MENGEMBANGKAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN,

advertisement
MENGEMBANGKAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN DAN KOMUNIKASI
MATEMATIS SISWA SEKOLAH MENENGAH ATAS
MELALUI MODEL-ELICITING ACTIVITIES
Dr. Yanto Permana, M.Pd
(Widyaiswara Madya Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik
dan Tenaga Kependidikan Bidang Mesin dan Teknik Industri)
ABSTRAK
Penelitian ini merupakan suatu eksperimen berdisain kelompok kontrol pretespostes dengan tujuan menelaah pengaruh model-eliciting activities, kluster
sekolah, dan kemampuan awal matematika siswa terhadap pencapaian dan
perolehan kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis siswa. Subyek
penelitian sebanyak 219 siswa kelas X dari tiga SMA Negeri masing-masing dari
kluster rendah, menengah, dan tinggi di Cimahi. Instrumen penelitian terdiri dari
tes pemahaman dan tes komunikasi matematis. Analisis data menggunakan anova
dua jalur, uji Scheffe dan uji-t. Penelitian menemukan bahwa pembelajaran modeleliciting activities (MEAs) memberikan pengaruh terbesar dibandingkan kluster
sekolah, dan kemampuan awal matematika (KAM) siswa terhadap kemampuan
pemahaman dan komunikasi matematis. Selain itu, penelitian ini juga menemukan
bahwa tidak terdapat interaksi antara pendekatan pembelajaran dan kluster sekolah
dan antara pendekatan pembelajaran dan KAM terhadap pencapaian kemampuan
pemahaman dan komunikasi matematis. Terdapat asosiasi yang tinggi antara
kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis.
Kata-kata kunci: pendekatan model-eliciting activities, pemahaman matematis,
komunikasi matematis.
A. Latar Belakang Masalah
Kemampuan pemahaman dan komunikasi merupakan kemampuan yang esensial
untuk dikembangkan pada siswa sekolah menengah. Pentingnya pemilikan kedua
kemampuan matematis di atas termuat dalam tujuan Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP, 2006) Sekolah Menengah Atas antara lain: siswa memiliki
kemampuan memahami konsep matematika dan kemampuan mengkomunikasikan
gagasan atau idea matematika dengan menggunakan simbol, tabel, diagram, atau media
lain dalam pemecahan masalah.
KTSP 2006 menganjurkan agar pembelajaran matematika dimulai dengan
pengenalan masalah yang sesuai dengan situasi (contextual problem), kemudian secara
bertahap siswa dibimbing memahami konsep matematika secara komprehensif. Pada
dasarnya pencapaian pemahaman tersebut tidak sekedar untuk memenuhi tujuan
pembelajaran matematika saja namun diharapkan muncul efek iringan dari
pembelajaran tersebut. Efek iringan yang dimaksud antara lain adalah siswa lebih: (1)
memahami keterkaitan antar topik matematika; (2) menyadari akan penting dan
strategisnya matematika bagi bidang lain; (3) mamahami peranan matematika dalam
kehidupan manusia; (4) mampu berfikir logis, kritis dan sistematis; (5) kreatif dan
inovatif dalam mencari solusi ; dan (6) peduli pada lingkungan sekitarnya.
Berdasarkan karakteristiknya, matematika merupakan ilmu yang bernilai guna,
yang tercermin dalam peran matematika sebagai sebagai bahasa simbolik serta alat
1
2
komunikasi yang tangguh, singkat, padat, cermat, tepat, dan tidak memiliki makna
ganda (Wahyudin, 2003). Pernyataan tersebut menggambarkan komunikasi matematis
memegang peranan penting sebagai representasi pemahaman siswa terhadap konsep
matematika sendiri dan sebagai ilmu terapan bagi ilmu lainnya. Melalui komunikasi
matematis siswa saling bertukar ide dan mengklarifikasi pemahamannya. Proses
komunikasi tersebut membantu siswa membangun makna dan memperoleh suatu
generalisasi. Dalam upaya mengeksplor dan mengembangkan kemampuan komunikasi
matematis siswa, guru perlu menghadapkan siswa pada berbagai masalah kontekstual
serta memberi kesempatan kepada siswa untuk mengkomunikasikan gagasannya dan
mengkonsolidasi pemikirannya untuk memecahkan permasalahan yang ada.
Kondisi cara dan hasil belajar matematika siswa yang kurang memuaskan antara
lain dikemukakan oleh beberapa penulis (Abdi, 2004, Cockcroft, 1981, Mettes, 1979,
Rif’at, 2001, Ruseffendi, 1991, Sumarmo, 1993, 1994, Slettenhaar, 2000, Wahyudin,
1999). Misalnya, siswa belajar matematika hanya mencontoh dan mencatat
penyelesaian soal dari guru (Mettes, 1979), dan hanya diberi tahu guru dan tidak
mengeksplor sendiri (Ruseffendi, 1991), pembelajaran matematika kurang melibatkan
siswa belajar aktif, kurang menekankan pada pemahaman siswa dan siswa hanya
menerima penjelasan guru (Slettenhaar 2000, Sumarmo, 1993, 1994, Wahyudin,
1999). Menurut Rif’at (2001) kegiatan belajar seperti ini membuat siswa cenderung
rote learning atau belajar menghafal dan tanpa memahami atau tanpa mengerti apa
yang diajarkan oleh gurunya. Kesulitan siswa dalam belajar matematika diperkirakan
karena pendekatan pembelajaran yang kurang menarik dan membosankan bagi siswa,
dan kurang mengaitkan dengan pengetahuan awal siswa, dan kurang memberi
kesempatan siswa melakukan reinvention (Abdi 2004, Cockcroft, 1981, Jenning dan
Dunne, 1998) dan siswa kurang menguasai konsep-konsep dasar matematika
(Wahyudin, 1999).
Selain dari temuan yang belum memuaskan di atas, terdapat beberapa studi yang
mengimplementasikan pembelajaran inovatif memberikan temuan yang positif.
