BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Era globalisasi di abad 20 telah menampakkan begitu pesatnya arus perubahan dalam kehidupan masyarakat. Globalisasi yang telah mendobrak batas-batas territorial tiap-tiap negara dengan didukung kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, telah memberikan pengaruh yang besar dalam kenampaan sosial saat ini. Hal tersebut terlihat dengan pengaruh media yang begitu besar dalam mempengaruhi perkembangan trend, gaya hidup, bahkan cara pandang masyarakat secara luas. Franz Magnis Suseno menjelaskan bahwa hadirnya globalisasi mempengaruhi penyebaran yang tidak hanya gagasan seperti ekonomi pasar dan demokrasi, tetapi lewat pengaruh media juga mempengaruhi menyebarluasnya berbagai kebiasaan rekreatif tertentu (Suseno, 2007: 202). Dapat dikatakan bahwa pengaruh tersebut tidak terbatas hanya pada suatu kawasan, daerah, atau territorial dari suatu negara saja, tetapi telah berpengaruh secara luas keseluruh penjuru dunia. Globalisasi yang didukung perkembangan teknologi informasi dan komunikasi tersebut memperlihatkan besarnya peran media dalam mempengaruhi gerak kehidupan masyarakat. Media seperti stasiun televisi dengan iklan serta berbagai tayangannya telah mampu merangsang alam sadar 1 2 masyarakat luas dengan mendorong untuk terus mengkonsumsi berbagai produk yang bukan atas dasar kebutuhan, tetapi karena dianggap modern, kekinian, dan bahkan membawa pada nilai prestis tertentu. Dalam hal ini tidak dapat dipungkiri bahwa perkembangan globalisasi tidak lain dan tidak bukan digerakkan oleh suatu sistem yang memicu gerak konsumsi masyarakat. Media telah mampu memperdaya masyarakat dengan jeratan budaya populer yang sengaja diproduksi untuk kepentingan komersial, yaitu untuk tujuan pengerukan keuntungan dengan memicu daya konsumsi yang tidak akan pernah ada habisnya. Produk globalisasi seperti gadget, makanan cepat saji, kosmetik dan lain sebagainya adalah berbagai produk budaya populer yang selalu terus mengalami inovasi yang sebenarnya tidak banyak membawa manfaat bagi masyarakat. Konsumsi dalam hal ini tidak dapat dilihat sekedar sebagai salah satu sisi pasangan produksi-konsumsi dari proses perekonomian, tetapi nyatanya telah menjadi suatu roda penggerak dari gerbong globalisasi. Perbincangan tentang globalisasi tidak dapat luput dengan persoalan tentang keberadaan pasar bebas. Pasar bebas menjadi tolok ukur serta otoritas yang paling berkuasa dalam gerak roda perekonomian masyarakat dunia saat ini, yang mana dengan kekuatan pasar bebas telah mermicu terjadinya persaingan secara bebas terutama dalam dunia bisnis. Prinsip-prinsip pasar bebas tersebut merupakan ide yang dikemukakan oleh 3 Smith dan Ricardo dan masih berlangsung sampai saat ini, yaitu hadirnya sebuah pasar global yang terbuka, dimana barang dan jasa dapat bergerak bebas melewati batas-batas negara, dan menghilangkan intervensi negara terhadap pasar dan hal tersebut menumbuhkan persaingan dalam meningkatkan penggunaan sumber daya alam, manusia serta modal (Burchill dan Linklater, 2009: 74, 75). Bebas dalam hal ini dengan artian bahwa mudahnya berbagai perusahaan asing menembus perdagangan setiap negara termasuk di Indonesia dan berdampak pada lumpuhnya berbagai perusahaan lokal, terutama perusahaan kecil yang kalah saing. Hal tersebut dapat menjelaskan bahwa globalisasi tidak pernah mampu bersifat netral, karena akan selalu ada yang menang dan ada yang kalah (Suseno, 2007: 203). Keberadaan persaingan bebas ini cukup mempengaruhi cara pandang masyarakat, seperti halnya kondisi dalam dunia kerja suatu nuansa kompetitif sangat lah dapat mewakili kondisi tersebut. Dengan lapangan pekerjaan yang terbatas dan jumlah angkatan kerja yang begitu besar menimbulkan kompetisi yang begitu sengit dalam masyarakat, tidak hanya itu peran tenaga asing serta kecanggihan teknologi dengan mesin-mesin yang telah mampu menggantikan tenaga dan pikiran manusia telah menjadi momok bagi para tenaga kerja Indonesia. Hal tersebut kemudian memunculkan kecenderungan timbulnya cara-cara yang tidak sehat, seperti terjadinya 4 praktik suap dan nepotisme. Gerak kehidupan masyarakat telah didorong kearah kompetitif dan egoistis dengan mengutamakan keuntungan pribadi. Permasalahan sosial dalam masyarakat di era globalisasi khususnya di Indonesia pada perkembangannya dipengaruhi tidak hanya terbatas pada faktor yang bersifat fisik dan sistemik meliputi pengaruh birokrasi, sistem industrial, maupun faktor ekonomi serta politik secara global saja, tetapi lebih dalam menjadi suatu permasalahan mental. Kecenderungan terhadap pengutamaan profit dalam rangka menumpuk kekayaan materi untuk dapat membeli dan memiliki berbagai produk yang dianggap mutakhir dalam rangka menonjolkan eksistensinya di dalam masyarakat merupakan suatu kondisi khas masyarakat Indonesia saat ini. Hal tersebut mempengaruhi begitu maraknya tiap bentuk pemenuhan kebutuhan dari kehidupan manusia dikomersialisasikan. Ikatan persaudaraan, kekerabatan, semangat gotong royong dan berbagai prinsip solidaritas dalam kehidupan tradisional cenderung ditinggalkan untuk kepentingan yang berbau bisnis. Suatu mekanisme pemikiran seperti itu lah yang telah meracuni generasi muda untuk terlalu mengeluh-eluhkan semangat bisnis, dengan terus mencari peluang yang menguntungkan secara material dan mengesampingkan prinsip lain yang lebih maknawi. Tidak heran bahwa dalam lingkungan birokrat, keputusan-keputusan yang berkaitan dengan birokrasi masih belum sampai memberi kemanfaatan bagi masyarakat secara penuh, hal tersebut dikarenakan 5 tiap keputusan dalam birokrasi tak jarang masih mengutamakan kepentingan pribadi maupun golongan dalam pelaksanannya dibanding kepentingan umum yaitu masyarakat luas, dalam hal ini menjelaskan telah begitu lunturnya semangat nasionalisme dan kesadaran kebangsaan masyarakat. Segala permasalahan dalam kehidupan masyarakat di Indonesia saat ini memperlihatkan tidak hanya begitu berpengaruhnya faktor yang berkaitan dengan aspek sosial, ekonomi, dan politik sebagai suatu hal yang mendasari gerak kehidupan masyarakat, tetapi persoalan mental juga merupakan faktor yang memiliki peranan penting dalam mempengaruhi kondisi soasial saat ini. Dalam persoalan ini peneliti tertarik dengan pemikiran salah seorang filsuf yang dapat dikatakan sebagai seorang tokoh humanisme sosial yang pemikirannya telah menjadi titik temu antara teori psikoanalisis Freud dengan pemikiran Marx, yaitu Erich Fromm. Seperti yang dijelaskan oleh Hall bahwa Fromm telah membandingkan ide-ide Freud dan Marx, menyelidiki kontradiksi-kontradiksinya dan mencoba melakukan sintesis (Hall dan Lindzey, 1993: 256). Erich Fromm menunjukkan dalam pemikirannya bahwa berbagai persoalan pada kehidupan masyarakat tidak hanya disebabkan pada permasalahan yang berada di lingkup sosial ekonomi dan politik saja, tetapi juga terdapat pengaruh secara kontradiksi dari kebutuhan eksistensial manusia maupun kebutuhan naluriahnya, yang hadir dalam setiap proses sejarah evolusi manusia. 