cover jurnal agustus 2013 OK.cdr

advertisement
ISSN 1978-6506
Terakreditasi LIPI
No. 507/Akred/P2MI-LIPI/10/2012
Vol. 6 No. 2 Agustus 2013
JURNAL
HAK DALAM KEMELUT HUKUM
KARAKTERISTIK THE MOST SERIOUS CRIME MENURUT HUKUM
INTERNASIONAL DALAM PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
Kajian Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-X/2012
Sefriani, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia
YUDISIAL
PROBLEMATIKA KEBERLAKUAN
DAN STATUS HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL
Vol. 6 No. 2 Agustus 2013 Hal. 95-188
Jl. Kramat Raya 57 Jakarta Pusat
Telp. 021 390 5876, Fax. 021 390 6215 PO BOX 2685
email : [email protected]
Kajian Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/2011
Wisnu Aryo Dewanto, Fakultas Hukum Universitas Surabaya
PERLINDUNGAN HAK MEMILIH SEBAGAI
HAK KONSTITUSIONAL WARGA NEGARA
Kajian Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-X/2012
Janpatar Simamora, Fakultas Hukum Universitas HKBP Nommensen Medan
MENUJU SISTEM PEMILU DENGAN AMBANG BATAS
PARLEMEN YANG AFIRMATIF
Kajian Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-X/2012
Wasisto Raharjo Jati, Fakultas ISIPOL Universitas Gadjah Mada
PERGESERAN WEWENANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA
ATAS PENETAPAN PARPOL PESERTA PEMILU
Kajian Putusan PTTUN Jakarta Nomor 25/G/2013/PT.TUN.JKT
W. Riawan Tjandra, Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta
KEPEMILIKAN HAK CIPTA DALAM PERJANJIAN LISENSI
Kajian Putusan Mahkamah Agung Nomor 104 PK/PDT.SUS/2011
Hesty D. Lestari, Magister Ilmu Hukum, Universitas Muhammadiyah Jakarta
Jurnal
Yudisial
Vol. 6
No. 2
Hal.
95-188
Jakarta
Agustus 2013
ISSN
1978-6506
ISSN 1978-6506
Terakreditasi LIPI
No. 507/Akred/P2MI-LIPI/10/2012
Vol. 6 No. 2 Agustus 2013
HAK DALAM
KEMELUT HUKUM
Jurnal
Yudisial
Vol. 6
No. 2
Hal.
95-188
I
Jakarta
Agustus 2013
ISSN
1978-6506
MITRA BESTARI
Segenap pengelola Jurnal Yudisial menyampaikan terima kasih sebesar-besarnya atas
sumbangsih Mitra Bestari yang telah melakukan review terhadap naskah Jurnal Yudisial
Vol. 6 No. 2 Agustus 2013. Semoga bantuan mereka mendapatkan balasan dari Allah
SWT.
1. Dr. Shidarta, S.H., M.Hum.
(Pakar Filsafat Hukum dan Pidana)
2. Dr. Anton F. Susanto, S.H., M.Hum.
(Pakar Metodologi Hukum dan Etika)
3. Dr. Yeni Widowati, S.H., M.Hum.
(Pakar Hukum Pidana)
4. Dr. Niken Savitri, S.H., M.CL.
(Pakar Hukum Pidana, HAM, dan Gender)
5. Dr. Widodo Dwi Putro, S.H., M.H.
(Pakar Sosiologi dan Filsafat Hukum)
II
DISCLAIMER
J
urnal Yudisial adalah jurnal ilmiah berkala empat bulanan yang diterbitkan
oleh Komisi Yudisial Republik Indonesia. Jurnal ini beredar pada setiap
awal April, Agustus, dan Desember, memuat hasil kajian/riset atas putusanputusan pengadilan oleh jejaring peneliti dan pihak-pihak lain yang berkompeten.
Penerbitan jurnal ini bertujuan untuk memberi ruang kontribusi bagi komunitas
hukum Indonesia dalam mendukung eksistensi peradilan yang akuntabel, jujur,
dan adil, yang pada gilirannya ikut membantu tugas dan wewenang Komisi
Yudisial Republik Indonesia dalam menjaga dan menegakkan kode etik dan
pedoman perilaku hakim.
Isi tulisan dalam jurnal sepenuhnya merupakan pandangan independen masingmasing penulis dan tidak merepresentasikan pendapat Komisi Yudisial Republik
Indonesia. Sebagai ajang diskursus ilmiah, setiap hasil kajian/riset putusan yang
dipublikasikan dalam jurnal ini tidak pula dimaksudkan sebagai intervensi atas
kemandirian lembaga peradilan, sebagaimana telah dijamin oleh konstitusi dan
peraturan perundang-undangan lainnya.
Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan
Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat pada halaman akhir jurnal.
Alamat Redaksi:
Gedung Komisi Yudisial Lantai 3
Jalan Kramat Raya Nomor 57 Jakarta Pusat
Telp. 021-3906215, Fax. 021-3906215
Email: [email protected]
III
TIM PENYUSUN
Penanggung Jawab : Ir. Andi Djalal Latief, M.S.
Redaktur
Penyunting
: 1. Roejito, S.Sos., M.Si. (Bidang Studi Administrasi Negara dan Kebijakan Publik)
2. Dra. Titik A. Winahyu (Bidang Studi Komunikasi)
: 1. Hermansyah, S.H., M.Hum. (Bidang Hukum Ekonomi/Bisnis)
2. Imran, S.H., M.H. (Bidang Hukum Pidana)
3. Nur Agus Susanto, S.H., M.M. (Bidang Hukum Internasional)
4. Muhammad Ilham, S.H. (Bidang Hukum Administrasi Negara)
5. Ikhsan Azhar, S.H. (Bidang Hukum Tata Negara)
Sekretariat
: 1. Arnis Duwita Purnama, S.Kom.
2. Yuni Yulianita, S.S.
3. Aran Panji Jaya, S.T. 4. Eka Desmi Haryati, A. Md.
5. Andri Kurniadi, A. Md.
6. Wirawan ND. A.Md.
7. Sri Djuwati
Desain Grafis & Fotografer : 1. Dinal Fedrian, S.IP.
2. Widya Eka Putra, A.Md.
IV
PENGANTAR
HAK DALAM KEMELUT HUKUM
M
ana yang lebih dulu lahir: hak atau hukum? Pertanyaan ini mengawali salah
satu isu paling fundamental dalam polemik kaum filsuf hukum. Jika hak
yang lebih dulu ada, maka fungsi hukum hanyalah sekadar mengukuhkan
hak tersebut. Hak untuk hidup, misalnya, tidak memerlukan proses positivitas agar ia
dapat mengikat. Hak ini sudah eksis bahkan jauh sebelum hukum positif dihadirkan untuk
mengeksplisitkannya. Kendati demikian, ada saja hak-hak yang memang harus dikreasikan
melalui kerja hukum positif. Artinya, hak-hak ini lahir karena dilahirkan oleh hukum. Hak
kekayaan intelektual, seperti hak cipta dan paten, dapat dikategorikan dalam kelompok
yang terakhir ini. Dalam komunitas masyarakat yang menjunjung tinggi semangat kolektif,
tindakan seseorang untuk tidak mau berbagi hasil kreativitas pribadinya, justru dipandang
sebagai tindakan tak bermoral dan anti-sosial.
Perjalanan peradaban manusia ternyata telah mengubah banyak hal. Dewasa ini makin
banyak hak yang diciptakan oleh hukum tanpa penelaahan mendalam terkait landasan etis
terhadapnya. Padahal, di dalam setiap hak terkandung kepentingan-kepentingan, namun
sebaliknya, tidak setiap kepentingan terkandung hak di dalamnya. Dengan demikian, hakhak yang dilahirkan oleh hukum positif harus diperiksa kembali agar kehadiran mereka
tidak sampai merusak tatanan sistem hukum secara keseluruhan. Klaim-klaim kepentingan
sesaat dari segelintir golongan masyarakat, tidak boleh sampai merugikan klaim-klaim
hak yang diperuntukkan kepada masyarakat luas.
Mahkamah Konstitusi adalah lembaga tinggi negara yang mendapat limpahan
kewenangan untuk mengawal agar tidak terjadi banjir klaim kepentingan tanpa alas hak
yang konstitusional. Produk lembaga legislatif berupa undang-undang tidak boleh lahir
semata-mata akibat didorong oleh syahwat politik. Mahkamah Konstitusi dibutuhkan
peranannya untuk menapis (memfilter) kepentingan-kepentingan kerdil yang dibungkus
sebagai rumusan-rumusan hak yang legal.
Hampir keseluruhan dari tulisan dalam edisi jurnal kali ini mengambil objek kajian pada
putusan-putusan Mahkamah Konstitusi tersebut. Sekalipun perilaku hakim konstitusi tidak
lagi berada dalam radar pengamatan Komisi Yudisial, tetap saja putusan-putusan majelis
hakim konstitusi tersebut bersinggungan dengan sistem norma hukum yang penting untuk
dicermati. Melalui berbagai perspektif kajian, tulisan-tulisan ini pada hakikatnya ingin
mengingatkan bahwa kehadiran peraturan perundang-undangan yang makin menggunung
tidak selalu berdampak positif dalam penghormatan hak-hak konstitusional warga
masyarakat. Undang-undang tersebut tidak hadir di dalam ruangan hampa, sehingga perlu
ada forum---sebagaimana diharapkan melalui jurnal ini---untuk mengkritisinya. Jika
tidak, akan persis terjadi kondisi seperti dinyatakan oleh Winston Churchill, “If you have
ten thousand regulations you destroy all respect for the law.”
Terima kasih
Tertanda
Pemimpin Redaksi Jurnal Yudisial
V
DAFTAR ISI
Jurnal Yudisial Vol. 6 No. 2 Agustus 2013
ISSN 1978-6505
KARAKTERISTIK THE MOST SERIOUS CRIME
MENURUT HUKUM INTERNASIONAL DALAM
PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI ...................................................... Kajian Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-X/2012
Sefriani, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta
PROBLEMATIKA KEBERLAKUAN DAN
STATUS HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL .................................
Kajian Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/2011
Wisnu Aryo Dewanto, Fakultas Hukum Universitas Surabaya, Surabaya
95
107
PERLINDUNGAN HAK MEMILIH SEBAGAI
HAK KONSTITUSIONAL WARGA NEGARA .............................................. 123
Kajian Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-X/2012
Janpatar Simamora, Fakultas Hukum Universitas HKBP Nommensen, Medan
MENUJU SISTEM PEMILU DENGAn
AMBANG BATAS PARLEMEN YANG AFIRMATIF ................................... 143
Kajian Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-X/2012
Wasisto Raharjo Jati, Fakultas ISIPOL Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
PERGESERAN WEWENANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA
ATAS PENETAPAN PARPOL PESERTA PEMILU ....................................... 159
Kajian Putusan PT TUN Jakarta Nomor 25/G/2013/PT.TUN.JKT
W. Riawan Tjandra, Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta,
Yogyakarta
KEPEMILIKAN HAK CIPTA DALAM PERJANJIAN LISENSI ............... 173
Kajian Putusan Mahkamah Agung Nomor 104 PK/PDT.SUS/2011
Hesty D. Lestari, Magister Ilmu Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta,
Jakarta
VI
JURNAL YUDISIAL
ISSN 1978-6506..................................................................... Vol. 6 No. 2 Agustus 2013
Kata kunci bersumber dari artikel. Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa izin dan biaya.
UDC 343.23: 341.1
dengan kekerasan, hukuman mati.
Sefriani (Fakultas Hukum, Universitas Islam
Indonesia, Yogyakarta)
UDC 341.24
Karakteristik The Most Serious Crime Menurut
Dewanto WA (Fakultas Hukum, Universitas
Hukum Internasional dalam Putusan Mahkamah
Surabaya, Surabaya)
Konstitusi
Problematika Keberlakuan dan Status Hukum
Kajian Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/
Perjanjian Internasional
PUU-X/2012
Kajian Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/
Jurnal Yudisial 2013 6(2), 95-106
PUU-IX/2011
The most serious crime adalah satu-satunya
kejahatan yang bisa digunakan oleh negara yang
Jurnal Yudisial 2013 6(2), 107-122
masih ingin mempertahankan hukuman mati.
Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara
Karakteristik the most serious crime dalam hukum
Nomor 33/PUU-IX/2011 memberikan pencerahan
internasional di antaranya: tindak pidana yang
kepada berbagai pihak, khususnya akademisi
dilakukan merupakan perbuatan yang keji dan
di bidang hukum internasional dan hukum
kejam, menggoncangkan hati nurani kemanusiaan;
tata negara, mengenai arti dari undang-undang
Adanya unsur kesengajaan, terorganisir, sistematis,
pengesahan perjanjian internasional di Indonesia,
dan meluas untuk menimbulkan kematian atau
apakah sebagai persetujuan DPR kepada Presiden
akibat-akibat yang sangat serius lainnya; Akibat
per se ataukah membuat perjanjian internasional
yang ditimbulkan dari tindak pidana itu sangat
tersebut berlaku di Indonesia. Res judicata yang
serius terhadap negara atau masyarakat luas.
disampaikan oleh majelis hakim Mahkamah
Putusan MK Nomor 15/PUU-X/2012 yang
Konstitusi dengan menolak seluruh permohonan
memasukkan tindak pidana pencurian dengan
pemohon mengindikasikan bahwa undang-undang
kekerasan yang menimbulkan luka berat atau
pengesahan perjanjian internasional, meskipun
matinya orang sebagai the most serious crime
berbentuk undang-undang hanya merupakan
tidak sesuai dengan hukum internasional. Hasil
bentuk persetujuan formal DPR kepada Presiden
penelitian ini membuktikan tidak ada hukum
dalam kaitannya dengan Pasal 11 ayat (1) UUD
internasional maupun hukum nasional yang
1945. Lebih lanjut, undang-undang pengesahan
memasukkan tindak pidana pencurian dengan
perjanjian bukan merupakan landasan hukum
kekerasan sebagai the most serious crime.
bagi berlaku perjanjian internasional di Indonesia.
(Sefriani)
Kata kunci: the most serious crime, pencurian
Kemudian, perjanjian internasional yang telah
diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia hanya
mengikat bagi Indonesia, bukan di Indonesia
VII
[baca: pengadilan]. Dengan demikian, undang-
menggunakan hak pilih, maka warga negara cukup
undang pengesahan perjanjian internasional bukan
hanya menunjukkan Kartu Tanda Penduduk dan
merupakan obyek pengujian undang-undang
Kartu Keluarga di lingkungan setempat. Putusan
terhadap UUD 1945 yang menjadi kewenangan
ini patut diapresiasi dalam upaya melindungi dan
Mahkamah Konstitusi.
menjamin hak memilih sebagai hak konstitusional
(Wisnu Aryo Dewanto)
sekaligus hak asasi warga negara.
(Janpatar Simamora)
Kata kunci: perjanjian internasional, undangundang pengesahan, judicial review.
Kata kunci: konstitusi, hak memilih, warga negara,
demokrasi langsung.
UDC 342.8
Simamora J (Fakultas Hukum, Universitas HKBP
Nommensen, Medan)
Perlindungan
Hak
UDC 324: 328
Jati WR (Fakultas ISIPOL, Universitas Gadjah
Memilih
Sebagai
Hak
Konstitusional Warga Negara
Mada, Yogyakarta)
Menuju Sistem Pemilu dengan Ambang Batas
Kajian Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/
PUU-X/2012
Parlemen yang Afirmatif
Kajian Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/
PUU-X/2012
Jurnal Yudisial 2013 6(2), 123-142
Optimalisasi peran aktif warga negara dalam sistem
Jurnal Yudisial 2013 6(2), 143-158
demokrasi sejalan dengan ketentuan Pasal 1 ayat (2)
Tulisan ini menganalisis Putusan Mahkamah
UUD 1945 yang menempatkan kedaulatan berada
Konstitusi
di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD
tersebut memuat dua hal penting. Pertama,
1945. Konsep demokrasi langsung ini dipandang
adanya penetapan ambang batas parlemen sebesar
sebagai konsep paling ideal. Hanya saja dalam
3,5%. Ambang batas parlemen yang seharusnya
pelaksanaan di lapangan, peran aktif warga negara
menjadi sarana untuk mengefektifkan pemilu yang
dalam setiap perhelatan demokrasi justru terbentur
berkualitas justru menjadi sarana diskriminasi
dalam sejumlah regulasi teknis. Salah satu regulasi
bagi partai politik lainnya. Penyederhanaan partai
yang menjadi penghambat adalah ketentuan
politik kemudian diartikan sebagai pembatasan
Pasal 69 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32
kekuasaan. Suksesi kekuasaan hanya berlangsung
Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah yang
pada partai politik lama dan tidak akan beralih
mensyaratkan bahwa untuk dapat menggunakan
pada partai politik baru. Kedua, adanya verfikasi
hak memilih, harus terdaftar sebagai pemilih.
ulang terhadap partai politik peserta pemilu.
Ketentuan ini kemudian dinyatakan Mahkamah
Verifikasi
Konstitusi (MK) bertentangan dengan UUD 1945
lainnya yang membuat keikutsertaan partai
melalui putusan Nomor 85/PUU-X/2012. Dalam
politik baru dalam pemilu terasa kian absurd.
putusannya MK memutuskan bahwa untuk dapat
Verifikasi dengan menyertakan ambang batas
VIII
Nomor
kemudian
52/PUU-X/2012.
menjadi
Putusan
permasalahan
pemilu merupakan syarat yang berat. Hal itu jelas
2004 dan UU No. 51 Tahun 2009 yang membatasi
akan menimbulkan rivalitas antara partai politik
secara restriktif kewenangan peradilan tata usaha
menjadi tidak kompetitif. Demokrasi menjadi kian
negara untuk menguji legalitas Keputusan Tata
kabur maknanya ketika kekuatan oligarkis sendiri
Usaha Negara baik yang bersifat positif maupun
masih berkuasa di parlemen. MK melihat adanya
fiktif-negatif menjadi tindakan faktual pejabat
ketidakpastian maupun ketidakadilan hukum
tata usaha negara. Di sisi lain, substansi putusan
dalam substansi Pasal 8 UU No. 10 Tahun 2012.
PT TUN Jakarta tersebut juga terkesan justru
Inkonsistensi regulasi pemilu yang eksperimental
menguji substansi UU Pemilu sebagai peraturan
perlu diakhiri demi demokrasi.
dasarnya terkait limitasi waktu gugatan sengketa
tata usaha negara pemilu. Tidak dipenuhinya
(Wasisto Raharjo Jati)
secara maksimal standar pengujian berdasarkan
Kata kunci: regulasi pemilu, verifikasi, ambang
kebenaran material dalam sistem peradilan tata
batas parlemen, demokrasi.
usaha negara telah membawa putusan PT TUN
Jakarta tidak mampu mewujudkan tujuan peradilan
tata usaha negara secara optimal. Tujuan tersebut
UDC 341.64: 324
adalah untuk memberikan keadilan administratif
secara substantif dalam penyelesaian sengketa tata
Tjandra WR (Fakultas Hukum, Universitas Atma
usaha negara berdasarkan kebenaran material.
Jaya Yogyakarta, Yogyakarta)
(W. Riawan Tjandra)
Pergeseran Wewenang Peradilan Tata Usaha
Negara Atas Penetapan Parpol Peserta Pemilu
Kata kunci: pemilihan umum, keputusan tata
usaha negara, peradilan tata usaha negara.
Kajian Putusan PT TUN Jakarta Nomor 25/
G/2013/PT.TUN.JKT
Jurnal Yudisial 2013 6(2), 159-172
UDC 347.78
Penyelesaian sengketa tata usaha negara pemilu
Lestari HD (Magister Ilmu Hukum, Universitas
dalam Putusan PT TUN Jakarta Nomor 25/G/2013/
Muhammadiyah Jakarta, Jakarta)
PT.TUN.JKT atas Gugatan Partai Keadilan
Kepemilikan Hak Cipta dalam Perjanjian Lisensi
dan Persatuan Indonesia (PKPI) menimbulkan
problematik tereotis dalam teori hukum acara
Kajian Putusan Mahkamah Agung Nomor 104
peradilan tata usaha negara. PKPI adalah salah
PK/PDT.SUS/2011
satu partai baru yang didirikan oleh S yang dalam
verifikasi partai politik yang dilakukan oleh KPU
Jurnal Yudisial 2013 6(2), 173-188
yang sempat dinyatakan tidak lolos sebagai peserta
Pemegang hak cipta berhak memberikan lisensi
Pemilu 2014. Problematik secara teoretis tersebut
kepada pihak lain untuk mengumumkan atau
terlihat dari konsiderasi putusan PT TUN Jakarta
memperbanyak
yang melakukan penggeseran wewenang peradilan
berupa royalti. Pemberian lisensi tersebut dibuat
tata usaha negara secara generik yang diatur
dalam suatu perjanjian lisensi. Isi perjanjian lisensi
dalam UU No. 5 Tahun 1986 jis UU No. 9 Tahun
tidak mengalihkan hak cipta milik pemberi lisensi
IX
ciptaannya
dengan
imbalan
kepada penerima lisensi. Salah satu contoh dari
perjanjian lisensi di Indonesia adalah pemberian
lisensi hak cipta dan merek minuman penyegar
Cap Kaki Tiga dari perusahaan Singapura Wen
Ken Drug Company kepada perusahaan nasional
PT Sinde Budi Sentosa. Perjanjian lisensi yang
dibuat tahun 1978 tersebut kemudian diakhiri
secara sepihak oleh Wen Ken pada tahun 2008
dan diikuti dengan beberapa sengketa HKI antara
Wen Ken dengan Sinde, salah satunya adalah
sengketa hak cipta atas Logo Cap Kaki Tiga
dan Lukisan Badak. Mahkamah Agung dengan
Putusan No. 104 PK/PDT.SUS/2011 memberikan
hak cipta atas Logo Cap Kaki Tiga dan Lukisan
Badak pada Sinde selaku penerima lisensi, dan
menyatakan bahwa logo tersebut merupakan
ciptaan bersama antara Wen Ken, Sinde, dan BY.
MA tidak mengakui Wen Ken selaku pemberi
lisensi sebagai satu-satunya pemegang hak cipta
atas logo tersebut. Salah satu yang menjadi dasar
pertimbangan MA dalam putusannya adalah
karena Wen Ken tidak memiliki bukti pendaftaran
hak cipta atas logo tersebut, baik di negara asalnya
Singapura maupun di negara-negara lain.
(Hesty D. Lestari)
Kata kunci: hak cipta, lisensi, pendaftaran
ciptaan.
X
JURNAL YUDISIAL
ISSN 1978-6506..................................................................... Vol. 6 No. 2 Agustus 2013
The Descriptors given are free terms. This abstract sheet may be reproduced without permission or
charge
UDC 343.23: 341.1
UDC 341.24
Sefriani (Fakultas Hukum, Universitas Islam
Dewanto WA (Fakultas Hukum, Universitas
Indonesia, Yogyakarta)
Surabaya, Surabaya)
The Characteristics of the Most Serious Crime
The Problem of Validity and Legal Status of
Based on International Law in the Constitutional
International Treaties
Court’s Decision
An Analysis of Constitutional Court’s Decision
An Analysis of Constitutional Court’s Decision
Number 33/PUU-IX/2011 (Org. Ind)
Number 15/PUU-X/2012 (Org. Ind)
Jurnal Yudisial 2013 6(2), 107-122
Jurnal Yudisial 2013 6(2), 95-106
For the academics, particularly those in the field
‘The most serious crime’ is the term for a category
of International Laws and Constitutional Laws,
of crime that is used by the country that still
the Constitutional Court’s Decision Number 33/
retains the death penalty. The definition of the
PUU-IX/2011 has provided insights on what
most serious crime according to the International
matters about the Ratification Law of International
Laws is a heinous and cruel crime, which shook
Treaties in Indonesia, whether it is the House
the conscience of humanity. It is intentional,
of Representative’s approval to the President
organized, systematic, and widespread causing
per se, or rather a means to make the treaty
death or other serious impacts on the state or the
applicable in Indonesia. Res judicata asserted
public at large. The Constitutional Court Decision
by the Constitutional Court judges rejecting the
Number 15/PUU-X/2012 which categorized a
applicant’s request, indicates that the Ratification
violent theft which has caused serious injury or
Law of International Treaties in Indonesia is only
death as ‘the most serious crime’, is not in line
a formal approval of the House of Representatives
with International Laws. This paper analyzes and
to the President as stated in Article 11, Paragraph 1
resolves that there is nothing in the International
of the 1945 Constitution the Republic of Indonesia.
Laws or National Laws classifying any violent
Additionally, the Ratification Law is not a legal
theft into the category of ‘the most serious
basis for the enactment of the international treaty
crime’.
in Indonesia. The international treaties ratified by
the Indonesian Government bind for Indonesian
(Sefriani)
only, not in Indonesia [read: court]. Thus, the
Keywords: the most serious crime, violent theft,
Ratification Law of International Treaties in
the death penalty.
Indonesia cannot be an object of judicial review
of the Constitutional Court.
XI
(Wisnu Aryo Dewanto)
(Janpatar Simamora)
Keywords: international treaty, ratification law,
Keywords: constitution, right to vote, citizen,
judicial review.
direct democracy.
UDC 342.8
UDC 324: 328
Simamora J (Fakultas Hukum, Universitas HKBP
Jati WR (Fakultas ISIPOL, Universitas Gadjah
Nommensen, Medan)
Mada, Yogyakarta)
The Protection of Citizen’s Constitutional Right
Towards the Affirmative Parliamentary Threshold
to Vote
Election Systems
An Analysis of the Constitutional Court’s Decision
An Analysis of Constitutional Court’s Decision
Number 85/PUU-X/2012 (Org. Ind)
Number 52/PUU-X/2012 (Org. Ind)
Jurnal Yudisial 2013 6(2), 123-142
Jurnal Yudisial 2013 6(2), 143-158
Optimized active role of citizens in every stage
This paper analyzes the Constitutional Court
of democracy in accordance with the provisions
Decision No. 52/PUU-X/2012 which contains two
of Article 1 (2) of the 1945 Constitution which
important points concerning the establishment
places the sovereignty vested in the people
of the parliamentary threshold of 3.5% and re-
and implemented in accordance with the 1945
verification of the political parties contesting the
Constitution. The concept of direct democracy is
election. The threshold which should be a means
seen as the most ideal concept. It’s just in the field,
to make an effective and qualified election instead
the active role of citizens in a democracy every
became a means of discrimination among the
event just hit the number of technical regulations.
political parties. Simplified model of political
One of the regulations that a barrier is the provision
party is then interpreted as a means of power
of Article 69 paragraph (1) of Law No. 32 Year
limitation. Power succession takes place only on
2004 on Regional Government which requires
the former political party and will not switch to
that to be able to exercise their right to vote, must
a new political party. Verification then becomes
be registered as a voter. This provision was later
another problem that makes the participation
declared the Constitutional Court (MK) contrary
of new political party in the election seemed
to the 1945 Constitution through verdict No. 85/
increasingly absurd. Verification that includes
PUU-X/2012. In its decision the Court decided
electoral threshold is a severe condition. This
that in order to be able to vote, then the citizens
will obviously lead to rivalry between the
enough to show identity cards and family cards
political parties. The essence of democracy is
in the local environment. This decision should be
increasingly blurry as the oligarchic power still
appreciated in the effort to protect and guarantee
in the Parliament. Constitutional Court sees this
the right to vote as well as the constitutional rights
uncertainty and injustice in the legal substance
of citizens rights.
of Article 8 of Law Number 10 of 2012. The
XII
inconsistency of the experimental regulations of
substance of the decision also seems review the
election should be ended in favor of democracy.
substance of the Election Law as the basic rules
(Wasisto Raharjo Jati)
regarding time limitations on administrative
dispute lawsuit. As the review did not meet
Keywords: regulation of election, verification,
the examination standards according to the
parliamentary threshold, democracy.
Administrative Court system, the decision could
not reached the optimum objectives set forth in
the due process of law. These objectives are to
UDC 341.64: 324
substantially obtain the administrative justice in
Tjandra WR (Fakultas Hukum, Universitas Atma
Jaya Yogyakarta, Yogyakarta)
settling any administrative legal dispute based on
material truths.
(W. Riawan Tjandra)
The Shifting of Authority in the Administrative
Court on the Determination of Political Parties
Keywords: general elections, administrative
Elections Participants
decision, administrative court.
An Analysis of Jakarta Administrative Court’s
Decision Number 25/G/2013/PT.TUN.JKT (Org.
Ind)
UDC 347.78
Lestari HD (Magister Ilmu Hukum, Universitas
Jurnal Yudisial 2013 6(2), 159-172
Muhammadiyah Jakarta, Jakarta)
The settlement of the administrative legal dispute
on general election as issued in the decision of the
Copyright Ownership in the License Agreement
Administrative High Court (PT TUN) of Jakarta
An Analysis of Supreme Court’s Decision Number
Number 25/G/2013/PT.TUN.JKT has resulted in
104 PK/PDT.SUS/2011 (Org. Ind)
a theoretical problem in terms of administrative
procedural law. The legal dispute was initiated
Jurnal Yudisial 2013 6(2), 173-188
by PKPI, a newly established political party
A copyright holder is entitled to license others
founded by former Jakarta’s Governor, Sutiyoso
to publish or reproduce his creations in return
soon after it failed to run in the 2014 legislative
for a royalty. Licensing shall be made in a form
race. The theoretical problem can be observed in
of license agreement. A license agreement
the PT TUN’s ruling consideration which makes
does not transfer the copyright that belongs to
an authority shift in the Administrative Court
the licensor to the licensee. One example of a
generically, as regulated on Law Number 5 of
license agreement in Indonesia is the licensing of
1986, Law Number 9 of 2004, and Law Number
copyright and brand name of Minuman Penyegar
51 of 2009 that restrictively set the authority
Cap Kaki Tiga from Wen Ken Drug Company
limit of the Administrative Court to examine the
from Singapore, to a national company, PT Sinde
legality of either positive administrative decision
Budi Sentosa in 1978. The licensing agreement
or fictive-negative one to become a factual action
was then terminated unilaterally by Wen Ken in
of the government official. On the other side, the
2008, and was followed by a series of Intellectual
XIII
Property Rights disputes between Wen Ken and
Sinde, one of which is the dispute on copyright
of the logo. In its Decision Number 104 PK/PDT.
SUS/2011, the Supreme Court of the Republic
of Indonesia granted the copyright of the logo
to Sinde as the licensee and stated that the logo
was a joint creation between Wen Ken, Sinde,
and BY. The Supreme Court did not acknowledge
Wen Ken as the licensor as the sole holder of the
copyright to the logo. One of the necessary ruling
considerations of the Supreme Court is for the
reason that Wen Ken did not posses any evidences
of copyright registration for the logo in its home
country, Singapore, as well as in other countries.
(Hesty D. Lestari)
Keywords:
copyright,
license,
copyright
registration.
XIV
KARAKTERISTIK THE MOST SERIOUS CRIME
MENURUT HUKUM INTERNASIONAL DALAM
PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
Kajian Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-X/2012
THE CHARACTERISTICS OF THE MOST SERIOUS CRIME
BASED ON INTERNATIONAL LAW
IN THE CONSTITUTIONAL COURT’S DECISION
An Analysis of Constitutional Court’s Decision Number 15/PUU-X/2012
Sefriani
Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia
Jl. Tamansiswa 158 Yogyakarta
Email: [email protected]
Diterima tgl 14 Maret 2013/Disetujui tgl 15 Juli 2013
ABSTRAK
dengan kekerasan, hukuman mati.
The most serious crime adalah satu-satunya
kejahatan yang bisa digunakan oleh negara yang
Abstract
masih ingin mempertahankan hukuman mati.
‘The most serious crime’ is the term for a category
of crime that is used by the country that still
retains the death penalty. The definition of the
most serious crime according to the International
Laws is a heinous and cruel crime, which shook
the conscience of humanity. It is intentional,
organized, systematic, and widespread causing
death or other serious impacts on the state or the
public at large. The Constitutional Court Decision
Number 15/PUU-X/2012 which categorized a
violent theft which has caused serious injury or
death as ‘the most serious crime’, is not in line
with International Laws. This paper analyzes and
resolves that there is nothing in the International
Laws or National Laws classifying any violent
theft into the category of ‘the most serious
crime’.
Karakteristik the most serious crime dalam hukum
internasional di antaranya: tindak pidana yang
dilakukan merupakan perbuatan yang keji dan
kejam, menggoncangkan hati nurani kemanusiaan;
Adanya unsur kesengajaan, terorganisir, sistematis,
dan meluas untuk menimbulkan kematian atau
akibat-akibat yang sangat serius lainnya; Akibat
yang ditimbulkan dari tindak pidana itu sangat serius
terhadap negara atau masyarakat luas. Putusan
MK Nomor 15/PUU-X/2012 yang memasukkan
tindak pidana pencurian dengan kekerasan yang
menimbulkan luka berat atau matinya orang sebagai
the most serious crime tidak sesuai dengan hukum
internasional. Hasil penelitian ini membuktikan
tidak ada hukum internasional maupun hukum
nasional yang memasukkan tindak pidana pencurian
dengan kekerasan sebagai the most serious crime.
Keywords: the most serious crime, violent theft,
Kata kunci: the most serious crime, pencurian the death penalty.
Karakteristik The Most Serious Crime Menurut Hukum Internasional (Sefriani)
| 95
I.
PENDAHULUAN
Mahkamah Konstitusi (MK) Republik
Indonesia kembali menolak menghapuskan
hukuman mati dari sistem hukum pidana
Indonesia. Hal ini nampak dari putusan MK
atas pemohonan judicial review terhadap Pasal
365 ayat (4) KUHP yang diajukan dua terpidana
yang divonis hukuman mati oleh Pengadilan
Tinggi Pekanbaru, RS alias H alias WA dan RF
alias D.
Berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri
Tanjung Balai Karimun Nomor 178/Pid.B/2009/
PN.TBK, tanggal 28 Januari 2010, kedua
pemohon dinyatakan bersalah melakukan tindak
yang menyebabkan luka berat atau mati tidak
termasuk dalam kategori the most serious crime.
Oleh karena itu menurut pemohon, ancaman mati
dalam Pasal 365 ayat (4) adalah inkonstitusional.
Selanjutnya pemohon memohon pada MK untuk
menyatakan bahwa ketentuan Pasal 365 ayat (4)
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sepanjang
mengenai ancaman hukuman matinya adalah
tidak berlaku lagi atau tidak mengikat.
Permohonan judicial review tersebut di
atas ditolak oleh MK. MK berpendapat hukuman
mati tidak bertentangan dengan HAM khususnya
hak hidup yang dijamin oleh UUD 1945.
MK menyatakan bahwa hukuman mati tidak
melanggar Pasal 28A juga Pasal 28I ayat (1)
UUD 1945 karena pasal-pasal itu harus dibaca
secara sistematis. Hak asasi dalam dua pasal itu
dibatasi oleh Pasal 28J UUD 1945. Sebagaimana
diketahui Pasal 28J UUD 1945 berbunyi sebagai
berikut:
pidana Pasal 340 KUHP dan divonis hukuman
mati. Di tingkat banding hukuman untuk
keduanya tidak berubah meskipun Pengadilan
Tinggi Pekanbaru Nomor 71/Pid/2010/PT.R,
tanggal 19 April 2010 tidak lagi menggunakan
Pasal 340 yang mengatur tentang pembunuhan
berencana melainkan dengan Pasal 365 ayat (4) 1. Setiap orang wajib menghormati hak asasi
KUHP yang menetapkan sebagai berikut:
manusia orang lain dalam tertib kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
“Diancam dengan pidana mati atau pidana
penjara seumur hidup atau selama waktu 2. Dalam menjalankan hak dan kebebasannya,
tertentu paling lama dua puluh tahun, jika
setiap orang wajib tunduk kepada
perbuatan mengakibatkan luka berat atau
pembatasan yang ditetapkan dengan
mati dan dilakukan oleh dua orang atau
undang-undang dengan maksud sematalebih dengan bersekutu, pula disertai oleh
mata untuk menjamin pengakuan serta
salah satu hal yang diterangkan.”
penghormatan atas hak dan kebebasan
orang lain dan untuk memenuhi tuntutan
Berdasarkan putusan pengadilan tinggi
yang adil sesuai dengan pertimbangan
tersebut, keduanya terbukti bersekutu mencuri
moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan
dengan kekerasan yang mengakibatkan kematian
ketertiban umum dalam suatu masyarakat
pada korbannya (Kompas, 19 Juli 2012). Kedua
demokratis.
pemohon mendalilkan bahwa hukuman mati
yang diatur dalam Pasal 365 ayat (4) KUHP
Hal yang menarik dari Putusan MK Nomor
melanggar hak hidup yang dijamin oleh Pasal 15/PUU-X/2012 dan yang menjadi obyek kajian
28A dan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945. Pemohon penelitian ini adalah penggunaan the most serious
mendalilkan bahwa mencuri dengan kekerasan crime oleh MK untuk menjustifikasi penerapan
96 |
Jurnal Yudisial Vol. 6 No. 2 Agustus 2013: 95 - 106
hukuman mati. Menurut MK tindak pidana
pencurian dengan kekerasan yang menyebabkan
matinya orang termasuk the most serious crime,
karena kejahatan tersebut menimbulkan ketakutan
yang luar biasa pada masyarakat, yang sama
dengan ketakutan terhadap akibat dari narkoba.
Oleh karena perbuatan jahatnya menimbulkan
efek psikologis yang sama maka wajar manakala
ancaman pidananya sama. Ancaman pidana
terhadap kedua kejahatan tersebut diharapkan
dapat menimbulkan efek jera dan pencegahan
untuk melakukan kejahatan baik bagi terdakwa
maupun bagi masyarakat.
Mengingat bahwa istilah the most serious crime
yang digunakan MK itu berasal dari ICCPR maka
penelitian ini akan mengkajinya dari perspektif
hukum internasional.
Penggunaan the most serious crime
untuk menjustifikasi penerapan hukuman mati
sebagaimana yang dilakukan oleh MK dalam
Putusan MK Nomor 15/PUU-X/2012 ini
sesungguhnya sesuai dengan apa yang diatur
dalam Pasal 6 ICCPR yang telah diratifikasi oleh
Indonesia melalui UU Nomor 12 Tahun 2005.
Pasal 6 ayat (2) ICCPR memang membolehkan
negara-negara
peratifikasi
yang
masih
menerapkan hukuman mati untuk menerapkan
hukuman mati manakala terjadi the most serious
crime. The most serious crime adalah satusatunya alasan yang bisa digunakan oleh negara
untuk tetap mempertahankan dan menjatuhkan
putusan hukuman mati.
1. Bagaimanakah karakteristik the most
serious crime dalam hukum internasional?
II.
RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan paparan dalam bagian latar
belakang masalah di atas bahwa the most serious
crime merupakan satu-satunya jenis kejahatan
yang dapat digunakan oleh negara peratifikasi
ICCPR untuk tetap mempertahankan hukuman
mati dan mengingat tidak jelasnya definisi
mengenai apa yang dimaksud dengan the most
Menurut MK permohonan para pemohon serious crime tersebut maka kembali pada
tidak beralasan menurut hukum sehingga dalam Putusan MK Nomor 15/PUU-X/2012 sebagai
amar putusannya MK menolak permohonan para obyek kajian penelitian ini maka dapat disusun
pemohon untuk seluruhnya.
rumusan masalah sebagai berikut:
2. Apakah Putusan MK Nomor 15/PUUX/2012 yang memasukkan pencurian
dengan kekerasan yang menyebabkan
matinya orang sebagai the most serious
crime sesuai dengan hukum internasional?
III. STUDI PUSTAKA DAN ANALISIS
A. Karakteristik The Most Serious Crime
Dalam Hukum Internasional
Perkembangan
hukum
internasional
menunjukkan bahwa penerapan hukuman
mati semakin dibatasi (Truskett, 2004: 563).
Permasalahan yang muncul adalah apakah
Pembatasan dimulai dari membatasi penerapan
tepat untuk memasukkan tindak pidana dengan
hukuman mati hanya untuk tindak pidana yang
kekerasan sebagai the most serious crime?
masuk kategori the most serious crime sampai
Permasalahan ini tidak mudah dijawab mengingat
pada menghapuskan sama sekali hukuman mati
ICCPR sendiri tidak memberikan definisi apa
tanpa perkecualian (Fitzpatrick & Miller, 1993:
yang dimaksud dengan the most serious crime.
273). ICCPR merupakan pelopor pembatasan
Karakteristik The Most Serious Crime Menurut Hukum Internasional (Sefriani)
| 97
hukuman mati. Instrumen ini mengijinkan
penerapan hukuman mati bagi negara-negara
yang masih menerapkan hukuman mati manakala
terjadi the most serious crime. ICCPR tidak
memberikan batasan apa yang dimaksud dengan
the most serious crime. Meskipun negara
memiliki diskresi untuk menafsirkan apa yang
dimaksud dengan the most serious crime namun
komite HAM internasional menegaskan bahwa
penafsiran itu harus sejalan dengan hukum
internasional. Penafsiran secara luas kriteria
the most serious crime akan menggagalkan
tujuan menerapkan standar universal penerapan
hukuman mati yang digagas oleh pembentuk
ICCPR dan akan menjadikan instrumen HAM
internasional ini tidak berarti atau meaningless
(U.N. Human Rights Council: 2007: 40, U.N.
Doc. A/HRC/4/20).
Pasal di atas menghubungkan the most
serious crime yang menjadi penjustifikasian
penerapan hukuman mati dengan kejahatan
yang paling serius yang berkarakter militer yang
dilakukan pada situasi perang (Zexian, 2005: 3).
Optional Protocol ICCPR ini merupakan
perwujudan dari semangat Pasal 3 DUHAM dan
Pasal 6 ICCPR yang secara implisit menghendaki
penghapusan hukuman mati. Kehendak untuk
menghapus hukuman mati ditegaskan pada
bagian konsiderans Second Optional Protocol
Second Optional. Protocol menerapkan standar
yang lebih tinggi daripada Pasal 6 ICCPR. Second
Optional Protocol bertujuan untuk menghapus
hukuman mati secara total, tanpa pengecualian
berdasarkan jenis tindak pidana yang dilakukan.
Bahkan Second Optional Protocol
membatasi bahwa reservasi hanya dapat
dilakukan di awal, ketika ratifikasi atau aksesi
dilakukan dan dibatasi hanya untuk hukuman
mati terhadap tindak pidana- tindak pidana yang
sangat serius yang terkait dengan militer di masa
perang. Dengan demikian, tindak pidana yang
terkait dengan narkotika tidak termasuk dalam
kategori yang dapat direservasi. Reservasi yang
bersifat sangat terbatas ini menunjukkan trend
internasional yang sangat kuat untuk menghapus
hukuman mati.
Frasa the most serious crime tidak hanya
ada dalam ICCPR tetapi dapat ditemukan dalam
dokumen hukum internasional yang lain seperti
optional protocol II ICCPR (Lynch, 2009: 539).
Instrumen ini bertujuan memberikan penjelasan
lebih lanjut tentang hukuman mati yang diatur
dalam Pasal 6 ICCPR. Namun demikian ternyata,
tidak berbeda dengan dokumen induknya, optional
protocol ini juga tidak memberikan batasan apa
yang dimaksud dengan the most serious crime.
Satu-satunya pasal dalam protocol ini yang bisa
memberikan sedikit bantuan untuk memahami
Dokumen ketiga yang juga memuat frasa the
apa yang dimaksud the most serious crime adalah most serious crime adalah General Comment No.
Pasal 2 ayat (1) yang menyatakan bahwa:
6 ICCPR. Paragraf 7 instrumen ini menegaskan
bahwa:…… the expression “most serious crimes”
No reservation is admissible to the present
must be read restrictively to mean that the death
Protocol, except for a reservation made
penalty should be a quite exceptional measure.
at the time of ratification or accession
Dengan demikian sesungguhnya the most serious
that provides for the application of the
crime menurut instrumen ini harus dimaknai
death penalty in time of war pursuant to
secara terbatas. Berarti menurut instrumen ini
a conviction for a most serious crime of a
hukuman mati seharusnya merupakan suatu
military nature committed during wartime.
98 |
Jurnal Yudisial Vol. 6 No. 2 Agustus 2013: 95 - 106
upaya yang sangat luar biasa tidak bisa diterapkan (ICC). Pasal 5 Statuta Roma 1998 menyatakan
semaunya tanpa pembatasan.
bahwa the most serious crime mencakup 4 jenis
kejahatan yaitu war crime, genocide, crimes
Dokumen keempat adalah the ECOSOC
against humanity, dan crime of aggression.
Safeguards the protection of those facing the death
penalty in respect of the most serious crimes. Pasal
Ada beberapa istilah lain yang sering
1 instrumen ini menegaskan bahwa di negara- digunakan dan dianggap memiliki arti yang serupa
negara yang belum menghapuskan hukuman mati, adalah gross violation of human rights. Keduanya
hukuman mati dapat dilakukan hanya terhadap dipandang sebagai ‘extraordinary crimes’ sebab
the most serious crimes. Lebih lanjut instrumen apa yang dilakukan merupakan perbuatan yang
ini menyatakan bahwa cakupannya terhadap keji dan kejam, dapat menggoncangkan hati nurani
kejahatan yang dilakukan dengan kesengajaan kemanusiaan (deeply shock the conscience of
untuk menimbulkan kematian atau akibat-akibat humanity) dan dapat mengancam perdamaian dan
yang sangat serius lainnya (extremely grave keamanan internasional (a threat to international
consequences).
peace and security) (Muladi, 2005: 11).
Arti dari frasa “the most serious crimes”
juga dijelaskan lebih lanjut dalam paragraf 91
Report of Special Rapporteur (E/CN.4/1997/60)
komite HAM internasional tanggal 24 Desember
1996. Laporan khusus ini menyatakan bahwa:
the scope of crimes subject to the death penalty
should not go beyond intentional crimes with
lethal or other extremely grave consequences.
Dengan demikian yang dimaksud dengan the most
serious crime menurut komite HAM internasional
tersebut adalah tindak pidana internasional yang
dilakukan dengan sengaja atau terencanakan dan
menimbulkan akibat yang sangat luar biasa. Hal
ini senada dengan pendapat ahli hukum HAM
internasional, Philip Alston, yang dituangkan
dalam laporan sidang PBB di bulan Januari
tahun 2007, pada paragraf 53, yang menyatakan
bahwa termasuk dalam kategori the most serious
crime adalah tindak pidana-tindak pidana yang
melibatkan niat untuk melakukan pembunuhan
yang mematikan.
Adapun Konvensi-Konvensi Jenewa 1949
tentang perlindungan terhadap korban perang
tidak menggunakan istilah the most serious crime
ataupun gross violation tetapi grave breaches of
Geneva Conventions 1949. Hukuman mati diatur
dalam Konvensi III dan IV Konvensi Jenewa 1949
tentang perlindungan terhadap korban perang.
Konvensi III tentang perlindungan terhadap
tawanan perang menyebutkan bahwa hukuman
mati dapat diterapkan terhadap tawanan perang
yang ditahan oleh negara penawan (detainer
power) yang melakukan grave bereaches apabila
hukum nasional negara ini memang masih
memberlakukan hukuman mati. Sama dengan
instrumen hukum internasional lainnya instrumen
ini juga tidak memberikan batasan apa yang
dimaksud dengan grave breaches.
