revitalisasi sektor agroindustri untuk meningkatkan ketahanan

advertisement
REVITALISASI SEKTOR AGROINDUSTRI UNTUK MENINGKATKAN
KETAHANAN PANGAN DAN PENGENTASAN PENGANGGURAN DAN
KEMISKINAN DI PROPINSI JAWA TIMUR
Musdholifah & Ady Soejoto
Fakultas Ekonomi, Unesa, Kampus Ketintang Surabaya
ABSTRAK
The study is aimed to scrutinize the role of agro-industrial sector in boosting the people’
income, employment, to analyze backward and forward effect relation of agro-industrial sector
and the output of farming sector, and to analyze the variables influencing the production
increase of agro-industrial sector, and determine the prioritized farming commodities to create
higher employment in East Java Province. The data were analyzed with input-output and
econometric analyses. Econometric analysis reveals that investment, export, and import have a
positive association with the increased production of agro-industrial sector. In addition, the
input-output analysis shows that mills are a seeded sector if viewed from the distribution
indicator, and food industries are a seeded sector if seen from the number of related sectors and
sensitivity degree.
Key word: Agro-industrial, poverty
Kemiskinan merupakan penyakit sosial
ekonomi negeri ini sejak sebelum kemerdekaan
sampai pasca kemerdekaan. Pada masa Orde
Baru saja walaupun pertumbuhan ekonomi
cukup tinggi, yaitu rata-rata sebesar 7,5 persen
selama tahun 1970-2009, namun penduduk
miskin di Indonesia tetap tinggi. Berdasarkan
data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah
penduduk miskin di Indonesia pada Bulan
Maret 2009 sebesar 32,53 juta atau 14,15
persen. Persentase penduduk miskin antara
daerah perkotaan dan perdesaan tidak banyak
berubah. Pada Bulan Maret 2009, terdapat
63,38 persen penduduk miskin berada di daerah
perdesaan. Hal ini bertolak belakang dengan
pandangan banyak ekonom yang menyatakan
bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi dapat
meningkatkan pendapatan masyarakat dan pada
akhirnya mengurangi penduduk miskin.
Besarnya
jumlah
penduduk
yang
menggantungkan kehidupan ekonomi dari
sektor pertanian, menjadi bagian penting untuk
dikembangkan sektor pertanian unggulan yang
mampu untuk penguatan ketahanan pangan dan
penanggulangan kemiskinan. Pengembangan
sektor agribisnis menjadi penting sebagai
jembatan untuk percepatan pergeseran struktur
ekonomi dan penguatan pertumbuhan serta
pengembangan ekonomi daerah.
Terkait dengan studi ini yang akan
mengungkapkan peran sektor agroindustri
dalam perekonomian regional Propinsi Jawa
Timur, maka pendekatan yang lebih relevan
digunakan adalah pendekatan sektoral yang
bersifat makro, atau disebut pendekatan makro
sektoral. Disini tujuan perencanaan diarahkan
untuk
mengembangkan
sektor-sektor
agroindustri yang merupakan leader dalam
perekonomian daerah. Pola perencanaan yang
lebih mengedepankan pembangunan sektoral
seperti ini umumnya berpijak pada konsep
pertumbuhan tidak berimbang.
Pada hakekatnya konsep pertumbuhan
tidak seimbang adalah suatu strategi yang
mengembangkan sektor yang memiliki
keterkaitan yang panjang dan dalam. Menurut
teori keterkaitan ini adalah meliputi keterkaitan
ke belakang (backward linkage) dan ke depan
(forward linkage). Konsep ketidakseimbangan
dalam dan antar sektor industri adalah suatu
sumber penting dari keterkaitan ke belakang
dan ke depan dalam mentransmisikan kemajuan
teknologi di dalam sektor pertanian terhadap
keseluruhan pembangunan ekonomi.
12
Keterkaitan
ke
depan
mendorong
keputusan investasi pada sektor atau industri
yang memanfaatkan output tertentu untuk
proses produksi selanjutnya. Hal ini dapat
menurunkan biaya produksi di industri hilir
melalui external economies. Keterkaitan ke
belakang mendorong keputusan investasi pada
sektor yang menyediakan input. Peningkatan
keterkaitan antar sektor atau antarindustri
merangsang peningkatan investasi yang
selanjutnya
mendorong
peningkatan
permintaan input yang merupakan output dari
suatu sektor atau industri tertentu yang
akhirnya mendorong peningkatan pertumbuhan
ekonomi.
Melalui kedua keterkaitan di atas,
perencana
pembangunan
daerah
dapat
menetapkan sektor-sektor mana yang menjadi
leading sector dalam perekonomian wilayah.
Dalam hal ini sangat penting sekali bagi suatu
daerah untuk membangun sektor-sektor
produksi yang menjadi leading karena dapat
menghasilkan efek ganda, yakni akan
mendorong dan menggerakkan aktifitas
produksi dari sektor-sektor ekonomi yang lain
secara lebih efektif, serta memiliki kapabilitas
yang baik untuk memenuhi kebutuhan input
domestik dan konsumsi akhir dalam
perekonomian wilayah, yang pada akhirnya
akan lebih efektif mendorong pertumbuhan
ekonomi wilayah dari dua sisi, produksi dan
konsumsi secara bersamaan.
Selain efek keterkaitan antarsektor,
pengembangan suatu sektor dapat juga
membawa dua efek ikutan lainnya, yaitu: (1)
efek keterkaitan ketenagakerjaan (employment
linkage effect) yang mengukur penggunaan
total tenaga kerja dalam satu sektor sebagai
akibat perubahan satu unit permintaan akhir,
dan (2) efek keterkaitan penciptaan pendapatan
(income generation linkage effect) yang
mengukur efek perubahan salah satu variabel
eksogen dalam permintaan akhir terhadap
peningkatan pendapatan.
Peningkatan dalam satu unit permintaan
akhir dapat meningkatkan produksi dalam
setiap sektor melalui efek keterkaitan antar
industri dan tingkat penyerapan tenaga kerja
melalui efek keterkaitan ketenagakerjaan.