6 Erich Fromm sebagai seorang tokoh psikoanalisis dan juga dapat dikatakan sebagai salah satu bagian dari deretan para tokoh teori kritis, tentunya sangat banyak membahas mengenai unsur naluriah dalam diri manusia yang mendasari kehidupan manusia serta kritik-kritiknya terhadap kenampaan dalam proses-proses sosial ekonomi dalam kehidupan manusia. Pandangan Freud dan Marx yang menjadi dua pengaruh besar dalam pemikiran Erich Fromm, dalam hal ini tentunya perlu untuk dilihat adanya titik temu apa antara keduanya, karena hubungan antara psikoanalisis dan Marxisme seringkali dianggap bertolak belakang satu sama lain, tetapi terdapat suatu fokus yang tidak dapat diragukan lagi hadir dari kedua pandangan tersebut, yaitu tentang serangkaian masalah dalam kehidupan manusia yang berakar dari eksistensi dan sifat-sifat dasar manusia (Osborn, 2005: 125). Dengan kata lain bahwa konsep manusia dalam pemikiran Erich Fromm sangat lah penting untuk dipahami secara gamblang atas pengaruh dari keduanya. Dengan latar belakang tersebut, penulis berusaha menganalisa dan mengungkap konsep-konsep dari pemikiran Erich Fromm yang berkaitan dengan filsafat manusianya, dan kemudian menjadikannya sebagai suatu pisau analisis dalam memahami objek material dari penelitian ini. Kondisi masyarakat modern yang mengutamakan efisiensi waktu serta efektifitas dalam gerak kehidupan, menempatkan diri mereka dalam cara pandang yang egoistik dan cenderung meninggalkan bentuk-bentuk solidaritas 7 masyarakat tradisional yang telah hadir sebelumnya. Masyarakat dalam era globalisasi yang dijiwai semangat kompetisi, memperlihatkan suatu pandangan kompetitif yang menganggap manusia lainnya adalah saingan dan bahkan lawan dalam mengejar keuntungan pribadi. Hal tersebut juga nampak dalam kehidupan masyarakat di Indonesia, berbagai nilai luhur yang tertanam dalam masing-masing kebudayaan masyarakat tradisional tiap daerah yang lebih menggambarkan nilai-nilai persaudaraan, ketulusan, serta cinta kasih antar manusia mulai ditinggalkan karena ketertarikan terhadap kecanggihan teknologi yang dianggap memberikan kemudahan, efisiensi waktu, serta keuntungan meterial yang lebih besar. Kebudayaan tradisional bahkan sekedar dimodifikasi hanya untuk menarik pendapatan kapital dalam sektor pariwisata, dan masyarakat tidak lagi dijiwai keberadaan nilai-nilai luhur yang terkandung di dalam nya. Peneliti dengan pemahaman tersebut ingin mencoba mendalami salah satu realitas sosial dalam kehidupan masyarakat Indonesia dalam skala yang sangat kecil yang masih bertahan dengan diilhami oleh nilai dan norma tradisional yang berdasar pada semangat kecintaan di dalam riuhnya gerak kehidupan masyarakat saat ini yang terbelenggu oleh pengaruh pola pikir modern yang kompetitif, dan hal tersebut tercermin dalam pengabdian para abdidalem terhadap keraton Kasunanan Surakarta. Fenomena pengabdian abdidalem terhadap keraton Kasunanan Surakarta terebut telah lama menarik 8 perhatian peneliti. Keraton Kasunanan Surakarta adalah salah satu peninggalan kejayaan kerajaan Mataram Islam (selain Kasultanan Yogyakarta) yang masih berdiri sampai saat ini. Keraton Kasunanan dipimpin oleh Ratu atau Raja Mataram bergelar Pakubuwana yang dahulu memiliki kekuasaan integral dalam birokrasi kerajaan. Ratu pada masa kejayaan keraton Kasunanan sering disebut memiliki “wenang wisesa ing sanagari” yaitu memegang kekuasaan tertinggi diseluruh negeri (Moedjanto, 1994: 123), tetapi karena perubahan zaman dan terbentuknya negara kesatuan RI yang mengikutsertakan wilayah keraton Kasunanan dalam kesatuan tersebut, berangsur-angsur mempengaruhi perubahan terhadap kedudukan raja maupun kekuasaan dari keraton terhadap masyarakat Surakarta secara luas. Raja dari keraton Kasunanan Surakarta yang notabene telah surut dalam hal pamor karena wilayah keraton telah bersatu dengan wilayah kesatuan NKRI, dan tidak memiliki kekuasaan atau kekuatan dalam melakukan dominasi untuk membentuk hirarki sosial seperti dahulu yang mengikat terhadap masyarakat wilayah kekuasaan dari keraton Kasunanan Surakarta secara umum, membawa banyak perubahan dalam hubungan keraton dengan masyarakat maupun posisi ratu serta para kaum bangsawan. Dewasa ini nampak jelas hal tersebut dalam lunturnya garis gramatikal antara golongan bangsawan / trah dalem dengan wong cilik (masyarakat diluar trah dalem), karena kedua golongan tersebut sama-sama memiliki kesempatan dan 9 posisi yang tidak jauh berbeda dalam kehidupan sosialnya secara umum sebagai warga negara Indonesia. Di lain pihak terdapat realitas yang menarik dan perlu pendalaman pengkajian yang tidak mampu dipahami dengan pendekatan teori-teori yang mendasari pada pandangan pragmatis, yaitu dimana tetap bertahannya kesetiaan para abdidalem terhadap keraton Kasunanan. Selama ini dalam berbagai pandangan dinyatakan bahwa kesetiaan pengabdian abdidalem yang tanpa didasari orientasi keuntungan material tersebut dikarenakan kuatnya kekuasaan Raja dalam kehidupan masyarakatnya, seperti halnya yang dinyatakan Franz Magnis Suseno bahwa kekuasaan raja keraton Jawa yang dianggap adikodrati adalah hal mutlak yang menentukan hancur atau berjayanya suatu kerajaan tersebut (Suseno, 1996: 110), tetapi pada kenyataannya dewasa ini kekuasaan keraton yang telah memudar tidak mengakibatkan lunturnya pengabdian para abdidalem terhadap keraton yang mana terus mendorong dan melestraikan norma-norma budaya dari keraton. Peneliti dalam hal ini beranggapan terdapat aspek lain di luar kekuatan dominasi raja yang mendorong kondisi tersebut, yang disinyalir adalah aspek yang lebih dalam yang berasal dari diri para abdidalem itu sendiri. Hal tersebut bagi peneliti cukup menarik untuk diteliti secara lanjut untuk memberikan gambaran solidaritas masyarakat tradisional yang lebih mewakili sikap batin yang mendalam untuk dapat mengilhami tumbuhnya 10 solidaritas kebangsaan serta semangat nasionalisme, dan persoalan tersebut akan dijadikan sebagai objek material dalam penelitian ini dengan dianalisis menggunakan pendekatan teori filsafat manusia dari Erich Fromm. 1. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti merincikan rumusan masalah dengan dasar pendekatan filsafat sebagai berikut: a. Apa pandangan filsafat manusia Erich Fromm? b. Apa konsep pengabdian dalam hubungan abdidalem dengan keraton Kasunanan? c. Apa yang menjadi pendorong praktik pengabdian abdidalem terhadap keraton Kasunanan Surakarta dilihat dalam perspektif filsafat manusia Erich Fromm? 2. Keaslian Penelitian Peneliti menemukan beberapa penelitian yang membahas tentang persoalan yang hanya terkait dengan objek formal penelitian atau hanya terkait dengan objek material penelitian ini. Beberapa penelitian yang ditemukan oleh peneliti memiliki kemiripan pembahasan yang berkaitan dengan objek formal atau objek material penelitian ini adalah sebagai berikut: 11 a. Disertasi yang berjudul Dimensi Ontologis Kebebasan Menurut Erich Fromm : Relevansinya bagi Pengembangan Pers di Indonesia, oleh Nana Sutikna, Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada pada tahun 2013. Disertasi tersebut merupakan kajian ontologi yang mengangkat pandangan kebebasan dari Erich Fromm untuk menyoroti kondisi pers di Indonesia. b. Skripsi yang berjudul Cinta Produktif sebagai Solusi Masyarakat yang Teralienasi oleh Khoirul Rosyadi, Fakultas Filsafat, Universitas Gadjah Mada pada tahun 1998. Skripsi ini mendeskripsikan mengenai konsep cinta dari pemikiran Erich Fromm sebagai suatu gambaran solusi terhadap permasalahan pada masyarakat yang teralienasi. c. Disertasi yang dibukukan dengan judul Edelweiss Van Jogja: Pengabdian Abdidalem Keraton Yogyakarta dalam Perspektif Sosio Fenomenologi oleh Sindung Haryanto, 2014. Buku ini hasil dari disertasi doktoral di Universitas Airlangga yang dibukukan. Buku ini menjelaskan tentang perilaku abdi dalem dalam pengabdiannya terhadap keraton yang ditinjau dengan perspektif fenomenologi, dan merupakan studi kasus di Keraton Kasultanan Yogyakarta. d. Skripsi yang berjudul Studi Eksplorasi terhadap Motivasi Kerja Abdidalem Keraton Yogyakarta oleh Ingga Ayu Novitasari, Fakultas 12 Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya, Universitas Islam Indonesia pada tahun 2008. e. Skripsi yang berjudul Dinamika Psikologis Pengabdian Abdi dalem Keraton Kasunanan Surakarta Pasca Suksesi oleh Alimin (2007) skripsi Universitas Muhamadiyah Surakarta. Penelitian tersebut masih berada pada tahapan deskriptif dan reportif, belum sampai pada tahapan analisis kritis untuk mencapai pemahaman secara esensial. Penelitian tersebut mengangkat dinamika psikologis para abdidalem dengan kaitan atas terjadinya berbagai perubahan dalam lingkungan keraton baik yang didasari faktor eksternal maupun internal dari keraton sendiri. Dengan hasil temuan beberapa penelitian yang mengarahkan pembahasannya hampir mendekati kemiripan dengan objek material penelitian ini yaitu pengabdian abdidalem terhadap keraton Kasunanan Surakarta serta beberapa penelitian yang mejelaskan seputar persoalan yang terkait dengan objek formal yaitu pemikiran teori filsafat manusia dari Erich Fromm, tetapi sampai saat ini peneliti belum menemukan penelitian yang memiliki kesamaan secara penuh dengan penelitian yang akan dilakukan ini. 13 3. Manfaat yang Ingin Dicapai Penelitian terhadap pendalaman hidup para abdidalem dalam pengabdiannya terhadap keraton Kasunanan Surakarta dengan perspektif pemikiran filsafat manusia dari Erich Fromm ini memberi manfaat sebagai berikut: a. Bagi Peneliti Penelitian ini adalah suatu penelitian lanjutan dari peneliti yang diharapkan mampu memberi dorongan positif terhadap peneliti dalam memperdalam pemahaman terhadap kearifan lokal dari setiap daerah di Indonesia terutama dalam penelitian ini adalah masyarakat Jawa yang khususnya para abdidalem dari keraton Kasunanan Surakarta, selain itu dilaksanakannya penelitian ini juga dapat melengkapi studi dari peneliti tentang pemahaman terhadap sifat-sifat dan kondisi esensial dari manusia. Dan dari penelitian ini tidak menutup kemungkinan akan mendorong peneliti melakukan penelitian selanjutnya. b. Bagi perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan Penelitian ini memicu kesadaran pentingnya penelitian yang lebih mendalam terhadap kebudayaan di Indonesia dan kearifannya yang mencakup pandangan hidup, nilai, dan norma tradisional yang tertanam dalam tiap kebudayaan. Penelitian ini dilakukan karena penelitian yang selama ini dilakukan lebih banyak belum sampai pada pendalaman secara mendasar, dan 14 masih bersifat deskriptif dengan memahami kearifan lokal sebagai warisan leluhur yang hanya berkaitan dengan mitos-mitos masa lalu yang dianggap irrasional. Penelitian ini mencoba membongkar hal-hal yang dianggap irrasional tersebut, terutama yang berkaitan dengan pengabdian para abdidalem Kasunanan Surakarta dengan mengkaitkannya dengan pandangan Erich Fromm tentang kondisi yang secara esensial paling manusiawi dari manusia. Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya kajian filsafat kebudayaan, filsafat nusantara, kearifan lokal, filsafat manusia serta kajian lainnya terhadap realitas kebudayaan tradisional di nusantara, untuk dapat ikut berkontribusi dalam perkembangan ilmu pengetahuan di Universitas Gadjah Mada yang khususnya di Fakultas Filsafat. c. Bagi bangsa Indonesia Penelitian ini diharap dapat memberikan cara pandang baru dalam memahami praktik pengabdian para abdidalem terhadap keraton Kasunanan Surakarta yang selama ini masih sering dipandang sebelah mata karena dianggap berdasar pada hal-hal yang irrasional maupun non rasional. Penelitian ini diharapkan dapat memberi pengetahuan lebih mendalam tentang kearifan hidup yang berkaitan dengan nilai-nilai solidaritas tradisional baik ketulusan, persaudaraan, semangat gotong royong, serta kasih sayang terhadap sesama khususnya dari para abdidalem Kasunanan Surakarta. Selain itu, penelitian ini memungkinkan akan berkembangnya kesadaran baru dari 15 masyarakat tentang pentingnya pengaplikasian berbagai nilai luhur dari tradisi bangsa yang mana hal tersebut dapat menumbuhkan kecintaan terhadap kebudayaan, bangsa, maupun negara Indonesia serta menangkal pengaruh negatif dari asing dalam era globalisasi ini. B. Tujuan Penelitian Pokok gagasan penelitian ini dilakukan adalah untuk memahami pandangan hidup serta dorongan yang mendasari praktik pengabdian para abdidalem terhadap keraton Kasunanan Surakarta menggunakan perspektif pendekatan teori filsafat manusia dari Erich Fromm. Sebagai suatu penelitian ilmiah, penelitian ini memiliki tujuan yang dirumuskan sebagai berikut: 1. Menganalisis konsep-konsep dalam filsafat manusia Erich Fromm 2. Menganalisis tentang hal-hal yang terkait dengan praktik pengabdian abdidalem terhadap keraton Kasunanan Surakarta. 