7 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Karsinoma Nasofaring 2.2.1 Anatomi

advertisement
7
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Karsinoma Nasofaring
2.2.1 Anatomi nasofaring
Nasofaring merupakan ruang berbentuk trapezoid dengan ukuran tinggi 4 cm,
lebar 4 cm dan anteroposterior 3 cm. Dinding anterior dibentuk oleh koana dan batas
posterior septum nasi. Lantai dibentuk oleh permukaan atas palatum mole. Bagian
atap dan dinding posterior dibentuk oleh permukaan yang melandai dibatasi oleh
sfenoid. Dinding lateral terdapat muara tuba Eustachius. Dinding nasofaring diliputi
oleh mukosa dengan banyak lipatan atau kripta. Secara histologi mukosa nasofaring
dibentuk oleh epitel berlapis silindris bersilia (pseudostratified ciliated columnar
epithelium) yang ke arah orofaring akan berubah menjadi epitel gepeng berlapis
(stratified squamous epithelium). Di antara keduanya terdapat epitel peralihan
(transitional epithelium) yang terutama didapatkan pada dinding lateral di daerah fosa
Rosenmuller (Brennan, 2006).
Nasofaring memiliki pleksus limfatik submukosa yang banyak. Daerah
drainase urutan pertama adalah nodul retrofaringeal yang terdapat di ruang
retrofaringeal di antara dinding posterior nasofaring, fasia faringobasilar dan fasia
prevertebral. Sistem limfatik kemudian bermuara ke cincin juguler interna profunda
bagian atas pada dasar tengkorak di dalam ruang parafaring retrostyloid di ujung atas
otot sternokleidomastoid. Kemudian sistem limfatik bermuara ke posterior daerah
7
8
syaraf aksesorius dan bagian depan ke kelompok jugulodigastrik. Nasofaring adalah
struktur yang terletak di garis tengah tubuh, kaya akan pembuluh limfe dengan muara
yang bersilangan sehingga penyebaran sel tumor bilateral dan kontralateral tidak
jarang dijumpai (Bailey dkk., 2006). Anatomi nasofaring disajikan pada Gambar 2.1.
Gambar 2. 1 Anatomi Nasofaring
(dikutip dari Bailey dkk., 2006)
2.2.2 Epidemiologi
Karsinoma nasofaring (KNF) adalah tumor ganas yang berasal dari sel epitel
yang melapisi nasofaring, tidak termasuk tumor kelenjar atau limfoma. Angka
kejadian karsinoma nasofaring cukup tinggi tergantung dari letak geografinya.
Daerah endemik karsinoma nasofaring adalah daerah dengan populasi resiko tinggi,
terutama di daerah Cina Selatan dan Asia Tenggara, India Barat Daya, Afrika Utara,
Eskimo dan Alaska. KNF merupakan kanker yang sering terjadi di Indonesia dan
menempati peringkat ke empat setelah kanker leher rahim, kanker payudara, kanker
9
kulit dan merupakan kanker yang paling sering terjadi di bagian kepala leher.
Penyakit ini 100% terkait dengan EBV, terutama tipe undifferentiated carcinoma.
Hampir 60% tumor ganas kepala dan leher adalah KNF, kemudian diikuti oleh tumor
ganas hidung dan sinus paranasal (18%), laring (16%), tumor ganas rongga mulut,
tonsil, tiroid dan hipofaring dalam prosentase yang lebih rendah (Roezin dan Adham,
2007). Berdasarkan data resmi yang dikeluarkan Departemen Kesehatan, angka
kejadian KNF di Indonesia adalah 4,7 per 100.000 penduduk. (Roezin dan Adham,
2007). Dari data profil karsinoma nasofaring di Rumah Sakit Hasanudin Makasar,
periode Januari 2000 sampai Juni 2001 didapatkan 33% dari keganasan di bidang
THT-KL adalah karsinoma nasofaring. Di RSUP H. Adam Malik Medan pada tahun
2002-2007 ditemukan 684 penderita karsinoma nasofaring (Lutan dkk., 2003).
Berdasarkan data Internasional Agency for Research on Cancer (IARC) pada
tahun 2002 ditemukan sekitar 80.000 kasus baru karsinoma nasofaring di seluruh
dunia dan sekitar 50.000 atau sekitar 40% dari kasus yang meninggal berasal dari
Cina (Chang dan Adam, 2006). Penderita KNF dapat terjadi pada semua umur, ratarata penderita karsinoma nasofaring berumur 45-55 tahun dengan 23,3 kasus/100.000
laki-laki dan 8,9 kasus/100.000 perempuan. Rasio laki-laki : perempuan yaitu 2-3:1
(Jeon dkk., 2005).
Di negara barat (Amerika dan Eropa) kejadian KNF termasuk jarang dengan
angka kejadian sekitar 0,5/100.000 penduduk, dengan angka 1-2% dari seluruh
kanker kepala dan leher. Di Cina Selatan dan Hongkong penyakit ini endemik dengan
angka kejadian meningkat hingga 50/100.000 penduduk (Chan dan Felip, 2009).
10
Secara umum KNF ditemukan pada populasi yang lebih muda daripada kanker
kepala dan leher di tempat lain. Pada daerah endemik insiden meningkat sejak usia 20
tahun dan mencapai puncak pada dekade IV dan dekade V (Chan dan Felip, 2009).
