MENGEMBANGKAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN DAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA SEKOLAH MENENGAH ATAS MELALUI MODEL-ELICITING ACTIVITIES Dr. Yanto Permana, M.Pd (Widyaiswara Madya Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Bidang Mesin dan Teknik Industri) ABSTRAK Penelitian ini merupakan suatu eksperimen berdisain kelompok kontrol pretespostes dengan tujuan menelaah pengaruh model-eliciting activities, kluster sekolah, dan kemampuan awal matematika siswa terhadap pencapaian dan perolehan kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis siswa. Subyek penelitian sebanyak 219 siswa kelas X dari tiga SMA Negeri masing-masing dari kluster rendah, menengah, dan tinggi di Cimahi. Instrumen penelitian terdiri dari tes pemahaman dan tes komunikasi matematis. Analisis data menggunakan anova dua jalur, uji Scheffe dan uji-t. Penelitian menemukan bahwa pembelajaran modeleliciting activities (MEAs) memberikan pengaruh terbesar dibandingkan kluster sekolah, dan kemampuan awal matematika (KAM) siswa terhadap kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis. Selain itu, penelitian ini juga menemukan bahwa tidak terdapat interaksi antara pendekatan pembelajaran dan kluster sekolah dan antara pendekatan pembelajaran dan KAM terhadap pencapaian kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis. Terdapat asosiasi yang tinggi antara kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis. Kata-kata kunci: pendekatan model-eliciting activities, pemahaman matematis, komunikasi matematis. A. Latar Belakang Masalah Kemampuan pemahaman dan komunikasi merupakan kemampuan yang esensial untuk dikembangkan pada siswa sekolah menengah. Pentingnya pemilikan kedua kemampuan matematis di atas termuat dalam tujuan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP, 2006) Sekolah Menengah Atas antara lain: siswa memiliki kemampuan memahami konsep matematika dan kemampuan mengkomunikasikan gagasan atau idea matematika dengan menggunakan simbol, tabel, diagram, atau media lain dalam pemecahan masalah. KTSP 2006 menganjurkan agar pembelajaran matematika dimulai dengan pengenalan masalah yang sesuai dengan situasi (contextual problem), kemudian secara bertahap siswa dibimbing memahami konsep matematika secara komprehensif. Pada dasarnya pencapaian pemahaman tersebut tidak sekedar untuk memenuhi tujuan pembelajaran matematika saja namun diharapkan muncul efek iringan dari pembelajaran tersebut. Efek iringan yang dimaksud antara lain adalah siswa lebih: (1) memahami keterkaitan antar topik matematika; (2) menyadari akan penting dan strategisnya matematika bagi bidang lain; (3) mamahami peranan matematika dalam kehidupan manusia; (4) mampu berfikir logis, kritis dan sistematis; (5) kreatif dan inovatif dalam mencari solusi ; dan (6) peduli pada lingkungan sekitarnya. Berdasarkan karakteristiknya, matematika merupakan ilmu yang bernilai guna, yang tercermin dalam peran matematika sebagai sebagai bahasa simbolik serta alat 1 2 komunikasi yang tangguh, singkat, padat, cermat, tepat, dan tidak memiliki makna ganda (Wahyudin, 2003). Pernyataan tersebut menggambarkan komunikasi matematis memegang peranan penting sebagai representasi pemahaman siswa terhadap konsep matematika sendiri dan sebagai ilmu terapan bagi ilmu lainnya. Melalui komunikasi matematis siswa saling bertukar ide dan mengklarifikasi pemahamannya. Proses komunikasi tersebut membantu siswa membangun makna dan memperoleh suatu generalisasi. Dalam upaya mengeksplor dan mengembangkan kemampuan komunikasi matematis siswa, guru perlu menghadapkan siswa pada berbagai masalah kontekstual serta memberi kesempatan kepada siswa untuk mengkomunikasikan gagasannya dan mengkonsolidasi pemikirannya untuk memecahkan permasalahan yang ada. Kondisi cara dan hasil belajar matematika siswa yang kurang memuaskan antara lain dikemukakan oleh beberapa penulis (Abdi, 2004, Cockcroft, 1981, Mettes, 1979, Rif’at, 2001, Ruseffendi, 1991, Sumarmo, 1993, 1994, Slettenhaar, 2000, Wahyudin, 1999). Misalnya, siswa belajar matematika hanya mencontoh dan mencatat penyelesaian soal dari guru (Mettes, 1979), dan hanya diberi tahu guru dan tidak mengeksplor sendiri (Ruseffendi, 1991), pembelajaran matematika kurang melibatkan siswa belajar aktif, kurang menekankan pada pemahaman siswa dan siswa hanya menerima penjelasan guru (Slettenhaar 2000, Sumarmo, 1993, 1994, Wahyudin, 1999). Menurut Rif’at (2001) kegiatan belajar seperti ini membuat siswa cenderung rote learning atau belajar menghafal dan tanpa memahami atau tanpa mengerti apa yang diajarkan oleh gurunya. Kesulitan siswa dalam belajar matematika diperkirakan karena pendekatan pembelajaran yang kurang menarik dan membosankan bagi siswa, dan kurang mengaitkan dengan pengetahuan awal siswa, dan kurang memberi kesempatan siswa melakukan reinvention (Abdi 2004, Cockcroft, 1981, Jenning dan Dunne, 1998) dan siswa kurang menguasai konsep-konsep dasar matematika (Wahyudin, 1999). Selain dari temuan yang belum