BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Panas merupakan suatu bentuk energi yang ada di alam. Panas juga merupakan suatu energi yang sangat mudah berpindah (transfer). Transfer panas disebabkan oleh adanya ketidaksetimbangan termal antara satu sistem dengan sistem lain atau lingkungan. Transfer panas selalu terjadi dari sistem yang bersuhu tinggi ke sistem yang bersuhu lebih rendah, dan berlangsung hingga keduanya memiliki suhu yang sama. Transfer panas dapat terjadi melalui tiga cara, yakni konduksi, konveksi atau radiasi. Konduksi adalah proses perpindahan panas melalui gerak mikroskopik medium. Proses perpindahan panas ini terjadi akibat vibrasi antar partikel medium yang berdekatan, sehingga konduksi biasanya terjadi pada zat padat. Konveksi adalah proses perpindahan panas melalui gerak medium. Hal ini terjadi karena panas yang diberikan akan menggerakkan medium, sehingga terjadi aliran medium. Konveksi hanya dapat terjadi pada zat fluida karena partikel-partikelnya dapat bergerak bebas. Berbeda dengan konduksi dan konveksi, dalam proses radiasi tidak diperlukan medium, sehingga perpindahan panas dilakukan dengan memancarkan atau menerima gelombang elektromagnetik. Salah satu fenomena yang sering teramati di alam adalah konveksi, karena konveksi sangat berperan dalam dinamika alam di bumi. Contohnya adalah dinamika atmosfer, samudra dan lempeng bumi, adanya angin darat dan angin laut, dan sebagainya. Fenomena konveksi awalnya diamati oleh Count Rumford (1797) dan James Thomson (1882), namun eksperimen dan penelitian baru dilakukan tahun 1900 oleh Henry Benard. Dalam eksperimennya, Benard menemukan adanya pola yang terbentuk oleh fenomena konveksi tadi. Pola ini ia sebut sel Benard (Benard cell). Benard sangat terpukau dengan eksperimennya sehingga terus melakukan eksperimen tanpa mempedulikan teori 1 dalam eksperimen tersebut (Chandrasekhar, 1961). Eksperimen ini kemudian dijelaskan secara teoritik oleh Lord Rayleigh pada tahun 1916, sehingga eksperimen ini dikenal sebagai Konveksi Rayleigh-Benard (RBC). (a) (b) Gambar 1.1 (a) Pola strip dan (b) pola heksagon (de Bruyn, 2002). Sistem dalam eksperimen RBC adalah fluida yang dibatasi oleh lapisan atas dan lapisan bawah. Sistem mula-mula stabil, kemudian diberi gangguan dengan memanasi fluida lapisan bawah. Hal ini menghasilkan gradien suhu. Fluida lapisan atas yang lebih dingin memiliki densitas yang lebih besar daripada fluida lapisan bawah yang lebih panas. Hal ini mengakibatkan fluida lapisan atas turun akibat percepatan gravitasi, sehingga fluida lapisan bawah terangkat untuk menggantikan fluida atas tadi (Gambar 1.2). Proses ini terjadi terus-menerus sehingga terciptalah suatu aliran terus menerus dalam fluida atau konveksi. Dalam proses ini, viskositas dan konduktivitas termal fluida akan berusaha menstabilkan sistem, sehingga untuk gradien suhu kecil fluida akan tetap dalam keadaan diam dan transfer panas terjadi secara konduksi. Keadaan ini disebut sebagai keadaan konduktif (conductive state). Gangguan yang sangat kecil tidak akan mengubah 2 keadaan sistem, karena akan meluruh akibat efek disipasi energi oleh viskositas dan konduktivitas termal (van Hecke, 1996). Lapisan atas TA = T0 Aliran Fluida Panas Lapisan bawah TB = T0 + ΔT Gambar 1.2 Eksperimen RBC. Lapisan bawah dipanaskan sehingga terjadi aliran fluida. Jika gangguan yang diberikan cukup besar, viskositas dan konduktivitas termal tidak akan mampu lagi meredam kecenderungan fluida untuk bergerak, akibatnya keadaan konduktif menjadi tidak stabil dan terjadi konveksi. Hal ini telah diutarakan Rayleigh dalam penjelasan teoritiknya mengenai RBC (Chandrasekhar, 1961). Karena itu, didefinisikanlah suatu parameter kendali yang menggambarkan keadaan dan kestabilan sistem. Parameter kendali adalah suatu ukuran yang menentukan transisi sistem dari keadaan stabil (konduktif) menuju keadaan tak stabil (konvektif). Nilai kritis ini, yang membatasi keadaan konduktif dan konvektif, disebut parameter kendali kritis. Parameter kendali dapat digunakan untuk mengukur seberapa jauh sistem berada dari keadaan kritis. Parameter kendali yang digunakan dalam RBC adalah bilangan