BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Konsep Dasar LBP 2.1.1 Definisi LBP Non-spesifik LBP diartikan sebagai keluhan nyeri dan rasa tegang atau kaku pada otot, yang terlokalisasi di area bawah costae dan di atas lipatan gluteus inferior dengan atau tanpa nyeri menjalar ke tungkai (Koes, 2006). LBP non-spesifik yaitu LBP tanpa sebab yang jelas (LBP of unknown origin) (Santosa, 2011). LBP non-spesifik didiagnosa seperti mysofascial syndromes, muscle spasm, mechanical LBP, back sprain, dan back strain. Pada kondisi ini pasien akan merasakan nyeri otot yang hebat dan adanya keterbatasan gerak fungsional tubuh terutama pada saat fleksi. Pada umumnya pasien yang mengeluh nyeri pada daerah lumbal kebanyakan disebabkan karena adanya kesalahan postural (Kurniasih, 2011). 2.1.2 Anatomi Terapan dan Biomekanik Dalam sub bab ini akan dibahas mengenai struktur pada columna vertebralis dan struktur regio lumbal serta struktur pada pelvic dan tight 1. Columna vertebralis dan Regio Lumbal a. Tulang vertebra Tulang vertebra adalah sekumpulan tulang yang tersusun dalam columna vertebralis yang berfungsi untuk menjaga tubuh pada posisi berdiri di atas 7 8 dua kaki. Garis berat tubuh manusia di kepala berawal dari vertex, diteruskan melalui columna vertebralis ke tulang panggul yang selanjutnya akan meneruskan lagi ke tungkai melalui acetabulum. Dalam menjalankan fungsinya menahan berat badan, tulang-tulang vertebra diperkuat oleh ligamen dan otot-otot yang sekaligus mengatur keseimbangan gerakannya (Wibowo, 2007). Columna vertebralis dibentuk oleh serangkaian tulang vertebra yang teridiri dari 7 buah vertebrae cervicales, 12 buah vertebrae thoracicae, 5 buah vertebrae lumbal, os sacrum dan coccyx. Os sacrum merupakan penyatuan dari 5 buah vertebrae sacrales, dan coccyx terdiri dari 4 buah vertebrae coccyeae. Dengan demikian dikatakan bahwa columna vertebralis dibentuk oleh 33 buah tulang vertebra (Wibowo, 2007). Tulang-tulang vertebra pada columna vertebralis membentuk kurva lordosis dan kifosis secara bergantian jika dilihat pada bidang sagital. Segmen cervical dan lumbal membentuk kurva lordosis dimana derajat lordosis pada segmen cervical lebih kecil dari pada derajat lordosis pada segmen lumbal. Pada segmen thoracic dan sacrococcygeal membentuk kurva kifosis. Posisi kurva pada posisi netral tersebut bukanlah posisi yang mutlak. Antara ruasruas tulang vertebra dihubungkan oleh discus intervertebralis yang memungkinkan untuk terjadinya gerakan secara dinamis (Neumann, 2002). 9 Gambar 2. 1 Kurva tulang vertebra dilihat dari lateral Sumber : http://www.spineuniverse.com (Diakses tanggal 10 Februari 2015) b. Lumbal spine Tulang vertebra lumbal memiliki bentuk yang lebar dan besar, vertebra lumbal sesuai untuk menyangga seluruh beban dari kepala, badan dan ekstremitas atas. Tulang lumbal berhubungan dengan lower thorakal, upper sacral, dan hip pelvic complex. Sendi lumbal terdiri atas 5 ruas corpus vertebralis yang merupakan bagian dari columna vertebralis (Wibowo, 2007). Pada setiap ruas tulang terbentuk atas sebuah corpus yang bentuknya mirip ginjal. Lumbal memiliki corpus yang lebih besar dan tebal jika dibandingkan dengan corpus vertebralis yang lain dan bentuknya kurang lebih bulat dengan bagian atas dan bawah yang datar, satu processus spinosus, yang mengarah pada bidang sagital, dua processus transversus, sepasang processus articularis superior dan inferior, dimana kedua bagian ini saling bertemu pada kedua belah sisi dalam bentuk sendi facet dan 10 foramen intervertebralis, tempat menjalarnya cauda equina dimana merupakan lanjutan dari spynal cord. Dengan kurva lordosis yang dimiliki oleh lumbal menyebabkan lumbal menerima beban paling besar dari segmen columna vertebralis lainnya. Selain itu lumbal juga mempunyai mobilitas yang tinggi (Wibowo, 2007). Gambar 2. 2 Vertebra lumbal (Cael, 2010) Gerakan pada collumna vertebralis bergantung pada segmen mobile, yaitu, 2 sendi facet dan jaringan lunak diantaranya. Segmen tersebut memberikan beberapa derajat gerakan pada setiap regio (Kurniasih, 2011). Pada regio lumbal, orientasi sendi facet lebih kedalam bidang sagital sehingga gerak yang dominan adalah fleksi–ekstensi. Disamping itu, terjadi gerakan lateral fleksi kiri dan kanan serta rotasi (Kurniasih, 2011). Pada gerakan fleksi, corpus vertebra bagian atas akan bergerak menekuk kearah anterior sehingga terjadi peregangan pada discus intervertebralis bagian posterior (Kurniasih, 2011). Pada gerakan ekstensi, corpus vertebra bagian atas akan bergerak menekuk kearah posterior, sementara discus menjadi mampat pada bagian posterior dan teregang pada bagian anterior. Ligamen longitudinal 11 anterior juga mengalami penguluran sementara ligamen longitudinal posterior rileks. Dengan demikian, gerakan ekstensi dibatasi oleh struktur tulang dari arkus vertebra dan ketegangan ligamen longitudinal anterior (Kurniasih, 2011). Pada gerakan lateral fleksi, corpus vertebra bagian atas akan bergerak kearah ipsilateral, sementara discus sisi kontralateral mengalami ketegangan karena bergeser kearah kontralateral (Kurniasih, 2011). Pada bagian rotasi, vertebra bagian atas berotasi pada vertebra bagian bawah, tetapi gerakan rotasi ini hanya terjadi disekitar pusat rotasi. Discus intervertebralis tidak berperan dalam gerakan rotasi, sehingga gerakan rotasi sangat dibatasi oleh sendi facet vertebra lumbal (Kurniasih, 