perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user 4 BAB II

advertisement
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Nanah
Infeksi bakteri sering menyebabkan konsentrasi polimorfonuklear
yang sangat tinggi yang tertimbun di dalam jaringan, dan banyak sel-sel
ini mati serta membebaskan enzim-enzim hidrolitiknya yang kuat ke
sekitarnya. Dalam keadaan ini, enzim-enzim polimorfonuklear secara
harafiah mencerna jaringan di bawahnya dan mencairkannya. Kombinasi
agregasi neutrofil dan pencairan jaringan-jaringan di bawahnya ini
disebut supurasi, dan dengan demikian eksudat yang terbentuk disebut
eksudat supuratif, atau lebih sering disebut nanah atau pus.
Jika terjadi supurasi lokal di dalam jaringan padat, lesi yang
diakibatkan disebut abses. Abses adalah sebuah lubang berisi nanah yang
terdapat di dalam jaringan yang terkena. Abses merupakan lesi yang sulit
diatasi oleh tubuh karena kecenderungannya untuk membesar dengan
pencairan jaringan yang lebih luas, membentuk lubang dan resistensi
terhadap penyembuhan. Penanganan abses oleh tubuh sangat dibantu
oleh proses pengaliran keluar abses secara pembedahan, sehingga
memungkinkan ruangan tertutup yang sebelumnya terisi nanah akan
mengecil dan sembuh.
Jika abses pecah pada permukaan dan menimbulkan saluran keluar
commit to user
yang berakhir begitu saja dalam ruang abses maka saluran buntu ini
4
5
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
disebut sinus. Sebaliknya, jika abses meluas ke dua permukaan yang
terpisah,
maka
dapat
menimbulkan
saluran
abnormal
yang
menghubungkan dua organ atau menghubungkan lumen organ berongga
dan permukaan tubuh disebut fistula (Price dan Wilson, 2006).
a. Spesimen nanah
Salah satu hal yang umum diobservasi pada proses penyakit
infeksi yaitu produksi dari nanah yang merupakan hasil dari invasi
bakteri pada kavitas, jaringan atau organ tubuh. Dikarenakan posisi
anatomis produksi nanah bervariasi, sehingga organisme yang
berperan dalam terjadinya infeksi pun bervariasi. Semua bakteri yang
merupakan flora normal memiliki peran dalam pembentukan nanah.
Beberapa jamur, terutama jamur yang dapat bermultiplikasi pada
jaringan tubuh, juga berperan dalam pembentukan nanah. Tetapi,
produksi nanah jarang ditemukan pada infeksi virus (WHO, 2003).
1) Etiologi spesimen
a) Luka bedah
Spesimen yang didapat ketika dilakukan tindakan operasi
dapat didapat dengan mengaspirasi abses lokal atau dengan
prosedur operatif lain. Operator sebaiknya mendapatkan sampel
dari jaringan yang representatif dan apabila ada eksudat yang
purulen. Apabila memungkinkan, jangan menggunakan kapas
steril. Spesimen diambil menggunakan spuit dan jarum. Apabila
commit to user
6
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
kapas steril diperlukan, ambil sebanyak mungkin nanah yang
ada dan disimpan pada kontainer steril.
b) Luka tusuk
Lesi yang disebabkan oleh tusukan yang merusak kulit
mengandung berbagai mikroorganisme yang mana merupakan
bagian dari flora normal kulit atau flora normal dari tanah dan
air. Luka tusuk yang merusak sampai pada usus akan
menyebabkan kerusakan yang lebih fatal karena flora usus dapat
berkontribusi terjadinya infeksi pada luka dan kavitas peritoneal.
c) Luka infeksi nosokomial
Infeksi terkait rumah sakit diketahui lebih sering terjadi di
bagian bedah. Angka kejadian infeksi luka pascaoperasi
bervariasi dari satu rumah sakit dengan rumah sakit lain, dan
kejadian tertinggi merupakan pasien dengan operasi bagian
perut, dada atau ortopedi. Infeksi luka bedah dapat terjadi
setelah
pembedahan
atau
beberapa
hari
setelahnya.
Staphylococcus aureus merupakan bakteri terbanyak yang
ditemukan pada infeksi ini, diikuti oleh Eschericia coli (WHO,
2003).
