BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Era globalisasi di abad 20 telah menampakkan begitu pesatnya arus
perubahan dalam kehidupan masyarakat. Globalisasi yang telah mendobrak
batas-batas territorial tiap-tiap negara dengan didukung kemajuan teknologi
informasi dan komunikasi, telah memberikan pengaruh yang besar dalam
kenampaan sosial saat ini. Hal tersebut terlihat dengan pengaruh media yang
begitu besar dalam mempengaruhi perkembangan trend, gaya hidup, bahkan
cara pandang masyarakat secara luas. Franz Magnis Suseno menjelaskan
bahwa hadirnya globalisasi mempengaruhi penyebaran yang tidak hanya
gagasan seperti ekonomi pasar dan demokrasi, tetapi lewat pengaruh media
juga mempengaruhi menyebarluasnya berbagai kebiasaan rekreatif tertentu
(Suseno, 2007: 202). Dapat dikatakan bahwa pengaruh tersebut tidak terbatas
hanya pada suatu kawasan, daerah, atau territorial dari suatu negara saja,
tetapi telah berpengaruh secara luas keseluruh penjuru dunia.
Globalisasi yang didukung perkembangan teknologi informasi dan
komunikasi
tersebut
memperlihatkan
besarnya
peran
media
dalam
mempengaruhi gerak kehidupan masyarakat. Media seperti stasiun televisi
dengan iklan serta berbagai tayangannya telah mampu merangsang alam sadar
1
2
masyarakat luas dengan mendorong untuk terus mengkonsumsi berbagai
produk yang bukan atas dasar kebutuhan, tetapi karena dianggap modern,
kekinian, dan bahkan membawa pada nilai prestis tertentu. Dalam hal ini tidak
dapat dipungkiri bahwa perkembangan globalisasi tidak lain dan tidak bukan
digerakkan oleh suatu sistem yang memicu gerak konsumsi masyarakat.
Media telah mampu memperdaya masyarakat dengan jeratan budaya populer
yang sengaja diproduksi untuk kepentingan komersial, yaitu untuk tujuan
pengerukan keuntungan dengan memicu daya konsumsi yang tidak akan
pernah ada habisnya. Produk globalisasi seperti gadget, makanan cepat saji,
kosmetik dan lain sebagainya adalah berbagai produk budaya populer yang
selalu terus mengalami inovasi yang sebenarnya tidak banyak membawa
manfaat bagi masyarakat. Konsumsi dalam hal ini tidak dapat dilihat sekedar
sebagai
salah
satu
sisi
pasangan
produksi-konsumsi
dari
proses
perekonomian, tetapi nyatanya telah menjadi suatu roda penggerak dari
gerbong globalisasi.
Perbincangan tentang globalisasi tidak dapat luput dengan
persoalan tentang keberadaan pasar bebas. Pasar bebas menjadi tolok ukur
serta otoritas yang paling berkuasa dalam gerak roda perekonomian
masyarakat dunia saat ini, yang mana dengan kekuatan pasar bebas telah
mermicu terjadinya persaingan secara bebas terutama dalam dunia bisnis.
Prinsip-prinsip pasar bebas tersebut merupakan ide yang dikemukakan oleh
3
Smith dan Ricardo dan masih berlangsung sampai saat ini, yaitu hadirnya
sebuah pasar global yang terbuka, dimana barang dan jasa dapat bergerak
bebas melewati batas-batas negara, dan menghilangkan intervensi negara
terhadap
pasar
dan
hal
tersebut
menumbuhkan
persaingan
dalam
meningkatkan penggunaan sumber daya alam, manusia serta modal (Burchill
dan Linklater, 2009: 74, 75). Bebas dalam hal ini dengan artian bahwa
mudahnya berbagai perusahaan asing menembus perdagangan setiap negara
termasuk di Indonesia dan berdampak pada lumpuhnya berbagai perusahaan
lokal, terutama perusahaan kecil yang kalah saing. Hal tersebut dapat
menjelaskan bahwa globalisasi tidak pernah mampu bersifat netral, karena
akan selalu ada yang menang dan ada yang kalah (Suseno, 2007: 203).
Keberadaan persaingan bebas ini cukup mempengaruhi cara
pandang masyarakat, seperti halnya kondisi dalam dunia kerja suatu nuansa
kompetitif sangat lah dapat mewakili kondisi tersebut. Dengan lapangan
pekerjaan yang terbatas dan jumlah angkatan kerja yang begitu besar
menimbulkan kompetisi yang begitu sengit dalam masyarakat, tidak hanya itu
peran tenaga asing serta kecanggihan teknologi dengan mesin-mesin yang
telah mampu menggantikan tenaga dan pikiran manusia telah menjadi momok
bagi para tenaga kerja Indonesia. Hal tersebut kemudian memunculkan
kecenderungan timbulnya cara-cara yang tidak sehat, seperti terjadinya
4
praktik suap dan nepotisme. Gerak kehidupan masyarakat telah didorong
kearah kompetitif dan egoistis dengan mengutamakan keuntungan pribadi.
Permasalahan sosial dalam masyarakat di era globalisasi khususnya
di Indonesia pada perkembangannya dipengaruhi tidak hanya terbatas pada
faktor yang bersifat fisik dan sistemik meliputi pengaruh birokrasi, sistem
industrial, maupun faktor ekonomi serta politik secara global saja, tetapi lebih
dalam menjadi suatu permasalahan mental. Kecenderungan terhadap
pengutamaan profit dalam rangka menumpuk kekayaan materi untuk dapat
membeli dan memiliki berbagai produk yang dianggap mutakhir dalam
rangka menonjolkan eksistensinya di dalam masyarakat merupakan suatu
kondisi khas masyarakat Indonesia saat ini. Hal tersebut mempengaruhi begitu
maraknya tiap bentuk pemenuhan kebutuhan dari kehidupan manusia
dikomersialisasikan. Ikatan persaudaraan, kekerabatan, semangat gotong
royong dan berbagai prinsip solidaritas dalam kehidupan tradisional
cenderung ditinggalkan untuk kepentingan yang berbau bisnis. Suatu
mekanisme pemikiran seperti itu lah yang telah meracuni generasi muda
untuk terlalu mengeluh-eluhkan semangat bisnis, dengan terus mencari
peluang yang menguntungkan secara material dan mengesampingkan prinsip
lain yang lebih maknawi. Tidak heran bahwa dalam lingkungan birokrat,
keputusan-keputusan yang berkaitan dengan birokrasi masih belum sampai
memberi kemanfaatan bagi masyarakat secara penuh, hal tersebut dikarenakan
5
tiap keputusan dalam birokrasi tak jarang masih mengutamakan kepentingan
pribadi maupun golongan dalam pelaksanannya dibanding kepentingan umum
yaitu masyarakat luas, dalam hal ini menjelaskan telah begitu lunturnya
semangat nasionalisme dan kesadaran kebangsaan masyarakat.
Segala permasalahan dalam kehidupan masyarakat di Indonesia saat
ini memperlihatkan tidak hanya begitu berpengaruhnya faktor yang berkaitan
dengan aspek sosial, ekonomi, dan politik sebagai suatu hal yang mendasari
gerak kehidupan masyarakat, tetapi persoalan mental juga merupakan faktor
yang memiliki peranan penting dalam mempengaruhi kondisi soasial saat ini.
