analisi spasial kualitas ekosistem terumbu karang sebagai dasar

advertisement
ANALISI SPASIAL KUALITAS EKOSISTEM TERUMBU
KARANG SEBAGAI DASAR PENENTUAN KAWASAN
KONSERVASI LAUT DENGAN METODE CELL BASED
MODELLING DI KARANG LEBAR DAN KARANG
CONGKAK KEPULAUAN SERIBU, DKI JAKARTA
Oleh:
ANGGI AFIF MUZAKI
C64104035
SKRIPSI
PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2008
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa Skripsi yang berjudul:
ANALISI SPASIAL KUALITAS EKOSISTEM TERUMBU KARANG
SEBAGAI DASAR PENENTUAN KAWASAN KONSERVASI LAUT
DENGAN METODE CELL BASED MODELLING DI KARANG LEBAR
DAN KARANG CONGKAK KEPULAUAN SERIBU, DKI JAKARTA
Adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk
apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi
yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan
dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar
Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, November 2008
ANGGI AFIF MUZAKI
C64104035
ii
RINGKASAN
ANGGI AFIF MUZAKI. Analisi Spasial Kualitas Ekosistem Terumbu
Karang Sebagai Dasar Penentuan Kawasan Konservasi Laut dengan Metode
Cell Based Modelling di Karang Lebar Dan Karang Congkak Kepulauan
Seribu, DKI Jakarta. Dibimbing oleh SETYO BUDI SUSILO dan
SYAMSUL BAHRI AGUS.
Penelitian ini terbagi menjadi 3 tahap : pengolahan citra pada bulan April
2008, survey lapang dan pengambilan sampling kualitas air pada tanggal 12- 18
Mei 2008 dan 22 – 26 Juli 2008, dan analisa akhir pada bulan Mei – Agustus
2008 yang dilakukan di Laboratorium Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi
Geografis , Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan
Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Penentuan stasiun dilakukan secara acak
dan menyebar di daerah tubir Gugusan Karang Congkak dan Karang Lebar.
Survei lapang bertujuan untuk ground truth citra hasil klasifikasi serta
pengambilan sampel kualitas air dan kondisi ekosistem terumbu karang.
Parameter yang digunakan unruk penentuan kawasan konservasi laut meliputi
jenis substrat dasar perairan, jumlah jenis ikan karang, kelimpahan ikan karang,
kedalaman, jarak dari jalur pelayaran, dan jarak dari lokasi penelitian. Dari semua
parameter yang di dapat kemudian di spasialkan dan dilakukan analisis spasial
berbasis raster.
Penempakan substrat dasar secara maksiaml diterapkan metode penajaman
multiimage yang mengkombinasikan band 2 dan band 3 berdasarkan algoritma
penurunan ”Standard Exponential Attenuation Model”. Setelah mengekstrak
nilai digital band 2 dan band 3 maka didapat nilai koefisien atenuasi perairan
(Ki/Kj) sebersar 0,59289. Dengan demikian, persamaan algoritma yang
digunakan untuk mengekstrak substrat dasar menjadi Y= ln (k1) -0,59289* ln
(K2) (Green et all.,2000). Banyak kelas juga terlihat pada histogram yang
diwakili oleh puncak – puncak piksel yang dominan yaitu dengan sebaran nilai
antara 7,54692 sampai 8,171772. Luasan turunan substrat dasar diantaranya
karang hidup 131,8336 ha, karang mati 102,4704 ha, lamun 316,9920 ha, dan
pasir 316,9920 ha. Hasil uji akurasi citra hasil klasifikasi menunjukkan nilai
akurasi mencapai 90,12 %, ini menandakan bahwa citra sudah terkelaskan dengan
benar.
Analisi spasial pada data raster merupakan dasar dari Cell Based
Modelling, resolusi satelit yang tinggi yaitu 8 x 8 m menambah keakuratan dari
hasil pengolahan citra. Dari hasil analisa spasial daerah yang termasuk dalam
kategori sangat sesuai untuk dijadikan kawasan konservasi laut memiliki luas
118,2976 ha banyak terletak di bagian tubir Karang Lebar dan Karang Congkak.
Daerah dengan kategori sesuai memiliki luas 789,0176 ha banyak berada di reef
flat Karang Lebar dan Karang Congkak, sedangkan daerah tidak sesuai
mempunyai luasan sebesar 462,9760 ha.
iii
ANALISI SPASIAL KUALITAS EKOSISTEM TERUMBU
KARANG SEBAGAI DASAR PENENTUAN KAWASAN
KONSERVASI LAUT DENGAN METODE CELL BASED
MODELLING DI KARANG LEBAR DAN KARANG
CONGKAK KEPULAUAN SERIBU, DKI JAKARTA
Oleh:
Anggi Afif Muzaki
C64104035
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Perikanan
pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2008
iv
SKRIPSI
Judul Penelitian
: ANALISI SPASIAL KUALITAS EKOSISTEM
TERUMBU KARANG SEBAGAI DASAR PENENTUAN
KAWASAN KONSERVASI LAUT DENGAN METODE
CELL BASED MODELLING DI KARANG LEBAR DAN
KARANG CONGKAK KEPULAUAN SERIBU, DKI
JAKARTA
Nama Mahasiswa
: Anggi Afif Muzaki
Nomor Pokok
: C64104035
Departemen
: Ilmu dan Teknologi Kelautan
Menyetujui,
Pembimbing I
Pembimbing II
Prof. Dr.Ir. Setyo Budi Susilo, M.Sc.
NIP : 131 284 624
Syamsul Bahri Agus, S.Pi, M.Si.
NIP : 132 311 312
Mengetahui,
Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Prof. Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc
NIP : 131 578 799
Tanggal Lulus : 26 November 2008
KATA PENGANTAR
Puji syukur ke hadirat Allah SWT atas semua rahmat dan karunia yang telah
diberikan kepada penulis sehingga skripsi dari penelitian ini dapat terselesaikan.
Skripsi ini berjudul Analisi Spasial Kualitas Ekosistem Terumbu Karang Sebagai
Dasar Penentuan Kawasan Konservasi Laut dengan Metode Cell Based Modelling
di Karang Lebar dan Karang Congkak Kepulauan Seribu, DKI Jakarta
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih sebesar besarnya kepada:
1. Orang Tua serta kakak, adik penulis yang telah memberikan kasih sayang,
motivasi, inspirasi, doa dan semangatnya yang tak kunjung henti.
2. Bapak Prof. Dr. Ir. Setyo Budi Susilo, M.Sc. dan Bapak Syamsul B. Agus,
S.Pi, M.Si. selaku Komisi Pembimbing yang telah memberikan
pengetahuannya kepada penulis.
3. Bapak Dr. Ir. Vincentius P. Siregar, DEA. yang telah memberikan
bimbingan, saran, dan kritik serta bantuan mengenai penelitian ini.
4. Tim Riset Insentif Dasar 2008 atas bantuan dan kerjasamanya.
5. Fisheries Diving Club atas pengajaran dan pengalamannya selama ini.
6. Roshyana Wahyu N.J. atas dukungan dan bantuan selama pengerjaan
skripsi ini.
7. Seluruh warga Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan Institut
Pertanian Bogor atas kebersamaannya selama masa perkuliahan.
8. Seluruh pihak-pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini.
Akhir kata semoga tulisan ini bermanfaat bagi semua pihak yang membacanya.
Bogor, November 2008
Anggi Afif Muzaki
vi
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ........................................................................................... ix
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... x
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. xii
1. PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
1.1. Latar belakang
.................................................................................... 1
1.2. Tujuan penelitian ................................................................................... 2
2. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................. 3
2.1. Kondisi umum lokasi penelitian .............................................................. 3
2.1.1. Topografi dan geologi ..................................................................... 3
2.1.2. Iklim ............................................................................................... 4
2.1.3. Kondisi hidro-oseanografi ............................................................... 4
2.2. Konservasi .............................................................................................. 5
2.2.1. Sejarah konservasi ........................................................................... 5
2.2.2. Kawasan konservasi Laut ................................................................ 8
2.3. Ekosistem utama wilayah pesisir ............................................................. 9
2.3.1. Ekosistem hutan mangrove ......................................................... 10
2.3.2. Ekosistem padang lamun............................................................... 12
2.3.3. Ekosistem terumbu karang .......................................................... 14
2.4. Lingkungan sosial ekonomi .................................................................. 15
2.5. Penginderaan jauh ................................................................................. 16
2.7. Sistem informasi geografis .................................................................... 19
2.8. Cell based modeling ............................................................................. 22
3. METODE PENELITIAN .......................................................................... 27
3.1. Lokasi dan waktu penelitian ................................................................. 28
3.2. Alat dan bahan ...................................................................................... 28
3.2.1. Alat ............................................................................................... 28
3.2.2. Bahan ............................................................................................ 28
3.3. Motede penelitian ................................................................................. 29
3.4. Pengolahan Citra satelit ........................................................................ 29
3.4.1. Pre-processing ............................................................................. 29
3.4.2. Penajaman citra ............................................................................. 31
3.4.2.1. Penajaman citra untuk karakteristik dasar perairan ................. 31
3.4.2.2. Penajaman citra untuk klorofil perairan .................................. 32
3.4.2.3. Penajaman citra untuk muatan padatan tersuspensi ................. 32
3.4.2.4. Pemetaan kawasan mangrove ................................................. 33
3.4.3. Klasifikasi citra ............................................................................. 34
3.4.4. Penilaian hasil dan analisis ketelitian data ...................................... 34
3.5. Penentuan stasiun pengamatan ............................................................... 35
vii
3.6. Pengukuran faktor fisik lapangan .......................................................... 36
3.5.1. Survei kondisi terumbu karang dan kepadatan ikan Karang ........... 37
3.5.2. Survei kondisi sosial, ekonomi dan budaya .................................... 40
3.7. Metode penentuan kawasan perlindungan laut ........................................... 41
3.8. Matriks kesesuaian untuk penentuan daerah perlindungan laut ................... 43
4. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................. 47
4.1. Pendugaan parameter kawasan konservasi laut dengan citra satelit ......... 47
4.1.1. Pengolahan awal citra .................................................................... 47
4.2.2. Substrat dasar perairan dangkal ..................................................... 49
4.1.3. Konsentrasi klorofil ....................................................................... 54
4.1.4. Muatan padatan tersuspensi ........................................................... 55
4.2. Parameter Biofisik kawasan konservasi laut ......................................... 58
4.2.1. Keterlindungan wilayah ................................................................. 58
4.2.2. Suhu .............................................................................................. 60
4.2.3. Salinitas ........................................................................................ 60
4.2.3. pH .............................................................................................. 63
4.2.4. Oksigen terlarut ............................................................................. 63
4.2.5. Kecerahan ..................................................................................... 66
4.2.6. Arus dan pasang surut ................................................................... 68
4.2.7. Batimetri ....................................................................................... 71
4.2.8. Jumlah jenis ikan karang ............................................................... 74
4.2.9. Kelimpahan ikan karang ................................................................ 76
4.3. Parameter Penimbang Daerah Perlindungan Laut ................................ 79
4.3.1. Jarak Pantauan Dari Pemukiman Penduduk Pulau Kecil ................ 79
4.3.2. Jarak Dari Jalur Pelayaran ............................................................ 79
4.3.3. Analisis Zona Konservasi Laut (daerah perlindungan laut ) dengan
Cell Based Modeling ................................................................... 81
5. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................. 89
5.1. Kesimpulan .......................................................................................... 89
5.2. Saran ................................................................................................... 90
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 91
LAMPIRAN .................................................................................................. 96
DAFTAR RIWAYAT HIDUP .................................................................... 110
viii
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Nilai konstanta kalibrasi dari band thermal (NASA, 2005) .......................... 18
2. Stasiun pengamatan ...................................................................................... 35
3. Kriteria persentase penutupan karang .......................................................... 41
4. Sistem penilaian kesesuaian daerah perlindungan laut .................................. 46
5. Luasan turunan substrat dasar perairan Karang Lebar dan Karang ................. 52
6. Cunfusion matrix ......................................................................................... 54
7. Akurasi untuk sisi user dan producer ......................................................... 55
8. Pasang surut perairan Kepulauan Seribu ....................................................... 71
9. Jumlah sel hasil klasifikasi parameter dengan Cell Based Modelling ............ 88
10. Jumlah sel hasil Weighted overlay .............................................................. 89
ix
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Anatomi Terumbu Karang ............................................................................ 14
2. Tampilan Tema / Layer ................................................................................ 20
3. Perbandingan antara data raster dan data vector ............................................ 21
4. Struktur data raster ....................................................................................... 23
5. Ilustrasi operasi piksel .................................................................................. 25
6. Peta lokasi penelitian ..................................................................................... 27
7. Diagram alir penelitian ................................................................................. 30
8. Metode pengambailan data LIT .................................................................... 38
9. Metode Visual Sensus .................................................................................. 39
10. Weigth Overlay untuk Daerah Perlindungan Laut ( DPL) ........................... 42
11. Peta titik GCP lapang ................................................................................. 49
12. Citra komposit RGB 423 (a) dan RGB 123 (b) ........................................... 50
13. Histogram citra hasil penerapan algoritma Lyzenga .................................... 51
14. Peta sebaran substrat dasar Perairan Karang Lebar dan Congkak, Kep.
Seribu – Jakarta .......................................................................................... 53
15. Peta sebaran klorofil – a Perairan Karang Lebar dan Congkak, Kep.
Seribu – Jakarta .......................................................................................... 57
16. Peta sebaran MPT Perairan Karang Lebar dan Congkak, Kep. Seribu –
Jakarta ........................................................................................................ 58
17. Peta keterlindungan wilayah Perairan Karang Lebar dan Congkak, Kep.
Seribu – Jakarta .......................................................................................... 60
18. Peta sebaran Suhu Perairan Karang Lebar dan Congkak, Kep. Seribu –
Jakarta ........................................................................................................ 62
19. Peta sebaran Salinitas Perairan Karang Lebar dan Congkak, Kep. Seribu –
Jakarta ........................................................................................................ 63
x
20. Peta sebaran pH Perairan Karang Lebar dan Congkak, Kep. Seribu –
Jakarta ........................................................................................................ 65
21. Peta sebaran Oksigen Terlarut Perairan Karang Lebar dan Congkak, Kep.
Seribu – Jakarta .......................................................................................... 66
22. Peta sebaran kecerahan Perairan Karang Lebar dan Congkak, Kep.
Seribu – Jakarta .......................................................................................... 68
23. Grafik Pasang Surut Tunggal Perairan Kepulauan Seribu .......................... 70
24. Peta pola arus permukaan Perairan Karang Lebar dan Congkak, Kep.
Seribu – Jakarta .......................................................................................... 71
25. Peta sebaran Kedalaman Perairan Karang Lebar dan Congkak, Kep.
Seribu – Jakarta .......................................................................................... 73
26. Profil 3D Karang Lebar, Kepulauan Seribu – Jakarta .................................. 74
27. Profil 3D Karang Congkak, Kepulauan Seribu – Jakarta ............................. 74
28. Peta sebaran Jumlah Jenis Ikan Karang Perairan Karang Lebar dan
Congkak, Kep. Seribu – Jakarta .................................................................. 76
29. Histogram Kelimpahan Ikan Karang .......................................................... 77
30. Peta sebaran Jumlah Individu Ikan Karang Perairan Karang Lebar dan
Congkak, Kep. Seribu – Jakarta .................................................................. 79
31. Peta Buffer Kawasan Pemukiman Pulau Kecil Perairan Karang Lebar dan
Congkak, Kep. Seribu – Jakarta .................................................................. 81
32. Peta Buffer Jalur Pelayaran Perairan Karang Lebar dan Congkak, Kep.
Seribu – Jakarta .......................................................................................... 83
33. Peta keseuaian daerah perlindungan laut Perairan Karang Lebar dan
Congkak, Kep. Seribu – Jakarta .................................................................. 97
xi
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Data GCP dan RMS report .......................................................................... 97
2. Kalkulasi Koefisien attenuasi perairan (ki/kj) ............................................... 98
3. Peta hasil klasifikasi ulang subsrat dasar dan kedalaman ........................... 100
4. Peta hasil klasifikasi ulang sebaran jumlah ikan karang dan kelimpahan
ikan karang ................................................................................................. 101
5. Parameter fisika kimia perairan pada setiap stasiun pengamatan. ................. 102
6. Komposisi substrat dasar di setian stasiun pengamatan LIT ........................ 103
7. Komposisi substrat dasar di setian stasiun pengamatan RRA ...................... 105
8. Famili ikan dan spesies yang ditemukan untuk menilai komposisi dan
kelimpahan ikan karang .............................................................................. 106
9. Gambar alat penelitian dan lokasi penelitian .............................................. 108
xii
1
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang
Dalam kurun waktu 50 tahun terakhir kondisi ekosistem terumbu karang
kita yang rusak meningkat dari 10% menjadi 50% (P2O LIPI, 2006). Kondisi ini
memaksa kita segera bertindak menjaga ekosistem di sekitar kita. Penentuan
kawasan konservasi laut ( KKL) adalah salah satu cara untuk menjaga kelesatarian
suatu ekosistem agar tidak musnah.
Perencanaan kawasan konservasi yang memerlukan banyak parameter akan
memerlukan analisis yang kompleks dan tidak mudah dilakukan. Namun
demikian dengan perkembangan Sistem Informasi Geografis (SIG) dan metode
analisis spasial seperti sekarang permasalahan tersebut mendapat jalan keluarnya.
Misalnya dengan diperkenalkannya perangkat analisis Cell Based Modelling yang
secara khusus dapat membantu dalam perencanaan kawasan konservasi laut secara
cepat. Analisis Cell Based Modelling di dalam SIG ini akan sangat membantu
para perencana, tenaga teknis, para pengambil kebijakan dalam mendesain,
mengelola kawasan konservasi laut seperti yang mereka harapkan.
Gugusan pulau Karang Lebar dan Karang Congkak merupakan salah
wilayah yang berada Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu. Kawasan ini
merupakan ekosistem terumbu karang yang perlu dilindungi. Sumberdaya
terumbu karang dengan berbagai jenisnya perlu mendapatkan perhatian dari
seluruh stakeholder. Penelitian ini akan mencoba menetapkan lokasi mana yang
layak dijadikan kawasan konservasi laut dengan menggunakan aplikasi SIG dan
memperhatikan parameter-parameter lingkungan lainnya.
1
2
1.2. Tujuan penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah mengkaji perairan mana dari wilayah
gugusan pulau Karang Lebar dan Karang Congkak yang layak menjadi kawasan
konservasi laut melalui analisis citra, survei lapangan dengan metode Cell Based
Modelling, dan sebagai masukkan kepada stakeholder dalam pengelolaan kawasan
konservasi laut.
3
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kondisi umum lokasi penelitian
Secara geografis, Kepulauan Seribu merupakan gugusan pulau-pulau kecil
di perairan laut DKI Jakarta yang terbentang dari Teluk Jakarta di selatan hingga
Pulau Sebira di utara yang merupakan pulau terjauh dengan jarak kurang lebih
150 km dari pantai Jakarta Utara. Kepulauan Seribu terletak pada 106020’00’’ BT
hingga 106057’00’’ BT dan 5010’00’’ LS hingga 5057’00’’ LS. Secara
administratif, berdasarkan UU Nomor 34 Tahun 1999 dan PP Nomor 55 Tahun
2001 Kepulauan Seribu merupakan Kabupaten Adiministratif yang terdiri dari 110
pulau, dimana hanya 11 pulau di antaranya yang berpenghuni (BPS, 2005).
2.1.1 Topografi dan geologi
Hampir seluruh pulau pada Kepulauan Seribu mempunyai topografi yang
landai (kemiringan = 0-5%) dengan ketinggian rata-rata (0-2) m di atas
permukaan laut. Sebagian besar lahan tertutup oleh terumbu karang yang sedang
tumbuh ataupun sudah mati. Terumbu karang yang sudah mati rata-rata berada
pada 100 m dari garis pantai. Sebagian besar pulau di Kepulauan Seribu jarang
terjadi banjir, tanah bersifat anaerobik, dan ketebalan tanah dibawah top soil
adalah 0-4 m.
Kawasan Pulau Seribu, mencakup lautan, pulau karang, gugusan karang dan
gosong. Secara geologis pulau-pulau di kawasan ini terdiri dari batu-batu kapur
(karang), pasir dan sedimen yang berasal dari daratan Pulau Jawa dan dari Laut
Jawa. Penyebaran ketiga jenis batuan menurut kedalaman laut adalah sebagai
berikut (Dinas Peternakan, Perikanan, dan Kelautan DKI, 2005) :
3
4

Batuan kapur (karang)
: 0 - 10 m

Batuan pasir dan karang
: 10 - 20 m

Batuan pasir dan sedimen
: lebih dari 20 m
2.1.2. Iklim
Iklim di Kawasan Kepulauan Seribu adalah Iklim tropis yang didominasi
dua musim, yaitu musim barat dan musim timur. Musim barat berlangsung mulai
akhir November sampai akhir bulan Febuari. Pada musim ini angin bertiup
kencang disertai arus laut yang kuat bergerak dari barat ke timur disertai hujan
yang cukup deras. Akibat arus yang kuat, kejernihan air laut menjadi berkurang.