2) Pengumpulan spesimen
a) Prinsip pengumpulan spesimen
Untuk mendapatkan sampel yang tepat maka diperlukan
prinsip dasar dari pengumpulan spesimen mikrobiologis, yaitu:
commit to user
7
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
(1) Apabila memungkinkan, spesimen diambil saat fase akut
dari infeksi dan sebelum diberi antibiotik
(2) Pilih tempat pengambilan sampel yang tepat sesuai dengan
spesimen yang diambil
(3) Kumpulkan spesimen menggunakan teknik yang tepat dan
seminimal mungkin hindari kontaminasi dari flora normal
(4) Kumpulkan jumlah spesimen yang dibutuhkan dengan
tepat
(5) Simpan spesimen pada kontainer yang didesain untuk
menjaga viabilitas dari organisme dan menghindarkan dari
kebocoran yang akan merusak spesimen
(6) Beri label pada spesimen dengan tepat sesuai dengan
tempat diambilnya sampel dan identitas pasien
(7) Kirim spesimen ke laboratorium sesegera mungkin atau
simpan spesimen pada lingkungan yang tidak akan
mempengaruhi keberadaan spesimen
b) Prosedur pengambilan sampel
Spesimen untuk kultur mikrobiologi sebaiknya dikumpulkan
pada kontainer yang steril, kecuali spesimen feces, yang dapat
dikumpulkan pada kontainer yang bersih dan antibocor.
Penggunaan
lidi
steril
tidak
direkomendasikan
untuk
pengumpulan spesimen dikarenakan tidak dapat mengumpulkan
jumlah kuantitas yang cukup, mudah terkontaminasi, mudah
commit to user
8
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
untuk mengering dan menyebabkan berkurangnya organisme.
Lidi steril lebih tepat untuk spesimen yang berasal dari saluran
pernapasan atas, bagian luar telinga, mata dan traktus genital.
Ujung dari lidi steril mengandung kapas, dacron atau kalsium
alginat. Ujung lidi yang mengandung kapas memiliki asam
lemak berlebihan, yang bersifat toksik pada beberapa bakteri.
Lidi dengan ujung dacron dan polyester memiliki penggunaan
yang luas. Pengumpulan spesimen menggunakan lidi steril lebih
tepat pada spesimen yang butuh media transpor dan melindungi
spesimen mengering.
Adanya lesi, luka dan abses menjadi permasalahan pada
laboratorium mikrobiologi. Istilah luka tidak diperbolehkan pada
label spesimen, tetapi harus ditulis posisi anatomis tempat
pengambilan spesimen. Spesimen yang diambil dari lesi
seharusnya diambil dengan menggunakan aspirasi jarum
daripada menggunakan lidi steril. Sebelum spesimen diambil,
bersihkan terlebih dahulu untuk menghilangkan flora komensal
(Mahon et al., 2011).
(1) Abses
Teknik untuk mengumpulkan nanah dan bagian-bagian
dari dinding abses yaitu menggunakan prosedur operatif.
Spuit dan jarum dibutuhkan untuk mengaspirasi sebanyak
mungkin nanah, yang kemudian secara aseptik diletakkan
commit to user
9
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pada kontainer spesimen steril. Apabila kontainer steril
tidak ada, spesimen tersebut harus disimpan di dalam spuit
dengan jarum yang tertutup, dan spuit tersebut sebagai
kontainer untuk dibawa ke laboratorium. Spesimen harus
segera diproses di laboratorium.
Lidi steril dapat juga digunakan untuk mengumpulkan
jumlah yang kecil dari nanah, atau nanah yang berasal dari
bagian tubuh khusus, seperti mata. Ketika bagian dari
jaringan dibutuhkan dari dinding abses, maka laborat
seharusnya memipis jaringan tersebut, menggunakan
sejumlah kecil dari kaldu steril sebagai pelarut, atau
melunakkan
jaringan
menjadi
bagian-bagian
kecil
menggunakan gunting steril.
(2) Laserasi, luka tusuk, luka pascaoperasi, luka bakar dan
ulkus dekubitus
Setelah laborat membersihkan daerah yang akan
diambil untuk spesimen, operator harus melihat ke dalam
permukaan pada nanah yang telah terkumpul, jaringan
yang rusak, krepitasi atau tanda-tanda abnormal yang lain.