Dalam persoalan ini peneliti tertarik dengan pemikiran salah seorang filsuf
yang dapat dikatakan sebagai seorang tokoh humanisme sosial yang
pemikirannya telah menjadi titik temu antara teori psikoanalisis Freud dengan
pemikiran Marx, yaitu Erich Fromm. Seperti yang dijelaskan oleh Hall bahwa
Fromm telah membandingkan ide-ide Freud dan Marx, menyelidiki
kontradiksi-kontradiksinya dan mencoba melakukan sintesis (Hall dan
Lindzey, 1993: 256). Erich Fromm menunjukkan dalam pemikirannya bahwa
berbagai persoalan pada kehidupan masyarakat tidak hanya disebabkan pada
permasalahan yang berada di lingkup sosial ekonomi dan politik saja, tetapi
juga terdapat pengaruh secara kontradiksi dari kebutuhan eksistensial manusia
maupun kebutuhan naluriahnya, yang hadir dalam setiap proses sejarah
evolusi manusia.
6
Erich Fromm sebagai seorang tokoh psikoanalisis dan juga dapat
dikatakan sebagai salah satu bagian dari deretan para tokoh teori kritis,
tentunya sangat banyak membahas mengenai unsur naluriah dalam diri
manusia yang mendasari kehidupan manusia serta kritik-kritiknya terhadap
kenampaan dalam proses-proses sosial ekonomi dalam kehidupan manusia.
Pandangan Freud dan Marx yang menjadi dua pengaruh besar dalam
pemikiran Erich Fromm, dalam hal ini tentunya perlu untuk dilihat adanya
titik temu apa antara keduanya, karena hubungan antara psikoanalisis dan
Marxisme seringkali dianggap bertolak belakang satu sama lain, tetapi
terdapat suatu fokus yang tidak dapat diragukan lagi hadir dari kedua
pandangan tersebut, yaitu tentang serangkaian masalah dalam kehidupan
manusia yang berakar dari eksistensi dan sifat-sifat dasar manusia (Osborn,
2005: 125). Dengan kata lain bahwa konsep manusia dalam pemikiran Erich
Fromm sangat lah penting untuk dipahami secara gamblang atas pengaruh
dari keduanya. Dengan latar belakang tersebut, penulis berusaha menganalisa
dan mengungkap konsep-konsep dari pemikiran Erich Fromm yang berkaitan
dengan filsafat manusianya, dan kemudian menjadikannya sebagai suatu pisau
analisis dalam memahami objek material dari penelitian ini.
Kondisi masyarakat modern yang mengutamakan efisiensi waktu
serta efektifitas dalam gerak kehidupan, menempatkan diri mereka dalam cara
pandang yang egoistik dan cenderung meninggalkan bentuk-bentuk solidaritas
7
masyarakat tradisional yang telah hadir sebelumnya. Masyarakat dalam era
globalisasi yang dijiwai
semangat kompetisi, memperlihatkan
suatu
pandangan kompetitif yang menganggap manusia lainnya adalah saingan dan
bahkan lawan dalam mengejar keuntungan pribadi. Hal tersebut juga nampak
dalam kehidupan masyarakat di Indonesia, berbagai nilai luhur yang tertanam
dalam masing-masing kebudayaan masyarakat tradisional tiap daerah yang
lebih menggambarkan nilai-nilai persaudaraan, ketulusan, serta cinta kasih
antar manusia mulai ditinggalkan karena ketertarikan terhadap kecanggihan
teknologi yang dianggap memberikan kemudahan, efisiensi waktu, serta
keuntungan meterial yang lebih besar. Kebudayaan tradisional bahkan sekedar
dimodifikasi hanya untuk menarik pendapatan kapital dalam sektor
pariwisata, dan masyarakat tidak lagi dijiwai keberadaan nilai-nilai luhur yang
terkandung di dalam nya.
Peneliti dengan pemahaman tersebut ingin mencoba mendalami
salah satu realitas sosial dalam kehidupan masyarakat Indonesia dalam skala
yang sangat kecil yang masih bertahan dengan diilhami oleh nilai dan norma
tradisional yang berdasar pada semangat kecintaan di dalam riuhnya gerak
kehidupan masyarakat saat ini yang terbelenggu oleh pengaruh pola pikir
modern yang kompetitif, dan hal tersebut tercermin dalam pengabdian para
abdidalem terhadap keraton Kasunanan Surakarta. Fenomena pengabdian
abdidalem terhadap keraton Kasunanan Surakarta terebut telah lama menarik
8
perhatian peneliti. Keraton Kasunanan Surakarta adalah salah satu
peninggalan
kejayaan
kerajaan
Mataram
Islam
(selain
Kasultanan
Yogyakarta) yang masih berdiri sampai saat ini. Keraton Kasunanan dipimpin
oleh Ratu atau Raja Mataram bergelar Pakubuwana yang dahulu memiliki
kekuasaan integral dalam birokrasi kerajaan. Ratu pada masa kejayaan
keraton Kasunanan sering disebut memiliki “wenang wisesa ing sanagari”
yaitu memegang kekuasaan tertinggi diseluruh negeri (Moedjanto, 1994: 123),
tetapi karena perubahan zaman dan terbentuknya negara kesatuan RI yang
mengikutsertakan wilayah keraton Kasunanan dalam kesatuan tersebut,
berangsur-angsur mempengaruhi perubahan terhadap kedudukan raja maupun
kekuasaan dari keraton terhadap masyarakat Surakarta secara luas.
Raja dari keraton Kasunanan Surakarta yang notabene telah surut
dalam hal pamor karena wilayah keraton telah bersatu dengan wilayah
kesatuan NKRI, dan tidak memiliki kekuasaan atau kekuatan dalam
melakukan dominasi untuk membentuk hirarki sosial seperti dahulu yang
mengikat terhadap masyarakat wilayah kekuasaan dari keraton Kasunanan
Surakarta secara umum, membawa banyak perubahan dalam hubungan
keraton dengan masyarakat maupun posisi ratu serta para kaum bangsawan.
Dewasa ini nampak jelas hal tersebut dalam lunturnya garis gramatikal antara
golongan bangsawan / trah dalem dengan wong cilik (masyarakat diluar trah
dalem), karena kedua golongan tersebut sama-sama memiliki kesempatan dan
9
posisi yang tidak jauh berbeda dalam kehidupan sosialnya secara umum
sebagai warga negara Indonesia. Di lain pihak terdapat realitas yang menarik
dan perlu pendalaman pengkajian yang tidak mampu dipahami dengan
pendekatan teori-teori yang mendasari pada pandangan pragmatis, yaitu
dimana tetap bertahannya kesetiaan para abdidalem terhadap keraton
Kasunanan.
Selama ini dalam berbagai pandangan dinyatakan bahwa kesetiaan
pengabdian abdidalem yang tanpa didasari orientasi keuntungan material
tersebut
dikarenakan
kuatnya
kekuasaan
Raja
dalam
kehidupan
masyarakatnya, seperti halnya yang dinyatakan Franz Magnis Suseno bahwa
kekuasaan raja keraton Jawa yang dianggap adikodrati adalah hal mutlak yang
menentukan hancur atau berjayanya suatu kerajaan tersebut (Suseno, 1996:
110), tetapi pada kenyataannya dewasa ini kekuasaan keraton yang telah
memudar tidak mengakibatkan lunturnya pengabdian para abdidalem terhadap
keraton yang mana terus mendorong dan melestraikan norma-norma budaya
dari keraton. Peneliti dalam hal ini beranggapan terdapat aspek lain di luar
kekuatan dominasi raja yang mendorong kondisi tersebut, yang disinyalir
adalah aspek yang lebih dalam yang berasal dari diri para abdidalem itu
sendiri. Hal tersebut bagi peneliti cukup menarik untuk diteliti secara lanjut
untuk memberikan gambaran solidaritas masyarakat tradisional yang lebih
mewakili sikap batin yang mendalam untuk dapat mengilhami tumbuhnya
10
solidaritas kebangsaan serta semangat nasionalisme, dan persoalan tersebut
akan dijadikan sebagai objek material dalam penelitian ini dengan dianalisis
menggunakan pendekatan teori filsafat manusia dari Erich Fromm.
1. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti merincikan rumusan
masalah dengan dasar pendekatan filsafat sebagai berikut:
a. Apa pandangan filsafat manusia Erich Fromm?
b. Apa konsep pengabdian dalam hubungan abdidalem dengan keraton
Kasunanan?
c. Apa yang menjadi pendorong praktik pengabdian abdidalem terhadap
keraton Kasunanan Surakarta dilihat dalam perspektif filsafat manusia
Erich Fromm?
2. Keaslian Penelitian
Peneliti menemukan beberapa penelitian yang membahas tentang
persoalan yang hanya terkait dengan objek formal penelitian atau hanya
terkait dengan objek material penelitian ini. Beberapa penelitian yang
ditemukan oleh peneliti memiliki kemiripan pembahasan yang berkaitan
dengan objek formal atau objek material penelitian ini adalah sebagai berikut:
11
a.
Disertasi yang berjudul Dimensi Ontologis Kebebasan Menurut Erich
Fromm : Relevansinya bagi Pengembangan Pers di Indonesia, oleh
Nana Sutikna, Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada pada tahun
2013. Disertasi tersebut merupakan kajian ontologi yang mengangkat
pandangan kebebasan dari Erich Fromm untuk menyoroti kondisi pers di
Indonesia.
b. Skripsi yang berjudul Cinta Produktif sebagai Solusi Masyarakat yang
Teralienasi oleh Khoirul Rosyadi, Fakultas Filsafat, Universitas Gadjah
Mada pada tahun 1998. Skripsi ini mendeskripsikan mengenai konsep
cinta dari pemikiran Erich Fromm sebagai suatu gambaran solusi
terhadap permasalahan pada masyarakat yang teralienasi.
c. Disertasi yang dibukukan dengan judul Edelweiss Van Jogja:
Pengabdian Abdidalem Keraton Yogyakarta dalam Perspektif Sosio
Fenomenologi oleh Sindung Haryanto, 2014. Buku ini hasil dari
disertasi doktoral di Universitas Airlangga yang dibukukan. Buku ini
menjelaskan tentang perilaku abdi dalem dalam pengabdiannya
terhadap keraton yang ditinjau dengan perspektif fenomenologi, dan
merupakan studi kasus di Keraton Kasultanan Yogyakarta.
d. Skripsi yang berjudul Studi Eksplorasi terhadap Motivasi Kerja
Abdidalem Keraton Yogyakarta oleh Ingga Ayu Novitasari, Fakultas
12
Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya, Universitas Islam Indonesia pada
tahun 2008.
e. Skripsi yang berjudul Dinamika Psikologis Pengabdian Abdi dalem
Keraton Kasunanan Surakarta Pasca Suksesi oleh Alimin (2007)
skripsi Universitas Muhamadiyah Surakarta. Penelitian tersebut
masih berada pada tahapan deskriptif dan reportif, belum sampai pada
tahapan analisis kritis untuk mencapai pemahaman secara esensial.
Penelitian tersebut mengangkat dinamika psikologis para abdidalem
dengan kaitan atas terjadinya berbagai perubahan dalam lingkungan
keraton baik yang didasari faktor eksternal maupun internal dari
keraton sendiri.
Dengan hasil temuan beberapa penelitian yang mengarahkan
pembahasannya hampir mendekati kemiripan dengan objek material
penelitian ini yaitu pengabdian abdidalem terhadap keraton Kasunanan
Surakarta serta beberapa penelitian yang mejelaskan seputar persoalan yang
terkait dengan objek formal yaitu pemikiran teori filsafat manusia dari Erich
Fromm, tetapi sampai saat ini peneliti belum menemukan penelitian yang
memiliki kesamaan secara penuh dengan penelitian yang akan dilakukan ini.
13
3. Manfaat yang Ingin Dicapai
Penelitian terhadap pendalaman hidup para abdidalem dalam
pengabdiannya terhadap keraton Kasunanan Surakarta dengan perspektif
pemikiran filsafat manusia dari Erich Fromm ini memberi manfaat sebagai
berikut:
a. Bagi Peneliti
Penelitian ini adalah suatu penelitian lanjutan dari peneliti yang
diharapkan mampu memberi dorongan positif terhadap peneliti dalam
memperdalam pemahaman terhadap kearifan lokal dari setiap daerah di
Indonesia terutama dalam penelitian ini adalah masyarakat Jawa yang
khususnya para abdidalem dari keraton Kasunanan Surakarta, selain itu
dilaksanakannya penelitian ini juga dapat melengkapi studi dari peneliti
tentang pemahaman terhadap sifat-sifat dan kondisi esensial dari manusia.
Dan dari penelitian ini tidak menutup kemungkinan akan mendorong peneliti
melakukan penelitian selanjutnya.
b. Bagi perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan
Penelitian ini memicu kesadaran pentingnya penelitian yang lebih
mendalam terhadap kebudayaan di Indonesia dan kearifannya yang mencakup
pandangan hidup, nilai, dan norma tradisional yang tertanam dalam tiap
kebudayaan. Penelitian ini dilakukan karena penelitian yang selama ini
dilakukan lebih banyak belum sampai pada pendalaman secara mendasar, dan
14
masih bersifat deskriptif dengan memahami kearifan lokal sebagai warisan
leluhur yang hanya berkaitan dengan mitos-mitos masa lalu yang dianggap
irrasional. Penelitian ini mencoba membongkar hal-hal yang dianggap
irrasional tersebut, terutama yang berkaitan dengan pengabdian para
abdidalem Kasunanan Surakarta dengan mengkaitkannya dengan pandangan
Erich Fromm tentang kondisi yang secara esensial paling manusiawi dari
manusia. Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya kajian filsafat
kebudayaan, filsafat nusantara, kearifan lokal, filsafat manusia serta kajian
lainnya terhadap realitas kebudayaan tradisional di nusantara, untuk dapat ikut
berkontribusi dalam perkembangan ilmu pengetahuan di Universitas Gadjah
Mada yang khususnya di Fakultas Filsafat.
c. Bagi bangsa Indonesia
Penelitian ini diharap dapat memberikan cara pandang baru dalam
memahami praktik pengabdian para abdidalem terhadap keraton Kasunanan
Surakarta yang selama ini masih sering dipandang sebelah mata karena
dianggap berdasar pada hal-hal yang irrasional maupun non rasional.
Penelitian ini diharapkan dapat memberi pengetahuan lebih mendalam tentang
kearifan hidup yang berkaitan dengan nilai-nilai solidaritas tradisional baik
ketulusan, persaudaraan, semangat gotong royong, serta kasih sayang terhadap
sesama khususnya dari para abdidalem Kasunanan Surakarta. Selain itu,
penelitian ini memungkinkan akan berkembangnya kesadaran baru dari
15
masyarakat tentang pentingnya pengaplikasian berbagai nilai luhur dari tradisi
bangsa yang mana hal tersebut dapat menumbuhkan kecintaan terhadap
kebudayaan, bangsa, maupun negara Indonesia serta menangkal pengaruh
negatif dari asing dalam era globalisasi ini.
