permintaan masyarakat pada periode puasa dan Lebaran, meskipun sebagian tanaman bahan makanan mengalami panen gadu. Secara keseluruhan 2014, inflasi Jabagtim diperkirakan akan berada di kisaran 4,3% - 4,6% (yoy), masih sejalan dengan target inflasi nasional di kisaran 4,5% + 1%. Grafik III.1.17. Perkembangan Inflasi Tw I 2014 Grafik III.1.18. Disagregasi Inflasi Tw I 2014 Koordinasi Pengendalian Inflasi Strategi TPID di seluruh wilayah Jabagtim diarahkan pada lima strategi utama, yaitu 1) penguatan kelembagaan, 2) penguatan strategi produksi, distribusi & konektivitas, 3) regulasi dan monitoring, 4) kajian dan rekomendasi, dan 5) upaya pengendalian ekspektasi. Strategi penguatan kelembagaan dilaksanakan dengan mendorong pembentukan TPID di tingkat Kabupaten/Kota. Saat ini telah terbentuk 35 TPID Kab/Kota, sedangkan 3 lainnya masih dalam proses pembentukan. Selama Ramadhan, kegiatan TPID banyak difokuskan pada pelaksanaan operasi pasar melalui pemberian subsidi untuk biaya produksi komoditas strategis, kerjasama mendukung kelancaran distribusi, pengawasan barang beredar dan menjaga ekspektasi masyarakat terkait kecukupan stok pangan menjelang Ramadhan dan Lebaran. STABILITAS SISTEM KEUANGAN DAN PENGELOLAAN SISTEM PEMBAYARAN Ketahanan Sektor Korporasi Perkembangan kinerja bank umum di Jabagtim sampai dengan triwulan II 2014 menunjukkan pertumbuhan yang melambat. Perlambatan pertumbuhan penyaluran kredit bank umum terjadi baik berdasarkan lokasi bank pelapor maupun lokasi proyek. Jumlah kredit berdasarkan lokasi bank pelapor di Jabagtim mencapai Rp 325,45 triliun atau tumbuh 18,9% (yoy), lebih rendah dibandingkan dengan Laporan Nusantara| 56 triwulan I 2014 (23,2%). Sementara itu, kredit berdasarkan lokasi proyek yang disalurkan bank umum di Jabagtim mencapai Rp 369,96 triliun, atau tumbuh sebesar 19,1% (yoy), juga melambat jika dibandingkan dengan triwulan I 2014. Selain karena pertimbangan dari sisi industri perbankan yang cenderung mengetatkan target penyaluran kredit di daerah, perlambatan ekspansi kredit perbankan tersebut juga terkait dengan menurunnya kinerja perekonomian Jabagtim. Rasio penyaluran kredit perbankan terhadap DPK (dana pihak ketiga) di Jabagtim relatif tinggi, yaitu hingga mencapai 90,8% (berdasarkan lokasi bank) dan 103,5% (berdasarkan lokasi proyek). Meski demikian, tingginya rasio tersebut masih ditopang oleh terjaganya risiko kredit pada level yang cukup rendah. Risiko kredit, yang tercermin dari rasio Non Performing Loan (NPL), pada triwulan II 2014 tercatat stabil pada level yang relatif rendah yaitu 2,1% . Penyaluran pembiayaan kepada sektor utama di Jabagtim memiliki kecenderungan yang sejalan dengan struktur sektoral perekonomian Jabagtim. Penyaluran kredit di Jabagtim didominasi oleh tiga sektor ekonomi utama yaitu sektor industri pengolahan, sektor perdagangan besar dan eceran, serta sektor pertanian. Kredit ke sektor industri pengolahan memiliki proporsi terbesar yaitu 28,3% atau sebesar Rp 90,2 triliun yang diikuti oleh kredit di sektor perdagangan besar dan eceran dengan porsi sebesar 26,4% atau mencapai Rp 83,9 triliun. Sementara itu, kredit di sektor pertanian memiliki porsi 2,8% atau sebesar Rp 10,2 triliun. Rendahnya porsi pembiayaan ke sektor pertanian disebabkan oleh masih tingginya risiko kredit (NPL) yang mencapai 4,9%. Di sisi lain, NPL di sektor industri pengolahan dan perdagangan relatif rendah yaitu 2%, menjadi faktor pendukung masih tingginya penyaluran kredit pada kedua sektor tersebut. Grafik III.1.19. Penyaluran Kredit Grafik III.1.20. Penyaluran Kredit Sektor Utama Ketahanan Sektor Rumah Tangga Pertumbuhan penyaluran kredit rumah tangga di Jabagtim pada triwulan II 2014 menunjukkan peningkatan dibandingkan dengan triwulan I 2014. Relatif masih kuatnya pertumbuhan ekonomi Jabagtim pada triwulan II 2014 mendorong kuatnya daya beli konsumen Jabagtim. Masih tingginya kebutuhan rumah masyarakat akan rumah dan kelancaran mobilitas, yang didukung dengan daya beli yang memadai, menyebabkan permintaan Kredit Pemilikan Rumah (KPR) dan Kredit Kendaraan Bermotor (KKB) terus meningkat. Penyaluran KPR mencapai Rp 27,83 triliun, atau mencatat pertumbuhan yang cukup tinggi yaitu 26,4% (yoy). KPR terbesar diperuntukan bagi pembelian rumah dengan tipe 22 sampai dengan 70, mencapai 44,2% dari total KPR yang disalurkan, atau mengalami pertumbuhan yang cukup tinggi sebesar 30,6% (yoy). Ekspansi kredit KPR untuk rumah tipe 22-70 Laporan Nusantara| 57 diperkirakan masih akan berlanjut, mengingat risiko kredit pada segmen ini relatif rendah, bahkan cenderung turun. Grafik III.1.21. Penyaluran Kredit Grafik III.1.23.Penyaluran Kredit UMKM Grafik III.1.22. Penyaluran Kredit Sektor Utama Grafik III.1.24. NPL Kredit UMKM Pembiayaan Sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) Sampai dengan triwulan II 2014, jumlah kredit UMKM yang disalurkan mencapai Rp 92,3 triliun atau tumbuh 15,9% (yoy). Walaupun lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan triwulan sebelumnya yaitu sebesar 19,12% (yoy), kinerja kredit UMKM masih searah dengan arah perekonomian Jabagtim. Penyaluran kredit UMKM oleh perbankan di Jabagtim pada masa mendatang diperkirakan masih akan tumbuh positif seiring membaiknya kinerja perekonomian. Namun, masih terbatasnya pertumbuhan sektor riil akan berdampak pada prospek pembiayaan investasi dan modal kerja untuk UMKM. Kinerja Sistem Pembayaran Pada Triwulan II 2014, transaksi keuangan melalui sistem pembayaran dengan menggunakan sistem RTGS dan kliring di Jabagtim tumbuh meningkat dibandingkan dengan periode sebelumnya. Tercatat transaksi kliring secara nominal mencapai Rp 47,21 triliun dengan jumlah warkat kliring sebanyak 1,2 juta lembar. Jumlah tersebut meningkat 5,97% (qtq) dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Sementara itu, transaksi RTGS mencapai Rp 466,6 triliun dengan volume sebanyak 239.220 transaksi. Peningkatan transaksi sistem pembayaran nontunai periode ini terkait dengan adanya momen tahun ajaran baru, puasa dan menjelang lebaran. Laporan Nusantara| 58 Kinerja Pengelolaan Uang Tunai Pada triwulan II 2014, jumlah aliran uang kartal dari dan ke Bank Indonesia di wilayah Jabagtim kembali menunjukkan posisi net inflow (Rp. 1,39 Triliun), lebih rendah dibandingkan dengan periode sebelumnya Rp. 9,05 Triliun. Net inflow yang terjadi terkait dengan kembali normalnya aktivitas ekonomi masyarakat dan kecenderungan masyarakat untuk meningkatkan dana simpanannya di perbankan menjelang libur tahun ajaran baru, Ramadhan dan lebaran. Grafik III.1.25. Transaksi RTGS Grafik III.1.27. Temuan UPAL Grafik III.1.26. Transaksi Kliring Grafik III.1.28. Perkembangan Netflow PROSPEK PEREKONOMIAN Prospek Pertumbuhan Ekonomi Secara keseluruhan tahun 2014, pertumbuhan ekonomi Jabagtim diprakirakan mencapai 6,0% - 6,4% (yoy), cenderung melambat dibandingkan dengan tahun 2013 yang mencapai 6,5%. Perlambatan ekonomi disebabkan oleh menurunnya kinerja dua sektor unggulan, yaitu sektor pertanian dan PHR. Namun, ekspektasi membaiknya daya saing sektor industri pasca-proses transisi ke sistem semi otomasi diharapkan menjadi faktor pendorong peningkatan pertumbuhan di sektor industri. Dari sisi permintaan, konsumsi rumah tangga masih menjadi pendorong utama pertumbuhan tahun 2014. Dampak Pemilu terbesar terjadi pada triwulan II yaitu pada saat pelaksanaan Pilpres 2014. Sementara itu, masih berlangsungnya aksi wait and see pelaku investasi diperkirakan berlangsung hingga triwulan III 2014. Hal ini menyebabkan terkoreksinya pertumbuhan, khususnya di investasi bangunan. Kinerja investasi nonbangunan diprediksi mengalami peningkatan, yang tercermin dari Laporan Nusantara| 59 kenaikan kebutuhan impor mesin dan suku cadang, sejalan dengan proses transisi semi otomasi pada sektor industri manufaktur. Perlambatan sektor pertambangan KTI yang masih akan berlangsung hingga akhir tahun, memengaruhi kenerja ekonomi Jabagtim, terutama pada kinerja perdagangan antardaerah. Perlambatan ekspor ke wilayah KTI lebih didominasi oleh menurunnya permintaan mesin dan alat berat. Prospek Inflasi Pada akhir tahun 2014, inflasi Jabagtim diproyeksikan berada di kisaran 5,0% - 5,4%, masih mendukung pencapai sasaran inflasi nasional yang sebesar 4,5% + 1%. Rendahnya tekanan inflasi kelompok administered prices disebabkan oleh pengaruh base effect dari kenaikan harga BBM tahun 2013. Selain itu, kebijakan kenaikan tarif listrik secara bertahap dapat meminimalkan dampak pada kenaikan harga komoditas industri. Namun, masih terdapat beberapa risiko yang patut dicermati yaitu dampak dari kebijakan pembatasan penjualan BBM bersubsidi, rencana penyesuaian harga bahan bakar rumah tangga serta berlanjutnya kenaikan tarif cukai rokok kretek. Tabel III.3.1. Prakiraan Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi Jawa Bagian Timur Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi Wilayah PDRB (%,yoy) Sisi Permintaan Konsumsi Konsumsi swasta Konsumsi Pemerintah Pembentukan Modal Tetap Bruto Ekspor Impor Sisi Produksi Sektor pertanian Sektor pertambangan & penggalian Industri pengolahan Listrik, gas & air bersih Bangunan Perdagangan, hotel & restoran Pengangkutan & komunikasi Keuangan, persewaan dan jasa perush. Jasa-jasa Inflasi IHK (%,yoy) 7.3 I 6.7 II 6.9 III 6.5 IV 6.2 Total 6.5 I 6.4 II 5.9 2014 IIIp IVp 6.2 6.0 - 6.4 6.6 7.2 1.3 9.7 11.1 7.6 5.6 6.1 0.2 5.4 11.6 9.8 6.3 6.8 0.3 6.1 8.5 5.6 6.6 6.9 2.8 6.3 6.9 5.0 7.1 7.5 2.5 6.5 5.5 4.9 7.7 8.2 2.9 7.7 5.2 6.0 6.9 7.4 2.3 6.7 6.5 5.4 7.9 8.2 2.6 7.5 9.2 7.4 7.2 8.7 (9.1) 5.1 3.1 4.3 8.1 8.7 8.2 4.9 4.9 4.0 7.4 - 7.8 6.9 - 7.3 8.1 - 8.5 7.7 - 8.1 0.2 - 0.6 (1.4) - (0.8) 5.1 - 5.5 5.8 - 6.2 4.8 - 5.2 5.0 - 5.4 3.3 - 3.7 4.7 - 5.1 2.5 6.1 6.1 6.3 9.1 9.8 11.4 8.2 5.1 4.27 3.5 2.1 6.3 6.2 7.1 10.1 9.7 8.0 5.1 4.50 2.0 2.7 5.2 5.3 8.3 9.4 11.0 8.5 5.7 6.75 1.5 2.6 6.6 4.6 10.5 8.9 10.0 7.8 5.7 5.93 1.8 4.9 5.4 4.6 8.5 8.5 10.7 7.4 5.0 7.78 1.7 3.2 5.3 4.2 9.0 7.7 10.1 6.7 5.0 7.59 1.6 3.3 5.6 4.7 9.1 8.6 10.4 7.7 5.3 7.59 1.8 4.6 6.8 4.9 9.5 6.8 9.5 7.7 8.4 6.58 0.5 2.9 6.8 7.4 7.9 7.4 7.5 7.4 4.0 6.66 1.6 2.1 6.5 6.2 5.4 7.8 8.0 7.1 5.8 4.41 1.0 - 1.4 2.9 - 3.3 6.0 - 6.4 5.7 - 6.1 5.1 - 5.5 7.6 - 8.0 7.0 - 7.4 7.1 - 7.5 5.8 - 6.2 5.1 - 5.5 2011 2012 7.2 2013 Totalp 6.0 - 6.4 1.1 - 1.5 2.8 - 3.2 6.4 - 6.8 5.8 - 6.2 6.7 - 7.1 7.2 - 7.6 7.7 - 8.1 7.1 - 7.5 5.7 - 6.1 5.0 - 5.4 Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah p proyeksi Bank Indonesia Laporan Nusantara| 60 PERTUMBUHAN EKONOMI Pertumbuhan ekonomi Jawa Bagian Tengah (Jabagteng) pada triwulan II 2014 sedikit melambat dibandingkan dengan periode sebelumnya. Ekonomi melambat dari 5,3% (yoy) pada triwulan I 20141 menjadi 5,2% (yoy). Namun, pertumbuhan tersebut masih lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan Nasional 5,12%. Secara spasial, perekonomian Jawa Tengah dan DI Yogyakarta tumbuh melambat. Sumber utama perlambatan ekonomi Jabagteng yaitu melemahnya kinerja ekspor yang dibarengi dengan melambatnya konsumsi dan investasi. Perlambatan konsumsi utamanya disebabkan oleh konsumsi pemerintah yang melambat cukup dalam. Secara sektoral, sektor pertanian terkontraksi sehingga mendorong ke bawah pertumbuhan ekonomi. Di sisi lain, meningkatnya kinerja sektor industri pengolahan dan sektor perdagangan, hotel dan restoran menjadi penahan perlambatan perekonomian lebih dalam. Pada triwulan III 2014 perekonomian wilayah Jabagteng diperkirakan tumbuh meningkat. Secara spasial, perbaikan terjadi di Jawa Tengah dan DI Yogyakarta. Perkembangan berbagai indikator ekonomi terakhir mengindikasikan perbaikan terutama didorong oleh kenaikan ekspor baik luar negeri maupun ke daerah lain. Hal ini sejalan dengan optimisme pelaku usaha dalam memandang kondisi perekonomian ke depan. Secara sektoral, perbaikan ekonomi didukung oleh meningkatnya kinerja sektor industri pengolahan serta sektor perdagangan, hotel dan restoran. Membaiknya sektor industri pengolahan utamanya diperkirakan didorong oleh meningkatnya kinerja industri migas. Kinerja sektor perdagangan, hotel, dan restoran yang lebih tinggi tersebut sejalan dengan masih kuatnya konsumsi swasta. Konsumsi Konsumsi Rumah Tangga Konsumsi rumah tangga Wilayah Jawa bagian tengah (Jabagteng) pada triwulan II 2014 meningkat dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Konsumsi rumah tangga mencatat pertumbuhan sebesar 5,4% (yoy), lebih tinggi dibandingkan dengan triwulan I 2014 sebesar 5,2% (yoy). Secara spasial, meningkatnya konsumsi rumah tangga Jabagteng tersebut lebih didorong oleh konsumsi rumah tangga di Jawa Tengah, yang mencatat pertumbuhan yang meningkat, sementara di DI Yogyakarta, konsumsi rumah tangga justru melambat. Konsumsi swasta nirlaba, yang meningkat tajam, ikut mendorong pertumbuhan konsumsi rumah tangga. Konsumsi swasta nirlaba mengalami peningkatan hingga 15,1% (yoy), terkait dengan persiapan penyelenggaraan Pemilu Presiden tahun 2014. Peningkatan konsumsi rumah tangga tersebut juga terkonfirmasi dari indeks penjualan eceran dan likert penjualan eceran yang lebih tinggi (Grafik III.2.2) serta pertumbuhan triwulanan impor barang konsumsi yang meningkat (Grafik III.2.4). 1 BPS Provinsi Jawa Tengah merevisi peryumbuhan ekonomi dari 5,4% (yoy) menjadi 5,3% (yoy) Laporan Nusantara| 61 Perkembangan berbagai indikator terkini mengindikasikan konsumsi rumah tangga pada triwulan III 2014 tetap kuat, tumbuh relatif stabil dibandingkan dengan triwulan II 2014. Adanya momen Hari Raya Idul Fitri dan tahun ajaran baru mendorong konsumsi masyarakat tetap tinggi. Hasil Survei Konsumen memperlihatkan masih tingginya optimisme rumah tangga. Semua indeks komponen survei konsumen berada pada level optimis, terutama ekspektasi konsumen terhadap kondisi ekonomi ke depan. Indeks tendensi konsumen berdasarkan hasil survei BPS juga mencerminkan kondisi yang lebih optimis pada triwulan III 2014 dibandingkan dengan periode sebelumnya (Grafik III.2.1.). Optimisme yang sama juga ditunjukkan oleh hasil Survei Penjualan Eceran yang dilakukan pada beberapa pelaku usaha perdagangan besar dan eceran (Grafik III.2.2). Dari sisi pembiayaan, pertumbuhan kredit konsumsi stabil pada level yang tinggi. Meski demikian, perlu mendapat perhatian bahwa perkiraan akan adanya penurunan produksi pertanian, berpotensi menurunkan daya beli masyarakat Jabagteng, yang mayoritas bermata pencaharian di sektor pertanian. Selain itu, konsumsi swasta nirlaba diperkirakan akan menurun, seiring dengan usainya Pemilu tahun 2014. Indeks 140 130 120 110 OPTIMIS 100 PESIMIS 90 IKK IEK IKE ITK 80 I II III IV I II 2012 III IV I II 2013 III* 2014 * IKK, IKE, IEK Juli 2014, ITK mendatang Grafik III. 2. 2 Indeks Penjualan Eceran serta Likert Scale Perdagangan Besar dan Eceran Grafik III. 2. 1 Indeks Keyakinan Konsumen yoy, % % 30 Jabagteng 25 Jateng % Impor kons qtq (Skala Kanan) 200 3 DIY 20 Kons RT qtq 3.5 150 2.5 2 15 100 1.5 10 1 5 0.5 0 0 I II III IV 2012 I II III 2013 IV I II* 2014 Grafik III. 2. 3 Penyaluran Kredit Konsumsi -0.5 50 0 II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 -50 2014 Grafik III.2.4 Konsumsi Rumah Tangga qtq dan Impor Barang Konsumsi Konsumsi Pemerintah Konsumsi pemerintah pada triwulan II 2014 melambat sangat dalam. Konsumsi pemerintah hanya tumbuh 1,5% (yoy), setelah sebelumnya tumbuh 5,1% (yoy). Perlambatan pertumbuhan konsumsi Laporan Nusantara| 62 pemerintah terjadi baik pada belanja langsung maupun tidak langsung. Secara triwulanan, pertumbuhannya juga lebih rendah dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya. Perlambatan pertumbuhan konsumsi pemerintah diperkirakan masih akan berlanjut pada triwulan III 2014, meski tidak sedalam periode sebelumnya. Secara spasial konsumsi pemerintah Jawa Tengah meningkat, namun DI Yogyakarta tumbuh jauh lebih rendah dibandingkan dengan periode sebelumnya. Hampir keseluruhan dana Keistimewaan DI Yogyakarta pada tahun 2013 direalisasikan pada triwulan III 2013. Sementara itu, untuk tahun 2014, dana kesitimewaan sudah mulai direalisasikan pada semester I 2014. qtq, % Impor Barang Modal qtq -Skala Kanan qtq, % 150 Investasi qtq 8 6 100 4 70 Jabagteng 60 Jateng 50 DIY 40 2 50 0 -2 yoy, % 30 20 II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 0 10 2014 -4 0 I -50 II -6 III IV I II 2012 -8 III IV I 2013 II 2014 -100 Grafik III. 2.5 Pertumbuhan Triwulanan ImporBarang Modal dan PMTB Grafik III. 2. 6 PenyaluranKreditInvestasi Likert yoy, % 1.6 1.5 1.4 1.3 1.2 1.1 1 0.9 0.8 0.7 0.6 40 Jateng D. I. Y. 30 Jabagteng 20 10 0 I II III IV I 2011 II III 2012 IV I II III IV I 2013 *perkiraan 1 tahun yad Grafik III. 2.7 Likert Scale Investasi I II* III* IV* 2014 -10 II III IV 2010 I II III IV 2011 I II III IV 2012 I II III IV 2013 I II 2014 -20 Grafik III. 2.8 Pertumbuhan Tahunan Konsumsi Semen Investasi Investasi pada triwulan II 2014 tumbuh melambat dari 9,0 % (yoy) menjadi 6,0% (yoy). Perlambatan terjadi baik pada investasi bangunan maupun nonbangunan. Pelaku usaha cenderung menahan kegiatan investasi sebelum penyelenggaraan Pemilu. Investasi bangunan melambat sejalan dengan menurunnya kinerja di sektor bangunan. Adapun perlambatan pada investasi nonbangunan terindikasi dari melemahnya pertumbuhan impor barang modal (Grafik III.2.5) serta pertumbuhan kredit investasi (Grafik III.2.6) yang juga menurun. Dari hasil liaison yang dilakukan di wilayah Jabagteng, terkonfirmasi investasi pada triwulan II 2014 secara umum melambat dibandingkan dengan periode sebelumnya (Grafik III.2.7). Berdasarkan sumber pembiayaan investasi, realisasi Penanaman Modal Dalam Negeri Laporan Nusantara| 63 menunjukkan adanya perlambatan (Grafik III.2.10). Di sisi lain, realisasi Penanaman Modal Asing (PMA) tumbuh lebih tinggi dibandingkan dengan periode sebelumnya (Grafik III.2.9). Perlambatan investasi diperkirakan masih berlangsung pada triwulan III 2014. Investor cenderung masih menahan kegiatan investasi hingga adanya kepastian hasil Pemilihan Presiden tahun 2014. Sejalan dengan hal tersebut, investasi nonbangunan diperkirakan melambat dan tren pelemahan impor barang modal masih akan berlanjut. Di sisi lain, investasi bangunan berpotensi mulai meningkat, khususnya pembangunan proyek-proyek infrastruktur strategis. Jumlah Proyek Juta USD 140 120 Proyek PMA 100 Investasi PMA-Skala Kanan Jumlah Proyek Miliar Rp 300 120 12000 250 100 200 80 150 60 6000 100 40 4000 50 20 2000 0 0 Proyek PMDN 10000 Investasi PMDN-RHS Investasi PMDN-Skala 8000 Kanan 80 60 40 20 0 I II III 2011 IV I II III IV I 2012 II III 2013 IV I II 2014 Sumber : Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah Sumber : Badan Penanaman Modal Grafik III. 2.9 Realisasi Penanaman Modal Asing (PMA) 0 I II III IV I 2012 II III 2013 IV I II 2014 Sumber : Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah Sumber : Badan Penanaman Modal Grafik III. 2.10 Realisasi Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) Perdagangan Luar Negeri Ekspor Ekspor luar negeri Jabagteng pada triwulan II 2014 tumbuh melambat. Hal ini dipengaruhi oleh kinerja ekspor ke negara Asia, utamanya ke Jepang dan Tiongkok yang menurun, sementara ekspor ke Amerika Serikat dan Eropa masih meningkat. Dilihat dari komoditasnya, eksporTekstil dan Produk Tekstil (TPT) serta barang dari kayu tumbuh melambat (Grafik III.2.13). Khusus terkait TPT, perlambatan ekspor terjadi pada seluruh produk TPT, baik pakaian jadi, benang maupun kain. Pada triwulan III 2014 ekspor luar negeri diperkirakan akan membaik. Hal tersebut didukung oleh membaiknya perekonomian dunia, khususnya di sejumlah negara maju, yang merupakan tujuan utama ekspor produk unggulan seperti TPT dan kayu olahan. Optimisme pelaku usaha akan membaiknya ekspor, terutama ekspor TPT, juga didorong masih cukup kompetitifnya ekspor komoditas TPT Jabagteng. Selain itu, masih banyak pasar ekspor yang belum tergarap. Sehingga upaya diversifikasi pasar tujuan ekspor akan semakin memperbesar potensi perbaikan kinerja ekspor. Perbaikan kinerja industri pengolahan nonmigas sejak triwulan II 2014 juga akan mendukung ekspor pada triwulan III 2014. Impor Kinerja impor luar negeri pada triwulan II 2014 menurun. Perlambatan pertumbuhan impor terjadi pada semua komponen barang konsumsi, bahan baku (Grafik III.2.14), dan barang modal. Di antara ketiga komponen tersebut, impor barang modal melambat paling dalam, hal ini sejalan dengan investasi yang tumbuh lebih rendah dibandingkan dengan periode sebelumnya. Laporan Nusantara| 64 Impor luar negeri diperkirakan mulai meningkat pada triwulan III 2014. Peningkatan impor terutama terjadi pada impor bahan baku, sejalan dengan membaiknya kinerja industri pengolahan pada triwulan III 2014. Sementara itu, impor barang modal diperkirakan masih melambat, sehingga berpotensi menarik ke bawah pertumbuhan investasi. Juta USD yoy, % 800 yoy, % 80 Net Ekspor 600 Ekspor 400 Impor 200 60 400 0 Ekspor 40 200 -200 Net Ekspor 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 -200 2012 2013 20 -400 2014 Impor -600 0 1 -400 -20 -600 3 5 7 9 2012 1 3 5 7 9 2013 11 1 3 5 -800 2014 -1000 -40 -800 Grafik III. 2. 11 Perkembangan Nilai Ekspor dan Impor yoy, % -1200 Grafik III. 7Pertumbuhan Tahunan Nilai Ekspor dan Impor yoy, % Total Ekspor 25 200 Impor Bahan Baku TPT 20 Impor Barang Modal 150 Kayu Olahan 15 Impor Barang Konsumsi 100 10 50 5 0 I -5 11 II III 2012 IV I II III 2013 IV I II 2014 -10 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 -50 2012 2013 2014 -100 -15 Grafik III. 2.8 Pertumbuhan Tahunan Ekspor Komoditas Unggulan Grafik III. 2. 9Pertumbuhan Tahunan Impor berdasar BEC Perdagangan Antar Daerah Ekspor produk Jabagteng ke daerah lain pada triwulan II 2014 melambat dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Terkontraksinya sektor pertanian, yang sebagian besar dikonsumsi domestik, mendorong penurunan perdagangan antardaerah. Selain itu, masih melambatnya kinerja industri migas juga turut menahan laju pertumbuhan perdagangan antardaerah. Perbaikan ekspor antardaerah diperkirakan terjadi pada triwulan III 2014. Kuatnya konsumsi rumah tangga pada saat Ramadhan dan Idul Fitri mendorong kinerja perdagangan antardaerah. Selain itu, sejalan dengan membaiknya kinerja sektor industri pengolahan migas, diperkirakan ekspor migas ke daerah lain juga akan meningkat mengingat lebih dari 90% hasil dari pengolah migas digunakan untuk domestik. Laporan Nusantara| 65 Kinerja Sektor Utama Daerah Sektor Pertanian Pertumbuhan sektor pertanian Jabagteng pada triwulan II 2014 terkontraksi. Setelah tumbuh 1,9% (yoy) pada triwulan I 20142, pada triwulan II 2014 sektor pertanian terkontraksi 0,4% (yoy). Secara spasial, kontrasi sektor pertanian disebabkan oleh penurunan signifikan kinerja sektor pertanian di DI Yogyakarta, yang mengalami kontraksi pertumbuhan hingga mencapai 5,6% (yoy). Pada triwulan I 2014, sektor pertanian di DI Yogyakarta masih mampu tumbuh sebesar 4,71% (yoy). Sementara itu, pertumbuhan sektor pertanian di Jawa Tengah juga menurun, namun masih dalam level yang positif. Perlambatan pertumbuhan terutama didorong oleh memburuknya kinerja subsektor tanaman bahan makanan (Grafik III.2.16). Kontraksi pertumbuhan sektor pertanian diperkirakan masih terjadi pada triwulan III 2014, sebagai akibat dari menurunnya kinerja subsektor tanaman bahan makanan. Dinas Pertanian memperkirakan terjadinya penurunan produksi padi yang lebih dalam dibandingkan dengan periode sebelumnya (Grafik III.2.15). Hal ini juga terkonfirmasi dari persepsi pelaku usaha pertanian dalam Survei Kegiatan Dunia Usaha yang menunjukkan penurunan (Grafik III.2.17). 100 Rata-rata prod padi - RHS qtq, % PDRB tani 350 300 80 Ribu Ha Ribu Ton 2,050 11,600 11,400 2,000 11,200 250 60 200 40 11,000 1,950 10,800 10,600 150 100 20 50 0 I -20 II III IV I II 2012 III IV I Iip 2013 IIIp Ivp -40 10,200 Sumber : Dinas Pertanian dan BPS, diolah 6 9,800 1,800 9,600 2009 2010 2011 2012 2013 2014 Grafik III.2.11. Luas Panen dan Produksi Padi yoy, % Pertanian, Perkebunan, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan Tanaman Pangan Tanaman Perkebunan Peternakan dan Hasilnya Kehutanan Perikanan 8 10,000 Produksi-Skala Kanan Sumber : BPS Grafik III. 2. 10Luas Tanam dan Luas Panen Padi 10 Luas Panen 0 -100 SBT 10,400 1,850 -50 2014 1,900 200 Jabagteng Jateng 150 DIY 100 4 50 2 0 I 0 II -2 III 2012 IV I II III 2013 IV I II III -50 II III 2011 IV I II III 2012 IV I II III 2013 IV I II 2014 2014 -100 Grafik III.2.12. Kegiatan Dunia Usaha Sektor Pertanian 2 Grafik III.2.13. Pertumbuhan Tahunan Kredit yang Disalurkan pada Sektor Pertanian BPS Provinsi Jawa Tengah merevisi peryumbuhan sektor pertanian dari 2,1% (yoy) menjadi 1,6% (yoy) Laporan Nusantara| 66 Thousands Rata-Rata PDRB tani PDRB tabama Prod padi-RHS qtq, % Sektor Industri Pengolahan Kinerja sektor industri pengolahan meningkat pada triwulan II 2014 dengan pertumbuhan mencapai 6,1% (yoy), lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan pada triwulan I 2014 sebesar 5,8% (yoy). Hal tersebut dipengaruhi oleh meningkatnya industri nonmigas dibandingkan dengan periode sebelumnya. Sebagian besar subsektor industri unggulan mengalami peningkatan, yakni subsektor industri makanan, minuman dan tembakau, subsektor industri tekstil dan produk tekstil, serta subsektor industri kayu olahan. Di sisi lain, industri migas (pengilangan minyak) masih tumbuh melambat yang terkonfirmasi dari data pertumbuhan impor minyak mentah, yang tidak setinggi periode yang sama pada tahun sebelumnya (Grafik III.2.20). Bahan baku (minyak mentah) industri pengilangan minyak di Jabagteng sekitar 80% berasal dari impor luar negeri. Pada triwulan III 2014, industri pengolahan diperkirakan meningkat dibandingkan dengan triwulan sebelumnya terutama dengan dukungan industri migas. Kinerja industri nonmigas diperkirakan juga akan meningkat, yang terkonfirmasi dari hasil Survei Kegiatan Dunia Usaha. Peningkatan diperkirakan terjadi pada subsektor industri makanan, minuman dan tembakau, subsektor industri tekstil dan produk tekstil, serta subsektor industri kayu olahan. Khusus terkait industri TPT, potensi kenaikan produksi sejalan dengan impor serat tekstil serta benang tenun dan kain tekstil yang meningkat pada periode sebelumnya (Grafik III.2.22). qtq, % SBT Industri qtq 3.5 10 Keg Dunia Usaha (Skala Kanan) 3 9 8 2.5 2 1.5 0 -0.5 II III IV I II 2012 -1 III IV I 2013 II IIIp 2014 Industri qtq 5 Impor Minyak qtq - RHS (-1) 140 120 100 4 80 6 3 60 4 0.5 qtq, % 6 7 5 1 qtq, % 3 1 2 0 1 0 40 2 20 0 -20 I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II IIIp -40 -1 2009 2010 2011 2012 2012 2013 -60 2014 -2 Sumber : BPS Grafik III.2.20 Pertumbuhan Triwulanan Impor Migas Vs Pertumbuhan Triwulanan Industri Pengolahan Grafik III.2.14Pertumbuhan Triwulanan Industri Pengolahan Vs SBT Kegiatan Dunia Usaha Industri qtq SBT Mamin & Tembakau (Skala Kanan) 7 TPT (Skala Kanan) Barang Kayu (Skala Kanan) 6 qtq, % 3.5 3 2.5 -80 %, yoy %, yoy Impor Serat Tekstil (-10) Impor Benang Tenun & Kain Tekstil (-4) Ekspor Pakaian-Skala Kanan 200 50 40 150 5 2 4 30 100 20 1.5 3 1 1 0 -0.5 -1 50 10 2 0.5 II III 2012 IV I II III 2013 IV I II 2014 IIIp 0 0 1 0 -50 3 5 7 2012 9 11 1 3 5 7 2013 9 11 1 3 5 7p 9p 11 1 2014 3 2015 -1 -100 Grafik III. 2.21 SBTKegiatan Dunia Usaha Subsektor Industri Pengolahan Vs Pertumbuhan Tahunan Industri Pengolahan -10 -20 -30 Grafik III. 2.22 Pertumbuhan Tahunan Ekspor Benang Tenun dan Kain Tekstil Vs Impor Serat Tekstil Laporan Nusantara| 67 PERKEMBANGAN INFLASI Inflasi Jabagteng hingga Juli 2014 masih dalam tren menurun, yakni dari 7,13% (yoy) pada Juni 2014 menjadi sebesar 4,97% (yoy). Secara spasial, penurunan inflasi terjadi baik di Jawa Tengah maupun di DI Yogyakarta. Di Jawa tengah tekanan inflasi turun dari 7,26% (yoy) menjadi sebesar 5,03% (yoy). Sementara itu, di DI Yogyakarta inflasi turun dari 6,35% (yoy) menjadi sebesar 4,59% (yoy). Hilangnya dampak kenaikan BBM tahun 2013 menurunkan inflasi pada bulan Juli 2014 secara umum, dan secara khusus menurunkan Inflasi kelompok administered prices dari 11,95% (yoy) pada Juni 2014 menjadi 5,98% (yoy). Penurunan inflasi yang besar juga terjadi di kelompok volatile foods, yaitu dari 7,69% (yoy) menjadi 2,78% (yoy). Penurunan inflasi pada kelompok volatile foods sejalan dengan terjaganya pasokan bahan pangan, khususnya beras. Stok beras Bulog mencukupi kebutuhan pangan Jabagteng hingga 7 sampai 8 bulan kedepan. Di sisi lain, terdapat beberapa komoditas volatile foods yang memberi andil yang cukup besar pada periode laporan, di antaranya adalah bawang merah, telur ayam ras dan daging ayam ras3. Sementara itu inflasi kelompok inti tetap terjaga. Inflasi kelompok inti tercatat sebesar 4,32% (yoy), cenderung stabil dibandingkan dengan Juni 2014 sebesar 4,89% (yoy). Pada triwulan III 2014, inflasi diperkirakan masih meneruskan tren penurunan. Namun, terdapat risiko dari perluasan kebijakan yang membatasi penjualan BBM bersubsidi. Hingga saat ini, kebijakan pembatasan solar bersubsidi di wilayah Jakarta belum memberikan dampak signifikan. Adapun tekanan inflasi diperkirakan bersumber dari meningkatnya permintaan pada periode tahun ajaran baru serta Ramadhan dan Idul Fitri. Sementara itu, inflasi di kelompok pangan berpotensi meningkat sebagai pengaruh dari menurunnya produksi padi. Inflasi administered prices diperkirakan akan meningkat sejalan dengan diberlakukannya kenaikan tarif dasar listrik untuk beberapa