Bagian dari jaringan yang berperan dalam tanda-tanda
tersebut sebaiknya tidak digunakan dalam kultur dan
diletakkan pada tempat yang steril untuk diproses. Nanah
atau eksudat lain sebaiknya dikumpulkan dan disimpan
commit to user
10
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pada tabung steril secara hati-hati. Apusan bisa digunakan
apabila penting.
(3) Sinus atau drainase limfonodi
Ketika
sebuah
menunjukkan
drainase
sinus
tanda-tanda
harus
atau
drainase
drainase
dikumpulkan
limfonodi
spontan,
dengan
materi
hati-hati
menggunakan pipet Pasteur dan disimpan pada tabung
steril. Apabila discharge tidak ada, operator sebaiknya
mengambil material yang purulen dengan spuit steril dan
jarum. Sekali lagi, lidi steril hanya digunakan apabila pipet
Pasteur tidak ada.
(4) Eksudat
Akumulasi cairan yang abnormal di dalam kavitas
tubuh seperti pleura, sendi atau lapisan peritoneal
membutuhkan prosedur operatif untuk mengaspirasi
spesimen ke dalam kontainer steril untuk dibawa ke
laboratorium mikrobiologi atau sitologi (WHO, 2003).
b. Pengawetan, penyimpanan dan transpor spesimen
Transpor spesimen merupakan komponen penting dari proses
preanalisis uji mikrobiologi. Tujuan utama dari transpor spesimen ke
laboratorium adalah untuk mengatur keadaan spesimen tersebut
seperti keadaan asli. Idealnya spesimen dikirim ke laboratorium dalam
30 menit setelah pengambilan spesimen, maksimal 2 jam. Apabila
commit to user
11
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
transpor spesimen ke laboratorium tertunda, atau apabila spesimen
tidak diproses segera setelah diterima laboratorium, maka spesimen
dapat diatur dengan penyimpanan secara spesifik dengan penggunaan
bahan pengawet, antikoagulan, media transpor dan media kultur.
Beberapa spesimen yang tidak segera dikirim atau diproses dapat
diatur dengan disimpan di kondisi lingkungan yang spesifik. Beberapa
spesimen seperti urin, feces, sputum, apusan (bukan anaerob), alat
medis seperti kateter, dan spesimen virus dapat diatur pada temperatur
lemari pendingin (4 ̊ C) dalam 24 jam. Patogen yang sensitif pada
dingin harus disimpan pada temperatur ruang. Cairan serebrospinal
dapat disimpan pada inkubator dengan suhu 35 ̊ C dalam waktu 6 jam
(Mahon et al., 2011).
2. Staphylococcus aureus
a. Morfologi dan identifikasi
1) Ciri-ciri organisme
S. aureus adalah bakteri berbentuk bulat, bersifat gram positif,
biasanya tersusun dalam rangkaian tidak beraturan seperti buah
anggur. Beberapa diantaranya tergolong flora normal pada kulit
dan selaput mukosa manusia, menyebabkan penanahan, abses,
berbagai infeksi piogen dan bahkan septikemia yang fatal. S.
aureus mengandung polisakarida dan protein yang berfungsi
sebagai antigen dan merupakan substansi penting di dalam struktur
commit to user
12
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dinding sel, tidak membentuk spora dan tidak membentuk flagel
(Brooks et al., 2013).
2) Epidemiologi
Habitat utama dari S. aureus adalah pada hidung. Selain di
hidung, kolonisasi S. aureus ditemukan di aksila, vagina, faring dan
permukaan kulit (Mahon et al., 2011). Diperkirakan 10-40% pada
manusia sehat terdapat koloni S. aureus di dalam hidung (FreemanCook dan Freeman Cook, 2005).
3) Sifat kultur
S. aureus tumbuh dengan baik pada berbagai media
bakteriologik dibawah suasana aerobik atau mikroaerofilik.
Tumbuh dengan cepat pada temperatur 37 ̊ C namun pembentukan
pigmen yang terbaik adalah pada temperatur kamar (20 ̊ - 35 ̊ C).
Koloni pada media yang padat akan berbentuk bulat, halus,
menonjol
dan
berkilau-kilau
membentuk
berbagai
pigmen
berwarna kuning keemasan (Brooks et al., 2013).