B. Tujuan Penelitian
Pokok gagasan penelitian ini dilakukan adalah untuk memahami
pandangan hidup serta dorongan yang mendasari praktik pengabdian para
abdidalem terhadap keraton Kasunanan Surakarta menggunakan perspektif
pendekatan teori filsafat manusia dari Erich Fromm. Sebagai suatu penelitian
ilmiah, penelitian ini memiliki tujuan yang dirumuskan sebagai berikut:
1. Menganalisis konsep-konsep dalam filsafat manusia Erich Fromm
2. Menganalisis tentang hal-hal yang terkait dengan praktik pengabdian
abdidalem terhadap keraton Kasunanan Surakarta.
3. Menemukan faktor pendorong dalam praktik pengabdian abdidalem
terhadap keraton Kasunanan Surakarta dilihat dalam perpektif filsafat
manusia Erich Fromm
C. Tinjauan Pustaka
Penelitian yang telah dilakukan sebelumnya yang berkaitan dengan
tema penelitian ini seperti halnya penelitian yang berjudul Pengabdian
16
Abdidalem Keraton Yogyakarta dalam Perspektif Sosio-fenomenologi yang
merupakan hasil disertasi Universitas Airlangga yang dibukukan dengan judul
Edelweiss Van Jogja oleh Sindung Haryanto pada tahun 2014 dan diterbitkan
oleh penerbit Kepel Press, Yogyakarta. Sindung Haryanto dalam hasil
penelitiannya telah menjelaskan banyak aspek yang berkaitan dengan
pengabdian abdidalem baik tentang dorongan dalam mengabdi, hubungan
abdidalem dengan keraton serta Raja, dan sejarah keraton yang didasari pada
studi kasus di Keraton Kasultanan Yogyakarta dengan menggunakan
perspektif
Sosio-fenomenologi
(Haryanto,
2014:
3).
Hal
tersebut
membedakan dengan penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti, yang
memfokuskan dalam studi kasus pada pengabdian para abdidalem Keraton
Kasunanan Surakarta secara kontekstual yaitu pada masa kemerdekaan saat
ini dengan banyaknya pengaruh pola pikir dan cara hidup modern dalam
masyarakat yang sangat menggejala saat ini, dengan menggunakan kacamata
analisis pemikiran filsafat manusia seorang tokoh humanisme dialektik yaitu
Erich Fromm.
Penelitian lain yang pernah dilakukan berhubungan dengan tema
penelitian ini adalah penelitian yang berjudul Studi Eksplorasi terhadap
Motivasi Kerja Abdidalem Keraton Yogyakartaoleh Ingga Ayu Novitasari
(2008), Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya, Universitas Islam
Indonesia. Penelitian tersebut merupakan penelitian secara eksploratif dengan
17
metode wawancara untuk menguak motivasi kerja dan faktor-faktor yang
mempengaruhi semangat pengabdian abdidalem, studi kasus di kraton
Yogyakarta. Perbedaan mendasar dari penelitian tersebut dengan penelitian
yang akan peneliti lakukan ini adalah perbedaan dari objek formal serta lokasi
studi kasus penelitian tersebut yang dilakukan di keraton Kasultanan
Yogyakarta.
Penelusuran peneliti terhadap berbagai penelitian yang terkait dengan
tema yang diangkat, belum satu pun dapat dikatakan memiliki kesamaan
secara utuh dengan penelitian yang akan dilakukan ini. Dapat dikatakan
bahwa penelitian ini merupakan hasil ide original dari peneliti, atas dasar rasa
ingin tahu dan kemauan untuk membongkar atau menguak hal-hal
fundamental yang berkaitan dengan alam kehidupan tradisional dari
masyarakat Jawa terutama dalam lingkungan Keraton Kasunanan Surakarta,
yang dalam hal ini berkaitan dengan peran penting pengabdian para
abdidalem dalam kelangsungan dan kelestarian daripada Keraton Kasunanan
Surakarta, dengan menggunakan analisa pandangan Erich Fromm. Penelitian
ini dapat dikatakan sebagai studi kasus yang berfokus pada lingkungan
Keraton Kasunanan Surakarta yang merupakan tempat para abdidalem
mengabdikan diri. Keraton Kasunanan Surakarta yang pada masa kekuasaan
politisnya memiliki ibukota di Sala merupakan penerus kerajaan Mataram
yang didirikan oleh Susuhunan Pakubuwana II pada tahun 1746 (Nurharini,
18
dkk. 1999: 7). Keraton Kasunanan Surakarta sebagai pewaris berbagai norma
dan tata adat dari kerajaan Mataram secara umum tetap mempertahankan adat
tradisional masyarakat Jawa yang khususnya adalah adat keraton. Adat
keraton merupakan tatanan, ugeran, atau kaidah yang tetap, yang dilakukan
secara turun temurun oleh masyarakat Jawa khususnya masyarakat keraton
Surakarta (Puspaningrat, 1996: 9). Hal tersebut berkaitan juga dengan struktur
kepemimpinan daripada Keraton yang sampai saat ini tetap lestari dipegang
oleh Susuhunan Pakubuwana sebagai Ratu Jawi Trah Mataram di Keraton
Kasunanan Surakarta secara turun temurun.
Keraton Kasunanan Surakarta sebelum masa kemerdekaan dengan
terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia, awalnya merupakan suatu
nagari (negara) yang memiliki pemerintahan secara otonom, daerah, dan
rakyatnya sendiri (Puspaningrat, 1996: 36). Keraton Kasunanan Surakarta
dalam hal ini haruslah dipahami berada dalam kerangka kesejarahan dari
NKRI, karena bersama dengan kerajaan-kerajaan tradisional lokal di
Indonesia lainnya sedikit ataupun banyak telah memberikan akar terhadap
bangunan kultur kebangsaan dan membentuk semangat kenegaraan di
Indonesia. Nagari Kasuanan Surakarta adalah salah satu nation yang telah
hadir sebelum keberadaan nation Indonesia yang gejalanya hadir dapat
diamati belum lah lama yaitu awal abad ke 20 (Nurhajarini,dkk. 1999: 1, 2).
Dengan kata lain semangat kenegaraan yang terbentuk pada masa
19
kemerdekaan sedikit banyak adalah pengaruh dari keberadaan negara-negara
tradisional sebelumnya termasuk Nagari Kasunanan Surakarta Hadiningrat.
Sejarah perkembang dari Keraton Kasunanan Surakarta pada dasarnya
tidak dapat dikatakan berjalan secara linear, karena dalam keberadaanya telah
mengalami banyak dinamika perubahan yang mempengaruhi eksistensi
daripada keraton itu sendiri. Nurhajarini (1999) mengkatagorisasikannya
menjadi tiga perkembangan, yaitu: Masa Kerajaan Tradisional, Masa
Kolonial, dan Masa Kemerdekaan Republik Indonesia. Ketiganya merupakan
tahap-tahap perkembangan dari Keraton Kasunanan Surakarta yang patut
untuk dipahami. Tetapi dalam penelitian ini, peneliti mencoba memfokuskan
pada keberadaan Keraton Kasunanan Surakarta pada masa kemerdekaan
republik Indonesia yang mana hal tersebut adalah masa yang dijalani oleh
para abdidalem saat ini sebagai pusat kajian yang diteliti dalam penelitian ini,
meskipun dalam penulisannya akan tetap dijelaskan tentang kedua kategori
dari perkembangan dari keraton Kasunanan Surakarta lainnya sebagai tahaptahap perkembangan yang tidak dapat dipungkiri memiliki pengaruh dalam
keberadaan keraton Kasunanan pada masa kemerdekaan Indonesia saat ini.
