1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Kabupaten Gunungkidul adalah salah satu kabupaten di Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta, yang memiliki ibukota Wonosari. Luas wilayah
Kabupaten Gunungkidul sebesar 1.485,36 km² atau sekitar 46,63% dari luas
wilayah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Secara geografis, Kabupaten
Gunungkidul terletak pada 110°21' BT - 110°50' BT dan 7°46' LS - 8°09' LS
atau (426143 mT - 482396 mT dan 9092577 mU – 9139583 mU). Kabupaten
Gunungkidul terdiri dari 18 kecamatan dan 144 desa (Kabupaten Gunungkidul,
2012).
Kabupaten Gunungkidul adalah kawasan bagian ekosistem karst yang
terbentang sepanjang perbukitan Gunung Sewu
mulai dari Kabupaten
Kebumen Provinsi Jawa Tengah hingga Kabupaten Pacitan Provinsi Jawa
Timur. Tipe karst Gunung Sewu adalah aset dunia (world heritage) di daerah
iklim
tropik
dan
memiliki
struktur
kekar
(joint)
yang
sangat
berkembang,sehingga daerah ini sangat meluluskan air. Kondisi topografi
yang
berbukit serta
banyak
rekahan
menyebabkan
proses
solusional
berlangsung cukup intensif. Hujan yang jatuh di daerah ini langsung masuk
ke dalam tanah melalui rekahan yang ada dan membentuk aliran sungai
bawah permukaan (sungai bawah tanah) dan sebagian ada yang membentuk
telaga karst (karst lake) karena lubang ponor yang tersumbat oleh endapan
lempung. Potensi air yang ada di daerah karst Kabupaten Gunungkidul dan
potensial untuk dimanfaatkan meliputi air hujan, air permukaan, dan sungai
bawah tanah.
Dengan melihat letak geografis dan kondisi ekosistem di atas serta
kenyataan yang ada di Kabupaten Gunungkidul, maka daerah tersebut sering
mengalami krisis air meskipun mempunyai curah hujan cukup tinggi. Hal ini
disebabkan batuan karst sangat mudah menyerap air hujan dan pada lapisan
bawah permukaan membentuk aliran sungai bawah tanah. Kondisi ini
1
mengakibatkan Kabupaten Gunungkidul dikatakan sebagai daerah miskin air dan
bencana kekeringan
menjadi
permasalahan
yang
sering
dihadapi
oleh
penduduk di daerah tersebut.
Kabupaten Gunungkidul memiliki daerah kering paling kritis untuk
wilayah pesisir selatan yang berbatasan dengan Samudera Hindia (Harjono,
1992). Dari 18 kecamatan yang ada di Kabupaten Gunung Kidul, ada 15
kecamatan berpotensi kering dan 8 kecamatan diantaranya sangat kering di
waktu
musim
kemarau
(bulan
Juli-Agustus),
antara
lain
Kecamatan
Tanjungsari, Tepus, Semanu, Rongkop, Paliyan, Saptosari, Gedangsari, dan
Girisubo.
Kedelapan
kecamatan
tersebut
menjadi
prioritas
pemerintah
Kabupaten Gunungkidul untuk pengiriman tangki air, yaitu sekitar 20-30
tangki air.
Air merupakan kebutuhan pokok dan vital untuk berlangsungnya suatu
kehidupan, terutama manusia. Berdasarkan hasil penelitian, manusia hanya
dapat bertahan hidup selama 4 hari tanpa air. Padahal keberadaan air di bumi,
hanya 3% berupa air permukaan dan sebagian besar (97%) adalah air tanah.
Kabupaten Gunungkidul sebagai kawasan karst
juga dicirikan dengan
minimnya sungai permukaan, sehingga keberadaan air permukaan dapat dikaji
dari keterdapatan telaga karst yang terbentuk karena lubang ponor tersumbat.
Keberadaan air di Kabupaten Gunungkidul tidak tersebar secara merata,
baik secara spasial maupun temporal. Untuk memenuhi kebutuhan air,
sebagian penduduk di Kabupaten Gunungkidul harus menempuh perjalanan
beberapa kilometer untuk mendapatkan air telaga terutama untuk keperluan
masak dan minum. Air telaga adalah salah satu pemenuhan kebutuhan air,
namun demikian permasalahannya air telaga juga akan kering pada waktu
musim kemarau. Pada saat kondisi telaga telah menjadi kering, maka
penduduk harus menunggu bantuan air dari pemerintah. Permasalahan yang
timbul berikutnya adalah pasokan air sering tidak mencukupi kebutuhan
penduduk. Hal ini mengakibatkan adanya bisnis air oleh pihak swasta
sehingga harga air menjadi semakin mahal (Anonim, 2003).