kelompok termasuk kelompok rumah tangga. yoy, % yoy, % 9 Jateng 16 8 DIY 14 Jabagteng 12 Volatile Foods Nasional 10 Adm. Prices 7 Core 8 6 4 2 0 6 5 4 3 I II III 2012 IV I II III 2013 IV I II 2014 Grafik III. 2.15 Perkembangan Inflasi Juli I II III 2012 IV I II III 2013 IV I II Juli 2014 Grafik III. 2.24 Disagregasi Inflasi Jawa Bagian Tengah Koordinasi Pengendalian Inflasi Sampai dengan periode laporan, sebagian besar TPID di wilayah Jawa Bagian Tengah telah meningkatkan koordinasi guna mengantisipasi berbagai risiko inflasi. Rapat koordinasi yang telah dilakukan adalah High Level Meeting (HLM) dan Rapat Koordinasi Wilayah (Rakorwil). Rakorwil 3 Kenaikan harga daging ayam ras dan telur ayam ras terkait pembatasan produksi bibit ayam. Surat Mendag No.644/MDAG/SD/4/2014 tanggal 15 April kepada ketua dan anggota Gabungan Perusahaan Pembibitan Unggas (GPPU Indonesia) dan para pengusaha pembibitan unggas, untuk menjaga pendapatan yang wajar dari peternak unggas, untuk tetap menjaga ketersediaan pasokan dan agar tidak terjadi lonjakan harga eceran di tingkat konsumen pada saat HBKN (Hari Besar Keagamaan Nasional). Laporan Nusantara| 68 dilakukan pada bulan Juni 2014 dengan dihadiri oleh seluruh TPID di wilayah Provinsi Jawa Tengah dan DI Yogyakarta. Rapat ini membahas persiapan menjelang Idul Fitri 1435 H dan menghasilkan satu paket kebijakan yang dikenal dengan Paket Kebijakan 4K (Cukup-Lancar-Terjangkau-informatif). Paket kebijakan tersebut berisikan berbagai upaya TPID untuk menjaga inflasi dalam kondisi yang lebih stabil dengan melakukan berbagai tindakan aksi salah satunya adalah meningkatkan edukasi kepada masyarakat agar lebih bijak berbelanja. STABILITAS SISTEM KEUANGAN DAN PENGELOLAAN SISTEM PEMBAYARAN Ketahanan Sektor Korporasi Di tengah melambatnya pertumbuhan ekonomi, penyaluran kredit perbankan di Jabagteng pada triwulan II 2014 tercatat tumbuh stabil dibandingkan dengan triwulan sebelumnya (Grafik III.2.11),. Kredit di Jabagteng tumbuh pada kisaran 16% dengan kualitas penyaluran kredit yang ditunjukkan oleh gross NPL (Non Performing Loans) jauh di bawah level 5%. Berdasarkan jenisnya, kredit investasi dan kredit konsumsi melambat dibandingkan dengan triwulan sebelumnya (Grafik III.2.25). Kredit investasi melambat sejalan dengan perlambatan investasi pada triwulan II. Di sisi lain, kredit modal kerja meneruskan tren kenaikan pada akhir tahun, seiring dengan peningkatan kinerja sektor PHR. Adapun kualitas penyaluran kredit berdasarkan penggunaannya baik kredit investasi, konsumsi maupun modal kerja jauh berada di bawah 5%. Pada triwulan III 2014, pertumbuhan kredit diperkirakan masih relatif tinggi yaitu pada kisaran 15%. Adapun hal yang mendasari adalah konsumsi yang masih cukup kuat dan peningkatan kinerja sektor industri serta ekspor. Kredit Jateng Kredit DIY Kredit DIY yoy (Skala Kanan) Kredit Jateng yoy (Skala Kanan) Miliar Rp 250,000 yoy, % 26 24 200,000 22 150,000 20 100,000 18 50,000 16 0 14 I II III IV I II 2012 III IV I 2013 I 100000 II 2014 Investasi III IV I II 2012 PHR Industri Pengolahan Pertanian Industri Pengolahan yoy (Skala Kanan) PHR yoy (Skala Kanan) Pertanian yoy (Skala Kanan) 120000 Modal Kerja yoy, % Konsumsi 50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 II Grafik III.2.25. Kinerja Penyaluran Kredit Perbankan Miliar Rp yoy, % III IV I 2013 II 2014 Grafik III.2.26. Penyaluran Jenis Kredit Perbankan yoy, % Pertanian Industri PHR 4 160 140 120 80000 3.5 3 100 80 60000 60 40000 40 20 20000 0 0 -20 I II III 2012 IV I II III 2013 IV I II 2014 Grafik III.2.27. Kredit Bank Sektor Ekonomi 2.5 2 1.5 1 I II III 2012 IV I II III 2013 IV I II 2014 Grafik III.2.28. NPL Kredit Sektor Utama Perbankan Laporan Nusantara| 69 Berdasarkan data kredit per sektor utama Jabagteng, kredit di seluruh sektor utama daerah mengalami peningkatan, terutama pada sektor pertanian dan sektor industri pengolahan. Sementara itu, risiko penyaluran kredit pada sektor pertanian, sektor industri dan sektor PHR juga masih berada di level aman (< 5%), dengan kecenderungan menurun Ketahanan Sektor Rumah Tangga Kredit perbankan yang disalurkan pada sektor rumah tangga pada triwulan II 2014 melambat. Penurunan pertumbuhan terjadi pada kredit keperluan multiguna, kredit pemilikan rumah tinggal, dan kredit kendaraan bermotor. Perlambatan kredit pemilikan rumah terjadi pada rumah tinggal tipe di atas 70 maupun di bawah 70. Secara umum, ketahanan sistem keuangan sektor rumah tangga masih terjaga yang terkonfirmasi dari gross NPL stabil di bawah 5% (Grafik III.2.30) . % yoy, % 140 120 KPR <70 3.5 KPR>70 3 KKB 100 KPR>70 Multiguna KKB (Skala Kanan) % 0 2 60 -2 1.5 40 4 2 2.5 Multiguna 80 -4 1 20 -6 0.5 0 -20 KPR <70 4 160 I II III IV 2013 I II 2014 0 -8 I II III 2013 Grafik III.2.29. Kinerja Kredit Perbankan ke Rumah Tangga IV I II 2014 Grafik III.2.30. Perkembangan NPL Kredit Rumah Tangga Pembiayaan Sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) Kredit UMKM Jabagteng pada triwulan II 2014 mengalami perlambatan dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Kredit UMKM melambat dari 20,19% (yoy) menjadi 18,21% (yoy). Secara spasial, perlambatan kredit UMKM terjadi di Jawa Tengah dan DI Yogyakarta. Kinerja Sistem Pembayaran Sejalan dengan melambatnya perekonomian pada triwulan II 2014, pertumbuhan RTGS melambat baik secara nilai maupun volume. Pertumbuhan nilai RTGS tercatat sebesar 1,12% (yoy) pada triwulan II 2014, setelah pada triwulan sebelumnya tumbuh 8,71% (yoy). Volume RTGS juga melambat lebih dalam sebesar -13,88% (yoy) dari periode sebelumnya sebesar 10,60% (yoy). Lebih lanjut lagi, RTGS dari Jabagteng, ke Jabagteng, dan antardaerah di Jabagteng mengalami perlambatan. Sementara itu, transaksi kliring baik nominal maupun warkat masih tumbuh negatif, meskipun penurunannya tidak sebesar periode sebelumnya. Kinerja Pengelolaan Uang Tunai Sejalan dengan perlambatan ekonomi, net inflow menurun pada triwulan II 2014. Nilai inflow pada triwulan II 2014 tercatat lebih rendah dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Penurunan inflow ini dibarengi dengan outflow yang mengalami peningkatan dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Laporan Nusantara| 70 Dalam rangka memenuhi kebutuhan uang dalam kondisi layak edar, dilakukan pula penarikan uang lusuh oleh Kantor Perwakilan Bank Indonesia Wilayah V. Jumlah uang lusuh yang ditarik tercatat menurun dibandingkan dengan triwulan I 2014. Proporsi uang lusuh tersebut terhadap inflow juga lebih rendah. Sementara itu, temuan uang palsu pada triwulan II 2014 mengalami penurunan dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. PROSPEK PEREKONOMIAN Prospek Pertumbuhan Ekonomi Perkembangan terkini mengindikasikan pertumbuhan ekonomi Jabagteng pada tahun 2014 lebih rendah dari prakiraan semula. Perlambatan pertumbuhan diprakirakan terjadi baik di Jawa Tengah maupun DI Yogyakarta terkait dengan konsumsi yang tumbuh tidak setinggi perkiraan sebelumnya. Salah satu faktor yang memengaruhi terbatasnya pertumbuhan konsumsi adalah melambatnya kinerja produksi sektor pertanian yang akan berdampak pada penghasilan masyarakat petani. Hal ini terkonfirmasi dari optimisme konsumen yang cenderung tidak setinggi perkiraan sebelumnya dan indeks penjualan eceran yang cenderung turun. Realisasi investasi diperkirakan juga tidak sebesar perkiraan sebelumnya, khususnya dari investasi nonbangunan. Selain merujuk pada tren impor barang modal, hasil FGD yang dilakukan juga mengonfirmasi kecenderungan pelaku usaha TPT untuk tidak melakukan investasi setinggi tahun 2013. Sementara itu, ekspor melambat terutama ke luar negeri. Impor juga dikoreksi ke bawah dengan melihat perkembangan impor luar negeri sampai dengan triwulan II. Dari sisi sektoral, pertumbuhan sektor pertanian, industri pengolahan serta perdagangan, hotel, dan restoran cenderung lebih rendah. Revisi pertumbuhan sektor pertanian sejalan dengan produksi padi yang turun lebih dalam dibandingkan perkiraan sebelumnya. Prospek Inflasi Berdasarkan perkembangan harga terkini, inflasi Jabagteng pada tahun 2014 diperkirakan lebih rendah dibandingkan dengan perkiraan pada laporan periode sebelumnya. Inflasi Jabagteng diprakirakan sebesar 4,6% – 5,1% (yoy) untuk keseluruhan tahun 2014. Inflasi di Jawa Tengah diprakirakan berada pada kisaran 4,7 – 5,2 % (yoy), sementara inflasi DIY diprakirakan pada kisaran 4,1% – 4,6% (yoy). Hal tersebut didukung oleh terjaganya ketersediaan pasokan dan keterjangkauan harga komoditas pangan strategis. Selain itu, semakin solidnya koordinasi antara Pemerintah dan BI dalam forum TPI/TPID turut mendukung penurunan inflasi Jabagteng. Namun, terdapat berbagai risiko inflasi pada semester II 2014, di antaranya dampak dari faktor iklim El Nino dan perluasan kebijakan pembatasan BBM bersubsidi. Terjadinya kemarau panjang sebagai dampak El Nino pada triwulan IV berisiko pada produksi pangan. Meski demikian, kondisi stok beras Bulog yang ada saat ini masih memadai dan dapat memenuhi pasokan pangan daerah untuk tujuh bulan kedepan. Rendahnya harga cabe saat ini diperkirakan juga dapat mengurangi animo petani menanam cabe sehingga harga dapat kembali meningkat. Selain itu, kemungkinan kenaikan tarif batas angkutan udara juga dapat memengaruhi pencapaian inflasi di 2014. Laporan Nusantara| 71 Tabel II.2.1 Prakiraan Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi Jawa Bagian Tengah Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi 6.2 I 5.5 II 6.2 2013 III 6.0 IV 5.4 Total 5.8 I 5.3 II 5.2 2014 IIIp IVp 5.6 5.5 Totalp 5.1-5.6 5.1 5.2 4.8 7.9 9.4 8.4 4.8 5.1 3.1 5.6 4.0 2.2 4.8 5.2 2.8 7.6 8.7 7.2 5.8 5.4 8.0 8.1 10.0 17.3 5.6 5.1 7.7 8.5 10.8 9.5 5.2 5.2 5.5 7.5 8.4 9.0 5.2 5.2 5.1 9.0 9.4 10.1 4.8 5.4 1.5 6.0 7.5 1.6 4.7 5.4 1.2 5.5 9.2 6.6 5.4 5.4 5.5 6.3 8.6 6.5 4.8-5.3 5.1-5.6 3.2-3.7 6.6-7.1 8.0-8.5 5.5-6.0 3.8 0.4 2.8 3.4 1.6 2.0 7.0 5.2 5.7 5.4 8.7 6.2 5.1 4.9 6.8 5.1 7.2 6.0 6.5 9.5 7.0 9.0 7.4 8.2 6.8 6.3 7.5 6.8 6.6 6.8 8.1 9.0 8.2 6.9 5.4 7.4 7.6 7.7 7.3 7.7 3.5 6.5 9.5 9.3 8.9 9.7 10.3 9.6 7.3 6.2 3.4 7.4 3.3 5.0 4.25 6.26 5.47 8.30 7.88 7.88 1.9 4.9 5.8 5.2 6.9 6.0 4.8 10.4 5.3 6.95 -0.4 4.1 6.1 8.1 5.8 6.9 4.8 9.5 5.9 7.13 -0.6 5.9 6.9 10.0 6.3 7.6 5.8 8.8 5.0 4.72 -1.2 3.5 6.4 5.0 5.9 7.6 6.8 7.5 5.4 4.86 -0.2-0.3 4.4-4.9 6.0-6.5 6.8-7.3 6.0-6.5 6.8-7.3 5.3-5.8 8.7-9.2 5.1-5.6 4.6-5.1 2011 2012 5.9 PDRB (%yoy) Sisi Permintaan Konsumsi 6.7 Konsumsi Swasta 6.6 Konsumsi Pemerintah 7.5 Pembentukan Modal Tetap Bruto7.2 Ekspor 7.8 Impor 9.2 Sisi Produksi 1.0 Pertanian Pertambangan dan penggalian 5.4 6.6 Industri pengolahan 5.8 Listrik, gas dan air bersih 6.8 Konstruksi Perdagangan, hotel & restoran 7.5 Pengangkutan dan komunikasi 8.5 6.9 Keuangan, real estate & jasa persh. 7.4 Jasa-jasa Inflasi IHK (%yoy) 2.86 Sumber : Badan Pusat Statistik, diolah p proyeksi Bank Indonesia Laporan Nusantara| 72 PERTUMBUHAN EKONOMI Di tengah perlambatan perekonomian nasional, perekonomian wilayah Jawa Barat dan Banten (Jawa Bagian Barat) pada triwulan II 2014 mencatat pertumbuhan yang lebih tinggi dari triwulan sebelumnya. Perekonomia Jabagbar tumbuh sebesar 5,6% (yoy), meningkat dibandingkan dengan pertumbuhan triwulan I 2014 sebesar 5,4% (yoy). Secara spasial, motor utama pertumbuhan ekonomi Jabagbar yaitu Jawa Barat. Pada triwulan II 2013 perekonomian Jawa Barat mengalami pertumbuhan yang meningkat, sedangkan perekonomian Banten tumbuh relatif stabil dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Konsumsi rumah tangga (termasuk lembaga nonprofit) yang masih kuat, serta kinerja ekspor yang meningkat, menjadi pendorong peningkatan pertumbuhan ekonomi Jawa Bagian Barat. Sementara itu, investasi tumbuh melambat seiring dengan kecenderungan pelaku usaha untuk menunda dulu (wait and see) kegiatan investasinya, menyikapi dinamika Pemilu 2014. Konsumsi pemerintah masih mengalami kontraksi terutama di Jawa Barat, sedangkan di Banten tumbuh melambat. Di sisi sektoral, pertumbuhan ekonomi didorong oleh peningkatan kinerja sektor industri pengolahan; sektor pertanian; serta sektor pertambangan dan penggalian. Berdasarkan perkembangan indikator terkini, perekonomian wilayah Jawa Bagian Barat (Jabagbar) diprakirakan kembali tumbuh meningkat menjadi 5,9% (yoy) pada triwulan III 2014. Beberapa hal yang memengaruhi prakiraan tersebut antara lain konsumsi rumah tangga yang masih kuat, seiring dengan adanya momen Ramadhan dan Idul Fitri serta pelaksanaan Pilpres (Pemilu Presiden). Di sisi ekspor, membaiknya kondisi perekonomian negara-negara tujuan ekspor, terutama negara maju dan ASEAN diperkirakan masih akan mendorong peningkatan kinerja ekspor wilayah Jabagbar. Sementara itu, konsumsi pemerintah diperkirakan akan terakselerasi, seiring dengan pembayaran gaji ketigabelas, penyaluran BOS, hibah, transfer daerah serta pola belanja pemerintah back loading. Pelaksanaan Pemilihan Presiden (Pilpres) tahun 2014 yang aman dan lancar, diperkirakan mendorong optimisme investor untuk melakukan ekspansi usahanya. Selain itu, libur panjang Lebaran dan akhir tahun pelajaran akan mendorong peningkatan kinerja sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran (PHR), seiring dengan meningkatnya aktivitas belanja masyarakat pada periode tersebut. Namun, kinerja sektor industri pengolahan akan sedikit melambat pada masa libur tersebut. Berdasarkan berbagai perkembangan indikator di atas, pertumbuhan ekonomi wilayah Jabagbar pada tahun 2014 diprakirakan berada pada kisaran 5,4 – 5,8% (yoy). Konsumsi Konsumsi Rumah Tangga Konsumsi rumah tangga wilayah Jabagbar pada triwulan II 2014 tumbuh sebesar 5,4% (yoy), lebih tinggi dibandingkan dengan prakiraan sebelumnya (5,2%, yoy) dan triwulan sebelumnya (5,1%, yoy). Secara spasial, peningkatan konsumsi rumah tangga Jabagbar didorong oleh pertumbuhan konsumsi rumah tangga di Jawa Barat, sedangkan pertumbuhan konsumsi rumah tangga di Banten relatif stabil. Peningkatan pertumbuhan konsumsi rumah tangga di Jabagbar didorong oleh peningkatan pendapatan rumah tangga, Laporan Nusantara| 73 terutama di daerah basis pertanian Jawa Barat, seiring dengan adanya panen raya tanaman bahan makanan. Meningkatnya daya beli masyarakat, selain karena meningkatnya pendapatan hasil panen, juga dipengaruhi oleh kondisi inflasi yang semakin menurun. Selain itu, berbagai aktivitas jelang Pilpres juga berperan mendorong peningkatan belanja masyarakat. Peningkatan konsumsi rumah tangga juga terindikasi dari meningkatnya penjualan mobil. Berdasarkan data Gaikindo, penjualan kendaraan di wilayah Jabagbar mencapai 125.874 buah atau mencapai 27% dari penjualan nasional pada periode Januari-Mei 2014, khususnya untuk jenis Low Cost Green Car (LCGC). Pangsa penjualan mobil di segmen ini, pada periode tersebut, meningkat hingga 25% jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya. Indeks IKK Banten IKE Banten 160 IKK Jabar IKE Jabar Indeks 118 116 114 112 110 108 106 104 102 100 98 140 120 100 80 60 40 BANTEN I 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 II III IV I II 2012 2012 2013 JABAR III IV I II 2013 III* 2014 2014 Sumber : BPS, diolah Grafik III.3.1. Perkembangan Optimisme Konsumen Indeks Pengeluaran 3 Bln YAD Jabar Pengeluaran 3 bln YAD Banten Grafik III.3.2. Indeks Tendensi Konsumen Indeks %, yoy Indeks Penjualan Riil Pertumbuhan Penjualan Riil (yoy) 170 60 190 50 150 170 40 130 150 130 30 110 20 110 10 90 90 0 70 70 50 -10 50 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 2012 2013 2014 Grafik III.3.3. Prakiraan Pengeluaran Konsumen Tiga Bulan ke Depan -20 11 12 1 2012 2 3 4 5 6 7 2013 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6* 7** 2014 Grafik III.3.4. Perkembangan Penjualan Riil Memasuki triwulan III 2014, berbagai perkembangan indikator terkini mengindikasikan konsumsi rumah tangga akan tumbuh relatif stabil dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. IKK (Indeks Keyakinan Konsumen) dan IKE (Indeks Kondisi Ekonomi) hingga Juli 2014 menunjukkan optimisme konsumen yang relatif stabil (Grafik III.3.1). Kondisi ekonomi konsumen pada triwulan III 2014 diperkirakan membaik seiring dengan peningkatan pendapatan rumah tangga, sebagaimana tercermin dari ITK (Indeks Tendensi Konsumen) yang masih menunjukkan peningkatan (Grafik III.3.2). Pengeluaran konsumen untuk tiga bulan yang akan datang, baik rumah tangga di Jawa Barat maupun di Banten, menunjukkan tren peningkatan, Laporan Nusantara| 74 meski pada akhir triwulan III relatif stabil (Grafik III.3.3). Peningkatan tersebut terkait dengan pelaksanaan Pilpres serta momen Ramadhan dan Idul Fitri. Hal ini sejalan dengan informasi kalangan pelaku usaha ritel yang memperkirakan tren peningkatan omset penjualan dari triwulan II 2014 hingga triwulan III 2014 (Grafik III.3.4). Konsumsi Pemerintah Konsumsi pemerintah pada triwulan II 2014 mengalami penurunan tajam. Penurunan tersebut menyebabkan pertumbuhan konsumsi pemerintah terkontraksi 0,9% (yoy). Pada triwulan sebelumnya, konsumsi pemerintah masih tumbuh positif sebesar 4,2% (yoy). Hal ini disebabkan oleh belum terealisasinya sebagian besar dana bantuan sosial, hibah, bagi hasil dan dana bantuan keuangan Pemerintah Kabupaten/Kota yang kurang lebih sebesar 25%-30% dari alokasi yang telah dianggarkan. Selain itu, pencairan gaji ke-13 bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS), yang semula direncanakan pada akhir triwulan II 2014, ternyata baru terealisasi pada awal triwulan III 2014. 20 18 16 14 12 10 8 6 4 2 0 Rp Triliun 2012 2013 2.5 2014 Rp Triliun 2012 TW I TW II 2013 2014 2.0 1.5 1.0 0.5 0.0 TW I TW II TW III TW IV Provinsi Jawa Barat Sumber : Biro Keuangan Pemprov Jawa Barat (Data Sementara) Grafik III.3.5. Realisasi Belanja Provinsi Jawa Barat TW III TW IV Provinsi Banten Sumber : BKPPD Banten (Data Sementara) Grafik III.3.6. Realisasi Belanja Provinsi Banten Meskipun pertumbuhan konsumsi pemerintah menurun, realisasi pendapatan daerah mengalami peningkatan pada triwulan II 2014. Realisasi pendapatan daerah Jawa Barat telah mencapai sekitar 53% hingga triwulan II 2014, sedangkan realisasi belanja daerah baru berada di kisaran 22% atau lebih tinggi dibandingkan realisasi pada triwulan I 2014 sekitar 7%. Kondisi yang hampir sama juga terjadi di Banten. Meskipun pendapatan daerah telah mencapai sekitar 47%, realisasi belanja di Banten baru mencapai sekitar 22%. Realisasi belanja modal di Jawa Barat juga masih terbatas yang terindikasi dari rendahnya realisasi pembebasan lahan untuk pembangunan bandara internasional Kertajati dan jalan tol Cisumdawu (0,04%). Disamping itu, realisasi belanja untuk pembangunan atau perbaikan jalan dan irigasi hanya mencapai kisaran 1,18%. Perkembangan tersebut menyebabkan realisasi belanja APBD Jawa Barat mengalami kontraksi pada triwulan II 2014, sedangkan realisasi belanja APBD Banten tumbuh melambat. Berdasarkan polanya, konsumsi pemerintah pada triwulan III 2014 diprakirakan akan tumbuh meningkat. Faktor yang mendorong peningkatan konsumsi pemerintah tersebut antara lain transfer ke daerah dan bantuan keuangan daerah serta bantuan sosial dan hibah. Selain itu, masih minimnya realisasi belanja modal hingga triwulan II 2014 yang mencapai 5,7% akan mendorong peningkatan belanja modal Pemerintah Provinsi Jawa Barat pada triwulan III 2014. Selain proyek bandara internasional Kertajati dan jalan tol Cisumdawu, dimulainya proses studi kelayakan dan beberapa kegiatan di awal triwulan III 2014 Laporan Nusantara| 75 seperti perbaikan jalan Bandung-Cirebon, akan mendukung peningkatan realisasi belanja modal (Grafik III.3.5 dan III.3.6). Investasi Perkembangan investasi wilayah Jabagbar pada triwulan II 2014 tumbuh melambat dari 5,9% (yoy) menjadi 4,6% (yoy). Salah satu faktor utama yang memengaruhi perlambatan ini adalah sikap menunda (wait and see) pelaku usaha selama berlangsungnya kegiatan Pilpres tahun 2014. Berdasarkan hasil liaison, perlambatan investasi pada triwulan ini dikarenakan perusahaan sektor industri pengolahan hanya mengeluarkan investasinya untuk pemeliharaan dan modifikasi mesin, guna menyesuaikan kebutuhan produksi. Meski demikian, dari kegiatan liason di Jawa Barat juga diperoleh informasi bahwa subsektor peternakan dan perdagangan melakukan kegiatan investasi belanja modal yang cukup agresif pada triwulan ini, terutama untuk pembangunan kandang dan gudang baru. Terkait dengan pembiayaan kegiatan investasi, sumber pembiayaan dari perusahaan induk maupun internal perusahaan menjadi pilihan utama. Hal ini dikonfirmasi oleh beberapa perbankan di Jabagbar yang penyaluran kreditnya hanya ditujukan kepada pelaku usaha existing atau prospektif. Berdasarkan data dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), realisasi investasi asing (PMA) di wilayah Jabagbar pada triwulan II 2014 mengalami penurunan. Meski demikian, realisasi jumlah proyek yang dibiayai dengan PMA mengalami peningkatan. Sementara itu, untuk investasi dalam negeri (PMDN), realisasinya di Jawa Barat mengalami penurunan, sedangkan di Banten masih mengalami peningkatan. Namun, jumlah proyek yang dibiayai menggunakan PMDN di Banten menunjukkan penurunan (Grafik III.3.7 dan III.3.8). PMDN Jabar PMA Jabar 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0 PMDN Banten PMA Banten PMA (USD Milyar) 2.5 2.0 1.5 1.0 0.5 0.0 I II III 2012 IV I II III 2013 IV I Jumlah Proyek PMA 2,500 Thousands PMDN (Rp Triliun) PMDN 2,000 1,500 1,000 500 - I II 2014 Sumber : BKPPMD Jawa Barat dan Banten (Data Sementara) Grafik III.3.7. Realisasi Investasi Menurut Provinsi 2010 2011 2012 2013 II 2014 Sumber : BKPM Grafik III.3.8. Jumlah Proyek Investasi Berdasarkan berbagai indikator terkini, pertumbuhan investasi diprakirakan meningkat pada triwulan III 2014. Hal ini sejalan dengan peningkatan pertumbuhan kredit investasi di Jabagbar pada akhir triwulan II 2014 (Grafik III.3.9). Selain itu, membaiknya investasi juga diindikasikan dengan mulai meningkatnya pertumbuhan impor barang modal,meskipun masih terbatas (Grafik III.3.10). Berdasarkan hasil dari liaison dan berbagai disukusi terbatas (forum group discussion/FGD) dengan berbagai institusi dan pelaku usaha, diperoleh informasi bahwa kegiatan investasi pada triwulan III 2014 akan meningkat khususnya terkait dengan infrastruktur dan perluasan usaha. Lebih lanjut, pertumbuhan investasi diperkirakan dapat meningkat lebih tinggi lagi apabila kondisi politik nasional tetap kondusif pasca-penetapan presiden/wakil presiden pemilu 2014. Laporan Nusantara| 76 Rp Triliun Kredit Investasi (KI) 70 Pertumbuhan KI YoY (%) 60 50,8 46,5 60 35,5 50 50 36,7 USD Milyar Impor Barang Modal %, yoy Pertumbuhan Impor (RHS) 3,5 60 50 3,0 40 30 2,5 40 20 2,0 40 10 30 30 0 1,5 -10 20 20 1,0 10 10 - 0 -20 -30 0,5 I II III IV I II 2012 III IV I 2013 -40 - II -50 I II 2014 III IV I II 2011 Grafik III.9. Penyaluran Kredit Investasi Jabagbar III IV I II 2012 III IV 2013 I II* 2014 Grafik III.10. Impor Barang Modal Jabagbar Perdagangan Luar Negeri Ekspor Ekspor luar negeri (LN) Jabagbar meningkat seiring dengan peningkatan perekonomian negara maju. Ekspor Jabagbar pada triwulan II 2014 tumbuh meningkat menjadi 7,4% (yoy). Peningkatan ekspor terutama disumbang oleh ekspor Jawa Barat yang tumbuh meningkat menjadi 7,6% (yoy) pada triwulan II 2014 dari triwulan I 2014 sebesar 6,0% (yoy). Sementara itu, Banten mengalami perlambatan ekspor dari 9,2% (yoy) pada triwulan I 2014 menjadi 7,1% (yoy) pada triwulan II 2014. Perbaikan kinerja ekspor Jabagbar tersebut didorong oleh pertumbuhan ekspor komoditas manufaktur yang meningkat, terutama ke pasar negara maju seperti Amerika Serikat dan Eropa. Sementara itu, ekspor ke negara berkembang di kawasan Asia, cenderung melambat. Hal ini diperkirakan terkait dengan pelemahan perekonomian emerging economic (EM) seperti Tiongkok dan India. Manufaktur Kimia %, yoy 100 TPT Makanan Net Ekspor (Sb. Kanan) Pertumbuhan Ekspor Pertumbuhan Impor %, yoy 50 Juta USD 1400 80 1200 40 1000 60 30 800 20 20 600 0 10 40 400 -20 200 0 0 -40 I II III 2011 IV I II III 2012 IV I II III 2013 IV I II 2014 Grafik III.3.11. Pertumbuhan Ekspor Manufaktur -10 -20 I II III IV I II III IV I II III IV I II -200 -400 2011 2012 2013 2014 -600 Grafik III.3.12. Perkembangan Perdagangan LN Jabagbar Komoditas manufaktur utama masih menjadi pendorong kenaikan ekspor Jabagbar. Berdasarkan subsektor industrinya, peningkatan ekspor manufaktur didorong oleh peningkatan ekspor komoditas TPT, kimia, makanan dan minuman, logam, kulit, serta karet dan plastik. Ekspor elektronika dan mesin juga mulai menunjukkan adanya perbaikan meskipun masih terbatas. Sementara itu, ekspor kendaraan bermotor cenderung mengalami penurunan terutama ke pasar Timur Tengah dan Afrika, sebagaimana disampaikan oleh Gaikindo dalam FGD. Laporan Nusantara| 77 Berbagai perkembangan terakhir mengindikasikan kinerja ekspor Jabagbar pada triwulan III 2014 mengalami peningkatan. Salah satu faktor yang mendorong peningkatan tersebut adalah membaiknya perekonomian Amerika Serikat dan beberapa negara maju di Eropa. Hal ini sesuai laporan liaison yang memperkirakan peningkatan kinerja ekspor Jabagbar terutama dari industri TPT, kimia, makanan, dan karet olahan serta kulit. Permintaan akan tekstil dan alas kaki yang masih kuat dari kawasan Eropa serta Amerika Serikat membuat penjualan ekspor diperkirakan terus berkembang. Tw I 2014 Tw II 2014 6% 6% 23% 14% AMERICA 24% 16% ASIA EUROPE 57% AFRIKA & AUSTRALIA 54% Grafik III.3.13. Pangsa Ekspor Jabagbar Tw I dan II 2014 Impor Perkembangan impor luar negeri Jabagbar pada triwulan II 2014 tumbuh stabil. Kondisi tersebut sejalan dengan kebijakan pemerintah dan Bank Indonesia untuk menurunkan defisit transaksi berjalan. Sumber impor luar negeri Jabagbar pada triwulan II 2014 didominasi oleh impor bahan baku yang mencapai 98,5% dari total impor luar negeri Jabagbar. Pertumbuhan impor bahan baku mengalami kontraksi pada triwulan II 2014, sementara impor barang konsumsi dan barang modal tumbuh meningkat. Di sisi lain, impor di sektor manufaktur, terutama pada industri elektronik dan mesin dan sektor pertanian mulai menunjukkan adanya peningkatan. Peningkatan impor terutama terkait dengan bahan baku industri. Hal ini sejalan dengan indikator kegiatan usaha pada Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) triwulan II yang memperkirakan adanya peningkatan kegiatan usaha industri pengolahan dari 4,48% pada triwulan II 2014 menjadi 8,20% pada triwulan III 2014. USD Milyar Impor Bahan baku 10 Impor Barang Konsumsi Impor Barang Modal %, yoy Ribu Unit Ekspor Mobil 25 9 8 G.Ekspor (Kanan) 60 40 20 7 20 15 6 0 5 10 4 -20 5 3 2 -40 0 1 -60 1 I II III IV I II III IV I II III IV I 2 3 4 5 6 7 2012 2013 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7* II 2013 2011 8 2014 2014 Sumber : Gaikindo Grafik III.3.14. Impor Menurut Jenisnya Grafik III.3.15. Perkembangan Ekspor Mobil Laporan Nusantara| 78 Kinerja Sektor Utama Daerah Sektor Industri Pengolahan Kuatnya konsumsi rumah tangga dan membaiknya ekonomi negara tujuan ekspor mampu mendorong peningkatan kinerja sektor industri pengolahan Jabagbar pada triwulan II 2014. Industri pengolahan tumbuh signifikan dari 3,5% (yoy) pada triwulan I 2014 menjadi 4,2% (yoy)pada triwulan II 2014. Jenis industri yang mengalami pertumbuhan tertinggi adalah industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT). Peningkatan industri TPT disebabkan kalangan pengusaha memperbanyak stok tekstil untuk persiapan lebaran dan untuk memenuhi peningkatan permintaan negara maju. Berdasarkan hasil liaison, permintaan TPT Jabagbar terutama untuk memenuhi permintaan dari beberapa brand ternama di Amerika Serikat dan Eropa. Selain TPT, pertumbuhan sektor industri pengolahan Jabagbar juga ditopang oleh meningkatnya produksi industri makanan minuman, industri bahan kimia dan barang dari bahan kimia, serta industri otomotif dan alat angkutan (trailer dan semi tralier). Berdasarkan hasil liaison, tingkat penjualan produk industri kimia mengalami peningkatan yang signifikan. Sementara itu, industri yang mengalami penurunan kinerja pada triwulan ini adalah industri barang logam bukan mesin dan industri karet olahan. yoy (%) Pertanian Industri Pengolahan PHR Jabagbar 2012 JUTA TON 2013 2014 4,0 16 14 12 10 8 6 4 2 0 -2 -4 -6 -8 3,5 3,0 2,5 2,0 3,3 3,5 1,5 3,1 3,2 3,0 3,6 3,4 3,5 2,1 1,0 I II III IV I II 2012 III IV I 2013 II III* 1,5 0,5 0,0 2014 TW I Sumber : BPS, diolah Produksi Mobil Pertumbuhan (Kanan) 140 %, yoy 50 40 30 20 10 0 -10 -20 -30 -40 -50 -60 120 100 80 60 40 20 0 1 2 3 4 5 6 TW III TW IV Sumber : Dinas Pertanian Tanaman Pangan Jawa Barat Grafik III.3.16. Pertumbuhan Sektor Utama Jabagbar Ribu Unit TW II* 7 2013 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7* 2014 Grafik III.3.17. Produksi Padi Jawa Barat Indeks %, yoy Indeks Penjualan Riil Pertumbuhan Penjualan Riil (yoy) 170 60 50 150 40 130 30 110 20 10 90 0 70 -10 50 -20 11 12 1 2012 2 3 4 5 6 7 2013 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6* 7** 2014 Sumber : Gaikindo Grafik III.3.18. Perkembangan Industri Otomotif Grafik III.3.19. Perkembangan Penjualan Riil Pada triwulan III 2014, kinerja industri pengolahan diprakirakan relatif stabil dan cenderung menurun. Hal ini diindikasikan dengan beberapa faktor seperti libur panjang lebaran, kondisi perbaikan ekonomi global yang belum solid, serta penyesuaian konsumsi RT pasca-lebaran. Pertumbuhan industri TPT diperkirakan