Peningkatan output dan ketenagakerjaan timbul
dari keterkaitan ini, juga dicerminkan oleh
penciptaan pendapatan tenaga kerja melalui
keterkaitan penciptaan pendapatan mendorong
peningkatan
permintaan
barang-barang
konsumsi, menginduksi lebih banyak output
dan kesempatan kerja.
Salah satu pembangunan industri yang
paling potensial menciptakan efek keterkaitan
semua di atas adalah sektor agroindustri. Untuk
itu pokok-pokok rencana aksi industri berbasis
agro dalam jangka menengah ditujukan untuk
memperkuat rantai nilai (value chain) melalui
penguatan struktur, diversifikasi, peningkatan
nilai tambah, peningkatan mutu, serta perluasan
penguasaan pasar. Sedangkan untuk jangka
panjang difokuskan pada upaya pembangunan
industri agro yang mandiri dan berdaya saing
tinggi. Oleh karena itu segala upaya yang
ditujukan untuk meningkatkan tenaga kerja,
investasi, ekspor dan impor menjadi indikatorindikator fundamental yang selalu menjadi
barometer
mengenai
keberhasilan
pembangunan industri dalam menunjang
pertumbuhan ekonomi, termasuk dalam
pembangunan ekonomi di Propinsi Jawa Timur.
Pengembangan dan penguatan sumber daya
informasi dalam mendorong pembangunan
sektor industri dan perdagangan mengupayakan
terwujudnya arus informasi industri dan
perdagangan yang lancar dan akurat. Sistem
informasi yang efektif akan meningkatkan nilai
ekonomis dan nilai tambah industri serta
perdagangan,
menjamin
peningkatan
produktivitas dalam jangka panjang.
Sangatlah penting mengetahui sektor
industri potensial mana saja yang layak
dikembangkan oleh pemerintah kabupaten/kota
maupun Propinsi. Sektor-sektor industri mana
saja yang menghasilkan nilai tambah yang
tinggi, memiliki nilai output besar, serta
mampu memenuhi kebutuhan pasar (market
share yang tinggi). Jenis industri seperti inilah
yang seharusnya dikembangkan dan diberi
perhatian khusus dalam konteks menemukan
kembali sumber-sumber kegiatan ekonomi
(industri)
yang
diharapkan
mampu
menggerakkan dan membangkitkan kembali
perekonomian Jawa Timur.
Berangkat dari seluruh konsep pemikiran
yang telah diungkapkan di atas maka sangatlah
relevan untuk mengangkat suatu isu mengenai
peranan
sektor
agroindustri
terhadap
13
perekonomian wilayah Jawa Timur. Melalui
konsep pembangunan industri yang berbasis
pertanian tersebut, sangat dimungkinkan
perkembangan ekonomi di Propinsi Jawa
Timur akan tumbuh lebih pesat di masa
mendatang.
Konsep Ketahanan Pangan
Ketahanan pangan diartikan sebagai akses
setiap rumah tangga atau individu untuk
memperoleh pangan pada setiap waktu untuk
keperluan hidup sehat (FAO/WHO,1992)
kemudian dikembangkan dengan memasukan
komponen persyaratan penerimaan pangan
sesuai dengan nilai atau budaya setempat.
Sementara itu, berdasar Undang-undang No.7
tahun 1996 tentang pangan, mengartikan
ketahanan pangan rumah tangga adalah kondisi
terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang
tercermin dari ketersediaan pangan yang cukup,
baik jumlah maupun mutunya, aman, merata
dan terjangkau. Pemaknaan lain atas ketahanan
pangan yaitu kemampuan untuk memenuhi
pangan anggota rumah tangga dalam jumlah,
mutu dan ragam sesuai budaya setempat dari
waktu ke waktu agar hidup sehat, dan atau
kemampuan rumah tangga untuk memenuhi
kecukupan pangan anggotanya dari produksi
sendiri, dan atau membeli dari waktu ke waktu
agar dapat hidup dan kemampuan rumah tangga
untuk
memenuhi
kecukupan
pangan
anggotanya dari waktu ke waktu agar hidup
sehat.
Agribisnis, Agroindustri dan Strategi
Pembangunan Industri Berbasis Pertanian
Secara etimologi agribisnis itu merupakan
gabungan dari dua kata yang mengandung
makna bisnis yang berbasis pertanian. Banyak
pendapat tentang batasan dan ruang lingkup
agribisnis, tergantung pada unit dan tujuan
analisis. Secara tradisional, oleh Biere (1988)
dalam Daryanto (1992) agribisnis diartikan
sebagai aktifitas-aktifitas diluar pintu gerbang
usahatani (beyond the farm gate, off-farm)
yang
meliputi
kegiatan
industri
dan
perdagangan sarana produksi usaha tani,
kegiatan industri yang mengolah produk
pertanian primer menjadi produk olahan beserta
perdagangannya,
dan
kegiatan
yang
menyediakan jasa yang dibutuhkan seperti
misalnya perbankan, angkutan, asuransi dan
penyimpanan.
Saragih (1999: 15) memandang batasan
agribisnis itu sebagai suatu sistem yang utuh
dan saling terkait diantara seluruh kegiatan
ekonomi yakni susbsistem agribisnis hulu,
subsistem usaha tani, subsistem agribisnis hilir,
dan subsistem jasa penunjang agribisnis.
Masing-masing subsistem dapat diurai sebagai
berikut: 1. Subsistem agribisnis hulu (upstream agribusiness), yang meliputi kegiatan di
luar pertanian (off-farm), seperti bioteknologi,
industri agrokimia (pupuk, pestisida), alat-alat
pertanian dan pakan ternak. 2. Subsistem usaha
tani (on-farm agribusiness), seperti pembibitan/
pembenihan, budidaya perikanan; peternakan,
perkebunan, pertanian . 3. Subsistem agribisnis
hilir (down-stream agribusiness), yang meliputi
kegiatan pengolahan hasil produksi sektor
agribisnis berupa industri terkait makanan dan
industri bukan makanan.
