1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mengkaji wacana iklan

advertisement
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Mengkaji wacana iklan di media massa, tidak mesti berkonotasikan terkait
dengan dimensi politik ekonomi khususnya manajemen pemasaran. Keberadaan
iklan sebagaimana halnya tek-teks budaya lainnya yang ada di masyarakat,
berpotensi didekati dari multidisiplin dan juga multiperspektif. Jika ditilik dari
ranah disiplin Seni Rupa misalnya, iklan merupakan bagian dari karya seni
terapan (applied art). Sebagai konsekuensi logis menjadi bagian dari karya seni
terapan, representasi estetis yang ada di dalam karya seni iklan, karenanya sama
sekali tidak diorientasikan sebagai ekspresi murni keindahan, melainkan
difungsikan untuk ‘kepentingan yang lain’ di luar domain seni. Kepentingan itu
yang utama adalah dalam rangka politik persuasif pemasaran. Dalam kaitan
dengan hal inilah, dalam representasinya iklan kerap menggunakan pelbagai
sistem tanda estetis apa pun, yang secara prinsip dapat berpotensi menjadi daya
tarik yang besar terhadap produk baik barang maupun jasa yang ditawarkan.
Yang menjadi persoalan kemudian adalah, bahwa di dalam penggunaan
sistem tanda estetis dalam karya iklan yang ada di masyarakat itu, kerap
mengeksploitasi penanda (bentuk) maupun petanda (makna) apa pun, yang baik
disadari maupun tidak keberadaannya potensial menimbulkan dampak negatif,
bahkan destruktif bagi masyarakat. Keberadaan iklan dengan demikian,
sebagaimana halnya produk budaya lain pada umumnya seperti karya sastra,
2
filsafat, buku ajar, karya seni, dan lain sebagainya, merupakan sebuah entitas yang
potensial menjadi situs hegemonik, yang secara laten dapat berperan sebagai
tempat kontestasi atau pertarungan nilai-nilai atau ideologi yang kompleks
(Raymond Williams, 1988:88-93). Kompleksitas nilai-nilai atau ideologi tersebut,
tidak selamanya bermakna positif bahkan tak jarang yang negatif bahkan sangat
mungkin amat destrukif bagi masyarakat. Sebagaimana difahami dalam optik
pandang Gramscian (Richard Howson and Kylie Smith, 2008:1) dan juga
Foucaultian misalnya (Foucault, 1980; 2002; 2007), bahwa pelbagai ekspresi
representasi produk budaya sebagai situs hegemonik di masyarakat itu, termasuk
yang menjadi fokus kajian ini adalah iklan, selain merupakan tempat refleksi
cerminan pandangan dunia masyarakatnya, juga sekaligus dapat berperan
sebaliknya yakni justru sebagai media untuk mengonstruksi kesadaran masyarakat
itu sendiri. Pelbagai kompleksitas keseharian yang berkembang dan bahkan
akhirnya diyakini secara ideologis di masyarakat modern dan postmodern
misalnya terkait dengan gaya hidup, pilihan-pilihan moral, orientasi-orientasi
terhadap nilai-nilai tertentu, banyak yang berhulu dari konstruksi representasi
pelbagai situs hegemonik, misalnya melalui tayangan-tayangan iklan yang tampil
secara massif dan eksplosif.
Adapun faktor penyebab adanya kekuatan pelbagai situs budaya itu untuk
mengonstruksi kesadaran masyarakat sebagaimana dimaksud, diskursifnya secara
substantif lebih banyak disandarkan terkait perbincangan tentang teori termutakhir
tentang eksistensi bahasa yang ternyata tak pernah dilepaskan dengan apa yang
dinamakan dengan keberadaan ideologi di dalamnya (Stephens, 1992; Fairclough,
3
2003:2-3). Sebagaimana diketahui, dalam perspektif sosiologis, persoalan
keberadaan sistem bahasa dalam kebudayaan manusia itu, pada sejarah awalnya
memang cenderung lebih berfungsi untuk kepentingan alat komunikasi yang
relatif natural, guna membangun pengertian sosial secara kolektif. Namun,
perkembangan termutakhir menunjukkan bahwa betapa bahasa tidak lagi terbatas
maknanya sebagai refleksi atau cermin atas realitas yang relatif natural, melainkan
justru penggunaan bahasa kerap menampilkan sisi yang sebaliknya, yakni
mempengaruhi atau mengonstruksi kesadaran masyarakat itu sendiri. Potensi daya
atau kekuatan bahasa yang seperti ini, lebih dikarenakan di dalam setiap kehadiran
atau representasi bahasa itu ternyata sebenarnya senantiasa tersembunyi apa yang
dinamakan ideologi yang menyertainya. Hal tersebut kiranya sejalan dengan
pandangan seorang eksistensialis Heidegger, yang pernah menegaskan bahwa
betapa dalam bahasa itu sebenarnya selalu bersemayam apa yang diistilahkan
sebagai ‘Sang Ada’ (dalam Wiryomartono, 2001:68). Karena itulah, tidak
mengherankan manakala Habermas (dalam Yudi Latif dan Idi Subandy Ibrahim,
1996:16) juga pernah menyampikan bahwa, “Language is a medium of
domination and power”.
Berdasarkan kenyataan tersebut, maka dalam keyakinan Richard M.
Weaver & Kenneth Burke, dalam buku Language as Symbolic Action (1966)
(dalam Johannesen, 1996:4) disebutkan bahwa hingga tingkat tertentu, seluruh
perkembangan penggunaan bahasa yang disengaja antarmanusia bersifat
‘seremonik’. Artinya, setiap penggunaan bahasa di masyarakat itu tidak ada yang
sepenuhnya netral, melainkan senantiasa mengekspresikan pilihan, sikap,
4
kecenderungan, disposisi, dan evaluasi sang komunikator, dan dengan demikian
menyalurkan persepsi pengirim pesan. Kita tidak mengucapkan kata-kata,
demikian ujar Weaver, tanpa sekaligus memberi impuls pada orang lain untuk
memandang dunia, atau sebagian kecil daripadanya, dengan cara kita. Dengan
pemahaman yang hampir sama, David Berlo dalam The Process of
Communication (1960), menyatakan pandangan bahwa ada alasan untuk
mempercayai bahwa seluruh penggunaan bahasa memiliki dimensi persuasi,
sehingga orang tidak bisa berkomunikasi tanpa sekaligus berupaya untuk
membujuk, dalam satu atau lain cara (dalam Johannesen, 1996:4). Oleh karena itu,
lewat pengalaman yang panjang dalam menjalankan analisis semiotiknya terhadap
sistem tanda (bahasa), Roland Barthes sampai pada simpulan bahwa bahasa itu,
terutama lagi dalam konteks budaya modern, kecenderungannya adalah ‘fasis’.
Wacana yang dihasilkan kekuatan fasis bahasa inilah, yang oleh Barthes disebut
sebagai ‘wacana kekuasaan’ (discourse of power) (Sunardi, 2002:238).
Jika terminologi potensi hegemonik bahasa sebagaimana dimaksud
dikontekstualisasikan dalam ranah bahasa periklanan, kiranya dapat disampaikan
bahwa relevansi diskursifnya menjadi dengan segera dapat ditemukan. Iklan di era
modern telah menjelma menjadi salah satu realitas kebudayaan yang amat
dominan, membentuk sebuah suprastruktur kebudayaan yang luas, mempunyai
pengaruh sangat besar yang berperan sebagai penentu kecenderungan, tren, serta
mode berbudaya di masyarakat (Ewen, 2001:7-8). Dapat dikatakan bahwa pada
era modern ini iklan bukan hanya sekedar sebagai alat atau media promosi produk
barang maupun jasa semata, tetapi lebih dari itu, ia telah menjelma menjadi
5
sebentuk kategori dan kunci sosial utama yang memproduksi dan mereproduksi
supremasi pelbagai ideologi komodifikasi di abad modern ini (Goldman, 1992:2).
Di samping mempunyai makna yang positif bagi masyarakat, keberadaan
iklan juga mempunyai dimensi ketaksaan lain yang cenderung negatif dan
merugikan. Dimensi negatif sebagaimana dimaksud, yang amat menonjol di
antaranya adalah persoalan penjungkirbalikan logika hukum produksi dan
konsumsi dalam budaya industri di dalam masyarakat kapitalis mutakhir, di mana
barang-barang tidak lagi diproduksi untuk memenuhi kebutuhan, melainkan justru
kebutuhan yang sengaja diciptakan agar barang-barang hasil produk industri habis
terjual di pasaran (Marcuse, 2000; Galbraith, 1998:124-125).
Proses penjungkirbalikan ini, secara fundamental telah mengubah sifat
dasar iklan sebagai alat komunikasi pemasaran, kemudian bergeser amat jauh ke
fungsi konotasi yang sifatnya manipulatif (Phillips, 1997:2; Bertens, 2000:270274). Cara manipulasi ini dijalankan dengan modus apa yang diistilahkan dengan
exchange-value (Dyer, 1982:116), yakni menukar makna nilai guna produk yang
diiklankan menjadi nilai tanda yang merepresentasikan citra-citra sosial tertentu,
misalnya terkait dengan gaya hidup dan kemewahan (Odih, 2007:5). Dalam
konteks inilah, iklan telah melakukan apa yang dapat dikategorikan sebagai
colonising of the real (McFall, 2004:9), yakni sebuah proses pengaburan atau
bahkan penghilangan substansi naturalitas nilai guna atas komoditas yang
ditawarkan. Proses manipulasi ini dalam praksisnya dijalankan oleh bahasa iklan
dengan cara-cara yang halus dan tersembunyi, hingga masyarakat kerap tidak
mengenali (Sutherland & Sylverter, 2008:6).
6
Berangkat dari kenyataan inilah, iklan kemudian menuai berbagai kritik
tajam, yang di antara isu sentralnya adalah terkait dengan persoalan politik
persuasif tipu dayanya yang manipulatif di masyarakat yang kerapkali teramat
ideologis (Nicosia, 2009:244-245; Barnard, 2003:33). Crystal (1991:487) dan juga
Cronin, 2005:37) misalnya, mengkritik iklan sebagai produk budaya modern yang
paling kontroversial, jika dipandang dari perspektif moral, ideologi, dan
estetikanya. Hal ini dengan amat segera dapat dikenali dari realitas
representasinya yang dapat diilustrasikan sebagai mesin bertenaga raksasa yang
kerap menyesatkan massa lewat berbagai bujukannya yang irasional, yang
berujung pada terciptanya berbagai krisis nilai dan moral di masyarakat. Krisis itu
secara menonjol di masyarakat ditandai dengan hilangnya budaya sense of
purpose yang kemudian diganti dengan acquisitive ideology (Blikolong, 1983:3)
yang amat eksploitatif dan banal, yang menjerumuskan masyarakat ke dalam
kubangan konsumerisme, materialisme, dan hedonisme (McKendrick, Brewer &
Plumb, 2003:19-20).
Demikian juga halnya dengan Sosiolog Daniel Bell (1976:69) menamai
iklan sebagai salah satu penemuan yang paling menakutkan di sepanjang sejarah
peradaban kapitalisme Barat. Dampak yang ditimbulkan oleh iklan telah memicu
tumbuhnya realitas budaya masyarakat modern, yang menurut Tester (2003:69)
amat dihegemoni oleh sebentuk faham yang dapat diidentikan dengan
totalitarianisme atau bahkan fasisme, yang indikasinya adalah lumpuhnya
kesadaran masyarakat, yang terutama diakibatkan oleh kecenderungan sikap dan
7
perilakunya yang dipandu oleh akal budi instrumentalis (Horkheimer dan Adorno,
2002). Hal ini menegaskan kritik, betapa iklan telah mengkikis dan
mengkolonisasi kesadaran sosial, hingga menegasikan banyak dimensi nilai-nilai
yang telah ada, tumbuh, dan berkembang di masyarakat (Goldman, 1992:8).
Dalam konteks inilah, keberadaan iklan telah banyak menggantikan peran
pranata-pranata sosial klasik yang ada di masyarakat selama ini seperti agama,
dalam memberi pengertian tentang nilai-nilai kebaikan dan kebahagiaan dalam
hidup (Danesi, 2010:282). Iklan seolah menjadi situs sandaran baru bagi
penghiburan, semangat, harapan, dan bahkan identitas diri. Iklan secara persuasif
juga mendorong atau sebaliknya melarang orang untuk berbuat sesuatu.
Singkatnya dalam kultur seperti ini, iklan benar-benar berperan menjadi semacam
legislator cita rasa untuk menghalalkan atau sebaliknya mengharamkan sesuatu,
fungsi yang semula diperankan oleh agama. Dalam kultur seperti ini, keberadaan
iklan mirip seperti agama baru yang disebarluaskan secara massif melalui
berbagai media massa serta dirayakan di berbagai pusat-pusat perbelanjaan, yang
mengantarkan pada sebuah periode zaman yang dinamakan sebagai periode
historis ledakan konsumsi massa (Chaney, 2006:43).
Namun, melampaui semua kritik terhadap dampak negatif iklan tersebut,
ada dampak negatif lain yang tak kalah mendasar, tetapi selama ini nyaris terlepas
dari perhatian masyarakat, yakni dalam kaitannya dengan persoalan politik
identitas kebudayaan dan nasionalisme sebuah bangsa. Hal ini jika dikaitkan
dengan adanya kenyataan yang cenderung berkembang, terutama terkait dengan
resentasi estetika iklan di media massa apa pun di Indonesia, yang kecenderungan
8
termutakhirnya semakin didominasi, dihegemoni, dan dikolonisasi secara banal
dan radikal oleh pelbagai sistem tanda dengan cita rasa estetika yang serba Barat
yang amat ideologis. Persoalan tersebut kiranya tidak terlampau sulit untuk
diverifikas di lapangan, misalnya dalam bentuk dominasi akan keberadaan sosok
Barat atau minimal Indo sebagai ilustrasi model dalam iklan. Kemudian yang lain
lagi adalah, persoalan terobsesinya domain kulit tubuh ke-‘putih’-an (whiteness)
yang ditawarkan oleh iklan, serta masih banyak pelbagai ikon sistem tanda
lainnya. Fenomena tersebut jika ditilik jernih, sebenarnya bukan hanya mendera
pada wacana estetika periklanan semata, melainkan juga menjadi persoalan yang
nyaris sama, di hampir seluruh sistem dan pranata kebudayaan di Indonesia.
