BAB II KAJIAN PUSTAKA

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Konsep Dasar LBP
2.1.1 Definisi LBP Non-spesifik
LBP diartikan sebagai keluhan nyeri dan rasa tegang atau kaku pada otot,
yang terlokalisasi di area bawah costae dan di atas lipatan gluteus inferior
dengan atau tanpa nyeri menjalar ke tungkai (Koes, 2006). LBP non-spesifik
yaitu LBP tanpa sebab yang jelas (LBP of unknown origin) (Santosa, 2011).
LBP non-spesifik didiagnosa seperti mysofascial syndromes, muscle spasm,
mechanical LBP, back sprain, dan back strain. Pada kondisi ini pasien akan
merasakan nyeri otot yang hebat dan adanya keterbatasan gerak fungsional
tubuh terutama pada saat fleksi. Pada umumnya pasien yang mengeluh nyeri
pada daerah lumbal kebanyakan disebabkan karena adanya kesalahan postural
(Kurniasih, 2011).
2.1.2 Anatomi Terapan dan Biomekanik
Dalam sub bab ini akan dibahas mengenai struktur pada columna
vertebralis dan struktur regio lumbal serta struktur pada pelvic dan tight
1. Columna vertebralis dan Regio Lumbal
a. Tulang vertebra
Tulang vertebra adalah sekumpulan tulang yang tersusun dalam columna
vertebralis yang berfungsi untuk menjaga tubuh pada posisi berdiri di atas
7
8
dua kaki. Garis berat tubuh manusia di kepala berawal dari vertex, diteruskan
melalui columna vertebralis ke tulang panggul yang selanjutnya akan
meneruskan lagi ke tungkai melalui acetabulum. Dalam menjalankan
fungsinya menahan berat badan, tulang-tulang vertebra diperkuat oleh
ligamen dan otot-otot yang sekaligus mengatur keseimbangan gerakannya
(Wibowo, 2007).
Columna vertebralis dibentuk oleh serangkaian tulang vertebra yang
teridiri dari 7 buah vertebrae cervicales, 12 buah vertebrae thoracicae, 5
buah vertebrae lumbal, os sacrum dan coccyx. Os sacrum merupakan
penyatuan dari 5 buah vertebrae sacrales, dan coccyx terdiri dari 4 buah
vertebrae coccyeae. Dengan demikian dikatakan bahwa columna vertebralis
dibentuk oleh 33 buah tulang vertebra (Wibowo, 2007).
Tulang-tulang vertebra pada columna vertebralis membentuk kurva
lordosis dan kifosis secara bergantian jika dilihat pada bidang sagital. Segmen
cervical dan lumbal membentuk kurva lordosis dimana derajat lordosis pada
segmen cervical lebih kecil dari pada derajat lordosis pada segmen lumbal.
Pada segmen thoracic dan sacrococcygeal membentuk kurva kifosis. Posisi
kurva pada posisi netral tersebut bukanlah posisi yang mutlak. Antara ruasruas tulang vertebra dihubungkan oleh discus intervertebralis yang
memungkinkan untuk terjadinya gerakan secara dinamis (Neumann, 2002).
9
Gambar 2. 1 Kurva tulang vertebra dilihat dari lateral
Sumber : http://www.spineuniverse.com
(Diakses tanggal 10 Februari 2015)
b. Lumbal spine
Tulang vertebra lumbal memiliki bentuk yang lebar dan besar, vertebra
lumbal sesuai untuk menyangga seluruh beban dari kepala, badan dan
ekstremitas atas. Tulang lumbal berhubungan dengan lower thorakal,
upper sacral, dan hip pelvic complex. Sendi lumbal terdiri atas 5 ruas
corpus vertebralis yang merupakan bagian dari columna vertebralis
(Wibowo, 2007).
Pada setiap ruas tulang terbentuk atas sebuah corpus yang bentuknya
mirip ginjal. Lumbal memiliki corpus yang lebih besar dan tebal jika
dibandingkan dengan corpus vertebralis yang lain dan bentuknya kurang
lebih bulat dengan bagian atas dan bawah yang datar, satu processus
spinosus, yang mengarah pada bidang sagital, dua processus transversus,
sepasang processus articularis superior dan inferior, dimana kedua bagian
ini saling bertemu pada kedua belah sisi dalam bentuk sendi facet dan
10
foramen intervertebralis, tempat menjalarnya cauda equina dimana
merupakan lanjutan dari spynal cord. Dengan kurva lordosis yang dimiliki
oleh lumbal menyebabkan lumbal menerima beban paling besar dari
segmen columna vertebralis lainnya. Selain itu lumbal juga mempunyai
mobilitas yang tinggi (Wibowo, 2007).
Gambar 2. 2 Vertebra lumbal (Cael, 2010)
Gerakan pada collumna vertebralis bergantung pada segmen mobile,
yaitu, 2 sendi facet dan jaringan lunak diantaranya. Segmen tersebut
memberikan beberapa derajat gerakan pada setiap regio (Kurniasih, 2011).
Pada regio lumbal, orientasi sendi facet lebih kedalam bidang sagital
sehingga gerak yang dominan adalah fleksi–ekstensi. Disamping itu, terjadi
gerakan lateral fleksi kiri dan kanan serta rotasi (Kurniasih, 2011).
Pada gerakan fleksi, corpus vertebra bagian atas akan bergerak
menekuk kearah anterior sehingga terjadi peregangan pada discus
intervertebralis bagian posterior (Kurniasih, 2011).
Pada gerakan ekstensi, corpus vertebra bagian atas akan bergerak
menekuk kearah posterior, sementara discus menjadi mampat pada bagian
posterior dan teregang pada bagian anterior. Ligamen longitudinal
11
anterior juga mengalami penguluran sementara ligamen longitudinal
posterior rileks. Dengan demikian, gerakan ekstensi dibatasi oleh struktur
tulang dari arkus vertebra dan ketegangan ligamen longitudinal anterior
(Kurniasih, 2011).
Pada gerakan lateral fleksi, corpus vertebra bagian atas akan bergerak
kearah ipsilateral, sementara discus sisi kontralateral mengalami
ketegangan karena bergeser kearah kontralateral (Kurniasih, 2011).
Pada bagian rotasi, vertebra bagian atas berotasi pada vertebra bagian
bawah, tetapi gerakan rotasi ini hanya terjadi disekitar pusat rotasi. Discus
intervertebralis tidak berperan dalam gerakan rotasi, sehingga gerakan
rotasi sangat dibatasi oleh sendi facet vertebra lumbal (Kurniasih, 2011).
c. Discus Intervertebralis
Discus intervertebralis merupakan struktur penghubung antara ruasruas vertebra yang cukup besar (Kurniasih, 2011). Fungsi discus
intervertebralis antara lain memperluas gerak antar tulang vertebra,
sebagai shock absorber, melindungi permukaan sendi ruas-ruas vertebra
yang bersangkutan serta sebagai stabilisasi tulang vertebra (Neumann,
2002).