4) Sifat-sifat pertumbuhan
S. aureus menghasilkan katalase, yang membedakannya
dengan kelompok bakteri streptokokus. Bakteri ini meragikan
banyak karbohidrat dengan lambat, menghasilkan asam laktat tetapi
tidak menghasilkan gas. Bakteri ini relatif resisten terhadap
pengeringan dan panas (Brooks et al., 2013). Apabila kondisi untuk
tumbuh tidak mendukung, S. aureus dapat bertahan selama
commit to user
13
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
beberapa tahun dalam masa dorman, yaitu menjadi tidak aktif dan
menunggu waktu yang tepat untuk tumbuh. Kemudian, bakteri ini
dapat tumbuh kembali ketika kondisi sudah mendukung (FreemanCook dan Freeman-Cook, 2005).
b. Faktor virulensi
Patogenisitas dari S. aureus meliputi berbagai faktor virulensi
yaitu enterotoksin, toksin sitolitik dan komponen seluler seperti
protein A. Beberapa toksin sitolitik dan toksin eksfoliatif telah
teridentifikasi. Namun, faktor virulensi tersebut membuat S. aureus
bersifat resisten dan menjadi mikroorganisme patogen.
1) Enterotoksin
Enterotoksin pada stafilokokus merupakan enterotoksin yang
stabil terhadap panas yang menyebabkan berbagai gejala seperti
diare dan mual muntah. Secara serologis enterotoksin dibedakan
menjadi enterotoksin grup A sampai E dan G sampai J. Toksintoksin ini memproduksi 30%-50% dari isolat S. aureus. Karena
enterotoksin stabil terhadap suhu 100 ̊ C dalam 30 menit, makanan
yang terkontaminasi S. aureus apabila dipanaskan tidak akan
mencegah penularan.
Keracunan makanan karena S. aureus pada umumnya
disebabkan oleh enterotoksin A, B dan D. Enterotoksin B dan C
dan terkadang G dan I berhubungan dengan sindrom syok toksik.
Enterotoksin B juga berhubungan dengan pseudomembran
commit to user
14
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
enterokolitis stafilokokus. Toksin-toksin ini, bersama dengan toxic
shock syndrome toxin-1 (TSST-1), yang merupakan superantigen
yang memiliki kemampuan untuk berinteraksi dengan sel T,
mengaktifkan respon imun (Mahon et al., 2011).
2) Toxic shock syndrome toxin-1 (TSST-1)
Toxic shock syndrome toxin-1 (TSST-1) menyebabkan hampir
semua kasus yang berhubungan dengan sindrom syok toksik.
TSST-1 merupakan superantigen yang menstimulasi proliferasi dari
sel T dan produksi yang berlebihan oleh sitokin yang menyebabkan
munculnya gejala. Pada konsentrasi yang rendah, TSST-1
menyebabkan kebocoran sel endotel dan pada konsentrasi yang
tinggi, toksin ini bersifat sitotoksik pada sel.
3) Toksin eksfoliatif
Toksin eksfoliatif diproduksi oleh fage grup II, toksin ini juga
disebut toksin epidermolitik. Toksin ini menyebabkan lapisan
epidermis kulit mengelupas dan dikenal sebagai penyebab sindrom
kulit lepuh stafilokokus, terkadang disebut penyakit Ritter. Toksin
ini juga menyebabkan impetigo bulosa.
4) Toksin sitolitik
S. aureus memproduksi protein ekstraseluler lain yang
mempengaruhi sel darah merah dan leukosit. Hemolisin dan
leukosidin merupakan toksin sitolitik dari S. aureus. S. aureus
memproduksi empat tipe hemolisin: alfa, beta, gamma dan delta.
commit to user
15
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Hemolisin α, yang akan melisiskan eritrosit, mampu merusak
trombosit dan makrofag dan menyebabkan kerusakan jaringan.
Hemolisin β berperan pada spingomielin di membran plasma
eritrosit. Aktivitas hemolisin β terjadi pada fase inkubasi pada
temperatur 37 ̊ C dan pada temperatur 4 ̊ C. Hemolisin δ merupakan
toksin sitolitik dengan konsentrasi tertinggi pada S. aureus dan
kelompok stafilokokus koagulase negatif, dikatakan kurang toksik
pada struktur sel dibandingkan dengan hemolisin α dan hemolisin
β. Hemolisin γ terkadang hanya ditemukan pada Panton-Valentine
leukocidin (PVL).