Meskipun demikian konvensi memberikan
alternatif seperti pertukaran tawanan perang untuk
mengurangi penerapan hukuman mati. Adapun
Konvensi IV tentang perlindungan terhadap
Istilah the most serious crime lebih lanjut penduduk sipil melarang hukuman mati terhadap
juga ada dalam Statuta Roma 1998 tentang anak di bawah 18 tahun. Negara pendudukan
pembentukan Pengadilan Pidana Internasional (occupying power) tidak boleh menjatuhkan
Karakteristik The Most Serious Crime Menurut Hukum Internasional (Sefriani)
| 99
(deeply shock the conscience of humanity)
hukuman mati kepada penduduk sipil di negara
dan dapat mengancam perdamaian dan
yang mereka duduki apabila hukum nasional
keamanan internasional (a threat to
mereka sendiri telah menghapuskan hukuman
international peace and security).
mati.. Konvensi IV juga melarang hukuman
mati kepada wanita hamil dan ibu yang masih
2. Adanya unsur kesengajaan, terorganisir,
memiliki bayi yang sangat bergantung kepadanya
sistematis, dan meluas untuk menimbulkan
(dependent infant) (Schabas, 1998: 816).
kematian
atau
akibat-akibat
yang
sangat serius lainnya (extremely grave
Istilah grave breaches juga digunakan
consequences).
dalam statuta ICTY dan ICTR. Hanya saja ada
sedikit perbedaan, di mana pada Statuta ICTY dan
3. Akibat yang ditimbulkan dari tindak
ICTR membagi dua jenis kejahatan perang yaitu
pidana itu sangat serius terhadap negara
kejahatan perang yang merupakan pelanggaran
atau masyarakat luas seperti mengganggu
berat terhadap Konvensi-Konvensi Jenewa 1949
ketertiban umum, melibatkan jumlah
(grave breaches of Geneva Conventions 1949)
uang yang ekstra besar seperti kejahatan
yang diatur dalam Pasal 2 Statuta ICTY dan
ekonomi, dilakukan dengan cara yang
pelanggaran terhadap hukum atau kebiasaan
sangat buruk (crimes with extremely
perang (violations of laws or customs of war) yang
heinous methods) dan kejam di luar batas
diatur dalam Pasal 3 Statuta ICTY (Wongkar,
perikemanusiaan
serta
menimbulkan
2006: 19).
ancaman atau membahayakan keamanan
negara.
Penafsiran tentang the most serious crime
dalam praktek antara lain pernah dilakukan oleh
komite HAM internasional dalam kasus Zambia
(Hum. Rts. Comm: 1995: Communication
No. 390/1990 1995). Dalam kasus ini komite
menyatakan bahwa penerapan hukuman mati
terhadap pelaku perampokan dengan kekerasan
yang menggunakan senjata api tidak sesuai
dengan Pasal 6 Paragraf 2 ICCPR (Schmidt,
1997: 483). Hal ini berarti menurut komite HAM
internasional perampokan dengan kekerasan tidak
termasuk kategori the most serious crime.
B. Putusan MK Tidak Sesuai dengan
Hukum Internasional
Dalam putusannya Nomor 15/PUUX/2012, MK menyatakan bahwa tindak pidana
pencurian dengan kekerasan yang menyebabkan
luka berat atau matinya korban sebagai the most
serious crime. MK menyamakan efek yang
ditimbulkan oleh tindak pidana pencurian dengan
kekerasan ini dengan tindak pidana narkotika.
Penyamaan ini menurut MK dikarenakan efek
yang ditimbulkan semua tindak pidana itu adalah
Dari paparan di atas dapat disimpulkan
sama yaitu menimbulkan ketakutan atau efek
bahwa the most serious crime dalam hukum
psikologis yang luar biasa pada masyarakat, serta
internasional sangatlah terbatas, mengandung
menimbulkan “adversarily affect the economic,
karakteristik sebagai berikut:
cultural and political foundation of society” dan
1. Tindak pidana yang dilakukan merupakan membawa “a danger of incalculable gravity”
perbuatan yang keji dan kejam, yang sama (risalah sidang Putusan Mahkamah
menggoncangkan hati nurani kemanusiaan Konstitusi Nomor 2-3/PUU-V/2007: 426).
100 |
Jurnal Yudisial Vol. 6 No. 2 Agustus 2013: 95 - 106
Dalam putusan tahun 2012 MK menyatakan
Prevention and Punishment of the Crime of
bahwa karena perkara permohonan penghapusan
Genocide. This penalty can only be carried
hukuman mati yang dinilai melanggar hak
out pursuant to a final judgement rendered
konstitusional pemohon sudah diputus dalam
by a competent court.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2-3/PUUMahkamah berpendapat bahwa frasa
V/2007 bertanggal 30 Oktober 2007, maka semua
“tindak pidana yang paling serius” (“the most
pertimbangan hukum yang digunakan MK dalam
serious crimes”) dalam Pasal 6 ayat (2) ICCPR di
putusan 2007 tersebut berlaku mutatis mutandis
atas tidaklah boleh dibaca terpisah dengan frasa
terhadap putusan tahun 2012.
berikutnya, yaitu “sesuai dengan hukum yang
Dalam putusan MK tahun 2007 efek dari berlaku pada saat tindak pidana itu dilakukan”
tindak pidana narkotika disamakan dengan tindak (“in accordance with the law in force at the time
pidana terorisme, korupsi, juga pelanggaran of the commission of the crime”) baik hukum
HAM yang berat. Dengan demikian karena nasional maupun internasional.”
pertimbangan hukum yang digunakan putusan
MK bisa menyebutkan sumber-sumber
2007 berlaku mutatis mutandis terhadap putusan
hukum yang dimaksud dalam putusan tahun 2007
tahun 2012 maka artinya MK juga menyamakan
tersebut, terkait narkotika, perjanjian internasional
tindak pidana pencurian dengan kekerasan yang
yang dirujuk oleh MK adalah United Nations
menyebabkan kematian dengan tindak pidana
Convention Against Illicit Traffic in Narcotics,
narkotika, korupsi, terorisme dan pelanggaran
Drugs and Psychotrophic Substances 1988 yang
HAM yang berat. Semua tindak pidana itu
telah disahkan melalui Undang-Undang Nomor
dikategorikan sebagai the most serious crime
7 Tahun1997. Selanjutnya, terkait pelanggaran
menurut MK.
HAM berat, MK merujuk pada Rome Statute
Dalam putusan tahun 2007 MK menyebutkan Of The International Criminal Court 1998
bahwa parameter yang digunakan MK untuk (Statuta Roma); Adapun terhadap tindak pidana
memasukkan suatu tindak pidana sebagai the korupsi,perjanjian internasional yang dijadikan
most serious crime adalah hukum internasional rujukan adalah: United Nations Convention
dan hukum nasional yang berlaku saat tindak Againts Corruption 2003 (UNCAC) yang telah
pidana itu dilakukan. Apa yang dikemukakan MK disahkan melalui Undang-Undang Nomor 7
ini adalah hasil dari rujukan MK terhadap Pasal Tahun 2006. Selanjutnya untuk tindak pidana
6 ayat (2) ICCPR yang selengkapnya berbunyi terorisme MK merujuk pada beberapa perjanjian
sebagai berikut:
internasional seperti:
In countries which have not abolished the 1.
death penalty, sentence of death may be
imposed only for the most serious crimes
in accordance with the law in force at the
time of the commission of the crime and not 2.
contrary to the provisions of the present
Covenant and to the Convention on the
Convention on the Prevention and
Punishment
of
Crimes
against
Internationally
Protected
persons,
Including Diplomatic Agents 1973;
International Convention Againt the Taking
of Hostages 1979;
Karakteristik The Most Serious Crime Menurut Hukum Internasional (Sefriani)
| 101
3.
4.
International
Convention
for
the terorisme juga pelanggaran HAM yang berat.
suppression of Terrorist Bombings 1997;
Kesemuanya dapat dikategorikan sebagai the
International convention for the suppression most serious crime menurut MK.
of the suppression of the financing of
Apabila dalam putusan tahun 2007 MK
terrorism, 1999;
bisa menyebutkan berbagai sumber hukum
5. Convention on Offences and certain other internasional yang berlaku dan mengikat Indonesia
sebagai rujukan bahwa tindak pidana narkotika,
acts committed on board aircraft, 1963;
terorisme, korupsi dan pelanggaran HAM
6. Convention for the suppression of Unlawful
yang berat merupakan the most serious crime,
Seizure of Aircraft, 1970;
sebaliknya terhadap tindak pidana pencurian
7. Convention for the suppression of unlawful dengan kekerasan yang menimbulkan matinya
acts against the safety of civil aviation, korban tidak ada satupun perjanjian internasional
1971;
yang dirujuk oleh MK. Hal ini karena memang
8. Convention on the Physical Protection of tidak ada satupun instrumen hukum internasional
yang dapat dijadikan rujukan untuk memasukkan
Nuclear Material, 1980;
9. Protocol for the supression of unlawful acts tindak pidana pencurian dengan kekerasan
of violence at airports serving International termasuk kategori the most serious crime atau
Civil Aviation supplementary the convention particularly serious crime seperti empat tindak
for the suppression of unlawful acts against pidana lainnya. Tidak ada hukum yang sedang
berlaku saat tindak pidana dilakukan baik hukum
the safety of civil aviation, 1971;
nasional maupun internasional yang mendukung
10. Convention for the supression of unlawful
bahwa tindak pidana pencurian dengan kekerasan
acts against the safety of Maritime
sebagai the most serious crime.
Navigation, 1988;
Terlepas dari benar tidaknya penafsiran MK
11. Protocol for the supression of unlawful acts
dalam putusan tahun 2007 yang menyamakan
against the safety of fixed platforms located
tindak pidana narkotika dengan tindak pidana
on the continental shelf, 1988;
narkotika, terorisme, korupsi, dan pelanggaran
12. Convention on the marking of plastic HAM yang berat dan memasukkan semua tindak
explosives for the purpose of identification, pidana tersebut sebagai the most serious crime,
signed at monteral 1981.
penyamaan secara mutlak antara tindak pidana
Instrumen-instrumen hukum internasional pencurian dengan kekerasan yang mengakibatkan
tersebut memang menyebutkan tentang efek matinya korban di satu sisi, dengan tindak pidana
tindak pidana yang dimaksud dan mewajibkan narkotika, korupsi, terorisme dan pelanggaran
negara untuk serius menanggulanginya. HAM yang berat di sisi lain sesungguhnya tidak
Konvensi Narkotika dan Psikotropika misalnya bisa dilakukan mengingat kedua kelompok
menyebutkan bahwa tindak pidana narkotika tindak pidana tersebut berbeda karakteristiknya.
merupakan particulary serious crime dan hal itu Karakteristik the most serious crime sebagaimana
dapat disamakan dengan tindak pidana korupsi, telah dirinci dalam subbab sebelumnya tidak
terpenuhi jika diterapkan terhadap tindak pidana
102 |
Jurnal Yudisial Vol. 6 No. 2 Agustus 2013: 95 - 106
pencurian dengan kekerasan yang mengakibatkan
matinya korban.
menimbulkan akibat yang sangat serius terhadap
negara atau masyarakat luas seperti mengganggu
ketertiban umum, tidak melibatkan jumlah uang
yang ekstra besar seperti kejahatan ekonomi,
juga tidak dilakukan dengan cara yang sangat
buruk atau kejam di luar batas perikemanusiaan
(crimes with extremely heinous methods) serta
tidak mengancam atau membahayakan keamanan
negara. Dengan demikian tindak pidana pencurian
yang diatur dalam Pasal 365 ayat (4) tidak
termasuk the most serious crime dalam hukum
internasional sehingga tidak bisa digunakan
untuk menjustifikasi penerapan hukuman mati
dijatuhkan oleh pengadilan berdasarkan Pasal 6
ayat (2) ICCPR .
Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa
dari perspektif hukum internasional tindak pidana
pencurian dengan kekerasan tidak termasuk
the most serious crime. Ada beberapa argumen
untuk mendukung statemen ini. Pertama, tindak
pidana ini memang merupakan tindakan yang
keji dan kejam tetapi belum sampai pada taraf
menggoncangkan hati nurani kemanusiaan
(deeply shock the conscience of humanity) dan
tidak mengancam perdamaian dan keamanan
internasional (a threat to international peace
and security). Kedua, tidak adanya unsur
kesengajaan, terorganisir, sistematis, dan meluas
untuk menimbulkan kematian atau akibat-akibat
Sebenarnya meskipun tidak menjadi
yang sangat serius lainnya (extremely grave kajian utama dari penelitian ini, memasukkan
consequences).
tindak pidana pencurian dengan kekerasan yang
menimbulkan matinya korban ke dalam kategori
Kematian korban pada umumnya bukan
the most serious crime tidak hanya tidak tepat
tujuan utama pelaku. Luka berat atau matinya
dalam perspektif hukum internasional tetapi
korban pada umumnya merupakan kejadian yang
juga dalam kacamata hukum nasional Indonesia
bersifat eksesif tidak terencana. Pada umumnya
sendiri khususnya UU Nomor 39 Tahun 1999
munculnya kematian akibat tindakan pencurian itu
tentang HAM dan UU Nomor 26 Tahun 2000
dikarenakan adanya perlawanan dari korban yang
tentang Peradilan HAM.
berusaha mempertahankan harta bendanya yang
akan dicuri oleh pelaku. Hal ini berbeda dengan
Meskipun tidak menggunakan istilah
tindak pidana pembunuhan berencana yang the most serious crime namun UU Nomor 39
tujuan utamanya adalah matinya korban di mana Tahun 1999 tentang HAM menggunakan istilah
hal ini dapat dikatakan sebagai kekejaman yang pelanggaran HAM yang berat (Gross violation)
luar biasa dari pelaku (Hamzah & Sumangelipu, yang merupakan padanan kata dari the most
2009: 53-57). Komisi HAM internasional secara serious crime. Pasal 104 ayat (1) Undang-Undang
konsisten selalu menolak memasukkan tindak Nomor 39 Tahun 1999 ini menyatakan bahwa:
pidana yang tidak ada unsur kesengajaan untuk
Pelanggaran HAM yang berat adalah
menghilangkan nyawa korban sebagai the most
pembunuhan
massal
(genoside),
serious crime (Lynch, 2009: 538).
pembunuhan sewenang-wenang atau di luar
Ketiga, tindak pidana pencurian dengan
putusan pengadilan (arbitrary/extra judicial
kekerasan tersebut memang menimbulkan akibat
killing), penyiksaan, penghilangan orang
yang sangat serius pada korban tetapi tidak
secara paksa, perbudakan, diskriminasi
Karakteristik The Most Serious Crime Menurut Hukum Internasional (Sefriani)
| 103
yang dilakukan secara sistematis (systematic kekerasan yang mengakibatkan matinya korban
descrimination).
tidak bisa dipertahankan lagi karena tindak
pidana ini tidak termasuk the most serious crime
Apa yang diatur oleh Pasal 104 ayat (1)
baik menurut hukum internasional maupun
UU Nomor 39 Tahun 1999 ini, berbeda dengan
hukum nasional yang berlaku saat tindak pidana
pengertian pelanggaran HAM berat yang
itu dilakukan.
dimaksud dalam UU Nomor 26 Tahun 2000
tentang Pengadilan HAM. Menurut UU Nomor
Tindak pidana pencurian dengan kekerasan
26 Tahun 2000 pelanggaran HAM berat meliputi; yang mengakibatkan matinya korban tidak bisa
genoside dan tindak pidana terhadap kemanusiaan. disamakan dengan tindak pidana narkotika atau
Pelanggaran HAM yang berat merupakan “extra pelanggaran HAM yang berat yang umumnya
ordinary crimes” dan berdampak secara luas, terorganisir, meluas, sistematis, melibatkan
baik pada tingkat nasional maupun internasional, jaringan internasional, menimbulkan dampak
dan bukan merupakan tindak pidana yang diatur buruk dalam skala luas terhadap pondasi
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, politik, budaya dan ekonomi masyarakat serta
serta menimbulkan kerugian baik materiil maupun menimbulkan bahaya yang sedemikian besar
immaterial yang mengakibatkan perasaan tidak sehingga tidak dapat dikalkulasi besarnya.
aman, baik terhadap perseorangan maupun
masyarakat, sehingga perlu segera dipulihkan IV. SIMPULAN
dalam mewujudkan supremasi hukum untuk
mencapai kedamaian, ketertiban, ketentraman, A. Simpulan
keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh 1. Dari penelitian yang dilakukan disimpulkan
masyarakat Indonesia.
bahwa karakteristik the most serious crime
Jelaslah bahwa berdasarkan dua undangundang nasional Indonesia di atas tindak pidana
pencurian dengan kekerasan yang mengakibatkan a.
matinya korban tidak termasuk kategori the most
serious crime.
Dengan demikian tindak pidana pencurian
dengan kekerasan bukan the most serious crime
menurut hukum yang berlaku saat tindak pidana
dilakukan, baik hukum internasional maupun
hukum nasional sehingga sesungguhnya apabila b.
MK konsisten dengan parameter yang dirujuknya
yaitu Pasal 6 ayat (2) ICCPR bahwa hukuman
mati hanya dapat diterapkan terhadap tindak
pidana yang termasuk kategori the most serious
crime maka sesungguhnya ancaman hukuman
mati terhadap tindak pidana pencurian dengan c.
104 |
dalam hukum internasional adalah sebagai
berikut:
Tindak pidana yang dilakukan merupakan
perbuatan yang keji dan kejam,
menggoncangkan hati nurani kemanusiaan
(deeply shock the conscience of humanity)
dan dapat mengancam perdamaian dan
keamanan internasional (a threat to
international peace and security).
Adanya unsur kesengajaan, terorganisir,
sistematis, dan meluas untuk menimbulkan
kematian
atau
akibat-akibat
yang
sangat serius lainnya (extremely grave
consequences).
Akibat yang ditimbulkan dari tindak
Jurnal Yudisial Vol. 6 No. 2 Agustus 2013: 95 - 106
pidana itu sangat serius terhadap negara
DAFTAR PUSTAKA
atau masyarakat luas seperti mengganggu
Fitzpatrick, Joan & Alice Miller. 1993.
ketertiban umum, dilakukan dengan cara
International Standard on the Death
yang sangat buruk (crimes with extremely
Penalty: Shifting Discours. 19 Brook. J.
heinous methods) dan kejam di luar batas
Int’l L. 273.
perikemanusiaan
serta
menimbulkan
ancaman atau membahayakan keamanan Hamzah, Ali dan A. Sumangelipu. 2009. Pidana
negara.
Mati di Indonesia, di Masa Lalu, Kini dan
di Masa Depan. Cet. Keempat. Jakarta:
2. Putusan MK Nomor 15/PUU-X/2012 yang
Ghalia Indonesia.
memasukkan tindak pidana pencurian
dengan kekerasan yang menimbulkan Jaksa Agung: Hukuman mati bukan isu HAM. 20
luka berat atau matinya orang sebagai the
Februari 2008. Akses 14 November 2012.
most serious crime tidak sesuai dengan
http://www.hukumonline.com/berita/baca/
hukum internasional. Hasil penelitian ini
hol15115/jaksa-agung-hukuman-matimembuktikan tidak ada hukum internasional
bukan-isu-ham.
maupun hukum nasional yang memasukkan
Kompas. 19 Juli 2012.
tindak pidana pencurian dengan kekerasan
sebagai the most serious crime. Unsur-unsur Lynch, Colman. 2009. Indonesia use of Capital
atau karakteristik the most serious crime
Punishment for Drug-Trafficking Crimes
dalam hukum internasional sebagaimana
Legal Obligations, Extra Legal Factors,
telah disebutkan pada simpulan pertama
and The Bali Nine Case, dalam 40 Colum.
tidak terpenuhi oleh tindak pidana pencurian
Hum. Rts. L. Rev. 523.
dengan kekerasan yang mengakibatkan
matinya korban. Demikian pula tindak Muladi. 2005. Mekanisme Domestik unstuck
Mengadili Pelanggaran HAM berat Melalui
pidana pencurian dengan kekerasan yang
Sistem pengadilan Atas Dasar UU 26/2000.
mengakibatkan matinya orang tidak
Seri Bacaan Kursus HAM untuk pengacara.
termasuk kategori pelanggaran HAM
ELSAM.
yang berat, yang merupakan padanan kata
dari frasa the most serious crime, dalam Schabas, William A. 1998. International Law and
UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM
Abolition of Death Penalty. 55 Wash. &
juga UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang
Lee L. Rev. 797.
Pengadilan HAM.
Schmidt, Markus G. 1997. Universality of
B. Saran
Human Rights and The Death Penalty-The
Approach of The Human Rights Committee,
Perlu aturan hukum di tingkat nasional
3 ILSA J. Int’l & Comp. L. 477.
yang memberi parameter the most serious crime
sehingga tidak menimbulkan multitafsir dalam Truskett, John Paul. 2004. The Death penalty,
pengimplementasiannya.
International Law and Human Rights, 11
Tulsa J. Comp. & Int’l L. 557.
Karakteristik The Most Serious Crime Menurut Hukum Internasional (Sefriani)
| 105
Wongkar, Vonny A. 2006. “Tanggung Jawab
Komando Terhadap Pelanggaran HAM
yang Berat dan Kejahatan Perang dalam
Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia.”
Thesis Magister Ilmu Hukum PPS
Universitas Diponegoro.
Zexian, Chen. 2005. Restrictions on the
Imposition of the Death Penalty; A paper
for International Symposium on Death
Penalty (Dec. 9-10, 2005). China.
106 |
Jurnal Yudisial Vol. 6 No. 2 Agustus 2013: 95 - 106
PROBLEMATIKA KEBERLAKUAN DAN
STATUS HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL
Kajian Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/2011
THE PROBLEMS OF VALIDITY AND
LEGAL STATUS OF INTERNATIONAL TREATIES
An Analysis of Constitutional Court’s Decision Number 33/PUU-IX/2011
Wisnu Aryo Dewanto
Fakultas Hukum Universitas Surabaya
Jl. Raya Kalirungkut Surabaya
Email: [email protected] atau [email protected]
Diterima tgl 12 Juni 2013/Disetujui tgl 15 Juli 2013
ABSTRAK
perjanjian internasional bukan merupakan obyek
Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara
pengujian undang-undang terhadap UUD 1945
Nomor 33/PUU-IX/2011 memberikan pencerahan
yang menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi.
kepada berbagai pihak, khususnya akademisi
Kata kunci: perjanjian internasional, undang-
di bidang hukum internasional dan hukum
undang pengesahan, judicial review.
tata negara, mengenai arti dari undang-undang
pengesahan perjanjian internasional di Indonesia,
Abstract
apakah sebagai persetujuan DPR kepada Presiden
For the academics, particularly those in the
field of International Laws and Constitutional
Laws, the Constitutional Court’s Decision
Number 33/PUU-IX/2011 has provided insights
on what matters about the Ratification Law of
International Treaties in Indonesia, whether
it is the House of Representative’s approval to
the President per se, or rather a means to make
the treaty applicable in Indonesia. Res judicata
asserted by the Constitutional Court judges
rejecting the applicant’s request, indicates that
the Ratification Law of International Treaties in
Indonesia is only a formal approval of the House
of Representatives to the President as stated in
Article 11, Paragraph 1 of the 1945 Constitution
the Republic of Indonesia. Additionally,
per se ataukah membuat perjanjian internasional
tersebut berlaku di Indonesia. Res judicata yang
disampaikan oleh majelis hakim Mahkamah
Konstitusi dengan menolak seluruh permohonan
pemohon mengindikasikan bahwa undang-undang
pengesahan perjanjian internasional, meskipun
berbentuk undang-undang hanya merupakan bentuk
persetujuan formal DPR kepada Presiden dalam
kaitannya dengan Pasal 11 ayat (1) UUD 1945.
Lebih lanjut, undang-undang pengesahan perjanjian
bukan merupakan landasan hukum bagi berlaku
perjanjian internasional di Indonesia. Kemudian,
perjanjian internasional yang telah diratifikasi
oleh Pemerintah Indonesia hanya mengikat bagi
Indonesia, bukan di Indonesia [baca: pengadilan].
Dengan demikian, undang-undang pengesahan
Problematika Keberlakuan dan Status Hukum (Wisnu Aryo Dewanto)
| 107
the Ratification Law is not a legal basis for Ratification Law of International Treaties in
the enactment of the international treaty in Indonesia cannot be an object of judicial review
Indonesia. The international treaties ratified by of the Constitutional Court.
the Indonesian Government bind for Indonesian Keywords: international treaty, ratification law,
only, not in Indonesia [read: court]. Thus, the judicial review.
I.
PENDAHULUAN
Untuk perkara Nomor 33/PUU-IX/2011
ini, pemohon mendalilkan bahwa karena bentuk
Judicial review yang dilakukan oleh
pengesahannya menggunakan undang-undang
Perkumpulan Institut Keadilan Global bersamayang mana di dalamnya dilampiri dengan Piagam
sama dengan LSM-LSM lainnya terhadap UU
ASEAN, maka pemohon bisa mengajukan
Nomor 38 Tahun 2008 tentang Piagam ASEAN
judicial review sebagaimana yang diatur di dalam
merupakan titik kulminasi ketidakjelasan status
Pasal 10 ayat (1) butir a UU Nomor 24 Tahun
hukum perjanjian internasional di Indonesia
2003. Lebih lanjut, asumsi pemohon adalah
selama ini dan makna dari undang-undang
makna undang-undang pengesahan perjanjian
pengesahan perjanjian internasional yang dibuat
internasional [baca: UU Nomor 38 Tahun 2008]
oleh DPR bersama-sama dengan Presiden.
adalah untuk membuat perjanjian internasional
Ketidakpahaman pemohon dalam perkara ini
[baca: Piagam ASEAN] berlaku di Indonesia.
sangat masuk akal karena di dalam Pasal 10
ayat (1) butir a UU Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi mengatur bahwa II. RUMUSAN MASALAH
“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili
Dari uraian latar belakang di atas, terdapat
pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya beberapa pertanyaan yang bersifat ontologi,
bersifat final untuk: (a) menguji undang-undang epistimologi dan axiologi yang muncul:
terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik bagaimana status perjanjian internasional dalam
Indonesia 1945.” Selanjutnya, Pasal 9 ayat (2) sistem hukum di Indonesia pasca putusan MK
UU Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian tersebut?
Internasional mengatur bahwa “Pengesahan
perjanjian internasional sebagaimana yang
III. STUDI PUSTAKA DAN ANALISIS
dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan
undang-undang atau keputusan presiden [baca: A. Undang-Undang Pengesahan Perjanjian
Internasional merupakan Persetujuan
peraturan presiden].” Dijelaskan lebih lanjut
DPR kepada Presiden dalam Konteks
dalam Pasal 10 dan Pasal 11 UU Nomor 24
Pasal 11 UUD 1945 sebagai TreatyTahun 2000 bilamana perjanjian internasional
Making Power
harus disahkan menggunakan undang-undang,
dan bilamana perjanjian tersebut harus disahkan
Pasal 11 ayat (1) UUD 1945 mengatur
melalui keputusan presiden [baca: peraturan
bahwa “Presiden dengan persetujuan Dewan
presiden].
Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat
108 |
Jurnal Yudisial Vol. 6 No. 2 Agustus 2013: 107 - 122
perdamaian dan perjanjian dengan negara lain.”
Pasal ini merupakan pengejawantahan dari
konsep Montesquieu yaitu pemisahan kekuasaan
berdasarkan fungsi dan konsep legal system yang
disampaikan oleh Lawrence M. Friedman.
Berdasarkan konsep pemisahan kekuasaan
berdasarkan fungsi, tiap-tiap lembaga negara
memiliki tugas dan fungsi masing-masing tanpa
saling mempengaruhi. Namun, keberadaan
konsep pemisahan kekuasaan ini lebih ditujukan
pada pemisahan kekuasaan lembaga yudikatif dari
lembaga legislatif dan lembaga eksekutif dengan
harapan bahwa putusan-putusan pengadilan tetap
netral tanpa adanya intervensi dari kedua lembaga
tinggi negara tersebut (Willem & Kiiver, 2007:
8-10). Di dalam sistem hukum internasional
kekuasaan eksekutif memiliki fungsi untuk
membuat, menandatangani dan meratifikasi
perjanjian internasional di tingkat internasional
(external affairs) dan kekuasaan legislatif
berperan untuk menyetujui dan/atau menolak
pemberlakuan perjanjian internasional di tingkat
nasional (internal affairs). Kedua proses ini, oleh
Kaczorowska, disebut dengan ‘ratification in
international law’ dan ‘ratification in municipal
law’. Makna dari ‘ratification in international
law’ yaitu suatu prosedur yang harus dilakukan
agar perjanjian internasional dapat berlaku di
level internasional. Untuk istilah ‘ratification
in municipal law’ dimaknai sebagai tindakan
persetujuan formal yang dilakukan oleh suatu
lembaga yang berwenang [baca: legislatif] dalam
suatu negara (Kaczorowska, 2002: 227-228). Dari
pengamatan praktik ketatanegaraan di negaranegara, ada dua model pemisahan kekuasaan,
yaitu pemisahan kekuasaan secara murni dan
pemisahan kekuasaan berdasarkan sistem checks
and balances (Dewanto, 2011: 124-177). Hampir
sebagian besar negara-negara menggunakan
sistem pemisahan kekuasaan secara murni,
di mana lembaga eksekutif dalam membuat
perjanjian internasional hingga meratifikasi tidak
melibatkan lembaga legislatif, seperti di Perancis,
Belanda, Australia dan Kanada. Semisal di
Kanada, sistem ketatanegaraan di negara ini ada
pemisahan kekuasaan antara Pemerintah Federal
dengan Parlemen Federal. Pemerintah Federal
dapat membuat, menandatangani dan bahkan
meratifikasi perjanjian internasional, tetapi
Pemerintah Federal tidak dapat memastikan
apakah perjanjian internasional tersebut dapat
berlaku di Kanada atau tidak. Ini disebabkan
oleh adanya pembedaan kewajiban tugas dan
fungsi kedua lembaga tinggi negara tersebut,
yang mana kewajiban di tingkat internasional
dibebankan kepada Pemerintah Federal,
sedangkan untuk kewajiban di tingkat nasional
menjadi kewenangan Parlemen Federal. Oleh
karena itu, setiap perjanjian internasional yang
diratifikasi oleh Pemerintah Federal harus
mendapat persetujuan dari Parlemen Federal
dan Provinsi jika ingin diberlakukan di wilayah
hukum Kanada. Sistem pemisahan kekuasaan ini
bertujuan untuk mencegah Pemerintah Federal
mengesampingkan kekuasaan yang dimiliki
oleh Parlemen Federal maupun Provinsi dengan
menjadi pihak di setiap perjanjian internasional
tanpa memperhatikan situasi dan kondisi nasional
negara (Mallet, 2007: 2).
Selanjutnya, dalam konsep legal system
yang ditulis oleh Lawrence M. Friedman, bahwa
sebuah sistem hukum terdiri dari tiga komponen
utama, yaitu substance, structure dan culture
(Friedman, 1975: 16). Permasalahan dengan
sistem hukum internasional adalah lemahnya
relasi antara hukum internasional dengan hukum
nasional. Ditinjau dari sisi substance, Pasal 2
ayat (1) Piagam PBB mengatur bahwa “The
Problematika Keberlakuan dan Status Hukum (Wisnu Aryo Dewanto)
| 109
Organisation is based on the principle of the
sovereign equality of all Members.” Pernyataan ini
secara tidak langsung berpengaruh pada hubungan
kelembagaan (structure) antara negara dengan
hukum internasional di mana hubungan keduanya
bersifat koordinasi atau sejajar. Dengan demikian,
perjanjian internasional tidak dapat secara
otomatis menjadi bagian dari hukum nasional
suatu negara sebelum adanya persetujuan dari
lembaga legislatif dari negara yang bersangkutan.
Selain itu pula, dapat atau tidaknya substansi
perjanjian internasional diterima atau disetujui
oleh lembaga legislatif sangat bergantung pada
culture dari negara yang bersangkutan. Istilah
culture dapat dimaknai sebagai kepentingan
nasional dari negara, karena hukum internasional
merupakan kumpulan dari kepentingan negaranegara di seluruh dunia, maka akan sulit substansi
hukum internasional diterima atau disetujui oleh
negara jika substansinya tidak mencerminkan
atau mengakomodir culture dari negara yang
bersangkutan dan sebaliknya (Dewanto, 2011:
90-91). Profesor Jimly Asshiddiqie menjelaskan
bahwa persetujuan lembaga legislatif atas
ratifikasi perjanjian internasional merupakan
bentuk dari fungsi kontrol kepada lembaga
eksekutif (Asshiddiqie, 2010: 299-300).
Dari penjelasan konsep-konsep di atas,
maka hal yang dapat dijelaskan dari Pasal 11
UUD 1945 adalah DPR dan Presiden tidak dalam
fungsi sebagai legislative power sebagaimana
yang diatur di dalam Pasal 20 UUD 1945 tetapi
sebagai treaty-making power sehingga kedua
lembaga tinggi negara ini sama-sama memiliki
kewenangan untuk membuat termasuk di
dalamnya meratifikasi perjanjian internasional,
dan memberlakukan perjanjian di wilayah hukum
Indonesia. Sebagai bagian dari treaty-making
power, persetujuan dari lembaga legislatif ini
110 |
mutlak diperlukan tanpa melihat tradisi hukum
yang dianut oleh negara-negara karena lembaga
legislatif berfungsi sebagai filter agar ketika
diberlakukan tidak membebani dan merugikan
kepentingan nasional. Di beberapa negara,
kewenangan lembaga legislatif ini juga bertujuan
untuk melindungi tatanan hukum yang secara
tradisi diakui dan berkembang menjadi bagian
dari masyarakat dan membatasi penerapan
perjanjian-perjanjian internasional di pengadilan
(Damrosch, 1991: 527-531). Secara yuridis,
persetujuan dari DPR tersebut dibuat dalam
bentuk undang-undang pengesahan dan jika tidak
melalui DPR maka bentuknya adalah keputusan
presiden [baca: peraturan presiden] sebagaimana
yang diminta oleh Pasal 9 ayat (2) UU Nomor
24 Tahun 2004. Berbeda di Belanda, menurut
Profesor Andre Nollkaemper, persetujuan yang
diberikan oleh Tweede Kamer atas perjanjian
internasional yang telah diratifikasi oleh Perdana
Menteri biasanya dalam bentuk tertulis, tetapi
tidak menutup kemungkinan persetujuan tersebut
dalam bentuk lisan. Hal ini dikarenakan prosedur
terpenting dari berlaku atau tidaknya perjanjian
internasional adalah publikasi dalam lembaran
negara yang diatur di dalam Pasal 93 Grundwet.
Penulis sebenarnya kurang sependapat
dengan istilah undang-undang pengesahan karena
bisa memunculkan makna atau interpretasi
yang berbeda. Pengesahan disamakan artinya
dengan ratifikasi, sehingga ada yang menyebut
undang-undang ratifikasi, kemudian mereka
berasumsi bahwa yang meratifikasi adalah DPR.
Ketidakpahaman ini muncul pada saat proses
persidangan perkara ini di Mahkamah Konstitusi
di mana kuasa hukum pemohon sempat
bertanya, ”Apa konsekuensinya jikalau DPR
tidak meratifikasi Piagam ASEAN?” (Risalah
Persidangan Perkara Nomor 33/PUU-IX/2011,
Jurnal Yudisial Vol. 6 No. 2 Agustus 2013: 107 - 122
2011: 26). Penulisan pengesahan di dalam
UU Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian
Internasional secara normatif bertentangan
dengan Pasal 11 ayat (1) UUD 1945 karena di
dalam pasal tersebut tidak pernah menuliskan
kata ‘pengesahan’ melainkan ‘persetujuan’.
B.
Undang-Undang Pengesahan Perjanjian
Internasional Bukan Menjadi Dasar
Pemberlakuan Perjanjian Internasional
di Indonesia
Res judicata yang disampaikan Ketua
Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi, Profesor
Mahfud M.D. pada tanggal 26 Februari
2013 bahwa “Majelis menolak untuk seluruh
permohonan Pemohon” memberikan indikasi
yang kuat bahwa undang-undang pengesahan
bukan merupakan dasar hukum bagi berlakunya
perjanjian internasional di Indonesia. Meskipun
demikian, perdebatan masih tetap bergulir
ketika beberapa pakar hukum beranggapan
bahwa undang-undang pengesahan perjanjian
internasional merupakan undang-undang yang
membuat perjanjian internasional berlaku di
Indonesia.
Sebenarnya pemikiran di atas tidak
sepenuhnya keliru karena kalimat dalam undangundang pengesahan ataupun keputusan presiden
[baca: peraturan presiden] dapat dimaknai berbeda
oleh setiap orang. Pada awalnya, penulis juga
menganggap bahwa undang-undang pengesahan
atau keputusan presiden [baca: peraturan presiden]
berfungsi untuk membuat perjanjian internasional
berlaku di Indonesia. Namun, praktik yang
berjalan tidak menunjukkan bahwa undangundang pengesahan maupun keputusan presiden
[baca: peraturan presiden] digunakan oleh hakim
sebagai landasan hukum untuk menyelesaikan
perkara di pengadilan. Lebih lanjut, substansi
perjanjian internasional yang ada di dalam
undang-undang pengesahan atau keputusan
presiden [baca: peraturan presiden] sangat jarang
digunakan oleh hakim, baik sebagai sumber
hukum maupun dasar hukum. Sebagaimana
diketahui bahwa substansi dalam setiap undangundang pengesahan maupun keputusan presiden
[baca: peraturan presiden] sangat singkat, hanya
terdiri dari 2 (dua) pasal, dan dilampiri oleh
perjanjian internasional yang dimaksud di dalam
undang-undang pengesahan atau keputusan
presiden [baca: peraturan presiden]. Secara
khusus Pasal 2 dari undang-undang pengesahan
maupun keputusan presiden [baca: peraturan
presiden] menyatakan “undang-undang ini
berlaku pada saat tanggal diundangkan.” Bagi
kalangan akademisi, khususnya hukum tata
negara dan hukum internasional, istilah ‘berlaku’
dapat dikonotasikan sebagai peraturan yang
memberikan kekuatan hukum pada perjanjian
internasional tersebut sehingga substansi
perjanjian internasional dapat digunakan sebagai
dasar hukum untuk menyelesaikan perkara di
pengadilan nasional.
Ada satu kemungkinan untuk menjawab
keraguan di atas melalui pendekatan sejarah di
mana kronologis permasalahannya ditarik dari
awal ketika Indonesia berdiri menjadi sebuah
negara yang merdeka dan berdaulat. Jika melihat
sejarah berdirinya Indonesia dan sistem hukum
yang berlaku di Indonesia, maka sistem hukum
Perancis dan Belanda yang paling mendekati
sistem hukum yang berlaku di Indonesia, yaitu
sama-sama menganut codified Roman law yang
menetapkan hukum tertulis memiliki kedudukan
yang lebih tinggi daripada hukum tidak tertulis,
meskipun di Perancis, hukum tidak tertulis
masih tetap digunakan dengan catatan tidak
boleh bertentangan dengan Konstitusi Perancis
Problematika Keberlakuan dan Status Hukum (Wisnu Aryo Dewanto)
| 111
(Erhmann, 1976: 143). Seiring berjalannya
waktu, sistem ketatanegaraan di Indonesia lebih
banyak mengarah pada sistem ketatanegaraan
yang dipraktikkan di Amerika Serikat, salah
satunya adalah model sistem checks and balances.
Berdasarkan sistem ini Presiden Amerika
Serikat hanya berwenang untuk membuat dan
menandatangani perjanjian internasional namun
tidak boleh meratifikasi sebelum mendapat
persetujuan dari Senat Amerika Serikat. Begitu
pula pada saat Presiden membuat executive
agreements dengan negara lain, harus mendapat
persetujuan dari Kongres sebagai bentuk dari
penerapan sistem checks and balances dengan
tujuan untuk melindungi hak dan kewajiban
Amerika Serikat dalam perjanjian tersebut
(Damrosch, 1991: 527-531).
Dalam praktik pengintegrasian perjanjian
internasional di Indonesia, tahap-tahap persetujuan
hingga ratifikasi yang berjalan tidak jauh berbeda
dengan praktik di Amerika Serikat, namun
memiliki konsekuensi hukum yang berbeda.
Pasal 6 Konstitusi Amerika Serikat mengatur
bahwa “...all Treaties...shall be the supreme
law of the Land.” Situasi ini menggambarkan
bahwa perjanjian internasional yang diratifikasi
oleh Amerika Serikat memiliki status hukum
lebih tinggi daripada hukum nasional sehingga
jika ada substansi yang bertentangan di antara
keduanya maka perjanjian internasional yang
lebih diutamakan. Berbeda dengan praktik di
Indonesia, UUD 1945 hanya mengatur hubungan
antara Presiden dan DPR sebagai lembaga treatymaking power, yang termaktub dalam Pasal
11 UUD 1945 tanpa menjelaskan lebih lanjut
hubungan antara hukum internasional dan hukum
nasional jika terjadi konflik. Namun dari putusan
pengadilan yang pernah dijatuhkan di Indonesia
dan pendapat para ahli, serta peraturan hukum
112 |
yang berlaku, tampaknya sifat dualisme sangat
kuat dipraktikkan di Indonesia. Ketika Indonesia
meratifikasi Konvensi New York 1958 melalui
Keppres Nomor 34 Tahun 1981, Mahkamah
Agung menetapkan “Dengan keluarnya Keppres
Nomor 34 Tahun 1981, tidak membuat Konvensi
New York 1958 berlaku karena belum ada
peraturan pelaksanaannya” (Gautama, 1992:
17-18). Selanjutnya, pendapat dari Hj. Suparti
Hadhyono dalam sebuah tulisan yang berjudul
‘Praktik Penerapan Perjanjian Internasional dalam
Putusan Hakim’ menjelaskan bahwa hakim tidak
terikat secara mutlak oleh perjanjian internasional
bila dianggap tidak sesuai dengan kondisi, tertib
hukum dan rasa keadilan masyarakat Indonesia
(Hj. Suparti Hadhyono, http://www.scribd.com,
21 Juni 2010). Kemudian, Pasal 7 ayat (1) UU
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan mengatur bahwa
“Jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan
terdiri atas: (a) UUDNRI 1945, (b) Tap MPR,
(c) UU/Perpu, (d) PP, (e) Perpres, (f) Perdaprov,
dan (g) Perdakab/kota.” Dari pasal tersebut di
atas, jelas bahwa perjanjian internasional bukan
merupakan sumber hukum bagi hakim sebagai
dasar hukum untuk memutus perkara. Proses
integrasi perjanjian internasional harus melalui
proses transformasi dari sebuah perjanjian
internasional menjadi sebuah peraturan hukum
yang diakui sebagai sumber hukum yang sah di
Indonesia.
Berkaitan dengan nomenklatur persetujuan
DPR kepada Presiden yang berbentuk undangundang telah menimbulkan kebingungan
dan kesalahpahaman bagi akademisi karena
undang-undang pengesahan dianggap memiliki
status yang sama dengan undang-undang pada
umumnya yang memiliki kekuatan untuk
mengatur (power to prescribe). Hal ini yang
Jurnal Yudisial Vol. 6 No. 2 Agustus 2013: 107 - 122
menjadi concern Mahkamah Konstitusi pada saat
memutus perkara Nomor 33/PUU-IX/2011 yaitu
bentuk persetujuan DPR kepada Presiden tidak
harus berbentuk undang-undang. Bapak Hamdan
Zoelva dan Ibu Maria Farida Indriati memberikan
dissenting opinion yang sangat menarik, yaitu
persetujuan DPR atas perjanjian internasional
merupakan persetujuan biasa sehingga tidak
harus berbentuk undang-undang, dan seharusnya
permohonan atas judicial review UU Nomor 38
Tahun 2008 tidak dapat diterima oleh Mahkamah
karena undang-undang persetujuan DPR kepada
Presiden tidak dapat dijadikan obyek pengujian
undang-undang terhadap UUD 1945. Lebih lanjut,
Ibu Maria Farida Indriati berpendapat bahwa
undang-undang pengesahan bukan perundangundangan yang substansinya bersifat normatif
yang dapat langsung ditujukan kepada setiap
orang, melainkan hanya merupakan persetujuan
dari DPR atas perjanjian internasional yang
dibuat oleh Pemerintah untuk memenuhi Pasal 11
UUD 1945 dengan diberi ‘baju’ berupa undangundang.
Dari hasil putusan Mahkamah Konstitusi
tersebut menjadi jelas bahwa undang-undang
pengesahan bukan merupakan “baju baru” dari
proses transformasi perjanjian internasional
ke dalam sistem hukum di Indonesia. Dengan
demikian, istilah ‘berlaku’ di dalam undangundang pengesahan sebenarnya ditujukan kepada
DPR dan Presiden pada saat kedua lembaga tinggi
negara ini berniat untuk membuat peraturan
hukum, mereka harus mengingat kembali dan
melihat bahwa terdapat norma-norma hukum
internasional yang telah mereka setujui bersama
untuk diberlakukan di Indonesia (Dewanto,
2012: 27). Sebagai contoh ketentuan dalam
Berne Convention for the Protection of Literary
and Artistic Works yang disahkan melalui
Keppres Nomor 19 Tahun 1997 selanjutnya
dingejawantahkan dalam UU Nomor 19 Tahun
2002 tentang Hak Cipta. Selain itu, substansi dari
United Nations Convention on Climate Change
yang diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia
melalui UU Nomor 6 Tahun 1994 berlaku pada
saat diundangkannya UU Nomor 32 Tahun
2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup (Dewanto, 2012: 27). Bahkan,
beberapa substansi dari konvensi-konvensi hak
asasi manusia, seperti International Covenant on
Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR)
dan International Covenant on Civil and Political
Rights (ICCPR) yang disahkan melalui UU
Nomor 11 dan 12 Tahun 2005 diadopsi langsung
oleh UUD 1945.
Dengan demikian, keberadaan undangundang pengesahan bukan merupakan landasan
hukum bagi berlakunya perjanjian internasional
di Indonesia karena undang-undang tersebut
hanyalah merupakan bentuk formal dari
persetujuan DPR kepada Presiden Republik
Indonesia yang akan dan/atau ingin meratifikasi
perjanjian internasional.
C.
Perjanjian
Internasional
yang
Diratifikasi Berlaku bagi Indonesia,
bukan di Indonesia [baca: Pengadilan]
Jika memahami lebih dalam mengenai
makna ratifikasi di dalam Pasal 2 ayat (1 ) butir
b Konvensi Wina 1969 tentang The Law of
Treaties yang menyatakan bahwa “...ratification,
acceptance, approval and accession mean
in each case the international act so named
whereby a State establishes on the international
plane its consent to be bound by a treaty”,
maka Pasal 2 ini secara tegas mengakui adanya
perbedaan peran dan fungsi antara lembaga
eksekutif dengan lembaga legislatif dalam hal
Problematika Keberlakuan dan Status Hukum (Wisnu Aryo Dewanto)
| 113
proses pembentukan perjanjian internasional.
Ratifikasi hanya mengikat bagi negara pada
tingkat internasional dengan tujuan untuk
membuat perjanjian internasional yang dimaksud
berlaku atau entry into force sebagaimana yang
selalu disyaratkan di dalam setiap perjanjian
internasional. Merujuk pada konsep pemisahan
kekuasaannya Montesquieu dalam sistem hukum
internasional bahwa lembaga eksekutif berperan
aktif dalam pembuatan perjanjian internasional
(external affairs), sedangkan lembaga legislatif
menjalankan tugas-tugasnya di level nasional
(internal affairs) atas perjanjian internasional
yang telah dibuat dan/atau diratifikasi oleh
lembaga eksekutif.
