6 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 IPS 2.1.1 Hakikat IPS di Sekolah Dasar Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) merupakan salah satu mata pelajaran yang diberikan melalui SD/MI/SLB sampai SMP/MTs/SMPLB. IPS mengkaji seperangkat peristiwa, fakta, konsep, dan generalisasi yang berkaitan dengan isu sosial. Pada jenjang SD/MI mata pelajaran IPS memuat materi geografi, sejarah, sosioligi, dan ekonomi. Melalui mata pelajaran IPS, peserta didik diarahkan untuk dapat menjadi warga negara Indonesia yang demokratis, dan bertanggung jawab, serta warga dunia yang cinta damai (Permendiknas No. 22 Tahun 2006). Peserta didik akan menghadapi tantangan berat di masa yang akan datang, karena kehidupan masyarakat global selalu mengalami perubahan setiap saat. Oleh karena itu mata pelajaran IPS dirancang untuk mengembangkan pengetahuan, pemahaman, dan kemampuan analisis terhadap kondisi sosial masyarakat dalam memasuki kehidupan bermasyarakat yang dinamis. Mata pelajaran IPS disusun secara sistematis, komprehensif, dan terpadu dalam proses pembelajaran menuju kedewasaan dan keberhasilan dalam kehidupan di masyarakat. Dengan pendekatan tersebut diharapkan peserta didik akan memperoleh pemahaman yang lebih luas dan mendalam pada bidang ilmu yang berkaitan (Permendiknas No. 22 Tahun 2006). Menurut Permendiknas No. 22 Tahun 2006, ruang lingkup mata pelajaran IPS di SD meliputi aspek-aspek sebagai berikut: 1. Manusia, Tempat, dan Lingkngan. 2. Waktu, Keberlanjutan, dan Perubahan. 3. Sistem Sosial dan Budaya. 4. Perilaku Ekonomi dan Kesejahteraan. 7 Penulis menyimpulkan bahwa belajar IPS tidak hanya menimbun pengetahuan dan belajar tentang teori-teori yang ada saja, tetapi harus dikembangkan dan diaplikasikan didalam kehidupan sehari-hari di lingkungan masyarakat. Kompetensi dasar merupakan standar minimum yang harus dicapai oleh peserta didik dan menjadi acuan dalam pengembangan kurikulum di setiap satuan pendidikan. Pencapaian Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar didasarkan pada pemberdayaan peserta didik untuk membangun kemampuan, bekerja ilmiah dan pengetahuan sendiri yang difasilitasi oleh guru. Dalam penelitian ini menggunakan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar IPS di SD sebagai berikut (Permendiknas No. 22 Tahun 2006). Tabel 2.1 Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Mata Pelajaran IPS Kelas IV Semester 2 Standar Kompetensi Kompetensi Dasar 2. Mengenal sumber daya alam, 2.1 Mengenal aktivitas ekonomi yang kegiatan ekonomi, dan kemajuan berkaitan dengan sumber daya alam dan teknologi di lingkungan kabupaten/kota potensi lain di daerahnya dan provinsi 2.2 Mengenal pentingnya koperasi dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat 2.3 Mengenal perkembangan teknologi produksi, komunikasi, dan transportasi serta pengalaman menggunakannya 2.4 Mengenal permasalahan sosial di daerahnya 8 2.1.2 Tujuan Pembelajaran IPS di Sekolah Dasar Menurut Sardjiyo, dkk (2009:1.28 ), tujuan pendidikan IPS di SD adalah sebagai berikut: 1. Membekali anak didik dengan pengetahuan sosial yang berguna dalam kehidupannya kelak di masyarakat. 2. Membekali anak didik dengan kemampuan mengidentifikasi, menganalisis dan menyusun alternatif pemecahan masalah sosial yang terjadi dalam kehidupan di masyarakat. 3. Membekali anak didik dengan kemampuan berkomunikasi dengan sesama warga masyarakat dan berbagai bidang keilmuan serta bidang keahlian. 4. Membekali anak didk dengan kesadaran, sikap mental yang positif dan keterampilan terhadap pemanfaatan lingkungan hidup yang menjadi bagian dari kehidupan tersebut. 