Leukosidin stafilokokus, PVL, merupakan eksotoksin yang
mematikan
terhadap
leukosit
polimorfonuklear.
Toksin
ini
berhubungan dengan sifat invasif dari mikroorganisme dengan
menekan fagositosis dan berhubungan dengan infeksi kulit dan
pneumonia.
5) Enzim
Stafilokoagulase hanya diproduksi oleh S. aureus. Walaupun
peran dari koagulase pada patogenisitas kurang jelas, tetapi
dikatakan sifat ini merupakan tanda virulensi. Banyak strain dari S.
aureus menghasilkan hialuronidase. Enzim ini menghidrolisis asam
hialuronat yang ada pada substansi intraseluler pada jaringan ikat,
menyebarkan infeksi bakteri. Lipase diproduksi baik pada
stafilokokus koagulase positif dan negatif. Lipase berperan pada
commit to user
16
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
lemak yang ada pada permukaan kulit, lebih khusus lagi pada
kelenjar minyak. Protease, lipase dan hialuronidase mampu
menghancurkan jaringan dan berperan dalam penyebaran infeksi
pada jaringan.
Protein A merupakan salah satu dari komponen seluler yang
telah diidentifikasi terdapat pada dinding sel
S. aureus.
Kemungkinan peran penting dari protein A terhadap terjadinya
infeksi disebabkan karena S. aureus dan kemampuan dari protein A
untuk berikatan dengan porsi Fc pada imunoglobulin G (IgG).
Ikatan ini menetralkan IgG dan dapat menahan terjadinya
fagositosis (Mahon et al., 2011).
c. Infeksi Staphylococcus aureus
Infeksi S. aureus dipengaruhi oleh virulensi dari strain bakteri,
ukuran inokulum dan sistem imun inang. Infeksi terjadi dimulai dari
rusaknya kulit atau pelindung mukosa yang menyebabkan jalan masuk
untuk bakteri ke jaringan lemak atau aliran darah. Individu dengan
mekanisme pertahanan tubuh yang normal akan lebih mudah untuk
melawan infeksi ini dibandingkan dengan yang mengalami defisiensi
imun. Ketika mikroorganisme telah memasuki sistem pertahanan
tubuh, hal ini akan mengaktifkan respon inflamasi dari inang, yang
menyebabkan proliferasi dan aktivasi dari sel polimorfonuklear.
commit to user
17
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
1) Infeksi kulit dan luka
Infeksi yang disebabkan oleh S. aureus bersifat supuratif.
Abses terisi oleh nanah dan dikelilingi oleh jaringan nekrotik dan
leukosit yang mengalami kerusakan. Beberapa dari infeksi kulit
yang disebabkan S. aureus seperti folikulitis, furunkel, karbunkel
dan impetigo bulosa. Infeksi ini biasa terjadi karena hasil dari
perlukaan kulit yang sudah terjadi sebelumnya, seperti luka bakar,
luka gores dan luka bedah. Folikulitis merupakan inflamasi folikel
rambut atau kelenjar minyak yang ringan, daerah yang terinfeksi
membengkak dan berwarna merah. Furunkel, yang mana infeksi
lanjut dari folikulitis berukuran lebih besar, bengkak, dan
berbentuk abses. Karbunkel merupakan infeksi lanjut dari furunkel
dan mengenai jaringan yang lebih dalam. Tidak seperti furunkel,
pasien karbunkel terkadang mengalami demam, indikasi bahwa
bakteri telah menyerang secara sistemik. Impetigo bulosa yang
disebabkan oleh S. aureus berbeda dengan impetigo nonbulosa
streptokokus. Pada infeksi S. aureus, pustula lebih besar dan
dikelilingi oleh daerah kecil eritem. Impetigo bulosa sangat mudah
menular melalui kontak langsung maupun inokulasi.
2) Sindrom kulit lepuh
Sindrom kulit lepuh atau penyakit Ritter, merupakan dermatitis
eksfoliatif yang terjadi pada bayi baru lahir dan anak-anak.