Kecepatan arus dapat mencapai 4-5 knot sedangkan tinggi gelombang mencapai 2
meter. Musim timur berlangsung mulai akhir bulan Mei sampai akhir Agustus.
Angin bertiup kencang ke arah barat, demikian juga arus laut yang ada. Hujan
jarang turun dan kejernihan laut bertambah. Di antara kedua musim tersebut
terdapat musim peralihan. Kondisi laut pada saat itu biasanya berubah-ubah,
tetapi relatif tenang (LAPI-ITB, 2001).
2.1.3. Kondisi hidro-oseanografi
Secara umum kondisi perairan di gugusan pulau-pulau di Kepulauan Seribu
memiliki fenomena yang hampir sama, karena terletak pada satu kawasan yang
berdekatan. Perairan Kepulauan seribu mempunyai karakteristik pasang surut
jenis campuran dominan ganda dengan range pasut sampai 80 cm. Jenis pasut
tersebut merupakan tipe umum jenis pasut di Perairan Laut Jawa. Tinggi dan arah
panjalaran gelombang laut di Perairan Kepulauan Seribu dipengaruhi oleh angin.
Tinggi gelombang sangat bervariasi antara 0,5 -1,5 m. Kecepatan arus di
5
Kepulauan Seribu tergolong lemah, kecuali di daerah antar pulau, akibat masa air
melewati bagian yang relatif sempit. Arah arus secara umum dominan dari arah
timur laut sampai tenggara. Hal ini menunjukan bahwa pola arus permukaan di
perairan tersebut diakibatkan oleh pola angin yang terjadi, sebagaimana sifat fisik
arus permukaan di perairan Laut Jawa pada umumnya.
Variasi salinitas horizontal maupun vertikal pada perairan Kepulauan
Seribu relatif kecil. Salinitas rata-rata berkisar 300/00 - 34 0/00. Variasi rata-rata
suhu di perairan Kepulauan Seribu berkisar antara 28,5 0C – 31 0C. Adanya
variasi tersebut disebabkan oleh adanya gugusan pulau-pulau yang tentunya
mempunyai kedalaman yang bervariasi (LAPI-ITB, 2001). Secara umum apabila
kedalaman laut semakin kecil maka temperatur air laut pada siang hari akan
semakin besar, karena adanya pengaruh penetrasi cahaya matahari. Meskipun
demikian mekanisme naik turunnya air pasang surut membuat suhu perairan akan
berkisar pada temperatur normal (28 0C) pada umumnya (Wyrtki,1961).
2.2. Konservasi
2.2.1. Sejarah konsevasi
Pada awalnya konservasi dianggap sebagai suatu upaya perlindungan dan
pelesatarian yang menutup kemungkinan dilakukannya pemanfaatan sumberdaya
alam. Namun demikan bila suatu kawasan itu dilindungi, dirancang dan dikelola
secara tepat, dapat memberikan keuntungan yang lestari bagi masyarakat dan
sebagai sumber devisa negara. Oleh karena itu konservasi memegang peranan
penting dalam pembangunan sosial dan ekonomi di lingkungan pedesaan dan turut
menyumbangkan ekonomi pusat perkotaan serta meningkatkan kualitas hidup
penghuninya.
6
Strategi konservasi dunia yang disiapkan empat badan konseravsi dunia
terkemuka, yaitu Serikat Pelestari Alam (IUCN), Dana Marga Satwa Dunia
(WWF), Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) serta program lingkungan
hidup PBB (UNEP) yang ditetapkan pada tahun 1981 menyatakan bahwa
konservasi sumberdaya alam penting artinya bagi pembangunan berkelanjutan dan
dapat dicapai melalui :
1. Menjaga proses penting serta sistem kehidupan yang penting bagi
kelangsungan hidup dan pembangunan
2. Melestarikan keanakaragaman plasma nutfah yan penting bagi program
budidaya, agar dapat melindungi dan memperbaiki sifat-sifat tanaman dan
hewan budidaya.
3. Menjamin kesinambungan pendayagunaan spesies dan ekosistem oleh
manusia, yang mendukung kehidupan jutaan penduduk serta dapat
menopang sejumlah industri.
IUCN (Murni, 2000) menyusun strategi konservasi yang disesuaikan dengan alam
di Indonesia meliputi :
1. Perlindungan terhadap sistem penyangga kehidupan dengan menjamin
terpeliharanya proses ekologi bagi kelangsungan hidup biota dan
ekosistemnya.
2. Pengawetan keanekaragaman sumber plasma nutfah, yaitu menjamin
terpeliharanya sumber genetik dan ekosistemnya bagi kepentingan umat
manusia.
3. Pelestarian didalam cara-cara pemanfaatan baik jenis maupun
ekosistemnya yaitu dengan mengatur dan mengendalikan cara
7
pemanfaatan, sehingga diharapkan dapat diperoleh manfaat yang optimum
dan berkesinambungan.
Menurut UU No. 23 Tahun 1997, konservasi sumberdaya alam adalah
pengelolaan sumberdaya alam tak terbaharui untuk menjamin pemanfaatan secara
bijaksana dan sumber daya alam yang terbaharui untuk menjamin kesinambungan
ketersediaanya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai serta
keanekaragamannya. Mempertimbangkan bahwa sumberdaya alam harus dikelola
dengan sebaik-baiknya dalam upaya memajukan kesejahteraan umum, diterbitkan
UU No.4 Tahun 1982 tentang ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan
Lingkungan Hidup. Pembagian kawasan perlindungan perairan di Indonesia
ditegaskan pada UU no. 5 Tahun 1990, yang menbagi kawasan konservasi ke
dalam : Kawasan Suaka Alam (KSA), terdiri dari Cagar Alam dan Suaka
Margasatwa Laut ; Kawasan Pelesarian alam (KPA) yang terdiri dari Taman
Nasional Laut dan Taman Wisata Laut.
Dalam rencana pengalokasian kawasan konservasi, diperlukan minimal 4
tahapan dalam proses pemilihan lokasi (Agardy dalam Bengen, 2002) :
1. Identifikasi habitat atau lingkungan kritis, distribusi ikan ekologis dan
ekonomis penting dan dilanjutkan dengan memetakan informasi tersebut
dalam menggunakan Sistem Informasi Geografis.
2. Penelitian tingkat pemanfaatan sumberdaya dan identifikasi sumbersumber degradasi di kawasan.
3. Penentuan lokasi dimana perlu dilakukan konservasi.
4. Pengkajian kelayakan kawasan konservasi prioritas yang dapat dijadikan
kawasan konservasi, berdasarkan proses perencanaan lokasi.
8
2.2.2. Kawasan konservasi laut (KKL)
Kawasan konservasi laut (Marine Protected Area, MPA) merupakan
kawasan laut yang dilindungi yang bertujuan agar ekosistem beserta sumber daya
kelautan di kawasan tersebut tidak punah. KKL memiliki dua fungsi utama, yaitu
: (1) Melindungi seluruh ekosistem dengan cara mengkonservasi berbagai spesies
dan habitat-habitat utama (critical habitat) seperti daerah pemijahan (spawning
grounds) dan daerah asuhan/pembesaran (nursery grounds), dan (2) Stok ikan
(biota laut lainnya) dalam KKL dapat berfungsi seperti “tabungan“ (bank account)
atau jaminan yang dapat menyangga fluktuasi dan penurunan populasi yang
terjadi di luar KKL akibat kesalahan manajemen maupun fluktuasi alamiah.
Penetapan kawasan konservasi laut haruslah diartikan sebagai salah satu upaya
untuk mewujudkan suatu pemanfaatan sumberdaya yang berkelanjutan. Salm et
al. (2000) mengatakan bahwa pemanfaatan yang berkelanjutan terhadap
sumberdaya pesisir mesyaratkan bahwa sebagian wilayah tersebut dipertahankan
kondisinya sealamiah mungkin. Penetapan kawasan lindung dimaksudkan untuk
mengamankan habitat kritis untuk produksi ikan, melestararikan sumberdaya
genetis, menjaga keindahan alam dan warisan alam. Hal ini berarti bahwa
pemanfaatan berkelanjutan mengharuskan adanya pemanfaatan yang bijaksana
(wise use) dan pengelolaan yang berhati-hati (causiusness) terhadap sumber daya
dan ekosistemnya sehingga memberikan peluang pemanfaatan oleh masyarakat
generasi mendatang.
Salm dan Clark (1984) dalam Dinas DKI Jakarta (2005) mengatakan bahwa
walaupun saat ini terdapat tuntutan yang makin kuat untuk menunjukkan manfaat
sosial ekonomis kawasan lindung laut lebih besar dari pada biaya untuk
9
pembuatan dan pemeliharaannya. Namun hal ini memang tidak mudah. Mereka
menyebutkan bahwa adalah sangat sulit untuk menampilkan dalam bentik uang
(moneter) keuntungan kawasan lindung laut dalam hal-hal (variable) seperti
inspirasi, pusaka (heritage) alam dan budaya, atau masalah kebanggaan lokal,
nasional dan bahkan internasional. Hal ini kelihatannya menjadi penyebab masih
sedikitnya suatu kajian tentang manfaat kawasan lindung terhadap kehidupan
sosial ekonomi masyarakat setempat.
Walaupun terdapat kendala-kendala didalam menilai keberadaan KKL,
tetapi penelitian sumberdaya lingkungan KKL sangat diperlukan dengan semakin
meningkatnya pembangunan di berbagai bidang yang dapat mengancam
kelestarian sumberdaya alam kealutan. Sumberdaya alam kelautan tidak
semuanya dapat dinilai secara moneter. Sumberdaya alam kelautan ini selain
mengahasilkan barang dan jasa yang dapat dinilai secara moneter, juga
mempunyai atribut yang tidak dapat dinilai secara moneter. Saat ini telah
berkembang metoda untuk menilai atribut-atribut sumberdaya alam dan
lingkungan yang tidak bisa dinilai secara moneter yang disebut sebagai “nonmarket valuation”.
2.3. Ekosistem utama wilayah pesisir
Wilayah pesisir adalah suatu daerah pertemuan antara darat dan laut, dimana
ke arah darat wilayah pesisir meliputi bagian daratan, baik kering maupun
terendam air yang masih dipengaruhi sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin
laut dan perembesan air asin, sedangkan ke arah laut wilayah pesisir mencakup
bagian laut yang masih dipengaruhi proses-proses alami yang terjadi di darat
10
seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan oleh kegiatan
manusia di darat seperti penggundulan hutan dan pencemaran (Soegiarto, 1976).
Ekosistem yang terdapat di wilayah pesisir merupakan suatu himpunan
integral dari berbagai komponen hayati atau kumpulan dari organisme hidup dan
kondisi fisik dimana ia hidup yang saling berinteraksi . Hubungan saling
ketergantungan tersebut terangkai diantara rantai makanan, dimana organisme
akan hidup saling tergantung satu dengan yang lain, sehingga bila salah satu
komponen organisme terganggu maka akan mempengaruhi keseluruhan sistem
yang ada. Jenis-jenis ekosistem yang dapat ditemukan di wilayah pesisir antara
lain : ekosistem hutan mangrove, padang lamun, terumbu karang, dune/ bukit
pasir, estuari, laguna, delta, pulau-pilau kecil dan lain-lain (DKP, 2002).
Kepulauan Seribu memilik ekosistem yang lengkap yaitu ekosistem
mangrove, ekositem lamun, dan ekosistem terumbu karang. Sebagaian besar
ekosistem pesisir ini di lindungi oleh negara sebagai kawasan lindung, cagar alam,
suaka margasatwa, dan Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu. Keseluruhan
ekosistem yang ada sangat menunjang perekonomian masyarakat lokal, terutama
di sektor perikanan, industri, transportasi, pariwisata, perdagangan, dan jasa.
2.3.1. Ekosistem hutan mangrove
Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis yang
didominasi oleh beberapa spesies pohon mangrove yang mampu tumbuh dan
berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur. Komonitas ini umumnya
tumbuh pada daerah intertidal dan supratidal yang cukup mendapat aliran air,
terlindung dari gelombang besar dan arus pasang surut yang keras (Bengen,
2002). Mangrove tumbuh pada laguna, rawa, delta dan muara sungai. Mangrove
11
juga tumbuh pada pantai berpasir, pantai yang terdapat terumbu karang dan di
sekitar pulau-pulau. Mangrove tidak mampu tumbuh di pantai yang terjal dan
berombak besar dengan arus pasang surut yang kuat karena hal ini tidak
memungkinkan terjadinya pengendapan lumpur dan pasir, substrat yang
diperlukan untuk pertumbuhannya (Nontji, 1993).
Vegetasi hutan mangrove di Indonesia memiliki keanekaragaman jenis yang
tinggi, dengan jumlah jenis sebanyak 202 jenis yang terdiri atas 89 jenis pohon, 5
jenis palem, 10 jenis liana, 44 jenis epifit dan 1 jenis sikas. Hutan mangrove
sering juga disebut hutan bakau walau sebenarnya istilah ini kurang tepat. Hutan
bakau di Indonesia pada umumnya didominasi oleh empat famili, yaitu
Rhizpphoraceae, Avicenniaceae, Meliaceae dan Sonneratia (Bengen, 2002).
Sebagai suatu ekosistem yang khas wilayah pesisir, hutan mangrove
memiliki fungsi ekologis penting. Pengaruh yang menguntungkan dari hutan
mangrove terhadap ekologi laut adalah sebagai dasar dari rantai makanan yang
kompleks, tempat memijah, tempat asuh bagi larva berbagai biota, menyaring
polusi, menjaga kestabilan dari substrat mangrove dan menjaga pantai dari erosi
(Riley, 2001). Selain berfungsi sebagai penyaring bahan nutrien dan penghasil
bahan organik, mangrove juga berfungsi sebagai daerah penyangga antara daratan
dan lautan dan penstabil bagi habitat satwa liar serta sebagai sumber produk
perikanan dan sumber fotosintesis yang besar.
Mangrove di Kepulauan Seribu tumbuh di daerah pasang surut dengan
tanah lumpur berpasir. Walaupun demikian, tidak semua jenis mangrove bisa
tumbuh di pulau. Kalaupun ada, tidak tumbuh dominan di Kepulauan Seribu.
Penyebabnya adalah kondisi pulau-pulau di Kepulauan Seribu. Walaupun
12
memiliki pantai, pulau-pulau di Kepualuan Seribu tidak memiliki karakteristik
sebagai pantai daratan. Tidak semua mangrove bisa tumbuh pada kondisi yang
berbeda dengan habitat sesungguhnya dari mangrove tersebut. Kondisi pantai
pulau yang miskin hara dan minim lumpur adalah penyebabnya. Mangrove yang
mendominasi adalah Rhizophora stylosa. Sedangkan yang lainnya adalah
Rhizophora mucronata, Sonneratia alba (pedada), Bruguiera exirtata (tancang),
Avicennia marina ( api-api), Pemphis acidula dan Ceriop tagal (Kepulauan
seribu, 2007)
2.3.2. Ekosistem padang lamun
Lamun (sea grass) adalah tumbuhan berbunga yang sudah sepenuhnya
menyesuaikan diri untuk hidup terbenam dalam laut. Tumbuhan ini terdiri dari
rhizoma, daun dan akar (Nontji, 1993). Perairan yang dangkal (2-12 meter) dan
jenih dengan sirkulasi air yang baik serta iklim yang hangat merupakan salah satu
syarat agar lamun berkembang dengan baik.
Lamun pada umumnya berupa padang yang luas di dasar laut yang masih
bisa dijangkau oleh cahaya matahari yang memadai. Padang lamun dapat
membentuk komunitas tunggal (terdiri dari satu jenis lamun) atau campuran
(disusun dari dua atau lebih jenis lamun). Lamun hidup di perairan laut dangkal,
mulai daerah pasang surut yang dapat terbuka ketika surut terendah sanpai dengan
kedalaman 30 meter. Lamun dapat dijumpai baik di perairan pantai pulau-pulau
utama maupun rataan terumbu dan gobah pulau-pulau karang. Dasar jenis
substrat tempat hidup lamun adalah lumpur, pasir halus, pasir kasar, kerikil, puing
karang mati atau campuran dari substrat tersebut (Kiswara, 1999).
13
Padang lamun dapat memperlambat gerakan air yang disebabkan oleh arus
dan gelombang sehingga menyebabkan perairan sekitarnya menjadi lebih tenang,
dengan demikian padang lamun bertindak sebagai perangkap sedimen dan
pelindung pantai, pencegah erosi (Nontji, 1993). Padang lamun juga berfungsi
sebagai produsen detritus dan zat hara, serta sebagai tudung pelindung yang
melindungi penghuni padang lamun dari sengatan sinar matahari. Hal ini menarik
perhatian beberapa jenis biota laut seperti ikan, penyu, dugong dan berbagai jenis
biota lainnya untuk mencari makan, tumbuh besar dan memijah di tempat ini.
Padang lamun di Indonesia menyebar di seluruh perairan terutama di
perairan yang dangkal dan jernih, yang terdiri dari tujuh marga lamun. Tiga genus
dari suku Hydrocaritaceae yaitu Enhalus, Thalassia dan Halophila, sedang empat
genus lainnya dari suku Pomagetonaceae yaitu Halodule, Cymodocea,
Syringodium dan Thalassodendron ( Nontji, 1993).
Berdasarkan temuan pihak Taman Nasional Kepulauan Seribu, jenis lamun
yang ditemukan di kawasan Kepulauan Seribu terdiri dari enam jenis yaitu
Thalassia hemprichii, Enhalus acoroides, Halodule uninervis, Cymodocea
rotundata, Halophila ovalis dan Syringodium isoetifolium (Kepulauan seribu,
2007). Padang lamun biasa terdapat pada daerah teratas pasang surut, dibatasi
oleh kondisi yang terbuka terhadap kekeringan. Sewaktu surut, biasanya padang
lamun tidak sampai mengalami kekeringan karena masih digenangi oleh air laut
walaupun terlihat dangkal. Pada waktu pasang, air menutup padang lamun,
membentuk daerah yang terendam air pasang.
14
2.3.3. Ekosistem terumbu karang
Terumbu karang adalah suatu ekosistem di dasar laut tropis yang dibangun
terutama oleh biota laut penghasil kapur (CaCO3) khusunya jenis-jenis karang
batu dengan tambahan penting dari alga berkapur dan organisme lain penghasil
kapur (Romimohtarto dan Juwana, 2001 ). Organisme penghasil kapur tersebut
(hewan maupun tumbuhan) mengekstrak karbonat dari perairan sekitarnya untuk
membangun tulang luar, cangkang, spikula dan elemen kapur lainnya di tubuh
mereka (Sorokin, 1995). Penampang melintang terumbu karang dapat dilihat
pada Gambar 1.
Sumber : Veron (2002)
Gambar 1. Anatomi hewan karang (sumber : Veron, 2002)
Terumbu karang merupakan keunikan diantara komunitas lautan, yaitu
seluruhnya dibentuk oleh kegiatan biologis (Nybakken,1992). Struktur fisik dari
terumbu karang diproduksi oleh pertumbuhan dari hewan karang dan alga (Weber
dan Thurman, 1991). Pertumbuhan yang kontinu mengahasilkan lingkungan tiga
15
dimensi yang menjadi rumah bagi ratusan jenis organisme laut dan memiliki
warna yang indah. Ekosistem terumbu karang berada di daerah perairan dangkal
di sekitar daratan daerah tropis. Keberadaannya terbatas di perairan hangat
dimana suhu rata-ratanya tidak kurang dari 18oC pada musim dingin. Lamanya
proses pembentukkan ekosistem ini dan keberadaanya menjadikan ekosistem
terumbu karang dapat dikatakan sebagai salah satu ekosistem tertua di dunia dan
komunitas hewan dan tumbuhan yang paling kompleks didunia setara dengan
hutan hujan tropis.
Setiap terumbu karang memiliki ciri khas tersendiri, tergantung dari
bagaimana lokasi dipengaruhi oleh salinitas, suhu, arus, deposit sedimen, dan
bentuk dasar bawah laut (Wilson dan Wilson, 1985). Menurut bentuk dan
letaknya, terumbu dibedakan menjadi empat tipe yaitu : fringing reef, barrier reef,
pacth reef dan atol.
Kepulauan Seribu berada di pusat kawasan segitiga karang (coral trianglie),
kawasan dengan kekayaan terumbu karang tertinggi di dunia, termasuk di
antaranya Indonesia, Filipina, Papua Nugini , dan Australia Utara. Marga yang
banyak ditemukan di kawasan ini antara lain Montipora, Fungia, Seriatopora,
Acropora, Porites, Galaxea, Lobophyllia, Pachyseris, Echinopora, dan
Hydnophora (Estradivari, 2007). Meskipun memiliki kekayaan terumbu karang
yang tinggi, kawasan ini mengalami berbagai ancaman setiap harinya.