Pada daerah resiko rendah usia terbanyak pada dekade V dan dekade VI tapi masih
terdapat angka kejadian yang signifikan pada usia di bawah 30 tahun, dengan puncak
awalnya antara usia 15-25 tahun. KNF lebih sering dijumpai pada pria daripada
wanita dengan perbandingan pria dan wanita 3 : 1 (Marur dan Forastiere, 2008). Di
Indonesia perbandingan penderita laki-laki dan perempuan berkisar antara 2-3
berbanding 1, dengan frekuensi terbanyak pada umur 40-60 tahun. Hasil penelitian di
dalam maupun luar negeri melaporkan bahwa sebagian besar penderita (69-96%)
datang berobat ke rumah sakit sudah dalam keadaan stadium lanjut atau stadium III
dan IV (Widiastuti dkk., 2011).
2.2.3 Etiologi
Sampai saat ini penyebab pasti karsinoma nasofaring masih belum jelas. Secara
umum etiologi karsinoma nasofaring merupakan hasil interaksi kondisi genetik yang
susceptible, bahan karsinogenik yang ada di lingkungan atau environmental
carcinogen dan adanya infeksi EBV (Chan dan Felip, 2009). Penelitian Her (2001),
menyatakan sedikitnya ada 3 faktor etiologi yaitu: infeksi EBV, kerentanan genetik
dan faktor lingkungan yang berperan dalam tingginya kejadian KNF di Cina. Etiologi
dari KNF dapat dibagi menjadi faktor ekstrinsik dan faktor intrinsik.
11
Faktor ekstrinsik:
a. Infeksi Virus Epstein-Barr
KNF dianggap memiliki hubungan erat dengan EBV. Terutama antibodi IgA
terhadap EBV dan DNA EBV dalam kadar yang tinggi pada serum penderita KNF.
Dari berbagai jenis KNF hanya tipe undifferentiated yang memiliki hubungan
imunohistologis dengan EBV. Tidak jelas bagaimana DNA virus berhubungan
dengan karsinoma sel epitel dan kapan sel epitel terinfeksi dengan EBV, apakah
sebelum atau sesudahnya berubah menjadi keganasan atau sebagai akibat rusaknya
sistem pertahanan tubuh. EBV mampu merubah limfosit B namun tidak cukup bukti
yang menyatakan bahwa dapat merubah sel epitel. EBV sendiri tidak bereplikasi di
dalam sel tumor karsinoma nasofaring dan antigen virusnya tidak diekspresikan pada
tumor ini (Cho, 2007; Jeyakumar dkk., 2006).
b. Faktor lingkungan dan kebiasaan hidup
Ikan yang diasinkan dianggap sebagai faktor etiologi penting pada populasi Cina
bagian selatan. Ikan laut yang diasinkan mengandung sejumlah nitrosamine volatile
terutama N-nitrosodimethylamine dan N-nitroso-diethylamine. Zat ini diketahui
merangsang karsinoma sel skuamosa dan adenokarsinoma pada rongga hidung dan
paranasal dari beberapa penelitian terhadap hewan (Cho, 2007). Penelitian Chew
(2003), menghubungkan kejadian KNF dengan pola hidup, faktor makanan dan
pengaruh lingkungan sekitarnya di Hongkong dan Cina menunjukkan adanya
hubungan yang erat terutama dengan konsumsi ikan yang diasinkan pada usia dini.
12
Sejumlah faktor inhalasi dari lingkungan telah dilaporkan berhubungan dengan
KNF. Dilaporkan juga adanya hubungan positif antara penggunaan bahan bakar fosil
untuk memasak dan KNF. Di Kenya kejadian KNF cukup tinggi, di mana penduduk
yang tinggal di rumah dengan ventilasi yang buruk di mana asap dan uap hasil
memasak tidak dapat keluar dari atap yang sangat tertutup rapat. Orang merokok
selama 10 tahun atau lebih memiliki resiko tinggi terhadap KNF (Kumar, 2003).
Faktor intrinsik:
Genetik
Ras mongoloid terutama bagian selatan merupakan faktor dominan timbulnya
KNF, sehingga kekerapan cukup tinggi pada penduduk Cina bagian selatan,
Hongkong, Vietnam, Thailand, Malaysia, Singapura dan Indonesia (Dewi dkk.,
2012). Pasien dengan KNF pada populasi Cina berasal dari sub populasi dengan
genetik yang khas. Sampai saat ini HLA adalah satu-satunya sistem genetik yang
memiliki hubungan erat dengan kanker ini. Lokus HLA yang terlibat pada KNF
adalah lokus HLA-A dan DR yang terdapat pada rantai pendek kromosom 6 (Cho,
2007).
2.2.4 Gejala dan tanda klinis
Pasien KNF jarang ditemukan asimptomatik. Kebanyakan pasien memiliki
berbagai gejala yang onsetnya berbeda-beda dan kadang tidak diperhatikan oleh
pasien (Chew, 2003). Gejala klinis dari penderita KNF berhubungan dengan lokasi
13
tumor primer dan perluasannya. Secara umum dapat dibagi menjadi empat kelompok
gejala, antara lain gejala nasofaring, gejala telinga, gejala mata serta gejala metastasis
atau gejala leher. Adanya kecurigaan tumor ganas nasofaring harus dipikirkan apabila
dijumpai trias gejala sebagai berikut: 1) tumor leher, gejala telinga dan gejala hidung,
2) gejala intrakranial, gejala telinga dan gejala hidung, 3) tumor leher, gejala
intrakranial dan gejala hidung (Gourzones dkk., 2013). KNF sering muncul pertama
kali di fosa Rosenmuller dekat dengan muara tuba Eustachius, sehingga gejala-gejala
awal berupa keluhan di telinga seperti rasa penuh, berdenging, kadang-kadang
disertai penurunan pendengaran. Gejala ini disebabkan oleh karena oklusi muara tuba
Eustachius oleh masa tumor. Gejala hidung dapat berupa pilek-pilek, hidung buntu
dan ingus bercampur darah. Gejala di mata berupa pandangan kabur atau diplopia
(Chew, 2003).