2011). c. Discus Intervertebralis Discus intervertebralis merupakan struktur penghubung antara ruasruas vertebra yang cukup besar (Kurniasih, 2011). Fungsi discus intervertebralis antara lain memperluas gerak antar tulang vertebra, sebagai shock absorber, melindungi permukaan sendi ruas-ruas vertebra yang bersangkutan serta sebagai stabilisasi tulang vertebra (Neumann, 2002). Discus intervertebralis memiliki nucleus pulposus yang berbentuk bulat ibarat bola yang terletak antara dua papan, sehingga memiliki derajat gerak yaitu : 12 1) Tilting ke depan-belakang dalam bidang sagital sebagai fleksi -ekstensi, gliding ke depan-belakang dalam bidang sagital sebagai anteriorposterior glide 2) Tilting kesamping kanan-kiri dalam bidang frontal sebagai lateral fleksi kanan-kiri, gliding kesamping kanan-kiri dalam bidang frontal sebagai gerak geser kanan-kiri 3) Rotasi kanan-kiri dalam bidang transversal sebagai rotasi kanan-kiri, gliding sumbu longitudinal sebagai traksi-kompresi (Sudaryanto, 2013) d. Ligamen Ligamen memperkuat columna vertebralis sehingga membentuk postur tubuh seseorang. Ligamen-ligamen tersebut antara lain : 1) Ligamen longitudinal anterior Ligamen longitudinal anterior merupakan jaringan fibrous yang terdapat di sepanjang bagian depan columna vertebralis. Ligamentum ini dimulai dari os occipital dan berakhir pada os sacrum, makin kebawah ukurannya semakin lebar namun pada daerah thoracal ligamen ini menyempit (Wibowo, 2007). Fungsi ligamen tersebut menyatukan ruas-ruas vertebra dari arah depan, tetapi tidak cukup kuat memfiksir annulus fibrosus discus intervertebralis (Kurniasih, 2011). 2) Ligamen longitudinal posterior Di bagian belakang corpus, di dalam canalis vertebralis terdapat ligamen longitudinal posterior. Berbeda dengan yang anterior, ligamen 13 longitudinal posterior berawal dari corpus cervicalis kedua dan juga berakhir pada permukaan anterior canalis ossos sacri (Wibowo, 2007). Ligamen ini melekat pada discus intervertebralis, oleh karena itu ligamen ini dapat mengfiksir atau menutupi discus intervertebralis sehingga berfungsi membatasi gerakan terutama gerakan fleksi dan ekstensi serta berperan sebagai pelindung. Namun karena ligamen ini tidak melekat secara penuh, maka pada bagian posterolateral dari discus intervertebralis tidak terlindungi. Ligamen ini sangat sensitif karena banyak mengandung serabut saraf afferent nyeri (Aδ dan tipe C) dan memiliki sirkulasi darah yang banyak (Kurniasih, 2011). 3) Ligamen intertransversal Ligamen ini melekat pada tuberculum asesori dari processus transversus dan berkembang baik pada regio lumbal. Ligamen ini mengontrol gerakan lateral fleksi kearah kontralateral (Sudaryanto, 2004). 4) Ligamen flavum Ligamen ini sangat elastis dan melekat pada arcus vertebra tepatnya pada setiap lamina vertebra. Ke arah anterior dan lateral, ligamen ini menutup capsular dan ligamen anteriomedial sendi facet. Ligamen ini mengontrol gerakan fleksi lumbal (Sudaryanto, 2004). 5) Ligamen interspinosus Ligamen ini sangat kuat yang melekat pada setiap processus spinosus dan memanjang kearah posterior dengan ligamen 14 supraspinosus. Ligamen ini berperan sebagai stabilisator pasif saat gerakan fleksi lumbal (Sudaryanto, 2004). 6) Ligamen supraspinosus Ligamen ini melekat pada setiap ujung processus spinosus. Pada regio lumbal, ligamen ini kurang jelas karena menyatu dengan serabut insersio otot lumbodorsal. Ligamen ini berperan sebagai stabilisator pasif saat gerakan fleksi lumbal (Sudaryanto, 2004). Gambar 2. 3 Ligamen-ligamen yang memperkuat columna vertebralis Sumber : http://www.spineuniverse.com (Diakses tanggal 10 Februari 2015) e. Otot – otot vertebral lumbal 1) Erector spine, merupakan kelompok otot yang luas dan terletak dalam pada facia lumbodorsal, serta muncul dari suatu aponeurosis pada sacrum, crista illiaca dan procesus spinosus thoraco lumbal. Kelompok otot ini terbagi atas beberapa otot yaitu: a) Musculus Longissimus 15 b) Musculus Iliocostalis c) Musculus Spinalis Kelompok otot ini merupakan penggerak utama pada gerakan extensi lumbal dan sebagai stabilisator vertebra lumbal saat tubuh dalam keadaan tegak. Kerja otot tersebut dibantu oleh Musculus Transverso spinalis dan Paravertebral muscle (deep muscle) seperti Musculus Intraspinalis dan Musculus Intrasversaris (Sudaryanto, 2004) Gambar 2. 4 Otot erector spine (Cael, 2010) Gambar 2. 5 Otot paravertebral (Cael, 2010) 16 2) Abdominal, merupakan kelompok otot ekstrinsik yang membentuk dan memperkuat dinding abdominal. Pada kelompok otot ini ada 4 otot abdominal yang penting dalam fungsi spine, yaitu Musculus rectus abdominis, Musculus obliqus external, Musculus obliqus internal dan Musculus transversalis abdominis. Kelompok otot ini merupakan fleksor trunk yang sangat kuat dan berperan dalam mendatarkan kurva lumbal. Di samping itu musculuc obliqus internal dan external berperan pada rotasi trunk (Sudaryanto, 2004). Gambar 2. 6 Otot superfisial abdominal (Cael, 2010) Gambar 2. 