Beberapa studi tersebut di antaranya adalah kemampuan pemahaman dan koneksi
matematik siswa yang memperoleh pendekatan open-ended (Yaniawati, 2001),
kemampuan komunikasi matematik dan pandangan siswa yang memperoleh Survey,
Question, Review, Write (Sudrajat, 2002), dan kemampuan pemahaman dan pemecahan
masalah siswa yang memperoleh reciprocal teaching, probing and scaffolding
(Hendriana, 2002), dan kemampuan pemahaman dan penalaran matematik siswa yang
belajar dengan pendekatan IMPROVE (Rohaeti, 2004) semuanya lebih baik dari
kemampuan siswa pada kelas konvensional. Demikian pula Nindiasari (2004) dengan
menggunakan pendekatan metakognitif melaporkan keunggulan siswa tahap formal
dari siswa tahap konkret dalam kemampuan pemahaman dan penalaran matematik dari
kemampuan siswa pada kelas konvensional. Temuan lainnya di antaranya adalah:
kemampuan komunikasi dan penalaran matematik siswa yang mendapat pendekatan
berbasis masalah dalam kelompok kecil lebih baik dari kemampuan siswa kelas
konvensional (Afgani, 2004), dan kemampuan pemahaman dan komunikasi matematik
siswa melalui strategi Think Talk and Write (Ansyari, 2004), melalui strategi
transactional reading (Sukmadewi, 2004), dan melalui pendekatan Methaporical
Thinking (Hendriana 2009) lebih baik dari kemampuan siswa pada kelas konvensional.
Berhubungan dengan pembelajaran matematika, Lesh dan Doerr (2003)
mengajukan suatu pendekatan pembelajaran yang menekankan pada kemampuan
menghubungkan ide matematika dan fenomena nyata yang kemudian dinamakannya
model-eliciting activities. Model ini merupakan jembatan antara model dan interpretasi,
3
dan memberi peluang yang besar kepada siswa untuk mengeksploitasi pengetahuannya
dalam belajar matematika. Dengan menggunakan model-eliciting activities belajar
siswa menjadi bermakna karena ia dapat menghubungkan konsep yang dipelajarinya
dengan konsep yang sudah dikenalnya. Uraian di atas, melukiskan bahwa modeleliciting activities merupakan jembatan antara model dan interpretasi, memberikan
peluang yang besar kepada siswa untuk mengeksploitasi pengetahuannya dalam belajar
matematika. Dengan menggunakan model-eliciting activities belajar siswa menjadi
bermakna karena ia dapat melihat hubungan antara konsep yang dipelajarinya dengan
konsep yang dikenalnya. Hal ini diharapkan membuat siswa mengubah pandangannya
bahwa matematika sebagai pelajaran yang sulit dan siswa sebenarnya mampu
mempelajari matematika.
Uraian, temuan-temuan sejumlah studi dan analisis di atas memberikan dugaan
bahwa pendekatan model-eliciting activities seperti pendekatan inovatif lainnya yang
menekankan pada siswa belajar aktif akan memberikan hasil belajar siswa yang lebih
baik dari pada pembelajaran konvensional. Rasional tersebut mendorong peneliti untuk
melaksanakan suatu eksperimen yang mengimplementasikan pendekatan modeleliciting activities untuk mengembangkan kemampuan pemahaman dan komunikasi
matematis siswa SMA. Memperhatikan sifat matematika yang sistimatik sehingga
untuk mempelajari suatu konsep matematika memerlukan penguasaan materi dan
proses matematika sebelumnya, maka diperkirakan kemampuan awal matematika
siswa dan kluster sekolah yang juga menggambarkan kemampuan matematika siswa
sebelum pembelajaran akan memberikan peranan terhadap pencapaian kemampuan
pemahaman dan komunikasi matematiks siswa SMA
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang, rumusan masalah dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut :
1. Apakah pencapaian dan perolehan (gain) pemahaman matematis dan komunikasi
matematis, siswa yang memperoleh pembelajaran melalui pendekatan modeleliciting activities lebih baik daripada yang menggunakan pembelajaran
konvensional ditinjau dari siswa secara keseluruhan, tingkat kemampuan awal
matematika siswa dan kluster sekolah?
2. Apakah terdapat interaksi antara pendekatan pembelajaran dan kluster sekolah
terhadap kemampuan pemahaman matematis dan terhadap komunikasi matematis
siswa?
3. Apakah terdapat interaksi antara pendekatan pembelajaran dan tingkat kemampuan
awal matematika (KAM) terhadap kemampuan pemahaman matematis dan
terhadap komunikasi matematis siswa?
4 Apakah terdapat asosiasi antara kemampuan pemahaman dan kualitas kemampuan
komunikasi matematis siswa.
C. Hipotesis Penelitian
Sejalan dengan masalah penelitian yang diuraikan di atas, hipotesis
penelitiannya adalah:
1. Kemampuan pemahaman matematis dan komunikasi matematis, siswa yang
menggunakan pendekatan model-eliciting activities masing-masing lebih baik dari
kemampuan matematis siswa yang mendapat pembelajaran konvensional.
4
2. Perolehan (gain) kemampuan pemahaman matematis dan komunikasi matematis
siswa yang belajar melalui model-eliciting activities lebih baik dari pada gain siswa
yang mendapat pembelajaran konvensional.
3. Terdapat interaksi antara pendekatan pembelajaran dan kluster sekolah terhadap
kemampuan pemahaman matematis dan komunikasi matematis siswa.
4. Terdapat interaksi antara pendekatan pembelajaran dan tingkat kemampuan awal
matematika siswa terhadap kemampuan pemahaman matematis dan komunikasi
matematis siswa.
5. Terdapat asosiasi antara kemampuan pemahaman matematis siswa dengan
komunikasi matematisnya.
D. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen, dengan desain kelompok
kontrol pretes-postes. Desain penelitiannya sebagai berikut :
AO X O
AO
O
Keterangan:
A : Pemilihan sampel secara acak terhadap kelas
O : Tes kemampuan pemahaman matematis dan komunikasi matematis siswa
X : Pembelajaran dengan menggunakan pendekatan model-eliciting activities
Subyek penelitian ini adalah sebanyak 219 siswa kelas X dari tiga SMA Negeri
masing-masing dari kluster rendah, menengah, dan tinggi di Cimahi. Penentuan
sampel penelitian ini dilakukan dengan cara sebagai berikut. Dari tiap kluster SMA
(tinggi, menengah, dan rendah) yang ditetapkan Dinas pendidikan Kota Cimahi,
masing-masing diambil satu SMA secara acak, dan dari tiap SMA terpilih dipilih dua
kelas X secara acak dari kelas X yang ada, dan terakhir pada dua kelas yang terpilih
ditetapkan secara acak juga satu kelas kelas eksperimen dan lainnya sebagai kelas
kontrol.