2.4. Lingkungan sosial ekonomi
Kepulauan Seribu termasuk kedalam Kabupaten Administratif Kepulauan
seribu yang tebagi menjadi 2 kecamatan dan 6 kelurahan. Di Kabupaten
16
Kepulauan Seribu kepadatan penduduk pada tahun 2003 tercatat sebesar 2213
jiwa/km2 untuk pulau berpenghuni (BPS, 2005).
Perhitungan persentasi mata pencaharian masyarakat Kepulauan Seribu di
tahun 2002 menunjukkan 69,3% adalah nelayan, 10,4% pedagang, dan sisanya
berbagai jenis pekerjaan (PNS, pemandu wisata, wirausaha, dan polisi).
Masyarakat sangat tergantung pada terumbu karang, terutama nelayan ikan
konsumsi (palele), pelaku budidaya ikan, nelayan ikan dan karang hias, dan
penambang karang. Pemanfaatan sember daya terumbu karang di utara
Kepulauan Seibu lebih intensif ketimbang di bagian Selatan. Kondisi perairan
yang lebih baik membuat nelayan mendapat tangkapan yang lebih. Nelayan di
bagian selatan Kepulauan Seribu lebih memilih menangkap ikan di luar
Kepulauan Seribu karena kondisi perairan yang sangat buruk. Sayang karena
rendahnya tingkat pendapatan memaksa mereka menangkapan dengan cara yang
merusak lingkungan untuk mendapatkan hasil tangkapan lebih (Napitupulu et all.,
2005). Metode penangkapan ikan sepeti penggunaan sianida, muroami, dan
bagan, serta penambangan karang dan pasir yang masih sering dijumpai di
Kepulauan Seribu.
2.5. Penginderaan Jauh
Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi
tentang objek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh tanpa
menyentuh objek, daerah, atau fenomena yang dikaji (Lillesand dan Kiefer, 1990).
Terdapat bebeapa komponen dalam system penginderaan jauh ;
1) Matahari sebagai sumber energi berupa radiasi elektromagnetik.
2) Atmosfer merupakan media lintasan dari energi elektromagnetik.
17
3) Sensor adalah alat yang mendeteksi radiasi gelombang elektromagnetik dari
suatu objek dan mengubahnya kedalam bentuk sinyal yang bisa direkam.
4) Target yaitu objek atau fenomena yang dideteksi oleh sensor.
Satelit Formosat-2 dilucurkan pada awal tahun 2005 yang merupakan
kerjasama antara Taiwan dan Amerika. Setelit ini merupakan satelit multi spectral
pertama kali mempunyai resolusi temporal 1 hari, orbit polar sun-synchronous
pada ketinggian 700 km yang memotong garis khatulistiwa ke arah selatan pada
waktu tetap yaitu pukul 09.30 waktu setempat serta mempunyai sudut inklinasi
72°. (NSPO, 2005).
Formosat merupakan satelit resolusi tinggi dimana reolusi spasialnya
mencapai 2 m (pakromatik) dan 8 m (multi spectral). Karakteristik panjang
gelombang yang dimiliki oleh sensor Formosat-2 diuraikan dalam Tabel 1.
Tabel 1 . Karakteristik panjang gelombang sensor satelit FORMOSAT-2 (NSPO,
2005).
KANAL
SPEKTRUM
PANJANG
RESOLUSI
GELOMBANG (µm)
SPASIAL
1
Sinar tampak Merah
0,63 – 0,69
8m
2
Sinar tampak Hijau
0,52 – 0,60
8m
3
Sinar tampak Violet-Biru
0,45 – 0,52
8m
4
Sinar inframerah dekat
0,79 - 0,90
8m
5
Pankromatik
0.50 – 0.90
2m
Ketika cahaya melakukan penetrasi ke dalam kolom air, intensitasnya akan
berkurang secara eksponensial dengan bertambahnya kedalaman. Proses yang
dikenal sebagai atenuasi (attenuation) ini memberikan pengaruh yang besar pada
penggunaan data penginderaan jauh dalam lingkungan air. Atenuasi dipengaruhi
oleh panjang gelombang dari gelombang elektromagnetik yang digunakan. Pada
cahaya tampak, bagian cahaya spektrum merah mempunyai atenuasi lebih besar
18
dibandingkan dengan bagian cahaya spektrum biru yang mempunyai panjang
gelombang lebih pendek. Dengan bertambahnya kedalaman, tingkat perbedaan
spektral dari habitat akan berkurang (Green et al., 2000).
Parameter lain yang mempengaruhi kesesuaian kawasan konservasi laut
antara lain material dasar perairan. Untuk dapat memetakan dasar perairan
dangkal dan terumbu karang dapat digunakan kombinasi tiga kanal sinar tampak
yaitu: band 1 (0,63 – 0,73 µm), band 2 ( 0,52 – 0,60 µm ) dan band 3 (0,45 – 0,52
µm) dari citra satelit FORMOSAT – 2. Perkembangan algoritma ini didasarkan
pada Model Pengurangan Eksponensial (Standard Exponential Attenuation
Model) yang merupakan teori dari Lyzenga (1978) dan teori ini merupakan salah
satu cara untuk menonjolkan objek dasar perairan (Siregar, 1995).
Klorofil (Chl) merupakan parameter yang sering digunakan sebagai
indikator penentu kualitas perairan. Hal ini dikarenakan parameter tersebut
merupakan parameter yang aktif secara optis dan cukup dapat mewakili kondisi
kualitas suatu perairan. Untuk melakukan pengukuran kualitas air, Robinson
(1985) membagi perairan menjadi dua kelompok berdasarkan sifat optisnya, yaitu
perairan kasus satu dan kasus dua. Perairan kasus satu adalah perairan yang sifat
optisnya didominasi oleh fitoplankton. Perairan ini biasanya ditemukan di
perairan lepas pantai yang tidak dipengaruhi zona perairan dangkal dan sungai
(Gaol, 1997). Untuk perairan kasus dua lebih banyak didominasi oleh sedimen
teruspensi (suspended sediment) dan substansi kuning (yellow substances).
Dalam penginderaan jauh, nilai pantulan yang diterima oleh sensor satelit
tidaklah murni berasal dari klorofil-a. Hal ini dikarenakan pantulan gelombang
elektromagnetik yang membawa informasi tentang klorofil-a dipengaruhi pula
19
oleh material-material di atmosfer dan konfigurasi permukaan air dimana klorofila berada (Gaol, 1997).
2.6. Sistem informasi geografis ( SIG )
Sistem Informasi Geografis adalah alat untuk mengumpulkan, menyimpan,
menayangkan kembali data spasial dari dunia nyata (real world) untuk
kepentingan-kepentingan tertentu (Prahasta, 2001). Sistem Informasi Geografis
adalah sistem berbasis komputer yang mempunyai 4 kemampuan dalam
menangani data geografis (Aronoff, 1989) : pemasukan data, manajemen data
(penyimpanan dan pencarian data), manipulasi dan analisis, dan keluaran data.
Sistem Informasi Geografis adalah sebuah sistem perangkat keras, perangkat
lunak dan prosedur untuk memudahkan manajemen, manipulasi, analisis,
pemodelan, representasi dan penayangan data geografis untuk menyelesaikan
permasalahan-permasalahan komplek berkaian dengan perencanaan dan
manajemen sumberdaya. Sistem Informasi Geografis adalah sekumpulan
perangkat keras komputer, perangkat lunak dan data geografis untuk menangkap,
mengelola, menganalisa dan menayangkan seluruh bentuk informasi geografis
bereferensi (ESRI, 2002 ).
Dari beragam definisi mengenai SIG seperti yang dikemukakan di atas,
dapat diambil pengertian bahwa SIG adalah sebuah sistem untuk pengelolaan,
penyimpanan, pemrosesan, analisis dan penayangan (display) data yang terkait
dengan permukaan bumi. Sistem tersebut untuk dapat beroperasi membutuhkan
perangkat keras (hardware) dan perangkat lunak (software) juga manusia yang
mengoperasikannya (brainware). Kemudahan-kemudahan yang diberikan SIG
dalam pengumpulan data, integrasi data hingga kemampuan analisis spasialnya
20
menjadikan SIG lebih unggul dibandingkan cara konvensional. Dengan SIG, saat
ini orang dapat secara cepat memadukan data hasil survey GPS, citra satelit
penginderaan jauh dan data atribut lainya sebagai sumber data sebuah peta
(Gambar 2).
Vegetation
Land Ownership
Roads
Rivers
Special Status Species Locations
All Layer
Sumber : ESRI (2002)
Gambar 2. Tampilan Tema / Layer (sumber : ERSI, 2002)
Dua jenis data yang digunakan dalam SIG yaitu :
1) Data spasial
Data spasial adalah data yang mengacu pada ruangan suatu wilayah
geografis tertentu. Informasi spasial ini bisa juga diartikan sebagai geoinformasi
yang bentuk penyajiannya berupa peta. Setiap data spasial dalam SIG mengacu
ke bentuk lapisan data atau bidang data. Data spasial ini dapat dibagi menjadi dua
yaitu data raster dan data vektor. Perbandingan visualisasi antara data raster dan
vektor dapat dilihat pada Gambar 3.
21
Sumber: Modifikasi dari Meaden dan Tang (1996)
Gambar 3. Perbandingan antara data raster dan data vektor
2) Data non-spasial
Data non-spasial atau lebih dikenal dengan data atribut adalah data yang
melengkapi keterangan dari data spasialnya baik dalam bentuk statistik maupun
deskriptif. Data atribut ini dibedakan menjadi dua: data kualitatif (nama, jenis,
tipe) dan data kuantitatif (angka, bagian/besar jumlah, tingkatan, kelas interval)
yang mempunyai hubungan satu-satu dengan data spasialnya.
Berkaitan dengan perencanaan kawasan konservasi yang memerlukan
banyak parameter, tentu saja memerlukan analisis yang kompleks. Pekerjaan ini
apabila dikerjakan dengan cara konvensional tentu tidak mudah dilakukan.
Namun demikian dengan perkembangan SIG dan metode analisis spasial seperti
sekarang, permasalahan tersebut mendapat jalan keluarnya. Analisis spasial
bedasarkan cell based modelling, secara khusus dapat membantu dalam
perencanaan kawasan konservasi laut yang tepat dan berkelanjutan .
22
2.7. Cell Based Modeling
Salah satu analisis spasial dalam SIG yang dapat digunakan untuk
memodelkan keadaan di alam adalah cell based modelling (ESRI, 2002). Secara
umum suatu model merepresentasikan kekompleksitasan interaksi di alam dengan
suatu penyerdehanaan. Pemodelan tersebut akan membantu kita untuk mengerti,
menggambarkan, dan memprediksikan banyak hal di alam. Ada dua model yang
dikenal dalam analisis spasial, yaitu model yang merepresentasikan objek /
kenampakan di alam (representation models) dan model yang mensimulasikan
proses di alam (process models).
Representation models akan menggambarkan kenampakan di bumi seperti
bangunan, taman atau hutan. Cara untuk menampilkan objek tersebut di dalam
SIG melalui layer-layer, di mana untuk analisis spasial, layer tersebut dapat
berupa raster. Struktur raster dapat dilihat di Gambar 4. Layer raster akan
menampilkan objek-objek kenampakan di bumi dengan bidang bujursangkar yang
saling bertautan atau disebut grid, dan setiap lokasi di raster layer akan berupa
grid cell yang memiliki nilai tertentu.
Process models menggambarkan interaksi dari objek di bumi yang terdapat
di dalam representation models. Process modelling dapat digunakan untuk
menggambarkan suatu proses, tetapi lebih sering digunakan untuk memprediksi
apa yang terjadi pada suatu lokasi tertentu. Salah satu dasar dari anasilis spasial
dalam model ini adalah operasi penambahan dua data raster bersamaan, dan
kemudian konsep ini dapat diterapkan untuk berbagai macam operasi aljabar pada
lebih dari dua data raster.
23
Number of Columns
Cell Size
Number of Rows
Rows
(Xmin, Ymin)
Coloms
(0,0)
Sumber : Modifikasi ESRI (2002)
Gambar 4. Struktur data raster
Beberapa tipe dari process models antara lain :
1. Suitability modelling, hampir semua analisis spasial bertujuan untuk
menentukan lokasi yang paling optimum, seperti menemukan lokasi yang
paling sesuai untuk mendirikan tambak mutiara.
2. Distance models, analisis ini bertujuan untuk menentukan jarak yang
paling efisien dari suatu lokasi tambak ke lokasi tambak lain.
3. Hydrologic modelling, salah satu aplikasi analisis ini adalah untuk
menentukan arah aliran air di suatu lokasi.
4. Surface modelling, salah satu aplikasi analisis ini adalah untuk mengkaji
tingkat penyebaran limbah industri perikanan di suatu lokasi.
Keseluruhan model tersebut akan lebih efisien bila dilakukan pada data raster,
selanjutnya analisis spasial pada data raster disebut cell based modelling karena
metode ini bekerja berdasarkan sel atau piksel (ESRI,2002)
24
Operasi piksel pada cell based modelling dibagi menjadi lima kelompok :
1. Local fuction adalah operasi piksel yang hanya melibatkan satu sel. Nilai
piksel output ditentukan oleh satu piksel input.
2. Focal fuction adalah operasi piksel yang hanya melibatkan beberapa sel
terdekat.
3. Zonal fuction adalah operasi piksel yang melibatkan suatu kelompok sel
yang memiliki nilai atau keterangan yang sama.
4. Global fuction yang melibatkan keseluruhan sel dalam data raster dan
gabungan antara keempat kelompok tersebut.
5. Aplication fuction adalah gabungan dari keempat operasi di atas yang
meliputi local fuction, focal fuction, zonal fuction, dan global fuction
( Gambar 5).
Sumber data raster yang digunakan dalam pendekatan cell based modeling salah
satunya adalah dari citra satelit. Pemilihan metode cell based modeling
berdasarkan pada keunggulan metode ini dalam pemodelan kawasan perlindungan
laut yang lebih representatif karena berdasarkan analisis spasial pada data raster.
Menurut Meaden dan Tang (1996); Molenaar (1998), analisis overlay, pembuatan
jarak, dan pengkelasan parameter lebih mudah dilakukan secara cepat dan teratur
pada setiap sel. Keunggulan lain metode ini dibandingkan analisis lainnya adalah
struktur data raster yang lebih sederhana sehingga lebih mudah dalam pemodelan
dan analisis serta kompatibel dengan data citra satelit serta memiliki variabilitas
spasial yang tinggi dalam merepresentasikan suatu kondisi lapangan.
25
Local function
Focal function
Zonal function
Global fuction
Sumber : ESRI (2002)
Gambar 5. Ilustrasi operasi piksel
Metode cell based modelling juga memiliki beberapa kelemahan, diantaranya
membutuhkan space computer yang cukup besar dalam pengolahannya, serta
speck computer yang harus mendukung dan secara spasial memiliki tampilan yang
kurang estetis karena berupa data raster yang berbentuk sel.
27
III. METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Lokasi dan waktu penelitian
Lokasi dan objek penelitian tentang kawasan konservasi laut berada di
perairan pulau Karang Lebar dan Karang Congkak, Kepulauan Seribu, Jakarta.
Lokasi penelitian terletak antara 106 0 33’ – 1060 38’ Bujur Timur dan 50 41’ – 50
46’ Lintang Selatan. Daerah penelitian bisa dilihat pada Gambar 6.
K Congkak
K. Lebar
Pramuka
Island
Teluk Jakarta
Gambar 6. Peta lokasi penelitian
Penelitian ini terbagi menjadi 3 tahap : pengolahan citra pada bulan April
2008, survey lapang dan pengambilan sampling kualitas air pada tanggal 12- 18
Mei 2008 dan 22 – 26 Juli 2008, dan analisa akhir pada bulan Mei – Agustus
2008 yang dilakukan di Laboratorium Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi
27
28
Geografis , Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan
Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
3.2. Alat dan Bahan
3.2.1. Alat
Peralatan yang digunakan pada penelitian ini yaitu :
1. Perangkat lunak image processing
2. GPS (Global Positioning System) , GPS Sounder
3. Scuba set
4. Roll meter
5. Refraktometer
6. Floating Droudge
7. DO-Meter
8. pH tester
9. Termometer
10. Secci disk
3.2.2. Bahan
Bahan dan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
1. Citra satelit Formosat-2 Akusisi 29 Agustus 2007.
2. Peta Lingkungan Pantai daerah Perairan Pulau Pramuka Kepulauan Seribu
dari Bakosurtanal
3. Data kondisi ekosistem terumbu karang dan kualitas air dari survei lapang
Program Insentif Riset Dasar 2008.
29
3.3. Metode Penelitian
Dalam penelitian ini, dilakukan integrasi data penginderaan jarak jauh dan
Sistem Informasi Geografis (SIG). Alur kegiatan penelitian ini meliputi
pengolahan citra awal, survei lapang, dan analisis penentuan kesesuaian KKL.
Analisi spasial yang digunakan untuk penentuan kawasan potensial
dijadikan KKL berdasarkan metode Cell Based Modelling, baik itu pengkelasan
maupun untuk overlay setiap parameter. Tahapan-tahapan penentuan zona inti,
buffer, dan pemanfaatan dapat dilihat pada Gambar 7 .
3.4. Pengolahan citra satelit
3.4.1. Pre-processing
Citra satelit Formosat-2 yang telah diperoleh tidak sepenuhnya digunakan
dalam analisi, untuk itu perlu adanya pemotongan citra (cropping). Pemotongan
citra ini bertujuan untuk membatasi daerah sesuai lokasi penelitian. Setelah
pemotongan citra dilakukan pemulihan citra yang terdiri atas dua proses yaitu
koreksi radiometrik dan koreksi geometrik.
Koreksi radiometrik dilakukan untuk menghilangkan faktor-faktor yang
menurunkan kualitas citra. Metode koreksi radiometrik yang digunakan adalah
penyesuaian histrogram (histogram adjustment). Nilai bias adalah nilai digital
minimum pada setiap band, nilai bias diasumsikan sama dengan besarnya
pengaruh atmosfer terhadap gelombang cahaya. Pada metode ini ditetapkan
bahwa respon spektral terendah pada setiap band nilainya adalah nol. Oleh karena
itu dilakukan pengurangan nilai digital setiap piksel pada semua band sehingga
nilai minimumnya sama, yaitu nol. Secara matematis, koreksi pengaruh atmosfer
dengan pengaturan histogram dapat dilihat pada persamaan berikut :
30
Data sekunder
Dinas Perikanan
Citra Satelit
Survey lapang &
sampling kualitas
Peta Lingkungan
Pantai
Transformasi citra
Koreksi radiometrik
Substrat dasar
1.
2.
3.
4.
5.
Y = ln K1 + ki/kj*ln K2
Klorofil-a
Koreksi geometrik
2,41*(KE / K2) + 0,187
Infrastruktur
pH
Salinitas
Oksigen terlarut
Kawasan pemukiman pesisir
MPT
100.6678 + 5.5085*K3 + 0.4563*K2 +
Komposit citra
0.9775*K2*K3
Kawasan mangrove
Sungai dan muara
1.
2.
3.
4.
5.
6.
pH
Salinitas
Suhu
Oksigen terlarut
Posisi stasiun
Persen cover terumbu
karang
7. Kelimpahan ikan karang
8. Batimetri
Keterlindungan lokasi
Re-Interpretasi
dan editing
Tidak diterima
Konsultasi Pakar
Pemodelan spasial berbasis
sel
(Cell Based Modeling)
Parameter penentu
kawasan konservasi laut
Basis data spasial
Diterima
Zona tentative Kawasan
Konservasi Laut
Gambar 7. Diagram alir penelitian
30
31
DNi,j,k(output terkoreksi) = DNi,j,k(input asli)-bias
Koreksi geometrik bertujuan untuk memperbaiki distorsi posisi atau letak
objek. Distorsi ini dihasilkan oleh faktor seperti variasi tinggi satelit, ketegakkan
dan kecepatan satelit (Lillesand dan Kiefer, 1990). Koreksi geometrik dilakukan
dengan dua langkah, yaitu: transformasi koordinat (transformation geometric) dan
resampling. Transformasi koordinat dilakukan dengan Ground Control Point
(GCP) pad output citra yang baru. GCP harus mempunyai sifat geometrik yang
tetap pada lokasi yang dapat diketahui dengantepat. Proses penerapan alih ragam
geometrik terhadap data asli disebut resampling. Setelah koreksi geometrik
dilakukan maka didapat citra yang sesuai dengan posisi sebenarnya di bumi.
3.4.2. Penajaman citra
Proses penajaman citra merupakan proses penggabungan informasi dari citra
secara spektral melalui band ratioing (menghitung perbandingan nilai digital
piksel setiap band).
3.4.2.1.
Penajaman citra untuk karakteristik dasar perairan
Untuk penggambaran karakteristik perairan dangkal digunakan model algoritma
yang berasal dari penurunan persamaan ’Standard Exponential Attenuation
Model’ oleh Green et. all., 2001. Algoritma tersebut menggunakan band 3 dan
band 2 dari citra Formosat-2 . Dasar penggunaan band 3 dan band 2 yaitu karena
kedua band ini memiliki penetrasi yang baik ke dalam kolom air.