memuaskan di atas, terdapat beberapa studi yang mengimplementasikan pembelajaran inovatif memberikan temuan yang positif. Beberapa studi tersebut di antaranya adalah kemampuan pemahaman dan koneksi matematik siswa yang memperoleh pendekatan open-ended (Yaniawati, 2001), kemampuan komunikasi matematik dan pandangan siswa yang memperoleh Survey, Question, Review, Write (Sudrajat, 2002), dan kemampuan pemahaman dan pemecahan masalah siswa yang memperoleh reciprocal teaching, probing and scaffolding (Hendriana, 2002), dan kemampuan pemahaman dan penalaran matematik siswa yang belajar dengan pendekatan IMPROVE (Rohaeti, 2004) semuanya lebih baik dari kemampuan siswa pada kelas konvensional. Demikian pula Nindiasari (2004) dengan menggunakan pendekatan metakognitif melaporkan keunggulan siswa tahap formal dari siswa tahap konkret dalam kemampuan pemahaman dan penalaran matematik dari kemampuan siswa pada kelas konvensional. Temuan lainnya di antaranya adalah: kemampuan komunikasi dan penalaran matematik siswa yang mendapat pendekatan berbasis masalah dalam kelompok kecil lebih baik dari kemampuan siswa kelas konvensional (Afgani, 2004), dan kemampuan pemahaman dan komunikasi matematik siswa melalui strategi Think Talk and Write (Ansyari, 2004), melalui strategi transactional reading (Sukmadewi, 2004), dan melalui pendekatan Methaporical Thinking (Hendriana 2009) lebih baik dari kemampuan siswa pada kelas konvensional. Berhubungan dengan pembelajaran matematika, Lesh dan Doerr (2003) mengajukan suatu pendekatan pembelajaran yang menekankan pada kemampuan menghubungkan ide matematika dan fenomena nyata yang kemudian dinamakannya model-eliciting activities. Model ini merupakan jembatan antara model dan interpretasi, 3 dan memberi peluang yang besar kepada siswa untuk mengeksploitasi pengetahuannya dalam belajar matematika. Dengan menggunakan model-eliciting activities belajar siswa menjadi bermakna karena ia dapat menghubungkan konsep yang dipelajarinya dengan konsep yang sudah dikenalnya. Uraian di atas, melukiskan bahwa modeleliciting activities merupakan jembatan antara model dan interpretasi, memberikan peluang yang besar kepada siswa untuk mengeksploitasi pengetahuannya dalam belajar matematika. Dengan menggunakan model-eliciting activities belajar siswa menjadi bermakna karena ia dapat melihat hubungan antara konsep yang dipelajarinya dengan konsep yang dikenalnya. Hal ini diharapkan membuat siswa mengubah pandangannya bahwa matematika sebagai pelajaran yang sulit dan siswa sebenarnya mampu mempelajari matematika. Uraian, temuan-temuan sejumlah studi dan analisis di atas memberikan dugaan bahwa pendekatan model-eliciting activities seperti pendekatan inovatif lainnya yang menekankan pada siswa belajar aktif akan memberikan hasil belajar siswa yang lebih baik dari pada pembelajaran konvensional. Rasional tersebut mendorong peneliti untuk melaksanakan suatu eksperimen yang mengimplementasikan pendekatan modeleliciting activities untuk mengembangkan kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis siswa SMA. Memperhatikan sifat matematika yang sistimatik sehingga untuk mempelajari suatu konsep matematika memerlukan penguasaan materi dan proses matematika sebelumnya, maka diperkirakan kemampuan awal matematika siswa dan kluster sekolah yang juga menggambarkan kemampuan matematika siswa sebelum pembelajaran akan memberikan peranan terhadap pencapaian kemampuan pemahaman dan komunikasi matematiks siswa SMA B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Apakah pencapaian dan perolehan (gain) pemahaman matematis dan komunikasi matematis, siswa yang memperoleh pembelajaran melalui pendekatan modeleliciting activities lebih baik daripada yang menggunakan pembelajaran konvensional ditinjau dari siswa secara keseluruhan, tingkat kemampuan awal matematika siswa dan kluster sekolah? 2. Apakah terdapat interaksi antara pendekatan pembelajaran dan kluster sekolah terhadap kemampuan pemahaman matematis dan terhadap komunikasi matematis siswa? 3. Apakah terdapat interaksi antara pendekatan pembelajaran dan tingkat kemampuan awal matematika (KAM) terhadap kemampuan pemahaman matematis dan terhadap komunikasi matematis siswa? 4 Apakah terdapat asosiasi antara kemampuan pemahaman dan kualitas kemampuan komunikasi matematis siswa. C. Hipotesis Penelitian Sejalan dengan masalah penelitian yang diuraikan di atas, hipotesis penelitiannya adalah: 1. Kemampuan pemahaman matematis dan komunikasi matematis, siswa yang menggunakan pendekatan model-eliciting activities masing-masing lebih baik dari kemampuan matematis siswa yang mendapat pembelajaran konvensional. 4 2. Perolehan (gain) kemampuan pemahaman matematis dan komunikasi matematis siswa yang belajar melalui model-eliciting activities lebih baik dari pada gain siswa yang mendapat pembelajaran konvensional. 3. Terdapat interaksi antara pendekatan pembelajaran dan kluster sekolah terhadap kemampuan pemahaman matematis dan komunikasi matematis siswa. 