Instrumen penelitian terdiri dari tes pemahaman dan tes komunikasi matematis
yang khusus disusun untuk penelitian ini. Penyusunan instrumen dan kelayakannya
berpedoman pada Arikunto (2005). Bahan ajar untuk pendekatan model-eliciting
activities disusun berdasarkan karakteristik pendekatan pembelajaran tersebut. Analisis
data menggunakan anova dua jalur, uji Scheffe dan uji-t dengan menggunakan bantuan
program microsoft excel 2007, MINITAB-15, dan SPSS versi 16.
Berikut ini disajikan sampel butir tes yang digunakan dalam penelitian ini.
1. Sampel butir tes pemahaman matematis
Sebuah bak berbentuk kubus ABCD.EFGH dengan panjang rusuk a cm.
a. Lukislah sudut antara BE dan AH. konsep apa yang digunakan? Kemudian
hitung besar sudut tersebut. Jelaskan!
b. Lukislah sudut antara garis AH dan bidang diagonal BDHF. konsep apa yang
digunakan? Kemudian hitung besar sudut tersebut. Jelaskan!
c. Lukislah sudut antara bidang ABCD dan bidang ACF, konsep apa yang di
gunakan? Kemudian tentukan nilai kosinus sudut tersebut. Jelaskan!
2. Sampel butir tes komunikasi matematis
Alia mengamati sebuah perlombaan perahu layar dari tepi sebuah mercusuar
setinggi 80 m. Dia sedang mengamati dua perahu layar milik Dodi dan Coki yang
segaris dengan kaki menara pada sudut depresi 30o dan 60o. Tepat di tempat Alia
berada, berdiri tegak sebuah tiang bendera yang titik ujungnya terlihat oleh Dodi
dengan sudut elevasi tertentu.
5
a. Gunakan diagram untuk menggambarkan posisi Dodi dan Coki pada saat itu,
kemudian tentukan jaraknya!
b. Cukupkah informasi di atas untuk menghitung panjang dari tiang bendera
tersebut? Jika ya, hitunglah panjangnya! Jika tidak, tambahkan informasi baru
kemudian hitunglah panjangnya!
E. Hasil Penelitian
1. Analisis Kemampuan Pemahaman Matematis
Deskripsi pencapaian dan perolehan (gain) kemampuan pemahaman matematis
berdasarkan pembelajaran, kluster sekolah dan kemampuan awal matematika siswa
(KAM) tersaji pada Tabel 1.
Tabel 1. Deskripsi Kemampuan Pemahaman Matematis berdasarkan Pendekatan
Pembelajaran, Kluster Sekolah, dan KAM
Kluster
Sekolah
KAM
Baik
Sedang
Tinggi
Kurang
Sub
Total
Baik
Sedang
Menengah
Kurang
Sub
Total
Baik
Sedang
Rendah
Kurang
Sub
Total
Baik
Sedang
Total
Kurang
Total
Skor ideal: 40
Tes
Awal
19,27
(0,90)
11,79
(1,85)
6,40
(1,52)
13,63
(4,99)
18,44
(1,24)
12,11
(2,94)
6,36
(1,03)
11,95
(4,87)
16,67
(0,58)
14,25
(1,00)
8,26
(1,82)
11,45
(3,58)
18,61
(1,31)
12,71
(2,38)
7,40
(1,80)
12,24
(4,54)
MEAs
Tes
Akhir
36,91
(1,58)
30,50
(2,07)
24,60
(2,79)
31,87
(4,85)
35,11
(2,26)
29,74
(1,37)
25,45
(1,75)
29,77
(3,86)
37,00
(1,00)
31,13
(2,25)
24,21
(2,27)
28,13
(4,77)
36,22
(1,98)
30,41
(1,95)
24,66
(2,21)
29,78
(4,68)
<g>
n
0,85
11
0,66
14
0,54
5
0,69
30
0,77
9
0,63
19
0,57
11
0,64
39
0,87
3
0,66
16
0,50
19
0,58
38
0,82
23
0,65
49
0,53
35
0,63
107
Tes
Awal
18,10
(1,45)
13,18
(2,27)
6,00
(1,41)
13,84
(4,25)
17,86
(1,21)
13,26
(2,16)
7,64
(1,28)
12,10
(4,08)
17,33
(0,58)
15,07
(1,59)
8,42
(2,81)
11,34
(4,25)
17,90
(1,25)
13,74
(2,18)
7,93
(2,37)
12,30
(4,27)
Konv
Tes
<g>
Akhir
31,8
0,63
(1,87)
26,47
0,50
(2,03)
21,75
0,46
(1,26)
27,58
0,53
(3,82)
31,86
0,63
(1,21)
27,79
0,54
(2,18)
21,57
0,43
(2,24)
26,32
0,51
(4,33)
32,33
0,66
(0,58)
29,07
0,56
(1,38)
21,46
0,41
(2,67)
24,85
0,47
(4,70)
31,9
0,63
(1,48)
27,7
0,53
(2,16)
21,52
0,42
(2,39)
26,13
0,50
(4,44)
n
10
17
4
31
7
19
14
40
3
14
24
41
20
50
42
112
6
a)
b)
c)
Berdasarkan data pada Tabel 1, diperoleh temuan sebagai berikut.
Secara keseluruhan pencapaian pemahaman matematis siswa kelas model-eliciting
activities (MEAs) tergolong cukup baik (29,78) dan lebih baik dari pemahaman
matematis siswa kelas konvensional (26,13) yang tergolong sedang. Demikian
pula gain pemahaman matematis siswa kelas MEAs (0,63) lebih tinggi dari gain
siswa pada kelas konvensional (0,50). Hasil serupa ditemukan pencapaian dan
gain pemahaman matematis siswa pada tiap kluster sekolah dan tiap level KAM
siswa kelas MEAs lebih tinggi dari
pencapaian dan gain siswa kelas
konvensional.