7 Otot deep abdominal (Cael, 2010) 17 3) Deep lateral muscle, merupakan kelompok otot intrinstik pada bagian lateral lumbal yang terdiri dari : a) Musculus Quadratus Lumborum b) Musculus Psoas Kelompok otot ini berperan pada gerakan lateral fleksi dan rotasi lumbal (Sudaryanto, 2004). f. Facet Sendi facet dibentuk oleh processus articularis superior dari vertebra bawah dengan processus articularis inferior dari vertebra atas. Sendi facet termasuk dalam non-axial diarthrodial joint. Setiap sendi facet mempunyai cavitas articular dan terbungkus oleh sebuah kapsul. Gerakan yang terjadi pada sendi facet adalah gliding yang cukup kecil. Besarnya gerakan pada setiap vertebra sangat ditentukan oleh arah permukaan facet articular (Sudaryanto, 2004). Pada regio lumbal kecuali lumbosacral joint, facet articularis-nya terletak lebih dekat kedalam bidang sagital. Karena bentuk facet ini, maka vertebra lumbal sebenarnya terkunci melawan gerakan rotasi sehingga rotasi lumbal sangat terbatas (Sudaryanto, 2004). g. Forament intervertebralis Forament intervertebralis terletak disebelah dorsal columna vertebralis antara vertebra atas dan bawahnya. Pada bagian superior dibatasi oleh pedikulus vertebra bawahnya, pada bagian anterior oleh sisi dorso lateral discus serta sebagian corpus, pada bagian dorsal oleh processus articularis 18 dan facet-nya serta tepi lateral ligamenum flavum. Pada forament intervertebralis terdapat jaringan yang penting meliputi: radiks, saraf sinuvertebra, pembuluh darah dan jaringan penyangga yang terdiri atas lemak dan serabut collagen untuk melindungi isi forament (Kurniasih, 2011). 2. Pelvic dan Tight a. Pelvic Pada pelvic terdapat tulang coxae kiri dan kanan yang saling berubungan pada bagian depan, dan dengan tulang sacrum pada bagian belakang. Sebagai kesatuan, tulang-tulang ini berperan dalam melindungi organ tubuh di dalam pelvic (Wibowo, 2007). Otot-otot pada pelvic mulai dari otot superficial dan otot-otot bagian dalam adalah m. Gluteus maxximus, m. Gluteus medius,m. Gluteus minimus, m. Piriformis, m. Gamellus superior dan inferior, m. Quadratus femoris dan sebagian m. Obturatorius externus. Selain struktur otot dan tulang pada regio pelvic juga terdapat pembuluh darah dan saraf. Pembuluh darah yang mengurus regio glutea adalah cabang dari arteri iliaca interna (arteri glutea superior dan inferior, arteri pudenda interna). Untuk persarafannya berasal dari rami ventralis nervi spinalis yang keluar dari segmenta lumbalis satu sampai empat. Nervi spinalis ini membentuk plexus lumbalis dan serabut spinal yang keempat bergabung dengan serabut yang berasal dari segmen sakral membentuk plexus lumbosacralis. (Wibowo, 2007) 19 Sacara arsitektur, pelvic terletak strategis karena merupakan penghubung trunk dengan extemitas inferior sehinggga harus saling bekerjasama pada setiap gerakan lumbal dan hip. (Sudaryanto, 2011). Karena gerak pelvic bergantung pada sendi-sendi di lumbal spine dan hip maka gerak pelvic dapat bersifat sekunder atau primer. Berikut analisis gerak primer dan sekunder dari pelvic : Tabel 2. 1 Analisis gerak primer pelvic dalam posisi berdiri Pelvic Anterior pelvic tilt Posterior pelvic tilt Lateral pelvic tilt Lumbal Spine Hiperekstensi Sedikit fleksi Sedikit lateral fleksi kanan Rotasi ke kiri (tanpa Rotasi ke kanan kepala dan kaki bergerak) (Sudaryanto, 2011) Hip Joint Sedikit fleksi Ekstensi penuh ke Kanan : sedikit adduksi Kiri : sedikit abduksi Kanan : sedikit exorotasi Kiri : sedikit endorotasi Tabel 2. 2 Analisis gerak sekunder pelvic terhadap lumbal spine Lumbal spine Pelvic Fleksi Posterior pelvic tilt Ekstensi/hiperekstensi Anterior pelvic tilt Lateral fleksi kiri Lateral pelvic tilt ke kanan Rotasi kiri Rotasi ke kiri (Sudaryanto, 2011) Tabel 2. 3 Analisi gerak sekunder pelvic terhadap hip joint Hip joint Pelvic Fleksi Anterior pelvic tilt Ekstensi/hiperekstensi Posterior pelvic tilt Abduksi ke kiri Lateral pelvic tilt ke kanan Adduksi ke kiri Lateral pelvic tilt ke kiri (Sudaryanto, 2011) b. Tight Daerah tungkai atas (Tight) memiliki beberapa kelompok otot besar, salah satu kelompok otot memberikan kontribusi terhadap terjadinya LBP yaitu kelompok otot ekstensor hip dan fleksor knee (Hamstring). 20 Hamstring merupakan otot paha bagian belakang yang berfungsi sebagai fleksor knee dan ekstensor hip. Secara umum hamstring bertipe otot serabut otot tipe II (Watson, 2002). Hamstring terbagi atas tiga otot yaitu: 1) Otot Biceps Femoris Mempunyai dua buah caput. Caput longum dan breve, caput longum berorigo pada pars medialis tuber Ichiadicum dan Musculus semitendinosus sedangkan caput breve berorigo pada labium lateral linea aspera femoris, insersio otot ini pada capitulum fibula (Watson, 2002). 2) Otot Semitendinosus Otot ini berorigo pada pars medialis tuber ichiadicum dan berinsersio pada facies medialis ujung proximaltibia (Watson, 2002) 3) Otot Semimembranosus Melekat di sebelah pars lateralis tuber ichiadicum turun ke arah sisi medial regio posterior femoris dan berinsersio pada facies posterior condylus medialis tibia (Watson, 2002) Gambar 2. 8 Gambar kelompok otot hamstring (Watson, 2002) 21 Otot hamstring berfungsi dalam gerakan ekstensi dan hiperekstensi hip. Ekstensi adalah gerakan kembali dari fleksi dan hiperekstensi adalah gerakan femur ke belakang dalam bidang sagital. Gerak hiperekstensi sangat terbatas dengan ROM sebesar 00-200 (gerak aktif) dan sebesar 00-300 (gerak pasif). Keuntungan dari ketebatasan gerak ini adalah sendi menjadi sangat stabil untuk wight bearing (menumpu berat badan) tanpa membutuhkan kontraksi otot yang kuat (Sudaryanto, 2011). Selain itu otot hamstring juga berperan dalam membatasi luas gerakan fleksi hip. Gerakan fleksi hip yang luas dilakukan dengan lutut dalam posisi fleksi dimana pelvic akan backward tilt untuk melangkapi gerakan fleksi hip. ROM fleksi hip dengan posisi ekstensi lutut adalah sebesar 00-900, sedangkan ROM fleksi hip dengan posisi fleksi lutut adalah sebesar 00-1200 (gerak aktif) dan 00-1400 (gerak pasif) (Sudaryanto, 2011). 