cerita rakyat “batak 27” tentang migrasi orang batak

advertisement
CERITA RAKYAT “BATAK 27” TENTANG MIGRASI
ORANG BATAK KE TANAH GAYO DI KECAMATAN
BEBESEN KABUPATEN ACEH TENGAH
JURNAL
Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Pendidikan
Oleh :
Said Mubin
309321046
JURUSAN PENDIDIKAN SEJARAH
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
2013
PERSETUJUAN
Jurnal Ini Diajukan Oleh: Said Mubin, NIM. 309321046
Jurusan Pendidikan Sejarah Telah Diperiksa Dan Disetujui
Untuk Mempertahankan Skripsi
Said Mubin
309321046
Medan, Juli 2013
Dosen Pembimbing Skripsi
Dr. Phil Ichwan Azhari, MS
NIP. 19610116 198503 1 003
CERITA RAKYAT “BATAK 27” TENTANG MIGRASI ORANG BATAK KE
TANAH GAYO DI KECAMATAN BEBESEN KABUPATEN ACEH TENGAH
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui migrasi orang Batak ke tanah Gayo
berdasarkan literatur, untuk mengetahui folklor “Batak 27” tentang migrasi orang Batak ke
tanah Gayo, untuk mengetahui fakta-fakta yang terdapat pada Folklor “Batak 27” tentang
migrasi orang Batak ke tanah Gayo.
Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah metode Sejarah. Jenis
penelitian yang digunakan adalah penelitian lapangan dan penelitian studi pustaka dengan
menggunakan buku-buku yang berkaitan dengan topik penelitian. Teknik pengumpulan data
dalam penelitian ini adalah melakukan wawancara, observasi lapangan, dokumentasi foto,
dan studi kepustakaan. Untuk menganalisis data dilakukan beberapa tahapan yaitu
pengumpulkan sumber, melakukan verifikasi data, menginterpretasi data, dan menarik
kesimpulan.
Dari hasil penelitian dilapangan diperoleh data bahwa migrasi orang Batak ke tanah
Gayo terjadi pada masa Sultan Alaudin Riyatsyah “Alkahar memerintah pada abad ke XVI
Masehi, pada masa itu Batak Karo (Batak 27) menang dalam peperangan melawan kerajaan
Bukit, sehingga Batak Karo membentuk suatu kerajaan yang disebut dengan kerajaan Cik
Bebesen. Selain itu, orang Batak datang ke tanah Gayo sebagai budak belian (temulok).
Folklor “Batak 27” mengambarkan aktivitas orang Batak di tanah Gayo yang
menggambarkan tentang migrasi orang Batak ke tanah Gayo menurut tradisi lisan orang
Gayo. Di dalam Folklor “Batak 27” tersebut menceritakan tentang kedatangan orang Batak
ke tanah Gayo sebanyak 27 orang Batak Karo yang diawali dari pembunuhan beberapa orang
Batak di tanah Gayo sehingga terjadinya peperangan antara orang Gayo dengan orang Batak
karo yang diakhiri atas kemenangan orang Batak karo (Batak 27) sehingga orang Batak Karo
(Batak 27) membentuk suatu kerajaan yang disebut dengan kerajaan Cik Bebesen.
Fakta-fakta yang ada dalam folklor “Batak 27” adalah keberadaan Klen (belah)
kelompok masyarakat yang terdapat di tanah Gayo, terutama di daerah Bebesen adanya nama
lima buah klen utama (belah) yaitu belah Linge, Munthe, Cebero, Tebe, dan Melala. Belah ini
sama seperti marga yang terdapat di dalam marga-marga Batak Karo.