2
Potensi air di daerah karst Kabupaten Gunungkidul selain diperoleh
melalui air permukaan yang diambil dari telaga, juga dapat diperoleh melalui
pemunculan air tanah secara alami berupa mata air (spring) maupun rembesan
(seepage). Mata air adalah pemusatan pengeluaran air tanah yang muncul
pada permukaan tanah sebagai arus dari aliran air, dan jika pengeluarannya
tidak terpusat membentuk suatu bidang dinamakan rembesan. Menurut
Suratman (1996 dalam Ideo, 2014),
persebaran mata air
di Kabupaten
Gunungkidul ada di kecamatan, antara lain Kecamatan Panggang (13 mata
air),
Kecamatan Semanu (4 mataair), Kecamatan Ponjong (9
mataair), dan
Kecamatan Semin (3 mataair). Besarnya debit di mata air tersebut cukup
bervariasi dan mampu menambah simpanan air di kawasan karst Kabupaten
Gunungkidul.
Seyogyanya, mataair memiliki jumlah dan mutu air yang relatif tetap baik
pada musim penghujan maupun pada musim kemarau. Terlebih lagi dalam
pengembangan persedian air bagi masyarakat, jumlah dan mutu air menjadi hal
yang penting (Linzey dan Franzini, 1986 dalam Suhadi, 2012). Hal ini memiliki
arti bahwa selain jumlah air yang harus mencukupi kebutuhan, juga perlu
diperhatikan mengenai kualitas airnya. Namun hal itu sedikit berbeda jika kita
melihat kenyataan pemanfaatan air di daerah bentuklahan solusional berupa karst
atau bentuklahan denudasional yang mengalami proses struktural. Di daerah ini
penduduk menilai bahwa jumlah air lebih penting dibandingkan dengan kualitas
air dari sumber mataair.
Bentuklahan asal proses solusional (karst) merupakan bentuklahan
yang terbentuk oleh proses pelarutan (solusional) pada batuan yang mudah larut
seperti batugamping, dolomit, gypsum, dan batugaram. Bentuklahan karst
yang khusus tersusun dari batugamping berasal dari batukarang di dasar laut
yang mengalami pengangkatan. Wilayah karst di Jawa dapat ditemui di
beberapa tempat seperti pada Pegunungan Sewu di Kabupaten Gunungkidul
bagian selatan, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Kabupaten Pacitan
bagian selatan dan Kabupaten Kebumen bagian selatan, Provinsi Jawa
Tengah, serta di daerah Pangandaran, Provinsi Jawa Barat. Batukarang yang
3
berada di dasar laut mengalami proses pengangkatan oleh aktivitas tektonik.
Batukarang yang terangkat menjadi batugamping memiliki karakter relatif lunak
sehingga mudah terlarutkan oleh air. Air yang mengisi rongga batuan berperan
dalam memperlebar celah batuan dan menghasilkan kantong-kantong air di
dalam batuan. Sementara itu, proses pelarutan batugamping di permukaan
bumi
menimbulkan
kenampakan
berupa bukit-bukit
batugamping.
Batugamping yang cenderung resisten dan memiliki sedikit rongga/celah
batuan
akan
membentuk
kubah/bukit
yang
disebut
kubah karst
atau
perbukitan karst jika berjumlah banyak, sebaliknya bagian yang memiliki
rongga/celah batuan yang lebih banyak akan terlarutkan dan membentuk lembah
karst atau cekungan karst, dolina, dan uvala.
Bentuklahan
asal
proses
denudasional
merupakan
satuan
besar
bentuklahan yang terbentuk oleh proses eksogen berupa degradasi/denudasi, yaitu
proses
pelapukan,
erosi,
longsor,
dan
transportasi.
Contoh
satuan
bentuklahan denudasional berupa pegunungan terkikis, perbukitan terkikis,
bukit
sisa,
kaki lereng,
kipas
rombakan
lereng,
dan
lahan
rusak.
Bentuklahan asal proses struktural merupakan satuan besar bentuklahan yang
terbenuk akibat pengaruh struktur geologis yang kuat seperti patahan dan
lipatan. Kenampakan di alam berupa pegunungan blok sesar, gawir sesar,
pegunungan lipatan, dan perbukitan plato. Bentuklahan struktural di wilayah
beriklim tropis biasanya bekerja pula proses denudasional berupa pelapukan,
erosi, dan transportasi material permukaan bumi. Contoh bentuklahan struktural
yang mengalami proses denudasional ialah Perbukitan Baturagung di Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta. Perbukitan Baturagung berada pada perbatasan
Kabupaten Bantul dan Kabupaten Sleman dengan Kabupaten Gunungkidul,
serta perbatasan Kabupaten Gunungkidul dengan Kabupaten Klaten, Provinsi
Jawa Tengah. Perbukitan Baturagung terbentuk dari proses struktural. Hal itu
didukung dengan ditemukannya gawir sesar atau bidang patahan berupa
patahan bertingkat yang ditunjukkan pada Gambar 1.1. Sementara itu proses
denudasional di Perbukitan Baturagung tampak dari adanya
batuan
yang
tersingkap, pelapukan, erosi, dan transportasi di permukaan tanah.