Pada kedua kelas (MEAs dan konvensional) makin tinggi kluster sekolah dan
makin tinggi KAM siswa ditemukan makin tinggi pula pencapaian dan gain
pemahaman matematis siswa. Keadaan tersebut menggambarkan bahwa kluster
sekolah dan KAM siswa berperan terhadap pencapaian dan gain pemahaman
matematis siswa.
Namun, siswa dari kluster sekolah rendah dan menengah yang belajar dengan
MEAs masing-masing mencapai pemahaman matematis yang lebih baik dari
pemahaman siswa dari kluster sekolah tinggi yang belajar dengan pendekatan
konvensional. Temuan tersebut menunjukkan bahwa peran pendekatan MEAs
lebih unggul dari peran kluster sekolah dalam pencapaian pamahaman matematis
siswa.
2. Analisis Kemampuan Komunikasi Matematis
Deskripsi pencapaian dan perolehan (gain) kemampuan komunikasi matematis
berdasarkan pembelajaran, kluster sekolah dan kemampuan awal matematika siswa
(KAM) tersaji pada Tabel 2.
Berdasarkan data pada Tabel 2, diperoleh temuan sebagai berikut.
a) Secara keseluruhan pencapaian komunikasi matematis siswa kelas model-eliciting
activities (MEAs) tergolong cukup baik (19,21 dari 30) dan lebih baik dari
komunikasi matematis siswa kelas konvensional (15,41 dari 30) yang tergolong
sedang. Demikian pula gain komunikasi matematis siswa kelas MEAs (0,51) lebih
tinggi dari gain komunikasi matematis siswa kelas konvensional (0,34). Hasil
serupa ditemukan pula pencapaian dan gain komunikasi matematik siswa pada
tiap kluster sekolah dan tiap level KAM siswa kelas MEAs lebih tinggi dari
pencapaian dan gain siswa kelas konvensional.
b) Pada kedua kelas (MEAs dan konvensional) makin tinggi kluster sekolah dan
makin tinggi KAM siswa ditemukan makin tinggi pula pencapaian dan gain
komunikasi matematis siswa. Keadaan tersebut menggambarkan bahwa kluster
sekolah dan KAM siswa berperan terhadap pencapaian dan gain komunikasi
matematis siswa.
c) Namun, siswa dari kluster sekolah rendah dan menengah yang belajar dengan
MEAs masing-masing mencapai komunikasi matematis yang lebih baik dari
komunikasi siswa dari kluster sekolah tinggi yang belajar dengan pendekatan
konvensional. Temuan tersebut menunjukkan bahwa peran pendekatan MEAs
lebih unggul dari peran kluster sekolah dalam pencapaian komunikasi matematis
siswa.
7
Tabel 2. Deskripsi Kemampuan Komunikasi Matematis berdasarkan Pendekatan
Pembelajaran, Kluster Sekolah, dan KAM
Kluster
Sekolah
KAM
Baik
Sedang
Tinggi
Kurang
Sub
Total
Baik
Sedang
Menengah
Kurang
Sub
Total
Baik
Sedang
Rendah
Kurang
Sub
Total
Baik
Sedang
Total
Kurang
Total
Tes
Awal
13,73
(0,47)
8,07
(1,98)
3,60
(0,55)
9,40
(3,95)
11,67
(1,12)
8,16
(1,86)
3,27
(0,79)
7,59
(3,40)
11,00
(0,00)
8,88
(0,72)
4,58
(2,22)
6,89
(2,90)
12,57
(1,38)
8,37
(1,63)
4,03
(1,79)
7,85
(3,52)
MEAs
Tes
Akhir
25,45
(2,30)
18,86
(1,88)
14,40
(1,34)
20,53
(4,55)
26,11
(1,96)
19,95
(2,41)
12,18
(1,78)
19,18
(5,50)
27,00
(0,00)
21,63
(2,00)
13,89
(3,14)
18,18
(5,22)
25,91
(2,02)
20,18
(2,37)
13,43
(2,67)
19,21
(5,19)
<g>
0,72
0,49
0,41
0,54
0,79
0,54
0,33
0,52
0,84
0,60
0,37
0,49
0,77
0,55
0,36
0,51
Tes
Awal
13,20
11
(0,92)
9,00
14
(2,52)
2,25
5
(0,50)
9,48
30
(3,92)
13,14
9
(0,38)
9,32
19
(1,83)
3,57
11
(1,40)
7,98
39
(3,85)
13,00
3
(1,00)
9,07
16
(1,14)
4,42
19
(1,61)
6,63
38
(3,17)
13,15
23
(0,75)
9,14
49
(1,92)
3,93
35
(1,60)
7,90
107
(3,78)
n
Konv
Tes
Akhir
23,10
(2,08)
15,29
(2,85)
9,00
(0,82)
17,00
(5,32)
24,43
(1,13)
16,74
(2,83)
9,86
(1,56)
15,68
(5,58)
24,33
(0,58)
19,21
(2,42)
9,58
(2,52)
13,95
(5,90)
23,75
(1,71)
16,94
(3,09)
9,62
(2,11)
15,41
(5,71)
<g>
n
0,59
10
0,30
17
0,24
4
0,37
31
0,67
7
0,36
19
0,24
14
0,35
40
0,67
3
0,48
14
0,20
24
0,31
41
0,63
20
0,37
50
0,22
42
0,34 112
SMI: 30
3. Analisis Interaksi antar Variabel
Hasil analisis interaksi antara pembelajaran dan kluster sekolah terhadap
pemahaman matematis siswa tersaji pada Tabel 3, dan interaksi antara pembelajaran
dan level KAM terhadap pemahaman matematis siswa tersaji pada Tabel 4. Data pada
Tabel 3 menunjukkan bahwa tidak ada interaksi antara pembelajaran dan kluster
8
sekolah terhadap pemahaman matematis siswa. Demikian pula tidak ada interaksi
antara pembelajaran dan level KAM siswa terhadap pemahaman matematis siswa.
Diagram interaksi antar variabel terhadap pemahaman matematik tersaji pada
Diagram 1 dan Diagram 2.
