Pengaruh ekstrak biji bligo (Benincasa hispida Cogn)

advertisement
II. TINJAUAN PUSTAKA
Bligo (Benincasa hispida Thunb Cogn)
Benincasa hispida Thunb Cogn atau sering disebut bligo merupakan tanaman menjalar,
berbatang berkayu, lunak, berbulu, warna hijau. Daun tunggal, bulat, tepi rata, ujung tumpul, pangkal
membulat, panjang 10-17 cm, lebar 9-15 cm, warna hijau. Bunga tunggal, berkelamin dua, tumbuh di
ketiak daun, mahkota berbulu halus, warna kuning. Buah berbentuk seperti buah buni, bulat
memanjang, berdaging, panjang 15-20 cm, warna hijau keputih-putihan. Bligo mempunyai banyak
nama daerah di Indonesia, antara lain: Kundo (Aceh), Gundur (Gayo), Kudul (Simalur), Undru (Nias),
Kundue (Minangkabau), Sardak (Lampung), Butong (Dayak), Leyor (Sunda), Baligo (Jawa),
Bhaligu, Kondur (Madura), Kunrulu (Bugis), Laha (Irian) (Hermanto 1993).
Gambar 1. Buah bligo (Benincasa hispida Thunb Cogn) (Anonim 2009)
Di Indonesia, bligo digunakan sebagai tanaman obat yang dapat digunakan dalam
penyembuhan berbagai penyakit antara lain; biji untuk obat: batu ginjal, demam, kencing manis,
pelembut kulit, radang paru, radang usus, sembelit, tonik dan wasir. Buahnya untuk pengobatan:
disentri, panas dalam, pendarahan pada organ bagian dalam danonik (Hermanto 1993).
Benincasa hispida Thunb Cogn. yang merupakan famili Curcubitaceae dikenal dengan
banyak nama antara lain: bhuru kulu atau safet kolu (Gujarat), petha (Hindi), white pumpkin, white
gouard atau wax gourd atau ash gourd, chinese preserving melon, hairy melon (English) dan
kushmanda (Sansekerta). Buah ini secara tradisional digunakan sebagai laksatif, diuretik, tonik,
aphrodisiac, kardiotonik, urynary calkuli, penyakit darah, insanity, epilepsi, dan juga dalam kasus
jaundice, dispepsia, demam dan gangguan mentruasi (Kirtikar dan Basu 1975). Buah ini secara umum
digunakan sebagai sayuran di India dan negara tropis lainnya juga merupakan tanaman obat yang
sering digunakan untuk menyembuhkan penyakit epilepsi dan gangguan syaraf lainnya (Aslokar et al.
1992).
Ekstrak metanolik buah ini dilaporkan memiliki khasiat antiulker (Grover et al. 2001),
antiinflamasi (Chandrababu et al. 2001), antihistamin dan aktivitas antidepresant (Anilkumar dan
Ramu 2002). Selain itu, ekstrak metanol juga memiliki efek menstabilkan sel mast, aktivitas diuretik
dan aktivitas nephroprotektif melawan keracunan merkuri pada tikus (Mingyu et al. 1995).
Berdasarkan hasil penelitian (Rukumani et al. 2003) bahwa ekstrak metanol Benincasa hispida Thunb
Cogn menunjukkan aktivitas antikanker yang signifikan, perlindungan terhadap bronchospasm
(gangguan saluran pernafasan) yang diinduksi histamin, aktivitas neotropic dan antidepresan. Menurut
Kumar dan Vimalavathini (2004) bahwa kemampuan ekstrak Benincasa hispida terhadap aktivitas
anorektik dimediasi melalui sistem saraf pusat tanpa mempengaruhi pengosongan gastrik. Menurut
4
Qodrie et al. (2009) bahwa Benincasa hispida yang diekstrak dengan etanol secara farmakologi
membuktikan manfaatnya sebagai pengontrol suhu tubuh pada saat demam dan menghilangkan nyeri.
Pada dosis 250 dan 500 mg/kg bb ekstrak buah ini secara signifikan mampu menurunkan
antinociceptive tikus wistar.
Menurut Sivarajan (1994) buah ini digunakan untuk pengobatan gastrointestinal, penyakit
pernafasan, penyakit jantung, vermifuge, diabetes militus dan penyakit uriner. Berdasarkan penelitian
yang dilakukan oleh Kumar dan Vimalavathini (2004) menunjukkan bahwa buah Benincasa hispida
mengandung fitokimia dari golongan triterpen yaitu alunsenol dan multiflurenol yang mempunyai
efek menyetabilkan mast sel pada tikus. Selain itu buah Benincasa hispida Thunb Cogn yang
diekstrak dengan metanol, mampu melindungi bronchospasm yang diinduksi oleh histamin. Hal ini
menunjukkan bahwa ekstrak buah ini mempunyai aktivitas antihistaminik. Kemampuan perlindungan
sudah ditunjukkan pada dosis 50 mg/kg bb dan dosis maksimalnya 400 mg/kg bb, karena diatas dosis
ini tidak menunjukkan kenaikan perlindungan yang signifikan. Sedangankan perlindungan yang
dilakukan oleh obat antihistaminik chlorphrniramine maleate dan atropine sulfat sudah ditunjukkan
pada dosis 2 mg/kg bb.