Kata kunci : Folklor “Batak 27”
PENDAHULUAN
Tanah Gayo meliputi pusat pegunungan Bukit Barisan bagian Utara yang merupakan
dataran tinggi dengan ketinggian diatas 1.000 meter diatas permukaan laut. Wilayahnya
terpotong-potong oleh punggung-punggung bukit. Punggung-punggung bukit dimaksud
merupakan hulu-hulu sungai besar dan penting, seperti Sungai Peusangan, Meulaboh, Jambu
Aye/Jemer, Tripa, Temiang, dan Sungai Perlak dengan beberapa anak sungainya. Jajaran
bukit barisan yang membentang disebelah Utara merupakan batas alam yang memisahkan
Tanah Gayo dengan pesisir Aceh bagian Utara. Kemudian dibagian Barat melengkung
dibagian hulu Sungai Senangan, arah ke Timur Bur Ni Alas, dan Bur Ni Serbe Langit yang
langsung berbatasan dengan Tanah Alas dan Tanah Batak. Secara tradisional, wilayah Tanah
Gayo terbagi atas empat bagian yaitu Wilayah Lut Tawar, Wilayah Deret, (daerah jambu
aye), Wilayah Gayo Lues dan Gayo Tanyo serta Wilayah Serbe Jadi (Hurgroje, 1996 : 2-7).
Dalam sejarah, penduduk yang mendiami kampung Kebayakan dan Bebesen
merupakan kampung “inti” di Gayo Laut, mempunyai satu anggapan bahwa asal usul mereka
berbeda. Penduduk kampung Kebayakan mengatakan mereka adalah penduduk asli di daerah
Gayo, sedangkan yang satu pihak lagi, yakni penduduk kampung Bebesen, memang
menyadari bahwa mereka berasal dari daerah Batak dengan sebutan Batak 27.
Batak 27 merupakan cerita rakyat yang dikenal cukup luas di Tanah Gayo, cerita
tentang Batak 27 juga di tulis oleh C. Snouck Hurgronje (1996: 53-54), H. AR. Latief (1995 :
81) dan di tulis juga oleh H. Mahmud Ibrahim (2007 : 65-69).
Karena cerita ini berkaitan dengan kedatangan suku Batak ke Tanah Gayo maka saya
tertarik untuk melakukan penelitian mengenai “Cerita Rakyat “Batak 27” Tentang Migrasi
Orang Batak Ke Tanah Gayo Di Kecamatan Bebesen Kabupaten Aceh Tengah”.
Berdasarkan latar belakang tersebut maka yang menjadi masalah dalam penelitian ini
adalah: (1). Bagaimana migrasi orang Batak ke Tanah Gayo berdasarkan literatur ? (2).
Bagaimana folklor “Batak 27” tentang migrasi orang Batak ke Tanah Gayo? (3). Fakta-fakta
apa saja yang dapat dijadikan sebagai bukti dari folklor “Batak 27” tentang migrasi orang
Batak ke tanah Gayo ?
Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah metode Sejarah. Jenis
penelitian yang digunakan adalah penelitian lapangan dan penelitian studi pustaka dengan
menggunakan buku-buku yang berkaitan dengan topik penelitian. Teknik pengumpulan data
dalam penelitian ini adalah melakukan wawancara, observasi lapangan, dokumentasi foto,
dan studi kepustakaan. Untuk menganalisis data dilakukan beberapa tahapan yaitu
pengumpulkan sumber, melakukan verifikasi data, menginterpretasi data, dan menarik
kesimpulan.
PEMBAHASAN
A. Migrasi Orang Batak Ke Tanah Gayo Berdasarkan Literatur
Menurut Latief dalam Pelangi Kehidupan Gayo dan Alas (1996 : 81-90), dapat
disimpulkan bahwa migrasi orang Batak ke tanah Gayo terjadi pada masa Sultan Alaudin
Riyatsyah “Al Kahar memerintah pada abad ke XVI Masehi dari hasil kemenangan Batak
Karo (Batak 27) dalam peperangan melawan Kerajaan Bukit, yang berakhir atas dengan
kesepakaan membayar diyat atas tewasnya enam orang Batak Karo yang di bunuh dan
digantung oleh penduduk Bukit. Dalam kesepakatan pembayaran diyat tersebut Kerajaan
Bukit memberikan sebahagian wilayah Bukit Kepada Batak 27, sehingga Batak 27
membentuk suatu kerajaan yang disebut dengan kerajaan Cik Bebesen yang Rajanya yang
pertama adalah Lebe Kader.