4. Terdapat interaksi antara pendekatan pembelajaran dan tingkat kemampuan awal matematika siswa terhadap kemampuan pemahaman matematis dan komunikasi matematis siswa. 5. Terdapat asosiasi antara kemampuan pemahaman matematis siswa dengan komunikasi matematisnya. D. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen, dengan desain kelompok kontrol pretes-postes. Desain penelitiannya sebagai berikut : AO X O AO O Keterangan: A : Pemilihan sampel secara acak terhadap kelas O : Tes kemampuan pemahaman matematis dan komunikasi matematis siswa X : Pembelajaran dengan menggunakan pendekatan model-eliciting activities Subyek penelitian ini adalah sebanyak 219 siswa kelas X dari tiga SMA Negeri masing-masing dari kluster rendah, menengah, dan tinggi di Cimahi. Penentuan sampel penelitian ini dilakukan dengan cara sebagai berikut. Dari tiap kluster SMA (tinggi, menengah, dan rendah) yang ditetapkan Dinas pendidikan Kota Cimahi, masing-masing diambil satu SMA secara acak, dan dari tiap SMA terpilih dipilih dua kelas X secara acak dari kelas X yang ada, dan terakhir pada dua kelas yang terpilih ditetapkan secara acak juga satu kelas kelas eksperimen dan lainnya sebagai kelas kontrol. Instrumen penelitian terdiri dari tes pemahaman dan tes komunikasi matematis yang khusus disusun untuk penelitian ini. Penyusunan instrumen dan kelayakannya berpedoman pada Arikunto (2005). Bahan ajar untuk pendekatan model-eliciting activities disusun berdasarkan karakteristik pendekatan pembelajaran tersebut. Analisis data menggunakan anova dua jalur, uji Scheffe dan uji-t dengan menggunakan bantuan program microsoft excel 2007, MINITAB-15, dan SPSS versi 16. Berikut ini disajikan sampel butir tes yang digunakan dalam penelitian ini. 1. Sampel butir tes pemahaman matematis Sebuah bak berbentuk kubus ABCD.EFGH dengan panjang rusuk a cm. a. Lukislah sudut antara BE dan AH. konsep apa yang digunakan? Kemudian hitung besar sudut tersebut. Jelaskan! b. Lukislah sudut antara garis AH dan bidang diagonal BDHF. konsep apa yang digunakan? Kemudian hitung besar sudut tersebut. Jelaskan! c. Lukislah sudut antara bidang ABCD dan bidang ACF, konsep apa yang di gunakan? Kemudian tentukan nilai kosinus sudut tersebut. Jelaskan! 2. Sampel butir tes komunikasi matematis Alia mengamati sebuah perlombaan perahu layar dari tepi sebuah mercusuar setinggi 80 m. Dia sedang mengamati dua perahu layar milik Dodi dan Coki yang segaris dengan kaki menara pada sudut depresi 30o dan 60o. Tepat di tempat Alia berada, berdiri tegak sebuah tiang bendera yang titik ujungnya terlihat oleh Dodi dengan sudut elevasi tertentu. 5 a. Gunakan diagram untuk menggambarkan posisi Dodi dan Coki pada saat itu, kemudian tentukan jaraknya! b. Cukupkah informasi di atas untuk menghitung panjang dari tiang bendera tersebut? Jika ya, hitunglah panjangnya! Jika tidak, tambahkan informasi baru kemudian hitunglah panjangnya! E. Hasil Penelitian 1. Analisis Kemampuan Pemahaman Matematis Deskripsi pencapaian dan perolehan (gain) kemampuan pemahaman matematis berdasarkan pembelajaran, kluster sekolah dan kemampuan awal matematika siswa (KAM) tersaji pada Tabel 1. Tabel 1. Deskripsi Kemampuan Pemahaman Matematis berdasarkan Pendekatan Pembelajaran, Kluster Sekolah, dan KAM Kluster Sekolah KAM Baik Sedang Tinggi Kurang Sub Total Baik Sedang Menengah Kurang Sub Total Baik Sedang Rendah Kurang Sub Total Baik Sedang Total Kurang Total Skor ideal: 40 Tes Awal 19,27 (0,90) 11,79 (1,85) 6,40 (1,52) 13,63 (4,99) 18,44 (1,24) 12,11 (2,94) 6,36 (1,03) 11,95 (4,87) 16,67 (0,58) 14,25 (1,00) 8,26 (1,82) 11,45 (3,58) 18,61 (1,31) 12,71 (2,38) 7,40 (1,80) 12,24 (4,54) MEAs Tes Akhir 36,91 (1,58) 30,50 (2,07) 24,60 (2,79) 31,87 (4,85) 35,11 (2,26) 29,74 (1,37) 25,45 (1,75) 29,77 (3,86) 37,00 (1,00) 31,13 (2,25) 24,21 (2,27) 28,13 (4,77) 36,22 (1,98) 30,41 (1,95) 24,66 (2,21) 29,78 (4,68) <g> n 0,85 11 0,66 14 0,54 5 0,69 30 0,77 9 0,63 19 0,57 11 0,64 39 0,87 3 0,66 16 0,50 19 0,58 38 0,82 23 0,65 49 0,53 35 0,63 107 Tes Awal 18,10 (1,45) 13,18 (2,27) 6,00 (1,41) 13,84 (4,25) 17,86 (1,21) 13,26 (2,16) 7,64 (1,28) 12,10 (4,08) 17,33 (0,58) 15,07 (1,59) 8,42 (2,81) 11,34 (4,25) 17,90 (1,25) 13,74 (2,18) 7,93 (2,37) 12,30 (4,27) Konv Tes <g> Akhir 31,8 0,63 (1,87) 26,47 0,50 (2,03) 21,75 0,46 (1,26) 27,58 0,53 (3,82) 31,86 0,63 (1,21) 27,79 0,54 (2,18) 21,57 0,43 (2,24) 26,32 0,51 (4,33) 32,33 0,66 (0,58) 29,07 0,56 (1,38) 21,46 0,41 (2,67) 24,85 0,47 (4,70) 31,9 0,63 (1,48) 27,7 0,53 (2,16) 21,52 0,42 (2,39) 26,13 0,50 (4,44) n 10 17 4 31 7 19 14 40 3 14 24 41 20 50 42 112 6 a) b) c) Berdasarkan data pada Tabel 1, diperoleh temuan sebagai berikut. Secara keseluruhan pencapaian pemahaman matematis siswa kelas model-eliciting activities (MEAs) tergolong cukup baik (29,78) dan lebih baik dari pemahaman matematis siswa kelas konvensional (26,13) yang tergolong sedang. Demikian pula gain pemahaman matematis siswa kelas MEAs (0,63) lebih tinggi dari gain siswa pada kelas konvensional (0,50). Hasil serupa ditemukan pencapaian dan gain pemahaman matematis siswa pada