2.1.3 Patofisiologi LBP Non-spesifik LBP non-spesifik sering terjadi karena postur yang buruk, oleh karena itu LBP non-spesifik biasanya terjadi pada individu yang duduk untuk waktu yang lama, membungkuk untuk waktu yang lama atau sering membungkuk saat bekerja, mengangkat benda yang berat, berdiri, posisi tidur dan berbaring yang jelek. Stres postural yang lama menyebabkan overstretch pada ligamen dan jaringan lunak lainnya yang mempertahankan vertebra. Ketika sendi diantara 22 kedua tulang berada dalam posisi yang menghasilkan overstretch dan kelelahan pada jaringan lunak sekitar sendi, nyeri sering dihasilkan (McKenzie, 2000) Penyebab nyeri lainnya adalah ischemia, dimana ischemia dapat menyebabkan akumulasi asam laktat dengan jumlah yang besar di dalam jaringan, yang terbentuk sebagai konsekuensi dari metabolisme anaerobik. Kemungkinan juga adalah keterlibatan unsur-unsur kimiawi lainnya seperti bradykinin dan enzim proteolytic yang terbentuk di dalam jaringan karena adanya kerusakan sel. Keterlibatan kedua enzim dan akumulasi asam laktat di dalam jaringan dapat merangsang ujung-ujung saraf nyeri (reseptor nyeri). Disamping itu, muscle spasm juga penyebab umum dari nyeri. Nyeri dapat berasal dari efek langsung dari muscle spasm yang merangsang reseptor nyeri mechanosensitive, tetapi dapat juga berasal dari efek tidak langsung dari muscle spasm yang mengompresi pembuluh darah sehingga menyebabkan ischemia. Hal ini akan menciptakan pelepasan subtansi kimiawi penyebab nyeri (Guyton, 2006). Nyeri pada LBP non-spesifik merupakan respon terhadap adanya kerusakan atau gangguan pada struktur vertebra lumbal yang disebabkan oleh faktor mekanikal (kesalahan biomekanik). Pada umumnya kerusakan terjadi pada serabut annulus fibrosus bagian dorsal dan atau ligamen longitudinal posterior. Adanya kerusakan menyebabkan terlepasnya zat-zat iritan seperti prostaglandin, bradykinin, dan histamin sehingga merangsang serabut saraf Aδ dan tipe C (bermylein tipis). Impuls tersebut dibawa ke ganglion dorsalis dan masuk kedalam medulla spinalis melalui cornu dorsalis, yang kemudian dibawa 23 ke level Sistem Saraf Pusat yang lebih tinggi melalui traktus spinothalamicus dan spinoreticularis. Adanya rangsangan pada ganglion dorsalis akan memicu produksi “P” substance. Produksi “P” substance akan merangsang terjadinya reaksi inflamasi (Sudaryanto, 2004). Adanya nyeri hebat menyebabkan reaksi reflekstorik pada otot-otot lumbo dorsal terutama otot erector spine sehingga terjadi peningkatan tonus yang terlokalisir (spasme) sebagai “guarding” (penjagaan) terhadap adanya gerakan. Jika spasme otot berlangsung lama maka otot akan cenderung menjadi tightness. Keadaan tightness pada otot-otot erector spine akan memperberat nyeri karena terjadi ischemic dan menyebabkan alignment spine menjadi abnormal sehingga menimbulkan beban stress/kompresi yang besar pada diskus intervertebralis yang cidera (Sudaryanto, 2004). Adanya problem utama berupa nyeri dan tightness pada otot-otot lumbo dorsal terutama erector spine maka gangguan gerak dan fungsi yang dominan adalah terhambatnya gerak fleksi lumbal, sedikit terhambat pada lateral fleksi dan rotasi lumbal. Gerakan-gerakan tersebut merupakan gerakan-gerakan fungsional pada lumbal (Sudaryanto, 2004). 2.2 Konsep Dasar Nyeri 2.2.1 Definisi Nyeri Nyeri menurut The International For Study of Pain (IASP) adalah pengalaman sensorik dan emosional yang tidak nyaman, yang berkaitan dengan kerusakan jaringan atau berpotensi terjadinya kerusakan jaringan atau 24 menggambarkan adanya kerusakan jaringan. Nyeri juga merupakan suatu refleks untuk menghindari dari semacam bahaya, tetapi perasaan nyeri itu terlalu keras atau berlangsung terlalu lama akan berakibat tidak baik bagi badan (William, 2005). Nyeri dapat juga diartikan sebagai refleks untuk menghindari rangsangan dari luar badan, atau melindungi badan dari hal-hal yang membahayakan tubuh dan menjadi sinyal adanya kerusakan jaringan. Berdasarkan patofisiologinya nyeri terbagi atas : 1. Nyeri nosiseptif atau nyeri inflamasi, yaitu nyeri yang timbul akibat adanya stimulus mekanis terhadap nosiseptor 2. Nyeri neuropatik, yaitu nyeri yang timbul akibat disfungsi primer pada sistem saraf 3. Nyeri idiopatik, nyeri dimana kelainan patologi tidak dapat ditemukan 4. Nyeri psikologik, penyebab nyeri tidak dapat ditemukan kelainan organik tetapi penderita mengeluh nyeri. Dan biasanya keluhan nyeri sering berubah-ubah (Kurniasih, 2011). 2.2.2 Mekanisme Timbulnya Nyeri Impuls disampaikan oleh serabut saraf yang bermyelin besar dan kecil, aktivitas dari serabut saraf besar akan menghambat aktivitas substansia gelatinosa yang menyebabkan pintu gerbang tertutup sehingga impuls nyeri tidak sampai, sedangkan saraf yang bermyelin kecil memperlancar impuls 25 masuk kedalam substansia gelatinosa selanjutnya naik ke otak untuk diterjemahkan sebagai nyeri. Ada empat proses dalam transmisi nyeri : 1. Proses transduksi Merupakan proses dimana suatu stimulasi nyeri diubah menjadi suatu aktivitas listrik yang akan diterima oleh ujung – ujung saraf. Stimulasi ini dapat berupa stimulasi fisik mekanis (berupa tekanan), thermis (panas dan dingin), atau kimiawi (Kurniasih, 2011). 