Berdasarkan penelitian Shetty et al. (2008) bahwa ekstrak buah Benincasa hispida Thunb
Cogn mempunyai kemampuan penyembuhan pada ulcer di tikus percobaan. Pada penelitian ini
menunjukkan bahwa senyawa aktif pada buah ini seperti terpene, flavonoid c-glikosida, dan sterol
memiliki efek antioksidan. Senyawa ini menurunkan malondialdehid (MDA), kadar superoksida
dismutase (SOD) di dalam sel darah merah, tingkat homogenat dan vitamin C pada plasma darah, jika
dibandingkan dengan tikus kontol yang tidak diberi ekstrak buah Benincasa hispida Thunb Cogn.
Mekanisme ini memungkinkan terjadinya penghambatan luka mukosa lambung dengan scavenging
radikal bebas dan menekan produksi SOD dan vitamin C dalam tikus. Penurunan kadar SOD dan
vitamin C pada tikus percobaan diduga disebabkan tingginya senyawa antioksidan pada ekstrak buah
Benincasa hispida sehingga tubuh tikus percobaan menekan produksi SOD.
Hasil penelitian lain menunjukkan bahwa dari hasil eksplorasi bligo mengandung beberapa
senyawa fitokimia yang antara lain; triterpenen (alnusenol, multiflasenol, isomultiflasenol), flavon
(iso-vitesix) dan sterol (lupeol, lupeol asetat dan β-sitosterol). Beberapa konstituen penting yang
diisolasi dari buah Benincasa hispida Thunb Cogn antara lain: triterpen, sterol dan glikosida serta
minyak-minyak volatil (Yoshizumi et al. 1998; Wu et al. 1987).
Beberapa komponen yang terdapat pada tanaman dan digunakan sebagai produk herbal
antara lain: polisakarida (serat) dan pektin dari daun naupal (Reyburn et al. 1998). Daun dan minyak
peppermint mengandung asetaldehida, amyl alcohol, methyl ester, limone, pinene, phellandrene,
cardinene, pugelone dan dimethyl sulfide. Komponen minornya terdiri dari alpha-pinene, sabinene,
terpinolene, ocimene, gamma-terpinene, fenchene, alpha- dan beta-thujone, citronellol dan senyawa
lainnya (Nair 2001; Inoue et al. 2002). Daun bunga dan akar dandelion mengandung quercetin,
luteolin, luteolin-7-O-glucoside, p-hydroxyphenylacetic acid, germacranolide acids, clhorogenic acid,
chicoric acid. Monocaffeyltartaric acid, scopoletin, aesculetin, aesculin, cichoriin, amidiol, faradiol,
caffeic acid, taraxacoside, taraxasterol, inulin dan kandungan kalium yang tinggi (Williams et al.
1995; Hu dan Kitts 2003; Seo et al. 2005). Mullein mengandung harpagoside, harpagide, aucubin,
hesperidin, verbascoside, saponin, dan minyak atsiri (Turker dan Camper 2002). Akar dari stinging
nettle mengandung polisakarida, vitamin C, karoten, beta sitosterol, flavonoid quercetin, rutin dan
kaempferol (Newall et al. 1996; Schottner et al. 1997; Konrad et al. 2000).
Di Cina, biji dari buah Benincasa hispida Thunb Cogn digunakan dalam pengobatan
antihelmitik (anti cacing). Biji dari buah bligo ini berbentuk seperti biji mentimun tetapi sedikit lebih
besar dan berwarna putih kekuningan. Minyak dari biji buah ini memberikan rasa yang pedas, baik
5
untuk otak dan liver dan efektif untuk pengobatan sifilis. Abu dari biji buah ini untuk pengobatan
gonorhoea, pengobatan terhadap luka dan bengkak (Nadkarni’s 1995).
Hasil penelitian Sugito (2010) menunjukkan bahwa ekstrak biji bligo tidak toksik pada tikus
percobaan dengan dosis 5 g/kg bb dengan metode akut, ekstrak biji bligo juga tidak toksik pada tikus
percobaan dengan dosis 0.1 g/kg bb dan 1 g/kg bb. Selain itu dari penelitian ini juga didapatkan
bahwa ekstrak biji bligo tidak menyebabkan gangguan metabolisme hati, dilihat dari berat hati,
SGOT, SGPT, bilirubin, total trigliserida, kolesterol, dan protein total, ekstrak biji bligo secara nyata
menurunkan kadar alkali fosfatase, bilirubin total, glukosa, lemak total, dan meningkatkan kadar
albumin, dan ekstrak biji bligo tidak menyebabkan gangguan metabolisme ginjal, dilihat dari kadar
urea, fosfor, kalsium, dan kalium.
Sejumlah tanaman curcubitaceae lainnya juga memiliki aktivitas antikanker dan antioksidan
(Yang et al. 2007) seperti Curcubita moscata (buah), Momordica charantia (buah mentah), Cucumis
melo (buah matang). Berdasarkan hasil penelitian Rach dan Sunita (2008) bahwa Benincasa hispida
Thunb Cogn yang diekstrak dengan petroleum eter dan metanol mempunyai kemampuan antikanker
dan antioksidan yang siknifikan terhadap tikus percobaan, dibandingkan dengan Benincasa hispida
Thunb Cogn yang diekstrak dengan metanol, etil asetat, aqueous, dan omoprazol.