4
Gambar 1.1 Gawir Sesar Perbukitan Baturagung
Sumber : Pengamatan di lapangan (Pratya, 2016)
Salah satu kecamatan yang berada pada Perbukitan Baturagung yaitu
Kecamatan Gedangsari, Kabupaten Gunungkidul. Sumber air utama yang
digunakan masyarakat di Kecamatan Gedangsari berupa mataair dan sumur gali.
Sumur gali banyak dimanfaatkan saat musim penghujan di wilayah Desa Ngalang,
Desa Hargomulyo, Desa Tegalrejo, dan Desa Sampang. Sumur gali di Desa
Hargomulyo, Desa Sampang, dan Desa Tegalrejo bagian bawah masih
dimanfaatkan walaupun kedalaman muka air sumur mencapai lebih dari 10
meter dari permukaan tanah. Mataair cukup banyak ditemukan di Kecamatan
Gedangsari. Mataair dimanfaatkan oleh masyarakat
Serut, Desa
Sampang,
dan
Desa
Watugajah
saat
Desa Mertelu, Desa
musim
penghujan.
Sementara saat musim kemarau mataair yang dimanfaatkan berada di Desa
Ngalang, Desa Hargomulyo, Desa Serut, Desa Sampang, Desa Watugajah,
Desa Mertelu, dan Desa Tegalrejo. Obyek kajian yang akan diteliti ialah
mataair yang berada di Kecamatan Gedangsari, Kabupaten Gunungkidul.
Kecamatan Gedangsari berada pada lereng selatan Perbukitan Baturagung.
Kecamatan Gedangsari tergolong dalam kecamatan yang sulit memperoleh
air,
terutama
pada
wilayah
utara
yang merupakan bagian
Baturagung. Keberadaan mataair menjadi hal yang sangat
Perbukitan
penting
bagi
5
penduduk
guna
mencukupi
kebutuhan air
untuk kehidupan sehari-hari.
Mataair menjadi sumber air utama penduduk terutama saat musim kemarau.
1.2
Perumusan Masalah
Keberadaan mataair di Kecamatan Gedangsari perlu dikaji lebih
mendalam secara kuantitas maupun kualitas. Ketersediaan air selalu tetap pada
siklus hidrologi, sementara pertumbuhan penduduk akan selalu bertambah
membuat sumberdaya air dirasa kurang oleh masyarakat. Kesulitan akan air bersih
di daerah penelitian dapat sedikit teratasi dengan munculnya mataair. Tetapi
dengan terus bertambahnya jumlah penduduk, maka keberadaan mataair ini
lambat laun akan menipis dan tidak cukup dalam memenuhi kebutuhan air
masyarakat. Sementara itu, secara kualitas, air yang berada di daerah penelitian
terpengaruh oleh batuan penyusun pada aquifernya. Batuan penyusun di daerah
penelitian cenderung mudah larut mengandung zat kapur. Oleh karena itu, kadar
pH, Besi total (Fe), kesadahan (CaCO3), Klorida(Cl-), dan Mangan (Mn) akan di
teliti secara lebih lanjut. Persebaran mataair, dan mengenai potensi dari mataair
baik secara kuantitas dan kualitas airnya perlu diketahui lebih lanjut. Secara
pemenuhan kebutuhan akan air oleh masyarakat juga akan dapat diketahui dari
adanya kajian mataair di Kecamatan Gedangsari.
Berdasarkan permasalahan
permasalahan tersebut maka dapat merumuskan masalah sebagai berkut:
1. Bagaimana pola persebaran keruangan mata air di Kecamatan
Gedangsari?
2. Bagaimana potensi mata air baik secara kuantitas dan kualitas?
1.3
Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah tersebut dapat ditarik tujuan penelitian
sebagai berikut:
1. Mengetahui pola persebaran mataair di Kecamatan Gedangsari.
2. Mengkaji karaketristik mataair baik secara kuantitas dan kualitas mataair
di daerah penelitian.
6
1.4
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis
maupun praktis.
1. Manfaat teoritis
a. Sebagai sumbangan bagi ilmu geografi, khususnya geografi fisik
(hidrologi).
b. Sebagai sumber literatur bagi penelitian sejenis di masa mendatang.
2. Manfaat praktis
a. Bagi instansi/lembaga pemerintah terkait, dapat memberikan informasi
tentang pola dan potensi air telaga saat ini, kualitas mataair dan
kelayakannya untuk pemenuhan kebutuhan air minum penduduk, serta
upaya pelestarian potensi mataair yang ada sehingga dapat dijadikan
sebagai
masukan
dalam
penyusunan kebijakan-kebijakan selanjutnya
terkait keberadaan sumberdaya air.
b. Bagi masyarakat Kecamatan Gedangsari Kabupaten Gunungkidul, dapat
memberikan pengetahuan
mereka
manfaatkan
tentang
untuk
kualitas
pemenuhan
mataair
kebutuhan
yang
utamanya
domestik
dan
kelayakannya jika dikonsumsi sebagai air minum berdasarkan standar baku
mutu air Permenkes RI No.416/MENKES/Per/IX/1990 Lampiran II.
7
Download