Barat, dengan segala narasi besarnya, seolah telah
menjadi sebentuk situs
‘kutukan’ obsesi histeria keterpesonaan (kegilaan) historis tersendiri, yang
melampaui akan hasrat dan keinginan apa pun, dalam proses kinerja kulturasi di
negeri ini, terutama di era modern dan postmodern ini.
Jika ditilik secara jernih, fenomena tersebut sebenarnya adalah sebentuk
realitas belenggu postkolonialisme yang diderita oleh bangsa ini di era
postkolonial. Postkolonialisme yang secara terminologis adalah identik dengan
sebentuk wacana neokolonialisme atau neoimperialisme ini, modusnya tidak
dilakukan dengan cara kekerasan fisik (coersive), melainkan dengan persuasif
(O’Shaughnessy & O’Shaughnessy, 2004:1) atau dalam perspektif Gramscian
dikenal dengan istilah hegemonik (Howson & Smith, 2008:14). Fakta ini seolah
juga menegaskan bahwa bangsa Indonesia ini sebenarnya baru sebatas merdeka
merdeka secara de yure, dan belum merdeka secara de facto. Lanskap fenomena
9
tersebut tentunya merupakan realitas kultural yang amat memperihatinkan, karena
tanpa disadari dapat berpotensi amat destruktif bagi pembangunan salah satu pilar
vital karakter, kepribadian, dan politik identitas, serta harkat dan martabat budaya
bangsa Indonesia.
Dalam konteks pemahaman keberadaan estetika periklanan sebagai bagian
dari estitas pertarungan kompleksitas ideologis dan khususnya lagi ideologi
postkolonial inilah, penelitian ini mencoba mengkaji perihal bentuk-bentuk atau
pola-pola hegemoni postkolonial di Indonesia yang salah satu refleksi kecilnya
terepresentasi melalui estetika iklan yang ada. Oleh karena itu penelitian ini
dihajatkan dan didedikasikan untuk mendapatkan data temuan yang komprehensif
tentang hegemoni postkolonial dalam representasi periklanan di media massa
cetak Indonesia. Berdasarkan data temuan penelitian tersebut, penelitian ini
kemudian berupaya mencoba mengembangkan formula alternatif pencerahannya
di masa mendatang, terutama dengan cara mengembangkan gagasan tentang
estetika periklanan yang lebih disandarkan pada basis muatan pelbagai khazanah
karakter budaya lokal ke-Indonesia-an.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan seperti telah dideskripsikan di
atas, maka rumusan permasalahan pokok penelitian ini adalah seperti apa pola
atau bentuk hegemoni postkolonial dalam representasi estetika iklan di media
massa cetak Indonesia kontemporer?
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Dalam sajian tentang kajian pustaka yang terdapat dalam Bab II ini,
disajikan tiga konsep teoretis yang terkait dengan penelitian ini, yakni pertama,
estetika iklan, postkolonial, dan budaya lokal. Sajian selengkapnya perihal kajian
pustka tersebut, adalah sebagai berikut.
A. Iklan sebagai Karya Seni Tarapan dan Implikasi Estetikanya
Mengkaji fenomena iklan sebenarnya merupakan salah satu kajian penting
atas keberadaan sistem ‘representasi’ simbolik bahasa, baik yang sifatnya verbal
maupun piktorial dalam kebudayaan. Pesan itu difungsikan sebagai politik
persuasif dalam kaitannya dengan sistem ekonomi pemasaran. Sementara itu
istilah ‘representasi’ memang merupakan salah satu terma penting dan sekaligus
khas dalam kajian cultural studies, karena pembahasannya tidak terbatas sematamata didedahkan pada pola struktural yang ada dalam teks atau bahasa, tetapi
lebih dari itu adalah pada pelbagai persoalan wacana ideologis yang
melingkupinya. Dengan mengkaji ‘representasi’ bahasa diharapkan akan dapat
dibongkar bagaimana beroperasinya ideologi yang ada di dalamnya (Hall, 2007:
15-19). Representasi tidak sekedar kehadiran sesuatu dalam medium tertentu,
melainkan merupakan sebuah ‘kehadiran makna’ melalui bahasa dalam berbagai
macam bentuknya. Dalam representasi itu terdapat dua sistem yang saling
berhubungan satu sama lain, yakni representasi mental dan bahasa. Pertama,
representasi mental pada dasarnya merupakan serangkaian konsep yang ada
11
dalam benak, di mana makna bergantung sepenuhnya pada sistem konsep dan
citra yang dibentuk dalam pikiran kita, yang mana bisa menggantikan atau
merepresentasikan jagad, sehingga memungkinkan kita merujuk pada segala hal
yang ada, baik di dalam dan di luar kepala kita (Hall, 2007:17). Representasi
mental inilah yang kemudian menjadi peta konseptual yang menyebar secara
kultural, sehingga bisa digunakan medium berkomunikasi. Sementara itu kedua,
representasi bahasa merupakan sistem representasi yang melibatkan keseluruhan
proses konstruksi makna, di mana dengannya orang bisa mengorelasikan konsep
dan ide dengan kata-kata tulis, suara-suara, atau citra visual tertentu (Hall,
2007:18). Tanda-tanda itulah yang kemudian diorganisir ke dalam bahasa, dan
hanya eksistensi bahasa umumlah yang memungkinkan terjadinya pertukaran
konsep dan pemikiran antarorang dalam satu masayarakat. Hubungan di antara
kedua sistem representasi itulah, yang pada akhirnya memungkinkan terjadinya
praktik representasi yang menjadi inti proses makna dalam setiap kebudayaan.
Oleh karena itu, dalam kebudayaan itu yang dinamakan makna tidak hanya
berhenti pada pemahaman bersama (common sense), tetapi lebih dari itu terdapat
kepentingan-kepentingan yang bermain di dalamnya, yang direpresentasikan
melalui sistem bahasa. Ketika makna sudah dilekatkan ke dalam rangkaian tanda
dalam praktik penandaan (representasi) maka di situ sudah berlangsung politik
representasi, di mana kekuatan-kekuatan dari kelas ideologis dalam masyarakat
memasukkan makna dan kepentingannya. Sebagaimana dijelaskan oleh Hall
(1997:18) representasi melibatkan proses aktif dari pembuat yang tidak sekedar
merefleksikan realitas, tetapi memproduksi realitas yang sudah dihuni oleh
12
kepentingan-kepentingan dari kelas kuasa. Dengan demikian, sistem representasi
merupakan praktik ideologi yang menemukan aksentuasinya, melalui tanda-tanda
yang tersebar dan dipahami oleh masyarakat tertentu.
Dengan pemahaman di atas, iklan dalam konteks kajian ini, adalah juga
merupakan rangkaian representasi tanda dalam masyarakat, yang dalam istilahnya
Hodge & Kress (1988) disebut ‘kompleks ideologis’ atau dalam istilahnya
Gramsci disebut common sense. Kompleks ideologis dimaksud, terepresentasi
dalam berbagai wujud. Dalam konteks iklan di media massa cetak misalnya,
wujudnya berupa narasi visual, baik yang sifatnya verbal dan piktorial. Kompleks
ideologis yang terdapat dalam representasi iklan tersebut, kecenderungannya
tampak semakin kuat di zaman modern ini, yang sejalan dengan fenomena
perkembangan makna bahasa itu sendiri dalam kebudayaan.
Dalam perspektif sosiologis, persoalan keberadaan sistem bahasa dalam
kebudayaan manusia itu, pada awalnya cenderung lebih berfungsi untuk
kepentingan alat komunikasi secara natural, guna membangun pengertian sosial
secara kolektif, sebagai konsekuensi adanya komitmen hidup bersama dalam
sebuah kelompok komunitas tertentu. Dalam konteks ini, keberadaan bahasa lebih
dekat dengan makna sebagai cultural text, yang dapat memberikan gambaran
pencandraan perihal kontekstual warna sebuah realitas sosial budaya masyarakat
pendukungnya. Namun, dalam perkembangannya kemudian teori terbaru
mengenai bahasa menunjukkan kecenderungan gejala yang lain. Bahasa tidak lagi
terbatas maknanya sebagai refleksi atas realitas sosial semata, melainkan
sebaliknya, yakni memiliki kemampuan (power) untuk membentuk atau
13
mengonstruksi realitas sosial itu sendiri. Dalam pemaknaan yang terakhir ini,
keberadaan representasi bahasa tertentu sangat berpengaruh pada persepsi dan
cara pandang masyarakat terhadap suatu hal.
Dengan demikian, fenomena bahasa memiliki hubungan dua arah dengan
realitas sosial. Di satu pihak, bahasa dapat menjadi cermin bagi keadaan di
sekelilingnya, namun di lain pihak bahasa juga dapat mempengaruhi bahkan
membentuk atau mengkonstruksi realitas sosial atau masyarakat itu sendiri.
Kemampuan bahasa untuk membentuk realitas sosial itu, lebih disebabkan di
dalamnya senantiasa terdapat ideologi yang menyertainya (Fairclough, 2003:2-3).
Demikian juga halnya dengan perkembangan fenomena periklanan modern
atau postmodern kekinian. Sebagai sistem bahasa, iklan di zaman modern ini
cenderung tidak lagi berfungsi untuk menyampaikan pesan atas naturalitas nilai
guna (use value) produk yang ditawarkan, melainkan telah menjadi sebentuk
sarana untuk menanamkan ideologi konsumerisme kapitalistik. Dalam hal ini,
substansi naturalitas nilai guna dari suatu produk yang ditawarkan hilang
tereduksi oleh konstruksi citra nilai-nilai ideologis tertentu yang menyelimuti.
Proses produksi citra nilai-nilai ini menurut Mike Featherstone (1991:171)
akhirnya mengubah barang-barang menjadi janji-janji simbolik, misalnya terkait
dengan kemewahan, kenyamanan, serta aneka gaya hidup lainnya, yang
kecenderungannya berdekatan dengan wilayah materialisme dan hedonisme.
Penggunaan pelbagi citra nilai yang kerap ideologis dalam iklan modern tersebut,
telah menciptakan pergeseran yang amat jauh tentang makna representasi bahasa
dalam iklan dari yang awalnya bersifat utilitarian, ke ekspresi gaya hidup, self
14
esteem, bahkan nilai-nilai sosial yang sifatnya cenderung palsu.
Dalam konteks inilah, terjadi penjungkirbalikan logika produksi-konsumsi,
karena pelbagai komoditas tidak lagi diproduksi untuk memenuhi kebutuhan,
melainkan justru sebaliknya kebutuhan yang memang sengaja diciptakan
(Marcuse, 2000). Proses penjungkirbalikan ini, secara fundamental telah
mengubah sifat dasar iklan sebagai alat komunikasi pemasaran, kemudian
bergeser amat jauh ke fungsi konotasi-manipulatif. Cara manipulasi ini dijalankan
dengan modus exchange-value (Dyer, 1982:116), yakni menukar makna nilai
guna produk, menjadi nilai citra sosial tertentu. Dalam konteks inilah, iklan telah
memerankan apa yang dapat dikategorikan sebagai colonising of the real (McFall,
2004:9).
Iklan yang secara historis sudah dikenal sejaka zaman Yunani dan
Romawi Kuna (Tungate, 2007:10), mempunyai beberapa padanan bahasa asing,
yakni: i’lan (Bahasa Arab), advertere (Bahasa Latin), advertentie (Bahasa
Belanda), advertising (Bahasa Inggris), dan reclamare (Bahasa Prancis), yang
maknanya meneriakkan sesuatu secara berulang-ulang (Kasali, 1993:111). Dalam
pengertian yang lebih luas, iklan berarti berita pesanan yang dimuat di media
massa, untuk mendorong dan membujuk khalayak ramai pada barang atau jasa
yang ditawarkan (Bovee & Arens, 1986:5)
Dalam representasinya di media massa, iklan diwujudkan dalam bentuk
sistem tanda, baik yang sifatnya visual, audio, maupun kombinasi antara audiovisual, tergantung jenis media yang digunakan. Sistem tanda tersebut difungsikan
sebagai simbol, yang digunakan untuk mewakili atau memberi identitas atas
15
sesuatu benda atau objek yang lain (Ross & van den Haag, 1962:211). Adapun
fungsi simbol dalam periklanan, digunakan sebagai alat untuk menginformasikan
pesan atas produk, baik barang atau pun jasa kepada masyarakat. Dalam
perspektif semiotis-estetis, baik iklan untuk kategori media massa cetak maupun
elektronik, secara substansial konstruksi representasinya terkait dengan dua ranah,
yakni penanda (signifier) dan petanda (signified) yang terdapat di dalamnya.
Yang disebut bentuk adalah wujud fisik lahiriah (waarneembare gestalte)
yang secara langsung mengungkap atau mengobjektivasi pengalaman batiniah,
sedangkan yang disebut isi adalah pranata makna dari berbagai gambaran
perasaan (voorstelingen) yang digerakkan lewat wujud lahiriah tersebut (Feldman,
1967:61). Jika iklan yang dimaksud menggunakan media massa elektronik, maka
bentuk atau wujud lahiriahnya dapat berupa audio atau penggabungan antara
audio-visual, sedangkan aspek fisik dalam iklan di media massa cetak, wujudnya
berupa penggabungan seperangkat elemen material visual seni rupa, yang terdiri
atas: garis, bidang, bentuk, warna, dan ruang. Semua komponen tersebut
dikomposisi secara estetis dengan menggunakan seperangkat prinsip seni, yakni
kesatuan, variasi, ritme atau irama, keseimbangan, harmoni, proporsi, kontras, dan
pusat perhatian (Harris, 2006:13-15).