Discus intervertebralis memiliki nucleus pulposus yang berbentuk bulat
ibarat bola yang terletak antara dua papan, sehingga memiliki derajat gerak
yaitu :
12
1) Tilting ke depan-belakang dalam bidang sagital sebagai fleksi -ekstensi,
gliding ke depan-belakang dalam bidang sagital sebagai anteriorposterior glide
2) Tilting kesamping kanan-kiri dalam bidang frontal sebagai lateral fleksi
kanan-kiri, gliding kesamping kanan-kiri dalam bidang frontal sebagai
gerak geser kanan-kiri
3) Rotasi kanan-kiri dalam bidang transversal sebagai rotasi kanan-kiri,
gliding sumbu longitudinal sebagai traksi-kompresi (Sudaryanto, 2013)
d. Ligamen
Ligamen memperkuat columna vertebralis sehingga membentuk postur
tubuh seseorang. Ligamen-ligamen tersebut antara lain :
1) Ligamen longitudinal anterior
Ligamen longitudinal anterior merupakan jaringan fibrous yang
terdapat di sepanjang bagian depan columna vertebralis. Ligamentum
ini dimulai dari os occipital dan berakhir pada os sacrum, makin
kebawah ukurannya semakin lebar namun pada daerah thoracal
ligamen ini menyempit (Wibowo, 2007).
Fungsi ligamen tersebut menyatukan ruas-ruas vertebra dari arah
depan, tetapi tidak cukup kuat memfiksir annulus fibrosus discus
intervertebralis (Kurniasih, 2011).
2) Ligamen longitudinal posterior
Di bagian belakang corpus, di dalam canalis vertebralis terdapat
ligamen longitudinal posterior. Berbeda dengan yang anterior, ligamen
13
longitudinal posterior berawal dari corpus cervicalis kedua dan juga
berakhir pada permukaan anterior canalis ossos sacri (Wibowo, 2007).
Ligamen ini melekat pada discus intervertebralis, oleh karena itu
ligamen ini dapat mengfiksir atau menutupi discus intervertebralis
sehingga berfungsi membatasi gerakan terutama gerakan fleksi dan
ekstensi serta berperan sebagai pelindung. Namun karena ligamen ini
tidak melekat secara penuh, maka pada bagian posterolateral dari
discus intervertebralis tidak terlindungi. Ligamen ini sangat sensitif
karena banyak mengandung serabut saraf afferent nyeri (Aδ dan tipe C)
dan memiliki sirkulasi darah yang banyak (Kurniasih, 2011).
3) Ligamen intertransversal
Ligamen ini melekat pada tuberculum asesori dari processus
transversus dan berkembang baik pada regio lumbal. Ligamen ini
mengontrol gerakan lateral fleksi kearah kontralateral (Sudaryanto,
2004).
4) Ligamen flavum
Ligamen ini sangat elastis dan melekat pada arcus vertebra tepatnya
pada setiap lamina vertebra. Ke arah anterior dan lateral, ligamen ini
menutup capsular dan ligamen anteriomedial sendi facet. Ligamen ini
mengontrol gerakan fleksi lumbal (Sudaryanto, 2004).
5) Ligamen interspinosus
Ligamen ini sangat kuat yang melekat pada setiap processus
spinosus
dan
memanjang
kearah
posterior
dengan
ligamen
14
supraspinosus. Ligamen ini berperan sebagai stabilisator pasif saat
gerakan fleksi lumbal (Sudaryanto, 2004).
6) Ligamen supraspinosus
Ligamen ini melekat pada setiap ujung processus spinosus. Pada
regio lumbal, ligamen ini kurang jelas karena menyatu dengan serabut
insersio otot lumbodorsal. Ligamen ini berperan sebagai stabilisator
pasif saat gerakan fleksi lumbal (Sudaryanto, 2004).
Gambar 2. 3 Ligamen-ligamen yang memperkuat columna vertebralis
Sumber : http://www.spineuniverse.com
(Diakses tanggal 10 Februari 2015)
e. Otot – otot vertebral lumbal
1) Erector spine, merupakan kelompok otot yang luas dan terletak dalam
pada facia lumbodorsal, serta muncul dari suatu aponeurosis pada
sacrum, crista illiaca dan procesus spinosus thoraco lumbal. Kelompok
otot ini terbagi atas beberapa otot yaitu:
a) Musculus Longissimus
15
b) Musculus Iliocostalis
c) Musculus Spinalis
Kelompok otot ini merupakan penggerak utama pada gerakan extensi
lumbal dan sebagai stabilisator vertebra lumbal saat tubuh dalam
keadaan tegak. Kerja otot tersebut dibantu oleh Musculus Transverso
spinalis dan Paravertebral muscle (deep muscle) seperti Musculus
Intraspinalis dan Musculus Intrasversaris (Sudaryanto, 2004)
Gambar 2. 4 Otot erector spine (Cael, 2010)
Gambar 2. 5 Otot paravertebral (Cael, 2010)
16
2) Abdominal, merupakan kelompok otot ekstrinsik yang membentuk dan
memperkuat dinding abdominal. Pada kelompok otot ini ada 4 otot
abdominal yang penting dalam fungsi spine, yaitu Musculus rectus
abdominis, Musculus obliqus external, Musculus obliqus internal dan
Musculus transversalis abdominis. Kelompok otot ini merupakan
fleksor trunk yang sangat kuat dan berperan dalam mendatarkan kurva
lumbal. Di samping itu musculuc obliqus internal dan external berperan
pada rotasi trunk (Sudaryanto, 2004).
Gambar 2. 6 Otot superfisial abdominal (Cael, 2010)
Gambar 2. 7 Otot deep abdominal (Cael, 2010)
17
3) Deep lateral muscle, merupakan kelompok otot intrinstik pada bagian
lateral lumbal yang terdiri dari :
a) Musculus Quadratus Lumborum
b) Musculus Psoas
Kelompok otot ini berperan pada gerakan lateral fleksi dan rotasi
lumbal (Sudaryanto, 2004).
f. Facet
Sendi facet dibentuk oleh processus articularis superior dari vertebra
bawah dengan processus articularis inferior dari vertebra atas. Sendi facet
termasuk dalam non-axial diarthrodial joint. Setiap sendi facet
mempunyai cavitas articular dan terbungkus oleh sebuah kapsul. Gerakan
yang terjadi pada sendi facet adalah gliding yang cukup kecil. Besarnya
gerakan pada setiap vertebra sangat ditentukan oleh arah permukaan facet
articular (Sudaryanto, 2004).