1. Subsistem jasa-jasa penunjang, yang
meliputi kegiatan-kegiatan yang menunjang
kegiatan sektor agribisnis, seperti industri
pengolahan/
pengawetan,
agrowisata,
perdagangan/jasa, transportasi, dan jasa
pembiayaan/keuangan.
Lebih jauh Santoso menyatakan bahwa ciri
industri agro yang bagus adalah tumbuh dan
berkembangnya spesialisasi usaha industri
pengolahan pada setiap mata rantai agribisnis
dan diversifikasi pengolahan. Pada akhirnya
diharapkan menimbulkan peningkatan nilai
tambah industri yang kaya dengan keterkaitan
serta perluasan bidang usaha dan lapangan
kerja (Santoso, 1989: 5).
Strategi Industrialisasi Berbasis Pertanian
(Agricultural Demand-Led Industrialization
Strategy, ADLI) berperan penting dalam
meningkatkan produktivitas pertanian melalui
inovasi teknologi dan peningkatan investasi
dalam meningkatkan pendapatan masyarakat di
perdesaan. Dalam hal ini, stimulasi pertanian
pangan menghasilkan insentif pangan yang
kuat (meningkatkan permintaan konsumen
rumahtangga
perdesaan)
dan
insentif
penawaran (meningkatkan suplai pangan tanpa
meningkatkan harga). Insentif-insentif ini
mampu mengendalikan perluasan industri.
14
Strategi ini berawal dari kebijakan-kebijakan
pertumbuhan ekonomi terdahulu, yaitu strategi
Industri Subtitusi Impor (ISI) dan Industri
Promosi Ekspor (IPE) (Mellor, 1986; Singer,
1979; Adelman, 1984; Ranis, 1984).
Dalam strategi ADLI, peningkatan
produktivitas lahan pertanian berdampak pada
sejumlah pasar. Pertama, menstimulus
permintaan input (seperti pupuk, bibit unggul
dan pestisida) dan barang-barang kapital baru
(seperti peralatan irigasi baru dan infrastuktur)
serta meningkatkan permintaan tenaga kerja.
(Kalecki, 1960; Adelman, 1984).
Kedua, apabila trend pengeluaran rata-rata
dari rumah tangga pertanian kecil dan
menengah lebih besar dari pemilik lahan, maka
tambahan pendapatan kelompok rumahtangga
tersebut akan lebih banyak dibelanjakan pada
komoditas-komoditas non pertanian dan jasa.
Sehingga akan memberikan efek terhadap
pertumbuhan dan kesempatan kerja (Adelman,
1984; Mellor, 1986).
Ketiga, peningkatan penawaran pertanian
memastikan upah nominal tidak meningkat
yang berimbas pada kesempatan kerja dalam
menghasilkan barang-barang nontradable dan
jasa yang padat tenaga kerja. Hal ini
mengindikasikan bahwa perluasan industri
domestik tidak menyebabkan terjadinya inflasi
(Kelecki, 1960; Medani, 1985).
Pengertian Input-Output
Seiring dengan kemajuan perekonomian,
dan semakin kompleksnya integrasi ekonomi
yang terjadi, maka perencanaan terhadap arah
pembangunan akan menjadi semakin luas.
Untuk itu pemerintah daerah perlu menetapkan
perencanaan pembangunan secara terpadu dan
konsisten antara satu sektor dengan sektor
lainnya. Salah satu kerangka landasan analisis
yang dapat dimanfaatkan untuk keperluan
perencanaan tersebut adalah I-O Regional
(Input-Output Regional). Dalam kaitan ini
melalui kajian I-O Regional pemerintah daerah
dapat menetapkan sektor-sektor mana yang bisa
dijadikan sebagai sektor pemimpin (leading
sector),
sehingga
arah
pembangunan
perekonomian daerah dapat diselaraskan
dengan potensi wilayah yang ada.
Dalam perencanaan pembangunan daerah
terdapat sektor kunci (key sector) atau sektor
pemimpin (leading sector) yaitu sektor-sektor
yang paling efektif berperan sebagai motor
penggerak dalam pembangunan
daerah
(regional
development
engine)
secara
berkesinambungan (sustainability). Layak
tidaknya suatu sektor menjadi andalan
perekonomian daerah tidak hanya ditujukan
pada besarnya kontribusi langsung terhadap
perekonomian daerah tetapi juga harus
memperhitungkan
kontribusi
tidak
langsungnya melalui keterkaitan antara sektor
(intersectoral linkage).
Untuk menentukan sektor yang bisa
dijadikan andalan dalam perekonomian daerah
digunakan I-O Regional sebagai salah satu
indikatornya. Melalui analisis I-O Regional
dapat dilihat bagaimana integrasi sektoral
dalam perekonomian daerah yang direfleksikan
melalui keterkaitan antar sektor yang berupa
keterkaitan ke belakang (backward linkage)
maupun keterkaitan ke depan (forward
linkage).
PENELITIAN TERDAHULU
Hasil penelitian Saliem et al (2001)
menunjukan bahwa ketahanan pangan di
tingkat wilayah tidak menjamin tercapainya
ketahanan pangan di tingkat rumah tangga. Hal
ini ditunjukan oleh fakta bahwa walaupun
Lampung, D.I Yogyakarta, Kalimantan Barat,
dan Sulawesi Utara tergolong provinsi dengan
status tahan pangan terjamin, namun di masingmasing provinsi tersebut masih ditemukan
proporsi rumah tangga rawan pangan berkisar
22-30 persen. Selain itu ditemukan pula bahwa
tidak terpenuhinya ketahanan pangan di tingkat
rumah tangga disebabkan oleh aspek distribusi
dan daya beli. Faktor distribusi antara lain
dipengaruhi oleh tersedianya sarana dan
prasarana jalan, transportasi, biaya angkut.