3. Menemukan faktor pendorong dalam praktik pengabdian abdidalem terhadap keraton Kasunanan Surakarta dilihat dalam perpektif filsafat manusia Erich Fromm C. Tinjauan Pustaka Penelitian yang telah dilakukan sebelumnya yang berkaitan dengan tema penelitian ini seperti halnya penelitian yang berjudul Pengabdian 16 Abdidalem Keraton Yogyakarta dalam Perspektif Sosio-fenomenologi yang merupakan hasil disertasi Universitas Airlangga yang dibukukan dengan judul Edelweiss Van Jogja oleh Sindung Haryanto pada tahun 2014 dan diterbitkan oleh penerbit Kepel Press, Yogyakarta. Sindung Haryanto dalam hasil penelitiannya telah menjelaskan banyak aspek yang berkaitan dengan pengabdian abdidalem baik tentang dorongan dalam mengabdi, hubungan abdidalem dengan keraton serta Raja, dan sejarah keraton yang didasari pada studi kasus di Keraton Kasultanan Yogyakarta dengan menggunakan perspektif Sosio-fenomenologi (Haryanto, 2014: 3). Hal tersebut membedakan dengan penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti, yang memfokuskan dalam studi kasus pada pengabdian para abdidalem Keraton Kasunanan Surakarta secara kontekstual yaitu pada masa kemerdekaan saat ini dengan banyaknya pengaruh pola pikir dan cara hidup modern dalam masyarakat yang sangat menggejala saat ini, dengan menggunakan kacamata analisis pemikiran filsafat manusia seorang tokoh humanisme dialektik yaitu Erich Fromm. Penelitian lain yang pernah dilakukan berhubungan dengan tema penelitian ini adalah penelitian yang berjudul Studi Eksplorasi terhadap Motivasi Kerja Abdidalem Keraton Yogyakartaoleh Ingga Ayu Novitasari (2008), Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya, Universitas Islam Indonesia. Penelitian tersebut merupakan penelitian secara eksploratif dengan 17 metode wawancara untuk menguak motivasi kerja dan faktor-faktor yang mempengaruhi semangat pengabdian abdidalem, studi kasus di kraton Yogyakarta. Perbedaan mendasar dari penelitian tersebut dengan penelitian yang akan peneliti lakukan ini adalah perbedaan dari objek formal serta lokasi studi kasus penelitian tersebut yang dilakukan di keraton Kasultanan Yogyakarta. Penelusuran peneliti terhadap berbagai penelitian yang terkait dengan tema yang diangkat, belum satu pun dapat dikatakan memiliki kesamaan secara utuh dengan penelitian yang akan dilakukan ini. Dapat dikatakan bahwa penelitian ini merupakan hasil ide original dari peneliti, atas dasar rasa ingin tahu dan kemauan untuk membongkar atau menguak hal-hal fundamental yang berkaitan dengan alam kehidupan tradisional dari masyarakat Jawa terutama dalam lingkungan Keraton Kasunanan Surakarta, yang dalam hal ini berkaitan dengan peran penting pengabdian para abdidalem dalam kelangsungan dan kelestarian daripada Keraton Kasunanan Surakarta, dengan menggunakan analisa pandangan Erich Fromm. Penelitian ini dapat dikatakan sebagai studi kasus yang berfokus pada lingkungan Keraton Kasunanan Surakarta yang merupakan tempat para abdidalem mengabdikan diri. Keraton Kasunanan Surakarta yang pada masa kekuasaan politisnya memiliki ibukota di Sala merupakan penerus kerajaan Mataram yang didirikan oleh Susuhunan Pakubuwana II pada tahun 1746 (Nurharini, 18 dkk. 1999: 7). Keraton Kasunanan Surakarta sebagai pewaris berbagai norma dan tata adat dari kerajaan Mataram secara umum tetap mempertahankan adat tradisional masyarakat Jawa yang khususnya adalah adat keraton. Adat keraton merupakan tatanan, ugeran, atau kaidah yang tetap, yang dilakukan secara turun temurun oleh masyarakat Jawa khususnya masyarakat keraton Surakarta (Puspaningrat, 1996: 9). Hal tersebut berkaitan juga dengan struktur kepemimpinan daripada Keraton yang sampai saat ini tetap lestari dipegang oleh Susuhunan Pakubuwana sebagai Ratu Jawi Trah Mataram di Keraton Kasunanan Surakarta secara turun temurun. Keraton Kasunanan Surakarta sebelum masa kemerdekaan dengan terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia, awalnya merupakan suatu nagari (negara) yang memiliki pemerintahan secara otonom, daerah, dan rakyatnya sendiri (Puspaningrat, 1996: 36). Keraton Kasunanan Surakarta dalam hal ini haruslah dipahami berada dalam kerangka kesejarahan dari NKRI, karena bersama dengan kerajaan-kerajaan tradisional lokal di Indonesia lainnya sedikit ataupun banyak telah memberikan akar terhadap bangunan kultur kebangsaan dan membentuk semangat kenegaraan di Indonesia. Nagari Kasuanan Surakarta adalah salah satu nation yang telah hadir sebelum keberadaan nation Indonesia yang gejalanya hadir dapat diamati belum lah lama yaitu awal abad ke 20 (Nurhajarini,dkk. 1999: 1, 2). Dengan kata lain semangat kenegaraan yang terbentuk pada masa 19 kemerdekaan sedikit banyak adalah pengaruh dari keberadaan negara-negara tradisional sebelumnya termasuk Nagari Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Sejarah perkembang dari Keraton Kasunanan Surakarta pada dasarnya tidak dapat dikatakan berjalan secara linear, karena dalam keberadaanya telah mengalami banyak dinamika perubahan yang mempengaruhi eksistensi daripada keraton itu sendiri. Nurhajarini (1999) mengkatagorisasikannya menjadi tiga perkembangan, yaitu: Masa Kerajaan Tradisional, Masa Kolonial, dan Masa Kemerdekaan Republik Indonesia. Ketiganya merupakan tahap-tahap perkembangan dari Keraton Kasunanan Surakarta yang patut untuk dipahami. Tetapi dalam penelitian ini, peneliti mencoba memfokuskan pada keberadaan Keraton Kasunanan Surakarta pada masa kemerdekaan republik Indonesia yang mana hal tersebut adalah masa yang dijalani oleh para abdidalem saat ini sebagai pusat