Berdasarkan
putusan
Mahkamah
Konstitusi bahwa undang-undang pengesahan
perjanjian internasional merupakan persetujuan
per se sebagai perwujudan dari Pasal 11 ayat (1)
UUD 1945 sebagai treaty-making power tanpa
memiliki substansi yang bersifat normatif, maka
perjanjian internasional yang telah diratifikasi
tetap tidak memiliki kekuatan hukum mengikat
di Indonesia [baca: pengadilan] sebelum
dibuatkan implementing legislation [baca:
undang-undang] yang memberikan kekuatan
hukum pada substansi perjanjian internasional
tersebut. Melihat situasi ini, maka DPR akan
bekerja dua kali, yaitu pertama sebagai treatymaking power, yang mana DPR membuat
undang-undang pengesahan yang substansi
hanya menyetujui per se sebagai pelaksanaan
Pasal 11 ayat (1) UUD 1945 dan kedua sebagai
legislative power di mana DPR akan membuat
undang-undang sebagai pengejawantahan dari
norma-norma hukum internasional yang telah
diratifikasi oleh Pemerintah sebagai pelaksanaan
Pasal 20 UUD 1945. Kritik dari Mahkamah
Konstitusi yang disampaikan oleh Dr. Harjono,
114 |
S.H., M.C.L. kepada DPR adalah nomenklatur
dari persetujuan atas keinginan Presiden untuk
meratifikasi perjanjian internasional tidak perlu
berbentuk undang-undang karena tidak sesuai
dengan peruntukannya. Undang-undang lazimnya
memiliki sifat mengatur hak dan kewajiban
individu, namun undang-undang pengesahan
perjanjian internasional tidak memiliki sifat
tersebut.
Proses di atas sebenarnya menggambarkan
posisi Indonesia sebagai negara dualisme dengan
keutamaan pada hukum nasional. Dalam hal
pengintegrasian perjanjian internasional ke dalam
sistem hukum nasional, Indonesia cenderung
menggunakan model hard transformation yang
berarti bahwa hukum internasional hanya dapat
menjadi bagian hukum nasional Indonesia
melalui tindakan legislatif saja (Mitchell, 2000:
26). Proses transformasi perjanjian internasional
tersebut wajib dilakukan di Indonesia bagi
setiap perjanjian internasional agar memiliki
kekuatan hukum yang mengikat karena Pasal 7
UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan, tidak mengakui
perjanjian internasional sebagai landasan hukum
di Indonesia [baca: pengadilan]. Tidak dipungkiri
ada juga negara dualisme, seperti Kanada dan
Australia menggunakan model pengintegrasian
soft transformation di mana hukum internasional
dapat menjadi bagian dari hukum nasional
mereka melalui tindakan legislatif dan tindakan
yudikatif (Mitchell, 2000: 26). Pengintegrasian
perjanjian internasional melalui tindakan
yudikatif ini merupakan jalan tengah atas
pembedaan tugas dan fungsi lembaga eksekutif
dan lembaga legislatif di mana lembaga eksekutif
telah meratifikasi perjanjian internasional, namun
belum berlaku di level nasional karena belum ada
persetujuan dari lembaga legislatif. Dalam hal ini
Jurnal Yudisial Vol. 6 No. 2 Agustus 2013: 107 - 122
peran hakim sangat vital karena hakim diizinkan
untuk menggunakan perjanjian internasional
tersebut sebagai acuan atau pedoman untuk
menginterpretasikan peraturan hukum nasional.
Semisal, kasus Suresh di Kanada (Suresh v.
Canada, 2002, SCC 1, File No. 27790) hakim
memiliki peran yang sangat penting untuk
memberikan interpretasi hukum atas peraturanperaturan hukum nasional yang tidak sesuai
dengan kaidah-kaidah hukum internasional
yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Federal
Kanada (Kindred, 2006: 402-403). Juga kasus
Teoh di Australia (Teoh v. Commonwealth,
(1995) 23 NSWLR 304) bahwa undang-undang
keimigrasian Australia harus sesuai dengan
ketentuan-ketentuan hukum internasional yang
telah diratifikasi oleh Pemerintah Commonwealth
Australia, meskipun konvensi tersebut belum
disetujui untuk menjadi bagian dari hukum
nasional Australia (Legg, 2002: 392).
Gambaran proses pengintegrasian perjanjian
internasional ke dalam sistem hukum nasional di
Indonesia sama dengan proses pengintegrasian
di Amerika Serikat di mana Presiden harus
mendapatkan persetujuan terlebih dahulu
dari lembaga legislatif (Senat/DPR) sebelum
meratifikasi perjanjian internasional. Namun
hal yang paling membedakan adalah ketika
proses pemberlakuan perjanjian internasional
pasca ratifikasi. Di Amerika Serikat perjanjian
internasional yang telah diratifikasi secara ipso
facto berlaku di pengadilan, kecuali ditentukan
lain oleh Senat. Di Indonesia perjanjian
internasional yang telah diratifikasi hanya
berlaku bagi Indonesia di level internasional
yang bertujuan untuk membuat perjanjian
internasional tersebut berlaku. Untuk berlakunya
perjanjian internasional di Indonesia [baca:
pengadilan] harus ada implementing legislation
[baca: undang-undang] atau yang lazim disebut
undang-undang transformasi. Di kalangan
akademisi isu bahwa perjanjian internasional di
Indonesia selalu membutuhkan undang-undang
transformasi disangkal dengan keras karena
mereka beranggapan ada beberapa konvensi yang
tidak memiliki undang-undang transformasi tetapi
dapat diterapkan secara langsung di pengadilan
Indonesia seperti Konvensi Wina 1961 tentang
Hubungan Diplomatik, Konvensi Wina 1963
tentang Hubungan Konsuler dan Konvensi New
York 1969 tentang Misi Khusus. Sebenarnya
untuk memberikan legal effect pada substansi
perjanjian internasional, negara tidak harus
membuat undang-undang transformasi yang baru
tetapi bisa dengan proses interpretasi hukum
melalui peraturan perundang-undangan yang
ada. Pendapat bahwa konvensi-konvensi tersebut
di atas berlaku secara langsung di pengadilan
Indonesia sebenarnya tidak berdasar karena ada
peraturan hukum di Indonesia yang memberikan
legal effect bagi berlakunya konvensi-konvensi
tersebut di pengadilan Indonesia yaitu Pasal 9
KUHP yang mengatur “Berlakunya pasal-pasal
2-5, 7 dan 8 dibatasi oleh hal yang dikecualikan,
yang diakui dalam hukum antar negara.” Lebih
lanjut di dalam penjelasannya dikatakan bahwa
ketentuan-ketentuan di dalam Pasal 2-5, 7 dan
8 memiliki sangkut paut dengan negara-negara
lain maka ada kemungkinan pemberlakuannya
bertentangan dengan hukum antar bangsa tersebut.
Oleh karena itu, bila ternyata bertentangan maka
menurut Pasal 9 ini pasal-pasal 2-5, 7 dan 8
dinyatakan tidak berlaku (Soesilo, 1996: 34).
Substansi Pasal 6 Konstitusi Amerika
Serikat yang memberikan status yang tinggi pada
perjanjian internasional memunculkan pertanyaan
bagi para hakim di Amerika Serikat apakah semua
perjanjian internasional yang diratifikasi oleh
Problematika Keberlakuan dan Status Hukum (Wisnu Aryo Dewanto)
| 115
Pemerintah Amerika Serikat dapat diterapkan
secara langsung di pengadilan nasional atau
tidak. Pertanyaan ini selanjutnya menciptakan
istilah ‘self-executing treaty’ dan ‘non-selfexecuting treaty’ di pengadilan. Pembahasan
mengenai sifat self-executingness dari perjanjian
internasional ini tidak dapat dilepaskan dari
fungsi yudikatif karena sifat self-executingness
ini merupakan pertanyaan di level nasional
berkaitan dengan apakah perjanjian internasional
dapat diterapkan secara langsung atau tidak di
pengadilan. Jawaban atas pertanyaan ini yang
nantinya akan memunculkan dua jenis negara,
yaitu monisme dan dualisme. Sebagai sebuah
konsep, self-executing treaty didefinisikan sebagai
perjanjian internasional yang secara ipso facto
dapat diterapkan secara langsung di pengadilan
nasional tanpa implementing legislation [baca:
undang-undang]. Selanjutnya, non-self-executing
treaty dimaknai sebagai perjanjian internasional
yang tidak dapat diterapkan secara langsung
di pengadilan nasional tanpa implementing
legislation [baca: undang-undang] (Buerghental,
1997: 368).
Situasi ini berawal dari kasus Foster di
mana Hakim Marshall menyatakan “Perjanjian
internasional dapat digunakan secara langsung
bilamana perjanjian tersebut dapat berlaku
tanpa adanya bantuan dari peraturan hukum
nasional” (Halberstam, 1997: 234). Dalam hal
suatu perjanjian internasional dianggap non-selfexecuting maka pengadilan akan menolak untuk
menggunakan pasal-pasal tersebut sebagaimana
yang diajukan oleh pemohon (Sloss, 1999: 144).
Dalam kasus Whitney v. Robertson (124 US 190
(1888)) pengadilan menyatakan bahwa “When
the treaty stipulations are not self-executing,
they can only be enforced pursuant to legislation
to carry them into effect...” (Sloss, 1999: 146).
116 |
Pemahaman sifat self-executingness dari
perjanjian internasional di Amerika Serikat dapat
ditelaah dari berbagai sudut pandang. Vazquez
menjelaskan bahwa perjanjian self-executing
adalah “A treaty that may be enforced in the courts
without prior legislation by Congress” (Vazquez,
1995: 695). Paust berpendapat bahwa “Setiap
perjanjian internasional seharusnya memiliki
sifat self-executing, kecuali beberapa bagian dari
perjanjian tersebut mensyaratkan implementing
legislation untuk pemberlakuannya (Paust, et.al.,
2000: 178). Lebih lanjut, Jackson memberikan
pemahamannya bahwa “Perjanjian internasional
self-executing sama dengan direct application
di mana norma-norma hukum internasional
dianggap memiliki status hukum sama dengan
peraturan hukum nasional (statute-like-law) tanpa
memerlukan act of transformation” (Jackson,
1992: 310-311).
Ada beberapa kategori yang dapat
digunakan oleh hakim-hakim di Amerika Serikat
untuk menentukan sifat self-executingness dari
suatu perjanjian internasional, antara lain: doktrin
intend-based, doktrin justiciability, doktrin
constitusionality dan doktrin private right of
action (Vazques, 1995: 695). Menurut Cinotti,
pada umumnya pengadilan akan menentukan sifatself-executingness dari perjanjian internasional
berdasarkan doktrin intend-based, yakni melihat
maksud dan tujuan dari dibuatnya perjanjian
internasional tersebut, doktrin justiciability, yakni
melihat apakah substansi perjanjian internasional
tersebut mengatur hak dan kewajiban bagi
individu atau tidak, dan doktrin constitutionality,
yakni kewenangan pemberlakuan, apakah
perjanjian internasional yang dibuat masuk
dalam kewenangan treaty-maker atau lawmaker. Kemudian, Vazquez menarik sebuah
kesimpulan dari pernyataan di atas bahwa sifat
Jurnal Yudisial Vol. 6 No. 2 Agustus 2013: 107 - 122
self-executingness dari perjanjian internasional
sangat ditentukan oleh perjanjian internasional
itu sendiri (the treaty itself is not justiciable) dan
substansi dari perjanjian internasional tersebut
(the treaty provisions are not justiciable) (Cinotti,
2004: 1279-1280).
Sebagai contoh dari kesimpulan Vazquez
yang pertama bahwa ‘the treaty itself is not
justiciable’ adalah ICCPR di mana Pasal 2 dari
ICCPR mengatur “Each Party to the present
Convention undertakes to take necessary steps
in accordance with its constitutional process
and with the provisions of the present Covenant,
to adopt such legislative or other measures as
may be necessary to give effect to the rights
recognised [in the Covenant].” Namun demikian,
sebagaimana penulis sebutkan di atas bahwa
untuk menentukan sifat self-executingness dari
perjanjian internasional merupakan pertanyaan
di tingkat nasional sehingga pemberlakuannya
dikembalikan pada putusan pengadilan masingmasing negara. Situasi ini terlihat di Jepang
bahwa Pengadilan Tinggi Jepang menetapkan
bahwa ICCPR merupakan self-executing treaty
di Jepang sehingga siapapun dapat menggunakan
pasal-pasal dalam ICCPR secara langsung tanpa
memerlukan implementing legislation [baca:
undang-undang] (Port, 1991: 153).
Amerika
Serikat
secara
konsisten
menerapkan sistem checks and balances dalam
penerimaan perjanjian internasional karena
persetujuan dari Senat Amerika Serikat akan
membuat perjanjian internasional berlaku di
Amerika Serikat [baca: pengadilan] kecuali Senat
membuat pengecualian atau yang dikenal dengan
istilah RUDs (reservations, understandings dan
declarations). Meskipun Konstitusi Amerika
Serikat mengindikasikan bahwa Amerika
Serikat adalah negara monisme, tetapi dalam
praktiknya Amerika Serikat tampak seperti
negara dualisme karena RUDs tadi menghalangi
berlakunya perjanjian internasional diterapkan
secara langsung di pengadilan Amerika Serikat.
Kritik yang sangat keras kepada Amerika Serikat
adalah beberapa Konvensi HAM yang telah
diratifikasi oleh Presiden tidak dapat berlaku
secara langsung di pengadilan tanpa adanya
implementing legislation [baca: undang-undang]
karena Senat memberikan persetujuan dengan
melampirkan RUDs (Paust, et.al., 2000: 219220). Ketika Presiden Amerika Serikat akan
meratifikasi ICCPR, Senat mengajukan reservasi
terhadap Pasal 6 ayat (5) dengan tujuan agar
Pemerintah Amerika Serikat tetap diizinkan
menjalankan hukuman mati terhadap anak-anak
yang di bawah usia 18 tahun. Selain itu, Senat
juga melampirkan deklarasi yang menyatakan
bahwa “to clarify that the Covenant will not create
a private cause of action in US courts.” Dengan
demikian, ICCPR dianggap sebagai perjanjian
yang bersifat non-self-executing (Fox, 2003: 304308). Implementasi RUDs ini dapat dilihat dalam
kasus Domingues (Domingues v. Nevada, 114
Nev. 783, 961 P.2d 1279 (1998), cert. Denied 526
US 1156, 120 S.Ct. 396, 145 L.Ed.2d 309 (1999))
di mana Domingues divonis hukuman mati atas
pembunuhan tingkat pertama. Ia mengajukan
keberatan melalui Pasal 6 ayat (5) ICCPR tetapi
Pengadilan Nevada menolak dengan alasan bahwa
ketika Pemerintah Amerika Serikat meratifikasi
ICCPR, Pemerintah juga mengajukan reservasi
untuk pasal tersebut sehingga vonis hukuman
mati yang dijatuhkan adalah sah (Fox, 2003:
319). Demikian pula dengan Konvensi Anti
Penyiksaan, Senat juga mengajukan deklarasi
bahwa “United States declares that the provisions
of Article 1 through 16 of the Convention are not
self-executing.” Selanjutnya, Konvensi Genosida
juga dideklarasikan sebagai non-self-executing
Problematika Keberlakuan dan Status Hukum (Wisnu Aryo Dewanto)
| 117
dengan menyatakan bahwa “The President
will not deposit the instrument of ratification
until after the implementing legislation [baca:
undang-undang] referred to in Article V has been
enacted” (Damrosch, 1991: 520). Alasan utama
Senat Amerika Serikat harus sangat berhati-hati
terhadap norma-norma hukum internasional
adalah untuk melindungi hak-hak Amerika Serikat
agar perjanjian internasional yang diratifikasi
tidak menggantikan hukum federal atau kebijakan
negara yang telah dibuat, dan untuk membatasi
kekuasaan pengadilan dalam menggunakan
ketentuan-ketentuan hukum internasional untuk
menyelesaikan perkara-perkara di persidangan
(Damrosch, 1991: 527-531).
proses ratifikasi. Pemahaman ini sangat
berbeda dengan pemahaman awal dari sifat
self-executingness dari perjanjian internasional
yang telah dijelaskan di atas. Selain itu, makna
dari istilah ‘legislative action’ bukan DPR
meratifikasi perjanjian internasional, melainkan
DPR membuat implementing legislation [baca:
undang-undang] untuk membuat substansi
perjanjian internasional tersebut berlaku di
pengadilan nasional Indonesia.
Dalam memahami ke-monisme-an atau
ke-dualisme-an suatu negara, selain melihat
keutamaan hukum yang digunakan di negara
yang bersangkutan, juga dapat dilihat melalui
teori delegasi yang disampaikan oleh J.G. Starke
Berdasarkan praktik yang berlangsung dengan mencermati konstitusi masing-masing
di Indonesia, terdapat dilema akademik dalam negara (Starke, 1984: 73-74). Pada umumnya,
memahami
sifat
self-executingness
dari negara-negara monisme membuat ketentuan
perjanjian internasional yang telah diratifikasi yang sangat jelas dalam konstitusi negara mereka,
oleh Pemerintah Indonesia yaitu munculnya seperti dalam Pasal 6 Konstitusi Amerika Serikat,
pemahaman yang berbeda dalam mendefinisikan Pasal 15 ayat (4) Konstitusi Rusia 1993, Pasal
self-executing treaty dan non-self-executing 94 Konstitusi Belanda (Grundwet), Pasal 55
treaty. Pemahaman yang berbeda berasal dari Konstitusi Perancis 1955 dan Pasal 98 ayat (2)
penafsiran istilah ‘legislative action’ di mana Konstitusi Jepang.
beberapa pakar hukum memahaminya sebagai
Bagi negara-negara dualisme, yang
tindakan pengesahan/ratifikasi yang dilakukan
memberikan keutamaan pada hukum nasional,
oleh DPR sehingga tidak salah juga ketika kuasa
tidak mengatur secara spesifik, seperti Pasal 11
hukum pemohon dalam kasus ini menganggap
UUD 1945, s. 51 Konstitusi Australia, Malaysia,
bahwa yang meratifikasi perjanjian internasional
Kanada dan Inggris. Khusus untuk Inggris,
adalah DPR, bukan Presiden.
meskipun tidak memiliki konstitusi, namun tradisi
Pada akhirnya, pemahaman yang keliru yang berkembang di Inggris menunjukkan ketersebut memunculkan definisi yang keliru dualisme-annya di mana perjanjian internasional
juga dalam memahami sifat self-executingness yang diratifikasi oleh lembaga eksekutif bukan
dari perjanjian internasional. Self-executing merupakan bagian dari hukum Inggris karena
treaty dimaknai sebagai perjanjian internasional adanya pemisahan kekuasaan (Nazarova, 2002:
yang berlakunya hanya mensyaratkan proses 1360). Oleh karena itu, di negara-negara dualisme
penandatanganan saja tanpa ratifikasi dan non- semua perjanjian internasional bersifat non-selfself-executing treaty diartikan sebagai perjanjian executing karena memerlukan implementing
internasional yang berlakunya memerlukan legislation [baca: undang-undang], hal ini juga
118 |
Jurnal Yudisial Vol. 6 No. 2 Agustus 2013: 107 - 122
berlaku di negara-negara monisme, karena
tidak semua perjanjian internasional yang telah
diratifikasi bersifat self-executing, ada juga
yang bersifat non-self-executing. Namun pada
kenyataannya tidak ada satu negara pun yang
melaksanakan faham-faham tersebut secara murni
sehingga doktrin Fitzmaurice menyatakan bahwa
yang terpenting adalah jangan sampai terjadi ‘a
conflict of obligation’ atau ‘inability of a State on
the domestic plane to act in the manner required
by international law’ (Harris, 1998: 70).
Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara
Nomor 33/PUU-IX/2011, dapat dikemukakan
beberapa kesimpulan dan rekomendasi sebagai
berikut:
A.
Kesimpulan
a.
Undang-undang pengesahan perjanjian
internasional yang dibuat oleh DPR
merupakan bentuk formal dari persetujuan
DPR kepada Presiden yang akan dan/atau
ingin meratifikasi perjanjian internasional
sebagaimana diatur di dalam Pasal 11 ayat
(1) UUD 1945 dan Pasal 9 ayat (2) UU
Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian
Internasional. DPR dan Presiden dalam
Hukum internasional memiliki peran
yang sangat penting untuk pembangunan dan
pengembangan hukum di Indonesia karena
mungkin saja terdapat peraturan-peraturan
perundang-undangan yang dibuat oleh DPR
berisi ketentuan-ketentuan yang tidak sesuai
atau bertentangan dengan substansi perjanjian
internasional di mana Indonesia menjadi negara
pihak di dalamnya. Semisal, Pasal 73 ayat (3) 2.
UNCLOS 1982 mengatur “Coastal State penalties
for violation of fisheries laws and regulations in
the EEZ may not include imprisonment, in the
absence of agreements to the contrary by the
States concerned, or any other form of corporal
punishment.” Seandainya terdapat peraturan
hukum nasional yang menetapkan sanksi pidana
3.
berupa kurungan kepada pelaku pencurian ikan di
ZEE, maka hakim dapat menggunakan ketentuan
Pasal 73 ayat (3) UNCLOS 1982 sebagai alat
bantu untuk menginterpretasikan peraturan
hukum nasional yang tidak sesuai tersebut dengan
menyatakannya dalam ratio decidendi.
IV. SIMPULAN
Dari keseluruhan uraian dan pembahasan
di atas, maka mengenai permasalahan tentang
Status Perjanjian Internasional di Indonesia pasca
posisi ini melaksanakan fungsinya sebagai
treaty-making power, bukan law-maker,
sebagaimana diatur di dalam Pasal 20 UUD
1945.
Undang-undang pengesahan perjanjian
internasional bukan merupakan landasan
hukum bagi berlakunya perjanjian
internasional di Indonesia
sehingga
undang-undang pengesahan tidak bisa
dijadikan obyek pengujian undang-undang
terhadap UUD 1945.
Status perjanjian internasional yang
diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia
hanya berlaku bagi Indonesia, bukan di
Indonesia [baca: pengadilan] tanpa adanya
implementing legislation [baca: undangundang], atau dengan kata lain, semua
perjanjian internasional di Indonesia
bersifat non-self-executing.
B.
Rekomendasi
1.
Dengan adanya putusam Mahkamah
Konstitusi
Nomor
33/PUU-IX/2011,
Problematika Keberlakuan dan Status Hukum (Wisnu Aryo Dewanto)
| 119
2.
3.
khususnya pada pertimbangan Mahkamah
DAFTAR PUSTAKA
yang disampaikan oleh Hakim Dr.
Asshiddiqie, Jimly. 2010. Pengantar Ilmu Hukum
Harjono, S.H., M.C.L., maka nomenklatur
Tata Negara. Jakarta: PT. Rajagrafindo
persetujuan DPR kepada Presiden untuk
Perkara.
meratifikasi perjanjian internasional tidak
harus berbentuk undang-undang, agar tidak Buerghental,
Thomas.
1997.
“Modern
terjadi kesalahpahaman. Oleh karena itu,
Constitution and Human Rights Treaties.”
DPR dapat memberikan persetujuannya
36 Colum. J. Transnat’l L. 211, Columbia
dalam bentuk surat atau lisan karena
Journal of Transnational Law.
undang-undang pengesahan tidak memiliki
Cinotti, David N. 2004. “The New Isolationism:
makna apapun kecuali sebatas persetujuan
Non-Self-Executing Declarations and
per se.
Treaties as the Supreme Law of the Land.”
Kementerian Luar Negeri Republik
91 Geo. L.J. 1277, Georgetown Law
Indonesia harus segera melakukan
Journal.
perubahan/amandemen
terhadap
UU
Damrosch, Lori Fisler. 1991. “The Role of the
Nomor 24 Tahun 2004 tentang Perjanjian
US Senate concerning ‘Self-Executing and
Internasional, khususnya Pasal 9 ayat
Non-Self-Executing Treaties.” 67 Chi.-Kent
(2), karena istilah ‘pengesahan’ tidak
L. Rev. 515, Chicago-Kent Law Review.
sesuai dengan istilah ‘persetujuan’ yang
terdapat di dalam Pasal 11 ayat (1) UUD Dewanto, Wisnu. 2011. “Implementing Treaties
1945. Pengesahan disamaartikan dengan
in Municipal Courts.” Mimbar Hukum,
ratifikasi sehingga bagi akademisi yang
Volume 23, Nomor 1, Februari 2011.
awam dengan hukum internasional, maka
Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas
DPR dianggap sebagai lembaga legislatif
Gadjah Mada.
yang meratifikasi perjanjian internasional,
padahal seharusnya Presiden sebagai Dewanto, Wisnu. 2011. Perjanjian Internasional
Self-Executing dan Non-Self-Executing di
lembaga eksekutif.
Pengadilan Nasional. Disertasi, Program
Untuk menghormati pemisahan kekuasaan
Doktor, Fakultas Hukum Universitas
dan sistem checks and balances di Indonesia,
Gadjah Mada, Yogyakarta.
maka persetujuan perjanjian internasional
melalui keputusan presiden [baca: peraturan Dewanto, Wisnu. 2012. “Memahami Arti
Undang-Undang Pengesahan Perjanjian
presiden] tidak lagi diperbolehkan karena
Internasional di Indonesia.” Opinio
tidak mungkin lembaga eksekutif menilai
Juris, Volume 04, Januari-April 2012.
dirinya sendiri, seharusnya lembaga yang
Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian
lain yaitu legislatif.
Internasional Kementerian Luar Negeri
Republik Indonesia.
Erhmann, Henry W. 1976. Comparative Legal
120 |
Jurnal Yudisial Vol. 6 No. 2 Agustus 2013: 107 - 122
Culture. Mew York: Prentice-Hall.
Kindred, Hugh M. 2006. The Challenge of
Internalizing International Conventional
Fox, Chrissy. 2003. “Implication of the US’
Law: The Experience of Australia, England
Reservation and NSE Declaration to
and Canada with Ratified Treaties, dalam
the ICCPR for Capital Offenders and
Waters, Christopher P.M. (Ed.), British and
Foreign Relations.” Comments, 11 Tul. J.
Canadian Perspectives on International
Int’l & Comp. L. 303, Tulane Journal of
Law. Leiden-Boston: Martinus Nijhoff
International & Comparative Law.
Publishers.
Friedman, Lawrence M. 1975 The Legal System:
Legg, Michael. 2002. “Indigenous Australians and
A Social Science of Treaties, dalam Evan,
International Law: Racial Discrimination,
Malcolm D. (Ed.) 2003. International Law.
Genocide and Reparations.” 20 Berkeley
First Edition. Oxford University Press.
J. Int’l L. 387, Berkeley Journal of
International Law.
Gautama, Sudargo. 1992. Indonesia dan Arbitrase
Internasional. Bandung: Alumni.
Hadhyono, Hj. Suparti. “Praktik Penerapan
Perjanjian International dalam Putusan
Hakim.” http://www.scribd.com.
Halberstam, Malvina. 1997. “United States
Ratification of the Convention on
Elimination of All Forms of Discrimination
Against Women.” 31 Geo. Wash. J. Int’l &
Econ. 49, George Washington Journalof
International Law and Economics.
Mallet, Melanie. 2007. “A Primer on Treaty
Making and Treaty Implementation in
Canada.” Original Contribution.
Mitchell, Andrew D. 2000. “Genocide, Human
Rights Implementation and the Relationship
between International and Domestic Law:
Nulyarimma v. Thompson.” 24 Melb. U.
L. Rev. 15, Melbourne University Law
Review.
Nazarova, Ina. 2002. “Alienating ‘Human’ from
‘Right’: US and UK Non-Compliance with
Harjono. 1994. Aspek-Aspek Yuridis Pembuatan
Asylum Obligations under International
Perjanjian Internasional dalam Sistem
Human Rights Law.” 25 Fordham Int’l
UUD 1945. Disertasi, Universitas
L. J. 1335, Fordham International Law
Airlangga, Surabaya.
Journal.
Harris, D.J. 1998. Fifth Edition. Cases and
Materials on International Law. London: Nollkaemper, Andre. 2008. “The Application
of Treaties in the Netherlands”, Working
Sweet & Maxwell.
Paper. Amsterdam Center of International
Jackson, John H. 1992. “Status of Treaties
Law, Universiteit van Amsterdam.
in Domestic Legal Systems: A Policy
Analysis.” 86 Am. J. Int’l L. 310, American Paust, Jordan J. et.al. 2000. International Law
and Litigation in the US. United States of
Journal of International Law.
America: West Group.
Kaczorowska, Alina. 2002. Public International
Paust, Jordan J., Fitzpatrick, Joan M. & Van
Law. London: Old Bailey Press.
Problematika Keberlakuan dan Status Hukum (Wisnu Aryo Dewanto)
| 121
Dyke, Jon M., 2000, International Law and
Litigation in the US, West Group, USA.
Port, Kenneth L. 1991. “The Japanese International
Law ‘Revolution’: International Human
Rights Law and Its Impact on Japan.” 28
Stan. J. Int’l L. 139, Stanford Journal of
International Law.
Sloss, David. 1999. “The Domestication of
International Human Rights: Non-SelfExecuting Declarations and Human Rights
Treaties.” 24 Yale J. Int’l L. 129, Yale
Journal of International Law.
Soesilo, R. 1996. Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP). Bogor: Politeia.
Starke, J.G. 1984. Introduction to International
Law. Butterworth.
Vazquez, Carlos Manuel. 1995. “The Four
Doctrines of Self-Executing Treaties.”
American Journal of International Law,
Volume 89, Issue 4.
Willem, Aalt & Phillip Kiiver. 2007. Constitutions
Compared: An Introduction to Comparative
Constitutional
Law.
Intersentia,
Antwerpen.
122 |
Jurnal Yudisial Vol. 6 No. 2 Agustus 2013: 107 - 122
PERLINDUNGAN HAK MEMILIH SEBAGAI
HAK KONSTITUSIONAL WARGA NEGARA
Kajian Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-X/2012
THE PROTECTION OF CITIZEN’S
CONSTITUTIONAL RIGHT TO VOTE
An Analysis of the Constitutional Court’s Decision Number 85/PUU-X/2012
Janpatar Simamora
Fakultas Hukum Universitas HKBP Nommensen Medan
Jl. Sutomo No. 4A Medan 20234
Email: [email protected]
Diterima tgl 19 Maret 2013/Disetujui tgl 15 Juli 2013
ABSTRAK
hak asasi warga negara.
Optimalisasi peran aktif warga negara dalam sistem
Kata kunci: konstitusi, hak memilih, warga negara,
demokrasi sejalan dengan ketentuan Pasal 1 ayat (2)
demokrasi langsung.
UUD 1945 yang menempatkan kedaulatan berada
di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD
Abstract
1945. Konsep demokrasi langsung ini dipandang
sebagai konsep paling ideal. Hanya saja dalam
pelaksanaan di lapangan, peran aktif warga negara
dalam setiap perhelatan demokrasi justru terbentur
dalam sejumlah regulasi teknis. Salah satu regulasi
yang menjadi penghambat adalah ketentuan Pasal
69 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
Tentang Pemerintahan Daerah yang mensyaratkan
bahwa untuk dapat menggunakan hak memilih,
harus terdaftar sebagai pemilih. Ketentuan ini
kemudian dinyatakan Mahkamah Konstitusi (MK)
bertentangan dengan UUD 1945 melalui putusan
Nomor 85/PUU-X/2012. Dalam putusannya MK
memutuskan bahwa untuk dapat menggunakan
hak pilih, maka warga negara cukup hanya
menunjukkan Kartu Tanda Penduduk dan Kartu
Keluarga di lingkungan setempat. Putusan ini patut
diapresiasi dalam upaya melindungi dan menjamin
hak memilih sebagai hak konstitusional sekaligus
Optimized active role of citizens in every stage
of democracy in accordance with the provisions
of Article 1 (2) of the 1945 Constitution which
places the sovereignty vested in the people
and implemented in accordance with the 1945
Constitution. The concept of direct democracy
is seen as the most ideal concept. It’s just in the
field, the active role of citizens in a democracy
every event just hit the number of technical
regulations. One of the regulations that a barrier
is the provision of Article 69 paragraph (1) of Law
No. 32 Year 2004 on Regional Government which
requires that to be able to exercise their right to
vote, must be registered as a voter. This provision
was later declared the Constitutional Court
(MK) contrary to the 1945 Constitution through
verdict No. 85/PUU-X/2012. In its decision the
Court decided that in order to be able to vote,
Perlindungan Hak Memilih Sebagai Hak Konstitusional Warga Negara (Janpatar Simamora)
| 123
then the citizens enough to show identity cards the constitutional rights of citizens rights.
and family cards in the local environment. This Keywords: constitution, right to vote, constitutional
decision should be appreciated in the effort to right, citizen, direct democracy.
protect and guarantee the right to vote as well as
I.
PENDAHULUAN
menetapkan bahwa kedaulatan tetap di tangan
rakyat, sedangkan lembaga-lembaga negara
Perhelatan demokrasi langsung melalui
melaksanakan bagian-bagian dari kedaulatan
pemilihan kepala daerah secara langsung begitu
itu menurut wewenang, tugas dan fungsi yang
marak dilaksanakan di Tanah Air. Namun
diberikan oleh UUD 1945.
sangat disayangkan perhelatan demokrasi
langsung itu yang semula dimaksudkan untuk
Setidaknya terdapat beberapa ketentuan
mengimplementasikan kehidupan ketatanegaraan dalam UUD 1945 yang dapat dijadikan landasan
yang lebih demokratis seiring dengan tuntutan konstitusional guna menjamin hak politik,
reformasi yang bergema pada tahun 1997-1998 khususnya hak warga negara untuk memilih
pada akhirnya belum dapat berjalan dengan mulus (right to vote). Sejumlah ketentuan dimaksud
sesuai dengan cita-cita konstitusi yang tertuang di di antaranya, Pasal 27 ayat (1) UUD 1945
dalam amandemen UUD 1945. Hal ini disebabkan disebutkan bahwa segala warga negara bersamaan
munculnya berbagai permasalahan yang cukup kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan
kompleks yang mewarnai pelaksanaan demokrasi dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan
langsung itu.
dengan tidak ada kecualinya. Kemudian terdapat
Harus diakui bahwa melalui jalur demokrasi
langsung tersebut, sejumlah pemimpin terpilih
tidak lain dikarenakan mereka merupakan hasil
pilihan mayoritas konstituen. Meskipun begitu
dalam realitanya, para penguasa yang berhasil
merebut simpati masyarakat luas tidak selamanya
berkiprah membangun kinerja yang selaras
dengan kehendak masyarakat itu. Akan tetapi,
harus diakui bahwa jalur keterpilihannya sudah
didasarkan pada semangat membangun praktik
demokrasi modern.
Hal itu juga sejalan dengan perubahan
yang dilakukan dalam UUD 1945 yang
mengamanatkan kedaulatan berada di tangan
rakyat dan sepenuhnya dilaksanakan berdasarkan
UUD. Sebagaimana diuraikan dalam buku
“Panduan Pemasyarakatan UUD 1945 dan
TAP MPR RI (2012: 67). Perubahan dimaksud
124 |
pula Pasal 28D ayat (1) yang berbunyi bahwa
setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan dan kepastian hukum yang adil
serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Tentu yang tidak kalah pentingnya adalah
ketentuan Pasal 28D ayat (3) yang berbunyi
bahwa setiap warga negara berhak memperoleh
kesempatan yang sama dalam pemerintahan.
Beberapa ketentuan dalam konstitusi tersebut
cukup menunjukkan bagaimana sesungguhnya
negara menjamin dan melindungi hak
konstitusional warga negara, khususnya terkait
dengan hak politik dalam memberikan hak
pilihnya di setiap pelaksanaan demokrasi
langsung.
Hanya saja dalam pelaksanaannya lebih
lanjut bahwa seluruh ketentuan dalam konstitusi
tidak selalu dimaknai secara komprehensif oleh
Jurnal Yudisial Vol. 6 No. 2 Agustus 2013: 123 - 142
para pembuat regulasi di tingkatan yang lebih
rendah. UU No. 32 Tahun 2004 adalah UU
yang pengaturannya bisa menimbulkan masalah
dalam penyelanggaraan pemilihan kepala daerah.
Padahal UU itu merupakan UU yang termasuk
bentuk pengaturan lebih lanjut penyelenggaraan
pemerintahan di daerah sebagaimana diamanatkan
UUD 1945.
Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi DKI
Jakarta pada tanggal 11 Juli 2012, yaitu dengan
menggunakan dan atau menunjukkan KTP dan
Kartu Keluarga yang masih berlaku kepada
petugas PPS Kelurahan Cibubur, Kecamatan
Ciracas, Jakarta Timur, namun demikian para
pemohon tetap tidak dapat memilih dikarenakan
ditolak oleh petugas PPS tersebut dan petugas
PPS tersebut berdalih bahwa penolakan tersebut
Menurut ketentuan Pasal 69 ayat (1) UU No.
berdasarkan petunjuk KPU Provinsi DKI Jakarta
32 Tahun 2004 bahwa untuk dapat menggunakan
Timur, yaitu apabila pemilih tidak terdaftar di
hak memilih, maka warga negara Republik
Daftar Pemilih Tetap (DPT), sepanjang pemilih
Indonesia harus terdaftar sebagai pemilih.
terdaftar di Daftar Pemilih Sementara (DPS),
Ketentuan inilah yang merupakan akar persoalan
dapat menggunakan hak suaranya di TPS dengan
dalam perkara yang diputus oleh MK melalui
menunjukkan KTP dan KK yang asli dan masih
Putusan Nomor 85/PUU-X/2012 yang diucapkan
berlaku.
pada sidang Pleno MK terbuka untuk umum
pada Rabu, 13 Maret 2013 lalu. Pasal 69 ayat (1)
Para pemohon ketika itu tidak dapat
UU No. 32 Tahun 2004 dianggap bertentangan memilih karena tidak tercantum dalam daftar
dengan konstitusi karena berpotensi membatasi pemilih, baik dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT)
pemberian hak pilih bagi warga negara dalam maupun Daftar Pemilih Sementara (DPS),
proses demokrasi, khususnya dalam pelaksanaan walaupun para pemohon telah menunjukkan
pemilihan kepala daerah.
KTP dan KK aslinya, tetap tidak dapat memilih.
Perkara ini diajukan atau dimohonkan oleh
MUH dan SH yang mana keduanya merupakan
warga Jakarta yang telah gagal memberikan
hak pilihnya pada pemilihan Gubernur dan
Wakil Gubernur DKI Jakarta pada 11 Juli 2012
lalu. Para pemohon mengajukan permohonan
bertanggal 13 Agustus 2012 yang diterima di
Kepaniteraan MK berdasarkan Akta Penerimaan
Permohonan Nomor 306/PAN.MK/2012 pada
tanggal 15 Agustus 2012 dan dicatat dalam Buku
Registrasi Perkara Konstitusi dengan Nomor 85/
PUU-X/2012 pada tanggal 3 September 2012,
yang telah diperbaiki dan diterima Kepaniteraan
Mahkamah pada tanggal 25 September 2012.
Para pemohon telah mencoba untuk
menggunakan hak memilihnya pada Pemilihan
Hal ini dikarenakan para petugas di lapangan
berpegang teguh pada ketentuan Pasal 69 ayat (1)
UU No. 32 Tahun 2004, yang berbunyi: “Untuk
dapat menggunakan hak memilih, warga negara
Republik Indonesia harus terdaftar sebagai
pemilih.” Atas dasar itu, maka para pemohon
merasa bahwa hak konstitusionalnya sebagai
pemilih telah dirugikan dan pada akhirnya
mengajukan permohonan judicial review ke
Mahkamah Konstitusi.
Adapun salah satu pertimbangan hukum
MK sebagaimana dituangkan dalam bagian
“Pendapat Mahkamah” putusan tersebut adalah
bahwa terhadap perkara para pemohon yang pada
pokoknya mendalilkan bahwa ketentuan Pasal
69 ayat (1) UU Pemda yang menyatakan “untuk
dapat menggunakan hak memilih, warga negara
Perlindungan Hak Memilih Sebagai Hak Konstitusional Warga Negara (Janpatar Simamora)
| 125
Republik Indonesia harus terdaftar sebagai
pemilih”, Mahkamah perlu merujuk Putusan
Nomor 011-017/PUU-I/2003 bertanggal 24
Februari 2004, yang pada halaman 35 menyatakan
“... bahwa hak konstitusional warga negara
untuk memilih dan dipilih (right to vote and right
to be candidate) adalah hak yang dijamin oleh
konstitusi, undang-undang maupun konvensi
internasional, maka pembatasan penyimpangan,
peniadaan dan penghapusan akan hak dimaksud
merupakan pelanggaran terhadap hak asasi dari
warga negara”.
Atas dasar pertimbangan dimaksud, maka
kemudian MK mengeluarkan amar putusan yang
pada intinya menyatakan bahwa Pasal 69 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4437) bertentangan dengan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat
sepanjang diartikan tidak mencakup warga negara
Indonesia yang tidak terdaftar dalam DPT, DPS,
DPSHP, DPSHP Akhir, dan DP4 dengan syarat
dan cara sebagai berikut: menunjukkan KTP dan
Kartu Keluarga (KK) yang masih berlaku atau
nama sejenisnya; penggunaan hak pilih tersebut
hanya dapat dilakukan di Tempat Pemungutan
Suara (TPS) yang berada di RT/RW atau nama
sejenisnya sesuai dengan alamat yang tertera
di dalam KTP-nya; dan sebelum menggunakan
hak pilihnya, yang bersangkutan terlebih
dahulu mendaftarkan diri pada KPPS setempat;
pemberian suara dilakukan dalam waktu 1 (satu)
jam sebelum selesainya pemungutan suara di
TPS.
126 |
II.
RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka
dapat dirumuskan permasalahan dalam penelitian
ini sebagai berikut:
1.
Apakah pertimbangan majelis hakim
Mahkamah Konstitusi dalam mengabulkan
permohonan para pemohon sudah tepat?
2.
Bagaimana kontribusi putusan hakim
dalam perkara tersebut guna menjamin dan
melindungi hak warga negara untuk memilih
(right to vote) dalam proses demokrasi
langsung sebagai hak konstitusional warga
negara?
III. STUDI PUSTAKA DAN ANALISIS
A.
Studi Pustaka
Sejak UU No. 32 Tahun 2004 diberlakukan,
maka sejak saat itu juga terjadi pergeseran yang
cukup signifikan terkait dengan sistem pemilihan
kepala daerah. Jika sebelumnya pemilihan
kepala daerah masih menerapkan model lama,
yaitu dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (DPRD), namun sejak berlakunya
undang-undang (UU) dimaksud, model itupun
mengalami perubahan dan diganti dengan model
pemilihan yang langsung dilakukan oleh rakyat.
Implikasi dari pemilihan kepala daerah secara
langusng adalah kepala daerah sebagai kepala
eksekutif daerah secara langsung bertanggung
jawab dalam penyelenggaraan pemerintahan
daerah secara rutin dan sekaligus juga sebagai
pemimpin daerah (Sabarno, 2008: 120).
Dengan format pemilihan secara langsung
oleh rakyat, maka tingkat legitimasi kekuasaan
yang dimiliki oleh kepala daerah menjadi semakin
kuat dikarenakan kepala daerah yang terpilih
Jurnal Yudisial Vol. 6 No. 2 Agustus 2013: 123 - 142
mendapat mandat secara langsung dari rakyat.
Berbeda dengan pola yang berlaku sebelumnya,
kepala daerah dan wakil kepala daerah justru
hanya memperoleh legitimasi dari DPRD sebagai
wakil rakyat di legislatif daerah. Realita ini tentu
menjadi salah satu keunggulan dari pelaksanaan
demokrasi langsung di tingkat lokal.
dalam rangka pengisian jabatan kepala daerah.
Ada yang menerapkan sistem pemilihan langsung
oleh rakyat, ada yang dipilih lewat jalur dewan
(council) dan ada juga yang diangkat oleh
pemerintah pusat. Terhadap sistem ini, di berbagai
negara sangat jarang dijadikan perdebatan seperti
yang terjadi di Indonesia.
Memang ada pihak yang mempersepsikan
bahwa sistem pemilihan kepala daerah yang
dijalankan oleh DRPD adalah juga merupakan
pemilihan berdasarkan kehendak rakyat. Persepsi
ini muncul karena mereka menganggap bahwa
para wakil rakyat yang duduk sebagai legislator
daerah berasal dari pilihan rakyat sehingga
menjadi representasi rakyat di parlemen. Dengan
demikian, maka DPRD adalah merupakan
perpanjangan tangan dari rakyat dalam rangka
memilih para pemimpinnya. Meskipun begitu,
sistem pemilihan kepala daerah yang dilakukan
secara langsung oleh rakyat tetap memiliki
perbedaan yang signifikan dengan sistem
pemilihan lewat jalur wakil rakyat. Dalam
sistem pemilihan kepala daerah secara langsung,
keterlibatan rakyat dalam menentukan sosok ideal
kepala daerah dapat dilakukan sesuai dengan
kehendak rakyat itu sendiri.
Pasalnya,
berbagai
negara
lebih
cenderung melihat perjalanan fungsi-fungsi
pemerintahan daerah (protective, publik service
and development) (Cornelis et.al., 2003: 218)
daripada sekadar mempersoalkan sistem yang
dianut. Artinya bahwa sistem apa sajapun yang
diterapkan dalam negara yang bersangkutan,
sepanjang mampu memberikan pelayanan secara
optimal terhadap masyarakat luas maka persoalan
itu tidak dianggap sebagai suatu masalah
yang patut diperdebatkan. Konteks pemikiran
demikian menunjukkan adanya kebijaksanaan
publik dalam menilai sukses tidaknya perjalanan
suatu pemerintahan daerah.
Hal yang sama juga sebenarnya masih bisa
ditemukan di Indonesia. Terjadinya pergeseran
sistem pemilihan kepala daerah dari yang awalnya
hanya merupakan kewenangan DPRD, kemudian
berganti menjadi pemilihan kepala daerah
yang secara langsung dilakukan oleh rakyat
menunjukkan bahwa persepsi publik terhadap
mekanisme sebelumnya ternyata dipandang
mengalami kegagalan. Kendati demikian, proses
pemilihan kepala daerah secara langsung tidak
otomatis akan dapat diklaim sebagai pilihan
terbaik, apalagi bila kemudian kontribusi positif
dari sistem pemilihan secara langsung ini justru
tidak tercapai.
