tinjauan pustaka

advertisement
5
TINJAUAN PUSTAKA
Taksonomi dan Morfologi
Handeuleum (Graptophyllum pictum L. Griff), merupakan tanaman asli
Papua berbentuk perdu yang tumbuh lurus, tingginya dapat mencapai 1.5 - 8 m.
Handeuleum ditemukan tumbuh di daerah Jawa mulai dari dataran rendah hingga
ketinggian 1 250 m di atas permukaan laut (dpl), sering ditanam sebagai tanaman
hias atau tanaman pagar, dan banyak digunakan sebagai tanda batas di perkebunan
teh. Tanaman ini diperbanyak dengan cara stek (Heyne 1987).
Menurut United States Department of Agriculture (USDA) (2008),
taksonomi handeuleum sebagai berikut:
Kingdom
: Plantae
Subkingdom : Tracheobionta
Superdivisi
: Spermatophyta
Divisi
: Magnoliophyta
Kelas
: Dicotyledonae
Subkelas
: Asteridae
Ordo
: Scrophulariales
Family
: Acanthaceae
Genus
: Graptophyllum Nees
Spesies
: Graptophyllum pictum (L.) Griff
Menurut Heyne (1987), handeuleum dikenal di luar negeri sebagai Caricature plant (Inggris), Gertenschriftblatt (Jerman). Indonesia sendiri
memiliki berbagai macam nama daerah: handeuleum, daun temen-temen (Sunda),
daun putri (Ambon), temen (Bali), kabi-kabi (Ternate) dan dongo-dongo (Tidore).
daerah Madura menyebutnya karoton dan karotong. Daerah Jawa mengenal daun
ini dengan nama demung, tulak, dan wungu. Berdasarkan hasil eksplorasi dan
observasi oleh Khumaida et al. (2008), diketahui bahwa masyarakat di desa
Snaimboy Manokwari-Papua Barat menggunakan handeuleum sebagai obat
tradisional, mereka menyebut handeuleum sebagai brendek, dimanfaatkan untuk
mengatasi berak darah. Lebih lanjut hasil eksplorasi ini berhasil mengumpulkan
6
38 aksesi handeuleum yang tersebar di berbagai tempat di Indonesia, dimana 13 di
antaranya memiliki kandungan bioaktif yang tinggi.
Handeuleum memiliki kulit dan daun berlendir, serta baunya kurang enak.
Ciri-ciri batang adalah sebagai berikut: aerial, berkayu, silindris, tegak, warna
ungu kehijauan, bagian dalam solid, permukaan licin, percabangan simpodial
(batang utama tidak tampak jelas), arah cabang miring ke atas. Daunnya tunggal,
tersusun berhadapan (folia oposita), warna ungu tua, panjang 15 - 25 cm, lebar 5 11 cm, helaian daun tipis tegar, bentuk bulat telur, ujung runcing, pangkal
meruncing (acuminatus), tepi rata, pertulangan menyirip (pinnate), permukaan
mengkilat (nitidus). Sedangkan bunganya majemuk, muncul dari ujung batang
(terminalis). Buah: kotak sejati (capsula), lonjong, warna ungu kecoklatan,
bentuk biji bulat-berwarna putih, dan akarnya tunggang. Keragaan tanaman
handeuleum ditampilkan pada Gambar 2.
Gambar 2 Keragaan handeuleum. Tanaman utuh (kiri) dan bunga (kanan) aksesi
Bogor.
Menurut BPPT (2008) handeuleum cocok tumbuh di daerah dataran
rendah sampai ketinggian 1 250 meter di atas permukaan laut. Wibowo (2000)
menambahkan handeuleum mampu tumbuh pada ketinggian di bawah
800 meter dpl, dimana semakin tinggi dataran maka daun handeuleum akan
semakin berwarna ungu yang disebabkan oleh adanya peningkatan senyawa
flavonoid yang dikandungnya. Kristina dan Mardaningsih (2008) menyebutkan
7
bahwa handeuleum dapat tumbuh di tempat terbuka, beriklim kering, dan lembab.
Handeuleum umumnya dikembangbiakkan menggunakan stek batang karena buah
dan biji sulit terbentuk (Djazuli & Fathan 2000).
Kandungan Kimia dan Manfaat
Graptophyllum pictum L. Griff telah lama dikenal sebagai tanaman obat,
terutama sebagai obat wasir karena bersifat anti inflamasi, sehingga mampu
mengurangi pembengkakan atau peradangan yang disebabkan oleh wasir,
membantu proses melahirkan, serta dapat dipakai sebagai pelembut kulit.
Tanaman ini juga dipakai untuk mengobati bisul, luka-luka, radang, dan
melancarkan datang bulan.
Beberapa
pustaka
menyebutkan
bahwa
handeuleum
mengandung
metabolit sekunder alkaloid, tanin, saponin, flavonoid, glikosida, dan steroid.
Isnawati dan Soediro (2003) mengemukakan bahwa handeuleum juga
mengandung antosianin, leukoantosianin, tannin galat, asam protokatekuat,
flavon, dan flavanol. Menurut Wahyuningtyas (2005) ekstrak handeuleum 40%
dapat menghambat pembentukan plak pada gigi. Berdasarkan uji klinis pada
kelinci menunjukkan bahwa infus handeuleum dengan kadar 1.56 - 100%
mempunyai efek sebagai laksansia ringan, yaitu dengan menaikkan amplitude
kontraksi otot polos jejunumnya (Sumastuti 2000). Mu’minah (2007) melaporkan
bahwa ekstrak etanol pada daun handeuleum dalam serum darah dapat
menurunkan kadar kolesterol LDL dan total lipid, selain itu juga dapat
menurunkan berat badan mencit yang digunakan pada penelitian.
Kultur Kalus
Menurut Gamborg dan Shyluk (1981), kultur jaringan merupakan
sejumlah teknik untuk menumbuhkan organ, jaringan, dan sel tanaman. Jaringan
dapat dikulturkan secara aseptik dalam medium hara. Kemudahan dalam
melakukan kultur tergantung pada jenis tanaman dan asal jaringan.
Kultur jaringan adalah suatu metode untuk mengisolasi bagian tanaman
seperti
protoplasma,
sel,
sekelompok
sel,
jaringan,
dan
organ,
serta
menumbuhkannya dalam kondisi akseptik yang kaya akan nutrisi serta Zat
8
Pengatur Tumbuh (ZPT) dalam wadah tertutup yang tembus cahaya agar bagianbagian tersebut memperbanyak diri dan beregenerasi kembali menjadi tanaman
lengkap. Teknik kultur jaringan merupakan salah satu metode perbanyakan secara
in vitro. Awalnya teknik kultur jaringan ini dilakukan untuk membuktikan
kebenaran teori totipotensi sel, lalu berkembang untuk penelitian di bidang
fisiologi tanaman dan biokimia (Gunawan 1992). Totipotensi didefinisikan
sebagai kemampuan dari sebuah sel untuk tumbuh dan berkembang bila tersedia
lingkungan luar yang sesuai (Mantell et al. 1985).
Menurut George dan Sherrington (1984) ada 2 (dua) kemungkinan
pertumbuhan tanaman secara in vitro yaitu pertumbuhan terorganisasi dan tidak
terorganisasi. Pertumbuhan terorganisasi terjadi pada bagian-bagian tanaman
(organ) seperti titik tumbuh (meristem) pucuk atau akar, daun yang baru/mulai
muncul, kuncup bunga, dan buah-buah kecil yang dikulturkan. Pertumbuhan tidak
terorganisasi jarang terjadi di alam, seringkali terjadi ketika potongan-potongan
tanaman yang dikulturkan secara in vitro. Jaringan-jaringan yang kemudian
terbentuk, kekurangan beberapa struktur khas yang dapat dikenali dan hanya
berisi sejumlah sel berbeda jenis yang ditemukan pada tanaman lengkap yang
selanjutnya disebut kalus. Regenerasi tanaman dapat dilakukan secara langsung
atau melalui dua tahap yaitu media induksi kalus dan media induksi tunas
adventif.
Kultur kalus dapat dihasilkan dari sejumlah besar organ tanaman yang
beragam seperti akar, tunas, dan daun, atau tipe spesifik sel seperti endosperm dan
polen. Untuk inisiasi kalus, secara aseptik eksplan ditransfer ke dalam media semi
solid dan secara halus merendam eksplan ke dalam medium agar sehingga tercipta
suatu kontak yang baik.
Media, jenis, dan konsentrasi ZPT adalah faktor utama dalam
pembentukan kalus. Berdasarkan konsep yang dikemukakan oleh George dan
Sherrington (1984), untuk induksi kalus tanaman dikotil diperlukan auksin dengan
konsentrasi tinggi dan tetap memerlukan sitokinin pada konsentrasi sangat rendah.
Induksi tunas diperlukan sitokinin dengan konsentrasi tinggi dan auksin pada
konsentrasi rendah, ada juga induksi tunas dapat dihasilkan dengan penggunaan
sitokinin tunggal tanpa auksin. Eksplan yang telah dipilih dan diisolasi dari
9
tanaman induk dikulturkan dalam media semi padat yang ditambahkan auksin
dengan konsentrasi yang relatif cukup tinggi, dengan atau tanpa sitokinin. Kalus
yang terbentuk selanjutnya dipindahkan ke media dengan auksin rendah untuk
merangsang pembentukan struktur yang terorganisir. Tunas dan akar akan
terbentuk dari bagian meristemastik, pada bagian permukaan dari kalus.
Faktor genotipe secara keseluruhan mempengaruhi pola pembentukan
organ adventif dari kalus. Kemampuan membentuk tunas dan akar secara terpisah
atau embriogenesis dari kalus berbeda antar famili maupun genus tanaman.
Pembentukan embrio (embriogenesis) dan pengembangan dari embrio pada
umumnya memerlukan taraf auksin yang berbeda. Embrio terbentuk dari sel
meristemastik yang mempunyai isi sitoplasma yang penuh (tanpa vakuola). Hasil
penelitian Sondahl dan Sharp pada tahun 1977 memaparkan bahwa eksplan daun
Coffea arabica ditanam pada medium MS + Kinetin 22 µM (≈ 0.43 mg/L) +
2.4-D 2 µM (≈4.862 mg/L) dapat membentuk kalus dan pada medium MS +
Kinetin 2.5 µM (≈0.538/L) + NAA 0.5 µM (≈0.09 mg/L) dapat membentuk tunas
dan embrio genesis somatik (Ammirato 1982; Tisserat 1985).
Iradiasi Sinar Gamma
Iradiasi ialah pemberian sinar radio aktif pada suatu objek dengan dosis
tertentu selama periode tertentu (Ismachin 2007). Salah satu sifat dari unsur
radioaktif tersebut adalah kemampuannya untuk menghasilkan iradiasi pengion,
yaitu iradiasi dengan energi tinggi yang dapat bereaksi dengan objek yang dikenai
iradiasi dengan cara pengionan. Molekul objek akan mengalami ionisasi dan
tereksitasi. Elektron yang terlepas akibat ionisasi akan ditangkap oleh molekul
lain yang kemudian dapat membentuk radikal bebas yang sangat reaktif.
Pembentukan radikal bebas tersebut akan mempengaruhi air yang merupakan
komponen terbesar di dalam sel atau dalam sistem biologi. Hal tersebut akan
sangat menentukan terhadap kerusakan di dalam sistem biologi.
Briggs dan Constantin (1977) melaporkan bahwa iradiasi elektromagnetik
dapat menimbulkan keragaman genetik, karena pengaruh iradiasi dapat
menimbulkan perubahan struktur gen, struktur kromosom ataupun jumlah
kromosom. Mutagen dapat dikelompokkan menjadi mutagen fisika dan kimia.
10
Mutagen fisik yang sering digunakan adalah sinar ultraviolet dan beberapa tipe
radiasi pengion seperti sinar x, sinar gamma, partikel alfa, partikel beta, proton,
dan neutron.
Van Harten (1998) menyatakan bahwa sinar gamma merupakan mutagen
yang paling banyak digunakan, hal ini dikarenakan sinar gamma memiliki panjang
gelombang yang pendek (lebih pendek dari sinar X) sehingga memiliki level
energi tertinggi. Level energi yang tinggi membuat sinar gamma mampu untuk
menembus lebih ke dalam jaringan dibandingan dengan mutagen fisika lainnya,
sehingga frekuensi mutasi yang terjadi menjadi lebih besar. Selain itu, sinar
gamma tidak meninggalkan residu radioaktif seperti yang dihasilkan oleh partikel
alpha dan beta. Lebih jauh van Harten (1998) menjelaskan bahwa sinar gamma
dapat dihasilkan oleh radioisotop 137Cs atau 60Co. Cobalt-60 memiliki dua puncak
spektrum energi radiasi pada 1.33 MeV dan 1.17 MeV, dengan masa paruh 5.27
tahun, dan cobalt menjadi hilang terhadap stanium yang stabil. Caesium-137
merupakan mono-energetic dengan puncak energi pada 0.66 MeV.
Menurut
Crowder
(1997)
iradiasi
dapat
menyebabkan
patahnya
kromosom, dan pada dosis yang rendah dapat menyebabkan terjadinya delesi,
semakin tinggi dosis akan menimbulkan duplikasi, inversi, dan translokasi.
Ionisasi dari basa di dalam molekul DNA menyebabkan basa-basa tersebut salah
berpasangan. Tiamin akan berpasangan dengan adenin dalam keadaan normal,
namun apabila tiamin kehilangan satu proton akibat ionisasi maka tiamin akan
berpasangan dengan guanin. Hal demikian akan menimbulkan terjadinya mutasi
gen. Apabila iradiasi pengion memutuskan rantai kromosom pada tempat-tempat
tertentu, maka dapat mengubah struktur kromosom. Apabila kerusakan terjadi
pada benang-benang gelendong (spindle fibre) yang berfungsi menarik kromosom
ke kutub-kutubnya pada fase anafase saat pembelahan mitosis, maka akan
mengubah jumlah kromosom dan menyebabkan euploidi dan aneuploidi. Oleh
karena itu ionisasi dapat menyebabkan terjadinya mutasi kromosom dan aberasi
kromosom.
Mandal et al. (2000) menyatakan pemberian perlakuan iradiasi pada tunas
krisan dengan dosis 1.5 krad, 2.0 krad, dan 2.5 krad telah didapatkan hasil bahwa
dengan iradiasi 2.5 krad telah memperlihatkan hasil yang lebih baik dibandingkan
11
dengan perlakuan yang lain dimana 55% daun varigata dan 5% lainnya
mengalami mutasi. Menurut Handayanti et al. (2001), tanaman mini varietas
Romantica meilandina yang diiradiasi 1 krad sampai 10 krad bunga berubah dari
warna pink menjadi warna putih. Eksplan Prince meilandina yang diiradiasi
1 krad sampai 8 krad dari merah tua berubah menjadi merah agak muda.
Pemberian iradiasi sinar gamma dan kolkisin pada kultur in vitro
menyebabkan terjadinya keragaman dalam bentuk dan ukuran daun, serta warna
bunga dari tanaman Crossandra infundibuliformis var Danica (Hewawasam et al.
2004). Penelitian iradiasi sinar gamma pada kultur kalus nodular manggis yang
dilakukan oleh Qosim et al. (2007) mengemukakan bahwa respon daya regenerasi
kalus nodular menurun dan variabel waktu pembentukan tunas meningkat secara
linier seiring dengan meningkatnya dosis iradiasi. Selain itu jaringan bunga
karang dan jumlah berkas pembuluh dari regeneran mutan pada umumnya lebih
tebal dan lebih banyak daripada regeneran kontrol yang tidak mendapat perlakuan
sinar gamma.
Induksi Mutasi In Vivo dan In Vitro
Ibrahim (1999) menyatakan bahwa mutasi adalah perubahan genetik, dan
merupakan sumber pokok dari semua keragaman genetik. Mutasi merupakan satusatunya sumber pencipta keragaman pada tanaman yang pada tanaman yang steril
dan tanaman apomiktik obligat. Poespodharsono (1996) menambahkan bahwa
secara molekuler mutasi terjadi karena adanya perubahan urutan (sekuen)
nukelotida DNA kromosom, yang mengakibatkan terjadinya perubahan pada
protein yang dihasilkan.
Van Harten (1998) menyebutkan induksi mutasi sinar gamma dapat
diterapkan pada materi tanaman in vivo dan in vitro. Micke dan Donini (1993)
menyatakan bahwa bagian tanaman yang dapat dimutasi dengan cara diiradiasi
adalah dengan biji dan tepung sari, dan untuk tanaman yang diperbanyak secara
vegetatif bagian yang dapat dimutasi adalah umbi, stek stolon, dan rimpang.
Micke dan Donini (1993) menyebutkan pada tanaman yang diperbanyak secara
vegetatif, mutasi dapat terjadi pada sel-sel somatik, kimera sektoral yang mungkin
terjadi akibat iradiasi pada tanaman yang diperbanyak secara vegetatif harus dapat
12
dihilangkan. Maluszynski et al. (1995) mengemukakan pada kondisi in vivo sulit
untuk mengisolasi mutan dari kimera sektorial dan membutuhkan waktu yang
lama, sedangkan kondisi in vitro mengisolasi mutan dari kimera dapat dilakukan
dengan mudah dan membutuhkan waktu yang cepat. Van Harten (1998)
menambahkan bahwa meski mutan utuh dapat diperoleh secara langsung dari
kalus, akan tetapi kalus memiliki daya regenerasi yang rendah.
Chaudhari (1971) menyatakan bahwa pengaruh iradiasi pada tanaman
yang diperbanyak secara vegetatif ada empat macam, yaitu: (1) perubahan
genetik, (2) pertumbuhan terhambat, (3) perkembangan morfologi yang abnormal,
dan (4) kematian tanaman.
Radiosensitivitas
Menurut van Harten (1998) radiosensitivitas adalah tingkat sensitifitas
tanaman terhadap iradiasi. Radiosensitifitas adalah perhitungan relatif yang
mengindikasikan kuantitas efek iradiasi pada objek yang diiradiasi (tanaman,
bagian tanaman, perbedaan tahap pertumbuhan, tahap meiosis dan mitosis, tahap
bibit muda dengan tanaman dewasa, atau fungsi molekuler yang spesifik). Sel
yang aktif membelah lebih sensitif terhadap iradiasi bila dibandingkan dengan sel
yang tidak aktif membelah. Radiosensitifitas dapat diukur dengan menentukan
dosis iradiasi yang menghasilkan persentase tertentu dari sel yang bertahan hidup.
Kriteria lain untuk mengukur radiosensitifitas adalah jumlah sel yang membelah,
penundaan mitotik, penghambatan pertumbuhan, dan sterilitas dari polen.
Seringkali ditemukan hubungan antara ukuran nukleus (atau ICV = Volume
kromosom interfase) dengan radiosensitifitas, tapi hal ini tidak terdapat pada
mayoritas spesies poliploidi.
Terdapat dua faktor utama yang mempengaruhi radiosensitivitas, yaitu:
(1) faktor lingkungan, seperti oksigen, kandungan air, suhu, dan penyimpanan
paska iradiasi; (2) faktor biologi, seperti volume inti, volume kromosom saat
interfase, dan faktor genetik. Keragaman yang timbul akibat iradiasi mutasi fisik,
sangat tergantung pada tingkat radiosensitivitas.
Secara visual tingkat sensitivitas ini dapat diamati dari respon yang
diberikan tanaman baik dari sterilitas tanaman, morfologi, maupun Growth
13
Reduction 50 (GR50) (Akgun & Tosun 2004).
GR50 ialah dosis yang
menyebabkan penurunan pertumbuhan 50% dari populasi yang diiradiasi, pada
umumnya mutasi yang diinginkan berada pada kisaran GR50.
Analisis Isozim
Menurut Taiz dan Zeiger (2002) isozim adalah suatu enzim yang terdiri
dari beberapa molekul aktif yang mempunyai struktur kimia berbeda dan dikode
oleh gen berbeda, akan tetapi mengkatalisis reaksi yang sama. Sastra (1996)
menyatakan
bahwa
isozim
terdiri
atas
rantai
polipeptida,
sehingga
memperlihatkan sifat-sifat umum seperti protein. Strukturnya terdiri dari asamasam amino yang mengandung gugus karboksil dan gugus amino. Asam amino
akan terionisasi di dalam larutan, dan dapat bersifat asam atau basa (amfoter).
Adanya perbedaan konstanta ionisasi (pK), bila diberi medan listrik akan
menyebabkan asam amino bermigrasi menuju ke kutub yang berlawanan
muatannya.
Keragaman tanaman dapat dilakukan secara morfologi, sitologi, biokimia,
dan molekuler. Analisis morfologi paling umum dilakukan untuk mendeteksi
keragaman, hanya saja analisis ini sangat dipengaruhi oleh lingkungan. Simpson
dan Whiters (1986) menyatakan bahwa protein termasuk isozim merupakan
produk primer ekspresi gen, karenanya keragaman protein atau isozim dapat
dipakai untuk menduga keragaman genetik tanaman atau organisme yang lain.
Molekul-molekul
protein
atau
isozim dapat
dipisahkan
dengan
teknik
elektroforesis, setelah pewarnaan akan tampak pita-pita protein pada gel sehingga
dapat ditelaah perbedaan dan persamaannya. Alel-alel kodominan umumnya
mengontrol pola pita tersebut dan diwariskan sesuai dengan hukum mendel.
Simpson dan Whiters (1986) mengemukakan bahwa sekuen-sekuen asam amino
pada dasarnya ditentukan oleh sekuen nukleotida pada gen, maka analisis genetika
yang berlandaskan isozim dapat digunakan sebagai pendekatan bagi analisis gen
yang mengkodenya.
Menurut Azrai dan Kasim (2003) isozim memiliki kelebihan yaitu bersifat
stabil, hal ini dikarenakan isozim tidak dipengaruhi oleh faktor lingkungan, lebih
cepat dan akurat karena tidak menunggu tanaman sampai berproduksi. Wendel
14
dan Weeden (1989) menyebutkan bahwa bagian tanaman yang digunakan untuk
analisis isozim adalah bagian vegetatif tanaman yang masih muda, yang biasanya
mempunyai aktifitas enzim yang tinggi, sehingga akan mudah diamati. Aisyah
(2006) mengemukakan bahwa aktivitas isozim yang dapat diuji pada tanaman
sangat beragam karena masing-masing tanaman memiliki isozim utama.
Peroksidase (PER) dan esterase (EST) banyak dijumpai pada tanaman.
Peroksidase merupakan enzim tanaman yang terlibat dalam sintesis lignin, dan
dijumpai juga pada vakuola tanaman. Boumann dan Klerk (1997) mengingatkan
untuk mempertimbangkan adanya pengaruh fisiologi dan fase perkembangan
tanaman terhadap keberadaan enzim, sehingga disarankan untuk menggunakan
enzim yang bersifat stabil terhadap perubahan fisiologi maupun fase
perkembangan tanaman. Contohnya enzim malat dehidrogenase (MDH), alkohol
dehidrogenase (ADH), asam fosfatase (ACP), fosfoglukoisomerase (PGA), dan
fosfoglukomutase (PGM).
15
INDUKSI KERAGAMAN PADA STEK PUCUK
HANDEULEUM (Graptophyllum pictum L. Griff) AKSESI
BOGOR MELALUI IRADIASI SINAR GAMMA
Abstrak
Salah satu cara untuk meningkatkan keragaman tanaman membiak
vegetatif adalah dengan induksi mutasi dengan iradiasi sinar gamma pada stek
pucuk. Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh dosis iradiasi sinar gamma
terhadap pertumbuhan, morfologi, anatomi daun, kandungan fitokimia, isozim,
serta keragaman fenotipik stek pucuk handeuleum aksesi Bogor. Dosis sinar
gamma yang digunakan adalah 0 Gy, 15 Gy, 30 Gy, 45 Gy, 60 Gy, 75 Gy, 90 Gy,
dan 105 Gy. Hasil penelitian menunjukkan bahwa iradiasi sinar gamma
mempengaruhi semua peubah pertumbuhan, morfologi, anatomi daun
handeuleum, mempengaruhi kandungan fitokimia, aktifitas enzimatis, dan
keragaman fenotipik pada beberapa perlakuan dosis iradiasi sinar gamma. Iradiasi
sinar gamma menghasilkan GR50 pada peubah tinggi tanaman, jumlah daun,
panjang daun, dan lebar daun. Dosis 15 Gy, 30 Gy, dan 45 Gy menghasilkan
klorofil total, antosianin, dan karotenoid yang lebih besar dibandingkan perlakuan
lain. Terdapat korelasi yang erat antara jumlah daun dengan panjang daun, lebar
daun, dan antosianin; antosianin dengan indeks warna hijau relatif daun dan
klorofil total; karotenoid dengan klorofil total; palisade dengan bunga karang.
Terdapat perbedaan pola pita enzim peroksidase (PER), esterase (EST), dan asam
fosfatase (ACP) bila dibandingkan dengan kontrol menunjukkan adanya
perubahan genetik handeuleum yang diiradiasi. Iradiasi sinar gamma
menimbulkan keragaman fenotipik pada semua peubah pertumbuhan, morfologi
dan anatomi daun handeuleum kecuali pada peubah indeks stomata. Iradiasi sinar
gamma dosis 45 Gy menghasilkan variasi dan jumlah mutan putatif yang paling
banyak, masing-masing sebesar 9 (sembilan) variasi dan 10 mutan putatif.