Pada regio lumbal kecuali lumbosacral joint, facet articularis-nya
terletak lebih dekat kedalam bidang sagital. Karena bentuk facet ini, maka
vertebra lumbal sebenarnya terkunci melawan gerakan rotasi sehingga
rotasi lumbal sangat terbatas (Sudaryanto, 2004).
g. Forament intervertebralis
Forament intervertebralis terletak disebelah dorsal columna vertebralis
antara vertebra atas dan bawahnya. Pada bagian superior dibatasi oleh
pedikulus vertebra bawahnya, pada bagian anterior oleh sisi dorso lateral
discus serta sebagian corpus, pada bagian dorsal oleh processus articularis
18
dan facet-nya serta tepi lateral ligamenum flavum.
Pada
forament
intervertebralis terdapat jaringan yang penting meliputi: radiks, saraf
sinuvertebra, pembuluh darah dan jaringan penyangga yang terdiri atas
lemak dan serabut collagen untuk melindungi isi forament (Kurniasih,
2011).
2. Pelvic dan Tight
a. Pelvic
Pada pelvic terdapat tulang coxae kiri dan kanan yang saling
berubungan pada bagian depan, dan dengan tulang sacrum pada bagian
belakang. Sebagai kesatuan, tulang-tulang ini berperan dalam melindungi
organ tubuh di dalam pelvic (Wibowo, 2007).
Otot-otot pada pelvic mulai dari otot superficial dan otot-otot bagian
dalam adalah m. Gluteus maxximus, m. Gluteus medius,m. Gluteus
minimus, m. Piriformis, m. Gamellus superior dan inferior, m. Quadratus
femoris dan sebagian m. Obturatorius externus. Selain struktur otot dan
tulang pada regio pelvic juga terdapat pembuluh darah dan saraf.
Pembuluh darah yang mengurus regio glutea adalah cabang dari arteri
iliaca interna (arteri glutea superior dan inferior, arteri pudenda interna).
Untuk persarafannya berasal dari rami ventralis nervi spinalis yang keluar
dari segmenta lumbalis satu sampai empat. Nervi spinalis ini membentuk
plexus lumbalis dan serabut spinal yang keempat bergabung dengan
serabut yang berasal dari segmen sakral membentuk plexus lumbosacralis.
(Wibowo, 2007)
19
Sacara
arsitektur,
pelvic
terletak
strategis
karena
merupakan
penghubung trunk dengan extemitas inferior sehinggga harus saling
bekerjasama pada setiap gerakan lumbal dan hip. (Sudaryanto, 2011).
Karena gerak pelvic bergantung pada sendi-sendi di lumbal spine dan hip
maka gerak pelvic dapat bersifat sekunder atau primer. Berikut analisis
gerak primer dan sekunder dari pelvic :
Tabel 2. 1 Analisis gerak primer pelvic dalam posisi berdiri
Pelvic
Anterior pelvic tilt
Posterior pelvic tilt
Lateral pelvic tilt
Lumbal Spine
Hiperekstensi
Sedikit fleksi
Sedikit lateral fleksi
kanan
Rotasi ke kiri (tanpa Rotasi ke kanan
kepala
dan
kaki
bergerak)
(Sudaryanto, 2011)
Hip Joint
Sedikit fleksi
Ekstensi penuh
ke Kanan : sedikit adduksi
Kiri : sedikit abduksi
Kanan
:
sedikit
exorotasi
Kiri : sedikit endorotasi
Tabel 2. 2 Analisis gerak sekunder pelvic terhadap lumbal spine
Lumbal spine
Pelvic
Fleksi
Posterior pelvic tilt
Ekstensi/hiperekstensi
Anterior pelvic tilt
Lateral fleksi kiri
Lateral pelvic tilt ke kanan
Rotasi kiri
Rotasi ke kiri
(Sudaryanto, 2011)
Tabel 2. 3 Analisi gerak sekunder pelvic terhadap hip joint
Hip joint
Pelvic
Fleksi
Anterior pelvic tilt
Ekstensi/hiperekstensi
Posterior pelvic tilt
Abduksi ke kiri
Lateral pelvic tilt ke kanan
Adduksi ke kiri
Lateral pelvic tilt ke kiri
(Sudaryanto, 2011)
b. Tight
Daerah tungkai atas (Tight) memiliki beberapa kelompok otot besar,
salah satu kelompok otot memberikan kontribusi terhadap terjadinya LBP
yaitu kelompok otot ekstensor hip dan fleksor knee (Hamstring).
20
Hamstring merupakan otot paha bagian belakang yang berfungsi sebagai
fleksor knee dan ekstensor hip. Secara umum hamstring bertipe otot
serabut otot tipe II (Watson, 2002). Hamstring terbagi atas tiga otot yaitu:
1) Otot Biceps Femoris
Mempunyai dua buah caput. Caput longum dan breve, caput
longum berorigo pada pars medialis tuber Ichiadicum dan Musculus
semitendinosus sedangkan caput breve berorigo pada labium lateral
linea aspera femoris, insersio otot ini pada capitulum fibula (Watson,
2002).
2) Otot Semitendinosus
Otot ini berorigo pada pars medialis tuber ichiadicum dan
berinsersio pada facies medialis ujung proximaltibia (Watson, 2002)
3) Otot Semimembranosus
Melekat di sebelah pars lateralis tuber ichiadicum turun ke arah
sisi medial regio posterior femoris dan berinsersio pada facies
posterior condylus medialis tibia (Watson, 2002)
Gambar 2. 8 Gambar kelompok otot hamstring (Watson, 2002)
21
Otot hamstring berfungsi dalam gerakan ekstensi dan hiperekstensi
hip. Ekstensi adalah gerakan kembali dari fleksi dan hiperekstensi
adalah gerakan femur ke belakang dalam bidang sagital. Gerak
hiperekstensi sangat terbatas dengan ROM sebesar 00-200 (gerak aktif)
dan sebesar 00-300 (gerak pasif). Keuntungan dari ketebatasan gerak
ini adalah sendi menjadi sangat stabil untuk wight bearing (menumpu
berat badan) tanpa membutuhkan kontraksi otot yang kuat
(Sudaryanto, 2011).