Di sisi lain, mendengar Batak 27 memenangkan peperangan dengan Raja Bukit,
sebagian penduduk Batak Karo berduyun-duyun datang ke tanah Gayo yaitu ke daerah
Bebesen. Rombongan yang pertama datang dengan jumlah yang sangat besar yang berasal
dari marga Tebe Balohan yang dipimpin oleh seorang penghulu Balohan, sedangkan
rombongan berikutnya dimasukan kedalam belah-belah sesuai dengan asal belahnya di tanah
Karo seperti belah Munte, Melala dan Cibro (Latief, 1996 : 103-105).
Menurut Ibrahim dalam Mujahid Dataran Tinggi Gayo (2007 : 65), Kerajaan Cik
Bebesen berdiri sekitar tahun 1607 M. Yang berawal dari kedatangan lima orang remaja
Batak Karo ke tanah Gayo, sesampainya di tanah Gayo kelima orang remaja Batak Karo
bermain judi dengan remaja Bebesen, karena remaja Bebesen selalu kalah maka remaja
Bebesen sangat marah sehingga terjadi perkelahian antara remaja Karo dengan remaja
Bebesen sehingga pada akhirnya ketiga remaja orang Karo terbunuh dan dua orang remaja
Karo bisa melarikan diri dan pulang ke tanah Karo melaporkan kajadian tersebut, sehingga
orang Batak Karo datang ke tanah Gayo untuk menuntut balas atas perbuatan remaja Bebesen
yang membunuh anggota keluarga Batak Karo yang membawa sebanyak dua puluh enam
orang Batak Karo ke Tanah Gayo untuk memerangi orang Gayo yang dipimpin oleh Lebe
Kader.
Menurut Hurgronje Terjemahan Budiman, Tanah Gayo dan Penduduknya (Het Gayo
Land en Zijne Bewoners, 1996 : 51-56), mengatakan bahwa: satu unsur lain yang penting
bagi penambahan penduduk Gayo diwujudkan oleh orang Batak. Sebagaimana mereka
datang ke Aceh, orang Batak juga datang ke tanah Gayo sebagai Budak belian (temulok).
Tetapi sementara di Aceh sejak zaman dulu, orang Nias menjadi kelompok terbesar dengan
golongan abdi dan sementara orang Batak disitu sama juga dengan budak Negro merupakan
kekecualian, maka diantara orang Gayo sejak zaman dulu kebanyakan budak adalah orang
Batak. Ini meskipun beberapa diantara para pemilik suku Aceh ada yang mengambil alih
budak belian dari Nias. Untuk sebagian orang Batak tersebut dirampok, untuk sebagian yang
lebih besar mereka adalah budak atau orang gadaian yang oleh orang Gayo Alas dan melayu
dibeli dari para majikannya orang Batak, akhirnya mereka tiba ditanah Gayo. Semuanya
diharuskan masuk agama Islam.
B. Folklor “Batak 27” Tentang Migrasi Orang Batak ke Tanah Gayo
1. Folklor “Batak 27” Berdasarkan Literatur
Dalam buku Gayo, Masyarakat Dan Kebudayaannya (1996 : 35-37) yang tulis oleh C.