Kata kunci: daun ungu, dosis iradiasi, isozim, keragaman fenotipik.
Abstract
One methode way to increase plant variability is to induce mutation by
gamma ray irradiation. This research was conducted to study the effect of gamma
ray irradiation dose to the growth, morphology, leaves anatomy, phytochemical
content, isozymes, and phenotypic variability of handeuleum accession Bogor.
The gamma ray doses used were 0 Gy, 15 Gy, 30 Gy, 45 Gy, 60 Gy, 75 Gy,
90 Gy, and 105 Gy. The results showed that gamma-ray irradiation affected all
variables of plant growth, morphology and anatomy of handeuleum leaves,
phytochemical content, enzymatic activity and phenotypic. Gamma irradiation
produced GR50 on plant height, total of leaves, leaves lenght, and leaves width.
The doses of 15 Gy, 30 Gy, and 45 Gy caused the increase of total chlorophyll,
anthocyanins, and carotenoids. There was a close correlation between the number
of leaves with other variables including leaf length, leaf width, and anthocyanin;
anthocyanins with green leaf index and total chlorophyll; carotenoids to total
16
chlorophyll; palisade with sponge tissue. There were some differences in enzyme
banding pattern of peroxidase (PER), esterase (EST), and acid phosphatase (ACP)
indicating changes of irradiated handeuleum. Gamma ray irradiation caused
phenotypic variability in all variables of plantgrowth, morphology and anatomy
leaves of handeuleum.Gamma irradiation 45 Gy produced number of variation
and putative mutant the most, 9 (nine) variation with 10 putative mutant
respectively.
Key words: daun ungu, irradiation dose, isozyme, phenotypic variability
Pendahuluan
Perbaikan sifat genetik tanaman dapat dilakukan pemuliaan konvensional
dan induksi mutasi menggunakan mutagen fisika dan kimia. Induksi mutasi
dilakukan guna meningkatkan peluang terjadinya mutasi, dan seringkali
diterapkan pada tanaman yang tidak dapat diperbaiki melalui persilangan.
Menurut van Harten (1998) metode induksi mutasi banyak digunakan karena
memiliki keuntungan dapat merubah satu karakter tanpa merubah seluruh susunan
gen secara signifikan, selain itu kombinasi metode mutasi dengan pembiakan
secara vegetatif dapat menurunkan resiko kehilangan karakter mutan akibat
segregasi.
Handeuleum merupakan tanaman yang belum dibudidayakan secara
khusus dan biasanya diperbanyak secara vegetatif yaitu dengan cara distek, hal ini
dikarenakan
handeuleum
bijinya
tidak
berkembang
dengan
sempurna.
Perbanyakan secara vegetatif menghasilkan tanaman yang seragam akan tetapi
tingkat keragamannya sempit, keragaman pada tanaman dapat dilakukan dengan
induksi mutasi. Menurut Broertjes dan van Harten (1998), sinar gamma sering
digunakan sebagai mutagen untuk induksi mutasi karena merupakan radiasi
elektromagnetik dengan panjang gelombang yang pendek, sehingga dapat
menghasilkan radiasi elektromagnetik dengan tingkat energi yang tinggi. Hal ini
menyebabkan daya tembus ke dalam jaringan sangat dalam, bisa mencapai
beberapa sentimeter dan bersifat merusak jaringan yang dilewatinya.
Sinar gamma bereaksi dengan atom atau molekul untuk memproduksi
radikal bebas dalam sel, contohnya: OH- dan H2O2. Radikal bebas ini dapat
merusak atau memodifikasi komponen yang penting dari sel tanaman (DNA) dan
telah dilaporkan menyebabkan efek yang berbeda secara morfologi, anatomi,
17
biokimia, dan fisiologi dari tanaman tergantung dari level iradiasi (Wi et al.
2007).
Khumaida et al. (2008) dalam penelitiannya menyebutkan dari 38 aksesi
tanaman handeuleum yang diteliti menunjukkan karakter morfologi yang tidak
berbeda nyata, sedangkan kandungan fitokimianya (alkaloid, saponin, tanin,
flavonoid, steroid, triterpenoid, dan glikosida) memiliki nilai yang bervariasi.
Sebanyak 13 aksesi yang memiliki kandungan fitokimia yang tinggi, di antaranya
adalah aksesi Bogor, Kalimantan, dan Papua.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh dosis iradiasi sinar gamma
terhadap pertumbuhan, morfologi, anatomi daun, kandungan fitokimia, karakter
isozim, serta keragaman fenotipik stek pucuk handeuleum aksesi Bogor.
Hipotesis
Iradiasi
sinar
gamma
dapat
mengakibatkan
perubahan
terhadap
pertumbuhan, morfologi, anatomi daun, kandungan fitokimia, serta dapat
meningkatkan keragaman stek pucuk handeuleum aksesi Bogor.
Metodologi Penelitian
Waktu dan Tempat
Percobaan dilakukan pada bulan Nopember 2009 hingga Juni 2010.
Aplikasi iradiasi dilakukan di Pusat Aplikasi Teknologi Isotop dan Radiasi
(PATIR) BATAN Pasar Jumat Jakarta. Pengamatan karakter pertumbuhan
tanaman dan morfologi dilakukan di kebun percobaan Cikabayan, University
Farm (UF), IPB. Pengujian fitokimia dilakukan di Balai Penelitian Tanaman Obat
dan Aromatik (BALITTRO), Bogor. Analisis kandungan pigmen dilakukan di
Laboratorium Spektrofotometrik, Departemen Agronomi dan Hortikultura IPB,
sedangkan pengamatan karakter anatomi daun dilakukan di Laboratorium
Microtechnique Departemen Agronomi dan Hortikultura IPB. Analisis isozim
18
dilakukan di laboratorium Hayati, Pusat Studi Bioteknologi dan Sumberdaya
Hayati IPB.
Metode Percobaan
Rancangan lingkungan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap
(RAL), dengan 1 (satu) faktor yaitu dosis iradiasi sinar gamma yang terdiri atas 8
(delapan) taraf yaitu 0 Gy, 15 Gy, 30 Gy, 45 Gy, 60 Gy, 75 Gy, 90 Gy, dan
105 Gy. Setiap perlakuan terdiri dari 10 ulangan, dengan 1 (satu) stek pucuk untuk
setiap ulangan, sehingga secara keseluruhan terdapat 80 stek pucuk.
Model linier RAL adalah sebagai berikut:
Yij = µ + αi + εij
Keterangan:
Yij
: Nilai pengamatan perlakuan dosis iradiasi ke-i, dan ulangan ke-j
µ
: Rataan umum
αi
: Pengaruh perlakuan dosis iradiasi ke-i
εijk : Pengaruh galat percobaan perlakuan dosis iradiasi ke-i ulangan ke-j.
i : 1, 2, 3...8.
j : 1, 2, 3..10.
Persiapan Bahan Tanam
Tanaman yang digunakan berasal dari perbanyakan stek handeuleum
aksesi Bogor yang mempunyai kandungan fitokimia yang tinggi (Khumaida et al.
2008). Stek dengan panjang 3 (tiga) ruas ditanam pada polibag dengan media
tanam menggunakan tanah : kompos dengan perbandingan 2 : 1 (v/v). Stek pucuk
yang sudah berakar dan memiliki daun baru dengan tinggi sekitar 15 cm
digunakan sebagai bahan percobaan yang akan diiradiasi. Stek kemudian dicabut
dengan hati-hati dari media, dibersihkan dari tanah, lalu akarnya dibungkus
dengan aluminium foil. Stek diiradiasi menggunakan sinar gamma dari ionisasi
Cobalt 60, memakai alat irradiator gamma chamber 4000A, tipe Irpasena buatan
India.
19
Stek yang telah diiradiasi langsung ditanam pada media baru,
ditumbuhkan di bawah kubung kecil selama kurang lebih dua bulan. Stek berumur
dua bulan selanjutnya dipindah tanam ke polibag yang lebih besar berdiameter
15 cm dan dipelihara di lapang dengan naungan paranet 55%. Penyemprotan
pestisida dilakukan untuk menghindari serangan hama dan penyakit. Selama
perawatan tanaman disiram 2 (dua) kali sehari, dan diberi pupuk daun setiap satu
minggu sekali, dan dipupuk dengan NPK sebulan sekali sebanyak 4 g/polibag
dengan perbandingan komposisi N:P:K = 15:15:15.
Pengamatan
Karakter Pertumbuhan Tanaman dan Morfologi
Pengamatan dilakukan pada karakter yang diduga berkaitan dengan
keragaman tanaman yang diinduksi oleh iradiasi sinar gamma, meliputi
1. Tinggi tanaman, diukur mulai dari permukaan media sampai pucuk dengan
menggunakan penggaris.
2. Jumlah daun, dihitung jumlah semua daun yang terdapat pada tanaman.
3. Panjang dan lebar daun, sampel diambil dari daun kedua dari ujung, panjang
daun diukur mulai dari pangkal sampai ujung daun, sedangkan lebar daun
diukur pada area terlebar daun.
4. Indeks warna hijau relatif daun, diamati menggunakan klorofilmeter Minolta
SPAD 502. Sebelum digunakan alat dikalibrasikan terlebih dahulu dengan
standar warna hijau yang telah disertakan pada alat tersebut.
5. Warna daun, warna batang, dan tekstur daun, diukur berdasarkan nilai skoring.
Skoring warna daun dan batang: 5=ungu, 3=ungu kehijauan, 1=hijau. Skoring
tekstur daun: 3=lembut, 1=keras/kaku.
Karakter Anatomi Daun
Pengamatan karakter anatomi daun dilakukan pada irisan transversal dan
paradermal menggunakan metode sediaan utuh menggunakan bahan segar,
meliputi:
1. Jumlah sel epidermis dan stomata, diamati jumlahnya di bawah mikroskop
dengan pembesaran 400x dengan luas bidang pandang 0.038 mm2.
20
2. Kerapatan stomata didapat dari perhitungan berikut: Kerapatan stomata =
Σ Stomata / Luas bidang pandang ( mm2).
3. Indeks stomata didapat dari perhitungan berikut: Indeks stomata =
(Σ Stomata / (Σ Stomata + Σ Sel epidermis)) x 100.
4. Tebal daun, tebal kutikula, tebal epidermis atas, panjang palisade, tebal bunga
karang, dan tebal epidermis bawah. Pengamatan dilakukan dengan mikroskop
digital molekuler.
Analisis Kandungan Fitokimia Daun
Analisis dilakukan terhadap kandungan fitokimia daun handeuleum untuk
kandungan alkaloid, saponin, triterpenoid, steroid, flavonoid, tanin, dan glikosida;
serta pada kandungan pigmen seperti klorofil total, karotenoid total, dan
antosianin total.
Tabel 1 Kriteria penilaian kandungan metabolit sekunder secara kualitatif dengan
uji fitokimia
Senyawa
Dasar Penilaian
1 tetes
4+
1 tetes
Steroid
Perubahan warna biru/hijau
4+
Tua
Triterpenoid Perubahan warna merah/ungu
3+
3 cm
Saponin
Pembentukan lapisan busa
3+
1 tetes
Flavonoid
Jumlah pereaksi
4+
1 tetes
Tanin
Jumlah pereaksi
4+
Keterangan : 1+ = positif lemah, 2+ = positif, 3+ = positif
(Mualim 2009).
Alkaloid
Jumlah pereaksi
Penilaian
2 tetes
3+
2 tetes
3+
Sedang
2+
2 cm
2+
2 tetes
3+
2 tetes
3+
kuat, 4+ =
3 tetes 4 tetes
2+
1+
3 tetes 4 tetes
2+
1+
Muda
1+
1 cm
1+
3 tetes 4 tetes
2+
1+
3 tetes 4 tetes
2+
1+
positif kuat sekali
Analisis kandungan alkaloid, saponin, triterpenoid, steroid, tanin, dan
glikosida dilakukan secara kualitatif (Harborne 2000) dengan data berupa skoring
yang berdasarkan standar laboratorium pengujian Balai Penelitian Tanaman Obat
dan Aromatik (BALITTRO). Kandungan metabolit sekunder dalam sampel
diketahui berdasarkan jumlah pereaksi (reagen), pembentukan warna, dan busa
21
yang terbentuk (Tabel 1). Kegiatan analisis kandungan fitokimia daun dapat
dilihat pada Lampiran 1.
Analisis kandungan pigmen seperti klorofil total, karotenoid total, dan
antosianin total dilakukan dengan metode Sims dan Gamon (2002), menggunakan
alat spektrofotometer yang teknis pelaksanaannya dapat dilihat pada Lampiran 2.
Setiap pigmen diidentifikasi konsentrasinya pada panjang gelombang yang
berbeda-beda, dimana panjang gelombang 663 nm untuk klorofil a, 647 nm untuk
klorofil b, 537 nm untuk antosianin, dan 470 nm untuk karotenoid. Data kemudian
dibaca menggunakan UV spektrofotometer, dan hasilnya dikonversi ke dalam
satuan mol/m2 dengan tahapan perhitungan sebagai berikut:
Antosianin = 0.01373*A537 – 0.00697*A647 – 0.002228*A663
Klorofil a = 0.01373*A663 – 0.000897*A537 – 0.003046*A663
Klorofil b = 0.02405*A647 – 0.004305*A537 – 0.005507*A663
Klorofil total dapat dihitung dengan persamaan berikut:
Klorofil total 7.15*A633 – 18.71*A647
Karotenoid = (A470 – (17.1*(Chl a + Chl b) – 9.479*antosianin))/119.26
Keterangan: A(x) merupakan data hasil pembacaan pada panjang gelombang x.
Konsentrasi pigmen per satuan luas dikonversi menggunakan perhitungan sebagai
berikut:
Pigmen/area = (pigmen*6/1000)/(Luas area daun total dalam m2)
Analisis Isozim
Kegiatan analisis isozim terdiri atas beberapa tahapan, cara penyiapan
bahan untuk analisis bahan dapat dilihat pada Lampiran 3. Interpretasi pola pita
isozim dilakukan dengan cara meletakkan gel di atas plastik bening kemudian
diletakkan di atas lampu pengamatan untuk diambil data dan difoto. Pola pita
isozim yang tampak digambar pada plastik transparan, hasil foto diamati dan
diukur jarak pergerakan pita dari titik awal. Hasil pengukuran jarak pergerakan
ditentukan pola pada Rf (relative electrophoresis mobility) dengan perhitungan
(Sastrosumarjo et al. 2006).
Rf =
Jarak pergerakan pita dari tempat awal
Jarak pergerakan warna pelacak dari awal
22
Analisis Data
Data pertumbuhan, morfologi dan anatomi daun diuji menggunakan
analisis ragam (uji F) pada taraf nyata (α) 1% dan 5% dengan menggunakan
program SAS. Apabila hasil uji nyata, dilanjutkan dengan uji wilayah berganda
Duncan (Duncan’s Multiple Range Test-DMRT). Nilai Growth Reduction 50
(GR50) didapatkan dengan menggunakan program curve-fit, yaitu suatu program
analisis statistik yang dapat digunakan untuk mencari model persamaan terbaik
terhadap persentase penurunan pertumbuhan dari suatu populasi (Aisyah 2006).
Uji korelasi antar peubah dilakukan berdasarkan persamaan Pearson. Analisis
perbandingan nilai varian antar populasi dengan uji F. Keragaman fenotipik (σ2f)
dihitung menurut Steel dan Torrie (1995): σ2f=∑ X2i–(∑ Xi )2/(n-1). Standar
deviasi ragam fenotipik (Sdσ2f) dihitung menurut Anderson dan Brancot (1952)
dalam Darajat (1987): Sdσ2f = √σ2f. Kriteria penilaian terhadap luas atau sempit
keragaman fenotipik: Apabila σ2f ≥ 2* Sdσ2f Æ keragaman fenotipik luas
Apabila σ2f < 2* Sdσ2f Æ keragaman fenotipik sempit. Keterangan: σ2f = ragam
fenotipik; Xi = nilai rata-rata ke-i; n = jumlah yang diuji; Sdσ2f = standar deviasi
keragaman fenotipik.
Hasil dan Pembahasan
Morfologi Tanaman
Pengamatan terhadap karakter morfologi tanaman dapat mendeteksi
pertumbuhan dari tanaman. Penelitian ini menggunakan karakter pertumbuhan
(tinggi tanaman, jumlah daun, panjang daun, dan lebar daun) dan karakter
morfologi (warna daun, tekstur daun, dan warna batang) sebagai peubah untuk
melihat perubahan pertumbuhan tanaman akibat perlakuan dengan iradiasi sinar
gamma.
Berdasarkan pengamatan terhadap karakter-karakter tersebut di atas
terlihat bahwa terdapat kecenderungan pengelompokkan tanaman hasil iradiasi
berdasarkan dosis iradiasi menjadi dua kelompok. Tanaman yang mendapat dosis
iradiasi 15 Gy, 30 Gy, dan 45 Gy pada umumnya pertumbuhannya normal sama
dengan tananaman kontrol (0 Gy) dengan daun yang berwarna ungu, sedangkan
tanaman yang mendapat iradiasi dosis 60 Gy, 75 Gy, 90 Gy dan 105 Gy pada
23
umumnya pertumbuhannya terhambat, tidak menghasilkan tunas yang baru, dan
daun tetap berwarna hijau.
(a)
(c)
(b)
(e)
(d)
(f)
(g)
Gambar 2 Bentuk daun handeuleum pada berbagai dosis iradiasi; (a) ovate, (b)
obovate, (c) lancoleate, (d) kotrol (0 Gy), (e) 15 Gy, (f) 30 Gy, (g) 45
Gy, (h) 60 Gy, (i) 75 Gy, (j) 90 Gy, (k) 105 Gy.
(i)
(h)
Gambar 3
(j)
(k)
1 cm
Keragaan daun handeuleum aksesi Bogor tanpa dan yang diiradiasi
dengan berbagai dosis sinar gamma; ovate (a), obovate (b),
lancoleate (c), kontrol (0 Gy) (d), 15 Gy (e), 30 Gy (f), 45 Gy (g),
60 Gy (h), 75 Gy (i), 90 Gy (j), dan 105 Gy (k).
Awal-awal pertumbuhan (3 MST, 4 MST) pada tanaman yang diiradiasi
terbentuk daun-daun baru yang mengalami perubahan baik dari segi bentuk,
24
warna serta tekstur yang lebih tebal, meskipun bisa dikatakan bahwa respon yang
timbul bersifat individual. Morfologi pada tanaman kontrol pada umumnya adalah
ovate dan sebagian kecil lanceolate. Sedangkan pada tanaman yang diiradiasi
terdapat penambahan bentuk elliptical selain kedua bentuk di atas.
Handeuleum pada stadia awal pertumbuhan umumnya memiliki warna
daun hijau muda dan ketika beranjak dewasa warna daun berubah menjadi
berwarna ungu merah kecoklatan. Tanaman yang diiradiasi sinar gamma dosis
60 Gy, 75 Gy, 90 Gy, dan 105 Gy, warna daunnya tetap hijau sampai daun
tersebut mati. Seterusnya daun-daun baru yang terbentuk kembali normal. Variasi
bentuk dan warna daun terbanyak terdapat pada handeuleum yang diiradiasi sinar
gamma 45 Gy, yaitu sebanyak 9 (sembilan) variasi, dengan jumlah tanaman
mutan putatif yang terbentuk sebanyak 11 tanaman.
(a)
(b)
(c)
(d)
(e)
(f)
(g)
(h)
Gambar 4 Keragaan tanaman handeuleum pada berbagai perlakuan iradiasi sinar
gamma: kontrol (0 Gy) (a), 15 Gy (b), 30 Gy (c), 45 Gy (d), 60 Gy (e),
75 Gy (f), 90 Gy (g), dan 105 Gy (h). Terlihat bahwa daun pada
perlakuan 60 Gy, 75 Gy, 90 Gy, dan 105 Gy memiliki warna yang
berbeda dengan kontrol.
25
Bentuk morfologi dan warna daun serta keragaan tanaman pada penelitian
ini disajikan pada Gambar 3 dan 4. Berdasarkan analisis ragam, Fhitung sumber
variasi dosis iradiasi (perlakuan) pada semua peubah yang diamati menunjukkan
berbeda nyata, yang berarti bahwa dosis iradiasi berpengaruh terhadap peubahpeubah pengamatan.
Hal yang sama dijumpai pada penelitian Datta et al. (2005), dikatakan
bahwa mutasi somatik pada warna bunga dan bentuk floret dideteksi pada
populasi tanaman yang diberi perlakuan dengan sinar gamma. Wi et al. (2007)
menunjukkan bahwa gejala awal tanaman labu yang diiradiasi oleh sinar gamma
tingkat tinggi (1 kGy) adalah daun yang menjadi keriting dan menguning
(data tidak ditunjukkan), keduanya merupakan indikasi dari terjadinya
ketidakseimbangan zat pengatur tumbuh pada tanaman. Penelitian yang dilakukan
Badignnavar dan Murty (2007), menunjukkan bahwa warna daun tanaman kacang
tanah yang diberi iradiasi sinar gamma berubah menjadi hijau dan penampilan
tanaman secara keseluruhan menjadi normal kembali setelah 80 HST. Mutan
selalu tersegregasi ke dalam mutan dan tanaman tetua dengan frekuensi yang lebih
tinggi untuk tipe tanaman tetua bila dibandingkan dengan tanaman mutan.
Menurut Micke dan Donini (1993), kerusakan pada struktur genetik akibat
mutasi dapat berubah normal kembali (diplontic atau haplontic selection), hal ini
dikarenakan sel-sel yang normal pertumbuhannya mengalahkan sel-sel yang
termutasi. Bahkan terkadang terjadi mutasi balik, yaitu mutan yang sudah
terekspresi dapat kembali menjadi fenotip tetuanya pada generasi berikutnya.
Menurut Wi et al. (2007), tanaman memiliki sistem perlindungan alami terhadap
kerusakan oksidatif yaitu salah satunya dengan cara mengaktifkan perlindungan
enzimatik endogen, seperti: peroksidase (POD), superoksida dismutase (SOD),
dan katalase (CAT), yang aktif selama tanaman mengalami luka. Growth Reduction 50 (GR50)
Sensitivitas iradiasi dapat diketahui dengan Growth Reduction 50 (GR50)
(Akgun & Tosun 2004). Pertumbuhan tanaman kontrol didefinisikan pada GR100,
sedangkan GR50 didefinisikan sebagai penurunan 50% dari pertumbuhan tanaman
kontrol. Penelitian ini menghitung nilai GR50 untuk peubah pertumbuhan tinggi
26
tanaman, jumlah daun, panjang daun, dan lebar daun. GR50 dihitung pada akhir
pengamatan, yaitu pada minggu ke-10 setelah tanam.
S = 3.11144608
r = 0.99838653
Persentase Penurunan (%)
. 30
108
7
91.
0
1
75.
0
5
58.
0
9
41.
0
3
25.
0
0
8.7
0.0
19.3
38.5
57.8
77.0
96.3
115.5
Dosis Iradiasi (Gy)
Gambar 5
Pengaruh dosis iradiasi sinar gamma terhadap GR50 tinggi tanaman
handeuleum aksesi Bogor.
Nilai koefisien determinasi (R2) persamaan ini adalah sebesar 0.998, hal
ini menunjukkan persamaan yang digunakan sangat sesuai (andal) (Gambar 5).
Berdasarkan analisis curve fit di atas diketahui GR50 peubah tinggi tanaman
diperoleh pada dosis 42 Gy.
Gambar 6 menunjukkan hubungan persentase penurunan jumlah daun
dengan dosis iradiasi sinar gamma, dan dapat diperoleh menggunakan persamaan
regresi Sinusodial Fit, yaitu Y = 55.48 + 58.59 cos (0.03 X + 0.72), dimana Y
adalah persentase penurunan jumlah daun, dan X adalah dosis iradiasi.
S = 8.97040010
r = 0.98515682
Persentase Penurunan (%)
.70
109
47
91.
23
73.
00
55.
77
36.
53
18.
0
0.3
0.0
19.3
38.5
57.8
77.0
96.3
115.5
Dosis Iradiasi (Gy)
Gambar 6 Pengaruh dosis iradiasi sinar gamma terhadap GR50 jumlah daun
handeuleum aksesi Bogor.
27
Nilai koefisien determinasi (R) persamaan ini adalah sebesar 0.985, hal ini
menunjukkan persamaan yang digunakan sangat sesuai (andal). Berdasarkan
analisis curve fit di atas diketahui GR50 diperoleh pada dosis iradiasi 33 Gy.
Fungsi
matematika
yang
membantu
mengetahui
dosis
yang
mengakibatkan reduksi panjang daun handeuleum sebesar 50% adalah Polynomial
Fit yang dirumuskan dalam persamaan Y = 96.88 – 2.19 X + 0.04 X2 – 0.0002 X3,
dimana Y adalah persentase penurunan panjang daun, dan X adalah dosis iradiasi.