Selain itu otot hamstring juga berperan dalam membatasi luas
gerakan fleksi hip. Gerakan fleksi hip yang luas dilakukan dengan lutut
dalam posisi fleksi dimana pelvic akan backward tilt untuk
melangkapi gerakan fleksi hip. ROM fleksi hip dengan posisi ekstensi
lutut adalah sebesar 00-900, sedangkan ROM fleksi hip dengan posisi
fleksi lutut adalah sebesar 00-1200 (gerak aktif) dan 00-1400 (gerak
pasif) (Sudaryanto, 2011).
2.1.3 Patofisiologi LBP Non-spesifik
LBP non-spesifik sering terjadi karena postur yang buruk, oleh karena itu
LBP non-spesifik biasanya terjadi pada individu yang duduk untuk waktu yang
lama, membungkuk untuk waktu yang lama atau sering membungkuk saat
bekerja, mengangkat benda yang berat, berdiri, posisi tidur dan berbaring yang
jelek. Stres postural yang lama menyebabkan overstretch pada ligamen dan
jaringan lunak lainnya yang mempertahankan vertebra. Ketika sendi diantara
22
kedua tulang berada dalam posisi yang menghasilkan overstretch dan kelelahan
pada jaringan lunak sekitar sendi, nyeri sering dihasilkan (McKenzie, 2000)
Penyebab nyeri lainnya adalah ischemia, dimana ischemia dapat
menyebabkan akumulasi asam laktat dengan jumlah yang besar di dalam
jaringan, yang terbentuk sebagai konsekuensi dari metabolisme anaerobik.
Kemungkinan juga adalah keterlibatan unsur-unsur kimiawi lainnya seperti
bradykinin dan enzim proteolytic yang terbentuk di dalam jaringan karena
adanya kerusakan sel. Keterlibatan kedua enzim dan akumulasi asam laktat di
dalam jaringan dapat merangsang ujung-ujung saraf nyeri (reseptor nyeri).
Disamping itu, muscle spasm juga penyebab umum dari nyeri. Nyeri dapat
berasal dari efek langsung dari muscle spasm yang merangsang reseptor nyeri
mechanosensitive, tetapi dapat juga berasal dari efek tidak langsung dari muscle
spasm yang mengompresi pembuluh darah sehingga menyebabkan ischemia. Hal
ini akan menciptakan pelepasan subtansi kimiawi penyebab nyeri (Guyton,
2006).
Nyeri pada LBP non-spesifik merupakan respon terhadap adanya
kerusakan atau gangguan pada struktur vertebra lumbal yang disebabkan oleh
faktor mekanikal (kesalahan biomekanik). Pada umumnya kerusakan terjadi
pada serabut annulus fibrosus bagian dorsal dan atau ligamen longitudinal
posterior. Adanya kerusakan menyebabkan terlepasnya zat-zat iritan seperti
prostaglandin, bradykinin, dan histamin sehingga merangsang serabut saraf Aδ
dan tipe C (bermylein tipis). Impuls tersebut dibawa ke ganglion dorsalis dan
masuk kedalam medulla spinalis melalui cornu dorsalis, yang kemudian dibawa
23
ke level Sistem Saraf Pusat yang lebih tinggi melalui traktus spinothalamicus
dan spinoreticularis. Adanya rangsangan pada ganglion dorsalis akan memicu
produksi “P” substance. Produksi “P” substance akan merangsang terjadinya
reaksi inflamasi (Sudaryanto, 2004).
Adanya nyeri hebat menyebabkan reaksi reflekstorik pada otot-otot lumbo
dorsal terutama otot erector spine sehingga terjadi peningkatan tonus yang
terlokalisir (spasme) sebagai “guarding” (penjagaan) terhadap adanya gerakan.
Jika spasme otot berlangsung lama maka otot akan cenderung menjadi tightness.
Keadaan tightness pada otot-otot erector spine akan memperberat nyeri karena
terjadi ischemic dan menyebabkan alignment spine menjadi abnormal sehingga
menimbulkan beban stress/kompresi yang besar pada diskus intervertebralis
yang cidera (Sudaryanto, 2004).
Adanya problem utama berupa nyeri dan tightness pada otot-otot lumbo
dorsal terutama erector spine maka gangguan gerak dan fungsi yang dominan
adalah terhambatnya gerak fleksi lumbal, sedikit terhambat pada lateral fleksi
dan rotasi lumbal. Gerakan-gerakan tersebut merupakan gerakan-gerakan
fungsional pada lumbal (Sudaryanto, 2004).
2.2 Konsep Dasar Nyeri
2.2.1 Definisi Nyeri
Nyeri menurut The International For Study of Pain (IASP) adalah
pengalaman sensorik dan emosional yang tidak nyaman, yang berkaitan dengan
kerusakan jaringan atau berpotensi terjadinya kerusakan jaringan atau
24
menggambarkan adanya kerusakan jaringan. Nyeri juga merupakan suatu refleks
untuk menghindari dari semacam bahaya, tetapi perasaan nyeri itu terlalu keras
atau berlangsung terlalu lama akan berakibat tidak baik bagi badan (William,
2005).
Nyeri dapat juga diartikan sebagai refleks untuk menghindari rangsangan
dari luar badan, atau melindungi badan dari hal-hal yang membahayakan tubuh
dan menjadi sinyal adanya kerusakan jaringan. Berdasarkan patofisiologinya
nyeri terbagi atas :
1.
Nyeri nosiseptif atau nyeri inflamasi, yaitu nyeri yang timbul akibat adanya
stimulus mekanis terhadap nosiseptor
2.
Nyeri neuropatik, yaitu nyeri yang timbul akibat disfungsi primer pada
sistem saraf
3.
Nyeri idiopatik, nyeri dimana kelainan patologi tidak dapat ditemukan
4.
Nyeri psikologik, penyebab nyeri tidak dapat ditemukan kelainan organik
tetapi penderita mengeluh nyeri. Dan biasanya keluhan nyeri sering
berubah-ubah (Kurniasih, 2011).
2.2.2 Mekanisme Timbulnya Nyeri
Impuls disampaikan oleh serabut saraf yang bermyelin besar dan kecil,
aktivitas dari serabut saraf besar akan menghambat aktivitas substansia
gelatinosa yang menyebabkan pintu gerbang tertutup sehingga impuls nyeri
tidak sampai, sedangkan saraf yang bermyelin kecil memperlancar impuls
25
masuk kedalam substansia gelatinosa selanjutnya naik ke otak untuk
diterjemahkan sebagai nyeri. Ada empat proses dalam transmisi nyeri :
1. Proses transduksi
Merupakan proses dimana suatu stimulasi nyeri diubah menjadi suatu
aktivitas listrik yang akan diterima oleh ujung – ujung saraf. Stimulasi ini
dapat berupa stimulasi fisik mekanis (berupa tekanan), thermis (panas dan
dingin), atau kimiawi (Kurniasih, 2011).