Snock Hurgronje terjemahan dari Hatta Hasan Aman Asnah, menuliskan tentang folklor
“Batak 27” yaitu sebagai berikut :
Orang Gayo seluruhnya memeluk agama Islam dan merupakan pengikut yang setia
dari “Raja Aceh”, ketika tujuh orang Batak yang salah satunya bernama Lebe Kader lewat
Alas dan Tanah Gayo berangkat menuju Aceh dengan tujuan masuk Islam dan belajar
mengaji. Belakangan menyusul 20 orang Batak lainnya dengan tujuan yang sama. Selain
untuk ongkos dan belanja sendiri, mereka juga membawa titipan ongkos untuk pulang bagi
ketujuh temannya tadi. Melihat pundi-pundi yang berisi penuh ini, timbul niat jahat dalam
hati salah seorang Reje Gayo, yaitu Reje Bukit, yang memerintah dibagian barat Danau Laut
Tawar dan mengajaknya bermain judi. Ternyata Reje Bukit waktu itu bernasib sial. Dia kalah
dan mau tidak mau harus merelakan sebagian kekayaannya berpindah ke dalam pundi-pundi
orang Batak tadi. Dihantui oleh perasaan marah, kesal, malu, dan iri, reje bukit nekat
memancung salah seorang diantara mereka lalu menggantungkan kepalanya diatas sebatang
pohon bambu tidak jauh dari Bebesen. Karena itulah tempat ini disebut pegantungen hingga
saat ini. Kesembilan belas orang Batak yang lain sangat ketakutan dan langsung melarikan
diri menuju Aceh untuk menemui kawan-kawannya, sekaligus bermaksud untuk mengadukan
kezaliman Reje Gayo tersebut kepada Raja Aceh. Sultan memberi mereka restu untuk
memerangi Reje Gayo dan yakin bahwa mereka akan dapat mengalahkannya, tetapi Reje
Bukit sendiri tidak Boleh di bunuh.
Dalam perjalanan pulang ke Tanah Gayo, musuh pertama yang mereka jumpai berada
di Beruksah, namun dapat mereka usir dan mendesaknya sampai ke kampung Ketol. Disini
orang Gayo kembali membuat pertahanan disuatu tempat yang sampai saat ini bernama “Kute
Gelime” yang pada akhirnya terpaksa mereka tinggalkan juga karena terdesak dan mundur
terus ke satu tempat yang bernama Bebesen, tempat kedudukan Reje Bukit. Disini Reje Gayo
itu mengumpulkan kekuatan di Ujung Bebulon, sebuah lapangan yang sekarang hanya di
gunakan untuk tempat penyembelihan kerbau pada saat-saat hari raya.
Orang Batak ini terus maju dan berkesempatan untuk membuat sebuah benteng di
suatu tempat yang bernama Kute Malaka. Disini dengan diam-diam mereka berhasil menjalin
hubungan rahasia dengan beberapa orang Batak, “budak” dari Reje Bukit. Dengan
kesepakatan mereka bersama, maka diaturlah siasat bagaimana cara mengalahkan Reje Bukit
tanpa membunuhnya. Siasat itu ialah menaikan bendera putih (pepanyi) di puncak sebuah
bukit di antara pertahanan mereka dan danau, yang apabila terlihat bendera berkibar nanti,
“budak-budak” tersebut harus berpura-pura panik dan berlari ke sana-kemari seolah-olah
mengetahui bahwa pasukan musuh amatlah besarnya. Kalau ini tidak berhasil, “budakbudak” tadi secara diam-diam harus membukakan pintu kute (pintu gerbang) Reje Bukit dan
berusaha untuk mengatakan kepada mereka bahwa terbukannya pintu gerbang ini adalah
karena kesaktian “ilmu” dari musuh. Di bukit tempat orang Batak menaikan pepanyi ini
sampai sekarang bernama Bur ni Pepanyi (bukit bendera). Lalu semua siasat secara secara
seksama dijalankan, namun Reje Bukit tidak tergeming sedikitpun. Akhirnya, tidak ada jalan
lain pertempuran tidak terelakkan lagi, sebagaimana menurut adat yang berlaku di Tanah
Gayo dan Tanah Batak, perang harus dilakukan dilapangan terbuka. Di Paya Tumpi kedua
pasukan ini bertemu. Agar tidak melanggar pesan Raja Aceh, orang-orang Batak tadi tidak
mengisi senjatanya dengan peluru sungguhan, tetapi mengisinya dengan terong peret (sejenis
tomat kecil, kalau sudah matang warnanya merah) yang kalau kena badan gatalnya bukan
kepalang.