Adapun kesatuan komposisi estetis penanda dan petanda dalam iklan itu,
strukturnya terdiri atas pelbagai unsur, yakni: ilustrasi, head line, subheadline
(body copy), dan slogan (Vestergaard & Schroder, 1985:49-50). Ilustrasi adalah
gambar atau objek tertentu, yang dibuat untuk memperjelas audiens terhadap
wacana tertentu. Sementara itu, subheadline merupakan penjelasan suatu pesan
16
yang lebih lengkap tentang apa yang diinformasikan dalam iklan. Sementara itu
slogan adalah serangkaian kata-kata atau ungkapan pendek, yang biasanya
mengetengahkan keunggulan produk barang atau jasa yang sedang ditawarkan.
Sebagai bagian dari seni rupa, iklan termasuk dalam lingkup ‘seni terapan’
(applied arts), yakni sebuah kategori seni yang ekspresi estetikanya dikategorikan
ke dalam genre ‘seni dalam rangka’ (Soedarsono, 1998:223-233). Maknanya
adalah, penciptaan seni yang kesadaran utamanya pertama-tama dan yang utama
tidak diperuntukkan bagi kepentingan pemenuhan dimensi estetis, melainkan lebih
diperuntukkan bagi kepentingan lain di luar seni itu sendiri (Adorno, 2004:284).
Dalam konteks karya seni iklan, sebagaimana telah disebutkan di atas, kesadaran
estetisnya
bukan
murni
sebagai
ekspresi
keindahan,
melainkan
lebih
bertendensikan sebagai instrumentasi komunikasi persuasif terutama terkait
politik ekonomi pemasaran. Dalam kaitan dengan konsep inilah, yang namanya
kaidah estetisasi dalam iklan berbaur dengan kaidah komunikasi persuasif
(Goddard, 2001:2-3).
Implikasinya adalah domain estetika yang melekat dalam iklan lebih
mempertimbangkan dimensi fungsionalnya untuk kepentingan komunikasi
persuasif penjualan. Dalam kaitan dengan konsep inilah, yang namanya kaidah
estetisasi dalam karya iklan berbaur dengan kaidah komunikasi persuasif. Untuk
memenuhi tuntutan itu, makanya iklan mestinya mempertimbangkan berbagai
faktor yang terkait dengan konteks kultural sosial masyarakatnya, tempat di mana
iklan tersebut disajikan, agar pesan yang disampaikan menjadi efektif dan efisien
(Goddard, 2001:2-3).
17
B. Tinjauan tentang Teori Postkolonial
Gagasan tentang postkolonial sebagai sebuah teori, jika ditilik dari domain
kesejarahannya berasal dari Barat. kehadiran teori postkolonial di Barat terutama
ditandai dengan terbitnya buku Orientalism pada tahun 1979 oleh Edward W.
Said, yang kemudian disusul dengan sejumlah buku lainnya, baik yang juga
ditulis oleh Said, maupun oleh penulis lainnya, yang substansinya mempersoalkan
tentang konstruksi ketidakadilan dialektika antara kebudayaan Barat dan Timur
yang selama ini ada. Buku-buku penyokong utama teori postkolonial yang ditulis
Said misalnya: Covering Islam: How the Media and the Experts Determine How
We See that Rest the World (1981) yang diterbitkan di New York oleh Pantheon
Books; dan Culture and Imperialism (1994), yang juga diterbitkan di New York,
oleh Vintage Books. Sementara itu, buku lain tentang postkolonial yang ditulis
pihak lain yang penting dan akhirnya menjadi banyak sandaran rujukan, di
antaranya adalah: The Empire Writes Back (1989), suntingan Bill Ashcroft,
Gareth Griffiths, dan Helen Tiffin, yang diterbitkan di London oleh Routledge.
Demikian juga buku karya Homi K. Bhabha, yang berjudul The Location of
Culture (1994), yang terbit di London and New York, oleh penerbit Routledge.
Karya lain yang cukup monumental dalam kaitannya dengan teori postkolonial
adalah tulisan-tulisan Gayatri Chakravorty Spivak, misalnya Can the Subaltern
Speak? (1988) serta A Critique of Postcolonial Reason: Toward A History of the
Vanishing Present (1999).
Di awal kehadirannya itu, teori postkolonial terutama lebih banyak terkait
dengan bidang kajian sastra dan juga filsafat, yang substansinya mengkaji
18
hegemoni Barat atas Timur, yang terefleksi dalam karya-karya tersebut. Namun
dalam perkembangan kemudian, postkolonial menjadi teori yang mencakup lintas
bidang dan disiplin sosial budaya atau humaniora yang luas. Sebagai sebuah teori
sosial, postkolonial dapat dikatakan di samping keberadaanya ‘relatif baru’, juga
merupakan terminologi yang relatif sulit untuk dikerangkai dalam definisi yang
ketat, sehingga keberadaannya bukan sebuah konsep yang tunggal dan statis
(Gading Sianipar, 2004:7; Manneke Budiman, 2006:xi). Potensi multitafsir yang
amat terbuka tersebut, bahkan dimulai dari pemaknaan postkolonial itu sendiri di
tingkat etimologis. Istilah postkolonial berasal dari bahasa Inggris, yakni: post,
yang berarti after or later than (sesudah) dan colonial yang artinya relating to a
colony or colonialism (Cambridge Advanced Learner’s Dictionary, 2003).
Pemakmaan tekstual etimologis tersebut jelas mengundang tafsir yang
amat
luas.
Meskipun
terminologi
‘postkolonial’
sebagaimana
makna
etimologisnya tersebut mencakup makna penjajahan dalam arti yang sangat luas
dan bisa terjadi di mana saja, namun dalam konteks ini, makna penjajahan
sebagaimana dimaksud lebih dispesifikkan pada penjajahan yang dilakukan oleh
bangsa-bangsa Barat terhadap bangsa-bangsa Timur, sebagaimana tipikalnya
pemaknaan ‘postkolonial’ yang berkembang atau dipakai dalam studi ilmu-ilmu
sosial dan budaya.
Kemudian yang juga perlu disampaikan bahwa kata post dalam istilah
postcolonial ini, kiranya relatif kurang memadai maknanya, jika semata-mata
disandarkan pemaknaannya dalam kaitannya dengan terminologi tentang waktu,
yakni ‘sesudah’ kolonialisme dalam yang sempit. Sebaiknya, kata post itu
19
diartikan sebagai ‘melampaui’. Implikasinya adalah makna kolonialisme dalam
teori postkolonialisme itu melampaui dari pemahaman terminologi kolonialisme
klasik, yakni bisa berupa permasalahan apa pun yang masih terkait, meskipun
tampak seperti terpisah dari kolonialisme. Berangkat dari pemahaman ini,
konteks postkolonialisme juga mencakup berbagai persoalan, misalnya kasus
globalisasi,
yang
juga
kerap
menghadirkan
makna
sebagai
sebentuk
neokolonialisme atau neoimperialisme Barat atas Timur. Demikian juga halnya
dengan persoalan lain, seperti Amerikanisasi misalnya, termasuk dalam cakupan
diskursus postkolonialisme, meskipun Amerika Serikat—sebagai imperialis
kesiangan—tidak termasuk dalam daftar deretan sebagai negara imperialis atau
kolonial Barat yang klasik, sebagaimana negara-negara imperialis dari Eropa,
seperti Belanda, Prancis, Portugis, atau Spanyol misalnya, yang menjajah Timur
lebih awal, kira-kira semenjak abad ke-16. Paralel dengan pemaknaan tersebut,
ada satu rumusan yang dikemukakan oleh Mangunwijaya (dalam Tony Day dan
Keith Foulcher (2006:5) yakni bahwa istilah post itu sama dengan postgraduate,
yang maknanya adalah ‘kolonialisme yang lebih lengkap, lebih multidimensional,
lebih tuntas kekolonialismeannya’.
Salah satu substansi teori postkolonial yang dapat dikedepankan
sebagaimana disampaikan Said (1979:1-3) adalah bahwa teori ini lebih terkait
dengan gugatan terhadap orientalisme Barat yang selama ini memiliki imperium
otoritas untuk menampilkan, memberi identitas, menaklukkan, menjajah, dan
bahkan menindas Timur. Menurut Said, secara semena-mena, Timur sudah sejak
sangat lama—paling tidak sejak abad ke-16—telah menjadi objek mode of
20
discourse Barat secara negatif, melalui semua sistem pranata kebudayaan yang
dimilikinya, baik secara politis, sosiologis, ekonomi, militer, ideologis, saintifik,
bahkan imajinatif (Said, 1979:2). Konstruksi dan berikut proses itu juga
melibatkan nyaris semua elemen aktor, yang oleh Said diistilahkan sebagai para
orientalis. Para orientalis itu mencakup ilmuwan, penyair, novelis, filosof,
teretikus politik, ekonom, administratur pemerintahan, dan lain sebagainya. Tugas
para orientalis dalam kebudayaan Barat tersebut adalah menyusun teori-teori,
epik-epik, novel-novel, deskripsi-deskripsi sosial, dan perhitungan-perhitungan
politik yang cermat mengenai Timur, rakyatnya, adat kebiasaannya, pikirannya,
serta seribu satu hal lainnya, bahkan nasib yang mesti dan akan dihujahkan oleh
Barat bagi dirinya (Said, 1979:3). Tujuan dari konstruksi pengetahuan itu adalah
untuk semata-mata kepentingan proyek penjajahan atau kolonisasi.
Di tangan para orientalis inilah, Timur akhirnya telah menjadi sebentuk
panggung yang didirikan di hadapan Barat. Di sinilah repertoar budaya
dikukuhkan, imajinasi Barat (Eropa dan Amerika) dibangun. Konstruksi atau
bangunan itu terutama yang amat terkenal dengan serangkaian stereotip oposisi
binernya, yakni Barat adalah maju, pintar hebat, dan superior, sedangkan Timur
adalah sebaliknya: terbelakang, bodoh, inferior, dan bahkan menjijikkan (Muhidin
M. Dahlan, 2001:8). Dari sinilah akhirnya Said berkesimpulan, bahwa sebenarnya
yang dinamakan dengan ‘Timur’ bukanlah suatu kenyataan yang asli dan alami.
‘Timur’ tidak ada begitu saja, seperti halnya ‘Barat’. ‘Timur’ adalah diciptakan
atau tepatnya sengaja ‘ditimur’-kan oleh Barat (Said, 1979:6-7).
21
Demikian luar biasanya berwenangnya kedudukan orientalisme, sampai
Said berkesimpulan, bahwa tak seorang pun bisa yang menulis, berfikir mengenai,
atau bertindak terhadap dunia Timur, tanpa mempertimbangkan pembatasanpembatasan atas pikiran dan tindakan yang telah digariskan oleh orientalisme
(Said, 1979:4). Ujung dari semua risalah orientalisme itu adalah tak lebih sebagai
politik untuk menguasai Timur, baik terkait dengan alam, budaya, maupun
manusianya. Dengan mencangkok pemikiran dan perspektif Gramscian dan juga
Foucaultian, Said menyuarakan dengan keras, bagaimana jangkauan luar biasa
imperalisme Barat terhadap Timur, yang membentang sejak abad ke-16 sampai
awal abad ke-20, merupakan salah satu fakta yang paling menakjubkan dalam
sejarah politik dan peradaban dunia. Melalui penafsirannya yang brilian atas
karya-karya pengetahuan
kanonik
Barat,
Said
menunjukkan
bagaimana
kebudayaan Barat, akhirnya telah menjadi sebentuk situs hegemonik atas Timur,
yang ditegakkan tidak semata-mata dengan dominasi senjata melalui kekerasan,
melainkan juga melalui kebudayaan. Politik dan kebudayaan pada kasus
kolonialisme telah bekerjasama, secara sengaja atau pun tidak, melahirkan suatu
sistem dominasi yang melibatkan bukan hanya meriam dan serdadu, tetapi suatu
kedaulatan yang melampaui bentuk-bentuk, kiasan, dan imajinasi penguasa
(penjajah) dan yang dikuasai (dijajah). Hasilnya adalah suatu visi yang
menegaskan, bahwa Barat bukan hanya berhak, melainkan wajib untuk menguasai
Timur (Said, 1979:30-35).
Oleh karena itulah, dalam kaitan ini, Smith menegaskan betapa pentingnya
bangsa di negara-negara Timur, yang terutama berada di kawasan belahan bumi
22
selatan, memahami, dan menyamakan bahasa dalam membicarakan sejarah,
sosiologi, psikologi, dan politik imperialisme serta kolonialisme, yang ternyata
sebagai sebuah kisah epik tentang penghancuran besar-besaran, perjuangan penuh
derita, dan upaya survival tanpa ujung, dan karenanya perlu digugat dan
diperjuangkan (Linda Tuhiwai Smith, 2006:2). Teori postkolonialisme dengan
demikian, substansinya adalah perjuangan resistensi, penggugatan, atau penolakan
terhadap penindasan (Melani Budianta, 2008:19).
Namun yang perlu mendapatkan klarifikasi dan penegasan secara jernih
adalah, bahwa teori postkolonial yang terasa keras ini, sekali-kali tidak pernah
bertendensikan hajat sebagai sebentuk teori yang tujuannya adalah penggagasan
anti Barat. Postkolonilasme lebih sebagai sebuah paradigma kritis, terhadap
sebentuk dominasi dan kemapanan kebudayaan yang secara nyata selama ini amat
dihegemoni oleh framework dan worldview orientalis Barat. Teori postkolonial
dengan demikian, lebih terkait dengan harapan akan kemungkinan merangsang
jenis ‘perlakuan baru’ (yang lebih positif dan adil) terhadap Timur, atau kalau bisa
menghapus sama sekali stereotip dikotomi antara ‘Timur’ dan ‘Barat’ yang pernah
dikonstruksi
semena-mena
oleh
para
orientalis
Barat
(Said,
1979:36).
Postkolonialisme yang menggugat orientalisme Barat, sama sekali tidak
berkepentingan untuk membalik konstruksi orientalisme manjadi misalnya
‘oksidentalisme’ oleh Timur. “Jawaban orientalisme bukanlah oksidentalisme”,
demikian sebagaimana ditegaskan oleh Said (1979:424), dalam bagian akhir
kalimat sebagai panutup buku Orientalism-nya itu.