Perubahan
dalam
tubuh
keraton
yang
paling
menampakkan
lumpuhnya kekuasaan politik keraton secara otonom adalah karena
kesatuannya dengan naungan Republik Indonesia yang notabene dipimpin
dengan sistem presidensial, selain itu terdapat juga berbagai pengaruh lainnya
baik dari eksternal maupun internal dalam keraton sendiri yang tidak dapat
20
dipungkiri telah membawa banyak perubahan terhadap keraton. Kondisi
keraton Kasunanan Surakarta dewasa ini tentu saja tidak dapat disamakan
begitu saja dengan keraton Kasultanan Yogyakarta. Perbedaan pengakuan
secara politis tersebut banyak yang menganggap dikarenakan pada riwayat
sejarahnya Pakubuwana ke XII pada masa kepemimpinannya terhadap
Keraton Kasunanan menjelang kemerdekaan dan pembentukan NKRI
terkesan menunggu, hal tersebut berbeda dengan Hamengkubuwono ke IX
yang pada waktu itu mampu memanfaatkan momentum penting pada masa
menjelang kemerdekaan untuk keistimewaan swapraja Yogyakarta (Dardias,
2013).
Hapusnya
Swapraja
Surakarta
tersebut
entah
dikarenakan
ketidaksigapan sang raja dalam memanfaatkan momentum penting dalam
menjelang masa kemerdekaan ataukah karena tujuan lain yang bersifat bonum
commune (kepentingan umum) tidaklah menjadi persoalan kembali, karena
menurut kesaksian, pihak keraton sebenarnya telah berupaya demi
memperjuangkan keistimewaan keraton. Pihak Kasunanan telah berulangkali
mengupayakannya lewat pertemuan seperti mengikuti KMH pada tahun 1949
dan mengirimkan surat-surat keberatan kepada pemerintah NKRI atas
penggabungan zelfbesturende landscappen/ Swapraja Surakarta dengan
provinsi Jawa Tengah, tetapi birokrasi NKRI nyatanya belum berpihak kepada
kepentingan Daerah Istimewa Surakarta (Santosa, 2006: 88-152). Hal tersebut
21
berdasarkan kesaksian KPH Wirodiningrat yang dibukukan dengan judul
Suara Nurani Keraton Surakarta oleh Sri Juari Santosa.
Keraton Kasultanan Yogyakarta dengan daerah keistimewaannya yang
diakui dan sebagai daerah otonom masih memiliki kekuasaannya secara
politis, hal tersebut nampak dalam jabatan seorang pemimpin daerah yaitu
gubernur
yang
notabene
akan
berlanjut
dipegang
oleh
seorang
Hamengkubuwono yaitu ratu keraton Yogyakarta secara tetap dan turun
temurun. Hal ini sangat berbeda dibandingkan dengan Keraton Kasunanan
yang telah gagal mempertahankan keistimewaannya kembali dan tidak dapat
lagi dikatakan memiliki kekuasaannya secara politis terhadap masyarakat
Surakarta secara luas. Pemaparan ini hanyalah sebagai suatu gambaran bahwa
terdapat perbedaan yang cukup signifikan antara kedudukan keraton
Kasultananan Yogyakarta dengan keraton Kasunanan Surakarta dibawah
naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Keraton Kasunanan Surakarta
dalam alam kemerdekaan ini dipandang sebagai suatu wadah atau lembaga
adat secara naluriah yang segala perangkatnya termasuk ratu (raja) melulu
bergerak dibidang kebudayaan guna melestarikan budaya tradisional
peninggalan budaya bangsa (Puspaningrat, 1996: 420). Tentu saja dalam hal
ini penelitian yang terkait dengan lingkungan keraton Kasunanan Surakarta
perlu memperhatikan hal tersebut, perlu adanya suatu penelitian yang mampu
memahami kondisi keraton Kasunanan secara kontekstual yaitu pada konteks
keberadaanya dalam tubuh negara kesatuan Indonesia dibawah kepemimpinan
22
presiden, dan kenyataan bahwa raja keraton Kasuanan Surakarta tidak lagi
memiliki kekuasaan secara politis yang mengikat masyarakat Surakarta secara
luas.
Paparan tentang gambaran keraton Kasunanan Surakarta tersebut
mengarahkan pada pemahaman tentang posisi abdidalem secara kontekstual.
Abdidalem atau dapat dikatakan dalam perspektif tradisional sebagai kaum
priyayi merupakan seluruh pegawai kerajaan yang umumnya pada masa
kerajaan tradisional memegang tugas yang berhubungan dengan kelangsungan
kerajaan dari tingkat tertinggi sampai terendah (Nurhajarini, dkk. 1999: 37).
Pada masyarakat dalam sistem kerajaan Jawa pada masa pra-kemerdekaan
sangatlah lekat dengan keberadaan bentuk struktur hirarkis sosial yang
bertingkat, yang mana hal tersebut mendasari sikap tiap individu dalam
lingkungan sosialnya termasuk dalam hal ini adalah para abdidalem. Kondisi
inilah yang menyebabkan mengapa dalam kehidupan sosialnya antara dua
orang Jawa yang bertemu, bahasa, pembawaan, dan sikapnya akan
mengungkapkan suatu pengakuan terhadap kedudukan mereka masing-masing
(Suseno, 1996: 60). Persoalan mengenai sikap dalam interaksi sosial dalam
kehidupan masyarakat Jawa ini tergambar dengan jelas dalam kehidupan para
abdidalem di keraton, sikap hormat terhadap orang yang memiliki kedudukan
lebih tinggi yaitu terhadap sentana dalem atau trah dalem, dan terhadap
23
abdidalem lain yang memiliki kepangkatan yang lebih tinggi menjelaskan
suatu tatanan sosial yang teratur.
Abdidalem keraton Surakarta seperti halnya yang ditemukan oleh
Sindung Haryanto di keraton Yogyakarta tidaklah mendasari pengabdiannya
terhadap keraton atas dasar dorongan dari aspek ekonomi. Para abdidalem
tersebut mengabdikan diri dengan dedikasi dan loyalitas tinggi untuk keraton
meskipun dari aspek keuntungan financial yang diterima sangatlah rendah
(Haryanto, 2014: 5). Penelitian Sindung Haryanto tersebut berlatar pada
kondisi keraton Yogyakarta dengan kekuasaan politis ratu yang masih lestari
hingga sekarang. Pamor keraton dalam latar penelitian Sindung Haryanto
sangat didukung oleh kedudukan dan kekuasaan politis sang ratu / sultan
dalam tata birokrasi di Daerah Istimewa Yogyakarta, dengan kata lain
keberadaan sang ratu masih sangat berpengaruh terhadap proses kehidupan
masyarakat Yogyakarta secara luas.
