Jakarta, 9 November 2015 Tanda-Tanda Kucuran “Likuiditas” Likuiditas, baik dalam artian moneter maupun fisikal, sangat dibutuhkan agar pasar modal dan perekonomian Indonesia segera menguat. Alhamdulillah, ada tanda-tanda kucuran likuiditas mulai mengalir. Kepemilikan investor asing di dalam SUN mulai meningkat. Hingga 5 November lalu, kepemilikan ini mencapai Rp531 trilyun. Walau masih sekitar Rp10 trilyun lebih rendah dari angka tertinggi 7 Agustus (Rp541 trilyun), angka ini bertambah Rp70 trilyun dari posisi awal tahun. InsyaAllah berkat rating upgrade dari Fitch akhir pekan lalu, portfolio flows ini akan terus mengalir. Rumus valuasi sederhana memberikan inspirasi bahwa valuasi saham menarik setelah bond yield menukik dan bila pemerintah berhasil memacu gairah sektor riil melalui percepatan pengeluaran. Selain peraga real M1 growth dan equity performance yang pernah saya ulas sebelumnya, kita punya alasan lebih kuat untuk menambah investasi di dalam saham. Sementara harapan kucuran likuiditas secara fisikal juga menguat. Melalui Facebook, BBC menginformasikan ada awan raksasa yang sarat dengan benih hujan sedang bergerak dari Asia menuju Australia melewati Nusantara. Semoga hujan tidak hanya memadamkan kebakaran tanah gambut yang banyak menimbulkan ancaman kesehatan, tetapi membawa kesejahteraan dan kesejukan serta kedamaian. Dalam perjalanan ke Bandung akhir pekan lalu, saya mencermati ladang sawah yang menghijau. Saya mendengar khabar bahwa hujan mulai turun di Palembang. Semoga memberi manfaat bagi petani karet yang rajin menyada karet yang sebelumnya kucuran berkurang karena pengaruh El Nino. Kemungkinan Fed naik Desember 2015 Perkembangan eksternal juga terbilang bersahabat walau kemungkinan the Fed menaikkan bunga pada bulan Desember menguat menjadi 68%. Angka ini naik dari 50% pekan lalu menyusul berita peningkatan kesempatan kerja dan kredit konsumsi yang tumbuh melebihi dugaan. Kemungkinan kenaikan bunga Fed ini tambah menguat bila nanti dilaporkan tingkat upah juga meningkat. Kenaikan Fed fund rate ini sebetulnya sudah lama disarankan oleh model Prof. Taylor bila mencermati tingkat pengangguran AS yang menurun hingga 5% dan angka core inflation yang sudah melesat. Kami menilai kemungkinan Fed fund naik ini sudah priced-in seperti ditunjukkan oleh yield T-bond yang naik menjadi 2,2%. Yang menarik sepekan lalu adalah terjadi penguatan dollar index (DXY) sebesar 2,3% sementara rupiah hanya melemah 0,88%. Kami cermati penguatan dollar ini lebih dibayangi oleh pelemahan euro dan yen. Data Bloomberg menunjukkan berdasarkan cross-currency, posisi rupiah terhadap euro menguat bila dibanding awal tahun ini. Berdasarkan pengalaman, kenaikan Fed fund rate cenderung memacu kenaikan asset saham sebab kenaikan itu dilandasi oleh penguatan ekonomi AS yang cenderung mengangkat ekonomi dan pasar modal dunia. The Fed juga diduga akan melakukan normalisasi suku bunga secara bertahap dengan hati-hati sesuai perkembangan data. 1 Belajar dari pengalaman bulan Agustus dan September, investasi di negara berkembang umumnya tetap positif selama persepsi investor terhadap perekonomian dan bursa China menguat dan index volatilitas bursa S&P500 (VIX) mereda. Dan kedua hal ini yang tengah terjadi. Sepekan lalu, bursa China SHCOMP melesat 6,13% merespon berbagai stimulus yang digelar pemerintah dan bank sentral. Angka ini jauh lebih tinggi dibanding MXAPJ (1,13%) dan IHSG (2,5%). Seperti terlihat pada peraga diatas, SHCOMP kini memimpin kinerja indeks saham yang diikuti oleh bursa negara penyelenggara QE (Jepang dan Eropa). Sementara itu, VIX yang sempat melonjak hingga lima tahun tertinggi pada bulan September, kini menurun hingga 13,4% atau dibawah rata-rata 10 tahun terakhir. Inflasi 2015 Bisa Dibawah 4% Kondisi makroekonomi di dalam negeri juga relatif terkendali. BPS melaporkan deflasi pada bulan Oktober sehingga menekan inflasi sepanjang tahun berjalan hanya 2,16%. Kami konsisten menyakini bahwa ada semacam kekeliruan cara pandang pelaku pasar yang lebih memperhatikan angka