Sementara itu faktor daya beli sangat
dipengaruhi oleh tingkat pendapatan dan hargaharga komoditas pangan. Hasil penelitian juga
menggungkapkan bahwa diversifikasi usaha
memiliki prospek yang cukup strategis sebagai
upaya penanggulangan kemiskinan.
Lembaga pangan dan pertanian dunia
(Food and Agriculture Organization) secara
15
berkala melakukan studi untuk mengkaji
perkembangan wilayah rawan pangan di
berbagai negara (FAO, 1999). Adapun dalam
mengidentifikasi dan menghitung rawan
pangan menggunakan metode estimasi jumlah
penduduk di suatu negara (dan dunia) yang
tidak dapat memenuhi kebutuhan pangan sesuai
kebutuhan normatif kesehatan dengan dua
pendekatan yaitu; (1) menghitung jumlah
penduduk yang tidak dapat memenuhi
kebutuhan pangan dari data ketersediaan
pangan dan tingkat konsumsi penduduk di
masing-masing negara yang dikategorikan
sebagai undernourishment, dan (2) menghitung
jumlah
penduduk
yang
tergolong
undernutrition yang didasarkan pada data
umur, berat badan dan tinggi seseorang
terhadap kebutuhan konsumsi pangan.
Badan Litbang Pertanian
untuk
mengidentifikasi wilayah miskin (rawan
pangan) menggunakan penlaahan berbagai
karakteristik wilayah yang diduga menjadi
menyebab suatu wilayah tergolong miskin,
antara lain aspek sumberdaya alam, teknologi,
sumber daya manusia, dan sarana/prasarana dan
kelembagaan yang ada disuatu wilayah (Pusat
Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, 1991/92,
1992/93, dan 1993/94). Temuan penting antara
lain: karakteristik suatu wilayah tergolong
miskin adalah (1) aspek sumberdaya alam
berupa lahan kurang subur, pendayagunaan
lahan tidak optimal, dan adanya degradasi
lahan, (2) aspek teknologi berupa adopsi
teknologi rendah, ketersediaan sarana produksi
terbatas, adanya serangan hama/penyakit, (3)
aspek sumberdaya manusia berupa tingkat
pendidikan rendah, produktifitas tenaga kerja
rendah, tingkat kesehatan masyarakat rendah,
lapangan pekerjaan terbatas, dan adanya tradisi
atau adat istiadat yang menghambat dan (4)
dari aspek sarana prasarana dan kelembagaan
adalah daerah terisolir, modal terbatas,
kelembagaan catur sarana produksi pertanian
tidak
berfungsi
maksimal,
pemilikan/penguasaan lahan sempit, sistem
bagi hasil tidak adil dan tingkat upah yang
rendah.
Departemen kesehatan bersama dengan
Departemen Pertanian dan BKKBN melakukan
identifikasi wilayah rawan pangan dalam
kegiatan Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gisi
(SKPG) (Anonimus, 2000). Indikator yang
digunakan dalam menentukan wilayah rawan
pangan dari kegiatan SKPG ini adalah : (1) dari
sektor pertanian adalah proporsi areal puso dari
tanaman padi, (2) dari sektor kesehatan adalah
proporsi atau prevalensi KEP (Kurang Energi
Protein) dari anak balita dan (3) dari konteks
BKKBN adalah proporsi keluarga miskin
(prasejahtera dan sejahtera I)
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan
1. Data
Sekunder,
yaitu
data
yang
dikumpulkan dari berbagai sumber data
yang telah dipublikasikan oleh lembaga-lembaga resmi seperti Biro Pusat Statistik
(BPS) dalam berbagai penerbitan, rangkaian
data (time series), maupun data I-O tahun
2006, dan sumber-sumber lainnya, seperti
buku-buku literatur, internet, dan media
massa.
2. Data Primer, mencakup data untuk
mengukur perilaku hidup masyarakat, akses
pangan, keadaan lingkungan, kebutuhan
pangan dan sebagainya.
Penelitian ini menggunakan teknik analisis
input-output dan asosiasi sebagai berikut:
1. Analisis Input-Output
Setelah disiapkan matrik I-O Jawa Timur
pada dua kurun waktu berbeda, tahap
berikutnya adalah melakukan analisis I-O
yang terdiri atas tiga bagian meliputi: (1)
analisis keterkaitan, (2) analisis sektorsektor kunci, dan (3) analisis efek multiplier.
Analisis struktur pada intinya untuk
mengamati seberapa jauh keterkaitan
antarsektor, yang kemudian berdasarkan
hasil analisis tersbut bisa ditunjukkan
sektor-sektor infrastruktur mana yang dapat
dijadikan
sebagai
leader
dalam
perekonomian
Jawa
Timur
dimasa
mendatang. Ukuran-ukuran yang dipakai
dalam analisis struktur ini adalah:
a. Analisis Keterkaitan dengan Metode
Rasmussen
Untuk menghitung keterkaitan dengan
meggunakan metode Rasmussen dapat
diformulasikan rumus sebagai berikut:
.............................. (3.1)
16
.............................. (3.2)
dimana BLRj dan FLRi masing-masing
menunjukkan
ukuran
keterkaitan
kebelakang dan keterkaitan kedepan
untuk metode Rasmussen, sedangkan mij
adalah elemen pada matriks invers
Leontif, M = (I – A)-1. Oleh karena
model Rasmussen menggunakan matriks
invers Leontif, maka ukuran keterkaitan
antarsektor yang diperoleh bisa dikatakan
merupakan ukuran keterkaitan total, yang
menghitung dampak langsung dan tidak
langsung dari suatu sektor dalam
perekonomian.
b. Analisis
Sektor-Sektor
Kunci
Menggunakan Rasmussen Dual Index
.................. (3.3)
.................. (3.4)
dimana aj kemampuan
penyebaran
(power of dispersion), dan bi kepekaan
penyebaran (sensitivity of dispersion).