tiap kluster sekolah dan tiap level KAM siswa kelas MEAs lebih tinggi dari pencapaian dan gain siswa kelas konvensional. Pada kedua kelas (MEAs dan konvensional) makin tinggi kluster sekolah dan makin tinggi KAM siswa ditemukan makin tinggi pula pencapaian dan gain pemahaman matematis siswa. Keadaan tersebut menggambarkan bahwa kluster sekolah dan KAM siswa berperan terhadap pencapaian dan gain pemahaman matematis siswa. Namun, siswa dari kluster sekolah rendah dan menengah yang belajar dengan MEAs masing-masing mencapai pemahaman matematis yang lebih baik dari pemahaman siswa dari kluster sekolah tinggi yang belajar dengan pendekatan konvensional. Temuan tersebut menunjukkan bahwa peran pendekatan MEAs lebih unggul dari peran kluster sekolah dalam pencapaian pamahaman matematis siswa. 2. Analisis Kemampuan Komunikasi Matematis Deskripsi pencapaian dan perolehan (gain) kemampuan komunikasi matematis berdasarkan pembelajaran, kluster sekolah dan kemampuan awal matematika siswa (KAM) tersaji pada Tabel 2. Berdasarkan data pada Tabel 2, diperoleh temuan sebagai berikut. a) Secara keseluruhan pencapaian komunikasi matematis siswa kelas model-eliciting activities (MEAs) tergolong cukup baik (19,21 dari 30) dan lebih baik dari komunikasi matematis siswa kelas konvensional (15,41 dari 30) yang tergolong sedang. Demikian pula gain komunikasi matematis siswa kelas MEAs (0,51) lebih tinggi dari gain komunikasi matematis siswa kelas konvensional (0,34). Hasil serupa ditemukan pula pencapaian dan gain komunikasi matematik siswa pada tiap kluster sekolah dan tiap level KAM siswa kelas MEAs lebih tinggi dari pencapaian dan gain siswa kelas konvensional. b) Pada kedua kelas (MEAs dan konvensional) makin tinggi kluster sekolah dan makin tinggi KAM siswa ditemukan makin tinggi pula pencapaian dan gain komunikasi matematis siswa. Keadaan tersebut menggambarkan bahwa kluster sekolah dan KAM siswa berperan terhadap pencapaian dan gain komunikasi matematis siswa. c) Namun, siswa dari kluster sekolah rendah dan menengah yang belajar dengan MEAs masing-masing mencapai komunikasi matematis yang lebih baik dari komunikasi siswa dari kluster sekolah tinggi yang belajar dengan pendekatan konvensional. Temuan tersebut menunjukkan bahwa peran pendekatan MEAs lebih unggul dari peran kluster sekolah dalam pencapaian komunikasi matematis siswa. 7 Tabel 2. Deskripsi Kemampuan Komunikasi Matematis berdasarkan Pendekatan Pembelajaran, Kluster Sekolah, dan KAM Kluster Sekolah KAM Baik Sedang Tinggi Kurang Sub Total Baik Sedang Menengah Kurang Sub Total Baik Sedang Rendah Kurang Sub Total Baik Sedang Total Kurang Total Tes Awal 13,73 (0,47) 8,07 (1,98) 3,60 (0,55) 9,40 (3,95) 11,67 (1,12) 8,16 (1,86) 3,27 (0,79) 7,59 (3,40) 11,00 (0,00) 8,88 (0,72) 4,58 (2,22) 6,89 (2,90) 12,57 (1,38) 8,37 (1,63) 4,03 (1,79) 7,85 (3,52) MEAs Tes Akhir 25,45 (2,30) 18,86 (1,88) 14,40 (1,34) 20,53 (4,55) 26,11 (1,96) 19,95 (2,41) 12,18 (1,78) 19,18 (5,50) 27,00 (0,00) 21,63 (2,00) 13,89 (3,14) 18,18 (5,22) 25,91 (2,02) 20,18 (2,37) 13,43 (2,67) 19,21 (5,19) <g> 0,72 0,49 0,41 0,54 0,79 0,54 0,33 0,52 0,84 0,60 0,37 0,49 0,77 0,55 0,36 0,51 Tes Awal 13,20 11 (0,92) 9,00 14 (2,52) 2,25 5 (0,50) 9,48 30 (3,92) 13,14 9 (0,38) 9,32 19 (1,83) 3,57 11 (1,40) 7,98 39 (3,85) 13,00 3 (1,00) 9,07 16 (1,14) 4,42 19 (1,61) 6,63 38 (3,17) 13,15 23 (0,75) 9,14 49 (1,92) 3,93 35 (1,60) 7,90 107 (3,78) n Konv Tes Akhir 23,10 (2,08) 15,29 (2,85) 9,00 (0,82) 17,00 (5,32) 24,43 (1,13) 16,74 (2,83) 9,86 (1,56) 15,68 (5,58) 24,33 (0,58) 19,21 (2,42) 9,58 (2,52) 13,95 (5,90) 23,75 (1,71) 16,94 (3,09) 9,62 (2,11) 15,41 (5,71) <g> n 0,59 10 0,30 17 0,24 4 0,37 31 0,67 7 0,36 19 0,24 14 0,35 40 0,67 3 0,48 14 0,20 24 0,31 41 0,63 20 0,37 50 0,22 42 0,34 112 SMI: 30 3. Analisis Interaksi antar Variabel Hasil analisis interaksi antara pembelajaran dan kluster sekolah terhadap pemahaman matematis siswa tersaji pada Tabel 3, dan interaksi antara pembelajaran dan level KAM terhadap pemahaman matematis siswa tersaji pada Tabel 4. Data pada Tabel 3 menunjukkan bahwa tidak ada interaksi antara pembelajaran dan kluster 8 sekolah terhadap pemahaman matematis siswa. Demikian pula tidak ada interaksi antara pembelajaran dan level KAM siswa terhadap pemahaman matematis siswa. Diagram interaksi antar variabel terhadap pemahaman matematik tersaji pada Diagram 1 dan Diagram 2. Tabel 3. Rangkuman Uji Anova Dua Jalur Kemampuan Pemahaman Matematis dengan Faktor Kluster Sekolah dan Pendekatan Pembelajaran Sumber JK Dk RJK Fhit Kluster Sekolah(A) 360,138 2 180,069 9,260 Pendekatan Pembelajaran (B) 725,895 1 725,895 37,327 AxB 9,681 2 4,840 Inter 4.142,177 213 19,447 F Ho Tolak Tolak 3,04 0,249 Terima H0 : Tidak ada perbedaan signifikan antara kelas dengan pembelajaran model-eliciting activities dan kelas konvensional Tabel 4. Rangkuman Uji Anova Dua Jalur Kemampuan Pemahaman Matematis dengan Pendekatan Pembelajaran dan KAM SUMBER JK Dk RJK Fhit Pendekatan Pembelajaran (A) 554,058 1 554,058 125,760 KAM (B) 3.520,777 2 1.760,389 