2. Proses transmisi Yaitu penyaluran impuls melalui saraf sensorik menyusul proses transduksi. Impuls ini akan disalurkan oleh serabut Aδ dan serabut C sebagai neuron pertama, dari perifer ke medulla spinalis dimana impuls tersebut mengalami modulasi sebelum diteruskan ke thalamus oleh tractus spinothalamikus sebagai neuron kedua. Dari thalamus selanjutnya impuls disalurkan kedaerah somatosensorik diskorteks serebri melalui neuron ketiga, dimana impuls tersebut diterjemahkan dan dirasakan sebagai persepsi nyeri (Kurniasih, 2011). 3. Proses modulasi Proses dimana terjadi interaksi antara sistem analgesik endogen yang dihasilkan oleh tubuh dengan input nyeri yang masuk ke cornu posterior medulla spinalis. Sistem analgesik endogen ini meliputi enkefalin, endorfin, serotinin memiliki efek yang dapat menekan impuls nyeri pada cornu posterior medulla spinalis. Cornu posterior ini dapat diibaratkan sebagai pintu yang dapat tertutup atau terbuka untuk menyalurkan impuls nyeri. 26 Proses terbuka dan tertutupnya pintu nyeri tersebut diperankan oleh sistem analgesik endogen (Kurniasih, 2011). Modulasi nyeri terdapat empat tingkatan yaitu: a. Level sensoris Pada tingkat ini terjadi pada proses transduksi, dimana rangsang nyeri yang diterima diubah menjadi suatu aktivitas listrik yang akan diterima ujung-ujung saraf bebas (Kurniasih, 2011). b. Level spinal Pada level spinal dimulai terjadinya proses transmisi dimana impuls nyeri disalurkan melalui saraf sensorik menyusul proses transduksi. Akson dari saraf afferent yang membawa rangsang nyeri mencapai medulla spinalis hingga ke dorsal root. Sel-sel di cornu posterior bertugas memproses informasi yang diterima oleh stimulus nyeri. Sel-sel ini juga dapat berfungsi sebagai alat dalam mekanisme inhibisi dan fasilitasi nyeri dari pusat kontrol (Kurniasih, 2011). Impuls nyeri pada tingkat ini dapat dikurangi dengan pelepasan encepalin dan terjadinya inhibisi pelepasan substansi P, dimana substansi ini dapat meningkatkan sensitifitas ujung-ujung serabut saraf (Kurniasih, 2011). c. Level supraspinal Pada tingkat ini terdapat dua jalur ascending utama, yaitu tractus spinothalamicus, dan dorsal colum postsynaptic spinomedularly system. Tractus spinothalamicus sangat penting untuk transmisi baik rangsang 27 nyeri maupun panas ke pusat. Tractus spinothalamicus berakhir di thalamus (Kurniasih, 2011). Thalamus berfungsi sebagai stasiun relay untuk informasi sensorik. Neuron-neuron di thalamus menerima input dari beberapa area di perifer untuk diteruskan ke corteks serebri. Pelepasan endorpin dan cortisol dapat mengurangi rasa nyeri pada tingkat ini karena efek analgesiknya (Kurniasih, 2011). d. Level sentral Modulasi nyeri pada level sentral melibatkan sistem limbic sebagai pusat emosional. Proses akhir dari rangkaian proses nocisepsi adalah persepsi. Persepsi merupakan cara seseorang memperlakukan secara aktual nyeri yang dirasakannya, yang mencakup sikap dan tingkah laku yang kompleks, psikis dan faktor emosional yang tertinggi mencakup rasa takut yang berlebihan dan gembira, kadang-kadang secara temporer dapat memblokade impuls nyeri di cornu posterior medulla spinalis (Kurniasih, 2011). 4. Proses Persepsi Adalah hasil akhir dari proses interaksi yang kompleks yang dimulai dari proses transduksi, transmisi dan modulasi yang pada gilirannya akan menghasilkan suatu perasaan yang subjektif yang dikenal dengan persepsi nyeri (Kurniasih, 2011). 28 2.3 Pengukuran Nyeri Fungsional Pengukuran kondisi spesifik status kesehatan sering digunakan dalam percobaan klinis untuk perbaikan pasien. Salah satu pengukuran nyeri fungsional adalah Oswestry Low Back Pain Disability Questionnaire. Perkembangan Oswestry Low Back Pain Disability Questionnaire di prakarsai pertama kali oleh John O’Brien pada tahun 1976. Indeks tersebut dirancang sebagai ukuran untuk penilaian dan hasil (Hiagian, 2013) 2.3.1 Penilaian Oswestry Low Back Pain Disability Questionnaire Sampel diminta untuk mengekpresikan derajat nyeri yang dialami menggunakan Oswestry Low Back Pain Disability Questionnaire yang telah dimodifikasi untuk masyarakat Indonesia. Terdapat 10 bagian pertanyaan yang masing-masingnya membahas tentang intensitas nyeri, kebutuhan pribadi (mencuci, berpakaian, dll), mengangkat beban, berjalan, duduk, berdiri, tidur, kehidupan sosial, bepergian dan pekerjaan kantor/rumah tangga (Hiagian, 2013). Dari masing-masing petanyaan terdapat enam pilihan pernyataan jawaban dengan nilai total 5. Apabila pernyataan jawaban pertama dipilih, maka nilainya adalah 0 sedangkan bila pernyataan jawaban kelima yang dipilih, maka nilainya adalah 5. Apabila lebih dari satu pernyataan jawaban yang pilih maka pilih yang nilainya paling tinggi. Apabila seluruh pertanyaan sudah dijawab maka nilainya dikalkulasian sebagai berikut : apabila 16 (nilai total) dari 50 (nilai total yang memungkinkan) x 100% = 32% (Hiagian, 2013). 29 Berikut adalah interpretasi nilai dari Modified Oswestry Low Back Pain Disability Questionnaire : Tabel 2. 