S = 6.31834921
r = 0.94204873
Persentase Penurunan (%)
10
0
4.5
95.
50
86.
50
77.
50
68.
50
50
59.
50.
50
0.0
19.3
38.5
57.8
77.0
96.3
115.5
Dosis Iradiasi (Gy)
Gambar 7 Pengaruh dosis iradiasi sinar gamma terhadap GR50 panjang daun
handeuleum aksesi Bogor.
Nilai koefisien determinasi (R2) persamaan ini adalah sebesar 0.942, hal
ini menunjukkan persamaan yang digunakan sangat sesuai (andal) (Gambar 7).
Berdasarkan analisis curve fit di atas diketahui nilai GR50 peubah panjang daun
diperoleh pada dosis 113 Gy.
S = 4.41575789
r = 0.96092842
Persentase P enurunan (% )
10 3
.8 0
96.
20
88.
60
81.
00
73.
40
65.
80
58.
20
0.0
19.3
38.5
57.8
77.0
96.3
115.5
Dosis Iradiasi (Gy)
Gambar 8
Pengaruh dosis iradiasi sinar gamma terhadap GR50
handeuleum aksesi Bogor.
lebar daun
28
Hubungan persentase penurunan lebar daun dengan dosis iradiasi sinar
gamma dapat menggunakan persamaan Polynomial Fit Y = 97.79 – 1.86 X +
0.03 X2 – 0.0002 X3, dimana Y adalah persentase penurunan jumlah daun, dan X
adalah dosis iradiasi. Nilai koefisien determinasi (R2) persamaan ini adalah
sebesar 0.961, hal ini menunjukkan persamaan yang digunakan sangat sesuai
(andal) (Gambar 8). Berdasarkan analisis curve fit di atas didapat GR50 lebar daun
adalah sebesar 122 Gy.
Menurut Ahnstroem (1977), morfologi tanaman seperti batang tanaman
yang berkayu atau sukulen dapat mempengaruhi tingkat radiosensitivitas, karena
berhubungan dengan ketahanan fisik sel saat menerima iradiasi sinar gamma.
Selain itu, radiosensitivitas juga dipengaruhi oleh faktor genetika dan lingkungan
seperti oksigen, kadar air, penyimpanan paska-iradiasi, dan suhu.
Tinggi Tanaman, Jumlah Daun, Panjang Daun dan Lebar Daun.
Berdasarkan hasil analisis ragam diketahui iradiasi sinar gamma
berpengaruh sangat nyata terhadap peubah tinggi tanaman, jumlah daun, panjang
daun, dan lebar daun (Tabel 2). Peubah ini umumnya nilainya semakin kecil
seiring dengan bertambahnya dosis iradiasi sinar gamma.
Hasil yang disajikan pada Tabel 2 memperlihatkan bahwa tinggi tanaman
paling tinggi diperoleh pada perlakuan kontrol tanpa iradiasi sinar gamma (0 Gy)
yaitu sebesar 83 cm, tidak berbeda nyata dengan perlakuan iradiasi sinar gamma
15 Gy yang menghasilkan tinggi 78.7 cm. Tinggi tanaman paling
rendah
diperoleh pada perlakuan 105 Gy sebesar 14.1 cm (tereduksi sebesar 83.0%),
tidak berbeda nyata dengan perlakuan 60 Gy, 75 Gy, dan 90 Gy yang masingmasing menghasilkan tanaman dengan tinggi berturut-turut sebesar 16.2 cm, 16.1
cm, dan 15.9 cm dimana masing-masing perlakuan mengalami tinggi tanaman
tereduksi secara berturut-turut sebesar 80.5%, 80.6%, dan 80.8%. Dosis iradiasi
sinar gamma yang semakin tinggi menyebabkan tinggi tanaman handeuleum
semakin pendek (Tabel 2). Hal ini menunjukkan bahwa sel-sel meristem pucuk
dari tanaman yang diiradiasi dengan dosis yang tinggi mengalami kerusakan.
29
Tabel 2
Nilai rata-rata tinggi tanaman, jumlah daun, panjang daun, dan lebar
daun handeuleum aksesi Bogor pada berbagai perlakuan dosis iradiasi
sinar gamma pada 10 MST
Dosis
Iradiasi
(Gy)
0
Peubah
Jumlah Daun
Panjang Daun
(helai)
(cm)
a
106.3 ± 12.6
19.7 ± 1.7 a
Tinggi Tanaman
(cm)
83.0 ± 4.7 a
a)
Lebar Daun
(cm)
9.2 ± 0.9
a
15
78.7 ± 9.3
a
78.3 ± 14.1
b
12.6 ± 1.4
bc
6.5 ± 0.5
b
30
63.4 ± 8.0
b
71.0 ± 12.7
b
13.3 ± 1.9
b
6.5 ± 1.0
b
45
37.8 ± 8.1
c
36.5 ± 19.1
c
10.9 ± 0.6
d
5.7 ± 0.9
b
60
16.2 ± 2.1
d
3.8 ± 1.0
d
12.3 ± 0.8
bc
6.1 ± 0.8
b
75
16.1 ± 2.0
d
3.4 ± 1.3
d
12.0 ± 1.2
bcd
6.1 ± 0.7
b
90
15.9 ± 1.7
d
3.3 ± 1.2
d
12.4 ± 0.6
bc
6.3 ± 0.3
b
105
14.1 ± 2.0
d
3.0 ± 2.0
d
11.5 ± 1.5
cd
6.0 ± 0.8
b
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom peubah yang sama
menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji Duncan 5%. Nilai ± yang
disajikan adalah standar deviasi. a) Data merupakan hasil transformasi dengan
rumus (√X+0.5)
Penelitian Kon et al. (2007) menyebutkan bahwa semakin tinggi dosis
radiasi sinar gamma yang diberikan, tinggi tanaman long bean semakin tereduksi
bila dibandingkan dengan tanaman kontrol, dimana penurunan paling tinggi
adalah pada dosis 800 Gy, yang merupakan dosis perlakuan paling tinggi.
Menurut Fauza et al. (2005) pada bibit tanaman manggis yang bijinya diberi
perlakuan sinar gamma dosis 0 krad, 1 krad, 2 krad, dan 3 krad, terdapat
kecenderungan terjadi penurunan tinggi bibit tanaman manggis dengan semakin
tingginya dosis iradiasi sinar gamma yang diberikan.
Hasil pada Tabel 2 menunjukkan bahwa tanaman kontrol (0 Gy)
menghasilkan rata-rata jumlah daun paling banyak yaitu sebanyak 106.3 helai,
sedangkan perlakuan iradiasi sinar gamma dosis 105 Gy menghasilkan rata-rata
jumlah daun paling sedikit yaitu sebanyak 3.0 helai, mengalami penurunan
sebesar 97.2%. Hasil ini tidak berbeda nyata dengan perlakuan iradiasi sinar
gamma dosis 60 Gy, 75 Gy, dan 90 Gy yang berturut-turut menghasilkan daun
sebanyak 3.8, 3.4, 3.3 helai. Perlakuan sinar gamma dosis 60 Gy mengalami
penurunan sebesar 96,4%, dosis 75 Gy sebesar 96.8%, sedangkan dosis 90 Gy
sebesar 96.9% bila dibandingkan dengan tanaman kontrol. Tanaman yang
30
mendapat perlakuan iradiasi sinar gamma dengan dosis 60 Gy, 75 Gy, 90 Gy, dan
105 Gy, memiliki jumlah daun yang sedikit bila dibandingkan dengan kontrol.
Tunas yang muncul pada tanaman yang mendapat dosis iradiasi besar
pertumbuhannya sangat lambat dan tidak menghasilkan tunas baru, kecuali untuk
perlakuan 60 Gy.
Penelitian Badignnavar dan Murty (2007) mengenai kacang tanah
menyatakan bahwa semakin besar dosis iradiasi yang digunakan mengakibatkan
tinggi dan jumlah daun tanaman kacang semakin berkurang. Kendarini (2006)
menunjukkan bahwa penambahan jumlah daun krisan yang diiradiasi dengan sinar
gamma tidak linier dengan penambahan dosis sinar gamma. Krisan kultivar
“Puma White” menghasilkan jumlah daun lebih banyak saat dipapar pada sinar
gamma dosis 15 Gy dibandingkan dengan tanaman yang dipapar pada dosis
10 Gy, sedangkan pada tanaman yang dipapar pada dosis 20 Gy, jumlah daunnya
kembali menurun. Pellegrini et al. (2000) mengamati bahwa pada tanaman seledri
setelah diberi perlakuan dengan sinar gamma tidak membentuk primordia daun
baru.
Berdasarkan hasil yang disajikan pada Tabel 2 terlihat bahwa perlakuan
iradiasi sinar gamma 0 Gy menghasilkan panjang dan lebar daun paling besar
dibandingkan dengan perlakuan lain, yaitu berturut-turut sebesar 19.1 cm dan
9.2 cm. Panjang dan lebar daun paling kecil dihasilkan oleh iradiasi sinar gamma
dosis 105 Gy, yaitu sebesar 11.5 cm dan 6.0 cm. Panjang daun pada perlakuan
105 Gy mengalami penurunan sebesar 39.8%, sedangkan pada lebar daun sebesar
34.8%.
Terhambatnya pertumbuhan menyebabkan daun yang diiradiasi memiliki
panjang dan lebar daun yang lebih kecil dibandingkan dengan kontrol, seperti
yang dialami oleh bibit tanaman manggis (Widiastuti 2010). Semakin besar dosis
iradiasi yang diberikan (0 Gy, 20 Gy, dan 25 Gy) ukuran daun menjadi semakin
kecil. Panjang dan lebar daun tanaman anyelir yang diiradiasi tidak selamanya
lebih kecil bila dibandingkan dengan kontrol, beberapa genotipe yang diiradiasi
memiliki ukuran daun yang lebih besar bila dibandingkan dengan tanaman kontrol
(Aisyah 2006).
31
Tinggi tanaman, jumlah daun, panjang daun, dan lebar daun pada tanaman
yang diiradiasi lebih kecil bila dibandingkan dengan kontrol (0 Gy) disebabkan
oleh kerusakan pada jaringan meristem tanaman. Iradiasi sinar gamma dengan
dosis yang tinggi, 100 - 500 Gy, menyebabkan pertumbuhan tanaman terhambat,
degradasi klorofil, aberasi morfologi pada tanaman Nicotiana (Wada et al. 1998).
dan menghentikan mitosis pada jaringan meristematik.
Menurut Kim et al. (2004); Kova´cs dan Keresztes (2002); Wi et al.
(2005) dalam Wi et al. (2007), sinar gamma bereaksi dengan atom atau molekul
untuk memproduksi radikal bebas (H2O2) yang terdapat dalam sel. Radikal bebas
ini dapat merusak atau memodifikasi komponen yang penting dari sel tanaman,
yang menyebabkan perubahan secara morfologi, anatomi, biokimia, dan fisiologi
dari tanaman tergantung dari level iradiasi. Efek ini termasuk perubahan dalam
struktur seluler tanaman dan metabolisme, pembesaran dari membran tilakoid,
perubahan dalam fotosintesis, modulasi dari sistem antioksidatif, dan akumulasi
dari senyawa fenolik. Dosis iradiasi yang tinggi telah terbukti dapat menyebabkan
menginduksi perubahan fisiologi dan dapat merusak komponen seluler
makromolekuler seperti dinding sel, membran, dan DNA.
Wi et al. (2007) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa terjadi
peningkatan intensitas penumpukan cerium perhydroxide, yang merupakan
marker penumpukan H2O2, pada membran plasma dan dinding sel jaringan
(petiole, kotiledon, hipokotil, terutama pada daun) tanaman labu yang diiradiasi
dibandingkan dengan kontrol. Akumulasi dan lokalisasi dari H2O2 dan peroksida
lebih tinggi pada sel parenkima dibandingkan dengan yang terdapat pada
pembuluh, sehingga diperkirakan jaringan pembuluh lebih sensitif dibandingkan
dengan sel parenkima. Rusaknya jaringan pembuluh menyebabkan terganggunya
transportasi asimilat yang dihasilkan oleh daun ke seluruh jaringan tanaman,
sehingga mengakibatkan terjadinya penghambatan pertumbuhan. Lebih lanjut
dikatakan bahwa peroksida merupakan salah satu enzim antioksidan yang
berperan penting dalam mendetoksifikasi H2O2 dalam sel, sehingga dapat
melindungi komponen seluler seperti protein dan lemak melawan oksidasi.
Peroksida juga dibutuhkan terutama untuk banyak fungsi seluler seperti
32
lignifikasi, suberisasi, pemanjangan sel, pengaturan biosintesis dinding sel, dan
plasticity.
Nagata et al. (2005) menyebutkan bahwa iradiasi akut dapat mengaktifkan
atau menghambat satu set gen. Gen-gen ini terkait dengan asam nukleat (misal
perbaikan DNA, penggabungan DNA, atau metabolisme RNA) dan terlibat pada
respron stress oksidatif (misal peroksidase, sitokrom
P450, glutation S-
transferase), atau sinyal transduksi. Pernyataan ini didukung oleh penelitian yang
dilakukan oleh Kim et al. (2009) yang mengidentifikasi 2165 gen yang terinduksi
oleh sinar gamma dan 1735 gen tertekan, dan dari 345 ekspresi gen yang diteliti,
gen yang mengatur respon terhadap stres lingkungan jumlahnya meningkat,
sedangkan gen yang mengatur respon pertumbuhan jumlahnya tertekan.
Kovalchuck et al. (2007) memaparkan bahwa pada iradiasi sinar gamma
kronik, gen auksin adalah hampir satu-satunya gen hormonal yang terlibat pada
saat tanaman dipapar iradiasi sinar gamma. Menurut Taiz dan Zeiger (2002),
auksin adalah hormon yang mengatur bermacam-macam proses perkembangan,
seperti perpanjangan batang, dominansi apikal, inisiasi akar, perkembangan buah,
dan orientasi atau pertumbuhan yang terorientasi. Hal ini menjadi salah satu sebab
yang menyebabkan terjadi penghambatan pertumbuhan tinggi tanaman.
Penelitian yang dilakukan oleh Momiyama et al. (1999) pada koleoptil
jagung menyebutkan bahwa jumlah IAA endogen koleoptil yang diberi perlakuan
300 dan 3000 Gy berubah hanya setelah 0 jam iradiasi. Jumlah IAA menurun
pada 2 jam pertama pada iradiasi dosis 300 Gy, kemudian secara perlahan
meningkat dan mencapai level yang sama dengan kontrol (6 jam setelah iradiasi).
Hal ini kontras pada penurunan yang teramati pada dosis 3000 Gy. Penelitian
tentang IAA teramati dari terjadinya penghambatan pemanjangan koleoptil jagung
yang meningkat seiring dengan peningkatan dosis iradiasi (25 Gy, 300 Gy,
1000 Gy), dan terhenti sama sekali pada dosis 3000 Gy. Akan tetapi pada dosis
yang lebih rendah dari 1000 Gy kerusakannya sementara dan dapat diperbaiki.
33
Warna Daun, Tekstur Daun, Warna Batang, dan Indeks Warna Hijau
Relatif Daun
Hasil pengamatan morfologi kualitatif menunjukkan bahwa warna daun,
tekstur daun, warna batang, dan indeks warna hijau relatif daun secara sangat
nyata dipengaruhi oleh perlakuan iradiasi sinar gamma. Warna daun handeuleum
pada perlakuan iradiasi sinar gamma 15 Gy sama dengan tanaman kontrol
menunjukkan nilai skoring 5, tidak berbeda nyata dengan perlakuan sinar gamma
30 Gy dan 45 Gy. Perlakuan 105 Gy menghasilkan nilai skoring 1, hasil ini tidak
berbeda nyata dengan perlakuan 75 Gy dan 90 Gy. Semakin kecil nilai skoring
menunjukkan bahwa warna daun handeuleum berubah atau berbeda dengan warna
daun handeuleum pada umumnya. Warna daun handeuleum biasanya berwarna
ungu, sedangkan tanaman yang mendapat perlakuan iradiasi sinar gamma
daunnya berwarna hijau, dan hijau keunguan.
Tabel 3 Nilai rata-rata warna daun, tekstur daun, warna batang, dan indeks
warna hijau relatif daun handeuleum aksesi Bogor pada berbagai
perlakuan dosis iradiasi sinar gamma pada 10 MST
Dosis
Iradiasi
(Gy)
Peubah
0
5.0 ± 0.0
a
3.0 ± 0.0 a
5.0 ± 0.0 a
Indeks Warnac)
Hijau Relatif
Daun
53.94 ± 2.4 b
15
5.0 ± 0.0
a
3.0 ± 0.0 a
5.0 ± 0.0 a
53.66 ± 2.8 b
30
4.5 ± 1.4
a
3.0 ± 0.0 a
5.0 ± 0.0 a
52.96 ± 3.5 b
45
3.8 ± 1.5
a
2.2 ± 1.0 b
3.8 ± 1.5 bc
56.81 ± 2.6 a
60
2.0 ± 1.1
b
1.0 ± 0.0 c
4.0 ± 1.1 b
33.52 ± 3.7 c
75
1.2 ± 0.7
bc
1.0 ± 0.0 c
3.0 ± 0.0 c
30.38 ± 5.2 c
90
1.5 ± 0.9
bc
1.0 ± 0.0 c
3.0 ± 0.0 c
31.30 ± 4.3 c
105
1.0 ± 0.0
c
1.0 ± 0.0 c
3.0 ± 0.0 c
30.39 ± 6.7 c
Keterangan:
Warnaa)
Daun
Teksturb)
Daun
Warna a)
Batang
Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom peubah yang sama
menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji Duncan 5%. Nilai ± yang disajikan
adalah standar deviasi. a) Data merupakan hasil transformasi dengan rumus
(√X+0.5); b) Data merupakan hasil transformasi dengan rumus (√X+1); c) Data
merupakan hasil transformasi dengan rumus (log x). Angka pada peubah warna
daun, tekstur daun, dan warna batang merupakan nilai skoring. Skoring warna
daun dan batang: 5=ungu, 3=ungu kehijauan, 1=hijau. Skoring tekstur daun:
3=lembut, 1=keras/kaku.
34
Berdasarkan hasil penelitian pada Tabel 3, perlakuan sinar gamma
memberikan pengaruh nyata pada tekstur daun tanaman handeuleum. Perlakuan
0 Gy, 15 Gy, dan 30 Gy menghasilkan nilai skoring 3, yang berarti daunnya
bertekstur lembut dan lemas. Perlakuan dengan dosis 60 Gy, 75 Gy, 90 Gy, dan
105 Gy memiliki nilai skoring 1, dan tekstur daun tanaman kaku, daunnya tebal
dan mudah patah. Terdapatnya perubahan pada tekstur daun sesuai dengan
penelitian yang dipaparkan oleh Widiastuti (2010) pada manggis, dan Aisyah
(2006) pada anyelir. Muthusamy et al. (2007) menjelaskan penelitiannya pada
kacang tanah, bahwa jumlah daun yang mengalami variasi juga meningkat seiring
dengan meningkatnya konsentrasi dari mutagen.
Perlakuan sinar gamma juga memberikan pengaruh pada warna batang
handeuleum. Berdasarkan hasil yang disajikan pada Tabel 3 diketahui bahwa
tanaman yang diberikan perlakuan dengan dosis 15 Gy dan 30 Gy memiliki nilai
skoring 5, sama dengan nilai skoring tanaman kontrol (0 Gy). Tanaman
handeuleum yang diberi iradiasi sinar gamma dosis 75 Gy, 90 Gy, dan 105 Gy
memiliki nilai skoring 3, dan tidak berbeda nyata dengan perlakuan sinar gamma
dosis 45 Gy. Warna batang pada tanaman yang diberi perlakuan dengan dosis
75 Gy, 90 Gy, dan 105 Gy adalah hijau dan hijau keunguan, berbeda dengan
warna batang pada perlakuan sinar gamma 15 Gy dan 30 Gy yaitu berwarna ungu.
Sinar gamma mempengaruhi tinggi tanaman, warna daun, tipe daun,
ukuran daun, bentuk daun, tipe polong, dan warna benih (Badignnavar & Murty
2007). Menurut Cuttriss et al. (2007), klorofil merupakan pigmen yang
menyebabkan warna hijau, sedangkan karotenoid merupakan pigmen penyebab
warna merah, oranye, dan kuning pada bagian tumbuhan. Buchanan et al. (2000)
menyebutkan bahwa antosianin merupakan pigmen nonkloroplas pada tanaman,
dikenal sebagai pigmen yang menyebabkan warna merah jambu, ungu, dan biru
dan ditimbun dalam vakuola sel parenkim dewasa. Berdasarkan hasil analisis
skoring terlihat bahwa perubahan warna daun terlihat skoringnya semakin
menurun seiring dengan peningkatan dosis iradiasi sinar gamma, dan diikuti oleh
penurunan kandungan klorofil yang ditunjukkan oleh penurunan indeks warna
hijau relatif daun. Menurut Rostini et al. (2000) dan Tyas (2006), kandungan
35
klorofil berkorelasi positif dengan warna hijau relatif daun, sehingga indeks warna
hijau relatif pada daun dapat dimanfaatkan untuk menduga kandungan klorofil.
Iradiasi menyebabkan peningkatan kandungan radikal bebas hidrogen
peroksidase (H2O2) pada tanaman, karena ionisasinya mengakibatkan reaksi
radiolisis air yang hasil akhirnya adalah radikal bebas. H2O2 terbukti
mengakibatkan kerusakan dinding sel, membran, dan DNA. Kloroplas secara
genetik memiliki sistem pewarisan sendiri dalam bentuk kromosom kloroplas.
Salisbury dan Ross (1995) mengemukakan bahwa klorofil terdapat pada membran
tilakoid kloroplas yang terdapat di dalam sitoplasma. Kloroplas mengandung
DNA, RNA, ribosom, serta enzim. Apabila mutasi terjadi pada salah satu gen
akan mempengaruhi sintesis klorofilnya.
Seperti diketahui klorofil terletak pada sel parenkima, terutama palisade
dan sedikit di sel bunga karang. Menurunnya kandungan klorofil pada tanaman
yang diiradiasi mengindikasikan bahwa tempat sintesisnya juga mengalami
kerusakan. Penelitian yang dilakukan oleh Wi et al. (2007) ditemukan bahwa
akumulasi H2O2 ditemukan di membran plasma dan lamela tengah berbagai organ
tanaman, tapi paling utama terdapat pada daun. Wi et al. (2007) menjelaskan
lebih lanjut bahwa sel parenkima lebih sensitif terhadap iradiasi dibandingkan
dengan sel pembuluh.
Kandungan Antosianin, Klorofil Total dan Karotenoid
Perbedaan warna daun dan batang antara tanaman kontrol (0 Gy) dan yang
diiradiasi sinar gamma berhubungan sangat erat dengan kandungan antosianin,
klorofil, dan karotenoids (Gambar 9). Daun yang telah diiradiasi dosis 15 Gy,
30 Gy, dan 45 Gy kandungan pigmen lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol,
sedangkan yang diiriadiasi dengan dosis 60 Gy, 75 Gy, 90 Gy, dan 105 Gy
kandungannya lebih rendah dibandingkan kontrol.
Antosianin merupakan pigmen nonkloroplas pada tanaman, dikenal
sebagai pigmen yang menyebabkan warna merah jambu, ungu, dan biru, dan
ditimbun dalam vakuola sel parenkim dewasa (Buchanan et al. 2000). Menurut
Hopkins dan Huner (2004) antosianin berfungsi menyerap UV-B untuk mencegah
kerusakan jaringan daun yang disebabkan oleh radiasi UV.
36
Gambar 9 Grafik perbandingan kandungan pigmen antosianin, klorofil total, dan
karotenoid handeuleum aksesi Bogor pada berbagai dosis iradiasi.
Klorofil dan karotenoid merupakan pigmen fotosintetik pada tumbuhan,
dimana klorofil merupakan pigmen utama dalam fotosintesis. Karotenoid,
merupakan pigmen yang mempunyai warna berbagai campuran kuning dan
jingga, dengan fungsi utama untuk fotoproteksi dengan cara menyerap dan
melepaskan energi cahaya yang berlebihan (Sandman & Scherr 1998). Salisbury
dan Ross (1995) mengemukakan bahwa klorofil terdapat pada membran tilakoid
dalam kloroplas yang terdapat di dalam sitoplasma. Kloroplas mengandung DNA,
RNA, ribosom, serta enzim.
Berdasarkan hasil sidik ragam dapat dilihat bahwa perlakuan iradiasi sinar
gamma berpengaruh sangat nyata pada indeks warna hijau relatif daun tanaman
handeuleum. Perlakuan iradiasi 45 Gy menghasilkan indeks warna hijau relatif
daun paling tinggi yaitu sebesar 56.81. Nilai paling kecil didapat pada perlakuan
iradiasi 75 Gy sebesar 30.38, tidak berbeda nyata dengan perlakuan iradiasi
60 Gy, 90 Gy, dan 105 Gy.
Selain diukur dengan indeks warna hijau relatif daun, analisa pigmen juga
dilakukan di laboratorium terhadap kandungan masing pigmen antosianin, total
klorofil, dan total karotenoid. Menurut Rostini et al. (2000) dan Ning Tyas (2006),
kandungan klorofil berkorelasi positif dengan warna hijau relatif daun, sehingga
37
indeks warna hijau relatif pada daun dapat dimanfaatkan untuk menduga
kandungan klorofil.