Laporan Nusantara| 79 masih meningkat, terutama untuk memenuhi permintaan negara maju dalam menghadapi Natal. Sementara itu, kinerja industri otomotif diperkirakan melambat seiring dengan penurunan permintaan domestik di tengah kebijakan pembatasan BBM bersubsidi, kebijakan pemerintah untuk mengurangi kemacetan, serta kebijakan makroprudensial. Sektor Pertanian Pada triwulan II 2014, sektor pertanian Jabagbar tumbuh meningkat dari 0,5% (yoy) menjadi 3,1% (yoy). Faktor yang mendorong peningkatan kinerja sektor pertanian adalah meningkatnya produksi tanaman bahan makanan khususnya padi. Di Jawa Barat, meningkatnya produksi padi pada triwulan II 2014 disebabkan faktor bergesernya masa panen padi akibat bencana banjir pada awal tahun. Menurut hasil liaison, cuaca dan iklim yang mendukung di Banten pada triwulan II 2014 mendorong peningkatan produksi padi di wilayah Pandeglang. Sementara itu, kinerja sektor pertanian pada triwulan III 2014 diprakirakan tumbuh melambat. Hal ini terkait dengan beberapa faktor yang diperkirakan mengganggu produksi pertanian seperti El Nino, berkurangnya kegiatan cocok tanam pada periode musiman puasa dan Idul Fitri, serta risiko serangan hama dan penyakit. Meskipun beberapa wilayah pertanian lumbung padi di utara Jabagbar kerap menjadi langganan kekeringan, tetapi dampaknya diperkirakan tidak terlalu besar. Pemerintah terus melakukan penyuluhan kepada petani untuk mempercepat tanam musim kemarau dan mengganti benih padi dengan varietas bersiklus pertumbuhan pendek seperti IR-16. Selain itu, pemerintah juga menyiapkan pompa untuk mengatasi kesulitan air pada lahan yang menjadi langganan kekeringan. Sektor Perdagangan, Hotel, dan Restoran (PHR) Kinerja sektor PHR Jabagbar pada triwulan II menurun. Pertumbuhan PHR melambat dari 7,5% (yoy) pada triwulan I 2014 menjadi 6,5% (yoy) pada triwulan II 2014. Hal tersebut terindikasi dari melambatnya pertumbuhan penjualan riil pada Mei dan Juni 2014. Selain itu, dampak pelaksanaan kegiatan Pemilu, rangkaian libur nasional termasuk libur tahun ajaran baru ke sektor pariwisata, hotel dan restoran tidak sesuai yang diperkirakan. Tingkat kunjungan wisatawan baik melalui bandara di Bandung maupun di Tangerang mengalami penurunan, khususnya pada kunjungan wisatawan asing. Selain itu, tingkat penghunian kamar hotel pada triwulan II 2014 lebih rendah dibandingkan dengan triwulan II 2013, yakni menurun dari 49,0% menjadi 47,9%. Berbagai perkembangan terakhir menunjukkan adanya peningkatan kinerja dari sektor PHR pada triwulan III 2014. Beberapa toko ritel modern menggelar berbagai program promosi untuk mendorong peningkatan penjualan pada masa puasa dan lebaran. Berdasarkan Survei Pedagang Ecerean, tingkat penjualan riil hingga Juli 2014 mengalami peningkatan yang signifikan dibandingkan bulan-bulan sebelumnya. Selain itu, penjualan barang tahan lama juga mengalami peningkatan berdasarkan hasil survei konsumen pada awal triwulan III 2014. Sementara itu, Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Jawa Barat menyayangkan rencana pemerintah yang akan menaikkan harga gas LPG 12 kg pada Agustus 2014 karena berpotensi menurunkan penerimaan di sektor perhotelan dan restoran. Laporan Nusantara| 80 PERKEMBANGAN INFLASI Sampai dengan Juli 2014, inflasi di wilayah Jabagbar menunjukkan tren penurunan menjadi 4,1% (yoy). Tren penurunan inflasi di Jabagbar tersebut dikarenakan telah habisnya dampak kenaikan harga BBM bersubsidi pada tahun 2013. Selain itu, ekspektasi inflasi pada periode puasa dan lebaran tahun ini tidak sebesar yang diperkirakan, seiring dengan berbagai kebijakan yang ditempuh pemerintah dan Bank Indonesia. Koordinasi pemerintah dan TPID dalam pemantauan dan penyediaan pasokan pangan berhasil mendorong inflasi pada periode lebaran menjadi lebih rendah dibandingkan dengan tren historisnya dalam tiga tahun terakhir. Adapun tekanan inflasi wilayah Jabagbar hingga juli 2014 terutama disebabkan oleh kenaikan administered prices (tarif listrik, tarif transportasi dan kenaikan harga rokok). Inflasi inti relatif stabil di tengah masih kuatnya konsumsi rumah tangga. Secara spasial, inflasi Banten mencapai 5,5% (yoy), lebih tinggi dibandingkan dengan inflasi Jawa Barat yang mencapai 3,7% (yoy) (Grafik III.3.28). JABAGBAR YOY (%) 12 BANTEN JABAR YOY (%) 25 10 IHK Volatile Food Administered Price Core 20 8 15 6 10 4 5 2 0 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 2012 2013 2012 2014 Sumber : Badan Pusat Statistik, diolah Ekspektasi Harga 3 Bulan YAD 2014 Sumber : Badan Pusat Statistik, diolah Grafik III.3.20. Perkembangan Inflasi Indeks 2013 Ekspektasi Harga 6 Bulan YAD 225 Grafik III.3.21. Disagregasi Inflasi Jabagbar %, SBT 40 35 200 30 25 175 20 150 15 10 125 100 5 Indeks > 100 = optimis Indeks < 100 = pesimis 0 I 75 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 2012 2013 Grafik III.3.22. Perkiraan Harga 2014 II III 2011 IV I II III 2012 IV I II III 2013 IV I II III* 2014 Grafik III.3.23. Ekspektasi Harga Jual Pelaku Usaha Berbagai indikator mengindikasikan adanya penurunan tekanan inflasi di wilayah Jabagbar pada triwulan III 2014 dibandingkan triwulan sebelumnya. Inflasi pada akhir triwulan III 2014 diprakirakan menjadi 4,3% (yoy), melambat dari triwulan II 2014 sebesar 6,6% (yoy). Perlambatan tersebut sejalan dengan hasil Survei Konsumen (SK) yang mengonfirmasi penurunan ekspektasi konsumen terhadap kenaikan harga dalam tiga bulan mendatang, meski untuk ekspektasi enam bulan mendatang meningkat (Grafik III.3.30). Selain itu, hasil Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) juga mengkonfirmasi perlambatan, harga jual secara umum pada triwulan III 2014 diperkirakan sedikit menurun, dibandingkan dengan triwulan II 2014. Hal tersebut Laporan Nusantara| 81 tercermin dari nilai Saldo Bersih Tertimbang (SBT) ekspektasi responden terhadap perkiraan harga jual pada triwulan III 2014 sebesar 27,59%, lebih rendah dibandingkan triwulan sebelumnya sebesar 29,27%. Hal ini terkait dengan berakhirnya faktor musiman pasca-Ramadhan, lebaran dan liburan (Grafik III.3.31). Meski demikian, kebijakan seperti kenaikan tarif tenaga listrik (TTL), harga gas LPG 12 kg dan pembatasan penjualan BBM bersubsidi di sejumlah daerah, mengakibatkan inflasi pada akhir triwulan III tersebut sedikit lebih tinggi dibandingkan bulan Juli 2014 sebesar 4,1% (yoy) Koordinasi Pengendalian Inflasi Berbagai upaya dilakukan untuk meredakan tekanan inflasi yang terjadi di wilayah Jabagbar, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Beberapa upaya yang dilakukan antara lain dengan melakukan koordinasi dengan TPID se Jawa Barat, Banten dan Jakarta. Dalam forum tersebut telah disepakati beberapa hal pokok sebagai berikut : 1. Menjamin ketersediaan dan mengendalikan keterjangkauan harga menjelang Ramadhan dan Idul Fitri 1435 H; 2. Menjaga kontinuitas produksi pangan guna menjamin ketersediaan pasokan dan meminimalisasi dampak El Nino; 3. Meningkatkan efisiensi distribusi bahan pangan dari daerah sentra ke daerah konsumen dengan memperluas sentra distribusi pangan baru; 4. Mendorong peningkatan informasi melalui penyusunan Neraca Bahan Makanan (NBM) sebagai tindak lanjut Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) TPID; Selain hal-hal tersebut di atas, FKPI Jawa Barat juga melakukan terobosan untuk memengaruhi persepsi masyarakat agar inflasi dapat terkendali melalui silaturahim forum ulama. Harapannya, ulama sebagai salah satu public anchor dapat memengaruhi persepsi masyarakat agar lebih bijak dalam melakukan konsumsi. STABILITAS SISTEM KEUANGAN DAN PENGELOLAAN SISTEM PEMBAYARAN Stabilitas sistem keuangan wilayah Jabagbar pada triwulan II 2104 secara umum masih terjaga. Di tengah ketatnya Dana Pihak Ketiga (DPK), kondisi likuiditas sektor keuangan terutama perbankan masih menunjukkan gambaran yang cukup baik. Hal ini tercermin dari jumlah DPK yang mulai meningkat setelah tumbuh melambat semenjak triwulan IV 2013. Tercatat pada triwulan II 2014, DPK perbankan Jabagbar tumbuh sebesar 17,4% (yoy) lebih tinggi dibandingkan dengan triwulan I 2014 yang mencapai 16,1% (yoy) (Grafik II.3). Berdasarkan hasil FGD dengan perbankan Jabar, sejumlah pihak bank sudah mengantisipasi akan adanya persaingan untuk meningkatkan DPK sejak awal 2014, sehingga beberapa bank terutama bank besar lebih fokus pada upaya untuk meningkatkan DPK daripada melakukan ekspansi kredit. Penyaluran kredit di Jabagbar pada triwulan II 2014 tumbuh melambat dan masih mengikuti tren perlambatan kredit secara nasional. Realisasi pertumbuhan kredit pada triwulan ini tercatat sebesar 17,2% (yoy), lebih rendah dari pertumbuhan triwulan I 2014 sebesar 19,3% (yoy). Namun, tingkat Loan to Deposit Ratio (LDR) masih berada pada level yang cukup baik yaitu 89%. Dengan level tersebut berarti perbankan Jabagbar cukup berhati-hati (prudent) dalam melakukan penyaluran kredit. Di sisi lain, perbankan mampu memaksimalkan penanaman dananya. Meskipun secara nominal kredit masih meningkat, namun sebagian besar merupakan debitur lama dengan profil risiko yang rendah. Laporan Nusantara| 82 DPK Rp triliun Pertumbuhan DPK 450,0 400,0 350,0 300,0 250,0 200,0 150,0 100,0 50,0 - % YoY 25,0 20,0 19,9 15,7 16,1 17,4 15,0 5,0 0,0 II III IV I II 2012 III 2013 IV I II 2014 Grafik III.3.24. Perkembangan DPK Jabagbar Pertumbuhan Kredit LDR % YoY 88,4 90,7 89,0 400,0 350,0 300,0 250,0 200,0 10,0 I Kredit Rp triliun 150,0 100,0 50,0 23,8 20,7 19,3 17,2 I II III 2012 IV I II III 2013 IV I 100,0 90,0 80,0 70,0 60,0 50,0 40,0 30,0 20,0 10,0 0,0 II 2014 Grafik III.3.25. Perkembangan Kredit, NPl dan LDR Ketahanan Sektor Korporasi Ketahanan sektor utama korporasi di wilayah Jabagbar pada triwulan II 2104 masih terjaga. Kondisi tersebut tercermin dari kualitas kredit melalui rasio kredit bermasalah (NPL) di sektor utama seperti sektor industri pengolahan dan sektor perdagangan, hotel, dan restauran (PHR), yang berada di bawah ambang batas aman 5%. Sejalan dengan indikator NPL yang menunjukkan kondisi kualitas kredit yang masih terjaga, perhitungan menggunakan mortality rate (Altman Approach)4 dari seluruh debitur kota/kabupaten (berdasarkan pendekatan nominal baki debet) yang memperlihatkan adanya perbaikan. Kondisi tersebut memiliki kemiripan dengan perhitungan mortality rate dengan pendekatan jumlah debitur, yakni mengindikasikan adanya penurunan jumlah debitur bermasalah. Di sisi penyaluran kredit, pertumbuhan kredit di kedua sektor utama tersebut menunjukkan perlambatan. Pembiayaan perbankan untuk sektor industri pengolahan, yang memiliki pangsa sekitar 27% terhadap total kredit wilayah Jabagbar, menunjukkan perlambatan pada triwulan II 2014. Total kredit untuk sektor manufaktur berada pada level Rp51,8 triliun atau tumbuh sebesar 14,73% (yoy), lebih lambat dibandingkan dengan pertumbuhan pada triwulan sebelumnya sebesar 17,75% (yoy). Sementara itu, pembiayaan perbankan untuk sektor PHR juga mengalami hal yang sama, melambat dari 15% (yoy) menjadi 9,1% (yoy) pada triwulan II 2014. Berdasarkan hasil FGD, sebagian besar bank, terutama bank besar, fokus pada penyelesaian kredit bermasalahan di sektor PHR, khususnya pembiayaan kepada usaha perdagangan benda bergerak. Hal ini sejalan dengan arah transmisi kebijakan moneter yang ketat dalam rangka menjaga stabilitas makroekonomi, khususnya untuk mengarahkan inflasi ke arah target sasarannya dan mengurangi tekanan defisit transaksi berjalan (CAD). 4 Konsep mortality rate (Altman) adalah mengukur seberapa banyak individu yang mengalami default (gagal bayar) dalam periode dan populasi tertentu. Dalam penelitiannya, Altman mengembangkan pengukuran mortalitas dengan mengukur rasio antara debitur yang mengalami default pada periode tertentu terhadap total debitur pada awal periode. Laporan Nusantara| 83 Rp Triliun Kredit Industri % Pertumbuhan (yoy) 60 50 40 30 20 10 - Rp Triliun 40 80,0 35 70,0 30 60,0 25 50,0 20 40,0 15 30,0 10 20,0 5 10,0 0 I II III IV I 2012 II III 2013 IV I Kredit PHR % Pertumbuhan (yoy) 60 50 40 30 20 10 - II 0 I II 2014 III IV I II 2012 Grafik III.3.26. Kredit Sektor Industri Jabagbar III IV I 2013 II 2014 Grafik III.3.27. Kredit Sektor PHR Ketahanan Sektor Rumah Tangga Di sektor rumah tangga, penyaluran Kredit Pemilikan Rumah (KPR) pada triwulan II 2014 mengalami peningkatan dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Kondisi yang sama juga terjadi dalam penyaluran kredit multiguna dan kendaraan bermotor. Di sisi lain, risiko kredit sektor rumah tangga mengalami sedikit peningkatan. Peningkatan NPL terutama di KPR dan kredit multiguna, sedangkan NPL kredit kendaraan bermotor menurun. Meski demikian, seluruh NPL kredit sektor rumah tangga masih di bawah 5% atau pada level yang terjaga KPR K.Kend. Bermotor NPL K.Multiguna Triliun Rp K.Multiguna NPL K. Kend.Bermotor NPL KPR 140 NPL (%) 4 120 3 100 80 2 60 40 1 20 Rp Triliun Kredit UMKM %, yoy NPL - rhs 30 25 20 15 10 5 0 I 0 Pertumbuhan (yoy) - rhs 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 II III IV I II III IV I II 0 III IV I 2012 II Grafik III.3.28. Perkembangan Kredit Rumah Tangga 2013 2014 Grafik III.3.29. Perkembangan Kredit UMKM Pembiayaan Sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) Pada triwulan II 2014, pertumbuhan kredit UMKM melambat, sejalan dengan meningkatnya risiko kredit di sektor ini. Realisasi penyaluran kredit perbankan konvensional kepada kategori debitur UMKM di wilayah Jabagbar mencapai Rp85,95 triliun, tumbuh melambat dari 16,68% (yoy) pada triwulan I 2014 menjadi 12,16% (yoy) pada triwulan II 2014. Pangsa kredit untuk debitur UMKM terhadap total kredit Jabagbar mencapai sekitar 25,3% atau sedikit menurun dari triwulan sebelumnya sebesar 25,5%. Di sisi lain, terjadi peningkatan risiko kredit UMKM yang ditunjukkan oleh rasio NPL yang meningkat dari 4,4% pada triwulan I 2014 menjadi 4,6% pada triwulan II 2014. Kondisi ini menjadi salah satu faktor bagi perbankan untuk menahan laju pertumbuhan kredit kepada UMKM. Laporan Nusantara| 84 Kinerja Sistem Pembayaran Kegiatan sistem pembayaran pada triwulan I 2014 menunjukkan penggunaan fasilitas RTGS yang meningkat baik dari sisi nominal maupun volume transaksi. Kondisi sebaliknya terjadi pada SKNBI (Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia) yang cenderung mengalami tren penurunan. Adapun transaksi RTGS dari Jawa Barat lebih besar dibandingkan transaksi RTGS yang menuju ke Jawa Barat. Hal tersebut mengindikasikan banyaknya aliran dana yang keluar dari Jawa Barat menuju ke daerah lain, yang dipengaruhi antara lain oleh semakin banyaknya pekerja yang berasal dari daerah lain bekerja di Jawa Barat dan mengirimkan hasil upah kerjanya ke luar Jawa Barat. Triliun Rp 25 INFLOW OUTFLOW NET (Inflow-Outflow) Triliun Rp RTGS Kliring Pertumbuhan RTGS - rhs Pertumbuhan Kliring - rhs %, yoy 350 20 100 80 60 40 20 0 -20 -40 -60 300 15 250 200 10 150 100 5 50 0 0 I II III 2011 IV I II III IV I 2012 II III IV I 2013 Grafik III.3.30.Perkembangan Inflow Outflow II 2014 I II III 2012 IV I II III 2013 IV I II 2014 Grafik III.3.31.Perkembangan Transaksi Non Tunai Kinerja Pengelolaan Uang Tunai Perkembangan peredaran uang pada triwulan II 2014 masih didominasi oleh aliran inflow. Jumlah aliran uang kartal yang masuk (inflow) ke Bank Indonesia Wilayah VI mencapai Rp17,01 triliun, sedangkan aliran outflow mencapai Rp8,10 triliun. Untuk memastikan masyarakat memperoleh uang tunai yang layak edar, Bank Indonesia secara konsisten mengimplementasikan kebijakan Clean Money Policy. Sepanjang triwulan II 2014, uang tidak layak edar yang dimusnahkan sebesar 7.219 lembar. Di samping itu, Bank Indonesia Wilayah VI sejak awal tahun 2014 turut memperluas kerjasama dengan perbankan daerah dalam hal penukaran uang tunai. PROSPEK PEREKONOMIAN Prospek Pertumbuhan Ekonomi Perekonomian wilayah Jabagbar berada dalam siklus bisnis yang melambat sejalan dengan proses konsolidasi perekonomian nasional. Pertumbuhan ekonomi Jabagbar tahun 2014 diperkirakan pada kisaran 5,5% - 6,0% (yoy) dengan kecenderungan bias ke bawah. Dari sisi permintaan, konsumsi rumah tangga diperkirakan masih kuat yang dipengaruhi oleh peningkatan pendapatan (kenaikan UMP/UMK) serta tren melambatnya laju tekanan inflasi. Berdasarkan hasil Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU), terindikasi adanya prospek peningkatan kegiatan usaha pada sektor ekonomi utama Jabagbar. Di sisi lain, investasi diperkirakan masih terbatas terutama pada investasi baru, terkait dengan periode transisi kepemimpinan baru hasil Pemilu 2014. Perbaikan kinerja ekspor diperkirakan masih terbatas, seiring dengan pemulihan ekonomi global yang masih dibayangi oleh melambatnya perekonomian Tiongkok. Sementara itu, volatilitas nilai tukar yang masih cukup tinggi berpotensi memengaruhi kinerja eksportir, mengingat masih adanya Laporan Nusantara| 85 ketergantungan impor bahan baku dan barang modal yang cukup tinggi. Di sisi sektoral, sektor PHR, pertanian dan industri pengolahan masih menjadi penopang utama perekonomian Jabagbar, yang didukungan oleh sektor pengangkutan dan komunikasi serta sektor listrik, gas, dan air bersih. Prospek Inflasi Inflasi Jabagbar pada tahun 2014 diperkirakan kembali ke pola historisnya, seiring berakhirnya dampak kenaikan harga BBM pada tahun 2013. Salah satu faktor yang menjaga inflasi Jabagbar adalah membaiknya ekspektasi inflasi masyarakat. Perhatian pemerintah terhadap ketersediaan stok komoditas pangan dan antisipasi bencana diyakini juga dapat memitigasi risiko inflasi. Beberapa upaya yang telah dilakukan pemerintah daerah untuk meningkatkan produksi pangan, khususnya makanan pokok (beras dan kedelai) serta hortikultura (cabai merah dan bawang merah), adalah peningkatan luas areal tanam, pembuatan lahan sawah baru, pemberian bantuan benih pupuk, dan peralatan pertanian, serta pendampaingan melalui Sekolah Lapangan Pengelolaan Tanaman Terpadu. Sementara itu, faktor pendorong meningkatnya tekanan inflasi pada tahun 2014 yaitu risiko bencana banjir, kenaikan harga gas elpiji dan tarif tenaga listrik untuk industri, serta periode musiman peningkatan permintaan pada hari raya keagamaan dan libur tahun ajaran baru. Dengan demikian, untuk keseluruhan tahun 2014, inflasi diperkirakan berada pada rentang 4,5% + 1% (yoy) dengan kecenderungan bias ke atas. Tabel III.3.2. Prakiraan Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi Jawa Bagian Barat Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi Wilayah PDRB (%,yoy) 2011 2012 6.5 2013 2014 II 6.1 III 5.7 IV 6.2 Total 6.0 I 5.4 II 5.6 IIIp IVp Totalp 6.3 I 6.0 5.8 5,5-5,9 5,4-5,8 Sisi Permintaan Konsumsi 5.7 4.4 4.3 3.8 4.7 4.9 4.4 5.0 4.9 6.1 5,7-6,1 5,3-5,8 Konsumsi swasta 5.7 4.6 4.4 4.5 4.1 4.1 4.3 5.1 5.4 5.4 5,1-5,5 5,0-5,4 Konsumsi Pemerintah 6.5 1.5 2.9 (3.2) 11.2 13.4 6.5 4.2 -0.9 12.9 13,3-13,7 7,9-8,3 9.5 10.1 10.4 9.7 7.6 5.9 8.4 5.9 4.6 5.0 4,5-4,9 4,7-5,1 Ekspor 8.9 6.9 9.1 8.7 10.6 12.4 10.2 7.3 7.4 9.2 10,5-10,9 8,5-8,9 Impor 12.8 6.7 13.9 10.8 15.7 14.6 13.8 8.9 8.9 11.3 12,9-13,1 10,3-10,7 Sektor pertanian 0.3 (0.0) 2.7 1.3 4.6 8.6 4.1 0.5 3.1 2.3 1,3-1,7 1,5-1,9 Sektor pertambangan & penggalian (5.0) (7.0) 4.6 (7.2) (2.0) 2.8 (0.6) -3.0 2.9 1.2 1,4-1,8 0,3-0,7 Industri pengolahan 5.8 3.7 4.8 5.5 4.9 4.7 5.0 3.5 4.2 4.0 4,3-4,7 3,9-4,3 Listrik, gas & air bersih 2.4 8.3 5.4 5.7 6.1 7.2 6.1 10.3 7.8 7.7 7,0-7,5 8,0-8,4 Bangunan 13.3 13.0 9.9 10.2 7.2 7.3 8.6 10.8 9.1 9.6 7,5-7,9 9,2-9,6 Perdagangan, hotel & restoran 8.5 11.7 7.1 9.1 6.9 7.6 7.6 7.5 6.5 7.5 7,6-8,0 7,2-7,6 Pengangkutan & komunikasi 13.7 11.5 11.5 10.5 7.8 6.7 9.0 11.2 9.2 10.5 8,8-9,2 9,6-10,0 Keuangan, persewaan dan jasa perush. 12.0 9.7 9.6 8.3 7.8 8.0 8.4 8.1 6.5 6.8 6,9-7,3 7,0-7,4 Jasa-jasa 7.9 8.2 7.7 4.0 6.0 5.9 5.9 9.7 8.5 9.2 7,7-8,1 8,5-8,9 3.3 4.0 6.1 6.7 9.3 9.2 9.2 8.0 6.6 4.3 4,4-4,8 4,4-4,8 Pembentukan Modal Tetap Bruto Sisi Produksi Inflasi IHK (%,yoy) Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah p proyeksi Bank Indonesia Laporan Nusantara| 86 PERTUMBUHAN EKONOMI Kinerja perekonomian Jakarta pada triwulan II 2014 membaik dibandingkan dengan triwulan I 2014. Pada triwulan laporan, pertumbuhan ekonom Jakarta tercatat 6,1% (yoy), sedikit meningkat dari triwulan I 2014 yang tumbuh sebesar 6,0%. Membaiknya pertumbuhan ekonomi Jakarta dalam level yang moderat ini terutama didukung oleh perbaikan kinerja ekspor, sejalan dengan pemulihan ekonomi global dan terjaganya konsumsi rumah tangga. Mencermati dinamika perekonomian saat ini, pertumbuhan ekonomi Jakarta diprakirakan stabil dengan dukungan dari konsumsi dan berlanjutnya perbaikan ekspor. Seiring dengan perbaikan ekspor, impor juga diperkirakan mengalami peningkatan terkait dengan masih tingginya ketergantungan impor dari industri manufaktur. Sementara itu, kinerja investasi berpotensi tumbuh sedikit lebih baik seiring dengan adanya kepastian hasil Pemilu dan arah kebijakan pemerintahan baru. Perbaikan daya saing dan pembangunan proyek infrastruktur dalam skala besar turut mendukung pertumbuhan investasi. Di sisi sektoral, peningkatan pertumbuhan berpotensi terjadi pada sektor industri dan bangunan. Konsumsi Konsumsi Rumah Tangga Konsumsi rumah tangga pada triwulan II 2014 tumbuh stabil sebesar 6,1% (yoy) dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Hal ini tidak terlepas dari aktivitas kampanye menjelang Pemilihan Presiden pada awal Juli 2014. Survei Penjualan Eceran pada bulan Juni 2014 memperlihatkan penjualan makananminuman yang meningkat 24% sejalan dengan pelaksanaan kampanye. Selain itu, survei produksi industri juga mengonfirmasi kenaikan produksi yang cukup tinggi pada subsektor industri pencetakan dan reproduksi media rekaman. Masih kuatnya konsumsi rumah tangga juga didukung oleh peningkatan level keyakinan konsumen di Jakarta yang signifikan sejalan dengan kondusifnya masa kampanye Pemilu. Pada triwulan III 2014, konsumsi rumah tangga diprakirakan mampu tumbuh stabil. Kuatnya konsumsi rumah tangga didorong oleh peningkatan belanja terkait dengan tahun ajaran baru dan perayaan Lebaran. Penjualan produk makanan dan minuman serta perlengkapan rumah tangga cenderung meningkat semenjak masa puasa hingga Lebaran. Di samping itu, sejumlah perusahaan telekomunikasi mengonfirmasi peningkatan penggunaan jasa layanan telekomunikasi pada perayaan Lebaran. Meski demikian, level permintaan konsumen pada periode Lebaran tahun 2014 diprediksi sedikit lebih rendah dibandingkan dengan tahun sebelumnya, terkait dengan pelemahan nilai tukar dan peningkatan suku bunga. Stabilnya pertumbuhan konsumsi juga didukung oleh terjaganya tingkat penghasilan serta adanya tunjangan Hari Raya Lebaran. Keyakinan konsumen Jakarta juga terindikasi terus meningkat, sejalan dengan sentimen positif menyikapi hasil Pemilihan Presiden dan respons terhadap sinyal kebijakan pemerintahan baru. Laporan Nusantara| 87 Indeks Rp Juta Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) 150 Indeks Kondisi Ekonomi Saat Ini (IKE) 140 Indeks Ekspektasi Konsumen (IEK) Rp Juta 250,000 300 250 200,000 130 200 120 Optimis 110 150,000 150 100,000 100 100 90 Pesimis 50,000 50 80 0 70 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 60 2012 2013 2014 1 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 2010 2011 2012 2013 Grafik III.4.1. Indeks Keyakinan Konsumen 2014 Makanan-minuman Perlengkapan Rumah Tangga Penjualan Voucher (skala kanan) Grafik III.4.2. Perkembangan Survei Penjualan Eceran Konsumsi Pemerintah Konsumsi pemerintah pada triwulan II 2014 melambat secara signifikan menjadi 1,0% (yoy) dari 10,7% (yoy) pada triwulan I 2014. Hal ini sebagai dampak dari kebijakan pengetatan anggaran kementerian dan lembaga (K/L) terkait semakin terbatasnya ruang fiskal APBN ditengah subsidi migas yang membengkak. Di samping itu, realisasi belanja Pemerintah Provinsi DKI Jakarta hingga akhir Juni 2014 diprakirakan hanya mencapai 15,4% dari total anggaran belanja APBD Provinsi DKI Jakarta atau sebesar Rp10,1 triliun. Berdasarkan proporsinya, belanja rutin seperti belanja pegawai dan belanja barang masih mendominasi total belanja. Di sisi lain, belanja modal yang dianggap sebagai belanja produktif terkait dengan multiplier effect yang lebih besar, relatif masih minimal hingga akhir triwulan II 2014. Penyerapan belanja modal tersebut hanya 1,6% dari total anggaran Rp462,21 miliar. Konsumsi pemerintah pada triwulan III 2014 diprakirakan tumbuh meningkat sejalan dengan adanya penyaluran dana bantuan sosial pasca-Pemilu dan realisasi gaji ketigabelas. Penyaluran dana bantuan sosial ke lembaga nonpemerintah yang belum direalisasikan pada triwulan II 2014 untuk menghindari penggunaan yang tidak sesuai, diprakirakan akan dilakukan setelah Pemilihan Presiden pada awal Juli 2014. Di sisi lain, sesuai kesepakatan pemerintah dan Badan Anggaran DPR pada akhir Juni 2014, anggaran empat Kementerian mengalami pemotongan sebesar Rp 43,025 triliun, diprakirakan akan berpengaruh pada belanja barang dan jasa pemerintah non-investasi. Investasi Investasi Jakarta pada triwulan II 2014 tumbuh melambat sebagai pengaruh dari dinamika politik dan perekonomian nasional. Investasi tumbuh sebesar 4,2% (yoy), lebih rendah dibandingkan dengan triwulan I 2014 sebesar 5,8% (yoy). Perlambatan investasi dipengaruhi oleh adanya kecenderungan pelaku usaha untuk menunda investasi (wait and see) terkait dengan Pemilihan Presiden, dan kondisi perekonomian nasional yang masih dalam tren melambat. Perlambatan investasi terindikasi baik pada investasi bangunan, terkait dengan melambatnya permintaan sektor properti komersial, maupun investasi nonbangunan, khususnya pada industri manufaktur. Investasi Jakarta pada triwulan III 2014 diperkirakan tumbuh lebih tinggi, didorong oleh meningkatnya optimisme terhadap hasil Pemilu Presiden tahun 2014. Sentimen positif dan ekspektasi terhadap pemerintahan baru turut berpengaruh pada prospek investasi, khususnya dari sisi PMA. Di sisi investasi bangunan, peningkatan investasi yang lebih tinggi berasal dari pembangunan sejumlah proyek Laporan Nusantara| 88 infrastruktur, di antaranya proyek MRT tahap I, pelabuhan Kalibaru, dan jalan layang pelabuhan, pengerukan waduk dan normalisasi sungai, serta proyek pembangunan rumah susun. Pada semester III 2014, juga terdapat rencana dimulainya pembangunan fisik jalan layang busway koridor XIII rute CiledugBlok M dan jalan layang Depok-Antasari. Sementara itu, investasi di properti komersial diperkirakan belum akan membaik signifikan, meski masih terdapat rencana pembangunan kantor dan hunian komersial baru. Tingkat suku bunga yang relatif masih cukup tinggi turut memengaruhi keputusan untuk berinvestasi pada properti. Di sisi investasi nonbangunan, peningkatan investasi diperkirakan terbatas meskipun terdapat perbaikan prospek ekspor industri manufaktur dan kebutuhan peningkatan produktivitas dalam level tertentu. Masih memadainya kapasitas produksi industri manufaktur menjadi salah satu faktor terbatasnya pembelian alat produksi baru. Meski investasi mesin baru terbatas, sejumlah kontak liaison industri manufaktur mengindikasikan adanya kegiatan perbaikan mesin dan alat transport. 9000 %, yoy CMA 200 350,000 150 300,000 8000 7000 6000 100 % Rp Miliar 120 100 80 250,000 60 200,000 5000 40 50 4000 150,000 3000 0 2000 (50) 1000 0 (100) I II III 2010 IV I II III 2011 Investasi PMA (Juta USD) IV I II III 2012 IV I II III 2013 Investasi PMDN (Milyar Rp) IV I II 2014 gPDRB Sumber: BKPM, diolah Grafik III.4.3. Realisasi Investasi PMDN & PMA 20 100,000 0 50,000 -20 0 -40 1 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 2011 2012 Kredit Investasi g.Indeks Emiten Properti (skala kanan) 2013 2014 g.Kredit Investasi (skala kanan) Grafik III.4.4. Kredit Investasi Perdagangan Luar Negeri Ekspor Ekspor Jakarta pada triwulan II 2014 tumbuh sebesar 0,8% (yoy), naik dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang hanya tumbuh sebesar 0,5% (yoy). Namun, dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2013, pertumbuhan ekspor pada tahun 2014 ini jauh lebih rendah. Perbaikan kinerja ekspor terkait dengan semakin membaiknya perekonomian global terutama di negara maju. Secara nominal, ekspor kendaraan bermotor dan komponennya, furnitur, perhiasan dan permata serta produk farmasi tumbuh meningkat pada triwulan II 2014. Sementara itu, komoditas ekspor produk Jakarta lain seperti garmen, bahan kimia, mesin serta peralatan listrik cenderung tumbuh terbatas. Selain dipengaruhi oleh melemahnya perekonomian negara mitra dagang khususnya di Asia, situasi politik yang kurang kondusif seperti di Thailand juga turut memengaruhi permintaan ekspor produk Jakarta. Pada triwulan III 2014, kinerja ekspor Jakarta diprakirakan akan semakin membaik, meskipun tumbuh di bawah capaian pada periode yang sama tahun 2013. Peningkatan ekspor Jakarta pada triwulan III 2014 sejalan dengan perbaikan ekonomi negara mitra dagang, yang sebagian besar berada di Asia. Tendensi membaiknya perekonomian Tiongkok, yang beralih dari pertumbuhan berbasis ekspor menjadi pertumbuhan berbasis konsumsi, ditengarai turut menjadi faktor pendukung meningkatnya kinerja ekspor Laporan Nusantara| 89 Jakarta. Perbaikan ekonomi Amerika Serikat juga turut berpengaruh pada ekspor produk Jakarta, khususnya pada produk garmen. Komoditas ekspor Jakarta lainnya yang berpotensi meningkat adalah produk kendaraan bermotor dan komponennya serta bahan kimia organik. Hal tersebut terkait dengan adanya pasar ekspor baru di sejumlah negara berkembang dan emerging market. Impor Impor melalui Jakarta pada triwulan II 2014 mengalami kontraksi sebesar 1,1% (yoy), yang merupakan pertama kalinya dalam lima tahun terakhir. Hal ini sangat terkait dengan tren perlambatan perekonomian nasional yang cukup signifikan pada tiga triwulan terakhir. Perlambatan impor terjadi pada keseluruhan kelompok baik bahan baku, barang modal dan barang konsumsi. Perlambatan impor terutama terjadi pada kelompok peralatan transportasi, termasuk material handling machine untuk keperluan industri. Perlambatan impor ditengarai juga terkait dengan pelemahan nilai tukar rupiah sejak akhir April 2014. Pada triwulan III 2014, impor melalui Jakarta diperkirakan kembali tumbuh meningkat. Peningkatan impor dipengaruhi oleh pola permintaan barang konsumsi yang cenderung meningkat pada periode Lebaran. Pertumbuhan impor juga terkait dengan peningkatan produksi di sektor industri yang membutuhkan dukungan bahan baku dan barang modal dari impor. Terkait dengan hal tersebut, produk impor yang berpotensi meningkat adalah komponen kendaraan bermotor, komponen elektronik, mesin mekanik dan alat berat pendukung industri. 