5. Membekali anak didik dengan kemampuan mengembangkan pengetahuan dan keilmuan IPS sesuai dengan perkembangan kehidupan, masyarakat, ilmu pengetahuan dan teknologi. Kurikulum IPS tahun 2006 bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut: 1. Mengenal konsep-konsep yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dan lingkungannya. 2. Memiliki kemampaun dasar untuk berfikir logis dan kritis, rasa ingin tahu, inkuiri, memecahkan masalah, dan keterampilan dalam kehidupan sosial. 3. Memiliki komitmen dan kesadaran terhadap nilai-nilai sosial dan kemanusiaan. Memiliki kemampuan berkomunikasi, berkerjasama dan berkompetensi dalam mesyarakat majemuk, di tingkat lokal, nasional, dan global. 2.2 Model Pembelajaran CTL 2.2.1 Pengertian Model Pembelajaran CTL Menurut Elaine B. Johnson (2006:14), model pembelajaran CTL adalah sebuah sistem belajar yang didasarkan pada filosofi bahwa siswa mampu menyerap pelajaran apabila mereka menangkap makna dalam materi akademis 9 yang mereka terima, dan mereka menangkap makna dalam tugas-tugas sekolah jika mereka bisa mengaitkan informasi baru dengan pengetahuan dan pengalaman yang sudah mereka miliki sebelumnya. Menurut Hamruni (2012:173), menyatakan bahwa pembelajaran kontekstual adalah pembelajaran yang menekankan kepada proses keterlibatan siswa untuk dapat menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkannya dengan situasi kehidupan nyata, sehingga mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan mereka. Menurut Agus Suprijono (2013:79), menyatakan bahwa pembelajaran kontekstual atau Contextual Teaching and Learning (CTL) merupakan konsep yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata dan mendorong peserta didik membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Pembelajaran kontekstual sebagai suatu pendekatan pembelajaran memiliki 7 asas yang menjadi landasan filosofis. Asas-asat tersebut sering juga disebut sebagai komponen-komponen CTL menurut Elaine B. Johnson (Suyadi, 2013:83-87). Asas-asas tersebut adalah sebagai berikut: 1. Konstruktivisme Konstruktivisme adalah proses membangun atau menyusun pengetahuan baru dalam struktur kognitif peserta didik berdasarkan pengalaman pribadinya. Menurut konstruktivisme, pengetahuan memang berasal dari luar, tetapi dikonstruksi oleh dan dari dalam diri seseorang. Oleh karena itu, pengetahuan terbentuk oleh dua faktor penting, yaitu objek yang menjadi pengamatan, dan kemampuan subjek untuk menginterpretasi objek tersebut. Dengan demikian, pengetahuan tersebut tidak bersifat statis, tetapi bersifat dinamis, tergantung individu yang melihat dan mengkonstruknya. 2. Inkuiri Inkuiri merupakan proses pembelajaran yang didasarkan pada pencarian dan penemuan melalui berfikir secara sistematis. Pengetahuan bukanlah sejuta fakta hasil dari mengingat, tetapi hasil dari proses menemukan sendiri. Dengan 10 demikian, dalam proses perencanaan guru bukanlah mempersiapkan sejumlah materi yang harus dihafal dan dipahami, tetapi merancang pembelajaran yang memungkinkan peserta didik dapat menemukan sendiri materi yang harus dipahami tersebut. 3. Bertanya (Questioning) Belajar pada hakikatnya adalah bertanya dan menjawab pertanyaan. Bertanya bukan berarti tidak tahu, demikian pula dengan menjawab bukan berarti telah paham. Sebab, bertanya dapat dipandang sebagai refleksi dari keingintahuan setiap individu, sedangkan menjawab pertanyaan dapat dipandang sebagai cerminan kemampuan seseorang dalam berfikir. Dalam proses pembelajaran melalui CTL, guru tidak menyampaikan informasi begitu saja, tetapi memancing agar peserta didik dapat menemukan jawabannya sendiri. Oleh karena itu, peran bertanya sangat penting, sebab melalui pertanyaan-pertanyaan dari peserta didik, guru dapat membimbing dan mengarahkan mereka untuk menemukan setiap materi yang dipelajari. 