Algoritma tersebut yaitu :
Y = ln K1 - ki/kj*ln K2
Keterangan : K1 = Kanal band 3 dari Formosat - 2
K2 = Kanal band 2 dari Formosat - 2
32
Ki/kj = Koefisien attenuasi, yang diperoleh dari :
3.4.2.2. Penajaman citra untuk klorofil perairan
Klorofil merupakan indikator yang baik bagi ketersediaan makanan pada
trofik level yang lebih tinggi, karena konsentrasi klorofil menentukan besarnya
produktivitas primer perairan (Susilo, 2000). Dalam penentuan sebaran spasial
klorofil perairan digunakan kombinasi dari band 3 dan band 4. Algoritma yang
digunakan dalam penentuan konsentrasi klorofil yaitu (Wibowo et al.,1994 in
Susilo, 2000) :
C = 2,41*(K1 / K2) + 0,187
Keterangan : C
= Konsentrasi klorofil-a (mg/l)
K1
= Kanal band 1 dari Formosat - 2
K2
= Kanal band 2 dari Formosat - 2
3.4.2.3. Penajaman citra untuk muatan padatan tersuspensi
Informasi sebaran muatan padatan tersuspensi di perairan diperoleh
menggunakan formula Hasyim et al., (1997) yang telah digunakan oleh LAPAN
(2004) dalam pemetaan muatan padatan tersuspensi perairan di Situbondo.
Algoritma ini menggunakan kombinasi dari band 2 dan band 1 Formosat - 2.
Algoritma tersebut yaitu :
MPT(mg/l) = 100.6678 + 5.5085*K3 + 0.4563*K32 + 0.9775*K2*K3
33
Keterangan : MPT(mg/l)
3.4.2.4.
= Muatan Padatan Tersuspensi (mg/l)
K3
= Kanal band 1 dari Formosat - 2
K2
= Kanal band 2 dari Formosat - 2
Pemetaan kawasan mangrove
Pemetaan kawasan mangrove di daerah perairan pulau Karang Lebar dan
Congkak melalui citra Formosat didasarkan pada sifat penting mangrove yaitu,
mangrove mempunyai zat hijau daun (klorofil) dan mangrove tumbuh dipesisir.
Sifat optik klorofil sangat khas yaitu bahwa klorofil menyerap spectrum sinar
merah dan memantulkan dengan kuat spectrum inframerah (Susilo,2000).
Klasifikasi daerah mangrove pada citra dilakukan melalui training area pada
daerah yang dibuat komposit RGB 423. Metode Maximum Likehood merupakan
salah satu metode klasifikasi digital yang terselia/terbimbing (Supervised).
Penulis menggunakan metode ini karena metode ini merupakan metode yang
terbaik dibandingkan yang lain (Parallepiped dan Minimum Distance). Metode
Maximum Likehood atau peluang maksimum atau kemiripan maksimum
meganalisis fungsi peluang multidimensional untuk menentukan suatu piksel
tertentu lebih berpeluang masuk ke dalam kelas tertentu. Training area atau
daerah contoh untuk setiap kelas ini akan ditentukan nilai-nilai statistiknya,
sehingga dapat digunakan sebagai acuan dalam klasifikasi seluruh daerah yang
ada pada citra. Vegetasi akan terlihat berwarna merah tua pada komposit RGB
423, sehingga dapat dengan mudah di-training dan terbentuklah kelas mangrove
sebagai dasar analisis selanjutnya.
34
3.4.3. Klasifikasi citra
Citra yang telah ditransformasikan dengan algoritma-algoritma tersebut
selanjutnya diklasifikasi. Klasifikasi merupakan suatu proses pengelompokan
nilai reflektansi dari setiap objek ke dalam kelas-kelas tertentu sehingga mudah
dikenali. Dalam penelitian ini klasifikasi yang digunakan adalah klasifikasi
terbimbing (Supervised Classification) dan tak terbimbing (Unsupervised
Classification).
3.4.4. Penilaian hasil dan analisis ketelitian data
Penelitian menggunakan metode dan data tertentu perlu dilakukan uji
ketelitian atau validasi data, karena hasil uji ketelitian mempengaruhi besarnya
tingkat kepercayaan pengguna terhadap setiap jenis data maupun metode
analisisnya. Hal ini juga dilakukan untuk membuktikan kesesuaian antara
klasifikasi citra dengan data lapangan yang didapat. Perhitungan akurasi data
dilakukan dengan membuat matrix kontingensi, yang disebut confusion matrix
yang didapat dengan cara membandingkan perhitungan titik sampel di lapangan
(groundtruth) dengan data hasil klasifikasi citra (jumlah pixelnya). Nilai ketelitian
yang diharapkan nantinya harus memenuhi syarat lebih besar dari 70 % (Purwadhi
2001), sehingga dari nilai yang didapatkan tersebut merupakan pembuktian
terhadap nilai kevalidan data citra.
35
3.5. Penentuan stasiun pengamatan
Penentuan stasiun pengamatan dilakukan secara acak dimana lokasi
menyebar di seluruh perairan pulau Karang Lebar dan Karang Congkak. Jumlah
total stasiun pengamatan adalah 25 buah, dimana 9 stasiun berada di Karang
Congkak, 10 stasiun di Karang Lebaran, dan 6 stasiun menyebar di Pulau
Pramuka dan Panggang (Tabel 2).
Tabel 2. Stasiun Pengamatan
Stasiun
ST01L
ST02R
ST03R
ST04R
ST05R
ST06R
ST07L
ST08R
ST09R
ST10R
ST11L
ST12L
ST13R
ST14R
ST15R
ST16L
ST17L
ST18R
ST19R
ST20L
ST21R
ST22R
ST23L
ST24R
ST25R
ST26L
ST27L
ST28L
ST29L
ST30L
ST31L
ST32L
ST33L
Bujur
106,5636
106,5694
106,5807
106,5929
106,6003
106,6136
106,6067
106,6003
106,5900
106,5752
106,5731
106,5665
106,5777
106,5811
106,5883
106,5960
106,5846
106,5894
106,5963
106,6184
106,6214
106,6142
106,5860
106,5944
106,6100
106,5625
106,5768
106,5935
106,5884
106,5694
106,6117
106,5959
106,5759
Lintang
-5,7286
-5,7252
-5,7219
-5,7177
-5,7156
-5,7239
-5,7276
-5,7293
-5,7337
-5,7303
-5,7114
-5,7098
-5,7087
-5,6972
-5,6953
-5,6961
-5,7138
-5,7108
-5,7044
-5,7386
-5,7414
-5,7518
-5,7424
-5,7475
-5,7346
-5,7134
-5,6997
-5,7070
-5,7200
-5,7336
-5,7165
-5,7312
-5,7372
Keterangan
LIT
RRA1
RRA2
RRA3
RRA4
RRA5
LIT
RRA6
RRA7
RRA8
LIT
RRA9
RRA10
RRA11
RRA12
LIT
LIT
RRA13
RRA14
LIT
RRA15
RRA16
LIT
RRA17
RRA18
LIT
LIT
LIT
LIT
LIT
LIT
LIT
LIT
36
3.6. Pengukuran faktor biofisik lapangan
Pengukuran parameter biofisik perairan di lapangan mutlak dilakukan untuk
mengumpulkan data-data yang dapat diturunkan dari citra satelit. Pengukuran
parameter kualitas perairan dilakukan dengan pengukuran secara insitu dengan
terlebih dahulu menentukan stasiun. Data-data pengukuran lapangan meliputi:
suhu permukaan laut, salinitas, pH , oksigen terlarut (DO), kecerahan, dan
kecepatan arus permukaan.
Seluruh parameter yang diukur disimpan sebagai data atribut masingmasing stasiun yang direpresentasikan sebagai point. Untuk dapat melihat
sebaran nilai parameter perairan secara spasial dilakukan interpolasi masingmasing parameter. Metode interpolasi yang digunakan adalah spline. Spline
mengestimasi nilai sel berdasarkan nilai rata-rata pada hampiran antara point data
masing-masing contoh. Metode ini memiliki asumsi bahwa variable yang
dipetakan akan berkurang pengaruhnya ketika menjaui pont sentral. Kelebihan
metode ini yaitu dapat memetakan dengan baik interpolasi beberapa point yang
menyebar serta penggambaran spasial yang lebih halus. (ESRI,2002).
Dalam pemetaan spasial bathimetri, digunakan metode interpolasi natural
neighbors. Metode ini merupakan metode interpolasi yang paling efektif jika sel
input cukup banyak, sehingga akan dihasilkan peta tematik bethimetri yang mirip
dengan keadaan aslinya (natural).
Pada saat melakukan interpolasi luasan masing-masing piksel harus
ditentukan, pada kasus ini luasan piksel sebagai output adalah 8 x 8 m. Pemilihan
37
ukuran piksel 8 x 8 m mengikuti resolusi spasial citra satelit Formosat -2
sehingga pada akhirnya akan memudahkan dalam raster overlay.
3.5.1. Survei kondisi terumbu karang dan kepadatan ikan karang
Terumbu karang merupakan ekosistem yang khas terdapat di daerah tropis.
Meskipun terumbu karang ditemukan di seluruh perairan dunia, tetapi hanya di
daerah tropis terumbu karang dapat tumbuh dengan baik.
Pegamatan habitat dasar ekosistem terumbu karang yang terdiri atas karang
keras, karang lunak dan berbagai organisme lainnya, menggunakan metode
transek garis menyinggung LIT (Line Intercept Transect) dan RRA (Rapid Reef
Assessment). Untuk metode LIT, transek garis dibentangkan sejajar garis pantai
sepanjang 10 meter menggunakan rol meter. Setiap lokasi pengamatan dilakukan
pengulangan sebanyak tiga kali ulangan dengan interval 10 meter di antara setiap
ulangan, sehingga total transek pengamatan adalah 50 meter. Pengamatan biota
pengisi habitat dasar didasarkan pada bentuk pertumbuhan (lifeform), dengan
keterangan genera (English et al., 1994), biota dan komponen abiotik lain yang
ditemukan sepanjang transek garis (Gambar 8) .
Gambar 8. Metode pengambilan data LIT
38
Pengamatan data ikan karang mencakup visual sensus ikan karang dan
estimasi biomassa ikan target (Gambar 9).
Pengambilan data ikan karang
menggunakan transek yang sama dengan transek untuk pengambilan data karang.
Pengamat bergerak sepanjang transek garis dengan kecepatan konstan dan
mencatat spesies ikan sejauh 2.5 meter ke kanan dan 2.5 meter ke kiri. Data yang
diambil untuk data visual sensus meliputi spesies dan jumlah ikan yang teramati.
Gambar 9. Metode Visual Sensus
Untuk metode RRA, transek yang digunakan adalah transek maya dengan
ukuran 10 x 10 m. Penentuan sampel secara random, pengamat mencatat data
karang dan ikan selama kurang lebih 5 - 10 menit. Data karang yang dicatat
merupakan estimasi dari persen cover tutupan karang berdasarkan lifeform,
sedangkan data ikan berupa jumlah dan spesies yang teramati selama 10 menit.
39
Analisis data habitat terumbu karang dan ikan karang
Informasi yang dihasilkan adalah kondisi terkini dari kondisi ekositem
terumbu karang yang diamati dan koloni karang yang mendominasi di perairan
ini, data habitat dasar dan ikan karang yang telah dianalisis lebih lanjut.
Parameter habitat dasar yang dihitung hanya persen penutupan. Sedangkan untuk
ikan karang meliputi jumlah spesies yang ditemukan dan kelimpahan ikan karang.
Persen penutupan habitat dasar
Biota habitat dasar serta panjang transisi penutupan yang ditemukan
sepanjang transek garis, dikelompokkan menurut bentuk pertumbuhannya
(lifeform). Kemudian bentuk pertumbuhan tersebut dihitung nilai penutupannya
berdasarkan rumus berikut (Gomez and Yap, 1988):
Li =
ni
x100%
L
Keterangan :
Li = Persentase penutupan biota karang ke-i
ni = Panjang total kelompok biota karang ke-i
L = Panjang total transek garis
Kriteria persentase penutupan karang hidup berdasarkan Gomez and Yap (1988)
dapat dilihat pada Tabel 3.
40
Tabel 3. Kriteria persentase penutupan karang
Persentase Penutupan (%)
Kategori/ Kriteria
0 – 24.9
Buruk
25 – 49.9
Sedang
50 -74.9
Baik
75 -100
Sangat Baik
Kelimpahan ikan karang
Informasi yang dihasilkan dari data sensus visual adalah komposisi dan kelimpahan
ikan karang (ind.(100m)-2 ) kemudian dikonversi menjadi Ind.ha-1.
Kelimpahan (Ind.ha-1) = (Jumlah Individu/Luasan Transek)
3.5.2. Survei kondisi sosial, ekonomi dan budaya
Kondisi sosial, ekonomi dan budaya diperlukan untuk mendapatkan data
yang mendukung kelayakan pembentukan KKL di suatu lokasi. Beberapa data
yang diperlukan adalah data demogarfi, kearifan tradisional, aspek hukum dan
kelembagaan, persepsi stakeholder tentang KKL, dan beberapa informasi penting
lainnya.
Kegiatan survey sosial, budaya dan ekonomi dilakukan dengan metode
kuantitatif dan kualitatif. Metode kuantitatif dilakukan dengan menggunakan
kuisioner yang telah disusun secara sistematis dalam rangka mendapatkan
parameter-parameter atau kriteria-kriteria sosial, budaya dan ekonomi sebagai
pertimbangan yang mendukung pembentukan dan penetapan KKL baru.
Sedangkan kualitatif menggunakan tehnik-tehnik yang memungkinkan lahirnya
partisipasi masyarakat lokal dan stakeholder lainnya.
41
3.7. Metode penentuan kawasan konservasi laut
Hasil survey baik secara kuantitatif dan kualitatif ditabulasikan berdasarkan
kategori-kategori ekologis, sosial, budaya dan ekonomi. Kategori tersebut
dianalisi secara diskriptif, diinterpretasi dan dibahas. Dalam penelitian kali ini
hanya dari segi ekologis yang akan dibahas.
Analisi yang dilakukan untuk penentuan kawasan konservasi laut
berdasarkan pada metode Cell Based Modelling, baik mengkelaskan maupun
overlay setiap parameter yang diperoleh dari pengukuran lapang maupun ekstraksi
citra satelit. Setelah seluruh parameter dikelaskan sesuai dengan kriteria yang
ditentukan dalam Table 4, kawasan konservasi laut diperoleh dari hasil overlay
seluruh parameter (Gambar 10).
PARAMETER
BOBOT
Substrat dasar
X 0.30
Jumlah
kelimpahan ikan
karang
X 0.20
Jumlah jenis ikan
karang
RASTER OVERLAY
X 0.20
KKL
Kedalaman
Jarak dari
pemukiman(panta
X 0.10
X 0.10
uan)
Jarak dari jalur
pelayaran (m)
X 0.10
Gambar 10. Weigth Overlay untuk Kawasan konservasi laut ( KKL)
42
Beberapa kriteria sebagai bahan pertimbangan dalam penentuan KKL yang
baru sebagai berikut :
1. Lokasi KKL bukan merupakan lokasi utama penangkapan ikan oleh
masyarakat setempat maupun nelayan dari lauar wilayah sebab akan
menyulitkan dalam upaya pelarangan penangkapan ikan dilokasi tersebut
nantinya.
2. Tutupan karang sebaiknya dalam kondisi baik. Idealnya, lokasi tersebut
memiliki 50% tutupan karang hidup. Walaupun demikian, lokasi dengan
tutupan karang yang lebih rendah juga masih dapat dijadikan pilihan jika
kriteria lainya memungkinkan ( sangat sesuai ≥ 50%, sesuai >25% dan
≤ 50%, dan tidak sesuai ≤ 25% ).
3. Lokasi KKL seharusnya meliputi habitat terumbu karang, hutan
mangrove, padang lamun, dan habitat penting lainnya ( sangat sesuai :
karang, lamun, mangrove ; sesuai : karang, lamun ; tidak sesuai : tidak
ada ekosistem).
4. Lokasi KKL sebaiknya berada dalam jarak pandang dan pantauan
pemukiman agar dapat diamati dan diawasi oleh masyarakat guna
mengurangi pelanggaran aturan larang ambil secara permanen ( sangat
sesuai < 500 m, sesuai 500-1500 m, tidak sesuai ≥ 1500 m).
5. Ukuran besar atau kecilnya kawasan KKL tidak terlalu penting /
menentukan, akan tetapi ada baiknya lokasi yang ditetapkan mempunyai
luas sekitar 10-20% dari total perkiraan terumbu karang di perairan
pulau Karang Lebar dan Karang Congkak.
43
6. Lokasi KKL seharusnya tidak berada di dekat mulut sungai yang sangat
rawan terhadap sedimentasi dan akibat dari poluso darat.
7. Lokasi KKL merupakan daerah penyelaman atau berpotensi untuk lokasi
penyelaman.
8. Kawasan yang merupakan lokasi biota tertentu atau spesies yang langka
bertelur atau mencari makan juga merupakan lokasi yang ideal bagi
KKL.
9. Sangat berguna untuk menetapkan lokasi dengan bentuk yang mudah
dilihat (seperti persegi, persegi panjang, segitiga, dan lainnya), atau
mengikuti kontur fisik alam dan menempatkan batas berdasarkan letak
geografis alami yang dikenal oleh masyarakat setempat (seperti batas
tanjung, lekukan, tepi karang, batas hutan mangrove, bukit, dan lainlain).
3.8. Matriks kesesuaian untuk penentuan kawasan konservasi laut
Penentuan kawasan konservasi laut memerlukan kriteria yang berkorelasi
dengan keadaan lingkungan daerah penelitian. Kriteria yang disusun merupakan
kajian dan modifikasi dari berbagai sumber serta diskusi dengan pakar.
Pembuatan matriks kesesuaian ini dimulai dengan menentukan parameter apa saja
yang berpengaruh terhadap daerah yang berpoetensi dijadikan KKL.
Penyusunan matriks selanjutnya hanya memperhatikan faktor-faktor yang
bervariasi yang disesuaikan dengan kondisi lingkungan perairan Kepulauan
Seribu. Pembobotan setiap parameter berdasarkan pada dominasi pengaruh
parameter tersebut dalam zona KKL. Pemberian scoring dimaksudkan untuk
44
menilai faktor pembatas pada setiap parameter. Parameter yang digunakan dalam
penentuan zona potensial KKL melibatkan faktor biofisik perairan, kawasan
konservasi, aktivitas manusia yang kemungkinan dapat mengganggu ekosistem
dan letak pemukiman yang berhubungan dengan jarak pantauan masyarakat.
Konsep dasar suatu "analisis kesesuaian biofisik lokasi untuk suatu
penggunaan tertentu" atau sering secara singkat disebut sebagai "analisis
kesesuaian", pada prinsipnya adalah melakukan perbandingan antara karakteristik
biofisik lokasi tersebut dengan kondisi biofisik yang seharusnya dipenuhi untuk
suatu ekosistem tertentu agar ekosistem tersebut dapat hidup secara optimal.
Karakteristik biofisik zona ini dinyatakan dalam berbagai parameter yang masingmasing mempunyai nilai dengan satuan pengukuran tertentu. Kondisi biofisik
yang seharusnya dipenuhi untuk suatu ekosistem tertentu tersebut tidak lain
adalah nilai-nilai berbagai parameter biofisik yang sesuai dengan kebutuhan
ekosistem tersebut. Apabila nilai dari suatu parameter biofisik suatu di lokasi
berada pada kisaran optimum dari nilai yang dibutuhkan oleh suatu ekosistem
tertentu maka untuk parameter tersebut, lokasi tersebut dapat dinilai sebagai
”sangat sesuai”. Sebaliknya, jika di antara kondisi biofisik tersebut ada yang nilai
parameternya berada di luar kisaran nilai optimum, maka secara keseluruhan,
lokasi tersebut dapat dinyatakan sebagai ” sesuai”; atau bahkan ”tidak sesuai”,
tergantung dari seberapa jauh nilai-nilai parameternya memiliki jarak
dibandingkan nilai optimum yang diinginkan untuk suatu ekosistem tertentu.
Pemberian bobot untuk setiap parameter dalam kajian ini adalah 10 – 30 %
dan pemberian nilai (skor) dalam kisaran 1-3. Kriteria matriks kesesuaian untuk
45
penentuan zona potensial kawasan konservasi laut dapat dilihat pada Tabel 4.