23
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa postkolonialisme merupakan
strategi teoretis dan kritis yang digunakan untuk meneliti kebudayaan dalam arti
yang luas—kesusastraan, politik, sejarah, seni dan lain sebagainya—dari bekas
koloni negara-negara Barat, yang didasarkan pada fakta historis kolonialisme dan
aneka dampak negatif yang ditimbulkannya—misalnya terkait dengan persoalan
eksploitasi, marginalisasi, rasialisasi, dan lain sebagainya—untuk kemudian dapat
dikembangkan serangkaian gagasan positif yang lebih memungkinkan terjadinya
dialektika kebudayaan antara Barat dan Timur, yang lebih berspiritkan keadilan.
Sebagaimana keniscayaan klasiknya tentang keberadaan akan sebuah teori,
yang senantiasa memiliki dimensi kelemahan, demikian halnya teori postkolonial
yang digagas oleh Said tersebut. Paling tidak terdapat dua hal yang mendasar,
yakni pertama, karena terlalu memusatkan perhatian pada persoalan pengaruh
orientalisme itu, Said tampak mengabaikan kemungkinan adanya potensi aktif dan
kreatif yang berbasiskan lokalitas bangsa-bangsa Timur, yang dapat difungsikan
sebagai modal yang strategis bagi perjuangan dan politik resistensi terhadap
penjajahan model baru melalui sistem pengetahuan di atas (Faruk, 2007:5-6).
Kedua, pendekatan politik resistensi yang cenderung radikal dari Said itu, kalau
tidak dicermati secara jernih dan hati-hati, bisa mengarah pada jebakan
fundamentalisme atau ‘solipsisme’ budaya, yang berdampak saling menutup diri
terhadap kemungkinan dialog antarkebudayaan (Haryanto Cahyadi, 2004:57).
Untuk itu teori postkolonial Said dalam konteks penelitian ini, diperkaya
dengan dua teori postkolonial yang dikembangkan oleh pemikir terkemuka
penerusnya, yakni Homi K. Bhabha dan Gayatry Chakravorty Spivak. Pertama,
24
gagasan Bhabha, terutama lewat buku The Location of Culture (1994) dan juga
lewat tulisannya Cultural Diversity and Culrtural Differences (2006) menawarkan
alternatif perspektif berupa teori liminalitas, yang diistilahkan dengan the third
space (ruang ketiga) atau the in-between (ruang antara), sebagai modus ideal
terkait dengan wacana dialektika antarbudaya yang saling berbeda.
Dengan teori ini, Bhabha bermaksud menengahi pertentangan yang
dianggapnya kurang tepat dari para teoretikus postkolonial yang pernah digagas
oleh Said, terutama tentang konsep oposisi biner-kulturalnya yang terlalu
disederhanakan sebagai ‘penjajah’ (Barat) dan ‘terjajah’ (Timur). Bhabha
kemudian mengajukan pemahaman kemungkinan menghadirkan model liminalitas
yang diistilahkan ‘ruang ketiga’ (the third space) atau ‘ruang antara’ (the inbetween)
yakni suatu ruang yang tidak memisahkan, tetapi sebaliknya
menjembatani hubungan timbal balik (reciprocal) antarkebudayaan yang mungkin
dapat diupayakan. Dengan hadirnya kesadaran ‘ruang ketiga’ ini, diharapkan
serangkaian proses perjumpaan antarbudaya yang tak terhindarkan, sebagai
konsekuensi dari
perkembangan
wajah
dunia
modern
yang
bercirikan
keterhubungan berskala global (global interconnectedness), dapat dikerangkai
dalam format dan perspektif dialektitis yang lebih positif dan berkeadilan (Homi
K. Bhabha, 2006:155-157).
Dalam ruang ini proses gerak dan pertukaran antara status budaya yang
berbeda-beda dapat terus diupayakan, sehingga pencarian serta identifikasi
identitas itu terus mengalir, berada dalam formasi proses keterlibatan, kontestasi,
dan penyesuaian. Kodrat identitas kultural itu bukanlah sebuah cap yang kekal
25
dan kaku, melainkan sesuatu yang amat cair, dan karenanya amat potensial
berubah, terutama seiring perjalanan waktu. Karenanya, dalam Ruang Ketiga itu
pula, berbagai pengalaman intersubjektif dan kolektif kebangsaan, kepentingan
komunitas, serta nilai-nilai budaya bisa dirundingkan. Pandangan tentang oposisi
biner ‘penjajah’ dan ‘terjajah’, tidak lagi sebagai yang terpisah satu dengan yang
lain dan masing-masing berdiri sendiri, melainkan menyatu dalam lintasan format
tegur-sapa, yang pada saatnya akan menghasilkan pengakuan timbal balik akan
perbedaan budaya.
Dalam perspektif ‘ruang ketiga’ ini, Bhabha mencoba memperkaya teori
postkolonialnya Said, yang cenderung dikuras pada upaya semacam nasionalisasi
banal sebuah kebudayaan secara total, dengan jalan pembersihan diri dari
pengaruh kebudayaan kolonial atau upaya pendekolonisasian total, yang memang
merupakan strategi penolakan yang hampir tidak mungkin dijalankan di level
praksis. Pada hakikatnya masa lalu sebagai bangsa terjajah itu hingga tingkat
tertentu, mempunyai keniscayaan turut menentukan eksistensi bangsa terjajah, dan
dengan demikian pengaruh tersebut tidak mungkin disangkal atau ditolak. Periode
kolonialisme itu adalah ibarat sebuah batu yang ikut menyusun atau menopang
keseluruhan bangunan identitas bangsa bekas jajahan di saat ini. Dalam artian
inilah, melakukan destruksi menyeluruh atas apa yang dianggap sebagai kultur
kolonial, sama dengan melakukan destruksi atas diri sendiri. Sikap kritis terhadap
masa lalu itu karenanya, harus dimaknai sebagai melihat masa lalu sebagai modal
yang harus dikelola secara aktif dan kreatif terus-menerus. Terkait dengan hal
itulah, teori ‘ruang ketiga’-nya Bhabha ini, secara praksis-kultural kerap mewajah
26
dalam wujudnya yang sangat populer, yakni misalnya dalam bentuk strategi
‘mimikri’ dan juga ‘hibridasi’ (Faruk, 2008:6). Mimikri adalah konsep tindakan
meniru budaya penjajah oleh bangsa terjajah, akan tetapi tidak dalam arti
kepatuhan buta masyarakat terjajah terhadap penjajahnya.
Dalam peniruan model ini, tindakan masyarakat terjajah untuk meniru (to
mimic) itu, dapat pula menjadi suatu ejekan (mockery) terhadap penjajah, karena
mereka tidak melakukan peniruan dengan sepenuhnya setia model yang
ditawarkan penjajah. Proses identifikasi melalui model peniruan ini, akhirnya
dapat menjadi false identification (Homi K. Bhabha, 1994:85-92). Sementara itu
‘hibridasi’ adalah proses pencampuran atau penggabungan dua kebudayaan atau
lebih, tanpa adanya dimensi politis mengalahkan salah satu di antaranya, yang
akan menghasilkan wujud kebudayaan baru yang lebih baik. Konsep ‘hibridasi’
(hybridity) ini diadaptasi dari khazanah disiplin Biologi, sebagaimana yang
tercermin dari makna istilah ini, yang secara leksikal berasal dari akar kata hybrid,
yang artinya adalah: “A plant or animal that has been produced from two different
types of plant or animal, especially to get better characteristics, or anything that
is a mixture of two very different things” (Cambridge Advanced Learner’s
Dictionary, 2003).
Kedua, pandangan yang dikemukakan oleh Gayatri Chakravorty Spivak,
terutama melalui tulisannya “Can the Subaltern Speak?”, yang dimuat dalam buku
A Critique of Postcolonial Reason: Toward A History of the Vanishing Present
(1999). Dalam
gagasannya
yang
banyak
dipengaruhi oleh pendekatan
dekonstruksi Derrida ini, Spivak menawarkan modus strategi berbudaya bagi
27
kelompok-kelompok yang di-liyan-kan (subaltern), ketika bersemuka dengan
budaya dominan. Tujuannya adalah agar sang subaltern tidak mengalami apa
yang kerap disebut dengan tragedi ‘kekerasan epistemis’ akibat transformasi
ideologis, yang berujung pada alineasi diri kultural. Spivak menyarankan suatu
siasat, yakni agar sang subaltern menjadi dirinya sendiri, dengan cara menolak
gagasan hegemonik, melalui apa yang diistilahkan sebagai ‘menunda persetujuan’
(a willing suspension of disbelief), ketika berjamahan dengan kebudayaan
dominan (Gayatri Chakravorty Spivak, 1988:271-314; 2006:28-37).
Adapun satu hal yang perlu mendapatkan penekanan perhatian dalam
kaitannya dengan teori postkolonial Bhabha dan juga Spivak ini adalah, bahwa
untuk mengkerangkai hadirnya ‘ruang ketiga’ agar sang subaltern itu mampu
melakukan a willing suspension of disbelief, adalah perlunya kesadaran dari pihak
subaltern tentang pentingnya pemahaman akan makna apa yang dinamakan
dengan kearifan budaya lokal bagi sebuah bangsa yang dimilikinya. Kesadaran
akan lokalitas ini, sama sekali tidak dalam pengertian sebagai sebentuk sikap
‘romantisisme
kultural’,
melainkan
lebih
digunakan
untuk
menegaskan
pemahaman akan pentingnya kerangka orientasi dalam kinerja berkebudayaan itu,
yang mesti memperhatikan keterjalinan antara masa lampau, masa kini, dan
terutama lagi adalah masa depan. Karena memang kodrat konstruksi identitas
budaya itu, lebih tepat dimaknai sebagai sebuah proses menjadi, atau yang dalam
perspektifnya Martin Heidegger (2005:21-35) disebut sebagai
suatu mode of
existence atau mode of being. Identitas budaya itu, dengan demikian merupakan
proyek ke depan, sekaligus ke belakang. Karenanya, suatu identitas budaya itu,
28
tidak pernah tepat dikatakan lahir secara absolut, melainkan lebih cocok disebut
hadir,
dalam
proses
formasi
sebagai
historical
being,
yang
selalu
mempertimbangkan keterjalinan antara masa lampau, masa kini, dan masa depan
(Daniel Dhakidae, 2002:xxxii).
C. Konsep tentang Budaya Lokal
Dalam perspektif arkeologi, khazanah tradisi dan budaya lokal kerap
diistilahkan sebagai local genius (Koentjaraningrat, dalam Ayatrohaedi, 1986:80).
Pertama kali konsep ini dikenalkan oleh tokoh arkeologi H.G. Quaritch Wales
dalam tulisannya berjudul The Making of Greater India: A Study in South-East
Asia Culture Change, yang dimuat dalam Journal of the Royal Asiatic Sociaty
(1948). Munculnya istilah local genius oleh Wales ini dipicu oleh pendapat
F.D.K. Bosch pada tahun 1946 dalam pidato pengukuhannya sebagai guru besar
Universitas Leiden, yang antara lain mengatakan bahwa kebudayaan India
sebaiknya dianggap sebagai zat penyubur yang menimbulkan pertumbuhan
kebudayaan Indonesia-India yang tetap memperlihatkan ciri-ciri khasnya. Pidato
yang berjudul Het Vraagstuk van de Hindoe-kolonisatie van den Archipel tersebut
akhirnya menimbulkan tanggapan dan diskusi yang amat luas. Istilah local genius,
nampaknya juga diilhami oleh ahli psikologi Abram Kardiner dalam karangannya
berjudul The Psychological of Society (1945), untuk memberi pengertian yang
sama dengan istilah ‘basic personality of each culture’.
Menurut H.G. Quaritch Wales (dalam Poespowardojo, 1986:30) local
genius diberikan pengertian, “the sum of the cultural characteristic which the vast
majority of a people have in common as a result of their experience in early life”.
29
(Keseluruhan
ciri-ciri
kebudayaan
yang
dimiliki
bersama
oleh
suatu
masyarakat/bangsa sebagai hasil pengalaman mereka di masa lampau).
Pentingnya ciri-ciri khas yang ada dalam setiap budaya bangsa, atau yang biasa
disebut sebagai ‘pribumi’ itulah, yang oleh Wales diistilahkan ‘local genius’, yang
di dalamnya terkandung makna sebagai ‘basic personality of each culture’. Atau
dalam pemaknaannya Anderson (2006:6) disebut sebagai cultural artefacts of a
particular kind. Dengan demikian, local genius merupakan manifestasi dari
kepribadian masyarakat, yang tercermin dalam orientasi yang menunjukkan
pandangan hidup serta sistem nilainya, dalam persepsi untuk melihat dan
menanggapi dunia luarnya, dalam pola, gaya, serta sikap hidup yang ditunjukkan
dalam tingkah laku sehari-hari, yang mewarnai perikehidupannya.
Dalam kaitannya dengan hubungannya dengan proses akulturasi hasil dari
kemungkinan bersemukanya dengan budaya asing, maka jangan sampai terjadi
apa yang diistilahkan oleh Wales, yakni extreme acculturation, untuk
menggambarkan musnahnya spirit dan bentuk-bentuk budaya lokal. Melainkan
perlunya dipertimbangkan model a less extreme acculturation, yang masih
memperlihatkan local genius, yakni adanya unsur-unsur atau ciri-ciri tradisional
yang
mampu
bertahan
dan
bahkan
memiliki
kemampuan
untuk
mengakomodasikan unsur-unsur budaya dari luar serta mengintegrasikannya
dalam kebudayaan asli (Wales dalam Poespowardojo, 1986:31).
Dengan
demikian,
terkait
dengan
dimensi
local
genius,
dapat
dikemukakan bahwa kebudayaan adalah merupakan manifestasi kepribadian
masyarakat. Artinya, identitas masyarakat tercermin dalam orientasi yang
30
menunjukkan pandangan hidup serta sistem nilainya, dalam persepsi untuk
melihat dan menanggapi dunia luarnya, dalam pola serta sikap hidup yang
ditunjukkan dalam tingkah laku sehari-hari, serta dalam gaya hidup yang
mewarnai perikehidupannya (Poespowardojo, 1986:32-33).