Kumar dan Vimalavathini (2004) menyatakan bahwa Benincasa hispida Thunb Cogn yang
diekstrak dengan metanol memiliki kemampuan antibakteri. Ekstrak ini mampu menghambat
pertumbuhan Propionibakterium acne dan Staphylococcus epidermidis, dimana kedua bakteri ini
menyebabkan inflamasi pada jerawat. Ekstrak buah ini mampu menghambat kedua bakteri uji baik
pada metode difusi disk dan difusi agar. Nilai MIC ekstrak buah ini terhadap Propionibakterium acne
dan Staphylococcus epidermidis sebesar 0.049 mg/ml dan nilai MBC nya sebesar 0.049 dan 0.186
mg/ml. Dari hasil analisa kimia, ekstrak metanol dari Benincasa hispida Thunb Cogn positif
mengandung triterpenoid, flavonoid, carbohidrat, glikosida, vitamin dan asam uronic. Dengan
demikian ekstak etanol dari buah ini mampu menghambat inflamasi pada jerawat dengan menghambat
pertumbuhan bakteri Propionibakterium acne dan Staphylococcus epidermidis.
Berdasarkan uji Toksisitas akut yang dilakukan oleh Qodrie et al. (2009) terhadap ekstrak
etanol Benincasa hispida Thunb Cogn menunjukkan bahwa ekstrak ini tidak bersifat lethal sampai
penggunaan 5 g/kg bb. Dan tidak menunjukkan adanya gejala keracunan selama dilakukan penelitian.
Tartrazin
Tartrazin atau yang juga dikenal sebagai E102 atau FD&C yellow 5 merupakan pewarna
sintetik azo dye berwarna kuning lemon yang diperoleh dari coal tar. Tartrazin memiliki nama kimia
trinatrium 5-hidroksi-1-(4-sulfonatofenil)-4-[4-sulfanatofenilazo]-H-pirazol-3-karboksilat dengan C.I.
No. 19140, nomor CAS 1934-21-0 dan beberapa nama sinonim antara lain acid yellow 23, filter
yellow, food yellow 4, C.I. acid yellow 23, dan lain-lain (Burdock 1997).
Tartrazin adalah garam trinatrium dari 4,5-dihidro-5-oxo-1-(4-sulfofenil)-4-[sulfofenil-azo]H-pirazol-3-asam karboksilat, berbentuk bubuk berwarna kuning-jingga yang mudah larut dalam air,
dengan larutannya berwarna kuning keemasan. Bila dilarutkan dalam asam sulfat pekat, akan
terbentuk larutan berwarna kuning-jingga yang akan menjadi kuning bila diencerkan dengan air.
Kelarutannya dalam alkohol 95% hanya sedikit, dalam gliserol dan glikol mudah larut. Tartrazin tahan
terhadap cahaya, asam asetat, HCl, NaOH 10%. Mudah luntur oleh adanya oksidator, FeSO4 membuat
larutan zat berwarna menjadi keruh. Adanya tembaga (Cu) akan mengubah warna kuning menjadi
kemerah-merahan. Tartrazin memiliki rumus molekul C16H9N4Na3O9S2 (Winarno 2004).
6
Pada umumnya tartrazin digunakan dalam dessert (misalnya puding, custard, gelatin, es
krim), permen, minuman (termasuk minuman berkarbonasi dan serbuk minuman perisa), daging
olahan, dan sayuran beku yang dikalengkan. Selain itu juga digunakan dalam kosmetik dan obat.
Tartrazin diizinkan penggunaanya dalam pangan di Indonesia, Malaysia, Amerika Serikat, Australia,
dan Eropa (Burdock 1997).
Tartrazin dapat menimbulkan reaksi alergi dan intoleransi seperti halnya pada semua
pewarna azo dye, terutama pada orang yang menderita asma dan intoleransi terhadap aspirin.
Mekanisme sensitifitasnya tidak diketahui dan biasanya disebut psudoalergi. Prevalensi intoleransi
tartrazin diperkirakan kurang dari 0.12% dari populasi umum. Gejala sensitifitas tarhadap tartrazin
dapat terjadi jika terpapar melalui kulit atau menelan senyawa yang mengandung tartrazin. Reaksi
yang timbul antara lain anxiety (rasa takut dan bingung), migrain, depresi klinis, mata buram, gatal,
rhinitis, urtikaria, lemah, panas, jantung berdebar, merasa lumpuh, pruritus, kulit bengkak dengan
warna ungu, dan gangguan pola tidur. Pada kasus yang jarang, gejala sensitifitas tartrazin dapat timbul
bahkan pada dosis kecil dan dapat berlangsung sampai 72 jam setelah terpapar. Beberapa peneliti
menghubungkan tartrazin dengan gangguan obsessive-compulsive dan hiperaktif pada anak-anak.
Menurut Depkes (1999) batas penggunaan maksimum tartrazin di Indonesia adalah 18-300 mg/kg.
Menurut Inchem (1964), ADI tartrazin adalah 0-7.5 mg/kg bb.
Rhodamin
Rhodamin adalah salah satu zat pewarna sintetis yang biasa digunakan pada industri tekstil
dan kertas. Zat ini ditetapkan sebagai zat yang dilarang penggunaannya pada makanan melalui
Menteri Kesehatan (Permenkes) No.239/Menkes/Per/V/85 dan menurut Inchem (2006) LD50
rhodamin adalah sebesar 89.5 mg/kg. Namun penggunaan rhodamin dalam makanan masih terdapat di
lapangan. BPOM di Makassar berhasil menemukan zat rhodamin B pada kerupuk, sambal botol, dan
sirup melalui pemeriksaan pada sejumlah sampel makanan dan minuman. Rhodamin B ini juga adalah
bahan kimia yang digunakan sebagai bahan pewarna dasar dalam tekstil dan kertas. Pada awalnya zat
ini digunakan untuk kegiatan histologi dan sekarang berkembang untuk berbagai keperluan yang
berhubungan dengan sifatnya dapat berfluorensi dalam sinar matahari (Marmion 1991).