Berdasarkan hasil analisis laboratorium terlihat bahwa kandungan klorofil
total yang besar terdapat pada tanaman kontrol (0 Gy) dan tanaman yang diberi
perlakuan iradiasi sinar gamma dosis 15 Gy, 30 Gy, dan 45 Gy, sedangkan
tanaman yang diberi perlakuan iradiasi dosis 60 Gy, 75 Gy, 90 Gy, dan 105 Gy
memiliki kandungan klorofil total yang sedikit. Secara umum hal ini sejalan
dengan hasil analisis ragam, meskipun secara statistik tanaman yang diberi
perlakuan iradiasi 45 Gy ialah tanaman yang memiliki indeks warna hijau relatif
daun paling tinggi, sedangkan menurut analisis laboratorium tanaman justru
kontrol yang memiliki kandungan klorofil total paling tinggi.
Kandungan antosianin tertinggi dimiliki oleh tanaman yang diberi
perlakuan iradiasi dosis 30 Gy, dan paling rendah oleh perlakuan iradiasi 60 Gy.
Hal yang sama terlihat pada kandungan karotenoid, iradiasi sinar gamma 30 Gy
menghasilkan kandungan paling banyak sedangkan perlakuan 105 Gy
menghasilkan karotenoid paling sedikit. Seperti halnya kandungan klorofil total
terlihat bahwa kandungan antosianin dan karotenoid yang tinggi dimiliki oleh
tanaman yang diberi perlakuan iradiasi dosis 15 Gy, 30 Gy, dan 45 Gy, bahkan
melebihi kandungan antosianin dan karotenoid tanaman kontrol (0 Gy).
Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Kim et al.
(2009), yang mengemukakan bahwa iradiasi sinar gamma meningkatkan
kandungan protein terlarut, klorofil, dan karotenoid, pada daun Arabidopsis yang
diiradiasi dengan sinar gamma dosis 50 Gy bila dibandingkan dengan kontrol.
Nagata et al. (1999) memaparkan bahwa terjadi akumulasi antosianin pada bagian
yang berongga (aerial part) setelah tanaman Arabidopsis diiradiasi dengan sinar
gamma (1 - 3 kGy). Iradiasi juga menginduksi pembentukan trikoma baru pada
permukaan atas daun, penambahan lapisan sel akar, dan pemanjangan akar
rambut. Menurut Wada (1998), tanaman Nicotiana setelah mendapatkan iradiasi
sinar gamma dosis tinggi (100 - 500 Gy) pertumbuhannya menjadi terhambat,
klorofil terdegradasi, dan terjadi aberasi morfologi pada tanaman. Penelitian yang
dilakukan Calucci et al. (2003) dikatakan bahwa aplikasi dosis yang umum
digunakan (10 kGy) dari iradiasi sinar gamma menyebabkan penurunan
38
karotenoid pada cinnamon, oregano, parsley, rosemary, bird pepper, dan sage
ketika semua dibandingkan dengan kontrol. Sementara menurut Koseki et al.
(2002) iradiasi gamma di atas 30 kGy (interval 10), kandungan β-karoten
menurun secara perlahan pada ekstrak pada kemangi (Ocimum basilicum L.).
Wi et al. (2007) mengemukakan bahwa berdasarkan observasi TEM,
kloroplas merupakan organel yang sangat sensitif terhadap iradiasi dengan sinar
gamma tingkat tinggi bila dibandingkan dengan organel lain. Adapun dosis
iradiasi yang rendah tidak menyebabkan perubahan pada ultra struktur kloroplas.
Hal ini yang mungkin dapat dijadikan pegangan mengapa pada penelitian ini
antosianoin, klorofil total, dan karotenoid pada tanaman yang diiradiasi dengan
sinar gamma dosis rendah kandungannya justru lebih tinggi bila dibandingkan
dengan kontrol. Antosianin, klorofil total, dan karotenoid akan mengalami
degradasi bila diiradiasi dengan dosis yang tinggi. Lebih jauh Kim et al. (2009)
menjelaskan bahwa kandungan klorofil, karotenoids, protein, dan antosianin yang
lebih banyak pada tanaman yang diiradiasi disebabkan gen yang terlibat dalam
anabolisme klorofil dan antosianin (AtHEMA1, AtPORB, AtPORC, AtCHLG,
dan AtANS) proses transkripsi meningkat bila dibandingkan dengan kontrol.
Kandungan pigmen fotosintetik yang tinggi terutama klorofil dapat
meningkatkan fotosintesis tanaman sehingga akumulasi fotosintat yang dihasilkan
semakin tinggi. Akumulasi fotosintat yang tinggi mengakibatkan pembesaran dan
diferensiasi sel yang dinyatakan dalam perubahan ukuran luas daun, pertumbuhan
tinggi, dan pembesaran diameter batang (Urnemi et al. 2002).
Hasil pengamatan terhadap warna daun, batang, baik secara skoring,
maupun analisis laboratorium sejalan dengan hasil yang diperoleh oleh
pengamatan warna hijau relatif daun menggunakan SPAD. Warna daun dan
batang ditentukan oleh kandungan pigmen yang terdapat di dalam jaringan
tanaman tersebut. Tanaman handeuleum kontrol (0 Gy) dan yang diiradiasi
dengan dosis 15 Gy, 30 Gy, 45 Gy memiliki warna daun dan batang keunguan,
sedangkan yang diiradiasi dengan dosis 60 Gy, 75 Gy, 90 Gy, dan 105 Gy
memiliki warna hijau. Berdasarkan hasil analisis laboratorium dan SPAD terlihat
bahwa kandungan klorofil tanaman kontrol (0 Gy) dan yang diiradiasi dengan
dosis 15 Gy, 30 Gy, 45 Gy memiliki kandungan pigmen-pigmen yang lebih
39
tinggi. Berdasarkan penampang melintang daun secara transversal (Gambar 13)
diduga warna ungu yang terlihat pada daun dan batang dikarenakan letak
antosianin yang lebih tersebar, yaitu terletak di sel epidermis atas dan juga
terdapat pada palisade. Hal ini yang menentukan warna tanaman handeuleum
terutama pada daun yang terlihat oleh mata, meskipun kandungan antosianin dan
klorofil hampir sama besarnya.
Anatomi Daun
Iradiasi sinar gamma berpengaruh sangat nyata terhadap struktur anatomi
daun handeuleum. Perubahan bersifat individual meskipun diiradiasi pada dosis
yang sama karena pengaruh mutagen bersifat acak, tidak terdapat pola dari
kenaikan dosis iradiasi sinar gamma.
Menurut Dickinson (2000), stuktur anatomi daun dapat mengalami
perubahan akibat iradiasi sinar gamma yang bersifat ionisasi. Perubahan tersebut
dapat berupa perubahan susunan dan ukuran jaringan palisade serta pembesaran
jaringan bunga karang, nekrosis jaringan, dan distorsi tulang daun. Harahap
(2005) menyatakan bahwa studi struktur anatomi tanaman mutan sangat berguna
menjelaskan perubahan kontrol genetik pada proses tertentu. Qosim et al. (2007)
berpendapat bahwa tanaman yang memiliki kerapatan stomata, parenkim palisade,
dan jumlah pembuluh yang banyak dapat dijadikan sebagai kriteria seleksi tidak
langsung untuk efisiensi fotosintesis.
Irisan Paradermal
Daun handeuleum memiliki stomata yang terletak pada permukaan bawah
daun. Berdasarkan pengamatan secara paradermal terlihat bahwa pada lapisan
epidermis daun handeuleum terdapat stomata, sel penjaga, sel tetangga, dan sel
epidermis (Gambar 10).
40
(a)
(c) (b)
Gambar 10
(d)
20
Irisan paradermal daun handeuleum aksesi Bogor (400x): sel
epidermis (a), sel tetangga (b), sel penjaga (c), dan lubang
stomata (d).
Berdasarkan hasil yang disajikan pada Tabel 4 terlihat bahwa jumlah sel
epidermis terbanyak dimiliki oleh tanaman yang mendapat perlakuan iradiasi sinar
gamma dosis 60 Gy, yaitu sebesar 303.6, tidak berbeda nyata dengan perlakuan
iradiasi sinar gamma dosis 30 Gy dengan jumlah sel epidermis sebanyak 284.9.
Jumlah sel epidermis yang terendah sebesar 223.8 didapat pada tanaman yang
diiradiasi sinar gamma dosis 75 Gy.
Tabel 4
Dosis
Iradiasi
(Gy)
Nilai rata-rata jumlah stomata, jumlah sel epidermis, indeks stomata,
dan kerapatan stomata daun handeuleum aksesi Bogor pada berbagai
perlakuan dosis iradiasi sinar gamma pada 10 MST
Peubah
Jumlah
Sel Epidermis
0
239.8 ±27.8 bc
15
Jumlah
Stomata
Indeks
Stomata
Kerapatan
Stomata
(jml/mm2)
482.7±39.0 bc
94.7 ± 7.7 bc
0.3 ± 0.03
a
256.6 ± 17.4 b
108. ± 15.7 ab
0.3 ± 0.03
a
554.3 ± 79.8
a
30
284.9 ± 20.8 a
112.1 ± 8.8 a
0.3 ± 0.02
a
571.0 ± 44.9
a
45
248.1 ± 18.0 bc
111.4 ± 8.6 a
0.3 ± 0.02
a
567.6 ± 43.7
a
60
303.6 ± 35.2 a
104.5 ± 7.2 ab
0.2 ± 0.05
b
532.5 ± 87.9
ab
75
223.8 ± 2.1 c
89.0 ± 8.5 c
0.3 ± 0.02
a
453.5 ± 43.5
c
90
229.7 ± 42.6 bc
63.0 ± 19.3 d
0.2 ± 0.07
b
321.0 ± 98.4
d
105
243.2 ± 30.3 bc
0.3 ± 0.03
a
485.2 ± 45.5
bc
95.2 ± 8.9 bc
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom peubah yang sama
menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji Duncan 5%. Nilai ± yang disajikan
adalah standar deviasi.
41
Tanaman yang mendapat perlakuan iradiasi sinar gamma dosis 30 Gy
memiliki jumlah stomata terbanyak sebesar 111.0, tidak berbeda nyata dengan
perlakuan iradiasi
sinar gamma dosis 45 Gy yang menghasilkan stomata
sebanyak 111.4. Jumlah stomata paling sedikit terdapat pada tanaman yang diberi
perlakuan sinar gamma dosis 90 Gy, yaitu sebanyak 63.0.
Indeks stomata paling besar dihasilkan oleh perlakuan iradiasi sinar
gamma dosis 45 Gy yaitu sebesar 0.3, tidak berbeda nyata dengan perlakuan 0 Gy,
15 Gy, 30 Gy, 75 Gy, dan 105 Gy (0.3, 0.3, 0.3, 0.3, dan 0.3). Indeks stomata
terkecil terdapat pada tanaman yang diiradiasi dengan sinar gamma dosis 90 Gy
yaitu sebesar 0.2, tidak berbeda nyata dengan perlakuan iradiasi dosis 60 Gy yang
menghasilkan indeks stomata sebesar 0.2.
Kerapatan stomata paling besar dihasilkan oleh perlakuan sinar gamma
dosis 30 Gy sebesar 571.0, tidak berbeda nyata dengan perlakuan dosis 15 Gy dan
45 Gy yang berturut-turut menghasilkan kerapatan stomata sebesar 554.3 dan
567.6. Kerapatan stomata paling kecil dihasilkan oleh iradiasi sinar gamma dosis
90 Gy yaitu sebesar 321.6.
Penampang paradermal daun handeuleum disajikan pada Gambar 11.
Berdasarkan pengamatan paradermal daun dan hasil analisis ragam terlihat bahwa
terjadi perubahan anatomi daun handeuleum yang diiradiasi. Hal yang sama
terjadi pada penelitian yang dilakukan oleh Qosim et al. (2007) dan Widiastuti
(2010) terhadap manggis yang ditanam secara in vitro dan in vivo. Qosim et al.
(2007) mengemukakan terdapat beberapa regeneran manggis yang memiliki
kerapatan dan indeks stomata yang lebih besar bila dibandingkan dengan kontrol.
Penelitian Widiastuti (2010) memaparkan bahwa iradiasi sinar gamma dosis
25 Gy menghasilkan indeks dan kerapatan stomata daun manggis paling kecil bila
dibandingkan dengan kontrol.
Kerapatan stomata sangat tergantung ukuran sel, jika ukuran sel penjaga
kecil maka kerapatan stomata lebih banyak, begitu pula sebaliknya. Indeks
stomata merupakan perbandingan jumlah stomata dengan penjumlahan jumlah sel
epidermis dan jumlah stomata, dan merupakan karakter anatomi yang tidak
dipengaruhi oleh kondisi lingkungan bila dibandingkan dengan kerapatan stomata,
sehingga digunakan sebagai penciri keragaman tanaman (Wilmer 1983).
42
Indeks stomata yang besar menunjukkan bahwa tanaman memiliki jumlah
stomata yang banyak. Stomata berfungsi sebagai tempat pertukaran gas, tanaman
dengan indeks stomata yang besar memungkinkan tingginya penyerapan gas CO2
yang mengakibatkan laju fotosintesis menjadi tinggi, sehingga akan memacu
pertumbuhan tanaman handeuleum.
(a)
(b)
(c)
(d)
(e)
(f)
(g)
(h)
Gambar 11 Perbandingan struktur anatomi daun handeuleum aksesi Bogor irisan
paradermal (400x) pada berbagai dosis perlakuan: 0 Gy (kontrol) (a),
15 Gy (b), 30 Gy (c), 45 Gy (d), 60 Gy (e), 75 Gy (f), 90 Gy (g), dan
105 Gy (h). Semakin tinggi dosis perlakuan, jumlah stomata semakin
sedikit.
Tidak terdapatnya pola hasil pengamatan paradermal terhadap kenaikan
dosis iradiasi sinar gamma dikarenakan perubahan bersifat individual meskipun
diiradiasi pada dosis yang sama, sinar gamma diketahui merupakan mutagen yang
bersifat acak. Meskipun begitu, terlihat ada kecenderungan bahwa sinar gamma
dosis 15 Gy, 30 Gy, 45 Gy menghasilkan parameter irisan paradermal (jumlah
stomata, jumlah sel epidermis, indeks stomata, dan kerapatan stomata) yang lebih
43
besar dibandingkan kontrol, dan tanaman yang diiradiasi dengan dosis yang tinggi
memiliki nilai yang lebih kecil. Hal yang sama ditunjukkan oleh penelitian yang
dilakukan oleh Fauza et al. (2005), yaitu bahwa iradiasi sinar gamma dosis 1 krad
justru mengakibatkan pertumbuhan tanaman manggis yang lebih baik
dibandingkan tanpa iradiasi, tetapi pertumbuhan menjadi cenderung menurun
ketika diiradiasi dengan dosis di atas 1 krad.
Irisan Transversal
Struktur daun handeuleum berdasarkan irisan transversal terdiri atas
lapisan kutikula, epidermis atas, dua lapisan palisade, bunga karang, dan
epidermis bawah. Lapisan kutikula melapisi seluruh permukaan atas epidermis
bagian atas dan epidermis bawah. Struktur daun handeuleum termasuk tipe
dorsiventral karena jaringan palisade berada di antara jaringan epidermis atas dan
jaringan bunga karang (Gambar 12).
(b)
(a)
(c)
(d)
(e)
Gambar 12
Irisan transversal daun handeuleum aksesi Bogor: kutikula (a),
epidermis atas (b), palisade (c), bunga karang (d), dan epidermis
bawah (e).
Berdasarkan hasil pada harga Tabel 5 dapat dilihat bahwa semua peubah
anatomi daun secara transversal (tebal daun, kutikula, epidermis atas, palisade,
bunga karang, dan epidermis bawah) dipengaruhi secara sangat nyata oleh
perlakuan iradiasi sinar gamma. Berdasarkan hasil yang disajikan pada Tabel 5,
tebal daun paling tebal dihasilkan oleh perlakuan iradiasi sinar gamma dosis
105 Gy (313.1 µm), tidak berbeda nyata dengan perlakuan 75 Gy dan 90 Gy
(306.8 µm dan 305.8µm). Tebal daun paling tipis dihasilkan dihasilkan oleh
perlakuan iradiasi sinar gamma dosis 15 Gy (199.2 µm), tidak berbeda nyata
44
dengan perlakuan iradiasi sinar gamma dosis 0 Gy, 30 Gy, 45 Gy, dan 60 Gy
(225.2 µm, 230.8 µm, 236.3 µm, dan 238.0 µm).
Iradiasi sinar gamma dosis 90 Gy menghasilkan tebal kutikula paling tebal
(20.29 nm) dan tidak berbeda nyata dengan perlakuan iradiasi sinar gamma 75 Gy
(18.9 nm). Tebal kutikula paling tipis dihasilkan oleh perlakuan iradiasi sinar
gamma dosis 0 Gy (5.9 nm), tidak berbeda nyata dengan perlakuan 15 Gy
(6.6 nm). Berdasarkan hasil yang disajikan pada Tabel 5 terlihat bahwa tebal
epidermis atas paling tebal dihasilkan oleh perlakuan iradiasi sinar gamma dosis
105 Gy (43.7 nm), tidak berbeda nyata dengan perlakuan dosis 75 Gy
(43.2 nm). Sedangkan tebal epidermis paling tipis dihasilkan oleh iradiasi sinar
gamma dosis 0 Gy (14.8 nm).
Peubah panjang palisade paling panjang dihasilkan oleh perlakuan iradiasi
sinar gamma dosis 75 Gy (92.3 nm), tidak berbeda nyata dengan perlakuan dosis
60 Gy dan 105 Gy (81.0 nm dan 82.6 nm). Palisade paling pendek dihasilkan oleh
perlakuan iradiasi sinar gamma dosis 15 Gy (37.5 nm), tidak berbeda nyata
dengan perlakuan dosis 0 Gy (40.3 nm) dan 30 Gy (40.3 nm). Berdasarkan hasil
yang disajikan pada Tabel 5 terlihat bahwa tebal bunga karang paling tebal
dihasilkan oleh perlakuan iradiasi sinar gamma dosis 90 Gy (63.6 nm), sedangkan
tebal bunga karang paling tipis dihasilkan oleh perlakuan dosis 0 Gy (16.2 nm).
Peubah tebal epidermis bawah paling tebal dihasilkan oleh perlakuan
iradiasi sinar gamma dosis 45 Gy (37.4 nm), tidak berbeda nyata dengan
perlakuan dosis 90 Gy (36.7 nm). Tebal epidermis bawah paling tipis dihasilkan
oleh perlakuan dosis 0 Gy (15.3 nm).
Berdasarkan Tabel 5 diketahui bahwa kisaran nilai pada tebal daun, tebal
kutikula, tebal epidermis atas, panjang palisade, tebal bunga karang, tebal
epidermis bawah, dan tebal daun daun handeuleum sangat bervariasi. Tidak
terdapat pola tertentu antara peubah-peubah dengan kenaikan dosis iradiasi sinar
gamma. Meskipun begitu, tanaman yang diiradiasi dengan dosis 60 Gy, 75 Gy,
90 Gy, dan 105 Gy pada umumnya memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan
dengan kontrol. Sedangkan tanaman yang diiradiasi dengan dosis 15 Gy, 30 Gy,
dan 45 Gy pada umumnya memiliki nilai yang lebih rendah dibandingkan kontrol.
45
Tabel 5 Nilai rata-rata tebal daun, tebal kutikula, tebal epidermis atas, panjang palisade, tebal bunga karang, dan tebal epidermis
bawah daun handeuleum aksesi Bogor pada berbagai perlakuan dosis iradiasi sinar gamma pada 10 MST
Dosis
Iradiasi
(Gy)
Peubah
0
Tebal Daun
(µm)
225.2±286.4 b
Tebal Kutikula
(nm)
6.0±1.0 e
Tebal Epidermis
Atas (nm)
14.8±2.3 e
Panjang Palisade
(nm)
40.3±584.7 d
Tebal Bunga
Karang (nm)
16.2±1.7 f
Tebal Epidermis
Bawah (nm)
15.3±1.6 d
15
199.2±703.8 b
6.6±1.5 de
30.5±2.7 d
37.5±647.1 d
31.8±1.5 e
32.2±4.3 b
30
230.8±426.9 b
8.1± 1.1 d
27.7±7.2 d
40.3±644.8 d
34.4±6.3 de
31.9±4.7 b
45
236.3±262.3 b
14.2±1.7 c
38.7±3.3 b
53.5±146.0 c
38.2±5.5 cd
37.4±2.6 a
60
238.0±216.6 b
13.0±1.3 c
33.7±5.0 c
81.0±503.0 ab
35.8±5.6 cde
24.6±4.2 c
75
306.8±993.2 a
18.9±3.9 a
43.2±3.3 a
92.3± 192.5 a
54.6±7.5 b
26.7±2.8 c
90
305.8±124.8 a
20.3±2.5 a
35.8±3.6 bc
77.2±107.8 b
63.6±10.5 a
36.7±3.7 a
105
313.1±226.4 a
16.6±4.3 b
43.7±6.8 a
82.6± 539.6 ab
40.0±8.8 c
26.0±4.2 c
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom peubah yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji Duncan 5%.
Nilai ± yang disajikan adalah standar deviasi.
45
46
46
Tingginya nilai-nilai peubah anatomi daun yang diiradiasi sinar gamma
dosis 60 Gy, 75 Gy, 90 Gy, dan 105 Gy yang menyebabkan tekstur daun-daun
tanaman ini menjadi kaku, keras dan mudah patah. Iradiasi menggunakan sinar
gamma terbukti dapat menimbulkan perubahan baik pada tingkat jaringan maupun
pada tingkat sel (Lestari 2005). Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Dickinson
(2000) bahwa radiasi ionisasi dapat menyebabkan adanya perubahan pada sel
palisade, sel bunga karang, atau peningkatan atau penurunan jaringan berkas
pengangkut. Adanya perubahan anatomi tersebut pada umumnya diikuti oleh
perubahan aktivitas fisiologi.
Menurut Taiz dan Zeiger (2002) sel palisade dan sel bunga karang
memiliki peran yang kontras, yaitu sel palisade dapat menyebabkan cahaya lewat
dan sel bunga karang menangkap cahaya sebanyak mungkin, hal ini yang
menyebabkan absorpsi cahaya yang lebih seragam di dalam daun. Salisbury dan
Ross (1995) memaparkan bahwa dalam sel-sel mesofil (sel palisade dan sel bunga
karang) terdapat organel sel yang berperan dalam melakukan proses fotosintesis
yang disebut kloroplas. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Fahn (1991), yaitu
bahwa parenkim palisade banyak mengandung kloroplas, sehingga dapat
memanfaatkan CO2 secara maksimum dan menjadikan laju fotosintesis sangat
efisien.
Berdasarkan hasil pengamatan terhadap penampang transversal daun
handeuleum (Gambar 13) terlihat bahwa klorofil dan antosianin pada umumnya
terdapat pada sel palisade dan sedikit pada sel bunga karang, ditandai dengan sel
yang berwarna hijau dan merah. Akan tetapi pada tanaman yang diiradiasi dengan
sinar gamma dosis 60 Gy, 75 Gy, 90 Gy, dan 105 Gy kandungan klorofil dan
antosianin semakin sedikit. Terlihat pada penampang transversal daun-daun
tersebut memiliki sel yang berwarna yang lebih sedikit. Hal ini sesuai dengan
hasil analisis laboratorium terhadap kandungan-kandungan tersebut di atas.
Meningkatnya nilai panjang palisade dan tebal bunga karang pada tanaman
yang diiradiasi dengan sinar gamma dosis tinggi tidak diikuti dengan
meningkatnya kandungan klorofil dan antosianin yang terkandung di dalamnya.
Diduga pada tanaman yang diiradiasi dengan sinar gamma dosis 60 Gy, 75 Gy,
90 Gy, dan 105 Gy, kandungan klorofil dan antosianinnya mengalami degradasi.
47
(a)
(b)
(d)
(c)
(e)
(g)
(f)
(h)
Gambar 13 Perbandingan struktur anatomi irisan transversal daun handeuleum
aksesi Bogor: 0 Gy (kontrol) (a), 15 Gy (b), 30 Gy (c), 45 Gy (d),
60 Gy (e), 75 Gy (f), 90 Gy (g), dan 105 Gy (h). Semakin tinggi dosis
iradiasi, kandungan antosianin semakin berkurang yang ditunjukkan
oleh warna merah.
Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Wi et al. (2007),
yang mengemukakan bahwa berdasarkan observasi TEM kloroplas merupakan
organel yang sangat sensitif terhadap iradiasi dengan sinar gamma tingkat tinggi
bila dibandingkan dengan organel lain. Adapun dosis iradiasi yang rendah tidak
menyebabkan perubahan pada ultrastruktur kloroplas.