Seluruh bobot dan skor pada keseluruhan kriteria konservasi akan diproses
melalui software yang digunakan dan akan dihasilkan klasifikasi zona kawasan
konservasi laut berdasarkan tingkat kesesuaian faktor-faktor konservasi. Nilai
tiap kelas didasarkan pada perhitungan dengan rumus sebagai berikut:
N =∑Bi x Si
Keterangan : N = Total bobot nilai
Bi = Bobot pada tiap kriteria
Si = Skor pada tiap kriteria
Tabel 4. Sistem penilaian kesesuaian kawasan konservasi laut
No
Parameter
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Bobot
(%)
Sangat
sesuai
Skor
Sesuai
Skor
Tidak
sesuai
Skor
Substrat dasar
30
3
3
2
Pasir,
lamun
< 15
1
20
Karang
mati
15-20
2
Jenis Ikan Karang
(sp)
Jumlah Ikan
Karang (ind)
Kedalaman (m)
Karang
hidup
> 20
20
>300
3
100-300
2
<100
1
10
10-25
3
3-<10
2
1
Jarak dari jalur
pelayaran (m)
Jarak dari
pemukiman
(pantauan)
10
.>2000
3
2
10
≤ 500 m
>1000 dan
<2000
500 -1500
m
<3 dan
>25
<1000
≥ 1500
m
1
2
1
1
Sumber : Modifikasi Bakosurtanal 1996, Gomez dan Alcala dalam Dinas
Peternakan, Perikanan, dan Kelautan DKI Jakarta dan PKSPL-IPB, 2001.
Selang tiap-tiap kelas diperoleh dari jumlah perkalian nilai maksimum tiap bobot
dan skor dikurangi jumlah perkalian nilai minimumnya yang kemudian dibagi
menjadi tiga, yang dituliskan dengan rumus sebagai berikut:
Dari perhitungan diperoleh selang kelas sebesar 0,6667, dengan nilai
46
Nminimum sebesar 1 dan Nmaksimum sebesar 3.
Nilai kelas S3 (tidak sesuai) didapatkan dari skor total kelas S3 (1)
ditambah dengan 0,6667. Nilai kelas S2 (sesuai) didapatkan dari selang
maksimum S3 (1,6667) ditambah dengan 0,6667. Nilai kelas S1 (sangat sesuai
didapatkan dari selang maksimum S2 (2.3334) ditambah 0.6667. Masing-masing
kelas dapat ditetapkan selang dari bobot nilainya sebagai berikut:
Kelas sangat sesuai (S1) dengan selang bobot nilai : 2,3335 – 3,0000
Kelas sesuai (S2) dengan selang bobot nilai : 1,6668 – 2,3334
Kelas tidak sesuai (S3) dengan selang bobot nilai : 1,0000 – 1,6667
Masing – masing kelas di atas didefinisikan sebagai berikut (Bakosurtanal, 1996):
(1) Sangat sesuai (S1)
Wilayah perairan ini sangat sesuai untuk zona kawasan konservasi laut.
Tanpa adanya faktor pembatas yang berarti atau tidak memiliki faktor pembatas
yang berpengaruh dan tidak akan menurunkan pengaruh produktivitasnya dalam
menjaga stabilitas lingkungan . Kegiatan konservasi dapat berlangsung tanpa
adanya hambatan.
(2) Sesuai (S2)
Wilayah perairan ini mempunyai faktor pembatas yang berpengaruh
terhadap kegiatan konservasi. Kegiatan konservasi dapat tetap berjalan tetapi
memerlukan perlakuan dan masukan dari pelaku konservasi.
(3) Tidak sesuai (S3)
Wilayah perairan ini mempunyai faktor pembatas yang sangat signifikan
baik permanen maupun tidak permanen. Kegiatan konservasi tidak dapat
berlangsung meskipun diberikan berbagai perlakuan khusus (intensif).
47
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Pendugaan parameter kawasan konservasi laut dengan citra satelit
4.1.1. Pengolahan awal citra
Citra yang digunakan dalam penelitian ini adalah citra satelit Formosat -2
akuisisi 29 Agustus 2007 level 2A dimana telah terkoreksi radiometrik dan
geometrik tanpa GCP (Ground Control Point). Citra Formosat dipilih penulis
dalam penentuan model konservasi, karena satelit ini merupakan satelit observasi
bumi yang memiliki resolusi spasial cukup tinggi yaitu sebesar 8 x 8 m untuk
multi spectral dan 2 x 2 m untuk pankromatik sehingga satuan piksel tersebut
cukup merepresentasikan spot - spot zona kawasan konservasi laut sebagai dasar
dari Cell Based Modelling dan resolusi temporal 1 hari yang dapat memonitor
perubahan situasi keseharian dengan cepat .
Citra Formosat-2 yang diperoleh dari Laboratorium Penginderaan Jauh
Teknologi Inventarisasi Sumberdaya Alam (TISDA) – BPPT, Jakarta. Koreksi
radiometrik dilakukan untuk menghilangkan faktor – faktor yang menurunkan
kualitas citra. Metode koreksi radiometrik yang digunakan adalah penyesuaian
histogram (histogram adjustment) tetapi untuk penelitian kali ini koreksi
radiometrik tidak dilakukan lagi oleh peneliti karena citra Formosat merupakan
citra high resolution satellite dan telah terkoreksi radiometrik.
Setelah melakukan koreksi radiometrik, tahapan selanjutnya adalah
cropping dan koreksi geometrik. Koreksi geometrik dengan acuan data Lapang
yang dilakuakan pada tanggal 12-18 Mei 2008. Koreksi geometrik citra
dilakukan dengan transformasi geometris dan resampling citra dengan beberapa
titik kontrol bumi (Ground Control Point). Titiktitik tersebut diambil pada 28
47
48
tempat yang berbeda yang menyebar di bagian citra (Gambar 11), sehingga pada
Gambar 11. Peta titik GCP lapang
akhirnya didapatkan nilai Root Mean Square (RMS) dibawah 0,5 (Lampiran 1).
49
4.1.2. Substrat dasar perairan dangkal
Informasi substrat dasar perairan Karang Lebar dan Karang Congkak di
turunkan melalui transformasi citra. Tipe substrat dasar merupakan parameter
yang berpengaruh dalam penentuan kawasan konservasi laut, karena merupakan
habitat bagi jenis-jenis ikan karang. Ikan karang lebih suka untuk tinggal di
habitat karang hidup dibandingkan di pasir ataupun di karang mati (rubble).
Pendugaan awal substrat dasar perairan dangkal dapat dilihat dari
penampakan citra dengan menggunakan komposit RGB 423 dan RGB123
(Gambar 12). Dari penampakan kombinasi ketiga band tersebut setelah dilakukan
penajaman histogram (Histogram Enhancement) maka akan terlihat jelas sebaran
terumbu karang yang berada di perairan Karang Lebar dan Karang Congkak,
Kepulauan Seribu. Substrat dasar perairan dangkal pada citra komposit akan
tampak berwarna biru muda (cyan). Pada dasarnya penajaman dengan kedua citra
komposit tersebut hanya sekedar memberikan gambaran awal tentang keberadaan
terumbu karang.
(a)
(b)
Gambar 12. Citra komposit RGB 423 (a) dan RGB 123 (b)
50
Untuk mendapatkan penampakan substrat dasar secara maksimal, diterapkan
metode penajaman multiimage yang mengkombinasikan band 2 dan band 3
berdasarkan algoritma penurunan “Standard Exponential Attenuation Model”.
Setelah mengekstrak nilai digital band 2 dan band 3 maka akan didapat nilai
koefisien attenuasi perairan (Ki/Kj) sebesar 0,59289 (contoh perhitungan pada
Lampiran 2). Dengan demikian, persamaan algoritma yang digunakan untuk
mengekstrak substrat dasar menjadi Y = ln (TM1) - 0,59289 *ln (TM2). Sesuai
dengan sebaran nilai digital hasil iterasi pada layar komputer maka terdapat
beberapa komponen dominan pada citra hasil algoritma. Rentangan perbedaan
warna pada citra hasil transformasi algoritma Lyzenga menunjukkan banyaknya
kelas yang ada di substrat perairan. Banyaknya kelas juga terlihat pada histogram
yang diwakili oleh puncak-puncak nilai piksel yang dominan yaitu dengan
sebaran nilai antara 7,54692 sampai 8, 171772 (Gambar 13).
Gambar 13. Histogram citra hasil penerapan algoritma Lyzenga
Pada citra model Lyzengga dapat dibedakan dengan jelas objek pasir ,lamun
(seagrass), karang hidup, dan karang mati. Pada pengolahan menggunakan
51
perangkat lunak ER Mapper 7.0 dengan pallete warna Rainbow, objek pasir
memberikan warna kuning, degradasi warna merah ke kuning menunjukkan
tingkat ketebalan / kerapatan tutupan lamun, sedangkan objek karang mati
berwarna merah dan terumbu karang berwarna cyan. Kemudian berdasarkan
acuan warna tersebut dilakukan klasifikasi terbimbing (supervised).
Pada peta klasifikasi substrat dasar (Gambar 14) terlihat substrat perairan
dangkal menyebar di perairan Karang Lebar dan Karang congkak, Kecamatan
Pulau Panggang . Substrat karang mati yang ditunjukkan oleh warna merah
hampir mendominasi seluruh wilayah kajian. Bentuk morfologi perairan yang
berbentuk seperti kolam (gobah), membuat sebaran karang hidup banyak berada
didalam goba dan luar gosong (pacth reef). Sebaran pasir dan tutupan lamun juga
banyak ditemukan didalam gobah.
Kegiatan aktivitas penduduk sekitar seperti menangkap ikan dengan
potasium / sianida disinyalir yang menyebabakan kerusakan terumbu karang
diperairan Kepulauan Seribu. Substrat dasar karang hidup merupakan area yang
paling ideal untuk kawasan konservasi laut karena wilayah ini merupakan relung
bagi ikan karang yang perlu kita jaga. Luasan masing-masing substrat dasar dapat
dilihat pada Table 5.
Tabel 5. Luasan turunan substrat dasar perairan Karang Lebar dan Karang
Congkak
Substart dasar
m2
hektar
Karang hidup
Karang mati
Lamun / makro alga
Pasir
1 318 336
1 024 704
3 169 920
8 357 696
131,8336
102,4704
316,9920
835,7696
Gambar 14. Peta sebaran substrat dasar perairan Karang Lebar dan Congkak, Kep. Seribu - Jakarta
52
53
Substrat dasar karang hidup merupakan substrat dasar yang paling sesuai sehingga
digolongkan ke dalam kelas sangat sesuai, sedangkan karang mati merupakan
substrat dasar yang sesuai dan substrat pasir dan lamun merupakan kelas yang
paling tidak sesuai. Substrat dasar karang hidup merupakan substrat dasar yang
paling cocok karena karang hidup merupakan tepat yang paling cocok bagi hidup
ikan karang, dimana ikan karang bertelur, berpijah, merawat anak, dan mencari
makan diwilayah ini. Habitat terumbu karang merupakan relung bagi ikan karang.
Uji statistik citra hasil klasifikasi
Perhitungan akurasi citra hasil klasifikasi dilakukan dengan membuat matrik
kontingensi, yang juga disebut confusion matrix . Matrix ini didapat dengan cara
membandingkan antara jumlah pixel hasil klasifikasi supervised citra (Lyzenga)
dengan data lapang (ground truth). Hasilnya didapatkan nilai overall accuracy,
sebesar 90,12 %, producer accuracy sebesar 0,90 dan user accuracy sebesar 0,89.
Hampir seluruh kelas memenuhi toleransi, sehingga proses klasifikasi supervised
yang dilakukan sudah terkelaskan dengan benar (Tabel 6 dan7).
Tabel 6.Confusion matrix
Kelas/ Landcover
1
2
3
4
1
Karang hidup
24
0
2
2
Total
baris
28
2
Karang mati
0
4
0
1
5
3
Lamun
0
0
9
0
9
4
Pasir
2
0
1
36
39
Total kolom
26
4
12
39
54
Keterangan : 1. Karang hidup : penutupan dominan karang hidup
54
2. Karang mati : penutupan dominan karang mati
3. Pasir : penutupan dominan pasir
4. Lamun : penutupan dominan lamun / alga
Total jumlah diagonal : 73
Total jumlah sampel : 81
Akurasi total : (73/81)*100% = 90,12%
Tabel 7. Akurasi untuk sisi user dan producer
User accuracy
producer accuracy
Kelas
Akurasi
Land cover
Akurasi
Karang hidup
24/28
0,86
1
24/26
0,92
Karang mati
4/5
0,80
2
4/4
1
Lamun
9/9
1
3
9/12
0,75
Pasir
36/39
0,92
4
36/39
0,92
Rata-rata
0,89
Rata-rata
0,90
Hasil klasifikasi substrat dasar perairan dangkal kemudian dikelaskan
kembali menjadi tiga kelas. Kelas sangat sesuai (S1) terdiri dari karang hidup,
kelas sesuai (S2) terdiri dari karang mati serta kelas tidak sesuai (S3) terdiri dari
pasir dan lamun. (Lampiran 3)
4.1.3. Konsentrasi klorofil
Kadar konsentrasi klorofil diperlukan dalam penentuan kawasan konservasi
laut karena menunjukkan banyaknya plankton yang ada diperairan tersebut
dimana plankton merupakan sumber makanan sebagian besar dari ikan karang
55
(planktivor). Semakin tinggi konsentrasi klorofil – a menandakan bahwa perairan
tersebut subur.
Hasil penerapan algoritma menunjukkan bahwa nilai konsentrasi klorofil-a
berkisar antara 16,7215 – 41,2303 mg/l. Pada Gambar 15 konsentrasi klorofil di
daerah Karang Lebar dan Karang Congkak cukup tinggi yaitu lebih dari 25 mg/l.
Semakin ke laut lepas konsentrasi mulai berkurang hingga < 20mg/l. Tingginya
konsentrasi di daerah gosong Karang Lebar dan Karang Congkak disebabkan
banyaknya proses biologis di daerah tersebut, sedangkan semakin ke laut lepas
semakin rendah karena tidak adanya suplai nutrien secara langsung dari darat.
4.1.4. Muatan padatan tersuspensi
Muatan Padatan Tersuspensi (MPT) adalah bahan-bahan tersuspensi
(diameter > 1µm) yang tertinggal di cakram fiber kaca setelah difiltrasi. Proses
erosi tanah yang terbawa ke badan air merupakan salah satu penyebab utama
tingginya padatan tersuspensi di perairan. Banyak sedikitnya penetrasi matahari
yang masuk ke perairan sangat ditentukan oleh konsentrasi MPT di badan
perairan.
Histogram penerapan algoritma menunjukkan bahwa kisaran MPT di
perairan Karang Lebar dan Karang Congkak berkisar antara 18,2034 sampai
37,2244. Berdasarkan Gambar 16 terlihat bahwa konsentrasi MPT di perairan
Karang Lebar dan Karang Congkak >20 mg/l dan konsentrasi MPT di laut lepas
< 20 mg/l.
Gambar 15. Peta sebaran klorofil – a perairan Karang Lebar dan Congkak, Kep. Seribu - Jakarta
56
Gambar 16. Peta sebaran MPT perairan Karang Lebar dan Congkak, Kep. Seribu - Jakarta
57
58
Konsentrasi MPT di daerah gosong Karang Lebar dan Karang Congkak
cenderung lebih besar dari pada di laut lepas, hal ini disebabkan oleh kondisi
geomorfologi di daerah gosong yang cenderung dangkal sehingga proses
turbulensi akibat adanya arus sangat tinggi.
4.2. Parameter biofisik kawasan konservasi laut
4.2.1. Keterlindungan wilayah
Keterlindungan merupakan parameter yang turut berpengaruh dalam
pembangunan sebuah Marine Protected Area. Agar kondisi ekologi wilayah ini
terlindung dari ancaman faktor oseanografi yang ekstrim seperti arus dan
gelombang, maka lokasi kawasan konservasi laut sebaiknya berada di lokasi
terlindung. Penentuan keterlindungan wilayah dilakukan melalui interpretasi
secara visual dari citra komposit, kemudian lakukan training area berdasarkan
komposit citra. Kelas baru didapat dari klasifikasi supervised area.
Daerah terlindung terdapat pada gosong dan goba. Perairan Kepulauan
Seribu memiliki banyak pulau – pulau kecil dan gosong-gosong karang. Dari peta
keterlindungan lokasi (Gambar 17) dapat dilihat bahwa perairan Karang Lebar
dan Karang Congkak merupakan wilayah yang potensial untuk dijadikan kawasan
lindung. Perairan dalam gosong dan goba secara alamiah akan melindungi lokasi
konservasi dari hempasan gelombang dan arus yang kuat, sehingga keseimbangan
ekosistem tetap terjaga. Perairan lepas pantai sangat tidak sesuai dalam
pembuatan kawasan konservasi laut.
Gambar 17. Peta keterlindungan wilayah perairan Karang Lebar dan Congkak, Kep. Seribu - Jakarta
59
60
4.2.2. Suhu
Suhu merupakan salah satu parameter biofisik yang menentukan keberadaan
ikan. Ikan karang mempunyai karakter yang menyukai suhu perairan tertentu.
Suhu juga merupakan salah satu factor pembatas bagi keberadaan ekosistem
terumbu karang. Karang akan tumbuh secara optimal pada kisaran suhu rata-rata
tahunan 23-25 °C. Toleransi suhu sampai dengan 36-40 °C . Sebaran suhu
perairan Karang Lebar dan Karang Congkak dapat dilihat pada Gambar 18. Nilai
sebaran suhu permukaan laut berkisar antara 28,6 – 32,49 0C. Kondisi ini ideal
bagi pertumbuhan terumbu karang. Semakin ke laut lepas suhu semakin
berkurang, hal ini disebabkan pengaruh panas dari daratan dimana pada siang hari
darat lebih cepat menerima panas dibandingkan dengan lautan.
4.2.3. Salinitas
Salinitas adalah kadar gram garam yang terkandung dalam 1 kilogram air
laut. Salinitas merupakan salah satu faktor biofisik perairan yang berpengaruh
dalam penentuan zona perlindungan laut, dimana salinitas juga merupakan salah
satu faktor pembatas bagi petumbuhan terumbu karang. Terumbu karang hanya
dapat hidup di perairan laut dengan salinitas normal 32-35 ‰.
Sebaran nilai salinitas dapat dilihat pada Gambar 19. Dari gambar tersebut
terlihat bahwa sebaran salinitas di perairan Karang Lebar dan Karang Congkak
secara horizontal cocok untuk pertumbuhan terumbu karang yaitu 32-35‰.
Semakin ke arah laut lepas salinitas meninkat, hal ini disebabkan tidak adanya
masukan air tawar (run off ) dari daratan.
Gambar 18. Peta sebaran suhu perairan Karang Lebar dan Congkak, Kep. Seribu - Jakarta
61
Gambar 19. Peta sebaran salinitas perairan Karang Lebar dan Congkak, Kep. Seribu - Jakarta
62
63
4.2.3. pH
Potential of Hydrogen (pH) adalah konsentrasi ion hidrogen di dalam air.
Secara umum, tingkat kemasaman atau kebasaan (pH) perairan Karang Lebar dan
Karang Congkak adalah normal, dengan nilai berkisar 8,3 – 8,6. Sebaran spasial
pH hasil pengukuran dapat dilihat pada Gambar 20. Dari sebaran spasial ini
terlihat bahwa pada daerah tempat terjadinya percampuran antara air laut dan air
tawar pH relative lebih rendah yaitu daerah dekat darat
4.2.4. Oksigen Terlarut
Oksigen terlarut (Dissolved Oxygen-DO) adalah jumlah oksigen yang
terlarut dalam air, yang diukur dalam unit satuan miligram per liter (mg/l).
Komponen oksigen ini di dalam air sangat kritis untuk kelangsungan hidup ikan
dan organisme laut lainnya, tetapi bila kadarnya berlebihan juga dapat
menyebabkan kematian. Oksigen terlarut menggambarkan besarnya tingkat
produktivitas primer perairan. Semakin tinggi kandungan oksigen yang terlarut di
perairan dapat mengindikasikan tingginya tingkat produktivitas primer.
Produktivitas primer merupakan hasil dari proses fotosintesis.
Sebaran oksigen terlarut diperoleh dari hasil interpolasi dari titik
pengambilan sampel di lapangan sebanyak 25 titik yang menyebar diperairan
Karang Lebar dan Karang Congkak. Berdasarkan Gambar 21 terlihat bahwa
sebaran oksigen terlarut diperairan Karang Lebar dan Karang Congkak berkisar
antara 5,01 – 8,6 mg/l. Kadar oksigen cenderung meningkat kearah laut lepas.
Gambar 20. Peta sebaran pH perairan Karang Lebar dan Congkak, Kep. Seribu - Jakarta
64
Gambar 21. Peta sebaran oksigen terlarut perairan Karang Lebar dan Congkak, Kep. Seribu - Jakarta
65
66
4.2.5. Kecerahan
Intensitas cahaya matahari yang menembus ke dalam suatu perairan
mempengaruhi kehidupan sebagian besar organisme perairan. Selain penting,
sinar matahari juga membatasi kehidupan organisme tersebut. Intensitas sinar
(masukan energi) yang mengenai lapisan autotrofik mengendalikan seluruh
ekosistem melalui pengaruhnya pada produksi primer (Odum, 1971). Oleh karena
itu, tingkat kecerahan perairan perlu diketahui untuk mengetahui produktivitas
primer yang dapat terjadi di perairan tersebut. Kecerahan juga salah satu faktor
pembatas bagi pertumbuhan terumbu karang.