Sistem pemilihan kepala daerah secara
langsung yang diterapkan saat ini di Indonesia
sangat selaras dengan semangat otonomi daerah,
yaitu pelibatan partisipasi rakyat sudah dilakukan
secara transparan. Penyelenggaraan otonomi
daerah, termasuk pelaksanaan pemilihan kepala
daerah secara langsung menjadi sarana yang
sangat mendukung keterlibatan rakyat dalam
menjalankan pemerintahan daerah yang lebih
demokratis. Menurut Dody Riyadmadji (Cornelis
Sebagaimana diungkapkan Kastorius
et.al., 2003: 217), dalam praktik penyelenggaraan
Sinaga (Cornelis et.al., 2003: 234) bahwa
pemerintahan lokal di berbagai negara, setidaknya
mekanisme pemilihan kepala daerah baik secara
terdapat tiga variasi yang lazim dilaksanakan
Perlindungan Hak Memilih Sebagai Hak Konstitusional Warga Negara (Janpatar Simamora)
| 127
langsung maupun tidak langsung, hanyalah
bagian kecil dari peningkatan kualitas demokrasi
di tingkat lokal. Proses itu tidak dengan sendirinya
menjamin (taken for granted) peningkatan
kualitas demokrasi itu sendiri. Demokrasi di
tingkat lokal sangat membutuhkan berbagai
2.
persyaratan, khususnya dari kalangan konstituen
itu sendiri.
rasional belum melembaga, sebaliknya
bila sifat primordial dan paternalistik yang
mengemuka maka akan sangat rentan
melahirkan kekacauan yang lebih parah
dari sistem yang dianut sebelumnya;
peluang terjadinya politik uang yang
semakin menipis juga belum tentu
benar, seperti yang terlihat dalam praktik
pemilihan kepala desa yang menggunakan
cara langsung oleh masyarakat dan juga
tidak jarang diwarnai dengan politik uang;
Pada masa-masa yang akan datang, tidak
tertutup kemungkinan bahwa proses pemilihan
kepala daerah justru mengalami perubahan
menuju sistem-sistem berikutnya. Bisa saja suatu
3. lebih objektif, barangkali benar karena
ketika, bangsa Indonesia akan menganut sistem
lebih banyak orang yang akan menentukan
pengangkatan oleh pemerintah pusat terhadap
pilihan. Artinya bahwa hanya poin ketiga
posisi kepala daerah. Dinamika politik sangat
ini yang memiliki peluang kebenaran cukup
memungkinkan hal ini terjadi, khususnya melihat
tinggi.
fakta akan ketidakberhasilan pemilihan secara
langsung dalam menghasilkan pemimpin daerah
Dari sekian faktor yang dipandang sebagai
yang mampu menjawab tantangan otonomi sisi pendukung gagasan pilkada langsung,
daerah secara menyeluruh dan utuh.
barangkali hanya persoalan objektivitaslah
yang dapat diyakini merupakan dampak positif
Dody Riyadmadji (Cornelis et.al., 2003:
dari proses pilkada langsung. Seiring dengan
220) mengatakan bahwa gagasan pemilihan kepala
keterlibatan rakyat secara langsung dalam proses
daerah secara langsung memiliki dukungan yang
pilkada, maka nilai objektivitasnya diyakini akan
sangat kuat dari berbagai aspek, di antaranya:
lebih baik. Berbeda dengan proses pemilihan
1. rakyat akan dapat berperan secara kepala daerah lewat jalur DPRD yang mungkin
langsung;
lebih kental nuansa subjektivitasnya. Namun
di luar sisi objektivitas, sisi lain yang dianggap
2. peluang terjadinya kasus politik uang
sebagai faktor pendukung gagasan pilkada
kemungkinan akan semakin tipis;
langsung masih sulit diterima kebenarannya.
Adalah fakta yang sulit untuk ditampik bahwa
3. terkesan lebih objektif.
proses pelaksanaan pemilihan kepala daerah
Namun demikian, dalam uraiannya lebih
selama ini bukannya semakin mengurangi dan
lanjut Dody Riyadmadji (Cornelis et.al., 2003:
memangkas praktik politik uang, namun justru
221) juga mengatakan bahwa dukungan itu
sebaliknya. Praktik politik uang itu semakin
belum tentu akan menjadi kenyataan dikarenakan
lama semakin subur dan telah melanda ke hampir
beberapa hal, di antaranya:
seluruh penjuru Tanah Air.
1.
128 |
peran serta masyarakat secara langsung
belum tentu positif sepanjang sifat-sifat
Di sisi lain, harapan publik akan
terwujudnya perbaikan nasib rakyat pasca
Jurnal Yudisial Vol. 6 No. 2 Agustus 2013: 123 - 142
penerapan otonomi daerah justru belum terjawab
secara utuh. Peningkatan pelayanan publik,
harapan akan pemerataan pembangunan dan
membentuk daerah untuk lebih mandiri dalam
mengelola berbagai sumber daya yang ada masih
hanya sebatas sasaran di atas kertas. Pemberian
kewenangan secara maksimal di daerah masih
saja meninggalkan sejumlah catatan buram yang
harus dituntaskan dengan serius.
Melalui proses demokrasi langsung di
daerah, mestinya keleluasaan para kepala daerah
dalam memajukan program pembangunan dan
aktivitas lain pemerintahan mampu mendongkrak
daya tahan dan kekuatan yang selama ini belum
tergali secara utuh. Ketika pemerintah pusat
sudah memberikan keleluasaan melalui perluasan
kewenangan kepada daerah, maka harapan awal
adalah terciptanya pemerintahan daerah dengan
sejumlah manajemen profesional dan lahirnya
kebijakan yang berorientasi pada peningkatan
kesejahteraan publik semakin terbuka lebar.
“Pemimpin dengan Tahta Rakyat”, hanya untuk
pelaksanaan pemilu presiden dan wakil presiden
tahun 2009 saja, KPU membeberkan bahwa
jumlah anggaran yang dibutuhkan mencapai
Rp. 9,07 triliun. Anggaran itu merupakan bagian
dari anggaran KPU tahun 2009 sebesar Rp. 14,1
triliun yang kemudian dipotong oleh pemerintah
dan DPR dalam APBN 2009 menjadi Rp. 13,5
triliun. Anggaran itu baru hanya untuk pemilihan
presiden, belum lagi pemilihan anggota legislatif
dan pilkada di berbagai daerah. Apalagi
bila kemudian ditambah dengan cost yang
harus ditanggung para kandidat, maka biaya
pelaksanaan demokrasi, baik di tingkat nasional
maupun lokal bisa mencapai ratusan triliun
rupiah.
Pilihan terhadap sistem pemilihan kepala
daerah sebenarnya terfokus pada 2 (dua)
isu utama, yaitu ”legitimasi” dan masalah
”pembiayaan”. Dalam sistem pemilihan kepala
daerah melalui lembaga perwakilan (DPRD),
akan menghasilkan kepala daerah yang kurang
Namun fakta menunjukkan bahwa
legitimate, namun efisiensi biayanya akan lebih
kondisi yang lahir pasca pelaksanaan pemilihan
baik. Dalam sistem pemilihan kepala daerah secara
kepala daerah secara langsung selama ini justru
langsung oleh rakyat, legitimasinya sangat kuat
menyisakan sejumlah persoalan baru. Kendati
dan besar, hanya saja tingkat efisiensi biayanya
tidak bisa ditampik bahwa sejumlah daerah
justru sangat rendah (Prihatmoko, 2008: 240),
berhasil mencatat prestasi pasca pelaksanaan
sebab para kandidat harus mengeluarkan biaya
otonomi daerah, namun unsur kegagalan justru
yang lumayan besar dalam menghadapi tuntutan
jauh lebih mendominasi penyelenggaraan roda
konstituen yang beraneka ragam.
pemerintahan daerah. Di sisi lain, salah satu faktor
yang diduga menengarai kegagalan daerah dalam
Terkait dengan cost politic yang harus
membangun pemerintahan yang berorientasi dikeluarkan oleh setiap kandidat calon kepala
pada pencapaian kesejahteraan rakyat adalah daerah, baik sistem pemilihan lewat jalur DPRD
mahalnya “harga” dari sebuah proses pemilihan maupun melalui pilkada langsung sebenarnya
kepala daerah secara langsung.
sama-sama membutuhkan pendanaan yang sangat
besar. Hanya saja, karena pemilik suara lewat jalur
Bayangkan saja, menurut catatan Komisi
DPRD hanya dalam hitungan puluhan atau ratusan
Pemilihan Umum (KPU) yang dikutip Femi
orang, maka cost politic-nya menjadi lebih mudah
Adi Soempono (2009: 83) dalam bukunya
dikalkulasikan. Sementara dalam pemilihan
Perlindungan Hak Memilih Sebagai Hak Konstitusional Warga Negara (Janpatar Simamora)
| 129
lewat pilkada langsung, besaran cost politic yang
berhubungan dengan kebutuhan konstituen lebih
sulit untuk diprediksi. Cost politic yang harus
ditanggung setiap kandidat kepala daerah belum
berhenti sampai di situ. Dalam rangka memperoleh
dukungan partai politik, para kandidat harus
terlebih dahulu menyiapkan sejumlah dana untuk
”disumbangkan” ke partai politik guna memenuhi
syarat dukungan dari parpol.
Hal ini tidak terlepas dari manajemen
dan sistem keuangan atau pendanaan parpol
yang tidak jelas. Adanya kewenangan parpol
dalam merekrut dan mengusulkan calon kepala
daerah sering disalahgunakan sebagian elite
parpol sebagai jalan untuk ”memeras” para
calon kepala daerah. Maka tidak heran bila
kemudian publik mempersepsikan bahwa parpol
hanya akan bisa dimanfaatkan sebagai ”perahu
tumpangan” politik menuju kursi kekuasaan bila
“penumpangnya” mampu menyediakan sejumlah
dana bagi kepentingan parpol.
Praktik semacam ini tidak jarang akan
berdampak pada proses kaderisasi dan loyalitas
pengurus parpol menjadi tidak bermakna,
khususnya ketika sudah berhadapan dengan nilai
rupiah yang disajikan para kandidat. Di sinilah
peran dan tanggung jawab parpol dalam rangka
memberikan pencerahan politik terhadap publik
menjadi patut dipertanyakan. Padahal, sejak
era reformasi, pluralisme partai politik telah
dijamin di Tanah Air yang dapat dibuktikan
dengan banyaknya partai politik dalam setiap
penyelenggaraan pemilu. Pada era reformasi,
parpol dapat mengembangkan basis politiknya
hingga ke tingkat bawah (grass root) (Winarno,
2008: 61).
beberapa model. Pertama, model two round
system. Sistem ini sudah pernah dilakukan pada
pemilu presiden 2004 lalu. Dalam sistem ini,
pemilih hanya memberikan pilihannya kepada
satu calon kepala daerah dan calon kepala daerah
hanya dapat menduduki jabatan jika sudah
mencapai lima puluh persen plus satu suara.
Kedua adalah model approval, model ini memberi
peluang bagi pemilih untuk memilih semua calon
kepala daerah.
Terakhir adalah model ketiga, yaitu model
first past the post. Model ini hampir sama seperti
pemilihan kepala desa. Calon yang menduduki
peringkat yang ditunjukkan dengan jumlah suara
terbesar secara otomatis akan menduduki posisi
sebagai kepala daerah (Prihatmoko, 2008: 240241). Dalam sistem ini, masalah persentase
jumlah pemilih yang memberikan hak pilihnya
tidak menjadi persoalan. Berapapun jumlah
konstituen yang memberikan hak pilihnya tidak
akan berpengaruh terhadap kemenangan seorang
kandidat kepala daerah. Kuncinya adalah siapa
yang berhasil meraih suara tertinggi, maka
akan keluar sebagai pemenang. Guna meraih
suara tertinggi inilah biasanya muncul berbagai
persoalan seperti politik uang, kekerasan dan
bahkan kerusuhan.
Dalam khasanah ilmu politik, realitas
munculnya pemilihan umum, khususnya di
tingkat pemilihan kepala daerah yang berlangsung
secara damai sering dikaitkan dengan adanya
budaya politik yang baik di dalam masyarakat itu
sendiri. Larry Diamond mengemukakan bahwa
adanya nilai-nilai tertentu di dalam masyarakat
seperti moderation, cooperation, bargaining and
accomodation adalah merupakan unsur-unsur
yang sangat penting dalam demokrasi. Nilai-nilai
Dalam perspektif historis, pemilihan kepala
yang demikian berlawanan dengan nilai-nilai
daerah secara langsung sebenarnya memiliki
ekstrimitas dan kaku yang sering dipandang tidak
130 |
Jurnal Yudisial Vol. 6 No. 2 Agustus 2013: 123 - 142
sejalan dengan demokrasi, khususnya demokrasi
liberal (Marijan, 2006: 63).
dengan kehendak mayoritas rakyat (Mahfud MD,
2007: 133). Oleh sebab itulah, maka demokrasi
langsung masih dipandang sebagai jalan paling
Melalui nilai-nilai yang memiliki corak
efektif dalam rangka menentukan siapa yang
demokratis, maka proses perjuangan dalam rangka
layak menjadi pemimpin, baik di daerah maupun
meraih maupun mempertahankan kekuasaan
di tingkat pusat sesuai dengan kehendak mayoritas
akan dilakukan secara damai, sedangkan budaya
rakyat.
kekerasan dalam mencapai tujuan justru akan
disingkirkan. Kalaupun kemudian terjadi konflik, B. Analisis
maka akan diselesaikan dan dituntaskan melalui
1. Hak Memilih (Right to Vote) Sebagai
lembaga politik yang tersedia. Pemilu merupakan
Hak Asasi Manusia dan Pertimbangan
pelembagaan untuk menyelesaikan konflik politik
Hakim MK dalam Putusan Nomor 85/
yang berkaitan dengan upaya untuk memperoleh
PUU-X/2012
dan mempertahankan kekuasaan secara damai
dan tenteram (Marijan, 2006: 63).
a. Hak Memilih (Right to Vote) sebagai
Sekalipun berbagai persoalan selalu muncul
dalam setiap pelaksanaan demokrasi langsung
di Tanah Air, namun jujur harus diakui bahwa
penerapan demokrasi langsung yang dibangun
bangsa ini sudah banyak melahirkan kontribusi
positif. Terpilihnya Susilo Bambang YudhoyonoJusuf Kalla pada tahun 2004 sebagai pemimpin
negeri ini adalah merupakan salah satu fakta nyata
dari keberhasilan demokrasi langsung. Ketika itu,
pasangan SBY-JK berhasil memenangi pemilu
putaran kedua dengan mengantongi 69.266.704
suara atau sekitar 60,62 persen dari seluruh suara
sah, sedangkan Megawati-Hasyim Muzadi yang
merupakan pesaingnya hanya mampu meraih
44.990.054 suara atau sekitar 39,38 persen dari
seluruh suara sah (Soempono, 2009: 10).
Terlepas dari sejumlah plus minus
pelaksanaan demokrasi langsung selama ini,
setidaknya tingkat kematangan masyarakat luas
dalam menghadapi perhelatan demokrasi langsung
akan terbangun dengan sendirinya seiring dengan
berbagai pengalaman yang ada. Sistem demokrasi
langsung juga telah membuka ruang yang begitu
luas bagi tampilnya calon pemimpin yang sesuai
Hak Asasi Manusia
Sebagaimana diuraikan
pada bagian
pendahuluan penelitian ini, hak warga negara
untuk memilih (right to vote) adalah merupakan
hak konstitusional warga negara. Kedudukannya
jelas diatur dalam konstitusi. Oleh sebab itu, maka
hak memilih bagi warga negara perlu mendapat
perlindungan maksimal dari pemerintah.
Perlindungan dimaksud meliputi jaminan dan
kepastian bahwa warga negara berhak turut serta
dan berperan aktif dalam proses demokrasi,
khususnya demokrasi langsung.
Hal ini juga sekaligus sebagai pembuktian
bahwa rakyat sebagai pemegang kedaulatan
sebagaimana dituangkan dalam UUD 1945
benar-benar dapat merealisasikan hak pilihnya.
Sebagaimana dijelaskan oleh Haposan Siallagan
dan Janpatar Simamora (2011: 137-138) bahwa
sebagai pemegang kedaulatan, maka rakyatlah
yang menentukan corak dan cara serta tujuan apa
yang hendak dicapai dalam kehidupan kenegaraan
sekalipun harus diakui bahwa teramat sulit untuk
memberikan keleluasaan kepada rakyat dalam
menjalankan kekuasaan tertinggi itu.
Perlindungan Hak Memilih Sebagai Hak Konstitusional Warga Negara (Janpatar Simamora)
| 131
Selain itu, sebagaimana diuraikan pemohon
dalam pokok permohonannya bahwa hak memilih
adalah suatu bentuk pengejawantahan hak
atas kesempatan yang sama dalam hukum dan
pemerintahan sebagaimana diatur dalam Pasal
27 ayat (1) serta Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3)
UUD 1945 yang secara khusus juga diatur dalam
Pasal 43 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia, yang berbunyi: “Setiap warga
negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam
pemilihan umum berdasarkan persamaan hak
melalui pemungutan suara yang langsung, umum,
bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.”
hukum yang memadai. Dengan demikian,
maka menjadi sangat patut dan beralasan untuk
mempersoalkan ketentuan Pasal 69 ayat (1) UU
No. 32 Tahun 2004 karena dapat menyebabkan
seorang warga negara berpotensi kehilangan hak
memilihnya ketika tidak terdaftar sebagai pemilih
atau tidak tercantum dalam daftar pemilih.
Ketentuan ini jelas sangat tidak
mencerminkan keadilan dan bertentangan
dengan jiwa serta semangat yang terkandung
dalam UUD 1945. Oleh sebab itu, maka menjadi
sangat beralasan bagi pihak pemohon dalam
kasus permohonan pengujian Pasal 69 ayat (1)
UU No. 32 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa
Selain itu, sebagaimana disebutkan pada ketentuan pasal dimaksud telah membatasi dan
halaman 9 putusan MK dimaksud bahwa hak bahkan melanggar hak konstitusionalnya sebagai
memilih juga tercantum dalam International warga negara yang memiliki hak untuk memilih
Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) (right to vote). Kalau hak asasi manusia yang
yang telah diratifikasi Indonesia dengan sudah ditegaskan dalam konstitusi seperti hak
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang untuk memilih sudah dibatasi dengan perangkat
Pengesahan International Covenant on Civil and peraturan perundang-undangan, lalu bagaimana
Political Rights (Kovenan Internasional tentang mungkin kemudian masyarakat akan meyakini
Hak-Hak Sipil dan Politik). Selain itu, dalam bahwa pemerintah akan mampu melindungi hakperspektif sejarah, bangsa Indonesia juga pernah hak warganya?
menerapkan konsep negara hukum (rechtsstaat)
Hal ini jelas berdampak buruk bagi masa
yang mana salah satu cirinya adalah adanya
depan hak asasi manusia itu sendiri. Selain itu,
pengakuan dan perlindungan terhadap hak
pembatasan hak memilih bagi warga negara juga
asasi manusia (Librayanto, 2008: 12). Konsep
akan berpotensi merusak dan bahkan mengancam
dimaksud sampai saat ini masih tetap dipegang
keberlangsungan demokrasi itu sendiri. Bahkan
teguh oleh bangsa Indonesia sekalipun UUD
regulasi yang membatasi hak memilih warga
1945 tidak lagi memuat istilah “rechtsstaat”.
negara sangat kontraproduktif dengan upaya
Didasarkan pada sejumlah ketentuan dan fakta
yang dilakukan pemerintah dengan mendorong
dimaksud, maka sesungguhnya tidak ada ruang
dan memotivasi masyarakat untuk berperan aktif
bagi pemerintah untuk melakukan pembatasan
dalam setiap perhelatan demokrasi di Tanah
terhadap hak pilih warga negara dalam sebuah
Air. Munir Fuady (2009: 136) mengungkapkan
proses demokrasi.
bahwa dalam suatu negara demokrasi, partisipasi
Keberadaan hak memilih warga negara rakyat merupakan prinsip dasar. Hal ini sesuai
bukan hanya diakui secara nasional, melainkan dengan pengertian dari istilah “demokrasi” itu
juga secara internasional telah mendapat payung sendiri, yaitu pemerintahan oleh rakyat dan
132 |
Jurnal Yudisial Vol. 6 No. 2 Agustus 2013: 123 - 142
untuk rakyat. Jadi sesungguhnya tidak ada ruang
untuk menghambat atau menghalangi rakyat
untuk berpartisipasi dalam perhelatan demokrasi
langsung.
b.
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan/atau Presiden dalam
melakukan pengujian atas suatu undangundang. Dengan kata lain, Mahkamah dapat
meminta atau tidak meminta keterangan dan/
atau risalah rapat yang berkenaan dengan
permohonan yang sedang diperiksa kepada
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, dan/atau Presiden, tergantung pada
urgensi dan relevansinya. Oleh karena
permasalahan hukum dalam permohonan
a quo sudah jelas, Mahkamah memandang
tidak ada urgensi dan relevansinya untuk
meminta keterangan dan/atau risalah
rapat dari Majelis Permusyawaratan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, dan/atau
Presiden, sehingga Mahkamah langsung
mempertimbangkan dan kemudian memutus
permohonan a quo;
Pertimbangan Hakim MK
Berdasarkan rangkaian proses persidangan
yang digelar MK dalam perkara pengujian UU
No. 32 Tahun 2004, khususnya Pasal 69 ayat (1)
terhadap UUD 1945, para pemohon berupaya
menguatkan dalil-dalil permohonannya dengan
mengajukan sejumlah bukti. Setidaknya ada
sekitar 10 bukti penting yang diajukan oleh
pemohon dalam perkara tersebut.
Kemudian dalam mengadili perkara
pengujian UU No. 32 Tahun 2004, khususnya Pasal
69 ayat (1) terhadap UUD 1945 majelis hakim
MK mengemukakan sejumlah pertimbangan
hukum. Setidaknya, MK menguraikan sebanyak
20 butir penting yang menjadi pertimbangannya
dalam menangani perkara tersebut.
2.
Dengan mendasarkan pada sejumlah alat
bukti yang diajukan pemohon, maka kemudian
majelis hakim MK menguraikan pendapatnya
sebagai berikut:
1.
Menimbang
bahwa
sebelum
mempertimbangkan pokok permohonan,
Mahkamah perlu mengutip Pasal 54 UU
MK yang menyatakan, “Mahkamah
konstitusi dapat meminta keterangan dan/
atau risalah rapat yang berkenaan dengan
permohonan yang sedang diperiksa
kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat,
DPR, Dewan Perwakilan Daerah, dan/
atau Presiden”. Oleh karena pasal
tersebut mempergunakan kata “dapat”,
maka Mahkamah tidak harus mendengar
keterangan Majelis Permusyawaratan
Menimbang bahwa para pemohon pada
pokoknya mendalilkan bahwa ketentuan
Pasal 69 ayat (1) UU Pemda yang
menyatakan, “Untuk dapat menggunakan
hak memilih, warga negara Republik
Indonesia harus terdaftar sebagai pemilih.”
yang dalam implementasinya mengharuskan
warga negara terdaftar sebagai pemilih atau
tercantum dalam daftar pemilih untuk dapat
menggunakan haknya untuk memilih dalam
suatu pemilihan umum kepala daerah dan
wakil kepala daerah justru menghilangkan
hak konstitusional warga negara untuk
memilih. Oleh karenanya, menurut para
pemohon, Pasal 69 ayat (1) UU Pemda
tersebut bertentangan dengan Pasal 27 ayat
(1), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) UUD
1945;
Perlindungan Hak Memilih Sebagai Hak Konstitusional Warga Negara (Janpatar Simamora)
| 133
3.
Menimbang bahwa terhadap perkara a quo,
Mahkamah perlu merujuk Putusan Nomor
011-017/PUU-I/2003 bertanggal 24 Februari
2004, yang pada halaman 35 menyatakan,
“... bahwa hak konstitusional warga negara
untuk memilih dan dipilih (right to vote
and right to be candidate) adalah hak yang
dijamin oleh konstitusi, undang-undang
maupun konvensi internasional, maka
pembatasan penyimpangan, peniadaan
dan penghapusan akan hak dimaksud
merupakan pelanggaran terhadap hak
asasi dari warga negara”;
4.
Menimbang bahwa meskipun Pasal 69 ayat
(1) UU Pemda yang dimohonkan pengujian
konstitusionalitasnya dalam perkara a quo
adalah berbeda dengan ketentuan yang
dimohonkan pengujian dalam Perkara
Nomor 102/PUUVII/ 2009 tentang
Permohonan Pengujian Pasal 28 dan Pasal
111 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008
tentang Pemilihan Umum Presiden dan
Wakil Presiden, akan tetapi secara substansi
kedua ketentuan tersebut mengatur hal yang
pada prinsipnya sama yaitu mengenai hak
seseorang untuk memilih (right to vote), a.
sehingga pertimbangan hukum Mahkamah
dalam Putusan Nomor 102/PUUVII/ 2009
bertanggal 6 Juli 2009 tersebut mutatis
mutandis berlaku pula dalam perkara a
quo;
5.
134 |
Menimbang bahwa dalam konteks
Pemilihan Umum Presiden dan Wakil b.
Presiden Tahun 2009, serta mengingat
urgensi perkara tersebut yang saat itu telah
mendekati pelaksanaan pemungutan suara,
Mahkamah, dalam pertimbangan hukum
c.
Putusan Nomor 102/PUU-VII/2009 a quo,
pada paragraf [3.20] dan paragraf [3.23],
telah menegaskan bahwa, “... ketentuan
yang mengharuskan seorang warga negara
terdaftar sebagai pemilih dalam Daftar
Pemilih Tetap (DPT) lebih merupakan
prosedur administratif dan tidak boleh
menegasikan hal-hal yang bersifat
substansial yaitu hak warga negara untuk
memilih (right to vote) dalam pemilihan
umum. Oleh karena itu, Mahkamah
berpendapat diperlukan adanya solusi untuk
melengkapi DPT yang sudah ada sehingga
penggunaan hak pilih warga negara
tidak terhalangi; ... sebelum memberikan
putusan tentang konstitusionalitas pasalpasal yang dimohonkan pengujian, agar
di satu pihak tidak menimbulkan kerugian
hak konstitusional warga negara dan di
lain pihak tidak melanggar ketentuan
peraturan perundang-undangan yang
berlaku, Mahkamah perlu memerintahkan
Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk
mengatur lebih lanjut teknis pelaksanaan
penggunaan hak pilih bagi Warga Negara
Indonesia yang tidak terdaftar dalam DPT
dengan pedoman sebagai berikut:
Warga Negara Indonesia yang belum
terdaftar dalam DPT dapat menggunakan
hak pilihnya dengan menunjukan Kartu
Tanda Penduduk (KTP) yang masih berlaku
atau Paspor yang masih berlaku bagi Warga
Negara Indonesia yang berada di luar
negeri;
Bagi Warga Negara Indonesia yang
menggunakan KTP harus dilengkapi
dengan Kartu Keluarga (KK) atau nama
sejenisnya;
Penggunaan hak pilih bagi Warga Negara
Indonesia yang menggunakan KTP yang
Jurnal Yudisial Vol. 6 No. 2 Agustus 2013: 123 - 142
masih berlaku hanya dapat digunakan di
Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang
berada di RT/RW atau nama sejenisnya
sesuai dengan alamat yang tertera di dalam
KTP-nya. Khusus untuk yang menggunakan
paspor di Panitia Pemilihan Luar Negeri
(PPLN) harus mendapat persetujuan dan
penunjukan tempat pemberian suara dari
PPLN setempat;
pemilukada yang diadili di Mahkamah.
Dalam banyak putusan perkara pemilukada
pula, Mahkamah telah berulang kali
menyatakan bahwa persoalan DPT bukanlah
persoalan yang berdiri sendiri, melainkan
terkait dengan persoalan pengelolaan data
kependudukan yang masih belum selesai.
Kesalahan yang terjadi dalam penyusunan
DPT, terutama terkait NIK, adalah karena
kekurangsempurnaan pencatatan dalam
sistem informasi administrasi kependudukan
yang memanfaatkan teknologi informasi
dan komunikasi;
d.
Bagi Warga Negara Indonesia sebagaimana
disebutkan dalam angka 3 di atas, sebelum
menggunakan hak pilihnya, terlebih dahulu
mendaftarkan diri pada KPPS setempat;
e.
Bagi Warga Negara Indonesia yang akan
menggunakan hak pilihnya dengan KTP
atau Paspor dilakukan pada 1 (satu) jam
sebelum selesainya pemungutan suara di
TPS atau TPS LN setempat.”
6.
Menimbang bahwa dalam konteks
pemilukada, tidak validnya data DPT
merupakan salah satu persoalan yang
muncul di hampir semua perkara
perselisihan hasil pemilukada yang diadili di
Mahkamah, bahkan persoalan tersebut juga
melebar pada tidak validnya data DPS, data
Daftar Pemilih Sementara Hasil Perbaikan
(DPSHP), DPSHP Akhir, hingga data
a.
Daftar Penduduk Potensial Pemilih Pemilu
(DP4), yang meskipun pada sebagian besar
perkara pemilukada tidak dapat dibuktikan
secara materiil bahwa hal tersebut memberi
pengaruh signifikan terhadap hasil b.
perolehan suara masing-masing pasangan
calon, namun tidak dipungkiri bahwa pada
kenyataannya persoalan tidak validnya data
DPT, DPS, maupun DP4 tersebut tetap ada,
setidak-tidaknya di wilayah-wilayah yang
8.
menjadi objek sengketa perselisihan hasil
7.
Menimbang bahwa dalam rangka melindungi
dan menjamin terlaksananya hak warga
negara untuk memilih dalam pemungutan
suara pemilukada, Komisi Pemilihan
Umum telah menetapkan ketentuan
sebagaimana tercantum dalam Pasal
17A Peraturan Komisi Pemilihan Umum
Nomor 15 Tahun 2010 tentang Perubahan
Atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum
Nomor 72 Tahun 2009 tentang Pedoman
Tata Cara Pelaksanaan Pemungutan dan
Penghitungan Suara Pemilihan Umum
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
di Tempat Pemungutan Suara, bahwa:
Pemilih yang tidak terdaftar dalam DPT
tetapi namanya tercantum dalam data
pemilih/DPS dapat memberikan suaranya
di TPS.
Apabila nama pemilih sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam
data pemilih/DPS, Ketua KPPS berdasarkan
keterangan Ketua PPS memberikan surat
pemberitahuan (Model C6 – KWK.KPU).
Bahwa dalam perkembangannya, baik
dengan merujuk pada Putusan Nomor
Perlindungan Hak Memilih Sebagai Hak Konstitusional Warga Negara (Janpatar Simamora)
| 135
011-017/PUU-I/2003
bertanggal
24
Februari 2004 maupun Putusan Nomor
102/PUU-VII/2009 bertanggal 6 Juli
2009, Mahkamah, dalam putusan-putusan
perkara perselisihan hasil pemilukada
pada pokoknya membenarkan praktikpraktik yang dilakukan oleh KPU di daerah
yang ditujukan untuk mengakomodasi
sebanyak-banyaknya penduduk setempat
yang telah memenuhi ketentuan untuk
menjadi pemilih dalam pemungutan suara
pemilukada. Adapun beberapa contoh
putusan Mahkamah tersebut, antara lain:
(1) Putusan Nomor 28/PHPU.D-VIII/2010
9.
tentang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
Kabupaten Gresik, Provinsi Jawa Timur,
Tahun 2010, bertanggal 10 Agustus 2010,
pada pokoknya telah menyatakan bahwa
warga negara yang belum terdaftar dalam
DPT dapat menggunakan hak pilihnya
dengan menunjukkan KTP atau paspor yang
masih berlaku, sehingga seandainya pun
tidak dilakukan penambahan DPT, warga
masih dapat menggunakan hak pilihnya
dengan menunjukkan identitas yang masih
berlaku yakni KTP atau paspor; (2) Putusan
Nomor
209-210/PHPU.D-VIII/2010 10.
tentang Perselisihan Hasil Pemilihan
Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah Kota Tangerang Selatan Tahun
2010, bertanggal 10 Desember 2010,
pada pokoknya membenarkan tindakan
termohon (KPU Kota Tangerang Selatan)
yang telah berupaya mencegah hilangnya
hak konstitusional warga untuk memilih
dengan mengeluarkan surat edaran yang
membolehkan penggunaan KTP bagi para
pemilih yang tidak mendapatkan undangan
dan kartu pemilih; (3) Putusan Nomor 77/
136 |
PHPU.D-X/2012 tentang Perselisihan Hasil
Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil
Kepala Daerah Kabupaten Brebes, Provinsi
Jawa Tengah, Tahun 2012, bertanggal
7 November 2012, pada pokoknya
menyatakan bahwa tindakan yang dilakukan
oleh termohon (KPU Kabupaten Brebes)
dalam rangka menjamin dan melindungi
hak warga negara untuk memilih (right to
vote) yaitu dengan mengakomodasi calon
pemilih yang tidak hanya terdaftar dalam
DPT, namun juga terdaftar di DP4, DPS,
dan DPSHP, adalah sudah tepat;
Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 5
ayat (1) dan Penjelasan Pasal 5 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 5076), hakim, termasuk hakim
konstitusi, diwajibkan menggali, mengikuti,
dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa
keadilan yang hidup dalam masyarakat
dengan maksud agar putusan hakim
konstitusi sesuai dengan hukum dan rasa
keadilan masyarakat;
Menimbang
bahwa
dalam
rangka
menjamin hak konstitusional warga negara
untuk memilih (right to vote) khususnya
dalam pemilukada dan untuk memberikan
kepastian hukum yang adil serta memperoleh
kemanfaatan seoptimal mungkin dalam
penyelenggaraan pemilukada baik bagi
pasangan calon peserta pemilukada,
penyelenggara pemilukada, maupun warga
masyarakat yang akan memberikan hak
pilihnya baik yang tercantum datanya dalam
DPT, DPS, DPSHP, DPSHP Akhir, dan DP4
maupun yang tidak tercantum dalam dataJurnal Yudisial Vol. 6 No. 2 Agustus 2013: 123 - 142
data tersebut namun memiliki KTP yang
asli dan masih berlaku, Mahkamah perlu
memerintahkan kepada Komisi Pemilihan
Umum untuk mengatur lebih lanjut teknis
pelaksanaan penggunaan hak pilih bagi
warga negara Indonesia baik yang terdaftar
maupun tidak terdaftar dalam DPT, DPS,
DPSHP, DPSHP Akhir, dan DP4 dengan
pedoman sebagaimana tercantum dalam
amar putusan ini;
pemimpin yang dinilai layak mengemban tampuk
kekuasaan.
Kedua, pemilihan kepala daerah secara
langsung memiliki aspek objektivitas yang
lebih kuat. Ketika rakyat terlibat langsung
dalam proses pemilihan, maka sisi objektivitas
suatu proses demokrasi akan dapat lebih
dipertanggungjawabkan,
khususnya
bila
dibandingkan dengan sistem pemilihan lewat
lembaga perwakilan yang sarat dengan nuansa
kepentingan politik dan lebih cenderung
subjektif.
11. Menimbang
bahwa
berdasarkan
pertimbangan hukum di atas dalam kaitan
satu sama lain, menurut Mahkamah,
Ketiga, proses pemilihan secara langsung
permohonan para pemohon beralasan
akan berdampak pada proses pematangan
menurut hukum untuk sebagian.
demokrasi itu sendiri. Demokrasi suatu negara
Didasarkan atas sejumlah pertimbangan diyakini akan matang dan mapan ketika
dan pendapat itulah, maka kemudian majelis keterlibatan rakyat dalam proses demokrasi
hakim MK memutuskan untuk mengabulkan itu sendiri dilakukan secara langsung. Karena
permohonan
pemohon
untuk
sebagian, bagaimanapun, dalam alam demokrasi, rakyatlah
khususnya terkait dengan ketentuan Pasal 69 yang memegang kunci sentral sebagaimana
ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. hakikat demokrasi itu sendiri, dari rakyat, oleh
Mahkamah berkesimpulan bahwa ketentuan rakyat dan untuk rakyat. Selain itu, melalui proses
tersebut bertentangan dengan ketentuan dalam pemilihan kepala daerah secara langsung, potensi
UUD 1945 dan berpotensi merugikan warga terjadinya politik uang akan dapat diminimalisir,
negara dalam memberikan hak pilihnya.
paling tidak untuk tahapan demokrasi di masa
yang akan datang, yaitu setelah rakyat benarBila kemudian dianalisis lebih dalam,
benar matang dan teruji dengan proses demokrasi
maka apa yang menjadi pertimbangan hakim
itu sendiri. Kalaupun fakta yang ada saat ini
Mahkamah Konstitusi sebagaimana diuraikan
menunjukkan bahwa proses demokrasi langsung
di atas cukup selaras dengan upaya bangsa
terkesan diwarnai dengan sejumlah kasus politik
Indonesia dalam mewujudkan negara demokrasi
uang, seyogianya kondisi dimaksud dimaknai
yang sesungguhnya. Karena bagaimanapun harus
sebagai suatu kondisi dan situasi menuju proses
diakui bahwa pemilihan kepala daerah secara
pematangan demokrasi itu sendiri.
langsung memiliki sejumlah aspek pendukung
yang cukup kuat. Pertama, melalui pemilihan
Keempat, proses pemilihan secara
kepala daerah secara langsung, maka peran langsung memberikan ruang baru bagi rakyat
serta rakyat dalam proses demokrasi akan dapat untuk melakukan kontrol langsung atas kinerja
direalisasikan secara langsung. Rakyat akan pemerintah yang sedang berkuasa melalui people
langsung menentukan pilihan terkait siapa sosok power. Kalau kemudian rakyat menganggap
Perlindungan Hak Memilih Sebagai Hak Konstitusional Warga Negara (Janpatar Simamora)
| 137
bahwa pemerintah yang sedang berkuasa telah
melanggar kepatutan yang melukai hati rakyat
dan mengingkari “kontrak politik”, maka bukan
tidak mungkin bahwa rakyat akan mencabut
mandatnya melalui people power (At Thoriq,
2008: 131).
berpartisipasi secara utuh dalam setiap proses
demokrasi, baik demokrasi tingkat nasional
maupun lokal.
Sebagaimana
dikemukakan
Soehino
(2010: 139-140) bahwa secara hakiki dan
mendasar, sistem demokrasi merupakan sistem
pengikutsertaan rakyat dalam hal pengambilan
keputusan. Sedangkan implementasi sistem
demokrasi itu sendiri adalah pemilihan umum.
Dengan demikian, maka pelaksanaan demokrasi,
khususnya demokrasi langsung harus benar-benar
memberi ruang secara penuh bagi keterlibatan
rakyat dalam rangka menentukan siapa yang
layak menjadi pemimpinnya. Hal ini perlu
dipertegas demi masa depan dan peningkatan
kualitas demokrasi itu sendiri.
Atas dasar itu, maka putusan MK kali ini
patut dimaknai sebagai suatu terobosan penting
dalam rangka menjaga dan menegakkan hak
konstitusional warga negara. Putusan dimaksud
juga merupakan konsekuensi yuridis atas
keberadaan bangsa Indonesia sebagai bangsa
yang telah memilih sistem demokrasi, khususnya
demokrasi langsung sebagai konsep bernegara
yang patut direalisasikan saat ini. Sistem
demokrasi yang kita anut sebagaimana digariskan
dalam konstitusi bukanlah sebuah istilah yang
2.
hanya akan dipajang sebatas naskah di atas
kertas semata, namun harus diwujudnyatakan
dengan baik. Jadi sesungguhnya tidak ada alasan
untuk mengekang hak politik warga negara
dengan dalih mengatur mekanisme demokrasi
melalui sejumlah regulasi yang justru menjadi
penghambat penyaluran aspirasi bagi pemilih.
Selain itu, alasan memilih konsep
demokrasi dalam berbangsa dan bernegara bagi
bangsa Indonesia bukanlah lahir dari konsep yang
mengada-ada. Pemilihan konsep demokrasi bagi
bangsa ini lahir dari pertimbangan bahwa tercatat
begitu banyak negara yang berhasil membangun
negerinya dengan konsep dan landasan serta
sistem demokrasi. Sistem demokrasi juga
dianggap lebih relevan dalam rangka membangun
dan mewujudkan bangsa Indonesia yang lebih
demokratis, berkeadilan, sejahtera dan makmur.
Oleh sebab itu, upaya penguatan proses demokrasi
perlu dilakukan dengan menghilangkan berbagai
prosedur dan mekanisme yang terkesan justru
menjadi penghalang bagi masyarakat luas untuk
138 |
Kontribusi Putusan Hakim Guna
Menjamin dan Melindungi Hak Warga
Negara untuk Memilih (Right to Vote)
dalam Proses Demokrasi Langsung
sebagai Hak Konstutisional Warga
Negara
Putusan MK terkait dengan pengujian
UU No. 32 Tahun 2004 terhadap UUD 1945
tentu patut diapresiasi sebagai bagian dari
upaya memaksimalkan pelaksanaan pemilu dan
pemilihan kepala daerah yang lebih demokratis.
Putusan ini juga jelas akan berkontribusi besar
dalam rangka memaksimalkan peran serta
seluruh warga negara yang mempunyai hak pilih
untuk memberikan hak pilihnya tanpa hambatan
regulasi seperti yang terjadi selama ini.
Sebagaimana dianut dalam prinsip
demokrasi substansial bahwa kesetaraan bagi
seluruh warga negara dalam melakukan aktivitas
politiknya, termasuk dalam memberikan pilihan
dalam pelaksanaan pemilu adalah merupakan
suatu keharusan (Pahlevi et.al., 2008: 43). Oleh
Jurnal Yudisial Vol. 6 No. 2 Agustus 2013: 123 - 142
sebab itu, maka semestinya semua warga negara
harus diperlakukan setara dalam merealisasikan
hak politiknya seperti hak memilih dalam
pelaksanaan demokrasi.
heran bila kemudian dalam sejumlah pemilihan
kepala daerah, khususnya yang baru-baru ini
dihelat di sejumlah daerah, persentase golput
berada dalam kisaran yang kian memprihatinkan.
Bahkan untuk Pemilukada Gubernur dan Wakil
Sebenarnya, bila ditelisik lebih jauh bahwa
Gubernur Sumatera Utara yang dihelat pada 7
tingginya angka golongan putih (golput) dalam
Maret lalu, angka golput lebih dari 50 persen
proses demokrasi langsung tidak terlepas dari
(Harian Analisa, Edisi Jumat, 15 Maret 2013).
adanya regulasi yang membatasi kebebasan
Kalau seumpama golput dipersandingkan sebagai
warga negara dalam memberikan hak pilihnya.
salah satu peserta perhelatan demokrasi, maka
Tentu harus diakui bahwa tidak semua pihak yang
kemungkinan besar golongan ini akan selalu
tidak menjatuhkan hak pilihnya dilatarbelakangi
menjadi pemenang.
faktor ketidakterdaftaran dalam DPT. Ada banyak
warga yang memang sungguh-sungguh tidak
Guna menjamin sepenuhnya keleluasaan
bersedia mendatangi TPS. Faktor kejenuhan para pemilih dalam memberikan hak politiknya,
publik terhadap proses demokrasi, maraknya maka MK telah membuka ruang kebebasan
pejabat publik yang terjerat masalah hukum, melalui penegasan bahwa jika pemilih tidak
tidak kunjung membaiknya sisi kehidupan rakyat terdaftar dan berkemauan memberikan hak
adalah merupakan sederet alasan klasik yang politiknya, yang bersangkutan dapat mendatangi
kerap mengemuka.
TPS dengan hanya menunjukkan KTP dan KK
Persoalan
inipun
pada
akhirnya
berakumulasi dalam satu kesatuan dengan
persoalan ketidakterdaftaran sejumlah warga
dalam DPT. Urusan DPT sesungguhnya bukanlah
urusan pemilih. Penetapan DPT merupakan
bagian dari kewenangan penyelenggara pemilu.
Oleh sebab itu, sebenarnya tidak terbuka ruang
untuk menyalahkan pemilih melalui pembatasan
pemberian hak suara hanya karena persoalan
DPT. Hal itu sama saja bahwa yang melakukan
kesalahan adalah penyelenggara pemilu, namun
yang menanggung akibatnya justru pemilih itu
sendiri. Situasi ini kian diperparah dengan kinerja
penyelenggara pemilu di sejumlah perhelatan
demokrasi, khususnya di tingkat lokal yang jauh
dari sikap profesional. DPT yang ada tidak jarang
justru sangat amburadul dan tidak valid.
yang masih berlaku. Ketentuan ini disyaratkan
berlaku sesuai dengan tempat tinggal pemilih
yang bersangkutan. Keterbukaan ruang kebebasan
pemilih dalam memberikan hak politiknya
dengan hanya bermodalkan KTP ditegaskan lewat
putusan MK Nomor 85/PUU-X/2012 perihal
perkara judicial review atas Pasal 69 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 Tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.
Lewat putusan itu, MK menyatakan
bahwa Pasal 69 ayat (1) UU dimaksud adalah
konstitusional sepanjang mencakup warga
negara Indonesia yang tidak terdaftar dalam
DPT, DPS, DPSHP, DPSHP Akhir dan DP4
yang menunjukkan KTP dan KK. Tidak hanya
itu, guna memudahkan teknis pelaksanaan
putusan dimaksud, MK juga menguraikan
Sebagai konsekuensinya, maka angka
sejumlah pedoman penggunaan KTP dan KK
golputpun menjadi sangat tinggi. Maka tidak
pada saat pemilihan. Pertama, pemilih yang
Perlindungan Hak Memilih Sebagai Hak Konstitusional Warga Negara (Janpatar Simamora)
| 139
bersangkutan harus menunjukkan KTP dan KK
atau nama sejenisnya yang masih berlaku. Kedua,
penggunaan hak pilih tersebut dapat dilakukan
di TPS yang berada dalam wilayah RT/RW atau
nama sejenisnya sesuai dengan alamat yang
tertera dalam KTP. Ketiga, pengguna hak pilih
harus terlebih dahulu mendaftarkan diri ke KPPS
setempat sebelum menggunakan hak pilihnya.
Keempat, pemberian suara dilakukan dalam
waktu 1 jam sebelum selesainya pemungutan
suara di TPS.
Kasus semacam ini sebenarnya bukan
merupakan kasus pertama yang pernah mencuat
ke permukaan. Sebelumnya, MK lewat dua
putusan terdahulu dengan nomor 011-017/PUUI/2003 dan nomor 102/PUU-VII/2008 juga pernah
menegaskan bahwa hak konstitusional warga
negara untuk memilih dan dipilih (right to vote
and right to be candidate) adalah merupakan hak
yang dijamin sepenuhnya oleh konstitusi. Dengan
dalil putusan yang demikian, maka segala bentuk
pembatasan, pengurangan, apalagi kalau sampai
mengarah pada peniadaan dan penghapusan hak
dimaksud dapat dikategorikan sebagai pelanggaran
terhadap hak asasi warga negara.
Sekalipun pada dasarnya perkara semacam
ini hanya mencuat dari sekelompok kecil lapisan
masyarakat yang merasa dirugikan hak politiknya
dan kemungkinan besar tidak bermakna signifikan
dalam menggeser peta kemenangan salah satu
kandidat dalam perhelatan demokrasi, namun
upaya perluasan kesempatan bagi seluruh warga
yang hendak memberikan hak pilihnya patut
dimaknai sebagai langkah positif membangun
demokrasi yang lebih berkualitas. Rakyat sebagai
pemegang kedaulatan tertinggi jangan sampai
hanya sebatas wacana semata. Berbagai regulasi
yang ada terkait proses demokrasi, semestinya
diperuntukkan dalam rangka meningkatkan
140 |
partisipasi masyarakat luas, bahkan memotivasi
setiap pemilih untuk memberikan hak
politiknya.
Oleh sebab itulah, maka putusan MK
kali ini cukup memiliki kontribusi signifikan
dalam rangka membuka ruang kebebasan
bagi masyarakat luas guna menyalurkan hak
politiknya dalam setiap perhelatan demokrasi di
Tanah Air. Putusan ini juga sekaligus mengakhiri
dalih pembenar terhadap sejumlah alasan yang
sering diajukan publik ke permukaan terkait
“keengganan”-nya untuk mendatangi TPS dan
memberikan hak pilihnya. Artinya bahwa tidak
ditemukan lagi ruang pembenar bagi publik untuk
mengklaim bahwa ruang kebebasan demokrasi
terbentur dalam sejumlah regulasi prosedural.