Rumus Molekul dari rhodamin B adalah C28H31N2O3Cl dengan berat molekul sebesar
479000. Zat yang sangat dilarang penggunaannya dalam makanan ini berbentuk kristal hijau atau
serbuk ungu kemerah-merahan, sangat larut dalam air yang akan menghasilkan warna merah kebirubiruan dan berfluorensi kuat. Rhodamin B juga merupakan zat yang larut dalam alkohol, HCl, dan
NaOH, selain dalam air. Di dalam laboratorium, zat tersebut digunakan sebagai pereaksi untuk
identifikasi Pb, Bi, Co, Au, Mg, dan Th dan titik leburnya pada suhu 165ºC (Winarno 2004).
Dalam analisis dengan metode destruksi dan metode spektrofometri, didapat informasi
bahwa sifat racun yang terdapat dalam rhodamin B tidak hanya saja disebabkan oleh senyawa
organiknya saja tetapi juga oleh senyawa anorganik yang terdapat dalam rhodamin B itu sendiri,
bahkan jika rhodamin B terkontaminasi oleh senyawa anorganik lain seperti timbal dan arsen
(Subandi 1999). Dengan terkontaminasinya rhodamin B dengan kedua unsur tersebut, menjadikan
pewarna ini berbahaya jika digunakan dalam makanan.
Ciri makanan yang mengandung rhodamin B adalah warna kelihatan cerah (berwarna-warni),
sehingga tampak menarik, ada sedikit rasa pahit (terutama pada sirup atau limun), muncul rasa gatal di
tenggorokan setelah mengonsumsinya, dan baunya tidak alami sesuai makanannya.
Di dalam rhodamin B sendiri terdapat ikatan dengan klorin (Cl) yang dimana senyawa klorin
ini merupakan senyawa anorganik yang reaktif dan juga berbahaya. Reaksi untuk mengikat ion klorin
7
disebut sebagai sintesis zat warna. Disini dapat digunakan reaksi Frield-Crafts untuk mensintesis zat
warna seperti triarilmetana dan xentana. Rekasi antara ftalat anhidrida dengan resorsinol dengan
keberadaan seng klorida menghasilkan fluoresein. Apabila resorsinol diganti dengan N-Ndietilaminofenol, reaksi ini akan menghasilkan rhodamin B (Kusmayadi dan Sukandar 2009).
Selain terdapat ikatan rhodamin B dengan klorin terdapat juga ikatan konjugasi. Ikatan
konjugasi dari Rhodamin B inilah yang menyebabkan Rhodamin B bewarna merah. Ditemukannya
bahaya yang sama antara rhodamin B dan klorin membuat adanya kesimpulan bahwa atom klorin
yang ada pada rhodamin B yang menyebabkan terjadinya efek toksik bila masuk ke dalam tubuh
manusia. Atom Cl yang ada sendiri adalah termasuk dalam halogen, dan sifat halogen yang berada
dalam senyawa organik akan menyebabkan toksik dan karsinogen (Kusmayadi dan Sukandar 2009).
Beberapa sifat berbahaya dari rhodamin B seperti menyebabkan iritasi bila terkena mata,
menyebabkan kulit iritasi dan kemerahan bila terkena kulit hampir mirip dengan sifat dari klorin yang
seperti disebutkan di atas berikatan dalam struktur rhodamin B. Penyebab lain senyawa ini begitu
berbahaya jika dikonsumsi adalah senyawa tersebut adalah senyawa yang radikal. Senyawa radikal
adalah senyawa yang tidak stabil. Dalam struktur rhodamin kita ketahui mengandung klorin (senyawa
halogen), sifat halogen adalah mudah bereaksi atau memiliki reaktivitas yang tinggi maka dengan
demikian senyawa tersebut karena merupakan senyawa yang radikal akan berusaha mencapai
kestabilan dalam tubuh dengan berikatan dengan senyawa-senyawa dalam tubuh kita sehingga pada
akhirnya akan memicu kanker pada manusia.
Klorin sendiri pada suhu ruang berbentuk sebagai gas. Sifat dasar klorin sendiri adalah gas
beracun yang menimbulkan iritasi sistem pernafasan. Efek toksik klorin berasal dari kekuatan
mengoksidasinya. Bila klorin dihirup pada konsentrasi di atas 30 ppm, klorin mulai bereaksi dengan
air dan sel-sel yang berubah menjadi asam klorida (HCl) dan asam hipoklorit (HClO). Ketika
digunakan pada tingkat tertentu untuk desinfeksi air, meskipun reaksi klorin dengan air sendiri tidak
mewakili bahaya utama bagi kesehatan manusia, bahan-bahan lain yang hadir dalam air dapat
menghasilkan disinfeksi produk sampingan yang dapat merusak kesehatan manusia. Klorit yang
digunakan sebagai bahan disinfektan yang digunakan dalam kolam renang pun berbahaya, jika terkena
akan menyebabkan iritasi pada mata dan kulit manusia (Kusmayadi dan Sukandar 2009).
Limfosit
Limfosit adalah bagian dari sel darah putih (leucocytes) yang tidak memiliki granula dalam
sitoplasma (Kuby et al. 2007). Limfosit merupakan sel berukuran kecil, memiliki bentuk bulat dengan
diameter 7-15 µm dan banyak terdapat pada organ limfoid seperti limfa, kelenjar limfe, dan timus. Sel
ini merupakan inti dalam proses respon imun spesifik karena sel-sel limfosit dapat mengenal setiap
jenis antigen, baik antigen yang terdapat pada intraselular maupun ekstraselular (Kresno 1996).