Penentuan sebaran kecerahan perairan diperoleh dari hasil interpolasi titik
– titik pengambilan sampel yang menyebar diseluruh perairan. Metode interpolasi
yang digunakan adalah Inverse Distance Weighted (IDW). Nilai kecerahan
perairan Karang Lebar dan Karang Congkak berkisar antara 1,20 – 9 m ( lihat
Gambar 22). Diwilayah gosong Karang Lebar dan Karang Congkak kecerahan
perairan cukup bagus bagi pertumbuhan terumbu karang yaitu antara 4 – 7 m.
Dititik – titik tertentu kecerahan perairan sangat bagus yaitu diwilayah dekat pulau
layar, sebab pengambilan data pada titik itu cuaca sangat mendukung. Nilai
kecerahan sangat dipengaruhi oleh keadaan cuaca, waktu pengukuran, kekeruhan
dan padatan tersusupensi serta ketelitian orang yang melakukan pengukuran.
Gambar 22. Peta sebaran kecerahan perairan Karang Lebar dan Congkak, Kep. Seribu - Jakarta
67
68
4.2.6. Arus dan pasang surut
Kecepatan dan arah arus dari suatu badan air sangat berpengaruh terhadap
kemampuan badan air untuk mengeliminasi dan mengangkut bahan pencemar
serta perkiraan pergerakan bahan pencemar mencapai lokasi tertentu, sehingga
kecepatan arus juga mempengaruhi nilai padatan tersuspensi suatu perairan. Arus
juga berperan dalam peyebaran larva ikan karang.
Arus yang terjadi diperairan Karang Lebar dan Karang Congkak
dipengaruhi oleh dua faktor yaitu pasang surut dan angin. Dalam penelitian kali
ini data arus diperoleh dari pengolahan data pasang surut dengan kedalaman
perairan sehingga didapatkan pola arus permukaan perairan tersebut. Tabel
pasang surut lokasi penelitian dapat dilihat pada Table 8.
Tabel 8. Tabel pasang surut perairan Kepulauan Seribu (Stasiun Tanjung Priok)
pada saat survey lapang tanggal 13-17 Mei 2008
Tipe pasut di perairan Kepulauan Seribu adalah harian tunggal (diurnal) dimana
dalam sehari terjadi satu kali pasang dan satu kali surut. Grafik pasang surut
dapat dilihat pada Gambar 23. Tinggi pasut bisa berkisar antara 40 – 80 cm.
69
Fluktuasi pasut tertinggi terjadi pada tanggal 17 Mei 2008 dan terendah terjadi
pada tanggal 14 Mei 2008.
Gambar 23 Grafik Pasang Surut Tunggal Perairan Kepulauan Seribu
Arus diperairan Karang Lebar dan Congkak berkisar antara 10.5 cm/s - > 50
cm/s (Gambar 24). Pola arus di perairan Karang Lebar dan Congkak sangat
dipengaruhi oleh kecepatan angin dan pasang surut. Kecepatan arus dominan
tinggi pada bagian timur perairan dimana pada bagian ini perairan langsung
berhubungan dengan laut lepas yaitu laut jawa. Kecepatan arus mulai mengecil
pada wilayah dekat gosong Karang Lebar dan Congkak.
Gambar 24. Peta pola arus permukaan perairan Karang Lebar dan Congkak, Kep. Seribu - Jakarta
70
71
4.2.7. Batimetri
Data batimetri diperoleh dari sounding batimetri dengan echosounder
pada tanggal 14 -17 Mei 2008. Kemudian dari data tersebut digabunng dengan
data batimetri dari Disidros TNI AL sehingga titik yang digunakan untuk
interpolasi semakin banyak. Tehnik interpolasi yang digunakan adalah natural
neighbors . Fungsi natural neighbor merupakan toolbar dari ekstensi 3D analyst
pada perangkat lunak ArcGIS versi 9.2. Keunggulan metode natural neighbor
adalah dapat menginterpolasi titik-titik yang relatif banyak dan hasil output yang
diperoleh akan lebih mendekati dengan keadaan sesuangguhnya di alam (nature).
Output piksel hasil interpolasi yaitu 8 x 8 m.
Peta batimetri perairan Karang Lebar dan Karang Congkak (Gambar 25)
menunjukkan bahwa daerah gosong memiliki kedalaman yang relative dangkal
yaitu antara 1- 20 m. Didaerah ini banyak ditemukakan terumbu karang.
Semakin menjauhi gosong kedalaman terus bertambah hingga mencapai 100 m.
Dari profil 3D (Gambar 26 dan 27) terlihat bahwa didalam Karang Lebar maupun
Karang Congkak terdapat goba yang kedalamannya bisa mencapai 10 m.
Kedalaman merupakan merupakan faktor yang turut serta berperan dalam
penentuan kawasan konservasi laut karena adanya stratifikasi kedalaman
berpengaruh dengan jumlah ikan karang. Karakteristik perairan daerah
Kepulauan Seribu juga turut serta dalam pembentukkan jenis geomorfologi dari
terumbu karang itu sendiri yaitu fringing reef, barier reef, dan pacth reef.
Gambar 25. Peta sebaran kedalaman perairan Karang Lebar dan Congkak, Kep. Seribu - Jakarta
72
73
Gambar 26. Profil 3D Karang Lebar, Kepulauan Seribu – Jakarta
Gambar 27. Profil 3D Karang Congkak, Kepulauan Seribu – Jakarta
Dalam penentuan zona perlindungan laut, nilai- nilai kedalaman kemudian
dikelaskan kembali. Kedalaman 10-25 m tergolong kelas sangat sesuai,
kedalaman 3-<10 tergolong kelas sesuai, dan kedalaman <3 m dan >25 tergolong
tidak sesuai. Peta hasil klasifikasi kedalaman dapat dilihat pada lampiran 3.
74
4.2.8. Jumlah jenis ikan karang
Ikan karang merupakan sumber daya hayati yang berada didaerah sekitar
terumbu karang. Banyaknya jenis ikan karang atau keanekaragaman hayati laut
merupakan parameter yang menentukan bagus atau tidaknya kondisi ekosistem
terumbu karang yang berda didaerah tersebut. Artinya bila disuatu lokasi
ditemukakan keanekaragaman hayati tinggi, maka dapat dikatakan bahwa banyak
spesies yang mampu beradaptasi dengan kondisi lingkungan tersebut.
Hasil peta sebaran jumlah jenis ikan karang (Gambar 28) berasal dari hasil
interpolasi dari titik – titik pengamatan. Metode interpo27lasi yang digunakan
adalah inverse distance weighted (IDW). Dari hasil pengamatan lapangan
ditemukan paling sedikit 13 spesies paling tinggi sebanyak 27 spesies. Dari
Gambar 30 terlihat bahwa rata – rata perairan Karang Lebar dan Karang Congkak
memiliki 21 -23 spesies ikan karang yang tersebar di seluruh wilayah. Jumlah
kisaran spesies ikan karang paling sedikit ditemukan di daerah dekat pulau
Pramuka, hal ini disebabkan adanya faktor antropogenik serta aktifitas manusia di
sekitar Pulau Pramuka.
Dalam penentuan kawasan konservasi laut dilakukan pengkelasan raster
(zonal fuction) dari sebaran jumlah jenis ikan karang. Kelas baru yang dibentuk
yaitu kelas > 20 spesies untuk kelas sangat sesuai, 15 – 20 spesies untuk kelas
sesuai dan kelas < 15 spesies untuk kelas tidak sesuai. Peta hasil klasifikasi ulang
sebaran jumlah jenis ikan karang dapat dilihat pada Lampiran 4.
Gambar 28. Peta sebaran jumlah jenis ikan karang perairan Karang Lebar dan Congkak, Kep. Seribu - Jakarta
75
76
4.2.9. Kelimpahan ikan karang
Gambar 29 menunjukkan kelimpahan ikan karang disetiap stasiun
pengamantan. Terlihat pada gambar tersebut bahwa stasiun 17 merupakan
stasiun yang memiliki kelimpahan ikan karang tertinggi, sedangkan stasiun 9 dan
10 memiliki kelimpahan ikan karang terendah. Ada beberapa hal yang membuat
kelimpahan kakatua (Scaridae) dan ikan baronang (Siganidae), serta tingginya
kelimpahan ikan tinggi di stasiun 17 , yaitu tingginya kelimpahan ikan target,
terutama ikan ikan betok laut (Pomacentridae) seperti Pomacentrus,
Neopomacentrus dan Crysiptera. Dikaitkan dengan kondisi karang, kelimpahan
ikan pomacentrid yang tinggi dimungkinkan dengan tingginya penutupan karang
batu terutama yang bentuk pertumbuhannya bercabang dan tabular, yang
menyediakan relung dan habitat bagi ikan-ikan tersebut.
Gambar 29. Histogram Kelimpahan Ikan Karang
77
Sebaran Jumlah Ikan karang diperoleh dari interpolasi tiap – tiap stasiun
pengamatan. Metode interpolasi yang digunakan adalah inverse distance
weighted (IDW). Dari gambar 30 terlihat bahwa perairan karang Lebar dan
Congkak memiliki kelimpahan ikan karang yang cukup bervariatif, berkisar antara
42 - > 400 ekor. Kelimpahan terbesar berada di selatan Karang Congkak (stasiun
17) dengan nilai kisaran 256 – 456 ekor.
Hasil sebaran jumlah ikan karang kemudian dikelaskan kembali untuk
penentuan kawasan konservasi laut. Kelimpahan ikan karang > 300 ekor di
kategorikan kelas sangat sesuai, kelimpahan 100 – 300 ekor dikategorikan kelas
sesuai, dan kelimpahan < 100 ekor dikategorikan kelas tidak sesuai. Peta hasil
klasifikasi jumlah ikan karang dapat dilihat pada Lampiran 4.
Gambar 30. Peta sebaran jumlah individu ikan karang perairan Karang Lebar dan Congkak, Kep. Seribu - Jakarta
78
79
4.3. Parameter penimbang kawasan konservasi laut
4.3.1. Jarak pantauan dari pemukiman penduduk pulau kecil
Kegiatan konservasi laut sangat rentan terhadap aktivitas penangkapan ikan
yang merusak (destrutive fishing) seperti pengeboman, penggunaan jaring pukat,
penggunaan sianida dan sebagainya. Oleh sebab itu pengawasan terhadap
kawasan konservasi laut sangat penting untuk pengoptimal fungsi dari kawasan
konservasi laut. Pelaku pengawasan baik penduduk lokal maupun dari pihak
pemerintah dapat segera menindak jika ada para nelayan yang melakukan
penangkapan secara destructive fishing di area konservasi laut.
Informasi spasial kawasan pemukiman diperoleh dari data Peta Rupa Bumi
Indonesia dan data lapangan. Jarak dari kawasan pemukiman dapat dipetakan
dengan mengasumsikan parameter di atas sebagai poligon. Penentuan jarak
pantauan zona konservasi laut terhadap kawasan pemukiman pesisir dilakukan
pada raster data.
Pembuatan jarak/buffer dari kawasan pemukiman dibagi atas 3 kelas, yaitu
0 – 500 m, 500 – 1500 m, dan lebih dari 1500 m. Untuk Zona konservasi laut
pemantauan idealnya dilakukan pada jarak kurang dari 500 m. Zona sesuai
digolongkan pada kelas lebih besar dari 500 m dan kurang dari 1500 m,
sedangkan zona tidak sesuai digolongkan pada kelas lebih dari 1500m. Peta
buffer dari kawasan pemukiman pesisir dapat dilihat pada Gambar 31.
4.3.2. Jarak dari jalur pelayaran
Transportasi laut merupakan jenis transportasi yang sering digunakan oleh
penduduk Kepulauan Seribu untuk melakukan aktivitas kesehariannya.
Gambar 31. Peta buffer kawasan pemukiman pulau kecil perairan Karang Lebar dan Congkak, Kep. Seribu -
80
81
Alat transportasi laut yang digunakan antara lain perahu motor, baik perahu
motor tempel maupun permanen. Alat transportasi ini sering menghasilkan sisa
pembakaran berupa minyak yang dapat mencemari perairan. Sisa minyak ini
yang perlu kita perhitungkan dalam penentuan zona konservasi laut.
Jarak dari jalur pelayaran komersial dan domestik dapat dispasialkan
dengan mengasumsikan parameter di atas sebagai line/garis. Jalur pelayaran
komersial diperoleh melalui track GPS kapal Ojek dari Muara Angke hingga
Pulau Pramuka, sedangkan jalur pelayaran domestik (nelayan ) diperoleh dari
route pelayaran kapal penelitian yang digunakan untuk mengambil titik sampel.
Penentuan jarak zona konservasi laut terhadap jalur pelayaran komersial maupun
domestik dilakukan pada raster data.
Pembuatan jarak/buffer dari jalur pelayaran dibagi atas 3 kelas, yaitu 0 –
1000 m, 1000 – 2000 m, 2000 – 3000 m, dan lebih dari 3000 m. Zona Konservasi
laut ideal dilakukan pada jarak lebih dari 2000 m. Zona sesuai digolongkan pada
kelas lebih besar dari 1000 m dan kurang dari 2000 m, sedangkan zona tidak
sesuai digolongkan pada kelas kurang dari 1000 m. Peta buffer dari jalur
pelayaran komersial dan domestik dapat dilihat pada Gambar 31.
4.3.3. Analisis zona konservasi laut (kawasan konservasi laut ) dengan Cell
Based Modelling
Kawasan konservasi laut (KKL) memiliki dua fungsi utama, yaitu : (1)
Melindungi seluruh ekosistem dengan cara mengkonservasi berbagai spesies dan
habitat-habitat utama (critical habitat) seperti daerah pemijahan (spawning
grounds) dan daerah asuhan/pembesaran (nursery grounds), dan (2) Stok ikan
Gambar 32. Peta buffer jalur pelayaran perairan Karang Lebar dan Congkak, Kep. Seribu - Jakarta
82
83
(biota laut lainnya) dalam KKL dapat berfungsi seperti “tabungan“ (bank account)
atau jaminan yang dapat menyangga fluktuasi dan penurunan populasi yang
terjadi di luar KKL akibat kesalahan manajemen maupun fluktuasi alamiah.
Analisis zona potensial dilakukan dengan melihat berbagai faktor yang terkait
dengan pengembangan dan kelangsungan kegiatan konservasi laut. Analisis
kawasan konservasi laut mempertimbangkan faktor biofisik perairan,
keanekaragaman hayati laut, faktor konservasi, dan faktor aktivitas manusia.
Faktor biofisik terdiri dari substrat dasar, kedalaman. Keanekaragaman hayati
laut meliputi jumlah jenis ikan karang, dan kelimpahan ikan karang. Faktor
aktivitas manusia meliputi jarak pantauan dari pemukiman penduduk, dan jarak
dari jalur pelayaran.
Analisis spasial pada data raster merupakan dasar dari Cell Based Modelling
karena setiap sel memiliki nilai tertentu sehingga akan memudahkan dalam
analisis spasial. Penentuan zona kawasan konservasi laut memerlukan suatu
model yang dapat mengintegrasikan seluruh parameter yang mempengaruhi
kriteria konservasi laut. Pemodelan zona kawasan konservasi laut dilakukan
dengan menspasialkan setiap parameter.
Setiap parameter (raster) yang telah diturunkan, baik melalui transformasi
citra maupun dengan interpolasi point-point atau line kemudian dikelasifikasi
ulang menjadi kelas-kelas kesesuaian. Pengelompokkan masing-masing
parameter merupakan salah satu bentuk operasi sel dari zonal function. zonal
function merupakan salah satu bentuk operasi sel pada Cell Based Modelling,
karena akan mengelompokkan sel ke dalam kategori tertentu berdasarkan
kesamaan nilai yang dimiliki oleh sel tersebut. Begitu tiap sel dikelompokkan,
84
pengkodean sel dilakukan secara otomatis menurut selang nilai parameter yang
ditentukan, kemudian seluruh informasi spasial siap di overlay. Metode overlay
akan lebih mudah dan efisien bila dilakukan pada data raster dibandingkan pada
data vektor. Overlay yang digunakan dalam penelitian ini adalah overlay dengan
sistem pembobotan (weighted overlay). Weighted overlay merupakan salah satu
terapan dari Cell Based Modelling yang melibatkan seluruh sel dalam suatu data
raster secara bersamaan (global function). Setiap sel pada parameter yang akan
dilakukan proses overlay telah dikelompokkan ke dalam kode/nilai berdasarkan
Tabel 4.
Skor 1 untuk kriteria sangat sesuai, skor 2 untuk kriteria sesuai dan skor 3
untuk kriteria tidak sesuai. Jumlah sel untuk masing-masing kode dalam setiap
parameter merupakan hasil pengkelasan parameter dapat dilihat dalam Tabel 8.
Proses reclassify menggunakan operator ”Add” atau penambahan sehingga
jumlah setiap sel yang memiliki kode yang sama setelah diberi skor akan
dijumlahkan dan akan membentuk suatu zona dengan kriteria tertentu. Proses
overlay setiap layer dengan menggunakan menu “raster calculator”secara
matematis dapat dilihat dibawah ini.
[[Substrat Dasar Perairan] * 0.3 + [Kedalaman] *0.1 + [∑Jenis ikan
karang]*0.2+[∑ ikan karang]*0.2 + [Jarak dari Jalur Pelayaran] * 0.1 + [Jarak dari
Kawasan Pemukiman] * 0.1]
85
Tabel 9. Jumlah sel hasil klasifikasi parameter dengan Cell Based Modelling
Parameter
Jumlah Sel
Sangat sesuai (S1)
Sesuai (S2)
Tidak sesuai (S3)
Substrat dasar
20 599
16 011
180 119
Kedalaman (m)
127 735
186 817
593 360
Jenis Ikan Karang (sp)
206 936
66 199
671
Jumlah Ikan Karang (ind)
2 285
167 397
104 120
Jarak dari jalur pelayaran
(m)
1 279 657
628 452
735 841
48 825
336 651
1 280 717
Jarak dari pemukiman
(pantauan)
Jumlah sel hasil weighted overlay dikelompokkan ke dalam tiga
kelas/zona yaitu kelas S1 (sangat sesuai) = 2,3335 – 3,0000, kelas S2 (sesuai) =
1,6668 – 2,3334 dan kelas S3 (tidak sesuai) = 1,0000 – 1,6667 beserta luasan
terangkum dalam Tabel 10.
Tabel 10. Jumlah sel hasil weighted overlay
Keterangan
Jumlah Sel
Luas (Ha)
Sangat sesuai (S1)
18 484
118,2976
Sesuai (S2)
123 284
789,0176
Tidak Sesuai (S3)
72 340
462,9760
Peta kawasan konservasi laut di perairan Karang Lebar dan Karang
Congkak, Kepulauan Seribu – Jakarta dapat dilihat pada Gambar 33. Pada
gambar terlihat dengan metode berbasis sel dapat dibentuk spot-spot zona
potensial yang direpresentasikan dengan warna hijau. Masing-masing spot KKL
berukuran 8 x8 m.
Gambar 33. Peta keseuaian kawasan konservasi laut perairan Karang Lebar dan Congkak, Kep. Seribu - Jakarta
86
87
Zona sangat sesuai banyak terdapat di daerah goba, baik di Karang Lebar
maupun Karang Congkak. Wilayah perairan ini sangat sesuai untuk dijadikan
kawasan konservasi laut, dimana faktor- faktor yang dijadikan paramerter
kesesuian sangat mendukung. Zona sangat sesuai ini mempunyai luas sebesar
118,2976 Ha.
Zona sesuai terlihat dominan pada wilayah gosong Karang Lebar dan
Karang Congkak.direpresentasikan dengan warna kuning. Zona ini mempunyai
luasan sebesar 789,0176 Ha. Wilayah ini merupakan zona yang cukup potensial
untuk dijadikan kawasan konservasi laut sebab parameter – parameter kawasan
konservasi laut yang digunakan sebagai faktor pembatas cukup mendukung
Zona tidak sesuai direpresentasikan dengan warna merah, dimana kawasan
ini tidak cocok untuk dijadikan kawasan konservasi laut. Wilayah perairan ini
mempunyai parameter- parameter faktor pembatas yang tidak mendukung.
Kegiatan konservasi tidak dapat berlangsung meskipun diberikan berbagai
perlakuan tambahan seperti pembuatan fish shelter sebab faktor oseanografi dan
biologi tidak mendukung. Zona ini mempunyai luas sebesar 462,9760 Ha.
Visualisasi kelas kesesuaian hasil overlay dengan metode Cell Based
Modelling berupa grid yang setiap grid-nya mempresentasikan spot-spot
potensial kawasan konservasi laut. Resolusi spasial digunakan sebagai alat ukur
akurasi SIG berbasis raster, semakin kecil nilai piksel maka semakin tinggi
akurasi data tersebut begitu pula sebaliknya. Dalam penentuan kawasan
konservasi laut kali ini, spot – spot zona potensial yang digunakan mempunyai
resolusi yang tinggi yaitu 8 x 8 m, sehingga akan tampak jelas.
88
Dari hasil ground check lapangan daerah yang sangat sesuai pada Karang
Congkak antara lain terdapat pada bagian selatan (ST17L) dan utara (ST27L) .