Sebab fakta terkini pasca putusan Mahkamah
Konstitusi kali ini cukup menunjukkan bagaimana
sejumlah prosedur penghambat pemberian hak
pilih telah dipangkas sedemikian rupa demi upaya
lebih mendemokratiskan demokrasi di Tanah
Air. Dengan demikian, maka menjadi harapan
seluruh elemen bangsa bahwa pasca putusan MK
kali ini, proses berdemokrasi di Tanah Air dapat
lebih bergairah serta lebih optimal dalam rangka
melahirkan pemimpin yang didasarkan pada
kehendak mayoritas rakyat.
Kini yang menjadi persoalan kemudian
adalah sejauhmana kemudian pemerintah mampu
mewadahi seluruh lapisan masyarakat guna
mendapatkan KTP dan KK. Pasalnya selama ini,
tidak jarang ditemukan warga yang sama sekali
tidak memiliki KTP dan KK. Persoalan rumitnya
birokrasi dan panjangnya liku-liku administrasi
pemerintahan selalu menjadi biang permasalahan
yang tak kunjung berkesudahan. Padahal,
persoalan KTP adalah persoalan hak sebagai
warga negara. Ketika kebebasan demokrasi
langsung sudah diperluas dengan kemudahan
Jurnal Yudisial Vol. 6 No. 2 Agustus 2013: 123 - 142
syarat memilih, maka semestinya tidak ada lagi
DAFTAR PUSTAKA
ruang pembatas bagi warga untuk memberikan
Fuady, Munir. 2009. Teori Negara Hukum Modern
hak pilihnya. Jangan sampai kemudian proses
(Rechtstaat). Bandung: Refika Aditama.
pemberian hak pilih dengan menunjukkan KTP
dan KK justru tidak berjalan maksimal hanya Harian Analisa. Edisi Jumat, 2013, 15
karena persoalan birokrasi pemerintahan yang
Maret. (Tajuk Rencana: Meminimalisir
tidak kunjung mampu untuk memfasilitasi
Golput dalam Pemilu). Akses, 18 Maret
warganya dengan identitas kependudukan
2013.
<
http://www.analisadaily.net/
bernama KTP dan KK.
news/2013/1438/meminimalisir-golputdalam-pemilu/>.
IV. SIMPULAN
Adapun hal-hal yang dapat disimpulkan
dalam penelitian ini adalah pertama, bahwa majelis
hakim MK telah memberikan pertimbangan yang
At Thoriq, Anthon Kusrinantio. 2008. Demokrasi
dan Efektifitas Pemerintahan. Jurnal Ilmu
Pemerintahan, Edisi 28 Tahun 2008.
Cornelis, Lay, et.al. 2003. Kompleksitas
tepat dalam rangka melakukan pengujian Pasal
Persoalan Otonomi Daerah di Indonesia.
69 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun
Yogyakarta: Pustaka Pelajar bekerja sama
2004 Tentang Pemerintahan Daerah terhadap
dengan Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP
UUD 1945. Ketentuan tersebut jelas bertentangan
Universitas Gadjah Mada.
dengan UUD 1945 karena membatasi pemberian
hak pilih warga negara dalam proses demokrasi, Librayanto, Romi. 2008. Trias Politika dalam
Struktur
Ketatanegaraan
Indonesia.
baik di tingkat lokal maupun nasional. Ketentuan
Makassar: PuKAP Indonesia.
dimaksud juga berpotensi menurunkan kualitas
demokrasi langsung yang sedang dibangun
Marijan, Kacung. 2006. Demokratisasi di
bangsa Indonesia.
Daerah: Pelajaran dari Pilkada Secara
Langsung. Surabaya: Pustaka Eureka dan
Kedua, putusan majelis hakim Mahkamah
PusDeHAM.
Konstitusi dalam perkara tersebut akan
berkontribusi besar dalam rangka membangun
Mahfud MD, Moh. 2007. Perdebatan Hukum
demokrasi yang lebih berkualitas. Putusan
Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi.
tersebut dengan sendirinya akan mengurangi
Jakarta: Pustaka LP3S.
angka golongan putih dalam setiap perhelatan
demokrasi. Agar kemudian putusan MK kali ini
dapat berjalan lebih maksimal, maka seyogianya
MPR RI. 2012. Panduan Pemasyarakatan
pemerintah melakukan pembenahan birokrasi,
Undang-Undang Dasar Negara Republik
khususnya dalam bidang pelayanan administrasi
Indonesia Tahun 1945 dan Ketetapan
kependudukan seperti KTP dan KK. Dengan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
demikian, maka proses demokrasi langsung
Indonesia, Cetakan Kesebelas. Jakarta:
di masa yang akan datang dapat berjalan lebih
Sekretariat Jenderal MPR RI.
maksimal dan lebih berkualitas.
Perlindungan Hak Memilih Sebagai Hak Konstitusional Warga Negara (Janpatar Simamora)
| 141
Pahlevi, Indra, et.al. 2008. Pemilu 2009 dan
Konsolidasi Demokrasi. Jakarta: P3DI
Sekretariat Jenderal DPR RI.
Prihatmoko, Joko J. 2008. Mendemokratiskan
Pemilu: Dari Sistem Sampai Elemen Teknis.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan LP3M
Universitas Wahid Hasyim Semarang.
Sabarno. Hari. 2008. Memandu Otononi Daerah
Menjaga Kesatuan Bangsa. Cetakan
Kedua. Jakarta: Sinar Grafika.
Siallagan, Haposan dan Janpatar Simamora. 2011.
Hukum Tata Negara Indonesia. Medan:
UD. Sabar.
Soehino. 2010. Politik Hukum di Indonesia.
Yogyakarta: BPFE-UGM.
Soempono, Femi Adi. 2009, Pemimpin dengan
Tahta Rakyat. Yogyakarta: Galangpress.
_________________. 2009. Indonesia Memilih.
Yogyakarta: Galangpress.
Winarno, Budi. 2008. Sistem Politik Indonesia Era
Reformasi. Cetakan Kedua. Yogyakarta:
MedPress.
142 |
Jurnal Yudisial Vol. 6 No. 2 Agustus 2013: 123 - 142
MENUJU SISTEM PEMILU DENGAN
AMBANG BATAS PARLEMEN YANG AFIRMATIF
Kajian Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-X/2012
TOWARDS THE AFFIRMATIVE PARLIAMENTARY
THRESHOLD ELECTION SYSTEMS
An Analysis of Constitutional Court’s Decision Number 52/PUU-X/2012
Wasisto Raharjo Jati
Fakultas ISIPOL Universitas Gadjah Mada
JL. Sosio-Yustisia No. 2 Yogyakarta 55281
Email: [email protected]
Diterima tgl 22 Mei 2013/Disetujui tgl 15 Juli 2013
ABSTRAK
Inkonsistensi regulasi pemilu yang eksperimental
Tulisan ini menganalisis Putusan Mahkamah
perlu diakhiri demi demokrasi.
Konstitusi
Kata kunci: regulasi pemilu, verifikasi, ambang
Nomor
52/PUU-X/2012.
Putusan
tersebut memuat dua hal penting. Pertama,
batas parlemen, demokrasi.
adanya penetapan ambang batas parlemen sebesar
3,5%. Ambang batas parlemen yang seharusnya
Abstract
menjadi sarana untuk mengefektifkan pemilu yang
berkualitas justru menjadi sarana diskriminasi bagi
partai politik lainnya. Penyederhanaan partai politik
kemudian diartikan sebagai pembatasan kekuasaan.
Suksesi kekuasaan hanya berlangsung pada partai
politik lama dan tidak akan beralih pada partai politik
baru. Kedua, adanya verfikasi ulang terhadap partai
politik peserta pemilu. Verifikasi kemudian menjadi
permasalahan lainnya yang membuat keikutsertaan
partai politik baru dalam pemilu terasa kian absurd.
Verifikasi dengan menyertakan ambang batas
pemilu merupakan syarat yang berat. Hal itu jelas
akan menimbulkan rivalitas antara partai politik
menjadi tidak kompetitif. Demokrasi menjadi kian
kabur maknanya ketika kekuatan oligarkis sendiri
masih berkuasa di parlemen. MK melihat adanya
ketidakpastian
maupun
ketidakadilan
hukum
dalam substansi Pasal 8 UU No. 10 Tahun 2012.
This paper analyzes the Constitutional Court
Decision No. 52/PUU-X/2012 which contains two
important points concerning the establishment
of the parliamentary threshold of 3.5% and reverification of the political parties contesting the
election. The threshold which should be a means
to make an effective and qualified election instead
became a means of discrimination among the
political parties. Simplified model of political party
is then interpreted as a means of power limitation.
Power succession takes place only on the former
political party and will not switch to a new political
party. Verification then becomes another problem
that makes the participation of new political
party in the election seemed increasingly absurd.
Verification that includes electoral threshold is
a severe condition. This will obviously lead to
Menuju Sistem Pemilu dengan Ambang Batas Parlemen yang Afirmatif (Wasisto Raharjo Jati)
| 143
rivalry between the political parties. The essence of
The inconsistency of the experimental regulations
democracy is increasingly blurry as the oligarchic
of election should be ended in favor of democracy.
power still in the Parliament. Constitutional Court
Keywords: regulation of election, verification,
sees this uncertainty and injustice in the legal
parliamentary threshold, democracy.
substance of Article 8 of Law Number 10 of 2012.
I.
PENDAHULUAN
Perdebatan mengenai sistem pemilu yang
berlaku di Indonesia pasca Orde Baru hingga
saat ini belum pernah usai. Beragam metode dan
idealisme telah dikerahkan untuk mewujudkan
sistem pemilu yang diinginkan. Sepanjang proses
tersebut, fondasi dasar sistem pemilu Indonesia
belumlah menemui konsensus yang sama.
Implikasinya bisa disimak dari berbagai revisi yang
senantiasa dilakukan terhadap produk UU Politik
sehingga menampilkan sistem pemilu sebagai
fondasi demokrasi kita sangat eksperimentatif.
Ketiadaan rancang bangun filosofi yang sama
itulah berujung pada perumusan sistem pemilu
yang eksklusif dan diskriminatif. Dalam hal
ini, terdapat upaya membangun aliansi bagi
kekuatan politik lama untuk meniadakan suksesi
kepemimpinan politis melalui pembahasan
rancangan sistem pemilu. Akibatnya, sistem
pemilu Indonesia hanyalah manifestasi dari
reorganisasi kekuatan partai politik lama dalam
panggung demokrasi memanfaatkan saluan
konstitusionalnya dalam memberikan pengaruh
kepentingan dalam sistem pemilu.
Adanya putusan 52/PUU-X/2012 yang
dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK)
untuk menganulir Pasal 8 ayat (1), ayat (2), dan
Pasal 208 dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun
2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU No.
8 Tahun 2012) sangatlah patut diapresiasi. Hal
144 |
tersebut merupakan upaya mengikis kesenjangan
politik yang dialami antara kekuatan partai
politik lama dengan kekuatan partai politik baru.
Setidaknya putusan tersebut juga menyiratkan
untuk mengurangi rezim oligarki dalam
pembentukan UU Politik untuk mengurangi
egoisme dalam menjaga kekuasaannya. Adapun
pembentukan UU Politik ini sebelumnya
mengundang polemik dan kegaduhan politik
menjelang Pemilu 2014. Polemik tersebut yang
pertama adalah menyoal penetapan ambang
batas parlemen (parliamentary threshold) sebesar
3,5% yang dilakukan dalam proses elektoral baik
dalam tingkat lokal maupun nasional. Selain itu,
diwajibkan pula adanya aturan verifikasi terhadap
partai politik non parlemen sebagai persyaratan
ikut dalam Pemilu 2014 juga dinilai untuk
menjegal adanya partai baru secara sistematikkonstitusional. Tentunya hal tersebut memancing
reaksi keras dari 22 partai kecil yang melihat
aturan tersebut sangatlah diskriminatif mengingat
hal itu sama saja mengurangi partisipasi aktif
warga negara lainnya untuk ikut berpartisipasi
dalam proses politik praktis.
Pangkal dari pengajuan judicial review
tersebut adalah terletak pada penetapan ambang
batas parlemen (parliamentary threshold) sebesar
3,5% nasional. Adanya ambang batas tersebut
sebesar itu sebenarnya merupakan hal yang ganjil
dalam negara demokrasi yang mapan. Penerapan
ambang batas parlemen sendiri dapat dipahami
dalam dua paradigma besar yakni penyederhanaan
partai politik dan pengefektifan sistem pemilu.
Jurnal Yudisial Vol. 6 No. 2 Agustus 2013: 143 - 158
Dalam alur narasi pemikiran pertama ambang
batas sebagai penyederhanaan partai dimaknai
sebagai bentuk kritikan atas sistem multipartai
yang selama ini justru membuat peta politik
nasional tidak menjadi solid dan terfragmentasi
satu sama lain. Hal tersebut bisa juga diartikan
sebagai upaya menjaga hegemoni kekuasaan partai
politik yang mapan di ranah legislatif maupun
eksekutif. Sementara itu dalam narasi pemikiran
kedua ambang batas sebagai sarana pengefektifan
sistem pemilu bertujuan untuk memaksimalkan
jumlah suara pemilih dalam sistem pemilu sebagai
entitas keterwakilan majoritarian. Ada sejumlah
hak-hak suara yang terbuang karena bukan
bagian dari keterwakilan majoritarian tersebut
karena mewakilkan suaranya pada partai politik
non parlemen.
II.
Berdasarkan latar belakang di atas, sistem
pemilu, keterwakilan, dan prinsip afirmatif
menjadi ketiga hal krusial dalam pembahasan
masalah ini. Ketiganya sangatlah terkait dengan
upaya menghentikan proses eksperimentasi
maupun diskriminasi dalam proses pemilu agar
keterwakilan dan aksesbilitas warga negara dalam
lembaga eksekutif dan legislatif lebih inklusif.
Maka rumusan masalah dalam tulisan ini dapat
dibagi dalam dua pertanyaan besar:
1.
Bagaimana bentuk pengedepanan prinsip
afirmatif dalam sistem hukum pemilu yang
berlaku di Indonesia melalui putusan MK
tersebut?
2.
Putusan majelis hakim konstitusi dalam
putusan ini sebenarnya untuk mengatasi
kegamangan antara dua paradigma besar
tersebut dengan memilih jalan inklusif yakni
mengembalikan pemilu sebagai upaya memilih
anggota parlemen yang berkualitas. Hal
terpenting untuk dimengerti perihal dimensi
inklusifitas yang terdapat dalam putusan MK
ini adalah pengedepanan prinsip keterwakilan
afirmatif dalam sistem pemilu sehingga makna
substansif dalam demokrasi tertuang dalam
proses tersebut. Adapun pembahasan dimensi
inklusifitas ini menjadi urgen dan signifikan
dalam putusan MK ini. Pertama, mengetahui
landasan filosofis MK dalam menengahi polemik
ambang batas parlemen ini. Kedua, memutus
adanya perdebatan eksperimental terhadap sistem
pemilu dengan berupaya menginjeksi nilai-nilai
demokrasi substansif dalam pemilu. Ketiga,
mengembalikan kembali makna pemilu sebagai
proses keterwakilan warga negara yang bebas
tanpa ada halangan apapun.
RUMUSAN MASALAH
Bagaimana bentuk analisis prinsip
keterwakilan dalam sistem pemilu di
Indonesia dalam putusan tersebut?
III. STUDI PUSTAKA DAN ANALISIS
A.
STUDI PUSTAKA
Dalam menganalisa putusan MK ini, maka
diperlukan studi pustaka mengenai sistem pemilu,
ambang batas pemilu, dan konteks pemilu di
Indonesia sebagai panduan dalam mengkaji
putusan MK tersebut.
1.
Sistem Pemilu
Pada dasarnya sistem pemilu yang ada
diberbagai dunia ini dibagi dua tipe yakni, 1)
sistem pemilu organis dan 2) sistem pemilu
mekanik yang kemudian akan menghasilkan
sistem proporsional dan sistem distrik sebagai
acuan penyelenggaraan pemilu kontemporer
(Asshiddiqie, 2007: 772). Sistem organis ini
melihat bahwa rakyat sebagai individu yang setara
dan sederajat kedudukannya dalam persekutuan
Menuju Sistem Pemilu dengan Ambang Batas Parlemen yang Afirmatif (Wasisto Raharjo Jati)
| 145
Tabel 1
Kelebihan dan Kekurangan Sistem Distrik
No
Kelebihan
Kekurangan
1.
2.
akuntabilitas calon dan pemilih tinggi.
kedekatan antara calon dan pemilih yang
begitu dekat baik secara psikologis dan
emosional.
peran intervensi partai politik yang
hampir tidak ada.
rawan praktik politik uang.
partai politik yang kecil sulit bersaing karena
memiliki sumber daya yang tidak sebanding
dengan partai besar.
suara kecil tidak diperhitungkan sehingga
terjadi praktik pembuangan suara.
3.
Sumber: (Gaffar, 2006: 268; Asshiddiqie, 2007: 777)
Tabel 2
Kelebihan dan Kekurangan Sistem Proporsional
No
Kelebihan
Kekurangan
1.
peranan partai politik kuat karena
memiliki kewenangan dalam menentukan
redistribusi suara.
tidak ada praktik pembuangan suara seperti
dalam distrik.
partai politik yang kecil dapat bersaing
dengan bebas tanpa adanya dominasi dari
pihak partai besar.
mudah terjadi perpecahan dalam tubuh partai
politik. Hal ini terkait dengan kemunculan
faksi-faksi dalam tubuh partai.
calon lebih dekat ke partai daripada ke
pemilihnya.
banyak partai berimplikasi instabilitas
pemerintah.
2.
3.
Sumber: (Gaffar, 2006: 269)
masyarakat. Adapun persekutuan masyarakat ini
didasarkan pada ikatan genealogis, lingkungan,
sosial – kultural, dan sebagainya, Para calon
yang diangkat dalam badan perwakilan rakyat
dipilih berdasar aspek kewilayahan dan
kedekatannya dengan para para pemilih. Selain
itu, sistem organis menganut sistem perwakilan
umum, artinya semua kepentingan rakyat lebih
diagregasi dan dihargai daripada kepentingan
pribadi calon yang dipilihnya. Sistem organis
inilah yang nantinya menurunkan sistem pemilu
distrik modern. Sistem mekanik mengandaikan
bahwa rakyat sebagai komunitas artinya mereka
146 |
tidak dipandang sebagai pribadi individu akan
tetapi dipandang sebagai bagian dari komunitas
tersebut.
Mengingat jumlah anggota komunitas yang
semakin bertambah, maka dari itu kemudian
diperlukanlah institusi yang menampung aspirasi
mereka yang populer disebut partai politik. Partai
politik inilah yang kemudian menjadi mesin
aspirasi yang berwenang untuk mengagregasi
dan mengartikulasi kepentingan rakyat tersebut
sehingga sistem ini menganut konsep perwakilan
khusus yang artinya tidak semua kepentingan
Jurnal Yudisial Vol. 6 No. 2 Agustus 2013: 143 - 158
rakyat dipenuhi, perlu dilakukan skala prioritas
terlebih dahulu.
2.
Konteks Pemilu di Indonesia
Diskursus akan implementasi sistem
distrik dan proporsional yang cocok untuk
dikontekskan dalam proses pemilu di Indonesia
telah mengemuka sejak lama yakni sejak akan
dilangsungkannya Pemilu 1969. Pemerintah Orde
Baru lebih menyukai sistem proporsional daripada
sistem distrik. Hal tersebut dapat dianalisis dalam
berbagai argumentasi.
Pertama,
mensyaratkan
kematangan
berpolitik masyarakatnya sehingga diperlukan
sikap kritis masyarakat. Orde Baru menilai sikap
kritis ini akan menyulitkan langkah mereka
memperpanjang kekuasaannya sehingga sistem ini
dipilih di samping kehidupan politik masyarakat
Indonesia yang masih bersifat patrimonial dan
lebih mengedepankan aspek emosional daripada
pilihan rasional.
Kedua, district magnitude dalam setiap
daerah pemilihan yang tidak sebanding dengan
jumlah keseluruhan kabupaten dan kota seluruh
Indonesia. Hal tersebut terkait dengan jumlah
populasi demografi antar daerah Indonesia yang
tidak seimbang. Bentuk geografis Indonesia
yang berbentuk kepulauan menyebabkan tingkat
densitas penduduk berlainan jenis. Hal inilah
yang menyulitkan dalam mengonversikan jumlah
suara ke jumlah kursi.
guna memperkuat stabilitas ekonomi. Adapun
prinsip takes all hanyalah akan memancing huruhara politik yang tentu tidak akan disenangi oleh
rezim.
Keempat, rawan munculnya radikalisme
daerah yakni muncul ketidakpuasan dari rakyat
daerah bila menganut sistem distrik. Kelima,
ketidaksiapan dalam pemilu antar personal.
Dalam hal ini politik Indonesia yang masih
bersifat patrimonial yakni kedekatan antara partai
sebagai mesin politik dengan calon daripada
kedekatan calon dengan rakyat sebagai mesin
suara (Dhurorudin, 1998: 32). Adapun sistem
proporsional yang dianut oleh rezim Orde Baru
bervariasi mulai dari D’Hondt System pada tahun
1969 hingga berlanjut pada sistem stelsel daftar
(List System) (Marsono, 1996: 4). Pemilu yang
diselenggarakan dengan pemilu proporsional
selama Orde Baru justru menyimpang dari kaidah
sistem proporsional tersebut. Sistem dua partai
dan satu Golongan Karya yang bertentangan
dengan prinsip dari sistem proporsional yang
mengedepankan sistem multi partai. Setelah rezim Orde Baru tumbang,
demokrasi menjadi panglima utama dalam
mewujudkan kehidupan politik yang sehat.
Pemilu kemudian sebagai upaya pencarian wakil
rakyat yang peduli pada aspirasi masyarakat
luas. Nilai-nilai baru kemudian diletakkan dalam
sistem pemilu yang baru seperti halnya menjamin
suara parlemen yang diwakili, prosedur pemilu
yang tidak terlalu rumit, dorongan kerja sama
Ketiga, prinsip winner takes all yang sangat
yang kuat antar peserta pemilu, memperkuat
mementingkan individualisasi dalam berpolitik
legitimasi pemerintah, mendorong stabilitas
ini dirasa tidak sesuai dengan budaya orang
politik, mendorong akuntabilitas politik, dan
Indonesia yang lebih mementingkan gotong
penciptaan oposisi yang sehat.
royong dan semangat kekeluargaan. Spirit
Dari sekian nilai-nilai tersebut yang menjadi
tersebut tentu sangatlah inheren dengan kebijakan
Orde Baru yang mementingkan stabilitas politik idealisme dalam penyusunan dasar sistem pemilu
Menuju Sistem Pemilu dengan Ambang Batas Parlemen yang Afirmatif (Wasisto Raharjo Jati)
| 147
Gambar 1
Gambaran Sistem Pemilu Paska Orde Baru
Sistem Proporsional Hibrida
List System:
Hare System:
1. Pemilih memilih nama calon dari
daftar;
1. Sistem multipartai;
2. Calon yang mendapat suara terbanyak
yang menang (prinsip distrik);
3. Penggabungan suara;
3. Tidak mengetahui calon, bisa
memilih gambar partai saja (prinsip
proporsionalitas).
5. Rawan pragmatisme politik.
2. Partai politik kecil dapat bersaing;
4. Perhitungan panjang;
Sumber: (Kartawidjaya, 2007: 773)
pasca reformasi, poin prosedur pemilu yang
tidak menyulitkan dan kerja sama kuat antar
peserta pemilu menjadi persoalan yang krusial
dalam membahas situasi pemilu kontemporer.
Pada masa kontemporer sekarang ini mengambil
inisiatif penggabungan dua sistem pemilu yakni
distrik dan proporsional akan tetapi masih dalam
koridor sistem proporsional seperti yang tertera
dalam gambar 1.
Adanya penggabungan dari dua paradigma
besar sistem pemilu itulah yang sebenarnya ingin
dipraktikkan dalam sistem pemilu Indonesia pasca
1999 dengan mengambil sisi positif dari kedua
sistem dan memimalkan adanya fragmentasi
politik. Adapun tujuan mulia yang ingin dicapai
justru berbuah pada efek paradoksal di mana
orientasi sistem pemilu di Indonesia menjadi tidak
jelas dan kabur makna substansinya. Setidaknya
148 |
efek paradoksal tersebut bisa kita simak dari
analisa komparasi terhadap sistem Pemilu 2004
maupun Pemilu 2009 silam yang menggunakan
sistem pemilu hibrida tersebut. Sistem pemilihan
ini dirasa sangat rumit karena penentuan daftar
pemilih ini dirasa sangat dilematis (Pamungkas,
2009: 49). Posisi dilematis terletak pada
penduduk pada daerah pemilihan tersebut yakni
jika menggunakan sistem proporsionalitas akan
lebih efisien karena hanya menggunakan daerah
pemilihan yang besar dan tunggal dan tak perlu
membuat batas-batas daerah pemilihan lainnya
sehingga efisien dan murah. Namun sistem itu tidak
memperhatikan aspek sosio kultural, ekonomi,
maupun aspek geografis warganya dan terkesan
“kurang demokratis” karena daerah pemilihan
yang tunggal dan tidak jamak sehingga kurang
mampu menjaring aspirasi masyarakat secara luas.
Jurnal Yudisial Vol. 6 No. 2 Agustus 2013: 143 - 158
Implementasi sistem distrik, justru yang terjadi
adalah kerepotan karena mengurusi dan mengawasi
banyaknya daerah pemilihan sehingga sering kali
muncul permasalahan seperti data kependudukan
maupun administrasi kependudukan tumpang
tindih dikarenakan arus mobilisasi penduduk yang
begitu dinamis (Nadjib, 2005: 43).
berlaku bagi partai besar bukan bagi partai kecil.
Sistem ini belum menjamin hadirnya
aktor independen untuk bertarung dalam proses
pemilihan umum karena saling tumpang tindih
peraturan KPU dan MK yang masing-masing
sangat paradoksal. Dalam hal ini MK dalam
amar keputusannya memperbolehkan calon
independen untuk bertarung dalam pemilu. KPU
bersikap “setengah hati” untuk melaksanakannya
sehingga mengakibatkan pada hukum pemilu
yang bersifat tumpang tindih dengan aturan
lainnya. Permasalahan tumpang tindih adalah
dalam regulasi terjadi lantaran menganut sistem
daftar terbuka yang memberikan keleluasaan
dalam memilih calon dan partai. Adapun dalam
praktek daftar tertutup yakni praktek nomor urut
calon yang potensial meraih suara banyak dan
memenangkan partai tersebut akan ditempatkan
pada nomor urut yang lebih kecil.
Permasalahan kemudian yang muncul
adalah fenomena The Population Paradox
yakni kuota kursi di setiap pemilihan sering
kali berubah-ubah mengikuti alur dinamisasi
penduduk tersebut seperti alur peningkatan dan
penyusutan penduduk yang selalu terjadi terutama
di bekas daerah konflik (Prihatmoko, 2008: 99).
Permasalahan yang jamak terjadi kasus pemilih
ganda yang memiliki hak pilih ganda, kasus
munculnya pemilih di bawah umur, kasus orang
yang sudah meninggal punya hak pilih, anggota
TNI/Polri yang punya hak pilih padahal dalam
UU dikatakan tidak boleh berpolitik praktis, kasus
3.
pemilih yang tak mempunyai hak pilih karena
tidak terdaftar dalam data kependudukan.
Selain itu, permasalahan lain yang mucul
adalah The Alabama Paradox yang muncul akibat
kuota kursi yang tidak tetap (tentatif) menimbulkan
kerugian bagi calon maupun partai politik yakni
seorang calon yang sudah dipastikan mendapat
kursi di daerah pemilihan tersebut sewaktuwaktu bisa hilang serta partai yang mendapatkan
“bonus” ekstra karena mendapat limpahan kursi
baru yang seharusnya mendapat satu kursi bisa
mendapat lebih. Hal ini dikarenakan pergeseran
kuota jumlah kursi tersebut yakni bertambah
kursinya atau berkurang kursinya. Pengingkaran
terhadap sistem distrik telah menimbulkan banyak
kekhawatiran yakni kurangnya derajat demokrasi
karena berbagai macam partai politik yang kecil
justru kalah bersaing dengan partai-partai besar
yang sudah mapan sehingga “demokrasi” hanya
Ambang Batas Parlemen (Parliamentary
Threshold)
Threshold, electoral threshold, ataupun
parliamentary threshold pada dasarnya sama,
yakni ambang batas (syarat) yang harus dilampaui
oleh partai politik, untuk dapat mengirimkan
wakilnya ke lembaga perwakilan (Mellaz, 2012:
1). Biasanya dinyatakan dengan persentase
perolehan suara sah atau di beberapa daerah bisa
dinyatakan dalam bentuk perolehan minimal kursi
yang dikenal sebagai bilangan pembagi pemilih
(BPP). Adapun mekanisme perhitungan tersebut
dalam kasus Indonesia biasanya terdapat dalam
rumusan 1 per 100 penduduk, 1 per 200 penduduk,
maupun 1 per 500 penduduk. Apabila ketentuan
tersebut tidak bisa dilakukan, maka akan dilakukan
strategi gerrymandering yakni pengelompokan
daerah pemilihan karena minimnya populasi yang
akan dijadikan daerah pemilihan.
Menuju Sistem Pemilu dengan Ambang Batas Parlemen yang Afirmatif (Wasisto Raharjo Jati)
| 149
Adapun tujuan diadakannya ambang
batas dalam sistem pemilu di suatu negara
dikarenakan ada dua hal, yakni: (1) membatasi
jumlah partai politik yang memperoleh dukungan
tidak signifikan dari pemilih masuk parlemen.
Hal ini dimaksudkan karena, berkurangnya
jumlah partai politik di parlemen diharapkan
dapat meningkatkan efektivitas kerja parlemen.
Kondisi tersebut yang kemudian menjadikan
fungsi parlemen yakni fungsi legislasi, anggaran,
maupun pengawasan karena adanya konflik
kepentingan dari berbagai macam banyak partai
politik tersebut. (2) menyaring partai politik
peserta pemilu berikutnya. Banyaknya partai
politik peserta pemilu, tidak hanya berdampak
pada membengkaknya dana penyelenggaraan
pemilu, tetapi juga membuat pemilih bingung
dalam memberikan suara.
Harus diakui ketika negara menetapkan
demokrasi sebagai suatu sistem transisi maupun
suksesi kekuasaan memang diiringi dengan harga
ekonomis prosedural dan administratif yang
memakan biaya bermiliaran rupiah (Mellaz, 2012:
4). Ambang batas parlemen sendiri dapat diartikan
sebagai parameter nominal angka minimal untuk
menentukan kursi di parlemen berdasarkan hasil
suara yang diperoleh dalam proses pemilu. Ihwal
diterapkannya ambang batas tersebut disebabkan
berbagai hal. Seperti halnya, banyaknya jumlah
partai politik yang duduk di parlemen membuat
pemerintah dalam menjalankan kerjanya kurang
efektif sehingga menyebabkan terganggunya
stabilitas politik dan pemerintahan. Kondisi
tersebut mengakibatkan adanya “dualisme”
dalam sistem pemerintahan Indonesia manakala
sistem multipartai dan sistem presidensial
tercampuradukkan membentuk pemerintahan
kuasi-parlementarian. Sistem multipartai yang
dianut sebagai bentuk kebebasan ekspresi
150 |
pasca reformasi justru berubah menjadi pluralekstrim. Perilaku esktrim tersebut dikhawatirkan
memunculkan rivalitas laten yang berpotensi
menghasilkan adanya huru hara politik seperti
tahun 1955. Tentunya, para pegiat reformasi tidak
menginginkan adanya hal tersebut berulang pada
masa konsolidasi demokrasi ini.
Tercatat bahwa, upaya pembatasan partai
politik dan sistem multipartai pluralis-ekstrim
tersebut mulai dilakukan semenjak Pemilu 2004
dengan diterapkannya ambang batas pemilu
(Electoral Threshold) melalui Pasal 142 dan
Pasal 143 Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU No.
12 Tahun 2003). Adapun yang menjadi angka
minimal sekurang-kurangnya 3% jumlah kursi
DPR atau memperoleh sekurang-kurangnya
4% jumlah kursi DPRD provinsi yang tersebar
sekurang-kurangnya di 1/2 (setengah) jumlah
provinsi seluruh Indonesia. Adanya penerapan
electoral threshold ini memang mampu untuk
menekan jumlah partai politik yang membeludak
menjadi 24 partai saja pada Pemilu 2004 yang
dianggap sebagai ideal tersebut.
Pada Pemilu 2004 dikenal istilah electoral
threshold dengan menerapkan batas minimum
3% jumlah keseluruhan kursi yang diperoleh
setiap partai politik di DPR. Setiap partai politik
yang lolos electoral threshold secara otomatis
akan mengikuti pemilu berikutnya. Kesuksesan
dalam menekan angka keikutsertaan partai politik
dari semula 48 partai politik menjadi 24 partai
menjadi motivasi tersendiri bagi regulator pemilu
untuk menekan jumlah anggota legislator melalui
penerapan ambang batas parlemen (parliamentary
threshold). Adapun kebijakan ambang batas
pemilu tetap diterapkan pada Pemilu 2014
Jurnal Yudisial Vol. 6 No. 2 Agustus 2013: 143 - 158
sebesar 5%. Bagi partai politik yang tidak lolos
baik ambang batas diberikan 3 (tiga) opsi yakni
pertama, bergabung dengan partai yang lolos
electoral threshold. Kedua, bergabung dengan
sesama partai politik yang tidak lolos electoral
threshold sehingga mencapai ambang batas suara
3% dan memilih nama salah satu partai politik
itu. Ketiga, mendirikan partai politik baru dengan
nama dan lambang yang baru.
Penerapan electoral threshold pada Pemilu
2004 diharapkan dapat membatasi jumlah partai
politik yang ikut berpartisipasi pada Pemilu 2009.
Kebijakan tersebut justru menambahkan jumlah
partai politik menjadi 38 partai politik ditambah 6
partai lokal Aceh. Padahal hanya 7 (tujuh) partai
politik yang memenuhi standar electoral threshold,
hal ini disebabkan karena partai politik yang tidak
memenuhi standar 3% cukup mengganti nama
partai dan lambang saja untuk ikut pada pemilu
berikutnya. Upaya penyerderhanaan partai politik
yang dilakukan secara sistematis dan konstitusional
menjadi tidak konsisten. Hal tersebut dapat
disimak dari komparasi Undang-Undang Nomor
10 Tahun 2008 Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU No. 10
Tahun 2008) khususnya Pasal 316 dengan UU No.
12 Tahun 2003 yang mana partai yang memiliki
kursi di parlemen namun tidak lolos electoral
threshold pemilu berikutnya secara otomatis bisa
menjadi peserta pemilu pada 2009. Implementasi
ambang batas parlemen (parliamentary threshold)
merupakan barang baru dalam kancah pemilu
di Indonesia. UU No. 10 Tahun 2008 terdapat
ketentuan adanya parliamentary threshold sebesar
2,5% dari suara sah nasional.
dengan begitu maka partai politik tersebut berhak
untuk menempatkan wakilnya di parlemen. Adanya
kenaikan ambang batas parlemen 3,5% pada
Pemilu 2014 memang mengindikasikan adanya
kepentingan kekuasaan bagi partai politik lama
untuk mencegah masuknya partai politik baru.
Meskipun alibi yang diajukan adalah memperkuat
konsolidasi sistem kepartaian dan sistem
demokrasi. Kepentingan menjaga kuasa tetap ada
sehingga inilah yang kerap kali disebut sebagai
bentuk reorganisasi oligarkis dalam proses elektoral
(Abdi, 2012: 536). Kecenderungan menaikkan
angka ambang batas justru menimbulkan sentimen
paradoks bahwa pembatasan partai politik justru
tidak terjadi, malah yang muncul kemudian adalah
fenomena atomisasi partai di mana faksionalisasi
dalam tubuh partai justru melahirkan banyak
partai baru yang mempunyai karakteristik yang
sama dengan partai induknya.
B.
ANALISIS
1.
Substansi Permasalahan Utama
Terdapat tiga permasalahan utama yang
diajukan pemohon kepada MK, yaitu pertama,
Partai Nasional Demokrat yang mengajukan uji
materi Pasal 8 ayat (1) dan (2) yang intinya supaya
semua partai politik dilakukan verifikasi dan tidak
perlu dibedakan yang lolos parlementary threshold
atau tidak ataupun partai baru. Kedua, 11 partai
non-parlemen yang menginginkan supaya tidak
diperlakukan diskriminatif sehingga tidak perlu
ada verifikasi ulang dan ketiga beberapa partai
kecil di daerah seperti PDS dan PKNU untuk
menguji Pasal 208 dan 209 yang berkaitan dengan
rencana pemberlakukan parlementary threshold
secara nasional termasuk untuk DPRD Provinsi
dan DPRD Kabupaten Kota. Secara lebih lengkap
Melalui ketentuan parliamentary threshold,
delik permasalahan yang diangkat dapat disimak
partai politik untuk dapat duduk di parlemen maka
sebagai berikut ini:
harus mencapai angka 2,5% dari suara sah nasional,
Menuju Sistem Pemilu dengan Ambang Batas Parlemen yang Afirmatif (Wasisto Raharjo Jati)
| 151
a.
Pasal 8 ayat (1) dan Penjelasan Pasal 8 ayat
(1) UU No. 8 Tahun 2012.
b.
Pasal 8 ayat (2) UU No. 8 Tahun 2012
sepanjang frasa “yang tidak memenuhi
ambang batas perolehan suara pada pemilu
sebelumnya atau partai politik baru” dan
Penjelasan Pasal 8 ayat (2) sepanjang frasa
“yang dimaksud dengan “partai politik
baru” adalah partai politik yang belum
pernah mengikuti pemilu” bertentangan
dengan UUD 1945.
c.
Pasal 17 ayat (1) dan Penjelasan Pasal 17
ayat (1) UU No. 8 Tahun 2012 bertentangan
dengan UUD 1945.
menjunjung hukum dan pemerintahan itu
dengan tidak ada kecualinya.“
d.
Pasal 28 yang menyatakan,
“Kemerdekaan berserikat dan berkumpul,
mengeluarkan pikiran dengan lisan dan
tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan
undang-undang.“
e.
Pasal 28C ayat (2) yang menyatakan,
“Setiap orang berhak untuk memajukan
dirinya dalam memperjuangkan haknya
secara
kolektif
untuk
membangun
masyarakat, bangsa, dan negaranya.“
f.
Pasal 28D ayat (1) yang menyatakan,
“Setiap orang berhak atas pengakuan,
jaminan, perlindungan, dan kepastian
hukum yang adil serta perlakuan yang
sama di hadapan hukum.“
d.
Pasal 208 UU No. 8 Tahun 2012 sepanjang
frasa “DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/
kota” bertentangan dengan UUD 1945.
e.
Pasal 209 ayat (1) dan ayat (2) UU No.
8 Tahun 2012 sepanjang frasa “DPRD g.
provinsi, dan DPRD kabupaten/kota” bertentangan dengan UUD 1945.
Pemohon menilai bahwa berbagai pasal
tersebut melanggar pasal-pasal yang mendasar h.
dari UU 1945 diantaranya:
a.
Pasal 22E ayat (1) yang menyatakan,
“Pemilihan umum dilaksanakan secara
langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan
adil setiap lima tahun sekali.”
b.
Pasal 22E ayat (3) yang menyatakan,
c.
152 |
Pasal 28D ayat (3) yang menyatakan,
“Setiap warga negara berhak memperoleh
kesempatan
yang
sama
dalam
Pemerintahan.“
Pasal 28I ayat (2) yang menyatakan,
“Setiap orang berhak bebas dari
perlakuan yang bersifat diskriminatif atas
dasar apapun dan berhak mendapatkan
perlindungan terhadap perlakuan yang
bersifat diskriminatif itu.”
Dalam hal ini, yang menjadi fokus pengajuan
gugatan konstitusional oleh para pemohon adalah
“Peserta pemilihan umum untuk memilih pengajuan parliamentary threshold, syarat peserta
anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemilu 2014, dan aturan verifikasi yang dinilai
anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menimbulkan diskriminasi antara partai parlemen
adalah partai politik.“
dan partai non parlemen. Pemohon menilai bahwa
terjadi perbedaan konstitusional antara UU No. 3
Pasal 27 ayat (1) yang menyatakan,
Tahun 1999 (selanjutnya diganti menjadi UU No.
“Segala warga negara kedudukannya di
31 Tahun 2002 dan UU No. 12 Tahun 2003), UU
dalam hukum dan pemerintahan dan wajib
Jurnal Yudisial Vol. 6 No. 2 Agustus 2013: 143 - 158
No. 10 Tahun 2008, dan UU No. 8 Tahun 2012
yang menyebabkan adanya hambatan-hambatan
sistematis, institusional, maupun konstitusional
yang dinilai menghambat pertumbuhan partai
baru. Selain itu pula, penerapan adanya electoral
threshold pada Pemilu 2004 maupun parliamentary
threshold pada Pemilu 2009 dianggap sebagai
bentuk pembatasan terhadap ekspresi demokrasi
yang seluas-luasnya dan senyata-nyatanya
bagi warga negara pasca demokrasi. Ambang
batas yang dinilai tinggi justru dinilai pemohon
menjadikan partai-partai kecil tidak memiliki
kesempatan menjadi partai parlemen.
bermasalah. Adapun dalam segi konstitusional
Indonesia, partai politik harus melewati dua
syarat utama menjadi peserta pemilu yakni
syarat administrasi pendirian maupun syarat
verifikasi. Menurut ketentuan Pasal 8 UU No. 8
Tahun 2012, syarat adanya lolos ambang batas
nasional pada pemilu sebelumnya menjadi syarat
faktual dalam persyaratan peserta Pemilu 2014
sendiri dinilai tidak adil, dikarenakan hal itu
sama saja mengurangi partisipasi publik secara
meluas melaui perjuangan partai politik. Adapun
mekanisme reward sebagaimana yang didalilkan
oleh pemerintah dan DPR tidak bisa diterima
begitu saja karena hal tersebut menyinggung
Pengalaman negara-negara demokrasi yang
banyak hal, misalnya saja hak politik aktif yang
mapan sendiri menunjukkan bahwa semakin
terciderai dikarenakan adanya pembatasan
tinggi ambang batas parlemen justru akan
tersebut.
mereduksi pilihan politik warga negara. Selain
itu pula, pemohon penerapan parliamentary
Syarat verifikasi berdasarkan UU Pemilu
threshold ini bukanlah sebagai legal policy Legislatif terbilang berat bagi partai-partai kecil.
yang konstitusional dikarenakan bertentangan Syaratnya di antaranya, memiliki kepengurusan
dengan syarat keikutsertaan partai politik. di seluruh provinsi, memiliki kepengurusan di
Hal ini dikarenakan electoral threshold yang 75% jumlah kabupaten di provinsi bersangkutan,
sebenarnya menjadi legal policy dibandingkan dan 50% kepengurusan di tingkat kota. Pemohon
dengan parliamentary threshold hanya mengurus menilai bahwa syarat tersebut sangatlah berat
pada aspek pembatasan kuota anggota legislator bagi partai baru yang menjalin jejaring baik di
yang duduk di parlemen (IDEA, 2002: 18). tingkat nasional maupun daerah. Tujuan verifikasi
Parliamentary threshold dinilai sebagai proyek memang dimaksudkan untuk mengecek kebenaran
klandestin yang membuat partai parlemen yang banyak syarat sebagai peserta pemilu baik melalui
ingin bertahan dalam lingkup kekuasaannya lebih verifikasi institusional maupun administratif.
kerja keras dalam kinerjanya menarik jumlah
Dalam Pasal 8 dalam UU No. 8 Tahun
pengikut sehingga kesungguhannya dalam
2012 disebutkan tidak semua parpol memiliki
memperjuangkan suaranya melalui perumusan
keharusan untuk diverifikasi sebagai peserta
kebijakan “populis”. Kondisi tersebut dinilai
pemilu. Dalam hal ini, ketentuan yang termaktub
sebagai bentuk persaingan tidak sehat dalam
dalam UU No. 8 Tahun 2012 mengategorisasi
kompetisi elektoral di mana partai baru seolah
parpol dalam dua kelompok. Kelompok pertama
tidak diberi kesempatan untuk berjuang dalam
yakni partai parlemen sendiri langsung dijadikan
ranah populis di jalur parlemen.
sebagai peserta Pemilu 2014 sementara kelompok
Pemohon juga mempermasalahkan adanya kedua yaitu parpol yang hanya dapat menjadi
aturan verifikasi partai politik yang dinilai peserta pemilu setelah memenuhi sembilan
Menuju Sistem Pemilu dengan Ambang Batas Parlemen yang Afirmatif (Wasisto Raharjo Jati)
| 153
persyaratan yang diatur Pasal 8 ayat (2) UU No. 8
Tahun 2012. Parpol yang masuk kategori tersebut
ialah parpol yang tidak memenuhi ambang batas
perolehan suara parlemen pada Pemilu 2009 dan
parpol baru. Pada titik lokus inilah yang kemudian
dipermasalahkan dalam putusan sidang konstitusi
ini. Maka sangatlah penting disimak bagaimana
MK melihat secara afirmatif kedua.
2.
Dimensi Afirmatif Keputusan MK
Dalam amar putusannya MK sendiri
memutuskan secara afirmatif kedua hal penting
yang sekiranya memberikan angin segar bagi
eksistensi partai politik baru yang hendak maju
dalam Pemilu 2014 nanti yakni: 1) penetapan
parliamentary threshold sebesar 3,5% hanya
berlaku di DPR, namun tidak berlaku di tingkatan
DPD dan DPRD. 2) adanya verifikasi yang harus
dilakukan oleh partai politik tanpa terkecuali.
Tentunya bagi pemohon, momentum ini merupakan
kemenangan penting dalam reformasi Pemilu
2014 serta memupus kepentingan kekuasaan
oligarkis partai politik parlemen untuk kian
berkuasa. Sementara bagi tergugat, hal tersebut
bisa jadi hal yang merepotkan karena diharuskan
melakukan verifikasi ulang dan juga memupus
keinginan membatasi kontestan partai baru dengan
mengatasnamakan pengefektifan system elektoral.
Dalam hal ini, MK melihat adanya ketiadakadilan
maupun ketidakpastian terhadap substansi pasalpasal yang diajukan oleh pemohon tersebut yang
dapat dijelaskan sebagai berikut.
Pertama, MK menetapkan bahwa Pasal 8
ayat 1 maupun Pasal 8 ayat 2 dalam UU No.10/2008
sendiri bertentangan dengan Pasal 27 ayat 1 UUD
1945 yang menjamin adanya kebebasan dalam
berekspresi,berserikat, dan berpendapat secara
bebas yang dilakukan secara bertanggungjawab.
Mahkamah pada dasarnya menyetujui adanya
154 |
usaha yang dilakukan oleh pemeirntah maupun
parlemen untuk membatasi jumlah parlemen.
Namun yang menjadi penekanan adalah
penyederhanaan partai politik sendiri seharusnya
dilakukan oleh mekanisme ambang batas pemilu
(electoral threshold) dan bukan ambang batas
parlemen yang menjadi acuan.