Pengabdian para abdidalem di keraton Yogyakarta masih dapat
dikatakan berkaitan dengan peran dan pamor sang ratu itu sendiri yang
memiliki pengaruh dan dipercaya menjadi pusat daya kosmis yang dapat
memberikan ketentraman, rasa kebercukupan, serta status sosial para
abdidalem dengan kedekatannya dengan keraton. Hal tersebut sangatlah
berbeda dengan kondisi keraton Kasunanan Surakarta dalam kedudukannya
sekarang ini. Setelah kehilangan keistimewaannya sejak awal masa
24
kemerdekaan dan terbentuknya NKRI, keraton Kasunanan Surakarta telah
kehilangan keistimewaannya sebagai daerah kerajaan/ Vorstenlanden yang
memiliki tata birokrasinya sendiri dengan sistem kerajaan Jawa. Dapat
dikatakan bahwa keraton telah kehilangan kekuasaan politisnya karena sang
ratu tidak memiliki kedudukan langsung dalam urusan birokrasi di daerah
Surakarta, dan dengan kata lain tidak memiliki pengaruh terhadap masyarakat
Surakarta secara umum. Dalam hal ini yang menarik adalah keberadaan
abdidalem yang tetap setia mengabdi terhadap keraton Kasunanan Surakarta.
Peneliti dengan keinginan menemukan dorongan yang mendasari pengabdian
para abdidalem Keraton Kasuanan Surakarta tersebut, menggunakan
pendekatan filsafat manusia dari Erich Fromm, bukan untuk memaparkan halhal yang sifatnya irrasional atau non rasional tetapi untuk mendapatkan
keterangan yang rasional dan mendalam terkait dorongan yang mendasari
pengabdian abdidalem di Keraton Kasuananan Surakarta.
D. Landasan Teori
Suatu penelitian ilmiah memerlukan dasar-dasar operasional yang
digunakan sebagai landasan bagi realisasi pelaksanaan penelitian, dan hal
tersebut merupakan fungsi dari keberadaan landasan teori dalam pelaksanaan
penelitian. Menurut Kaelan, dalam landasan teori dipaparkan berupa uraian
secara verbal, yang dalam penelitian filsafat landasan teori ini dapat berupa
25
landasan analisis yang sifatnya deskriptif filosofis (Kaelan, 2005: 240).
Penelitian
ilmiah
sebagai
penelitian
yang
harus
mampu
dipertanggungjawabkan secara ilmiah, memerlukan landasan teori yang
memuat paparan tentang suatu teori tertentu yang relevan dan digunakan
dalam penelitian tersebut.
Penelitian ini menggunakan teori filsafat manusia dari Erich Fromm
sebagai pendekatan dalam meneliti praktik pengabdian para abdidalem
terhadap keraton Kasunanan Surakarta. Untuk memahami teori filsafat
manusia dari Erich Fromm tersebut, perlu lebih dulu dipahami teori-teori yang
menginspirasi Erich Fromm, yaitu teori psikoanalisis dan pandangan Marxian.
Psikoanalisis pada Kamus Teori dan Aliran dalam Filsafat dan Teologi dapat
dipahami sebagai teori kepribadian, teknik analisis kepribadian, dan sebagai
metode terapi (Mudhofir, 1996: 199, 200). Dalam penelitian yang akan
peneliti lakukan ini pemahaman tentang psikoanalisis akan berada seputar
kedudukannya sebagai teori kepribadian dan teknik analisis kepribadian,
karena
psikoanalisis
sebagai
metode
terapi
merupakan
penerapan
psikoanalisis yang lebih tepat berada pada dunia klinis dan psikologi. Teori
psikoanalisis pada awalnya dikemukakan oleh Sigmund Freud untuk
membongkar realitas psikis dalam kepribadian manusia yang memiliki
pengaruh dalam dorongan-dorongan pada tindakan sadar manusia. Hal
tersebut berkaitan dengan hubungan kontradiktif yang terjadi antara alam
ketidaksadaran (unconsciousness) yang berkaitan dengan dorongan naluriah
26
manusia yang direpresi dengan kesadaran (consciousness) dalam struktur
kepribadian manusia.
Kondisi ketidaksadaran menjadi salah satu titik fokus dalam kajian
psikoanalisis. Ketidaksadaran merujuk pada proses-proses yang berada dalam
diri manusia dengan semua kualitas kehidupan mental dengan pengecualian
kesadaran (Osborn, 2005: 4). Dapat dipahami bahwa bagi Freud sebagai
pencetus psikoanalisis meyakini adanya suatu proses mental yang terdapat
dampak-dampak tertentu yang mana nampaknya terjadi tanpa disadari. Hal
tersebut terkait dengan tesis Freud yang berjudul The Psychopathology of
Everday Life yang mengungkapkan keyakinan Freud bahwa terjadinya
keseleo lidah, kesalahan-kesalahan ucapan, dan ingatan yang kabur
disebabkan oleh motif-motif yang tak sadar (Hall, 2000: 8). Ketidaksadaran
memiliki pengaruhnya dalam pembentukan kepribadian individu, yaitu
terjadinya proses dinamis dalam ketegangan antara kesadaran dengan
ketidaksadaran.
Proses ketegangan yang terjadi pada sistem kepribadian manusia
dalam pandangan Freud berkaitan dengan unsur kepribadian manusia yaitu Id
yang menjadi sumber keberadaan energi yang mengarah pada kesenangan
yang hadir dari sejak lahir dalam bentuk insting alamiah, ego yang bertugas
merealisasikan keinginan dan memutuskan menurut prinsip realitas, serta
super-ego yang merupakan sistem norma dan nilai moral dari kebudayaan dan
komunitas tertentu yang telah diinternalkan. Konflik dasar dari ketiga sistem
27
kepribadian tersebut memiliki ciri, fungsi, dan sifat yang berbeda namun
bekerja sama menciptakan energi psikis individu yang mempengaruhi
perilaku manusia (Budiraharjo, 1997: 20, 21). Dalam hal ini tidak dapat
dipungkiri bahwa keberadaan psikoanalisis merupakan salah satu bagian dari
ilmu psikologi tetapi juga menjadi dasarnya, karena psikoanalisis membuka
suatu celah baru dalam kemungkinanan analisis terhadap struktur kepribadian
manusia.
Psikoanalisis juga mengalami perkembangan yang dinamis, dimana
teori psikoanalisis yang diawali dengan pemikiran Freud yang banyak terkait
dengan perkembangan psikoseksual manusia memiliki banyak kecaman dan
kritikan yang tidak hanya berasal dari luar mazhab tersebut tetapi juga berasal
dari satu mazhab itu sendiri (Budiraharjo, 1997: 9). Erich Fromm adalah salah
satu tokoh penerus psikoanalisis yang ikut mewarnai kritikan terhadap teori
dari bapak psikoanalisis tersebut. Dalam hal ini pada artian bahwa sebagai
pengikut psikoanalisis, Fromm tidaklah mentah-mentah menelan apa yang
dipaparkan oleh para tokoh-tokoh psikoanalisis pendahulunya. Selain
pandangan psikoanalisis Freudian, Fromm juga banyak terpengaruh dengan
pemikiran Marxian. Sebagai seorang tokoh humanisme dialektik, Fromm
menggunakan ide-ide Marx untuk menyentuh berbagai persoalan kontekstual
yang berhubungan dengan proses-proses sosial dibandingkan pemikiran
psikoanalisis klasik yang dianggap terfokuskan pada persoalan insting
28
manusia yang bersifat personal dan cenderung mengabaikan pengaruh dari
berbagai faktor sosial ekonomi. Hal tersebutlah yang menempatkannya tidak
hanya sebagai tokoh dalam deretan pemikir psikoanalisis tetapi juga dalam
teori kritis (mazhab Frankfurt).