kajian yang diteliti dalam penelitian ini, meskipun dalam penulisannya akan tetap dijelaskan tentang kedua kategori dari perkembangan dari keraton Kasunanan Surakarta lainnya sebagai tahaptahap perkembangan yang tidak dapat dipungkiri memiliki pengaruh dalam keberadaan keraton Kasunanan pada masa kemerdekaan Indonesia saat ini. Perubahan dalam tubuh keraton yang paling menampakkan lumpuhnya kekuasaan politik keraton secara otonom adalah karena kesatuannya dengan naungan Republik Indonesia yang notabene dipimpin dengan sistem presidensial, selain itu terdapat juga berbagai pengaruh lainnya baik dari eksternal maupun internal dalam keraton sendiri yang tidak dapat 20 dipungkiri telah membawa banyak perubahan terhadap keraton. Kondisi keraton Kasunanan Surakarta dewasa ini tentu saja tidak dapat disamakan begitu saja dengan keraton Kasultanan Yogyakarta. Perbedaan pengakuan secara politis tersebut banyak yang menganggap dikarenakan pada riwayat sejarahnya Pakubuwana ke XII pada masa kepemimpinannya terhadap Keraton Kasunanan menjelang kemerdekaan dan pembentukan NKRI terkesan menunggu, hal tersebut berbeda dengan Hamengkubuwono ke IX yang pada waktu itu mampu memanfaatkan momentum penting pada masa menjelang kemerdekaan untuk keistimewaan swapraja Yogyakarta (Dardias, 2013). Hapusnya Swapraja Surakarta tersebut entah dikarenakan ketidaksigapan sang raja dalam memanfaatkan momentum penting dalam menjelang masa kemerdekaan ataukah karena tujuan lain yang bersifat bonum commune (kepentingan umum) tidaklah menjadi persoalan kembali, karena menurut kesaksian, pihak keraton sebenarnya telah berupaya demi memperjuangkan keistimewaan keraton. Pihak Kasunanan telah berulangkali mengupayakannya lewat pertemuan seperti mengikuti KMH pada tahun 1949 dan mengirimkan surat-surat keberatan kepada pemerintah NKRI atas penggabungan zelfbesturende landscappen/ Swapraja Surakarta dengan provinsi Jawa Tengah, tetapi birokrasi NKRI nyatanya belum berpihak kepada kepentingan Daerah Istimewa Surakarta (Santosa, 2006: 88-152). Hal tersebut 21 berdasarkan kesaksian KPH Wirodiningrat yang dibukukan dengan judul Suara Nurani Keraton Surakarta oleh Sri Juari Santosa. Keraton Kasultanan Yogyakarta dengan daerah keistimewaannya yang diakui dan sebagai daerah otonom masih memiliki kekuasaannya secara politis, hal tersebut nampak dalam jabatan seorang pemimpin daerah yaitu gubernur yang notabene akan berlanjut dipegang oleh seorang Hamengkubuwono yaitu ratu keraton Yogyakarta secara tetap dan turun temurun. Hal ini sangat berbeda dibandingkan dengan Keraton Kasunanan yang telah gagal mempertahankan keistimewaannya kembali dan tidak dapat lagi dikatakan memiliki kekuasaannya secara politis terhadap masyarakat Surakarta secara luas. Pemaparan ini hanyalah sebagai suatu gambaran bahwa terdapat perbedaan yang cukup signifikan antara kedudukan keraton Kasultananan Yogyakarta dengan keraton Kasunanan Surakarta dibawah naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Keraton Kasunanan Surakarta dalam alam kemerdekaan ini dipandang sebagai suatu wadah atau lembaga adat secara naluriah yang segala perangkatnya termasuk ratu (raja) melulu bergerak dibidang kebudayaan guna melestarikan budaya tradisional peninggalan budaya bangsa (Puspaningrat, 1996: 420). Tentu saja dalam hal ini penelitian yang terkait dengan lingkungan keraton Kasunanan Surakarta perlu memperhatikan hal tersebut, perlu adanya suatu penelitian yang mampu memahami kondisi keraton Kasunanan secara kontekstual yaitu pada konteks keberadaanya dalam tubuh negara kesatuan Indonesia dibawah kepemimpinan 22 presiden, dan kenyataan bahwa raja keraton Kasuanan Surakarta tidak lagi memiliki kekuasaan secara politis yang mengikat masyarakat Surakarta secara luas. Paparan tentang gambaran keraton Kasunanan Surakarta tersebut mengarahkan pada pemahaman tentang posisi abdidalem secara kontekstual. Abdidalem atau dapat dikatakan dalam perspektif tradisional sebagai kaum priyayi merupakan seluruh pegawai kerajaan yang umumnya pada masa kerajaan tradisional memegang tugas yang berhubungan dengan kelangsungan kerajaan dari tingkat tertinggi sampai terendah (Nurhajarini, dkk. 1999: 37). Pada masyarakat dalam sistem kerajaan Jawa pada masa pra-kemerdekaan sangatlah lekat dengan keberadaan bentuk struktur hirarkis sosial yang bertingkat, yang mana hal tersebut mendasari sikap tiap individu dalam lingkungan sosialnya termasuk dalam hal ini adalah para abdidalem. Kondisi inilah yang menyebabkan mengapa dalam kehidupan sosialnya antara dua orang Jawa yang bertemu, bahasa, pembawaan, dan sikapnya akan mengungkapkan suatu pengakuan terhadap kedudukan mereka masing-masing (Suseno, 1996: 60). Persoalan mengenai sikap dalam interaksi sosial dalam kehidupan masyarakat Jawa ini tergambar dengan jelas dalam kehidupan para abdidalem di keraton, sikap hormat terhadap orang yang memiliki kedudukan lebih tinggi yaitu terhadap sentana dalem atau trah dalem, dan terhadap 23 abdidalem lain yang memiliki kepangkatan yang lebih tinggi menjelaskan suatu tatanan sosial yang teratur. Abdidalem keraton Surakarta seperti halnya yang ditemukan oleh Sindung Haryanto di keraton Yogyakarta tidaklah mendasari pengabdiannya terhadap keraton atas dasar dorongan dari aspek ekonomi. Para abdidalem tersebut mengabdikan diri dengan dedikasi dan loyalitas tinggi untuk keraton meskipun dari aspek keuntungan financial yang diterima sangatlah rendah (Haryanto, 2014: 5). Penelitian Sindung Haryanto tersebut berlatar pada kondisi keraton Yogyakarta dengan kekuasaan politis ratu yang masih lestari hingga sekarang. Pamor keraton dalam latar penelitian Sindung Haryanto sangat didukung oleh kedudukan dan kekuasaan politis sang ratu / sultan dalam tata birokrasi di Daerah Istimewa Yogyakarta, dengan kata lain keberadaan sang ratu masih sangat berpengaruh terhadap proses kehidupan masyarakat Yogyakarta secara luas. Pengabdian para abdidalem di keraton Yogyakarta masih dapat dikatakan berkaitan dengan peran dan pamor sang ratu itu sendiri yang memiliki pengaruh dan dipercaya menjadi pusat daya kosmis yang dapat memberikan ketentraman, rasa kebercukupan, serta status sosial para abdidalem dengan kedekatannya dengan keraton. Hal tersebut sangatlah berbeda dengan kondisi keraton Kasunanan Surakarta dalam kedudukannya sekarang ini. Setelah kehilangan keistimewaannya