year-on-year yang saat ini mencapai 6,25%. Angka tahunan ini akan langsung merosot ketika inflasi bulan depan diumumkan mengingat saat ini masih terekam dampak inflasi kenaikan BBM November 2014. Keputusan pemerintah Presiden Jokowi menaikkan harga BBM saat itu demi mengamankan APBN 2014 sebagai warisan pemerintah sebelumnya. Jadi ditengah kejatuhan harga minyak dan komoditas serta keputusan pemerintah menurunkan BBM non-subsidi semestinya inflasi bukan masalah. Hal inilah yang melandasi pertimbangan saya agar investor melirik SUN sekira investor asing melepas (“Ente jual, Ane beli”) Terlihat pada update inflation dashboard kami, ada peluang inflasi sepanjang tahun 2015 ini menurun dibawah 4% (tepatnya 3,57%) bila inflasi dua bulan tersisa diproyeksikan berdasarkan rata-rata tujuh tahun terakhir. Dengan metode yang sama, angka inflasi inti juga menurun hingga 3%. Kedua angka inflasi ini akan memberi tekanan politik yang sangat kuat kepada BI sekira enggan untuk menurunkan bunga ditengah kondisi rupiah yang relatif lebih stabil dan proyeksi pertumbuhan ekonomi yang terbilang masih rendah. Bank Indonesia sendiri sejak awal bulan mengindikasikan siap untuk mulai melonggarkan likuiditas. Sejumlah investor institusi menyampaikan argumen keengganan mereka melirik SUN terkait suku bunga deposito yang relatif masih tinggi selain tentunya status bebas pajak. Walau memahami, saya berkewajiban mengingatkan bahwa percepatan pengeluaran pemerintah, yang tidak terjadi selama tahun 2014, memungkinkan bank menurunkan bunga deposito. Apalagi bila BI pada akhirnya menurunkan suku bunga. Peluang cuan SUN masih terbuka bila mencermati yield 10 tahun sekarang (8,64%) masih lebih tinggi dibanding rata-rata inflasi 10 tahun terakhir (5,91%). 2 Penyerapan Domestik Menguat Pekan lalu juga diumumkan pertumbuhan ekonomi Indonesia selama triwulan ketiga 2015 mencapai 4,73% YoY yang membaik dibanding 4,67% pada triwulan sebelumnya. Penggeraknya adalah pengeluaran pemerintah (6,56%), konsumsi rumah tangga (4,96%) dan investasi swasta (4,62%). Sehingga secara keseluruhan penyerapan domestik (domestic demand, gabungan ketiga hal tersebut) bertumbuh 4,98%. Kemajuan penyerapan domestik ini nampak sejalan dengan pertumbuhan real M1 growth. Silakan cermati peraga diatas yang jelas menunjukkan bahwa tantangan utama Indonesia adalah bagaimana memacu ekspor. Terlihat rasio ekspor terhadap GDP selama 10 tahun terakhir cenderung menurun yang jelas menunjukkan kita kurang kompetitif. Ditambah kenyataan neraca berjalan sudah memburuk dari surplus menjadi defisit menandakan kita bangsa yang kurang produktif. Mencermati proses global economic rebalancing saat ini, Indonesia semestinya lebih memacu ekspor barang jadi baik untuk menuju Amerika Serikat dan China. APBN16, Lihat Kompas Hari Ini Semula saya ingin mengulas mengenai APBN 2016, namun mohon maaf nampaknya ulasan ini tidak terlalu mendesak setelah mencermati iklan dua halaman pada harian Kompas hari ini. Rasanya tidak pernah pemerintah beriklan seperti ini selengkap ini. Tentunya sosialisasi ini sangat penting agar masyarakat wellinform dengan target dan kebijakan pemerintah terutama bila terakit dengan kebijakan yang kurang populer. Secara umum saya menilai APBN 2016 ini positif. Yang jelas kita belajar banyak dari pengalaman periode kedua pemerintahan Presiden SBY. Kita menyadari bagaimana kebijakan fiskal populis yang didukung oleh Pemerintah dan DPR terutama melalui subsidi BBM yang tidak terkendali pada akhirnya memperburuk profil makroekonomi Indonesia. Selain mempertahankan pembatasan subsidi BBM, saya menyukai pokok-pokok kebijakan fiskal saat ini yang menekankan kepada upaya untuk meningkatkan kapasitas produksi dan daya saing. Pemikiran ini sejalan dengan saran Nabi Yusuf yang kerap saya bahas. Optimisme untuk hal ini menguat setelah pemerintah mengeluarkan paket stimulus kebijakan ekonomi keenam yang memacu kawasan ekonomi khusus sangat dibutuhkan untuk memacu ekspor. Salam Budi Hikmat Chief Economist and Director for Investor Relation 3