Dengan
dua indeks ini kita bisa
melakukan
perbandingan
besarnya
derajad keterkaitan antarsektor, yang
nantinya bisa ditentukan sektor-sektor
mana saja yang dapat dijadikan sebagai
sektor unggulan, sektor kunci atau sektor
pemimpin
dalam
perencanaan
pembangunan ekonomi (Arief, 1993:6574).
c. Analisis Efek Multiplier
Analisis I-O yang terakhir adalah
analisis
multplier.
Analisis
ini
dimaksudkan untuk melihat seberapa
jauh pengaruh dari perubahan variabelvariabel eksogen pada suatu sektor
terhadap pendapatan masyarakat dan
output perekonomian secara keseluruhan.
Dalam analisis ini digunakan beberapa
ukuran multiplier, yang dapat diringkas
sebagai berikut.
Tabel 1
Perhitungan Multiplier Menurut Tipenya
Sumber : Muchdie (1998)
dimana:
pj
= koefisien pendapatan rumah tangga
(upah/gaji)
aij
= koefisien input langsung
bij
= koefisien input matrik kebalikan
terbuka
b*ij = koefisien input matrik kebalikan
tertutup
Keterangan tabel:
a Dampak awal adalah multiplier dari sektor
industri makanan = 2,5, jika sector industri
makanan diberi injeksi sebesar 1 rupiah
(nilai injeksi) maka output perkonomian
secara keseluruhan akan naik sebesar 2,5.
Tujuannya adalah memecah angka 2,5
menjadi: beberapa dampak.
b Pengaruh langsung adalah ketika terjadi
injeksi 1 rupiah menaikkan output, sehingga
butuh input. Mis industri kecap, dampak
langsung pada kedelai, botol, bahan kimia,
nilai sebesar sigma alpha.
c Pengaruh tidak langsung adalah seperti
transportasi, untuk membawa input industri,
misalnya kedelai.
d Dampak imbasan konsumsi adalah pada saat
terjadi peningkatan output dibutuhkan tenga
kerja dari masyarakat (rumah tangga).
Ketika rumah tangga atau tenaga kerja yang
diminta banyak, pendapatan akan naik,
konsumsi akan naik. Konsumsi naik
terhadap komoditi yang lain. Hal ini
berdampak pada seluruh perekonomian.
e Dampak total adalah seluruh dampak
imbasan konsumsi, pengaruh langsung, dan
pengaruh tidak langsung.
f Dampak luberan adalah dampak bersih.
Dimana nilai 1 injeksi sudah dikeluarkan.
(Muchdie, 1998:15-18).
d. Analisis Penyerapan Tenaga Kerja
Persamaan keseimbangan umum model
I-O yang telah memasukkan unsur impor
adalah:
17
X = (I – A + M* )-1 Y ........................
(3.5)
Li/xj- = koefisien penyerapan tenaga
kerja
dimana M* adalah matrik koefisien
impor
yang
dinyatakan
dengan
persamaan:
................... (3.6)
Selanjutnya, untuk menentukan jumlah
pekerja yang diperlukan oleh satu unit
permintaan akhir (final demand) yang
berkaitan dengan output suatu sektor
dalam
perekonomian
dapat
diformulasikan sebagai berikut:
i = Li* ( I – A + M )-1 .................... (3.7)
dimana gi merupakan matrik koefisien
tenaga kerja yang diturunkan dengan
cara:
Li*= ................(3.8)
Pada tahun 1991 Mattas dan Shrestas
(Arief, 1993) mengemukakan kriteria
elastisitas penyerapan tenaga kerja
sebagai salah satu alat menentukan
sektor-sektor kunci dalam perekonomian
wilayah. Untuk menjelaskan hal ini
terlebih dahulu kita tetapkan output bruto
dalam perekonomian yaitu:
................................. (3.9)
yang mana bij adalah elemen-elemen
matrik kebalikan Leontief pada sektor i
ke sektor j. Sementara yj menunjukkan
permintaan akhir dari sektor j. Turunan
pertama dari persamaan ini dapat
dituliskan:
dxi/dyj
=
..............................(3.10)
bij
yang
menggambarkan
terjadinya
perubahan output bruto akibat adanya
perubahan permintaan akhir sebanyak
satu-satuan
moneter.
Berdasarkan
persamaan (3.10) akhirnya dapat
dirumuskan
persamaan
elastisitas
kesempatan kerja sebagai berikut:
....(3.11)
dimana:
E = elastisitas tenaga kerja
Li = jumlah tenaga kerja yang diserap
sektor i
Persamaan (3.11) dapat digunakan
untuk mengukur intensitas tenaga kerja
dari
suatu
sektor,
yang
dapat
memutuskan apakah suatu sektor itu
padat karya atau tidak.
Selanjutnya dengan memanfaatkan
ukuran elastisitas di atas dapat dihitung
perluasan penyerapan tenaga kerja di
sektor infrastruktur sebagai akibat
pertambahan permintaan akhir akan
output yang dapat dinyatakan dengan
rumus:
Li = E [ (b12 Y1 + b12 Y2 + b13 Y3 + ….
+
b12
Y1
)]
..........................................(3.12)
Persamaan (3.12) dapat diturunkan juga
dengan persamaan proyeksi penyerapan
tenaga kerja pada suatu sektor sebagai
berikut:
Li = L [I –
(I – M*) A]-1 Y
..............(3.13)
dimana :
L = matrik koefisien tenaga kerja
I = matrik identitas
A = matrik koefisien input
M* = matrik koefisien impor
Y = permintaan akhir
2. Analisis Asosiasi
Alat statistik dalam penelitian ini
menggunakan analisis korelasi. Korelasi
adalah metode untuk mengetahui tingkat
keeratan hubungan (asosiasi dua variabel
atau lebih yang digambarkan oleh besarnya
koefisien korelasi. Untuk menghitung
koefesien korelasi bisa digunakan rumus
sebagai berikut:
Koefisien korelasi menggambarkan
tingkat keeratan hubungan antar dua
variabel atau lebih. Nilai dari Koefisien
korelasi berkisar antara -1 sampai dengan 1.