Doa restu raja terkabul, tidak seorang pun orang Batak terkena peluru orang Gayo.
Sebaliknya, peluru terong peret dari pasukan Batak mengenai sebagian besar orang Gayo.
Disamping itu, kawanan orang Batak yang menjadi budak Reje Bukit membuat keadaan
menjadi panik berlari kesana-kemari sambil membawa bendera putih (alam) mengatakan
bahwa orang-orang Gayo telah kalah. Sementara itu, wanita dan anak-anak berlari menuju
Aceh untuk mengadukan halnya kepada Daulat. Reje Bukit sendiri dalam keadaan panik lari
dan tersesat ke dalam sebuah paya (rawa-rawa) di ekat kampung Kebayakan. Yang karenanya
disebut Paya Reje sampai saat ini. Wanita dan anak-anak yang telah lari tadi dihimbau oleh
orang Batak untuk pulang kembali karena antara Reje Bukit dan kedua puluh enam orang
batak itu telah dibuat suatu perjanjian perdamaian. Sampai saat ini, tempat dimana wanita dan
anak-anak ini berbalik disebut balik.
Setelah itu maka dibuatlah perjanjian, Reje Bukit bersama anak buahnya ditunjuk untuk
menempati kampung kebayakan yang sekarang, dan kedua puluh enam orang Batak tersebut
(yang sisanya sudah semua masuk Islam) menempati tempat yang sekarang ini sudah menjadi
kampung induk Reje Cik, yaitu kampung Bebesen. Akhirnya, orang Batak yang telah
menjadi orang Gayo itu berkembang dengan aman dan sejahtera. Walaupun mereka selalu
berdampingan dengan Reje Bukit, dalam hati mereka senantiasa teringat akan janji suci
leluhur mereka kepada Raja Aceh tentang apa yang telah diperbuat oleh Reje Bukit.
2. Folklor “Batak 27” Berdasarkan Hasil Wawancara Dengan Tokoh-Tokoh
Masyarakat Gayo
Menurut versi yang disampaikan oleh Bapak Drs. H. Ibnu Hadjar Laut Tawar pada
tanggal 3 Mei 2013, mengatakan bahwa: pada awalnya ada sebuah Kerajaan di tanah Gayo
yaitu Kerajaan Linge, anak Raja Linge ada empat. Yang pertama bernama Johansyah yang
kedua bernama Joharsyah yang ketiga bernama Alisyah dan yang ke empat bernama Merah
Linge.
Pada saat Joharsyah lahir ada sarungnya dan dia kebal yang tidak bisa dimakan oleh
pisau sehingga pada saat beliau mau di khitan (kemaluannya) tidak mau terputus, joharsyah
merasa sangat malu dan akhirnya dia pergi ke daerah Pakpak (daerah Batak) sesampainya
disana dia menikah dengan orang Pakpak sampai dengan melahirkan anak cucu mereka. Pada
suatu saat cucunya datang ke tanah Gayo untuk melihat negeri kakeknya.
Setelah mereka sampai di tanah Gayo mereka bermain judi dengan orang Gayo.
Sehingga pada akhirnya orang Gayo selalu kalah dalam permainan judi tersebut dan pada
akhirnya orang Gayo marah kepada orang Batak Karo sehingga orang Gayo membunuh
beberapa orang Batak Karo tersebut dan sebagian orang Batak Karo dapat meloloskan diri
dan pulang ke daerah asalnya yaitu ke tanah Karo.