399,572 AxB 19,387 2 9,694 2,200 Inter 938,412 213 4,406 H0 : Tidak ada perbedaan signifikan antara kelas dengan pembelajaran Diagram 1 Diagram 2 F Ho Tolak 3,04 Tolak Terima 9 Interaksi Pendekatan Pembelajaran dan Kluster Sekolah terhadap Pemahaman Matematis Interaksi Pendekatan Pembelajaran dan KAM terhadap Pemahaman Matemati Hasil analisis interaksi antara pembelajaran dan kluster sekolah terhadap komunikasi matematis siswa tersaji pada Tabel 5, dan interaksi antara pembelajaran dan level KAM terhadap komunikasi matematis siswa tersaji pada Tabel 6. Data pada Tabel 5 dan Tabel 6 menunjukkan bahwa tidak ada interaksi antara pembelajaran dan kluster sekolah terhadap komunikasi matematis siswa, dan tidak ada interaksi antara pembelajaran dan level KAM siswa terhadap komunikasi matematis siswa. Diagram interaksi terhadap komunikasi matematis tersaji pada Diagram 3 dan Diagram 4. Tabel 5. Rangkuman Uji Anova Dua Jalur Kemampuan Akhir Komunikasi Matematis dengan Faktor Kluster Sekolah dan Pendekatan Pembelajaran SUMBER JK Dk RJK Fhit Pendekatan Pembelajaran (A) 760,95 1 760,95 26,08 Kluster Sekolah (B) 252,23 2 126,11 4,32 AxB 6,47 2 3,24 0,11 Inter 6.213,60 213 29,17 F Ho Tolak 3,04 Tolak Terima H0 : Tidak ada perbedaan signifikan antara kelas dengan pembelajaran model-eliciting activities dan kelas konvensional Tabel 6. Rangkuman Uji Anova Dua Jalur Kemampuan Komunikasi Matematis dengan Pendekatan Pembelajaran dan KAM SUMBER JK Dk RJK Fhit Pendekatan Pembelajaran (A) 456,01 1 456,01 74,25 KAM (B) 5.132,52 2 2.566,26 417,83 AxB 18,59 2 9,30 1,51 Inter 1.308,22 213 6,14 H0 : Tidak ada perbedaan mean antara kelas model-eliciting activities dan kelas konvensional F Ho Tolak 3,04 Tolak Terima 10 Diagram 3. Interaksi Pendekatan Pembelajaran dan Kluster Sekolah terhadap Komunikasi Matematis Diagram 4 Interaksi Pendekatan Pembelajaran dan KAM terhadap Komunikasi Matematis 4. Asosiasi antara Kemampuan Pemahaman Matematis dan Komunikasi Matematis Siswa Untuk melihat eksistensi asosiasi antara kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis digunakan analisis asosiasi kontingensi. Hasil analisa tersebut disajikan dalam Tabel 7. Tabel 7. Analisis asosiasi antara Pemahaman Matematis dan Komunikasi Matematis Pemahaman Matematis Komunikasi Matematis Jumlah Baik Sedang Kurang Baik 33 17 0 50 Sedang 2 68 62 132 Kurang 0 0 37 37 Jumlah 35 85 99 219 Dari hasil perhitungan dengan MINITAB-15 diperoleh χ2hit = 168,885 dengan α =0,05 dan dk = (3-1)(3-1) = 4 didapat χ2tab = 9,49, sehingga dapat disimpulkan terdapat asosiasi antara kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis siswa. Selanjutnya untuk mengetahui derajat asosiasi (ketergantungan) antara variabel yang satu dengan yang lainnya digunakan koefisien kontingensi C (Hendriana, 2009) adalah sebagai berikut : C= 2 hit 2 hit N Cmaks = m 1 m C= C Cmaks Cmaks Keterangan: C : KoefisienKontingensi N : Banyaknya Data m : nilai minimum antara jumlah baris dan kolom. Dari hasil perhitungan diperoleh C= 0,66 dan Cmaks = 0,816, sehingga diperoleh C=0,81 Cmaks yang termasuk ke dalam kriteria tinggi. F. Pembahasan 1. Pemahaman Matematis Dari analisis data hasil penelitian terlihat bahwa kemampuan pemahaman matematis siswa yang pembelajarannya menggunakan pendekatan model-eliciting activities (MEAs) lebih baik daripada siswa yang menggunakan cara konvensional (Konv), dimana kemampuan matematis siswa yang memperoleh pembelajaran dengan 11 pendekatan MEAs dan Konv berada dalam kualifikasi sedang dimana rata-rata hasil belajar siswa berada pada rentang 22-32 dari Skor Maksimum Ideal 40. Tetapi rata-rata kemampuan pemahaman matematis siswa yang menggunakan MEAs di atas 70% sedangkan rata-rata siswa yang menggunakan Konv di bawah 70%. Hasil penelitian ini sejalan dengan teori psikolog Gestalt yang mengatakan bahwa pemahaman atau insight muncul apabila seseorang setelah beberapa saat mencoba memahami masalah, tiba-tiba muncul adanya kejelasan, terlihat olehnya hubungan antara unsur-unsur yang satu dengan yang lain, kemudian dipahami sangkut pautnya dan dimengerti maknanya. Belajar adalah suatu proses dan rentetan penemuan dengan bantuan pengalaman-pengalaman yang sudah ada. (Purwanto, 1996). Dengan belajar melalui pendekatan MEAs siswa mencoba memahami konsep dengan cara melihat hubungan konsep tersebut dengan konsep-konsep yang sudah dikenalnya, kemudian ia melihat adanya kejelasan, dan memahami makna konsepnya sehingga pada akhirnya dapat membuat model matematika yang tepat. Jadi ketika siswa sedang belajar dengan pendekatan MEAs, ia sedang melakukan belajar penemuan dengan bantuan pengalaman-pengalaman yang sudah ada. Hasil inipun sejalan dengan pendapat Sponsel (2003) yang melihat pemahaman matematis didasarkan pada konsep Skemp dan Dubinsky. Menurutnya pemahaman matematis terjadi ketika hubungan diantara konsep-konsep berlangsung, dan sebaliknya akan menjadi sebuah kesulitan yang besar jika hubungan antara konsep tersebut terpisah-pisah. Pendapat Van Hille (1986) juga sejalan dengan