Kedudukan local genius itu sentral, karena merupakan kekuatan yang
mampu bertahan terhadap unsur-unsur yang yang datang dari luar dan yang
mampu pula berkembang untuk masa-masa mendatang. Hilangnya atau
musnahnya local genius, berarti pula memudarnya kepribadian suatu masyarakat,
sedangkan kuatnya local genius untuk bertahan dan berkembang, menunjukkan
pula kepribadian masyarakat itu. Oleh karena itu adalah penting sekali adanya
usaha pemupukan serta pengembangan local genius, yang berfungsi dalam
seluruh kehidupan masyarakat, baik dalam gaya hidup masyarakat, dalam pola
dan sikap hidup, persepsi, maupun orientasi masyarakat (Poespowardojo,
1986:32-33).
Perlu disadari pula bahwa hubungan dengan masyarakat dan bangsa lain
akan meniscayakan terjadinya proses akulturasi, di mana masing-masing
masyarakat saling memberi dan menerima pengaruh. Dalam Microsoft ® Encarta
® Reference Library 2005. © 1993-2004 Microsoft Corporation. All rights
reserved disebutkan:
Acculturation, process by which continuous contact between two or more
distinct societies causes cultural change. This can happen in one of two
ways. The beliefs and customs of the groups may merge almost equally
and result in a single culture. More often, however, one society completely
absorbs the cultural patterns of another through a process of selection and
modification. This change often occurs because of political or military
domination. It may cause considerable psychological disturbance and
social unrest.
31
Namun yang terjadi, tidak jarang proses akulturasi itu mendatangkan
dominasi kebudayaan asing, yang berarti memusnahkan local genius, sebagai
pencerminan budaya masyarakat setempat. Oleh karenanya perlu revitalisasi.
Sebagaimana tesisnya Toynbee, kemajuan masyarakat itu ditentukan oleh dua
kriteria dialektis, yakni secara lahiriah penguasaan terhadap dunia lingkungannya
melalui teknologi, dan secara batiniah, perkembangan kemampuan masyarakat
untuk menentukan sendiri (self determination) (Poespowardojo, 1986:36-37).
Selain itu, Toynbee mengutarakan pula bahwa kebudayaan akan berkembang
apabila ada keseimbangan antara challenge dan response. Kalau challenge terlalu
besar, sedangkan kemampuan response terlalu kecil, kebudayaan itu akan
terdesak. Sebaliknya, kalau challenge terlalu kecil, kreativitas masyarakat tidak
tumbuh. Dalam era modernisasi ini, challenge masyarakat Indonesia cukup tinggi,
namun wilayah respons terasa kurang, terutama yang terkait dengan pemaknaan
local genius.
Sejalan dengan pandangan tersebut, dalam pemaknaan yang lebih luas
yang berdimensikan kultural, Rendra (1983:3) mengungkapkan bahwa tradisi
merupakan kebiasaan yang turun-temurun dalam sebuah masyarakat. Ia
merupakan kesadaran kolektif sebuah masyarakat. Sifatnya luas sekali, meliputi
segala kompleks kehidupan, sehingga sukar dipilah-pilah dengan pemerincian
yang tetap dan pasti. Terutama sulit sekali diperlakukan seperti itu, karena tradisi
itu bukan objek yang mati, melainkan alat yang hidup untuk melayani manusia
yang hidup pula. Ia bisa disederhanakan, tetapi kenyataannya tidak sederhana.
32
Lebih jauh lagi Rendra menegaskan, bahwa sebagai kebiasaan dan
kesadaran kolektif, tradisi bisa merupakan mekanisme yang membantu
memperlancar pertumbuhan pribadi anggota masyarakat. Namun demikian,
nilainya sebagai pembimbing akan merosot, apabila tradisi mulai bersifat absolut.
Dalam keadaan serupa itu, ia tidak lagi menjadi pembimbing, melainkan
penghalang bagi pertumbuhan pribadi dan pergaulan bersama yang kreatif.
Apabila ia mulai membeku, maka ia lalu menjadi merugikan pertumbuhan pribadi
dan kemnausiaan. Oleh karena itu, harus diberontak, dicairkan, diberi
perkembangan yang baru, karena sebagai bagian dari substansi hidup dan
kebudayaan yang selalau tumbuh dan berkembang. Tradisi yang tidak mampu
berkembang adalah tradisi yang menyalahi fitrah kehidupan. Fanatisme yang
menghalangi perkembangan tradisi adalah sikap yang menghalangi hidup dan
sebaliknya, sikap yang fanatik antitradisi dan menuntut kebebasan mutlak, bisa
dinilai sebagai ketiadaan pengertian akan hidup bersama. Sikap ini, meskipun
semula didorong oleh gairah hidup, pada akhirnya akan menjauhkan dari hidup.
Sebab sikap semacam itu membawanya ke arah anarkhi, yang akhirnya
memisahkannya dari kebersamaan dengan orang lain (Rendra, 1983:4).
Adapun wilayah yang menjadi ruang tempat meng-`ada’-nya nilai-nilai
local genius itu, seluas pemaknaan hakikat kebudayaan manusia itu sendiri, yang
secara substantif, sebagaimana dikemukakan antropolog J.J. Honingmann (dalam
Koentjaraningrat, 1990:186-187) menyangkut tiga kategorial besar, yakni sistem
ideas, activities, dan artifacts.
33
BAB III
TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
A. Tujuan Khusus
Tujuan khusus penelitian ini secara keseluruhan, sebagaimana telah
disinggung dalam sajian di bagian akhir latar belakang di atas, yakni untuk
mendapatkan hasil temuan data komprehensif tentang hegemoni estetika
postkolonial dalam periklanan di Indonesia, kemudian dicarikan alternatif
pencerahannya di masa mendatang, dengan cara pengembangan model desainnya
yang berbasis budaya lokal, sebagai counter hegemoni estetika postkolonial.
Adapun rumusan tujuan khusus tersebut, secara operasional dan terperinci, terbagi
dalam tiga tahun, sebagai berikut.
1. Tahun pertama, bertujuan untuk mengidentifikasi, mendeskripsi, dan
mengeksplanasi tentang bentuk-bentuk (penanda) visual, makna (petanda),
dan pola-pola hegemoni estetika postkolonial yang terrepresentasi dalam
iklan di media massa cetak Indonesia kontemporer; 2) Perancangan model
desain iklan media massa cetak, sebagai counter hegemoni estetika
postkolonial, sebagai tindak lanjut temuan penelitian yang telah
dihasilkan.
2. Tahun kedua, bertujuan untuk mengimplementasikan temuan penelitian
tahun pertama secara operasional, yakni berupa pengembangan model
desain iklan media massa cetak dengan berbasiskan budaya lokal, sebagai
counter hegemoni estetika postkolonial.
34
3. Tahun ketiga, berupa desiminasi/sosialisasi produk hasil pengembangan
model desain iklan media massa cetak berbasiskan budaya lokal, sebagai
counter hegemoni estetika postkolonial sebagaimana dimaksud.
B. Manfaat Penelitian
Berdasarkan tujuan atau target hasil yang diharapkan sesuai dengan ke tiga
tahapan sebagaimana telah disebutkan di atas, penelitian ini mempunyai beberapa
urgensi yang dapat dideskripsikan sebagai berikut. Tahun pertama, dihasilkan
temuan perihal kategorisasi bentuk atau pola hegemoni postkolonial dalam
estetika iklan di media massa cetak Indonesia. Tahun kedua, akan ditemukan
model desain estetika iklan di media massa cetak berbasis budaya lokal, sebagai
counter hegemoni estetika postkolonial; dan tahun ketiga, temuan penelitian itu
akan disosialisasikan atau didesiminasikan kepada masyarakat. Keseluruhan
temuan penelitian tersebut tentunya mempunyai makna urgensi yang tinggi, yang
diharapkan mampu memberikan kontribusi positif dalam spektrum yang luas, baik
yang sifatnya pengembangan keilmuan (teoretis) maupun praktis.
1. Secara Teoretis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan andil kontribusi yang
signifikan bagi pengkayaan teori, terutama terkait dengan disiplin Seni Rupa atau
kajian yang relevan, di antaranya adalah sebagai berikut.
a. Bagi Disiplin Seni Rupa secara Umum
Paling tidak ada dua hal strategis-siginifikan yang dapat dirumuskan,
yakni: pertama, bagi historis dan historiografi seni rupa Indonesia, dan kedua,
35
bagi kajian estetika. Pertama, terkait dengan historis dan historiografi seni rupa
Indonesia, hasil kajian ini diharapkan dapat dijadikan referensi dekonstrukstif
yang penting, bagi kemungkinan reinventing historis dan historiografi seni rupa
Indonesia secara utuh di masa depan, terutama terkait dengan salah satu problem
elitis yang masih diidapnya hingga saat ini. Problem elitis sebagaimana dimaksud,
terutama adalah kecenderungan arus utama wacananya yang terlalu dikuras pada
diskursus kanonik di seputar terminologi seni murni (fine arts) misalnya seni lukis
dan patung. Fenomena persoalan ini merupakan realitas yang sudah menyejarah
dalam ruang dan waktu yang sangat lama dalam kesadaran historis dan
historiografi seni rupa Indonesia—dan juga seni rupa dunia—yang sampai saat ini
nyaris tanpa adanya tafsir kritis yang cukup berarti, bahkan dalam setting konteks
diskursus wacana seni rupa kontemporer sekali pun (Atmaja, et al., 1990;
Supangkat,
et
al.,
2000).
Dampaknya
adalah,
bukan
hanya
kurang
terakomodasinya ruang diskursus wacana bagi eksistensi kategori seni rupa
lainnya, yakni seni terapan (applied arts), yang dalam konteks ini adalah wacana
periklanan, melainkan juga kategori seni terapan relatif ditempatkan dalam makna
yang kurang berharga, dengan label klasiknya minor/low arts, sebagai lawan atau
kebalikan major/high arts sebagai label yang melekat dalam seni murni (Yuliman,
2001; Supangkat, 1979). Padahal wacana periklanan di Indonesia keberadaannya
sudah menyejarah sangat tua, yang dimulai sekitar tahun 1600-an seiring dengan
awal sejarah percetakan di Indonesia (Lombard, 1996:150). Artinya iklan juga
telah menjadi bagian dan pilar penting dalam diskursus sejarah peradaban bangsa
Indonesia. Dengan mengadaptasi pandangan Bambang Purwanto (2006:xiv)
36
fenomena inilah sebenarnya merupakan bagian dari potret ‘kegagalan historiografi
seni rupa Indonesiasentris’, yang tak mampu menghadirkan realitas sejarah
kesenirupaan
Indonesiaan
yang
komprehensif,
yang
disebabkan
ketidakberdayaannya lepas dari jeratan warisan sejarah kolonial.
Kedua, terkait dengan dimensi kajian estetika, hasil penelitian ini
diharapkan dapat dijadikan referensi penting bagi kemungkinan pengembangan
wacana estetika yang lebih berspiritkan ke-Indonesiaan—yang sangat dekat
esesnsi filosofinya adalah estetika Timur—secara lebih komprehensif, bagi
kemungkinan solusi atas realitas keterbelengguan estetika Barat yang hegemonik
itu, bukan hanya untuk konteks kecil periklanan, melainkan juga bagi kepentingan
perspektif keilmuan seni rupa Indonesia dalam arti yang luas.
b. Bagi Subdisiplin Desain Komunikasi Visual secara Khusus
Hasil penelitian ini, diharapkan dapat dijadikan referensi penting untuk
kemungkinan pengembangan wacana keilmuan desain periklanan, yang basis
keilmuannya olah kreatif estetisnya, tidak semata-mata didasarkan pada
terminologi efektivitas dan efisiensi pesan komodifikasi produk yang ditawarkan
kepada masyarakat, melainkan juga mempertimbangkan pelbagai kompleksitas
dimensi nilai-etis, baik moral maupun kultural lainnya, yang berpotensi lebih
mencerahkan bagi masyarakat di masa mendatang. Terkait dengan hal inilah,
dalam batas-batas tertentu, hasil penelitian ini juga dapat dijadikan referensi
penting bagi kemungkinan penggagasan dan pengembangan wacana kelimuan
estetika desain periklanan, dalam kaitannya dengan diskursus estetika sebagai
37
keterlibatan/keberpihakan’ sebagai sebagai counter wacana terhadap konsep
‘estetika sebagai kebebasan’, sebagaimana yang selama ini tampak dominan dan
hegemonik dalam representasi periklanan.
c. Bagi Kajian tentang Nasionalisme
Bahwa penelitian dengan perspektif postkolonialisme itu, salah satu
substansinya adalah bersinggungan dengan salah satu dimensi dan pilar terpenting
dari keberadaan sebuah nation-state, yakni apa yang dinamakan dengan semangat
dan nilai-nilai nasionalisme (Ratna, 2008:1-2). Sebagaimana diketahui bahwa
nasionalisme itu, meskipun sebagai sebentuk fenomena imajiner (tetapi bukan
imajinatif), keberadaannya senantiasa menuntut keharusan untuk dikonstruksi dan
dipertahankan secara terus-menerus oleh segenap masyarakat pendukungnya
(Anderson, 2006:1-15). Oleh karena itulah, bentuk-bentuk postkolonialisme Barat
yang hegemonik harus dicermati secara kritis, sehingga bangsa Indonesia tidak
masuk dan terperangkap dalam serangkaian jabakan praktik kolonialisme Barat
model baru. Dalam kaitannya dengan konteks kepentingan pemupukan,
pengembangan, pemertahanan, serta pelestarian nilai-nilai dan semangat
nasionalisme, demi tetap teguh dan tegaknya entitas nation-state ke-Indonesiaan
itulah, salah satu muatan gagasan penting dan strategis penelitian ini hendak
dihajatkan dan didedikasikan.