4. Masyarakat Belajar (Learning Community) Masyarakat belajar dalam CTL adalah kerjasama atau belajar bersama dalam sebuah masyarakat atau kelas-kelompok. Kerjasama atau belajar bersama tersebut dapat dilakukan dalam berbagai bentuk, baik dalam belajar kelompok secara formal, maupun dalam lingkungan yang terjadi secara alamiah. Hasil belajar dapat diperoleh dari sharing dengan orang lain, antar teman dan antar kelompok. 5. Pemodelan (Modelling) Asas modelling adalah proses pembelajaran dengan memperagakan sesuatu sebagai contoh yang dapat ditiru oleh setiap peserta didik. Misalnya, guru olahraga memberikan contoh tentang bagaimana cara menendang bola, atau guru biologi memberikan contoh bagaimana cara mencangkok tanaman. Proses modelling tidak terbatas pada guru saja, tetapi dapat juga memanfaatkan peserta didik yang dianggap memiliki kempuan. Misalnya, peserta didik yang bisa menendang bola dapat disuruh untuk memberikan contoh pada peserta didik yang lain. 11 6. Refleksi (Reflection) Refleksi adalah proses pengendapan pengetahuan dan pengalaman yang dilakukan dengan cara mengurutkan kembali kejadian-kejadian atau peristiwa pembelajaran yang telah diprosesnya. Melalui proses refleksi, pengalaman belajar itu akan dimasukkan dalam struktur kognitif peserta didik, yang pada akhirnya menjadi bagian dari pengetahuan. Tidak menutup kemungkinan melalui proses refleksi tersebut, peserta didik akan memperbarui pengetahuan yang telah dibentuknya atau menambah pengetahuan mereka. 7. Penilaian Autentik (Authentic Assessment) Penilaian nyata adalah proses yang dilakukan guru untuk mengumpulkan informasi tentang perkembangan belajar yang dilakukan peserta didik. Penilaian ini diperlukan untuk mengetahui apakah peserta didik benar-benar belajar atau tidak, memahami atau tidak, menguasai atau tidak, apakah pengalaman belajar peserta didik memiliki pengaruh yang positif terhadap perkembangan, baik intelektual maupun mental peserta didik. Penilaian yang autentik dilakukan secara terintegrasi dalam proses pembelajaran. Penilaian ini dilakukan secara kontinu selama proses pembelajaran berlangsung. Oleh karena itu, penilaian difokuskan pada proses belajar, bukan pada hasil belajar. 2.2.2 Langkah-langkah Pembelajaran CTL Menurut Sigit (2013:61-64), terdapat enam langkah dalam pembelajaran menggunakan model Contextual Teaching and Learning (CTL) meliputi : 1. Tahap Pengenalan Tahap yang mendasar dalam proses pembelajaran adalah tahap pengenalan. Artinya bahwa untuk memulai suatu pembelajaran siswa harus dikenalkan dengan hal baru yang akan mereka pelajari. Hal ini akan sangat membantu peserta didik dalam mempersiapkan diri untuk melakukan tahapan selanjutnya didalam proses pembelajaran. 2. Tahap Pengaitan Tahap pengaitan merupakan tahapan dimana siswa diminta untuk mengaitkan pengetahuan baru yang didapatkannya dengan pengetahuan awal yang 12 telah mereka miliki. Proses pengaitan tersebut pada akhirnya akan membentuk struktur pengetahuan baru dalam diri siswa. Oleh karena itu, pembentukan pengetahuan baru dalam diri siswa sangat dipengaruhi oleh pengetahuan awal yang dimiliki dengan keterampilan pengaitan yang dilakukan oleh siswa terhadap hal baru yang didapatkan mereka. 3. Tahap Penafsiran Proses pembelajaran konstruktivisme terdapat tahap penafsiran yang didalamnya siswa dituntut untuk menemukan dan menyimpulkan pengetahuan yang didapatnya dengan interpretasi atau penafsiran yang didasarkan pada pengetahuan yang dimiliki sebelumnya. Proses penafsiran dilakukan dengan memadukan proses berfikir kritis, pengalaman belajar dan pengetahuan baru yang diperolehnya. 