80 %, yoy 200 %, yoy %, yoy 30 150 60 40 20 20 100 10 50 0 0 -10 -50 -20 -100 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 2011 -20 2012 g.Nilai Ekspor 2013 -30 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 2012 2014 g.Volume Ekspor -40 Grafik III.4.5.Perkembangan Nilai dan Volume Ekspor 140 %, yoy 120 100 80 80 60 60 40 40 % 20 20 0 0 -40 2014 MAKANAN OLAHAN KENDARAAN BERMOTOR RODA 4 DAN LEBIH Grafik III.4.6. Perkembangan Nilai Ekspor Komoditas Utama 100 -20 2013 PAKAIAN JADI ALAT LISTRIK INDUSTRI 1 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 2011 2012 2013 2014 -60 (20) (40) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 -80 2011 g.Nilai Impor g.Volume Impor Grafik III.4.7.Perkembangan Nilai dan Volume Impor 2012 gBarang Konsumsi 2013 gBarang Modal 2014 Grafik III.4.8.Nilai Impor Berdasarkan Jenis Laporan Nusantara| 90 Kinerja Sektor Utama Sektor Jasa Keuangan, Real Estate, dan Jasa Perusahaan Kinerja di sektor jasa keuangan, real estate, dan jasa perusahaan pada triwulan II 2014 terjaga pada level yang stabil. Kinerja perbankan mengalami penurunan cukup signifikan terkait dengan tren perlambatan kredit sebagai pengaruh tingkat suku bunga yang relatif tinggi. Hal ini berdampak pada melambatnya pertumbuhan nilai tambah bruto (NTB) perbankan secara kuartalan menjadi sebesar 0,6% (qtq) pada triwulan laporan, dari triwulan I 2014 sebesar 8,6% (qtq). Meskipun provisi dan komisi perbankan masih terjaga, penerimaan bunga menurun cukup signifikan. Kinerja lembaga keuangan nonperbankan khususnya perusahaan leasing juga tumbuh dalam level terbatas. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) masih mampu tumbuh lebih tinggi pada triwulan II 2014 di tengah dinamika politik pada periode Pemilu dan adanya tekanan pada neraca perdagangan dan nilai tukar. Sektor jasa keuangan, real estate, dan jasa perusahaan di Jakarta pada triwulan III 2014 diproyeksikan tumbuh relatif stabil. Pertumbuhan kredit perbankan diperkirakan juga akan stabil dengan dukungan terutama dari potensi peningkatan investasi. Meski demikian, pertumbuhan konsumsi dan ekspansi bisnis yang terbatas akan menahan pertumbuhan kredit konsumsi dan modal kerja usaha. Adapun kinerja pasar modal diperkirakan akan mengalami peningkatan di awal triwulan III 2014, seiring dengan optimisme pasar terhadap hasil Pemilu. Namun, penguatan IHSG ini diprediksi terbatas dengan adanya proses judicial review hasil Pemilihan Presiden serta potensi kembali terjadinya defisit transaksi berjalan. Selain itu, terdapat pengaruh faktor global terutama dari penguatan ekonomi Amerika Serikat dan pengurangan stimulus moneter yang berpotensi mendorong arus dana modal keluar. Sementara itu, kinerja perusahaan real estate dan jasa perusahaan diperkirakan tumbuh terbatas pasca-Pemilu 2014 terkait dengan masih adanya kecenderungan menunda (wait and see) dari investor properti maupun pelaku bisnis. Sumber : CEIC, diolah Grafik III.4.9. Perkembangan Indeks Pasar Keuangan Sumber : CEIC, diolah Grafik III.4.10. Pertumbuhan Pasar Keuangan Sektor Industri Pengolahan Kinerja sektor industri pengolahan Jakarta pada triwulan II 2014 melambat menjadi 3,4% (yoy) setelah tumbuh sebesar 3,9% (yoy) pada triwulan sebelumnya. Perlambatan di sektor industri pengolahan ini terkait dengan terbatasnya permintaan, terutama di pasar domestik, sejalan dengan melambatnya perekonomian nasional. Meskipun produksi industri pengolahan tumbuh melambat, ekspor Jakarta menunjukkan pertumbuhan yang meningkat. Hal ini ditengarai bahwa pemenuhan sebagian ekspor Laporan Nusantara| 91 manufaktur tersebut berasal dari sisa produksi (stok) pada triwulan I 2014. Kondisi ini terkonfirmasi oleh data pendukung yang menunjukkan penurunan tajam indeks produksi industri dan impor bahan baku pada triwulan II 2014, setelah tumbuh signifikan pada triwulan sebelumnya. Pertumbuhan sektor industri pengolahan pada triwulan III 2014 diprediksi meningkat sebesar 3,6% (yoy) dengan dukungan peningkatan permintaan global pada ekspor produk manufaktur Jakarta. Ekspor produk manufaktur Jakarta diprediksi cukup kompetitif dengan kondisi nilai tukar saat ini. Adapun potensi peningkatan ekspor terutama pada industri kendaraan bermotor dan komponen yang telah melakukan ekspansi produksi dan memiliki pasar tujuan ekspor. Peluang diversifikasi ekspor juga terdapat pada produk bahan kimia dan farmasi. Dari sisi domestik, kinerja sektor industri didukung oleh permintaan Lebaran terutama pada produk makanan dan minuman. Adanya kenaikan tarif listrik untuk industri golongan R3 (nonpublik) dan pola konsumsi pasca-Lebaran yang cenderung melemah, berpotensi menahan kinerja sektor industri pengolahan untuk dapat tumbuh lebih tinggi. 140,000 Unit Indeks 120 120,000 115 100,000 110 80,000 105 60,000 100 40,000 20,000 95 0 90 1 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 2011 2012 Produksi Kedaraan Bermotor 2013 2014 Indeks Produksi Industri (skala kanan) Sumber : CEIC diolah Grafik III.4.11. Perkembangan Ekspor Manufaktur % 60 50 40 30 20 10 0 -10 -20 -30 -40 I II III 2011 IV I II III IV I 2012 II III 2013 IV I II 2014 gImpor Bahan Baku gProduksi Manufaktur Besar & Sedang gProduksi Industri Mikro & Kecil Sumber : Survei Industri Manufaktur – BPS DKI Jakarta Grafik III.4.12. Impor Bahan Baku di Jakarta Sektor Konstruksi Pada triwulan II 2014, sektor konstruksi tumbuh relatif stabil sebesar 5,7% (yoy) dengan dukungan proyek pembangunan infrastruktur dan berlanjutnya proyek pembangunan properti komersial. Pertumbuhan sektor konstruksi yang relatif terbatas ini, tercermin dari konsumsi semen yang tumbuh dalam level moderat (Grafik III.4.13). Di sisi lain, data penjualan bahan konstruksi berupa logam dan tanah liat menunjukkan pertumbuhan penjualan yang meningkat (Grafik III.4.14). Hal ini ditengarai sebagai upaya untuk menyimpan bahan-bahan konstruksi sebagai stok untuk mengantisipasi peningkatan harga. Kinerja sektor konstruksi pada triwulan III 2014 diperkirakan akan meningkat. Hal ini terkait dengan peningkatan intensitas beberapa proyek pembangunan infrastruktur skala besar, yakni proyek MRT tahap I dan pelabuhan Kalibaru (New Tanjung Priok Port). Intensitas proyek konstruksi MRT tahap I semakin meningkat dengan dimulainya pengerjaan bawah tanah. Sebagai dampak dari proyek MRT tersebut, juga dilakukan pembongkaran dan relokasi stadion Lebak Bulus serta prasarana maupun sarana lainnya. Konstruksi fisik pelabuhan Kalibaru juga diperkirakan akan semakin intensif pada triwulan III 2014, sejalan dengan target penyelesaian di akhir 2014. Di samping infrastruktur, proyek pembangunan properti komersial yang sudah dalam tahap konstruksi juga masih berlanjut dalam intensitas yang tidak terindikasi menurun. Hal ini ditengarai sebagai strategi pengembang untuk mengantisipasi membaiknya prospek sektor properti di Jakarta yang diprediksi terjadi pada akhir 2014. Laporan Nusantara| 92 600 Ribu Ton %, yoy 500 100 300 80 250 60 400 (%, yoy) 200 40 300 150 20 200 0 100 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 2011 2012 Konsumsi Semen (ribu ton) 2013 2014 g.Konsumsi Semen (skala kanan) 100 -20 50 -40 0 1 -50 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 2013 Bahan konstruksi dari logam 3 4 5 6 2014 Bahan konstruksi dari tanah liat Semen Sumber : CEIC diolah Grafik III.4.13. Konsumsi Semen di Jakarta Grafik III.4.14. Pertumbuhan Penjualan Bahan Bangunan di Jakarta PERKEMBANGAN INFLASI Tekanan inflasi Jakarta hingga Juli 2014 menunjukkan tren yang menurun. Inflasi Juli 2014 tercatat sebesar 5,1% (yoy), jauh lebih rendah dibandingkan dengan inflasi pada triwulan I 2014 sebesar 7,5% (yoy). Penurunan inflasi yang tajam tersebut terkait dengan faktor base effect dari kenaikan harga BBM bersubsidi pada Juli 2013 (Grafik III.4.15). Sepanjang triwulan II 2014, tekanan inflasi lebih banyak bersumber dari inflasi administered prices, sebagai dampak dari kebijakan kenaikan tarif listrik, angkutan udara, dan bahan bakar rumah tangga (LPG). Adapun tekanan inflasi pangan relatif tinggi pada triwulan II 2014, didorong terutama oleh komoditas daging dan telur ayam ras sebagai pengaruh kebijakan pengurangan pasokan day old chicks (DOC) oleh Kementerian Perdagangan serta kenaikan permintaan memasuki bulan Ramadhan. Tren penurunan laju inflasi diperkirakan masih akan berlanjut pada triwulan III 2014. Penurunan inflasi terkait dengan melemahnya permintaan pasca-Lebaran. Harga komoditas pangan diprediksi kembali normal dan bahkan sejumlah komoditas pangan berpotensi mengalami penurunan harga. Tekanan inflasi terbesar diperkirakan bersumber dari inflasi inti dan administered prices. Selain tren kenaikan harga emas yang masih terus berlanjut sebagai pengaruh faktor global, dampak penyesuaian tarif listrik per 1 Juli 2014 masih berpotensi memberikan kontribusi pada inflasi. Hal ini mengingat perhitungan tarif listrik pascabayar periode Juli 2014 baru dibukukan pada Agustus 2014. Di sisi lain, kebijakan pembatasan penjualan solar bersubsidi di Jakarta Pusat diprakirakan tidak memberikan dampak signifikan. Koordinasi Pengendalian Inflasi Penguatan koordinasi pengendalian inflasi dilakukan baik di internal Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) Provinsi DKI Jakarta maupun eksternal dengan TPID di daerah lain. Rakor Wilayah TPID Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat dan Banten dilakukan pada bulan Juni 2014 untuk membahas isu peningkatan perdagangan antardaerah. Selain itu juga dilakukan koordinasi dalam menjaga kelancaran distribusi pangan dan stabilitas harga pangan menjelang Ramadhan dan Idul Fitri 1435 H. Pada Juli 2014, TPID Provinsi DKI Jakarta meluncurkan portal Pusat Informasi harga Pangan Strategis (PIHPS) yang dinamakan Informasi Pangan Jakarta (http://infopangan.jakarta.go.id/). Portal informasi ini memuat informasi harga 34 komoditas pangan strategis di sebelas pasar tradisional dan dua pasar induk di Jakarta. Laporan Nusantara| 93 Sumber : Badan Pusat Statistik, diolah Sumber : Badan Pusat Statistik, diolah Grafik III.4.15. Perkembangan Inflasi Grafik III.4.16. Disagregasi Inflasi STABILITAS SISTEM KEUANGAN DAN PENGELOLAAN SISTEM PEMBAYARAN Ketahanan Sektor Korporasi Kinerja di sektor jasa keuangan, real estate, dan jasa perusahaan pada triwulan II 2014 terjaga pada level yang stabil. Penyaluran kredit di Jakarta tumbuh sebesar 18,8% pada triwulan II 2014, lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan pada triwulan sebelumnya sebesar 21,8%. Hal ini sejalan dengan kebijakan stabilisasi dan pengetatan moneter untuk menurunkan pertumbuhan kredit. Berdasarkan jenisnya, perlambatan kredit terutama terjadi pada kredit modal kerja, terkait terbatasnya ekspansi bisnis dan tren peningkatan suku bunga kredit. Sementara itu, kredit investasi dan konsumsi dalam tren tumbuh meningkat. % yoy 50 1,400 35 40 1,200 30 30 1,000 25 20 800 20 10 600 15 0 400 10 (10) 200 5 (20) 0 0 Triliun Rp 1 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 2011 2012 Kredit 2013 2014 gKredit Grafik III.4.17. Kinerja Penyaluran Kredit Perbankan % yoy (30) 1 2 3 4 5 6 7 8 9101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9101112 1 2 3 4 5 6 2011 2012 gKredit Modal Kerja gKredit Investasi 2013 2014 gKredit Konsumsi Grafik III.4.18. Penyaluran Jenis Kredit Perbankan Berdasarkan sektoral, penyaluran kredit ke bidang jasa real estate, perdagangan besar dan eceran serta perantara keuangan mengalami penurunan. Penurunan kredit di bidang real estate sejalan dengan perlambatan sektor properti, sedangkan penurunan kredit di sektor perdagangan ditengarai sebagai pengaruh dari menurunnya kredit modal kerja. Terkait kredit di bidang real estate, perlambatan terjadi pada kredit peruntukan apartemen (KPA) dan kredit multiguna. Sementara itu, kredit untuk hunian dibawah tipe 21 dan kredit sepeda motor tumbuh meningkat. Walaupun kredit peruntukan apartemen menurun, namun diprediksi tidak terlalu berpengaruh pada kinerja sektor properti, mengingat masih Laporan Nusantara| 94 adanya kemampuan konsumen untuk melakukan pembelian secara tunai. Di sisi lain, kredit ke sektor industri pengolahan tumbuh meningkat sejalan dengan peningkatan aktivitas produksi. Dari sisi risiko kredit, yang diindikasikan oleh porsi nonperforming loans (NPL) terhadap total kredit, terlihat adanya peningkatan porsi NPL untuk keseluruhan jenis kredit korporasi di Jakarta dari 1,4% pada Maret 2014 menjadi 1,5% pada Juni 2014. Porsi NPL tertinggi masih terjadi di sektor industri dan konstruksi sebesar masing-masing 2,4% dan 2,2% pada Juni 2014. Masih tingginya NPL pada kedua sektor tersebut tidak terlepas dari kinerja sektor industri dan konstruksi yang masih melambat pada triwulan II 2014. Sementara itu, kecenderungan peningkatan risiko kredit juga terlihat pada sektor perdagangan besar dan eceran yang ditengarai terkait dengan tingkat suku bunga. 120 5.00 % yoy % Porsi NPL Industri Porsi NPL Perdagangan Porsi NPL Konstruksi Porsi NPL Real Estate & Jasa Perusahaan Industri Pengolahan 100 Perdagangan Besar & Eceran 4.00 Perantara Keuangan 80 Real Estate 3.00 60 40 2.00 20 1.00 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 (20) 2011 2012 2013 2014 0.00 1 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 2011 Grafik III.4.19. Kredit Bank berdasarkan Sektor Ekonomi 2012 2013 2014 Grafik III.4.20. Rasio NPL Kredit Sektor Utama Perbankan Ketahanan Sektor Rumah Tangga Kredit sektor rumah tangga, yang utamanya kredit konsumsi, dalam tren menurun pada triwulan II 2014 sebagai dampak tren kenaikan suku bunga. Secara umum, peningkatan suku bunga kredit lebih banyak terjadi pada kredit baru dan kredit bunga yang mengambang. Selain itu, pertumbuhan kredit, yang jumlahnya melampaui pertumbuhan DPK, serta meningkatnya LDR perbankan menyebabkan sejumlah bank mengurangi penyaluran kredit, khususnya kredit konsumsi. Berdasarkan jenisnya, perlambatan penyaluran kredit sektor rumah tangga terutama pada kredit pemilikan rumah (KPR) untuk hunian tipe di atas 70 meter persegi. Sementara pembiayaan kredit multiguna, KPR untuk hunian tipe 22 hingga 70 meter persegi dan kendaraan roda empat tercatat tumbuh sedikit meningkat pada triwulan II 2014. Hal ini disebabkan oleh semakin banyaknya rumah tangga kelas menengah yang masih memiliki repayment capacity cukup memadai. Secara umum, ketahanan sistem keuangan rumah tangga masih terjaga, meskipun terlihat adanya tren peningkatan porsi NPL pada sebagian kredit rumah tangga baik untuk keperluan multiguna, pembiayaan kendaraan bermotor maupun perumahan pada triwulan II 2014. Pada kredit subsektor perumahan, porsi NPL tertinggi terdapat pada KPA sampai dengan tipe 21 sebesar 3,2% pada Mei 2014. Meski demikian risiko kredit untuk rumah sampai dengan tipe 21 ini dalam tren menurun. Hal ini berbeda dengan risiko kredit untuk rumah tipe 22 - 70 dan rumah toko (ruko) serta rumah kantor (rukan) yang dalam tren meningkat semenjak awal 2014. Porsi NPL untuk KPR tipe 22-70 dan ruko/rukan masing-masing sebesar 2,4% di Mei 2014. Laporan Nusantara| 95 % yoy 170 KPR Tipe 22 s.d. 70 KPR Tipe Diatas 70 Roda Empat Keperluan Multiguna 120 70 20 (30) (80) 1 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 2011 2012 2013 2014 Grafik III.4.21. Perkembangan Kredit Perbankan ke Rumah Tangga 6 % Grafik III.4.22. Kinerja Penyaluran Kredit LK NonPerbankan 6 5 5 4 4 3 3 2 2 1 1 0 % 0 1 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 2011 2012 Rasio NPL Sepeda Motor 2013 -1 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 2014 Rasio NPL Roda Empat Rasio NPL Keperluan Multiguna Grafik III.4.23. Rasio NPL Kredit Rumah Tangga 2012 Rasio NPL KPRTipe 22 s.d.70 Rasio NPL KPA s.d.Tipe 21 2013 2014 Rasio NPL Ruko/Rukan Grafik III.4.24. Rasio NPL Kredit Perumahan Pembiayaan Sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) Kredit sektor UMKM di Jakarta menunjukkan peningkatan pertumbuhan pada triwulan II 2014, yang disertai dengan peningkatan NPL pada level yang moderat. Kredit UMKM tercatat tumbuh sebesar 9% (yoy) pada akhir Mei 2014, lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan pada akhir triwulan I 2014 sebesar 6,6% (yoy). Membaiknya iklim usaha, sebagai pengaruh dari terjaganya kondisi ekonomi makro dan adanya faktor belanja pemilu, ditengarai sebagai faktor yang mendorong pertumbuhan kredit UMKM di Jakarta. Selain itu, adanya ketentuan Otoritas Jasa Keuangan untuk mengalokasikan 15% kreditnya ke UMKM pada tahun 2015, mendorong perbankan mulai secara bertahap menyalurkan dana kredi ke UMKM. Risiko kredit UMKM di DKI Jakarta, walaupun mengalami kenaikan, masih tergolong rendah, yaitu sebesar 2,3% pada bulan Juni, apabila dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia. Kenaikan tarif listrik dan pembatasan BBM bersubsidi yang berakibat pada kenaikan biaya produksi, merupakan salah satu faktor risiko bagi pembiayaan sektor UMKM pada triwulan III 2014. Kinerja Sistem Pembayaran Sejalan dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi Jakarta, nilai transaksi melalui RTGS pada triwulan II 2014 mengalami peningkatan dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Nilai transaksi RTGS pada triwulan II 2014 tercatat sebesar Rp91,7 triliun atau sebanyak 24.087 transaksi per hari. Realisasi tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu sebesar Rp82 triliun atau sebanyak 23.928 Laporan Nusantara| 96 transaksi per hari. Sementara itu, transaksi melalui kliring pada triwulan II 2014 mengalami peningkatan baik secara nilai maupun volume, yaitu tercatat sekitar Rp6,8 triliun dengan volume rata-rata sekitar 300.000 warkat. Hal ini diperkirakan terkait juga dengan adanya belanja Pemilu tahun 2014. Kinerja Pengelolaan Uang Tunai Berdasarkan data, Jakarta mengalami net outflow sebesar Rp 17,26 triliun pada triwulan II 2014. Peningkatan outflow yang tercatat lebih besar dibandingkan dengan inflow ditengarai terkait dengan kegiatan Pemilu 2014. Adapun temuan uang palsu di Jakarta tetap melanjutkan tren penurunan sejalan dengan semakin ketatnya pengawasan. Grafik III.4.25. Transaksi Kliring Grafik III.4.26. Inflow - Outflow PROSPEK PEREKONOMIAN Prospek Pertumbuhan Ekonomi Merujuk pada kondisi perekonomian saat ini dan mencermati prospek serta risiko ke depan, pertumbuhan ekonomi Jakarta untuk keseluruhan tahun 2014 diprakirakan stabil dibandingkan dengan tahun 2013. Sesuai prakiraan awal, proyeksi pertumbuhan ekonomi Jakarta masih pada kisaran 6,0% - 6,4% (yoy), meskipun terdapat kecenderungan bias ke bawah. Masih kuatnya daya beli dan konsumsi masyarakat menengah atas di Jakarta menjadi kunci pertumbuhan, di samping adanya potensi perbaikan investasi dan ekspor. Indeks keyakinan dan ekspektasi konsumen Jakarta terhadap kondisi perekonomian meningkat tajam semenjak awal triwulan II 2014. Adapun faktor yang mendasari sentimen positif dan optimisme terhadap kondisi perekonomian adalah berlangsungnya Pemilu secara baik. Membaiknya investasi juga terkait dengan stabilitas ekonomi makro dengan dukungan kebijakan moneter, fiskal dan sektor riil. Di samping itu, komitmen kuat dari pemerintah baik pusat maupun daerah untuk meningkatkan daya saing juga menjadi faktor pendukung pertumbuhan investasi ke depan. Pemerintah Daerah telah berkomitmen dan memprioritaskan pengembangan infrastruktur fisik dan digital, perbaikan faktor enablers lain di Jakarta seperti kemudahan berusaha (PTSP DKI Jakarta) dan layanan publik, yang mencakup sistem transportasi, pendidikan dan kesehatan. Peluang perbaikan ekspor didukung oleh berlanjutnya pemulihan perekonomian global secara bertahap. Selain itu, perbaikan ekspor didukung oleh peningkatan produktivitas industri manufaktur Jakarta di tengah semakin meningkatnya biaya produksi terkait dengan upah pekerja maupun tarif energi. Hal ini tercermin Laporan Nusantara| 97 dari tren peningkatan impor barang modal semenjak 2013. Peningkatan ekspor juga didukung oleh upaya perbaikan kinerja logistik, khususnya di pelabuhan Tanjung Priok. Di sisi sektoral, prospek perbaikan kinerja diprakirakan terjadi pada sektor industri pengolahan dan sektorsektor non-tradable, utamanya sektor bangunan serta sektor pengangkutan dan telekomunikasi. Peningkatan kinerja sektor bangunan, selain didukung oleh pembangunan infrastruktur jangka panjang berskala besar, juga dipengaruhi oleh potensi perbaikan sektor properti di Jakarta terkait dengan peluang investasi pasca-implementasi MEA pada tahun 2015. Sementara itu, pertumbuhan subsektor pengangkutan didorong oleh peningkatan layanan transportasi publik termasuk pengoperasioan bandara Halim Perdanakusuma. Sejalan dengan peningkatan infrastruktur digital, kinerja subsektor telekomunikasi diyakini akan terus terakselerasi ke depan. Prospek Inflasi Tekanan inflasi Jakarta pada semester II 2014 diprakirakan terus menurun dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2013. Inflasi Jakarta untuk keseluruhan tahun 2014 diprakirakan sebesar 5,6% (yoy). Adapun faktor risiko terbesar terkait dengan wacana perluasan kebijakan pembatasan BBM bersubsidi pada tahun 2014 untuk meningkatkan ruang fiskal dan menekan potensi defisit APBN yang lebih besar. Selain itu, dampak El Nino yang mengganggu pasokan pangan ke Jakarta juga masih menjadi risiko pada semester II 2014. Peningkatan kerjasama perdagangan antardaerah menjadi kunci dalam menjaga ketersediaan pasokan dan keterjangkauan harga pangan strategis. Terkait dengan inflasi di kelompok inti, potensi peningkatan harga emas internasional sebagai akibat dari krisis global dan kenaikan harga properti serta sewa/kontrak rumah juga menjadi faktor risiko. Tabel III.4.1.Prakiraan Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi Jakarta Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi Wilayah PDRB (%,yoy) 2011 2012 6.7 2013 2014 II 6.3 III 6.2 IV 5.6 Total 6.1 I 6.0 II 6.1 IIIp IVp Totalp 6.5 I 6.5 6.1 5.9-6.3 6.0-6.4 Sisi Permintaan Konsumsi 6.2 5.8 5.3 5.6 6.2 5.6 5.7 6.4 5.7 6.0 5.7-6.1 5.9-6.3 Konsumsi swasta 6.2 6.3 5.7 5.9 6.0 5.7 5.8 6.1 6.1 6.1 5.8-6.2 6.0-6.4 Konsumsi Pemerintah 3.7 1.1 0.4 2.8 9.5 5.2 4.7 10.7 1.0 4.4 5.2-5.6 7.4-7.8 10.0 9.0 5.9 5.0 4.7 5.3 5.3 5.8 4.2 5.5 5.5-5.9 5.3-5.7 Ekspor 12.2 6.3 5.7 4.7 3.3 0.6 3.5 0.5 0.8 1.8 2.0-2.4 1.3-1.7 Impor 12.8 7.0 4.3 3.2 2.2 0.1 2.5 0.1 (1.1) 0.9 1.2-1.6 0.3-0.7 0.5-0.9 0.4-0.8 Pembentukan Modal Tetap Bruto Sisi Produksi Sektor pertanian 0.8 0.8 1.5 0.7 2.7 1.8 1.6 1.5 0.9 0.7 Sektor pertambangan & penggalian 8.6 (0.9) (0.4) (0.7) (1.0) (1.3) (0.8) (1.6) (1.6) (0.4) Industri pengolahan 2.4 2.4 1.9 1.5 2.8 3.3 2.4 3.9 3.4 3.6 3.6-4.0 3.8-4.2 Listrik, gas & air bersih 4.0 4.5 3.8 2.6 1.7 2.5 2.9 2.1 2.6 3.0 3.9-4.3 4.0-4.4 Bangunan 7.9 6.9 6.5 6.3 5.7 6.1 5.7 5.8 5.7 6.0 5.8-6.2 6.1-6.5 Perdagangan, hotel & restoran 7.4 7.2 7.2 7.2 6.6 4.8 6.4 5.6 5.8 5.8 5.8-6.2 5.7-6.1 Pengangkutan & komunikasi 13.9 11.8 11.4 11.4 10.9 9.8 10.8 10.6 11.5 11.3 10.8-11.2 11.0-11.4 Keuangan, persewaan dan jasa perush. 5.0 5.4 5.7 5.4 5.0 4.6 5.2 4.6 4.6 4.6 4.7-5.1 4.7-5.1 Jasa-jasa 6.9 7.6 7.5 7.4 7.9 7.4 7.5 7.6 7.8 7.5 7.0-7.4 7.1-7.4 3.97 4.52 5.70 5.67 8.38 8.00 8.00 7.53 7.09 5.38 5.4-5.8 5.4-5.8 Inflasi IHK (%,yoy) (-0.8) - (-0.4) (-0.6) - (-1.0) Sumber: Ba da n Pus a t Statis tik, di ol a h p proyeks i Ba nk Indones i a Laporan Nusantara| 98 Perekonomian Sumatera mencatat pertumbuhan ekonomi yang melambat pada triwulan II 2014. Secara agregat, perekonomian Sumatera mencatat angka pertumbuhan sebesar 5,0% (yoy), lebih rendah dibandingkan triwulan sebelumnya yang sebesar 5,4% (yoy). Perlambatan terjadi hampir di seluruh daerah, terutama di daerah-daerah yang merupakan basis produksi tambang dan juga perkebunan. Perlambatan terdalam di Sumatera tercatat terjadi di Provinsi Riau terkait penurunan kinerja lifting minyak dan gas (migas). Perlambatan juga terjadi di daerah-daerah berbasis perkebunan seperti Sumatera Utara, Jambi, dan Sumatera Selatan, yang disebabkan oleh penurunan produksi dan pelemahan harga Crude Palm Oil (CPO) dan karet. Memasuki triwulan III 2014, beberapa indikator perekonomian mengindikasikan perekonomian Sumatera relatif tumbuh stabil. Permintaan domestik yang masih cukup kuat disertai dengan peningkatan realisasi anggaran pemerintah diperkirakan turut menopang perekonomian Sumatera untuk tumbuh stabil, di tengah neraca perdagangan yang belum membaik. Hal tersebut didukung peningkatan konsumsi menjelang Hari Raya Idul Fitri dan libur sekolah serta ekspektasi konsumen yang masih terjaga. Konsumsi pemerintah yang meningkat terjadi pada belanja pegawai, yaitu penyaluran gaji ke-13 dan belanja barang. Sejalan dengan kenaikan belanja pemerintah, investasi pemerintah juga meningkat, ditopang oleh mulai bergeraknya proyek infrastruktur pemerintah pasca proses lelang. Investasi swasta juga diprakirakan akan menggeliat selepas pemilu presiden, yang sempat memberi faktor ketidakpastian berinvestasi bagi para pelaku usaha. Kapasitas perekonomian untuk tumbuh lebih tinggi tertahan oleh melambatnya ekspor neto akibat tren penurunan harga komoditas ekspor utama CPO dan karet. Di sisi harga, perkembangan inflasi Sumatera hingga Juli 2014 menunjukkan tren yang terus menurun. Melimpahnya pasokan bahan makanan, terutama komoditas bumbu-bumbuan, di sejumlah daerah di Sumatera mendorong koreksi harga pada periode tersebut. Selain itu, tekanan inflasi pada periode bulan Ramadhan dan hari raya Idul Fitri tidak setinggi pola historisnya. Hal ini tidak terlepas dari upaya pemerintah dalam menjaga ketersediaan pasokan, kelancaran distribusi, dan pengelolaan ekspektasi masyarakat melalui peran Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID). Hingga akhir triwulan III 2014, inflasi Kawasan Sumatera diprakirakan sedikit meningkat dibandingkan awal triwulan. Hal tersebut terutama bersumber dari inflasi administered prices terkait dengan perluasan kenaikan Tarif Tenaga Listrik (TTL) rumah tangga dan industri mulai 1 Juli 2014. Selain itu, fenomena El Nino berpotensi menurunkan produksi dan kualitas hasil pertanian, yang selanjutnya berdampak pada ketersediaan pasokan bahan pangan. Pertumbuhan kredit perbankan di Sumatera pada akhir triwulan II 2014 sedikit melambat dibandingkan dengan triwulan sebelumnya, seiring dengan perlambatan perekonomian. Kredit perbankan Sumatera tumbuh 15,2% (yoy), melambat dibandingkan dengan triwulan I 2014 yang mencapai 16,1% (yoy). Kendati, penyaluran kredit kepada sektor utama masih mengalami peningkatan, terdapat tren kenaikan kredit bermasalah (nonperforming loan/ NPL) dari 2,6% pada triwulan I 2014 menjadi 2,8% pada triwulan II 2014. Terus menurunnya harga komoditas ekspor utama mulai terlihat dampaknya pada tingkat kolektibilitas kredit perbankan. Berdasarkan penggunaan, hampir separuh kredit di kawasan Sumatera disalurkan dalam bentuk kredit modal kerja. Di tengah perlambatan ekonomi Sumatera, kegiatan UMKM terindikasi masih menggeliat dengan pembiayaan kredit yang masih tinggi. Di tengah perlambatan perekonomian Sumatera, transaksi keuangan melalui sistem pembayaran RTGS dan kliring maupun aliran uang tunai melalui Kantor Perwakilan Bank Indonesia di Sumatera mengalami peningkatan. Pada triwulan II 2014 transaksi RTGS di Kawasan Sumatera tercatat sekitar Rp691,18 triliun, meningkat dibandingkan dengan triwulan sebelumnya sebesar Rp550,42 triliun. Sementara itu, aliran uang dari dan ke Sumatera tercatat mengalami net outflow sebesar Rp5,76 triliun. Sesuai pola historisnya, Sumatera kembali mengalami net outflow pada triwulan II 2014, seiring dengan peningkatan transaksi menjelang Idul Fitri dan masa libur sekolah. Prospek perekonomian Sumatera pada tahun 2014 diprakirakan tumbuh lebih lambat dibandingkan dengan tahun lalu. Perlambatan ekspor akibat tren penurunan harga jual komoditas utama dan penurunan permintaan dari negara tujuan ekspor utama memberi pengaruh pada penurunan kinerja perekonomian Sumatera. Selain itu, permasalahan struktural terkait keberlangsungan produksi SDA migas turut mewarnai perlambatan perekonomian Sumatera. Provinsi Riau dan Aceh, sebagai daerahdaerah penghasil migas di Sumatera, terus tumbuh rendah seiring dengan menurunnya produktivitas sumur-sumur minyak. Di sisi lain, konsumsi domestik yang diharapkan mampu menjadi pendorong perekonomian tumbuh relatif terbatas. Sementara itu, menurunnya laju inflasi pada tahun 2014 tidak sepenuhnya dapat dinikmati oleh masyarakat Sumatera akibat penurunan harga komoditas ekspor utama. Mencermati perkembangan terkini dan berbagai risiko yang ada, perekonomian Sumatera pada tahun 2014 diprakirakan tumbuh di kisaran 5,0% - 5,4%. Di penghujung tahun 2014, inflasi Sumatera diprakirakan mengalami peningkatan. Perluasan kenaikan TTL secara bertahap yang diimplementasikan pada bulan September dan November 2014 menjadi faktor pendorong inflasi pada akhir tahun. Selain itu, juga terdapat risiko tekanan inflasi yang berasal dari potensi kelangkaan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi menjelang akhir tahun mengingat konsumsi saat ini yang telah melebihi kuota. Namun, meningkatnya laju inflasi tersebut diperkirakan dapat tertahan, didukung oleh terjaganya pasokan bahan pangan dan ekspektasi inflasi masyarakat. Mencermati perkembangan terakhir dan beberapa faktor risiko yang ada, maka inflasi agregat Sumatera diprakirakan berada pada kisaran 4,6%-5,0% (yoy), masih lebih rendah dibandingkan dengan tahun 2013 sebesar 8,8% (yoy). L a p o r a n N u s a n t a r a | 100 PERTUMBUHAN EKONOMI Perekonomian Sumatera Bagian Selatan (Sumbagsel) pada triwulan II 2014 menunjukkan perlambatan. Pertumbuhan ekonomi tercatat 5,4% (yoy) melambat dibandingkan pertumbuhan pada triwulan I 2014 sebesar 6,2% (yoy). Perlambatan terjadi di seluruh provinsi, kecuali Provinsi Lampung. Penurunan daya beli masyarakat terjadi akibat perlambatan kinerja sektor pertanian dan sektor pertambangan dan penggalian. Perlambatan sektor pertanian disebabkan oleh penurunan kinerja subsektor perkebunan terutama komoditas karet. Sementara itu, perlambatan sektor pertambangan dan penggalian disebabkan oleh penertiban izin usaha penambangan. Memasuki triwulan III 2014, perekonomian Sumbagsel diprakirakan sedikit meningkat. Perbaikan ekonomi Sumbagsel didukung oleh perbaikan konsumsi rumah tangga dan investasi. Meningkatnya konsumsi masyarakat pada perayaan Idul Fitri mendorong berdampak positif bagi peningkatan aktivitas di sektor perdagangan, hotel, dan restoran. Namun, di sisi lain, perkembangan harga karet di pasar ekspor yang belum menunjukkan adanya perbaikan yang berarti maka perbaikan kinerja ekonomi berbagai daerah di Sumbagsel cenderung terbatas. Mencermati perkembangan berbagai indikator terkini, maka pertumbuhan ekonomi Sumbagsel pada keseluruhan tahun 2014 diprakirakan berada pada kisaran 5,6 – 6,1% atau di bawah prakiraan sebelumnya. Konsumsi Konsumsi Rumah Tangga Konsumsi rumah tangga Sumbagsel pada triwulan II 2014 tercatat sebesar 6,0% (yoy), melambat dibandingkan triwulan I 2014 sebesar 7,0% (yoy). Perlambatan konsumsi rumah tangga terjadi di seluruh provinsi di Sumbagsel kecuali Bengkulu. Melambatnya kinerja konsumsi diperkirakan terkait dengan aktivitas subsektor perkebunan khususnya komoditas karet yang masih melambat menyebabkan daya beli masyarakat menurun. Perlambatan konsumsi juga tercermin dan hasil Survei Konsumen, Indeks Kondisi Ekonomi saat ini melambat dibandingkan triwulan sebelumnya. Selain itu, kredit konsumsi juga menunjukkan perlambatan khususnya Kredit Pemilikan Rumah (KPR) . Berdasarkan perkembangan berbagai indikator konsumsi hingga Agustus 2014 ini, konsumsi rumah tangga pada triwulan III 2014 diprakirakan membaik. Membaiknya konsumsi tersebut didukung oleh peningkatan belanja menjelang Hari Raya Idul Fitri. Selain itu, penyelenggaraan beberapa kegiatan berskala besar seperti Festival Krakatau di Lampung dan MTQ Internasional di Sumatera Selatan diyakini dapat menarik wisatawan dan mendorong tumbuhanya Konsumsi Sumbagsel pada triwulan III 2014. Indeks Keyakinan Konsumen dan Indeks Ekspektasi Konsumen yang masih tinggi didukung oleh peningkatan ekspektasi pendapatan masyarakat. L a p o r a n N u s a n t a r a | 101 IKK 150 IKE Triliun Rupiah 30.00 IEK 140 Kredit Konsumsi gKredit (Skala Kanan) %yoy 60 25.00 50 20.00 40 120 15.00 30 110 10.00 20 5.00 10 130 100 - 90 0 I I II III IV I II 2011 III IV I II 2012 III IV I II III* 2013 II III IV I 2011 II III IV I 2012 II III IV 2013 I II 2014 2014 *hingga Juli 2014 Grafik IV.1.1. Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) Grafik IV.1.2. Kredit Konsumsi Konsumsi Pemerintah Konsumsi pemerintah pada triwulan II 2014 mengalami peningkatan didukung peningkatan penyerapan belanja pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) terutama di provinsi Sumsel dan Babel. Total belanja Pemerintah Daerah wilayah Sumbagsel pada triwulan II 2014 tumbuh 34,06% (yoy), lebih tinggi dibandingkan triwulan I 2014 yang mengalami kontraksi 8,35% (yoy). Perbaikan tersebut terjadi pada peningkatan realisasi belanja modal maupun belanja operasi. Peningkatan belanja tersebut terindikasi dari peningkatan sektor bangunan pada triwulan II 2014. Memasuki triwulan III 2014, konsumsi pemerintah diperkirakan tumbuh terbatas sesuai dengan polanya yang melambat. Peningkatan konsumsi pemerintah baru mulai terjadi di triwulan IV. Konsumsi belanja pemerintah daerah pada triwulan III 2014 yang masih terbatas juga tercermin dari simpanan Pemerintah Daerah (Pemda) pada akhir triwulan II 2014 yang justru meningkat. Rp Triliun %yoy Simpanan Pemda 16 gSimpanan Pemda (Skala Kanan) 60.00 14 40.00 12 20.00 10 8 0.00 6 -20.00 4 -40.00 2 0 -60.00 I II III 2011 IV I II III 2012 IV I II III IV 2013 Grafik IV.1.3. Simpanan Pemda I II %yoy gPendapatan 40 30 20 10 (10) (20) I II III 2013 gBelanja IV I II 2014 2014 Grafik IV.1.4. Pertumbuhan Pendapatan dan Belanja Daerah Investasi Kinerja investasi Sumbagsel mengalami perlambatan pada triwulan II 2014. Pertumbuhan investasi tercatat sebesar 5,0% (yoy), melambat dibandingkan triwulan I 2014 sebesar 7,0% (yoy). Perlambatan investasi terjadi di seluruh provinsi di Sumbagsel, kecuali di Bangka Belitung (Babel). Perlambatan investasi juga tercermin dari penurunan realisasi Penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) yang dicatat oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal. Realisasi PMA pada L a p o r a n N u s a n t a r a | 102 triwulan II 2014 tercatat sebesar USD186,0 juta menurun dibandingkan triwulan sebelumnya sebesar USD356,0 juta. Sementara itu realisasi PMDN tercatat sebesar Rp 254,4 miliar menurun dibandingkan triwulan lalu sebesar Rp 513,7 miliar. Selain itu, kredit investasi juga menunjukkan perlambatan dari 43,81% (yoy) pada triwulan I 2014 menjadi 21,55% (yoy) pada triwulan II 2014. Menjelang Pemilu Presiden pada Juli 2014, banyak pelaku usaha yang menahan kegiatan investasinya atau wait and see hingga pemilu selesai dilakukan. Pascapemilu, kegiatan investasi diperkirakan kembali normal dan mengalami peningkatan pada triwulan III 2014. Dengan disahkannya Kawasan Ekonomi Khusus Tanjung Api-api (KEK TAA) diperkirakan akan berdampak positif bagi perbaikan kinerja investasi di Sumbagsel. Pembangunan infrastruktur khususnya jalan dan pelabuhan barang mulai dilakukan pada triwulan III 2014. Pengembangan kawasan industri di sekitar KEK TAA yang akan menopang perekonomian Sumbagsel khususnya Sumatera Selatan (Sumsel) juga akan mulai dibangun pada triwulan III 2014. Peningkatan impor barang modal pada akhir triwulan II 2014 ini diperkirakan juga mendorong peningkatan investasi pada triwulan mendatang. 50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0 Kredit Investasi Rp Triliun 80 gKredit Investasi (Skala Kanan) 70 60 50 II III 2011 IV I II III 2012 IV I II III 2013 IV I II 2014 PMA 2,000 300 250 30 200 20 150 10 100 1,500 1,000 500 50 - I II III 2012 Grafik IV.1.5. Penyaluran Kredit Investasi Rp Miliar 2,500 PMDN (Skala Kanan) 350 40 0 I USD Juta 400 IV I II III 2013 IV I II 2014 Grafik IV.1.6. Realisasi Investasi Perdagangan Luar Negeri Ekspor Pada triwulan II 2014, ekspor luar negeri Sumbagsel masih mengalami kontraksi sebesar 7,2% (yoy). Kontraksi ekspor luar negeri Sumbagsel tersebut disebabkan oleh penurunan ekspor karet dan batu bara. Harga internasional karet dan batubara yang masih belum mengalami perbaikan membuat kinerja ekspor kedua komoditas utama tersebut masih mengalami penurunan. Selain itu, penurunan komoditas karet juga disebabkan oleh pasokan karet dunia yang semakin berlimpah akibat munculnya produsen baru seperti Vietnam, Myanmar, dan Laos. Di sisi lain, kebutuhan domestik batubara semakin meningkat sehingga produksi batubara masih dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Memasuki triwulan III 2014, ekspor luar negeri Sumbagsel diperkirakan mengalami perlambatan. Perlambatan tersebut disebabkan oleh harga komoditas di pasar internasional, khususnya karet yang masih melambat hingga Agustus 2014. Selain itu, penggunaan batubara, terutama kalori rendah, akan lebih banyak digunakan oleh PLN untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. L a p o r a n N u s a n t a r a | 103 %yoy Juta Ton Volume Ekspor Karet gVolume Ekspor (Skala Kanan) 350 300 35 800 30 100 600 20 200 %yoy 80 25 250 Volume Ekspor CPO gVolume Ekspor (Skala Kanan) Juta Ton 60 15 150 5 50 0 0 -5 I II III IV I II III IV I 2011 2012 II III IV I 2013 40 400 10 100 20 0 200 -20 0 II -40 I II III IV I II III IV I II III IV I II 2014 2011 2012 2013 2014 Grafik IV.1.8. Perkembangan Ekspor Minyak Sawit Grafik IV.1.7. Perkembangan Ekspor Karet Impor Pada triwulan II 2014, nilai impor Sumbagsel mengalami perlambatan dibandingkan triwulan sebelumnya. Hal tersebut sejalan dengan perlambatan konsumsi rumah tangga yang cukup dalam pada triwulan ini. Impor barang konsumsi mengalami kontraksi yan cukup dalam dari tumbuh 225,0% (yoy) pada triwulan lalu menjadi -19,1% (yoy) pada triwulan II 2014. Perlambatan terbesar terjadi pada provinsi Sumsel akibat menurunnya kinerja sektor pertanian yang berdampak pada penurunan daya beli masyarakat. Pada triwulan III 2014, impor luar negeri diperkirakan mulai meningkat. Peningkatan impor terutama terjadi pada kelompok barang modal dan bahan baku. Peningkatan tersebut diperkirakan akan terus berlanjut hingga akhir tahun 2014, untuk mendukung kegiatan investasi pada semester II 2014. Hal tersebut juga sesuai dengan pola impor yang akan mengalami peningkatan hingga triwulan IV. Impor Barang Modal %yoy gImpor Barang Modal (Skala Kanan) 150 USD Juta 250 Ekspor gEkspor (Skala Kanan) USD Juta 3,500 Impor gImpor (Skala Kanan) %yoy 120 100 3,000 200 100 150 50 100 0 80 2,500 60 2,000 40 1,500 20 0 1,000 -20 50 -50 0 -100 I II III IV I 2011 II III IV I 2012 II III 2013 IV I II 500 -40 - -60 I II III 2010 IV I II III 2011 IV I II III 2012 IV I II 2013 2014 Grafik IV.1.9. Perkembangan Impor Barang modal Grafik IV.1.10. Perkembangan Ekspor Impor Luar Negeri Kinerja Sektor Utama Daerah Sektor Pertanian Kinerja sektor pertanian pada triwulan II 2014 mengalami perlambatan dibandingkan triwulan sebelumnya. Perlambatan sektor pertanian terutama disebabkan oleh penurunan kinerja sub sektor perkebunan. Produksi karet di Sumbagsel hingga Mei 2014 masih mengalami perlambatan. Selain itu, kredit yang disalurkan ke sektor pertanian hingga triwulan II 2014 juga menunjukkan perlambatan. Harga internasional karet yang belum mengalami perbaikan disebabkan oleh peningkatan suplai karet dunia L a p o r a n N u s a n t a r a | 104 dengan bertambahnya negara produsen karet. Kualitas karet di wilayah Sumbagsel yang belum baik membuat komoditas karet kurang mampu bersaing. Menghadapi tantangan harga karet yang semakin meningkat, Gapkindo dan Pemerintah Daerah bekerjasama dalam peningkatan kualitas karet. Hal tersebut dilakukan dengan mencanangkan program bahan olahan karet (bokar) bersih. Memasuki triwulan III 2014, kinerja sektor pertanian pada triwulan ini diperkirakan masih melambat. Harga karet di level pekebun juga belum mengalami perbaikan sehingga menurunkan motivasi pekebun karet untuk melakukan produksi. Sejalan dengan hal tersebut harga CPO di pasar internasional juga masih menurun. Pada subsektor tanaman bahan makanan, diprakirakan juga belum menunjukkan peningkatan karena tanaman bahan makanan di Sumsel dan Lampung baru memasuki masa tanam. Kredit Pertanian %yoy gKredit Pertanian (Skala Kanan) 100 Triliun Rupiah 25 90 80 70 60 50 40 30 20 10 - 20 15 10 5 I II III 2011 IV I II III 2012 IV I II III 2013 IV I II 2014 Ribu Ton 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 - Produksi Karet %yoy 40 gProduksi Karet (Skala Kanan) 30 20 10 0 -10 -20 -30 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 2011 2012 2013 2014 Sumber : Gapkindo Sumsel Grafik IV.1.11. Kredit Sektor Pertanian Grafik IV.1.12. Produksi Karet Sektor Pertambangan Sektor pertambangan Sumbagsel pada triwulan II 2014 mengalami perlambatan, sejalan dengan perkiraan sebelumnya. Sektor pertambangan dan penggalian tercatat tumbuh sebesar 1,2% (yoy) melambat dibandingkan triwulan sebelumnya sebesar 1,7% (yoy). Data produksi batubara menunjukkan sedikit penurunan di akhir triwulan II 2014. Selain itu, penertiban Izin Usaha Pertambangan (IUP) memberikan dampak pada penurunan produksi pertambangan. Hal ini juga dikonfirmasi oleh perusahaan penyewaan alat berat yang menyatakan terdapat penurunan pendapatan dari penyewaan oleh perusahaan pertambangan batubara. Sementara itu, data produksi timah menunjukkan peningkatan dibandingkan triwulan sebelumnya sejalan dengan pola penjualan yang mencapai puncaknya pada pertengahan tahun. Selain itu, harga timah melalui Bursa Komoditas Derivatif Indinesia (BKDI) terbukti mampu menjaga harga pada level yang tinggi dibandingkan harga di bursa lainnya. Pada triwulan III 2014, kinerja sektor ini diperkirakan masih mengalami kontraksi. Dampak penertiban IUP diperkirakan masih akan berdampak pada produksi batubara dan migas. Selain itu, beberapa perusahaan migas mengeluhkan sulit dan mahalnya perizinan untuk melakukan eksplorasi lebih lanjut. Namun demikian, dengan diberlakukannya jalan khusus batubara pada Juli 2014 diperkirakan mampu mendorong produksi batubara. Selain itu, berbagai infrastruktur pengangkut seperti double track kereta api dan pelabuhan khusus di Kawasan Tanjung Api-api membuat potensi pertambangan batubara menjadi semakin meningkat. L a p o r a n N u s a n t a r a | 105 Produksi Batubara kt 24000.0 gProduksi Batubara (Skala Kanan) 1400 %yoy 60 23500.0 1200 50 23000.0 1000 40 30 800 20 600 10 400 0 200 -10 0 -20 1 3 5 7 9 11 1 3 5 2012 7 2013 9 11 1 3 5 2014 Sumber: IHS McCloskey Coal Report Grafik IV.1.13. Perkiraan Produksi Batubara USD/MT BKDI Bloomberg 12 2 22500.0 22000.0 21500.0 21000.0 20500.0 8 2013 9 10 Sumber: Bursa Bloomberg 11 1 2014 Komoditas 3 4 5 Derivatif 6 7 8* Indonesia, Grafik IV.1.14. Harga Timah Sektor Industri Pengolahan Pada triwulan II 2014, sektor industry pengolahan mengalami pertumbuhan signifikan. Industri pengolahan pada triwulan II 2014 tumbuh sebesar 7,2% (yoy), meningkat pesat dibandingkan triwulan sebelumnya sebesar 4,5% (yoy). Peningkatan industri pengolahan terutama terjadi pada industri makanan dan minuman khususnya gula, kopi, dan makanan olahan lainnya di Sumsel dan Lampung. Berdasarkan data impor, bahan baku terutama gula juga menunjukkan peningkatan. Peningkatan industri juga terjadi pada kelompok furniture di Lampung. Industri pengolahan timah juga tumbuh lebih tinggi dibandingkan triwulan sebelumnya yang ditandai dengan meningkatnya penjualan dan penurunan persediaan. Pada triwulan III 2014, industri pengolahan diperkirakan tumbuh melambat seiring dengan belum membaiknya harga komoditas internasional dan puncak produksi pada pertengahan tahun. Harga karet internasional masih tercatat turun 16,7% (yoy) hingga Agustus 2014. Sementara itu, harga CPO juga masih melambat dari 5,3% (yoy) di triwulan II 2014 menjadi 2,3% (yoy). Hasil liaison menunjukkan bahwa kinerja pengolahan timah diperkirakan akan mengalami perlambatan pada triwulan III 2014 setelah tumbuh cukup tinggi pada triwulan II 2014. Sumber : Bloomberg *hingga Agustus 2014 Grafik IV.1.15. Harga Karet Internasional Sumber : Bloomberg *hingga Agustus 2014 Grafik IV.1.16. Harga CPO Internasional L a p o r a n N u s a n t a r a | 106 PERKEMBANGAN INFLASI Melambatnya laju inflasi Sumbagsel masih terus berlanjut hingga Juli 2014. Inflasi tercatat 3,77% (yoy), menurun dibandingkan Maret 2014 dan Juni 2014 yang masing-masing tercatat tercatat 6,17% (yoy) dan 5,29% (yoy). Inflasi terendah terjadi di kota Lubuklinggau dan Palembang dengan masing-masing sebesar 2,75% (yoy) dan 2,76% (yoy). Penurunan terjadi karena mulai hilangnya dampak kenaikan bahan bakar minyak pada tahun 2013 lalu (base effect) dan melimpahnya pasokan sejak Februari 2014 sehingga tekanan kelompok volatile food berkurang. Namun demikian, rendahnya inflasi di beberapa kota masih perlu diwaspadai dengan tingginya inflasi di kota Tanjungpandan dan Metro yang masing-masing tercatat 9,60% (yoy) dan 7,82% (yoy). Tekanan inflasi di triwulan III 2014 diperkirakan akan melambat seiring dengan base year effect yang sudah habis dan semakin eratnya koordinasi Pemerintah dalam menjaga pasokan di wilayahnya masingmasing. Capaian inflasi hingga Juli 2014 tercatat 4,51% (yoy), melambat dibandingkan Juni 2014. Namun demikian, implementasi kenaikan Tarif Tenaga Listrik berkala untuk golongan industri dan rumah tangga golongan 1300VA-5500VA serta pengurangan Bahan Bakar Minyak (BBM) dapat memberikan tekanan khususnya kelompok administered price. 20.00 %yoy Core Adm. Prices Volatile Foods 12 %yoy Sumatera Selatan Lampung Sumbagsel 10 Bengkulu Bangka Belitung Nasional 15.00 8 10.00 6 5.00 4 0.00 2 6 8 10 12 2 4 6 8 10 12 2 4 6 0 I 2012 2013 2014 Sumber : Badan Pusat Statistik, diolah Grafik IV.1.17. Disagregasi Inflasi II III 2011 IV I II III 2012 IV I II III 2013 IV I II Jul 2014 Sumber : Badan Pusat Statistik, diolah Grafik IV.1.18. Perkembangan Inflasi Sumbagsel Koordinasi Pengendalian Inflasi Komitmen Pemerintah Daerah dalam menjaga inflasi di wilayah Sumbagsel semakin terlihat. TPID baru sudah terbentuk di Kota dan Kabupaten, baik Kota/Kabupaten yang dihitung inflasinya maupun tidak dihitung. Penambahan TPID kota/kabupaten dari sebelumnya yang hanya TPID Kota Bandarlampung dan Kota Metro di provinsi Lampung dan TPID kota Pangkalpinang di provinsi Babel bertambah TPID Kab. Ogan Komering Ulu, Kota Palembang, dan kota Prabumulih di Sumsel, TPID Kab. Belitung dan Bangka Tengah di Babel, TPID Kab. Seluma dan Kab. Bengkulu Utara di Bengkulu serta TPID Kab. Lampung Timur, Kab. Lampung Selatan, Kab. Lampung Utara, Kab. Lampung Barat, dan Kabupaten Pringsewu di Lampung. Pada akhir triwulan II 2014 dan awal triwulan III 2014 bertepatan dengan bulan puasa dan Idul Fitri. Menurut data historis, inflasi bulanan pada periode tersebut mengalami peningkatan sejalan dengan konsumsi masyarakat yang meningkat. TPID dan Pemerintah Daerah senantiasa berkoordinasi untuk melakukan langkah-langkah antisipatif sebagai berikut: 1. Perbaikan infrastruktur jalan. Di Lampung, penyiagaan infrastruktur fisik pendukung juga ditambah dengan penyiagaan alat berat di beberapa titik rawan longsor. L a p o r a n N u s a n t a r a | 107 2. Pemantauan di beberapa titik strategis yang dilalui arus penumpang dan barang di Sumatera oleh Dinas Perhubungan 3. Penguatan koordinasi untuk memprioritaskan kendaraan pengangkut bahan makanan dan khususnya kapal yang memuat bahan pangan di Babel 4. Penguatan koordinasi TPID untuk menjaga pasokan 5. Beroperasinya jalan khusus batubara di Sumsel, sehingga angkutan batubara tidak lagi melewati jalan umum di Sumsel. STABILITAS SISTEM KEUANGAN DAN PENGELOLAAN SISTEM PEMBAYARAN Ketahanan Sektor Korporasi Sejalan dengan pertumbuhan ekonomi yang masih melambat, pertumbuhan kredit Sumbagsel pada triwulan laporan tercatat sebesar 18,7% (yoy), atau masih dalam tren perlambatan selama 3 triwulan terakhir (Grafik IV.1.18). Hal tersebut konsisten dengan Indeks Ekspektasi Usaha Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU). Total kredit yang disalurkan di wilayah Sumbagsel pada triwulan II 2014 ini mencapai Rp159,9 triliun. Perlambatan pertumbuhan kredit terjadi di seluruh provinsi Sumbagsel kecuali Sumatera Selatan. Perlambatan terjadi pada kredit konsumsi dan kredit investasi, sementara kredit modal kerja masih tumbuh meningkat. Secara sektoral, kredit sektor pertanian dan PHR mengalami perlambatan (Grafik IV.1.19). Perlambatan kredit sektor pertanian terjadi seiring dengan penurunan beberapa harga komoditas internasional yang meningkatkan risiko penyaluran kredit sektor pertanian. Namun demikian, perlambatan kedua sektor tersebut tertahan oleh pertumbuhan kredit industri pengolahan yang mengalami peningkatan. Walaupun demikian, NPL untuk kredit lapangan usaha Sumbagsel mengalami perbaikan di level 2,51% dibandingkan triwulan lalu sebesar. Triliun Rupiah Kredit %yoy gKredit (Skala Kanan) 180 60 160 50 140 120 40 100 gKredit Pertanian gKredit Industri Pengolahan 300 gKredit Pertambangan gKredit PHR %yoy 200 30 80 60 20 40 10 20 0 100 0 I 0 I II III 2011 IV I II III 2012 IV I II III IV 2013 Grafik IV.1.19. Penyaluran Kredit I II 2014 -100 II III IV 2011 I II III IV 2012 I II III IV 2013 I II 2014 Grafik IV.1.20. Pertumbuhan Kredit Sektor Ekonomi Utama Ketahanan Sektor Rumah Tangga Kredit kepada bukan lapangan usaha atau sektor rumah tangga pada triwulan II 2014 tercatat sedikit melambat dari 11,6% (yoy) pada triwulan I 2014 menjadi 10,3% (yoy). Walaupun secara keseluruhan kredit kepada bukan lapangan usaha atau sektor rumah tangga tumbuh melambat, namun terjadi peningkatan pada penyaluran kredit kepemilikan rumah (KPR) dan kredit kendaraan bermotor (KKB) (Grafik IV.1.23). Peningkatan kredit kepemilikan rumah untuk semua tipe rumah diiringi dengan perbaikan NPL dari 3,49% (yoy) pada triwulan I 2014 menjadi 3,39% (yoy). Sementara itu, NPL KKB dan kredit multiguna mengalami peningkatan masing-masing menjadi sebesar 1,80% dan 0,95%. L a p o r a n N u s a n t a r a | 108 KPR, KPA, Rukan KKB gKPR KPA Rukan - Skala Kanan gKKB - Skala Kanan Triliun Rp 14.0 12.0 % yoy 3.5 120 3.0 100 10.0 80 8.0 60 6.0 40 4.0 2.0 0.0 II III IV I II 2011 III IV I II 2012 III IV I 2013 % NPL KPR KPA Rukan NPL KKB 2.5 2.0 1.5 20 1.0 0 0.5 -20 0.0 -40 I 4.0 140 I II III IV I II III IV I II III IV I II II 2011 2014 Grafik IV.1.21. Penyaluran Kredit Tempat Tinggal dan Kendaraan 2012 2013 2014 Grafik IV.1.22. NPL Kredit Rumah Tangga Pembiayaan Sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) Kredit UMKM pada triwulan II 2014 tercatat sebesar Rp44,7 triliun atau mempunyai porsi sebesar 28,0% dari seluruh penyaluran kredit di Sumbagsel. Pertumbuhan kredit UMKM pada triwulan laporan tercatat sebesar 25,4% (yoy) atau meningkat cukup signifikan dibandingkan triwulan I 2014 yang tumbuh sebesar 17,8% (yoy) (Grafik IV.1.27). Golongan yang mendominasi penyaluran kredit UMKM adalah golongan kecil menengah dengan pangsa 77%. Secara sektoral, pangsa penyaluran kredit UMKM pada triwulan II 2014 didominasi oleh sektor perdagangan dan sektor pertanian (Grafik II.2.28). Dibandingkan triwulan sebelumnya, pangsa kredit transportasi dan komunikasi mengalami peningkatan yang signifikan hingga mencapai 10% dari total kredit UMKM triwulan II 2014. Namun demikian, pertumbuhan ini tidak disertai dengan perbaikan kualitas kredit yang ditandai dengan NPL yang meningkat dari 3,44% pada triwulan I 2014 menjadi 4,23%. Bank Indonesia bekerja sama dengan pemerintah daerah juga senantiasa mendukung pengembangan UMKM dan edukasi kepada masyarakat guna mendukung perluasan akses keuangan. Pemerintah daerah hendaknya membuat fokus pengembangan dan penguatan sektor usaha mikro kecil dan menengah agar potensinya bisa dioptimalkan. Kredit UMKM Triliun Rupiah 50 40 % gKredit UMKM (%yoy) - Skala Kanan 60 NPL (%) - Skala Kanan 50 40 30 Real Estate, Jasa Transport& Perusahaan Gudang 3% 12% 30 20 Industri 5% 20 10 10 0 0 I II III 2011 IV I II III IV 2012 I II III 2013 IV I II Pertanian 21% PHR 54% Konstruksi 5% 2014 Grafik IV.1.23. Penyaluran Kredit UMKM Grafik IV.1.24. Pangsa Kredit UMKM Kinerja Sistem Pembayaran Di tengah perlambatan ekonomi Sumbagsel pada triwulan II 2014, kinerja sistem pembayaran non tunai baik Real Time Gross Settlement (RTGS) maupun kliring pada triwulan II 2014 masih meningkat dibandingkan triwulan sebelumnya. Pada triwulan II 2014, transaksi RTGS mencapai Rp157,75 triliun atau L a p o r a n N u s a n t a r a | 109 naik 5,1% (yoy). Pertumbuhan ini lebih tinggi dibandingkan transaksi pada triwulan I 2014 sebesar Rp120,67 triliun atau tumbuh 2,9% (yoy). (Grafik IV.1.29). RTGS keluar wilayah Sumbagsel tercatat sebesar Rp91,11 triliun, lebih kecil dibandingkan masuk ke wilayah Sumbagsel sebesar Rp47,28 triliun. Transaksi kliring pada triwulan II 2014 tercatat sebesar Rp19,3 triliun rupiah, tumbuh 1,8% (yoy), lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan triwulan I 2014 sebesar 1,3% (yoy) (Grafik IV.1.30). Di sisi lain, jumlah bilyet yang ditolak mengalami peningkatan dari 10.079 bilyet menjadi 11.873 bilyet atau tumbuh dari 6,2% (yoy) di triwulan I 2014 menjadi 21,5% (yoy). Dari sisi nominal jumlah bilyet yang ditolak mencapai Rp398 miliar, tumbuh 25,5% (yoy) meningkat dibandingkan triwulan sebelumnya. 140 Rp Triliun RTGS %yoy gRTGS (Skala Kanan) 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0 120 100 80 60 40 20 I II III 2011 IV I II III IV I II 2012 III 2013 IV I 30 %yoy Rp Triliun Kliring gKliring (Skala Kanan) 35 30 25 20 15 10 5 0 -5 25 20 15 10 5 - I II III IV 2011 I II III IV 2012 I II III IV 2013 I II 2014 2014 Grafik IV.1.25. Perkembangan RTGS Outgoing Grafik IV.1.26. Perkembangan Perputaran Kliring Kinerja Pengelolaan Uang Tunai Aliran uang kartal di berbagai daerah di Sumbagsel triwulan II 2014 mengalami net outflow, sesuai dengan pola normalnya. Net outflow ini terjadi di seluruh provinsi di Sumbagsel yang disebabkan oleh menurunnya inflow dan meningkatnya outflow. Net inflow di wilayah Sumbagsel mencapai Rp3,2 triliun rupiah. Di sisi lain, rasio pemusnahan uang lusuh terhadap uang kartal yang masuk ke kantor Bank Indonesia mengalami sedikit peningkatan sejalan dengan upaya untuk menjaga ketersediaan uang layak edar (clean money policy) bagi masyarakat luas. Pada triwulan ini, Kantor Perwakilan BI membuka kas titipan baru di Kota Prabumulih, untuk memperlancar distribusi uang kartal di wilayah Sumsel. Menjelang Idul Fitri, kantor Bank Indonesia di wilayah Sumbagsel melayani penukaran uang di kantor BI dan juga bekerjasama dengan bank-bank komersial lainnya. Hal tersebut dilakukan agar pelayanan kepada masyarakat dapat menjangkau lebih luas. Selanjutnya, seluruh kantor perwakilan BI juga senantiasa memberikan edukasi keaslian uang rupiah agar masyarakat juga dapat membedakan uang yang asli dan uang yang diragukan keasliannya, serta mengetahui mekanisme pelaporan jika menemukan uang yang diragukan keasliannya tersebut. PROSPEK PEREKONOMIAN Prospek Pertumbuhan Ekonomi Mencermati perkembangan terakhir, pertumbuhan ekonomi Sumbagsel untuk keseluruhan tahun 2014 diperkirakan revisi ke bawah, melambat dibandingkan periode 2013. Perubahan ke bawah diakibatkan oleh prospek perbaikan ekonomi global yang tidak secepat proyeksi sebelumnya, sehingga harga komoditas utama internasional juga belum menunjukkan perbaikan. Kondisi mitra dagang komoditas karet masih menunjukkan perlambatan, akibat melimpahnya pasokan di Tiongkok dan perlambatan industri otomotif di Amerika Serikat, serta meningkatnya pasokan karet dari negara produsen L a p o r a n N u s a n t a r a | 110 nontradisional. Kebijakan Ketentuan Ekspor Batubara dan Produk Batubara, yang mewajibkan penambang untuk terdaftar menjadi Eksportir Terdaftar Batubara sebelum melakukan ekspor yang akan mulai diberlakukan pada 1 September 2014 diperkirakan akan membuat tekanan yang bersifat sementara bagi para penambang batubara di Sumbagsel. Seiring dengan kondisi global yang penuh ketidakpastian, beberapa tantangan perlu diperhatikan untuk menjaga pertumbuhan ekonomi Sumbagsel. Pemerintah Daerah, asosiasi, dan pelaku usaha perlu untuk meningkatkan daya saing, melalui peningkatan kualitas dan hilirisasi pengolahan komoditas Sumsel serta percepatan pembangunan infrastruktur. Menanggapi harga karet internasional yang masih belum mengalami perbaikan, Pemda dan asosiasi sudah melakukan langkah perbaikan dengan mencanangkan program bahan olahan karet (bokar) bersih. Prospek Inflasi Inflasi Sumbagsel pada tahun 2014 diperkirakan konsisten menurun dan kembali ke pola normalnya pasca kenaikan BBM di tahun 2013. Prospek terjaganya inflasi didukung oleh perkiraan pasokan pangan yang terjaga dengan koordinasi yang erat oleh TPID yang terus bertambah di setiap kota dan kabupaten. Selain itu, dengan bertambahnya TPID, ekspektasi inflasi dapat diminimalisasi dengan penambahan implementasi Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS). Namun, masih terdapat potensi risiko yang membayangi kenaikan inflasi terutama kelompok administered price antara lain kebijakan kenaikan harga listrik berkala untuk golongan industri besar dan rumah tangga golongan 1300-5500 VA yang akan diberlakukan hingga akhir 2014, serta pembatasan Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi melalui pembatasan penjualan solar dan penghapusan penjualan premium di jalan tol. Tabel IV.1.3. Prakiraan Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi Sumatera Bagian Selatan Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi Wilayah 2013 2014 2011 2012 I II III IV Total I II IIIp IVp Totalp PDRB (%,yoy) 6.5 6.2 6 5.8 5.6 6.4 5.9 5.9 5.5 5.6 5.8-6.3 5.6-6.1 Sisi Permintaan Konsumsi 6.5 6.5 7.2 7.1 8.3 7.3 7.5 6.8 5.9 6.1 7.0-7.5 6.4-6.9 Konsumsi swasta 6.2 6.6 7.3 7.7 8.1 8.1 7.8 7 6 6.5 7.6-8.1 6.7-7.2 Konsumsi Pemerintah PMTB 7.9 11.6 5.5 11.4 6.1 8.7 3.1 7 9.3 4.3 3.9 7.5 5.5 6.8 5.4 6.3 5.2 5 3.7 5.4 3.8-4.3` 4.0-4.5 4.3-4.8 5.0-5.5 Ekspor 17 3.5 10.5 7.3 5.7 11 8.6 10.1 7.2 7.1 4.0-4.5 6.8-7.3 Impor 25.8 7.5 11.9 15 12.6 31.3 18 19.7 16.1 16.1 3.5-4.0 13.0-13.5 Sektor pertanian 5.1 5.1 1.7 3.2 3.2 10 4.4 5.9 3.4 3.1 2.7-3.2 3.5-4.0 Sektor pertambangan & penggalian 3.1 0.8 1.4 2.5 1 1.9 1.7 1.7 1.2 0.9 0.4-0.9 0.8-1.3 Industri pengolahan 5.3 5.1 8.1 7 5.8 5.6 6.6 4.5 7.2 6.5 4.1-4.6 5.5-6.0 Listrik, gas & air bersih 8.7 8.7 7.3 8.3 8.8 7.4 8.3 6.2 5.5 5.7 4.6-5.1 5.6-6.1 Bangunan 11.6 8.4 10.2 8.7 7.2 4.2 7.5 5.9 6.6 7.9 8.5-9.0 7.0-7.5 Perdagangan, hotel & restoran 7.1 7.6 8.6 6.9 7.1 5 6.9 7 7.6 7.9 9.5-10.0 7.8-8.3 Pengangkutan & komunikasi 12.2 11.3 8.9 8.8 7.5 7.1 8 7.6 7.7 8.4 9.0-9.5 8.0-8.5 Keuangan, persewaan dan jasa perush. 