sejak awal masa 24 kemerdekaan dan terbentuknya NKRI, keraton Kasunanan Surakarta telah kehilangan keistimewaannya sebagai daerah kerajaan/ Vorstenlanden yang memiliki tata birokrasinya sendiri dengan sistem kerajaan Jawa. Dapat dikatakan bahwa keraton telah kehilangan kekuasaan politisnya karena sang ratu tidak memiliki kedudukan langsung dalam urusan birokrasi di daerah Surakarta, dan dengan kata lain tidak memiliki pengaruh terhadap masyarakat Surakarta secara umum. Dalam hal ini yang menarik adalah keberadaan abdidalem yang tetap setia mengabdi terhadap keraton Kasunanan Surakarta. Peneliti dengan keinginan menemukan dorongan yang mendasari pengabdian para abdidalem Keraton Kasuanan Surakarta tersebut, menggunakan pendekatan filsafat manusia dari Erich Fromm, bukan untuk memaparkan halhal yang sifatnya irrasional atau non rasional tetapi untuk mendapatkan keterangan yang rasional dan mendalam terkait dorongan yang mendasari pengabdian abdidalem di Keraton Kasuananan Surakarta. D. Landasan Teori Suatu penelitian ilmiah memerlukan dasar-dasar operasional yang digunakan sebagai landasan bagi realisasi pelaksanaan penelitian, dan hal tersebut merupakan fungsi dari keberadaan landasan teori dalam pelaksanaan penelitian. Menurut Kaelan, dalam landasan teori dipaparkan berupa uraian secara verbal, yang dalam penelitian filsafat landasan teori ini dapat berupa 25 landasan analisis yang sifatnya deskriptif filosofis (Kaelan, 2005: 240). Penelitian ilmiah sebagai penelitian yang harus mampu dipertanggungjawabkan secara ilmiah, memerlukan landasan teori yang memuat paparan tentang suatu teori tertentu yang relevan dan digunakan dalam penelitian tersebut. Penelitian ini menggunakan teori filsafat manusia dari Erich Fromm sebagai pendekatan dalam meneliti praktik pengabdian para abdidalem terhadap keraton Kasunanan Surakarta. Untuk memahami teori filsafat manusia dari Erich Fromm tersebut, perlu lebih dulu dipahami teori-teori yang menginspirasi Erich Fromm, yaitu teori psikoanalisis dan pandangan Marxian. Psikoanalisis pada Kamus Teori dan Aliran dalam Filsafat dan Teologi dapat dipahami sebagai teori kepribadian, teknik analisis kepribadian, dan sebagai metode terapi (Mudhofir, 1996: 199, 200). Dalam penelitian yang akan peneliti lakukan ini pemahaman tentang psikoanalisis akan berada seputar kedudukannya sebagai teori kepribadian dan teknik analisis kepribadian, karena psikoanalisis sebagai metode terapi merupakan penerapan psikoanalisis yang lebih tepat berada pada dunia klinis dan psikologi. Teori psikoanalisis pada awalnya dikemukakan oleh Sigmund Freud untuk membongkar realitas psikis dalam kepribadian manusia yang memiliki pengaruh dalam dorongan-dorongan pada tindakan sadar manusia. Hal tersebut berkaitan dengan hubungan kontradiktif yang terjadi antara alam ketidaksadaran (unconsciousness) yang berkaitan dengan dorongan naluriah 26 manusia yang direpresi dengan kesadaran (consciousness) dalam struktur kepribadian manusia. Kondisi ketidaksadaran menjadi salah satu titik fokus dalam kajian psikoanalisis. Ketidaksadaran merujuk pada proses-proses yang berada dalam diri manusia dengan semua kualitas kehidupan mental dengan pengecualian kesadaran (Osborn, 2005: 4). Dapat dipahami bahwa bagi Freud sebagai pencetus psikoanalisis meyakini adanya suatu proses mental yang terdapat dampak-dampak tertentu yang mana nampaknya terjadi tanpa disadari. Hal tersebut terkait dengan tesis Freud yang berjudul The Psychopathology of Everday Life yang mengungkapkan keyakinan Freud bahwa terjadinya keseleo lidah, kesalahan-kesalahan ucapan, dan ingatan yang kabur disebabkan oleh motif-motif yang tak sadar (Hall, 2000: 8). Ketidaksadaran memiliki pengaruhnya dalam pembentukan kepribadian individu, yaitu terjadinya proses dinamis dalam ketegangan antara kesadaran dengan ketidaksadaran. Proses ketegangan yang terjadi pada sistem kepribadian manusia dalam pandangan Freud berkaitan dengan unsur kepribadian manusia yaitu Id yang menjadi sumber keberadaan energi yang mengarah pada kesenangan yang hadir dari sejak lahir dalam bentuk insting alamiah, ego yang bertugas merealisasikan keinginan dan memutuskan menurut prinsip realitas, serta super-ego yang merupakan sistem norma dan nilai moral dari kebudayaan dan komunitas tertentu yang telah diinternalkan. Konflik dasar dari ketiga sistem 27 kepribadian tersebut memiliki ciri, fungsi, dan sifat yang berbeda namun bekerja sama menciptakan energi psikis individu yang mempengaruhi perilaku manusia (Budiraharjo, 1997: 20, 21). Dalam hal ini tidak dapat dipungkiri bahwa keberadaan psikoanalisis merupakan salah satu bagian dari ilmu psikologi tetapi juga menjadi dasarnya, karena psikoanalisis membuka suatu celah baru dalam kemungkinanan analisis terhadap struktur kepribadian manusia. Psikoanalisis juga mengalami perkembangan yang dinamis, dimana teori psikoanalisis yang diawali dengan pemikiran Freud yang banyak terkait dengan perkembangan psikoseksual manusia memiliki banyak kecaman dan kritikan yang tidak hanya berasal dari luar mazhab tersebut tetapi juga berasal dari satu mazhab itu sendiri (Budiraharjo, 1997: 9). Erich Fromm adalah salah satu tokoh penerus psikoanalisis yang ikut mewarnai kritikan terhadap teori dari bapak psikoanalisis tersebut. Dalam hal ini pada artian bahwa sebagai pengikut psikoanalisis, Fromm tidaklah mentah-mentah menelan apa yang dipaparkan oleh para tokoh-tokoh psikoanalisis pendahulunya. Selain pandangan psikoanalisis Freudian, Fromm juga banyak terpengaruh dengan pemikiran Marxian. Sebagai seorang tokoh humanisme dialektik, Fromm menggunakan ide-ide Marx untuk menyentuh berbagai persoalan kontekstual yang berhubungan dengan proses-proses sosial dibandingkan pemikiran psikoanalisis klasik yang dianggap terfokuskan pada persoalan insting 28 manusia yang bersifat personal dan cenderung mengabaikan pengaruh dari berbagai faktor sosial ekonomi. Hal tersebutlah yang menempatkannya tidak hanya sebagai tokoh dalam deretan pemikir psikoanalisis tetapi juga dalam teori kritis (mazhab Frankfurt). Salah satu pandangan Marx yang cukup mempengaruhi ide-ide Fromm adalah persoalan tentang alienasi. Alienasi atau keterasingan dalam pemikiran Marx yang lebih tertuju pada kritiknya terhadap keberadaan konsep liberal dan masyarakat industri. Fromm banyak terinspirasi dari karya-karya