Syarat untuk menjadi peserta pemilu
sebagaimana yang dikutip dalam Pasal 8 ayat (1) dan
ditekankan pada sepanjang frasa “yang memenuhi
ambang batas perolehan suara dari jumlah suara
sah secara nasional” dinilai memberatkan kepada
bagi partai politik baru. Dalam konstelasi hukum
pemilu di Indonesia, persoalan ambang batas dan
keikutsertaan partai politik dalam pemilu menjadi
dua persoalan politik yang belum selesai hingga
saat ini. Adanya partai politik sendiri memang
dianggap sebagai manifestasi perjuangan aspirasi
masyarakat yang menempuh jalur politik sebagai
medianya. Hal itulah yang kemudian sejalan
dengan fungsi partai politik yakni: 1) sosialisasi
politik; 2) rekrutmen politik; 3) kaderisasi politik
dan 4) pendidikan politik. Keempat fungsi inilah
yang membuat kehadiran partai politik sendiri
sangatlah urgen dan signifikan dalam kehidupan
berdemokrasi sekarang ini.
Namun yang menjadi masalah kemudian
adalah ketiadaan konsensus bersama di antara para
elite politik sendiri untuk menentukan peraturan
elektoral yang tetap. Peraturan elektoral yang lazim
disebut sebagai Undang-undang Politik seringkali
berubah-ubah mendekati event pemilu. Yang
seringkali berubah tentunya prasyarat yang dinilai
mewakilkan kepentingan tertentu. Hal inilah yang
acap kali menimbulkan ketidakadilan bagi MK ini
manakala dalam memutuskan bahwa Pasal 8 ayat
(1) sendiri bertentangan dengan UUD 1945 dan
mengakibatkan adanya disproporsionalitas baik
dalam sistem pemilu maupun perhitungan suara
Jurnal Yudisial Vol. 6 No. 2 Agustus 2013: 143 - 158
(Mellaz, & Supriyanto, 2011: 32-34).
Dalam studi elektoral, kriteria ambang batas
sebagai persyaratan pemilu sendiri tergantung
pada sistem pemilu yang dianut. Misalnya saja
dalam sistem distrik sendiri, ambang batas
sendiri kenakan sistem kuota untuk menjamin
semua calon anggota parlemen sendiri masuk ke
dalam parlemen. Sementara sistem proporsional,
ambang batas sendiri dikenakan dua macam
yakni ambang batas atas maupun ambang batas
bawah. Ambang batas atas memungkinkan partai
politik untuk mendapatkan suara lebih sedangkan
ambang batas bawah sendiri juga memungkinkan
partai politik kecil untuk mendapatkan suara sisa
(spoiler voters) yang tidak tersalurkan dalam
ambang batas atas.
Hal ini sejalan dengan prinsip sistem
proporsional yakni semakin tinggi tingkat
populasi penduduk, maka semakin tinggi pula
kursi parlemen yang akan didapat. Pengenaan
angka ambang batas menjadi kata kunci dalam
penetapan kebijakan tersebut yang penentuan
angkanya sendiri tidak ada formulasi yang baku,
semuanya tergantung pada pembuat kebijakan.
Adapun dalam kasus negara-negara penganut
sistem demokrasi lainnya, terdapat variasi dalam
penentuan ambang batas tersebut. Rata-rata
negara demokrasi dunia menganut prinsip 2,5%
hingga 3% dalam penentuan angka ambang batas.
Belanda sendiri mencatat negara yang paling
sedikit yakni sebesar 0,67%, sementara Turki dan
Polandia tercatat sebagai negara dengan ambang
batas tertinggi yakni sebesar 10% dan 5%.
Dalam penentuan angka batas tersebut
sebenarnya tergantung pada konsistensi pada
peraturan elektoral yang dibuatnya tersebut
(Abidin, 2010: 56). Dalam kasus di negara kita,
hukum regulasi elektoral sendiri konsisten dalam
inkonsistensi aturan. Sebelumnya dalam UU Pemilu
1999 dan 2004, standar parliamentary threshold
sendiri yang dijadikan standar untuk mengatur
jumlah partai politik. Standar tersebut kemudian
berubah menjadi parliamentary threshold yang
sejatinya digunakan untuk membatasi jumlah
anggota parlemen. Dalam hal ini yang menjadi
pertanyaan kritis dalam penetapan ambang batas
adalah pembatasan partai politik melalui anggota
parlemen ataukah pembatasan anggota parlemen
melalui partai politik. Kedua premis tersebut
sangatlah bertentangan satu sama lainnya sehingga
dalam lokus inilah, MK melihat ketidakadilan
dalam UU Pemilu ini. Keduanya jelas berbeda
sekali dengan tujuan diadakannya ambang batas
adalah membatasi guna mengefektifkan sistem
elektoral. Tentunya hal tersebut menjadi distorsi
dalam implementasi pemilu yang menjadikannya
sebagai proyek eksperimentasi politik semata.
Maka dalam konteks ini, aturan yang dibuat
sendiri justru dilanggar sendiri para regulator
pemilu di Indonesia.
Analisa komparasi terhadap aturan elektoral
kita memang menunjukkan gejala inkonsistensi
tersebut. Misalnya saja dalam UU No. 3 Tahun
1999 (yang kemudian diganti menjadi UU No. 12
Tahun 2003), khususnya Pasal 9 ayat (1) dan (2)
UU No. 12 Tahun 2003 mendalilkan bahwa partai
politik peserta pemilu sendiri sekurang-kurangnya
mencapai 3% suara parlemen nasional dan 2%
parlemen lokal. Hal tersebut kemudian dipelintir
dalam Pasal 615 yang mengatakan bahwa
semua partai politik dapat mengikuti pemilu
jika memiliki kursi di parlemen hasil pemilu
1999. Hal itulah yang sebenarnya menjadi titik
kerancuan awal dilema ambang batas parlemen
ataukah ambang batas elektoral dalam lanskap
pemilu di Indonesia. Kondisi tersebut sangatlah
persis apabila menautkannya dengan Pasal 8 ayat
Menuju Sistem Pemilu dengan Ambang Batas Parlemen yang Afirmatif (Wasisto Raharjo Jati)
| 155
(1) dan (2) UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu
dengan Pasal 8 dalam UU No.8 Tahun 2012 yang g.
di sana terdapat pembedaan perlakuan verifikasi
antara partai politik parlemen dan partai politik
non parlemen.
h.
Adapun substansi yang terkandung dalam
Pasal 8 dalam UU No. 10 Tahun 2012 disebutkan
i.
bahwa syarat-syarat administratif menjadi perserta
Pemilu 2014 antara lain:
(1). Partai Politik Peserta Pemilu pada Pemilu
terakhir yang memenuhi ambang batas
perolehan suara dari jumlah suara sah secara
nasional ditetapkan sebagai Partai Politik
Peserta Pemilu pada Pemilu berikutnya.
dengan kepemilikan kartu tanda anggota;
mempunyai kantor tetap untuk kepengurusan
pada tingkatan pusat, provinsi, dan kabupaten/
kota sampai tahapan terakhir Pemilu;
mengajukan nama, lambang, dan tanda
gambar partai politik kepada KPU; dan
menyerahkan nomor rekening atas nama
partai politik kepada KPU.”
Mahkamah sendiri kemudian mengadakan
komparasi aturan yang berada di bawahnya yakni
ayat (1) dan ayat (2) dalam Pasal 8 UU No 8
Tahun 2012 mendalilkan bahwa keikutsertaan
partai politik dalam Pemilu 2014 yakni:
“(1) Partai politik dapat menjadi Peserta
(2). Partai politik yang tidak memenuhi
Pemilu setelah memenuhi persyaratan:
ambang batas perolehan suara pada Pemilu
sebelumnya atau partai politik baru dapat a. berstatus badan hukum sesuai dengan
menjadi Peserta Pemilu setelah memenuhi
Undang-Undang tentang Partai Politik;
persyaratan:
b. memiliki kepengurusan di 2/3 (dua pertiga)
jumlah provinsi;
a. berstatus badan hukum sesuai dengan
Undang-Undang tentang Partai Politik;
c.
b.
memiliki kepengurusan di seluruh provinsi;
c.
memiliki kepengurusan di 75% (tujuh
puluh lima persen) jumlah kabupaten/kota d.
di provinsi yang bersangkutan;
d.
memiliki kepengurusan di 50% (lima puluh
persen) jumlah kecamatan di kabupaten/
e.
kota yang bersangkutan;
e.
menyertakan sekurang-kurangnya 30% (tiga
puluh persen) keterwakilan perempuan pada
kepengurusan partai politik tingkat pusat;
f.
memiliki anggota sekurang-kurangnya
1.000 (seribu) orang atau 1/1.000 (satu
perseribu) dari jumlah Penduduk pada
f.
kepengurusan partai politik sebagaimana
dimaksud pada huruf c yang dibuktikan
156 |
memiliki kepengurusan di 2/3 (dua pertiga)
jumlah kabupaten/kota di provinsi yang
bersangkutan;
menyertakan sekurang-kurangnya 30%
(tiga puluh persen) keterwakilan perempuan
pada kepengurusan partai politik tingkat
pusat;
memiliki anggota sekurang-kurangnya
1.000 (seribu) orang atau 1/1.000 (satu
perseribu) dari jumlah Penduduk pada setiap
kepengurusan partai politik sebagaimana
dimaksud pada huruf b dan huruf c yang
dibuktikan dengan kepemilikan kartu tanda
anggota;
mempunyai kantor tetap untuk kepengurusan
sebagaimana pada huruf b dan huruf c; dan
Jurnal Yudisial Vol. 6 No. 2 Agustus 2013: 143 - 158
g.
mengajukan nama dan tanda gambar partai ditinjau dari segi legalitas sebenarnya tidak berlaku
politik kepada KPU.
secara undang-undang. Hal ini dikarenakan dalam
prinsip hukum di Indonesia menganut prinsip
(2) Partai Politik Peserta Pemilu pada
“stuffen theory” atau lex superior derogat legi
Pemilu sebelumnya dapat menjadi Peserta Pemilu
inferiori yang mengatakan bahwa UU yang berada
pada Pemilu berikutnya.”
di bawah urutannya dalam urutan perundangan
Maka dalam pandangan MK maupun tidak boleh melanggar substansi aturan dalam UU
saya pribadi sendiri, terdapat kesenjangan dan yang berada di atasnya. Maka substansi UU No. 8
ketidakpastian hukum dalam komparasi terhadap Tahun 2012 sendiri lebih tinggi daripada UU No.
dua aturan tersebut. Pada aturan yang pertama 10 Tahun 2012, sehingga jika UU ini melanggar
yakni Pasal 8 dalam UU No. 8 Tahun 2012 UU No. 8 Tahun 2012 maka otomatis gugur secara
tentang Partai Politik disebutkan bahwa partai konstitusional. MK melihat adanya pelanggaran
politik menjadi peserta pemilu sebenarnya hanya tersebut dengan mendalilkan verifikasi ulang dan
terletak pada poin partai politik dapat menjadi penetapan ambang batas 3,5% sebagai ambang
peserta pemilu berikutnya jika menjadi peserta batas parlemen dan bukan diberlakukan secara
pemilu pada pemilu sebelumnya. Pada poin inilah nasional.
yang sebenarnya menjadi kunci kemenangan
konstitusional para pemohon terhadap Pasal
8 ayat (1) dan ayat (2) yang mendalilkan
keikutsertaan pemilu sendiri harus memenuhi
ambang batas perolehan suara dari jumlah suara
sah secara nasional ditetapkan sebagai Partai
Politik Peserta Pemilu pada Pemilu berikutnya.
Hal inilah yang mengindikasikan inkonsistensi
dan perilaku eksperimentatif sendiri masih ada
dan berlaku hingga saat ini dalam perumusan
regulasi pemilu.
Adanya perbedaan tafsir itulah yang
kemudian menjadi dimensi verifikasi faktual yang
ditetapkan dalam perundangan tersebut menjadi
salah kaprah dengan verifikasi administratif
dalam peraturan tersebut. Maka sangatlah benar
keputusan MK untuk meminta semua partai politik
untuk diverifikasi ulang baik dari segi legalitas
maupun administratif untuk menghindari adanya
konflik kepentingan dalam aturan verifikasi dan
menghadirkan adanya keadilan yang berimbang di
antara semua partai politik. Selain itu pula, aturan
Pasal 8 ayat (1) maupun ayat (2) sebenarnya jika
IV. SIMPULAN
Berdasarkan uraian dan hasil analisis
sebelumnya, maka dapat dirumuskan beberapa
kesimpulan terkait Putusan Nomor 52/PUUX/2012 sebagai berikut:
1.
Pengedepanan prinsip afirmatif yang
dilakukan MK dalam putusannya terletak
pada mensinergiskan antara verifikasi
faktual dan administratif dengan verifikasi
legalitas. Verfikasi legalitas tersebut
dihasilkan melalui komparasi Pasal 8
dalam UU No. 8 Tahun 2012 dengan UU
No. 10 Tahun 2012 di mana terindikasi
bahwa keikutsertaan partai politik dalam
pemilu terlebih dahulu dilihat dari struktur
administratifnya baru kemudian diukur
jumlah suara sah nasional. Hal tersebut
tentu saja menciderai prinsip kesetaraan jika
perolehan suara sah nasional dalam wujud
parliamentary threshold terlebih dahulu
sehingga akan mematikan potensi partai
Menuju Sistem Pemilu dengan Ambang Batas Parlemen yang Afirmatif (Wasisto Raharjo Jati)
| 157
2.
politik non parlemen untuk masuk ke arena
Jurnal Legislasi Indonesia, 5(1), 90-100.
legislatif maupun eksekutif. Implementasi
Asshiddiqie, Jimly. 2007. Hukum Tata Negara
kebijakan verifikasi ulang bagi semua
Indonesia Pasca Reformasi. Jakarta:
partai politik juga merupakan manifestasi
Bhuana Ilmu Populer.
riil prinsip afirmatif yang dipegang MK
bahwa pengenaan verifikasi ulang bagi Dhurorudin, Mashad. 1998. Reformasi Sistem
Pemilu & Peran Sospol ABRI. Jakarta: PT
semua partai untuk memperlihatkan adanya
Gramedia.
transparansi dan akuntabilitas dalam proses
keikutsertaan partai dalam pemilu.
Gaffar, Affan 2006. Politik Indonesia : Transisi
Menuju
Demokratisasi.
Yogyakarta:
Dimensi keterwakilan dalam putusan MK
Pustaka Pelajar.
ini bisa disimak adanya peluang bagi partai
politik non parlemen untuk maju dalam
pemilu jika memenuhi persyaratan yang
berlaku. Adanya partai non parlemen dalam
pemilu mendatang tentu akan memenuhi
rasa keadilan bagi warga negara dengan
adanya kebebasan menyalurkan suara di luar
partai parlemen sebagai pilihan alternatif.
Keterwakilan partai politik non parlemen
tentu akan menyehatkan kontestasi antar
partai menjadi lebih kompetitif dan
seimbang. Hal tersebut juga untuk menepis
adanya kartelisasi maupun oligarki partai
politik jika hanya partai politik parlemen
saja yang lolos, sementara partai non
parlemen tidak lolos sehingga dinilai akan
menciderai prinsip demokrasi multipartai
yang dianut dalam demokrasi Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
IDEA. 2002. Standar-standar Internasional untuk
Pemilihan Umum. Swedia: Halmstead.
Kartawidjaya, Pipit. 2007. Akal-akalan Daerah
Pemilihan. Jakarta: Perludem.
Mahkamah Konstitusi. 2012. Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 52/PUU-X/2012. Jakarta:
Kepaniteraan MK RI.
Marsono. 1996. Pemilihan Umum 1997:
Pedoman, Peraturan, dan Pelaksanaan.
Jakarta: Penerbit Djambatan.
Mellaz,August & Didik Supriyanto. 2011. Ambang
Batas Perwakilan. Jakarta: Kemitraan.
Mellaz, August. 2012. “Ambang Batas Tanpa
Batas.” Akses 20 Mei 2013. < http://www.
rumahpemilu.org/read/360/AmbangBatas-Tanpa-Batas-Oleh-August-Mellaz>.
Nadjib, Muhammad. Eds. 2005. Pemilu 2004
dan Implementasi Demokrasi. Yogyakarta:
KPU Provinsi DIY.
Abdi, Mualimin. 2012. Kewajiban Verifikasi
Pamungkas, Sigit. 2009. Perihal Pemilu.
Parpol
Pasca
Putusan
Mahkamah
Yogyakarta: Laboratorium Jurusan Ilmu
KonstitusiNomor 52/PUU-X/2012. Jurnal
Pemerintahan Fisipol UGM.
Legislasi Indonesia, 9(4), 535-546.
Prihatmoko, Joko. 2008. Mendemokratiskan
Abidin, Zainal. 2010. Penyederhanaan Partai
Pemilu. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
dalam Sistem Multi Partai: Tidak Konsisten.
158 |
Jurnal Yudisial Vol. 6 No. 2 Agustus 2013: 143 - 158
PERGESERAN WEWENANG PERADILAN TATA USAHA
NEGARA ATAS PENETAPAN PARPOL PESERTA PEMILU
Kajian Putusan PTTUN Jakarta Nomor 25/G/2013/PT.TUN.JKT
The Shifting of Authority
in the Administrative Court on the Determination
of Political Parties Elections Participants
An Analysis of Jakarta Administrative Court’s Decision Number 25/G/2013/PT.TUN.JKT
W. Riawan Tjandra
Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta
Jl. Mrican Baru No. 28 Yogyakarta
Email: [email protected]
Diterima tgl 12 Mei 2013/Disetujui tgl 15 Juli 2013
ABSTRAK
menguji substansi UU Pemilu sebagai peraturan
Penyelesaian sengketa tata usaha negara pemilu
dasarnya terkait limitasi waktu gugatan sengketa
dalam Putusan PT TUN Jakarta Nomor 25/G/2013/
tata usaha negara pemilu. Tidak dipenuhinya secara
PT.TUN.JKT
Keadilan
maksimal standar pengujian berdasarkan kebenaran
dan Persatuan Indonesia (PKPI) menimbulkan
material dalam sistem peradilan tata usaha negara
problematik tereotis dalam teori hukum acara
telah membawa putusan PT TUN Jakarta tidak
peradilan tata usaha negara. PKPI adalah salah
mampu mewujudkan tujuan peradilan tata usaha
satu partai baru yang didirikan oleh S yang dalam
negara secara optimal. Tujuan tersebut adalah
verifikasi partai politik yang dilakukan oleh KPU
untuk memberikan keadilan administratif secara
yang sempat dinyatakan tidak lolos sebagai peserta
substantif dalam penyelesaian sengketa tata usaha
Pemilu 2014. Problematik secara teoretis tersebut
negara berdasarkan kebenaran material.
terlihat dari konsiderasi putusan PT TUN Jakarta
Kata kunci: pemilihan umum, keputusan tata usaha
yang melakukan penggeseran wewenang peradilan
negara, peradilan tata usaha negara.
atas
Gugatan
Partai
tata usaha negara secara generik yang diatur dalam
UU No. 5 Tahun 1986 jis UU No. 9 Tahun 2004
Abstract
dan UU No. 51 Tahun 2009 yang membatasi
The settlement of the administrative legal dispute
secara restriktif kewenangan peradilan tata usaha
on general election as issued in the decision of the
negara untuk menguji legalitas Keputusan Tata
Administrative High Court (PT TUN) of Jakarta
Usaha Negara baik yang bersifat positif maupun
Number 25/G/2013/PT.TUN.JKT has resulted in
fiktif-negatif menjadi tindakan faktual pejabat
a theoretical problem in terms of administrative
tata usaha negara. Di sisi lain, substansi putusan
procedural law. The legal dispute was initiated
PT TUN Jakarta tersebut juga terkesan justru
by PKPI, a newly established political party
Pergeseran Wewenang Peradilan Tata Usaha Negara (W. Riawan Tjandra)
| 159
founded by former Jakarta’s Governor, Sutiyoso
of the decision also seems review the substance of
soon after it failed to run in the 2014 legislative
the Election Law as the basic rules regarding time
race. The theoretical problem can be observed in
limitations on administrative dispute lawsuit. As
the PT TUN’s ruling consideration which makes
the review did not meet the examination standards
an authority shift in the Administrative Court
according to the Administrative Court system, the
generically, as regulated on Law Number 5 of
decision could not reached the optimum objectives
1986, Law Number 9 of 2004, and Law Number 51
set forth in the due process of law. These objectives
of 2009 that restrictively set the authority limit of
are to substantially obtain the administrative justice
the Administrative Court to examine the legality of
in settling any administrative legal dispute based
either positive administrative decision or fictive-
on material truths.
negative one to become a factual action of the
Keywords:
government official. On the other side, the substance
I.
PENDAHULUAN
Putusan PT TUN Jakarta Nomor 25/G/2013/
PT.TUN.JKT atas Gugatan PKPI ternyata justru
memicu timbulnya problematika atas konsiderasi
dan vonis yang diputuskan di dalamnya. Putusan
PT TUN tersebut hadir dan menambahkan
kerumitan dalam kajian hukum acara peradilan
tata usaha negara karena persinggungan antara
persoalan pemilu dengan hukum administrasi
negara yang dibuka oleh Pasal 269 ayat (1) UU
No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum
Anggota DPR, DPD dan DPRD (UU Pemilu)
yang mangatur bahwa pengajuan gugatan atas
sengketa tata usaha negara pemilu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 268 ke pengadilan tinggi
tata usaha negara dilakukan setelah seluruh upaya
administratif di Bawaslu sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 259 ayat (2) telah digunakan.
Putusan PT TUN Jakarta Nomor
25/G/2013/PT.TUN.JKT
jika
dicermati
menunjukkan beberapa kejanggalan yaitu antara
lain: terjadi penggeseran wewenang peradilan
tata usaha negara yang dalam UU Peradilan TUN
kewenangan pokoknya adalah menilai legalitas
suatu KTUN dalam putusan Nomor 25/G/2013/
160 |
general
elections,
administrative
decision, administrative court.
PT.TUN.JKT justru menilai tindakan faktual
KPU, pengujian hakim yang dilakukan justru
terhadap peraturan dasarnya (UU Pemilu) bukan
KTUN yang diterbitkan KPU atas dasar UU
Pemilu dalam verifikasi parpol dan perluasan
tenggang waktu gugatan yang bertentangan
dengan kriteria tenggang waktu menggugat
dalam UU Pemilu.
Lahirnya sengketa tata usaha negara
pemilu yang diputuskan melalui putusan PT
TUN Jakarta Nomor 25/G/2013/PT.TUN.JKT
disebabkan karena PKPI tidak bersedia menerima
tindakan KPU yang menurut PKPI tidak bersedia
melaksanakan Keputusan Bawaslu Nomor 012/
SP-2/Set.Bawaslu/I/2013. Sementara, tindakan
KPU untuk tidak melaksanakan Keputusan
Bawaslu tersebut menurut versi KPU adalah
karena adanya perbedaan penilaian terkait
keterangan KPU Provinsi, bukti-bukti yang
disampaikan dalam sidang ajudikasi, dan ruang
lingkup tugas Bawaslu yang tidak memiliki
wewenang untuk menguji Peraturan KPU
terhadap norma UU, berdasarkan ketentuan
Pasal 8 ayat (2), Pasal 259 ayat (1) dan ayat
(4) UU Nomor 8 Tahun 2012. Hal itu terlihat
dari beberapa pertimbangan putusan PT TUN
Jurnal Yudisial Vol. 6 No. 2 Agustus 2013: 159 - 172
Jakarta Nomor 25/G/2013/PT.TUN.JKT yang di
antaranya menyebutkan:
Menimbang bahwa setelah majelis hakim
mencermati peraturan perundang-undangan
yang mengatur penyelenggaraan pemilu,
tidak satu pasalpun yang memberikan
kewenangan kepada KPU untuk menguji
atau mengingkari keputusan Bawaslu, dan
atau tidak satu pasalpun yang tersirat yang
memberikan kewenangan kepada KPU
untuk menguji keputusan Bawaslu. Baik
menurut UU Nomor 15 Tahun 2011 tentang
Penyelenggaraan Pemilu, UU Nomor
8 Tahun 2012, baik dalam peraturanperaturan KPU yang dibuat sendiri sebagai
pelaksanaan dari UU Nomor 8 Tahun
2012, maupun peraturan-peraturan yang
dibuat Bawaslu serta Peraturan Keputusan
Bersama antara KPU, Bawaslu berupa
Kode Etik Penyelenggara Pemilu, tidak
satupun yang mengatur yang memberikan
kewenangan kepada KPU untuk menguji
keberadaan keputusan Bawaslu;
Menimbang, bahwa sarana atau upaya
yang diberikan peraturan perundangundangan untuk mengubah keputusan
KPU terhadap penyelesaian suatu sengketa
pemilu telah diatur dan ditetapkan
dalam Undang-Undang, Peraturan KPU,
Peraturan Bawaslu, Peraturan DKPP yaitu
melalui keputusan Bawaslu atau Putusan
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara atau
Putusan Mahkamah Agung sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 259 ayat (3) dan
ayat (3) serta Pasal 269 UU Nomor 8
Tahun 2012, sebagaimana dibenarkan oleh
tergugat dalam Surat Keputusan Nomor 05/
Kpts/KPU/Tahun 2013 tanggal 8 Januari
2013.
Ditinjau dari teori hukum administrasi
negara, sebenarnya kedudukan dari Komisi
Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas
Pemilu (Bawaslu) harus ditempatkan sebagai
suatu lembaga ektra struktural (state auxiliaries
agency) dalam kerangka hukum tata negara.
Hal ini berarti kedudukan dari para komisioner
di kedua komisi tersebut harus dilihat sebagai
pejabat negara, bukan sebagai pejabat tata usaha
negara di lingkungan pemerintah (bestuur).
UU No. 8 Tahun 2012 yang memperluas
kompetensi peradilan tata usaha negara dengan
mengatribusikan sengketa TUN pemilu ke
dalam kompetensinya sebenarnya mengubah
paradigma mengenai konsep ruang lingkup
kewenangan pemerintah (bestuur) dalam Teori
Hukum Administrasi Negara.
Hal itu telah membawa institusi peradilan
tata usaha negara untuk memasuki wilayah
pengujian yang sebenarnya ada di ranah hukum
tata negara. Selain itu, subjek yang terkait
dengan kewenangan penetapan sengketa pemilu
yang pada hakikatnya adalah pejabat negara dan
bukan pejabat tata usaha negara telah menggeser
kewenangan peradilan tata usaha negara untuk
menguji keputusan pejabat negara yang berada di
ranah hukum tata negara, bukan lagi keputusan
tata usaha negara yang dikeluarkan oleh badan
atau pejabat tata usaha negara yang menjadi
kewenangan generik peradilan tata usaha negara
dalam UU Peradilan Tata Usaha Negara.
Tulisan ini ini akan menganalisis substansi
putusan PT TUN Jakarta tersebut melalui metode
pendekatan contain analysis dengan mendasarkan
pada teori-teori hukum acara peradilan tata usaha
negara dan hukum administrasi negara guna
mencermati logika hukum yang dikonstruksi
dalam putusan PT TUN tersebut.
Pergeseran Wewenang Peradilan Tata Usaha Negara (W. Riawan Tjandra)
| 161
II.
RUMUSAN MASALAH
dengan pemerintahan umum (het bestuursrecht
kan worden omschreven als de regles (van het
Berdasarkan latar belakang sebagaimana
publiekrecht) welke betrekking hebben op het
diuraikan di atas, rumusan masalah dalam tulisan
(openbaar) bestuur).
ini adalah bagaimana terjadinya pergeseran
wewenang peradilan tata usaha negara yang
Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut
terdapat dalam putusan PT TUN Jakarta Nomor di atas dapat disimpulkan bahwa ruang lingkup
25/G/2013/PT.TUN.JKT atas Gugatan PKPI dari kewenangan pemerintah (bestuur) dapat
sebagai pengujian atas sengketa tata usaha dipergunakan teori residu, yaitu lapangan
negara pemilu sebagaimana diatur dalam UU No. pekerjaan negara yang tidak termasuk pembuatan
8 Tahun 2012 tentang Pemilu berdasarkan teori undang-undang (regelgeving) dan peradilan
hukum acara peradilan tata usaha negara jika (rechtspraak) (Hadjon, 1993: 4). Ruang lingkup
ditinjau dari empat aspek berikut: (1) limitasi pekerjaan pemerintah (bestuur) tersebut yang
tenggang waktu; (2) objek sengketa; (3) subjek pada hakikatnya menjadi kompetensi absolut
tergugat dan (4) kebenaran material?
dari peradilan tata usaha negara. Hal itu dapat
dibandingkan dengan studi komparasi terhadap
kompetensi dan sistem pengujian lembagaIII. STUDI PUSTAKA DAN ANALISIS
lembaga peradilan tata usaha negara di Jerman,
A. Studi Pustaka
Perancis dan Belanda yang dilakukan oleh
1. Tinjauan Teori mengenai Kewenangan Seerden dan Stroink (2002) yang pada prinsipnya
menunjukkan bahwa kewenangan pengujian
Peradilan Tata Usaha Negara
lembaga peradilan tata usaha negara di negaraTinjauan secara teoretis mengenai negara tersebut adalah Keputusan Tata Usaha
kewenangan peradilan tata usaha negara harus Negara di lingkungan pemerintah (bestuur) dalam
dikaitkan dengan ruang lingkup dari kewenangan lingkup Hukum Administrasi Negara (Tjandra,
pemerintah (bestuur) dalam Teori Hukum 2012: 25-35).
Administrasi Negara. Groves dan Lee (2007: 1)
Berkaitan
dengan
ruang
lingkup
menyatakan bahwa “administrative law might
simply mean a part of public law that do not kewenangan peradilan administrasi, di awal
include constitutional law.” Pendapat itu senada pembentukan peradilan administrasi di Belanda
dengan ruang lingkup hukum administrasi negara sempat timbul perbedaan mengenai ruang lingkup
(bestuursrecht) sebagaimana dikemukakan oleh kewenangan (kompetensi absolut) peradilan
Goede (1986: 20) yang menyatakan bahwa hukum administrasi (Kunnecke, 2007: 11-13). Thorbecke
administrasi negara meliputi keseluruhan peraturan berpendapat bahwa sebaiknya kewenangan
yang berkaitan dengan penyelenggaraan fungsi peradilan administrasi ditentukan berdasarkan
pemerintah (het geheel van regels betreffende letak pokok sengketanya (fundamentum petendi)
het besturen). Demikian juga Versteden (1984: 4) dalam lapangan hukum publik (kompetensi
pernah mengutarakan bahwa hukum administrasi luas peradilan administrasi). Pendapat tersebut
dapat diuraikan sebagai peraturan-peraturan yang disangkal oleh Buys yang cenderung memperluas
terdapat dalam hukum publik yang berkaitan kompetensi absolut peradilan umum dengan
menyatakan bahwa walaupun pokok dalam
162 |
Jurnal Yudisial Vol. 6 No. 2 Agustus 2013: 159 - 172
perselisihannya (objectum litis) terletak di
lapangan hukum publik, bila yang dirugikan
adalah hak privat seseorang atau badan hukum
perdata yang merasa perlu menuntut ganti
rugi, maka kewenangan tersebut terletak pada
peradilan umum (kompetensi sempit peradilan
administrasi).
dalam lagi dari sisi keilmuan hukum: Apakah tepat
analogi yang menyamakan penyelesaian sengketa
kepegawaian (upaya banding administratif)
dengan sengketa TUN pemilu tersebut? Apakah
interpretasi ekstensif yang memperluas pengertian
“badan atau pejabat TUN” dalam Pasal 1 angka (8)
UU No. 51 Tahun 2009 sehingga menempatkan
Komisi Pemilihan Umum sebagai “badan atau
2. Posisi Peradilan Tata Usaha Negara
pejabat TUN” koheren dengan makna “urusan
dalam Sengketa TUN Pemilu
pemerintahan” (bestuurszaak) sebagaimana
Posisi peradilan tata usaha negara dalam yang dimaksud dalam Pasal 1 angka (3) dan
sengketa TUN pemilu oleh pembentuk UU ingin Penjelasan pasal tersebut dalam UU No. 5 Tahun
dikonstruksi melalui model yang sebangun dengan 1986? Kiranya problematika paradigmatik yang
sistem penyelesaian sengketa kepegawaian yang terjadi terkait putusan PT TUN Jakarta Nomor
mengintegrasikan penyelesaian sengketa melalui 25/G/2013/PT.TUN.JKT atas Gugatan PKPI
upaya administratif (administratieve beroep) tidak bisa dipisahkan dengan beberapa persoalan
yang merupakan derivat dari teori peradilan tersebut.
administrasi semu dengan proses penyelesaian
B. Analisis
di peradilan tata usaha negara (PT TUN)
Meskipun banyak hal yang kiranya bisa
yang merupakan derivat dari teori peradilan
ditelaah terkait putusan PT TUN Jakarta itu,
administrasi murni.
terhadap Putusan PT TUN Jakarta tersebut
Salah satu karakteristik penyelesaian
akan dianalisis dengan dibatasi pada 4 (empat)
sengketa TUN melalui peradilan administrasi
aspek yang dianggap penting, yaitu: 1. limitasi
semu adalah ruang lingkup pengujiannya yang
tenggang waktu gugatan; 2. objek sengketa
meliputi aspek doelmatigheid (pertimbangan
TUN yang diuji; 3. konsiderasi Putusan PT TUN
kebijaksanaan dalam penetapan) dan aspek
Jakarta Nomor 25/G/2013/PT.TUN.JKT terkait
rechtsmatigheid (pertimbangan legalitas) dengan
subjek tergugat (KPU) dan 4. upaya mengungkap
kewenangan yang dapat meliputi kewenangan
kebenaran material (materiele waarheid) dalam
untuk mengonversi KTUN (beschikking) maupun
pemeriksaan sengketa TUN tersebut.
menganulasi KTUN objek sengketa. Ruang
lingkup pengujian dan kewenangan penyelesaian 1. Limitasi tengggang waktu gugatan
sengketa TUN melalui upaya administratif
Majelis hakim tinggi PT TUN Jakarta
tersebut lebih luas dibandingkan yang dimiliki
dalam salah satu konsiderasi putusannya (hlm.
oleh peradilan TUN yang hanya memiliki ruang
144) setelah diawali dengan beberapa konsiderasi
lingkup pengujian dari segi rechtsmatigheid dan
hukum terkait hal tersebut sebelumnya, akhirnya
kewenangan untuk menganulasi suatu KTUN.
sampai pada pertimbangan hukum dengan
Dalam konteks pengaturan kewenangan menyatakan bahwa menurut “hemat majelis
penyelesaian sengketa TUN Pemilu dalam UU hakim oleh karena sikap dan tindakan KPU yang
No. 8 Tahun 2012 tersebut perlu dielaborasi lebih tidak melaksanakan Keputusan Bawaslu Nomor
Pergeseran Wewenang Peradilan Tata Usaha Negara (W. Riawan Tjandra)
| 163
012/SP-2/Set.Bawaslu/I/2013 masih seputar
penyelesaian sengketa pemilu, serta dengan tidak
ada norma yang mengatur tenggang-tenggang
waktu pengajuan gugatan, maka menurut hemat
majelis pengajuan gugatan terhadap tindakan
yang sedemikian dapat diajukan kapan saja
kepada pengadilan tinggi tata usaha negara yang
berwenang untuk itu”.
Logika hukum dalam pertimbangan hukum
sebagaimana yang dikemukakan majelis hakim
PT TUN tersebut (justru) kiranya menimbulkan
kerancuan antara kewenangan pengujian hakim
TUN yang dalam UU PTUN seharusnya hanya
dilakukan terhadap suatu KTUN (beschikking)
vide Pasal 1 angka (3) UU No. 5 Tahun 1986
jo. Pasal 1 angka (9) UU No. 51 Tahun 2009
dengan uji material terhadap norma hukum
undang-undang. Majelis hakim PT TUN dengan
rangkaian konsiderasi yang dikemukakan dalam
pertimbangan hukum putusan tersebut justru
mengarah pada pengujian terhadap rumusan
Pasal 269 ayat (2) UU No. 8 Tahun 2012 yang
secara eksplisit telah menegaskan bahwa
pengajuan gugatan atas sengketa tata usaha
negara pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan paling lama 3 (tiga) hari kerja
setelah dikeluarkannya Keputusan Bawaslu.
limitasi tenggang waktu sebagaimana dimaksud
pada Pasal 269 ayat (2) UU No. 8 Tahun 2012
hanya dimungkinkan dalam rangka Pasal 269 ayat
(3), yaitu guna perbaikan gugatan setelah gugatan
didaftarkan di PT TUN yang menyatakan bahwa
“dalam hal pengajuan gugatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) kurang lengkap,
penggugat dapat memperbaiki dan melengkapi
gugatan paling lama 3 (tiga) hari kerja sejak
diterimanya gugatan oleh pengadilan tinggi tata
usaha negara.”
2.
Objek sengketa TUN yang diuji
Sehubungan dengan objek sengketa yang
diuji dalam sengketa TUN pemilu seharusnya
secara yuridis diikuti kompetensi absolut PT
TUN sebagaimana diatur pada Pasal 268 ayat
(1) UU No. 8 Tahun 2012 yang menyebutkan
bahwa sengketa tata usaha negara pemilu adalah
sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha
negara pemilu antara calon anggota DPR, DPD,
DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, atau
partai politik calon peserta pemilu dengan KPU,
KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota sebagai
akibat dikeluarkannya keputusan KPU, KPU
Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota.
Sebenarnya, majelis hakim tinggi PT TUN
Jakarta dalam sengketa TUN tersebut telah
Mencermati logika hukum konsiderasi
berupaya mengidentifikasi objek sengketa dalam
putusan tersebut tidak salah jika banyak pihak
perkara Nomor 25/G/2013/PT.TUN.JKT melalui
sampai pada asumsi bahwa majelis hakim tinggi
pertimbangan hukumnya dengan membuat tabel
PT TUN Jakarta dalam kasus tersebut telah
komparasi objek sengketa TUN berdasarkan UU
bertindak melampaui kewenangan (abuse of
PTUN dan UU No. 8 Tahun 2012 sebagaimana
power) dalam memutuskan mengenai tenggang
diuraikan pada halaman 139-140 putusan PT
waktu pengajuan gugatan di PT TUN dalam
TUN Jakarta.
sengketa TUN pemilu sebagaimana secara tegas
telah ditentukan dalam Pasal 269 ayat (2) UU No.
Berdasarkan tabel di bawah ini dapat
8 Tahun 2012 sebagai lex specialis dari limitasi dicermati bahwa pertama definisi sengketa tata
tenggang waktu pengajuan gugatan vide Pasal 55 usaha negara yang diatur dalam UU No. 8 Tahun
UU No. 5 Tahun 1986 (90 hari). Perpanjangan 2012 telah memperluas subjek dan objek yang
164 |
Jurnal Yudisial Vol. 6 No. 2 Agustus 2013: 159 - 172
PERBEDAAN
UU Nomor 51 Tahun 2009
UU Nomor 8 Tahun 2012
Pengertian sengketa:
Pengertian sengketa:
Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa
yang timbul dalam bidang tata usaha negara
antara orang atau badan hukum perdata dengan
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik
di pusat maupun di daerah, sebagai akibat
dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara,
termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sengketa Pemilu adalah sengketa yang terjadi
antara peserta pemilu dengan penyelenggara
pemilu sebagai akibat dikeluarkannya keputusan
KPU, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota.
Surat keputusan bersifat individual dan final.
Surat keputusan tidak bersifat individual dan
final.
Subjek hukum:
Subjek hukum:
Penggugat adalah seseorang atau badan hukum
perdata;
Penggugat adalah organisasi
(Ormas) partai politik;
Tergugat adalah badan atau Pejabat Tata
Usaha Negara sebagai akibat dikeluarkannya
Keputusan Tata Usaha Negara.
Tergugat adalah KPU (khusus sengketa
pemilu mengenai verifikasi partai politik dan
pencoretan dari daftar tetap anggota DPR, DPD
dan DPRD).
Objek sengketa:
Objek sengketa:
Keputusan Tata Usaha Negara yang tertulis
yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata
Usaha Negara yang berisi tindakan hukum
tata usaha negara yang berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, yang
bersifat konkrit, individual dan final, yang
menimbulkan akibat hukum bagi seseorang
atau badan hukum perdata;
Surat Keputusan KPU yang berkaitan dengan
verifikasi partai politik peserta pemilu dan
daftar calon tetap anggota DPR, DPD, DPRD
Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota, meskipun
telah melalui banding administratif di Bawaslu;
masyarakat
Tindakan faktual (materiel daad).
Tidak termasuk tindakan faktual (materiel
daad).
Tenggang waktu pengajuan gugatan 90 hari
sejak diberitahukannya atau sejak diterimanya
atau sejak mengetahui.
Tenggang waktu mengajukan gugatan 3 (tiga)
hari kerja sejak keputusan Bawaslu.
Pergeseran Wewenang Peradilan Tata Usaha Negara (W. Riawan Tjandra)
| 165
lazimnya yang menjadi kriteria penentu kompetensi
absolut peradilan tata usaha negara. Kedua, karakter
individual dan final yang lazimnya melekat pada
unsur KTUN telah diubah dalam UU No. 8 Tahun
2012. Ketiga, terjadi perluasan kriteria penggugat
dalam UU No. 8 Tahun 2012 yang menjadi lex
specialis dari keharusan subjek penggugat adalah
orang atau badan hukum perdata sebagaimana
diatur dalam UU Peradilan TUN. Demikian juga
penempatan KPU sebagai subjek tergugat telah
memperluas makna tergugat yang lazimnya adalah
hanya badan atau pejabat TUN (bestuur). Dan
keempat, penyempitan tenggang waktu gugatan
menjadi hanya maksimal 3 (tiga) hari kerja sejak
adanya putusan Bawaslu yang mengubah jangka
waktu 90 hari sebagaimana diatur pada Pasal
55 UU Peradilan TUN. Identifikasi perbedaanperbedaan UU No. 8 Tahun 2012 dengan UU
Peradilan TUN oleh majelis hakim sebenarnya
sudah mencerminkan perbedaan yuridis antara
kedua undang-undang tersebut, namun majelis
hakim yang mengidentifikasi adanya tindakan
materiil sebagai salah satu karakter dari objek
sengketa TUN berdasarkan UU No. 8 Tahun
2012 menurut penulis merupakan kesimpulan
yang terlalu jauh yang justru telah menggeser
terlalu jauh batas kompetensi absolut peradilan
TUN yang hanya dibatasi untuk menguji tindakan
hukum administrasi dalam bentuk penetapan.
Hal itulah yang sebenarnya menjadi awal dari
problematika yang timbul dalam putusan PT TUN
Jakarta tersebut.
di atas dengan demikian Pengadilan Tinggi Tata
Usaha Negara berwenang untuk memeriksa
sengketa pemilu dalam bentuk perbuatan
faktual, faitelijk handeling, materieldaad yang
dilakukan KPU.” Tidak mengherankan, jika
kemudian majelis hakim tinggi PT TUN dalam
diktum/amar putusannya sampai pada salah
satu diktum yang “menyatakan tindakan KPU
(tergugat) yang tidak melaksanakan Keputusan
Bawaslu Nomor 012/SP-2/Set.Bawaslu/I/2013
tanggal 5 Februari 2013 merupakan perbuatan
melawan hukum.” Rumusan semacam itu
lazimnya hanya terdapat dalam sengketa perdata
dalam rangka onrechtmatig overdheidsdaad
(OOD) dan tidak tepat jika digunakan untuk
mengualifikasikan tindakan tergugat dalam
sengketa tata usaha negara, karena tidak
konsisten dengan kompetensi absolut peradilan
TUN sebagaimana diatur dalam Pasal 53 ayat (1)
UU No. 5 Tahun 1986 yang merupakan derivat
dari hakikat kewenangan peradilan TUN dalam
teori hukum acara peradilan TUN sebagaimana
digunakan sebagai acuan dari konstruksi Pasal
268-269 UU No. 8 Tahun 2012.
Sebagai akibat ketidakjelasan dalam
penentuan objek sengketa TUN pemilu dalam
perkara No. 25/G/2013/PT.TUN.JKT tersebut,
majelis hakim tinggi PT TUN terkesan
menjadikan rancu objek pengujian sebagaimana
seharusnya yang telah digariskan dalam Pasal
268 ayat (1) UU No. 8 Tahun 2012 (keputusan
KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota)
dengan perbuatan material (materiele daad) KPU
yang oleh UU No. 8 Tahun 2012 maupun oleh
UU PTUN tidak pernah ditempatkan sebagai
kompetensi absolut dari PT TUN.
Namun,
setelah
melalui
beberapa
pertimbangan hukum sebelumnya, hal yang
kiranya tidak konsisten dengan hakikat
kewenangan peradilan TUN sebagaimana
dimaksud dalam UU PTUN adalah konsiderasi
Pembentuk UU PTUN memilih mendesain
yuridis majelis hakim tinggi PT TUN Jakarta
kompetensi absolut peradilan TUN yang kiranya
yang menyatakan bahwa “berdasarkan uraian
justru lebih sempit dibandingkan kompetensi
166 |
Jurnal Yudisial Vol. 6 No. 2 Agustus 2013: 159 - 172
absolut peradilan TUN dalam Teori Thorbecke
dan Buys di atas, dengan menentukan bahwa
sengketa TUN yang dapat diperiksa di PTUN
harus dikaitkan dengan adanya kerugian sebagai
akibat penetapan suatu KTUN (Pasal 1 angka
(3) jo Pasal 53 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1986).
Namun, terdapat pembatasan kompetensi absolut
PTUN sebagaimana diatur pada Pasal 2 dan
Pasal 49 UU No. 5 Tahun 1986. Memang, Pasal
3 UU No. 5 Tahun 1986 memperluas ruang
lingkup KTUN yang dapat diuji di peradilan
TUN, namun yang dimaksud adalah KTUN fiktif
penolakan penerbitan KTUN oleh badan atau
pejabat TUN, tidak mencakup perbuatan material
(materiele daad) badan atau pejabat TUN. Jika
dikaitkan dengan landasan teori sebagaimana
telah dikemukakan di atas, berdasarkan studi
komparasi terhadap kompetensi dan sistem
pengujian lembaga-lembaga peradilan tata usaha
negara di Jerman, Perancis dan Belanda yang
dilakukan oleh Seerden dan Stroink (2002) pada
prinsipnya menunjukkan bahwa kewenangan
pengujian lembaga peradilan tata usaha negara
di negara-negara tersebut adalah keputusan tata
usaha negara di lingkungan pemerintah (bestuur)
dalam lingkup Hukum Administrasi Negara.
Hal itu yang justru terlihat secara eksplit telah
dilanggar dalam putusan PT TUN Jakarta Nomor
25/G/2013/PT.TUN.JKT.