38
2. Secara Praktis
a. Bagi Lembaga Periklanan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan referensi penting bagi
wacana kontemplatif, untuk kemungkinan pengupayaan penghadiran karya iklan
komersial di media massa pada masa mendatang, yang gagasan kreatif-estetisnya
tidak semata-mata diabdikan pada kepentingan politik ekonomi dan kapitalisme
semata, melainkan juga mempertimbangkan dimensi yang lain, termasuk dimensi
kultural yang lebih bermanfaat bagi masyarakat dan bangsa.
b. Bagi Masyarakat secara Umum
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan referensi dan inspirasi
penting, untuk membantu masyarakat menjadi semakin cerdas dan kritis terhadap
fenomena periklanan yang semakin eksplosif-ideologis, terutama lagi terkait
dengan pelbagai konstruksi ideologi yang kerap hadir tersembunyi. Tujuannya
adalah, diharapkan masyarakat bukan hanya semakin dapat menjaga jarak, dengan
pelbagai kultur absurd misalnya konsumerisme, materialisme, dan hedonisme,
melainkan juga mampu mewaspadai iklan secara kritis, sebagai salah satu situs
hegemonik yang potensial terkoneksi dengan pelbagai dimensi nilai-nilai.
39
BAB IV
METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Penelitian
Keseluruhan penelitian, yang direncakan selama tiga tahun ini,
mempergunakan payung besar jenis pendekatan riset dan pengembangan atau
R&D (Research and Development) modelnya Gall, Gall, dan Borg (2003) dengan
modifikasi. Pada tahun pertama, merupakan bagian dari tahapan studi
pendahuluan (define) dari tahapan penelitian ini. Tahap ini merupakan langkah
paling awal, yakni berupa studi pendahuluan terkait dengan analisis tentang
fenomena periklanan yang ada di media massa cetak Indonesia, terutama dalam
kaitannya dengan representasi estetikanya yang banyak dihegemoni oleh estetika
postkolonial (Barat). Analisis hegemoni estetika postkolonial dalam iklan di
media massa cetak Indonesia kontemporer ini, dilakukan baik di tingkat penanda
(bentuk) maupun petanda (makna)-nya.
Penelitian tahun pertama yang difokuskan pada analisis dokumen iklan di
media massa cetak Indonesia kontemporer, terutama pada aspek hegemoni
postkolonial yang terdapat di dalam representasi estetika iklannya ini,
menggunakan pendekatan yang sifatnya multidisiplin atau multipersektif, yakni
postkolonial dan semiotis. Pendekatan postkolonial disandarkan pada teorinya
Edward W. Said (1979), Homi K. Bhabha (1994; 1995), dan Gayatri C. Spivak
(1995), yang substansinya adalah merupakan teori yang digunakan untuk
mengkaji fenomena kolonialisme atau penjajahan kebudayaan yang terjadi secara
40
de facto (terutama oleh Barat) terhadap bangsa-bangsa bekas jajahan (terutama
Timur, termasuk Indonesia) yang terjadi ketika bangsa-bangsa bekas jajahan
tersebut secara de jure telah merdeka. Postkolonial, dengan demikian dapat
dikatakan sebagai sebentuk penjajahan model baru. Modus operandi penjajahan
model baru tersebut, tidak dilakukan dengan cara kekerasan fisik (coersive),
melainkan dengan cara-cara persuasif-hegemonik,yakni penaklukan kesadaran
bangsa yang terjajah dengan menggunakan pelbagai sarana ilmu pengetahuan dan
kebudayaan. Termasuk dalam konteks penelitian ini, penjajahan model baru itu
melalui representasi estetika periklanan di media massa.
Selanjutnya teori semiotika dipilih dalam penelitian ini, karena penelitian
ini adalah studi tentang sistem tanda yang terdapat dalam wacana iklan, baik yang
sifatnya verbal maupun pictorial. Hal ini sejalan dengan makna semiotika yang
artinya adalah: as a science of sign atau ilmu tentang tanda (Eco, 1979:3;
Sudjiman dan A.J.A. van Zoest, 1992:vii). Adapun sistem tanda dalam estetika
iklan yang
menjadi fokus kajian ini adalah representasi tanda yang menjadi
struktur penyusun utama teks iklan pada media massa cetak, yang mencakup lima
kategori, yakni: ‘ilustrasi’, headline, subheadline (body copy), signature line, dan
‘slogan’ (Vestergaard and Kim Schroder, 1985:49-50; Forceville, 2006).
Secara spesifik teori semiotika yang digunakan dalam penelitian ini adalah
model semiotikanya Roland Barthes (1978), terutama digunakan mengkerangkai
kinerja kritik ideologi (mitos) atas penanda dan petanda budaya. Dalam konteks
ini kritik ideologi (mitos) sebagaimana dimaksud adalah yang terdapat dalam
representasi estetika iklan di media massa cetak Indonesia. Terkait dengan
41
persoalan teori kritik ideologi atau mitos ini, Barthes secara spesifik
mengungkapkan bahwa mitos itu merupakan sistem semiotika tingkat dua (a
second-order semiological system), yang dalam konteks kajian budaya massa ini,
yakni lebih memusatkan kajian atas objek sebagai the significant daripada sebagai
the technical/the functional. Pembedaan ini amat penting untuk melihat gejala
budaya dalam masyarakat modern, yang ternyata the significant atas objek
fungsional, menjadi lebih penting daripada the technical atau fungsinya (Sunardi,
2002:95).
Secara operasional penerapan teori semiotika Barthesian untuk mengkaji
representasi iklan di media massa cetak dengan perspektif postkolonial ini,
dilakukan dengan dua tahap, yakni pertama, secara denotatif, dan kedua, secara
konotatif. Pertama, untuk analisis denotatif, ditempuh dengan cara mengkaji
sistem penanda elemen struktur rupa atau visual yang dapat diamati di tingkat
permukaan (surface) dalam representasi estetika iklan yang dijadikan objek
penelitian ini. Secara semiotis, struktur tanda visual dalam iklan di media massa
cetak khususnya lagi untuk kategori iklan display, dibedakan menjadi dua, yakni
tanda-tanda yang sifatnya verbal (dalam bentuk tulisan) dan non verbal (dalam
bentuk gambar/pictorial) (Ron Beasley & Marcel Danesi, 2002:22).
Kemudian
kedua,
analisis
secara
konotatif,
ditempuh
dengan
menginterpretasi dan mengkritisi isi atau makna yang tersembunyi di balik
surface iklan yang diwujudkan melalui serangkaian representasi penanda, serta
mengungkap bagaimana makna tersebut dikonstruksikan. Analisis makna dalam
konteks ini, bukannya bermaksud mencari dan menemukan makna yang sifatnya
42
denotatif, melainkan makna konotatif, yang dalam kata-katanya Barthes dalam
buku Mythologies (1973) seperti didaptasi oleh diistilahkan Sut Jhally (1990:140)
sebagai ‘mitos’ atau ‘ideologi’ tertentu. Dalam konteks dunia periklanan, mitos
atau ideologi tertentu itu difungsikan untuk kepentingan manipulasi (the myth of
manipulation) (William Leiss, Stephen Kline & Sut Jhally, 1997:36). Dalam
konteks penelitian ini, mitos atau ideologi sebagaimana dimaksud adalah ideologi
postkolonial.
Penerapan teori semiotika Barthesian untuk kajian kritis terhadap karya
iklan dalam penelitian ini, proses kinerjanya secara operasional didasarkan pada
‘teori estetika resepsi’ atau yang lebih familier kerap diistilahkan dengan ‘teori
resepsi’. Teori resepsi adalah sebagai sebuah aliran pemikiran yang meneliti teks
dengan bertitik tolak pada pentingnya posisi dan peranan pembaca yang memberi
reaksi atau tanggapan terhadap suatu teks. Perspektif ini menawarkan sebuah
alternatif terhadap metode ataupun pendekatan tradisional terhadap pembacaan
teks yang berbasiskan pada perspektif ‘estetika formalisme’, yang kecenderungan
diskursusnya banyak berpusat pada pembuat teks (Robert C. Holub, 1993:14-15).
Teori resepsi mendasarkan diri pada keyakinan bahwa keberadaan teks itu
selalu terkait dengan keberadaan pembaca atau audiensnya. Pentingnya perhatian
terhadap faktor penerimaan dalam pengkajian teks ini, terbuka sejak timbulnya
kesadaran bahwa yang dinamakan dengan teks atau karya seni itu adalah
bangunan bahasa yang diperuntukkan atau ditujukan kepada pembaca. Bahkan
terkait dengan konteks ini, Mukarovsky pernah menegaskan bahwa yang
dinamakan karya seni itu, baru akan bermakna sebagai ‘artefak estetik’, setelah
43
dibaca atau dikonkretisasi oleh pembaca (Imran T. Abdullah, 2001:115-120).
Perihal karakteristik pembaca, dalam pandangan Rien T. Siegers, dibedakan ada
pembaca umum dan pembaca khusus (misalnya peneliti) (Siti Chamamah
Soeratno, 2001:155-164). Dalam konteks ini tentunya, ‘pembaca’ di sini,
dimaknai sebagai pembaca yang membaca sebagai peneliti.
Proses pembacaan terhadap teks dalam teori resepsi, biasanya diarahkan
oleh apa yang diistilahkan sebagai ‘horizon harapan’ (horizon of expectation) atau
dalam istilah Jermannya Erwartungshorizont tertentu (Robert C. Holub, 1984:5859; Raman Selden, 1995:323). Dalam riset semiologis, ‘horizon harapan’ ini
diistilahkan dengan ‘prinsip pertinensi’ (pertinent principles), yakni suatu prinsip
limitatif terkait dengan pembatasan pilihan titik atau sudut pandang tertentu
terhadap objek yang diamati atau yang menjadi sasaran penelitian (Roland
Barthes, 2007:86). Dalam konteks penelitian ini prinsip pertinensi sebagaimana
dimaksud adalah terkait dengan persoalan postkolonial yang terepresentasi dalam
estetika iklan di media massa cetak Indonesia 2007-2010.
B. Jenis Penelitian
Sejalan dengan topik penelitian ini yang secara substantif hendak
mengkaji persoalan hegemoni ideologis-estetis Barat (postkolonial) yang
terepresentasi dalam wacana iklan di media massa cetak, maka jenis penelitian ini
termasuk dalam kategori kajian budaya (cultural studies). Menurut Hardt (dalam
Morley & Kuan-Hsing Chen, 1997, 101-111) culture studies menyediakan
perspektif partikular tentang persoalan budaya dan representasi ideologinya,
sehingga bisa menjadi kekuatan untuk analisis komunikasi terutama terkait
44
dengan praktik media massa. Pandangan ini sejalan dengan perspektifnya
Alasuutari (1999:92), yang menegaskan bahwa tujuan besar proyek cultural
studies adalah membedah beroperasinya aspek politis dalam setiap teks dan
praktik kultural yang ada (terepresentasi) dalam masyarakat. Oleh karena itulah,
‘representasi’ merupakan terma penting dan sekaligus khas dalam kajian cultural
studies, karena pembahasannya tidak terbatas pada pola struktural yang ada dalam
teks atau bahasa, tetapi lebih ditekankan pada persoalan-persoalan wacana
ideologis yang melingkarinya. Dengan mengkaji representasi teks bisa dibongkar
bagaimana beroperasinya ideologi yang ada di dalam teks tersebut (Hall, 2007,
15-19). Dalam konteks penelitian ini, teks sebagaimana dimaksud adalah wacana
iklan di media massa cetak Indonesia kontemporer. Dalam kaitan ini pula, perlu
disampaikan bahwa penelitian ini juga termasuk dalam jenis kategori penelitian
perpustakaan (library research), yakni jenis penelitian yang difokuskan untuk
mengkaji data yang bersumber dari bahan dokumenter (Soedarsono, 2001). dalam
konteks ini adalah dokumen tercetak sebagaimana dimaksud, berasal dari
majalah.
Karakteristik data dan sumber data dalam penelitian ini, kiranya perlu
diberikan penegasan tentang beberapa batasan yang terkait dengan tiga hal.
Pertama, dibatasi pada media massa cetak berupa majalah, yakni terdiri atas empat
majalah, yang masing-masing adalah: Tempo, Gatra, Femina, dan Kartini.
Keempat majalah tersebut, dipilih berdasarkan dua ketegori, yakni pertama adalah
termasuk kategori ‘majalah berita ilmiah’, yakni Tempo dan Gatra, dan kedua
adalah termasuk kategori ‘majalah populer’, yakni Femina dan Kartini.
45
Alasan pembatasan iklan yang difokuskan yang terdapat di media massa
cetak ini, lebih berdasarkan pertimbangan teknis saja, yakni relatif lebih mudah
dihadirkan dalam lembar laporan penelitian untuk kepentingan analisis. Hal ini
sedikit berbeda manakala dibandingkan dengan media massa lainnya, baik yang
berbasis audio maupun audio-visual, yang relatif cukup sulit dihadirkan secara
utuh sebagai data yang dapat dicetak atau ditulis dalam lembaran laporan. Di
samping terkait dengan dimensi praktis tersebut, faktor lain yang dapat
dikemukakan adalah, bahwa produksi satu iklan itu, biasanya secara bersamaan
waktunya dibuat di berbagai media massa, baik visual maupun elektronik, yang
tujuannya untuk menghadirkan daya tarik efek psikologis yang kuat kepada
masyarakat yang menjadi sasarannya. Hal ini sejalan dengan makna mendasar
dari iklan atau ‘reklame’ itu sendiri yang berasal dari bahasa Perancis reclamare,
yang berarti meneriakkan sesuatu secara berulang-ulang (Kasali, 1993:111).
Karenanya, meski penelitian iklan dalam studi ini difokuskan hanya pada iklan
yang terdapat di media massa cetak, namun pada titik tertentu hakikatnya juga
merupakan cerminan atas realitas iklan yang ada di media massa lainnya dalam
arti yang luas.
Kedua, batasan tentang subject matter atas data yang menjadi fokus
penelitian ini adalah jenis data iklan yang menunjukkan makna citra estetika
postkolonial (Barat). Adapun jenis subject matter data iklan sebagaimana
dimaksud, difokuskan dari jenis iklan dari media massa cetak yang bersifat
komersial. Ketiga, batasan terkait persoalan waktu keberadaan data yang akan
dianalisis, yakni menggunakan data tahun 2007-2011. Periode waktu tersebut,
46
diharapkan mampu menghadirkan informasi data yang cukup komprehensif.