awal dari Marx, terutama Economic and Philosopical Manuscripts (1844). Dalam karya-karya awalnya, Marx menggarap berbagai isu-isu filosofis, menetapkan berbagai kritik terhadap konsep materialis dialektis melawan Hegel dan konsepsi liberal tentang emansipasi serta konsep alienasi (Kurki, 2013: 324). Konsep alienasi tersebut oleh Fromm diolah dan dijadikannya suatu teori yang berkaitan dengan kondisi khas manusia yaitu kondisi terasing, terisolasi, dan semakin bebas, kebebasan menjadi suatu kondisi yang negatif. Perasaan terasing atau teralienasi tersebut hadir dalam kesadaran manusia berkat akal budi yang merasa cemas karena terpisah dari keharmonisan dengan alam pada masa pra-human, dengan manusia lainnya seperti pada masa dikandung oleh ibu, bahkan dengan dorongan-dorongan alamiah dirinya untuk kemudian terkatung-katung dalam dunia yang serba asing. Dalam The Sane Society, Fromm menjelaskan: 29 “when man is born, the human race as well as the individual, he is thrown out of a situation which was definite, as definite as the instincts, into a situation which is indefinite, uncertain and open. There is certainty only about the past, and about the future as far as it is death— which actually is return to the past, the inorganic state of matter” (Fromm. 1956: 24) Dalam pandangan Fromm tersebut kelahiran manusia dalam keterpisahannya dengan alam karena telah mengatasi sebagaian dari alam ke kondisi tanpa kepastian dan tak terbatas. Tetapi menurut Fromm manusia juga sekaligus lahir dalam kondisi ketidakberdayaan karena manusia tidak dapat melepaskan diri dari dikotomi eksistensial terutama dikotomi antara kehidupan dan kematian (Fromm, 1988: 36). Kondisi tersebut menimbulkan dorongan dari diri manusia untuk menyelesaikan dikotomi-dikotomi eksistensialnya yang begitu kontradiktif yang dialami sebagai suatu hal yang tak tersadari (unconsciousness) dan terus menggejala sepanjang hidup manusia. Dorongan tersebut merupakan produk dari perkembangan evolutif manusia. Fromm menjelaskan bahwa: Human nature is neither a biologically fixed and innate sum total of drives nor is it a lifeless shadow of cultural patterns to which it adapts itself smoothly; it is the product of human evolution (Fromm. 1942: 17). Dalam hal ini perkembangan evolusi manusia dengan keberadaan fungsi akal dan kesadarannya sangat mempengaruhi kondisi eksistensial dari manusia yang begitu kontradiktif dan memunculkan dorongan dalam mengatasi permasalahan eksistensialnya tersebut. Setiap bentuk masyarakat yang telah diciptakan baik feodalisme, kapitalisme, 30 fasisme, sosialisme atau komunisme menunjukkan usaha manusia untuk memecahkan kontradiksi dasar pada kehidupan manusia (Hall dan Lindzey, 1993: 257). Berbagai ideologi tersebut adalah suatu pelarian dari manusia untuk mengatasi kecemasan dalam keterpisahannya untuk sesuatu keabsolutan di luar dirinya. Manusia dalam kondisi tersebut mencoba mengatasi keterpisahannya dan disiksa untuk sebuah idaman keabsolutan, yang dengannya manusia semakin dipisahkan dari alam, sesama, dan dari dirinya sendiri (Fromm. 1988. 35,36). Pada kondisi tersebut manusia dalam proses memanusiawinya terus berada pada keadaan semakin terasing dan terpisah dengan keharmonisan pada masa pra-human dan dengan ikatan dari manusia lainnya seperti pada saat dalam kandungan ibu. Kesadaran memperlihatkan manusia bahwa tidak ada arti bagi kehidupan kecuali arti yang manusia berikan pada kehidupannya dengan kesiapsiagaan dengan mengembangkan suatu sikap cinta produktif (Fromm. 1988: 38). Keterasingan manusia selalu terjadi dalam setiap perkembangan manusia dan menjadi situasi khas eksistensial dari diri manusia yang hanya dengan realisasi penuh atas dirinya dengan akal, cinta, dan kerja produktif, menjadi solusi untuk manusia dapat menemukan keharmonisan baru. 31 E. Metode Penelitian 1. Bahan dan Materi Penelitian Penelitian ini adalah jenis penelitian kualitatif. Bahan dan materi penelitian didapatkan studi kepustakaan yang berhubungan dengan pengabdian para abdidalem terhadap keraton Kasunanan Surakarta yang didukung dengan pelaksanaan penelitian lapangan dengan wawancara dan pengamatan, serta konsep-konsep dalam pandangan Erich Fromm menyangkut dasar-dasar naluriah manusia yang berkaitan dengan pandangan filsafat manusia dari Erich Fromm. Data pustaka ini dibagi menjadi dua, yaitu pustaka primer dan pustaka sekunder. 1.1. Sumber Data Primer a. Pustaka Pustaka primer penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Pustaka yang berjudul The Sane Society yang ditulis oleh Erich Fromm, dipublikasi pada 1956 oleh Routledge, London 2. Pustaka berjudul The Fear of Freedom karya dari Erich Fromm, dipublikasi pada 1942 oleh Routledge, London 3. Pustaka berjudul The Art of Loving karya Erich Fromm tahun 1957 dipublikasikan oleh George Allen dan Unwin, Great Britain 4. Pustaka berjudul Sejarah Kerajaan Tradisional Surakarta oleh Nurhajarini, dkk, terbitan tahun 1999 dalam Proyek Inventarisasi 32 dan Dokumen Sejarah Nasional Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta 5. Pustaka berjudul Suara Hati Nurani Keraton Surakarta oleh Sri Juari Santosa tahun 2006, diterbitkan Komunitas Studi Didaktika, Yogyakarta 6. Pustaka berjudul Raja, Priyayi, dan Kawula oleh Kuntowijoyo tahun 2004. Diterbitkan Penerbit Ombak, Yogyakarta b. Narasumber Penelitian yang akan dilakukan bertempat di keraton Kasuananan Surakarta. Dengan tujuan mendapatkan hasil penelitian yang seobjektif mungkin, dalam pengumpulan data pelaksanaan penelitian ini akan didukung dengan penelitian lapangan terkait objek material penelitian berupa wawancara dan pengamatan terhadap sumber yang terkait. Sumber data tersebut adalah narasumber yaitu sedikitnya empat orang abdidalem yang mengabdi di keraton Kasunanan Surakarta, dalam hal tersebut peneliti akan terfokus pada para abdidalem garap yang kesehariannya beraktivitas di keraton. Sumber data yang diharapkan adalah catatan hasil wawancara, rekaman suara, serta foto dengan menggunaan perekam suara serta camera untuk dokumentasi. 33 1.2. Sumber Data Sekunder Selain pustaka primer yang telah disebutkan dan data yang dihasilkan dari penelitian lapangan, terdapat data-data pendukung yang digunakan dalam penelitian ini yang berasal dari buku-buku, jurnal dan bahan-bahan lainnya yang berhubungan dengan pengabdian abdidalem di keraton Kasunanan Surakarta serta teori filsafat manusia dari Erich Fromm. 