Metastasis tumor ke kelenjar getah bening leher regional sering terjadi, yaitu
sekitar 65%-80%. Pembesaran kelenjar getah bening servikal merupakan gejala
pertama yang timbul pada penderita KNF. Kelenjar limfe retrofaringeal lateral
(rouviere nodes) merupakan filter kelenjar yang pertama, namun tidak dapat
dipalpasi. Kelenjar yang paling sering pertama kali dapat dipalpasi adalah kelenjar
jugulodigastrik dan atau apikal di bawah sternomastoid. Metastase kelenjar limfe
bilateral dan kontralateral sering dijumpai. Selanjutnya sel-sel kanker dapat ikut
mengalir bersama aliran getah bening dan mengadakan metastase jauh mengenai
organ tubuh yang lain seperti tulang, hati dan paru (Chew, 2003).
14
Gejala lanjut karsinoma nasofaring terjadi akibat perluasan tumor ke jaringan
sekitarnya. Tumor dapat meluas ke arah superior menuju ke intrakranial dan menjalar
sepanjang fosa kranii media. Sel tumor biasanya masuk ke rongga tengkorak melalui
foramen laserum dan menimbulkan lesi pada kelompok saraf kranialis anterior (saraf
kranialis III, IV dan VI). Perluasan tumor ke arah anterior menuju rongga hidung,
sinus paranasalis, fosa pterigopalatina sampai orbita, sehingga terjadi lesi pada saraf
kranialis I dan II. Tumor yang besar dapat mendesak palatum mole, menimbulkan
obstruksi saluran nafas atas dan saluran makanan. Perluasan tumor ke arah
posterolateral menuju ruang parafaring dan fosa pterigopalatina yang kemudian
masuk ke foramen jugularis sehingga menimbulkan kerusakan saraf kranialis
posterior (saraf kranialis IX, X, XI dan XII) serta nervus simpatikus servikalis yang
berjalan menuju fisura orbitalis. Perluasan tumor ke arah inferior menuju rongga
mulut atau regio retrotonsil dapat menimbulkan sumbatan saluran nafas dan saluran
makanan (Chew, 2003; Jeyakumar dkk., 2006).
Setiap gejala mempunyai nilai dalam mendiagnosis KNF. Bila jumlah nilai 50,
diagnosis KNF dapat ditegakkan. Walaupun terbukti KNF secara klinis, biopsi
nasofaring mutlak dilakukan untuk konfirmasi diagnosis histopatologi dan
menentukan subtipe histopatologi yang erat hubungannya dengan pengobatan dan
prognosis (Chew, 2003). Untuk nilai mendiagnosis KNF ditunjukkan pada Tabel 1.
Digby score,
15
GEJALA
NILAI
Massa terlihat di nasofarinh
25
Limfadenopati Leher
25
Gejala di hidung seperti epistaksis dan hidung buntu
15
Gejala
15
telinga
seperti
tinitus
dan
penurunan
pendengaran
Sakit Kepala unilateral atau bilateral
5
Gangguan neurologi
5
Eksoftalmus
5
Dikutip dari Chew,2003
2.2.5 Histopatologi dan stadium
WHO menetapkan KNF sebagai kanker yang berasal dari sel skuamous dan
dibedakan menjadi 3 tip
1) WHO tipe I: keratinizing squamous cell carcinoma, menunjukkan
differensiasi skuamosa dengan adanya jembatan interseluler dan atau
keratinisasi di atasnya.
2) WHO tipe II: differentiated non keratinizing carcinoma, sel tumor
menunjukkan diferensiasi dengan rangkaian maturasi yang terjadi di dalam
sel, terdiri dari sel-sel yang bervariasi mulai dari sel matur sampai anaplastik
dan hanya sedikit sekali membuat keratin atau tidak sama sekali.
16
3) WHO tipe III: Undifferentiated carcinoma, mempunyai gambaran patologi
yang sangat heterogen. Sel ganas memiliki inti bulat sampai oval dan
vesikuler, batas sel yang tidak jelas, dapat ditemukan sel ganas berbentuk
spindle dengan inti hiperkromatik.
Tumor tipe 2 dan tipe 3 lebih radiosensitif dan memiliki hubungan yang kuat dengan
virus Epstein-Barr (Chan dan Felip, 2009).
Penentuan stadium dilakukan berdasarkan klasifikasi TNM dalam AJCC
(American Joint Committee on Cancer) tahun 2008 sebagai berikut: (Deschler dan
Day, 2008)
T
= Tumor primer
Tx
: Tumor primer tidak dapat ditentukan
T0
: Tidak ditemukan adanya tumor primer
Tis
: Karsinoma insitu
T1
: Tumor terbatas di nasofaring atau tumor meluas ke orofaring dan atau kavum
nasi tanpa perluasan ke parafaring.
T2
: Tumor meluas sampai pada jaringan lunak
T2a: Tumor meluas sampai daerah orofaring dan atau rongga hidung tanpa
Perluasan ke parafaring
T2b: Dengan perluasan ke parafaring
T3
: Tumor melibatkan struktur tulang dasar tengkorak dan atau sinus paranasal.
T4
: Tumor dengan perluasan intrakranial dan atau terlibatnya saraf kranial,
17
hipofaring, orbita atau dengan perluasan ke fossa infratemporal atau ruang
mastikator.
N
= Pembesaran kelenjar getah bening regional
Nx
: Pembesaran kelenjar getah bening regional tidak dapat ditentukan
N0
: Tidak ada pembesaran kelenjar getah bening regional
N1
: Metastasis kelenjar getah bening leher unilateral dengan diameter terbesar
6 cm atau kurang, diatas fossa supraklavikula dan atau unilateral atau bilateral
kelenjar getah bening retrofaring dengan diameter terbesar 6 cm atau kurang.