Rayleigh R, yang merupakan rasio gaya angkat dan gaya redam (van Hecke, 1996). Bilangan Rayleigh dirumuskan sebagai berikut π = πΌππ3 π₯π , ππ 3 dengan α, g, d, ΔT, ν dan κ berturut-turut adalah koefisien ekspansi termal, percepatan gravitasi, kedalaman fluida (atau jarak antar lapisan), selisih suhu antara lapisan atas dan bawah, viskositas dan difusi termal. Paramater kendali kritis diberi simbol Rc. Jika R < Rc maka sistem stabil dan berada dalam keadaan konduksi, jika R = Rc maka sistem kritis, dan jika R > Rc maka sistem tidak stabil dan terjadi konveksi serta pembentukan pola. Variabel α, g, κ dan ν adalah konstan, sehingga nilai R dapat divariasi hanya dengan memvariasi kedalaman fluida d dan selisih suhu ΔT. Variabel yang divariasi dalam eksperimen RBC umumnya adalah selisih suhu ΔT karena variasi kedalaman d akan mengubah nilai R secara signifikan, sehingga akan sulit meneliti sistem dalam rentang variasi R kecil. Parameter kendali yang hanya bergantung pada selisih suhu ΔT menunjukkan adanya selisih suhu kritis ΔTc, yakni selisih suhu yang membatasi keadaan konduktif dan konvektif sistem, sehingga dapat disimpulkan bahwa pada π₯π < π₯ππΆ sistem bersifat stabil, pada π₯π = π₯ππΆ sistem kritis dan pada π₯π > π₯ππΆ sistem bersifat tak stabil. Supaya lebih sederhana, selanjutnya akan digunakan parameter kendali tereduksi π= Δπ − Δππ . Δππ Dengan demikian, sistem bersifat stabil jika π < 0, kritis jika π = 0, dan bersifat tak stabil jika π > 0. Nilai ε menunjukkan seberapa jauh sistem berada dari keadaan kritis (saat π = 0). Selisih suhu ΔT dapat ditentukan dengan menaikkan suhu lapisan bawah dan kemudian mengukur suhu lapisan atas. Dengan metode ini, variasi ΔT tidak bisa dilakukan secara langsung karena suhu lapisan atas bergantung pada suhu lapisan bawah. Alternatifnya adalah dengan memberi pendingin pada lapisan atas, sehingga suhu lapisan atas dan bawah dapat langsung ditentukan dan ΔT dapat divariasi dengan mudah. Metode ini jauh lebih efisien dari yang pertama namun lebih rumit diwujudkan. Saat sistem berada pada keadaan konvektif, aliran fluida akan membentuk pola. Pola yang dimaksud adalah struktur spasial dua dimensi yang terbentuk pada 4 luasan lapisan atas, seperti pada Gambar 1.1. Pola konveksi yang teramati dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti bilangan Rayleigh, bentuk wadah, bilangan Prandtl (Pr = υ/κ), aspek rasio sistem, jenis gangguan yang diberikan, tegangan permukaan dan sebagainya (Sano, 1994). Pada ΔT ≈ ΔTc (sedikit diatas threshold) pola yang terbentuk dapat berupa gulungan (strip) atau heksagon (Gambar 1.3). Lebih lanjut, pada bilangan Rayleigh lebih tinggi, pola konvektif akan sangat melibatkan aspek ruang (spatial) dan waktu (temporal) (Sano, 1994). Secara umum, semakin besar nilai ε pola yang terbentuk semakin kompleks. Gambar 1.3 Diagram skematik pola. Garis lurus menunjukkan pola stabil dan garis putus-putus menunjukkan pola tak stabil (Sano, 1994). 1.2 Perumusan Masalah 1. Bagaimanakah model Swift-Hohenberg dapat menjelaskan fenomena RBC? 2. Apa yang terjadi saat sistem bertransisi dari keadaan konduktif menuju keadaan konvektif? 1.3 Batasan Masalah Pola-pola yang ditinjau hanyalah pola strip dan heksagon. Sistem ideal diasumsi memiliki luas tak hingga sehingga efek kondisi batas dapat dinihilkan. 5 Gangguan diasumsi kecil sehingga persamaan Swift-Hohenberg dapat diselesaikan dengan pendekatan linear. Teori bifurkasi hanya ditinjau pada persamaan umumnya saja (dua koefisien pertama) karena analisa koefisien orde tinggi memerlukan analisis numerik. 1.4 Tujuan Penelitian 1. Menggunakan model Swift-Hohenberg dalam menjelaskan fenomena RBC. 2. Memahami transisi sistem dari keadaan konduktif menuju keadaan konvektif melalui teori bifurkasi. 1.5 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberi pengetahuan mengenai fenomena RBC secara teoritik. Penelitian ini juga diharapkan dapat diaplikasikan pada eksperimen dan simulasi numerik yang memenuhi syarat-syarat model SwiftHohenberg. Penelitian ini juga diharapkan dapat memotivasi penelitian lebih lanjut mengenai studi pembentukan pola (pattern formation) secara teoritik dan eksperimen. 6