PENDAHULUAN Latar Belakang Penghutanan kembali (reforestation) dengan menggunakan spesies tanaman yang tumbuh cepat (fast-growing) merupakan salah satu solusi untuk mengatasi masalah menurunnya area hutan, degradasi lingkungan hutan, dan menurunnya suplai kayu dikarenakan eksploitasi hutan. Spesies tanaman yang tumbuh cepat dapat bersifat indigenus maupun eksotik. Salah satu spesies tanaman indigenus yang tumbuh cepat yang dengan intensif dikembangkan sebagai Hutan Tanaman Industri (HTI) di Indonesia adalah tanaman akasia. Menurut Hadi dan Nuhamara (1996) Pemerintah Indonesia telah memulai program penanaman tanaman akasia dalam perkebunan skala besar sejak tahun 1984. Hal ini untuk mendukung penyediaan kayu secara berkesinambungan bagi industri yang berbasiskan kayu dan juga mengurangi tekanan terhadap hutan tropika. Kayu merupakan sumber energi biomassa utama bagi jutaan orang di negara sedang berkembang. Permintaan akan kayu meningkat setiap tahunnya seiring meningkatnya jumlah penduduk (World Wide Wattle 2004). Tanaman akasia (Acacia sp.) telah ditanam di lebih dari 80 negara di dunia termasuk Indonesia. Tanaman akasia ini dapat digunakan untuk berbagai keperluan seperti diambil kayunya, diolah menjadi bubur kayu (wood pulp), kertas, bahan bakar (fuel), dan sebagainya (Eldoma dan Awang 1999). Daya adaptasinya yang luas baik pada ekosistem sangat basah maupun sangat kering, kemampuannya bersimbiosis dengan bakteri tanah yang dapat menfiksasi nitrogen, pertumbuhan, hasil, dan kualitas yang lebih baik, menjadikan tanaman akasia sebagai tanaman yang sangat menjanjikan untuk diusahakan secara luas (Eldoma dan Awang 1999; Old et al. 1999). Beberapa spesies tanaman akasia yang dikembangkan di Indonesia adalah Acacia auriculiformis, A. mangium, A. crassicarpa, dan A. aulacocarpa (Zulfiyah dan Gales 1996; Hadi dan Nuhamara 1996). Dalam usaha pembibitannya banyak kendala yang dihadapi dan salah satunya adalah gangguan serangan hama dan patogen. Beberapa penyakit yang sering menyebabkan kerusakan pada pembibitan tanaman akasia adalah karat tumor (gall rusts), embun tepung 2 (powdery mildew), becak daun (leaf spot), rebah semai (damping-off), nekrosis pucuk (tip necrosis) (Hadi dan Nuhamara 1996), dan hawar daun (Budi Tjahjono 2004, komunikasi pribadi). Berdasarkan pengamatan mikroskopik terhadap jaringan daun yang terinfeksi hawar didapatkan tanda penyakit berupa aliran ooze bakteri dari potongan daun yang bergejala. Penyakit hawar daun bakteri (bacterial leaf blight) merupakan salah satu penyakit yang dijumpai pada pembibitan tanaman Acacia crassicarpa di Riau. Penyebab penyakit hawar daun bakteri ini hanya menyerang bibit tanaman A. crassicarpa (inang spesifik) dan tidak menyerang spesies tanaman akasia yang lain termasuk tanaman eucalyptus, meskipun mereka ditanam secara berdampingan di pembibitan (Budi Tjahjono 2004, komunikasi pribadi). Penyakit hawar daun bakteri ini merupakan penyakit baru pada pembibitan tanaman A. crassicarpa di Indonesia (khususnya ditemukan di pembibitan tanaman akasia di Riau) karena belum dilaporkan keberadaannya baik di Indonesia maupun negara lain yang menanam tanaman akasia. Penyakit ini muncul sejak tahun 2003 dan menyebabkan kerugian yang cukup signifikan dalam pengadaan bibit tanaman akasia. Beberapa usaha pengendalian