2. Proses transmisi
Yaitu penyaluran impuls melalui saraf sensorik menyusul proses transduksi.
Impuls ini akan disalurkan oleh serabut Aδ dan serabut C sebagai neuron
pertama, dari perifer ke medulla spinalis dimana impuls tersebut mengalami
modulasi sebelum diteruskan ke thalamus oleh tractus spinothalamikus
sebagai neuron kedua. Dari thalamus selanjutnya impuls disalurkan kedaerah
somatosensorik diskorteks serebri melalui neuron ketiga, dimana impuls
tersebut diterjemahkan dan dirasakan sebagai persepsi nyeri (Kurniasih,
2011).
3. Proses modulasi
Proses dimana terjadi interaksi antara sistem analgesik endogen yang
dihasilkan oleh tubuh dengan input nyeri yang masuk ke cornu posterior
medulla spinalis. Sistem analgesik endogen ini meliputi enkefalin, endorfin,
serotinin memiliki efek yang dapat menekan impuls nyeri pada cornu
posterior medulla spinalis. Cornu posterior ini dapat diibaratkan sebagai
pintu yang dapat tertutup atau terbuka untuk menyalurkan impuls nyeri.
26
Proses terbuka dan tertutupnya pintu nyeri tersebut diperankan oleh sistem
analgesik endogen (Kurniasih, 2011).
Modulasi nyeri terdapat empat tingkatan yaitu:
a. Level sensoris
Pada tingkat ini terjadi pada proses transduksi, dimana rangsang nyeri
yang diterima diubah menjadi suatu aktivitas listrik yang akan diterima
ujung-ujung saraf bebas (Kurniasih, 2011).
b. Level spinal
Pada level spinal dimulai terjadinya proses transmisi dimana impuls
nyeri disalurkan melalui saraf sensorik menyusul proses transduksi. Akson
dari saraf afferent yang membawa rangsang nyeri mencapai medulla
spinalis hingga ke dorsal root. Sel-sel di cornu posterior bertugas
memproses informasi yang diterima oleh stimulus nyeri. Sel-sel ini juga
dapat berfungsi sebagai alat dalam mekanisme inhibisi dan fasilitasi nyeri
dari pusat kontrol (Kurniasih, 2011).
Impuls nyeri pada tingkat ini dapat dikurangi dengan pelepasan
encepalin dan terjadinya inhibisi pelepasan substansi P, dimana substansi
ini dapat meningkatkan sensitifitas ujung-ujung serabut saraf (Kurniasih,
2011).
c.
Level supraspinal
Pada tingkat ini terdapat dua jalur ascending utama, yaitu tractus
spinothalamicus, dan dorsal colum postsynaptic spinomedularly system.
Tractus spinothalamicus sangat penting untuk transmisi baik rangsang
27
nyeri maupun panas ke pusat. Tractus spinothalamicus berakhir di
thalamus (Kurniasih, 2011).
Thalamus berfungsi sebagai stasiun relay untuk informasi sensorik.
Neuron-neuron di thalamus menerima input dari beberapa area di perifer
untuk diteruskan ke corteks serebri. Pelepasan endorpin dan cortisol dapat
mengurangi rasa nyeri pada tingkat ini karena efek analgesiknya
(Kurniasih, 2011).
d.
Level sentral
Modulasi nyeri pada level sentral melibatkan sistem limbic sebagai
pusat emosional. Proses akhir dari rangkaian proses nocisepsi adalah
persepsi. Persepsi merupakan cara seseorang memperlakukan secara aktual
nyeri yang dirasakannya, yang mencakup sikap dan tingkah laku yang
kompleks, psikis dan faktor emosional yang tertinggi mencakup rasa takut
yang berlebihan dan gembira, kadang-kadang secara temporer dapat
memblokade impuls nyeri di cornu posterior medulla spinalis (Kurniasih,
2011).
4. Proses Persepsi
Adalah hasil akhir dari proses interaksi yang kompleks yang dimulai dari
proses transduksi, transmisi dan modulasi yang pada gilirannya akan
menghasilkan suatu perasaan yang subjektif yang dikenal dengan persepsi
nyeri (Kurniasih, 2011).
28
2.3 Pengukuran Nyeri Fungsional
Pengukuran kondisi spesifik status kesehatan sering digunakan dalam
percobaan klinis untuk perbaikan pasien. Salah satu pengukuran nyeri fungsional
adalah Oswestry Low Back Pain Disability Questionnaire. Perkembangan
Oswestry Low Back Pain Disability Questionnaire di prakarsai pertama kali oleh
John O’Brien pada tahun 1976. Indeks tersebut dirancang sebagai ukuran untuk
penilaian dan hasil (Hiagian, 2013)
2.3.1 Penilaian Oswestry Low Back Pain Disability Questionnaire
Sampel diminta untuk mengekpresikan derajat nyeri yang dialami
menggunakan Oswestry Low Back Pain Disability Questionnaire yang telah
dimodifikasi untuk masyarakat Indonesia. Terdapat 10 bagian pertanyaan yang
masing-masingnya membahas tentang intensitas nyeri, kebutuhan pribadi
(mencuci, berpakaian, dll), mengangkat beban, berjalan, duduk, berdiri, tidur,
kehidupan sosial, bepergian dan pekerjaan kantor/rumah tangga (Hiagian, 2013).
Dari masing-masing petanyaan terdapat enam pilihan pernyataan jawaban
dengan nilai total 5. Apabila pernyataan jawaban pertama dipilih, maka nilainya
adalah 0 sedangkan bila pernyataan jawaban kelima yang dipilih, maka nilainya
adalah 5. Apabila lebih dari satu pernyataan jawaban yang pilih maka pilih yang
nilainya paling tinggi. Apabila seluruh pertanyaan sudah dijawab maka nilainya
dikalkulasian sebagai berikut : apabila 16 (nilai total) dari 50 (nilai total yang
memungkinkan) x 100% = 32% (Hiagian, 2013).
29
Berikut adalah interpretasi nilai dari Modified Oswestry Low Back Pain
Disability Questionnaire :
Tabel 2. 4 Interpretasi nilai Modified Oswestry Low Back Pain Disability
Questionnaire
Hasil
Interpretasi
0% - 30%
Disabilitas ringan
31% - 60%
Diasabilitas sedang
61% - 100%
Disabilitas berat
(Hiagian, 2013)
2.4 Konsep Dasar Mulligan Bent Leg Raise
2.4.1 Pengantar
Brian Mulligan mempelopori teknik intervensi ini di New Zealand pada
tahun 1970’an. Konsep Mulligan menggunakan teknik pengobatan Natural
Apophyyseal Glides (NAGs), Reverse NAGs, Sustained Natural Apophyyseal
Glides (SNAGs), Mobilization With Movements (MWMs) merupakan mobilisasi
spine dengan gerakan dan Spine Mobilization With Limb Movements
(SMWLMs) merupakan mobilisasi spine dengan gerakan anggota gerak
(Mulligan, 2004). Dalam pembahasan ini, peneliti hanya menjelaskan teknik
MWMs yaitu teknik Mulligan Bent Leg Raise.