Korelasi Antara Karakter Pertumbuhan, Morfologi, dan Anatomi Daun
Karakter pertumbuhan, morfologi dan anatomi daun pada tanaman saling
mempengaruhi satu sama lain dalam pertumbuhan dan perkembangan tanaman.
Menurut Mattjik dan Sumertajaya (2002), korelasi merupakan gambaran keeratan
hubungan antara satu karakter dengan karakter lainnya, bila nilai korelasi antara
dua peubah mendekati 1 atau -1 menunjukkan hubungan kedua peubah sangat
erat.
48
Analisis korelasi antara peubah-peubah pengamatan pertumbuhan,
morfologi, anatomi daun, dan pigmen pada penelitian ini disajikan pada Tabel 6.
Terlihat bahwa jumlah daun berkorelasi positif sangat nyata dengan tinggi
tanaman (98%) dan positif nyata dengan panjang daun, lebar daun, antosianin
berturut-turut sebesar 76%, 78%, dan 79%. Antosianin berkorelasi positif sangat
nyata dengan indeks warna hijau relatif daun dan klorofil yaitu sebesar 92% dan
93%, sedangkan di antara keduanya terdapat korelasi positif sangat nyata sebesar
98%. Karotenoid berkorelasi positif sangat nyata dengan klorofil total yaitu
sebesar 99%. Palisade berkorelasi positif sangat nyata dengan bunga karang yaitu
sebesar 81%.
Korelasi positif antara jumlah daun dan tinggi tanaman dapat diartikan
bahwa semakin tinggi tanaman, maka jumlah daun yang dihasilkan semakin
banyak. Jumlah daun yang banyak sejalan dengan peningkatan panjang dan lebar
daun, yang berimplikasi pada semakin banyaknya jumlah kandungan antosianin.
Menurut Buchanan (2000) antosianin ditimbun di dalam vakuola dari sel
parenkim dewasa. Distribusinya paling luas pada daun, dapat ditemukan pada sel
epidermis atau epidermis bawah, atau sel-sel mesofil (Woodall & Stewart 1998).
Meningkatnya kandungan antosianin pada penelititan ini diiringi dengan
meningkatnya indeks warna hijau relatif daun dan klorofil total. Hal ini tidak
sesuai, karena produksi antosianin sebenarnya bertolak belakang dengan klorofil
dimana faktor yang mempengaruhinya adalah suhu, dimana pada suhu yang tinggi
klorofil akan lebih banyak diproduksi dibandingkan dengan antosianin.
Antosianin disintesa melalui phenylpropanoid pathway sedangkan klorofil
dan karotenoid dibentuk pada terpenoid pathway. Diduga iradiasi sinar gamma
dapat menyebabkan terjadinya aktivasi maupun inaktivasi gen-gen yang
mengendalikan lintasan pembentukannya sehingga mengakibatkan terjadinya
perubahan kandungan pada pigmen-pigmen tersebut. Indeks warna hijau relatif
daun berkorelasi positif sangat nyata dengan klorofil sebesar 98%, yang berarti
hubungan keduanya sangat erat. Rostini et al. (2000) dan Tyas (2006)
mengemukakan bahwa indeks warna hijau relatif daun dapat dimanfaatkan untuk
menduga kandungan klorofil.
49
Tabel 6 Korelasi antar karakter pertumbuhan, morfologi, anatomi dan pigmen pada tanaman handeuleum aksesi Bogor
Kutikula
Epidermis
Atas
Palisade
Bunga
Karang
Epidermis
Bawah
Kerapatan
Stomata
Indeks
Stomata
Tinggi
Tanaman
Jumlah
Daun
Panjang
Daun
Lebar
Daun
Epidermis
Atas
0.90**
Palisade
0.91**
0.75
Bunga
Karang
0.92**
0.94**
0.81*
Epidermis
Bwh
0.16
0.51
-0.13
0.39
Kerapatan
Stomata
-0.49
-0.18
-0.62
-0.32
-0.67
Indeks
Stomata
0.02
0.20
-0.34
-0.09
-0.59
0.22
Tinggi
Tanaman
-0.93**
-0.84*
-0.94**
-0.84*
-0.10
0.36
0.26
Jumlah
Daun
-0.93**
-0.90**
-0.91**
-0.86*
-0.24
0.26
0.15
0.98**
Pjg Daun
-0.64
-0.89**
-0.47
-0.78*
-0.79*
-0.27
-0.25
0.66
0.76*
Lebar
Daun
Indeks
warna
hijau relatif
-0.64
-0.88**
-0.49
-0.77*
-0.78*
-0.29
-0.18
0.68
0.78*
0.99**
-0.70
-0.57
-0.91**
-0.67
0.29
0.65
0.59
0.79*
0.73
0.32
0.33
Indeks warna
hijau relatif
Daun
Klorofil
Total
-0.71
-0.59
-0.95**
-0.63
0.20
0.42
0.64
0.85
0.80
0.40
0.42
0.98**
Antosianin
-0.78*
-0.56
-0.96**
-0.62
0.36
0.70
0.47
0.85*
0.79*
0.27
0.29
0.92**
Karotenoid
0.61
0.43
0.59
0.65
-0.04
-0.64
0.11
-0.41
-0.39
-0.18
-0.19
-0.50
-0.44
-0.92**
-0.92**
-0.59
-0.59
-0.75*
-0.44
-0.92**
-0.93**
-0.64
-0.64
-0.70*
Kutikula
Klorofil
Total
Antosianin
Karotenoid
0.93**
0.99**
-0.51
-0.71
-0.78*
0.60
49
50
Klorofil dan karotenoid berkorelasi positif sangat nyata sebesar 99%, hal
ini karotenoid diproduksi seiring dengan produksi klorofil. Klorofil dan
karotenoid sama-sama dibentuk melalui terpen pathway, diduga karena pigmenpigmen ini memiliki prekursor yang sama maka peningkatan kadungan klorofil
dapat meningkatkan kandungan karotenoid.
Solar
Energy
CO2
C3 & C4
photosynthesis
with Calvin
Carbohydrates
Glycolysis
Pentose phosphate
pathway
Pyruvic acid
DOP/MEP
pathway
Mevalonic
acid
Acetyl CoA
Erythrose 4-phosphate
Shicimic acid
Aromatic amino acid
Tricarboxylic acid
cycle
Malonic
acid
Aliphatic amino
acid
Polyketides
Nitrogencontaining
secondary product
S-adenosyl
methionine
Tetrapyrrol
Anthocyanin
Gambar 14
Phenolic
compounds
Flavonoid
Lignin
• Monoterpens
• Sesquiterpens
Chlorophyll
Phenylpropanoids
pathway
Terpenoids
pathway
• Diterpens
• Triterpens
Steroids
Tannins
• Tetraterpens
(β-carotene)
• Polyterpens
Ilustrasi lintasan metabolik primer pada tanaman (dimodifikasi)
menurut Kaufman et al. (1999).
51
Jumlah daun juga berkorelasi negatif sangat nyata dengan kutikula (-93%),
epidermis atas (-90%), palisade (-91%) dan berkorelasi negatif nyata dengan
bunga karang (-86%). Korelasi negatif sangat nyata juga terjadi antara palisade
dengan indeks hijau relatif daun (-0.91%), klorofil total (-0.95%), dan dengan
antosianin (-96%). Hal ini terjadi dikarenakan sampel yang diambil merupakan
sampel per satuan luas bukan sampel per volume, jadi belum mewakili keadaan
sebenarnya dan menyebabkan terjadinya korelasi negatif. Adanya korelasi antara
kareakter pertumbuhan, morfologi, anatomi daun, dan pigmen mengindikasikan
karakter-karakter tersebut saling mempengaruhi satu sama lain.
Fitokimia
Berdasarkan hasil uji fitokimia pada tanaman yang diiradiasi sinar gamma
yang disajikan pada Tabel 7, menunjukkan terjadinya perubahan kandungan
fitokimia antara tanaman yang diiradiasi dibandingkan dengan tanaman control
(0 Gy).
Tabel 7
Dosis
Iradiasi
(Gy)
Kandungan fitokimia daun handeuleum aksesi Bogor yang diiradiasi
dengan sinar gamma pada beberapa dosis pada 10 MST
Alkaloid
Saponin
Tanin
Fenolik
Trit
Steroid
Gli
0
++++
+++
+
-
-
++
+++
15
++
++++
+
-
+
+
++
30
++++
++++
+
-
-
+
++
45
++++
++++
+
-
-
++
++
Keterangan: Trit: triterpenoid, Gli: glikosida.
Analisis fitokimia pada penelitian ini hanya dilakukan pada beberapa
perlakuan saja, yaitu perlakuan kontrol (0 Gy), 15 Gy, 30 Gy, dan 45 Gy. Hal ini
dikarenakan tanaman yang diiradiasi sinar gamma dosis 60 Gy, 75 Gy, 90 Gy, dan
105 Gy tidak memiliki jumlah daun yang mencukupi untuk dijadikan bahan
sampel analisis.
52
Perlakuan iradiasi sinar gamma dosis 15 Gy meningkatkan kandungan
saponin dibandingkan tanaman kontrol, yaitu dari 3+ menjadi 4+. Akan tetapi
kandungan alkaloid (3+) sedikit menurun bila dibandingkan dengan kontrol (4+).
Begitu pula dengan kandungan steroid yang memiliki nilai 2+, sedangkan pada
tanaman kontrol kandungan steroidnya sebesar 3+. Glukosida pun mengalami
penurunan dimana perlakuan menghasilkan kandungan glukosida 2+, sementara
pada tanaman kontrol glukosidanya sebesar 3+.
Perlakuan iradiasi sinar gamma 30 Gy meningkatkan kandungan saponin,
dari yang awalnya 3+ pada tanaman kontrol, menjadi 4+ setelah tanaman
diiradiasi. Sedangkan alkaloid dan tanin tidak mengalami perubahan, masingmasing secara berturut-turut memiliki nilai 4+ dan 3+. Perlakuan ini kandungan
steroid dan glikosida mengalami penurunan dibandingkan dengan tanaman
kontrol. Steroid dan glikosida awalnya memiliki nilai 2+ dan 3+, pada tanaman
yang diiradiasi kandungannya berturut-turut menjadi 2+ dan 2+. Kandungan tanin
tidak mengalami perubahan, tetap 1+ baik pada tanaman kontrol maupun pada
tanaman yang diberi perlakuan.
Perlakuan iradiasi 45 Gy memiliki pola yang hampir sama dengan
perlakuan 30 Gy dalam menghasilkan senyawa fitokimia bila dibandingkan
dengan tanaman kontrol, hanya saja perlakuan ini menghasilkan kandungan
steroid yang lebih kecil yaitu sebesar 1+, sedangkan tanaman kontrol memiliki
kandungan steroid sebesar 2+.
Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan bahwa kandungan senyawa
fitokimia pada tanaman yang diiradiasi ada yang mengalami peningkatan
dibandingkan tanaman kontrol, ada yang tetap sama, dan ada pula yang
mengalami penurunan. Bahkan kandungan fitokimia pada tanaman kontrol yang
awalnya tidak ada, menjadi ada pada tanaman yang diiradiasi. Meskipun
demikian, pada penelitian yang dilakukan oleh Khumaida et al. (2008), aksesi
Bogor memiliki kandungan fitokimia yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan
kandungan fitokimia pada tanaman kontrol pada penelitian ini (alkaloid=4+,
saponin=4+, tanin=4+, fenolik= -, flavonoid=1+, triterpenoid=1+, steroid=4+, dan
glikosida=4+). Perbedaan kandungan fitokimia pada aksesi yang sama diduga
karena perbedaan lokasi penanaman tanaman, yang berakibat perbedaan
53
ketinggian lahan, suhu, intensitas cahaya matahari, curah hujan dan lain-lain.
Fitokimia pembentukannya sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor di atas.
Chawla et al. (2007) melaporkan untuk pertama kalinya bahwa iradiasi
sinar gamma pada dosis 40 kGy dapat digunakan untuk menghasilkan antioksidan
baru dari kombinasi gula dan asam amino. Hal yang sama ditemukan pada
penelitian Saepudin (2003), bahwa perlakuan iradiasi sinar gamma 1.5 krad pada
kalus kedelai menghasilkan senyawa baru (xanthatin) yang tidak terdapat pada
perlakuan lain (0 krad, 0.5 krad, dan 1 krad).
Penelitian Harrison dan Were (2007) menemukan total fenolik dan
aktivitas antioksidan pada kacang almond mengalami peningkatan pada iradiasi
sinar gamma 0 - 16 kGy. Bervariasinya tingkat perubahan kandungan fitokimia
pada tanaman yang diiradiasi juga terdapat pada penelitian Koseki et al. (2002)
yaitu pada kemangi (Ocimum basilicum Linne). Dijelaskan bahwa iradiasi gamma
di atas 30 kGy (interval 10) tidak menyebabkan perubahan yang signifikan pada
flavonoids, tanin, dan kandungan fenolik, sementara kandungan β-karoten
menurun secara perlahan. Lee et al. (2006) menyatakan bahwa kandungan fenolik
produk teh hijau dan ekstrak daun teh tidak mengalami perubahan yang signifikan
pada kandungan fenoliknya.
Iradiasi sinar gamma dapat mengakibatkan perubahan pada kandungan
fitokimia suatu tanaman, hal ini kemungkinan dikarenakan terjadi perubahan
susunan molekul DNA yang menyandikan atau memberi sinyal yang berhubungan
dengan produksi suatu metabolit sekunder, sehingga dapat meningkatkan,
menurunkan, mempertahankan, bahkan memunculkan produk metabolit sekunder
baru. Penelitian iradiasi dengan UV yang dilakukan oleh Nigro et al. (2000)
menyatakan bahwa aktivitas enzim mungkin dapat meningkat atau menurun,
tergantung dosis iradiasi yang digunakan. Nigro et al. (2000) lebih lanjut
melaporkan bahwa aktivitas Phenylalanine ammonia-lyase meningkat pada dosis
rendah UVC (0.50 kJ/m2), sementara dosis yang tinggi (2.50 kJ/m2) menyebabkan
level aktivitas yang rendah.
54
Isozim
Terdapat 5 (lima) isozim yang diujikan pada penelitian ini, yaitu:
peroksidase (PER), esterase (EST), alkohol dehidrogenase (ADH), asam fosfatase
(ACP), dan malat dehidrogenase (MDH). Kelima enzim tersebut tersebut
memberikan polimorfisme pada pola pitanya. Menurut Wendel dan Weeden
(1989), pola pita polimorfik dapat diinterpretasikan sebagai susunan genetik dari
individu, karena enzim adalah produk langsung dari gen. Karenanya setiap
tanaman tidak akan cocok pada suatu enzim, atau bisa dikatakan akan terjadi
keragaman polimerfisme dari setiap enzim yang diuji.
Hasil analisis pola pita isozim menggunakan lima macam enzim
menunjukkan adanya jumlah variasi pola pita yang terbentuk pada setiap enzim
berbeda, kecuali untuk enzim alkohol dehidrogenase (ADH), dan enzim malat
dehidrogenase (MDH) memiliki jumlah pola pita yang sama, yaitu satu variasi
pola pita. Analisis hanya dilakukan pada beberapa dosis iradiasi (0 Gy, 15 Gy,
30 Gy, 45 Gy, dan 60 Gy) dikarenakan pada perlakuan dengan dosis 75 Gy,
90 Gy, dan 105 Gy tidak tumbuh daun baru atau daunnya tidak membesar
sehingga tidak cukup untuk dijadikan sampel analisis.
Enzim Peroksidase (PER)
Hasil analisis isozim dengan enzim peroksidase (PER) menunjukkan
bahwa terdapat tiga variasi pola pita pada tanaman yang dianalisis. Hasil distribusi
pita isozim ini menuju ke arah kutub negatif (katoda) (Gambar 15).
0
0.1
0.4
0.5
Rf
(-)
0 Gy
15 Gy
30 Gy
45 Gy
60 Gy
Gambar 15 Interpretasi variasi pola pita isozim peroksidase (PER).
55
Adanya variasi pada pola pita PER menunjukkan terjadinya perubahan
pola enzimatik antara tanaman yang diiradiasi dibandingkan dengan tanaman
kontrolnya, sehingga bisa dikatakan telah terjadi keragaman pada tanaman yang
diberi perlakuan dengan sinar gamma.
Pola pita enzim ini dapat dilihat pada Gambar 15, dimana kontrol (0 Gy)
dan perlakuan 15 Gy memiliki satu alel, perlakuan 30 Gy terdapat dua alel,
sedangkan perlakuan 45 Gy dan 60 Gy masing-masing memiliki tiga alel.
Menurut Brewer dan Sing (1970), enzim peroksidase banyak digunakan dalam
studi isozim dikarenakan enzim ini diketahui cukup aktif pada banyak jaringan
tanaman dan cukup beragam. Enzim ini cukup mudah diuji karena aktivitasnya
yang tinggi.
Enzim Esterase (EST)
Seluruh pita isozim esterase (EST) pada penelitian ini bermigrasi ke kutub
positif (Gambar 16), dan menghasilkan tiga variasi pola pita. Hal ini menandakan
bahwa enzim EST dapat mengenali perubahan protein yang terjadi pada tanaman
yang diiradiasi dengan sinar gamma.
Rf
(+)
0.5
0.43
0.14
0
0 Gy
15 Gy
30 Gy
45 Gy
60 Gy
Gambar 16 Interpretasi variasi pola pita isozim esterase (EST).
Terlihat bahwa pada perlakuan kontrol (0 Gy) terdapat satu alel,
sedangkan pada perlakuan dosis iradiasi 15 Gy terdapat dua alel. Terakhir pada
perlakuan dosis iradiasi 30 Gy, 45 Gy, dan 60 Gy masing-masing terdapat tiga
alel.
56
Enzim Alkohol Dehidrogenase (ADH)
Enzim alkohol dehidrogenase (ADH) tidak dapat membedakan antar
populasi tanaman yang diberi perlakuan iradiasi dengan sinar gamma, semua
perlakuan memiliki masing-masing satu alel (Gambar 17).
Rf
(+)
0.14
0
0 Gy
15 Gy
30 Gy
45 Gy
60 Gy
Gambar 17 Interpretasi variasi pola pita isozim alkohol dehidrogenase (ADH) .
Tidak adanya variasi pada pola pita ADH menunjukkan bahwa enzim
ADH tidak dapat mengenali adanya perubahan genetik pada tanaman handeuleum
yang diiradiasi. Sehingga bisa dikatakan tidak terjadi keragaman pada tanaman
yang diberi perlakuan dengan sinar gamma.
Enzim Asam Fosfatase (ACP)
Seluruh pita isozim enzim ACP pada penelitian ini bermigrasi ke kutub
positif (Gambar 18) menghasilkan dua variasi pola pita.
Rf
(+)
0.57
0.4
0
0 Gy
15 Gy
30 Gy
45 Gy
60 Gy
Gambar 18 Interpretasi pola pita isozim asam fosfatase (ACP).
57
Tanaman yang diiradiasi (15 Gy, 30 Gy, 45 Gy, dan 60 Gy) masingmasing memiliki dua alel, sedangkan tanaman kontrolnya memiliki hanya satu
alel. Hal ini menandakan bahwa pada tanaman yang diiradiasi mengalami
perubahan genetik yang berbeda dengan kontrolnya.
Enzim Malat Dehidrogenase (MDH)
Hasil analisis isozim dengan enzim malat dehidrogenase (MDH)
menunjukkan bahwa tidak terdapat variasi pola pita pada tanaman yang dianalisis
(Gambar 19). Tidak adanya variasi pada pola pita MDH menunjukkan bahwa
enzim MDH tidak dapat mendeteksi adanya keragaman antara tanaman yang
diiradiasi dibandingkan dengan tanaman kontrolnya.
Rf
(+)
0.07
0
0 Gy
15 Gy
30 Gy
45 Gy
60 Gy
Gambar 19 Interpretasi variasi pola pita isozim malat dehidrogenase (MDH).
Menurut Hartana (2003), isozim merupakan produk gen, sehingga hasil
analisisnya dapat menjadi cerminan aktivitas gen secara langsung, yaitu bila ada
perubahan dalam sekuen DNA yang mengakibatkan perubahan asam aminonya.
Menurut Wi et al. (2007) peroksida di antara enzim antioksidan
memerankan peranan penting dalam mendetoksifikasi H2O2 dalam sel, karena
dapat melindungi komponen seluler seperti protein dan lemak terhadap oksidasi.
Peroksida juga dibutuhkan terutama untuk banyak fungsi seluler seperti
lignifikasi, suberisasi, pemanjangan sel, pengaturan biosintesis dinding sel dan
plasticity. Oleh karena itu, sangat penting untuk menganalisis perubahan pada
disitribusi spatial dan jumlah peroksida setelah iradiasi sinar gamma.
58
Lebih jauh Wi et al. (2007) mengatakan bahwa iradiasi sinar gamma dapat
meningkatkan aktivitas peroksida, terutama pada sel ujung sel lamela tengah sel
parenkim. Induksi peroksida oleh iradiasi sinar gamma dapat menjadi salah satu
sistem pertahanan melawan signal seluler yang dimediasi oleh radikal bebas ROS.
Buchanan et al. (2000) menjelaskan bahwa peroksida berfungsi
mengkatalisis oksidasi reduksi hidrogen peroksida (H2O2) menjadi air dan
oksigen. Hidrogen peroksida merupakan senyawa radikal, yang akan merusak
membran bila tidak diuraikan menjadi air dan oksigen. Berdasarkan hasil analisis
isozim terlihat bahwa semakin tinggi dosis iradiasi maka akan semakin tinggi pula
aktifitas enzim peroksidanya, hal ini berarti bahwa memang tanaman memiliki
sistem perlindungan enzimatik terhadap kerusakan oksidasi yang disebabkan oleh
hidrogen peroksida.
Keragaman Fenotipik Handeuleum Akibat Dosis Iradiasi Sinar Gamma
Menurut Baihaki (1999) variasi dari suatu populasi dapat dilihat dari nilai
rata-rata, standar deviasi, dan ragam. Sinar gamma merupakan mutagen fisika
yang dapat meningkatkan keragaman dari populasi awal. Menurut Anderson dan
Brancot (1952) dalam Darajat (1987), keragaman fenotipik dapat dianalisis
dengan membandingkan ragam dari suatu variabel dengan standar deviasi
Peubah tinggi tanaman, jumlah daun, panjang daun, lebar daun, indeks
relatif warna hijau daun, jumlah stomata, kerapatan stomata, tebal daun, panjang
palisade, dan tebal bunga karang pada Tabel 8 menunjukkan keragaman fenotipik
yang lebih besar daripada dua kali standar deviasi untuk dosis iradiasi, sehingga
dikatakan memiliki keragaman fenotipik yang luas. Kecuali peubah indeks
stomata memiliki keragaman fenotipik yang sempit.
Peubah tinggi tanaman, jumlah daun, panjang daun, lebar daun, pada
perlakuan kontrolnya (0 Gy) juga memiliki keragaman fenotipik yang luas
(nilainya paling besar di antara perlakuan lain). Hal ini dikarenakan kondisi stek
pucuk handeuleum waktu awal tidak seragam, sehingga tingkat pembelahan dari
sel handeuleum tersebut juga berbeda.