Sehingga pada akhirnya orang Batak Karo yang meloloskan diri tersebut mengadukan
kejadian itu kepada saudara-saudara mereka yang berada di tanah Karo, orang Batak Karo
tidak terima terhadap perlakuan msyarakat Gayo, sehingga mereka mengirim beberapa orang
ke tanah Gayo untuk menuntut bela atas kematian saudara-saudaranya yang di bunuh di tanah
Gayo dengan membawa rombongan sebanyak 27 orang Batak Karo yang dipimpin oleh
Talpan atau yang disebut dengan Lebe Kader.
Sesampainya di tanah gayo terjadilah pertempuran antara orang Batak Karo dengan
orang Gayo di bawah pemerintahan Kerajaan Bukit yang Rajanya bernama Sengeda. Dalam
pertempuran itu dimenangkan oleh orang Batak Karo sehingga Raja Bukit melarikan diri dari
daerah kekuasannya untuk bersembunyi. Sehingga atas kemenangan orang Batak karo
tersebut terjadilah musyawarah antara petua-petua kerajaan Bukit dengan orang Batak Karo
tersebut.
Dari hasil musyawarah antara orang Batak Karo dengan petua-petua masyarakat Gayo
kerajaan Bukit tersebut sebagian wilayah kerajaan Bukit diberikan kepada orang-orang Batak
karo yaitu wilayah yang diberikan adalah wilayah disekitar Bebesen. Sehingga pada saat itu
wilayah Bebesen diduduki oleh orang batak Karo yang dipimpin oleh Talpan (Lebe Kader).
Sehingga mereka membentuk kerajaan Cik Bebesen.
Menurut versi yang disampaikan oleh Bapak Ir. M. Yusin Saleh pada tanggal 4 Mei
2013, mengatakan bahwa: Nenek Moyang orang Gayo sama dengan Nenek Moyang orang
Batak yaitu datang dari Hindia Belakang (Vietnam, Laos dan Kamboja). Angkatan yang
pertama datang ke tanah Gayo adalah orang Batak Karo kemudian datang lagi orang Batak
Toba, kemudian datang lagi kelompok Marga Mandailing (Nasution, Lubis dan Hasibuan).
Tempat menyebrang orang Batak ke tanah Gayo yaitu di Besitang. Sesampainya di Besitang
mereka bermukim kemudian yang datang ke tanah Gayo adalah Batak Karo dan Batak Toba,
yang datang melalui aliran Sungai Pesangan menuju ke Ketol, sesampai di Ketol mereka
datang ke Bebesen sebanyak 27 orang.
Setelah sampai di daerah Bebesen, terjadilah perkelahian antara orang Batak dengan
orang Gayo Kebayakan Kerajaan Bukit. Sebenarnya yang datang pertama adalah sebanyak
dua puluh enam orang Batak Karo kemudian mereka membawa pimpinan mereka yang
bernama Talpan atau Lebe Kader untuk membantu mereka dalam perperangan/perkelahian
antara orang Batak dengan orang Gayo Kebayakan Kerajaan Bukit.
Dalam perkelahian tersebut melahirkan perdamaian antara orang Gayo Kerajaan Bukit
dengan orang Batak Karo tersebut dengan memberikan sebagian wilayah kekuasaan kerajaan
Bukit kepada orang Batak Karo tersebut. Pada saat itu terjadilah perebutan wilayah daerah
Pantai Danau Lut Tawar. Kemudian Raja Linge memekarkan wilayah Gayo menjadi empat
Kerajaan yaitu yang pertama adalah Kerajaan Linge, Kerajaan Bukit, Kerajaan Cik Bebesen
dan Kerajaan Syah Utama. Dari keempat kerajaan tersebut hanya Kerajaan Cik Bebesenlah
yang tidak mempunyai Bawar. Bawar merupakan tanda bukti dari kerajaan tradisional secara
Resmi.