4. Tahap Implementasi Tahap implementasi merupakan tahapan yang dilakukan oleh siswa dengan cara mengimplementasikan materi keterampilan atau pengetahuan yang didapatkan mereka dari proses belajar kedalam konteks kehidupan nyata. Artinya bahwa pengetahuan atau keterampilan yang mereka dapatkan dan telah dimiliki dikongkretisasikan kedalam perilaku atau sikap mereka. 5. Tahap Refleksi Tahap refleksi penting dilakukan agar pengalaman-pengalaman yang didapatkan selama proses pembelajaran dapat terekam secara baik dalam struktur kognisi peserta didik. Selain itu, refleksi juga sangat membantu peserta didik dalam menemukan kekurangan-kekurangan atau kelemahan-kelemahan selama mengikuti proses pembelajaran. 6. Tahap Evaluasi Evaluasi merupakan tahapan terakhir dari langkah penerapan model CTL. Siswa pada tahapan ini dinilai secara autentik (autentik assessmen) untuk menentukan sampai dimana pengetahuan dan kemampuan siswa setelah dilakukannya proses pembelajaran. Penilaian dilakukan dengan berbagai teknik baik teknik tes maupun nontes. Hal yang dievaluasi juga meliputi proses dan hasil pembelajaran. 13 2.2.3 Kelebihan dan Kekurangan Pembelajaran CTL Menurut Suyadi (2013:95) ada beberapa kelebihan dalam pembelajaran kontekstual. 1. Pembelajaran konstektual dapat mendorong peserta didik menemukan hubungan antara materi yang dipelajari dengan situasi kehidupan nyata. Artinya, peserta didik secara tidak langsung dituntut untuk menangkap hubungan antara pengalaman belajar di sekolah dengan kehidupan nyata di lingkungan masyarakat, sehingga mampu menggali, berdiskusi, berpikir kritis, memecahkan masalah nyata yang dihadapinya dengan cara bersama-sama. 2. Pembelajaran konstektual mampu mendorong peserta didik untuk menerapkan hasil belajarnya dalam kehidupan nyata. Artinya, peserta didik tidak hanya diharapkan dapat memahami materi yang dipelajarinya, tetapi bagaimana materi pelajaran itu dapat mewarnai perilaku/tingkahlaku (karakter/akhlak) dalam kehidupan sehari-hari. 3. Pembelajaran konstektual menekankan pada proses keterlibatan peserta didik untuk menemukan materi. Artinya, proses belajar diorientasikan pada proses pengalaman secara langsung. Proses belajar dalam konteks CTL tidak mengharapkan peserta didik hanya menerima materi pelajaran, melainkan dengan cara proses mencari dan menemukan sendiri materi pelajaran. Kelemahan dalam pembelajaran kontekstual menurut Suyadi (3013:95-96) adalah sebagai berikut: 1. CTL membutuhkan waktu yang lama bagi peserta didik untuk memahami semua materi. 2. Guru lebih intensif dalam membimbing, karena dalam model CTL guru tidak lagi berperan sebagai pusat informasi. 3. Upaya menghubungkan antara materi di kelas dengan realitas didalam kehidupan sehari-hari peserta didik rentan kesalahan. Atas dasar ini, agar menemukan hubungan yang tepat, seringkali peserta didik harus mengalami kagagalan berulang kali. 14 2.3 Hasil Belajar 2.3.1 Belajar Menurut Winkel (Suprihatiningrum, 2012:15), menyatakan bahwa belajar adalah suatu aktivitas mental/psikis, yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan, yang menghasilkan sejumlah perubahan dalam pengetahuan-pemahaman, keterampilan dan nilai-sikap. Menurut Suprihatiningrum (2012:15), belajar merupakan suatu proses usaha yang dilakukan individu secara sadar untuk memperoleh perubahan tingkah laku tertentu, baik yang dapat diamati secara langsung maupun yang tidak dapat diamati secara langsung sebagai pengalaman (latihan) dalam interaksinya dengan lingkungan Menurut Susanto (2013:4), belajar adalah suatu aktivitas yang dilakukan seseorang dengan sengaja dalam keadaan sadar untuk memperoleh suatu konsep, pemahamaan, atau pengetahuan baru sehingga memungkinkan seseorang melakukan perubahan perilaku yang relatif tetap baik dalam berfikir, merasa, maupun dalam bertindak. Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa belajar adalah suatu usaha yang dilakukan oleh siswa untuk memperoleh suatu pengetahuan melalui proses secara langsung maupun tidak langsung terjadi perubahan tingkah laku. 2.3.2 Hasil Belajar Menurut Gagne & Briggs (Suprihatiningrum, 2012:15), menyatakan bahwa hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa sebagai akibat perubahan belajar dan dapat diamati melalui penampilan siswa (learner’s performance). Menurut Dimyati & Mudjiono (2009:3), hasil belajar merupakan hasil dari suatu interaksi tindak belajar dan tindak mengajar. Menurut Nana Sudjana (1990:22), hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa setelah ia menerima pengalaman belajarnya. Berdasarkan pendapat mengenai hasil belajar diatas dapat disimpulkan bahwa hasil belajar merupakan hasil yang dicapai dari suatu proses belajar 15 mengajar dan perubahan emosional atau perubahan tingkaha laku yang terjadi pada diri siswa secara keseluruhan melalui kegiatan belajar mengajar. 2.3.3 Keaktifan Belajar Menurut Hisyam Zaini, dkk (2005:xvi), pembelajaran aktif adalah suatu pembelajaran yang mengajak siswa untuk belajar secara aktif. Ketika siswa belajar dengan aktif, berarti mereka yang mendominasikan aktifitas pembelajaran. Dengan ini mereka secara aktif menggunakan otak, baik untuk menemukan ide pokok dari materi pembelajaran, memecahkan persoalan, mengaplikasikan apa yang baru mereka pelajari ke dalam satu persoalan yang ada dalam kehidupan nyata. Menurut Sugiarta, dkk (2013:4), keaktifan belajar adalah peristiwa dimana siswa terlibat langsung secara intelektual dan emosional sehingga siswa betul-betul berperan dan berpertisipasi aktif dalam suatu kegiatan yang dilakukan selama proses pembelajaran. Keatifan merupakan kegiatan atau aktivitas yang dilakukan secara fisik maupun non fisik selama proses pembelajaran berlangsung didalam kelas. 2.3.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keaktifan Belajar Keaktifan belajar suatu individu berbeda dengan individu lainnya. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktir yang menyebabkan perbedaan tingkat keaktifan seseorang. Menurut Wina Sanjaya (Sunarto 2013:8-9) keaktifan belajar siswa dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu: 1. Adanya keterlibatan siswa baik secara fisik, mental, emosional maupun intelektual dalam setiap proses pembelajaran. 2. Siswa belajar secara langsung (experintial Learning). 3. Adanya keinginan siswa untuk menciptakan iklim belajar yang kondusif. 4. Keterlibatan siswa dalam mencari dan memanfaatkan setiap sumber belajar yang tersedia yang dianggap relevan dengan tujuan pembelajaran. 5. Adanya keterlibatan siswa dalam melakukan prakarsa. Terjadinya interaksi yang multi arah, baik antara siswa dengan siswa atau antara guru dengan siswa. 16 Menurut Sardiman (2011:101) terdapat beberapa aspek keaktifan siswa dalam proses belajar mengajar, yaitu: 1. Aktivitas Visual (Visual activities) Visusal activities seperti: membaca, memperhatikan gambar, demonstrasi, percobaan, pekerjaan orang lain. 2. Aktivitas Lisan (Oral activities) Oral activities seperti: menyatakan, merumuskan, bertanya, memberi saran, mengeluarkan pendapat, mengadakan wawancara, diskusi, dan interupsi. 3. Aktivitas Mendengarkan (Listening activities) Listening activities seperti: uraian, percakapan, diskusi, musik, dan pidato. 