59
Tabel 8 Keragaman fenotipik handeuleum aksesi Bogor akibat dosis iradiasi sinar
gamma pada 10 MST
Dosis
Iradiasi (Gy)
0
15
30
45
60
75
90
105
σ2f
2*(Sd σ2f)
7062.042
6307.872
4173.708
238.005
268.488
266.125
337.335
201.771
168.072
158.844
129.208
30.855
32.771
32.627
36.733
28.409
Kriteria
Keragaman
Luas
Luas
Luas
Luas
Luas
Luas
Luas
Luas
Jumlah Daun
(helai)
0
15
30
45
60
75
90
105
11134.501
7597.333
4955.000
1498.694
40.556
19.977
13.004
11.491
211.040
174.325
140.784
77.426
12.737
8.939
7.212
6.780
Luas
Luas
Luas
Luas
Luas
Luas
Luas
Luas
Panjang Daun
(cm)
0
15
30
45
60
75
90
105
413.715
161.887
183.510
131.974
156.275
146.039
155.367
136.689
40.680
25.447
27.093
22.976
25.002
24.169
24.929
23.383
Luas
Luas
Luas
Luas
Luas
Luas
Luas
Luas
Lebar Daun
(cm)
0
15
30
45
60
75
90
105
88.292
42.662
44.279
31.971
36.875
37.921
39.473
36.470
18.793
13.063
13.308
11.309
12.145
12.316
12.566
12.078
Luas
Luas
Luas
Luas
Luas
Luas
Luas
Luas
Indeks
Warna
Hijau Relatif
Daun
0
15
30
45
60
75
90
105
2895.753
2887.425
2817.405
3656.103
1136.650
949.584
997.517
968.438
107.624
107.470
106.158
120.931
67.428
61.631
63.167
62.239
Luas
Luas
Luas
Luas
Luas
Luas
Luas
Luas
Jumlah Stomata
(buah)
0
15
30
45
60
75
90
105
9435.529
10911.079
12230.554
11389.861
12595.923
7994.000
4342.000
9146.966
194.273
208.912
221.184
213.447
224.463
178.818
131.788
191.280
Luas
Luas
Luas
Luas
Luas
Luas
Luas
Luas
Peubah
Tinggi Tanaman
(cm)
60
Tabel 8 Keragaman fenotipik handeuleum akibat dosis iradiasi sinar gamma
pada 10 MST (Lanjutan)
Indeks Stomata
0
15
30
45
60
75
90
105
0.082
0.090
0.080
0.098
0.053
0.084
0.052
0.081
0.572
0.599
0.565
0.625
0.462
0.580
0.455
0.569
Sempit
Sempit
Sempit
Sempit
Sempit
Sempit
Sempit
Sempit
Kerapatan
Stomata
0
15
30
45
60
75
90
105
244989.188
318324.248
317560.747
319532.667
327047.383
207560.550
112738.042
237496.786
989.928
1128.405
1127.051
1130.544
1143.761
911.176
671.530
974.673
Luas
Luas
Luas
Luas
Luas
Luas
Luas
Luas
Tebal Daun
(μm)
0
15
30
45
60
75
90
105
51559090151.572
39711758752.352
55068319502.024
56539618385.445
57136797005.400
94200238370.160
93686861571.985
98542914013.515
454132.536
398611.383
469332.801
475561.220
478066.092
613841.147
612166.192
627830.914
Luas
Luas
Luas
Luas
Luas
Luas
Luas
Luas
Panjang
Palisade (nm)
0
15
30
45
60
75
90
105
1657799783.183
1449050726.567
1663944230.076
3077060651.588
6593269334.693
8524296094.366
5957569206.703
6830759431.330
81432.175
76132.798
81582.945
110942.519
162397.898
184654.229
154370.581
165296.817
Luas
Luas
Luas
Luas
Luas
Luas
Luas
Luas
Tebal Bunga
Karang (nm)
0
15
30
45
60
75
90
105
262898623.159
840263855.952
1037132731.826
1326342516.371
1402308388.538
2026089332.138
3936173071.835
1417013844.752
32428.298
57974.610
64409.090
72837.971
74894.817
110201.440
125477.856
75286.489
Luas
Luas
Luas
Luas
Luas
Luas
Luas
Luas
Iradiasi sinar gamma menghasilkan nilai keragaman fenotipik pada peubah
indeks relatif warna hijau daun, dimana perlakuan dosis 45 Gy menghasilkan
keragaman yang paling besar. Peubah jumlah stomata dan kerapatan stomata
memiliki keragaman fenotipik paling tinggi pada perlakuan dosis 60 Gy. Peubah
61
tebal daun, panjang palisade, dan tebal bunga karang, memiliki keragaman paling
tinggi pada perlakuan 105, 75 dan 90 Gy berturut-turut.
(a)
(b)
(d)
(f)
(e)
(h)
(i)
(k)
(c)
(g)
(j)
(m)
Gambar 20 Keragaan variasi morfologi handeuluem aksesi Bogor pada berbagai
perlakuan iradiasi sinar gamma: 15 Gy (a), 30 Gy (b), 45 Gy (c); Keragaan
tunas pada dosis 0(l)
Gy (d), 45 Gy (e), 60 Gy (f); 75 Gy (g); Keragaan warna
daun yang umumnya muncul pada penelitian ini: ungu (skoring 5) (h),
ungu kehijauan (skoring 3) (i), hijau (skoring 1) (j); Keragaan warna
batang yang umumnya muncul pada penelitian ini: ungu (skoring 5) (k),
ungu kehijauan (skoring 3) (l), hijau (skoring 1) (m).
62
Perubahan bentuk daun, bentuk tunas, warna daun, dan warna batang,
akibat iradiasi sinar gamma dapat terlihat pada Gambar 16. Terlihat bahwa
Penyimpangan morfologi yang terjadi tidak mewakili satu perlakuan tertentu,
hanya terdapat beberapa tanaman dalam satu perlakuan yang mengalami
perubahan. Hal ini dikarenakan sinar gamma bersifat individual.
Hasil pada Tabel 9 menunjukkan bahwa pada penelitian ini iradiasi sinar
gamma mengakibatkan perubahan pada morfologi tunas, tekstur daun, warna daun
dan batang. Perubahan yang terjadi terjadi secara individual pada tiap dosis
perlakuan, variasi morfologi mutan putatif yang terbentuk paling banyak terdapat
pada dosis 45 Gy, terdapat 9 (sembilan) variasi mutan dengan 10 mutan putatif
yang terbentuk. Diikuti oleh perlakuan dosis 30 Gy, dengan 8 (delapan) variasi
mutan dan 8 (delapan) mutan putatif, dan. Variasi morfologi pada dosis tersebut
cukup banyak bila dibandingkan dengan perlakuan iradiasi dosis 15 Gy (dua
variasi dengan tiga mutan putatif), 60 Gy (tiga variasi dengan delapan mutan
putatif ), 75 Gy (satu variasi dan 10 mutan putatif), 90 Gy (satu variasi dengan 10
mutan putatif), dan 105 Gy (tiga variasi dengan 10 mutan putatif).
Tabel 9 Keragaman mutan putatif handeuleum hasil perlakuan dengan iradiasi
sinar gamma pada 3 BST
No.
Asal-usul tanaman
1.
Tanaman kontrol
2.
Diiradiasi dosis 15 Gy (15.2, 15.6)
3.
4.
5.
Diiradiasi dosis 15 Gy (15.8)
Diiradiasi dosis 30 Gy (30.1)
Diiradiasi dosis 30 Gy (30.6)
6.
Diiradiasi dosis 30 Gy (30.7)
7.
Diiradiasi dosis 30 Gy (30.9)
8.
Diiradiasi dosis 30 Gy (30.10)
9.
Diiradiasi dosis 30 Gy (30.11.1)
10.
Diiradiasi dosis 30 Gy (30.11)
Ciri khusus
Tunas normal, daun panjang dan lebar, warna
daun ungu, tekstur daun lembut terkulai, warna
batang ungu,
Tunas berbentuk lancip, terdapat daun ketiak
yang abnormal.
Daun kedua dari atas asimetris.
Tunas daun berbentuk lancip, tidak simetris.
Tunas ketiak abnormal (warna ungu tua bercak
hijau, bentuk membulat, tidak asimetris, buku
batang pendek)
Tunas daun asimetris, bertumpuk, buku batang
pendek, warna daun ketiak ungu belang hijau.
Daun pada buku ke-2 dan ke-3 berbentuk lancip
dan berwarna ungu bercak hijau.
Daun tunas asimetris, buku ke-1 dan ke-2 dari
atas pendek dengan daun yang asimetris.
Tunas daun abnormal (terbentuk cabang, bentuk
daun asimetris, buku pendek, warna daun ungu
bercak hijau), warna daun hijau bentuknya lancip.
Tunas abnormal (bentuk daun tidak asimetris,
ruas batang pendek), terbentuk daun ketiak yang
abnormal, daun baru lebih lancip dgn pinggiran
bergerigi. Warna daun ungu berbercak hijau.
63
Tabel 9 Keragaman regeneran mutan putatif handeuleum hasil
dengan iradiasi sinar gamma pada 3 BST (Lanjutan)
11.
Tunas abnormal (bentuk daun tidak simetris, buku
batang pendek, warna ungu agak hijau).
12.
Diiradiasi dosis 45 Gy (45.1)
Daun ketiak berbentuk abnormal.
13.
Diiradiasi dosis 45 Gy (45.3)
Tunas baru berbentuk lacip.
14.
Diiradiasi dosis 45 Gy (45.4)
Buku batang di bagian tengah ada yang jaraknya
pendek dengan bentuk daun asimetris, warna
daun ungu kehijauan.
15.
Diiradiasi dosis 45 Gy (45.6)
Daun pada buku ke-3 dari atas keriting.
16.
Diiradiasi dosis 45 Gy (45.7, 45.8)
Tunas abnormal (pertumbuhan terhambat, helai
daun pucuk sudah terbuka), warna daun hijau
keunguan, tekstur daun kaku.
17.
Diiradiasi dosis 45 Gy (45.9)
Tunas abnormal (berbentuk bulat, sudah terbuka),
daun berwarna hijau keunguan, tekstur kaku.
18.
Diiradiasi dosis 45 Gy (45.10)
Tunas abnormal (bentuk asimetris, bertumpuk
tidak beraturan dengan jumlah daun yg banyak,
buku sangat pendek).
19.
Diiradiasi dosis 45 Gy (45.11)
Tunas abnormal (bentuk daun asimetris, buku
batang pendek), warna daun ungu bercak hijau,
tekstur daun kaku.
20.
Diiradiasi dosis 45 Gy (45.12)
Buku batang pendek, warna daun hijau.
21.
Diiradiasi dosis 60 Gy (60.2)
Tunas abnormal (terdapat 3 daun tunas,
pertumbuhan terhambat, buku tunas pendek),
warna daun ungu kehijauan, tekstur daun kaku,
warna ruas batang
ungu, warna buku batang hijau.
22.
Diiradiasi dosis 60 Gy (60.1, 60.3, Tunas abnormal (sudah terbuka, pertumbuhan
60.4, 60.6, 60.8, 60.11)
terhambat), warna daun ungu kehijauan, tekstur
daun kaku, warna ruas batang ungu, warna buku
batang hijau.
23.
Diiradiasi dosis 60 Gy (60.7)
Tunas abnormal (bentuk daun asimetris dengan
sisi bergerigi, warna hijau tua berbercak ungu),
warna daun ungu kehijauan, tekstur daun kaku,
warna ruas batang ungu, warna buku batang hijau.
24.
Diiradiasi dosis 75 Gy (75.1, 75.2, Tunas abnormal (pertumbuhan terhambat), warna
75.3, 75.4, 75.5, 75.6, 75.7, 75.8, daun ungu kehijauan, tekstur daun kaku, warna
75.9, 75.10).
ruas batang ungu, warna buku batang hijau.
25.
Diiradiasi dosis 90 Gy (90.1, 90.2, Tunas abnormal (pertumbuhan terhambat), warna
90.3, 90.4, 90.6, 90.7, 90.8, 90.9, daun ungu kehijaun,tekstur daun kaku, warna ruas
90.10, 90.11).
batang ungu, warna buku batang hijau.
26.
Diiradiasi dosis 105 Gy (105.4, Tidak terbentuk tunas baru, warna daun hijau,
105.5).
tekstur daun kaku, warna ruas batang ungu
kehijauan, warna buku batang hijau.
27.
Diiradiasi dosis 105 Gy (105.10)
Tunas abnormal (pertumbuhan terhambat, helai
daun pucuk sudah terbuka) warna daun hijau
keunguan, tekstur daun kaku, warna ruas batang
ungu, warna buku batang hijau.
28.
Diiradiasi dosis 105 Gy (105.1, Tunas pertumbuhannya terhambat, warna daun
105.2, 105.3, 105.6, 105.7, 105.8, hijau, tekstur kaku, warna ruas batang ungu,
105.9, 105.11).
warna buku batang hijau.
Keterangan: angka dalam kurung merupakan perlakuan dosis iradiasi dan ulangan
Diiradiasi dosis 30 Gy (30.12)
perlakuan
64
Meskipun semua populasi tanaman pada dosis 60 Gy, 75 Gy, 90 Gy, dan
105 Gy semuanya mengalami perubahan yaitu pertumbuhan yang terhambat, akan
tetapi hanya dihasilkan satu perubahan bentuk tanaman.
Penelitian yang dilakukan oleh Wongpiyasatid et al. (2007) pada tanaman
saintpaulia menyebutkan bahwa iradiasi menyebabkan perubahan pada karakter
warna daun, bentuk daun, warna bunga, dan lebar kanopi pada tanaman. Hasil
yang sama diperoleh pada kalus nenas in vitro yang diberi perlakuan sinar gamma
dimana populasi tanaman yang diberi perlakuan sinar gamma dosis 15 Gy, 25 Gy,
dan
35 Gy mengalami perubahan morfologi tunas dan daun (Suminar 2010).
Iradiasi sinar gamma juga dapat berpengaruh terhadap pembentukan tunas
adventif, perubahan morfologi, serta meningkatkan keragaman fenotipik pada
planlet manggis (Qosim et al. 2007).
Tingkat kerusakan yang diakibatkan oleh iradiasi tergantung pada spesies,
morfologi, dan fisiologi tanaman, ukuran,dan komposisi genom. Tanaman
berkayu dikenal lebih sedikit mengalami kerusakan akibat iradiasi bila
dibandingkan dengan tanaman herba (Kovalchuk et al. 2007). Keragaman
populasi tanaman dapat ditingkatkan dengan induksi mutasi dengan iradiasi sinar
gamma, seperti yang dilakukan oleh Badignnavar dan Murty (2007) pada tanaman
kacang tanah. Menurut Sleeper dan Poehlman (2006) mutasi adalah perubahan
genetik pada tingkat DNA (gen), kromosom, dan genom. Hal ini lah yang dapat
menyebabkan terjadinya keragaman genetik, karena sinar gamma dapat merubah
susunan DNA.
Simpulan
1.
Iradiasi sinar gamma mempengaruhi semua peubah pertumbuhan, morfologi,
dan anatomi daun hendeuleum, serta mempengaruhi kandungan fitokimia,
karakter isozim, serta keragaman pada beberapa perlakuan dosis iradiasi sinar
gamma.
2.
Iradiasi sinar gamma menghasilkan nilai GR50 pada peubah tinggi tanaman
(42 Gy), jumlah daun (33 Gy), panjang daun (113 Gy), dan lebar daun
(122 Gy).
65
3.
Iradiasi sinar gamma dosis 0 Gy, 15 Gy, 30 Gy, dan 45 Gy menghasilkan
klorofil total, antosianin, dan karotenoid yang lebih besar. dibandingkan
dengan perlakuan lain.
4.
Terdapat korelasi yang erat antara jumlah daun dengan tinggi tanaman
panjang daun, lebar daun, dan antosianin berturut-turut sebesar 98%, 76%,
99% dan 79%; antosianin dengan indeks warna hijau relatif daun dan klorofil
total berturut-turut sebesar 92% dan 98%; karotenoid dengan klorofil total
(99%); palisade dengan bunga karang (81%).
5.
Terdapat perbedaan pola pita enzim PER, EST, dan ACP yang menunjukkan
bahwa ketiga enzim tersebut mampu mendeteksi adanya perubahan genetik
pada handeuleum yang diiradiasi. Namun demikian, pada enzim ADH dan
MDH tidak menunjukkan adanya perbedaan pola pita.
6.
Keragaman fenotipik pada semua peubah pertumbuhan, morfologi dan
anatomi daun handeuleum adalah luas, kecuali pada peubah indeks stomata
dimana keragaman fenotipiknya sempit.
7.
Iradiasi sinar gamma dosis 45 Gy menghasilkan variasi morfologi dan jumlah
mutan putatif yang paling banyak, masing-masing sebesar 9 (sembilan)
variasi dan 10 mutan putatif .
Saran
1.
Dilakukan analisis kromosom dan analisis seluler pada kloroplas untuk
melihat keragaman akibat iradiasi terhadap kromosom dan kloroplas.
2.
Dilakukan penelitian lanjutan pada beberapa generasi untuk mempelajari
stabilitas mutan handeuleum.
67
INDUKSI KERAGAMAN PADA KULTUR KALUS
HANDEULEUM (Graptophyllum pictum L. Griff) AKSESI
KALIMANTAN DAN PAPUA MELALUI
IRADIASI SINAR GAMMA
Abstrak
Percobaan ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh konsentrasi 2.4-D dan
NAA terhadap induksi kalus handeuleum, mengetahui pengaruh vitamin media
dasar MS dan B5 terhadap proliferasi kalus handeuleum, serta mengetahui
pengaruh dosis iradiasi sinar gamma terhadap keragaman kultur kalus pada dua
aksesi handeuleum. Eksplan berupa daun muda yang ditanam pada media induksi
kalus yang mengandung 2.4-D (5 µM, 10 µM, 15 µM, 25 µM, 35 µM, 45 µM,
dan 55 µM), yang dikombinasikan dengan NAA (10 µM dan 15 µM). Selanjutnya
proliferasi kalus dilakukan pada media yang mengandung vitamin media dasar
MS dan B5 yang dikombinasikan dengan 2.4-D (2.5 µM dan 5 µM) dan NAA
(5 µM dan 10 µM). Kalus hasil proliferasi kemudian diiradiasi dengan sinar
gamma (0 Gy, 15 Gy, 25 Gy, 35 Gy), lalu ditanam pada media regenerasi yang
mengandung BAP (4.44 µM dan 8.88 µM) dan TDZ (4.44 µM dan 8.88 µM).
Hasil percobaan menunjukkan bahwa kombinasi media induksi 10 μM 2.4-D +
15 μM NAA menghasilkan eksplan berkalus paling banyak. Kombinasi media
induksi 5 μM 2.4-D + 10 μM NAA menghasilkan persentase eksplan berkalus
paling besar. Kombinasi media induksi 5 μM 2.4-D + 15 μM NAA menghasilkan
bobot kalus paling besar. Kombinasi media dalam konsentrasi NAA 15 μM pada
semua konsentrasi 2.4-D menghasilkan persentase kalus warna putih yang lebih
besar dibandingkan dengan kombinasi media NAA 10 μM pada semua
konsentrasi 2.4 D. Interaksi kombinasi media proliferasi 2.5 μM 2.4-D + 5 μM
NAA + vit media dasar MS dengan handeuleum aksesi Papua menghasilkan bobot
kalus proliferasi paling tinggi. Interaksi antara aksesi Papua, iradiasi sinar gamma
dosis 15 Gy, dan media regenerasi 4.44 μM BAP, menghasilkan bobot kalus
subkultur ke-1 dan subkultur ke-2 hasil iradiasi paling besar. Dosis iradiasi 25 Gy
pada aksesi Kalimantan menghasilkan laju pertumbuhan relatif kalus hasil iradiasi
paling tinggi. Dosis iradiasi 25 Gy menghasilkan kalus warna putih kecoklatan
sedangkan perlakuan lain tidak. Iradiasi sinar gamma dosis 25 Gy menghasilkan
nilai ragam paling besar pada laju pertumbuhan relatif kalus hasil iradiasi.
Kata kunci: daun ungu, aksesi, 2.4-D, NAA, vitamin media dasar MS dan B5,
dosis iradiasi, ragam.
Abstract
The aims of this research were to know the influence of 2.4-D and NAA
on handeuleum callus induction, to study effect of basal media vitamins MS and
B5 to handeuleum callus proliferation and to study handeuleum variability as
result of gamma rays irradiation on its calluses. Young leaves explants were
68
grown in media containing MS and B5 vitamins, and combined with 2.4-D (2.5
µM and 5 µM) or NAA (5 µM and 10 µM). Callus resulted from proliferation
stage were irradiated with gamma rays (0, Gy, 15 Gy, 25 Gy, and 35 Gy), then
grown on regeneration medium containing BAP (4.44 µM and 8.88 µM) or TDZ
(4.44 µM and 8.88 µM). The result showed that the 10 µM 2.4-D + 15 µM NAA
supplemented media produced the highest number of callus. The medium contain
5 µM 2.4-D + 10 µM NAA produced the greatest percentage of explants
producing callus, whereas 5 µM 2.4-D + 15 µM NAA produced the greatest callus
weight. The combination of medium supplemented with 15 µM NAA in all
concentration of 2.4-D produced greater percentage of white callus than those on
10 µM NAA. Interaction of proliferation medium supplemented with 2.5 µM 2.4D + 5 µM NAA + basal medium vitamin MS on Papua accession produced the
highest weight of callus proliferation. The interaction between papua accession,
gamma rays 15 Gy, and the regeneration media contain 4.44 µM BAP produced
the greatest weight callus on the first and the second subculture. Irradiation 15 Gy
in Kalimantan accession produced the highest relative growth rate of irradiated
callus. Irradiation dose 25 Gy produced brownish callus whereas other treatment
did not. The 25 Gy gamma iradiation produced the greatest variance of the
relative growth rate of irradiated callus
Key word: handeuleum, accession, 2.4-D, NAA, MS and B5 vitamin basal
medium, irradiation dose, variability.
Pendahuluan
Keragaman pada tanaman dapat diciptakan dengan metode induksi mutasi.
Metode mutasi memiliki keuntungan dapat merubah satu karakter tanpa merubah
seluruh susunan gen secara signifikan, selain itu kombinasi metode mutasi dengan
pembiakan secara vegetatif dapat menurunkan resiko kehilangan karakter mutan
akibat segregasi (van Harten 2002). Menurut Maluszynski et al. (2000),
kombinasi teknik kultur in vitro dengan induksi mutasi iradiasi dapat
memperbaiki kultivar dari tanaman yang diperbanyak secara vegetatif.
Maluszinski et al. (1995) mengemukakan bahwa kultur in vitro yang diberi
perlakuan dengan teknik induksi mutasi akan mempercepat program pemuliaan
tanaman mulai dari pembentukan keragaman genetik, proses seleksi, dan
multiplikasi genotipe yang diharapkan.
69
Iradiasi sinar gamma pada kultur jaringan sering digunakan sebagai
mutagen fisik dalam meningkatkan keragaman genetik tanaman karena penetrasi
serta frekuensi mutasi yang tinggi (Broertjes & van Harten 1998). Menurut Jain
(2005) terdapat lebih dari 2300 varietas mutan hasil iradiasi sinar gamma telah
dirilis. Micke et al. (1987) melaporkan bahwa sinar gamma efektif dalam
menghasilkan mutan yang diinginkan, hal ini dilihat dari total 698 kultivar mutan
berbagai macam tanaman yang telah dirilis, sebanyak 395 kultivar (56%) di
antaranya adalah hasil dari perlakuan mutasi dengan sinar gamma.
Iradiasi sinar gamma dilakukan pada kultur kalus karena sel-selnya
bersifat meristemastik sehingga lebih responsif terhadap radioaktif dibandingkan
dengan sel-sel dewasa. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Mariska et al. (1996)
pada kalus yang telah disubkultur lama dapat meningkatkan keragaman genetik,
dan mendapatkan somaklon yang kadar minyaknya lebih tinggi dari tanaman
induknya. Muthusamy et al. (2007) menemukan bahwa perlakuan iradiasi sinar
gamma (10 – 30 Gy) pada kultur kalus kacang tanah dapat mengakibatkan
perubahan secara morfologi (tinggi tanaman, hari berbunga, jumlah cabang, dan
jumlah polong matang) dan dapat meningkatkan hasil bila dibandingkan dengan
kontrol. Penelitian yang dilakukan oleh Witjaksono dan Litz (2004) menyebutkan
bahwa iradiasi sinar gamma dapat menyebabkan perubahan jumlah embrio
somatik yang dihasilkan pada fase-fase pembentukannya.
Sejauh ini belum ada informasi dan hasil penelitian mengenai kultur in
vitro dan iradiasi sinar gamma terhadap keragaman handeuleum. Oleh karena itu
diharapkan dengan teknik in vitro dan iradiasi akan dihasilkan mutan baru sebagai
sumber keragaman tanaman handeuleum.
Tujuan
Mengetahui pengaruh konsentrasi 2.4-D dan NAA terhadap induksi kalus
handeuleum aksesi Kalimantan dan Papua. Mengetahui pengaruh vitamin media
dasar MS dan B5 terhadap proliferasi kalus handeuleum aksesi Kalimantan dan
Papua. Mengetahui pengaruh dosis iradiasi sinar gamma terhadap keragaman
kultur kalus handeuleum aksesi Kalimantan dan Papua.
70
Hipotesis
Terdapat pengaruh konsentrasi 2.4-D dan NAA terhadap induksi kalus
pada handeuleum aksesi Kalimantan dan Papua. Terdapat pengaruh vitamin media
dasar MS dan B5 terhadap proliferasi kalus handeuleum aksesi Kalimantan dan
Papua. Terdapat pengaruh dosis iradiasi sinar gamma terhadap keragaman kultur
kalus handeuleum aksesi Kalimantan dan Papua.
Metodologi Penelitian
Waktu dan Tempat
Percobaan dilakukan pada bulan Oktober 2008 hingga Agustus 2010.
Percobaan
dilaksanakan
di
Laboratorium
Bioteknologi
Tanaman
dan
Laboratorium Umum Departemen Agronomi dan Hortikultura, IPB. Aplikasi
iradiasi dilakukan di Pusat Aplikasi Teknologi Isotop dan Radiasi (PATIR)
BATAN Pasar Jumat Jakarta.