Kemudian pembagian wilayah Kerajaan menurut cerita zaman dulu berdasarkan
kesepakatan bersama dengan cara melepaskan kuda, sampai mana kuda tersebut berlari maka
sampai disitulah wilayah kerajaan tersebut. Makanya wilayah ke empat kerajaan tersebut
berliku-liku. Setelah batak 27 tersebut menempati daerah Bebesen kemudian datang lagi
saudara-saudara mereka dari tanah Karo ke tanah Gayo.
C. Fakta-Fakta Yang Terdapat Pada Folklor “Batak 27” Tentang Migrasi Orang
Batak Ke Tanah Gayo
Di tanah Gayo, terutama di daerah Bebesen adanya nama lima buah klen utama
(belah) yaitu belah Linge, Munthe, Cebero, Tebe, dan Melala, tetapi pada saat sekarang ini
belah (marga) ini sudah jarang di pakai di dalam nama belakang penduduk Bebesen tetapi
nama-nama dari belah (marga) ini hanya di ingat berdasarkan keturunan mereka sendiri yang
diwariskan atau disebarluaskan berdasarkan dari mulut ke mulut dari keturunan mereka
sendiri.
Berdasarkan hasil wawancara peneliti bersama Kepala Kampung Desa Bebesen
bapak Riduansyah dan masyarakat sekitarnya pada tanggal 30 April 2013, mengatakan
bahwa: memang ada belah (Marga) di dalam masyarakat Bebesen yaitu belah Melala Toa,
Belah Melala Uken, Belah Melala Sagi dan ada juga belah (Marga) yang lainnya seperti
Munthe, dan Cibro. Bapak Ridwansyah juga menegaskan bahwa beliau juga merupakan
bagian dari belah Melala.
Di daerah Bebesen, sebagian warga tidak mau mengatakan bahwa mereka berasal
dari “Batak 27” karena sebagian penduduk Bebesen menganggap bahwa kesan dari “Batak
27” merupakan suatu hal yang tidak mengenakan (aib) bagi mereka.
Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan bapak Ir. M. Yusin Saleh dan bapak
Drs. H. Ibnu Hajar Laut Tawar pada tanggal 3 dan 4 Mei 2013, mengatakan bahwa: dari dulu
hingga saat sekarang ini orang Bebesen tidak mau di bilang berasal dari keturunan “Batak
27” meskipun nama belah mereka sama seperti marga yang ada di dalam Batak Karo, dan
sering terjadi pertentangan dan bahkan pertengkaran antara penduduk Bebesen dengan
penduduk Kebayakan yang merupakan penduduk asli dari keturunan Kerajaan Bukit. Pada
saat sekarang ini penduduk Bebesen yang memiliki belah (marga) sudah menyebar di daerah
penduduk Gayo lainnya, baik penduduk Aceh Tengah maupun penduduk Bener Meriah.
Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan bapak Abd. Rahman pada tanggal 2
Mei 2013, mengatakan bahwa: dulu beliau berasal dari Bebesen tetapi sekarang beliau pindah
ke desa Tensaren, beliau juga mengatakan bahwa dia merupakan salah satu keturunan dari
belah Munthe yang ada di daerah Bebesen tetapi nama Munthe itu sendiri tidak di tulis di
nama belakang beliau, beliau hanya mengetahuinya dari mulut kemulut dari keturunanya.
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berdasarkan keterangan dan analisis yang telah dilakukan maka peneliti dapat
membuat kesimpulan sebagai berikut:
1. Migrasi orang Batak ke tanah Gayo terjadi pada masa Sultan Alaudin Riyatsyah
“Alkahar memerintah pada abad ke XVI Masehi, pada masa itu Batak Karo (Batak
27) menang dalam peperangan melawan kerajaan Bukit, sehingga Batak Karo
membentuk suatu kerajaan yang disebut dengan kerajaan Cik Bebesen. Selain itu,
orang Batak datang ke tanah Gayo sebagai budak belian (temulok).