-1 berarti terdapat hubungan negatif
(berkebalikan) yang sempurna. 0 berarti
18
tidak terdapat hubungan sama sekali. 1
berarti terdapat hubungan positif yang
sempurna.
Tabel 2
Interpretasi Koefesien Korelasi
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sektor pertanian selama periode penelitian
memberikan kontribusi berkisar antara 17,13%
sampai 18,93% kepada PDRB Propinsi Jawa
Timur. Sektor ini menempati urutan ketiga
setelah sektor perdagangan dan industri
pengolahan. Tinginya kontribusi sektor
pertanian di Jawa Timur di topang oleh lima
sub sektor yaitu: 1) Tanaman bahan makanan,
2) Tanaman Perkebunan, 3) Peternakan, 4)
Kehutanan, dan 5) Perikanan. Berdasarkan peta
tipologi sektor pertanian, menunjukkan bahwa
hanya ada 10 (sepuluh) daerah kabupaten/kota
yang sektor pertaniannya mempunyai tipologi
“kontribusi rendah pertumbuhan rendah.
Daerah-daerah tersebut antara lain: Kota
Surabaya, Kota Madiun, Kota Mojokerto, Kota
Malang, Kota Blitar, Kota Pasuruan, Kabupaten
Pacitan, Kabupaten Sidoarjo, dan Kabupaten
Tulungagung dan Kabupaten Ponorogo.
Sedangkan
daerah-daerah
yang
sektor
pertaniannya mempunyai tipologi “kontribusi
tinggi pertumbuhan tinggi” ada 11 (sebelas)
daerah, daerah ini bisa juga dikatakan daerah
unggulan untuk sektor pertanian, daerah-daerah
tersebut antara lain: Kabupaten Trenggalek,
Kabupaten
Blitar,
Kabupaten
Malang,
Kabupaten Lumajang, Kabupaten Jember,
Kabupaten
Banyuwangi,
Kabupaten
Bondowoso, Kabupaten Situbondo, Kabupaten
Nganjuk, Kabupaten Sampang, Kabupaten
Pamekasan, dan Kabupaten Sumenep.
Sementara
daerah-daerah
sektor
pertaniannya mempunyai tipologi “kontribusi
tinggi pertumbuhan rendah” terdiri dari daerah:
Kabupaten
Pacitan,
Kabupaten
Kediri,
Kabupaten Probolinggo, Kabupaten Jombang,
Kabupaten Madiun, Kabupaten Magetan,
Kabupaten Ngawi, Kabupaten Bojonegoro,
Kabupaten
Lamongan,
dan
Kabupaten
Bangkalan. Sedangkan sisanya atau daerah
yang tidak tergolong tiga tipologi di atas,
seperti
daerah:
Kabupaten
Mojokerto,
Kabupaten Gresik, Kabupaten Pasuruan, Kota
Probolinggo,
dan
Kota
Batu
sektor
pertaniannya tergolong tipologi “kontribusi
rendah pertumbuhan tinggi”.
Penyebab rumah tangga miskin yang ada
di Jawa Timur dapat digolongkan menjadi tiga
karakteristik kemiskinan, yaitu: Pertama,
kemiskinan struktural, yang disebabkan tiga
faktor diantaranya: pendidikan/keahlian, usaha
rugi, dan utang cukup banyak. Kedua,
kemiskinan absolut, yang disebabkan tiga
faktor
diantaranya:
keturunan,
jumlah
tanggungan keluarga, dan pendapatan rendah.
Ketiga, kemiskinan yang disebabkan karena
musibah. Penyebab rumah tangga miskinan di
wilayah Jawa Timur lebih banyak disebabkan
oleh kemsikinan absolut. Kemiskinan absolut
pada tahun 2006 mencapai sebesar 59%.
Sedangkan rumah tangga miskin yang
disebabkan karena faktor struktural pada tahun
yang sama mencapai 35%. Sementara rumah
tangga miskin yang disebabkan karena faktor
musibah hanya sebesar 6%.
Berdasarkan hasil analisis Backward
Linkage maka diperoleh hasil sebagai berikut:
a. Industri pengolahan dan pengawetan
makanan,mempunyai
keterkaitan
ke
belakang paling besar dengan sektor
perikanan,
industri
pengolahan
dan
pengawetan
makanan
mempunyai
keterkaitan ke belakang sebesar 0,117
dengan sector perikanan. Artinya industri
pengolahan dan pengawetan makanan
menggunakan bahan mentah atau sektor
hulu sebesar 0.117 dari sektor perikanan.
b. Industri minyak dan lemak ,mempunyai
keterkaitan ke belakang paling besar dengan
sektor industri minyak dan lemak, industri
minyak dan lemak mempunyai keterkaitan
ke belakang sebesar 0,114 dengan sektor
industri minyak dan lemak. Artinya industri
minyak dan lemak menggunakan bahan
mentah atau sektor hulu sebesar 0.114 dari
sektor industri minyak dan lemak.
c. Industri penggilingan padi ,mempunyai
keterkaitan ke belakang paling besar dengan
sektor padi, industri penggilingan padi
mempunyai keterkaitan ke belakang sebesar
0,806 dengan sektor padi. Artinya industri
19
penggilingan padi menggunakan sektor hulu
sebesar 0.806 dari sektor padi.
d. Industri tepung segala jenis, mempunyai
keterkaitan ke belakang paling besar dengan
sektor perdagangan, industri tepung segala
jenis mempunyai keterkaitan kebelakang
sebesar 0,056 dengan sektor perdagangan.
Artinya industri tepung segala jenis
menggunakan sektor hulu sebesar 0.056 dari
sektor perdagangan.
e. Industri gula, mempunyai keterkaitan ke
belakang paling besar dengan sektor tebu,
industri gula mempunyai keterkaitan ke
belakang sebesar 0,351 dengan sektor tebu.