8.1 10.5 10.9 8.8 9.3 7.3 9 9 7.9 8.1 10.4-10.9 8.8-9.3 Jasa-jasa 7.9 8.4 8.8 7.2 10.5 6.7 8.3 7.8 6.4 7.5 7.3-7.7 7.2-7.7 4 3.7 6.2 4.9 7.6 7.6 7.6 6.2 5.3 4.5 4.4-4.9 4.4-4.9 Sisi Produksi Inflasi IHK (%,yoy) L a p o r a n N u s a n t a r a | 111 PERTUMBUHAN EKONOMI Perekonomian wilayah Sumatera Bagian Tengah (Sumbagteng) mengalami perlambatan cukup dalam dibandingkan dengan triwulan lalu. Berbeda dengan perkiraan sebelumnya, menurunnya kinerja ekspor komoditas pertanian, masih rendahnya investasi, serta penurunan lifting migas yang signifikan berdampak pada lebih rendahnya realisasi pertumbuhan ekonomi Sumbagteng. Pada triwulan II 2014 yang hanya tumbuh 4,5% (yoy), menurun dari 5,4% (yoy) pada triwulan I 2014. Penurunan kinerja ekspor disebabkan oleh melemahnya harga dan penurunan produksi CPO dan karet di sejumlah daerah di Sumbagteng. Sementara itu, faktor ketidakpastian politik di tahun pemilu menjadi penyebab investasi tumbuh rendah. Berbagai indikator ekonomi terkini menunjukkan kinerja ekonomi Sumbagteng mengalami sedikit perbaikan pada triwulan III 2014. Pertumbuhan ekonomi, yang diprakirakan sebesar 4,6% (yoy), ditopang oleh kegiatan konsumsi, baik rumah tangga maupun pemerintah, dan investasi. Masih cukup kuatnya konsumsi yang ditopang oleh relatif terjaganya daya beli serta didukung oleh penyerapan anggaran belanja pemerintah daerah mampu mendorong pertumbuhan ekonomi di triwulan III 2014. Sementara itu, kinerja investasi, baik swasta dan pemerintah, diprakirakan membaik pasca pemilu dan memasuki semester II 2014. Meningkatnya aktivitas konsumsi tersebut berdampak pada peningkatan sektor industri pengolahan dan sektor perdagangan, hotel, dan restoran (PHR). Untuk keseluruhan tahun 2014, pertumbuhan ekonomi Sumbagteng diprakirakan tumbuh di kisaran 4,6%-5,0% (yoy). Konsumsi Konsumsi Rumah Tangga Terjaganya daya beli masyarakat disertai penurunan laju inflasi berdampak pada meningkatnya konsumsi rumah tangga di triwulan II 2014. Peningkatan yang terjadi di seluruh provinsi di Sumatera Bagian Tengah (Sumbagteng) tersebut juga berasal dari kenaikan konsumsi di bulan Ramadhan dan masa liburan sekolah. Selain itu, penyelenggaraan sejumlah kegiatan berskala nasional dan internasional seperti MTQ Nasional XXV dan Bintan Triathlon di Kepulauan Riau serta Tour de Singkarak di Sumatera Barat mampu mendorong konsumsi rumah tangga tumbuh signifikan dari 6,1% (yoy) pada triwulan I 2014 menjadi 7,3% (yoy) pada triwulan II 2014. Perkembangan terkini mengindikasikan konsumsi rumah tangga masih akan tumbuh kuat pada triwulan III 2014. Konsumsi makanan dan minuman serta produk dan jasa transportasi diperkirakan meningkat menjelang dan setelah hari raya Idul Fitri. Kenaikan konsumsi tersebut ditopang oleh daya beli yang masih kuat sebagaiaman terindikasi dari hasil Survei Konsumen yang menunjukkan Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) masih berada pada level yang tinggi. Keyakinan tersebut ditopang oleh optimisme pelaku usaha dan ketersediaan lapangan kerja seiring dengan stabilnya kondisi perekonomian (Grafik IV.2.1). Namun demikian, penguatan konsumsi diperkirakan relatif terbatas, tercermin dari pertumbuhan kredit konsumsi yang menurun (Grafik IV.2.2). L a p o r a n N u s a n t a r a | 112 Grafik IV.2.1.Indeks Keyakinan Konsumen Grafik IV.2.2. Penyaluran Kredit Konsumsi Konsumsi Pemerintah Kenaikan belanja pemerintah mulai terlihat di triwulan II 2014. Konsumsi pemerintah tumbuh tinggi dari 1,9% (yoy) di triwulan I 2014 menjadi 4,2% (yoy) di triwulan II 2014. Telah selesainya pengesahan APBD di seluruh daerah berdampak pada meningkatnya kapasitas belanja pemda. Selain itu belanja barang mengalami kenaikan sejalan dengan telah berlangsungnya sejumlah proyek pengadaan barang. Peningkatan konsumsi pemerintah diprakirakan terus berlanjut di triwulan III 2014 sesuai dengan pola historisnya. Kondisi ini sejalan dengan semakin besarnya nilai proyek pengadaan barang yang terealisasi dan adanya penyaluran gaji ke-13. Meningkatnya konsumsi didukung oleh kapasitas belanja yang besar dampak dari penyaluran DBH migas yang sempat tertunda di triwulan I 2014, terlihat dari simpanan dana milik pemda di perbankan yang meningkat signifikan pada triwulan II 2014 (Grafik IV.2.3). Grafik IV.2.3. Perkembangan Simpanan Pemda di Bank Umum Grafik IV.2.4. Realisasi dan Perkiraan Investasi Triwulan I 2014 (SKDU) Investasi Kinerja investasi pada triwulan II 2014 tumbuh melambat menjadi 5,6% dibanding 5,9% pada triwulan sebelumnya. Hal tersebut antara lain dipengaruhi oleh cenderung masih melemahnya harga komoditas dan preferensi pelaku usaha untuk melihat situasi hasil pelaksanaan Pemilu. Kondisi ini terlihat juga pada melambatnnya pertumbuhan kredit dan nilai investasi Penanaman Modal Asing (PMA) yang sebagian besar investasi lebih diperuntukan untuk perawatan dan peremajaan mesin industri (Grafik IV.2.5 dan Grafik IV.2.6). L a p o r a n N u s a n t a r a | 113 Investasi diprakirakan mulai tumbuh meningkat pasca pemilu di triwulan III 2014. Telah selesainya proses demokrasi yang berjalan lancar, memberikan kepastian bagi para pelaku usaha untuk mulai melakukan investasi. Optimisme tersebut terkonfirmasi dari hasil Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) yang memperkirakan peningkatan investasi, terutama di sektor pertambangan (Grafik IV.2.4). Potensi membaiknya investasi ke depan juga terlihat dari peningkatan jumlah proyek PMA dan PMDN di triwulan II 2014. Selain dari sektor swasta, peningkatan investasi juga ditopang oleh aktivitas pemerintah dengan mulai bergeraknya proyek infrastruktur pemerintah pasca proses lelang. Jumlah Proyek Juta US$/Miliar Rp PMDN PMDN (Miliar Rp)-skala kanan 300 PMA PMA ( Juta US$)-skala kanan 250 4.500 4.000 Triliun Rp %, yoy 60 Nominal 60 Pertumbuhan-sisi kanan 50 50 3.000 40 40 2.500 30 30 20 20 10 10 3.500 200 150 2.000 100 1.500 1.000 50 500 0 0 I II III 2012 IV I II III IV 2013 I II - 0 I II III 2011 IV I II III 2012 IV I II III 2013 IV I II 2014 2014 Sumber: Badan Koordinasi Penanaman Modal Grafik IV.2.5.Investasi PMA dan PMDN Grafik IV.2.6.Penyaluran Kredit Investasi Perdagangan Luar Negeri Ekspor Tren perlambatan ekspor terus berlangsung bahkan mengalami kontraksi terutama akibat pelemahan harga komoditas ekspor utama berbasis SDA. Terus menurunnya harga CPO di triwulan II 2014 berdampak pada melemahnya nilai ekspor Sumatera Barat dan Riau (Grafik IV.2.7). Selain itu masa tanam dan kebijakan replanting membuat hasil produksi CPO dalam tren menurun pasca puncak masa panen di akhir tahun 2013. Pelemahan harga juga terjadi pada komoditas karet yang berpengaruh signifikan pada perekonomian Jambi. Dengan berbagai permasalahan tersebut, ekspor mengalami kontraksi sebesar 0,7% (yoy) di triwulan II 2014 dari triwulan sebelumnya yang tumbuh 3,9% (yoy). Kinerja ekspor diprakirakan membaik di triwulan III seiring dengan meningkatnya produksi dan permintaan komoditas ekspor utama. Di tengah penurunan harga CPO dan karet yang masih terjadi sampai dengan pertengahan triwulan III 2014, mulai masuknya masa panen CPO dan membaiknya permintaan akan karet mampu mendorong volume ekspor Sumbagteng. Kondisi tersebut ditopang oleh perbaikan ekonomi India sebagai negara tujuan ekspor utama CPO dan menurunnya persediaan karet di Tiongkok. Di luar komoditas berbasis SDA, berdasarkan liaison, ekspor elektronik dari Kepulauan Riau berpotensi meningkat seiring dengan berlanjutnya pemulihan ekonomi global. L a p o r a n N u s a n t a r a | 114 %, yoy 80 Ekspor Non Migas %, yoy 150 Karet Mentah-skala kanan CPO-skala kanan 120 60 90 40 60 20 30 0 0 (20) (30) (40) (60) I II III IV I 2011 II III IV I 2012 II III 2013 IV I II 2014 Grafik IV.2.7.Perkembangan Nilai Ekspor Nonmigas dan Komoditas Utama Grafik IV.2.8.Pertumbuhan Nilai Impor Menurut Kategori Barang Impor Kontraksi juga terjadi pada impor yang masuk ke wilayah Sumbagteng pada triwulan II 2014 seiring dengan depresiasi rupiah dan perlambatan kegiatan investasi. Pertumbuhan impor triwulan II 2014 di Sumbagteng tercatat sebesar -4,0% (yoy) menurun dibandingkan triwulan sebelumnya sebesar 2,1% (yoy). Melemahnya investasi di tahun pemilu berdampak pada kontraksi impor bahan baku yang semakin dalam (Grafik IV.2.8). Selain itu, nilai tukar rupiah yang terbilang lemah menghambat aktivitas impor karena relatif mahalnya harga barang impor . Impor diprakirakan mulai tumbuh positif pada triwulan III 2014 sebagai dampak dari peningkatan kegiatan investasi dan penguatan nilai tukar rupiah. Realisasi beberapa proyek infrastruktur berskala besar, baik oleh pemerintah maupun swasta, diperkirakan berdampak pada kenaikan impor barang modal. Indikasi kenaikan impor barang sudah mulai terlihat pada di triwulan II 2014. Selain itu peningkatan konsumsi, yang ditopang oleh penguatan daya beli sebagai imbas dari apresiasi nilai tukar rupiah, juga mendorong naik impor barang konsumsi. Rp/kg USD/MT 2.000 1.800 1.600 1.400 1.200 1.000 800 600 400 200 - Harga TBS Harga CPO dunia - sisi kanan 1.400 1.200 USD cent/kg Rp/kg 50.000 45.000 Harga Bokar Harga Karet Dunia - skala kanan 600 40.000 1.000 35.000 500 800 30.000 400 25.000 600 20.000 300 400 15.000 200 200 1 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 2011 2012 2013 2014 Sumber: Dinas Pertanian dan Bloomberg Grafik IV.2.9. Harga Tandan Buah Segar (TBS) Kelapa Sawit dan CPO Dunia 700 10.000 100 5.000 - 1 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 2011 2012 2013 2014 Sumber: Dinas Pertanian dan Bloomberg Grafik IV.2.10. Harga Karet Mentah Domestik (Bokar) dan Karet Mentah Dunia Kinerja Sektor Utama Daerah Sektor Pertanian Kinerja sektor pertanian mengalami perlambatan seiring dengan terus berlanjutnya penurunan harga komoditas perkebunan. Pada triwulan II 2014, sektor pertanian tumbuh sebesar 6,4% (yoy), melambat dibandingkan dengan triwulan I 2014 sebesar 6,7% (yoy). Tren penurunan harga kelapa sawit dan karet L a p o r a n N u s a n t a r a | 115 sebagai komoditas utama menjadi penyebab menurunnya nilai produk pertanian di Sumatera Barat dan Jambi (Grafik IV.2.9 dan Grafik IV.2.10). Perlambatan lebih dalam tertahan oleh kinerja produksi tanaman bahan makanan seiring masuknya musim panen beberapa komoditas pertanian, terutama beras. Hal ini juga didukung perbaikan harga gabah di Sumbar yang berimbas pada membaiknya indeks Nilai Tukar Petani (NTP) pada triwulan II 2014 (Grafik IV.2.11 dan Grafik IV.2.12). Melemahnya sektor pertanian diprakirakan masih akan berlanjut pada triwulan III 2014 akibat belum pulihnya harga komoditas perkebunan. Harga kelapa sawit dan karet yang terus menurun sampai dengan bulan Juli 2014 menghambat perbaikan di sektor pertanian. Produksi karet juga masih terbatas akibat implementasi rekomendasi Gabungan Pengusaha Karet Indonesia (Gapkindo) untuk mengurangi produksi karet yang berorientasi ekspor sebesar 10% sebagai upaya untuk meningkatkan harga karet mentah di pasar internasional. Selain itu juga terdapat risiko El Nino yang dapat berdampak negatif pada produktivitas perkebunan kelapa sawit. Di sisi lain, terdapat potensi pemulihan harga karet seiring dengan mulai berkurangnya suplai karet di Tiongkok. . %, yoy 50 Rp/kg 5.500 Indeks 103 NTP Umum NTP Perkebunan NTP Tanaman Pangan 102 5.000 101 4.500 Rata-rata Harga Gabah GKP Pertumbuhan-skala kanan 40 30 100 4.000 99 20 3.500 98 10 3.000 97 96 0 2.500 95 2.000 94 -10 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 2011 2012 2013 2011 2012 2013 2014 2014 Sumber: BPS, diolah Grafik IV.2.11. Indeks Nilai Tukar Petani Umum dan Sektor Perkebunan Sumbagteng Sumber: BPS Sumbar Grafik IV.2.12. Harga Gabah di Tingkat Penggilingan Sumbar Sektor Pertambangan dan Penggalian Sektor pertambangan dan penggalian mengalami kontraksi pada triwulan II 2014 akibat penurunan lifting migas. Terdapat tantangan struktural pada kinerja sektor pertambangan dan penggalian di Sumbagteng, yang terkontraksi 2,4% (yoy) pada triwulan II 2014 dari triwulan sebelumnya yang tumbuh 1,9% (yoy). Hal tersebut terkait dengan keberlangsungan produksi SDA migas. Lifting minyak di Riau, yang memiliki kontribusi mencapai 88% terhadap sektor pertambangan dan penggalian di Sumbagteng, terus menurun sepanjang waktu (Grafik IV.2.13). Kondisi ini dikarenakan sulitnya menjaga konsistensi produktivitas sumur-sumur minyak tua, minimnya penemuan sumur baru, dan kurang efektifnya penggunaan teknologi yang lebih modern di sumur tua. Sektor pertambangan dan penggalian diprakirakan masih mengalami kontraksi di triwulan III 2014. Berdasarkan perkembangan terkini, tren penurunan lifting minyak di Riau terus berlanjut di bulan Juli 2014. Meskipun demikian, terdapat indikasi sejumlah perusahaan pertambangan masih melakukan investasi untuk menahan laju penurunan lifting migas tercermin dari meningkatnya pertumbuhan kredit di Sumbagteng dan investasi PMDN di Riau (Grafik IV.2.14 dan Grafik IV.2.5). Kondisi ini diharapkan mampu menahan penurunan lifting migas yang lebih besar ke depan. L a p o r a n N u s a n t a r a | 116 % yoy Ribu barel/hari 400 350 10 Triliun Rp 4,0 Nominal Sumbagteng Pertumbuhan Riau-skala kanan 3,5 300 0 3,0 250 -10 2,5 200 -20 2,0 150 -30 1,5 100 -40 1,0 50 -50 0,5 -60 0,0 Lifting 20 Pertumbuhan-skala kanan 0 2012 2013 60% 29,0% 40% 20% 27,5% 0% -20% -40% -60% I 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 yoy 80% Pertumbuhan-skala kanan II 2014 III IV I II 2011 III IV I 2012 II III IV I 2013 II 2014 Sumber: Kementerian ESDM Grafik IV.2.13. Lifting Minyak Riau Grafik IV.2.14. Penyaluran Kredit Sektor Pertambangan dan Penggalian Sektor Industri Pengolahan Sektor industri pengolahan mencatat perbaikan di seluruh provinsi di Sumbagteng ditopang oleh peningkatan konsumsi rumah tangga di triwulan II 2014. Perbaikan daya beli, masuknya masa libur sekolah, dan periode bulan Ramadhan serta peningkatan jumlah wisatawan akibat pelaksanaan beberapa kegiatan berskala besar dan internasional mampu mendorong pertumbuhan sektor industri pengolahan dari 5,1% (yoy) pada triwulan I 2014 menjadi 5,9% (yoy) di triwulan II 2014. Perbaikan sektor industri pengolahan diprakirakan berlanjut hingga triwulan III 2014 ditopang oleh masih tingginya konsumsi domestik. Peningkatan pembelian produk makanan dan minuman pada hari raya Idul Fitri serta kuatnya daya beli masyarakat menjadi faktor utama pendorong kinerja sektor tersebut. Di sisi eksternal, permintaan terhadap produk elektronik dari Kepulauan Riau memasuki puncaknya di triwulan III 2014 sebagaimana pola historisnya. Perbaikan sektor industri pengolahan juga terkonfirmasi dari perkiraan kegiatan usaha mendatang dalam Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) (Grafik IV.2.15). SBT 40% Jasa PHR Ind. Pengolahan Keuangan Bangunan Pertambangan Angkutan&Komunikasi Listrik,Gas&Air Bersih Pertanian Juta US$ 800 g.Ekspor Brg. Elektronik-sisi kanan 700 35% 30% 600 25% 500 20% 400 15% 300 10% % yoy 100 Nilai Ekspor Produk Elektronik 80 60 40 20 200 5% 0 100 0% 0 -5% Realisasi Perkiraan Triwulan II 2014 Triwulan III 2014 Grafik IV.2.15. Realisasi dan Perkiraan Kegiatan Usaha Triwulan II 2014 (SKDU) (20) I II III IV 2010 I II III IV 2011 I II III IV 2012 I II III IV 2013 I II 2014 Grafik IV.2.16. Nilai Ekspor Produk Elektronik PERKEMBANGAN INFLASI Penurunan laju inflasi Sumbagteng hingga Juli 2014 terus berlanjut dan menunjukkan perbaikan ke sasaran target inflasi nasional sebesar 4,5±1%. Inflasi Sumbagteng tercatat sebesar 4,95% (yoy), lebih rendah dibandingkan triwulan II 2014 yang mencapai 7,93% (yoy) (Grafik IV.2.17). Masih tingginya pasokan bahan makanan seiring berlanjutnya musim panen di triwulan II menjadi faktor berkurangnya tekanan inflasi. Dampak tingginya permintaan pada saat musim liburan sekolah dan hari raya Idul Fitri L a p o r a n N u s a n t a r a | 117 yang tidak setinggi pola historisnya, mendorong inflasi Sumbagteng terus ke bawah. Kondisi tersebut didukung dengan stabilnya inflasi kelompok inti seiring dengan permintaan masyarakat yang moderat (Grafik IV.2.18). Selain itu, minimnya kebijakan harga di kelompok administered prices pada triwulan II mendorong penurunan inflasi lebih lanjut. Dengan perkembangan tersebut, tekanan inflasi secara tahunan diprakirakan cenderung meningkat pada triwulan III 2014. Resiko anomali cuaca yang dapat mengganggu musim tanam serta potensi adanya musim kemarau yang memicu kebakaran hutan dan kabut asap di Riau dapat mengganggu jalur distribusi dan terganggunya suplai bahan pangan pada kelompok volatile foods. Kenaikan tarif listrik industri dan rumah tangga secara bertahap mulai bulan Juli 2014 memberikan tekanan inflasi pada kelompok administered prices. Di sisi lain, relatif stabilnya inflasi inti terlihat ekspektasi masyarakat yang terjaga. %, yoy 12 %, yoy 20 Sumbagteng Nasional Sumatera Barat Riau Kepulauan Riau Umum Jambi 10 Volatile Foods Adm. Price Core 15 8 10 6 5 4 0 2 -5 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 2012 6 7 8 2013 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 2014 Sumber : Badan Pusat Statistik, diolah Grafik IV.2.17. Perkembangan Inflasi Sumbagteng dan Nasional 7 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 2012 6 7 8 9 10 11 12 1 2013 2 3 4 5 6 7 2014 Sumber : Badan Pusat Statistik, diolah Grafik IV.2.18. Disagregasi Inflasi Sumbagteng Koordinasi Pengendalian Inflasi Berbagai langkah untuk menjaga kemungkinan gejolak inflasi telah ditempuh di daerah khususnya sebagai antisipasi selama Ramadhan dan hari raya Idul Fitri. Langkah antisipasi tersebut ditempuh melalui koordinasi TPID baik di Tingkat Provinsi maupun Kabupaten/kota di Sumatera Bagian Tengah. Berbagai langkah antisipasi tersebut dibagi menjadi 4 (empat) aspek, yaitu : (i) aspek pengendalian ketersediaan pasokan, seperti kunjungan langsung dan survei lapangan ke sentra produksi, dan koordinasi dengan instansi strategis untuk memastikan kecukupan pasokan menjelang Idul Fitri, (ii) aspek keterjangkauan harga, dengan melakukan operasi pasar/ pasar murah, bazar, dan penyaluran raskin, serta pengawasan tarif angkutan pada H-7 dan H+7 Idul Fitri, (iii) aspek kelancaran distribusi, melalui pengaturan jalur distribusi komoditas oleh Dishub dengan aturan pembatasan angkutan barang, koordinasi bersama Polda dan Dishub terkait keamanan dan kelancaran pasokan bahan makanan menjelang Idul Fitri serta, (iv) aspek pengelolaan ekspektasi masyarakat, melalui pembuatan iklan layanan masyarakat, dialog interaktif melalui radio dan televisi, pelaksanaan press conference bersama instansi terkait dalam menjaga gejolak konsumsi masyarakat menjelang Idul Fitri. STABILITAS SISTEM KEUANGAN DAN PENGELOLAAN SISTEM PEMBAYARAN Ketahanan Sektor Korporasi Penyaluran kredit kepada sektor utama di wilayah Sumbagteng kembali mengalami perlambatan pada triwulan II 2014. Berdasarkan informasi sejumlah perusahaan, preferensi sektor usaha untuk menahan penggunaan dana pinjaman bank akibat “wait and see” selama masa pemilu. Pertumbuhan kredit L a p o r a n N u s a n t a r a | 118 korporasi pada triwulan II 2014 sebesar 15,9% (yoy) melambat dibandingkan triwulan sebelumnya sebesar 16,6% (yoy). Namun, pertumbuhan kredit di sektor pertanian sebagai salah satu sektor utama di Sumbagteng mengalami peningkatan dari 7,7% (yoy) menjadi 23,8% (yoy) diikuti sektor pertambangan yang meningkat 14,5% (yoy) menjadi 27,5% (yoy) di triwulan II 2014. Kebutuhan kredit untuk memenuhi kebutuhan masuknya masa tanam kelapa sawit di Sumbagteng mendorong peningkatan kredit pertanian. Di sisi lain pertumbuhan kredit industri pengolahan masih berada di level yang tinggi mencapai 23,8% (yoy) (Grafik IV.2.19). Sementara itu, penyaluran kredit lebih banyak terserap untuk sektor perdagangan dengan pangsa sebesar 29,6%, sektor pertanian sebesar 22,9% dan sektor industri pengolahan sebesar 18,9%. Secara kualitas, penyaluran kredit yang diberikan kepada sektor utama mengalami penurunan. Hal tersebut tercermin dari nonperforming loan (NPL) sektor perdagangan yang memburuk dan sektor pertambangan yang masih tinggi (Grafik IV.2.20). Penurunan kualitas kredit sektor pertambangan karena lesunya produksi batubara di Jambi akibat tren menurunnya harga batubara internasional. g. Pertanian g. Ind. Pengolahan % yoy 80% g. Pertanian g. Pertambangan g. Ind. Pengolahan g. Perdagangan 60% 40% 27,5% 23,8% 20% 22,1% 7,8% 0% -20% I II III IV I II 2011 III IV I II 2012 III IV 2013 I g. Kredit Rumah Tangga 50 6,4 2,1 0,6 II I II g.KPR III IV I II 2010 g.KKB III IV I 2011 II III IV I 2012 II III IV I 2013 II 2014 Grafik IV.2.20. Perkembangan NPL Kredit Sektor Utama yoy 5 yoy g. Pertambangan-sisi kanan g. Perdagangan 10,7 2014 Grafik IV.2.19. Pertumbuhan Kredit Sektor Utama 60 20 18 16 14 12 10 8 6 4 2 0 -2 NPL Kredit Rumah Tangga NPL KPR NPL KKB 4 40 30 20,7 20 3,5 3 10,5 10 10,7 0 -10 2 1,8 1 1,3 -20 -30 0 I II III 2012 IV I II III IV I 2013 Grafik IV.2.21. Pertumbuhan Kredit RT II 2014 I II III 2012 IV I II III 2013 IV I II 2014 Grafik IV.2.22. Perkembangan NPL Kredit RT Ketahanan Sektor Rumah Tangga Kredit yang disalurkan kepada sektor rumah tangga di Sumbagteng melambat pada triwulan II 2014. Pertumbuhan kredit rumah tangga tercatat sebesar 10,7% (yoy), menurun dibandingkan triwulan sebelumnya sebesar 12,1% (yoy). Penurunan yang cukup dalam terjadi pada kredit multiguna dari 12,4% (yoy) menjadi 5,6% (yoy) pada triwulan II 2014. Di sisi lain, Kredit Kendaraan Bermotor (KKB) terus tumbuh positif dan meningkat dari 3,4% (yoy) menjadi 10,5% (yoy) pada triwulan II 2014 (Grafik IV.2.21). Kebutuhan akan alat transportasi pada saat hari raya idul Fitri berdampak pada meningkatnya pembelian kendaraan bermotor. Selain itu, pertumbuhan kredit juga bersumber dari Kredit Pemilikan Rumah (KPR) yang terus menguat. Menguatnya daya beli masyarakat seiring dengan tekanan inflasi yang mereda berdampak pada meningkatnya konsumsi non makanan. Dari total kredit konsumsi yang telah disalurkan sebesar Rp63,7 triliun sampai dengan Juni 2014, pangsa kredit KPR dan KKB masing-masing mencapai L a p o r a n N u s a n t a r a | 119 32% dan 12%. Penguatan kredit kepada sektor rumah tangga didukung oleh kualitas kredit yang terjaga. NPL KPR mengalami penurunan, sedangkan NPL kredit rumah tangga secara keseluruhan stabil di level yang rendah (Grafik IV.2.22). Pembiayaan Sektor Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) Pertumbuhan kredit kepada Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) di Sumbagteng tercatat melambat pada triwulan II 2014. Kredit UMKM tercatat sebesar Rp54,2 triliun, atau tumbuh 16,0% (yoy) dan lebih rendah dibandingkan triwulan sebelumnya sebesar 18,8% (yoy) (Grafik IV.2.23). Secara sektoral, sektor perdagangan dan sektor pertanian merupakan pengguna kredit UMKM terbesar di Sumbagteng dengan porsi mencapai 44,8% dan 21,1%. Adapun pertumbuhan kredit di kedua sektor tersebut masing-masing mencapai 6,7% (yoy) dan 21,5% (yoy). Di tengah penurunan kredit UMKM, kualitas kredit juga menurun dengan tingkat NPL yang mulai perlu untuk diwaspadai di level 5,0%. Adapun NPL tertinggi terjadi di Sumatera Barat mencapai 5,6% sementara NPL terendah tercatat di Kepulauan Riau sebesar 3,3%. Belum kuatnya UMKM sektor perdagangan di Sumatera Barat berdampak pada rentannya pelaku usaha terhadap siklus perekonomian. % %,yoy 60 g.UMKM 6,0 NPL-sisi kanan 5,0 50 4,0 30 3,0 16,0 10 2,0 100 50 0 I II 2011 III IV I II 2012 III IV I 2013 %, yoy Total Transaksi Kliring 20 Pertumbuhan - skala kanan (10) (20) II III IV I 2012 2014 Grafik IV.2.23. Pertumbuhan Kredit UMKM dan NPL UMKM 25 0 I II Triliun Rp 30 20 0,0 IV 40 150 0 III 50 Pertumbuhan - skala kanan 200 1,0 II Total Transaksi RTGS 250 10 I %, yoy 300 5,0 40 20 Triliun Rp II III 2013 IV I II 2014 Grafik IV.2.24. Perkembangan Transaksi RTGS Triliun Rp 6 4 20 15 15 10 10 5 5 0 0 (5) 2 0 -2 -4 -6 Outflow I II III IV I II 2012 III 2013 IV I II 2014 Grafik IV.2.25. Perkembangan Transaksi SKNBI Inflow Net Inflow/(Outflow) -8 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 2012 2013 2014 Grafik IV.2.26. Perkembangan Pengedaran Uang Kinerja Sistem Pembayaran Aktivitas sistem pembayaran di Sumbagteng mengalami peningkatan pada triwulan II 2014, baik transaksi melalui Real Time Gross Settlement (BI-RTGS) maupun melalui Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI). Sesuai dengan pola historisnya, peningkatan aktivitas ekonomi masyarakat mendorong kenaikan transaksi uang di masyarakat. Hal tersebut terlihat dari peningkatan transaksi RTGS dari Rp188,6 triliun pada triwulan I 2014 menjadi Rp249,5 triliun pada triwulan II 2014. Sementara itu, transaksi kliring juga meningkat dari Rp19,2 triliun menjadi Rp19,6 triliun (Grafik IV.2.25). L a p o r a n N u s a n t a r a | 120 Kinerja Pengelolaan Uang Tunai Sesuai dengan karakteristiknya, Sumbagteng mencatat aliran uang keluar (net outflow) pada triwulan II 2014 (Grafik IV.2.26). Peningkatan outflow tersebut terindikasi akibat peningkatan akitivitas ekonomi masyarakat terkait Pemilu, masa libur sekolah, periode Ramadhan yang menyebabkan kebutuhan uang masyarakat meningkat. Dalam memastikan pengedaran uang layak di Sumbagteng terutama tingginya permintaan pada Idul Fitri, Bank Indonesia terus melakukan berbagai upaya seperti berbagai jenis kegiatan penukaran uang tunai, kas keliling ke daerah-daerah terpencil, kerjasama dengan perbankan, dan upaya lainnya dalam mendukung keterjangkauan distribusi uang di masyarakat. Selain itu, temuan uang palsu di Sumbagteng terus mengalami penurunan sejalan dengan edukasi secara berkala, pengawasan yang ketat, dan kerjasama dengan instansi terkait. PROSPEK PEREKONOMIAN Prospek Pertumbuhan Ekonomi Mencermati perkembangan tersebut di atas, pertumbuhan ekonomi Sumbagteng diprakirakan cenderung lebih rendah dari prakiraan sebelumnya. Untuk keseluruhan tahun 2014, pertumbuhan ekonomi Sumbagteng diprakirakan berada di kisaran 4,6%-5,0% (yoy). Berdasarkan komponen permintaan, meningkatnya konsumsi rumah tangga menopang roda perekonomian Sumbagteng di tengah pelemahan ekspor dan investasi. Perbaikan daya beli seiring dengan tekanan inflasi yang mereda mampu menjaga ekonomi tumbuh menguat. Dari sisi lapangan usaha, peningkatan konsumsi rumah tangga turut berdampak pada meningkatnya aktivitas di sektor PHR. Prospek Inflasi Dari sisi harga, laju inflasi pada tahun 2014 diprakirakan mengalami penurunan dibandingkan tahun 2013, yakni pada rentang 4,7% - 5,1% (yoy). Meredanya inflasi selama keseluruhan tahun terutama bersumber dari kelompok administered prices dan volatile foods. Tidak adanya kebijakan kenaikan harga energi strategis yang signifikan di tahun 2014 dan membaiknya pasokan bahan pangan sejak awal tahun berdampak pada minimalnya tekanan inflasi. Selain itu, meningkatnya komitmen pemda melalui TPID pada upaya peningkatan produksi pangan, kelancaran distribusi, dan menjaga ekspektasi masyarakat, serta kerjasama antardaerah diperkirakan dapat mendukung kestabilan harga. Namun demikian, masih terdapat risiko inflasi terutama kenaikan tarif tenaga listrik rumah tangga, rencana kenaikan harga elpiji 12 kg, dan kelangkaan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi akibat konsumsi yang melebihi kuota berpotensi meningkatkan inflasi di semester II 2014. L a p o r a n N u s a n t a r a | 121 Tabel IV.2.1. Prakiraan Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi Sumatera Bagian Tengah Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi Wilayah PDRB (%,yoy) 2011 2012 5,9 2013 2014 I II III IV Total I II IIIp IVp Totalp 5,2 4,7 4,5 4,2 5,0 4,6 5,4 4,5 4,6 4,5 - 4,9 4,6 - 5,0 Sisi Permintaan Konsumsi 5,7 6,2 6,8 6,1 5,3 6,3 6,1 5,5 6,8 7,4 6,2 - 6,6 6,4 - 6,8 Konsumsi swasta 5,5 6,3 7,4 6,8 5,9 5,7 6,4 6,1 7,3 7,6 6,7 - 7,1 6,8 - 7,2 Konsumsi Pemerintah 7,0 5,3 3,3 2,2 2,1 9,7 4,5 1,9 4,2 6,6 4,0 - 4,4 4,1 - 4,5 10,5 8,1 8,4 7,9 7,8 7,3 7,8 5,9 5,6 5,8 5,5 - 5,9 Ekspor 7,8 3,1 0,4 (0,2) 0,1 6,8 1,8 4,4 (0,7) 1,5 5,6 - 6,0 (2,6) - (2,2) Impor 8,8 5,5 3,2 1,4 1,6 1,5 1,9 2,1 (4,0) 0,3 2,5 - 2,9 -0,1 - 0,3 Pembentukan Modal Tetap Bruto 0,3 - 0,7 Sisi Produksi Sektor pertanian 4,5 3,9 4,1 3,4 4,5 6,3 4,6 6,7 6,4 Sektor pertambangan & penggalian 3,3 (0,4) (4,1) (1,6) 0,4 1,2 (1,0) 1,8 (2,4) 5,5 5,5 - 5,9 5,9 - 6,3 (1,9) (0,9) - (0,5) (1,0) - (0,6) Industri pengolahan 6,3 4,9 7,4 6,0 5,3 5,2 5,9 5,2 5,9 6,1 6,4 - 6,8 5,7 - 6,1 Listrik, gas & air bersih 7,7 5,1 6,0 5,8 3,3 4,8 4,9 4,4 4,8 5,8 4,5 - 4,9 4,7 - 5,1 Bangunan 10,5 11,9 11,5 9,2 8,4 9,4 9,6 9,1 7,4 7,0 6,0 - 6,4 7,2 - 7,6 Perdagangan, hotel & restoran 8,2 11,3 11,2 8,5 4,9 5,9 7,5 8,0 9,1 9,2 7,5 - 7,9 8,3 - 8,7 Pengangkutan & komunikasi 8,6 9,0 8,8 8,5 6,2 7,2 7,7 7,2 7,8 7,3 7,0 - 7,4 7,2 - 7,6 Keuangan, persewaan dan jasa perush. 