4. Aktivitas Menulis (Writing activities) Writing activities seperti: menulis cerita karangan, laporan, angket, dan menyalin. 5. Aktivitas Menggambar (Drawing activities) Drawing activities seperti : menggambar, membuat grafik, peta dan diagram. 6. Aktivitas Gerak (Motor activities) Motor activities seperti: melakukan percobaan, membuat konstruksi, model mereparasi, bermain, berkebun, berternak. 7. Aktivitas Mental (Mental activities) Mental activities seperti: menanggapi, mengingat, memecahkan soal, menganaliis, melihat hubungan, mengambil keputusan. 8. Aktivitas Emosional (Emotional activities) Emotional activities seperti misalnya: menaruh minat, merasa bosan, gembira, bersemangat, bergairah, berani, tenang, gugup. 2.4 Kajian yang Relevan Penelitian yang dilakukan oleh Rahayu Purwandari : 2012 dengan judul Pengaruh Penerapan Pendekatan Pembelajaran Conntextual Teaching and Learning Terhadap Hasil Belajar Ilmu Pengetahuan Sosial pada Siswa Kelas IV Sekolah Dasar Negeri Pasir Wetan Banyumas. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan hasil belajar kelas eksperimen dengan kelas kontrol. 17 Hal ini dibuktikan dengan nilai t hitung lebih besar dari t tabel pada pertemuan kedua dan ketiga pada taraf signifikansi 5% dan df = 28 (1,798 ≥ 1,701; 2,122 ≥ 1,701). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan penerapan pendekatan pembelajaran Contextual Teaching and Learning terhadap hasil belajar IPS siswa kelas IV SDN Pasir Wetan tahun ajaran 2011/2012. Penelitian yang dilakukan oleh Singgih Adhi P, Lynda Puspita Sari, dengan judul Penerapan Contextual Teaching and Learning (CTL) Berbantu Media Gambar Terhadap Hasil Belajar, Kinerja Guru, dan Aktivitas Siswa Ilmu Pengetahuan Sosial Kelas IV SD Negeri 1 Bugo Jepara. Berdasarkan analisis data hasil penelitian dan pembahasan maka pada penelitian ini dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh penerapan model pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) berbantu Media Gambar dalam pembelajaran sehingga dapat meningkatkan hasil belajar IPS siswa kelas IV SD Negeri 1 Bugo Jepara. Hal ini dapat dibuktikan dari nilai analisis t-test dimana thitung>ttabel yakni 5,862>1,685 sehingga disimpulkan bahwa perbedaan rata-rata kondisi awal dengan kondisi akhir signifikan. Selain itu juga terdapat penerapan terhadap kinerja guru dan aktivitas siswa. Kinerja guru dengan rata – rata 85, 4 dan aktivitas siswa 84,1. 2.5 Kerangka Berfikir Bagan dibawah ini menjelaskan bahwa model pembelajaran CTL akan diujikan pada kelas eksperimen. Sebagai pembanding, diberikan juga model konvensional kepada kelas kontrol. Sebelum kedua kelas ini diberikan perlakuan dengan model pembelajaran masing-masing, terlebih dahulu diberikan pretest untuk mengetahui kemampuan awal siswa. Selanjutnya diberikan pembelajaran dengan model pembelajaran, setelah itu diberikan post-test untuk mengetahui perbedaan yang terjadi akibat dari perlakuan dengan menerapkan model pembelajaran. 18 Model Kelas Pre test Kontrol Pembelajaran Post test Konvensional Hasil Belajar & Keaktifan Model Kelas Eksperimen Pre test Pembelajara Post test n CTL 2.1 Gambar Kerangka Pikir 2.6 Hipotesis Penelitian Berdasarkan pemaparan diatas, maka yang menjadi hipotesis penelitian ini adalah: 1. Penerapan model pembelajaran CTL lebih efektif dibanding model pembebelajaran konvensional terhadap hasil belajar siswa pada mata pelajaran IPS di kelas IV SDN Gedangan 01. 2. Penerapan model pembelajaran CTL lebih efektif dibanding model pembebelajaran konvensional untuk meningkatkan keaktifan siswa pada mata pelajaran IPS di kelas IV SDN Gedangan 01.