hasil penelitian ini, karena menurutnya pemahaman matematis merupakan sebuah proses yang dibangun dari sebuah skema sebelumnya, pemahaman sebelumnya dan jaringan hubungan antar konsep-konsep tersebut. Selain itu pemahaman matematis pun merupakan sebuah proses yang dibangun dengan menggunakan multipel representasi model matematika dari berbagai level berfikir. Karena di dalam model-eliciting activities siswa didorong untuk memaknai konsep matematika yang sudah ada dengan menghubungkannya dengan konsep lain sehingga pemahaman konsepnya menjadi lebih baik, maka hasil penelitian inipun sejalan dengan teori Piaget yang dipengaruhi filsafat sainsnya Toulmin yang mengatakan bahwa bagian terpenting dari pengalaman manusia adalah perkembangan konsep secara evolutif, dengan terus manusia berani mengubah ide-idenya. Tahap pertama dalam perubahan konsep disebut asimilasi, yakni siswa menggunakan konsep yang sudah dimilikinya untuk menghadapi fenomena baru. Namun demikian, suatu ketika siswa dihadapkan fenomena baru yang tidak bisa dipecahkan dengan pengetahuan lamanya, maka ia harus membuat perubahan konsep secara radikal, inilah yang disebut tahap akomodasi. Pengaruh pendekatan model-eliciting activities ini terhadap pemahaman matematis siswa tidak bersamaan dengan faktor lainnya, hal ini terlihat dari hasil penelitian yang menunjukkan tidak terdapat interaksi antara pendekatan pembelajaran dengan kluster sekolah dalam meningkatkan kemampuan pemahaman matematis siswa. Selain itu ditemukan pula bahwa tidak terdapat interaksi antara pendekatan pembelajaran dengan klasifikasi kemampuan awal matematika (KAM) siswa dalam meningkatkan kemampuan pemahaman matematis siswa. Berarti secara bersamaan faktor pendekatan pembelajaran dan KAM tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kemampuan pemahaman matematis siswa. Dari hasil penelitian terlihat bahwa pendekatan pembelajaran lebih berperan daripada kluster sekolah dalam pencapaian kemampuan pemahaman matematis. Selain itu terlihat pula bahwa faktor KAM lebih berperan daripada pendekatan pembelajaran 12 dalam pencapaian kemampuan pemahaman matematis siswa. Sehingga dari dua tabel tersebut kita memperoleh kesimpulan bahwa di antara faktor pendekatan pembelajaran, kluster sekolah dan KAM maka faktor KAM memiliki peran yang lebih besar dibandingkan dengan faktor yang lainnya dalam pencapaian kemampuan pemahaman matematis siswa. Hasil ini sejalan dengan psikologi Gestalt (Purwanto,1996) yang mengatakan bahwa dalam belajar pribadi atau organisme memegang peranan yang paling sentral. Belajar tidak hanya dilakukan secara reaktif mekanistis belaka tetapi dilakukan dengan sadar, bermotif dan bertujuan. 2. Komunikasi Matematis Dari hasil analisis data diketahui bahwa kemampuan komunikasi matematis siswa yang pembelajarannya menggunakan model-eliciting activities lebih baik daripada yang menggunakan cara konvensional, walaupun kemampuan komunikasi matematis siswa yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan MEAs dan yang memperoleh pembelajaran Konv berada dalam kualifikasi. Siswa yang belajar dengan pendekatan MEAs mengkomunikasikan konsep matematiknya dengan menggunakan representasi model matematika yang akurat berdasarkan budaya atau kulturnya seharihari sehingga konsep yang kompleks dan abstrak menjadi lebih konkrit dan mudah dipahami karena disajikan dalam konteks yang sudah dikenal siswa. Hasil ini sejalan dengan pendapat Prijosaksono (2007) yang mengatakan bahwa komunikasi matematis akan berjalan efektif jika memperhatikan aspek-aspek sebagai berikut : Kejelasan (clarity) Ketepatan (accuracy) Konteks(contex) Alur (flow) Budaya (culture) Tidak terdapat interaksi antara pendekatan pembelajaran dengan kluster sekolah dalam meningkatkan kemampuan komunikasi matematis siswa. Berarti secara bersamaan faktor pendekatan pembelajaran dan kluster sekolah tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kemampuan komunikasi matematis siswa. Selain itu ditemukan pula bahwa tidak terdapat interaksi antara pendekatan pembelajaran dengan klasifikasi kemampuan matematika secara umum dalam meningkatkan kemampuan komunikasi matematis siswa. Berarti secara bersamaan faktor pendekatan pembelajaran dan KAM tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kemampuan komunikasi matematis siswa. Dari hasil penelitian terlihat bahwa pada kluster sekolah menengah dan rendah pendekatan pembelajaran lebih berperan daripada kluster sekolah dalam pencapaian kemampuan komunikasi matematis. Selain itu terlihat pula bahwa faktor KAM lebih berperan daripada pendekatan pembelajaran dalam pencapaian kemampuan komunikasi matematis. Sehingga dari dua tabel tersebut kita memperoleh kesimpulan bahwa di antara faktor pendekatan pembalajaran, kluster sekolah dan KAM maka faktor KAM memiliki peran yang lebih besar dibandingkan dengan faktor yang lainnya dalam pencapaian kemampuan komunikasi matematis siswa. Hasil inipun sejalan dengan psikologi gestalt (Purwanto, 1996) yang mengatakan bahwa dalam belajar pribadi atau organisme memegang peranan paling sentral. Belajar tidak hanya dilakukan secara reaktif mekanistis belaka tetapi dilakukan dengan sadar, bermotif dan bertujuan. 