Sindrom ini disebabkan oleh toksin eksfoliatif yang diproduksi oleh
commit to user
18
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
faga S. aureus grup II. Penyakit ini juga terjadi pada orang dewasa.
Kasus sindrom kulit lepuh pada orang dewasa sering terjadi pada
pasien dengan gagal ginjal kronis dan pasien immunocompromised.
Tingkat mortalitas pada anak-anak sebesar 0%-7%, sementara pada
orang dewasa sebesar 50%.
Tingkat keparahan dari penyakit ini bervariasi mulai dari lesi
kulit lokal dalam bentuk impetigo bulosa sampai pada kondisi yang
lebih parah. Manifestasi impetigo bulosa sebagai lesi lokal
mengandung materi yang purulen. Lesi ini dapat menjadi lebih
parah, yang mana bercirikan eritem diikuti oleh pengelupasan dari
lapisan epidermis.
3) Sindrom syok toksik
Sindrom syok toksik secara umum menghasilkan infeksi lokal,
hanya toksin TSST-1 yang menyebabkan infeksi sistemik.
Manifestasi klinis awal dari sindrom syok toksik meliputi panas
tinggi, ruam, tanda-tanda dehidrasi, diare dan muntah selama
beberapa hari. Pada kasus yang ekstrim, pasien mungkin terjadi
hipotensi dan syok. Ruam biasa ditemukan pada badan tetapi dapat
menyebar ke seluruh tubuh. Hasil laboratorium darah rutin
menghasilkan peningkatan angka leukosit. Jumlah dari trombosit
menurun, dan walaupun tidak ada bukti terjadinya perdarahan,
koagulasi pembuluh darah bisa terjadi.
commit to user
19
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
4) Nekrolisis epidermal toksik
Nekrolisis epidermal toksik merupakan manifestasi klinis dari
banyak kasus, terutama karena obat, tetapi pada beberapa kasus
dihubungkan dengan infeksi dan vaksin. Penyebabnya tidak
diketahui, tetapi gejala yang muncul disebabkan karena reaksi
hipersensitivitas.
5) Keracunan makanan
Enterotoksin S. aureus, telah diidentifikasi dan dihubungkan
dengan gangguan gastrointestinal. Sumber dari kontaminasi
biasanya pada makanan yang terinfeksi. Penyakit ini terjadi ketika
makanan terkontaminasi enterotoksin yang diproduksi oleh strain S.
aureus yang disebabkan karena tidak disimpan secara benar, yang
kemudian menyebabkan pertumbuhan bakteri yang menghasilkan
produksi toksin. Gejala dari keracunan karena S. aureus muncul
dengan cepat, perkiraan 2-8 jam setelah makan, dan akan kembali
seperti semula setelah 24-48 jam. Walaupun tidak ada tanda-tanda
demam, mual, muntah, nyeri pada daerah perut merupakan
beberapa manifestasi klinis dari keracunan ini. Diare dan nyeri
kepala juga mungkin terjadi.
6) Infeksi lain
Bakterimia merupakan infeksi sekunder dari pneumonia dan
endokarditis. Mikroorganisme memasuki aliran darah melalui
jarum yang telah terkontaminasi atau melalui lesi fokal yang ada
commit to user
20
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pada kulit atau pada organ respirasi atau organ genital.
Osteomielitis karena S. aureus terjadi sebagai manifestasi sekunder
dari bakterimia. Infeksi ini berkembang ketika mikroorganisme ada
pada luka atau fokus infeksi dan memasuki aliran darah. Gejala
meliputi demam, bengkak dan nyeri di sekitar daerah inflamasi
(Mahon et al., 2011).
3. Staphylococcus haemolyticus
a. Morfologi dan idenfitikasi
1) Ciri-ciri organisme
S. haemolyticus adalah bakteri gram positif berbentuk bulat,
bergerombol, tidak menghasilkan spora dan tidak motil. S.
haemolyticus memiliki dinding sel yang tebal (60-80 nm). Sama
seperti bakteri kokus gram positif lain, dinding selnya mengandung
peptidoglikan, asam teikoik dan protein (Daniel et al, 2014).
2) Epidemiologi
S. haemolyticus merupakan flora normal dari kulit dan
membran mukosa. Bakteri ini menyebar secara luas dalam jumlah
yang tidak terlalu banyak pada seluruh permukaan tubuh manusia
(Forbes et al., 2007).