N2
: Metastase kelenjar getah bening bilateral dengan diameter terbesar 6 cm atau
kurang, di atas fossa supraklavikula.
N3
: Metastasis pada kelenjar getah bening di atas 6 cm dan atau pada
supraklavikula
N3a: Ukuran kelenjar getah bening > 6 cm
N3b: Kelenjar getah bening meluas ke fossa supraklavikula
M
= Metastase jauh
Mx
: Adanya metastasis jauh tidak dapat ditentukan
M0
: Tidak ada metastasis jauh
M1
: Terdapat metastasis jauh
Stadium klinik
Stadium 0
: Tis N0 M0
18
Stadium I
: T1 N0 M0
Stadium IIA
: T2a N0 M0
Stadium IIB
: T1 N1 M0
T2a N1 M0
T2b N0, N1 M0
Stadium III
: T1 N2 M0
T2a, T2b N2 M0
T3 N0, N1, N2 M0
Stadium IVA : T4 N0, N1, N2 M0
Stadium IVB : Semua T N3 M0
Stadium IVC : Semua T semua N M1
2.2.6 Diagnosis
Diagnosis KNF ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan klinis,
radiologis dan histopatologi. Pemeriksaan histopatologi biopsi nasofaring merupakan
gold standard untuk penegakan diagnosis. Pemeriksaan radiologi diperlukan untuk
mendapatkan informasi adanya tumor nasofaring, perluasan tumor ke jaringan
sekitarnya dan adanya destruksi tulang dasar tengkorak. Untuk memperoleh
gambaran lesi yang lebih jelas, dapat dilakukan pemeriksaan tomogram atau
computed tomography scaning (CT-Scan) dengan kontras maupun magnetic
resonance imaging (MRI) (Jeyakumar dkk., 2006; Nakayana dkk., 2011).
19
CT-Scan dapat menunjukkan perluasan jaringan lunak di daerah nasofaring dan
ke arah lateral menuju ruang paranasofaring. CT-Scan sensitif untuk mendeteksi erosi
tulang, terutama dasar tengkorak. Perluasan tumor ke intrakranial melalui foramen
ovale dengan penyebaran perineural juga dapat di deteksi, yang merupakan bukti
keterlibatan sinus kavernosus tanpa erosi dasar tengkorak (Chew, 2003; Nakayana
dkk., 2011).
MRI lebih baik dari pada CT-Scan dalam membedakan tumor dengan inflamasi
jaringan lunak. MRI juga lebih sensitif dalam mengevaluasi metastasis kelenjar
retrofaringeal dan leher dalam. MRI dapat mendeteksi infiltrasi sumsum tulang oleh
tumor, di mana CT-Scan tidak dapat mendeteksi infiltrasi ini kecuali disertai erosi
tulang. Penting untuk mendeteksi infiltrasi sumsum tulang ini karena berhubungan
dengan peningkatan resiko metastasis jauh (Chew. 2003; Nakayana dkk., 2011).
Dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran, diagnosis
karsinoma nasofaring sangat ditunjang dengan beberapa pemeriksaan tambahan yaitu;
pemeriksaan serologi, pulasan imunohistokimia, hibridisasi in situ, polymerase chain
reaction (PCR) dan Southern blotting (Gourzones dkk., 2013; Marur dan Forastiere,
2008).
2.2.7 Penatalaksanaan dan prognosis
Radioterapi masih tetap merupakan modalitas terapi utama untuk KNF.
Radioterapi sebagai gold standard untuk KNF sudah dimulai sejak lama. Hasil
radioterapi untuk KNF stadium dini sebenarnya cukup baik, respon lengkap sekitar
20
80% sampai 100%, sedangkan untuk KNF stadium lanjut respon radioterapi menurun
tajam dengan angka ketahanan hidup 5 tahun yang kurang dari 40%. Hasil radioterapi
pada stadium lanjut didapatkan kurang memuaskan sehingga para ahli berupaya
mencari cara untuk meningkatkan kontrol lokoregional dan sistemik, sekaligus
meningkatkan survival rate (Brenan, 2006; Marur dan Forastiere, 2008).
KNF merupakan salah satu keganasan yang responsif terhadap pemberian
kemoterapi. Pemberian kemoterapi pada KNF diindikasikan pada kasus penyebaran
ke kelenjar getah bening leher, metastasis jauh dan kasus-kasus residif. Pemberian
kemoterapi terutama diberikan pada KNF dengan penyakit lokoregional tingkat lanjut
dikombinasikan dengan radioterapi sangat bermanfaat dalam mengurangi resiko
metastasis jauh dan dapat meningkatkan kontrol lokal. Kemoterapi dapat diberikan
sebelum (neoadjuvant), selama (concurrent) atau setelah (adjuvant) pemberian
radioterapi (Brenan, 2006).
Sebanyak 70% pasien yang baru terdiagnosis KNF datang pada stadium III dan
IV, dengan penyakit lokal lanjut dan metastasis. Standar pengobatan adalah
radioterapi dikombinasikan dengan kemoterapi. Akhir-akhir ini dilaporkan beberapa
cara meningkatkan kontrol tumor pada KNF yaitu accelerated fractionation
radiotherapy, brakhiterapi, tiga dimensional radioterapi dan kombinasi kemoterapi
dengan radioterapi (Brenan, 2006).