Tabel 3. Rangkuman Uji Anova Dua Jalur Kemampuan Pemahaman Matematis
dengan Faktor Kluster Sekolah dan Pendekatan Pembelajaran
Sumber
JK
Dk
RJK
Fhit
Kluster Sekolah(A)
360,138
2
180,069
9,260
Pendekatan
Pembelajaran (B)
725,895
1
725,895 37,327
AxB
9,681
2
4,840
Inter
4.142,177
213
19,447
F
Ho
Tolak
Tolak
3,04
0,249
Terima
H0 : Tidak ada perbedaan signifikan antara kelas dengan pembelajaran
model-eliciting activities dan kelas konvensional
Tabel 4. Rangkuman Uji Anova Dua Jalur Kemampuan Pemahaman Matematis
dengan Pendekatan Pembelajaran dan KAM
SUMBER
JK
Dk
RJK
Fhit
Pendekatan
Pembelajaran (A)
554,058
1
554,058
125,760
KAM (B)
3.520,777
2
1.760,389
399,572
AxB
19,387
2
9,694
2,200
Inter
938,412
213
4,406
H0 : Tidak ada perbedaan signifikan antara kelas dengan pembelajaran
Diagram 1
Diagram 2
F
Ho
Tolak
3,04
Tolak
Terima
9
Interaksi Pendekatan Pembelajaran dan
Kluster Sekolah terhadap Pemahaman
Matematis
Interaksi Pendekatan Pembelajaran dan
KAM terhadap Pemahaman
Matemati
Hasil analisis interaksi antara pembelajaran dan kluster sekolah terhadap
komunikasi matematis siswa tersaji pada Tabel 5, dan interaksi antara pembelajaran dan
level KAM terhadap komunikasi matematis siswa tersaji pada Tabel 6. Data pada Tabel
5 dan Tabel 6 menunjukkan bahwa tidak ada interaksi antara pembelajaran dan kluster
sekolah terhadap komunikasi matematis siswa, dan tidak ada interaksi antara
pembelajaran dan level KAM siswa terhadap komunikasi matematis siswa. Diagram
interaksi terhadap komunikasi matematis tersaji pada Diagram 3 dan Diagram 4.
Tabel 5. Rangkuman Uji Anova Dua Jalur Kemampuan Akhir Komunikasi Matematis dengan Faktor
Kluster Sekolah dan Pendekatan Pembelajaran
SUMBER
JK
Dk
RJK
Fhit
Pendekatan Pembelajaran
(A)
760,95
1
760,95
26,08
Kluster Sekolah (B)
252,23
2
126,11
4,32
AxB
6,47
2
3,24
0,11
Inter
6.213,60
213
29,17
F
Ho
Tolak
3,04
Tolak
Terima
H0 : Tidak ada perbedaan signifikan antara kelas dengan pembelajaran
model-eliciting activities dan kelas konvensional
Tabel 6. Rangkuman Uji Anova Dua Jalur Kemampuan Komunikasi Matematis dengan Pendekatan
Pembelajaran dan KAM
SUMBER
JK
Dk
RJK
Fhit
Pendekatan
Pembelajaran (A)
456,01
1
456,01
74,25
KAM (B)
5.132,52
2
2.566,26
417,83
AxB
18,59
2
9,30
1,51
Inter
1.308,22
213
6,14
H0 : Tidak ada perbedaan mean antara kelas model-eliciting activities
dan kelas konvensional
F
Ho
Tolak
3,04
Tolak
Terima
10
Diagram 3.
Interaksi Pendekatan Pembelajaran dan Kluster
Sekolah terhadap Komunikasi Matematis
Diagram 4
Interaksi Pendekatan Pembelajaran dan KAM
terhadap Komunikasi Matematis
4. Asosiasi antara Kemampuan Pemahaman Matematis dan Komunikasi
Matematis Siswa
Untuk melihat eksistensi asosiasi antara kemampuan pemahaman dan
komunikasi matematis digunakan analisis asosiasi kontingensi. Hasil analisa tersebut
disajikan dalam Tabel 7.
Tabel 7. Analisis asosiasi antara Pemahaman Matematis
dan Komunikasi Matematis
Pemahaman
Matematis
Komunikasi Matematis
Jumlah
Baik
Sedang
Kurang
Baik
33
17
0
50
Sedang
2
68
62
132
Kurang
0
0
37
37
Jumlah
35
85
99
219
Dari hasil perhitungan dengan MINITAB-15 diperoleh χ2hit = 168,885 dengan α
=0,05 dan dk = (3-1)(3-1) = 4 didapat χ2tab = 9,49, sehingga dapat disimpulkan terdapat
asosiasi antara kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis siswa. Selanjutnya
untuk mengetahui derajat asosiasi (ketergantungan) antara variabel yang satu dengan
yang lainnya digunakan koefisien kontingensi C (Hendriana, 2009) adalah sebagai
berikut :
C=
 2 hit

2
hit
N
Cmaks =
m 1
m
C=
C
Cmaks
Cmaks
Keterangan:
C
: KoefisienKontingensi
N
: Banyaknya Data
m
: nilai minimum antara jumlah baris dan kolom.
Dari hasil perhitungan diperoleh C= 0,66 dan Cmaks = 0,816, sehingga diperoleh
C=0,81 Cmaks yang termasuk ke dalam kriteria tinggi.
F. Pembahasan
1. Pemahaman Matematis
Dari analisis data hasil penelitian terlihat bahwa kemampuan pemahaman
matematis siswa yang pembelajarannya menggunakan pendekatan model-eliciting
activities (MEAs) lebih baik daripada siswa yang menggunakan cara konvensional
(Konv), dimana kemampuan matematis siswa yang memperoleh pembelajaran dengan
11
pendekatan MEAs dan Konv berada dalam kualifikasi sedang dimana rata-rata hasil
belajar siswa berada pada rentang 22-32 dari Skor Maksimum Ideal 40. Tetapi rata-rata
kemampuan pemahaman matematis siswa yang menggunakan MEAs di atas 70%
sedangkan rata-rata siswa yang menggunakan Konv di bawah 70%. Hasil penelitian ini
sejalan dengan teori psikolog Gestalt yang mengatakan bahwa pemahaman atau insight
muncul apabila seseorang setelah beberapa saat mencoba memahami masalah, tiba-tiba
muncul adanya kejelasan, terlihat olehnya hubungan antara unsur-unsur yang satu
dengan yang lain, kemudian dipahami sangkut pautnya dan dimengerti maknanya.