Salah satu pandangan Marx yang cukup mempengaruhi ide-ide Fromm
adalah persoalan tentang alienasi. Alienasi atau keterasingan dalam pemikiran
Marx yang lebih tertuju pada kritiknya terhadap keberadaan konsep liberal
dan masyarakat industri. Fromm banyak terinspirasi dari karya-karya awal
dari Marx, terutama Economic and Philosopical Manuscripts (1844). Dalam
karya-karya awalnya, Marx menggarap berbagai isu-isu filosofis, menetapkan
berbagai kritik terhadap konsep materialis dialektis melawan Hegel dan
konsepsi liberal tentang emansipasi serta konsep alienasi (Kurki, 2013: 324).
Konsep alienasi tersebut oleh Fromm diolah dan dijadikannya suatu teori yang
berkaitan dengan kondisi khas manusia yaitu kondisi terasing, terisolasi, dan
semakin bebas, kebebasan menjadi suatu kondisi yang negatif. Perasaan
terasing atau teralienasi tersebut hadir dalam kesadaran manusia berkat akal
budi yang merasa cemas karena terpisah dari keharmonisan dengan alam pada
masa pra-human, dengan manusia lainnya seperti pada masa dikandung oleh
ibu, bahkan dengan dorongan-dorongan alamiah dirinya untuk kemudian
terkatung-katung dalam dunia yang serba asing. Dalam The Sane Society,
Fromm menjelaskan:
29
“when man is born, the human race as well as the individual, he is
thrown out of a situation which was definite, as definite as the instincts,
into a situation which is indefinite, uncertain and open. There is
certainty only about the past, and about the future as far as it is death—
which actually is return to the past, the inorganic state of matter”
(Fromm. 1956: 24)
Dalam pandangan Fromm tersebut kelahiran manusia dalam keterpisahannya
dengan alam karena telah mengatasi sebagaian dari alam ke kondisi tanpa
kepastian dan tak terbatas. Tetapi menurut Fromm manusia juga sekaligus
lahir dalam kondisi ketidakberdayaan karena manusia tidak dapat melepaskan
diri dari dikotomi eksistensial terutama dikotomi antara kehidupan dan
kematian (Fromm, 1988: 36). Kondisi tersebut menimbulkan dorongan dari
diri manusia untuk menyelesaikan dikotomi-dikotomi eksistensialnya yang
begitu kontradiktif yang dialami sebagai suatu hal yang tak tersadari
(unconsciousness) dan terus menggejala sepanjang hidup manusia.
Dorongan tersebut merupakan produk dari perkembangan evolutif
manusia. Fromm menjelaskan bahwa: Human nature is neither a biologically
fixed and innate sum total of drives nor is it a lifeless shadow of cultural
patterns to which it adapts itself smoothly; it is the product of human
evolution (Fromm. 1942: 17). Dalam hal ini perkembangan evolusi manusia
dengan keberadaan fungsi akal dan kesadarannya sangat mempengaruhi
kondisi eksistensial dari manusia yang begitu kontradiktif dan memunculkan
dorongan dalam mengatasi permasalahan eksistensialnya tersebut. Setiap
bentuk masyarakat yang telah diciptakan baik feodalisme, kapitalisme,
30
fasisme, sosialisme atau komunisme menunjukkan usaha manusia untuk
memecahkan kontradiksi dasar pada kehidupan manusia (Hall dan Lindzey,
1993: 257). Berbagai ideologi tersebut adalah suatu pelarian dari manusia
untuk mengatasi kecemasan dalam keterpisahannya untuk sesuatu keabsolutan
di luar dirinya. Manusia dalam kondisi tersebut mencoba mengatasi
keterpisahannya dan disiksa untuk sebuah idaman keabsolutan, yang
dengannya manusia semakin dipisahkan dari alam, sesama, dan dari dirinya
sendiri (Fromm. 1988. 35,36).
Pada kondisi tersebut manusia dalam proses memanusiawinya terus
berada pada keadaan semakin terasing dan terpisah dengan keharmonisan
pada masa pra-human dan dengan ikatan dari manusia lainnya seperti pada
saat dalam kandungan ibu. Kesadaran memperlihatkan manusia bahwa tidak
ada arti bagi kehidupan kecuali arti yang manusia berikan pada kehidupannya
dengan kesiapsiagaan dengan mengembangkan suatu sikap cinta produktif
(Fromm. 1988: 38). Keterasingan manusia selalu terjadi dalam setiap
perkembangan manusia dan menjadi situasi khas eksistensial dari diri manusia
yang hanya dengan realisasi penuh atas dirinya dengan akal, cinta, dan kerja
produktif, menjadi solusi untuk manusia dapat menemukan keharmonisan
baru.
31
E. Metode Penelitian
1. Bahan dan Materi Penelitian
Penelitian ini adalah jenis penelitian kualitatif. Bahan dan materi
penelitian
didapatkan
studi
kepustakaan
yang
berhubungan
dengan
pengabdian para abdidalem terhadap keraton Kasunanan Surakarta yang
didukung dengan pelaksanaan penelitian lapangan dengan wawancara dan
pengamatan,
serta
konsep-konsep
dalam
pandangan
Erich
Fromm
menyangkut dasar-dasar naluriah manusia yang berkaitan dengan pandangan
filsafat manusia dari Erich Fromm. Data pustaka ini dibagi menjadi dua, yaitu
pustaka primer dan pustaka sekunder.
1.1.
Sumber Data Primer
a.
Pustaka
Pustaka primer penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Pustaka yang berjudul The Sane Society yang ditulis oleh Erich
Fromm, dipublikasi pada 1956 oleh Routledge, London
2. Pustaka berjudul The Fear of Freedom karya dari Erich Fromm,
dipublikasi pada 1942 oleh Routledge, London
3. Pustaka berjudul The Art of Loving karya Erich Fromm tahun 1957
dipublikasikan oleh George Allen dan Unwin, Great Britain
4. Pustaka berjudul Sejarah Kerajaan Tradisional Surakarta oleh
Nurhajarini, dkk, terbitan tahun 1999 dalam Proyek Inventarisasi
32
dan Dokumen Sejarah Nasional Direktorat Sejarah dan Nilai
Tradisional oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta
5. Pustaka berjudul Suara Hati Nurani Keraton Surakarta oleh Sri
Juari Santosa tahun 2006, diterbitkan Komunitas Studi Didaktika,
Yogyakarta
6. Pustaka berjudul Raja, Priyayi, dan Kawula oleh Kuntowijoyo
tahun 2004. Diterbitkan Penerbit Ombak, Yogyakarta
b. Narasumber
Penelitian yang akan dilakukan bertempat di keraton
Kasuananan Surakarta. Dengan tujuan mendapatkan hasil penelitian yang
seobjektif mungkin, dalam pengumpulan data pelaksanaan penelitian ini
akan didukung dengan penelitian lapangan terkait objek material
penelitian berupa wawancara dan pengamatan terhadap sumber yang
terkait. Sumber data tersebut adalah narasumber yaitu sedikitnya empat
orang abdidalem yang mengabdi di keraton Kasunanan Surakarta, dalam
hal tersebut peneliti akan terfokus pada para abdidalem garap yang
kesehariannya beraktivitas di keraton. Sumber data yang diharapkan
adalah catatan hasil wawancara, rekaman suara, serta foto dengan
menggunaan perekam suara serta camera untuk dokumentasi.
33
1.2.
Sumber Data Sekunder
Selain pustaka primer yang telah disebutkan dan data yang dihasilkan
dari penelitian lapangan, terdapat data-data pendukung yang digunakan
dalam penelitian ini yang berasal dari buku-buku, jurnal dan bahan-bahan
lainnya yang berhubungan dengan pengabdian abdidalem di keraton
Kasunanan Surakarta serta teori filsafat manusia dari Erich Fromm.