3) Sifat kultur
Kultur
S.
haemolyticus
pada
media
agar
darah
5%
menunjukkan koloni berukuran sedang, halus dan berwarna kusam.
commit to user
21
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
S. haemolyticus termasuk pada bakteri β-hemolitik (Forbes et al.,
2007).
4) Sifat-sifat pertumbuhan
S. haemolyticus memproduksi katalase, yang membedakan
dengan kelompok bakteri streptokokus. Bakteri ini menunjukkan
hasil negatif pada uji koagulase, DNase, ornithin dekarboksilase,
fosfatase, urease dan oksidase (Vos P et al., 2009).
b. Faktor virulensi
Mekanisme patogenesis dari infeksi S. haemolyticus masih belum
diketahui secara pasti. Genom S. haemolyticus yang diambil dari isolat
klinis mengandung gen yang mengatur faktor virulensi meliputi
hemolisin, adhesin, eksonuklease dan protease (Krzyminska et al.,
2012). Sel epitel merupakan lini pertama pertahanan tubuh untuk
melawan agen penyebab infeksi. Kemampuan bakteri untuk melekat
pada sel epitel merupakan langkah krusial bakteri patogen untuk
memulai kolonisasi atau infeksi pada inang. Kemampuan S.
haemolyticus untuk melakukan perlekatan pada sel epitel cukup
tinggi, terutama pada spesimen darah dan infeksi luka (Krzyminska et
al., 2015).
Kemampuan bakteri patogen untuk menginvasi sel inang dan
jaringannya dianggap sebagai salah satu faktor patogenisitas
terjadinya infeksi yang tahan lama. Invasi ke sel inang menyebabkan
patogen untuk bersembunyi, dan bertahan pada jaringan inang dan
commit to user
22
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
menghindar dari respon imun (Hoff-mann et al., 2011). Penelitian
yang dilakukan oleh Krzyminska et al. (2015) menemukan bahwa
strain S. haemolyticus diinternalisasi oleh fagosit yang tidak
profesional. 19 dari 30 strain (63%) terbukti invasif, dengan index
invasi lebih tinggi daripada kontrol nonpatogen.
27% dari strain S. haemolyticus menunjukkan aktivitas lipolitik,
43% memproduksi lesitin dan 20% memiliki aktivitas protease. Strain
yang memproduksi lipase, listin dan proteinase atau lipase dan
proteinase memiliki sitotoksik dan index invasif tertinggi. Beberapa
strain patogen memproduksi enzim ekstraseluler yang berperan dalam
pemecahan jaringan inang dan perkembangan infeksi yang disebabkan
oleh bakteri. Protease mampu memecah faktor komplemen dari inang,
musin dan merusak persimpangan antar sel epitel, menyebabkan
penyebaran bakteri (Krzyminska et al., 2015).
S. haemolyticus mampu membentuk biofilm yang merupakan
salah satu faktor patogen dari bakteri ini. Pembentukan biofilm dari S.
haemolyticus terdiri dari dua proses yang bermula pada perlekatan
awal yang diatur oleh protein pada permukaan sel dan enzim pelisis
utamanya autolisin. Protein permukaan sel berperan dalam perlekatan
dan berikatan dengan fibrinogen dan vitronektin dari inang. Perlekatan
pada inang dan perlekatan intraseluler dikarenakan aktivitas protein
Bhp (Daniel et al., 2014).
commit to user
23
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Biofilm berperan dalam terjadinya resistensi antibiotik dan infeksi
yang tahan lama dari S. haemolyticus. Biofilm S. haemolyticus tidak
bergantung
pada
faktor
polisakarida
adesi
independen
dan
mengandung sedikit gen yang mengatur produksi polisakarida ini.
Pembentukan biofilm inilah yang membedakan S. haemolyticus
dengan spesies stafilokokus koagulase negatif yang lain (Daniel et al.,
2014).
Autolisin termasuk dalam faktor yang berpengaruh dalam
perlekatan bakteri pada permukaan abiotik dan pembentukan biofilm.