Artinya industri gula menggunakan bahan
mentah atau sektor hulu sebesar 0.351 dari
sektor tebu.
f. Industri makanan lainnya, mempunyai
keterkaitan ke belakang paling besar dengan
sektor unggas dan hasil-hasilnya, industri
makanan lainnya mempunyai keterkaitan ke
belakang sebesar 0,114 dengan sektor
unggas dan hasil-hasilnya. Artinya industri
makanan lainnya menggunakan bahan
mentah atau sektor hulu sebesar 0.114 dari
sektor unggas dan hasil-hasilnya.
g. Industri minuman, mempunyai keterkaitan
ke belakang paling besar dengan sektor
industri gula, industri minuman mempunyai
keterkaitan ke belakang sebesar 0,056
dengan sektor industri gula. Artinya industri
minuman menggunakan bahan mentah atau
sektor hulu sebesar 0.056 dari sektor
industri gula.
h. Industri rokok, mempunyai keterkaitan ke
belakang paling besar dengan sektor Industri
kertas, barang dari kertas dan karton,
industri rokok mempunyai keterkaitan ke
belakang sebesar 0,060 dengan sektor
Industri kertas, barang dari kertas dan
karton. Artinya industri rokok menggunakan
bahan mentah atau sektor hulu sebesar 0.060
dari sektor Industri kertas, barang dari kertas
dan karton.
Analisis Forward linkage diperoleh hasil
sebagai berikut:
a. Industri Pengolahan dan Pengawetan
Makanan, mempunyai keterkaitan kedepan
paling besar dengan sektor Restoran dan
Hotel, industri pengolahan dan pengawetan
makanan mempunyai keterkaitan kedepan
b.
c.
d.
e.
f.
g.
sebesar 0,040 dengan sektor restoran dan
hotel. Artinya industri pengolahan dan
pengawetan makanan dimanfaatkan sebesar
0.040 oleh sektor restoran dan hotel.
Industri minyak dan lemak, mempunyai
keterkaitan ke depan paling besar dengan
sektor Industri minyak dan lemak, industri
minyak dan lemak mempunyai keterkaitan
kedepan sebesar 0,114 dengan sektor
Industri minyak dan lemak. Artinya Industri
minyak dan lemak dimanfaatkan sebesar
0.114 oleh sektor Industri minyak dan lemak
sendiri.
Industri penggilingan padi, mempunyai
keterkaitan kedepan paling besar dengan
sektor restoran dan hotel, industri
penggilingan padi mempunyai keterkaitan
kedepan sebesar 0,058 dengan sektor
restoran dan hotel. Artinya Industri
penggilingan padi dimanfaatkan sebesar
0.058 oleh sektor restoran dan hotel.
Industri tepung segala jenis, mempunyai
keterkaitan ke depan paling besar dengan
sektor Industri tepung segala jenis, Industri
tepung segala jenis mempunyai keterkaitan
ke depan sebesar 0,044 dengan sektor
Industri tepung segala jenis. Artinya Industri
tepung segala jenis dimanfaatkan sebesar
0.044 oleh sektor Industri tepung segala
jenis sendiri.
Industri gula, mempunyai keterkaitan ke
depan paling besar dengan sektor Industri
minuman, Industri gula mempunyai
keterkaitan ke depan sebesar 0,056 dengan
sektor Industri minuman. Artinya Industri
gula dimanfaatkan sebesar 0.056 oleh sektor
Industri minuman.
Industri makanan lainnya, mempunyai
keterkaitan ke depan paling besar dengan
sektor Unggas dan hasil-hasilnya, Industri
makanan lainnya mempunyai keterkaitan
kedepan sebesar 0,241 dengan sektor
Unggas dan hasil-hasilnya. Artinya Industri
makanan lainnya dimanfaatkan sebesar
0.241 oleh sektor Unggas dan hasilhasilnya.
Industri minuman, mempunyai keterkaitan
ke depan paling besar dengan sektor industri
minuman, Industri minuman mempunyai
keterkaitan kedepan sebesar 0,010 dengan
sektor Industri minuman. Artinya Industri
20
minuman dimanfaatkan sebesar 0.010 oleh
sektor Industri minuman sendiri.
h. Industri rokok, mempunyai keterkaitan
kedepan paling besar dengan sektor industri
rokok mempunyai keterkaitan kedepan
sebesar 0,045 dengan sektor Industri rokok.
Artinya Industri rokok dimanfaatkan sebesar
0.045 oleh sektor Industri rokok sendiri.
Berdasarkan hasil uji korelasi diperoleh
hasil sebagai berikut
a Tidak ada hubungan antara tenaga kerja
dengan output agrobisnis di Jawa Timur
b Ada hubungan yang cukup kuat antara
investasi dengan output agrobisnis di Jawa
Timur dengan arah positif
c Ada hubungan yang cukup kuat antara
Ekspor dengan output agrobisnis di Jawa
Timur dengan arah positif
d Ada hubungan yang cukup sangat kuat
antara impor dengan output agrobisnis di
Jawa Timur dengan arah positif
Analisis sektor unggulan (Key Sector)
didasarkan atas besarnya keterkaitan antar
sektor baik ke depan atau ke belakang yang
ditunjukkan oleh koefisien variasi dari masingmasing sektor. Dalam studi ini, sektor kunci
atau sektor unggulan ditetapkan berdasarkan
indeks power of dispersion atau Daya
Penyebaran (DP-BL), dan sensitivity of
dispersion atau Derajad Kepekaan (DK-FL).
Daya Penyebaran dan Derajat Kepekaan
merupakan perbandingan total dampak, yaitu
ke belakang maupun ke depan, terhadap ratarata seluruh dampak sektor.
Berdasarkan
daya
penyebarannya
diperoleh hasil
apabila dilihat dari total
keterkaitan maka, industri yang menjadi
unggulan atau sektor kunci adalah industri
penggilingan padi. Industri ini menggunakan
input atau bahan baku sebanyak 0.895 %
terhadap sektor lain. Dengan kata lain
kemajuan sektor ini akan berdampak pada
permintaan sektor-sektor hulunya. Sedangkan
apabila dilihat dari jumlah sektor yang terkait
maka, indsutri yang menjadi unggulan atau
sektor kunci adalah industri makanan lainnya.