terhadap penyakit hawar daun bakteri sudah dilakukan di pembibitan tanaman A. crassicarpa diantaranya penjarangan (spacing), perlakuan benih, penggunaan bakterisida, sanitasi lingkungan, penggunaan mikrob antagonis Pseudomonas fluorescens, Trichoderma spp. dan Bacillus subtilis. Usaha pengendalian yang dilakukan dengan menggunakan bakterisida antara lain Agrept 20 WP dan Kasumin 5/75 WP dengan interval penyemprotan seminggu dan konsentrasi 2,5 - 5,0 g/l belum mampu menekan perkembangan penyakit ini (Budi Tjahjono Agustus 2004, komunikasi pribadi). Usaha pengendalian yang telah dilakukan nampaknya belum menunjukkan hasil yang optimal. Hal ini terlihat dari masih tingginya kejadian penyakit di pembibitan sehingga dari 5 juta bibit yang harus disediakan per bulan hanya 3-4 juta (tahun 2004) dan 1 (satu) juta (tahun 2005) yang mampu diproduksi (Budi Tjahjono Juni 2005, komunikasi pribadi). Kerugian yang ditimbulkan ini berkisar 20 - 80%. Bagi perusahaan yang harus menyediakan bibit dalam jumlah besar angka ini sangat meresahkan. Meskipun serangan patogen penyebab penyakit 3 hawar daun ini tidak mengakibatkan matinya bibit tanaman akasia, namun kerugian yang ditimbulkan cukup besar karena menurunnya kualitas bibit yang dihasilkan. Tanaman akasia di pembibitan yang terinfeksi hawar daun sampai 20% masih tetap dapat ditanam di lapang dan tanaman menjadi tahan terhadap penyakit ini dengan semakin bertambahnya umur tanaman. Sampai sekarang ini belum dikarakterisasi dan diidentifikasi bakteri patogen yang menyebabkan penyakit hawar daun pada bibit tanaman A. crassicarpa ini. Untuk itu perlu dilakukan karakterisasi dan identifikasi dari bakteri penyebab penyakit hawar daun pada bibit tanaman A. crassicarpa baik karakteristik fenotipik maupun molekulernya. Diagnosis suatu penyakit baru atau yang belum terdapat dalam daftar penyakit yang sudah baku dapat dilakukan dengan dua cara (Hayward 1983; Lelliott dan Stead 1987). Pertama, cara diagnosis pendugaan (presumtive diagnosis) untuk mendapatkan informasi yang cepat tentang penyakit baru tersebut sehingga metode pengendalian yang memadai dapat direkomendasikan. Cara diagnosis pendugaan yang cepat ini biasanya sangat dibutuhkan oleh petani hortikultura. Pengamatan berdasarkan pada gejala, karakteristik koloni patogen pada media isolasi, dan sejumlah kecil uji kunci termasuk dalam cara diagnosis pendugaan yang cepat. Kedua, cara diagnosis konfirmasi (confirmatory diagnosis) untuk mendapatkan identifikasi yang akurat sehingga memenuhi standar daftar penyakit dan diterima oleh komunitas keilmuan yang ada. Identifikasi patogen baik secara fisiologi maupun molekuler dan pengujian pada inang termasuk dalam cara diagnosis konfirmasi ini. Pengamatan gejala dan tanda penyakit merupakan langkah awal dalam diagnosis suatu penyakit baru. Akan tetapi, pengamatan gejala penyakit saja tidak cukup untuk mengidentifikasi suatu penyakit. Oleh karena itu, untuk memperoleh hasil diagnosis yang akurat perlu dilakukan uji postulat Koch. Postulat Koch bertujuan untuk mengetahui apakah suatu patogen yang diisolasi dari tanaman yang terinfeksi penyakit baru tersebut memang benar merupakan penyebab dari gejala penyakit yang ditimbulkannya. Langkah postulat Koch tersebut antara lain: patogen harus ditemukan berasosiasi dengan