Mulligan Bent Leg Raise menggunakan metode isometrik kontraksi –
relaksasi – stretching/mobilisasi dalam posisi fleksi hip dan fleksi lutut. Teknik
ini memanfaatkan kontraksi isometrik dari otot hamstring untuk menciptakan
posterior tilting pada tulang pelvic sehingga terjadi mobilisasi pada sendi
vertebra dan peregangan pada otot-otot lumbo dorsal. Posisi tersebut juga dapat
mengurangi kurva lordosis pada vertebra lumbal (Mulligan, 2004).
30
Prinsip Fisiologis yang digunakan pada teknik ini adalah :
1. Autogenik inhibisi (inverse stretch refleks)
Ketika suatu otot berkontraksi sangat kuat, terutama jika ketegangan
menjadi berlebihan maka secara tiba-tiba kontraksi menjadi terhenti dan otot
relaksasi. Relaksasi ini sebagai respon terhadap ketegangan yang sangat kuat,
yang dinamakan dengan inverse stretch refleks atau autogenic inhibisi dan
menyesuaikan dengan hukum kedua Sherrington yaitu jika otot mendapat
stimulasi untuk berkontraksi maka otot antagonis menerima impuls untuk
relaksasi (Sudaryanto, 2004).
Reseptor yang penting dalam inverse stretch refleks adalah golgi tendon
organ, yang terdiri atas kumpulan anyaman dari ujung-ujung saraf yang
menonjol diantara fasikula tendon. Serabut-serabut dari golgi tendon organ
meliputi serabut saraf kelompok Ib bermyelin yang merupakan serabut saraf
sensorik penghantar cepat yang berakhir pada medula spinalis pada neuronneuron inhibitor (interneuron inhibitor) yang kemudian berakhir langsung
dengan neuron motorik. Serabut saraf tersebut juga mengadakan hubungan
fasilitasi/eksitasi dengan neuron motorik yang mempersarafi otot antagonis.
Dengan demikian, kontraksi otot yang kuat akan merangsang golgi tendon
organ dari otot yang sama dan impuls tersebut berjalan ke medula spinalis
pada interneuron inhibitor yang kemudian menghasilkan respon inhibisi yang
dikirim kembali ke otot yang bersangkutan melalui serabut saraf motorik,
sehingga kontraksi tersebut akan diikuti dengan relaksasi dari otot yang
bersangkutan (Sudaryanto, 2004).
31
2. Inhibisi Reciprokal
Kita ketahui bahwa didalam medula
spinalis terdapat inhibisi
postsinaptik. Serabut saraf afferentt Ia dari muscle spindle otot berjalan ke
medulla spinalis dan bersinaps dengan saraf motorik dari otot yang sama
(alpha motorneuron) serta bersinaps dengan interneuron inhibisi medula
spinalis yang kemudian bersinaps dengan saraf motorik dari otot antagonis
(Sudaryanto, 2004).
Jika ada impuls dari muscle spindle yang dibawa oleh serabut saraf Ia,
maka impuls tersebut menimbulkan inhibisi postsinaptik melalui interneuron
inhibisi medula spinalis ke neuron-neuron motorik yang mempersarafi otot
antagonis. Kemudian impuls tersebut memfasilitasi neuron motorik dari otot
yang sama (agonis) sehingga otot tersebut berkontraksi, sedangkan otot
antagonis akan mengalami relaksasi. Fenomena ini disebut inhibisi dan
fasilitasi reciprokal, karena adanya persarafan reciprokal dalam medulla
spinalis (Sudaryanto, 2004).
3. Respon Mekanikal dan Neurofisiologi Otot terhadap Stretch
Respon mekanikal otot terhadap peregangan bergantung pada myofibril
dan sarkomer otot. Setiap otot tersusun dari beberapa serabut otot. Satu
serabut otot terdiri atas beberapa myofibril. Serabut myofibril tersusun dari
beberapa sarkomer yang terletak sejajar dengan serabut otot. Sarkomer
merupakan unit kontraktil dari myofibril dan terdiri atas filamen aktin dan
miosin yang saling overlapping. Sarkomer memberikan kemampuan pada otot
32
untuk berkontraksi dan relaksasi, serta mempunyai kemampuan elastisitas
jika diregangkan (Sudaryanto, 2004).
Ketika otot secara pasif diregang/diulur, maka pemanjangan awal terjadi
pada rangkaian komponen elastis (sarkomer) dan tension meningkat secara
drastis. Kemudian, ketika gaya regangan dilepaskan maka setiap sarkomer
akan kembali ke posisi resting length. Kecenderungan otot untuk kembali ke
posisi resting length setelah peregangan disebut dengan elastisitas
(Sudaryanto, 2004).
Respon neurofisiologi otot terhadap peregangan bergantung pada struktur
muscle spindle dan golgi tendon organ. Muscle spindle merupakan organ
sensorik utama dari otot dan tersusun dari serabut-serabut intrafusal yang
terletak paralel dengan serabut ekstrafusal. Muscle spindle berfungsi untuk
memonitor kecepatan dan durasi regangan/penguluran serta rasa terhadap
perubahan panjang otot. Serabut muscle spindle dapat merasakan cepatnya
suatu otot terulur. Serabut saraf afferentt primer (tipe Ia) dan sekunder (tipe
II) muncul dari muscle spindle dan bersinaps dengan alpha atau gamma
motoneuron secara berurutan, dan memfasilitasi kontraksi dari serabut
ekstrafusal dan intrafusal. Golgi tendon organ terletak dekat dengan
musculotendinous junction, membungkus disekitar kedua ujung serabut
ekstrafusal dan sensitif terhadap ketegangan (tension) pada otot yang
disebabkan oleh peregangan pasif atau kontraksi otot secara aktif. Golgi
tendon organ merupakan mekanisme proteksi yang menginhibisi kontraksi
otot yang kuat. Golgi tendon organ mempunyai ambang rangsang yang
33
sangat rendah untuk titik letup (firing impuls) setelah kontraksi otot aktif dan
mempunyai ambang rangsang yang tinggi untuk titik letup (firing impuls)
dengan peregangan pasif (Sudaryanto, 2004).