3. Asosiasi antara Kemampuan Pemahaman dan Komunikasi Matematis 13 Dari hasil analisis data juga diketahui bahwa terdapat kaitan antara kualitas kemampuan pemahaman matematis siswa dengan kemampuan komunikasi matematisnya. Kaitannya termasuk kategori tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa: (1) Siswa yang kemampuan pemahaman matematisnya baik, kemampuan komunikasi matematisnya baik pula; (2) Siswa yang kemampuan pemahaman matematisnya sedang, kemampuan komunikasi matematisnya sedang pula; (3) Siswa yang kemampuan pemahaman matematisnya kurang, kemampuan komunikasi matematisnya kurang pula. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa siswa yang memiliki kemampuan pemahaman matematis baik pada umumnya dapat mengkomunikasikan pemahaman matematisnya tersebut dengan baik pula. Hal ini sejalan psikologi Gestalt yang mengatakan belajar terjadi jika ada pengertian (insight). Pengertian atau insight ini muncul apabila seseorang setelah beberapa saat mencoba memahami masalah, tiba-tiba muncul adanya kejelasan, terlihat olehnya hubungan antara unsur-unsur yang satu dengan yang lain, kemudian dipahami sangkut pautnya dan dimengerti maknanya karena itu ia dapat mengkomunikasikan pemahamannya dengan baik pula. G. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data, diperoleh kesimpulan sebagai berikut: a. Ditinjau dari siswa secara keseluruhan maupun menurut kluster sekolah dan tingkat kemampuan awal matematika, pencapaian dan perolehan (gain) kemampuan pemahaman matematis dan komunikasi matematis untuk siswa yang pembelajarannya menggunakan model-eliciting activities tergolong cukup baik dan lebih baik daripada kemampuan siswa yang mendapat pembelajaran konvensional yang tergolong sedang. b. Tidak terdapat interaksi antara pendekatan pembelajaran dengan kluster sekolah terhadap pencapaian kemampuan pemahaman matematis dan komuikasi matematis siswa. c. Tidak terdapat interaksi antara pendekatan pembelajaran dan tingkat kemampuan awal matematika (KAM terhadap pencapaian kemampuan pemahaman matematis dan komunikasi matematis siswa d. Terdapat asosiasi yang tinggi antara kemampuan pemahaman dengan kemampuan komunikasi matematis. H. Implikasi Implikasi dari kesimpulan hasil penelitian ini adalah : a. Pendekatan model-eliciting activities efektif diimplemenasikan di Sekolah Menengah Atas (SMA) berbagai kluster dan tingkat kemampuan awal matematika siswa sebagai suatu alternatif dalam proses pembelajaran matematika. b. Pendekatan model-eliciting activities berhasil mengubah paradigma pembelajaran dimana guru sebagai pusat pembelajaran menjadi paradigma siswa menjadi pusat pembelajaran dan guru sebagai motivator dan fasilitator. Pendekatan tersebut juga mengubah paradigma pembelajaran yang merupakan pemindahan pengetahuan (transfer of knowledge) ke arah paradigma baru dimana pembelajaran merupakan kegiatan eksploratif, interaktif, kooperatif dan konstruktif untuk mendapatkan pengetahuan baru. c. Proses pembelajaran dengan pendekatan model-eliciting activities berhasil mengembangkan kemampuan pemahaman dan komunikasi siswa dengan siswa dan siswa dengan guru, sehingga mampu menumbuhkan sikap saling menghargai, 14 menghormati dan saling tolong menolong dalam kebaikan pada proses pembelajaran. d. Penerapan pendekatan pembelajaran model-eliciting activities mendorong kreativitas guru dalam menyiapkan bahan ajar, sehingga diharapkan dapat mengembangkan profesionalisme guru dalam melaksanakan pembelajaran matematika. e. Penerapan pendekatan pembelajaran model-eliciting activities mendukung program pemerintah dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional dimana dengan adanya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) guru dapat mengembangkan model pembelajaran tersebut sesuai dengan kebutuhan. I. Rekomendasi Dari hasil penelitian ini, peneliti memberikan rekomendasi atau saran sebagai berikut: a. Pendekatan model-eliciting activities agar diterapkan dalam proses pembelajaran matematika di Sekolah Menengah Atas (SMA) atau sebagai alternatif model pembelajaran matematika untuk mengembangkan kemampuan matematik lainnya. b. Dalam mengimplementasikan pembelajaran melalui pendekatan MEAs hal-hal penting yang perlu diperhatikan guru adalah: (1) Berikan arahan dan pertanyaan yang tepat untuk membimbing siswa dalam membuat model matematika yang tepat dan mempresentasikan penguasaan konsepnya, (2) Bantuan guru hendaknya tidak tergesa-gesa diberikan agar kecakapan potensial siswa dapat berkembang lebih optimal; (3) Guru hendaknya memperhatikan setting pembelajaran, dimana siswa belajar dalam kelompok kecil sehingga komunikasi yang terjalin lebih berkualitas dan lebih multi arah. c. Karena kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis merupakan kemampuan yang esensial dalam pembelajaran matematika, maka seyogyanya kemampuan-kemampuan