Belajar adalah suatu proses dan rentetan penemuan dengan bantuan
pengalaman-pengalaman yang sudah ada. (Purwanto, 1996). Dengan belajar melalui
pendekatan MEAs siswa mencoba memahami konsep dengan cara melihat hubungan
konsep tersebut dengan konsep-konsep yang sudah dikenalnya, kemudian ia melihat
adanya kejelasan, dan memahami makna konsepnya sehingga pada akhirnya dapat
membuat model matematika yang tepat. Jadi ketika siswa sedang belajar dengan
pendekatan MEAs, ia sedang melakukan belajar penemuan dengan bantuan
pengalaman-pengalaman yang sudah ada.
Hasil inipun sejalan dengan pendapat Sponsel (2003) yang melihat pemahaman
matematis didasarkan pada konsep Skemp dan Dubinsky. Menurutnya pemahaman
matematis terjadi ketika hubungan diantara konsep-konsep berlangsung, dan sebaliknya
akan menjadi sebuah kesulitan yang besar jika hubungan antara konsep tersebut
terpisah-pisah. Pendapat Van Hille (1986) juga sejalan dengan hasil penelitian ini,
karena menurutnya pemahaman matematis merupakan sebuah proses yang dibangun
dari sebuah skema sebelumnya, pemahaman sebelumnya dan jaringan hubungan antar
konsep-konsep tersebut. Selain itu pemahaman matematis pun merupakan sebuah
proses yang dibangun dengan menggunakan multipel representasi model matematika
dari berbagai level berfikir.
Karena di dalam model-eliciting activities siswa didorong untuk memaknai
konsep matematika yang sudah ada dengan menghubungkannya dengan konsep lain
sehingga pemahaman konsepnya menjadi lebih baik, maka hasil penelitian inipun
sejalan dengan teori Piaget yang dipengaruhi filsafat sainsnya Toulmin yang
mengatakan bahwa bagian terpenting dari pengalaman manusia adalah perkembangan
konsep secara evolutif, dengan terus manusia berani mengubah ide-idenya. Tahap
pertama dalam perubahan konsep disebut asimilasi, yakni siswa menggunakan konsep
yang sudah dimilikinya untuk menghadapi fenomena baru. Namun demikian, suatu
ketika siswa dihadapkan fenomena baru yang tidak bisa dipecahkan dengan
pengetahuan lamanya, maka ia harus membuat perubahan konsep secara radikal, inilah
yang disebut tahap akomodasi.
Pengaruh pendekatan model-eliciting activities ini terhadap pemahaman
matematis siswa tidak bersamaan dengan faktor lainnya, hal ini terlihat dari hasil
penelitian yang menunjukkan tidak terdapat interaksi antara pendekatan pembelajaran
dengan kluster sekolah dalam meningkatkan kemampuan pemahaman matematis siswa.
Selain itu ditemukan pula bahwa tidak terdapat interaksi antara pendekatan
pembelajaran dengan klasifikasi kemampuan awal matematika (KAM) siswa dalam
meningkatkan kemampuan pemahaman matematis siswa. Berarti secara bersamaan
faktor pendekatan pembelajaran dan KAM tidak memberikan pengaruh yang signifikan
terhadap kemampuan pemahaman matematis siswa.
Dari hasil penelitian terlihat bahwa pendekatan pembelajaran lebih berperan
daripada kluster sekolah dalam pencapaian kemampuan pemahaman matematis. Selain
itu terlihat pula bahwa faktor KAM lebih berperan daripada pendekatan pembelajaran
12
dalam pencapaian kemampuan pemahaman matematis siswa. Sehingga dari dua tabel
tersebut kita memperoleh kesimpulan bahwa di antara faktor pendekatan pembelajaran,
kluster sekolah dan KAM maka faktor KAM memiliki peran yang lebih besar
dibandingkan dengan faktor yang lainnya dalam pencapaian kemampuan pemahaman
matematis siswa. Hasil ini sejalan dengan psikologi Gestalt (Purwanto,1996) yang
mengatakan bahwa dalam belajar pribadi atau organisme memegang peranan yang
paling sentral. Belajar tidak hanya dilakukan secara reaktif mekanistis belaka tetapi
dilakukan dengan sadar, bermotif dan bertujuan.
2. Komunikasi Matematis
Dari hasil analisis data diketahui bahwa kemampuan komunikasi matematis
siswa yang pembelajarannya menggunakan model-eliciting activities lebih baik
daripada yang menggunakan cara konvensional, walaupun kemampuan komunikasi
matematis siswa yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan MEAs dan yang
memperoleh pembelajaran Konv berada dalam kualifikasi. Siswa yang belajar dengan
pendekatan MEAs mengkomunikasikan konsep matematiknya dengan menggunakan
representasi model matematika yang akurat berdasarkan budaya atau kulturnya seharihari sehingga konsep yang kompleks dan abstrak menjadi lebih konkrit dan mudah
dipahami karena disajikan dalam konteks yang sudah dikenal siswa.
Hasil ini sejalan dengan pendapat Prijosaksono (2007) yang mengatakan bahwa
komunikasi matematis akan berjalan efektif jika memperhatikan aspek-aspek sebagai
berikut :
 Kejelasan (clarity)
 Ketepatan (accuracy)
 Konteks(contex)
 Alur (flow)
 Budaya (culture)
Tidak terdapat interaksi antara pendekatan pembelajaran dengan kluster sekolah
dalam meningkatkan kemampuan komunikasi matematis siswa. Berarti secara
bersamaan faktor pendekatan pembelajaran dan kluster sekolah tidak memberikan
pengaruh yang signifikan terhadap kemampuan komunikasi matematis siswa.
Selain itu ditemukan pula bahwa tidak terdapat interaksi antara pendekatan
pembelajaran dengan klasifikasi kemampuan matematika secara umum dalam
meningkatkan kemampuan komunikasi matematis siswa. Berarti secara bersamaan
faktor pendekatan pembelajaran dan KAM tidak memberikan pengaruh yang signifikan
terhadap kemampuan komunikasi matematis siswa.