4 Interpretasi nilai Modified Oswestry Low Back Pain Disability Questionnaire Hasil Interpretasi 0% - 30% Disabilitas ringan 31% - 60% Diasabilitas sedang 61% - 100% Disabilitas berat (Hiagian, 2013) 2.4 Konsep Dasar Mulligan Bent Leg Raise 2.4.1 Pengantar Brian Mulligan mempelopori teknik intervensi ini di New Zealand pada tahun 1970’an. Konsep Mulligan menggunakan teknik pengobatan Natural Apophyyseal Glides (NAGs), Reverse NAGs, Sustained Natural Apophyyseal Glides (SNAGs), Mobilization With Movements (MWMs) merupakan mobilisasi spine dengan gerakan dan Spine Mobilization With Limb Movements (SMWLMs) merupakan mobilisasi spine dengan gerakan anggota gerak (Mulligan, 2004). Dalam pembahasan ini, peneliti hanya menjelaskan teknik MWMs yaitu teknik Mulligan Bent Leg Raise. Mulligan Bent Leg Raise menggunakan metode isometrik kontraksi – relaksasi – stretching/mobilisasi dalam posisi fleksi hip dan fleksi lutut. Teknik ini memanfaatkan kontraksi isometrik dari otot hamstring untuk menciptakan posterior tilting pada tulang pelvic sehingga terjadi mobilisasi pada sendi vertebra dan peregangan pada otot-otot lumbo dorsal. Posisi tersebut juga dapat mengurangi kurva lordosis pada vertebra lumbal (Mulligan, 2004). 30 Prinsip Fisiologis yang digunakan pada teknik ini adalah : 1. Autogenik inhibisi (inverse stretch refleks) Ketika suatu otot berkontraksi sangat kuat, terutama jika ketegangan menjadi berlebihan maka secara tiba-tiba kontraksi menjadi terhenti dan otot relaksasi. Relaksasi ini sebagai respon terhadap ketegangan yang sangat kuat, yang dinamakan dengan inverse stretch refleks atau autogenic inhibisi dan menyesuaikan dengan hukum kedua Sherrington yaitu jika otot mendapat stimulasi untuk berkontraksi maka otot antagonis menerima impuls untuk relaksasi (Sudaryanto, 2004). Reseptor yang penting dalam inverse stretch refleks adalah golgi tendon organ, yang terdiri atas kumpulan anyaman dari ujung-ujung saraf yang menonjol diantara fasikula tendon. Serabut-serabut dari golgi tendon organ meliputi serabut saraf kelompok Ib bermyelin yang merupakan serabut saraf sensorik penghantar cepat yang berakhir pada medula spinalis pada neuronneuron inhibitor (interneuron inhibitor) yang kemudian berakhir langsung dengan neuron motorik. Serabut saraf tersebut juga mengadakan hubungan fasilitasi/eksitasi dengan neuron motorik yang mempersarafi otot antagonis. Dengan demikian, kontraksi otot yang kuat akan merangsang golgi tendon organ dari otot yang sama dan impuls tersebut berjalan ke medula spinalis pada interneuron inhibitor yang kemudian menghasilkan respon inhibisi yang dikirim kembali ke otot yang bersangkutan melalui serabut saraf motorik, sehingga kontraksi tersebut akan diikuti dengan relaksasi dari otot yang bersangkutan (Sudaryanto, 2004). 31 2. Inhibisi Reciprokal Kita ketahui bahwa didalam medula spinalis terdapat inhibisi postsinaptik. Serabut saraf afferentt Ia dari muscle spindle otot berjalan ke medulla spinalis dan bersinaps dengan saraf motorik dari otot yang sama (alpha motorneuron) serta bersinaps dengan interneuron inhibisi medula spinalis yang kemudian bersinaps dengan saraf motorik dari otot antagonis (Sudaryanto, 2004). Jika ada impuls dari muscle spindle yang dibawa oleh serabut saraf Ia, maka impuls tersebut menimbulkan inhibisi postsinaptik melalui interneuron inhibisi medula spinalis ke neuron-neuron motorik yang mempersarafi otot antagonis. Kemudian impuls tersebut memfasilitasi neuron motorik dari otot yang sama (agonis) sehingga otot tersebut berkontraksi, sedangkan otot antagonis akan mengalami relaksasi. Fenomena ini disebut inhibisi dan fasilitasi reciprokal, karena adanya persarafan reciprokal dalam medulla spinalis (Sudaryanto, 2004). 3. Respon Mekanikal dan Neurofisiologi Otot terhadap Stretch Respon mekanikal otot terhadap peregangan bergantung pada myofibril dan sarkomer otot. Setiap otot tersusun dari beberapa serabut otot. Satu serabut otot terdiri atas beberapa myofibril. Serabut myofibril tersusun dari beberapa sarkomer yang terletak sejajar dengan serabut otot. Sarkomer merupakan unit kontraktil dari myofibril dan terdiri atas filamen aktin dan miosin yang saling overlapping. Sarkomer memberikan kemampuan pada otot 32 untuk berkontraksi dan relaksasi, serta mempunyai kemampuan elastisitas jika diregangkan (Sudaryanto, 2004). Ketika otot secara pasif diregang/diulur, maka pemanjangan awal terjadi pada rangkaian komponen elastis (sarkomer) dan tension meningkat secara drastis. Kemudian, ketika gaya regangan dilepaskan maka setiap sarkomer akan kembali ke posisi resting length. Kecenderungan otot untuk kembali ke posisi resting length setelah peregangan disebut dengan elastisitas (Sudaryanto, 2004). Respon neurofisiologi otot terhadap peregangan bergantung pada struktur muscle spindle dan golgi tendon organ. Muscle spindle merupakan organ sensorik utama dari otot dan tersusun dari serabut-serabut intrafusal yang terletak paralel dengan serabut ekstrafusal. Muscle spindle berfungsi untuk memonitor kecepatan dan durasi regangan/penguluran serta rasa terhadap perubahan panjang otot. Serabut muscle spindle dapat merasakan cepatnya suatu otot terulur. Serabut saraf afferentt primer (tipe Ia) dan sekunder (tipe II) muncul dari muscle spindle dan bersinaps dengan alpha atau gamma motoneuron secara berurutan, dan memfasilitasi kontraksi dari serabut ekstrafusal dan intrafusal. Golgi tendon organ terletak dekat dengan musculotendinous junction, membungkus disekitar kedua ujung serabut ekstrafusal dan sensitif terhadap ketegangan (tension) pada otot yang disebabkan oleh peregangan pasif atau kontraksi otot secara aktif. Golgi tendon organ merupakan mekanisme proteksi yang menginhibisi kontraksi otot yang kuat. Golgi tendon organ mempunyai ambang rangsang yang 33 sangat rendah untuk titik letup (firing impuls) setelah kontraksi otot aktif dan mempunyai ambang rangsang yang tinggi untuk titik letup (firing impuls) dengan peregangan pasif (Sudaryanto, 2004). Gambar 2. 