Perlekatan bakteri dengan matriks protein inang diperankan oleh
protein pengikat matriks ekstraseluler yang berperan vital dalam
membentuk ikatan dengan fibronektin dan kolagen. Protein terkait
akumulasi
memproduksi
eksopolisakarida
yang
menyebabkan
perlekatan antar sel, hemoaglutinasi dan akumulasi saat terjadi infeksi.
S. haemolyticus juga mensekresi eksoenzim seperti lipase dan protease
sistein. Enzim-enzim ini membantu dalam pertahanan patogen pada
sekresi lemak dan kerusakan jaringan ketika proses infeksi (Daniel et
al., 2014).
Keseluruhan proses faktor virulensi dikontrol oleh gen regulator
aksesoris
stafilokokus
(Sar).
S.
haemolyticus
juga
banyak
memproduksi siderofor untuk pengambilan besi oleh stafiloferin A
dan B. Komponen dinding sel seperti peptidoglikan dan asam
lipoteikoik menstimulasi proses inflamasi (Daniel et al., 2014).
commit to user
24
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Bakteri patogen memiliki mekanisme spesifik untuk melawan
respon imun antimikroba sel yang bertujuan untuk menghindar dari
pertahanan imun inang. S. haemolyticus menstimulasi apoptosis dari
makrofag pada proses patogenesis dan menyebabkan perubahan pada
strukturnya. S. haemolyticus memproduksi banya sitotoksin yang
membunuh makrofag. Hal ini menjadi mekanisme penting terhadap
berhasilnya proses infeksi. Sitotoksik juga menyebabkan disfungsi
mitokondria dalam proses fagosit dengan meregulasi kematian sel
apoptosis. Hal ini terjadi melalui permeabilitas membran luar yang
diproduksi oleh potensi transmembran mitokondria (Daniel et al.,
2014).
c. Infeksi Staphylococcus haemolyticus
Infeksi yang disebabkan oleh stafilokokus koagulase negatif
umumnya dihubungkan dengan penggunaan alat medis. Kemampuan
bakteri ini untuk membentuk biofilm mendukung perkembangan
infeksi menjadi infeksi yang berlangsung lama. S. haemolyticus
dikatakan sebagai penyebab yang signifikan dari bakterimia yang
berhubungan
dengan
penggunaan
kateter
intravaskular.
S.
haemolyticus dapat berkolonisasi pada kateter vena sentral. Infeksi
yang umum antara lain endokarditis katup jantung, septikemia,
peritonitis dan infeksi saluran kemih. Komplikasi yang lain meliputi
infeksi kronis luka bedah dan osteomielitis, sementara pada infeksi
pasien immunocompromised infeksi jaringan lunak lebih terlihat.
commit to user
25
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
S. haemolyticus mampu berkolonisasi pada alat medis seperti
prostesa katup, prostesa ortopedi, kateter intravaskular dan kateter urin
ketika dilakukan intervensi pembedahan. Keseluruhan mortalitas
infeksi karena stafilokokus koagulase negatif adalah 9% pada
neonatus. Isolasi dari S. haemolyticus menjadi penting untuk pasien
dengan tanda klinis sepsis khususnya ketika pasien memiliki faktor
resiko klinis yang telah disebutkan di atas.
Infeksi yang berhubungan dengan kateter intravaskular cukup
diperhatikan pada pasien yang dirawat pada unit perawatan intensif,
terutama yang sudah cukup lama dirawat inap di rumah sakit dengan
kateter sebagai faktor resiko terjadinya komplikasi. Bakteri ini dapat
dengan mudah berpindah ke kulit, melalui permukaan luar dari alat
medis ini. Keparahan dari infeksi ini bergantung pada kateter,
frekuensi penggunaan dan faktor virulensi bakteri. Beberapa
penelitian mengatakan bahwa pemberhentian penggunaan alat medis
seperti kateter dapat menurunkan resiko infeksi (Daniel et al., 2014).
commit to user
26
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
B. Kerangka Pemikiran
Pasien terpapar bakteri
Uji Laboratorium: pengambilan spesimen
nanah
Kultur Bakteri
Bakteri oportunistik
Bakteri patogen
Staphylococcus
haemolyticus
Staphylococcus aureus
Manifestasi klinis
Manifestasi klinis
Gambar 2.1 Skema Kerangka Pemikiran
Keterangan:
: terdiri dari
: berhubungan
: disebabkan oleh
commit to user
: dibahas
Download