BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pada tahun 2015 lebih dari 1,1 triliun orang merokok tembakau. Angka ini jauh lebih banyak pada pria dibandingkan pada wanita. Walaupun terjadi penurunan secara luas di seluruh dunia dan dibeberapa negara, prevalensi dari merokok tembakau sejatinya mengalami kenaikan menurut data yang diperoleh dari WHO ( World Health Organization) di negara bagian Mediterania Timur dan Afrika (WHO, 2016) . Persentase perokok di negara ASEAN untuk negara Indonesia (46,16%), Filipina (16,62%), Vietnam (14,11%), Myanmar (8,73%), Thailand (7,74%), Malaysia (2,9%), Kamboja (2,07%), Laos (1,23%), Singapura (0,39%) dan Brunei (0,04%) (Depkes RI, 2016). Angka kerugian akibat rokok tiap tahunnya mencapai US$ 200 juta, sedangkan angka kematian akibat penyakit yang disebabkan oleh rokok terus mengalami peningkatan. Kini di seluruh dunia jumlah perokok mencapai angka 1,2 milyar orang dan 800 juta orang di antaranya berada di negara berkembang. Berdasarkan data yang didapatkan dari WHO, Indonesia menempati peringkat ketiga dengan jumlah perokok terbesar di dunia setelah negara Cina dan India. Pada tahun 2030 diperkirakan akan mencapai 10 juta jiwa untuk angka kematian perokok di dunia, dan 70% di antaranya berasal dari negara berkembang, saat ini 50% angka kematian yang diakibatkan oleh rokok berasal dari negara berkembang (Depkes RI, 2016). Jika ini terus berlanjut, maka sekitar 650 juta orang akan terbunuh oleh rokok yang setengahnya merupakan usia produktif dan akan kehilangan umur hidup (lost life) sebesar 20-25 tahun (BANK, 2016). Pengeluaran di rumah tangga termiskin, jauh lebih tinggi untuk rokok dibandingkan pengeluaran yang lebih penting seperti biaya pendidikan, kesehatan, telur, susu dan daging. Pengeluaran terhadap rokok 5 kali lebih banyak dibanding telur dan susu, 6,5 kali lebih besar dari biaya pendidikan dan kesehatan serta 9 kali lebih banyak dibanding pengeluaran untuk kebutuhan daging (Depkes, 2016). Perokok memiliki 7,8 kali risiko mengidap kanker 1 2 paru-paru dan meningkatkan risiko impotensi sampai dengan 50%. Delapan ratus lima puluh lima rumah tangga di Indonesia terpapar asap rokok di mana 8 perokok aktif meninggal dan satu perokok pasif meninggal terpapar asap rokok perokok lain. Sedikitnya 25.000 kematian perokok pasif yang di karenakan paparan asap dari perokok lain di Indonesia (Riskesdas, 2013). Sedikitnya terjadi peningkatan proporsi masyarakat yang merokok setiap hari dari tahun 2007 hingga tahun 2013 (Riskesdas 2013 ; BPS 2013). Rata-rata jumlah batang rokok perhari yang dihisap sebanyak 12 batang, jika satu bungkus rokok kretek isi 12 merk “X” seharga Rp. 12.500,maka dalam sehari telah “membakar rupiah” sebesar 48.400.332 jiwa x Rp. 12.500,- berjumlah Rp. 605.004.150.00,- (Pusat Data Dan Informasi, Kemenkes RI 2015). Hampir 80% perokok mulai merokok sebelum mencapai usia 19 tahun. Sejak muda mereka mulai merokok dan tidak mengetahui risiko yang ditimbulkan dari zat adiktif yang terkandung dalam rokok. Proporsi tertinggi perokok setiap hari berada di Provinsi Kepulauan Riau (27,2%), dan terendah berada di Provinsi Papua (16,2%). Lima provinsi tertinggi dengan proporsi perokok adalah Kepulauan Riau, Jawa Barat, Bengkulu, Gorontalo dan Nusa Tenggara Barat, (WHO Web site, 2016). Prevalensi perokok di Jawa Tengah tahun 2010 mecapai 34,7% di mana lebih dari separuh perokok (52,3%) menghisap 1-10 batang rokok setiap hari, 2 dari 5 perokok saat ini merokok rata-rata 11-20 batang setiap hari, 4,7% perokok merokok 