Guyton dan Hall (2006) mengatakan bahwa limfosit manusia berjumlah sekitar 30% dari
jumlah normal sel darah putih. Limfosit dapat membentuk ratusan jenis antibodi dan limfosit sensitif
yang berbeda-beda. Masing-masing jenis, sifatnya spesifik untuk suatu antigen yang khusus dan tiap
jenisnya dapat menggandakan diri mencapai jumlah yang sangat besar apabila distimulasi oleh antigen
spesifik yang jumlahnya cukup.
Limfosit dibawa ke hampir semua jaringan dan organ vertebrata tingkat tinggi lewat dua
jaringan sirkulasi, darah dan sistem limfa. Limfosit terdapat sebanyak 20-80% dari sel bernukleasi
dalam darah dan lebih dari 99% dalam cairan limfatik (limfa) (Weissman et al. 1978).
Limfosit dibentuk di dalam sumsum tulang dan berdiferensiasi menjadi sel limfosit B dan
limfosit T. Berdasarkan fungsinya terdapat tiga kelompok sel limfosit, yaitu sel limfosit B, sel limfosit
8
T, dan sel limfosit NK (Natural Killer). Sel limfosit B dan T memiliki reseptor pada permukaan yang
mampu mengenali antigen tertentu, sedangkan sel limfosit NK tidak mempunyai reseptor untuk
mengenal antigen. Pada manusia normal, sel limfosit B berjumlah 5-15% dan sel limfosit T berjumlah
sekitar 65-80% dari jumlah limfosit dalam tubuh. Kedua sel tersebut berperan sebagai respon spesifik
di mana sel limfosit B berperan di dalam respon imun humoral dan sel limfosit T berfungsi dalam
sistem imun seluler, sedangkan sel limfosit NK (Natural Killer) berperan dalam respon imun
nonspesifik (Harris 1991).
Sel limfosit B merupakan sel yang berasal dari sel stem dalam sumsum tulang belakang,
tumbuh menjadi sel plasma yang menghasilkan antibodi dan sel memori. Limfosit B termasuk sistem
perthanan humoral yaitu tidak menggunakan sel dalam melawan antigen tetapi menghasilkan zat yaitu
berbagai jenis antibodi yang digunakan untuk melawan antigen (Sheeler dan Bianchi 1982). Sel
limfosit B dewasa memiliki imunoglobulin permukaan atau Surface Immunoglobulin (sIg) yang
bertindak sebagai reseptor antigen spesifik, terdapat 1.5 x 105 molekul sIg pada permukaan membrane
sel limfosit B yang memiliki status peningkatan sesuai dengan antigen tertentu. Sel limfosit B dewasa
bergerak ke jaringan limfoid primer dan sekunder untuk dapat memberikan respon terhadap
rangsangan antigenik dengan cara pembelahan dan diferensiasi menjadi sel plasma dan sel memori
dibawah kontrol sitokin, khususnya limfokin yang disekresi oleh sel limfosit T (Roitt dan Delves
2001).
Sel limfosit T merupakan sistem pertahanan seluler termasuk leukosit non fatogenik yang
berasal dari stem sel (sumsum tulang belakang), kemudian bermigrasi ke organ timus untuk menjadi
dewasa. Sel limfosit T membelah diri di dalam organ timus dengan sangat cepat. Sel limfosit T dalam
proses pendewasaannya mengalami diferensiasi menjadi tiga bentuk, yaitu sel Thelper (Th),
Tsuppresor (Ts), dan Tcytotoxic (Tc). Sel Thelper merupakan sel limfosit T yang berperan dalam
stimulasi antibodi dan aktivasi makrofag dengan cara mengsekresikan molekul yang disebut sitokin.
Sel Tsuppresor berperan menekan aktivitas sel limfosit T yang lain dan mempunyai aktivitas
menurunkan produksi antibodi. Sel Tcytotoxic berperan untuk menghacurkan sel alogenik dan sel
sasaran yang terinfeksi patogen intraseluler seperti virus (Baratawijaya 2007).
Menurut Roitt dan Delves (2001) sel Thelper dapat dibedakan dari sel Tcytotoxic
berdasarkan adanya glikoprotein yang berbeda pada permukaan membran mereka. Sel limfosit T yang
memiliki CD4 berfungsi sebagai sel Thelper sedangkan sel limfosit T yang memiliki CD8 pada
permukaan membrannya berfungsi sebagai sel Tcytotoxic. Sel limfosit T memiliki T Cell Antigen
Receptor (TCR) yang dapat mengenali epitop suatu antigen melalui kerjasama dengan molekul protein
permukaan pada Antigen Presenting Cell (APC) yaitu Mayor Histocompatibility Complex (MHC). Sel
limfosit T teraktivasi oleh antigen spesifik sehingga terstimulasi untuk berproliferasi dan
berdiferensiasi menjadi sel T memori dan berbagai sel T efektor yang mengsekresikan berbagai
sitokin. Sitokin ini berpengaruh pada aktivasi sel B, sel Tc, sel-sel fagosit, sel NK, dan sel lain yang
terlibat dalam respon imun.