Induksi Kalus
Percobaan menggunakan eksplan daun asenik, ditata dalam Rancangan
Acak Lengkap (RAL) faktorial dengan 2 (dua) faktor. Faktor pertama adalah
aksesi handeuleum yang terdiri dari 2 (dua) taraf aksesi yaitu Kalimantan dan
Papua. Faktor kedua adalah kombinasi konsentrasi ZPT 2.4-D dan NAA yang
terdiri dari 15 taraf kombinasi yaitu: I0 (0 µM 2.4-D + 0 µM NAA), I1 (5 µM
2.4-D + 10 µM NAA), I2 (10 µM 2.4-D + 10 µM NAA), I3 (15 µM 2.4-D +
10 µM NAA), I4 (25 µM 2.4-D + 10 µM NAA), I5 (35 µM 2.4-D + 10 µM
NAA), I6 (45 µM 2.4-D + 10 µM NAA), I7 (55 µM 2.4-D + 10 µM NAA),
I8 (5 µM 2.4-D + 15 µM NAA), I9 (10 µM 2.4-D + 15 µM NAA), I10 (15 µM
2.4-D + 15 µM NAA), I11 (25 µM 2.4-D + 15 µM NAA), I12 (35 µM 2.4-D +
15 µM NAA), I13 (45 µM 2.4-D + 15 µM NAA), I14 (55 µM 2.4-D + 15 µM
NAA). Total kombinasi perlakuan adalah sebanyak 30. Setiap satuan percobaan
diulang 10 kali dengan 2 (dua) eksplan per botol kultur. Semua media
ditambahkan 0.5 µM BAP, 250 ppm kasein hidrolisat, dan 25 ppm arang aktif.
71
Model linier RAL adalah sebagai berikut:
Yijk = µ + αi + βj + (αβ)ij + εijk
Keterangan:
Yijk :
Nilai pengamatan perlakuan aksesi ke-i, komposisi media ke-j, dan
ulangan ke-k.
µ
:
Rataan umum.
αi
:
Pengaruh perlakuan aksesi ke-i.
βj
:
Pengaruh perlakuan komposisi media ke-j.
(αβ)ij :
Komponen interaksi antara perlakuan aksesi ke-i dan
komposisi media ke-j.
εijk
:
Pengaruh galat percobaan perlakuan aksesi ke-i dan komposisi media
ke-j pada ulangan ke-k.
i : 1, 2.
j : 1, 2, 3...15.
k : 1, 2, 3...10.
Pengamatan tahap induksi kalus dilakukan terhadap peubah:
1.
Waktu inisiasi kalus, diamati mulai dari waktu pertama kali kalus muncul
sampai saat subkultur satu.
2.
Jumlah eksplan berkalus, dihitung dari banyaknya eksplan yang membentuk
kalus pada tiap-tiap perlakuan.
3.
Persentase jumlah eksplan berkalus, dihitung dari banyaknya eksplan yang
membentuk kalus dibandingkan dengan total eksplan yang ditanam.
Σ eksplan yang berkalus
Σ eksplan seluruhnya
4.
X 100%
Bobot kalus induksi, dihitung pada saat subkultur.
Proliferasi Kalus Hasil Induksi
Eksplan yang digunakan adalah eksplan kalus hasil percobaan induksi
kalus yang sebelumnya telah dikulturkan pada media WPM 0 selama 1 (satu)
minggu
untuk
menghilangkan
pengaruh
media
sebelumnya.
Percobaan
72
menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial dengan 2 (dua) faktor.
Faktor pertama adalah aksesi handeuleum yang terdiri atas 2 (dua) taraf yaitu
aksesi Kalimantan dan aksesi Papua. Faktor kedua adalah media proliferasi yang
terdiri atas 4 (empat) taraf, yaitu P1 (2.5 µM 2.4-D + 5 µM NAA + vitamin media
dasar B5), P2 (5 µM 2.4-D + 10 µM NAA + vitamin media dasar B5), P3 (2.5 µM
2.4-D + 5 µM NAA + vitamin media dasar MS), P4 (5 µM 2.4-D + 10 µM NAA
+ vitamin media dasar MS), sehingga didapat 8 (delapan) kombinasi perlakuan.
Setiap satuan percobaan diulang 10 kali dengan 2 (dua) eksplan per botol kultur.
Semua media ditambahkan 250 ppm kasein hidrolisat, dan 25 ppm arang aktif.
Model linier RAL adalah sebagai berikut:
Yijk = µ + αi + βj + (αβ)ij + εijk
Keterangan:
Yijk
: Nilai pengamatan perlakuan aksesi ke-i, perlakuan komposisi media
proliferasi ke-j, dan ulangan ke-k.
µ
: Rataan umum.
αi
: Pengaruh perlakuan aksesi ke-i.
βj
: Pengaruh perlakuan komposisi media proliferasi ke-j.
(αβ)ij : Komponen interaksi antara perlakuan aksesi ke-i dan
perlakuan komposisi media proliferasi ke-j.
εijk
: Pengaruh galat percobaan perlakuan aksesi ke-i dan komposisi media
proliferasi ke-j pada ulangan ke-k.
i : 1, 2.
j : 1, 2, ... 4.
k : 1, 2, 3...10.
Pengamatan peubah bobot kalus proliferasi dilakukan pada saat subkultur.
Iradiasi Sinar Gamma pada Kultur Kalus
Percobaan menggunakan eksplan kalus yang didapatkan dari percobaan
proliferasi kalus, yang sebelumnya dikulturkan terlebih dahulu pada media
WPM 0 selama 1 (satu) minggu untuk menghilangkan pengaruh media
73
sebelumnya. Percobaan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial
dengan 3 (tiga) faktor. Faktor pertama adalah aksesi handeuleum yang terdiri dari
2 (dua) taraf, yaitu aksesi Kalimantan dan aksesi Papua. Faktor kedua adalah
media regenerasi yang terdiri dari 4 (empat) taraf, yaitu R1 (4.44 µM BAP), R2
(8.88 µM BAP), R3 (4.44 TDZ), R4 (8.88 µM TDZ). Faktor ketiga adalah dosis
iradiasi sinar gamma yang terdiri dari 4 (empat) taraf, yaitu 0 Gy (kontrol), 15 Gy,
25 Gy, dan 35 Gy. Didapat 32 kombinasi perlakuan, dimana setiap satuan
percobaan diulang 10 kali dengan 2 (dua) eksplan per botol kultur.
Model linier RAL yang digunakan untuk percobaan ini adalah:
Yijkl = µ + αi + βj + (αβ)ij + γk + (αγ)ik + (βγ)jk + (αβγ)ijk + εijkl
Keterangan:
Yijkl
: Nilai pengamatan perlakuan aksesi ke-i, media regenerasi ke-j, dosis
iradiasi ke-k, dan ulangan ke-l.
µ
:
αi
: Pengaruh perlakuan aksesi ke-i.
βj
: Pengaruh perlakuan media regenerasi ke-j.
γk
: Pengaruh perlakuan dosis iradiasi ke-k.
Rataan umum.
(αβ)ij : Komponen interaksi antara perlakuan aksesi ke-i dan media
regenerasi ke-j.
(αγ)ik :
Komponen interaksi
iradiasi ke-k.
antara
perlakuan
aksesi
ke-i
dan
dosis
(βγ)jk :
Komponen interaksi
iradiasi ke-k.
antara
perlakuan
media
ke-j
dan
dosis
(αβγ)ijk : Komponen interaksi antara perlakuan aksesi ke-i, media regenerasi ke-j
dan dosis iradiasi ke-k.
εijkl
:
Pengaruh galat percobaan perlakuan aksesi ke-i, media regenerasi ke-j,
dan dosis iradiasi ke-k pada ulangan ke-l.
i : 1, 2.
j : 1, 2, ...4.
k : 1, 2, ...4.
l : 1, 2, 3,..10.
74
Pengamatan sesudah kalus diiradiasi terdiri atas:
1. Bobot kalus, dihitung saat subkultur.
2. Laju pertumbuhan relatif = (Bobot kalus subkultur 2 – bobot kalus subkultur 1)
/ bobot kalus subkultur 1. Perhitungan ini berdasarkan Witjaksono dan Litz
(2004), Patade et al. (2008).
Persiapan Bahan Tanam
Eksplan handeuleum berasal dari aksesi Kalimantan dan Papua yang
memiliki kandungan fitokimia yang tinggi (Khumaida et al. 2008). Tanaman
ditanam pada polibag yang diisi media dengan perbandingan tanah : kompos =
1 : 2, setelah itu diberi pupuk dengan kandungan pupuk NPK seimbang
dosis 4 g / polibag. Tanaman dipelihara dengan diberi pupuk daun setiap satu
minggu sekali, dibersihkan dari gulma, dan disemprot pestisida untuk
mengendalikan hama dan penyakit.
Persiapan Media
Media dasar yang digunakan pada tahap induksi kalus dan tahap iradiasi
dengan sinar gamma
terdiri atas hara makro dan mikro media WPM
(Lampiran 4), 3% sukrosa, 0.2% gelrite, arang aktif, kasein hidrolisat, dan zat
pengatur tumbuh (2.4-D, NAA, BAP, dan TDZ) sesuai dengan perlakuan. Media
dasar yang digunakan pada tahap proliferasi sama dengan di atas, tapi vitaminnya
memakai vitamin media dasar MS dan B5.
Persiapan dan Sterilisasi Eksplan
Eksplan yang digunakan untuk percobaan ini adalah eksplan daun asenik
yang berasal dari daun muda yang sudah membuka dengan sempurna. Daun
disterilisasi dengan cara dicuci dengan deterjen lalu dibilas di bawah air mengalir
selama satu jam, setelah itu direndam kedalam larutan fungisida-bakterisida
(masing-masing 2 g / l ) selama kurang lebih 10 jam. Daun dibersihkan dengan air
steril di dalam laminar. Daun yang telah bersih dicelup pada alkohol 70% selama
10 detik, lalu dibilas dengan air steril. Setelah itu daun direndam dalam larutan
75
kloroks 2.5% selama 10 menit, lalu dibilas dengan air steril. Daun dipotong
1 x 1 cm dan direndam selama 10 menit pada larutan betadine encer. Potongan
daun asenik kemudian dikeringkan di atas kertas tisu steril, setelah kering
potongan daun asenik ditanam pada media pre-kondisi selama satu minggu.
Eskplan yang steril kemudian ditanam pada media perlakuan.
Eksplan kalus yang berasal dari percobaan proliferasi kemudian diiradiasi
dengan sinar gamma pada beberapa taraf dosis perlakuan yang telah ditentukan
sebelumnya. Eksplan lalu ditumbuhkan pada media perlakuan untuk regenerasi.
Analisis Data
Hasil percobaan dianalisis dengan menggunakan uji F. Apabila hasil uji
nyata dilanjutkan dengan uji wilayah berganda Duncan (Duncan’s Multiple Range
Test-DMRT). Sebaran kenormalan data dianalisis dengan sistem Saphiro-Wilk.
Data ditransformasi dengan skala kenormalan √X+0.5 untuk mendekati sebaran
normal. Uji kontras dilakukan pada percobaan proliferasi kalus untuk menentukan
perbandingan-perbandingan dari perlakuan.
Hasil dan Pembahasan
Kondisi Umum
Percobaan ini menggunakan 2 (dua) aksesi handeuleum (Kalimantan dan
Papua) hasil eksplorasi dari penelitian Khumaida et al. (2008) yang memiliki
kandungan fitokimia yang tinggi. Keragaan tanaman yang digunakan sebagai
eksplan dapat dilihat pada gambar 21.
(a)
(b)
Gambar 21 Keragaan handeuleum di lapang (a), dan potongan daun asenik untuk
inisiasi kalus pada media perlakuan (b).
76
Daun yang digunakan sebagai eksplan untuk inisiasi kalus adalah daun
kedua setelah pucuk. Daun muda dipilih sebagai eksplan karena jaringannya
merupakan jaringan yang masih muda dan sel-selnya masih aktif membelah.
Eksplan daun yang responsif terhadap perlakuan media terlihat berwarna hijau
segar dan terlihat mengembang untuk kemudian timbul kalus, sedangkan pada
eksplan yang tidak responsif biasanya tidak terjadi perubahan, kemudian lamalama berubah warna menjadi coklat dan mati. Kalus mulai terbentuk sekitar
minggu ke-2 dan ke-3 setelah tanam pada media perlakuan, kalus tumbuh pada
permukaan daun yang mengalami pelukaan, baik dari tengah permukaan eksplan
asenik atau dari sisi terluar.
Menurut Gunawan (1992) kalus adalah sekumpulan sel amorphous yang
terjadi dari sel-sel jaringan yang membelah diri secara terus-menerus, timbul
karena adanya pelukaan dan kondisi stres. George dan Sherrington (1984)
mengatakan bahwa kalus tersusun atas sel-sel parenkima yang memiliki ikatan
renggang dengan sel-sel lainnya, dan timbul karena adanya rangsangan dari zat
pengatur tumbuh endogen dan eksogen yang mengakibatkan metabolisme menjadi
aktif.
Persentase kontaminasi yang terjadi pada percobaan ini pada fase induksi
kalus adalah sebesar 37.33% untuk aksesi Papua dan 38.67% untuk aksesi
Kalimantan, pada fase proliferasi sebesar 7.69% untuk aksesi Papua dan 7.50%
untuk aksesi Kalimantan, pada fase iradiasi dengan sinar gamma kontaminasi
yang terjadi sebesar 35.90% pada aksesi Papua dan 12.74% pada aksesi
Kalimantan. Kontaminasi disebabkan oleh cendawan dan bakteri endogen, dapat
terjadi saat sterilisasi, subkultur, maupun pada saat penyimpanan di ruang kultur.
Hal ini dikarenakan bahan tanaman yang tidak bersih, kurang sterilnya peralatan
dan ruang tanam yang digunakan.
Waktu Inisiasi Kalus, Jumlah dan Persentase Jumlah Eksplan Berkalus dan
Bobot Kalus
Kalus adalah sekumpulan massa sel tanaman yang tidak terorganisir dan
formasinya dikontrol oleh zat pengatur tumbuh (ZPT) yang ada pada media kultur
(Shah et al. 2003). Konsentrasi spesifik ZPT diperlukan untuk menginduksi kalus,
77
bervariasi dari spesies yang satu dengan spesies yang lain, dan tergantung juga
pada sumber eksplan (Charriere et al. 1999).
Waktu inisiasi kalus berdasarkan hasil penelitian pada Tabel 10 tidak
menunjukkan tidak berbeda nyata, waktu inisiasi eksplan tidak dipengaruhi oleh
perlakuan aksesi dan kombinasi media. Bila dilihat dari hasil rata-rata, kombinasi
media 25 µM 2.4-D + 15 µM NAA (I11) menghasilkan rata-rata waktu inisiasi
kalus tercepat yaitu sebesar 1.81 minggu.
Jumlah eksplan berkalus pada percobaan ini dipengaruhi secara sangat
nyata oleh perlakuan kombinasi media tapi tidak dipengaruhi oleh perlakuan
aksesi dan interaksi antara aksesi-media. Berdasarkan hasil pada Tabel 10 terlihat
bahwa kombinasi media 10 µM 2.4-D + 15 µM NAA (I9) menghasilkan jumlah
eksplan berkalus terbesar yaitu sebesar 1.88 eksplan per botol. Kombinasi media
55 µM 2.4-D + 10 µM NAA (I7) menghasilkan jumlah eksplan berkalus paling
sedikit sebesar 1.20 per botol, hasil ini tidak berbeda nyata dengan perlakuan
kombinasi media 55 µM 2.4-D + 15 µM NAA (I14) yang menghasilkan jumlah
eksplan berkalus sebesar 1.26.
Persentase jumlah eksplan berkalus dipengaruhi secara sangat nyata oleh
perlakuan kombinasi media tapi tidak dipengaruhi oleh perlakuan aksesi dan
interaksi antara aksesi-media. Bila dilihat berdasarkan persentase jumlah eksplan
berkalus, perlakuan 5 µM 2.4-D + 10 µM NAA (I1) menghasilkan persentase
jumlah eksplan terbesar (97.06 %). Hasil ini tidak berbeda nyata dengan perlakuan
kombinasi media 10 µM 2.4-D + 10 µM NAA (I2), 15 µM 2.4-D + 10 µM NAA
(I3), 10 µM 2.4-D + 15 µM NAA (I9), 35 µM 2.4-D + 15 µM NAA (I12), yang
menghasilkan persentase jumlah eksplan berkalus berturut-turut sebesar 88.24%,
91.18%, 97.06%, dan 93.75%.
Berdasarkan hasil penelitian pada Tabel 10 terlihat bahwa bobot kalus
induksi pada percobaan ini dipengaruhi sangat nyata oleh perlakuan media,
sedangkan aksesi dan interaksi antara aksesi-media tidak memberikan respon.
Bobot kalus tertinggi pada Tabel 1 dihasilkan oleh perlakuan kombinasi 5 µM
2.4-D+15 µM NAA (I8) yang menghasilkan bobot 1.02 g.
78
78
Tabel 10
Waktu inisiasi kalus, jumlah eksplan berkalus, persentase jumlah eksplan berkalus, bobot kalus pada tahap induksi kalus
handeuleum aksesi Kalimantan dan Papua
Komposisi Media Induksi
(µM)
Wkt Inisiasi Kalus
(minggu)
Eksplan Berkalus a)
(buah)
Persentase b)
Eksplan Berkalus (%)
Bobot Kalus a)
(g)
5 µM 2.4-D + 10 µM NAA (I1)
2.18 ± 1.19 tn
1.82 ± 0.39 ab
97.06 ± 12.13
a
0.48 ± 0.14 b
10 µM 2.4-D + 10 µM NAA (I2)
2.42 ± 0.86 tn
1.76 ± 0.44 ab
88.24 ± 21.86
a
0.40 ± 0.14 bc
15 µM 2.4-D + 10 µM NAA (I3)
2.44 ± 1.26 tn
1.82 ± 0.53 ab
91.18 ± 26.43
a
0.30 ± 0.11 c
25 µM 2.4-D + 10 µM NAA (I4)
2.40 ± 0.83 tn
1.59 ± 0.71 abc
79.41 ± 35.61
abc
0.17 ± 0.05 d
35 µM 2.4-D + 10 µM NAA (I5)
2.35 ± 0.74 tn
1.59 ± 0.71 abc
82.35 ± 35.09
abc
0.07 ± 0.01 e
45 µM 2.4-D + 10 µM NAA (I6)
2.13 ± 1.25 tn
1.79 ± 0.58 ab
89.29 ± 28.95
ab
0.07 ± 0.02 e
55 µM 2.4-D + 10 µM NAA (I7)
2.00 ± 1.75 tn
1.20 ± 0.86 c
60.00 ± 43.09
bc
0.06 ± 0.02 e
5 µM 2.4-D + 15 µM NAA (I8)
2.31 ± 1.29 tn
1.56 ± 0.70 abc
80.56 ± 34.89
abc
1.02 ± 0.36 a
10 µM 2.4-D + 15 µM NAA (I9)
2.29 ± 0.87 tn
1.88 ± 0.38 a
97.06 ± 12.13 a
0.33 ± 0.10 c
15 µM 2.4-D + 15 µM NAA (I10)
2.94 ± 0.66 tn
1.61 ± 0.70 abc
86.11 ± 33.46 abc
0.30 ± 0.11 c
25 µM 2.4-D + 15 µM NAA (I11)
1.81 ± 1.31 tn
1.57 ± 0.65 abc
78.57 ± 32.31 abc
0.12 ± 0.04 de
35 µM 2.4-D + 15 µM NAA (I12)
2.86 ± 0.99 tn
1.75 ± 0.45 ab
93.75 ± 17.08 a
0.08 ± 0.04 de
45 µM 2.4-D + 15 µM NAA (I13)
2.29 ± 1.29 tn
1.33 ± 0.77 bc
69.44 ± 38.88 abc
0.06 ± 0.01 e
55 µM 2.4-D + 15 µM NAA (I14)
3.00 ± 1.62 tn
1.26 ± 0.93 c
63.16 ± 46.67 c
0.06 ± 0.01 e
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom peubah yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji Duncan 5%; Nilai ± yang disajikan
adalah standar deviasi; a) Data merupakan hasil transformasi dengan rumus (√X+0.5) ; b) Data merupakan hasil transformasi dengan rumus log (x+1).
79
Auksin sintetik yang paling banyak digunakan dalam beberapa percobaan
tentang kalus adalah 2.4-D dan NAA, seperti yang digunakan oleh Prakash dan
Gurumurthi (2009) pada Eucalyptus camaldulensis, Yan et al. (2009) pada
tanaman Allium chinense. Berdasarkan penelitian Wanil et al. (2010), 2.4-D
adalah auksin terbaik untuk menginduksi Tridax procumbens L diikuti oleh NAA,
yang masing-masing dikombinasikan dengan BAP.
Fillipov et al. (2006) dalam penelitiannya tentang pengaruh auksin dan
genotipe pada gandum, menyatakan bahwa pemberian auksin tambahan (NAA,
IAA, IBA) dari auksin yang sudah ada (Dicamba, 2.4-D, 2.4.5-T) terbukti
bermanfaat meningkatkan respon morphogenic dari embrio matang gandum. Hal
ini didukung oleh penelitian Khumaida dan Handayani (2010), kombinasi 2.4-D
dan NAA pada media menyebabkan pertumbuhan kalus embrionik lebih cepat
pada kalus kedelai.
Persamaan regresi Y = 0.710 – 0.007 X1 + 0.023 X2 (R2 = 0.585) untuk
pengaruh 2.4-D pada NAA 15 µM, menunjukkan bahwa bobot kalus pada
konsentrasi 5 µM 2.4-D mencapai bobot terbesar (1.02 g), dan jumlahnya terus
menurun seiring dengan peningkatan konsentrasi 2.4-D. Begitu pula pada
konsentrasi NAA 10 µM, dengan persamaan regresi Y = 0.710 – 0.005 X1 +
0.027 X2 (R2 = 0.765), bobot kalus mencapai nilai tertinggi pada konsentrasi
2.4-D 5 µM (0.48 g), dan jumlahnya menurun seiring dengan meningkatnya
konsentrasi 2.4-D.
Gambar 22 Hubungan antara konsentrasi 2.4D dengan bobot kalus dua aksesi
handeuleum pada konsentrasi NAA 10 µM dan 15 µM.
80
Hasil ini sama dengan penelitian Thomas dan Sreejesh (2004) pada
tanaman Benincasa hispida, dimana kalus menjadi coklat dan kemudian mati pada
konsentrasi 2.4-D yang lebih tinggi (di atas 6 µM). Menurut Karimi (2010)
meskipun 2.4-D dapat meningkatkan pertumbuhan kalus, tetapi hormon ini
bersifat herbisida sehingga konsentrasi yang tinggi dapat menghambat
pengkalusan, dan mungkin dapat mencegah pembelahan sel.
Fillipov (2006) melaporkan bahwa 2.4-D adalah auksin yang sangat stabil
dibandingkan auksin lain, memiliki resistensi yang sangat kuat terhadap degradasi
secara enzimatik pada sel tanaman. Hal ini lah yang mungkin menyebabkan
mengapa bobot kalus mengalami penurunan seiring dengan peningkatan
konsentrasi 2.4-D pada konsentrasi NAA 10 dan 15 µM.
Warna dan Tekstur Kalus
Menurut Riyadi (2009) keberadaan 2.4-D dan NAA mempengaruhi secara
nyata warna dan struktur kalus empat genotipe kedelai. Kalus yang diinduksi oleh
NAA memiliki warna hijau, dan keberadaan 2.4-D pada media cenderung
menjadikan kalus menjadi berwarna coklat.
(a)
(b)
Gambar 23
(c)
Warna kalus pada induksi kalus dari dua aksesi handeuleum:
putih (a), putih bening (b), coklat (c).
Berdasarkan hasil percobaan yang disajikan pada Gambar 23, terlihat
bahwa terdapat tiga jenis warna kalus yang dihasilkan oleh kombinasi perlakuan
antara 2.4-D dan NAA, yaitu kalus berwarna putih, putih bening, dan kalus
berwarna coklat. Persentase warna kalus disajikan pada Gambar 24. Keberadaan
kalus putih ada pada semua perlakuan, dimana persentase terbesar terdapat pada
kombinasi media 55 µM 2.4-D + 10 µM NAA (I7) yaitu sebesar 18 %, sedangkan
81
persentase kalus putih terkecil dihasilkan oleh perlakuan kombinasi media 10 µM
2.4-D + 15 µM NAA (I9) sebesar 3%
Gambar 24 Pengaruh kombinasi media terhadap warna kalus dua aksesi
handeuleum.
Kalus yang berwarna putih bening hanya terdapat di perlakuan kombinasi
media 5 µM 2.4-D + 10 µM NAA (I1), 10 µM 2.4-D + 10 µM NAA (I2), 15 µM
2.4-D + 10 µM NAA (I3), 5 µM 2.4-D + 15 µM NAA (I8), 10 µM 2.4-D + 15
µM NAA (I9), 15 µM 2.4-D + 15 µM NAA (I10), berturut-turut sebesar 67%,
45%, 43%, 71%, 58%, dan 21%.
Warna kalus yang disajikan pada Gambar 24 terlihat bahwa warna kalus
kedua
aksesi
handeuleum
pada
berbagai
kombinasi
media
memiliki
kecenderungan pola sehingga dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok
yang menghasilkan tiga warna kalus dengan yang menghasilkan dua warna kalus.