21-30 batang setiap hari, 2,1% perokok merokok lebih dari 30 batang setiap hari sedangkan pada tahun 2013 untuk jenis kelamin laki-laki mencapai 36%. Kecenderungan perokok di usia ≥15 tahun mencapai 67% (Riskesdas, 2013). Pendengaran merupakan salah satu dari pancaindera yang digunakan untuk komunikasi dan berinteraksi, antar sesama manusia maupun dengan lingkungan sekitarnya. Gangguan dengar akan mengurangi kemampuan menerima informasi dan komunikasi melalui suara. Sehingga akan menyulitkan pelaksanaan pekerjaan (Afriani, 2012). Sampai dengan tahun 1995, (WHO) memperkirakan secara kasar bahwa di dunia terdapat kurang lebih 120 juta orang yang mempunyai 3 permasalahan dengan pendengaran yaitu sekitar 2% dari populasi keseluruhan. Perkiraan angka ini naik pada tahun 2003 yaitu sekitar 240 juta orang, sekitar 78 juta di antaranya berada di negara berkembang (Anggraeni, 2012). Berdasarkan survei mengenai kesehatan indera pendengaran dan penglihatan di tujuh provinsi pada tahun 1994-1996 ternyata dari seluruh penyakit telinga, hidung, tenggorokan dan mata, penyakit THT (Telinga, Hidung, Tenggorok) sebesar 38%, sedangkan 16,8% merupakan penyakit telinga (Depkes RI, 2010). Survei terakhir dari Multi Center Study (MCS) juga menyebutkan bahwa Indonesia merupakan salah satu dari empat negara di Asia Tenggara dengan prevalensi gangguan pendengaran cukup tinggi, yakni 4,6% sementara tiga negara lainnya yakni Sri Lanka (8,8%), Myanmar (8,4%), dan India (6,3%). Menurut studi tersebut prevalensi 4,6% sudah bisa menjadi referensi bahwa gangguan pendengaran memiliki andil besar dalam menimbulkan masalah sosial di tengah masyarakat (Tjah, 2013). Pada penelitian pertama yang telah dilakukan di The United States dan dipublikasikan di jurnal American Medical Assosiation menyebutkan bahwa risiko penurunan fungsi pendengaran sering meningkat dengan jumlah rokok yang dihisap. Dalam beberapa kasus, gangguan pendengaran meningkat secara proporsional dengan intensitas dan durasi terpapar rokok. Dari penelitian tersebut didapatkan 25,9% perokok pada grup penelitian usia muda, usia 48 hingga 59 tahun di mana rokok menyebabkan penurunan pendengaran dibandingkan dengan 16,1% di antara non-smokers. Terdapat 22,7% dari mantan perokok menderita gangguan penurunan pendengaran (Hear-it, 2016). Peningkatan jumlah dari kimia toksik yang terhirup seperti formaldehyde, arsenic, vinyl chloride, ammonia dan hydrogen cyanide termasuk nikotin merupakan ototoksik (Freuler, 2016). Dimana ototoksik dapat menyebabkan penurunan fungsi pendengaran. Tuli akibat ototoksik yang menetap malahan dapat terjadi berhari-hari, berminggu-minggu, atau berbulanbulan setelah selesai pengobatan (Soepardi et al, 2012). 4 Berdasarkan latar belakang di atas, maka peneliti ingin mengetahui lebih lanjut hubungan antara frekuensi merokok dengan gangguan pendengaran di RSUD Dr. Moewardi. B. Rumusan Masalah Adakah hubungan antara frekuensi merokok dengan gangguan pendengaran di RSUD Dr. Moewardi ? C. Tujuan Penelitian Untuk menganalisis ada tidaknya hubungan antara frekuensi merokok dengan gangguan pendengaran di RSUD Dr. Moewardi. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoretis Dapat menambah wawasan peneliti mengenai hubungan antara frekuensi merokok dengan gangguan pendengaran di RSUD Dr. Moewardi . 2. Manfaat Praktis a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan wawasan dan informasi tentang frekuensi merokok terhadap gangguan pendengaran. b. Dapat meningkatkan kesadaran para pria tentang bahaya merokok.