7,1 8,5 9,5 7,2 5,7 4,9 6,7 4,5 3,9 3,8 4,5 - 4,9 4,0 - 4,4 Jasa-jasa 7,8 7,6 6,9 7,3 6,1 6,7 6,8 5,3 4,7 5,0 4,4 - 4,8 4,7 - 5,1 4,4 3,2 5,0 5,5 8,2 9,1 9,1 7,9 6,3 4,8 4,7 - 5,1 4,7 - 5,1 Inflasi IHK (%,yoy) L a p o r a n N u s a n t a r a | 122 PERTUMBUHAN EKONOMI Pada triwulan II 2014, pertumbuhan ekonomi wilayah Sumatera Bagian Utara (Sumbagut) tumbuh stabil sebesar 5,1% dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Pertumbuhan pada sektor konsumsi dan investasi tertahan oleh melambatnya kinerja ekspor. Perekonomian Aceh bahkan tercatat masih cukup rendah yakni sebesar 3,7% (yoy) meski telah mengalami perbaikan dibandingkan realisasi pada periode sebelumnya yang hanya sebesar 3,3%. Sementara itu, perekonomian Sumatera Utara tumbuh sedikit melambat pada triwulan II 2014 dari 5,6% (yoy) di triwulan sebelumnya menjadi 5,5% (yoy). Memasuki periode triwulan III 2014, berbagai indikator ekonomi mengindikasikan potensi perbaikan angka pertumbuhan ekonomi. Optimisme membaiknya kinerja pertumbuhan ekonomi diprakirakan berasal dari tumbuhnya konsumsi pemerintah dan investasi. Realisasi belanja modal maupun belanja operasional/rutin setelah persetujuan APBD 2014 menjadi pendorong realisasi investasi maupun konsumsi pemerintah pada triwulan mendatang. Sementara itu, investasi swasta pada triwulan III 2014 diprakirakan akan mulai kembali meningkat seiring dengan optimisme pelaku usaha terhadap hasil Pemilihan Umum Presiden 2014. Sementara itu, konsumsi rumah tangga diperkirakan cenderung tumbuh melambat terkait dengan masih terbatasnya perbaikan pendapatan ekspor karena harga komoditas yang cenderung menurun. Konsumsi Konsumsi Rumah Tangga Kinerja konsumsi rumah tangga pada triwulan II 2014 masih menjadi sumber pertumbuhan ekonomi utama wilayah Sumbagut. Hal ini didorong oleh peningkatan aktivitas masyararakat menjelang Ramadhan yang bertepatan dengan masa libur sekolah. Kondisi ini tercermin dari meningkatnya Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) yang tumbuh 16,1% (yoy) (Grafik IV.3.1). Selain itu, masih cukup baiknya pertumbuhan konsumsi rumah tangga juga terkonfirmasi dari pertumbuhan kredit konsumsi perbankan yang mencapai Rp53,8 Triliun atau masih tumbuh sebesar 9,9% (yoy) (Grafik IV.3.2). Grafik IV.3.1. Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) Sumber: BPS Provinsi Sumut dan Aceh, diolah Grafik IV.3.2. Perkembangan ITK dan Pertumbuhan Konsumsi Sumbagut Pertumbuhan Kredit Konsumsi L a p o r a n N u s a n t a r a | 123 Pada triwulan III 2014, konsumsi rumah tangga cenderung mengalami perlambatan jika dibandingkan dengan realisasi triwulan sebelumnya.. Melemahnya konsumsi rumah tangga pada triwulan III 2014 diperkirakan didorong oleh turunnya daya beli masyarakat karena turunnya pendapatan sebagai akibat dari masuknya masa tanam padi di Sumbagut serta terbatasnya pemulihan harga internasional untuk komoditas perkebunan. Di samping itu, aktivitas Pemilu Presiden diprakirakan tidak terlalu berdampak pada pertumbuhan konsumsi rumah tangga di wilayah Sumbagut. Konsumsi Pemerintah Konsumsi Pemerintah pada triwulan II 2014 mengalami pertumbuhan dibandingkan dengan pertumbuhan triwulan I 2014. Konsumsi pemerintah meningkat seiring dengan penyerapan anggaran untuk belanja sarana dan prasarana untuk mendukung penyelenggaraan Pemilu, di luar peningkatan belanja rutin lainnya. Selain itu, peningkatan aktivitas konsumsi pemerintah didukung oleh telah disetujuinya anggaran Provinsi Sumatera Utara yang sempat terlambat hingga awal triwulan II 2014. Kendati demikian, realisasi konsumsi Pemerintah hingga triwulan II 2014 baru mencapai 43% dari total APBD. Kondisi ini tercermin dari saldo simpanan milik Pemda Sumbagut (Pemda Sumut dan Aceh) yang pada akhir triwulan II 2014 tumbuh melambat dibandingkan dengan triwulan sebelumnya (Grafik IV.3.3). Ekspansi konsumsi pemerintah di triwulan III 2014 diprakirakan terus berlanjut. Konsumsi pemerintah pada triwulan III 2014 diprakirakan masih cukup kuat sejalan dengan meningkatnya realisasi anggaran Pemerintah. Kondisi ini diprakirakan akan mendorong realisasi konsumsi yang cukup tinggi pada triwulan mendatang. Grafik IV.3.3. Perkembangan Posisi Simpanan Pemda se-Sumbagut di Bank Umum Grafik IV.3.4. Realisasi Belanja Daerah Pemerintah Provinsi Sumut Investasi Kinerja investasi di wilayah Sumbagut pada triwulan II 2014 meningkat dibanding periode triwulan sebelumnya. Jika dilihat berdasarkan provinsi, tingginya realisasi investasi Sumatera Utara menjadi pendorong meningkatnya kegiatan investasi di wilayah Sumbagut secara umum. Meningkatnya kinerja investasi, selain didorong oleh sektor swasta,juga didorong oleh realiasi investasi pemerintah berupa rangkaian kegiatan pembangunan infrastruktur antara lain pembangunan sarana penghubung dan fasilitas di sekitar Bandara Kualanamu. Meningkatnya investasi di wilayah Sumbagut juga sejalan dengan kenaikan peningkatan impor barang modal (Grafik IV.3.5). Perkembangan terkini mengindikasikan kegiatan investasi pada triwulan III 2014 masih cenderung meningkat. Hal ini terlihat dari pertumbuhan penyaluran kredit investasi di wilayah Sumbagut yang L a p o r a n N u s a n t a r a | 124 secara tahunan (year on year) tumbuh meningkat sebesar 11,5% (Grafik IV.3.6). Di samping itu, faktor lain yang diperkirakan turut mendukung perkiraan meningkatnya investasi swasta terkait dengan berakhirnya pelaksanaan Pemilu Presiden yang berdampak positif bagi keputusan investasi para pelaku usaha. Grafik IV.3.5. Impor Bahan Baku di Sumbagut Grafik IV.3.6. Perkembangan Realiasasi Semen di Sumbagut Perdagangan Luar Negeri Ekspor Realisasi kegiatan ekspor luar negeri pada triwulan II 2014 mengalami penurunan jika dibandingkan dengan triwulan sebelumnya, baik secara nilai (turun 2,9%,yoy) maupun volume ekspor (turun 11%,yoy). Turunnya kegiatan ekspor terutama berasal dari Provinsi Sumatera Utara seiring dengan penurunan harga komoditas ekspor utama khususnya CPO dan karet di pasar internasional. Nilai ekspor nilai ekspor CPO yang mengalami penurunan sebesar7,1% (yoy) sama halnya dengan komoditas karet mengalami penurunan sebesar 37,5% (yoy) (Grafik IV.3.7). Pada triwulan III 2013 kinerja ekspor luar negeri Sumbagut diprakirakan membaik. Optimisme juga berasal dari prakiraan meningkatnya permintaan karena mulai pulihnya perekonomian dari negara tujuan ekspor seperti Amerika, China dan Uni Eropa. Beberapa pelaku usaha yang bergerak di bidang pengolahan CPO menyatakan bahwa kondisi ekspor diprakirakan akan kembali normal seiring dengan peningkatan permintaan dari negara-negara tujuan ekspor utama. Grafik IV.3.7. Ekspor Impor Komoditas Utama Grafik IV.3.8. Ekspor Impor Komoditas Utama L a p o r a n N u s a n t a r a | 125 Impor Realiasasi impor luar negeri Sumbagut hingga triwulan II 2014 tumbuh melambat dibanding periode sebelumnya. Melambatnya impor tersebut terjadi baik di Provinsi Sumatera Utara maupun di Provinsi Aceh. Penurunan kegiatan impor di Provinsi Aceh terkait dengan menurunnya kegiatan industri pengolahan gas alam. Sementara itu, penurunan impor di Provinsi Sumatera Utara lebih disebabkan oleh penurunan aktivitas industri pengolahan produk turunan CPO dan karet. Pada triwulan III 2014, diprakirakan impor Sumbagut akan kembali meningkat. Optimisme peningkatan impor Sumbagut diprakirakan berasal dari meningkatnya impor bahan baku industri pengolahan CPO dan karet. Kondisi ini ditunjukkan oleh meningkatnya nila impor bahan baku di wilayah Sumbagut yang masih tumbuh 24,6% (yoy). Kinerja Sektor Utama Daerah Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran (PHR) Sektor PHR pada triwulan II 2014 tumbuh meningkat dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Peningkatan kinerja sektor ini terutama didorong oleh meningkatnya aktivitas perdagangan besar dan eceran seiring dengan pelaksanaan Pemilu Presiden 2014 dan faktor seasonal seperti libur sekolah dan masuknya masa Ramadhan. Tradisi perayaan Punggahan di Sumatera Utara dan Meugang di Aceh sebagai persiapan Ramadhan yang bersamaan dengan masa libur sekolah mendorong peningkatan aktivitas konsumsi masyarakat. Indeks penjualan eceran pada akhir Juni tercatat meningkat hingga tumbuh 20,7% (yoy) terutama pada kelompok makanan, minuman dan tembakau. Selain itu, adanya pelaksanaan event berskala besar yang diadakan di Medan turut mendorong kenaikan kinerja sektor PHR. Peningkatan kinerja sektor PHR diprakirakan masih akan berlanjut pada triwulan III 2014. Optimisme tumbuhnya sektor ini selain didorong oleh faktor seasonal terkait dengan perayaan hari raya Lebaran. Di samping itu, masih berlanjutnya aktivitas terkait penyelenggaran Pemilu di awal triwulan III 2014 turut berdampak positif bagi perkembangan di sektor PHR antara lain bersumber dari meningkatnya hunian hotel (Grafik IV.3.10). Masih tumbuhnya penyaluran kredit perbankan ke sektor PHR hingga 11,9% (yoy) turut mengindikasikan meningkatnya kinerja sektor PHR. Grafik IV.3.9. Indeks Penjualan Eceran Grafik IV.3.10. Tingkat Okupansi Hotel di Sumbagut L a p o r a n N u s a n t a r a | 126 Sektor Pertanian Kinerja sektor pertanian pada triwulan II 2014 mengalami pertumbuhan yang meningkat dibandingkan dengan periode triwulan sebelumnya. Pertumbuhan sektor pertanian terutama didorong oleh peningkatan kinerja subsektor tanaman bahan makanan (tabama) seiring dengan panen padi di beberapa sentra produksi Aceh. Di samping itu, peran aktif Pemerintah dalam bentuk bantuan benih, baik tanaman hortikultura maupun bibit unggul SRI (System Rice of Intensification). Meningkatnya kinerja sektor pertanian ini sejalan dengan meningkatnya volume impor pupuk dan penyaluran kredit perbankan pada sektor pertanian yang tumbuh sebesar 26,4% (yoy). Kinerja sektor pertanian Sumbagut pada triwulan III 2014 diprakirakan tidak tumbuh setinggi periode sebelumnya. Kondisi sektor pertanian di beberapa sentra tanaman padi utama di Sumbagut seperti Deli Serdang, Simalungun, Langkat dan Lhokseumawe diprakirakan akan mendapatkan tekanan dari kondisi kemarau panjang yang telah terjadi sejak beberapa periode lalu. Demikian halnya dengan kinerja subsektor perkebunan. Produksi CPO pada triwulan III 2014 yang diperkirakan belum menunjukkan peningkatan berarti. Grafik IV.3.11. Nilai dan Volume Impor Pupuk Sumbagut Grafik IV.3.12.Penyaluran Kredit Sektor Pertanian Sektor Industri Pengolahan Kinerja sektor industri pengolahan pada triwulan II 2014 tercatat tumbuh melambat. Melambatnya kinerja sektor ini dipengaruhi oleh melemahnya permintaan ekspor untuk komoditas karet, terutama dari Amerika, Tiongkok, dan Jepang. Selain lemahnya permintaan, industri pengolahan karet juga kesulitan menemukan pasar tujuan ekspor baru. Terbatasnya pemanfaatan hasil olahan karet dan semakin maraknya penggunaan karet sintetis juga mendorong turunnya permintaan karet secara internasional. Turunnya industri pengolahan Sumbagut pada triwulan II 2014 juga terlihat dari turunnya volume ekspor manufaktur wilayah Sumbagut sebesar 11% (yoy). Pada triwulan III 2014, diprakirakan sektor industri pengolahan di wilayah Sumbagut masih mengalami tekanan. Krisis listrik dan gas di wilayah Sumbagut masih menjadi kendala untuk perbaikan pertumbuhan sektor ini secara umum. Selain itu,berakhirnya kontrak penjualan jangka panjang Liquid Natural Gas (LNG) ke Korea Selatan memberikan tekanan pada kinerja sektor industri pengolahan di Provinsi Aceh. L a p o r a n N u s a n t a r a | 127 Grafik IV.3.13. Ekspor Manufaktur Grafik IV.3.14. Penyaluran Kredit Perbankan Ke Sektor Pengolahan Sumbagut PERKEMBANGAN INFLASI Inflasi wilayah Sumbagut pada Juli 2014 tercatat sebesar 4,48% (yoy), lebih rendah dibandingkan triwulan II 2014 (6,4%). Realisasi inflasi tersebut juga sedikit lebih rendah dari realisasi inflasi nasional sebesar 4,53% (Grafik IV.3.15). Berdasarkan kota penyumbang inflasi, inflasi tertinggi di wilayah Sumbagut terjadi di Meulaboh (7,28%) dan inflasi terendah terjadi di Padang Sidempuan (2,98%; yoy). Baik inflasi inti, volatile foods maupun administered price cenderung mengalami penurunan, dengan tren penurunan terbesar pada kelompok administered price (Grafik IV.3.16). Relatif rendahnya inflasi wilayah Sumbagut terutama disebabkan oleh melimpahnya suplai komoditas buah-buahan, sayur-sayuran dan bumbubumbuan seperti tomat buah, wortel dan cabai merah. Penurunan tekanan inflasi tersebut diprakirakan akan terus berlanjut hingga triwulan mendatang. Hal ini didukung oleh stabilnya harga komoditas kelompok volatile food seiring masih melimpahnya pasokan komoditas pertanian, terutama komoditas yang memiliki pengsa cukup besar dalam keranjang konsumsi masyarakat seperti seperti cabai merah dan beras. Selain itu, persiapan yang baik dari Tim TPID dan Pemerintah Provinsi (Sumatera Utara & Aceh) dalam melakukan pengendalian terutama menjelang lebaran diprakirakan mampu menahan laju inflasi pada periode mendatang. Tekanan inflasi ke depan diprediksi lebih didorong oleh kelompok administered prices terkait diberlakukannya pembatasan BBM bersubsidi pada awal Agustus 2014 dan kenaikan Tarif Tenaga Listrik (TTL) pada September 2014. Sumber: BPS, diolah Grafik IV.3.15. Inflasi Kota di Sumbagut dan Nasional Sumber: BPS, diolah Grafik IV.3.16. Disagregasi inflasi Sumbagut L a p o r a n N u s a n t a r a | 128 Koordinasi Pengendalian Inflasi Sebagai tindak lanjut Rakornas V TPID Tahun 2014 yang diselenggarakan pada 21 Mei 2014 di Jakarta terkait program pengendalian inflasi “4K”, TPID se-Sumbagut telah menghasilkan kesepakatan bersama sebagai berikut: Ketersediaan pasokan: melakukan kunjungan ke sentra produksi komoditas seperti bawang merah, cabai merah, daging sapi, daging/telur ayam dan ikan segar serta melakukan kunjungan ke gudanggudang diantaranya gudang beras serta gudang gula & tepung terigu. 2. Keterjangkauan Harga: melakukan kunjungan pasar, operasi pasar serta mengadakan pasar murah di beberapa pasar diantaranya di Langkat, Binjai, Deli Serdang dan Tebing Tinggi. 3. Kelancaran Distribusi: pemetaan kondisi infrastruktur distribusi seperti pelabuhan, bandara, jalan dan kereta api, mengadakan Forum Koordinasi Pimpinan Daerah terkait pengendalian inflasi pada bulan Ramadhan dan Lebaran serta bekerjasama dengan Dinas Perhubungan dalam mendukung kelancaran distribusi barang terutama komoditas pangan strategis seperti sembako. 4. Komunikasi Ekspektasi: mengadakan dialog interaktif, jumpa pers,dan sosialisasi belanja bijak melalui iklan layanan masyarakat maupun kerjasama dengan MUI. 1. STABILITAS SISTEM KEUANGAN DAN PENGELOLAAN SISTEM PEMBAYARAN Ketahanan Sektor Korporasi Pembiayaan sektor Korporasi oleh perbankan pada triwulan II 2014 masih menunjukkan pertumbuhan yang relatif baik. Kualitas kredit Bank Umum yang disalurkan ke sektor Korporasi di Sumbagut masih terjaga di level yang cukup baik. Hal ini tercermin dari indikator Non Performing Loans (NPL) kredit pada sektor korporasi yang, walaupun menunjukkan sedikit peningkatan, namun masih di bawah level critical point (5%) (Grafik IV.3.17). NPL kredit Bank Umum yang disalurkan kepada sektor korporasi tercatat sebesar 2,97%, sedikit meningkat dibandingkan triwulan lalu yang hanya sebesar 2,79%, namun masih dibawah rata-rata NPL tiga tahun terakhir yang mencapai 3,43%. Kualitas kredit kepada 3 sektor Korporasi utama di Sumatera Utara masih terjaga, dengan Non Performing Loan (NPL) di bawah 5% (Grafik IV.3.18). NPL kredit Bank Umum kepada sektor PHR dan industri pengolahan menunjukkan penurunan dibandingkan triwulan lalu, yakni dari 3,99% menjadi 3,92% serta dari 1,91% menjadi 1,73%. Grafik IV.3.17. Perkembangan NPL Total Kredit Bank Umum dan Kredit ke Korporasi Grafik IV.3.18. Perkembangan Kredit Bank Umum ke Tiga Sektor Utama di Sumbagut L a p o r a n N u s a n t a r a | 129 Ketahanan Sektor Rumah Tangga Kredit konsumsi yang disalurkan dari Bank Umum kepada sektor Rumah Tangga di Sumbagut terus tumbuh (Grafik IV.3.19). Peningkatan cukup signifikan terjadi pada kelompok Kredit Kendaraan Bermotor (KKB) dan Kredit Perumahan Rakyat (KPR). Pertumbuhan kredit rumah tangga tersebut didukung dengan kualitas kredit yang masih cukup baik. Hal ini tercermin dari terjaganya NPL baik untuk kredit berupa KPR maupun KKB di level yang aman (di bawah 5%) (Grafik IV.3.20). Namun, perlu diwaspadai NPL, baik KPR maupun KKB, yang menunjukkan kecenderungan meningkat sejak awal tahun 2014. Peningkatan NPL untuk kredit KPR terjadi di semua tipe rumah, baik tipe 21, tipe 22-70, tipe di atas 70, maupun kredit untuk tipe rumah toko (Ruko) dan rumah kantor (Rukan). Grafik IV.3.19. Pertumbuhan Tahunan Kredit KPR dan KKB Sumbagut Grafik IV.3.20. Perkembangan NPL Kredit KPR dan KKB Sumbagut Pembiayaan Sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) Dari keseluruhan kredit yang disalurkan pada triwulan II 2014, kredit UMKM di wilayah Sumbagut mencapai sekitar 31,3%. Kondisi ini mengindikasikan bahwa ,secara tahunan, penyaluran kredit kepada usaha mikro, kecil, maupun menengah di wilayah Sumbagut terus mengalami peningkatan sejak realisasi di triwulan IV-2013 (29,92%). Secara sektoral, pangsa kredit UMKM masih didominasi oleh sektor PHR dengan share terhadap total kredityang relatif stabil di level 55%. Sementara itu, peningkatan ditunjukkan pada sektor pertanian dan industri pengolahan. Kinerja Sistem Pembayaran Transaksi perbankan di wilayah Sumbagut melalui Bank Indonesia Real Time Gross Settlement (BI-RTGS) pada triwulan II 2014 mengalami peningkatan baik secara nominal maupun volume. Secara nominal, transaksi RTGS pada triwulan laporan naik sebesar 18,33% (qtq) menjadi Rp368,93 triliun. Sementara itu, volume transaksi mengalami peningkatan sebesar 8,49% (qtq) menjadi sebesar 286.184 transaksi (Tabel IV.3.1). Peningkatan tersebut didorong oleh peningkatan kegiatan bisnis maupun kedinasan untuk mengejar target pada bulan Ramadhan dan Lebaran. Selain itu, adanya rangkaian kegiatan Pemilu yang membutuhkan dana besar diduga turut menjadi faktor penyumbang peningkatan transaksi RTGS di triwulan laporan. Pada triwulan II 2014, kliring perbankan di wilayah Sumbagut juga mengalami peningkatan baik secara nominal maupun volume. Secara nominal, kliring di Sumbagut mengalami peningkatan sebesar 3,99% L a p o r a n N u s a n t a r a | 130 (qtq) menjadi sebesar Rp37,50 triliun (Tabel IV.3..2). Searah dengan peningkatan nominal, volume transaksi warkat kliring juga meningkat sebesar 56,83% (qtq) menjadi 1.006.615 lembar warkat. Tabel IV.3.1. Perkembangan Transaksi dan Rata-Rata Transaksi RTGS per-hari Sumut & Aceh 2012 Tw I Tw II Tw III Tw IV Tw I Tw II 2013 Tw III 1 Jumlah Transaksi RTGS : a. Nominal (Rp Miliar) 234.306,09 301.165,23 348.763,89 327.224,65 291.729,34 348.844,00 348.026,68 b. Volume (lembar warkat) 267.436 297.996 253.548 322.882 281.743 293.578 279.952 2 Rata-rata Transaksi RTGS per hari : a. Nominal (Rp Miliar) 3.719,14 4.857,50 5.717,44 5.364,34 4.944,57 5.537,21 5.705,36 b. Volume (lembar warkat) 4.245 4.806 4.157 5.293 4.775 4.660 4.589 2014 Tw IV Tw I Tw II 381.442,10 311.777,38 368.930,24 302.913 263.786 286.184 6.113,30 4.869 5.196,29 4.396 6.148,84 4.770 Tabel IV.3.2. Perkembangan Perputaran Kliring Sumbagut Kinerja Pengelolaan Uang Tunai Perkembangan aliran uang kartal di wilayah Sumbagut pada triwulan II-2014 mengalami net outflow sebesar Rp341,41 miliar. Kondisi tersebut berkebalikan dengan triwulan I 2014 yang justru mengalami net inflow sebesar Rp3,92 triliun. Peningkatan outflow tersebut disumbang oleh wilayah kerja Sibolga, Pematang Siantar, Lhokseumawe, maupun Banda Aceh. Hal tersebut sejalan dengan meningkatnya kebutuhan masyarakat pada triwulan II 2014, antara lain untuk pendidikan, persiapan menjelang Ramadhan, rangkaian kegiatan Pemilu dan masa liburan anak sekolah. Sementara itu, temuan uang palsu terus mengalami penurunan. Penurunan temuan uang palsu tersebut sejalan dengan semakin meningkatnya antisipasi Bank Indonesia mencegah peredaran uang palsu, antara lain dengan meningkatkan security features uang yang dicetak dan melakukan sosialisasi ciri-ciri keaslian uang Rupiah. PROSPEK PEREKONOMIAN Prospek Pertumbuhan Ekonomi Perkembangan terakhir mengindikasikan perekonomian Sumatera Bagian Utara untuk keseluruhan tahun 2014 tumbuh di kisaran 5,0 – 5,4%, dengan kecenderungan bias ke bawah. Perkiraan pertumbuhan ekonomi pada akhir tahun 2014 yang lebih rendah dibandingkan dengan realisasi pertumbuhan ekonomi pada akhir tahun 2013 mengingat tahun tahun 2014 merupakan tahun politik yang membuat banyak pelaku usaha menunda kegiatan investasi maupun ekspansi usaha mereka. Dampak pelaksanaan Pemilu terhadap pertumbuhan ekonomi Sumbagut khususnya pada sektor konsumsi juga tidak setinggi prakiraan semula. Pertumbuhan ekonomi pada 2014 diperkirakan ditopang oleh adanya perbaikan kinerja ekspor seiring dengan prospek pemulihan ekonomi mitra dagang utama, dan masih cukup kuatnya konsumsi rumah tangga. Dari sisi sektoral, industri pengolahan diprakirakan akan tumbuh lebih tinggi dibandingkan tahun 2013. Optimisme sektor pengolahan didorong oleh masih terbukanya peluang pasar baru, khususnya untuk L a p o r a n N u s a n t a r a | 131 produk ekspor turunan CPO dan juga biofuel (a.l biomassa dan biodiesel). Selain industri pengolahan, sektor utama lainnya yang diprakirakan akan mengalami peningkatan kinerja adalah sektor pertanian. Sementara itu, sektor PHR pada tahun 2014 diprakirakan tidak tumbuh setinggi tahun sebelumnya. Kondisi ini diduga sebagai dampak pemilu yang menekan pertumbuhan subsektor perhotelan di Sumbagut. Adapun sektor pertanian pada akhir tahun 2014 diprakirakan tidak akan tumbuh setinggi tahun sebelumnya karena cuaca kering pada areal pertanian di Sumbagut. Prospek Inflasi Inflasi berbagai daerah di Sumbagut diprakirakan berada pada kisaran 4,9%-5,3% pada akhir tahun, diatas prakiraan sebelumnya. Sumber kenaikan tekanan inflasi diperkirakan bersumber dari adanya El Nino pada September dan Oktober, dampak kenaikan harga dari pemberlakuan Tarif Tenaga Listrik baik untuk industri, bisnis dan rumah tangga yang dinaikkan secara bertahap hingga akhir tahun, serta adanya pemberlakuan pembatasan BBM bersubsidi. Selain itu, kenaikan LPG 12 kg dan harga emas serta juga berpotensi turut mendorong tekanan inflasi pada tahun 2014. Meski demikian, tetap terjaganya pasokan pangan didukung kuatnya peran aktif daerah untuk menjaga kelancaran distribusi diperkirakan dapat meminimalkan potensi kenaikan inflasi lebih lanjut. Beberapa komoditas yang perlu dijaga agar terus stabil hingga akhir tahun diantaranya adalah beras, bawang putih, bawang merah, dan cabai merah. Tabel IV.3.4. Realisasi dan Prakiraan Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi Sumatera Bagian Utara Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi Wilayah PDRB (%,yoy) 2011 2012 2013 6,3 6,0 I 5,9 2014 II 5,6 III 5,5 IV 5,4 Total I 5,6 5,1 II 5,1 IIIp IVp Totalp 5,2 5,2-5,6 5,2-5,6 Sisi Permintaan Konsumsi 6,2 5,6 7,0 6,7 6,7 5,7 6,5 6,1 6,4 6,0 6,0-6,4 6,0-6,4 Konsumsi swasta 6,4 5,9 7,5 6,7 6,6 5,5 6,6 6,0 6,3 5,8 5,7-6,1 5,8-6,2 Konsumsi Pemerintah 5,4 4,5 4,8 4,1 4,4 3,9 4,3 4,1 4,3 4,5 4,9-5,3 4,4-4,8 6,8 6,8 8,6 8,2 7,0 5,0 7,2 4,4 4,6 6,2 7,9-8,3 5,7-6,1 Ekspor 12,7 2,8 1,2 3,6 4,0 5,7 3,6 4,5 3,7 4,1 4,7-5,1 4,0-4,4 Impor 16,3 4,9 6,7 7,3 7,9 6,4 7,1 5,3 4,3 4,7 6,6-7,0 5,0-5,4 Sektor pertanian 5,0 4,9 5,5 3,5 3,1 3,2 3,8 3,1 3,4 3,1 3,1-3,5 3,1-3,5 Sektor pertambangan & penggalian 2,5 0,2 1,0 2,1 1,8 0,2 1,3 0,8 0,9 1,1 1,0-1,4 0,8-1,2 Industri pengolahan 2,0 3,4 2,4 3,3 2,8 4,3 3,2 4,4 4,2 4,1 2,3-2,7 3,5-3,9 Listrik, gas & air bersih 8,2 3,9 5,5 4,7 3,5 3,0 4,1 3,9 5,4 5,5 4,8-5,2 4,8-5,2 Bangunan 8,1 6,8 7,1 7,9 6,8 6,4 7,0 6,3 5,6 6,8 7,5-7,9 6,5-6,9 Perdagangan, hotel & restoran 7,8 7,2 7,7 7,8 7,8 7,2 7,6 5,1 6,6 6,9 7,1-7,5 6,4-6,8 Pengangkutan & komunikasi 9,7 8,3 8,1 7,8 7,2 5,4 7,1 5,2 3,9 4,5 5,7-6,1 4,8-5,2 Keuangan, persewaan dan jasa perush. 13,1 10,9 8,1 8,2 10,0 6,6 8,2 10,2 6,1 5,7 8,6-9,0 7,6-8,0 7,3 6,7 6,4 6,1 7,2 8,2 7,0 7,5 8,1 7,9 7,1-7,5 7,6-8,0 4,70 5,0-5,4 5,0-5,4 Pembentukan Modal Tetap Bruto* Sisi Produksi Jasa-jasa Inflasi IHK (%,yoy) 3,64 3,52 5,49 6,33 8,99 9,92 9,92 7,40 6,07 Sumber: BPS dan Proyeksi (p) KPw BI Wil. IX L a p o r a n N u s a n t a r a | 132 Lebih mahalnya biaya pengiriman barang dari Tj. Priok ke Padang dan Banjarmasin dibandingkan ke Singapura menunjukkan masih lemahnya daya saing logistik perdagangan Indonesia. Buruknya infrastruktur, belum ramahnya lingkungan berusaha, dan masih tertinggalnya konektivitas digital di Indonesia merupakan beberapa aspek yang secara nyata menghambat aliran investasi, yang pada akhirnya menurunkan daya saing perekonomian. Reformasi struktural sebagai suatu rangkaian long run supply side policies diharapkan dapat mengatasi permasalahan lemahnya daya saing perekonomian tersebut, guna menjaga kesinambungan transisi Indonesia menuju negara maju berpendapatan tinggi. Dalam beberapa waktu belakangan ini frasa “reformasi struktural” semakin sering terdengar dalam diskursus dan advokasi kebijakan publik di Indonesia, termasuk oleh Bank Indonesia1. Reformasi struktural dapat diartikan sebagai suatu rangkaian implementasi kebijakan-kebijakan domestik dan kelembagaan yang memengaruhi efektivitas pasar (sebagai lembaga yang mengalokasikan sumber daya perekonomian) dan kapasitas pelaku usaha dalam mengakses pasar, serta untuk beroperasi didalamnya secara efisien2. Merujuk pada definisi ini, reformasi struktural pada hakekatnya adalah upaya-upaya untuk meningkatkan kapabilitas, kapasitas dan produktivitas pada sisi pasokan dalam jangka menengah-panjang (long run supply side policies). Tidak mengherankan jika kemudian reformasi struktural sarat dengan implementasi kebijakankebijakan untuk memperkuat ketersediaan dan kualitas input-input faktor produksi. Hal ini diperlukan dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi jangka menengah panjang (long run growth). Beberapa input seperti infrastruktur, modal manusia, dan layanan publik, adalah faktorfaktor pendukung (enablers) yang kemudian akan membentuk lingkungan pendukung (enabling environment) bagi peningkatan efisiensi dan daya saing pelaku usaha (para pemasok barang dan jasa) di sektor swasta. Oleh karenanya, reformasi struktural adalah salah satu bentuk komitmen negara (pemerintah) untuk mendorong dan memperkuat peran sektor swasta dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan. Reformasi struktural sangat penting untuk terus dilakukan di Indonesia, mengingat laju peningkatan pendapatan per kapita dan pengentasan kemiskinan yang kuat menuntut pertumbuhan ekonomi yang berimbang dan sinambung dalam jangka menengah. Asesmen Bank Indonesia menunjukkan bahwa keseimbangan perekonomian terlihat mengalami gangguan dalam dua tahun terakhir. Gangguan tersebut terindikasi dari adanya defisit neraca transaksi berjalan yang cukup persisten, sehingga memengaruhi topangan fundamental ekonomi yang kemudian memengaruhi kinerja nilai tukar Rupiah. Kondisi fundamental kurs yang melemah tersebut, 1 Lihat misalnya di Laporan Perekonomian Indonesia (2013) dan suplemennya. 