2. Tahap-Tahap Penelitian 2.1. Tahap Penelitian Kepustakaan a. Menyusun perencanaan kegiatan penelitian. Proses ini menjadi tahap awal yang diajukan dalam proposal penelitian tesis ini. b. Inventarisasi data dengan mengumpulkan pustaka yang tepat sebagai sumber data penelitian dengan melakukan studi eksploratif dengan menggali sumber-sumber pustaka. c. Analisis dalam pengumpulan data dilakukan agar pelaksanaannya dapat terarah pada tujuan penelitian dan menjawab pertanyaan dalam masalah penelitian d. Mengklasifikasi data dengan kategori-kategori yang disesuaikan dengan peta masalah penelitian. Hal tersebut berguna agar data dapat terorganisir dan terpantau dengan baik. 34 2.2. Tahap Penelitian Lapangan a. Penelitian lapangan yang akan dilakukan didukung juga dengan keberadaan instrumen penelitian berupa peralatan dokumentasi b. Tahap pelaksanaan penelitian lapangan diawali dengan memahami latar penelitian yaitu lingkungan keraton Kasunanan Surakarta. Peneliti dalam proses tersebut perlu melakukan adaptasi untuk menyesuaikan diri dengan latar dari objek penelitian yang akan dilakukan. Hal ini sangat penting, karena tingkat objektifitas dari data yang didapat sangat dipengaruhi oleh partisipasi peneliti dalam beradaptasi dengan lingkungan latar penelitian. c. Pengamatan yang dilakukan dalam penelitian lapangan diarahkan sesuai dengan masalah dan tujuan dari penelitian (Kaelan, 2005: 192). Hal tersebut sangat penting, dikarenakan dalam proses berjalannya penelitian lapangan perlu terdapat pemfokusan perhatian oleh peneliti terhadap objek yang diteliti sesuai dengan objek material penelitian yang dalam penelitian ini adalah pengabdian para abdidalem keraton Kasunanan Surakarta. Data yang didapat dalam pengamatan diharapkan berupa catatan yang berkaitan dengan sejarah keraton Kasunanan Surakarta, struktur kelembagaan keraton, kondisi daripada keraton, fasilitas dalam keraton, dan lain-lain. 35 d. Proses wawancara yang akan dilakukan diawali dengan perancangan responden rumusan atau pertanyaan, narasumber yang selain itu penentuan tepat juga sangatlah mendukung kualitas dari hasil wawancara. Wawancaraakan dilakukan secara bertahap. Peneliti akan mengajukan pertanyaan kepada narasumber yang diawali dengan pertanyaan yang sifatnya umum, kemudian bertahap sampai pada pertanyaan yang sesuai dengan fokus penelitian. Dalam proses wawancara, sekaligus dilakukan pendokumentasian dengan rekaman suara dan foto untuk mendukung laporan dari penelitian. e. Pengolahan data wawancara berupa rekaman penelitian kemudian perlu dikelola oleh peneliti untuk dijadikan dalam bentuk teks. Teks tersebut berupa pencatatatn laporan penelitian yang dilakukan yang selanjutnya akan dianalisis dan diambil keterkaitan antar tiap data, baik data hasil kepustakaan maupun penelitian lapangan. 2. Analisis Data Dengan menggunakan metode hermeneutika filosofis, peneliti berusaha menganalisis praktik pengabdian abdidalem keraton Kasunanan Surakarta dengan menggunakan perspektif pandangan filsafat manusia 36 dari Erich Fromm. Menurut Anton Bakker (1990: 41) terdapat beberapa unsur metodis dalam penelitian filsafat dengan metode hermeneutika, yaitu: 1. Deskripsi, menjelaskan secara rinci konsep-konsep dalam teori filsafat manusia dalam pandangan Erich Fromm, serta deskripsi tentang berbagai hal yang berkaitan dengan kehidupan para abdidalem keraton Kasuanan Surakarta baik tentang sejarah, kondisi keraton Kasuananan, keyakinan para abdidalem, serta berbagai faktor yang berkaitan dengan pengabdian para abdidalem di keraton Kasunanan Surakarta, yang berasal dari data yang didapat dalam studi kepustakaan serta penelitian lapangan. 3. Interpretasi, mentafsirkan konsepsi paling dasariah dari filsafat manusia Erich Fromm dan pengabdian para abdidalem keraton Kasunanan Surakarta. 4. Holistik, memahami secara menyeluruh pemikiran filsafat manusia Erich Fromm atas kaitannya dengan analisis terhadap praktik pengabdian abdidalem di keraton kasunanan Surakarta. 5. Refleksi, mengungkapkan hubungan konsep-konsep dalam teori filsafat manusia dari Erich Fromm yang merujuk pada analisis terhadap pengabdian para abdidalem keraton Surakarta, refleksi itu menuju sistematis-reflektif. Kasuananan 37 F. Hasil yang Dicapai Penelitian ini diharapkan dapat mencapai hasil sebagai berikut ini: 1. Memperoleh pemahaman tentang filsafat manusia Erich Fromm 2. Memperoleh pemahaman tentang kehidupan para abdidalem yang terkait dengan pengabdiannya terhadap keraton Kasunanan Surakarta 3. Memperoleh pemahaman mengenai dorongan yang mendasari praktik pengabdian para abdidalem keraton Kasunanan Surakarta dalam pendekatan filsafat manusia Erich Fromm. G. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan yang digunakan dalam laporan penelitian tessis ini menggunakan sistematika bab dan sub-bab. Terdiri dari lima bab yang didalamnya terdapat rincian sub-bab yang terangkai untuk dapat mencapai suatu rincian penjelasan yang sistematis. Pembagian bab diperinci sebagai berikut: BAB I: merupakan bab pendahuluan yang berisi latar belakang dari penelitian, rumusan masalah, landasan teori, metode penelitian, hasil yang diharapkan, serta sistematika penulisan ini. BABII: merupakan ulasan yang berisi kajian mengenai objek formal penelitian yaitu teori filsafat manusia dari Erich Fromm. Peneliti dalam bab ini mendeskripsikan tentang konsep-konsep 38 dalam pandangan Erich Fromm yang tekait dengan analisisnya tentang manusia. BAB III : Peneliti dalam bab ini membahas mengenai objek material penelitian, yaitu hal-hal yang terkait dengan praktik pengabdian abdidalem keraton Kasunanan Surakarta. Ulasan yang dipaparkan berasal dari data-data yang didapat peneliti dari studi kepustakaan serta penelitian lapangan dengan wawancara dan pengamatan. BAB IV: Peneliti dalam bab ini melakukan analisis dengan mencari hubungan antara konsep-konsep dalam teori filsafat manusia dari Erich Fromm dengan objek material berupa realitas praktik pengadian abdidalem keraton Kasunanan Surakarta, untuk kemudian menganalisisnya untuk menemukan dasar dan dorongan pengabdian para abdidalem keraton Kasunanan Surakarta dengan perspektif pendekatan teori filsafat manusia dari Erich Fromm. BAB V: Kesimpulan dan saran peneliti sebagai rujukan bagi penelitian selanjutnya