Angka ketahanan hidup paling jelek terjadi pada gambaran histopatologi
keratinizing squamous cell carcinoma dibandingkan dengan gambaran histopatologi
yang lain. Kategori yang digunakan untuk menentukan prognosis suatu tumor adalah:
21
1) Adanya anaplasia dan atau pleomorfism. 2) Angka proliferasi sel yang tinggi,
dihitung dari jumlah mitosis atau dengan proliferasi yang dihubungkan dengan
petanda imunohistokimia. 3) Jumlah infiltrasi sel limfosit yang sedikit. 4) Tingginya
densitas dari S-100 protein yang hasilnya positif untuk sel-sel dendritik. 5) Dijumpai
pembuluh darah kecil. 6) Dijumpai ekspresi human epidermal reseptor protein-2
(King dkk., 2006).
2.3 Biologi Sel Kanker
Kanker adalah penyakit yang ditandai dengan pertumbuhan sel yang tidak
terkendali. Sel kanker memiliki kemampuan untuk menyerang jaringan biologis
lainnnya, baik dengan pertumbuhan langsung di jaringan yang bersebelahan (invasi)
atau dengan migrasi sel ke tempat yang jauh (metastase). Pertumbuhan yang tidak
terkendali tersebut disebabkan adanya kerusakan DNA, menyebabkan mutasi di gen
vital yang mengontrol pembelahan sel. Beberapa buah mutasi dibutuhkan untuk
mengubah sel normal menjadi sel kanker. Mutasi tersebut dapat terjadi secara spontan
ataupun diwariskan (Kumar dkk., 2010).
Suatu pertumbuhan normal diatur oleh kelompok gen, yaitu growth promoting
protooncogenes, growth inhibiting cancer supresor genes (antioncogenes) dan gen
yang berperan pada kematian sel terprogram (apoptosis). Selain ke tiga kelompok gen
tersebut, terdapat juga kelompok gen yang berperan pada DNA repair yang
berpengaruh pada proliferasi sel. Ketidakmampuan dalam memperbaiki DNA yang
rusak menyebabkan terjadinya mutasi pada genom dan menyebabkan terjadinya
22
keganasan. Proses karsinogenesis merupakan suatu proses multitahapan dan terjadi
baik secara fenotip dan genetik, seperti disajikan pada Gambar 2.2 (Kumar dkk.,
2010).
Gambar 2. 2 Skema sederhana dasar molekuler penyakit kanker
(dikutip dari Kumar dkk., 2010)
23
The six hallmark of cancer (6 karakter sel kanker) adalah enam perubahan
mendasar dalam fisiologi sel yang secara bersama-sama menentukan, fenotip
keganasan, yaitu (Barnes, 2002) :
1) Growth signal anatomy, sel normal memerlukan sinyal eksternal untuk
pertumbuhan dan pembelahannya, sedang sel kanker mampu memproduksi
growth factor dan growth receptor sendiri. Dalam proliferasinya sel kanker
tidak tergantung pada sinyal pertumbuhan normal. Mutasi yang dimiliki
memungkinkan sel kanker untuk memperpendek growth factor pathway.
2) Evasion Growth inhibitory signal, sel normal merespon sinyal penghambatan
pertumbuhan untuk mencapai homeostasis. Jadi ada waktu tertentu bagi sel
normal untuk proliferasi dan mencapai pendewasaan.
3) Evasion of Apoptosis Signal, pada sel normal kerusakan DNA akan dikurangi
jumlahnya dengan mekanisme apoptosis, bila ada kerusakan DNA yang tidak
bisa lagi direparasi. Sel kanker tidak memiliki kepekaan terhadap sinyal
apoptosis.
4) Unlimited
replicative
potential,
sel
normal
mengenal
dan
mampu
menghentikan pembelahan selnya bila sudah mencapai jumlah tertentu dan
mencapai pendewasaan.
5) Angiogenesis (formation of blood vessel), sel normal memiliki ketergantungan
terhadap pembuluh darah untuk mendapatkan oksigen dan nutrient yang
diperlukan untuk hidup. Namun bentuk dan karakter pembuluh darah sel
24
normal lebih sederhana atau konstan sampai dengan sel dewasa. Sel kanker
mampu menginduksi angiogenesis, yaitu pertumbuhan pembuluh darah baru
di sekitar jaringan kanker. Pembentukan pembuluh darah itu baru diperlukan
untuk survival sel kanker dan ekspansi ke bagian lain dari tubuh (metastasis).
6) Invasion and metastasis, sel normal memiliki kepatuhan untuk berpindah ke
lokasi lain di dalam tubuh. Perpindahan sel kanker dari lokasi primernya ke
lokasi sekunder atau tertiernya merupakan faktor utama adanya kematian yang
disebabkan karena kanker.
Gambar 2.3 Enam tanda utama kanker (The hallmarks of cancer)
(dikutip dari Barnes, 2002)
2.4 Epstein Barr Virus (EBV)
EBV merupakan Gamma Herpes Virus yang ditemukan pada tahun 1964 oleh
Michael Epstein dan Yvonne Barr. EBV menyebar ke seluruh infeksi primer dan
menetap sebagai infeksi latent maka ekspresi gen EBV terbatas, dan yang pasti hanya
25
terdapat LMP-2A yaitu suatu protein laten yang memberikan signal kehidupan dan
menginhibisi aktivitas sel B dan pintu masuk siklus litik. Ketika reaktif terjadi, litik
yang berat pada protein viral akan diekspresikan dengan aktivasi inhibisi mekanisme
immun. Termasuk interleukin 10 homolog yang menginhibisi co-stimulator antigen
presenting fungsi monosit, makrofag dan beberapa interferon yang mengurangi
pelepasan sitokin, interferon α dan β. Sebagai tambahan bcl-2 homolog prolog sel
dari survival untuk inhibisi apoptosis (Gourzones dkk., 2013).