Ketidakjelasan dalam penentuan objek
sengketa TUN dalam perkara No. 25/G/2013/
PT.TUN.JKT sebagaimana terlihat dalam
pertimbangan putusan PT TUN Jakarta yang
terkesan berubah-ubah dan bahkan berbeda dengan
objek yang digugat oleh penggugat (Keputusan
KPU Nomor 05/Kpts/KPU/Tahun 2013 tentang
Penetapan Partai Politik Peserta Pemilu Tahun
2014), menimbulkan penilaian bahwa PT TUN
Jakarta bukan saja telah melakukan ultra petita,
namun telah memutuskan sengketa atas objek
sengketa yang kabur. Ada beberapa pertimbangan
yang diarahkan atas objek sengketa yang berbedabeda yang dimunculkan oleh majelis hakim tinggi
TUN dalam pertimbangan yang tidak muncul
di awal gugatan penggugat, yaitu: tindakan
tergugat yang tidak melaksanakan Keputusan
Bawaslu Nomor 012/SP-2/Set.Bawaslu/I/2013
tanggal 5 Februari 2013, Surat Nomor 94/KPU/
II/2013 tanggal 11 Februari 2013, Keputusan
KPU Nomor 05/Kpts/KPU/Tahun 2013 tentang
Penetapan Partai Politik Peserta Pemilu Tahun
2014 dan bahkan timbul penilaian majelis hakim
tinggi PT TUN Jakarta dalam perkara tersebut
membuat konsiderasi hukum yang mengarah
pada uji material sebuah undang-undang. Hal
itu terlihat dari salah satu pertimbangan hukum
majelis hakim tinggi PT TUN Jakarta halaman
116 yang menyatakan:
“Menimbang, bahwa menurut hemat majelis
hakim maksud kata perasa “keputusan
Bawaslu merupakan keputusan akhir” dan
“mengikat”, “kecuali keputusan terhadap
sengketa Pemilu” yang terdapat dalam
Pasal 259 ayat (1) adalah semua keputusan
Bawaslu tentang penyelesaian sengketa
pemilu “tidak tak terkecuali” termasuk
berkaitan dengan verifikasi partai politik
peserta pemilu dan daftar calon tetap
anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan
DPRD merupakan keputusan yang terakhir
(final) dengan catan “apabila” keputusan
Bawaslu tersebut diterima oleh para pihak
yang bersengketa atau dengan lewatnya
tenggang waktu yang tersedia untuk
mengajukan gugatan kepada pengadilan
tinggi tata usaha negara, keputusan
Bawaslu tersebut menjadi keputusan yang
terakhir (final). Ketika keputusan Bawaslu
Pergeseran Wewenang Peradilan Tata Usaha Negara (W. Riawan Tjandra)
| 167
merupakan suatu keputusan yang terakhir
(final) maka keputusan Bawaslu menjadi
mengikat (binding) terhadap pemangku
yang
berkepentingan. Akan
tetapi
sebaliknya keputusan Bawaslu tersebut
belum yang terakhir (belum final) mana
kala para pihak tidak menerima keputusan
Bawaslu dengan diwujudkan pengajuan
gugatan tertulis kepada pengadilan tinggi
tata usaha negara. Dengan diajukannya
gugatan kepada pengadilan tinggi tata
usaha negara maka keputusan Bawaslu
tersebut belum mengikat atau belum yang
terakhir atau belum final karena masih ada
pihak-pihak yang mengajukan gugatan
kepada pengadilan tinggi tata usaha
negara. Demikian juga untuk seterusnya,
putusan pengadilan tinggi tata usaha negara
merupakan keputusan yang terakhir mana
kala putusan tersebut diterima dengan
baik oleh para pihak atau para pihak tidak
mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung
dalam tenggang waktu yang diberikan
undang-undang,
sehingga
putusan
pengadilan tinggi menjadi mengikat
(binding).”
dalam penyelesaian sengketa TUN adalah
untuk menguji Keputusan TUN (beschikking)
sebagai wujud tindakan tata usaha negara yang
dilakukan badan atau pejabat TUN. Hal itu dapat
disimpulkan dari rumusan Pasal 1 angka (4) UU
No. 5 Tahun 1986 jo Pasal 1 angka (10) UU No.
51 Tahun 2009, Pasal 47 UU No. 5 Tahun 1986
dan Pasal 53 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1986. Jika
mencermati pertimbangan hukum putusan majelis
hakim tinggi PT TUN Jakarta pada halaman 133134 terlihat justru diarahkan kepada penilaian
(subjektif?) majelis hakim tinggi TUN PT TUN
Jakarta terhadap subjek tergugatnya, bukan lagi
sesuai dengan hakikat kewenangan peradilan
TUN di atas yang seharusnya mengacu secara
objektif terhadap tindakan hukum TUN tergugat
yang dituangkan dalam beschikking. Hal itu dapat
dilihat dari beberapa pertimbangan majelis hakim
tinggi TUN berikut:
Logika hukum dalam pertimbangan hukum putusan tersebut justru sulit disangkal bahwa telah
melakukan pengujian material secara vertikal ke
atas, yaitu justru turut menguji rumusan normatif
suatu ketentuan undang-undang (UU No. 8
Tahun 2012). Bukankah ini berarti majelis hakim
tinggi PT TUN Jakarta dalam perkara tersebut
telah menggunakan “pedang bermata dua” yang
menguji ke bawah (KTUN) dan sekaligus menguji
ke atas (peraturan dasar dari suatu KTUN)?
3.
Subjek tergugat KPU
Hakikat
168 |
kewenangan
peradilan
TUN
Menimbang, bahwa KPU merupakan
representatif dari sekian negarawan
sehingga sikapnya haruslah menunjukkan
kenegarawanan,
bertindak
sesuai
dengan orang bijak (wise) tidak justru
mempertontonkan kepada khalayak ramai
(publik) perbuatan yang melawan hukum;
Menimbang, bahwa bila orang-orang
terpandang yang menjadi negarawan
mempertontonkan di depan umum
melakukan suatu pelanggaran hukum
(inkonsistensi terhadap negara hukum,
kepatuhan hukum, ketidakpastian hukum)
bagaimana mungkin rakyat (masyarakat)
bisa sadar hukum, justru sudah barang
tentu rakyat atau masyarakat ikutikutan mempertontontan perbuatan yang
melanggar hukum, sebab yang sepatutnya
dapat dijadikan sebagai anutan tidak lagi
dapat dipercaya sebagai anutan;
Jurnal Yudisial Vol. 6 No. 2 Agustus 2013: 159 - 172
Menimbang, bahwa agar negara ini
merupakan negara hukum yang sadar akan
hukum atau tertib hukum, penyelenggara
negara tidak terkecuali wajib menunjukkan
patuh perintah atas hukum dalam setiap
langkah yang dilakukan oleh penyelenggara
negara (negarawan) dilakukan secara
elegan mematuhi perintah-perintah yang
ditetapkan oleh hukum itu sendiri, jangan
arogansi sektoral atau primordial sesaat.
pemeriksaan yang sudah pernah dilakukan oleh
Bawaslu dan dituangkan dalam Keputusan
Sengketa Nomor Permohonan: 012/SP-2/Set.
Bawaslu/I/2013 tanpa terlihat ada upaya untuk
menggali lebih dalam persoalan utama yang
menjadi perbedaan pendapat antara temuan KPU
dan penilaian Bawaslu terkait hasil verifikasi
faktual terhadap PKPI. PT TUN menilai
kebenaran hasil pengambilan keputusan yang
dilakukan Bawaslu sudah valid (hanya) karena
dilakukan secara terbuka untuk umum, bukan
berdasarkan hasil pemeriksaan di persidangan
PT TUN berdasarkan alat-alat bukti yang diatur
dalam Pasal 100 UU No. 5 Tahun 1986 yang
bersifat oral maupun documentary untuk menguji
validitas hasil pemeriksaan Bawaslu yang justru
masih dipersoalkan oleh KPU (hlm. 124):
Mencermati beberapa bagian pertimbangan
hukum majelis hakim tinggi TUN tersebut tidak
salah jika ada yang menilai: (1) Telah terjadi
pergeseran penilaian majelis hakim tinggi TUN
yang seharusnya diarahkan pada objek sengketa
TUN yang disengketakan, namun dalam
pertimbangan hukum putusan tersebut justru
telah menilai kualitas (perilaku) dari subjek sengketa TUN yaitu (anggota-anggota) KPU
atau melakukan penilaian (baca: penghakiman
sepihak) atas diri para komisioner KPU-nya; (2)
Adanya nuansa emosionalitas dalam melakukan
penilaian yang semestinya tidak boleh tercermin
dalam pertimbangan hukum putusan pengadilan
yang seharusnya mengikuti asas-asas peradilan
yang baik sebagaimana dikemukakan oleh BWN
de Waard yang terdiri dari: decisie beginsel
(right to a decision), verdedigings beginsel (a
fair hearing), onpaartijdigheid beginsel (no
bias) dan motiverings beginsel (reasons and
argumentations of decision).
4.
Upaya mengungkap kebenaran material
(materiele waarheid) dalam pemeriksaan
sengketa TUN tersebut
Jika dicermati secara menyeluruh,
pertimbangan hukum hakim tinggi PT TUN
Jakarta dalam sengketa TUN tersebut terlihat
lebih mengandalkan secara mutlak hasil
Menimbang, bahwa oleh karena prosedur
pengambilan keputusan yang dilakukan
Bawaslu terhadap sengketa ajudikasi Nomor
012/SP- 2/Set.Bawaslu/I/2013 tanggal 5
Februari 2013 dilakukan secara terbuka
untuk umum, sehingga dengan demikian
pengujian yang dilakukan Bawaslu dalam
persidangan ajudikasi terhadap menerbitkan
keputusan Nomor 012/SP-2/Set.Bawaslu/
I/2013 tanggal 5 Februari 2012 merupakan
hasil proses kajian yang valid dan dapat
dipertanggungjawabkan secara hukum
baik kepada masyarakat dan pemangku
kepentingan lainnya.
Sebaliknya, berbagai temuan dari KPU
terkait tidak dipenuhinya syarat verifikasi parpol
oleh PKPI yang diajukan dalam jawaban tergugat
tidak diuji lebih mendalam. Padahal, keluarnya
Surat Nomor 94/KPU/II/2013 tanggal 11 Februari
2013 sudah diidentifikasi dalam pertimbangan
hukum Putusan PT TUN (hlm. 134) dengan
menyatakan:
Pergeseran Wewenang Peradilan Tata Usaha Negara (W. Riawan Tjandra)
| 169
Menimbang, bahwa tergugat dalam
suratnya Nomor 94/KPU/II/2013 tanggal
11 Februari 2013 menyatakan KPU
menghormati pelaksanaan tugas dan
wewenang Bawaslu dalam penyelesaian
sengketa pemilu, akan tetapi KPU tidak
dapat melaksanakan keputusan Bawaslu
Nomor
012/SP-2/Set.Bawaslu/I/2013
dengan alasan ada perbedaan penilaian
terhadap keterangan KPU Provinsi, buktibukti yang disampaikan dalam sidang
ajudikasi, dan ruang lingkup tugas Bawaslu
yang tidak memiliki wewenang untuk
menguji Peraturan KPU terhadap norma
UU, berdasarkan ketentuan Pasal 8 ayat (2),
Pasal 259 ayat (1) dan ayat (4) UU Nomor
8 Tahun 2012.
sama penyelenggara pemilu.
Majelis hakim PT TUN dengan konstruksi
pertimbangan hukum semacam itu kiranya
belum bisa mewujudkan kebenaran material
dalam penyelesaian sengketa TUN perkara No.
25/G/2013/PT.TUN.JKT. PT TUN tidak tuntas
dalam menyelesaikan perbedaan pendapat
antara Bawaslu dan KPU terkait tidak lolosnya
verifikasi PKPI dalam Keputusan KPU Nomor
05/Kpts/KPU/Tahun 2013 tentang Penetapan
Partai Politik Peserta Pemilu Tahun 2014. PT
TUN justru cenderung hanya menguatkan saja
Keputusan Bawaslu dalam Keputusan Sengketa
Nomor Permohonan: 012/SP-2/Set.Bawaslu/
I/2013. Bahkan, cukup mengherankan PT TUN
dalam pertimbangannya juga terlihat sempat
terlalu jauh menafsirkan kewenangan ultra petita
Dalam kedudukan PT TUN untuk menguji (meskipun tidak diakuinya sebagai ultra petita)
dari segi rechtsmatigheid objek sengketa TUN dengan menyatakan (hlm. 136):
berdasarkan kebenaran material, seharusnya
Menimbang, bahwa meskipun Penggugat
PT TUN berupaya untuk memeriksa kebenaran
dalam
petitum
gugatannya
masih
material argumentasi yuridis yang diajukan
mempermasalahkan
penerbitan
surat
dalam jawaban tergugat sesuai dengan asas audi
keputusan KPU 05/Kpts/KPU/Tahun 2013
et alteram partem. Namun, ternyata PT TUN,
tanggal 8 Januari 2013 akan tetapi menurut
justru melanjutkan pertimbangan hukumnya
hemat majelis karena dalam posita telah
dengan menyatakan (hlm. 135):
menggambarkan secara jelas maksud dari
Menimbang, bahwa menurut majelis hakim
yang di permasalahan Penggugat dalam
Bawaslu berwenang untuk menguji keadaan
perkara ini, maka yang menjadi objek sengketa
faktual yang terjadi di lapangan, perbedaan
dalam perkara ini adalah tentang ketidak
penilaian terhadap pembuktian antara penggugat
patuhan atau ketidak bersediaan Tergugat
dengan tergugat dalam sidang ajudikasi
melaksanakan surat Keputusan Bawaslu
merupakan kompetensi dari Bawaslu. Bawaslu
Nomor 012/SP-2/Set.Bawaslu/I/2013.
harus bertindak jujur dan adil dalam melakukan
Jadi, melihat logika pertimbangan hukum
penilaian pembuktian. Bawaslu tidak terikat
majelis hakim tinggi PT TUN di atas, seharusnya
kepada pembuktian formalistik yang diajukan
PT TUN menyadari bahwa masih ada keraguan
tergugat, bukti-bukti tersebut harus dikaji dan diuji
beralasan (beyond reasonable doubt) yang
secara komprehensif serta tidak memihak kepada
berdasarkan tujuan untuk menemukan kebenaran
salah satu pihak yang bersengketa, meskipun itu
material masih perlu digali lebih mendalam lagi
kolega atau rekan kerja dari Bawaslu yang sama170 |
Jurnal Yudisial Vol. 6 No. 2 Agustus 2013: 159 - 172
dalam perkara No. 25/G/2013/PT.TUN.JKT
tersebut. Cara berpikir semacam itu dalam logika
disebut dengan kekeliruan berpikir (fallacy),
(3) yaitu petitio principii (begging the question):
menganggap benar dan menggunakannya sebagai
premis justru kesimpulan yang masih harus
dibuktikan (Tjandra, 2011: 116).
IV. SIMPULAN
Berdasarkan kajian melalui pendekatan
contain analysis atas putusan PT TUN Jakarta
No. 25/G/2013/PT.TUN.JKT dapat disimpulkan
sebagai berikut:
PTUN tidak pernah ditempatkan sebagai
kompetensi absolut dari PT TUN;
Pertimbangan hukum putusan majelis
hakim tinggi PT TUN Jakarta pada halaman
133-134 terlihat justru diarahkan kepada
penilaian subjektif majelis hakim tinggi
TUN PT TUN Jakarta terhadap subjek
tergugatnya, bukan lagi sesuai dengan
hakikat kewenangan peradilan TUN di atas
yang seharusnya mengacu secara objektif
terhadap tindakan hukum TUN tergugat
yang dituangkan dalam beschikking;
(4) Kebenaran material (materiele waarheid)
yang seharusnya menjadi standar tujuan
(1) Mencermati logika hukum konsiderasi
dalam pengujian sengketa TUN belum
putusan tersebut tidak salah jika banyak
tewujud, bahkan dari logika pertimbangan
pihak sampai pada asumsi bahwa majelis
hukum yang disusun oleh majelis hakim
hakim tinggi PT TUN Jakarta dalam
PT TUN tersebut terlihat adanya fallacy
kasus tersebut telah bertindak melampaui
(kekeliruan berpikir) dalam bentuk petitio
kewenangan (abuse of power) dalam
principii (begging the question).
memutuskan mengenai tenggang waktu
pengajuan gugatan di PT TUN dalam
Perluasan interpretasi badan atau pejabat
sengketa TUN Pemilu sebagaimana secara
TUN yang meliputi KPU sebagai subjek sengketa
tegas telah ditentukan dalam Pasal 269
TUN oleh pembentuk UU No. 8 Tahun 2012 telah
ayat (2) UU No. 8 Tahun 2012 sebagai
menimbulkan kerumitan paradigmatik ditinjau
lex specialis dari limitasi tenggang waktu
dari teori hukum administrasi negara. Hal itu
pengajuan gugatan vide Pasal 55 UU No. 5
berimplikasi terhadap kerancuan dalam proses
Tahun 1986 (90 hari);
peradilan tata usaha negara sebagaimana terlihat
(2) Ketidakjelasan dalam penentuan objek dari penyelesaian perkara tersebut. Penyelesaian
sengketa TUN pemilu dalam perkara No. sengketa TUN pemilu dalam perkara tersebut
25/G/2013/PT.TUN.JKT tersebut, majelis telah mengindikasikan terjadinya pergeseran
hakim tinggi PT TUN terkesan menjadikan wewenang peradilan tata usaha negara dan adanya
rancu objek pengujian sebagaimana kelemahan kapasitas peradilan tata usaha negara
seharusnya yang telah digariskan dalam dalam merespons atribusi wewenang tambahan
Pasal 268 ayat (1) UU No. 8 Tahun 2012 dalam penyelesaian sengketa TUN pemilu terkait
(keputusan KPU, KPU Provinsi, dan verikasi parpol oleh KPU yang dalam teori hukum
KPU Kabupaten/Kota) dengan perbuatan administrasi negara sebagaimana diuraikan di
material (materiele daad) KPU yang oleh atas pada hakikatnya berada di luar wewenang
UU No. 8 Tahun 2012 maupun oleh UU pokok dari peradilan tata usaha negara.
Pergeseran Wewenang Peradilan Tata Usaha Negara (W. Riawan Tjandra)
| 171
DAFTAR PUSTAKA
Goede, De. 1986. Beeld van het Nederlands
Bestuursrecht, VUGA Uitgeverij B.V.
‘s-Gravenhage, Nederlands.
Groves, Matthew & HP Lee. 2007. Australian
Administrative
Law-Fundamentals,
Principles and Doctrines. New York:
Cambridge University Press.
Hadjon, Philipus M. 1993. Pengantar Hukum
Administrasi Negara. Yogyakarta: UGM
Press.
Kunnecke, Martina. 2007. Tradition and Change
in Administrative Law. Berlin: SpringerVerlag Berlin Heidelberg.
Tjandra, W. Riawan. 2011. Teori dan Praktik
Peradilan Tata Usaha Negara (edisi revisi).
Yogyakarta: Penerbit Universitas Atma
Jaya Yogyakarta.
_________________.
2012.
Demokrasi
Melawan Kekuasaan Melalui PTUN.
Yogyakarta: Penerbit Universitas Atma
Jaya Yogyakarta.
Seerden, Rene & Frits Stroink. 2002.
Administrative Law of The European,
its Member States and the United States
– A Comparative Analysis. Groningen:
Intersentia Uitgevers Antwerpen.
Versteden, CJN. 1984. Inleiding Algemeen
Bestuursrecht. Bussum: Samson HD.
Tjeenk Willink.
172 |
Jurnal Yudisial Vol. 6 No. 2 Agustus 2013: 159 - 172
KEPEMILIKAN HAK CIPTA DALAM PERJANJIAN LISENSI
Kajian Putusan Mahkamah Agung Nomor 104 PK/PDT.SUS/2011
COPYRIGHT OWNERSHIP IN THE LICENSE AGREEMENT
An Analysis of Supreme Court’s Decision Number 104 PK/PDT.SUS/2011
Hesty D. Lestari
Magister Ilmu Hukum, Universitas Muhammadiyah Jakarta
Jl. K.H. Ahmad Dahlan, Ciputat, Jakarta Selatan
Email: [email protected]
Diterima tgl 25 Juni 2013/Disetujui tgl 15 Juli 2013
ABSTRAK
lisensi sebagai satu-satunya pemegang hak cipta
Pemegang hak cipta berhak memberikan lisensi
atas logo tersebut. Salah satu yang menjadi dasar
kepada pihak lain untuk mengumumkan atau
pertimbangan MA dalam putusannya adalah karena
memperbanyak ciptaannya dengan imbalan berupa
Wen Ken tidak memiliki bukti pendaftaran hak cipta
royalti. Pemberian lisensi tersebut dibuat dalam
atas logo tersebut, baik di negara asalnya Singapura
suatu perjanjian lisensi. Isi perjanjian lisensi tidak
maupun di negara-negara lain.
mengalihkan hak cipta milik pemberi lisensi kepada
Kata kunci: hak cipta, lisensi, pendaftaran ciptaan.
penerima lisensi. Salah satu contoh dari perjanjian
lisensi di Indonesia adalah pemberian lisensi hak
Abstract
cipta dan merek minuman penyegar Cap Kaki
A copyright holder is entitled to license others to
Tiga dari perusahaan Singapura Wen Ken Drug
publish or reproduce his creations in return for
Company kepada perusahaan nasional PT Sinde
a royalty. Licensing shall be made in a form of
Budi Sentosa. Perjanjian lisensi yang dibuat tahun
license agreement. A license agreement does not
1978 tersebut kemudian diakhiri secara sepihak
transfer the copyright that belongs to the licensor
oleh Wen Ken pada tahun 2008 dan diikuti dengan
to the licensee. One example of a license agreement
beberapa sengketa HKI antara Wen Ken dengan
in Indonesia is the licensing of copyright and
Sinde, salah satunya adalah sengketa hak cipta atas
brand name of Minuman Penyegar Cap Kaki Tiga
Logo Cap Kaki Tiga dan Lukisan Badak. Mahkamah
from Wen Ken Drug Company from Singapore,
Agung dengan Putusan No. 104 PK/PDT.SUS/2011
to a national company, PT Sinde Budi Sentosa in
memberikan hak cipta atas Logo Cap Kaki Tiga dan
1978. The licensing agreement was then terminated
Lukisan Badak pada Sinde selaku penerima lisensi,
unilaterally by Wen Ken in 2008, and was followed
dan menyatakan bahwa logo tersebut merupakan
by a series of Intellectual Property Rights disputes
ciptaan bersama antara Wen Ken, Sinde, dan BY.
between Wen Ken and Sinde, one of which is the
MA tidak mengakui Wen Ken selaku pemberi
Kepemilikan Hak Cipta dalam Perjanjian Lisensi (Hesty D. Lestari)
| 173
dispute on copyright of the logo. In its Decision
sole holder of the copyright to the logo. One of the
Number 104 PK/PDT.SUS/2011, the Supreme
necessary ruling considerations of the Supreme
Court of the Republic of Indonesia granted the
Court is for the reason that Wen Ken did not posses
copyright of the logo to Sinde as the licensee and
any evidences of copyright registration for the logo
stated that the logo was a joint creation between
in its home country, Singapore, as well as in other
Wen Ken, Sinde, and BY. The Supreme Court did
countries.
not acknowledge Wen Ken as the licensor as the
Keywords: copyright, license, copyright registration.
I.
lisensinya dapat berupa hak cipta, merek, paten,
rahasia dagang, dan lain-lain.
PENDAHULUAN
Hak cipta (copyright) merupakan salah
satu bagian dari Hak Kekayaan Intelektual (HKI)
yang di Indonesia diatur dalam UU No. 19 Tahun
2002 tentang Hak Cipta (UUHC). Sebagaimana
didefinisikan dalam Pasal 1 butir 1 UUHC,
hak cipta adalah hak eksklusif bagi pencipta
atau penerima hak untuk mengumumkan atau
memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin
untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasanpembatasan menurut peraturan perundangundangan yang berlaku. Dengan demikian,
pemegang hak cipta memiliki hak eksklusif untuk
mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya,
baik secara sendiri maupun bersama dengan
pihak lain. Selain itu, ia juga berhak memberikan
izin kepada pihak lain untuk mengumumkan atau
memperbanyak ciptaannya. Izin tersebut berupa
lisensi, dan pemberian lisensi dibuat dalam suatu
perjanjian lisensi.
Perjanjian lisensi (licensing agreement)
merupakan perjanjian antara pemberi lisensi
(licensor) dengan penerima lisensi (licensee).
Licensor memberikan izin kepada licensee untuk
menggunakan HKI miliknya untuk memproduksi,
mendistribusikan, dan memasarkan produkproduk milik licensor, dan sebagai imbalannya
licensor mendapatkan royalti dari licensee
(Newman, 2013: 1111). HKI yang diberikan
174 |
Perjanjian lisensi dapat berskala nasional
maupun internasional. Dalam skala internasional,
pemberian lisensi HKI pada perusahaan di luar
negeri merupakan salah satu bentuk perdagangan
internasional yang bertujuan untuk memperluas
pasar di luar negeri tanpa harus membuka cabang
perusahaan di luar negeri. Bentuk perdagangan
semacam ini banyak dijumpai di Indonesia, di
mana perusahaan asing memberikan lisensi HKI
kepada perusahaan nasional untuk memproduksi,
mendistribusikan, dan memasarkan produkproduknya di Indonesia.
Salah satu contoh dari perjanjian lisensi HKI
yang berskala internasional adalah pemberian
lisensi hak cipta dan merek minuman penyegar
Cap Kaki Tiga dari perusahaan Singapura
Wen Ken Drug Company (Wen Ken) kepada
perusahaan nasional PT. Sinde Budi Sentosa
(Sinde). Wen Ken adalah produsen obat-obatan
Cina tradisional dan obat-obatan lainnya dengan
merek Three Legs (Kaki Tiga). Salah satu produk
Wen Ken adalah Three Legs Cooling Water
dengan gambar seekor badak pada labelnya.
Untuk memasuki pasar Indonesia, pada tahun
1978 Wen Ken melakukan kerja sama dengan
Sinde dengan memberikan lisensi merek “Cap
Kaki Tiga” kepada Sinde di wilayah Indonesia.
Jurnal Yudisial Vol. 6 No. 2 Agustus 2013: 173 - 188
Dalam perjanjian lisensi yang ditandatangani
kedua belah pihak pada tanggal 8 Februari 1978
tersebut dinyatakan bahwa Wen Ken memberikan
lisensi kepada Sinde untuk:
1.
memproduksi dan memasarkan produk
dengan merek dagang “Cap Kaki Tiga”;
2.
mengatur pengurusan pendaftaran Merek
dan Hak Cipta “Cap Kaki Tiga” di Indonesia;
3.
melakukan pendaftaran produk-produk
dengan merek “Cap Kaki Tiga” di
Departemen Kesehatan RI.
Berdasarkan perjanjian lisensi tersebut,
Sinde sejak tahun 1980 memproduksi,
mendistribusikan, dan memasarkan minuman
Larutan Penyegar Cap Kaki Tiga di wilayah
Indonesia. Perjanjian lisensi tersebut kemudian
didaftarkan Sinde di Direktorat Merek, Ditjen
HKI, Departemen Hukum dan HAM tanggal 7
Juli 2008.
Setelah 30 tahun kerja sama antara Wen
Ken dengan Sinde berjalan dengan baik, Wen
Ken dengan surat bertanggal 4 Februari 2008
memutus perjanjian lisensi secara sepihak.
Alasan Wen Ken melakukan hal tersebut adalah
karena Sinde tidak membayar royalti dan tidak
menyampaikan laporan produksi dan penjualan
produk secara periodik, serta menghilangkan
Logo Kaki Tiga dari kemasan produk. Wen Ken
meminta Sinde untuk tidak lagi memproduksi
minuman penyegar merek Cap Kaki Tiga
mulai tanggal 7 Februari 2008 dan mengajukan
beberapa gugatan pada Pengadilan Niaga pada
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengenai
pembatalan merek dan hak cipta yang berkaitan
dengan produk minuman penyegar Cap Kaki
Tiga yang telah didaftarkan oleh Sinde dan
Komisaris Utamanya, BY. Salah satu gugatan
tersebut adalah gugatan pembatalan Sertifikat
Pendaftaran Hak Cipta No. 015649 tentang
Logo Cap Kaki Tiga dengan Lukisan Badak
yang terdaftar atas nama Wen Ken, Sinde, dan
BY.
Dalam gugatannya, Wen Ken (penggugat)
memohon kepada Pengadilan Niaga untuk
menetapkan bahwa dialah satu-satunya pencipta
dan atau pemegang hak cipta atas Lukisan
Badak pada kemasan minuman larutan penyegar
Cap Kaki Tiga dan membatalkan pendaftaran
atas nama Sinde (tergugat I) dan BY (tergugat
II) serta mencoret kedua nama tersebut dari
Sertifikat Pendaftaran Hak Cipta No. 015649
pada Daftar Umum Ciptaan.
Dalil-dalil yang diajukan penggugat dalam
gugatannya, antara lain, adalah bahwa ia telah
memproduksi minuman penyegar Cap Kaki
Tiga dengan Lukisan Badak sejak tahun 1937.
Ia jugalah yang pertama kali mengumumkan
(to make public) Lukisan Badak yang melekat
pada merek Cap Kaki Tiga. Wen Ken menuduh
para tergugat memiliki itikad tidak baik dalam
mendaftarkan hak cipta atas Logo Cap Kaki
Tiga dengan Lukisan Badak, karena tanpa
seizin, persetujuan, dan sepengetahuannya, BY
mendaftarkan hak cipta atas Logo Cap Kaki Tiga
dengan Lukisan Badak sebagai milik bersama
antara Wen Ken, Sinde, dan BY.
Pengadilan Niaga dengan Putusan No.
31/Hak Cipta/2010/PN.Niaga.Jkt.Pst tanggal
21 Juli 2010 mengabulkan gugatan penggugat
seluruhnya. Pengadilan Niaga menetapkan
Wen Ken sebagai satu-satunya pencipta dan
pemegang hak cipta atas Logo Cap Kaki Tiga,
serta membatalkan pendaftaran atas nama Sinde
dan BY dalam Daftar Hak Cipta dengan nomor
pendaftaran 015649.
Kepemilikan Hak Cipta dalam Perjanjian Lisensi (Hesty D. Lestari)
| 175
Merasa tidak puas dengan putusan
Pengadilan Niaga tersebut, Sinde dan BY
kemudian mengajukan kasasi ke MA. Sinde dan
BY selaku pemohon kasasi dalam permohonan
kasasinya menilai, Pengadilan Niaga telah salah
dalam menerapkan hukum. Hal ini karena Wen
Ken (termohon kasasi) tidak memiliki bukti yang
akurat mengenai Lukisan Badak dan Cap Kaki Tiga
yang di-claimed telah lama digunakannya. Di sisi
lain, yang didaftarkan pemohon kasasi bukanlah
semata-mata Logo Cap Kaki Tiga, melainkan Seni
Lukis Etiket Larutan Penyegar Cap Kaki Tiga
yang merupakan hasil ciptaan pemohon kasasi
yang orisinil (asli) dan pemohon kasasi dapat
membuktikan bahwa ciptaannya benar-benar
orisinil pada saat pendaftaran hak cipta.
Dalam putusannya MA berpendapat bahwa
Pengadilan Niaga telah salah dalam menerapkan
hukum pembuktian. Yang menjadi pertimbangan
MA adalah termohon kasasi tidak memiliki bukti
sebagai pemegang hak cipta atas Logo Cap Kaki
Tiga dari Negara Singapura atau negara lainnya.
Termohon kasasi juga tidak dapat membuktikan
bahwa dialah pencipta Logo Cap Kaki Tiga.
Lebih lanjut MA menolak tuduhan termohon
kasasi bahwa pendaftaran hak cipta yang dilakukan
oleh pemohon kasasi dilakukan dengan itikad
tidak baik, karena pendaftaran tersebut merupakan
tindak lanjut dari kesepakatan tanggal 8 Februari
1978 antara termohon kasasi dan pemohon kasasi,
di mana pemohon kasasi harus mengatur daftar
merek dagang dan hak ciptanya.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan
tersebut, MA dengan Putusan No. 768 K/
Pdt.Sus/2010 tanggal 30 November 2010
mengabulkan permohonan kasasi dari Sinde dan
BY. Dengan demikian, hak cipta dengan nomor
pendaftaran 01549 tidak dibatalkan.
176 |
Dalam putusan kasasi ini terdapat
dissenting opinion dari Hakim Agung Prof.
MK. Ia berpendapat, termohon kasasi dapat
membuktikan bahwa dialah pemilik hak cipta atas
karya lukis Logo Cap Kaki Tiga karena dia yang
pertama kali mengumumkan karya cipta tersebut.
Apakah hak cipta tersebut harus didaftarkan atau
tidak, hal tersebut harus berdasarkan hukum di
Singapura. Prof. MK menilai sangat berlebihan
untuk meyakini bahwa asal produk dan hak cipta
maupun etiket adalah murni milik pemohon
kasasi. Lebih lanjut ia berpendapat, bahwa
perjanjian lisensi bukanlah perjanjian jual beli, ia
hanya izin untuk memproduksi dan memasarkan.
Oleh karena itu, Pengadilan Niaga tidak salah
menerapkan hukum sehingga permohonan kasasi
harus ditolak.
Kalah di tingkat kasasi, Wen Ken kemudian
mengajukan peninjauan kembali (PK). Dalam
permohonan PK, Wen Ken (pemohon PK)
mengemukakan
alasan-alasan
diajukannya
PK, antara lain karena MA dalam putusannya
telah salah dan keliru menerapkan ketentuan
pendaftaran hak cipta sebagai kepemilikan
menurut UUHC. Pemohon PK berargumen, hak
cipta diperoleh dan dimiliki bukan berdasarkan
pendaftaran, namun berdasarkan pengumuman
ke publik yang pertama kali. Pemohon PK
berpendapat bahwa sistem pendaftaran hak cipta
di Indonesia adalah sistem deklaratif. Artinya,
pendaftaran tidaklah menerbitkan hak, tetapi
hanya memberikan dugaan atau sangkaan bahwa
si pendaftar adalah pencipta.
Terhadap permohonan PK tersebut, MA
berpendapat bahwa alasan-alasan permohonan
PK yang diajukan pemohon PK tidak dapat
diterima. MA menilai, tidak ada kekhilafan/
kekeliruan nyata dalam putusan kasasi karena
pertimbangannya telah tepat dan benar. MA
Jurnal Yudisial Vol. 6 No. 2 Agustus 2013: 173 - 188
menegaskan bahwa pemohon PK tidak dapat
membuktikan originality Logo Cap Kaki Tiga
yang telah terdaftar di Singapura atau negara
lainnya. Menurut MA, dalam Perjanjian Lisensi
tanggal 8 Februari 1978 pemohon PK hanya
sebagai pemilik Merek Cap Kaki Tiga dan tanpa
“Lukisan Badak” dan kata “Larutan Penyegar”.
Lebih lanjut MA berpendapat bahwa Sertifikat
Pendaftaran Hak Cipta No. 015649 dengan judul
Seni Lukis Etiket Larutan Penyegar Cap Kaki
Tiga adalah ciptaan bersama antara Wen Ken
dan Sinde serta BY. Berdasarkan pertimbanganpertimbangan tersebut, MA dalam Putusan No.
104 PK/PDT.SUS/2011 menolak permohonan
PK dari Wen Ken. Dengan demikian, Sertifikat
Pendaftaran Hak Cipta No. 015649 tidak
dibatalkan.
objek perjanjian lisensi. Untuk menganalisa
tepat tidaknya putusan MA tersebut, penulis
akan menggunakan tiga variabel, yaitu: a) fungsi
pendaftaran hak cipta; b) pembuktian keaslian
ciptaan dan c) perjanjian lisensi.
A.
Fungsi Pendaftaran Hak Cipta
Dalam mekanisme pendaftaran hak cipta
dan HKI lainnya, dikenal dua macam sistem, yaitu
sistem konstitutif dan sistem deklaratif (Saidin,
2006: 89). Sistem konstitutif artinya bahwa
pendaftaran ciptaan berfungsi untuk melahirkan
hak cipta atas ciptaan tersebut. Tanpa pendaftaran,
seorang pencipta tidak otomatis berhak atas hak
cipta dari ciptaannya. Hak cipta lahir setelah
pencipta melakukan pendaftaran dan pendaftaran
tersebut memiliki kekuatan. Pendaftaran dalam
sistem ini mengakibatkan pendaftar secara de
facto dan de jure diakui sebagai pencipta atau
II. RUMUSAN MASALAH
orang yang berhak atas hak cipta dari ciptaan
Permasalahan yang akan dibahas dalam
yang didaftarkan (Saidin, 2006: 89).
artikel ini adalah apakah pemberian hak cipta
Dalam sistem deklaratif, pendaftaran
pada penerima lisensi (licensee) dan tidak
diakuinya pemberi lisensi (licensor) sebagai satu- ciptaan tidaklah melahirkan hak cipta atas ciptaan
satunya pemegang hak cipta atas ciptaan yang tersebut. Fungsi pendaftaran dalam sistem ini
menjadi objek perjanjian lisensi sebagaimana hanya untuk memberikan dugaan atau sangkaan,
dimaksud dalam Putusan MA No. 104 PK/PDT. bahwa berdasarkan undang-undang, orang yang
SUS/2011 tersebut sudah tepat? Untuk menjawab mendaftarkan suatu ciptaan adalah orang yang
pertanyaan tersebut akan dikaji: (1) apakah berhak atas hak cipta dari ciptaan tersebut (Saidin,
fungsi pendaftaran hak cipta; (2) bagaimanakah 2006: 89). Sepanjang tidak ada orang lain yang
pembuktian keaslian ciptaan; dan (3) apakah membuktikan sebaliknya, maka pendaftar secara
licensee berhak mendapatkan hak cipta atas de facto diakui oleh UU sebagai pencipta atau
pemegang hak cipta. Sebaliknya, jika ada orang
ciptaan yang menjadi objek perjanjian lisensi?
lain yang menyangkal, maka pendaftar secara de
jure harus membuktikan bahwa dialah pencipta
III. STUDI PUSTAKA DAN ANALISIS
atau pemegang hak cipta (Saidin, 2006: 89).
Putusan MA baik di tingkat kasasi maupun
Sistem pendaftaran hak cipta yang berlaku
PK memberikan hak cipta pada licensee dan
tidak mengakui licensor sebagai satu-satunya di Indonesia adalah sistem deklaratif. Hal ini
pemegang hak cipta atas produk yang menjadi dapat dilihat dari beberapa ketentuan dalam
UUHC. Pertama, ketentuan dalam Pasal 2 ayat
Kepemilikan Hak Cipta dalam Perjanjian Lisensi (Hesty D. Lestari)
| 177
(1) UUHC yang menyebutkan:
“Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi
pencipta atau pemegang hak cipta untuk
mengumumkan
atau
memperbanyak
ciptaannya, yang timbul secara otomatis
setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa
mengurangi pembatasan menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku.”
Berdasarkan ketentuan tersebut, maka
hak cipta lahir secara otomatis begitu ciptaan
dihasilkan. Lahirnya hak cipta di Indonesia
bukan karena pendaftaran (Lindsey et.al., 2006:
107-108).
Kemudian ketentuan mengenai pencipta
dalam Pasal 5 ayat (1) UUHC menyebutkan
bahwa orang yang namanya terdaftar dalam Daftar
Umum Ciptaan pada Direktorat Jenderal HKI
Kementerian Hukum dan HAM, atau orang yang
namanya disebut dalam ciptaan atau diumumkan
sebagai pencipta pada suatu ciptaan dianggap
sebagai pencipta, kecuali terbukti sebaliknya.
Dengan demikian, pendaftaran suatu ciptaan
hanya menimbulkan anggapan atau dugaan bahwa
orang yang mendaftar adalah pencipta. Jadi,
meskipun seseorang namanya telah tercantum
dalam Daftar Umum Ciptaan sebagai pencipta,
hal tersebut tidaklah berarti bahwa dia secara de
jure adalah pencipta, melainkan secara de facto
dia hanya dianggap sebagai pencipta. Jika ada
orang lain yang kemudian dapat membuktikan
sebaliknya, maka pendaftaran tersebut dapat
dibatalkan.
Penjelasan Pasal 5 ayat (2) UUHC juga
menegaskan berlakunya sistem deklaratif dalam
pendaftaran ciptaan:
178 |
terjadi sengketa di pengadilan mengenai
ciptaan yang terdaftar dan yang tidak
terdaftar ... serta apabila pihak-pihak
yang berkepentingan dapat membuktikan
kebenarannya, hakim dapat menentukan
pencipta yang sebenarnya berdasarkan
pembuktian tersebut.”
Dengan
demikian,
dalam
proses
pembuktian di pengadilan, hakim tidak boleh
menjadikan pendaftaran sebagai salah satu
alat bukti yang harus ada agar seseorang dapat
dinyatakan sebagai pencipta. Hakim juga tidak
boleh beranggapan bahwa pemegang hak cipta
yang sah adalah yang terbukti telah mendaftarkan
ciptaan, dan orang yang tidak memiliki bukti
pendaftaran tidak diakui sebagai pencipta. Hakim
harus mempertimbangkan bukti-bukti yang lain
untuk menentukan pencipta yang sah atas suatu
ciptaan.
Pendaftaran ciptaan memang diatur secara
khusus dalam Bab IV (Pasal 35 – Pasal 44)
UUHC. Pasal 35 ayat (4) UUHC menentukan
bahwa ketentuan tentang pendaftaran tersebut
tidak merupakan kewajiban untuk mendapatkan
hak cipta. Artinya, untuk membuktikan bahwa
seseorang adalah pemegang hak cipta tidaklah
harus dengan membuktikan bahwa ia telah
terdaftar sebagai pemegang hak cipta. Seorang
pencipta tidak harus melakukan pendaftaran
untuk diakui sebagai pemegang hak cipta, karena
hak cipta lahir secara otomatis. Baik terdaftar
maupun tidak terdaftar, pemegang hak cipta
berhak mendapat perlindungan (Kariodimedjo,
2010: 274).
Dengan demikian, hak cipta memiliki
karakteristik yang berbeda dibandingkan dengan
“Pada prinsipnya Hak Cipta diperoleh HKI lainnya, seperti paten dan merek. Seorang
bukan karena pendaftaran, tetapi dalam hal inventor akan mendapatkan hak paten jika
Jurnal Yudisial Vol. 6 No. 2 Agustus 2013: 173 - 188
invensinya didaftarkan. Tanpa pendaftaran,
invensi tersebut tidak berhak mendapatkan
perlindungan. Begitu pula suatu merek akan
mendapat perlindungan apabila merek tersebut
didaftarkan. Tanpa pendaftaran, pemilik merek
tidak berhak mendapatkan hak merek.
ciptaan atau diumumkan sebagai pencipta pada
suatu ciptaan hanya dianggap sebagai pencipta,
kecuali terbukti sebaliknya. Jadi, meskipun Wen
Ken tidak terdaftar dalam Daftar Umum Ciptaan,
atau namanya tidak disebut dalam ciptaan atau
diumumkan sebagai pencipta pada Logo Cap
Kaki Tiga, ia tetap dapat diakui sebagai pencipta
Karakteristik hak cipta yang lahir secara
jika ia dapat membuktikan hal tersebut.
otomatis tanpa memerlukan pendaftaran
merupakan prinsip universal dan diatur dalam
Di tingkat kasasi pula MA membenarkan
Berne Convention for the Protection of Literary dalil yang diajukan oleh Sinde dan BY bahwa
and Artistic Works yang telah diratifikasi oleh yang terdaftar sebagai pencipta dan pemegang hak
Indonesia dengan Keputusan Presiden No. 18 cipta atas Seni Lukis Etiket Larutan Penyegar Cap
Tahun 1997. Pasal 5 ayat (2) Konvensi Berne Kaki Tiga adalah Wen Ken, Sinde, dan BY. Oleh
menentukan bahwa perlindungan hak cipta karenanya MA tidak dapat membenarkan jika Wen
tidak memerlukan formalitas apa pun. Artinya, Ken mengajukan gugatan pembatalan hak cipta
pendaftaran tidak boleh dijadikan syarat untuk terhadap Sinde dan BY. Padahal sebagaimana
mendapatkan perlindungan. Karena fungsi diuraikan di atas, bahwa Daftar Umum Ciptaan
pendaftaran dalam hak cipta tidak wajib, beberapa hanya menimbulkan anggapan atau dugaan
negara meniadakan atau tidak menyelenggarakan sebagai pencipta. Jadi, walaupun yang terdaftar
pendaftaran hak cipta. Negara-negara tersebut dalam Daftar Umum Ciptaan adalah 3 orang, jika
antara lain adalah Inggris, Jerman, Spanyol, Wen Ken dapat membuktikan bahwa dialah satuAustralia, Mesir, Malaysia, Singapura, dan lain- satunya pencipta dan pemegang hak cipta, maka
lain (Wikipedia, 2013: 1-4).
Sinde dan BY dapat dicoret dari Daftar Umum
Ciptaan, tanpa harus meminta persetujuan dari
Berkaitan dengan sengketa hak cipta atas
yang bersangkutan.
Logo Cap Kaki Tiga dan Lukisan Badak, MA di
tingkat kasasi menyatakan bahwa Wen Ken tidak
Salah satu bukti yang diajukan Wen
memiliki bukti sebagai pencipta dan pemegang Ken sebagai pencipta Logo Cap Kaki Tiga dan
hak cipta atas logo tersebut dari Negara Singapura Lukisan Badak adalah fakta bahwa dialah pihak
atau negara lainnya sebagaimana dikehendaki oleh yang pertama kali mengumumkan ke publik logo
Pasal 5 ayat (1) UUHC. Tampaknya MA keliru tersebut. Sinde menolak fakta tersebut dijadikan
memahami Pasal 5 ayat (1) UUHC. Pasal tersebut sebagai alat bukti, dengan alasan bahwa pihak
tidak berarti bahwa untuk dinyatakan sebagai yang pertama mengumumkan ke publik belum
pencipta seseorang harus terdaftar dalam Daftar tentu pencipta, karena bisa saja ia mengumumkan
Umum Ciptaan, atau namanya disebut dalam ciptaan pencipta lain sebelum pencipta tersebut
ciptaan atau diumumkan sebagai pencipta pada mendaftarkan hak ciptanya. Pendapat Sinde
suatu ciptaan. Sebagaimana telah dikemukakan ini dibenarkan oleh MA, padahal pendapat
di atas, pasal ini justru menyatakan bahwa orang tersebut tidak tepat. Seseorang memang bisa saja
yang namanya terdaftar dalam Daftar Umum mengumumkan ciptaan pencipta lain. Dalam
Ciptaan, atau orang yang namanya disebut dalam kasus ini menjadi tidak logis, jika Wen Ken yang
Kepemilikan Hak Cipta dalam Perjanjian Lisensi (Hesty D. Lestari)
| 179
sudah menggunakan logo Cap Kaki Tiga sejak
tahun 1937 dianggap bukan sebagai pencipta,
sedangkan Sinde yang baru menggunakan logo
tersebut tahun 1980 dianggap sebagai pencipta.
Di samping itu, hak cipta lahir bukan karena
pendaftaran. Meskipun Wen Ken tidak pernah
mendaftarkan ciptaannya sedangkan Sinde
mendaftarkan ciptaannya, pendaftaran tersebut
bukanlah bukti absolut untuk menentukan
pencipta yang sebenarnya.
Di tingkat PK, MA menyatakan Wen Ken
tidak dapat membuktikan originalitas Logo Cap
Kaki Tiga yang telah terdaftar di Singapura atau
negara lainnya. Pendapat MA tersebut tidaklah
sesuai dengan teori dan ketentuan-ketentuan
yang berlaku di bidang hak cipta, sebagaimana
telah dipaparkan di atas. Wen Ken tidaklah harus
melakukan pendaftaran untuk diakui sebagai
pencipta atau pemegang hak cipta. Apalagi
Singapura tidak menyelenggarakan pendaftaran
hak cipta. Dengan demikian walaupun Wen Ken
tidak memiliki bukti pendaftaran hak cipta atas
Logo Cap Kaki Tiga dan Lukisan Badak, ia tetap
berhak mendapat perlindungan sebagai pencipta
dan pemegang hak cipta.