tersebut perlu terus diteliti dan dikembangkan mulai tingkat Sekolah Dasar hingga Perguruan Tinggi. d. Pengetahuan awal siswa memiliki peran yang besar terhadap kemampuan siswa dalam menguasai dan mengkomunikasikan konsep yang dipelajarinya, untuk itu sebelum konsep baru disajikan, hendaklah terlebih dahulu dilakukan penguatan konsep prasyarat siswa melalui tehnik scaffolding dan probing yang dapat membantu siswa memperjelas pemikirannya. e. Untuk penelitian selanjutnya hendaknya diteliti penggunaan pendekatan modeleliciting activities yang diterapkan dengan bantuan komputer agar bisa lebih menarik perhatian siswa. DAFTAR PUSTAKA Abdi, A. (2004). Senyum Guru matematika dan Upaya Bangkitkan Gairah Siswa. [Online].Tersedia:http://www.waspada.co.id/serba_serbi/pendidikan/artikel.ph p?article_id=6722 [28 maret 2005] Afgani, J. D. (2004). Meningkatkan Kemampuan Penalaran dan Pemahaman Matematika Siswa SLTP melalui Pendekatan Open-ended. Disertasi pada Pascasarjana UPI, tidak dipublikasikan Ansyari. B. (2004), Menumbuhkembangkan Kemampuan Pemahaman dan Komunikasi Matematik Siswa SMU Melalui Strategi Think-talk-write. Disertasi pada Pascasarjana UPI, tidak dipublikasikan 15 Arikunto, S. (2005). Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan (Edisi Revisi). Jakarta: Bumi Aksara. Cockcroft, W. (1981). Mathematics counts: Report into the teaching of mathematics in schools under the chairmanship of W.H. Cockcroft. London, UK: HMSO. Hendriana, H. (2002). Meningkatkan Kemampuan, Pengajuan dan Pemecahan Masalah Matematika dengan Pembelajaran Berbalik Studi Eksperimen pada Siswa Kelas I SMU Negeri 23 Kota Bandung. Tesis pada Sekolah Pasca Sarjana UPI.: Tidak Diterbitkan. Hendriana, H. (2009). Pembelajaran dengan Pendekatan Methaporical Thinking untuk Meningkatkan Kemampuan Pemahaman Matematik, Komunikasi Matematik dan Kepercayaan Diri Siswa Sekolah Menengah Pertama. Disertasi pada Sekolah Pasca Sarjana UPI : tidak diterbitkan. Jennings, S. & Dunne, R. (1998) Discussion Papers. Tersedia: http://www.ex.ac.uk/telematics/T3/maths/mathfram.htm KTSP (2006). Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Jakarta:Depdiknas. Lesh, R., & Doerr, H. (2003). Foundations of a models and modeling perspective on mathematics teaching, learning, and problem solving. In R. Lesh & H. Doerr (Eds.), Beyond Constructivism: Models and Modeling Perspectives on Mathematics Problem Solving, Learning and Teaching (pp. 3–34). Mahwah, NJ: Erlbaum. Mettes, C.T.W. (1979). Teaching and Learning Problem Solving in Science A General Strategy. International Journal of Science Education, 57(3),882-885. Nindiasari, H (2004). Pembelajaran Metakognitif untuk Meningkatkan Pemahaman dan Koneksi Matematik Siswa SMU ditinjau dari Perkembangan Kognitif Siswa. Tesis pada Sekolah Pasca Sarjana UPI : tidak diterbitkan Rif’at, M. (2001). Pengaruh Pola-Pola Pembelajaran Visual Dalam Rangka Meningkatkan Kemampuan Menyelesaikan Masalah-Masalah Matematika. Disertasi pada Sekolah Pasca Sarjana UPI : tidak diterbitkan. Rohaeti,E.E. (2004). Pembelajaran Matematika dengan menggunakan Metode IMPROVE untuk Meningkatkan Kemampuan Pemahaman dan Komunikasi matematika Siswa SLTP. Tesis pada Sekolah Pasca Sarjana UPI : tidak diterbitkan. Ruseffendi, E.T.(1991). Pengantar kepada Membantu Guru mengembangkan Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito Slettenhaar (2000). Adapting Realistic Mathematics Education in the Indonesian Context. Dalam Majalah Ilmiah Himpunan Matematika Indonesia (Prosiding Konperensi Nasional Matematika X ITB, 17-20 Juli 2000) Sudrajat, (2001). Penerapan SQ3R pada Pembelajaran Tindak Lanjut untuk Peningkatan Kemampuan Komunikasi dalam Matematika SMU. Tesis pada Sekolah Pasca Sarjana UPI : tidak diterbitkan Sukmadewi, T.S. (2004). Mengembangkan Kemampuan Berpikir Matematika Tingkat Tinggi Siswa SMU melalui Belajar dalam Kelompok Kecil dengan Strategi transactional Reading. Bandung: Tesis pada PPS UPI. Tidak diterbitkan. Sumarmo, U. (1993). Peranan Kemampuan Logik dan kegiatan Belajar terhadap kemampuan Pemecahan Masalah Matematik pada siswa SMA di Kodya Bandung. Laporan Penelitian IKIP Bandung : tidak diterbitkan 16 Sumarmo, U. (1994). Suatu Alternatif Pengajaran untuk meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah matematik pada Guru dan Siswa SMP. Laporan Penelitian FPMIPA UPI: Tidak Diterbitkan. Sumarmo, U. (2000). Pengembangan Model Pembelajaran Matematika untuk Meningkatkan Kemampuan intelektual Tingkat Tinggi Siswa sekolah dasar. Laporan Hibah bersaing Tahap I, Tahap II, dan Tahap III: Tidak Diterbitkan. Wahyudin (1999). Kemampuan Guru Matematika, calon guru matematika, dan siswa dalam mata pelajaran matematika. Disertasi pada Sekolah Pasca Sarjana UPI : tidak diterbitkan Wahyudin (2003). Ensiklopedi Matematika dan Peradaban Manusia. Jakarta: Tarity Samudra Berlian. Yaniawati, R.P. (2001). Pembelajaran dengan Pendekatan Open-Ended dalam Upaya Meningkatkan Kemampuan Koneksi Matematik Siswa. Tesis UPI Bandung: Tidak Dipublikasikan. -oOo-