Keganasan seperti KNF dapat muncul dari klon sel terinfeksi EBV setelah
terinfeksi beberapa tahun. Pada klonal, EBV dapat menetapkan derajat dari
perkembangan tumor. Genom EBV merupakan monoclonal yang alami dan
menunjukkan bahwa infeksi EBV pada KNF terjadi lebih dulu oleh ekspansi dari
klon yang malignansi, spesifik kesalahan dari imun, stimulasi proliferasi sel B oleh
infeksi lain dan abrasi genetik sekunder atau mutasi merupakan faktor tambahan dari
karsinogenesis (Jeon dkk., 2005)
Pada undifferentiated nasopharynx carcinoma, EBV menginfeksi sel epitel
nasofaring bagian posterior fossa Rosenmuller′s di Waldeyer ring. Walaupun
hubungan reseptor EBV pada sel epitel tidak tampak, tetapi permukaan protein
mengandung antigen yang dihubungkan dengan sel B. Reseptor CD21 dapat
diuraikan dan EBV banyak masuk ke sel nasofaring berupa IgA-mediated
endocytosis. EBV juga dapat dideteksi pada karsinoma in situ, suatu prekursor
undifferentiated nasopharyngeal carcinoma. Infeksi EBV dapat terjadi sebelum
neoplasma dan berkembang menjadi keganasan (Gourzones dkk., 2013).
26
2.5 Cyclooxygenase-2 (COX-2)
Cyclooxygenase (COX) merupakan enzim pada jalur biosintetik dari
prostaglandin (PG), Tromboxan dan Prostacycline dari Arachidonic Acid (AA).
Enzim ini pertama kali ditemukan pada tahun 1988 oleh Dr.Daniel Simmons seorang
peneliti dari Harvard University (Kim dkk., 2004).
Gambar 2.4 Jalur Cyclooxygenase (dikutip dari Kim dkk.,2004)
Terdapat
dua
bentuk
COX,
yaitu
cyclooxygenase-1
(COX-1)
dan
cyclooxygenase-2 (COX-2). COX-1 berfungsi sebagai housekeeping pada hampir
semua jaringan normal. Enzim COX-2 merupakan bentuk yang dapat terinduksi.
Bentuk PG yang berasal dari aktivitas COX-1 memfasilitasi berbagai proses fisiologi,
sedangkan COX-2 sangat mudah terinduksi oleh berbagai proses inflamasi, faktor
pertumbuhan dan promotor tumor lainnya (Dewi dkk., 2012).
27
COX-2 adalah enzim yang dapat diinduksi dalam makrofag, bertanggung jawab
untuk pengeluaran produksi prostaglandin (PG) yang tinggi selama inflamasi dan
respon imun. COX-2 adalah enzim yang dapat meningkatkan respon untuk
merangsang faktor pertumbuhan, peningkatan kadarnya banyak ditemukan dalam
beberapa progressivity human carcinoma (Widiastuti dkk., 2011).
Inflamasi merupakan sebuah reaksi yang kompleks dari sistem imun tubuh pada
jaringan vaskuler yang menyebabkan akumulasi dan aktivasi leukosit serta protein
plasma yang terjadi pada saat infeksi, keracunan maupun kerusakan sel. Terjadinya
proses inflamasi diinisiasi oleh perubahan di dalam pembuluh darah yang
meningkatkan rekrutmen leukosit dan perpindahan cairan serta protein plasma di
dalam jaringan (Dewi dkk, 2012).
Peningkatan level COX-2 telah ditemukan pada berbagai lesi premalignant dan
kanker epitel. Peningkatan ekspresi COX-2 telah dilaporkan pada berbagai macam
tumor, seperti kanker kolon, kanker paru, kanker payudara, kanker lambung, kanker
esophagus dan kanker kepala leher yang menunjukkan bahwa COX-2 mungkin
terlibat dalam proses karsinogenesis. Peningkatan regulasi COX-2 pada sel kanker
juga dihubungkan dengan peningkatan angiogenesis dan metastasis (Hasibuan dkk.,
2014). Ekspresi seluler COX-2 meningkat di atas normal pada stadium awal
karsinogenesis dan melalui perkembangan tumor serta pertumbuhan invasif tumor.
PG yang berasal dari COX-2 berperan dalam karsinogenesis, inflamasi, supresi
respon imun, inhibisi apoptosis, angiogenesis, invasi sel tumor dan metastasis (Tan
dan Putti, 2005).
28
2.5.1 Biologi cyclooxygenase-2 (COX-2)
Cyclooxygenase (COX) merupakan bagian integral dari membran terutama
membran mikrosomal. Melalui pemeriksaan mikroskop fluorescence dan teknik
pewarnaaan histofluoresence menunjukkan bahwa gambaran Cyclooxygenase-1
(COX-1) dan Cyclooxygenase-2 (COX-2) berlokasi pada retikulum endoplasma dan
membran inti, COX-2 konsentrasinya lebih tinggi pada membran inti (Choy dan
Milas, 2003).
Dengan berkembangnya ilmu kedokteran, ditemukan 3 family Cyclooxygenase
(COX), yaitu COX-1, COX-2 dan yang terbaru adalah Cyclooxygenase-3 yang
memiliki kesamaan aktivitas enzimatik tetapi memiliki fungsi dan pola ekspresi yang
berbeda. COX-1 dan COX-2 merupakan produk dari 2 gen yang berbeda, COX-1
pada manusia berlokasi pada kromosom 9 dan COX-2 pada kromosom 1. COX-1
terekspresi pada mukosa gastrointestinal, ginjal, platelet, endotel pembuluh darah dan
memelihara fungsi fisiologis jaringan ini. COX-2 terdapat sedikit sekali pada jaringan
yang normal dan meskipun waktu aktifnya singkat sebagai intermediate-early respon
gen yang akan meningkatkan ekspresi 20 kali lipat terhadap faktor pertumbuhan,
tumor promotor dan onkogenik mutasi sedangkan COX-3 banyak ditemukan pada
korteks serebri dan jantung (Huang dkk., 2010).