tanaman sakit yang diuji, patogen harus dapat diisolasi dan ditumbuhkan sebagai kultur murni pada media nutrisi 4 (untuk parasit non-obligat) atau harus ditumbuhkan pada tanaman inang rentan (untuk parasit obligat), patogen dari kultur murni tersebut harus diinokulasikan pada tanaman sehat dari spesies yang sama atau varietas yang menunjukkan gejala penyakit tersebut dan harus menghasilkan penyakit yang sama pada tanaman yang diinokulasikan, dan langkah terakhir adalah patogen harus dapat diisolasi kembali sebagai kultur murni dengan karakteristik yang sama seperti isolasi pertama (Agrios 1997). Karakterisasi bakteri patogen secara fenotipik penting untuk mendapatkan gambaran tentang bakteri patogen seperti morfologi sel dan koloni maupun karakter fisiologi dan biokimianya. Identifikasi secara biokimia dan fisiologi berdasarkan pada metabolisme senyawa-senyawa tertentu seperti uji reaksi gram, uji fluoresens, uji oksidase, uji oksidatif/fermentatif, uji urease, dan sebagainya bertujuan untuk mengetahui identitas genus dan spesies bakteri penyebab penyakit hawar daun pada bibit tanaman A. crassicarpa (Hayward 1983a; Schaad 2001). Selain analisis fenotipik, analisis secara molekuler perlu dilakukan untuk konfirmasi identifikasi secara non-molekuler yang telah dilakukan. Menurut Suwanto (1994) hasil analisis fenotipik seperti uji fisiologi atau biokimia sering sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan atau kondisi sel itu sendiri. Metoda molekuler yang berbasiskan DNA memiliki keuntungan karena keakuratan identifikasi tidak tergantung pada kondisi lingkungan, umur, atau sifat fisiologi dari patogen, namun lebih tergantung pada kualitas DNA yang diekstraksi (Louws dan Cuppels 2001). Identifikasi secara molekuler ini penting untuk mendapatkan gambaran yang akurat tentang penyebab penyakitnya. Selain itu, untuk tujuan jangka panjang informasi ini akan berguna sebagai dasar untuk penelitian selanjutnya. Teknik molekuler yang digunakan untuk mendukung identifikasi bakteri secara non-molekuler adalah menggunakan sekuensing gen 16Sr-RNA. Hal ini karena ribosomal RNA ada pada semua organisme dan merupakan target molekul yang baik. Sekuensing gen 16Sr-RNA dapat dilakukan dengan mengamplifikasi bagian 16Sr-RNA dari DNA dengan menggunakan teknik PCR (polymerase chain reaction) dan primer universal untuk prokaryot. Produk amplifikasi PCR dapat langsung disekuen atau dipurifikasi dahulu dan diligasikan ke dalam vektor. Hasil 5 sekuensing dapat dianalisis dengan menggunakan database internet dengan menggunakan fasilitas program BLAST (Dickstein et al. 2001). Hasil analisis dengan program BLAST ini dapat menunjukkan apakah spesies bakteri yang menyebabkan penyakit hawar daun pada bibit tanaman A. crassicarpa sama dengan spesies yang sudah ada atau merupakan spesies baru. Deteksi dan identifikasi secara non-molekuler berdasarkan pada karakterisasi morfologi sel maupun koloni, uji fisiologi dan biokimia termasuk uji patogenisitas dari patogen biasanya membutuhkan waktu yang lama. Dengan makin berkembangnya teknik identifikasi patogen baik teknik serologi maupun teknik molekuler maka waktu yang dibutuhkan untuk deteksi dan identifikasi patogen jauh lebih cepat, akurat, spesifik, dan sensitif. Contohnya, untuk mendeteksi Pseudomonas avellanae agen