Pada stasiun ST17L kondisi lingkungannya mendukung baik itu dari segi
oseanografi (suhu 29 0C; salinitas 33 ‰; pH 8,9; dan DO 5,9 mg/l) maupun
biologi (persen cover karang hidup di 3 m: 71,77%; 10 m: 50,93%; dan jumlah
individu ikan karang 3m : 509 ind; 10 m:403 ind), dan pada stasiun ST27L
kondisi biologi (persen penutupan karang hidup 3m : 56,73%; 10m : 48,17 %;
dan jumlah individu ikan karang 3m : 164 ind; 10m : 179 ind) juga sangat
mendukung. Untuk daerah Karang Lebar daerah yang sangat sesuai ada pada
bagian utara (ST29L) sebab dilihat kondisi ekosistem terumbu karang juga
mendukung yaitu persen penutupan karang keras di 3m : 80,23% dan 10 m:
50,83% ; jumlah individu ikan karang di 3m : 205 ind dan 10m : 269 ind .
89
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Pembentukan sebuah model konservasi khususnya konservasi laut (DPL)
perlu mengintegrasikan faktor biofisik perairan, jarak dari kawasan konservasi
dan jarak dari aktivitas manusia agar pengoptimalan kegiatan konservasi serta
pengawasan bisa maksimal. Parameter tersebut diantaranya substrat dasar,
kedalaman perairan, jenis ikan karang, kelimpahan ikan karang jarak dari jalur
pelayaran, dan jarak dari pemukiman (pantauan). Parameter lingkungan lain
seperti klorofil, mpt, suhu, salinitas, ph, DO, dan kecepatan arus tidak digunakan
dalam penentuan kawasan konservasi laut karena tidak memberikan hasil yang
berbeda nyata dalam penentuan kawasan ini.
Analisis spasial pada data raster merupakan dasar dari Cell Based Modelling
karena setiap sel memiliki nilai tertentu sehingga akan memudahkan dalam
analisis spasial, terlebih data-data raster dapat diturunkan melalui transformasi
algoritma pada citra satelit. Parameter yang diturunkan dari citra satelit adalah
substrat dasar, padatan tersuspensi, konsentrasi klorofil serta pemetaan kawasan
mangrove. Resolusi satelit yang tinggi yaitu 8 x 8 m menambah keakuratan dari
hasil pengolahan data raster ini.
Dari hasil analisis spasial berdasarkan Cell Based Modelling, daerah yang
termasuk dalam kategori sangat sesuai untuk dijadikan daerah perlindungan luas
118,2976 Ha (1,8 % ) banyak terletak di bagian tubir Karang Lebar dan Karang
Congkak. Daerah dengan kategori sesuai memiliki luas terbesar yaitu 789,0176
Ha (57,6 %) banyak berada di reef flat Karang Lebar dan Karang Congkak.
89
90
Sedangkan kawasan tidak sesuai mempunyai luasan sebesar 462,9760 Ha (33,8
%) yang juga tersebar di wilayah reef flat Karang Lebar dan Congkak.
5.2. Saran
Adapun saran yang dapat diberikan penulis untuk pengembangan kawasan
konservasi laut adalah :
1. Perlu adanya pengkajian lebih lanjut mengenai aspek ekonomi,
sosial,dan politik dalam penentuan kawasan konservasi laut.
2. Adanya kegiatan konservasi pada spot-spot yang telah ditentukan akan
mengefektifkan kegiatan konservasi dalam menjaga kestabilan
ekosistem terumbu karang.
91
VI. DAFTAR PUSTAKA
Aronoff. 1989. Geographic Information System: A Management Perspective.
WDL Publications, Ottawa. Canada.
Bakosurtanal. 1996. Pengembangan Prototipe Wilayah Pesisir dan Marin
KupangNusa Tenggara Timur. Pusat Bina Aplikasi Inderaja dan Sistem
Informasi Geografis. Bogor.
Bengen, D. G. 2002. Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut Serta
Prinsip Pengelolaanya. Pusat kajian sumber daya pesisir dan lautan, IPB.
Bogor.
BPS.2005. Provinsi DKI Jakarta. Badan Pusat Statistik. Jakarta
http://bps.jakarta.go.id/. 29 Agustus 2007.
Departemen Kehutanan. 1997. Pedoman Penetapan Kriteria Baku Kawasan
Konservasi Laut. Proyek Pengembangan Kawasan Pelestarian Laut di
Pusat. Jakarta.
Dinas Peternakan, Perikanan, dan Kelauatan DKI Jakarta. 2005. Analisi
Kesesuaian dan Arahan Lokasi Pembentukan DPL Baru Berbasis
Masyarakat di Pulau Pari,Kepulauan Seribu. Dinas Perikanan DKI Jakarta.
Dinas Peternakan, Perikanan, dan Kelauatan DKI Jakarta. 2001. Laporan Akhir
Pemetaan Lokasi dan Kegiatan Prioritas Kelurahan Pulau Panggang.
PKSPL-IPB. Bogor.
[DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2002. Modul Sosialisasi dan
Orientasi Penataan Ruang Laut, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.
Departemen Kelautan dan Perikanan, Direktorat Tata Ruang Laut, Pesisir
dan Pulau-pulau Kecil. Jakarta.
English, S.,C. Wilkinson dan V. Baker. 1994. Survey Manual for Tropical Marine
Resources. Australian Institut of Marine Science. Townville.
91
92
Estradivari. 2001. Terumbu Karang Jakarta : Pengamatan Jangka Panjang
Terumbu Karang Kepulauan Seribu (2004-2005). Yayasan TERANGI.
Jakarta.
ESRI. 2002. Using ArcGIS Spatial Analyst. Environmental System Research
Institute, Inc. New York.
Gaol, J. L. 1997. Pengkajian Kualitas Perairan Pantai Utara Jawa dengan
Menggunakan Citra Satelit Landsat-TM : Hubungan Radiansi Spektral
Dengan Konsentrasi Klorofil-a dan Muatan Padatan Tersuspensi. Thesis.
Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Green, Edmund P.; Alasdair J. Edwards dan Peter J. Mumby. 2000. Mapping
Bathymetry. P : 219-233 dalam Edwards, A. J. (ed.) Remote Sensing
Handbook for Tropical Coastal Management. UNESCO Publishing. Paris.
Gomez E D and Yap H T. 1998. Monitoring Reef Condition. in Kenchington R A
and Hudson B E T (ed). Coral Reef Management Hand Book. UNESCO
Regional Office for Science and Technology for South East Asia. Jakarta.
Hendiarti, N. 2003. Investigations on Ocean Color Remote Sensing in Indonesian
Waters Using SeaWIFS. PhD Thesis. The Faculty of Mathematics and
Natural Sciences. Universitat Rostock.
[IUCN] International Union for Conservation of Nature and Natural Resources.
1986. Managing Protected Areas in The Tropics. IUCN. Gland
(Switzerland).
Kiswara W. 1999. Perkembangan Penelitian Ekosistem Padang Lamun di
Indonesia. Dalam Sutomo, K.A dkk. Proseding Seminar Tentang
Oseanologi dan Ilmu Lingkungan Laut, 1999. Puslitbang Oseanologi-LIPI.
Jakarta.
Kepulauan Seribu. 2007. DKI Jakarta.
http://kepulauanseribu.multiply.com/journal/item/23/Mangrove_di_Kepula
uan_Seribu. 22 Agustus 2008
93
LAPAN. 2004. Implementasi dan pembinaan pemanfaatan Penginderaan jauh
untuk budidaya laut (Studi Kasus : Kesesuaian Perairan Budidaya Ikan
Kerapu dengan Menggunakan Karamba Jaring Apung di Kabupaten
Situbondo). Proyek Pemanfaatan Teknologi Dirgantara untuk
Pembangunan Ekonomi /Masyarakat Tahun Anggaran 2004. Jakarta.
LAPI-ITB. 2001. Laporan Akhir Pengelolaan Laut Lestari : Pendataan dan
Pemetaan Potensi Sumberdaya Alam Kepulauan Seribu dan Pesisir Teluk
Jakarta. LAPI-ITB. Bandung
Lyzenga, D.R., 1978, Passive remote sensing techniques for mapping water depth
and bottom features. Applied Optics 17: 379-383.
Meaden, G.J. dan Tang, D.C. 1996. Geographical Information System;
Applications to Marine Fisheries. FAO Fisheries Technical Paper No. 356.
Rome.
Murni, HC. 2000. Perencanaan Pengelolaan Kawasan Konservasi Estuari dengan
Pendekatan Tata Ruang dan Zonasi (Studi Kasus Segaa Anakan
Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah). [Desertasi]. IPB. Bogor.
Napitupulu, D.L., S.N. Hodijah, A. C. Nugroho & K. Anggraini. 2005. Socioeconomic assessment: In the use of reef resources by local community and
other direct stakeholder. Yayasan TERAGI.Jakarata.
Nontji A. 1993. Laut Nusantara. Djambatan. Jakarta.
NSPO. 2005. FORMOSAT-2 Images. National Space Program Office,
Distribution Spot Image - Conception and processes. Taiwan.
http://www.spotimage.fr/automne_modules_files/gal/edited/r425_maritim
e_mokpo_1280.jpg. 21 Agustus 2007.
Nybaken J. W. 1992. Biologi Laut : Suatu Pendekatan ekologis. Cetakan Kedua.
Diterjemahkan oleh H.M. Eidman, Koeseobiono, D. G. Bengen, M.
Hutomo, dan S. Sukardjo. PT. Gramedia. Jakarta. Indonesia.
94
Odum, E. P. 1971. Fundamentals of ecology. W. B. Saunders Co. Toronto.
Canada.
P2O LIPI. 2005. Pusat Penelitian Oseanografi LIPI. Jakarta
http://p2olipi.go.id/. [14 September 2008]
Prahasta, E. 2001. Konsep-konseo Dasar Sistem Informasi Geografis. Penerbit
Informatika Bandung. Bandung.
Purwadhi, Sri Hardiyanti. 2001. Interpretasi Citra Digital. PT Grasindo, Jakarta.
Riley RW. 2001. Mangrove Replenishment Intitative on Florida Space Coast.
Robinson, I. S. 1985. Satellite Oceanography: An Introduction for
Oceanographers and Remote-Sensing Scientists. Ellis Horwood Limited.
Chichester, England.
Rohmimohtarto K dan Juwana S. 2001. Biologi Laut : Ilmu Pengetahuan tentang
Biologi Laut. Djambatan. Jakarta.
Salm, Rodney V, John R, Clark; and Erkki Siirila. 2000. Marine and Coastal
Protected Areas : A Guide for Planner and Managers. IUCN. Washington
D.C.
Salm RV, J.R Clark, and E. Sirilia. 2000. Marine and Coastal Protected area: A
Guide For Planners and Mangers. Third Edition. International Union for
Conservation of Nature and Natural Resources. Gland, Switzerland.
Siregar, V., 1995. Pemetaan Terumbu Karang dengan Menggunakan Kombinasi
Citra Satelit SPOT-1 Kanal XS1 dan XS2. Aplikasi Karang Congkak dan
Karang Lebar di Kepulauan Seribu Jakarta. Bulletin PSP, Vol.1 No.1.
IPB. Bogor.
Soegiarto A. 1976. Pedoman Umum Pengelolaan Wilayah Pesisir. Lembaga
Oseanologi Nasional. Jakarta.
95
Sorokin, Y. I. 1995. Coral Reef Ecology (Edisi kedua). Springer – Verlag Berlin
Heidelberg German.
Susilo, S. B. 2000. Penginderaan Jauh Kelautan Terapan. Jurusan Manajemen
Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Veron J E N. 2002. Coral of Australian and Indopacific. Australian Institute of
Marine Science. Townsville.
Weber HH, Thurman HV. 1991. Marine Biology (Edisi kedua). Harper Collins
Publishers Inc. New York.
Wilson R and Wilson JQ. 1985. Watching Fishes : Life and Behavior on Coral
Reef. Harper and Row, Publishers Inc. New York.
Wyrtki K. 1961. The Physical Oceanography of South East Asian Waters. Naga
Report vol 2. University of California Press. La Jolla. California.
[WWF] World Wide Foundation. 2003. Turtle Distributions, Migratory Routes,
and Target Locations for Turtle Campaign in Indonesia. WWF Indonesia.
Jakarta.
96
Lampiran 1 . Data GCP dan RMS report
GCPs for data set : D:\Sains\GIS\bahan citra\Formosat\Olah
Pseribu\GeoSemakdaun2006_pan.ers
Total number of GCPs : 28
Number turn on : 28
Warp order : 1
GCP corrected map projection detail : Map projection : SUTM48
DATUM : WGS 1984
Rotation : 0
Point
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
On
Yes
Yes
Yes
Yes
Yes
Yes
Yes
Yes
Yes
Yes
Yes
Yes
Yes
Yes
Yes
Yes
Yes
Yes
Yes
Yes
Yes
Yes
Yes
Yes
Yes
Yes
Yes
Yes
Locked
No
No
No
No
No
No
No
No
No
No
No
No
No
No
No
No
No
No
No
No
No
No
No
No
No
No
No
No
Cell-X
1408.283
1471.031
1380.919
929.238
915.23
913.084
902.952
879.306
827.444
915.797
657.501
633.083
617.062
645.35
649.915
2363.154
2290.23
2280.353
2288.074
2244.294
2337.533
2654.61
2654.956
2850.383
2872.923
2949.457
2869.028
2840.732
Cell-Y
3246.544
3291.831
3328.305
1722.48
1710.462
1723.783
1707.79
1737.764
1735.106
1710.402
809.517
811.851
833.286
835.853
831.108
1995.326
2014.924
1940.194
2079.449
2083.49
2090.454
2182.373
2182.344
2379.709
2345.556
2407.401
2463.65
2507.605
To-X
1.860217
1.860241
1.860208
1.860036
1.86003
1.86003
1.860026
1.860017
1.859998
1.860031
1.859933
1.859924
1.859918
1.859928
1.85993
1.860567
1.86054
1.860536
1.860539
1.860523
1.860557
1.860675
1.860675
1.860748
1.860756
1.860784
1.860755
1.860744
To-Y
-0.10058
-0.10059
-0.10061
-0.10001
-0.1
-0.10001
-0.1
-0.10001
-0.10001
-0.1
-0.09967
-0.09967
-0.09967
-0.09968
-0.09967
-0.10011
-0.10011
-0.10009
-0.10014
-0.10014
-0.10014
-0.10018
-0.10018
-0.10025
-0.10024
-0.10026
-0.10028
-0.1003
To-Z
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
97
Lampiran 1 (lanjutan) RMS error report :
Point
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
Cell-X
1408.283
1471.031
1380.919
929.238
915.23
913.084
902.952
879.306
827.444
915.797
657.501
633.083
617.062
645.35
649.915
2363.154
2290.23
2280.353
2288.074
2244.294
2337.533
2654.61
2654.956
2850.383
2872.923
2949.457
2869.028
2840.732
Cell-Y
3246.544
3291.831
3328.305
1722.48
1710.462
1723.783
1707.79
1737.764
1735.106
1710.402
809.517
811.851
833.286
835.853
831.108
1995.326
2014.924
1940.194
2079.449
2083.49
2090.454
2182.373
2182.344
2379.709
2345.556
2407.401
2463.65
2507.605
Average RMS error : 0.322
Total RMS error : 9.022
End of GCP detail
Cell-X
1407.979
1470.91
1381.35
929.337
914.791
913.267
903.002
879.153
827.213
916.208
657.444
632.869
617.109
645.429
650.193
2363.533
2290.162
2279.896
2287.76
2244.275
2337.74
2654.416
2655.365
2850.282
2872.756
2949.257
2869.456
2840.769
Cell-Y
3246.33
3291.862
3328.281
1722.669
1710.469
1723.991
1708.079
1737.354
1735.235
1710.528
809.775
811.496
833.32
835.79
830.759
1995.137
2015.255
1940.044
2079.649
2083.584
2090.647
2182.638
2182.125
2380.045
2345.554
2407.092
2463.593
2507.254
RMS
0.3712
0.1245
0.431
0.2129
0.4385
0.2767
0.293
0.4377
0.2642
0.4298
0.2644
0.414
0.0577
0.1012
0.446
0.4233
0.3385
0.4816
0.3714
0.0963
0.2839
0.3283
0.4635
0.3514
0.167
0.3685
0.4316
0.3533
98
Lampiran 2 . Kalkulasi Koefisien attenuasi perairan (ki/kj)
Cla
--k1
k10
k12
k13
k14
k15
k16
k17
k18
k19
k2
k20
k21
k22
k23
k24
k25
k26
k27
k28
k29
k3
k30
k31
k4
k5
k6
k7
k8
k9
All
Band1
----134.106
134.106
134.106
134.106
134.106
134.106
134.106
134.106
134.106
134.106
134.106
134.106
134.106
134.106
134.106
134.106
134.106
134.106
134.106
134.106
134.106
134.106
134.106
134.106
134.106
134.106
134.106
134.106
134.106
134.557
88.328
Band2
----150.419
147.366
145.407
150.327
146.829
145.621
133.333
143.133
135.571
140.143
145.932
145.621
135.949
137.217
136.806
140.387
144.14
139.45
144.853
143.824
142.429
134.814
148.059
142.986
145.932
143.478
134.931
137.345
147.151
156.071
110.036
Var
covar
a
Ki/kj
0.00678
17.0227
0.54688
0.59289
29.65605
Band3
----150.564
150.059
147.5
150.95
149.943
148.2
141.545
145.667
140.857
145.143
147.435
147.776
142.908
143.362
143.015
145.014
146.675
144.887
148.529
148.147
145.946
141.529
149.529
147.069
146.97
145.5
141.552
141.414
148.11
154.214
133.011
11.03732
Band4
----37.374
32.911
32.519
34.327
33.429
33.484
34.424
33.333
33.5
33.4
36.463
34.931
33.449
34.522
36.284
36.697
37.026
33.587
34.529
33.971
35.232
35.294
34.255
33.333
36.985
36.911
35.552
41
35.452
34.386
32.565
99
Lampiran 3. Peta hasil klasifikasi ulang subsrat dasar dan kedalaman
100
Lampiran 4. Peta klasifikasi ulang sebaran jumlah jenis ikan karang dan
kelimpahan ikan karang
101
Lampiran 5. Parameter fisika kimia perairan pada setiap stasiun pengamatan.