29
2.5.2 Cyclooxygenase, prostaglandin dan kanker
Famili COX adalah enzim yang terdiri dari dua anggota, COX-1 adalah enzim
yang terekspresi di banyak organ dan COX-2 hanya terekspresi pada jaringan tertentu
saja. Di mana ekspresinya meningkat oleh sejumlah rangsangan, faktor pertumbuhan
dan onkogen (Hasibuan dkk., 2014).
Ke dua enzim COX mengkatalisis asam arakidonat menjadi prostaglandin G2
(PGG2) dan sesudah itu menjadi prostaglandin H2 (PGH2), yang berperan sebagai
subtsrat untuk isomerisasi multipel yang secara sendirinya berespon untuk generasi
yang menghasilkan eikosanoid, termasuk PGE2, PGI2 dan TXA2. Di dalam sel-sel
epitel PGE2 akan menekan apoptosis dengan meningkatkan ekspresi BCL-2 dan juga
meningkatkan ekspresi Mitogen-Activated Protein Kinase (MAPK) yang dapat
meningkatkan migrasi sel atau lebih invasif dan mengaktivasi Epidermal Growth
Factor Reseptor (EGFR). Selanjutnya, COX-2 akan menginduksi angiogenesis,
sehingga memiliki kemampuan untuk tumbuh dan bermetastasis (Kim dkk., 2004;
Loong dkk., 2009).
Beberapa studi terbaru menunjukkan bahwa level enzim COX-2 meningkat pada
beberapa kanker, seperti karsinoma kolorektal, karsinoma kepala dan leher serta
kanker paru-paru dan payudara. Ekspresi COX-2 dapat dilihat dari level intensitas
pewarnaan COX-2 dengan imunohistokimia. Faktor yang kemungkinan berperan
dalam peningkatan ekspresi COX-2 adalah faktor pertumbuhan, mediator inflamasi,
agen perusak DNA dan agen oksidasi. Angiogenesis merupakan proses yang
diperlukan untuk menstabilkan koloni tumor yang baru terbentuk dan untuk
30
menyokong pertumbuhan massa tumor (Hasibuan dkk., 2014). COX-2 secara
konsisten terekspresi dalam pembentukan pembuluh darah baru dalam tumor. Efek
proangionik dari COX-2 dapat meningkatkan ekspresi dari Vascular Endothelial
Growth Factor (VEGF) (Huang dkk., 2010; Loong dkk., 2009).
Selain peranannya dalam karsinogenesis, peningkatan ekspresi COX-2 juga
dihubungkan dengan perkembangan kanker pada manusia. Sel tumor serta komponen
seluler stroma tumor (seperti infiltrasi makrofag, limfosit, fibroblas dan sel endotel)
menghasilkan COX-2, yang akan meningkatkan produksi beberapa macam
prostaglandin. Namun matriks ekstraseluler tumor, sel stromal pada tumor juga
berperan penting terhadap progresi dari tumor (Choy dan Milas, 2003).
2.5.3 Peranan COX-2 terhadap Apoptosis dan dalam Memicu
Angiogenesis
Apotosis pada sel normal bertujuan untuk mencegah proliferasi yang tidak
terkontrol dengan mengeleminasi sel-sel yang mengalami senescent atau mengalami
kerusakan molekuler. Fungsi terutama pada sel-sel epitel yang terus mengalami
pembaharuan melalui siklus proliferasi sel, kemudian mengalami diferensiasi akhir,
senescent dan akhirnya mati (Sobolewski dkk., 2010).
Terganggunya mekanisme apoptosis menyebabkan sel-sel tumor memiliki waktu
survive lebih lama dan terjadi akumulasi genetic error. Terjadinya gangguan pada
program kematian sel juga berkontribusi terhadap resistensi terhadap terapi. Sejumlah
31
studi menyatakan bahwa COX-2 merupakan faktor yang penting terhadap
terganggunya mekanisme apoptosis (Kim dkk., 2004).
Sedangkan angiogenesis merupakan proses yang diperlukan untuk menstabilkan
koloni tumor yang baru terbentuk dan untuk menyokong pertumbuhan massa tumor.
COX-2 dan PG merupakan faktor potensial yang penting pada angiogenesis tumor, di
mana COX-2 secara konsisten terekspresi dalam pembentukan pembuluh darah baru
dalam tumor dan pembuluh darah di sekitar tumor (Huang dkk., 2010; Kim dkk.,
2004).
2.5.4 Peranan COX-2 terhadap Invasi Sel Kanker
Pada mekanisme terjadinya kanker akan melalui empat fase yaitu, fase induksi,
fase in situ, fase invasi serta fase disseminasi. Pada fase invasi sel-sel telah menjadi
ganas dan berkembang dengan cepat serta menginfiltrasi melewati membrane sel
kejaringan sekitarnya dan pembuluh darah serta pembuluh limfe. Dari percobaan
binatang diketahui ada beberapa faktor yang mempengaruhi proses invasi sel-sel
tumor ganas tersebut yaitu, penambahan tekanan di dalam tumor akibat pembelahan
sel-sel yang aktif, bertambahnya gerakan amoeboid dari sel-sel tersebut,
berkurangnya daya kohesi antar sel, mungkin ada hubungan dengan berkurangnya ion
kalsium atau perubahan muatan listrik dari membran sel, meluasnya bahan-bahan
yang lisis oleh karena sel-sel kanker tersebut dan hilangnya jembatan interseluler
yang biasa ditemukan dalam sel-sel normal (Nurdiansah dkk., 2013).