Sel limfosit NK atau Natural Killer termasuk sel nul karena tidak memiliki reseptor antigen
pada permukaan tetapi memiliki reseptor untuk komplemen (C) dan fragmen molekul antibodi
(Kresno 1996). Sel limfosit NK memiliki granula yang banyak seperti granula azurofilik dan ukuran
lebih besar dari sel limfosit B dan T sehingga dikenal dengan LGL (Roitt dan Delves 2001).
Sel limfosit NK berfungsi sebagai sel efektor sitolitik yang dapat menyerang dan melisis sel
target yaitu sel abnormal seperti sel neoplastik, sel terinfeksi virus atau patogen seluler, dan sel normal
yang tidak dewasa (Roitt dan Delves 2001).
9
Proliferasi Limfosit
Proliferasi limfosit adalah suatu fungsi biologis, yaitu proses perbanyakan sel melalui
pembelahan sel atau mitosis sebagai respon terhadap antigen atau mitogen. Proses tersebut
menghasilkan sel-sel efektor atau sel-sel plasma yang berperan dalam respon spesifik dan non
spesifik. Jika sel dikultur dengan senyawa mitogen, sel limfosit akan berproliferasi secara non
spesifik. Respon proliferasi limfosit digunakan untuk menggambarkan fungsi limfosit dan status imun
individu (Zakaria et al. 2003).
Kemampuan sel limfosit untuk berproliferasi atau membentuk klon, menunjukkan secara
tidak langsung kemampuan respon imunologik. Uji aktivitas sel limfosit dapat dilakukan secara in
vitro dan merupakan indikator kualitas respon imun. Berbagai jenis bahan pangan seperti jahe, kunyit,
dan bawang putih telah diketahui dan diteliti memiliki aktivitas imunostimulan, yaitu meningkatkan
kemampuan proliferasi sel limfosit untuk meningkatkan sistem imunitas (Zakaria et al. 2003).
Mitogen adalah agen yang mampu menginduksi pembelahan sel, baik sel T maupun sel B
dalam persentase tinggi. Mitogen dikenal sebagai aktivator poliklonal karena dapat mengaktivasi
banyak klon sel T atau sel B tanpa tergantung spesifitas antigennya. Stimulasi limfosit dengan antigen
atau mitogen mengakibatkan berbagai reaksi biokimia di dalam sel, di antaranya adalah fosforilasi
nukleoprotein, pembentukan DNA dan RNA, serta peningkatan metabolisme lemak, dan lain-lain.
Aktivitas sel T dan sel B berproliferasi ini dapat diukur melalui Indeks Stimulasi (IS) (Zakaria et al.
2000).
Beberapa jenis mitogen yang umum merupakan protein yang mengikat gula yang disebut
lektin, yang secara spesifik mengikat glikoprotein pada pada permukaan berbagai sel, termasuk
limfosit. Pengikatan molekul lektin ke glikoprotein membran sering memicu aglutinasi, atau
pengklusteran sel, yang kemudian memicu aktivasi seluler dan proliferasi (Bartosz 1990).
Menurut Tizar (1988), mitogen yang sering digunakan dalam proliferasi limfosit dapat
berupa senyawa lektin dan non lektin. Contoh mitogen berupa senyawa lektin adalah PHA
(Phytohaemagglutinin), PWM (Pokeweed), dan contoh mitogen berupa senyawa non lektin adalah
Con A (Concanavalin A), dan LPS (Lipopolisakarida). Senyawa Con A berasal dari ekstrak tanaman
kacang jaks (Conavalin ensiformis). LPS berasal dari suatu bakteri Gram negatif seperti E. coli dan
Salmonella thyphymurium. Menurut Lao et al. (2001) aktivitas mitogen bersifat spesifik, seperti Con
A dan PHA umumnya menginduksi proliferasi limfosit sel T, LPS menginduksi sel B, sedangkan
PWM menginduksi sel T dan B.
Pengujian proliferasi sel dapat dilakukan dengan pewarnaan MTT (3-[4,5-dimetilthiazol2yl]-2,5-diphenyl tetrazolium bromide; thiazolyl blue) yang ditambahkan pada media kultur (5
mg/ml) (Wyllie et al. 1998). Prinsip dari metode MTT ini adalah reduksi enzim suksinat
dehidrogenase pada sel dari garam tetrazolium (MTT) yang berwarna kuning menjadi kristal biru
formazan yang kemudian dihitung absorbansinya menggunakan microplate reader atau ELISA Reader
pada λ 570 nm. Enzim suksinat dehidrogenase merupakan enzim yang disintesis oleh semua sel pada
mitokondria. Semakin banyak terbentuk warna formazan, berarti jumlah enzim yang menghidrolisis
garam tetrazolium juga banyak dan hal ini menunjukkan jumlah sel yang hidup banyak (Bounous
1992).
Selain dengan metode MTT, terdapat juga jenis metode pengujian proliferasi sel lainnya,
yaitu dengan menggunakan metode pewarnaan biru trifan dan dilihat menggunakan mikroskop pada
perbesaran 400 kali. Prinsip metode ini adalah penyerapan zat warna melalui membran sel, biru trifan
hanya dapat mewarnai jika sel tersebut rusak, sehingga digunakan untuk membedakan sel yang mati
atau rusak dengan sel yang hidup. Sel yang hidup memiliki bentuk bulat dan berwarna terang,
10
sedangkan sel yang mati memiliki bentuk mengkerut dan berwarna biru. Sel mati tesebut berwarna
biru disebabkan pecahnya dinding sel yang mengakibatkan warna biru dari biru trifan dapat masuk
dan mewarnai keseluruhan sel (Shaper 1998).