Stasiun
Lokasi
Bujur
Keterangan
Suhu
(celcius)
Salinitas
(ppm)
pH
DO
(mg/l)
Kecerahan
(m)
Arus
(cm/s)
Lintang
ST01L
106.56361
-5.72856
LIT
29.6
35
8.56
8.2
9
17.5
ST02R
106.569389
-5.72519
RRA 1
30.9
34
8.48
8.3
5.2
19
ST03R
106.58072
-5.72189
RRA 2
31.2
32
8.71
7.8
8.25
20
ST04R
106.59289
-5.71767
RRA 3
30.7
33
8.66
6.6
9
30
ST05R
106.60033
-5.71564
RRA 4
30.1
33
8.54
7.2
4
55.5
ST06R
106.613583
-5.72394
RRA 5
30.1
35
8.64
7
5
60
ST07L
106.60667
-5.72756
LIT
30.8
33
8.8
6.9
9
50.8
ST08R
106.600278
-5.72925
RRA 6
29.7
33.3
8.55
6.7
2.4
44.6
ST09R
106.589972
-5.73369
RRA 7
29.6
33
8.43
6.8
3.8
40.6
ST10R
106.57522
-5.73031
RRA 8
29.7
33
8.68
6.8
2.1
10.5
ST11L
106.57311
-5.71141
LIT
30
32.5
8.65
7.3
4.7
11.6
ST12L
106.56648
-5.70976
RRA 9
30.3
33
8.51
7.5
5.5
12.7
ST13R
106.57766
-5.70868
RRA 10
32.5
34
9.09
6.7
1.2
18.5
ST14R
106.58105
-5.69717
RRA 11
30.8
34
8.31
7.4
4
29.5
ST15R
106.58833
-5.69528
RRA 12
30.1
33
8.67
7.3
5.1
30.7
ST16L
106.59601
-5.69612
LIT
30.2
34
8.9
5.6
4
43.2
ST17L
106.58455
-5.71377
LIT
29.6
33
8.9
5.9
5.7
20.7
ST18R
106.58942
-5.71079
RRA 13
30.2
34
8.6
5.7
4
22.5
ST19R
106.59633
-5.70443
RRA 14
31.7
33.5
8.5
5.9
6.1
36.9
ST20L
106.61839
-5.73856
RRA 15
29.7
34
8.9
6.9
2.3
42.4
ST21R
106.62141
-5.74143
LIT
28.6
34
8.5
5
2.8
44.2
ST22R
106.61419
-5.75177
RRA 16
30
34
8.8
7.6
2.5
44.5
ST23L
106.58599
-5.74236
LIT
30.7
33
8.8
8.6
7.5
20.5
ST24R
106.59444
-5.74746
RRA 17
31.3
33
8.5
8
5.5
22.6
ST25R
106.61002
-5.73463
RRA 18
30
33
8.3
7
6
25.3
ST26L
106.5625
-5.71338
LIT
-
32
8
-
5.5
13
ST27L
106.576833
-5.69965
LIT
-
31
8
-
9.2
30
ST28L
106.593483
-5.70697
LIT
-
33
8
-
4.7
20.2
ST29L
106.58835
-5.71998
LIT
-
33
8
-
8.2
28.7
ST30L
106.569367
-5.73363
LIT
-
33
8
-
4.7
17.6
ST31L
106.6117
-5.71652
LIT
-
34
8
-
5.2
58.4
ST32L
106.595883
-5.73123
LIT
-
33
8
-
3.1
43.6
ST33L
106.575917
-5.73717
LIT
-
32
8
-
7.3
42.1
102
Lampiran 6. Komposisi substrat dasar di setian stasiun pengamatan LIT
Hard corals (HC)
ACB
ACD
ACT
CB
CE
CF
CHL
CM
CME
CMR
CS
Dead corals (DC+DCA)
DC
DCA
Abiotik (RB+RCK+S)
RB
RCK
S
Other benthics (MA+SC+SP)
MA
SC
SP
Other fauna (OT+ZO)
OT
ZO
TOTAL COVERAGE
ST01L
3m
10 m
43.13
44.23
5.60
0.00
1.70
0.00
2.87
0.00
3.13
2.27
0.00
0.00
4.10
4.20
0.00
0.00
20.20
24.77
1.57
10.60
0.00
0.00
3.97
2.40
16.93
16.17
2.57
0.00
14.37
16.17
20.23
19.60
9.23
17.00
5.37
0.00
5.63
2.60
13.73
18.60
9.17
6.43
4.13
9.63
0.43
2.53
5.97
1.40
0.27
1.40
5.70
0.00
100.00
100.00
ST07L
3m
5m
15.93
36.27
1.67
12.03
1.37
2.17
1.53
0.00
0.53
0.60
0.00
0.17
7.80
14.67
0.00
0.00
2.17
6.63
0.00
0.00
0.57
0.00
0.30
0.00
73.27
36.97
1.40
0.00
71.87
36.97
10.33
24.60
7.37
19.93
0.00
0.87
2.97
3.80
0.00
2.17
0.00
0.00
0.00
0.47
0.00
1.70
0.47
0.00
0.47
0.00
0.00
0.00
100.00
100.00
ST11L
3m
10 m
70.13
30.13
34.23
1.17
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
1.40
0.73
1.67
0.30
6.23
0.00
0.00
4.17
14.70
0.00
0.00
1.37
0.00
29.33
4.97
3.90
23.13
0.00
1.57
3.90
21.57
24.60
41.80
15.33
0.00
0.00
0.00
9.27
41.80
0.70
4.20
0.70
1.53
0.00
0.00
0.00
2.67
0.67
0.73
0.67
0.73
0.00
0.00
100.00
100.00
ST16L
3m
51.27
6.47
0.00
7.37
9.23
0.00
23.43
0.00
4.70
0.00
0.07
0.00
34.97
0.00
34.97
12.13
8.63
0.00
3.50
0.80
0.00
0.00
0.80
0.83
0.83
0.00
100.00
10 m
37.53
2.87
0.00
1.20
1.80
1.47
15.23
0.00
12.07
0.00
1.63
1.27
25.10
0.53
24.57
22.83
12.67
0.00
10.17
9.13
0.27
6.83
2.03
5.40
3.13
2.27
100.00
ST17L
3m
10 m
71.77
50.93
16.67
3.73
0.00
0.00
15.50
3.27
15.57
3.17
1.90
2.30
7.83
14.97
0.00
0.00
0.67
17.63
0.00
0.00
8.27
1.53
5.37
4.33
17.83
20.40
0.00
0.00
17.83
20.40
1.70
17.17
0.63
4.10
0.00
0.00
1.07
13.07
0.00
4.07
0.00
0.00
0.00
1.87
0.00
2.20
8.70
7.43
8.70
7.43
0.00
0.00
100.00
100.00
ST20L
3m
10 m
31.57
23.27
6.17
0.73
0.27
0.00
0.27
0.00
1.03
0.40
0.03
2.63
12.93
8.30
0.63
1.33
9.37
3.07
0.00
0.00
0.00
6.33
0.87
0.47
46.53
57.50
0.00
0.00
46.53
57.50
11.63
14.23
7.07
11.47
2.70
0.00
1.87
2.77
8.67
3.27
4.73
0.00
1.00
0.40
2.93
2.87
1.60
1.73
1.60
1.73
0.00
0.00
100.00
100.00
ST23L
3m
63.93
38.80
0.00
1.10
6.67
0.00
7.60
0.00
3.03
0.00
4.63
2.10
14.03
0.00
14.03
17.37
11.57
4.37
1.43
1.83
0.00
0.00
1.83
2.83
2.83
0.00
100.00
10 m
17.97
2.33
0.00
0.00
2.17
0.40
8.20
0.00
4.73
0.00
0.00
0.13
16.13
0.47
15.67
62.90
4.73
0.00
58.17
3.00
1.30
0.00
1.70
0.00
0.00
0.00
100.00
102
103
Lampiran 6. (lanjutan)
Hard corals (HC)
ACB
ACD
ACE
ACT
CB
CE
CF
CHL
CM
CME
CMR
CS
Dead corals (DC+DCA)
DC
DCA
Abiotik (RB+RCK+S)
RB
RCK
S
Other benthics (HA+MA+SC+SP)
HA
MA
SC
SP
Other fauna (OT+ZO)
OT
ZO
TOTAL COVERAGE
ST26L
3m
10 m
30.97
28.90
2.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
13.73
12.40
0.00
1.70
0.00
8.23
0.00
0.00
12.83
2.73
0.93
0.20
0.17
0.73
1.30
2.90
54.67
34.77
0.00
0.00
54.67
34.77
8.17
23.37
8.17
8.07
0.00
0.00
0.00
15.30
1.07
11.33
0.00
3.77
0.00
0.00
1.07
4.60
0.00
2.97
5.13
1.63
5.13
1.63
0.00
0.00
100.00 100.00
ST27L
3m
10 m
56.73
48.17
43.10
17.73
0.00
0.00
0.00
0.40
0.00
0.00
0.00
1.97
0.00
0.00
0.33
9.77
0.00
0.00
4.37
12.73
3.23
0.00
2.20
0.00
3.50
5.57
16.97
38.77
0.00
0.00
16.97
38.77
0.00
6.03
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
6.03
25.47
6.63
3.67
0.00
1.03
0.00
20.10
5.70
0.93
0.67
0.83
0.40
0.83
0.40
0.00
0.00
100.00 100.00
ST28L
3m
10 m
34.27
20.20
1.13
0.00
0.00
0.57
0.00
0.00
0.00
2.60
11.80
8.03
0.00
0.70
2.83
2.17
0.00
0.00
17.87
1.77
0.00
0.00
0.00
1.33
0.63
3.03
48.87
68.50
0.00
0.00
48.87
68.50
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
14.70
11.30
2.23
0.33
1.87
0.00
9.77
10.97
0.83
0.00
2.17
0.00
2.17
0.00
0.00
0.00
100.00 100.00
ST29L
3m
10 m
80.23
50.83
36.43
15.90
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
3.00
0.67
0.90
0.00
0.00
ST30L
3m
10 m
30.17
26.33
0.00
2.33
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
2.37
3.60
1.57
0.00
0.00
39.97
0.00
3.17
0.00
0.00
0.00
19.77
0.00
19.77
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
100.00
0.57
0.00
20.80
0.00
0.00
0.50
64.03
0.00
64.03
0.00
0.00
0.00
0.00
0.70
0.00
0.00
0.00
18.63
0.00
10.90
0.50
0.83
0.17
41.57
0.00
41.57
0.00
0.00
0.00
0.00
5.83
0.00
0.67
1.70
3.47
1.77
1.77
0.00
100.00
0.70
5.10
5.10
0.00
100.00
8.97
0.00
7.87
0.00
0.00
7.93
65.27
0.00
65.27
5.40
0.00
0.00
5.40
1.87
0.00
1.13
0.73
0.00
1.13
1.13
0.00
100.00
ST31L
3m
10 m
18.13
7.17
0.00
1.47
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
3.63
0.00
0.37
0.00
0.00
0.00
2.63
0.00
1.03
8.03
0.97
0.00
0.00
0.00
0.00
5.07
2.10
32.83
51.87
0.00
0.00
32.83
51.87
8.30
0.00
0.00
8.30
0.00
0.00
0.00
0.00
40.73
39.93
0.00
0.00
32.97
36.83
2.03
2.57
5.73
0.53
0.00
1.03
0.00
1.03
0.00
0.00
100.00 100.00
ST32L
3m
10 m
36.93
48.33
16.23
19.03
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
1.63
8.33
1.97
0.00
0.00
ST33L
3m
10 m
35.23
41.40
0.00
7.03
0.00
3.23
0.00
0.00
0.00
0.00
0.33
3.53
0.00
0.83
0.50
0.00
1.97
4.60
2.30
1.37
32.80
0.00
32.80
22.50
4.40
0.00
16.50
0.90
0.00
2.00
58.83
0.00
58.83
0.00
0.00
0.00
0.00
5.93
0.00
0.00
5.93
0.00
0.00
0.00
0.00
100.00
22.50
0.00
0.00
1.30
1.30
0.00
0.00
0.00
6.47
6.47
0.00
100.00
14.57
0.00
7.47
3.33
1.03
0.93
31.60
0.00
31.60
0.00
0.00
0.00
0.00
19.10
0.00
0.50
11.43
7.17
0.97
0.97
0.00
100.00
16.43
0.00
16.87
0.00
0.53
4.03
48.20
0.00
48.20
0.00
0.00
0.00
0.00
8.77
0.00
5.67
1.10
2.00
1.63
1.63
0.00
100.00
103
104
Lampiran 7. Komposisi substrat dasar di setian stasiun pengamatan RRA
ACB
ACD
ACT
CB
CF
CHL
CM
CME
CMR
CS
DCA
MA
OT
RB
RCK
S
SC
SP
ZO
TOTAL
RRA
1
15
0
30
15
5
0
15
0
5
5
0
5
0
0
0
5
0
0
0
100
RRA
2
20
0
35
5
10
0
15
0
0
0
5
0
0
5
0
0
5
0
0
100
RRA
3
25
0
5
35
5
0
15
3
0
0
10
0
0
0
0
0
2
0
0
100
RRA
4
0
0
5
15
4
0
15
0
0
0
5
5
0
20
0
30
1
0
0
100
RRA
5
3
0
2
0
5
0
10
0
0
0
20
5
0
45
0
5
3
2
0
100
RRA
6
5
0
15
5
30
0
5
0
3
0
5
0
0
10
0
20
2
0
0
100
RRA
7
0
0
5
0
0
2
5
0
2
0
5
10
0
70
0
1
0
0
0
100
RRA
8
0
0
0
3
0
0
15
0
0
0
5
0
2
0
0
75
0
0
0
100
RRA
9
3
0
0
5
2
1
5
0
2
0
0
0
2
5
0
75
0
0
0
100
RRA
10
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
25
0
0
0
75
0
0
0
100
RRA
11
35
0
5
0
15
5
10
0
0
5
5
0
5
15
0
0
0
0
100
RRA
12
0
0
0
0
0
0
20
0
0
5
15
35
0
15
0
10
0
0
0
100
RRA
13
5
0
0
10
0
5
35
0
0
0
0
0
5
20
0
15
5
0
0
100
RRA
14
0
0
10
5
5
0
35
0
0
0
10
0
0
15
0
15
5
0
0
100
RRA
15
1
0
2
0
1
1
0
0
0
0
20
50
0
15
0
10
0
0
0
100
RRA
16
5
0
5
5
0
0
0
0
5
0
25
15
0
40
0
0
0
0
0
100
RRA
17
0
0
10
5
5
0
45
5
0
0
0
0
5
5
20
0
0
0
0
100
RRA
18
0
0
5
5
15
0
5
0
0
0
0
0
0
40
0
30
0
0
0
100
104
104
105
Lampiran 8. . Famili ikan dan spesies yang ditemukan untuk menilai komposisi
dan kelimpahan ikan karang.
No
Nama Famili
Nama Spesies
No
Nama Famili
Nama Spesies
1
APOGONIDAE
Apogon compressus
37
LABRIDAE
Thalassoma hardwickei
2
APOGONIDAE
Apogon melas
38
LABRIDAE
Thalassoma lunare
3
APOGONIDAE
Apogon nigrofasciatus
39
LETHRINIDAE
Lethrinus olivaceus
4
BLENNIIDAE
Blenniella chrysospilos
40
LUTJANIDAE
Lutjanus biguttatus
5
BLENNIIDAE
Cirripectes filamentosus
41
LUTJANIDAE
Lutjanus decussatus
6
CAESIONIDAE
Caesio cuning
42
LUTJANIDAE
Lutjanus fulviflamma
7
CENTRISCIDAE
Aeoliscus strigatus
43
LUTJANIDAE
Lutjanus russeli
8
CHAETODONTIDAE
Chaetodon octofasciatus
44
LUTJANIDAE
Lutjanus vulpinus
9
CHAETODONTIDAE
Chelmon rostratus
45
MULLIDAE
Parupeneus bifasciatus
10
DASYATIDAE
Taeniura lymma
46
NEMIPTERIDAE
Nemipterus isacanthus
11
EPHIPPIDAE
Platax batavianus
47
NEMIPTERIDAE
Pentapodus bifasciatus
12
EPHIPPIDAE
Platax teira
48
NEMIPTERIDAE
Pentapodus caninus
13
GOBIIDAE
Istigobius decoratus
49
NEMIPTERIDAE
Pentapodus setosus
14
HAEMULIDAE
Plectorhincus polytaenia
50
NEMIPTERIDAE
Pentapodus trivittatus
15
HEMIRHAMPHIDAE
Hemirhampus far
51
NEMIPTERIDAE
Scolopsis bilineatus
16
LABRIDAE
Anampses
caeruleopunctatus
52
NEMIPTERIDAE
Scolopsis lineatus
17
LABRIDAE
Anampses melanurus
53
NEMIPTERIDAE
Scolopsis margaritifer
18
LABRIDAE
Bodianus axillaris
54
NEMIPTERIDAE
Scolopsis taeniopterus
19
LABRIDAE
Bodianus mesothorax
55
NEMIPTERIDAE
Scolopsis trilineatus
20
LABRIDAE
Cheilinus fasciatus
56
PEMPHERIDAE
Pempheris oualensis
21
LABRIDAE
Cheilinus trifasciatus
57
PINGUIPEDIDAE
Parapercis diplospilus
22
LABRIDAE
Choerodon fasciatus
58
PLESIOPIDAE
Calloplesiops altivelis
23
LABRIDAE
Gomphosus varius
59
POMACANTHIDAE
Chaetodontoplus
mesoleucus
24
LABRIDAE
Halichoeres biocellatus
60
POMACENTRIDAE
Abudefduf bengalensis
25
LABRIDAE
Halichoeres chloropterus
61
POMACENTRIDAE
Abudefduf
septemfasciatus
26
LABRIDAE
Halichoeres dussumieri
62
POMACENTRIDAE
Abudefduf vaigiensis
27
LABRIDAE
Halichoeres hortulanus
63
POMACENTRIDAE
28
LABRIDAE
Halichoeres leucurus
64
POMACENTRIDAE
29
LABRIDAE
Halichoeres marginatus
65
POMACENTRIDAE
Chromis alpha
30
LABRIDAE
Halichoeres melanochir
66
POMACENTRIDAE
Chromis atripectoralis
31
LABRIDAE
Halichoeres melanurus
67
POMACENTRIDAE
Chromis elerae
32
LABRIDAE
Halichoeres ornatissimus
68
POMACENTRIDAE
Chromis
scotochilopterus
33
LABRIDAE
Halichoeres trimaculatus
69
POMACENTRIDAE
Chromis viridis
34
LABRIDAE
Hemygymnus fasciatus
70
POMACENTRIDAE
Chromis xanthura
35
LABRIDAE
Labroides dimidiatus
71
POMACENTRIDAE
Chrysiptera rollandi
LABRIDAE
Macropharyongodon
negrosensis
72
POMACENTRIDAE
Chrysiptera springeri
36
Amblyglyphidodon
batunai
Amblyglyphidodon
curacao
106
Lampiran 8. (lanjutan )
No
Nama Famili
Nama Spesies
73
POMACENTRIDAE
Dascyllus trimaculatus
74
POMACENTRIDAE
Dischistodus
chrysopoecilus
75
POMACENTRIDAE
Dischistodus melanotus
76
POMACENTRIDAE
Dischistodus perspicillatus
77
POMACENTRIDAE
78
POMACENTRIDAE
79
POMACENTRIDAE
Neoglyphidodon crossi
80
POMACENTRIDAE
Neoglyphidodon melas
81
POMACENTRIDAE
82
POMACENTRIDAE
83
POMACENTRIDAE
84
POMACENTRIDAE
Pomacentrus alexanderae
85
POMACENTRIDAE
Pomacentrus amboinensis
86
POMACENTRIDAE
Pomacentrus coelestis
87
POMACENTRIDAE
Pomacentrus cyanomos
88
POMACENTRIDAE
Pomacentrus melanochir
89
POMACENTRIDAE
Pomacentrus moluccensis
90
POMACENTRIDAE
Pomacentrus
nagasakiensis
91
POMACENTRIDAE
Stegastes nigricans
92
SCARIDAE
Chlorurus sordidus
93
SCARIDAE
Scarus flavipectoralis
94
SCARIDAE
Scarus globiceps
95
SCARIDAE
Scarus niger
96
SCARIDAE
Scarus oviceps
97
SCARIDAE
Scarus psittacus
98
SCARIDAE
Scarus rivulatus
99
SCARIDAE
Scarus rubroviolaceus
100
SCORPAENIDAE
Pterois volitans
101
SERRANIDAE
Cephalopholis boenack
102
SERRANIDAE
Cephalopholis microprion
103
SERRANIDAE
Cromileptes altivelis
104
SERRANIDAE
Epinephelus sexfasciatus
105
SIGANIDAE
Siganus puellus
106
SIGANIDAE
Siganus vulpinus
107
SYNODONTIDAE
Synodus sp.
108
TETRAODONTIDAE
Arothron mappa
Dischistodus
prosopotaenia
Hemiglyphidodon
plagiometopon
Neopomacentrus
violascens
Plectroglyphidodon
lacrymatus
Plectroglyphidodon
nigroris
No
Nama Famili
Nama Spesies
107
Lampiran 9. Gambar alat penelitian dan lokasi penelitian
Kapal penelitian
DO meter
Secci disk
Floating gauge
pH meter dan termometer
GPS sounder
108
Lampiran 9 . (lanjutan)
Refraktometer
Scuba set dan roll meter
Lokasi ST17L
Lokasi ST17L
Lokasi ST27L
Lokasi ST27L
109
Lampiran 9 . (lanjutan)
Lokasi ST29L
Lokasi ST29L
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kendal pada tanggal 26 November 1986
dari pasangan Bapak Drs. Bambang Iriyanto dan Ibu Nina
Nurkania Susilawati, SH. sebagai anak kedua dari empat
bersaudara. Lulus dari SMU Negeri 1 Kendal pada tahun
2004, penulis melanjutkan studi di Institut Pertanian Bogor
pada Program Studi Ilmu Kelautan, Departemen Ilmudan Teknologi Kelautan,
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan melalui jalur USMI.
Selama menjalani kuliah di IPB, penulis aktif dalam Himpunan Mahasiswa
Ilmu dan Teknologi Kelautan (HIMITEKA) tahun 2005/2006. Penulis juga aktif
dalam organisasi Fisheries Diving Club (FDC-IPB) pada tahun 2004-2008.
Selain itu, penulis juga aktif menjadi Asisten Praktikum pada mata kuliah Widya
Selam 2006/2007, Oseanografi Fisika 2007/2008, Oseanografi Umum 2007/2008,
Pemetaan Sumber Hayati Laut 206-2008, Sistem Informasi Geografis 2007/2008,
dan Penginderaan Jarak Jauh Kelautan 2006/2007.
Penulis juga turut serta dalam kegiatan monitoring potensi ekosistem
terumbu karang di Taman Nasional Ujung Kulon tahun 2006 (WWF) dan
kegiatan penelitian bersama FDC-IPB dalam Ekspedisi Zooxanthellae VIII di
Kecamatan Sapeken, Kabupaten Sumenep, Jawa Timur pada tahun 2006 dan
Ekspedisi Zooxanthellae IX di Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara pada
tahun 2007. Untuk menyelesaikan studi dan memperoleh gelar Sarjana Perikanan
di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, penulis menyusun skripsi dengan judul
“Analisi Spasial Kualitas Ekosistem Terumbu Karang Sebagai Dasar Penentuan
Kawasan Konservasi Laut dengan Metode Cell Based Modelling di Karang Lebar
dan Karang Congkak Kepulauan Seribu, DKI Jakarta”.
Download