Industri ini mempunyai keterkaitan dengan 37
sektor yang ada di Jawa Timur. dengan
demikian, majunya sektor ini akan mempunyai
dampak terhadap permintaan banyak sektor.
Jika dilihat dari derajat kepekaannya, maka
industri yang menjadi unggulan atau sektor
kunci adalah industri makanan lainnya. Produk
industri ini bisa menjadi input atau bahan baku
sebanyak 0.651 % sektor lain. Dengan kata lain
kemajuan sektor ini akan mendorong pada
kemajuan sektor-sektor hilirnya. Berdasarkan
analisis dampak berganda diperoleh hasil sektor
industri penggilingan padi yang memiliki
dampak terbesar diatas sektor-sektor yang lain.
SARAN
1. Walaupun sektor pertanian merupakan
kontributor terbesar ketiga di propinsi Jawa
Timur, pengembangan di sektor ini tetap
perlu diupayakan karena karakter dari
masyarakat Jawa Timur yang sebagian besar
masih
bergantung
sektor
pertanian.
Pengembangan sektor pertanian dapat
diwujudkan
dengan
pengembangan
kawasan-kawasan agroindustri untuk sektor
pertanian unggulan masing-masing daerah.
Pengembangan kawasan ini diharapkan
dapat menumbuhkan wirausaha-wirausaha
baru sehingga dapat menyerap banyak
tenaga kerja dan meningkatkan pendapatan
masyarakat.
2. Pengembangan kawasan agroindustri bukan
hanya tanggung jawab pemerintah tetapi
juga masyarakat sehingga dengan adanya
partisipasi dari para pengusaha dan petani
setempat maka akan terwujud sinergi yang
dapat membuat kawasan agroindustri
semakin cepat terwujud dan berkembang.
DAFTAR PUSTAKA
Anderson, Sue 1990, Core Indicators of
Nutritional State for Difficult to sample
Population, Journal of Nutrition 120.
Adelman, I. 1984. Beyond Export–Led Growth.
World Development. 12 (9): 937–949.
Arief,
Sritua. 1993. Metode
Ekonomi. UI Press, Jakarta.
Penelitian
Boediono. 1988. Teori Pertumbuhan Ekonomi.
Seri Sinopsis Pengantar Ilmu Ekonomi
No. 4. Cetakan IV. BPFE, Yogyakarta.
21
Braun Von,J.H. Bouls. S.Kumar and R.PanjaLorch, 1992, Improving Food Security of
The Poor: Concept, Policy and Programs.
IFRI, Washington.,D.C.
Hayami and Ruttan, 1985, Agriculture
Development:
An
International
Perspective . Baltimore: John Hopkins
University Press.
Chenery, Hollis dan Moises Sirquin. 1975.
Pattern of Development. 1950-70.
Oxford University Press. London.
Intriligator,1996,Econometric
Models,
Technique, and Applications, PrenticeHall International,Inc, New Jersey
Chung,K,L, Haddad, J.Ramakhrisma and
F.Riely,1997, Identifying the food
Insecure : The Application of Mixed
Method Approach in India IFPRI,
Washington D.C.
Lave, Lester,1962, Emperical Estimates of
technological Change in United States
Agriculture, 1850-1958" Journal of Farm
Economics 44,941-52
Daryanto, A. 2000. Growth and Structural
Change in the Indonesian Economy: An
Input-Output
Perspective.
Mimbar
Sosek, 13(3): 1-22.
Daryanto, A. and J. Morison. 1992. Structural
Interdependence in the Indonesian
Economy, with Emphasis on the
Agricultural Sector, 1971-1985: An
Input-Output Analysis. Mimbar Sosek,
6(12): 74-99.
De
Janvry,Alain
and
Elisabeth
Sadoulet,1991,”Food Self Sufficiency
and
Food
Security
in
India:
Achievements and Contradictions,” In
National and Regional Self Sufficiency
goal: Implications for International
Agriculture, edited by Ruppel and
Kellogg. Boulder, Colo: Lynne Rienner.
Dethier,Jean Jacques1989, “Note on the
Analysis of The Impact of Agricultural
Policy Reform in Algeria,”, Agricultura
and Rural Development Departement,
World Bank
FAO,1996,
Food
Security
Assesment
(Document WFS 96/Tech/7). Rome.
Gujarati, Damodar. 2002. Ekonometrika Dasar.
Erlangga, Jakarta.
Guy, West.1995. Comparison of Input-Output
Econometric and Computable
General Equilibrium Impact Models at The
Regional Level. Economic System
Research, Vol. 7, No. 2, 1995, 212-3-4.
Maxwell,
Simon
and
Timothy
R.
Frankerberger,1996, Household Food
Security:
Concept,
Indicators,
Mesurements. A Technical Review.
Unicef and IFAD, New York and Rome
Maxwell,D.C.1996, Measuring Food Security:
The Frequency and Severity of Coping
Strategis. Food Policy
Mynt, Hla. 1984. Inward and Outward-Looking
Countries Revisited: The Case of
Indonesia. Bulletin of Indonesian
Economic Studies. Vol. XX. No. 2.
Agustus.
O‟Callaghan, B., Andreosso., and Guoqiang
Yue. 2000. Intersectoral Linkages and
Key Sectors in China 1987-1997 : An
Aplication of Input-Output Linkages
Analysis. Paper Presented at the
Fourteenth International Conference on
Input-Output Techniques, Montreal,
Canada.
Reutlinger,Shiomo 1986, Poverty and Hunger:
Issues and Options for Food Security in
Developing
Countries”,
Washington,D.C;World Bank
Valdes,
Alberto
and
Konandreas,1981,”Assessing
Food
Security Based on National Aggregates
in Developing Countries,” In food
Security for Developing Countries,
Edited by Valdes, Boulder, Colo:
Westview Press
World Bank, 1994. Indonesia : Stability,
Growth and Equity in Repelita VI,
Country Departement II, East Asia
22
Download