Penentuan sumber data dalam penelitian ini, ditempuh dengan purposive
sampling (jugdmental sampling) yang dalam prosesnya, “the researcher specifies
the characteristics of the population of interest and locates”(Johnson, 1995:313338). Adapun ciri-ciri dan prosedur purposive sampling adalah: 1) data tidak
dapat ditentukan atau ditarik terlebih dahulu; 2) pengumpulan datanya
menggunakan teknik sampel bola salju (snowball samping); dan 3) kegiatan
penelitian akan berakhir jika sudah jenuh datanya (Moleong, 2005:224-225).
Untuk instrumen penelitiannya, adalah peneliti sendiri sebagai human instrument,
dibantu dengan pedoman dokumentasi, serta pelbagai mechanical devices yang
relevan (daftar check list, scanner, dan lain sebagainya).
Selanjutnya
tentang
teknik
analisis
data
dalam
penelitian
ini,
menggunakan teknik analisis deskriptif kualitatif modelnya Matthew B. Miles dan
A. Michael Huberman (1992:15-21). Proses berikut penerapan teknik analisis ini
dilakukan secara simultan dan terus-menerus, mulai dari awal sampai akhir
penelitian. Dalam proses analisis data ini tercakup tiga hal sekaligus juga tahapan,
yakni, reduksi data, penyajian data dan pembahasan, dan penarikan kesimpulan.
C. Bagan Alir Penelitian
Untuk mendapatkan gambaran perihal keutuhan penelitian ini yang
direncanakan selama 3 tahun, dan juga posisi penelitian di tahun pertama ini,
perlu disampaikan bagan alir penelitian ini secara keseluruhan sebagai berikut.
47
MODEL
DESAIN
IKLAN MEDIA MASSA
bentukPENGEMBANGAN
(penanda) visual hegemoni
Barat
dalam iklan
CETAK BERBASIS BUDAYA LOKAL SEBAGAI COUNTER
HEGEMONI ESTETIKA POSTKOLONIAL
Tahun Pertama
Teori Postkolonial, Semiotik, Historis
 Identifikasi penanda (ilustrasi, headline,
subheadline, signature line, slogan) dan petanda
(makna) hegemoni postkolonial dalam iklan
media massa cetak Indonesia (baik iklan
kontemporer maupun iklan kuna).
 Identifikasi pelbagai faktor sosiokultural dan
historis penyebab kuatnya konstruksi
hegemoni postkolonial dalam representasi
estetika di media massa Indonesia.
Pola-pola Hegemoni Postkolonial dalam Representasi
Estetika Iklan di Media Massa Cetak Indonesia
Tahun Kedua
Pengembangan Model Desain Iklan Media Massa Cetak Berbasis
Budaya Lokal dengan Estetika Counter Hegemoni Postkolonial.
 Domain Estetika Penandanya (mencakup:
ilustrasi, headline, subheadline, signature
line, dan slogan).
Model Desain Iklan
Media Massa Cetak
Berbasis Budaya Lokal
dengan Estetika Counter
Hegemoni Postkolonial.
 Domain Estetika Petandanya (maknanya).
Expert Judgment.
Evaluasi/Validasi.
Uji Coba Lapangan Terbatas dan Luas.
Tahun Ketiga
Diversifikasi Model Desain Iklan Media Massa
Cetak Berbasis Budaya Lokal dengan Estetika
Counter Hegemoni Postkolonial.
Desiminasi Model Desain Iklan Media Massa
Cetak Berbasis Budaya Lokal dengan Estetika
Counter Hegemoni Postkolonial.
48
BAB V
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Pengantar
Sejalan dengan fokus rumusan masalah dan juga tujuan penelitian
sebagaimana disajikan di Bab I, maka hasil penelitian dan pembahasan yang
terdapat di Bab V ini, meyajikan bentuk atau pola hegemoni postkolonial dalam
representasi estetika iklan di media massa cetak Indonesia kontemporer. Adapun
sajian deskripsi data hasil temuan penelitian berikut pembahasan selengkapnya
adalah sebagai berikut.
Berdasarkan hasil analisis data terhadap iklan-iklan di media massa cetak
Indonesia sebegaimana yang menjadi fokus penelitian ini, ditemukan paling tidak
lima kategori pola atau bentuk hegemoni postkolonial dalam representasi estetika
iklan di media massa cetak Indonesia kontemporer, yakni terkait dengan domain
obsesi terhadap: 1) penggunaan bahasa Inggris, 2) ketubuhan Barat 3) Ketubuhan
Indo, 4) ketubuhan kulit putih Barat; dan 5) superlativisme. Adapun sajian sampel
data perihal pola atau bentuk hegemoni postkolonial dalam representasi estetika
iklan di media massa cetak Indonesia kontemporer sebagaimana dimaksud
selengkapnya adalah sebagai berikut.
B. Pola Hegemoni Postkolonial dalam Represnetasi Estetika Iklan
1. Dimensi Obsesi terhadap Penggunaan Bahasa Inggris (Englishness)
Hegemoni postkolonial pertama yang terdapat dalam representasi estetika
iklan di media massa cetak Indonesia tahun 2007-2010, adalah persoalan obsesi
penggunaan bahasa Inggris (Englishness), yang dapat dikatakan amat berlebihan.
49
Dalam kaitan dengan persoalan ini, kiranya perlu disampaikan bahwa iklan-iklan
yang dimaksud dalam konteks ini adalah iklan yang dimuat di media massa
Indonesia, diterbitkan di Indonesia, dan juga diperuntukkan bagi audiens atau
masyarakat Indonesia, yang notabene bahasa komunikasi utamanya adalah bahasa
Indonesia, di samping juga bahasa daerah. Oleh karena itu, bahasa Inggris dan
juga bahasa asing lainnya yang berasal dari mancanegara, dalam konteks
masyarakat Indonesia sampai saat ini, statusnya adalah masih termasuk dalam
kategori bahasa asing (foreign language). Artinya, bahasa Inggris bukan atau
belum menjadi sebagai bahasa komunikasi primer dalam hubungan atau pergaulan
antar anggota atau warga masyarakat secara luas. Atau dengan ungkapan lain,
bahasa Inggris masih menjadi realitas yang dapat dikatakan elitis dalam
masyarakat dan kebudayaan bangsa Indonesia. Ia menjadi bagian dari bahasa
untuk komunitas yang cukup terbatas, misalnya dalam kaitannya dengan
komunikasi formal dalam situasi-situasi formal tertentu, seperti dalam dunia
akademik di perguruan tinggi, kerja diplomatik, dunia pariwisata yang melibatkan
orang asing, dan lain sebagainya. Singkat kata, bahasa Inggris meskipun diakui
sebagai bahasa komunikasi resmi internasional, keberadaannya sampai saat ini
adalah bukan atau belum berperan atau berfungsi sebagai lingua franca dalam
masyarakat
dan
kebudayaan
Indonesia.
Namun
ironinya
dan
yang
memperihatinkan dalam kaitan dengan konteks ini adalah, bahwa justru bahasa
asing tersebut (bahasa Inggris) dapat dikatakan menjadi sebentuk sistem penanda
dan petanda verbal utama dalam jagad dan wacana periklanan di media massa
cetak Indonesia tahun 2007-2010 ini. Fenomena inilah, yang kemudian
50
menghadirkan semacam logika absurd yang sangat sulit untuk dimengerti.
Sebagaimana
diketahui,
periklanan
adalah
sebentuk
komunikasi
pemasaran dalam politik ekonomi kapital, yang ditujukan untuk kepentingan
mempersuasif atau mempengaruhi khalayak sasaran seefektif dan sekaligus
sebanyak mungkin, demi mendapatkan keuntungan sebanya-banyaknya. Salah
satu konsekuensi dan konotasi logis dari makna representasi periklanan
sebagaimana dimaksud, adalah bahwa hal tersebut akan dapat dicapai manakala
representasi iklan yang disajikan di masyarakat tersebut, menggunakan sistem
tanda (penanda maupun petanda) yang tentunya cukup familier atau akrab dalam
kesadarannya. Artinya, semakin familier atau akrab sistem tanda yang digunakan,
logikanya kemungkinan besar akan semakin besar pula potensi tersampaikannya
pesan yang ditawarkan dari sebuah iklan.
Demikian juga halnya sebaliknya, karena memang analisis tentang hal ini,
kiranya dapat mengadaptasi dari hukum logika komunikasi berbahasa secara
umum atau universal yang ada atau berlaku di masyarakat. Dengan menggunakan
alir nalar ini, maka dalam kaitan dengan konteks penggunaan bahasa Inggris
dalam konteks periklanan di media massa Indonesia ini, dapat dikatakan
menyalahi atau mengingkari dari logika kesadaran berbahasa sebagaimana
adanya. Namun, itulah yang terjadi dan menjadi pemandangan absurd, bukan
hanya membingungkan melainkan juga memperihatinkan.
Beberapa contoh perihal persoalan tersebut, adalah sebagaimana tampak
dalam sajian gambar-gambar berikut.
51
Gambar 1. Penggunaan Istilah dan atau Ungkapan Berbahasa Inggris
untuk Iklan Produk Perlengkapan Rumah Tangga
Penanak Nasi Merk Yong Ma.
(Sumber: Majalah Femina, Edisi 3-9 Mei 2007, Halaman 95)
Iklan yang terdapat pada gambar 1 di atas adalah untuk menawarkan
produk kebutuhan domestik atau rumah tangga yakni berupa peralatan memasak
nasi, dengan merk Yong Ma. Terkait dengan representasi iklan tersebut, yang
menjadi fokus persoalan dalam kaitan dengan studi ini, yakni hegemoni estetika
postkolonial yang terdapat di dalamnya adalah terkait dengan penggunaan
beberapa penanda verbal atau kata-kata atau ungkapan dalam bahasa Inggris.
Kalimat pertama, yang keberadaannya cukup menonjol, adalah berupa kalimat
atau ungkapan yang berfungsi sebagai headline dalam iklan ini, yang berbunyi:
The Magic in Life. Headline iklan tersebut ditulis dengan ukuran huruf yang
cukup besar, yang diletakkan pada bidang sebelah kiri atas, dengan warna merah
yang cukup jelas untuk dilihat. Di samping itu, penanda verbal lainnya yang juga
52
menggunakan istilah dari bahasa Inggris yang tampak cukup jelas, adalah istilah
New. Kemudian ada beberapa penanda verbal lainnya, meskipun dalam ukuran
tulisannya dalam skala kecil, akan tetapi juga tetap menggunakan istilah Inggris,
yakni identitas dua serial produk MC-1000 Series dan MJ-8800 Series; juga istilah
Service Centre, yang semuanya terdapat di bidang bagian bawah.
Gambar 2. Penggunaan Istilah dan atau Kalimat Berbahasa Inggris
untuk Iklan Produk Susu Formula Merk Dancow.
Sumber: Majalah Femina, Edisi 29 Agustus-4 September 2009,
Halaman 133)
Gambar 2 di atas adalah sajian iklan untuk salah satu produk susu untuk
anak-anak dari merk Dancow. Iklan tersebut juga merepresentasikan salah satu
ikonnya, yakni penggunaan bahasa Inggris. Kata-kata atau kalimat pendek yang
berbunyi All Around Love in All Around Nutrition tersebut dalam representasi
iklan ini, menjadi salah satu kekuatan daya tarik magis yang besar dari
representasi iklan susu untuk anak-anak ini. Kata-kata atau kalimat pendek
53
berbahasa Inggris tersebut, sengaja difungsikan sebagai headline, yang
ditempatkan dalam posisi ditengah-tengah bidang iklan ini, yang disertai dengan
setting gambaran ekpresi ceria dan kecintaan yang penuh seorang ibu terhadap
anaknya yang sedang digendhongnya itu. Di samping itu, penggunaan bahasa
Inggris juga tampak dari pemberian nama atau istilah dari serial produk susu
untuk anak-anak ini, yakni yang bernama NutriGold, yang tampak dengan cukup
jelas dituliskan dalam kemasan kotak dari produk susu ini. Demikian juga halnya
dengan informasi perihal beberapa keunggulan atau kualitas kandungan dari
produk susu ini, juga disajikan dalam tulisan berbahasa Inggris, yakni berbunyi:
Protection, Brain Development, dan Body Growth. Pesan dari kata-kata tersebut,
seolah akan sangat berbeda daya tarik dan maknanya manakala digantikan dengan
berbahasa Indonesia.
Gambar 3. Penggunaan Bahasa Inggris One is Enough
sebagai Headline Iklan Produk Obat Sakit Maag Merk Promag.
(Sumber: Majalah Tempo, Edisi 30 Maret-5 April 2009, Halaman 49)
54
Iklan selanjutnya sebagaimana yang tampak pada gambar 3 di atas adalah
untuk menawarkan salah satu produk obat untuk sakit maag, yang bermerk
Promag. Secara semiotis, iklan tersebut representasinya cukup sederhana, jika
dikaitkan dengan kompleksitas penanda yang dipakainya, baik yang sifatnya
verbal maupun yang piktorial. Penanda verbal yang tampil amat menyolok dan
dominan adalah berupa satu kalimat pendek berbunyi One is Enough, yang
difungsikan sebagai headline iklan ini. Penanda verbal tersebut ditempatkan di
tengah-tengah bidang bagian atas, dengan pilihan jenis huruf atau tipografi yang
berkesan tegas, dengan ukuran yang cukup besar, serta warna yang putih yang
cukup jelas. Sementara itu, sajian penanda piktorialnya yang tampak dominan
adalah seorang laki-laki dengan pakaian formal (berjas dan berdasi), sedang
memegang untuk menunjukkan sebutir tablet obat sakit maag yang diiklankan ini.
Penanda piktorial lainnya, tampak dalam ukuran kecil di sudut pojok kanan bawah
iklan ini, adalah gambar kemasan produk obat maag ini. Justru dengan
kesederhanaan penanda yang dipakai dalam iklan ini, kata-kata asing berbunyi
One is Enough tersebut demikian tampak amat jelas, sehingga juga mempunyai
daya tarik yang besar pula. Persoalannya adalah, mengapa kata-kata tersebut tidak
berbunyi ‘Satu Saja Cukup’.