Gambar 2. 9 Muscle spindle dan Golgi tendon organ
Sumber : http://www.physiology.com
(Diakses tanggal 15 Februari 2015)
Ketika otot diregang/diulur dengan sangat cepat, maka serabut afferentt
primer merangsang alpha motoneuron pada medula spinalis
dan
memfasilitasi kontraksi serabut ekstrafusal yaitu meningkatkan ketegangan
(tension) pada otot. Hal ini dinamakan dengan monosynaptik stretch refleks.
Tetapi jika peregangan dilakukan secara lambat pada otot, maka golgi tendon
organ terstimulasi dan menginhibisi ketegangan (tension) pada otot sehingga
memberikan pemanjangan pada komponen elastik otot yang paralel
(sarkomer) (Sudaryanto, 2004).
34
2.4.2 Indikasi dan Kontra Indikasi
1. Indikasi Mulligan Bent Leg Raise
a. ketidakmampuan mencapai akhir ROM atau keterbatasan gerak pada
lumbal, hip dan lutut.
b. Adanya nyeri pada lumbal dan hamstring.
c. Adanya spasme yang berlebihan (tightness) pada hamstring.
d. Adanya spasme pada otot-otot lumbo dorsal
e. Kondisi yang sangat iritabilitas
2. Kontra Indikasi Mulligan Bent Leg Raise
a. Fraktur / osteoporosis
b. Sprain yang berat (injuri ligamen)
c. Strain yang berat (injuri myofascial)
d. Pasien yang tidak kooperatif atau tidak responsif.
2.4.3 Mekanisme Penurunan Nyeri oleh Mulligan Bent Leg Raise
Diketahui bahwa, cidera pada serabut annulus bagian dorsal dan ligamen
longitudinal posterior menyebabkan aktifnya serabut afferent Aδ dan C yang
mempersarafi kedua struktur tersebut. Aktivitas dari serabut afferent Aδ dan C
menyebabkan refleks spasme pada otot-otot lumbo dorsal sebagai proteksi atau
guarding terhadap gerakan yang terjadi. Adanya spasme atau tightness pada
otot-otot lumbo dorsal akan memperberat nyeri karena menimbulkan beban
stress yang besar pada diskus yang cidera (Sudaryanto, 2004).
Dengan pemberian Mulligan Bent Leg Raise yang menggunakan metode
isometrik kontraksi – relaksasi – stretching/mobilisasi dapat merangsang serabut
35
afferent tipe Ia dan II yang berdiameter besar (proprioseptor) di muscle spindle
dan golgi tendon organ sehingga aktivitas dari serabut afferent tersebut dapat
menurunkan spasme otot sesuai dengan prinsip autogenik inhibisi, inhibisi
reciprokal dan monosynaptik stretch refleks. Prinsip autogenik inhibisi dan
monosynaptik stretch refleks di terapkan pada otot hamstring, dimana kontraksi
isometrik dari otot hamsring menciptakan posterior tilting pada tulang pelvic
sehingga terjadi mobilisasi pada sendi vertebra dan peregangan pada otot-otot
lumbo dorsal serta mengurangi kurva lordosis pada vertebra lumbal. Prinsip
inhibisi reciprokal diterapkan pada otot agonis dan otot antagonis fleksi lumbal.
Kontraksi pada core muscle menghasilkan relaksasi pada otot-otot lumbodorsal
yang menghasilkan penurunan spasme otot. Penurunan spasme otot tersebut
dapat meminimalkan beban stress pada diskus sehingga nyeri dapat berkurang
(Sudaryanto, 2004). Selain pada regio lumbodorsal, teknik intervensi Mulligan
Bent Leg Raise memberikan pengaruh yang besar terhadap peningkatan jarak
pada straight leg raise (SLR) yang artinya teknik ini mampu mengembalikan
mobilitas
dan mengurangi
ketidakmampuan
fisik
(Hall,
2006),
serta
meningkatkan ROM lumbal, meningkatkan derajat active knee extension,
meningkatkan kekuatan core muscle dan penurunan nyeri ungsional (Patel,
2014).
2.4.4 Aplikasi
Mulligan Bent Leg Raise merupakan painless technique, sehingga harus
diingat bahwa intervensi ini tidak menyakitkan. Dalam pengaplikasiannya pasien
diminta memposisikan salah satu hip dan lutut dalam posisi fleksi . Lutut yang
36
fleksi diletakan di bahu terapis, lalu terapis meminta pasien untuk melawan
tahanan yang diberikan terapis dengan kakinya selama 30 detik kemudian relax.
Saat pasien dalam posisi relax terapis mendorong lutut sejauh kemampuan
pasien mendekati tubuhnya lalu pasien diminta untuk melawan tahanan kembali
selama 30 detik. Dalam satu sesi latihan dilakukan 3 kali repetisi. Dalam latihan
disebutkan “rule of three” yang artinya pada hari pertama teknik ini hanya akan
diberikan sebanyak tiga kali sebagai tindakan pencegahan terhadap eksaserbasi
laten (Mulligan, 2004).
Gambar 2. 10 Teknik aplikasi Mulligan Bent Leg Raise (Phansopkar, 2014)
2.5 Konsep Dasar McKenzie Exercise
2.5.1 Pengantar
Program latihan McKenzie diperkenalkan oleh Robin McKenzie pada
tahun 1960-an. Dalam program latihan ini, partisipasi pasien memainkan peran
utama dalam penyembuhan (Kurniasih, 2011).
37
Latihan metode McKenzie adalah serangkaian gerakan tubuh yang
ditujukan untuk mengurangi keluhan nyeri pinggang bawah (McKenzie, 2000).
Prinsip latihan McKenzie adalah memperbaiki postur untuk mengurangi
hiperlordosis lumbal. Sedangkan secara operasional pemberian latihan untuk
penguatan otot pinggang bawah ditujukan untuk memperkuat otot-otot
lumbosacral terutama otot dinding abdomen dan otot gluteus, mengurangi
spasme otot, meregangkan otot-otot yang memendek terutama otot-otot
ekstensor punggung bawah, hamstring, dan otot quadratus lumborum, koreksi
postur (McKenzie, 2000).
Pada LBP non-spesifik, efek nyeri pinggang mengakibatkan terjadinya
keterbatasan gerak dan bila keadaan ini dibiarkan dalam waktu yang lama dapat
menimbulkan ketegangan dan kekakuan pada otot di bawah pinggang sehingga
akan menimbulkan keterbatasan gerak (Sudaryanto, 2004).