Putusan MA, baik di tingkat kasasi maupun
PK juga kontradiktif. Di satu sisi, MA menyatakan
bahwa Wen Ken tidak memiliki bukti sebagai
pencipta dan pemegang hak cipta atas Logo Cap
Kaki Tiga dan Lukisan Badak. Di sisi lain, MA
tidak bersedia membatalkan Sertifikat Pendaftaran
Hak Cipta No. 015649. Padahal dalam sertifikat
tersebut, Wen Ken bersama dengan Sinde dan BY
dinyatakan sebagai pencipta dan pemegang hak
cipta. MA bahkan secara tegas menyatakan bahwa
Logo Cap Kaki Tiga dan Lukisan Badak sebagai
ciptaan bersama ketiga pihak tersebut. Artinya
MA mengakui bahwa Wen Ken adalah pencipta
dan pemegang hak cipta atas logo tersebut.
180 |
B.
Pembuktian Keaslian Ciptaan
1.
Standar Keaslian
Syarat untuk mendapatkan hak cipta atas
suatu ciptaan adalah ciptaan tersebut asli (original)
karya pencipta. Pasal 1 angka 3 UUHC menentukan:
“Ciptaan adalah hasil setiap karya pencipta yang
menunjukkan keasliannya dalam lapangan ilmu
pengetahuan, seni, atau sastra.” UUHC tidak
menjelaskan lebih lanjut standar yang digunakan
untuk menentukan keaslian suatu ciptaan.
Sementara itu, Pasal 36 UUHC
menentukan: “Pendaftaran Ciptaan dalam Daftar
Umum Ciptaan tidak mengandung arti sebagai
pengesahan atas isi, arti, maksud, atau bentuk
dari ciptaan yang didaftar.” Penjelasan Pasal 36
UUHC menyatakan: “Direktorat Jenderal yang
menyelenggarakan pendaftaran ciptaan tidak
bertanggung jawab atas isi, arti, maksud, atau
bentuk dari ciptaan yang terdaftar.” Berdasarkan
ketentuan tersebut, maka pendaftaran ciptaan
tidak menjamin bahwa ciptaan yang didaftar
adalah benar-benar asli karya pendaftar. Hal ini
sesuai dengan sistem pendaftaran yang diterapkan
di Indonesia, yaitu sistem deklaratif.
Baik
peraturan
perundang-undangan
maupun yurisprudensi di Indonesia sejauh ini
tidak memberikan standar yang digunakan untuk
membuktikan keaslian ciptaan. Sebagai referensi,
penulis akan membandingkan standar keaslian
yang digunakan di Amerika Serikat (AS). Standar
keaslian (originality) di AS tidak diatur dalam
Copyright Act, namun ditentukan berdasarkan
yurisprudensi di AS. Copyright Act tidak
menetapkan standar originality dengan maksud
untuk memelihara yurisprudensi yang telah lama
dibangun oleh pengadilan dalam menetapkan
standar keaslian suatu ciptaan (Merges et.al.,
2003: 327).
Jurnal Yudisial Vol. 6 No. 2 Agustus 2013: 173 - 188
Berdasarkan
yurisprudensi
tersebut,
standar originality tidak menuntut adanya unsur
kebaruan (novelty), kecanggihan (ingenuity),
atau pun fungsi estetis. Originality membutuhkan
adanya kreasi independen dari suatu ciptaan
yang menampilkan sedikit kreativitas. Kreasi
independen ini menunjukkan bahwa pencipta
tidak meniru ciptaan pencipta lain, namun
ia secara independen menghasilkan kreasi
tersebut. Walaupun suatu ciptaan mirip dengan
ciptaan lain, jika ciptaan tersebut adalah kreasi
independen, maka ciptaan tersebut memenuhi
standar originality (Merges et.al., 2003: 327).
Begitu pula, jika dalam menghasilkan ciptaannya
pencipta terinspirasi ciptaan lain, maka ciptaan
tersebut memenuhi standar originality, sepanjang
ciptaan tersebut merupakan kreasi sendiri
(Rahayu, 2011: 123).
Standar originality dalam hak cipta lebih
rendah dibandingkan dengan standar novelty
dalam paten (Merges et.al., 2003: 327). Untuk
mendapatkan hak paten, seorang inventor
dianggap mengetahui adanya invensi-invensi
sebelumnya, walaupun pada kenyataannya
tidak. Inventor akan mendapatkan hak paten
jika invensinya benar-benar mengandung unsur
kebaruan (novelty) dan tidak mengandung
persamaan dengan invensi-invensi sebelumnya.
Untuk mendapatkan hak cipta, seorang pencipta
tidak diharuskan mengetahui ciptaan-ciptaan
sebelumnya. Bisa saja, seorang pencipta tanpa
sengaja menghasilkan ciptaan yang sangat
indentik dengan ciptaan dari pencipta lain. Jika
ciptaan tersebut adalah kreasi independen, maka
pencipta tersebut berhak mendapatkan hak cipta
(Ponte, 2006: 527-529).
negara yang telah meratifikasi konvensi tersebut
menerapkan standar keaslian yang rendah pula.
Jadi meskipun UUHC dan yurisprudensi di
Indonesia tidak menetapkan standar keaslian
yang digunakan di Indonesia, dapat disimpulkan
bahwa standar keaslian tersebut rendah, tidak
seketat standar kebaruan dalam paten. Yang harus
ditekankan dalam pembuktian keaslian ciptaan
adalah kemandirian atau independensi dari
pencipta dalam menghasilkan ciptaan. Dalam
kasus Logo Cap Kaki Tiga dan Lukisan Badak
misalnya, bisa saja Sinde dan BY mendapatkan
hak cipta atas logo tersebut beserta Lukisan
Badaknya, walaupun ciptaan tersebut sangat
mirip dengan logo dan lukisan badak milik Wen
Ken yang telah ada sebelumnya. Dalam kasus ini,
unsur independen tidak terpenuhi.
Sinde dan BY tidak independen dari Wen
Ken, karena keduanya menerima lisensi merek
dan hak cipta dari Wen Ken untuk memproduksi
minuman penyegar Cap Kaki Tiga di Indonesia.
Artinya Sinde dan BY sudah mengetahui logo
yang digunakan Wen Ken pada masa itu. Mereka
juga memasukkan logo ciptaan Wen Ken tersebut
sebagai bagian dari logo ciptaan mereka. BY pun
mendaftarkan hak cipta atas logo tersebut atas
nama mereka bertiga. Hal ini menunjukkan tidak
adanya kemandirian atau independensi dari Sinde
dan BY dalam menciptakan logo tersebut.
Di tingkat kasasi, Sinde dan BY mengclaim bahwa mereka dapat membuktikan keaslian
ciptaannya pada saat pendaftaran. Padahal
berdasarkan Pasal 36 UUHC, pendaftaran ciptaan
tidaklah dimaksudkan untuk mengesahkan
keaslian ciptaan. Di samping itu, pendaftaran hak
cipta di Indonesia menerapkan sistem deklaratif.
Standar originality yang rendah tersebut Jadi fungsi pendaftaran hanya menimbulkan
merupakan prinsip yang diterapkan dalam anggapan bahwa ciptaan yang didaftar adalah
Berne Convention. Dengan demikian, semua asli karya pencipta.
Kepemilikan Hak Cipta dalam Perjanjian Lisensi (Hesty D. Lestari)
| 181
2.
Derivative Work
Sinde dan BY berargumen bahwa hak
cipta dengan nomor pendaftaran 015649 yang
terdaftar sebagai karya bersama antara Wen Ken,
Sinde dan BY, bukanlah semata-mata Lukisan
Badak dan Cap Kaki Tiga, melainkan “Seni
Lukis Etiket” yaitu berupa gambar sebuah etiket
dengan paduan warna merah, kuning, putih dan
biru, terdiri atas kaligrafi Arab, tulisan Larutan
Penyegar, gambar botol, gambar kaki tiga dalam
lingkaran, tulisan slogan, dan seni lukis/tulisan
lainnya dengan posisi dan komposisi tertentu,
sebagai satu kesatuan karya seni lukisan utuh
sehingga tidak dapat dipenggal menjadi bagian
demi bagian.
Dalam hukum hak cipta, Seni Lukis Etiket
tersebut masuk dalam kategori ciptaan turunan
(derivative work). Yang dimaksud derivative
work adalah ciptaan yang merupakan turunan,
pengembangan, atau pun kelanjutan dari ciptaan
yang telah ada sebelumnya atau ciptaan asal
(Aboud, 2013: 403). Pencipta dari derivative
work berhak mendapatkan hak cipta hanya jika
derivative work tersebut telah mendapat izin dari
Pencipta ciptaan asal. Tanpa izin tersebut maka
derivative work merupakan pelanggaran hak cipta
sehingga tidak mendapat perlindungan. Akibatnya
Pencipta dari ciptaan asal dapat menggunakan
derivative work tanpa persetujuan dari pencipta
derivative work tersebut. Seandainya derivative
work mendapat izin dari Pencipta ciptaan asal,
maka hak cipta yang dimiliki Pencipta derivative
work hanyalah unsur-unsur tambahan dalam
derivative work di luar ciptaan asal (Aboud,
2013: 403).
(Anderson v. Stallone) tahun 1989 (Aboud,
2013: 403). Setelah film-film Rocky I, Rocky
II, dan Rocky III sukses di pasar, Anderson
menulis skenario untuk Rocky IV, dengan
harapan Stallone dan Metro-Goldwin-Mayer
(MGM) akan menggunakan skenario tersebut
untuk sequel Rocky III. Anderson kemudian
menyerahkan skenario tersebut pada Stallone dan
menandatangani pernyataan yang membebaskan
MGM dari segala bentuk tanggung jawab atas
penggunaan skenario tersebut oleh MGM.
Stallone dan MGM akhirnya menggunakan
skenario tersebut untuk Rocky IV. Setelah Rocky
IV sukses di pasar, Anderson menggugat Stallone
dan MGM atas pelanggaran kontrak dan hak
cipta. Pengadilan memutuskan bahwa skenario
Rocky IV merupakan unauthorized derivative
work atau ciptaan turunan tak berizin, sehingga
tidak mendapat perlindungan. Dengan demikian
tidak ada pelanggaran hak cipta yang dilakukan
oleh Stallone dan MGM (Aboud, 2013: 403).
Berkaca dari kasus tersebut dapat
dikatakan bahwa Seni Lukis Etiket merupakan
unauthorized derivative work sehingga tidak
mendapat perlindungan. Sinde dan BY seharusnya
tidak berhak mendapatkan hak cipta atas Seni
Lukis Etiket. Seandainya Seni Lukis Etiket
mendapatkan izin dari Wen Ken, maka hak cipta
yang dimiliki oleh Sinde dan BY hanyalah unsurunsur tambahan dalam Seni Lukis Etiket di luar
logo Cap Kaki Tiga dan Lukisan Badak.
C.
Perjanjian Lisensi
1.
Hukum Lisensi
Pemegang hak cipta memiliki hak eksklusif
untuk mengumumkan atau memperbanyak
Salah satu contoh dari kasus derivative
ciptaannya atau memberikan izin untuk itu kepada
work di AS adalah kasus film Rocky IV antara
pihak lain dengan persyaratan tertentu. Izin
Timothy Anderson melawan Sylvester Stallone
tersebut adalah lisensi dan pemberian izin kepada
182 |
Jurnal Yudisial Vol. 6 No. 2 Agustus 2013: 173 - 188
pihak lain dilakukan dengan suatu perjanjian yang
disebut dengan perjanjian lisensi. Berdasarkan
perjanjian lisensi inilah licensee berhak untuk
mengumumkan atau memperbanyak ciptaan
milik licensor (Jankowski II, 2013: 110).
ciptaannya atau produk hak terkaitnya dengan
persyaratan tertentu.” Berdasarkan ketentuan ini,
maka ruang lingkup lisensi hak cipta terbatas pada
mengumumkan dan atau memperbanyak ciptaan
milik pemegang hak cipta selaku licensor.
Dalam Black’s Law Dictionary, lisensi
Lebih lanjut Pasal 45 UUHC menentukan
secara umum didefinisikan sebagai (Garner, bahwa pemberian lisensi harus dituangkan dalam
2000: 743):
bentuk surat perjanjian lisensi disertai dengan
kewajiban pembayaran royalti kepada pemegang
“A revocable permission to commit some
hak cipta selaku licensor oleh licensee. Besarnya
act that would otherwise be unlawful; esp.,
royalti yang wajib dibayarkan kepada licensor
an agreement (not amounting to lease or
oleh licensee adalah berdasarkan kesepakatan
profit à prendre) that it will be unlawful for
kedua belah pihak dengan berpedoman pada
the licensee to enter the licensor’s land to
kesepakatan organisasi profesi. Agar perjanjian
do some act that would otherwise be illegal,
lisensi tersebut memiliki akibat hukum terhadap
such as hunting game.”
pihak ketiga, maka perjanjian lisensi tersebut
Dengan demikian, lisensi merupakan izin harus dicatatkan pada Direktorat Jenderal HKI.
yang dapat ditarik kembali oleh licensor, yang
diberikan kepada licensee untuk melakukan
tindakan-tindakan tertentu yang berkaitan dengan
hak milik licensor, di mana tanpa izin tersebut
tindakan-tindakan licensee menjadi tidak sah
atau ilegal. Di bidang HKI, tindakan-tindakan
tersebut dapat berupa produksi barang atau jasa
yang menggunakan HKI milik licensor. Dalam
hal ini, licensor memberikan izin kepada licensee
tidaklah secara cuma-cuma, melainkan licensee
harus memberi imbalan kepada licensor yang
berupa royalti (Sujatmiko, Februari 2010: 124).
Besarnya royalti tersebut ditentukan berdasarkan
kesepakatan antara licensor dengan licensee,
biasanya dikaitkan dengan hasil penjualan barang
atau jasa selama periode tertentu (Sujatmiko,
Februari 2010: 124).
Berkaitan dengan hak cipta, lisensi
didefinisikan oleh Pasal 1 butir 14 UUHC sebagai
“izin yang diberikan oleh pemegang hak cipta
atau pemegang hak terkait kepada pihak lain
untuk mengumumkan dan/atau memperbanyak
Perjanjian lisensi hak cipta antara
licensor dengan licensee berisi pemberian
izin dari pemegang hak cipta selaku licensor
kepada licensee untuk mengumumkan dan atau
memperbanyak ciptaan milik pemegang hak
cipta disertai dengan kewajiban pembayaran
royalti kepada pemegang hak cipta oleh licensee.
Dengan demikian perjanjian lisensi bukanlah
perjanjian pengalihan hak cipta (Sujatmiko,
Februari 2010: 123).
Dalam perjanjian tersebut, licensor tidak
memberikan hak cipta miliknya kepada licensee,
melainkan licensor hanya memberikan izin
kepada licensee untuk menggunakan hak cipta
miliknya (Classen, 2013: 66). Dengan demikian,
hak cipta tetap milik licensor dan tidak beralih
pada licensee, dan tidak pula menjadi milik
bersama antara licensor dengan licensee (Chan,
2013: 268). Artinya, licensee tidak berhak mengclaim sebagai pemegang hak cipta atas ciptaan
yang menjadi objek perjanjian lisensi.
Kepemilikan Hak Cipta dalam Perjanjian Lisensi (Hesty D. Lestari)
| 183
Dalam perjanjian lisensi antara Wen
Ken dengan Sinde disepakati bahwa Wen Ken
memberikan lisensi Cap Kaki Tiga kepada Sinde
dan meminta Sinde untuk mengatur pengurusan
pendaftaran merek dan hak cipta Cap Kaki Tiga
di Indonesia. Untuk melaksanakan perjanjian
tersebut, maka Sinde selaku licensee wajib
melakukan pendaftaran ciptaan milik Wen Ken
selaku licensor di Indonesia. Dalam pendaftaran
ciptaan tersebut, Sinde harus menyatakan bahwa
pemegang hak cipta adalah Wen Ken. Dengan
dalih apa pun tidak dapat dibenarkan jika Sinde
mendaftarkan ciptaan tersebut sebagai milik
bersama antara Wen Ken, Sinde dan Komisaris
Utamanya, BY.
Sinde dan BY berdalih bahwa hak cipta
dengan nomor pendaftaran 015649 yang
terdaftar sebagai karya bersama antara Wen Ken,
Sinde dan BY, bukanlah semata-mata Lukisan
Badak dan Cap Kaki Tiga, melainkan “Seni
Lukis Etiket” yang merupakan satu kesatuan
karya seni lukisan utuh sehingga tidak dapat
dipenggal menjadi bagian demi bagian. Dalih
semacam ini tentu saja tidak dapat dibenarkan.
Sebagaimana telah dikemukakan di atas, suatu
ciptaan akan melahirkan hak cipta jika ciptaan
tersebut asli. Suatu ciptaan asli karya pencipta
jika ciptaan tersebut dihasilkan oleh pencipta
secara independen dan tidak menyalin ciptaan
pencipta lain. Dalam kasus ini, Sinde dan BY
tidak independen karena keduanya memasukkan
ciptaan Wen Ken sebagai bagian dari ciptaan
mereka. Di samping itu, mereka menerima
lisensi merek dan hak cipta dari Wen Ken.
Dalam perjanjian lisensi, licensee tidak mungkin
independen dari licensor-nya.
ciptaan milik Wen Ken. Pada kenyataanya, Sinde
tidak pernah mengurus pendaftaran ciptaan
milik Wen Ken sebagaimana dimaksud dalam
perjanjian lisensi, namun ia justru mengurus
pendaftaran ciptaan yang lain yang di-claimed
sebagai karya bersama.
2.
Hukum Kontrak
Karena pemberian lisensi merupakan
suatu perjanjian atau kontrak, maka pelaksanaan
perjanjian lisensi harus berpedoman pada hukum
kontrak. Prinsip-prinsip hukum kontrak dengan
sendirinya berlaku pula dalam perjanjian lisensi
(Sujatmiko, Februari 2010: 124). Prinsip-prinsip
tersebut adalah prinsip kebebasan berkontrak,
prinsip konsensualisme, prinsip kesamaan
derajat, prinsip saling menguntungkan, dan
prinsip itikad baik (Sujatmiko, Juni 2010: 254258).
Prinsip kebebasan berkontrak memberikan
kebebasan bagi para pihak dalam perjanjian
untuk menentukan bentuk dan isi kontrak yang
mereka buat. Dalam perjanjian lisensi, licensor
dan licensee bebas merumuskan isi kontrak
mereka, misalnya berkaitan dengan hak dan
kewajiban licensor dan licensee, besarnya royalti
yang harus dibayar, jangka waktu pelaksanaan
perjanjian lisensi, dan penyelesaian sengketa
(Sujatmiko, 2012: 20).
Prinsip konsensualisme sebagaimana
diatur dalam Pasal 1320 KUHPer mensyaratkan
adanya kata sepakat dari kedua belah pihak
dalam pembuatan kontrak. Dalam perjanjian
lisensi, licensor dan licensee harus sepakat
mengenai seluruh hal yang diatur dalam kontrak
mereka, seperti hak dan kewajiban licensor dan
Dalih tersebut juga menunjukkan, bahwa licensee, besarnya royalti yang harus dibayar,
Sinde tidak melaksanakan isi perjanjian lisensi jangka waktu pelaksanaan perjanjian lisensi,
yang mengharuskan Sinde mengurus pendaftaran dan penyelesaian sengketa. Perjanjian lisensi
184 |
Jurnal Yudisial Vol. 6 No. 2 Agustus 2013: 173 - 188
lahir setelah licensor dan licensee mencapai kata memiliki itikad tidak baik dalam pelaksanaan
sepakat mengenai hal-hal tersebut (Sujatmiko, perjanjian lisensi.
Juni 2010: 255).
Dalam kasus Cap Kaki Tiga, perjanjian
Prinsip kesamaan derajat menempatkan lisensi antara Wen Ken dengan Sinde sebenarnya
para pihak dalam kontrak pada kedudukan yang telah memenuhi prinsip kebebasan berkontrak,
sederajat. Dalam perjanjian lisensi, kedudukan prinsip konsensualisme, prinsip kesamaan derajat,
licensor setara atau sederajat dengan kedudukan dan prinsip saling menguntungkan. Dalam
licensee (Sujatmiko, Juni 2010: 256). Dengan pelaksanaan perjanjian lisensi terjadi pelanggaran
demikian hak dan kewajiban licensor harus prinsip itikad baik oleh Sinde selaku licensee.
seimbang dengan hak dan kewajiban licensee. Wen Ken menghentikan perjanjian lisensi secara
Sebagai pemegang hak cipta, licensor tidak sepihak karena Sinde tidak membayar royalti
memiliki hak yang lebih besar dari pada hak dan tidak menyampaikan laporan produksi
licensee, dan kewajiban yang lebih ringan dari dan penjualan produk secara periodik, serta
pada kewajiban licensee.
menghilangkan Logo Kaki Tiga dari kemasan
Prinsip saling menguntungkan menghendaki
kedua belah pihak dalam kontrak sama-sama
memperoleh keuntungan dari kontrak tersebut.
Dalam perjanjian lisensi, licensor memperoleh
keuntungan berupa royalti, sedangkan licensee
memperoleh keuntungan menggunakan HKI
milik licensor yang biasanya sudah terkenal.
Berdasarkan prinsip ini, maka perjanjian lisensi
tidak boleh merugikan salah satu pihak, apalagi
kedua belah pihak (Sujatmiko, Juni 2010: 256257).
Prinsip itikad baik merupakan prinsip
dasar dalam kontrak yang menghendaki kedua
belah pihak dalam kontrak memiliki itikad baik
dalam pembuatan, pelaksanaan, dan pengakhiran
kontrak (Sujatmiko, 2012: 22). Itikad baik
diwujudkan dalam perbuatan baik yang sesuai
dengan norma dan kaidah yang berlaku di
masyarakat. Pelanggaran prinsip itikad baik akan
menyebabkan timbulnya sengketa antara kedua
belah pihak dalam kontrak. Begitu pula dalam
perjanjian lisensi, sengketa atau pengakhiran
perjanjian lisensi secara sepihak biasanya
diakibatkan karena licensor atau licensee
produk. Dengan demikian, Sinde tidak memenuhi
kewajiban yang telah disepakatinya dalam
perjanjian lisensi.
Berkaitan dengan sengketa hak cipta atas
Logo Cap Kaki Tiga dengan Lukisan Badak, Wen
Ken menuding Sinde memiliki itikad tidak baik
dalam mendaftarkan hak cipta atas Logo Cap
Kaki Tiga dengan Lukisan Badak, karena tanpa
seizin, persetujuan, dan sepengetahuannya, BY
mendaftarkan hak cipta atas Logo Cap Kaki Tiga
dengan Lukisan Badak sebagai milik bersama
antara Wen Ken, Sinde, dan BY.
Di tingkat Kasasi, MA menolak tudingan
itikad tidak baik tersebut dan menyatakan
bahwa pendaftaran yang dilakukan oleh Sinde
dan BY merupakan tindak lanjut dari perjanjian
lisensi. Pendapat MA tersebut tidak tepat, karena
pendaftaran hak cipta yang dilakukan oleh
Sinde dan BY bukanlah pendaftaran hak cipta
sebagaimana dimaksud dalam perjanjian lisensi.
MA seharusnya menetapkan terlebih dahulu, hak
cipta atas ciptaan apakah yang dimaksud dalam
perjanjian lisensi. Ketika perjanjian lisensi dibuat,
tentu saja Sinde dan BY belum menciptakan Seni
Kepemilikan Hak Cipta dalam Perjanjian Lisensi (Hesty D. Lestari)
| 185
Lukis Etiket. Artinya, ciptaan yang dimaksud
dalam perjanjian lisensi bukanlah Seni Lukis
Etiket, melainkan ciptaan yang telah dimiliki dan
digunakan oleh Wen Ken pada masa itu.
nya pada perusahaan nasional. Jika hukum di
Indonesia membolehkan perusahaan nasional
sebagai licensee untuk meng-claim HKI milik
licensor asing, itu artinya hukum di Indonesia
tidak dapat melindungi kepentingan licensor
Seandainya Sinde dan BY memiliki itikad
asing atau pemilik HKI dari luar negeri yang
baik untuk melaksanakan perjanjian lisensi,
memasarkan produknya di Indonesia.
maka mereka akan mendaftarkan hak cipta
milik Wen Ken atas nama Wen Ken. Faktanya
Selama ini, hukum HKI di Indonesia dinilai
mereka tidak melakukan hal tersebut. Tanpa lemah dan tidak jelas. Kurangnya pemahaman
seizin dan sepengetahuan Wen Ken, mereka HKI dari aparat penegak hukum dan lembaga
justru mendaftarkan hak cipta Seni Lukis Etiket peradilan menjadi salah satu penyebab hal
atas nama mereka dan Wen Ken. Seandainya tersebut. Meskipun Indonesia telah merevisi
mereka memiliki itikad baik, maka pendaftaran hukum HKI-nya agar sesuai dengan ketentuan
Seni Lukis Etiket itu pun harus dengan seizin dalam Perjanjian TRIPS, namun kepastian
dan sepengetahuan Wen Ken. Pada kenyataannya hukum tetap belum ada (Sinaga, 2013: 160).
hal tersebut tidak dilakukan, sehingga tudingan Banyaknya pelanggaran HKI asing di Indonesia
Wen Ken mengenai adanya itikad tidak baik dari menempatkan Indonesia pada priority watch list
Sinde dan BY dalam pendaftaran hak cipta atas di AS.
Seni Lukis Etiket tidaklah keliru.
Sebagai anggota World Trade Organisation
Dalam memutus kasus ini, MA mengabaikan (WTO), Indonesia terikat dengan Perjanjian
adanya perjanjian lisensi antara Wen Ken dengan TRIPS yang mengharuskan negara-negara
Sinde yang melatarbelakangi diproduksinya anggota WTO untuk melindungi HKI yang
minuman Larutan Penyegar Cap Kaki Tiga di berasal dari negara anggota WTO lainnya
Indonesia oleh Sinde. Jika tidak ada perjanjian (Sangsuvan, 2013: 1-2). Jika Indonesia gagal
lisensi tersebut, Sinde tidak akan memproduksi melindungi HKI dari negara anggota WTO
minuman dimaksud. MA hanya memperhatikan lainnya, maka negara tersebut dapat menggugat
prosedural pendaftaran hak cipta. Akibatnya Indonesia atas pelanggaran Perjanjian TRIPS di
putusan MA menjadi aneh: licensee berhak forum penyelesaian sengketa WTO.
mendapatkan hak cipta dari ciptaan yang menjadi
objek perjanjian lisensi, dan licensor tidak diakui IV. SIMPULAN
sebagai satu-satunya pencipta dan pemegang hak
Putusan kasasi dan PK MAyang memberikan
cipta atas ciptaan yang menjadi objek perjanjian
hak cipta atas Logo Cap Kaki Tiga dan Lukisan
lisensi.
Badak pada Sinde dan BY selaku licensee dan
Putusan MA baik di tingkat kasasi maupun tidak mengakui Wen Ken selaku licensor sebagai
di tingkat PK dalam kasus ini dapat menjadi satu-satunya pencipta dan pemegang hak cipta
preseden buruk bagi pelaksanaan perjanjian atas logo tersebut tidak tepat. Penulis sependapat
lisensi di Indonesia. Padahal saat ini banyak dengan putusan Pengadilan Niaga dan dissenting
perusahaan asing yang memberikan lisensi HKI- opinion dari Hakim Agung Prof. MK.
186 |
Jurnal Yudisial Vol. 6 No. 2 Agustus 2013: 173 - 188
Hak cipta memiliki karakteristik yang
lain dibandingkan dengan HKI lainnya, karena
hak cipta lahir secara otomatis setelah ciptaan
dihasilkan tanpa harus didaftarkan. Fungsi
pendaftaran ciptaan bukanlah untuk melahirkan
hak cipta, namun hanya menimbulkan anggapan
bahwa orang yang mendaftar adalah pencipta dan
pemegang hak cipta.
Dalam
perjanjian
lisensi,
licensor
memberikan izin kepada licensee untuk
mengumumkan dan memperbanyak ciptaan milik
licensor. Perjanjian lisensi tidak mengalihkan hak
cipta milik licensor pada licensee. Dengan dalih
apa pun, licensee tidak berhak mendapatkan hak
cipta dari ciptaan yang menjadi objek perjanjian
lisensi. Oleh karena itu, sebagai licensee Sinde
dan BY tidak berhak mendapatkan hak cipta atas
Jika ada pihak lain yang dapat membuktikan
Logo Cap Kaki Tiga dan Lukisan Badak.
sebaliknya, maka pendaftaran tersebut dapat
dibatalkan. Jadi pendaftaran hak cipta Logo Cap
Kaki Tiga dan Lukisan Badak yang dilakukan
Sinde dan BY dapat dibatalkan meskipun Wen Ken
tidak memiliki bukti pendaftaran hak cipta atas
DAFTAR PUSTAKA
logo tersebut dari negara Singapura dan negara
Aboud, Leslie. Winter 2013. “Who Owns the
lainnya, karena Wen Ken telah menggunakan
Ruby Slippers?: An Analysis of the Impact
logo tersebut sejak tahun 1937 dan merupakan
of Warner Bros. v. X One X on Visual
pihak pertama yang menggunakan logo tersebut.
Depictions in Copyright Law.” Journal of
Suatu ciptaan akan melahirkan hak
Corporation Law, Vol. 38.
cipta jika ciptaan tersebut asli karya pencipta.
Chan, Grace K. Winter 2013. “Downstream
Pembuktian keaslian ciptaan menggunakan
Alteration of Copyrighted Works in A
standar yang lebih rendah dibandingkan dengan
World of Licensed, Digital Distribution.”
pembuktian kebaruan invensi dalam paten.
Columbia Journal of Law & the Arts, Vol.
Suatu ciptaan yang identik dengan ciptaan lain
36.
tetap berhak mendapatkan hak cipta, sepanjang
ciptaan tersebut dihasilkan secara independen Classen, H. Ward. Maret/April 2013. “Assignment
oleh penciptanya tanpa meniru ciptaan dari
Clauses in Intellectual PropertyAgreements:
pencipta lain. Dalam menciptakan Seni Lukis
There Is More Than Meets The Eye.”
Etiket, Sinde tidaklah independen karena ia
Maryland Bar Journal, Vol. 46.
meniru Logo Cap Kaki Tiga dan Lukisan Badak
milik Wen Ken, dan ia terikat perjanjian lisensi Garner, Bryan A. (ed). 2000. Black’s Law
Dictionary, 7th ed.. St. Paul, Minnesota:
dengan Wen Ken. Karena unsur independensi
West Group.
tidak terpenuhi, maka Sinde dan BY seharusnya
tidak berhak mendapatkan hak cipta atas Logo Jankowski II, Donald Frank. Winter 2013. “The
Cap Kaki Tiga dan Lukisan Badak. Di samping
End of Ownership?” Marquette Intellectual
itu, Seni Lukis Etiket sebenarnya termasuk dalam
Property Law Review, Vol. 17.
kategori unauthorized derivative work sehingga
Kariodimedjo, Dina Widyaputri. Juni 2010.
tidak mendapat perlindungan.
“Perlindungan Hak Cipta, Hak Terkait, dan
Kepemilikan Hak Cipta dalam Perjanjian Lisensi (Hesty D. Lestari)
| 187
Desain Industri.” Jurnal Mimbar Hukum,
Vol. 22, No. 2.
Sujatmiko, Agung. Februari 2010. “Peran dan
Arti Penting Perjanjian Lisensi dalam
Melindungi Merek Terkenal.” Jurnal
Lindsey, Tim, et.al. 2006. Hak Kekayaan
Mimbar Hukum, Vol. 22, No. 1.
Intelektual: Suatu Pengantar. Bandung:
Asian Law Group Pty. Ltd. & PT Alumni. _______________. Februari 2012. “Permasalahan
Yuridis Yang Timbul Terkait Lisensi Merek
Merges, Robert P., et.al. 2003. Intelectual Property
Terkenal.” Jurnal Mimbar Hukum, Vol. 24,
in the New Technological Age. 3rd Ed. New
No. 1.
York: Aspen Publishers.
_______________. Juni 2010. “Perjanjian Lisensi
Newman, Christopher M. Maret 2013. “A
Merek Terkenal.” Jurnal Mimbar Hukum,
License Is Not A “Contract Not To Sue”:
Vol. 22, No. 2.
Disentangling Property and Contract in the
Law of Copyright Licenses.” Iowa Law Wikipedia. 2013. Copyright Registration.
Review, Vol. 98.
Akses tanggal 15 Maret 2013. (http://
en.m.wikipedia.org/wiki/Copyright_
Ponte, Lucille M. 2006. “The Emperor Has
registration).
No Clothes: How Digital Sampling
Infringement Cases Are Exposing
Weaknesses in Traditional Copyright Law
and the Need For Statutory Reform.”
American Business Law Journal, Vol 43.
Rahayu, Devi. Februari 2011. “Perlindungan
Hukum Terhadap Hak Cipta Motif Batik
Tanjungbumi Madura.” Jurnal Mimbar
Hukum, Vol. 23, No. 1.
Saidin, H. OK. 2006. Aspek Hukum Hak Kekayaan
Intelektual. Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada.
Sangsuvan, Kitsuron. Winter 2013. “Separation
of Powers in Intellectual Property Rights:
Balancing Global Intellectual Property
Rights or Monopoly Power in the TwentyFirst Century by Competition Law.” New
York International Law Review, Vol. 26.
Sinaga, Valerie Selvie. Februari 2013. “Intelectual
Property Law in Indonesia After 2001.”
Jurnal Mimbar Hukum, Vol. 25, No. 1.
188 |
Jurnal Yudisial Vol. 6 No. 2 Agustus 2013: 173 - 188
BIODATA PENULIS
Sefriani adalah staf pengajar hukum internasional Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia
Yogyakarta. S1 ditempuh di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada pada tahun 1993, S2 BKU
Hukum Internasional di PPS Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Bandung pada tahun 2001 dan
S3 di Program Doktor Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta tahun 2012. Penulis
dapat dihubungi melalui email: [email protected].
Wisnu Aryo Dewanto adalah dosen tetap di FH-Ubaya. Ia menyelesaikan S1 di Fakultas Hukum
Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Pada tahun 1999 Ia lulus program Master of Laws di Macquarie
University Faculty of Law, Sydney-NSW, Australia. Kemudian, tahun 2002 Ia mendapat kesempatan
untuk mengambil program Master of Laws kedua di University of Washington Law School, SeattleWA, United States of America melalui program beasiswa ELIPS II Project. Tahun 2006, penulis
mengambil S3 di Sekolah Pascasarjana, Program Doktor di Fakultas Hukum Universitas Gadjah
Mada melalui Beasiswa Program Pasca Sarjana (BPPS) Dikti. Saat ini, penulis menjabat sebagai
Wakil Dekan I Bidang Akademik dan Kemahasiswaan di FH-Ubaya. Penulis juga sebagai dosen luar
biasa di FBE-Ubaya khusus untuk kelas internasional dengan bahasa pengantar bahasa Inggris. Penulis
juga pernah mengajar di Universitas Pelita Harapan (UPH) dan Universitas Katolik Darma Cendika
(UKDC) di Surabaya. Selain aktif menulis, penulis juga aktif menjadi pembicara untuk membahas
isu-isu internasional dan juga pernah diminta oleh Kemlu RI untuk memberikan keterangan ahli pada
sidang di Mahkamah Konstitusi dalam perkara Nomor 33/PUU-IX/2011. Ada satu buku yang pernah
diterbitkan pada tahun 2005 mengenai Mahkamah Internasional. Penulis sangat senang berdiskusi
di bidang hukum internasional dan dapat dihubungi melalui HP: 08179389186 atau email: wisnu@
ubaya.ac.id dan [email protected].
Janpatar Simamora, lahir di Desa Jumaramba, Kecamatan Sumbul, Kabupaten Dairi, Sumatera
Utara. Menyelesaikan pendidikan Sarjana Hukum dengan konsentrasi Hukum Tata Negara di Fakultas
Hukum Universitas HKBP Nommensen Medan pada tahun 2005. Selama mahasiswa, pernah menjabat
sebagai Wakil Ketua BEM Fakultas Hukum Universitas HKBP Nommensen dan Pengurus Pusat DPP
ISMAHI serta staf khusus di BBH FH UHN. Pendidikan Magister Hukum diselesaikan di Program
Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta pada tahun 2011. Saat ini,
(2013) sedang mengikuti Program Doktor Ilmu Hukum di Universitas Padjadjaran Bandung. Beliau
merupakan Dosen Tetap Fakultas Hukum Universitas HKBP Nommensen Medan. Selain mengajar,
beliau juga aktif sebagai kolumnis di berbagai media cetak, baik lokal maupun nasional. Sampai saat
ini, lebih dari 600 tulisan telah dipublikasikan di berbagai surat kabar di Tanah Air serta sejumlah
tulisan di berbagai jurnal ilmiah. Di samping itu, beliau juga aktif mengikuti berbagai pertemuan
ilmiah dan narasumber pada sejumlah kegiatan seminar, diskusi maupun lokakarya. Beliau juga aktif
sebagai Legal Drafter di sejumlah institusi pemerintahan daerah. Penulis dapat dihubungi melalui
email: [email protected].
Wasisto Raharjo Jati, lahir di Kota Yogyakarta pada 15 Maret 1990. Pendidikan dasar dan menengah
diselesaikan di kota tersebut. Pada tahun 2012, telah menamatkan studi kuliah (S1) di Jurusan Politik
dan Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIPOL) Universitas Gadjah Mada. Aktif
menulis di berbagai jurnal ilmiah nasional terakreditasi yang dipublikasikan seperti Jurnal Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik, Jurnal Borneo Administrator, Jurnal Ulul Albab, Jurnal el-Harakah, dan jurnal
ilmiah lainnya. Aktif menulis kolom opini juga di berbagai macam media massa baik lokal maupun
nasional serta menulis dalam salah satu bab buku berjudul Penelitian Kualitatif: Pengalaman dari
UGM (2011) terbitan Center of Politic and Governance Studies, Jurusan Politik dan Pemerintahan,
FISIPOL UGM. Saat ini bekerja sebagai peneliti di Center of Politic and Media Research Yogyakarta.
Bidang kajian yang kini tengah digeluti adalah globalisasi, politik lokal, ekonomi-politik internasional
serta politik budaya. Korespondensi dengan penulis dapat dihubungi melalui email: wasisto.raharjo@
mail.ugm.ac.id.
W. Riawan Tjandra adalah dosen bidang Hukum Administrasi Negara pada Fakultas Hukum
Universitas Atma Jaya Yogyakarta, lulus S1 (cumlaude) dari Fakultas Hukum Universitas Brawijaya
Malang tahun 1993, lulus (cumlaude) dari Magister Ilmu Hukum bidang konsentrasi Hukum
Kenegaraan pada Program Pasca Sarjana UGM tahun 2003 dan lulus (cumlaude) dari Program Doktor
Ilmu Hukum FH-UGM tahun 2009. Sering diminta menjadi saksi ahli di Pengadilan Tipikor, PTUN,
dan sidang etik DKPP. Berpengalaman sebagai konsultan bidang pemerintahan dan legal drafter
pada penyusunan beberapa RUU dan Raperda. Menulis 15 buku di bidang Hukum Kenegaraan dan
lebih dari 150 artikel di berbagai media massa cetak nasional maupun lokal. Penulis dapat dihubungi
melalui HP: 08174120158 dan email: [email protected].
Hesty Diyah Lestari adalah dosen tetap di Program Magister Ilmu Hukum, Sekolah Pascasarjana,
Universitas Muhammadiyah Jakarta, dan dosen tidak tetap di Fakultas Hukum Universitas Nasional
dan Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara. Penulis menyelesaikan pendidikan S1 di Fakultas
Hukum Universitas Gadjah Mada (1992), S2 di Faculty of Law, the University of New South Wales,
Australia (1998), dan S3 di Juristische Fakultät, Universität Tübingen, Jerman (2006). Penulis
memiliki konsentrasi di bidang hukum ekonomi, utamanya hukum perusahaan, HKI, dan persaingan
usaha. Penulis pernah bekerja di Sekretariat Kabinet Republik Indonesia sebagai peneliti rancangan
peraturan perundang-undangan di bidang ekonomi, keuangan, dan industri (1993- 2002), dan di
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia sebagai staf ahli (1995-1997). Penulis dapat dihubungi melalui
email: [email protected].
PEDOMAN PENULISAN
Jurnal Yudisial adalah jurnal ilmiah berkala empat bulanan yang diterbitkan Komisi Yudisial
pada bulan April, Agustus, dan Desember, menerima naskah hasil penelitian atas putusan pengadilan
(court decision) suatu kasus konkret yang memiliki kompleksitas permasalahan hukum, baik dari
pengadilan di Indonesia maupun luar negeri. Penerbitan jurnal ini bertujuan mendukung eksistensi
peradilan yang akuntabel, jujur, dan adil. Isi tulisan dalam jurnal sepenuhnya merupakan pandangan
independen masing-masing penulis dan tidak merepresentasikan pendapat Komisi Yudisial.
FORMAT NASKAH
1. Naskah diketik dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris baku. Apabila ada kutipan langsung
yang dipandang perlu untuk tetap ditulis dalam bahasa lain di luar bahasa Indonesia atau Inggris,
maka kutipan tersebut dapat tetap dipertahankan dalam bahasa aslinya dengan dilengkapi
terjemahannya ke dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris.
2. Naskah diketik di atas kertas ukuran A-4 sepanjang 20 s.d. 25 halaman (sekitar 6.000 kata),
dengan jarak antar-spasi 1,5. Ketikan menggunakan huruf (font) Times New Roman berukuran
12 poin.
3. Semua halaman naskah diberi nomor urut pada margin kanan bawah.
SISTEMATIKA NASKAH
Judul Naskah
Judul ditulis dalam dua bahasa, yaitu bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Judul utama ditulis
di awal naskah dengan menggunakan huruf Times New Roman 14 poin, diketik dengan huruf kapital
seluruhnya, ditebalkan (bold), diletakkan di tengah margin (center text), dan maksimal 12 kata (anak
judul tidak dihitung). Tiap huruf awal anak judul ditulis dengan huruf kapital, ditebalkan, dengan
menggunakan huruf Times New Roman 12 poin. Contoh:
PERSELISIHAN HUKUM MODERN DAN HUKUM ADAT
DALAM KASUS PENCURIAN SISA PANEN RANDU
Kajian Putusan Nomor 247/Pid.B/2009/PN.BTG
Nama dan Identitas Penulis
Nama penulis ditulis tanpa gelar akademik. Jumlah penulis dibolehkan maksimal dua orang.
Setelah nama penulis, lengkapi dengan keterangan identitas penulis, yakni nama dan alamat lembaga
tempat penulis bekerja, serta akun email yang bisa dihubungi. Nama penulis dicetak tebal (bold), tetapi
identitas tidak perlu dicetak tebal. Semua keterangan ini diketik dengan huruf Times New Roman 12
poin, diletakkan di tengah margin. Contoh:
Mohammad Tarigan
Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara
Jl. S. Parman No. 1 Jakarta 11440,
email [email protected].
Abstrak
Abstrak ditulis dalam dua bahasa sekaligus, yaitu bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Panjang
abstrak dari masing-masing bahasa sekitar 200 kata, disertai dengan kata kunci (keywords) sebanyak
3 s.d. 5 terma (legal terms). Jarak antar-spasi 1,0 dan dituangkan dalam satu paragraf.
I.
PENDAHULUAN
Subbab ini berisi latar belakang dari rumusan masalah dan ringkasan jalannya peristiwa hukum
(posisi kasus) yang menjadi inti permasalahan dalam putusan tersebut.
II.
RUMUSAN MASALAH
Subbab ini memuat formulasi permasalahan yang menjadi fokus utama yang akan dijawab
nanti melalui studi pustaka dan analisis. Rumusan masalah sebaiknya diformulasikan dalam bentuk
pertanyaan. Setiap rumusan masalah harus diberi latar belakang yang memadai dalam subbab
sebelumnya.
III. STUDI PUSTAKA DAN ANALISIS
Subbab ini diawali dengan studi pustaka, yakni tinjauan data/informasi yang diperoleh melalui
bahan-bahan hukum seperti perundang-undangan dan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, juga
hasil-hasil penelitian, buku, dan artikel yang relevan dan mutakhir. Paparan dalam studi pustaka
tersebut harus menjadi kerangka analisis terhadap rumusan masalah yang ingin dijawab. Bagian
berikutnya adalah analisis permasalahan. Analisis harus dikemas secara runtut, logis, dan terfokus,
yang di dalamnya terkandung pandangan orisinal dari penulisnya. Bagian analisis ini harus menyita
porsi terbesar dari keseluruhan substansi naskah.
IV. SIMPULAN
Subbab terakhir ini memuat jawaban secara lengkap dan singkat atas semua rumusan masalah.
PENGUTIPAN DAN DAFTAR PUSTAKA
Sumber kutipan ditulis dengan menggunakan sistem catatan perut (body note atau side note)
dengan urutan nama penulis/lembaga, tahun terbit, dan halaman yang dikutip. Tata cara pengutipannya
adalah sebagai berikut:
1.
2.
3.
4.
Satu penulis: (Grassian, 2009: 45); Menurut Grassian (2009: 45), ...
Dua penulis: (Abelson & Friquegnon, 2010: 50-52);
Lebih dari dua penulis: (Hotstede et.al., 1990: 23);
Terbitan lembaga tertentu: (Cornell University Library, 2009: 10).
Kutipan tersebut harus ditunjukkan dalam daftar pustaka (bibliografi) pada akhir naskah. Tata
cara penulisan daftar pustaka dilakukan secara alfabetis, dengan contoh sebagai berikut:
Abelson, Raziel & Marie-Louise Friquegnon. Eds. 2010. Ethics for Modern Life. New York:
St. Martin’s Press.
Cornell University Library. 2009. “Introduction to Research.” Akses 20 Januari 2010. <http://
www.library.cornell.edu/resrch/intro>.
Grassian, Victor. 2009. Moral Reasoning: Ethical Theory and Some Contemporary Moral
Problems. New Jersey: Prentice-Hall.
Pengacuan pustaka 80% harus dari terbitan lima tahun terakhir dan 80% harus berasal dari
sumber acuan primer. Pengacuan pustaka tidak boleh berasal dari blog pribadi, harus dari situs ilmiah
yang kredibel.
PENILAIAN
Semua naskah yang masuk akan dinilai dari segi format penulisannya oleh tim penyunting.
Naskah yang memenuhi format selanjutnya diserahkan kepada mitra bestari untuk diberikan catatan
terkait kualitas substansinya. Setiap penulis yang naskahnya diterbitkan dalam Jurnal Yudisial berhak
mendapat honorarium dan beberapa eksemplar bukti cetak edisi jurnal tersebut.
CARA PENGIRIMAN NASKAH
Naskah dikirim dalam bentuk digital (softcopy) ke alamat e-mail:
[email protected]
dengan tembusan ke:
[email protected] dan [email protected]
Personalia yang dapat dihubungi (contact persons):
Dinal Fedrian (085220562292); atau
Arnis (08121368480).
Alamat redaksi:
Pusat Analisis dan Layanan Informasi, Gd. Komisi Yudisial Lt. 3, Jl. Kramat Raya No. 57
Jakarta Pusat 10450, Telp. (021) 390 5876, Fax. (021) 3906215.
Download