2. Folklor “Batak 27” mengambarkan aktivitas orang Batak di tanah Gayo yang
menggambarkan tentang migrasi orang Batak ke tanah Gayo menurut tradisi lisan
orang Gayo. Di dalam Folklor “Batak 27” tersebut menceritakan tentang kedatangan
orang Batak ke tanah Gayo sebanyak 27 orang Batak Karo yang diawali dari
pembunuhan beberapa orang Batak di tanah Gayo sehingga terjadinya peperangan
antara orang Gayo dengan orang Batak karo yang diakhiri atas kemenangan orang
Batak karo (Batak 27) sehingga orang Batak Karo (Batak 27) membentuk suatu
kerajaan yang disebut dengan kerajaan Cik Bebesen.
3. Fakta-fakta yang ada dalam folklor “Batak 27” adalah keberadaan Klen (belah)
kelompok masyarakat yang terdapat di tanah Gayo, terutama di daerah Bebesen
adanya nama lima buah klen utama (belah) yaitu belah Linge, Munthe, Cebero, Tebe,
dan Melala. Belah ini sama seperti marga yang terdapat di dalam marga-marga Batak
Karo.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian suatu pendekatan praktik. Jakarta: Rineka
Cipta.
Ara, L.K. dan Medri. 2008. Ensiklopedi Aceh: adat, Hikayat dan Sastra. Banda Aceh:
Yayasan Mata Air Jernih (YMAJ).
Bangun, Payung. 1995. Kebudayaan Batak. Dalam Koentjaranigrat. Manusia dan
Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djamban.
Danandjaja, James. 1997. Folklor Indonesia: Ilmu gosip, dongeng, dan lain-lain. Jakarta :
Pustaka Utama Grafiti.
Gottschalk, Louis. Mengerti Sejarah. Jakarta: Universitas Indonesia (UI-PRES).
Gayo, M.H. 1983. Perang Gayo – Alas Melawan Kolonialis Belanda. Jakarta: PN Balai
Pustaka.
Hurgronje, C. Snock. 1996. Tanah Gayo dan Penduduknya. Jakarta : Indonesia – Nederlands
Coopertion in Islamic Studies.
Hurgronje, C. Snock. 1996. Gayo, Masyarakat dan Kebudayaannya Awal Abad ke-20.
Jakarta: Balai Pustaka.
Ibrahim, Mahmud. 2007.
Maqamammahmuda.
Mujahid
Dataran
Tinggi
Gayo.
Takengon:
Yayasan
Kartodirdjo, Sartono. 1993. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metologi Sejarah. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Latief, H. AR. 1996. Pelangi Kehidupan Gayo dan Alas. Bandung: Kurnia Bupa Bandung.
Munir, Rozy. 2007. Dasar-dasar Demografi. Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia.
Moleong, J Lexy. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Purba, O.H.S dan Purba, Elvis F. 1997. Migran Batak Toba di Luar Tapanuli Utara: Suatu
Deskrepsi. Medan : Onora.
Rusli, Said. 1983. Pengantar Ilmu Kependudukan. Jakarta : LP3ES.
Susanto, Hary. 1987. Mitos, pemikiran Mircea Eliade. Yogyakarta: Kanisius.
Simanjuntak, Bungaran Antonius dan Sosrodihardjo, Soedjito. 2009. Metode Penelitian
Sosial. Medan : Bina Media Perintis.
Sjamsuddin, Helius. 2007. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Ombak.
Syukri. 2006. Sarakopat, Sistem Pemerintahan Tanah Gayo dan Relevansi Terhadap
Pelaksanaan Otonomi Daerah. Jakarta: Hijri Pustaka Utama.
Titus, Milan J. 1995. Migrasi Antar Daerah Di Indonesia Sebagai Cerminan Ketimpangan
Regional dan Sosial. Yogyakarta: Pusat Penelitian Kependudukan Universitas Gadjah
Mada.
Wiradnyana, Ketut dan TaufikurrahmanSetiawan. 2011. Gayo Merangkai Identitas. Jakarta:
Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Download