2.5.2 Indikasi dan Kontra Indikasi
1. Indikasi Latihan McKenzie
a. Spasme otot
b. Kekakuan sendi intervertebralis
c. Hernia nukleus pulposus
2. Konta Indikasi Latihan McKenzie
a. Spondylolistesis
b. Ankylosing spondylitis
c. Terdislokasi dan ruptur ligament
38
d. Penyakit kelemahan tulang yang berat seperti osteoporosis, osteomalasia,
dan lain-lain.
2.5.3 Mekanisme Penurunan Nyeri oleh Latihan McKenzie
Latihan McKenzie merupakan terapi latihan yang menggunakan gerakan
badan terutama kearah ekstensi. Dimana dalam kasus LBP non-spesifik terjadi
spasme akibat penekan ligamen longitudinal posterior yang sangat sensitif
karena banyak mengandung saraf afferentt tipe Aδ dan C, sehingga pasien sakit
pada saat membungkuk (Kurniasih, 2011).
Dengan diberikan latihan McKenzie yang menggunakan gerakan badan
kearah ekstensi serta peran aktif pasien akan memulihkan mobilitas dan fungsi
lumbal dengan menghilangkan stress yang akan mengembalikan nukleus
pulposus kembali ke anterior, sehingga inflamasi yang terjadi pada ligamen
longitudinal posterior berkurang dan nyeri pada lumbal akan berkurang serta
dapat memberikan rasa nyaman dan ada perbaikan postur serta menghilangkan
imbalance muscle (McKenzie, 2000).
Selain itu, dengan latihan McKenzie dapat menghilangkan limitasi ROM,
dengan adanya perbaikan kekuatan dan kelenturan otot maka akan didapatkan
kestabilan persendian, sehingga limitasi ROM dapat dihindari. Perbaikan
kekuatan otot ini yang tidak ada pada modalitas terapi standar (Kurniasih, 2011).
2.5.4 Aplikasi
Program latihan McKenzi terdiri dari 6 latihan yaitu latihan pertama
sampai latihan empat merupakan latihan-latihan ekstensi, 2 latihan terakhir
39
adalah latihan-latihan fleksi . Sebagai aplikasi awal maka latihan hanya diberikan
sampai latihan keempat.
1.
Latihan Pertama
Posisi pasien telungkup dengan posisi kepala menghadap ke salah satu
sisi dan posisi lengan di samping badan. Pasien diminta untuk menarik
napas kemudian hembuskan napas secara teratur sampai pasien merasa
rileks. Pertahankan posisi tersebut selama 2 menit. Latihan ini berfungsi
untuk menghilangkan ketegangan pada otot-otot vertebra, meningkatkan
sirkulasi sehingga tercapai rileksasi, dan dengan adanya sirkulasi yang baik
dapat menurunkan spasme.
Gambar 2. 11 Latihan pertama McKenzie exercise (McKenzie, 2000)
2.
Latihan Kedua
Posisi pasien telungkup dengan posisi tangan seperti push up, lalu
lakukan gerakan menekan matras/lantai dengan pinggang badan terangkat
ke atas dan siku tertekuk 90º, usahakan pelvic dan ke dua tungkai tetap
menempel pada lantai, pertahankan selama 5 detik dan dilakukan sebanyak
10 kali. Latihan ini berfungsi untuk menambah ROM, memulihkan
mobilitas dan fungsi lumbal dengan mengembalikan posisi nukleus
pulposus kembali ke anterior sehingga annulus fibrosus akan menekan
40
ligamentum longitudinal posterior yang sangat sensitif karena banyak
mengandung saraf aferent tipe Aδ dan C, dengan demikian inflamasi
berkurang dan nyeri akan berkurang.
Gambar 2. 12 Latihan kedua (1) McKenzie exercise (McKenzie, 2000)
Gambar 2. 13 Latihan kedua (2) McKenzie exercise (McKenzie, 2000)
3.
Latihan Ketiga
Posisi pasien telungkup, ke dua tangan pada posisi seperti push up, lalu
gerakan tangan menekan matras/lantai hingga siku dalam posisi lurus dan
badan terangkat ke atas sampai pinggang terasa sakit, usahakan pelvic serta
ke dua tungkai tetap menempel pada matras/lantai. Pertahankan selama 5
detik dan dilakukan sebanyak 10 kali. Latihan ini berfungsi untuk
meningkatkan sirkulasi darah sehingga tercapai rileksasi otot-otot ekstensor.
41
Gambar 2. 14 Latihan ketiga (1) McKenzie exercise (McKenzie, 2000)
Gambar 2. 15 Latihan ketiga (2) McKenzie exercise (McKenzie, 2000)
Gambar 2. 16 Latihan ketiga (3) McKenzie exercise (McKenzie, 2000)
Gambar 2. 17 Latihan ketiga (4) McKenzie exercise (McKenzie, 2000)
42
4.
Latihan Keempat
Posisi pasien berdiri tegak, kaki agak terbuka dan ke dua tangan ditaruh
dipinggang, lalu bungkukkan badan ke belakang sejauh pasien bisa.
Pertahankan posisi selama 5 detik dan dilakukan sebanyak 10 kali. Latihan
ini berfungsi untuk menambah ROM, memulihkan mobilitas dan fungsi
lumbal dengan mengembalikan posisi nukleus pulposus kembali ke anterior
sehingga anulus fibrosus akan menekan ligamentum longitudinal posterior
yang sangat sensitif karena banyak mengandung saraf aferent tipe Aδ dan C,
dengan demikian inflamasi berkurang dan nyeri akan berkurang.
Gambar 2. 18 Latihan keempat (1) McKenzie exercise (McKenzie, 2000)
43
Gambar 2. 19 Latihan keempat (2) McKenzie exercise (McKenzie, 2000)
Untuk mendapatkan hasil yang optimal dari terapi latihan McKenzie ada
beberapa hal yang harus diperhatikan antara lain :
1.
Penyusunan latihan ini dimulai dari gerakan-gerakan yang termudah bagi
pasien, kemudian ditingkatkan sesuai kemampuan pasien.
2.
Saat melakukan latihan sedapat mungkin gerakan lurus bengkok dilakukan
pasien dengan pelan, berirama dan terkontrol.
3.
Setiap jenis gerakan dikerjakan paling sedikit 5 (lima) kali dan gerakan
terbaik dilakukan sebanyak 15 kali.
4.
Latihan dengan posisi tiduran sebaiknya dilakukan di lantai dengan
menggunakan matras yang agak keras.
5.
Latihan dilakukan semampu pasien, tidak boleh terlalu lelah .
6.
Harus memberitahukan kepada yang bersangkutan apabila latihan yang
dilakukan menambah rasa sakit, bahkan jika perlu latihan yang harus
dihentikan.
Download