9 Muscle spindle dan Golgi tendon organ Sumber : http://www.physiology.com (Diakses tanggal 15 Februari 2015) Ketika otot diregang/diulur dengan sangat cepat, maka serabut afferentt primer merangsang alpha motoneuron pada medula spinalis dan memfasilitasi kontraksi serabut ekstrafusal yaitu meningkatkan ketegangan (tension) pada otot. Hal ini dinamakan dengan monosynaptik stretch refleks. Tetapi jika peregangan dilakukan secara lambat pada otot, maka golgi tendon organ terstimulasi dan menginhibisi ketegangan (tension) pada otot sehingga memberikan pemanjangan pada komponen elastik otot yang paralel (sarkomer) (Sudaryanto, 2004). 34 2.4.2 Indikasi dan Kontra Indikasi 1. Indikasi Mulligan Bent Leg Raise a. ketidakmampuan mencapai akhir ROM atau keterbatasan gerak pada lumbal, hip dan lutut. b. Adanya nyeri pada lumbal dan hamstring. c. Adanya spasme yang berlebihan (tightness) pada hamstring. d. Adanya spasme pada otot-otot lumbo dorsal e. Kondisi yang sangat iritabilitas 2. Kontra Indikasi Mulligan Bent Leg Raise a. Fraktur / osteoporosis b. Sprain yang berat (injuri ligamen) c. Strain yang berat (injuri myofascial) d. Pasien yang tidak kooperatif atau tidak responsif. 2.4.3 Mekanisme Penurunan Nyeri oleh Mulligan Bent Leg Raise Diketahui bahwa, cidera pada serabut annulus bagian dorsal dan ligamen longitudinal posterior menyebabkan aktifnya serabut afferent Aδ dan C yang mempersarafi kedua struktur tersebut. Aktivitas dari serabut afferent Aδ dan C menyebabkan refleks spasme pada otot-otot lumbo dorsal sebagai proteksi atau guarding terhadap gerakan yang terjadi. Adanya spasme atau tightness pada otot-otot lumbo dorsal akan memperberat nyeri karena menimbulkan beban stress yang besar pada diskus yang cidera (Sudaryanto, 2004). Dengan pemberian Mulligan Bent Leg Raise yang menggunakan metode isometrik kontraksi – relaksasi – stretching/mobilisasi dapat merangsang serabut 35 afferent tipe Ia dan II yang berdiameter besar (proprioseptor) di muscle spindle dan golgi tendon organ sehingga aktivitas dari serabut afferent tersebut dapat menurunkan spasme otot sesuai dengan prinsip autogenik inhibisi, inhibisi reciprokal dan monosynaptik stretch refleks. Prinsip autogenik inhibisi dan monosynaptik stretch refleks di terapkan pada otot hamstring, dimana kontraksi isometrik dari otot hamsring menciptakan posterior tilting pada tulang pelvic sehingga terjadi mobilisasi pada sendi vertebra dan peregangan pada otot-otot lumbo dorsal serta mengurangi kurva lordosis pada vertebra lumbal. Prinsip inhibisi reciprokal diterapkan pada otot agonis dan otot antagonis fleksi lumbal. Kontraksi pada core muscle menghasilkan relaksasi pada otot-otot lumbodorsal yang menghasilkan penurunan spasme otot. Penurunan spasme otot tersebut dapat meminimalkan beban stress pada diskus sehingga nyeri dapat berkurang (Sudaryanto, 2004). Selain pada regio lumbodorsal, teknik intervensi Mulligan Bent Leg Raise memberikan pengaruh yang besar terhadap peningkatan jarak pada straight leg raise (SLR) yang artinya teknik ini mampu mengembalikan mobilitas dan mengurangi ketidakmampuan fisik (Hall, 2006), serta meningkatkan ROM lumbal, meningkatkan derajat active knee extension, meningkatkan kekuatan core muscle dan penurunan nyeri ungsional (Patel, 2014). 2.4.4 Aplikasi Mulligan Bent Leg Raise merupakan painless technique, sehingga harus diingat bahwa intervensi ini tidak menyakitkan. Dalam pengaplikasiannya pasien diminta memposisikan salah satu hip dan lutut dalam posisi fleksi . Lutut yang 36 fleksi diletakan di bahu terapis, lalu terapis meminta pasien untuk melawan tahanan yang diberikan terapis dengan kakinya selama 30 detik kemudian relax. Saat pasien dalam posisi relax terapis mendorong lutut sejauh kemampuan pasien mendekati tubuhnya lalu pasien diminta untuk melawan tahanan kembali selama 30 detik. Dalam satu sesi latihan dilakukan 3 kali repetisi. Dalam latihan disebutkan “rule of three” yang artinya pada hari pertama teknik ini hanya akan diberikan sebanyak tiga kali sebagai tindakan pencegahan terhadap eksaserbasi laten (Mulligan, 2004). Gambar 2. 10 Teknik aplikasi Mulligan Bent Leg Raise (Phansopkar, 2014) 2.5 Konsep Dasar McKenzie Exercise 2.5.1 Pengantar Program latihan McKenzie diperkenalkan oleh Robin McKenzie pada tahun 1960-an. Dalam program latihan ini, partisipasi pasien memainkan peran utama dalam penyembuhan (Kurniasih, 2011). 37 Latihan metode McKenzie adalah serangkaian gerakan tubuh yang ditujukan untuk mengurangi keluhan nyeri pinggang bawah (McKenzie, 2000). Prinsip latihan McKenzie adalah memperbaiki postur untuk mengurangi hiperlordosis lumbal. Sedangkan secara operasional pemberian latihan untuk penguatan otot pinggang bawah ditujukan untuk memperkuat otot-otot lumbosacral terutama otot dinding abdomen dan otot gluteus, mengurangi spasme otot, meregangkan otot-otot yang memendek terutama otot-otot ekstensor punggung bawah, hamstring, dan otot quadratus lumborum, koreksi postur (McKenzie, 2000). Pada LBP non-spesifik, efek nyeri pinggang mengakibatkan terjadinya keterbatasan gerak dan bila keadaan ini dibiarkan dalam waktu yang lama dapat menimbulkan ketegangan dan kekakuan pada otot di bawah pinggang sehingga akan menimbulkan keterbatasan gerak (Sudaryanto, 2004). 