Kultur Sel
Kultur sel merupakan teknik mengembangbiakkan sel di luar tubuh (in vitro). Kultur sel
biasanya dilakukan pada sel limfosit. Biakan sel atau jaringan akan diamati untuk mempelajari sifat
sel di luar tubuhnya. Pelaksanaan kultur sel secara in vitro ini memerlukan kondisi pertumbuhan yang
mirip dengan kondisi di dalam tubuh meliputi pengaturan temperatur, konsentrasi O2 dan CO2, pH,
tekanan osmosis, dan kandungan nutrisi (Davis 1994). Pengaturan kondisi untuk pertumbuhan
merupakan suatu keuntungan karena kondisi fisiologis dari kultur sel relatif konstan, sedangkan
kekurangannya adalah hilangnya spesifitas sel, karena sel bekerja tidak secara terintegritas dalam
suatu jaringan, tetapi selnya terpisah-pisah. Kultur sel dilakukan dalam media yang kondisinya steril,
butuh keahlian dan keterampilan khusus dan biaya relatif mahal (Malole 1990).
Menurut Freshney (1994), terdapat beberapa perbedaan karakteristik sel dalam kultur (in
vitro) dengan sel di dalam tubuh (in vivo). Interaksi yang spesifik antar sel pada jaringan secara in
vitro hilang karena sel tersebar dan mudah bergerak, laju pertumbuhan sel meningkat karena ada
kemungkinan berproliferasi. Lingkungan kultur kekurangan beberapa komponen yang mempengaruhi
pengaturan homeostatik tubuh seperti sistem saraf dan sistem endokrin. Energi yang dibutuhkan
dalam metabolisme in vitro berasal dari glikolisis, sedangkan meabolisme sel secara in vivo berasal
dari glikolisis, daur Krebs, dan transpor elektron.
Media pertumbuhan kultur sel berfungsi mempertahankan pH, menyediakan lingkungan yang
baik, sehingga sel dapat bertahan hidup, berkembang dan berdiferensiasi dan menyediakan substansisubstansi yang tidak dapat disintesis oleh sel itu sendiri. Nutrisi yang umumnya terkandung adalah
asam amino, vitamin, glukosa atau gula lain, garam, dan protein tertentu. Pemilihan media harus
didasarkan pada kebutuhan sel yang ditumbuhkan dan disesuaikan dengan tujuan dari studi
penggunaan sel tersebut. Media yang sering digunakan untuk kultur sel limfosit adalah RPMI-1640.
RPMI (Rosewell Park Memorial Institut). Selain RPMI-1640 terdapat juga RPMI-1630 dan RPMI1629 (Davis 1994).
Dalam pembuatan media kultur sel, dilakukan penambahan buffer dan antibiotik.
Penambahan buffer bertujuan menjaga keseimbangan pH yaitu memiliki pH 7.4 karena jika pH sedikit
lebih rendah dari pH 7, pertumbuhan sel akan terhambat (Freshney 1994). Buffer yang sering
digunakan adalah NaHCO3. Penambahan antibiotik bertujuan mencegah kontaminasi media.
Antibiotik yang berbeda mempunyai spektrum antimikroba yang berbeda seperti Penicilin merupakan
antimikroba untuk bakteri gram positif, Streptomicin untuk bakteeri gram positif dan negatif,
sedangkan Gentamicin untuk bakteri gram positif, negatif, dan mikroplasma (Freshney 1994). Selain
itu juga ditambahkan serum untuk menunjang pertumbuhan sel di luar tubuh dan pelekatan sel. Serum
yang biasanya digunakan sebagai suplemen standar adalah serum janin sapi (Fetal Calf Serum atau
Fetal Bovine Serum), karena kaya dengan faktor pertumbuhan dan rendahnya kandungan gamma
globulin. Penambahan serum berkisar 5-20% (Walun et al. 1990).
Disamping medium, jumlah atau konsentrasi sel yang dikulturkan harus diperhatikan. Jumlah
sel limfosit yang dikulturkan sekitar 1-4 x 106 sel/ml, karena sel limfosit tidak dapat bertahan hidup
dan tumbuh pada konsentrasi sel yang rendah atau kurang dari 1.5 x 105 sel/ml (Bellanti 1993).
Sel limfosit memerlukan O2 untuk bertahan hidup. Kondisi O2 yang rendah masih dapat
mendorong proses proliferasi, tetapi pertumbuhannya tidak berlangsung lama dalam kondisi anaerob.
11
Temperatur kultur dipertahankan 37oC. konsentrasi 5 % CO2 dan 95% udara bertujuan membuat
kondisi yang sama dengan kondisi di dalam tubuh. Temperatur dapat mempengaruhi pH melalui
peningkatan kelarutan CO2 misalnya pada temperatur rendah akan terjadi perubahan ionisasi sehingga
terjadi perubahan pH (Freshney 1994).
Kultur sel limfosit dapat digunakan sebagai model uji toksisitas karena limfosit adalah sel
yang bertanggungjawab terhadap respon imun spesifik, dimana sel tersebut mempunyai kemampuan
untuk mengenal berbagai macam antigen yang berbeda (Cambier 1987). Lebih dari satu juta struktur
antigenik dapat dibedakan karena kemampuan pengenalan yang dimiliki limfosit. Limfosit
mempunyai fungsi yang paling beragam dibanding semua sel dalam sistem imun. Menurut Kresno
(1996), sel limfosit mampu mengenal setiap jenis antigen baik antigen yang terdapat pada intraseluler
maupun ekstraseluler misalnya dalam cairan tubuh atau dalam tubuh.