penyebab menurunnya hazelnut di Northern Greece dan central Italy membutuhkan sedikitnya 6-7 bulan untuk identifikasi patogen secara lengkap berdasarkan teknik tradisional, sedangkan dengan menggunakan teknik repetitive-PCR dengan primer ERIC hanya dibutuhkan 4-6 hari (Scortichini dan Marchesi 2001). Pengadaan bibit tanaman A. crassicarpa dalam jumlah banyak dan secara terus menerus sepanjang tahun dapat memicu ledakan (epidemi) penyakit di pembibitan tanaman akasia. Menurut Sinaga (2003) beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya epidemik penyakit adalah tersedianya inang secara berkesinambungan dan bersifat rentan, adanya patogen yang virulen, dan adanya faktor lingkungan yang mendukung perkembangan patogen. Untuk itu perlu dikaji beberapa faktor yang dapat meningkatkan perkembangan penyakit di pembibitan tanaman A. crassicarpa. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mendeskripsikan perkembangan gejala penyakit hawar daun bakteri serta pembuktian uji Postulat Koch, (2) mengetahui morfologi bakteri dan mengidentifikasi bakteri penyebab penyakit hawar daun pada bibit tanaman A. crassicarpa dengan cara uji fisiologi dan biokimia, (3) mengidentifikasi bakteri penyebab penyakit hawar daun pada bibit tanaman A. crassicarpa dengan teknik molekuler, (4) mengetahui pengaruh kultur teknis 6 terhadap perkembangan penyakit hawar daun bakteri pada bibit tanaman A. crassicarpa, (5) mengetahui populasi bakteri patogen hawar daun di sekitar tanaman inang, (6) mengetahui pengaruh curah hujan dan bibit asal biji dan stek terhadap perkembangan penyakit hawar daun bakteri pada bibit tanaman A. crassicarpa. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan berguna dalam menyediakan informasi dasar tentang bakteri penyebab penyakit hawar daun pada bibit tanaman A. crassicarpa terutama tentang spesies yang menyerang, karakteristik fenotipik dan molekuler, serta faktor yang mempengaruhi terjadinya epidemi penyakit. Informasi ini diharapkan dapat membantu dalam menyusun pengelolaan penyakit yang tepat. Strategi Penelitian Strategi penelitian yang ditempuh untuk mencapai tujuan penelitian yang sudah diuraikan tersebut meliputi kelompok tahapan penelitian sebagai berikut: (1) survei, koleksi, isolasi dan uji postulat Koch bakteri penyebab penyakit hawar daun pada bibit tanaman A. crassicarpa, (2) karakterisasi dan identifikasi bakteri penyebab penyakit hawar daun pada bibit tanaman A. crassicarpa dengan uji fisiologi dan biokimia dan dengan teknik molekuler, (3) kajian faktor epidemik penyakit hawar daun bakteri. Bagan alur dari strategi penelitian disajikan pada Gambar 1. 7 Penyakit Hawar Daun Bakteri Pada Tanaman Acacia crassicarpa Masalah di Pembibitan Pengamatan Gejala dan Perkembangan Penyakit Kajian Epidemi Penyakit Koleksi tanaman sakit dan isolasi bakteri patogen hawar daun Isolat Murni Patogen Hawar daun Uji Postulat Koch Identifikasi Bakteri Patogen Hawar Daun Uji morfologi, Uji Fisilogi dan Biokimia *Pengaruh kultur teknis *Deteksi patogen pada benih, air, dan media tanam *Pengaruh curah hujan *Pengaruh bibit asal biji & stek Uji Molekuler Isolasi DNA Uji Genus PCR dan Purifikasi DNA Uji Spesies Sekuen Gen 16S-rRNA Spesies teridentifikasi Program BLAST Spesies Sama/Baru Informasi Dasar Gambar 1. Bagan kerangka alur penelitian