Dari hasil penelitian terlihat bahwa pada kluster sekolah menengah dan rendah
pendekatan pembelajaran lebih berperan daripada kluster sekolah dalam pencapaian
kemampuan komunikasi matematis. Selain itu terlihat pula bahwa faktor KAM lebih
berperan daripada pendekatan pembelajaran dalam pencapaian kemampuan komunikasi
matematis. Sehingga dari dua tabel tersebut kita memperoleh kesimpulan bahwa di
antara faktor pendekatan pembalajaran, kluster sekolah dan KAM maka faktor KAM
memiliki peran yang lebih besar dibandingkan dengan faktor yang lainnya dalam
pencapaian kemampuan komunikasi matematis siswa. Hasil inipun sejalan dengan
psikologi gestalt (Purwanto, 1996) yang mengatakan bahwa dalam belajar pribadi atau
organisme memegang peranan paling sentral. Belajar tidak hanya dilakukan secara
reaktif mekanistis belaka tetapi dilakukan dengan sadar, bermotif dan bertujuan.
3. Asosiasi antara Kemampuan Pemahaman dan Komunikasi Matematis
13
Dari hasil analisis data juga diketahui bahwa terdapat kaitan antara kualitas
kemampuan pemahaman matematis siswa dengan kemampuan komunikasi
matematisnya. Kaitannya termasuk kategori tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa: (1)
Siswa yang kemampuan pemahaman matematisnya baik, kemampuan komunikasi
matematisnya baik pula; (2) Siswa yang kemampuan pemahaman matematisnya sedang,
kemampuan komunikasi matematisnya sedang pula; (3) Siswa yang kemampuan
pemahaman matematisnya kurang, kemampuan komunikasi matematisnya kurang pula.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa siswa yang memiliki kemampuan
pemahaman matematis baik pada umumnya dapat mengkomunikasikan pemahaman
matematisnya tersebut dengan baik pula. Hal ini sejalan psikologi Gestalt yang
mengatakan belajar terjadi jika ada pengertian (insight). Pengertian atau insight ini
muncul apabila seseorang setelah beberapa saat mencoba memahami masalah, tiba-tiba
muncul adanya kejelasan, terlihat olehnya hubungan antara unsur-unsur yang satu
dengan yang lain, kemudian dipahami sangkut pautnya dan dimengerti maknanya
karena itu ia dapat mengkomunikasikan pemahamannya dengan baik pula.
G. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data, diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
a. Ditinjau dari siswa secara keseluruhan maupun menurut kluster sekolah dan tingkat
kemampuan awal matematika, pencapaian dan perolehan (gain) kemampuan
pemahaman matematis dan komunikasi matematis untuk siswa yang
pembelajarannya menggunakan model-eliciting activities tergolong cukup baik dan
lebih baik daripada kemampuan siswa yang mendapat pembelajaran konvensional
yang tergolong sedang.
b. Tidak terdapat interaksi antara pendekatan pembelajaran dengan kluster sekolah
terhadap pencapaian kemampuan pemahaman matematis dan komuikasi matematis
siswa.
c. Tidak terdapat interaksi antara pendekatan pembelajaran dan tingkat kemampuan
awal matematika (KAM terhadap pencapaian kemampuan pemahaman matematis
dan komunikasi matematis siswa
d. Terdapat asosiasi yang tinggi antara kemampuan pemahaman dengan kemampuan
komunikasi matematis.
H. Implikasi
Implikasi dari kesimpulan hasil penelitian ini adalah :
a. Pendekatan model-eliciting activities efektif diimplemenasikan di Sekolah
Menengah Atas (SMA) berbagai kluster dan tingkat kemampuan awal matematika
siswa sebagai suatu alternatif dalam proses pembelajaran matematika.
b. Pendekatan model-eliciting activities berhasil mengubah paradigma pembelajaran
dimana guru sebagai pusat pembelajaran menjadi paradigma siswa menjadi pusat
pembelajaran dan guru sebagai motivator dan fasilitator. Pendekatan tersebut juga
mengubah paradigma pembelajaran yang merupakan pemindahan pengetahuan
(transfer of knowledge) ke arah paradigma baru dimana pembelajaran merupakan
kegiatan eksploratif, interaktif, kooperatif dan konstruktif untuk mendapatkan
pengetahuan baru.
c. Proses pembelajaran dengan pendekatan model-eliciting activities berhasil
mengembangkan kemampuan pemahaman dan komunikasi siswa dengan siswa dan
siswa dengan guru, sehingga mampu menumbuhkan sikap saling menghargai,
14
menghormati dan saling tolong menolong dalam kebaikan pada proses
pembelajaran.
d. Penerapan
pendekatan pembelajaran model-eliciting activities mendorong
kreativitas guru dalam menyiapkan bahan ajar, sehingga diharapkan dapat
mengembangkan profesionalisme guru dalam melaksanakan pembelajaran
matematika.
e. Penerapan pendekatan pembelajaran model-eliciting activities mendukung program
pemerintah dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional dimana dengan adanya
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) guru dapat mengembangkan model
pembelajaran tersebut sesuai dengan kebutuhan.
I. Rekomendasi
Dari hasil penelitian ini, peneliti memberikan rekomendasi atau saran sebagai
berikut:
a. Pendekatan model-eliciting activities agar diterapkan dalam proses pembelajaran
matematika di Sekolah Menengah Atas (SMA) atau sebagai alternatif model
pembelajaran matematika untuk mengembangkan kemampuan matematik lainnya.
b. Dalam mengimplementasikan pembelajaran melalui pendekatan MEAs hal-hal
penting yang perlu diperhatikan guru adalah: (1) Berikan arahan dan pertanyaan
yang tepat untuk membimbing siswa dalam membuat model matematika yang tepat
dan mempresentasikan penguasaan konsepnya, (2) Bantuan guru hendaknya tidak
tergesa-gesa diberikan agar kecakapan potensial siswa dapat berkembang lebih
optimal; (3) Guru hendaknya memperhatikan setting pembelajaran, dimana siswa
belajar dalam kelompok kecil sehingga komunikasi yang terjalin lebih berkualitas
dan lebih multi arah.
c. Karena kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis
merupakan
kemampuan yang esensial dalam pembelajaran matematika, maka seyogyanya
kemampuan-kemampuan tersebut perlu terus diteliti dan dikembangkan mulai
tingkat Sekolah Dasar hingga Perguruan Tinggi.
d. Pengetahuan awal siswa memiliki peran yang besar terhadap kemampuan siswa
dalam menguasai dan mengkomunikasikan konsep yang dipelajarinya, untuk itu
sebelum konsep baru disajikan, hendaklah terlebih dahulu dilakukan penguatan
konsep prasyarat siswa melalui tehnik scaffolding dan probing yang dapat
membantu siswa memperjelas pemikirannya.
e. Untuk penelitian selanjutnya hendaknya diteliti penggunaan pendekatan modeleliciting activities yang diterapkan dengan bantuan komputer agar bisa lebih
menarik perhatian siswa.