32
Meskipun prinsip efek tumorigenik dari COX-2 termasuk memicu PGE2, COX-2
juga memiliki aktivasi peroksidase dan hasilnya dapat berpotensi terbentuknya
mutagen DNA pada jaringan yang berisiko. Tergantung dari lingkungan jaringannya,
karsinogen dapat terbentuk melalui aktivasi peroksidase dari COX-2 yang berasal
dari bermacam subtrat termasuk amin aromatik, amin heterosiklik, derivat
hidrokarbon polisiklik (Chen dkk., 2005; Widiastuti dkk., 2011).
2.5.5 Hubungan EBV dengan COX-2
Cyclooxygenase (COX) merupakan enzim pada biosintetik pathway dari
prostaglandin (PG) dan thromboxans dari asam arakidonat. COX-2 tertampil pada
beberapa
tumor
dan
dalam
perkembangannya
membuktikan
bahwa
akan
menyebabkan karsinogenesis. Telah dilaporkan terjadi perubahan metabolisme
xenobiotik, yang meningkatkan pertumbuhan tumor invasif, angiogenesis dan
menghambat apoptosis. COX-2 mensensitisasi Prostaglandin E2 (PGE2) untuk
menstimulasi BCL-2 dan inhibit apoptosis serta menyokong IL-6 untuk sintesis
haptoglobin. PGE2 dihubungkan dengan tumor metastasis, IL-6 dengan sel
karsinoma invasif sedangkan haptoglobin dengan implantasi dan angiogenesis (Chen
dkk., 2005; Kim dkk., 2004; Gallo dkk., 2001).
COX-2 mengandung bermacam-macam stimulasi seperti sitokin, faktor
pertumbuhan dan onkogen. Pada semua tumor, infeksi EBV merupakan laten yang
predominan. Gen EBV diekspresikan pada infeksi laten yang dibatasi 6 EBV Nuclear
Antigene dan 3 LMP. Pada tipe 2 latent merupakan EBNA-1 dan 3 LMP yang
33
diekspresikan pada KNF dan pada nasal T/Natural Kill Cell Lymphoma. LMP-1
dideteksi lebih 70% pada KNF dan semua infeksi EBV preinvasif lesi nasofaring.
(Nurdiansah dkk., 2013 ; Chua dkk., 2009).
Induksi COX-2 oleh LMP-1 menyokong untuk invasif angiogenesis dan LMP-1
menambah produksi prostaglandin E2 pada sel epitel nasofaring. COX merupakan
kunci enzim yang mengontrol rate-limiting step pada sintesis prostanoid dan sel
neoplasma, serta metabolisme yang diproduksi oleh aksi COX-2 pada asam
arakidonat menunjukkan benturan pada bermacam-macam pathway karsinogenik
(Hasibuan dkk., 2014; Sobolewski dkk., 2010). Menurut Choy dan Milas (2003),
ekspresi seluler COX-2 meningkat pada stadium awal dan melalui perkembangan
tumor serta pertumbuhan invasif dari KNF. Tan dan Putti (2005) dan Loong dkk
(2009), melakukan penelitian untuk menilai ekspresi COX-2 pada KNF.
Penelitiannya menunjukkan terdapat proporsi tinggi KNF yang mengekspresikan
COX-2 dan terdapat hubungan ekspresi COX-2 dan prognosis buruk pada stadium
lanjut KNF tipe undifferentiated carcinoma.
Pada KNF tipe undifferentiated carcinoma EBV menginfeksi sel epitel
nasofaring bagian posterior fossa Rosenmuller dan waldayer ring. Walaupun
hubungan reseptor EBV pada sel epitel tidak tampak, tetapi permukaan protein
mengandung antigen yang dihubungkan dengan sel B. Reseptor CD21 dapat
diuraikan dan EBV banyak masuk ke sel nasofaring berupa IgA mediated
endocytosis. Umumnya infeksi EBV di epitel premalignant nasofaring mendorong
34
ekspansi klonal dari perubahan sel nasofaring dan berubah menjadi sel malignant
(Dewi dkk., 2012).
Berdasarkan hal tersebut diatas diperkuat oleh teori karsinogenesis Kumar dkk.,
2010 yaitu:
1. Mutasi Somatik, yaitu perubahan urutan letak nukleotida dalam asam amino
rantai DNA yang menyebabkan perubahan kode genetik. Menghasilkan
produksi protein yang abnormal, sehingga regulasi pertumbuhan dan
diferensiasi sel terganggu, sel menjadi otonom dan lepas dari regulasi normal
dan dapat tumbuh tanpa batas.
2. Penyimpangan Diferensiasi Sel (Teori Epigenetik), terjadinya gangguan
sistem atau mekanisme regulasi gen seperti represif, depresi serta ekspresi
regulasi sehingga timbul gangguan pertumbuhan dan diferensiasi sel.
3. Aktivasi Virus yang masuk ke dalam inti sel dan berintegrasi dengan DNA
penderita serta mengubah fenotip sel dengan menyisipkan informasi baru atau
mengubah transkripsi dan tranlasi sel.
4. Seleksi Sel, pada tubuh manusia diperkirakan terdapat lebih dari 50.000 gen
dan masing-masing gen mempunyai fungsi tersendiri. Di dalam tubuh setiap
saat ada sel yang mati dan ada pula sel baru yang terbentuk melalui proses
mitosis.
Download