2.
Tahap-Tahap Penelitian
2.1. Tahap Penelitian Kepustakaan
a.
Menyusun perencanaan kegiatan penelitian. Proses ini menjadi
tahap awal yang diajukan dalam proposal penelitian tesis ini.
b.
Inventarisasi data dengan mengumpulkan pustaka yang tepat
sebagai sumber data penelitian dengan melakukan studi
eksploratif dengan menggali sumber-sumber pustaka.
c.
Analisis
dalam
pengumpulan
data
dilakukan
agar
pelaksanaannya dapat terarah pada tujuan penelitian dan
menjawab pertanyaan dalam masalah penelitian
d.
Mengklasifikasi data dengan kategori-kategori yang disesuaikan
dengan peta masalah penelitian. Hal tersebut berguna agar data
dapat terorganisir dan terpantau dengan baik.
34
2.2. Tahap Penelitian Lapangan
a.
Penelitian lapangan yang akan dilakukan didukung juga dengan
keberadaan instrumen penelitian berupa peralatan dokumentasi
b.
Tahap
pelaksanaan
penelitian
lapangan
diawali
dengan
memahami latar penelitian yaitu lingkungan keraton Kasunanan
Surakarta. Peneliti dalam proses tersebut perlu melakukan
adaptasi untuk menyesuaikan diri dengan latar dari objek
penelitian yang akan dilakukan. Hal ini sangat penting, karena
tingkat objektifitas dari data yang didapat sangat dipengaruhi
oleh partisipasi peneliti dalam beradaptasi dengan lingkungan
latar penelitian.
c.
Pengamatan yang dilakukan dalam penelitian lapangan diarahkan
sesuai dengan masalah dan tujuan dari penelitian (Kaelan, 2005:
192). Hal tersebut sangat penting, dikarenakan dalam proses
berjalannya penelitian lapangan perlu terdapat pemfokusan
perhatian oleh peneliti terhadap objek yang diteliti sesuai dengan
objek material penelitian yang dalam penelitian ini adalah
pengabdian para abdidalem keraton Kasunanan Surakarta. Data
yang didapat dalam pengamatan diharapkan berupa catatan yang
berkaitan dengan sejarah keraton Kasunanan Surakarta, struktur
kelembagaan keraton, kondisi daripada keraton, fasilitas dalam
keraton, dan lain-lain.
35
d.
Proses wawancara yang akan dilakukan diawali dengan
perancangan
responden
rumusan
atau
pertanyaan,
narasumber
yang
selain
itu
penentuan
tepat
juga
sangatlah
mendukung kualitas dari hasil wawancara. Wawancaraakan
dilakukan secara bertahap. Peneliti akan mengajukan pertanyaan
kepada narasumber yang diawali dengan pertanyaan yang
sifatnya umum, kemudian bertahap sampai pada pertanyaan yang
sesuai dengan fokus penelitian. Dalam proses wawancara,
sekaligus dilakukan pendokumentasian dengan rekaman suara
dan foto untuk mendukung laporan dari penelitian.
e.
Pengolahan
data
wawancara
berupa
rekaman
penelitian
kemudian perlu dikelola oleh peneliti untuk dijadikan dalam
bentuk teks. Teks tersebut berupa pencatatatn laporan penelitian
yang dilakukan yang selanjutnya akan dianalisis dan diambil
keterkaitan antar tiap data, baik data hasil kepustakaan maupun
penelitian lapangan.
2. Analisis Data
Dengan menggunakan metode hermeneutika filosofis, peneliti
berusaha menganalisis praktik pengabdian abdidalem keraton Kasunanan
Surakarta dengan menggunakan perspektif pandangan filsafat manusia
36
dari Erich Fromm. Menurut Anton Bakker (1990: 41) terdapat beberapa
unsur metodis dalam penelitian filsafat dengan metode hermeneutika,
yaitu:
1. Deskripsi, menjelaskan secara rinci konsep-konsep dalam teori
filsafat manusia dalam pandangan Erich Fromm, serta deskripsi
tentang berbagai hal yang berkaitan dengan kehidupan para
abdidalem keraton Kasuanan Surakarta baik tentang sejarah,
kondisi keraton Kasuananan, keyakinan para abdidalem, serta
berbagai faktor yang berkaitan dengan pengabdian para abdidalem
di keraton Kasunanan Surakarta, yang berasal dari data yang
didapat dalam studi kepustakaan serta penelitian lapangan.
3. Interpretasi, mentafsirkan konsepsi paling dasariah dari filsafat
manusia Erich Fromm dan pengabdian para abdidalem keraton
Kasunanan Surakarta.
4. Holistik, memahami secara menyeluruh pemikiran filsafat manusia
Erich Fromm atas kaitannya dengan analisis terhadap praktik
pengabdian abdidalem di keraton kasunanan Surakarta.
5. Refleksi, mengungkapkan hubungan konsep-konsep dalam teori
filsafat manusia dari Erich Fromm yang merujuk pada analisis
terhadap
pengabdian
para
abdidalem
keraton
Surakarta, refleksi itu menuju sistematis-reflektif.
Kasuananan
37
F. Hasil yang Dicapai
Penelitian ini diharapkan dapat mencapai hasil sebagai berikut ini:
1. Memperoleh pemahaman tentang filsafat manusia Erich Fromm
2. Memperoleh pemahaman tentang kehidupan para abdidalem yang terkait
dengan pengabdiannya terhadap keraton Kasunanan Surakarta
3. Memperoleh pemahaman mengenai dorongan yang mendasari praktik
pengabdian
para
abdidalem
keraton
Kasunanan
Surakarta
dalam
pendekatan filsafat manusia Erich Fromm.
G. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan yang digunakan dalam laporan penelitian tessis
ini menggunakan sistematika bab dan sub-bab. Terdiri dari lima bab yang
didalamnya terdapat rincian sub-bab yang terangkai untuk dapat mencapai
suatu rincian penjelasan yang sistematis. Pembagian bab diperinci sebagai
berikut:
BAB I:
merupakan bab pendahuluan yang berisi latar belakang dari
penelitian, rumusan masalah, landasan teori, metode penelitian,
hasil yang diharapkan, serta sistematika penulisan ini.
BABII:
merupakan ulasan yang berisi kajian mengenai objek formal
penelitian yaitu teori filsafat manusia dari Erich Fromm.
Peneliti dalam bab ini mendeskripsikan tentang konsep-konsep
38
dalam pandangan Erich Fromm yang tekait dengan analisisnya
tentang manusia.
BAB III :
Peneliti dalam bab ini membahas mengenai objek material
penelitian,
yaitu
hal-hal
yang
terkait
dengan
praktik
pengabdian abdidalem keraton Kasunanan Surakarta. Ulasan
yang dipaparkan berasal dari data-data yang didapat peneliti
dari studi kepustakaan serta penelitian lapangan dengan
wawancara dan pengamatan.
BAB IV:
Peneliti dalam bab ini melakukan analisis dengan mencari
hubungan antara konsep-konsep dalam teori filsafat manusia
dari Erich Fromm dengan objek material berupa realitas
praktik pengadian abdidalem keraton Kasunanan Surakarta,
untuk kemudian menganalisisnya untuk menemukan dasar dan
dorongan pengabdian para abdidalem keraton Kasunanan
Surakarta dengan perspektif pendekatan teori filsafat manusia
dari Erich Fromm.
BAB V:
Kesimpulan dan saran peneliti sebagai rujukan bagi penelitian
selanjutnya
Download