Tikus Percobaan
Tikus putih merupakan hewan yang paling banyak digunakan sebagai hewan model untuk
percobaan laboratorium. Hal ini disebabkan karena tikus putih sangat produkstif dan mudah dalam
pengelolaannya. Selain itu, siklus hidup dari hewan ini relatif pendek, jumlah anak perkelahiran
banyak, serta sifat produksi dan reproduksinya menyerupai hewan mamalia (Mariwaki 1987). Tikus
putih termasuk dalam Kingdom Animalia, Kelas Mammalia, Ordo Rodentia, Subordo Myomorpha,
Superfamili Muroidea, Famili Muridae, Subfamili Murinae, Genus Rattus dan Spesies Rattus sp
(Robinson 1979). Penelitian toksikologi suatu sampel memerlukan serangkaian percobaan in vivo
melibatkan hewan uji dengan harapan mendapatkan estimasi keamanan atau tingkat toksisitas suatu
sampel pada manusia.
Tikus laboratorium berasal dari tikus liar yang sudah didomistikasi. Mencit laboratorium
biasanya berwarna putih, matanya berwarna merah dan biasanya tidak terlalu agresif. Secara garis
besar, fungsi dan bentuk organ, proses biokimia dan biofisik antara tikus dan manusia memiliki
banyak kemiripan. Perbedaan antara tikus dan manusia antara lain terdapat pada struktur dan fungsi
plasenta tikus; tingkat pertumbuhan tikus yang lebih cepat dari manusia; kekurangpekaan tikus pada
senyawa neurotoksik dan teratogen. Tikus dapat membuat vitamin C sendiri sedangkan sumber
vitamin C manusia hanya melalui makanan. Berbeda dengan manusia, tikus tidak mempunyai kantung
empedu (Koeman 1987).
Terdapat lima galur tikus putih, yaitu galur Sprague Dawley, Wistar, Sherman, OsborneMendel dan Long-Evans. Untuk studi kesehatan dan penyakit pada manusia, tikus Sprague Dawley
merupakan model yang sangat bagus untuk toksikologi, reproduksi, farmakologi dan tingkah laku.
Galur Sprague Dawley yang umum digunakan untuk penelitian mempunyai ciri berwarna putih
albino, berkepala kecil dan ekornya lebih panjang dari badannya (Malole dan Pramono 1989).
Berikut ini beberapa karakteristik anatomis dan fisiologis tikus Sprague Dawley: Rumus gigi
tikus Sprague Dawley adalah 2 (I 1/1, M 3/3) = 16. Gigi seri tumbuh terus menerus. Tikus akan
menggigit atau menjepit dengan gigi serinya yang tajam jika salah penanganan. Esofagus masuk ke
lambung melewati lubang yang kecil karena ada lipatan jaringan pada lambung. Karena struktur
anatomis tersebut, tikus tidak mampu muntah. Seperti kuda, tikus tersebut tidak mempunyai kantung
empedu. Paru-paru kiri terdiri dari satu lobus sementara paru-paru kanan terdiri atas empat lobus.
Tikus memiliki lima pasang kelenjar susu. Distribusi jaringan mammae tersebar, dari garis tengah
ventral melewati panggul, toraks dan bagian leher. Uretra tikus betina tidak berhubungan dengan
vagina atau vulva. Kelenjar membrane niktitasi (kelenjar Harderian) merupakan kelenjar lakrimal
terpigmentasi yang teletak di belakang bola mata, melingkari saraf optik. Hasil sekresi dari kelenjar
12
ini kaya akan lemak dan porfirin. Meskipun banyak spesies lain memiliki kelenjar Harderian, pada
tikus kelenjar ini memiliki fungsi khusus. Selama masa stress dan atau sakit tertentu, air mata
mengalir dan mewarnai wajah di sekitar mata dan hidung. Ketika air mata mengering, pigmen tersebut
memberikan warna seperti darah kering. Pigmen tersebut akan berpendar saat dipaparkan pada sinar
ultraviolet dan mengandung sedikit darah atau tidak sama sekali. Respon tikus terhadap penurunan
suhu ruang/kandang berupa termogenesis tanpa gemetar. Sedangkan saat suhu kandang meningkat,
terjadi vaskularisasi pada ekornya yang panjang, yang juga berperan sebagai organ termoregulator.
Sebagian besar termogenesis tersebut terjadi pada jaringan lemak yang coklat, konsentrasi yang paling
tinggi ditemukan pada jaringan subkutan di antara skapula (Malole dan Pramono 1989).
Tabel 1. Data Biologis Tikus
Kriteria
Berat badan dewasa jantan
Berat badan dewasa betina
Berat lahir
Suhu tubuh
Harapan hidup
Konsumsi makanan
Konsumsi air minum
Jumlah pernafasan
Penggunaan oksigen
Detak jantung
Volume darah
Tekanan darah
Lama produksi ekonomis
Lama bunting
Umur sapih
Umur dewasa kelamin
Jumlah anak per kelahiran
Kecepatan pertumbuhan
Nilai
450-520 g
250-300 g
5-6 g
35,9-37,5°C
2,5-3,5 tahun
10 g/100 g/hari
10-12 mL/100 g/hari
70-115/menit
0,68-1,10 mL/g/hari
250-450/menit
54-70 mL/kg
84-134/60 mmHg
9 bulan
19-21 hari
21 hari
35 hari
6 sampai 15
1 gram/hari
Sumber : Malole dan Pramono (1989)
13
Download