2 Konsep reformasi struktural tidak memiliki definisi yang baku. Definisi diatas mengikuti definisi oleh Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC) tentang “structural reform”. Redaksional dalam italic adalah tambahan interpretasi penulis. L a p o r a n N u s a n t a r a | 133 ditambah dengan adanya perubahan ekspektasi global terkait normalisasi kebijakan moneter di negara maju, telah membuat nilai tukar Rupiah mengalami penyesuaian ke bawah (terdepresiasi) di 2013. Kinerja transaksi berjalan yang menurun juga telah menyebabkan laju pertumbuhan produksi (output) melambat dan laju pertumbuhan pendapatan per kapita dalam US$ mengalami penurunan, sehingga peningkatan pendapatan per kapita pun melambat (Grafik A.1). Sementara itu, depresiasi kurs dan penyesuaian harga BBM meningkatkan tekanan pada laju inflasi. Meningkatnya laju inflasi yang diiringi dengan melambatnya pertumbuhan produksi (output) berdampak pada laju pengentasan kemiskinan yang melambat. Berbagai perlambatan tersebut, baik pada peningkatan pendapatan per kapita, maupun pengentasan kemiskinan, perlu segera ditanggulangi, karena dapat menghambat proses transisi Indonesia menuju negara maju berpendapatan tinggi. Sumber: Bank Dunia dan BPS, diolah Grafik A.1. Indikator-Indikator Kesejahteraan Jangka Menengah – Panjang Jika diperhatikan secara lebih mendalam, maka salah satu sumber penyebab melambatnya peningkatan kesejahteraan ekonomi masyarakat sebagaimana disampaikan di atas adalah karena postur transaksi berjalan yang melemah. Dinamika eksternal jangka menengah ini bersumber dari pelemahan ekspor di tengah masih kuatnya kebutuhan impor. Kinerja ekspor yang melemah, selain disebabkan oleh masih lambatnya pemulihan volume perdagangan dunia, juga banyak disebabkan oleh komposisi ekspor Indonesia yang belum berimbang. Komposisi ekspor di luar Jawa masih didominasi oleh komoditas mentah (hasil perkebunan dan pertambangan) yang rentan terhadap gejolak harga (terms of trade shocks) serta minim nilai tambah. Kondisi ini dipicu masih rendahnya tingkat hilirisasi di berbagai sektor industri ekstraktif berbasis SDA. Di sisi lain, komposisi ekspor di Jawa didominasi oleh produk-produk hasil industri berteknologi rendah dan berbasis buruh murah serta minim nilai tambah. Persaingan upah dan non-upah di pasar global yang semakin kuat menyebabkan produk-produk tersebut masih mengandalkan persaingan dari sisi harga internasional (kurs) ketimbang kualitas produk dan kualitas pekerjaan yang dilakukan. Dari sisi migas, hilirisasi yang lambat dan besarnya kebutuhan subsidi BBM seiring dengan ekspansi kelas menengah, menyebabkan terus meningkatnya impor BBM. Hal ini menyebabkan defisit neraca perdagangan migas masih terus persisten. L a p o r a n N u s a n t a r a | 134 Sementara di sektor non-migas, kebijakan moneter yang cenderung ketat (tight bias) dan penyesuaian yang terjadi pada kurs nilai tukar, walaupun telah berhasil menurunkan defisit transaksi berjalan mendatangkan konsekuensi berupa perlambatan laju pertumbuhan permintaan domestik. Oleh karena itu, keseluruhan upaya dalam reformasi struktural perlu diletakkan dalam konteks memperbaiki postur transaksi berjalan Indonesia. Salah satu strategi untuk memperbaiki postur transaksi berjalan adalah dengan meningkatkan nilai tambah ekspor barang manufaktur non-migas. Untuk itu, sektor manufaktur domestik perlu secara bertahap ditingkatkan daya saingnya untuk masuk ke dalam rantai nilai global barang ekspor bernilai tambah tinggi. Hal ini merupakan tantangan besar, karena menuntut adanya kerjasama produksi yang kuat antara penanaman modal dalam negeri (PMDN) dan asing (PMA), khususnya PMA produsen global. Kerjasama global tersebut merupakan sebuah kebutuhan, karena di era globalisasi ekonomi abad 21 dewasa ini mayoritas barang-barang yang diperdagangkan di dunia didorong oleh strategi fragmentasi produksi produsen global yang tersebar di berbagai lokasi di dunia. Implikasi dari hal ini adalah Indonesia perlu menjadikan dirinya menarik bagi lokasi investasi dan kolaborasi produksi PMDN dan PMA, khususnya untuk barang-barang ekspor bernilai tambah tinggi yang banyak diminta oleh dunia. Salah satu kunci bagi peningkatan daya tarik tersebut adalah bagaimana tingkat daya saing biaya logistik perdagangan (supply chain costs) dan biaya operasional non-upah dapat menyamai atau lebih baik relatif dibandingkan peer-pesaing. Dalam rangka memperkuat daya saing biaya logistik perdagangan dan operasional non-upah terdapat faktor-faktor pendukung (enablers) yang perlu diperhatikan. Penguatan faktor-faktor tersebut akan dapat menciptakan lingkungan pendukung (enabling environment) berdaya saing yang menguntungkan bagi pelaku usaha. Faktor-faktor pendukung tersebut terdiri dari aspek (a) konektivitas fisik dan digital (logistik, transportasi, dan teknologi komunikasi-informatika), dan (b) kemudahan berbisnis (ease of doing business). Pentingnya memperkuat daya saing biaya dalam rantai produksi dapat dilustrasikan misalnya dari aspek transportasi untuk barang (movement of goods). Mengingat sifat dari kegiatan transportasi yang tidak memberikan nilai tambah terhadap barang dan jasa, para pelaku usaha menaruh perhatian besar untuk dapat meminimasi biaya dan waktu yang diperlukan. Transportasi darat, khususnya dengan truk, senantiasa mendominasi aktivitas transportasi di Indonesia. Rata – rata biaya transportasi darat dengan truk dari tahun 2004 sampai dengan 2011 mencapai 72.21% dari total biaya transportasi Indonesia3. Biaya operasional kendaraan di Indonesia masih lebih tinggi dibandingkan dengan negara Asia lainnya. Kondisi dan kontur permukaan jalan yang buruk merupakan salah satu penyebab tingginya biaya operasional kendaraan4. Rencana penghapusan subsidi BBM menjadi isu kritikal yang juga dapat meningkatkan biaya operasional secara signifikan apabila biaya lainnya tidak menurun, sehingga semakin menurunkan daya saing logistik. Penguatan infrastruktur darat hemat energi, seperti kereta api, menjadi salah satu alternatif penting untuk menekan biaya logistik di Indonesia ke depan, di samping infrastruktur jalan. 3 Lihat Bahagia et al. (2013). 4 Berdasarkan penelitian yang dilakukan Asia Foundation (2008), terindikasi bahwa biaya operasional per kilometer meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah tanjakan dan turunan serta kekasaran jalan. L a p o r a n N u s a n t a r a | 135 Mengingat kondisi geografis Indonesia yang sebagian besar wilayahnya terdiri dari laut, maka penguatan sarana dan prasarana kemaritiman untuk melakukan kegiatan pengiriman barang menjadi sangat vital. Sampai saat ini terindikasi bahwa masih banyak inefisiensi dalam transportasi laut domestik (Grafik A.2). Dengan jarak yang relatif tidak berbeda jauh, pengiriman barang dari Tanjung Priok menuju Singapura jauh lebih murah daripada pengiriman menuju Padang dan Banjarmasin. Biaya pengiriman menuju Jayapura 2.5 kali biaya pengiriman menuju Guangzhou, Tiongkok5. Perbandingan biaya per kilometer untuk jarak pelayaran pun menunjukkan bahwa pengiriman ke Singapura dan Tiongkok lebih murah daripada pengiriman domestik via laut6. $/km pengiriman internasional (RHS) $/km pengiriman domestik (RHS) Biaya transportasi pengiriman internasional ($) (LHS) Biaya transportasi pengiriman domestik ($) (LHS) Sumber: Bahagia et al. (2013, Bank Dunia), BI Staff. Grafik A.2. Ilustrasi Perbandingan Biaya Pengiriman Barang Lewat Laut di Dalam dan Keluar Indonesia (Container) Tingginya biaya logistik Indonesia menjadi beban bagi perusahaan penyedia jasa logistik, yang tentunya berimbas pula pada perusahaan manufaktur. Beban biaya transportasi muncul sejak proses memasok bahan baku sampai dengan proses paling hilir dari rantai pasok, yakni pengiriman barang jadi ke konsumen. Inefisiensi dan keterbatasan sarana dalam aktivitas pelabuhan menyebabkan banyak biaya tambahan yang harus dikeluarkan. Salah satunya adalah tingginya okupansi container yard7 disebabkan keterbatasan sarana dan kurang baiknya aspek perencanaan pihak perusahaan. Gudang yang penuh juga mengakibatkan dooring8 tidak dapat dilakukan, sehingga peti kemas terpaksa ditumpuk lebih lama di container yard. Aktivitas loading dan unloading di gudang perusahaan yang tidak efisien juga mengakibatkan tingginya idle time dari 5 Lihat Bahagia et al. (2013). 6 Estimasi jarak pelayaran dihitung dengan menggunakan perangkat lunak Google Maps, yakni : Singapura 1200 km, Guangzhou 3740 km, Padang 1110 km, Banjarmasin 930 km, Papua 4300 km. 7 Container yard merupakan tempat penimbunan peti kemas sementara di pelabuhan setelah diturunkan dari kapal. 8 Dooring merupakan kegiatan pengiriman barang dari container yard menuju gudang penerima. L a p o r a n N u s a n t a r a | 136 truk selama mengantri bongkar muat. Administrasi pelabuhan dan pergudangan yang masih didominasi paper based semakin menambah pemborosan baik dari segi biaya maupun waktu. Masih banyak isu-isu praktis lainnya yang dihadapi sektor swasta sehingga mendorong tingginya total biaya logistik di Indonesia. Ilustrasi di atas menunjukkan bahwa untuk menjadikan Indonesia lebih kompetitif diperlukan penguatan lingkungan pendukung (enabling environment), sehingga dapat menurunkan biaya logistik perdagangan dan meningkatkan daya saing investasi. Secara umum faktor-faktor pendukung yang diperlukan bagi penguatan daya tarik investasi dapat dilihat pada Diagram A.1. Lebih lanjut, kebijakan reformasi struktural yang diambil dapat mengambil skala prioritas dimana penguatan konektivitas maritim, sarana-prasarana transportasi barang intermoda (kereta api – pelabuhan), dan konektivitas digital dapat didahulukan. Diagram A.1. Enablers Bagi Penguatan Daya Tarik Investasi Referensi Bahagia S, Sandee H, Meeuws R (2013) State of Logistics Indonesia 2013, Collaboration Center of Logistics and supply chain studies, Institut Teknologi Bandung, Asosiasi Logistik Indonesia, Panteia, STC Group and World Bank The Asia Foundation (2008) The Cost of Moving Goods: Road Transportation, Regulations and Charges in Indonesia. Jakarta: The Asia Foundation. Laporan Perekonomian Indonesia (http://www.bi.go.id/id/publikasi/laporantahunan/perekonomian/Pages/LPI_2013.aspx). L a p o r a n N u s a n t a r a | 137 Penerapan Undang-undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) dan Peraturan Pemerintah (PP) No. 1 Tahun 2014 melarang ekspor mineral mentah, kecuali batubara, terhitung sejak awal 2014. Secara tidak langsung regulasi ini mendorong adanya hilirisasi ekspor mineral. Proses hilirisasi sendiri menimbulkan dillema (tradeoff) antara kebutuhan untuk mendorong peningkatan nilai tambah ekspor dan kebutuhan menjaga kelestarian lingkungan, suatu proses yang menuntut penanaman modal yang tidak sedikit. Kehadiran instrumen keuangan yang mengarah kepada investasi berwawasan lingkungan seperti kredit karbon dapat menjawab tantangan ini. Dampak Lingkungan Hilirisasi Industri peleburan (smelting) dan pengolahan mineral lainnya merupakan salah satu industri yang dikhawatirkan memiliki eksternalitas negatif berupa dampak lingkungan. Ekternalitas negatif tersebut dapat berupa polusi udara dan suara (tingkat kebisingan) yang dihasilkan dalam pengolahan mineral. Selain itu pengolahan mineral menghasilkan limbah padat dan cair, yang meski telah diolah, terkadang tetap membahayakan habitat makhluk hidup termasuk manusia yang hidup di sekitarnya. Pengolahan mineral juga menghasilkan emisi dalam bentuk partikel dan gas beracun seperti sulfur oksida dan nitrogen yang akan terkondensasi dan turun ke bumi dalam bentuk hujan asam, mengganggu kehidupan organisme di bawahnya (European Commission, 2003). Gas beracun tersebut serta oksida karbon yang dihasilkan dalam pengolahan mineral juga akan terakumulasi pada lapisan atmosfer yang menjadi salah satu sumber masalah perubahan iklim. Selain partikel dan gas beracun, proses pengolahan mineral juga menghasilkan logam berat yang berbahaya bagi kesehatan manusia sehingga harus dimitigasi (Soto-Jiménez and Flegal, 2011) karena tidak dapat diredam dampaknya oleh alam (Pirrone et al, 2010). Di samping limbah, beban lingkungan dari pengolahan mineral juga berasal dari penggunaan sumber daya air dan energi (yang umumnya energi tidak terbarukan) dalam jumlah besar. Air digunakan dalam proses pengolahan mineral dan pengolahan limbahnya (Brown, 2002). Konsumsi air dalam jumlah besar juga terjadi pada pembangkit listrik yang digunakan dalam pengolahan mineral. Kebutuhan air tersebut akan menimbulkan persaingan dalam pengunaan sumber daya air antar industri pengolahan dan pengguna sumber daya air lainnya, terutama di wilayah dengan sumber daya air yang terbatas. Dampak lingkungan menjadi semakin pelik ketika sumber energi pembangkit energi listrik utama masih berasal dari bahan bakar fossil (minyak bumi) dan batubara yang merupakan bahan bakar dengan kandungan emisi terbesar (IEA, 2013). Pemaparan di atas menggambarkan secara singkat eksternalitas negatif dari hilirisasi ekspor mineral hasil tambang yang dapat mengganggu lingkungan untuk kelangsungan hidup (environmental sustainability). Dari sisi ekonomi, perusahaan pengolahan mineral akan cenderung bergantung pada Pemerintah dalam meredam dampak lingkungan yang disebabkan oleh hilirisasi, yang secara tidak langsung akan dibebankan kepada masyarakat sebagai wajib pajak. Di sisi lain, regulasi pengendalian dampak kerusakan lingkungan akan menaikkan biaya bagi perusahaan sehingga dapat menurunkan pasokan bahan baku mineral bernilai tambah tinggi L a p o r a n N u s a n t a r a | 138 untuk keperluan ekspor maupun industri domestik. Nilai ekonomis pengolahan mineral dan biaya sosial yang bersumber dari eksternalitas negatif tersebut, menimbulkan dilemma (tradeoff) antara kebutuhan untuk mendorong peningkatan nilai tambah ekspor dan kebutuhan menjaga kelestarian lingkungan. Keduanya merupakan prasyarat bagi pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan dan berkelanjutan dalam jangka menengah-panjang sehingga dilemma ini perlu dikelola. Mengelola Dampak Lingkungan Kegiatan Hilirisasi Mengaitkan tanggung jawab sosial korporasi dengan mitigasi dampak lingkungan merupakan salah satu langkah yang sering dianjurkan untuk mendorong pelaku usaha menginternalisasikan dampak lingkungan dalam keputusan investasi (lihat Mishan (1971)). Terkait hal ini, regulasi yang menjadi inisiatif bersama lintas lembaga pemerintahan menjadi andalan dalam memperkuat industri pemurnian mineral agar lebih arif terhadap lingkungan, misalnya melalui peraturan pasar modal tentang kewajiban Corporate Social Responsibility (CSR), perusahaan pengolahan mineral yang telah go public didorong untuk menginternalisasi investasi berwawasan lingkungan. Namun, mitigasi dampak lingkungan juga dapat didorong melalui instrumen kebijakan fiskal, misalnya melalui subsidi dan tarif dalam skema insentif-disinsentif. Mitigasi dampak lingkungan dalam beberapa aspek berkaitan dengan teknologi yang hak ciptanya sebagian besar dimiliki negara maju, sehingga biaya penggunaan teknologi tersebut cukup mahal bagi negara-negara berkembang (IPCC, 2000). Oleh karena itu, mekanisme insentif-disinsentif dapat mendorong perusahaan beralih dari teknologi yang murah namun memiliki eksternalitas negatif ke teknologi berwawasan lingkungan. Sebagai ilustrasi, tarif impor untuk peredam suara dan pengguna teknologi tanur listrik dapat dibuat lebih murah dibanding perusahaan pengguna tanur pembakaran karena tanur listrik menghasilkan emisi sulfur dioksida yang lebih sedikit. Insentif fiskal yang diberikan dapat pula bervariasi, bergantung pada jenis logam yang diekstraksi, teknik pemurnian dan manajemen limbah yang digunakan. Pengolahan metal reaktif seperti alumunium misalnya, mengkonsumsi energi listrik lebih sedikit dan memberikan dampak kerusakan lingkungan dan perubahan iklim yang lebih kecil daripada logam yang lebih tidak reaktif seperti besi. Contoh lainnya adalah tarif yang lebih murah untuk impor teknologi penanganan limbah dimana tingkat pelonggaran tarif meningkat seiring dengan kecanggihan teknologi yang digunakan. Salah satu insentif lain adalah dengan mengalihkan subsidi untuk bahan bakar berbasis fosil menjadi feed-in-tariff bagi impor teknologi pembangkit listrik bersumber energi terbarukan yang digunakan oleh smelter dan fasilitas pemurnian mineral lainnya. Untuk mendorong fasilitas pemurnian mineral yang berbasis energi terbarukan, pemerintah dapat pula menggerakkan inisiatif PLN untuk membeli kelebihan produksi listrik yang tidak digunakan dalam proses pemurnian mineral. Di samping itu, reformasi pertanian juga dibutuhkan untuk mendorong produksi biofuel. Belajar dari Amerika Latin, pendekatan yang paling menarik untuk meningkatkan produksi biofuel adalah konversi lahan yang memang diberikan untuk tanaman produksi dengan orientasi biofuel. Pendekatan lain adalah dengan mengkonversi infrastruktur rafinasi gula nonaktif milik negara menjadi unit produksi bioetanol. Tentu saja kebijakan ketahanan pangan perlu fleksibel dengan memperbolehkan tanaman pangan untuk diproduksi dengan orientasi di luar pemenuhan kebutuhan pangan, yaitu untuk kebutuhan energi. Dalam L a p o r a n N u s a n t a r a | 139 kaitan ini, orientasi program ketahanan pangan nasional dapat diarahkan untuk berfokus pada swasembada komoditas pangan pokok, yaitu beras. Akhirnya, instrumen berbasis pasar seperti kewajiban labelling dapat mendorong perusahaan menginternalisasi eksternalitas dan sekaligus membangun citra sebagai perusahaan ramah lingkungan. Kegagalan suatu perusahaan dalam mendapatkan label menyebabkan perusahan berpotensi untuk kehilangan pangsa pasarnya di pasar global yang diikuti dengan dihentikannya pendanaan oleh lembaga keuangan (Harris, 2014). Selain mekanisme labelling, dapat pula dibentuk pasar untuk ekternalitas seperti “bank limbah”, di mana tiap perusahaan dapat menciptakan keuntungan dari penjualan limbah kemudian mereinvestasikannya pada pilihan investasi yang ramah lingkungan. Pembiayaan Mitigasi Dampak Lingkungan Secara Mandiri Sebagaimana yang telah diulas di atas, hilirisasi berpotensi menimbulkan eksternalitas negatif, namun bisa diredam oleh adopsi teknologi yang tepat. Tentu saja teknologi tersebut memerlukan penanaman modal/investasi untuk teknologi pemurnian, pembangkit listrik dan manajemen limbah. Pada banyak kasus seringkali pelaku industri, terutama yang skalanya menengah, belum siap secara modal. Terkait hal ini, pembiayaan secara mandiri semakin populer sejak diperkenalkannya kredit karbon pada tahun 1995. Kredit karbon merupakan instrumen keuangan yang dapat diperjualbelikan dengan underlying berupa besarnya emisi gas rumah kaca yang akan ditekan9. Melalui perdagangan kredit karbon tersebut perusahaan dapat memperoleh tambahan aliran dana sehingga mengatasi kendala pembiayaan teknologi untuk proses produksi yang ramah lingkungan. Kredit karbon misalnya dapat diberikan kepada pelaku usaha yang melakukan pengurangan emisi gas rumah kaca melalui penggunaan tanur listrik pada smelter logam (IEA, 2013). Kredit karbon juga dapat diperoleh melalui penyerapan karbon selama proses pemurnian mineral. Pauli (2010) menyarankan penyerapan karbon dengan menggunakan ganggang untuk ‘menangkap’ emisi gas dan mengkonversinya menjadi energi terbarukan melalui proses alam10. Bentuk lain dari kredit karbon yang bisa diperjualbelikan adalah pada aktivitas konversi gas beracun menjadi senyawa kimia, misalnya sulfur dioksida dapat dikonversi menjadi asam sulfur yang bisa diperjualbelikan. Mitigasi terhadap emisi yang sifatnya tidak langsung juga dapat dijadikan underlying kredit karbon. Kredit karbon dapat dikeluarkan kepada generator pembangkit listrik yang pada proses pembangkitannya menggunakan sumber energi terbarukan atau bahan bakar rendah karbon. Kredit karbon sebagai sumber pendanaan diuraikan dalam Box Kredit Karbon Untuk Pembiayaan Mitigasi Dampak Lingkungan. 9 Satu unit karbon kredit Satu unit kredit karbon yang direpresentasikan oleh satu sertifikat UNFCCC bernilai sama dengan pengurangan satu ton CO2 (UNFCCC). 10 Walaupun demikian, United Nation Forum for Climate Change Convension (UNFCCC) belum mengklasifikasikan teknik- dimaksud sebagai teknologi yang layak mendapatkan skema kredit karbon. Pertimbangannya adalah penyerapan emisi gas rumah kaca idealnya disertai penyimpanan emisi pada formasi geologis (UNFCCC, 2011). L a p o r a n N u s a n t a r a | 140 Boks. Kredit Karbon Untuk Pembiayaan Mitigasi Dampak Lingkungan Kredit karbon atau kredit emisi gas rumah kaca merupakan sumber pendanaan yang mendorong alokasi modal yang lebih produktif pada industri pengolahan mineral berwawasan lingkungan. Terdapat tiga tipe kredit karbon yang dikeluarkan oleh UNFCCC: (1) Allowance Assigned Unit (AAU), (2) Certified Emission reduction (CER), dan (3) Emission Reduction Unit (ERU). Di antara tiga tipe kredit karbon hanya CER yang dapat diperjualbelikan di negara emerging seperti Indonesia. AAU seperti European Union Allowance (EUA) dialokasikan oleh negara yang menerapkan Emission Trading System (ETS) kepada perusahaan tertentu. Bila emisi gas rumah kaca yang dihasilkan oleh perusahaan tersebut melebihi alokasi AAU, perusahaan tersebut wajib mengurangi aktivitas ekonominya atau membeli AAU dari perusahaan yang menghasilkan emisi lebih kecil dari alokasi AAU atau membeli CER dan ERU dari proyek pengurangan emisi gas rumah kaca. Perdagangan karbon kredit tersebut dilakukan melalui bursa atau secara bilateral. CER diberikan oleh UNFCCC kepada proyek pengurangan emisi gas rumah kaca di negara berkembang dan negara yang baru masuk menjadi bagian dari negara maju, dikenal sebagai proyek Clean Development mechanism (CDM). Sementara itu ERU dikeluarkan UNFCCC untuk proyek pengurangan emisi gas rumah kaca di negara-negara maju, dikenal sebagai proyek Joint Initiatives (JI). Pasar CER telah menjadi pasar kredit karbon terbesar setelah pasar EUA dengan tingkat imbal hasil yang tidak begitu sensitif terhadap krisis keuangan global yang terjadi pada tahun 2008 bila dibandingkan dengan instrumen keuangan lainnya. Lebih dari itu, pasar CER semakin diperluas dengan diperkenalkannya ETS di Australia, Selandia Baru, Kanada, dan China. Sayangnya, Indonesia hingga saat ini belum secara agresif membuka jalan bagi pengembangan pasar CER. Dari segi jumlah proyek, Indonesia merupakan negara terbesar ke-8 di dunia dengan total jumlah proyek CDM sebesar 166 di tahun 2012, sedikit lebih tinggi dari Thailand dan Malaysia dengan masing-masing jumlah proyek sebesar 165 dan 161 (UNFCCC, 2014). Referensi Brown, E (2002) Water for a sustainable minerals industry: Report to Sustainable Minerals Institute. Brisbane: Julius Kruttschnitt Minerals Research Centre. European Commission (2003) Integrated pollution prevention and control: Reference document on best available techniques for mineral oil and gas refineries. Brussel: European Commission. Harris, S.L (2014) “Palm oil and the importance of participation in sustainability regulatory schemes”. IRPA Working Paper – GAL Series 7/2013. IEA (2013) CO2 emissions from fuel combustions: Highlight. Paris: IEA. IPCC (2000) IPCC special report: Methodological and technological issues in technology transfer. Nairobi: WMO-UNEP. L a p o r a n N u s a n t a r a | 141 Rilis data terkini menunjukkan tingkat kemiskinan 2014 sedikit menurun dibandingkan tahun sebelumnya. Ditinjau secara spasial, penurunan tingkat kemiskinan tidak terjadi secara merata. Selain itu, ketimpangan antar penduduk miskin yang semakin melebar juga masih terjadi khususnya di wilayah yang kekayaan sumber daya alamnya melimpah. Di tengah perlambatan pertumbuhan ekonomi, data realisasi tingkat kemiskinan secara umum masih cenderung menunjukkan adanya perbaikan (Grafik C.1). Secara nasional, tingkat kemiskinan di bulan Maret 2014 sedikit mengalami penurunan dari 11,37% pada tahun 2013 menjadi 11,25% pada tahun 2014. Di satu sisi, menurunnya angka kemiskinan tersebut memberikan arti bahwa meskipun laju pertumbuhan ekonomi sedikit tertahan, masih terdapat peluang yang cukup baik dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun, di sisi lain, beberapa indikator kesejahteraan lainnya menunjukkan masih besarnya tantangan yang perlu diatasi dalam pembangunan ekonomi nasional. Sumber: BPS, diolah Grafik C.1. Persentase Penduduk Miskin Wilayah Sumber: BPS, diolah Grafik C.2. Pertumbuhan Persentase Penduduk Miskin Wilayah Jika ditinjau secara spasial, penurunan tersebut tidak terjadi secara merata. Di satu sisi, beberapa wilayah menunjukkan penurunan baik dari segi tingkat kemiskinan maupun ketimpangan kemiskinan. Salah satu contohnya adalah Yogyakarta, tingkat kemiskinan turun sebesar 3% disertai dengan penurunan indeks keparahan kemiskinan sebesar 12% (Grafik C.4). Demikian halnya dengan DKI Jakarta dan Bali yang juga mengalami penurunan ketimpangan antar penduduk miskin. Di sisi lain, tingkat kemiskinan di beberapa daerah wilayah Kalimantan dan Sulampua justru cenderung meningkat dibandingkan tahun sebelumnya (Grafik C.2). Hal ini diperkirakan terkait dengan menurunnya pendapatan masyarakat dan melemahnya aktivitas di sektor-sektor terkait sumber daya alam karena menurunnya harga komoditas. Beberapa daerah seperti Papua, Nusa Tenggara, Maluku dan sebagian besar daerah di Sulawesi mencatat angka kemiskinan yang lebih tinggi dibandingkan daerah lainnya (Gambar C.3.). Selain itu, indikator tingkat keparahan L a p o r a n N u s a n t a r a | 142 kemiskinan11, menunjukkan semakin melebarnya ketimpangan antar penduduk miskin di daerahdaerah tersebut. (Grafik C.4.) Sumber: BPS, diolah Gambar C.1. Persebaran Persentase Penduduk Miskin berdasarkan Wilayah Sumber: BPS, diolah Grafik C.3. Diagram Persebaran Pertumbuhan Tingkat Kemiskinan Maret 2013 – Maret 2014 Hal lain yang perlu dicermati adalah tingkat kemiskinan dan ketimpangan di antara penduduk miskin di Kepulauan Riau, Bangka Belitung, dan Kalimantan Timur meningkat dibandingkan tahun 2013 (Grafik_C.4.). Hal ini bertolak belakang dengan fakta bahwa ketiga wilayah tersebut memiliki sumber daya alam yang melimpah khususnya timah, gas, batubara, dan minyak bumi. Tingginya angka kemiskinan di beberapa daerah tersebut justru tidak dapat terlepas dari ketergantungan yang tinggi masyarakat di daerah-daerah tersebut terhadap pendapatan dari aktivitas di sektor pertambangan. Kondisi ini menyebabkan adanya kebijakan yang ditempuh untuk mengendalikan 11 Indeks Keparahan Kemiskinan (Proverty Severity Index-P2) disusun oleh Badan Pusat Statistik (BPS) untuk memberikan gambaran mengenai penyebaran pengeluaran diantara penduduk miskin. Semakin tinggi nilai indeks, semakin tinggi ketimpangan pengeluaran diantara penduduk miskin. P2 dihitung dengan cara berikut: ∑ [ ] , dimana z adalah garis kemiskinan; adalah rata-rata pengeluaran per kapita sebulan penduduk yang berada dibawah garis kemiskinan (i=1, 2, 3, ...., q), yi < z; adalah banyaknya penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan; adalah jumalh penduduk; dan nilai sebesar 2. L a p o r a n N u s a n t a r a | 143 aktivitas penambangan guna menjaga kualitas lingkungan atau peningkatan nilai tambah secara temporer memberikan ekses pada tingkat pendapatan masyarakat. Sebagai contoh, kebijakan untuk menekan aktivitas penambangan timah ilegal di Bangka Belitung secara tidak langsung berdampak pada kelangsungan pertambangan rakyat tradisional yang biasanya beroperasi secara ilegal. Hal ini mengingat hampir 25% tenaga kerja di Bangka Belitung bekerja di sektor pertambangan dan penggalian. Contoh lainnya juga terjadi di Kalimantan Timur, kecenderungan turunnya harga jual komoditas batubara di pasar ekspor berimbas pada melemahnya aktivitas di sektor pertambangan dan penggalian. Kondisi ini pada gilirannya berdampak pada tingkat pendapatan masyarakat, khususnya yang mengandalkan pada aktivitas terkait produksi batubara. Kondisi tersebut di atas mengindikasikan fenomena “kutukan sumber daya alam”12. Di beberapa wilayah di Indonesia yang memiliki kekayaan alam yang besar dan diharapkan dapat menyalurkan kesejahteraan kepada masyarakat, justru kekayaan alam tersebut tidak dapat dioptimalkan dan bahkan menjadi salah satu faktor yang menyebabkan kemiskinan. Dalam kaitan ini, ketergantungan yang tinggi terhadap pemanfaatan sumber daya alam sebagai mata pencaharian penduduk menyebabkan tingginya sensitivitas tingkat kesejahteraan penduduk masyarakat tersebut terhadap dinamika atau kebijakan terkait SDA tersebut. Mengatasi hal ini, strategi untuk mendorong diversifikasi ekonomi ataupun hilirasi merupakan sebuah pilihan yang dapat ditempuh. Ke depan, upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat perlu lebih menyeluruh melalui capaian pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan. Pembangunan ekonomi tidak semata melihat pada angka realisasi kemiskinan yang cenderung menurun, namun bagaimana menciptakan perbaikan ketimpangan pendapatan di antara penduduk miskin itu sendiri. Pembangunan kualitas sumber daya manusia juga perlu didorong agar dapat memberdayakan potensi sumber daya alam yang bila dikelola dengan baik dapat menjadi sumber-sumber pertumbuhan dan pembangunan ekonomi, bukan sebaliknya. Hal ini menjadi sangat kritikal dan perlu dilihat sebagai bagian dari keberhasilan dalam upaya meningkatkan daya saing ekonomi di daerah. 12 Kutukan Sumber Daya Alam atau Resources Curse terjadi pada negara-negara yang kaya sumber daya alam (khususnya minyak dan gas alam). Negara-negara tersebut justru menunjukkan performa pembangunan ekonomi yang lebih buruk dibanding negara-negara yang sumber daya alamnya lebih terbatas. Meskipun kekayaan alam dapat memberi peluang untuk meningkatan kekayaan Negara, namun “anugrah” tersebut kerap justru berubah menjadi “kutukan” dan menjadi faktor penghambat pembangunan yang berkelanjutan. “Escaping the Resource Curse (Humphreys, M., Sachs, Jeffrey D., Stiglitz, Joseph E., 2007)”. L a p o r a n N u s a n t a r a | 144 Editor Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter Kontributor Kantor Perwakilan Wilayah I Sulawesi, Maluku & Papua Kantor Perwakilan Wilayah II Kalimantan Kantor Perwakilan Wilayah III Bali & Nusa Tenggara Kantor Perwakilan Wilayah IV Jawa Bagian Timur Kantor Perwakilan Wilayah V Jawa Bagian Tengah Kantor Perwakilan Wilayah VI Jawa Bagian Barat Kantor Perwakilan Wilayah VII Sumatera Bagian Selatan Kantor Perwakilan Wilayah VIII Sumatera Bagian Tengah Kantor Perwakilan Wilayah IX Sumatera Bagian Utara : Andree Breitner : One Yusril Fikar : Ikhsan Utama : Komalia Rahmayani Ribka Hanum Haryono Adela Putri Rizkia Grup Riset Ekonomi : Reza Anglingkusumo Harry Satriyo Hendharto Anita Pratiwi Anisha Wirasti Cahyaningrum Grup Asesmen Ekonomi : Prijono M. Cahyaningtyas Handri Adiwilaga Darius Tirtosuharto Shanty Noviantie Soraefi Oktafihani Nurul Pratiwi Andi Parenrengi Minda Putri Dwinanda : : : : : Wahyu Ari Wibowo Rifki Ismail Septine Wulandini Dythia Sendrata Reza Hidayat Ciptoning Suryo Condro Ragil Misas L a p o r a n N u s a n t a r a | 145 L a p o r a n N u s a n t a r a | 146