2.5.2 Indikasi dan Kontra Indikasi 1. Indikasi Latihan McKenzie a. Spasme otot b. Kekakuan sendi intervertebralis c. Hernia nukleus pulposus 2. Konta Indikasi Latihan McKenzie a. Spondylolistesis b. Ankylosing spondylitis c. Terdislokasi dan ruptur ligament 38 d. Penyakit kelemahan tulang yang berat seperti osteoporosis, osteomalasia, dan lain-lain. 2.5.3 Mekanisme Penurunan Nyeri oleh Latihan McKenzie Latihan McKenzie merupakan terapi latihan yang menggunakan gerakan badan terutama kearah ekstensi. Dimana dalam kasus LBP non-spesifik terjadi spasme akibat penekan ligamen longitudinal posterior yang sangat sensitif karena banyak mengandung saraf afferentt tipe Aδ dan C, sehingga pasien sakit pada saat membungkuk (Kurniasih, 2011). Dengan diberikan latihan McKenzie yang menggunakan gerakan badan kearah ekstensi serta peran aktif pasien akan memulihkan mobilitas dan fungsi lumbal dengan menghilangkan stress yang akan mengembalikan nukleus pulposus kembali ke anterior, sehingga inflamasi yang terjadi pada ligamen longitudinal posterior berkurang dan nyeri pada lumbal akan berkurang serta dapat memberikan rasa nyaman dan ada perbaikan postur serta menghilangkan imbalance muscle (McKenzie, 2000). Selain itu, dengan latihan McKenzie dapat menghilangkan limitasi ROM, dengan adanya perbaikan kekuatan dan kelenturan otot maka akan didapatkan kestabilan persendian, sehingga limitasi ROM dapat dihindari. Perbaikan kekuatan otot ini yang tidak ada pada modalitas terapi standar (Kurniasih, 2011). 2.5.4 Aplikasi Program latihan McKenzi terdiri dari 6 latihan yaitu latihan pertama sampai latihan empat merupakan latihan-latihan ekstensi, 2 latihan terakhir 39 adalah latihan-latihan fleksi . Sebagai aplikasi awal maka latihan hanya diberikan sampai latihan keempat. 1. Latihan Pertama Posisi pasien telungkup dengan posisi kepala menghadap ke salah satu sisi dan posisi lengan di samping badan. Pasien diminta untuk menarik napas kemudian hembuskan napas secara teratur sampai pasien merasa rileks. Pertahankan posisi tersebut selama 2 menit. Latihan ini berfungsi untuk menghilangkan ketegangan pada otot-otot vertebra, meningkatkan sirkulasi sehingga tercapai rileksasi, dan dengan adanya sirkulasi yang baik dapat menurunkan spasme. Gambar 2. 11 Latihan pertama McKenzie exercise (McKenzie, 2000) 2. Latihan Kedua Posisi pasien telungkup dengan posisi tangan seperti push up, lalu lakukan gerakan menekan matras/lantai dengan pinggang badan terangkat ke atas dan siku tertekuk 90º, usahakan pelvic dan ke dua tungkai tetap menempel pada lantai, pertahankan selama 5 detik dan dilakukan sebanyak 10 kali. Latihan ini berfungsi untuk menambah ROM, memulihkan mobilitas dan fungsi lumbal dengan mengembalikan posisi nukleus pulposus kembali ke anterior sehingga annulus fibrosus akan menekan 40 ligamentum longitudinal posterior yang sangat sensitif karena banyak mengandung saraf aferent tipe Aδ dan C, dengan demikian inflamasi berkurang dan nyeri akan berkurang. Gambar 2. 12 Latihan kedua (1) McKenzie exercise (McKenzie, 2000) Gambar 2. 13 Latihan kedua (2) McKenzie exercise (McKenzie, 2000) 3. Latihan Ketiga Posisi pasien telungkup, ke dua tangan pada posisi seperti push up, lalu gerakan tangan menekan matras/lantai hingga siku dalam posisi lurus dan badan terangkat ke atas sampai pinggang terasa sakit, usahakan pelvic serta ke dua tungkai tetap menempel pada matras/lantai. Pertahankan selama 5 detik dan dilakukan sebanyak 10 kali. Latihan ini berfungsi untuk meningkatkan sirkulasi darah sehingga tercapai rileksasi otot-otot ekstensor. 41 Gambar 2. 14 Latihan ketiga (1) McKenzie exercise (McKenzie, 2000) Gambar 2. 15 Latihan ketiga (2) McKenzie exercise (McKenzie, 2000) Gambar 2. 16 Latihan ketiga (3) McKenzie exercise (McKenzie, 2000) Gambar 2. 17 Latihan ketiga (4) McKenzie exercise (McKenzie, 2000) 42 4. Latihan Keempat Posisi pasien berdiri tegak, kaki agak terbuka dan ke dua tangan ditaruh dipinggang, lalu bungkukkan badan ke belakang sejauh pasien bisa. Pertahankan posisi selama 5 detik dan dilakukan sebanyak 10 kali. Latihan ini berfungsi untuk menambah ROM, memulihkan mobilitas dan fungsi lumbal dengan mengembalikan posisi nukleus pulposus kembali ke anterior sehingga anulus fibrosus akan menekan ligamentum longitudinal posterior yang sangat sensitif karena banyak mengandung saraf aferent tipe Aδ dan C, dengan demikian inflamasi berkurang dan nyeri akan berkurang. Gambar 2. 18 Latihan keempat (1) McKenzie exercise (McKenzie, 2000) 43 Gambar 2. 19 Latihan keempat (2) McKenzie exercise (McKenzie, 2000) Untuk mendapatkan hasil yang optimal dari terapi latihan McKenzie ada beberapa hal yang harus diperhatikan antara lain : 1. Penyusunan latihan ini dimulai dari gerakan-gerakan yang termudah bagi pasien, kemudian ditingkatkan sesuai kemampuan pasien. 2. Saat melakukan latihan sedapat mungkin gerakan lurus bengkok dilakukan pasien dengan pelan, berirama dan terkontrol. 3. Setiap jenis gerakan dikerjakan paling sedikit 5 (lima) kali dan gerakan terbaik dilakukan sebanyak 15 kali. 4. Latihan dengan posisi tiduran sebaiknya dilakukan di lantai dengan menggunakan matras yang agak keras. 5. Latihan dilakukan semampu pasien, tidak boleh terlalu lelah . 6. Harus memberitahukan kepada yang bersangkutan apabila latihan yang dilakukan menambah rasa sakit, bahkan jika perlu latihan yang harus dihentikan.