DAFTAR PUSTAKA
Abdi, A. (2004). Senyum Guru matematika dan Upaya Bangkitkan Gairah Siswa.
[Online].Tersedia:http://www.waspada.co.id/serba_serbi/pendidikan/artikel.ph
p?article_id=6722 [28 maret 2005]
Afgani, J. D. (2004). Meningkatkan Kemampuan Penalaran dan Pemahaman
Matematika Siswa SLTP melalui Pendekatan Open-ended. Disertasi pada
Pascasarjana UPI, tidak dipublikasikan
Ansyari. B. (2004), Menumbuhkembangkan Kemampuan Pemahaman dan Komunikasi
Matematik Siswa SMU Melalui Strategi Think-talk-write. Disertasi pada
Pascasarjana UPI, tidak dipublikasikan
15
Arikunto, S. (2005). Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan (Edisi Revisi). Jakarta: Bumi
Aksara.
Cockcroft, W. (1981). Mathematics counts: Report into the teaching of mathematics in
schools under the chairmanship of W.H. Cockcroft. London, UK: HMSO.
Hendriana, H. (2002). Meningkatkan Kemampuan, Pengajuan dan Pemecahan Masalah
Matematika dengan Pembelajaran Berbalik Studi Eksperimen pada Siswa
Kelas I SMU Negeri 23 Kota Bandung. Tesis pada Sekolah Pasca Sarjana UPI.:
Tidak Diterbitkan.
Hendriana, H. (2009). Pembelajaran dengan Pendekatan Methaporical Thinking untuk
Meningkatkan Kemampuan Pemahaman Matematik, Komunikasi Matematik
dan Kepercayaan Diri Siswa Sekolah Menengah Pertama. Disertasi pada
Sekolah Pasca Sarjana UPI : tidak diterbitkan.
Jennings,
S.
&
Dunne,
R.
(1998)
Discussion
Papers.
Tersedia:
http://www.ex.ac.uk/telematics/T3/maths/mathfram.htm
KTSP (2006). Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Jakarta:Depdiknas.
Lesh, R., & Doerr, H. (2003). Foundations of a models and modeling perspective on
mathematics teaching, learning, and problem solving. In R. Lesh & H. Doerr
(Eds.), Beyond Constructivism: Models and Modeling Perspectives on
Mathematics Problem Solving, Learning and Teaching (pp. 3–34). Mahwah,
NJ: Erlbaum.
Mettes, C.T.W. (1979). Teaching and Learning Problem Solving in Science A General
Strategy. International Journal of Science Education, 57(3),882-885.
Nindiasari, H (2004). Pembelajaran Metakognitif untuk Meningkatkan Pemahaman dan
Koneksi Matematik Siswa SMU ditinjau dari Perkembangan Kognitif Siswa.
Tesis pada Sekolah Pasca Sarjana UPI : tidak diterbitkan
Rif’at, M. (2001). Pengaruh Pola-Pola Pembelajaran Visual Dalam Rangka
Meningkatkan Kemampuan Menyelesaikan Masalah-Masalah Matematika.
Disertasi pada Sekolah Pasca Sarjana UPI : tidak diterbitkan.
Rohaeti,E.E. (2004). Pembelajaran Matematika dengan menggunakan Metode
IMPROVE untuk Meningkatkan Kemampuan Pemahaman dan Komunikasi
matematika Siswa SLTP. Tesis pada Sekolah Pasca Sarjana UPI : tidak
diterbitkan.
Ruseffendi, E.T.(1991).
Pengantar kepada Membantu Guru mengembangkan
Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA.
Bandung: Tarsito
Slettenhaar (2000). Adapting Realistic Mathematics Education in the Indonesian
Context. Dalam Majalah Ilmiah Himpunan Matematika Indonesia (Prosiding
Konperensi Nasional Matematika X ITB, 17-20 Juli 2000)
Sudrajat, (2001). Penerapan SQ3R pada Pembelajaran Tindak Lanjut untuk
Peningkatan Kemampuan Komunikasi dalam Matematika SMU. Tesis pada
Sekolah Pasca Sarjana UPI : tidak diterbitkan
Sukmadewi, T.S. (2004). Mengembangkan Kemampuan Berpikir Matematika Tingkat
Tinggi Siswa SMU melalui Belajar dalam Kelompok Kecil dengan Strategi
transactional Reading. Bandung: Tesis pada PPS UPI. Tidak diterbitkan.
Sumarmo, U. (1993). Peranan Kemampuan Logik dan kegiatan Belajar terhadap
kemampuan Pemecahan Masalah Matematik pada siswa SMA di Kodya
Bandung. Laporan Penelitian IKIP Bandung : tidak diterbitkan
16
Sumarmo, U. (1994). Suatu Alternatif Pengajaran untuk meningkatkan Kemampuan
Pemecahan Masalah matematik pada Guru dan Siswa SMP. Laporan
Penelitian FPMIPA UPI: Tidak Diterbitkan.
Sumarmo, U. (2000). Pengembangan Model Pembelajaran Matematika untuk
Meningkatkan Kemampuan intelektual Tingkat Tinggi Siswa sekolah dasar.
Laporan Hibah bersaing Tahap I, Tahap II, dan Tahap III: Tidak Diterbitkan.
Wahyudin (1999). Kemampuan Guru Matematika, calon guru matematika, dan siswa
dalam mata pelajaran matematika. Disertasi pada Sekolah Pasca Sarjana UPI
: tidak diterbitkan
Wahyudin (2003). Ensiklopedi Matematika dan Peradaban Manusia. Jakarta: Tarity
Samudra Berlian.
Yaniawati, R.P. (2001). Pembelajaran dengan Pendekatan Open-Ended dalam Upaya
Meningkatkan Kemampuan Koneksi Matematik Siswa. Tesis UPI Bandung: Tidak
Dipublikasikan.
-oOo-
Download