Kelompok pertama terdiri dari media yang mengandung konsentrasi 2.4-D kecil
(I1, I2, I3, I8, I9, dan I10), kelompok kedua adalah kelompok media yang
mengandung konsentrasi 2.4-D yang besar (I4, I5, I6, I7, I11, I12, I13, dan I14).
Kelompok pertama menghasilkan kalus yang berwarna putih dan berwarna
putih bening, sedangkan kelompok kedua tidak menghasilkan kalus putih bening.
Hal ini dikarenakan 2.4-D lebih stabil bila dibandingkan dengan NAA, sehingga
lebih dominan dalam memberi pengaruh terhadap warna kalus.
82
Gambar 25
Pengaruh kombinasi media terhadap tekstur kalus dua aksesi
handeuleum.
Berdasarkan hasil percobaan yang disajikan pada Gambar 25 terlihat
bahwa tekstur kalus induksi dipengaruhi oleh keberadaan 2.4-D dan NAA.
Semakin tinggi konsentrasi 2.4-D pada kombinasi media, semakin meningkatkan
jumlah kalus yang bertekstur keras-kompak, sementara kalus yang bertekstur
lembut- sedikit kompak semakin berkurang, bahkan tidak dihasilkan sama sekali
pada kombinasi media yang mengandung konsentrasi 2.4-D yang tinggi (I4, I5,
I6, I7, I11, I12, I13, dan I14).
Persentase tertinggi kalus bertekstur lembut-sedikit kompak dihasilkan
oleh perlakuan kombinasi media I1 dan I8 yang mengandung 5 µM 2.4-D, yaitu
berturut-turut sebesar 67% dan 71%. Begitu pula dengan kalus bertekstur keras
dan kompak dihasilkan sebanyak 100% pada kombinasi media yang mengandung
2.4-D konsentrasi tinggi (I4, I5, I6, I7, I11, I12, I13, dan I14).
Hasil ini hampir sama dengan yang dicapai oleh Prakash dan Gurumurthi
(2009) pada tanaman Eucalyptus camaldulensis, dimana pada level 2.4-D yang
rendah (0.1 ppm, 0.5 ppm, dan 1 ppm) kalus yang terbentuk friable, sedangkan
pada konsentrasi yang lebih tinggi (2 ppm) kalus yang terbentuk keras. Fillipov et
al. (2006) pada penelitiannya pada tanaman gandum, menyatakan bahwa pada
konsentrasi rendah dari berbagai macam auksin, biasanya menghasilkan kalus
yang transparan, berair, dan remah. Sedangkan pada konsentrasi auksin di atas
6 ppm menghasilkan kalus yang putih kekuningan atau kompak.
83
Bobot Kalus Proliferasi
Berdasarkan hasil penelitian terlihat bahwa bobot kalus proliferasi
dipengaruhi secara sangat nyata oleh perlakuan interaksi antara kombinasi media
dengan aksesi (Tabel 11).
Tabel 11 Interaksi antara komposisi media proliferasi dan aksesi terhadap kalus
handeuleum aksesi Kalimantan dan Papua
Bobot (g) a)
Komposisi Media Proliferasi (µM)
Aksesi
2.5 µM 2.4-D + 5 µM NAA + Vit B5 (P1)
Kalimantan
1.23 ± 0.22
b
Papua
1.14 ± 0.07
bc
Kalimantan
0.89 ± 0.03
e
Papua
0.97 ± 0.07
de
Kalimantan
1.17 ± 0.11
b
Papua
1.37 ± 0.07
a
Kalimantan
1.05 ± 0.40
cd
Papua
0.95 ± 0.04
de
5 µM 2.4-D + 10 µM NAA + Vit B5 (P2)
2.5 µM 2.4-D + 5 µM NAA + Vit MS (P3)
5 µM 2.4-D + 10 µM NAA+ Vit MS (P4)
Keterangan:
Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan
tidak berbeda nyata pada uji Duncan 5%. Nilai ± yang disajikan adalah standar
deviasi. a) Data merupakan hasil transformasi dengan rumus (√X+0.5).
Berdasarkan hasil yang diuji menggunakan kontras ortogonal yang
disajikan pada baris kedua Tabel 11 terlihat bahwa, aksesi Kalimantan dan Papua
berbeda dalam menghasilkan bobot kalus proliferasi, dimana rata-rata bobot kalus
terbesar dihasilkan oleh aksesi Papua. Perlakuan media yang mengandung vitamin
media dasar B5 memberikan hasil yang lebih baik bila dibandingkan dengan
media yang mengandung vitamin media dasar MS. Penelitian yang dilakukan oleh
Srilestari (2005) pada kacang tanah menyebutkan bahwa vitamin media dasar B5
memproduksi embrio somatik pada jumlah yang banyak dibandingkan dengan
vitamin media dasar MS dalam waktu yang relatif singkat.
Menurut Wattimena (1988) vitamin merupakan berfungsi sebagai kofaktor
dalam reaksi-reaksi enzim, dan biasanya terdapat pada sel dalam jumlah yang
kecil. Golongan vitamin B (B1 = tiamin, B3 = asam nikotinat, dan B6 = piridoksin)
merupakan komponen penting dari koenzim-koenzim yang penting dalam
84
metabolisme
sel-sel,
dan
tiamin
merupakan
komponen
penting
dalam
metabolisme dan dibutuhkan pada hampir semua kultur. Lebih lanjut Wattimena
(1988) menjelaskan bahwa tiamin adalah bagian yang aktif dari enzim
karboksilase; asam nikotinat merupakan komponen dari NAD dan NADP; dan
asam panthetonat adalah bagian dari koenzim A. Lebih jauh menurut Srilestari
(2005) tiamin yang terkandung pada vitamin media dasar B5 dan MS dapat
mempercepat pembelahan sel, dan berfungsi sebagai koenzim dalam metabolisme
karbohidrat.
Iradiasi Sinar Gamma Kalus
Iradiasi sinar gamma secara sangat nyata mempengaruhi bobot kalus
subkultur 1 dan 2, serta bobot laju pertumbuhan relatif kalus. Perlakuan aksesi,
media, dan dosis berinteraksi mempengaruhi peubah-peubah tersebut (Tabel 12).
Berdasarkan hasil pada Tabel 12, terlihat bahwa bobot kalus subkultur 1 terbesar
dihasilkan pada aksesi Papua yang diiradiasi sinar gamma 15 Gy dan ditanam
pada media 4.44 µM BAP (0.570 g). Bobot kalus subkultur 2 terbesar dihasilkan
oleh aksesi Papua yang diiradiasi oleh sinar gamma 15 Gy, dan ditanam pada
media yang mengandung 4.44 µM BAP (0.595 g).
Genotipe yang digunakan menentukan keberhasilan dari induksi mutasi,
selain itu juga tergantug pada bagian tanaman yang diiradiasi dan dosis mutagen
yang diaplikasikan. Berdasarkan Tabel 12, terlihat bahwa aksesi Papua
menghasilkan bobot kalus yang paling besar bila dibandingkan dengan aksesi
Kalimantan. Meskipun demikian, kemampuan untuk menghasilkan bobot kalus
yang besar tidak berhubungan dengan kemampuan dari aksesi tersebut untuk
beregenerasi setelah diberi perlakuan iradiasi.
Kalus handeuleum aksesi Papua yang diiradiasi dengan sinar gamma
bobotnya meningkat ketika diiradiasi dengan dosis 15 Gy, dan bobotnya semakin
menurun seiring dengan peningkatan dosis iradiasi. Hal ini sesuai dengan
penelitian yang dilakukan oleh Qosim et al. (2007) yang menyatakan bahwa
iradiasi sinar gamma menyebabkan kalus nodular manggis sulit untuk
berproliferasi.
85
Tabel 12 Interaksi antara aksesi, dosis iradiasi, dan media regenerasi terhadap
bobot kalus subkultur 1 dan bobot kalus subkultur 2 setelah iradiasi
Aksesi
Kalimantan
Papua
Perlakuan
Dosis Media Regenerasi
Iradiasi
(µM)
(Gy)
4.44 BAP (R1)
0 15 25 35 0 15 25 35 Peubah
Bobot Kalus
Subkultur 1
(g)
Bobot Kalus
Subkultur 2
(g)
0.464 ± 0.07 b
0.504 ± 0.07 b
8.88 BAP (R2)
0.442 ± 0.07 b-c
0.442 ± 0.03 b-d
4.44 TDZ (R3)
0.436 ± 0.05 b-d
0.428 ± 0.09 b-e
8.88 TDZ (R4)
0.377 ± 0.06 c-g
0.359 ± 0.03 d-j
4.44 BAP (R1)
0.374 ± 0.06 d-h
0.374 ± 0.07 d-j
8.88 BAP (R2)
0.370 ± 0.06 d-h
0.373 ± 0.05 c-i
4.44 TDZ (R3)
0.430 ± 0.09 b-e
0.407 ± 0.08 c-h
8.88 TDZ (R4)
0.382 ± 0.07 c-f
0.326 ± 0.02 g-m
4.44 BAP (R1)
0.331 ± 0.08 f-j
0.307 ± 0.09 i-m
8.88 BAP (R2)
0.302 ± 0.04 h-k
0.288 ± 0.04 j-m
4.44 TDZ (R3)
0.354 ± 0.06 f-i
0.426 ± 0.07 b-f
8.88 TDZ (R4)
0.367 ± 0.05 d-h
0.328 ± 0.05 h-m
4.44 BAP (R1)
0.264 ± 0.05 j-k
0.297 ± 0.05 i-m
8.88 BAP (R2)
0.253 ± 0.04 k
0.298 ± 0.05 i-m
4.44 TDZ (R3)
0.304 ± 0.05 g-k
0.295 ± 0.06 i-m
8.88 TDZ (R4)
0.273 ± 0.05 jk
0.267 ± 0.05 l-m
4.44 BAP (R1)
0.439 ± 0.07 b-d
0.475 ± 0.07 b-c
8.88 BAP (R2)
0.362 ± 0.06 e-i
0.310 ± 0.06 i-m
4.44 TDZ (R3)
0.329 ± 0.05 f-j
0.360 ± 0.04 d-k
8.88 TDZ (R4)
0.345 ± 0.01 f-i
0.352 ± 0.03 d-k
4.44 BAP (R1)
0.570 ± 0.04 a
0.595 ± 0.10 a
8.88 BAP (R2)
0.378 ± 0.07 c-f
0.350 ± 0.03 e-l
4.44 TDZ (R3)
0.385 ± 0.07 c-f
0.487 ± 0.09 b-c
8.88 TDZ (R4)
0.270 ± 0.07 j-k
0.420 ± 0.09 b-g
4.44 BAP (R1)
0.360 ± 0.08 e-i
0.416 ± 0.06 b-g
8.88 BAP (R2)
0.312 ± 0.05 g-k
0.302 ± 0.06 i-m
4.44 TDZ (R3)
0.268 ± 0.04 j-k
0.260 ± 0.04 m
8.88 TDZ (R4)
0.294 ± 0.05 j-i
0.335 ± 0.04 f-m
4.44 BAP (R1)
0.297 ± 0.06 h-k
0.272 ± 0.06 l-m
8.88 BAP (R2)
0.237 ± 0.03 k
0.263 ± 0.01 l-m
4.44 TDZ (R3)
0.273 ± 0.05 j-k
0.272 ± 0.05 k-m
8.88 TDZ (R4)
0.244 ± 0.04 k
0.260 ± 0.02 m
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan pada kolom yang sama tidak
berbeda nyata pada uji Duncan 5%. Nilai ± yang disajikan adalah standar deviasi.
a) Data merupakan hasil transformasi dengan rumus (√X+0.5).
86
Iradiasi sinar gamma berpengaruh sangat nyata terhadap laju pertumbuhan
relatif kalus handeuleum pada kedua aksesi (Tabel 13). Berdasarkan hasil yang
disajikan oleh Tabel 13, laju pertumbuhan relatif dipengaruhi oleh interaksi antara
dosis sinar gamma dan aksesi handeuleum. Iradiasi menyebabkan laju
pertumbuhan relatif kalus dua aksesi yang diiradiasi menjadi lebih tinggi ataupun
lebih rendah apabila dibandingkan dengan kontrol (0 Gy).
Tabel 13 Laju pertumbuhan relatif kalus handeuleum iradiasi aksesi Kalimantan
dan Papua
Dosis Iradiasi (Gy)
0
15
25
35
Aksesi
Laju Pertumbuhan Relatif
Kalimantan
0.229 ± 0.20 bc
Papua
0.177 ± 0.12 bcd
Kalimantan
0.083 ± 0.09 cd
Papua
0.212 ± 0.21 bcd
Kalimantan
0.448 ± 0.41 a
Papua
0.163 ± 0.12 bcd
Kalimantan
0.240 ± 0.25 b
Papua
0.083 ± 0.06 d
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak
berbeda nyata pada uji Duncan 5%. Nilai ± yang disajikan adalah standar deviasi.
a) Data merupakan hasil transformasi dengan rumus (√X+0.5)
Laju pertumbuhan relatif kalus iradiasi terbesar terdapat pada aksesi
Kalimantan yang diiradiasi dengan dosis 25 Gy (0.448), sedangkan laju
pertumbuhan relatif kalus iradiasi terkecil terdapat pada aksesi Papua yang
diiradiasi dengan sinar gamma dosis 35 Gy (0.083).
Iradiasi sinar gamma berpengaruh secara acak, akan tetapi terdapat
gambaran umum perubahan laju pertumbuhan realtif kalus kedua aksesi. Terlihat
bahwa aksesi Kalimantan secara umum memiliki laju pertumbuhan relatif yang
lebih tinggi pada semua perlakuan iradiasi apabila dibandingkan dengan aksesi
Papua, sehingga bisa disimpulkan bahwa aksesi Kalimantan lebih tahan terhadap
perlakuan iradiasi sinar gamma dibandingkan dengan aksesi Papua.
87
Hal yang sama terdapat pada penelitian Witjaksono dan Litz (2004) pada
kultur embriogenik dua genotipe alpukat yang diiradiasi sinar gamma, dimana
pertumbuhan genotipe T362 lebih tertekan apabila dibandingkan dengan genotipe
Fuerte. Arabi et al. (2005) mengungkapkan bahwa pada penelitian kultur antera
tanaman barley yang dipapar pada iradiasi sinar gamma sangat tergantung dengan
genotipe. Lebih lanjut Arabi menambahkan bahwa respon yang terkait dengan
iradiasi sinar gamma, dapat menstimulasi beberapa aktivitas enzim pada barley,
seperti oksidasi polyphenol, katalase, peroksidase, dan beberapa biosintesis
beberapa asam amino seperti lysine dan phenylalanine, sehingga dapat
menyebabkan
perubahan
pada
populasi
kalus
yang
diiradiasi
apabila
dibandingkan dengan kontrol.
Iradiasi sinar gamma memberikan pengaruh yang berbeda terhadap bobot
kalus, hal ini terlihat dari bervariasinya hasil analisis ragam. Peningkatan
perlakuan dosis iradiasi sinar gamma pada umumnya menyebabkan penurunan
daya regenerasi kalus, terlihat dari penurunan bobot dan perubahan warna. Kalus
yang diiradiasi warnanya cenderung menjadi coklat, bahkan untuk yang diiradiasi
dengan dosis tinggi kalus menjadi hitam, yang artinya kalus tersebut mengalami
kematian.
Gambar 26 Pengaruh iradiasi sinar gamma terhadap warna kalus dua aksesi
handeuleum.
Hasil percobaan menunjukkan bahwa iradiasi sinar gamma mempengaruhi
secara sangat nyata terhadap warna kalus (Gambar 26). Warna kalus menjadi
penanda dari keadaan kalus setelah menerima perlakuan iradiasi. Ada empat
88
macam warna kalus, yaitu warna putih kecoklatan, coklat keputihan, coklat, hitam
kecoklatan, dan warna hitam. Kalus yang berwarna hitam berarti kalus tersebut
mengalami kematian.
Gambar 26 menunjukkan bahwa kalus yang berwarna putih kecoklatan
hanya terdapat pada perlakuan 0 Gy (kontrol) yaitu sebesar 5%, sedangkan
perlakuan iradiasi 25 Gy menghasilkan kalus putih kecoklatan sebesar 2%. Kalus
berwarna coklat keputihan ada pada semua dosis perlakuan dengan sinar gamma,
dosis 0 Gy (kontrol) menghasilkan kalus sebesar 24%, dosis 15 Gy menghasilkan
kalus sebesar 21%, sedangkan dosis 25 Gy menghasilkan kalus sebesar 46%,
terakhir dosis sinar gamma 35 Gy menghasilkan kalus berwarna coklat keputihan
sebesar 5%.
Iradiasi 0 Gy menghasilkan kalus coklat sebesar 22%, pada dosis 15 Gy
menghasilkan 31%, perlakuan 25 Gy menghasilkan 23%, sedangkan perlakuan
iradiasi 35Gy menghasilkan kalus coklat sebesar 40%. Kalus hitam kecoklatan
dihasilkan oleh perlakuan iradiasi sinar gamma secara berturut-turut sebagai
berikut, 0 Gy (46%), 15 Gy (50%), 25 Gy (51%), dan perlakuan iradiasi 35 Gy
(49%). Kalus berwarna hitam yang berarti bahwa kalus tersebut mengalami
kematian dihasilkan hanya oleh pelakuan iradiasi sinar gamma 25 Gy, yaitu
sebesar 13%. Sedangkan pada dosis perlakuan yang lain tidak terdapat kalus yang
berwarna hitam.
Keragaan warna kalus yang diiradiasi disajikan pada Gambar 27.
Berdasarkan pengamatan dapat ditarik garis besar mengenai warna kalus, yaitu
pada perlakuan dosis 0 Gy dan 25 Gy menghasilkan kalus sehat yang lebih besar
dibandingkan dengan perlakuan yang lain. Kalus yang sehat adalah kalus yang
berwarna putih kecoklatan, coklat keputihan. Kalus yang sehat berarti kalus
tersebut masih memiliki daya regenerasi setelah diberi perlakuan dengan sinar
gamma.
89
(b)
(a)
(c (c)
(d)
Gambar 27
(e)
Warna kalus dua aksesi handeuleum yang diiradiasi: putih
kecoklatan (a), coklat keputihan (b), coklat (c), coklat
kehitaman (d), dan hitam (e).
Patade et al. (2008) menyatakan bahwa iradiasi sinar gamma
menyebabkan peningkatan warna coklat pada kalus tebu seiring dengan
meningkatnya dosis iradiasi. Menurut Kadir (2007), sel kalus nilam yang
diiradiasi berwarna coklat terjadi karena terhambatnya proses pembelahan sel
yang menyebabkan sel tersebut tidak aktif berproliferasi. Kalus yang aktif
berproliferasi terlihat lebih bening dan strukturnya lebih kompak. Ismachin (2007)
menyatakan bahwa iradiasi sinar gamma dapat menyebabkan adanya radikal
bebas yang meningkatkan kandungan hidrogen peroksida yang bersifat toksik,
sehingga menyebabkan kerusakan fisiologis seperti penghambatan proses
pembelahan dan diferensiasi sel yang pada akhirnya merusak jaringan.
Menurut Hua et al. (1999), iradiasi sinar gamma dosis 1500 rad pada kalus
Onosma paniculatum Bur. Et Franch mengakibatkan terjadinya peningkatan
kandungan shikonin sebesar 144.6%. Chung BY et al. (2006) meneliti bahwa
iradiasi sinar gamma secara signifikan meningkatkan hasil shikonin kultur kalus
Lithospermum erythrorhizon S. sebesar 400% pada dosis 16 Gy, 240% pada dosis
2 Gy, dan 180% pada dosis 32 Gy apabila dibandingkan dengan kontrol.
Berdasarkan kedua penelitian di atas dapat disimpulkankan bahwa iradiasi sinar
90
gamma dapat meningkatkan kandungan metabolit sekunder pada kultur kalus,
sehingga dapat dimanfaatkan untuk mendapatkan
metabolit sekunder dalam
waktu yang singkat.
Keragaman Kalus Handeuleum Akibat Iradiasi Sinar Gamma
Percobaan ini memperlihatkan bahwa iradiasi sinar gamma dapat
menyebabkan terjadinya keragaman dalam bobot kalus pasca iradiasi (subkultur 1
dan 2) dan terlihat juga pada laju pertumbuhan relatif. Berdasarkan Tabel 14 di
antara populasi kalus yang diiradiasi menunjukkan terjadinya keragaman.
Menurut Baihaki (1999), populasi yang bervariasi memiliki ciri-ciri khusus yang
dapat dilihat dari nilai rata-rata, ragam, dan standar deviasi.
Berdasarkan hasil penelitian terlihat bahwa nilai laju pertumbuhan relatif
kalus pada populasi kalus kontrol (0 Gy), dan yang diiradiasi sinar gamma dosis
15 Gy, 25 Gy, dan 35 Gy menghasilkan nilai rata-rata yang berbeda nyata satu
sama lainnya. Terlihat bahwa populasi kalus yang diiradiasi sinar gamma
memiliki nilai tengah, standar deviasi, nilai ragam memiliki nilai yang paling
besar, diikuti oleh populasi kalus yang tidak diiradiasi (kontrol).
Tabel 14 Keragaman laju pertumbuhan relatif kalus iradiasi handeuleum aksesi
Kalimantan dan Papua
Peubah
Dosis
Iradiasi (Gy)
X
s
σ2
KK (%)
0
0.07*
0.05
0.0025
74.09
15
0.05*
0.04
0.0019
87.22
25
0.07*
0.07
0.0047
92.11
35
0.04*
0.04
0.0013
102.77
Keterangan: Angka-angka nilai tengah (x) yang diberi tanda (*), berbeda nyata menurut
uji Duncan 5%, s = standar deviasi, σ2 = ragam, KK = koefisien keragaman.
Menurut Micke dan Donini (1993) iradiasi sinar gamma dapat
meningkatkan keragaman suatu populasi dasar. Keragaman pada populasi yang
diiradiasi
terdapat
juga
pada
penelitian
Suminar
(2010)
pada
nenas,
Qosim et al. (2007) pada manggis. Menurut Kim et al. (2004), Kova´cs dan
91
Keresztes (2002), dan Wi et al. (2005) dalam Wi et al. (2007) hal ini dikarenakan
iradiasi sinar gamma bereaksi dengan atom atau molekul untuk memproduksi
radikal bebas yang terdapat dalam sel. Radikal bebas ini dapat merusak atau
memodifikasi komponen yang penting dari sel tanaman (gen, kromosom, dan
genom) dan telah dilaporkan menyebabkan efek yang berbeda secara morfologi,
anatomi, biokimia, dan fisiologi dari tanaman tergantung dari level iradiasi. Efek
ini termasuk perubahan dalam struktur seluler tanaman dan metabolisme,
pembesaran dari mebran tilakoid, perubahan dalam fotosintesis, modulasi dari
sistem antioksidatif, dan akumulasi dari senyawa fenolik.
Simpulan
1.
Kombinasi media induksi 10 μM 2.4-D + 15 μM NAA menghasilkan eksplan
berkalus paling banyak (1.88 buah). Kombinasi media induksi 5 μM 2.4-D +
10 μM NAA menghasilkan persentase eksplan berkalus paling besar
(97.06%). Kombinasi media induksi 5 μM 2.4-D + 15 μM NAA
menghasilkan bobot kalus paling besar (1.02 g).
2.
Kombinasi media dalam konsentrasi NAA 15 μM pada semua konsentrasi
2.4-D menghasilkan persentase kalus warna putih yang lebih besar
dibandingkan dengan kombinasi media NAA 10 μM pada semua konsentrasi
2.4 D.
3.
Interaksi kombinasi media proliferasi 2.5 μM 2.4-D + 5 μM NAA + vit media
dasar MS dengan handeuleum aksesi Papua menghasilkan bobot kalus
proliferasi paling tinggi (1.37 g).
4.
Interaksi antara aksesi Papua, iradiasi sinar gamma dosis 15 Gy, dan media
regenerasi 4.44 μM BAP, menghasilkan bobot kalus subkultur 1 dan
subkultur 2 hasil iradiasi paling besar, berturut-turut sebesar 0.570 g dan
0.595 g
5. Dosis iradiasi 25 Gy pada aksesi Kalimantan menghasilkan laju pertumbuhan
relatif kalus hasil iradiasi paling tinggi (0.448).
6.
Dosis iradiasi 25 Gy menghasilkan kalus warna putih kecoklatan sebesar
13%, sedangkan perlakuan lain tidak.
92
7.
Iradiasi sinar gamma dosis 25 Gy menghasilkan nilai ragam paling besar
terhadap laju pertumbuhan relatif kalus hasil iradiasi (0.0047).
Saran
1.
Dilakukan percobaan induksi kalus dengan laju konsentrasi zat pengatur
tumbuh yang lebih rendah, menggunakan media dasar dan jenis eksplan yang
lain.
2.
Dilakukan percobaan lanjutan hingga regenerasi tanaman dan menguji
stabilitas mutan yang dihasilkan hingga beberapa generasi di lapang.
3.
Dilakukan analisis kromosom untuk melihat keragaman akibat iradiasi.
Download