55
Gambar 4. Penggunaan Istilah dan atau Kalimat Berbahasa Inggris
untuk Iklan Produk Cat Tembok Merk Dulux.
(Sumber: Majalah Femina, Edisi 29 Agustus-4 September 2009,
Halaman 113)
Tema iklan untuk menawarkan produk salah satu merk cat Dulux, dengan
serialnya ‘Watershield’ yang terdapat pada gambar 4 di atas, adalah tentang
keceriaan. Sebuah terminologi yang pasti akan disukai oleh semua orang. Selain
dieskpresikan melalui penggambaran secara piktorial, berupa suasana ceria
sekelompok anak-anak dan juga ada seorang ibu dengan anaknya, dengan latar
belakang deretan rumah berlantai dua yang keseluruhannya dicat dengan warnawarni yang kesannya tampak cerah, asri, dan indah, juga direpresentasikan dengan
penanda verbal. Change Your Walls…, Change Your World. Penanda verbal
berupa kata-kata sederhana yang dibuat dalam warna-warni yang menarik, yang
manakala diterjemahkan secara sederhaman menjadi, ‘Ubah Dindingmu… Ubah
Duniamu… tersebut dalam iklan ini, menjadi headline penting, yang diharapkan
mempunyai daya tarik yang amat tinggi bagi para pemirsa iklan ini. Kata-kata
56
dalam bahasa Inggris tersebut, karenanya, selain dibuat dengan aneka warna yang
menarik, juga disertai dengan pilihan tipografinya yang menarik pula, serta
ukuran hurufnya yang cukup besar, sehingga akan dengan gampang atau mudah
dibaca. Karakteristik kata-kata tersebut jelas sangat berbeda jika dibandingkan
dengan yang berbahasa Indonesia, yang narasinya cukup panjang, yang dalam
iklan ini difungsikan sebagai subheadline.
Gambar 5. Penggunaan Istilah dan atau Kalimat Berbahasa Inggris
untuk Iklan Produk Rokok Merk Clas Mild.
(Sumber: Majalah Gatra, Edisi 11-17 Februari 2010, Halaman 1)
Iklan yang terdapat pada gambar 5 di atas representasi semiotisnya juga
dapat dikatakan amat sederhana, karena tak ada sedikit pun penanda piktorial
yang menyertainya. Iklan untuk menawarkan produk salah satu merk rokok yang
bernama Class Mild ini, sepenuhnya disandarkan pada kekuatan akan penan
verbal. Kekuatan penanda verbalnya pun dalam iklan ini, hanya terdiri dari dua
kalimat pendek berbahasa Inggris, yakni berbunyi: Talk Less Do More dan
today’s spirit. Manakala disimak lebih jernih terhadap kata-kata berbahasa
Inggris, terutama yang pertama itu, kalau diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia, menjadi ‘Sedikit Bicara Banyak Kerja’, atau ke dalam bahasa Jawa
57
secara kasar menjadi ‘Thithik Ngomong Akèh Mêgawé’. Kata-tersebut
mengingatkan pada satu ungkapan yang teramat klasik dalam masyarakat Jawa
yang berbunyi ‘Sêpi Ing Pamrih Ramé Ing Gawé’. Jadi, kekuatan pesan iklan
dalam rokok merk Class Mild ini, sebenarnya bukan pada isi pesannya yang luar
biasa, karena hal itu bukan hanya sudah menjadi pemahaman pengetahuan yang
terlampaui, melainkan lebih dikarenakan pesan tersebut diungkapkan dalam
formula bahasa Inggris. Pesan atau ungkapan klasik yang sudah mendarah daging
bagi masyarakat Jawa ini, kemudian seolah dalam iklan ini sebagai sesuatu yang
sama sekali baru, berkilau-kilau dan di-‘gila’-i secara euforiastis.
Gambar 6. Penggunaan Istilah dan atau Kalimat Berbahasa Inggris sebagai
Headline untuk Iklan Acara Metro TV.
(Sumber: Majalah Tempo, Edisi 12-18 Februari 2007, Halaman 11)
Adalah Rizal Malarangeng dan Najwa Shihab yang menjadi ikon penanda
piktorial dalam iklan acara televisi bertajuk Save Our Nation, dari Metro TV
sebagaimana yang terdapat pada gambar 6 di atas. Kedua orang tersebut adalah
58
pemandu acara dialog interaktif yang diselenggarakan pada setiap hari Rabu, pada
pukul 20.05 itu. Acara ini diklaim, sebagai salah satu acara talkshow berwawasan
kebangsaan yang paling diminati pemirsa. Namun acara dan sekaligus iklan ini
sebenarnya sungguh terasa amat kental aura keanehan dan keabsurditasaannya,
karena acara dialog interaktif tentang Indonesia, oleh orang dan televisi Indonesia,
dan untuk orang Indonesia, rumusan tajuk acaranya berbahasa, yakni Save Our
Nation. Kata-kata ini sarat kontradiksi dalam dirinya: nasionalisme direduksi
dalam pemaknaan yang kelewat sempit, sehingga persoalan bahasa tidak pernah
menjadi kesatuan analisis pemahanan yang komprehensif di dalamnya.
Berdasarkan data-data sebagaimana yang telah disajikan pada gambargambar di atas, dapat dikemukakan bahwa betapa yang dinamakan dengan
penggunaan bahasa asing, terutama Inggris dalam wacana periklanan di media
massa cetak Indonesia tahun 2007-2010 merupakan satu realitas yang amat
hegemonik. Manakala dicermati lebih komprehensif lagi, fenomena tersebut tidak
hanya ‘menjangkiti’ dalam wajah periklanan yang ada di media massa cetak
semata, melainkan juga menjadi persoalan yang relatif sama dengan yang ada di
media massa eletronik, baik radio, televisi, maupun internet. Sebagaimana halnya
persoalan yang terdapat dalam dimensi obsesi terhadap sosok ketubuhan Barat,
ketubuhan Indo, serta ketubuhan atau kulit putih yang telah dikaji dalam narasi di
atas, persoalan dimensi obsesi terhadap bahasa Inggris dalam representasi iklan
ini, juga difungsikan sebagai salah satu kekuatan ikon penanda daya tarik utama
yang amat penting, yang disebut eye catching.
59
Penggunaan eye catching dalam konteks ini, dapat dikatakan jelas
mengundang keanehan, kelemahan atau bahkan cacat yang cukup mendasar dari
sisi alir nalar sosiologis. Sebagaimana diketahui, bukankah yang dinamakan
dengan eye catching itu adalah sebentuk penanda dan petanda yang diasumsikan
akan mempunyai kekuatan lebih, untuk menyampikan pesan atau informasi
kepada khalayak atau masyarakat. Logikanya, bahasa Inggris itu hanya akan dapat
berfungsi optimal sebagai eye catching, dengan indikatornya yakni pesan itu akan
sangat efektif ditangkap, difahami, dan diterima oleh masyarakat, jika masyarakat
yang menjadi sasarannya itu adalah memang penutur dalam bahasa Inggris, baik
bahasa Inggris sebagai bahasa ibu atau bahasa nasional dari masyarakat yang
bersangkutan. Jika tidak, maka pesan verbal berbahasa Inggris itu akan sulit
ditangkap, difahami dan juga diterima oleh masyarakat yang menjadi sasarannya.
Seturut dengan alir nalar tersebut, maka jelas kenyataan tersebut kiranya
teramat absurd dan sulit diterima akal sehat, karena memang nirlogis. Bagaimana
dapat difamahi, bahwa iklan yang dimuat dalam media massa cetak Indonesia,
berbahasa Indonesia, disebarluaskan atau diperuntukkan bagi khalayak sasaran
atau masyarakat Indonesia, yang notabene juga kesadaran berbahasa yang
dimilikinya adalah bahasa Indonesia atau berbagai bahasa daerah atau etnis itu,
direpresentaskan dengan penanda verbal yang hegemonik berupa Bahasa Inggris.
Secara logis, dapat dikatakan bahwa iklan-iklan kategori demikian akan
sulit ditangkap dan diterima oleh masyarakatnya. Akan tetapi, itulah realitasnya
wacana yang menghampar dalam wajah dan sekujur tubuh dalam dunia periklanan
di Indonesia, fenomena ke-‘Inggris-inggris’-an telah menjadi pemandangan yang
60
sulit untuk dielakkan. Dalam konteks ini, seolah ada semacam pengakuan dan
penegasan, bahwa yang dinamakan dengan Bahasa Inggris itu mempunyai derajat
atau kasta yang lebih tinggi, jika dibandingkan dengan bahasa nasional kita, yakni
Bahasa Indonesia. Atau juga jika dibandingkan dengan pelbagai bahasa daerah
yang tersebar di seluruh nusantara, sehingga dalam periklanan bahasa Inggris
menjadi satu obsesi tersendiri, meskipun mungkin tidak dimengerti.
Persoalan perihal obsesi terhadap penggunaan bahasa asing, yakni bahasa
Inggris ini, jika diamati lebih luas bukan hanya merupakan persoalan khas dalam
konteks wacana periklanan, melainkan juga telah menjangkiti hampir di semua
sistem pranata yang luas dan kompleks dalam kebudayaan masyarakat Indonesia
modern kekinian. Bahasa Indonesia dan juga bahasa-bahasa daerah yang banyak
tersebar di seantero nusantara ini, kian hari tampak kian tersudutkan. Fenomena
ini kiranya merupakan sebuah kenyataan yang amat memperihatinkan, terutama
jika dikaitkan dengan diskursus tentang ke-Indonesia-an.
Dalam kajian perihal signifikansi jalinan antara bahasa dalam konteks
nasionalisme ke-Indonesia-an, kiranya perlu sedikit dirunut terlebih dahulu perihal
peranan penting dan strategis bahasa, dalam kaitannya dengan sesuatu hal yang
amat mendasar, yakni eksistensi manusia itu sendiri. Bahasa bisa dikatakan
merupakan kodrat kedua dari manusia, di samping kodrat kemanusiaannya
sebagai kodrat pertama (Fransiskus Borgias, 1993:361). Keberadaan bahasa dapat
dikatakan sebagai unsur yang sangat penting dan bahkan esensial dalam
kehidupan manusia. Membincang tentang manusia, tentu juga tak dapat
dipisahkan dari perbincangan tentang bahasanya, atau manusia yang berbahasa.
61
Dengan demikian, soal bahasa adalah soal manusia. Bahasa, dapat dikatakan
sebagai mekanisme yang harus ada demi kehidupan manusia (John C. Concon Jr.,
1981:7). Oleh karena sedemikian erat dan pentingnya hubungan antara manusia
dan sistem bahasanya, tidak mengerankan manakala dalam filsafat, ada yang
memandang bahwa filsafat itu sebagai analisis bahasa (K. Bertens, 1983:18).
Dengan kepemilikan bahasanya, membuat manusia mampu melakukan
tiga hal yang sangat esensial-eksistensial dalam hidupnya sebagai manusia.
Pertama, bahasa membuat manusia mampu berkomunikasi dan berbagi
pengalaman dengan orang lain. Pengalaman ini harus diartikan secara luas:
perjumpaan dengan apa pun yang ada di ‘alam’ tempat manusia meng-alam.
Kedua, bahasa merupakan landasan utama bagi manusia untuk menata gambarangambaran mental internal yang dimilikinya, dalam sebuah proses yang disebut
berfikir. Organisasi-pemikiran yang mewujud dalam bentuk bahasa ini,
merupakan kerangka kerja penting bagi kemampuan manusia untuk melakukan
proses kreasi. Ketiga, bahasa memungkinkan manusia dan atau masyarakat
terlibat dalam proses transformasi dan atau perubahan sosial. Bahkan serangkaian
dinamika dan proses transformasi serta perubahan sosial yang terjadi dalam
sebuah masyarakat, akan memperoleh dayanya, hanya ketika dibingkai dengan
menggunakan sarana bahasa. Tanpa bahasa, formulasi suatu transformasi dan atau
perubahan sosial dalam sebuah komunitas masyarakat, adalah sesuatu yang tidak
mungkin untuk dilakukan (Borgias, 1993:362).
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa bahasa menjadi salah satu
komponen penting dalam kaitannya dengan keberadaan manusia beserta
62
kebudayaananya dalam suatu masyarakat, yang disebabkan fungsi dan peran
strategis yang disandangnya, yakni sebagai medium komunikasi antarsesama
anggota masyarakat. Proses komunikasi dengan menggunakan bahasa tersebut,
dalam taraf selanjutnya yang lebih tinggi, kemudian menghasilkan sebuah
kesadaran kultural kolektif, yang dikenal dengan istilah social self (Alo Liliweri,
2005:154). Bahasa, dalam makna ini menjadi variabel penting dan strategis bagi
eksistensi keseluruhan kinerja dan praksis kesadaran kebudayaan suatu
masyarakat (Leonard Bloomfield, 1983:43).
Paralel dengan konstruksi pemaknaan tersebut, maka jika istilah
masyarakat itu kemudian dikontekstualisasikan dalam makna sebuah bangsa,
kiranya pemahaman akan alir nalar ini juga dapat dirajut dan dimaknai secara
kongruensi. Artinya, bahasa juga menjadi salah satu variabel dan pilar vital bagi
sebuah bangsa. Makna dari posisi dan peran penting itu, bukan hanya dan sematamata dalam konteks kaitannya dengan fungsi komunikatif antarsesama warga
bangsa yang bersangkutan, melainkan lebih dari itu adalah terutama sebagai
medium penting pengonstruksi apa yang diistilahkan sebagai kesadaran dan
identitas sebuah bangsa.
Ketika menyoal perihal konsep sebuah bangsa, kiranya ada gagasan klasik
yang amat menarik yang pernah ditawarkan oleh Anderson. Dalam pandangan
Anderson, nation (bangsa) itu, sebenarnya tak lebih sebagai ‘sesuatu yang
terbayang’, imagined (Benedict Anderson, 2002:8). Namun pemaknaan ‘yang
terbayang’ itu tentunya perlu mendapatkan penegasan yang ketat, bahwa ia bukan
‘imajiner’. Anderson memaknai konsep bangsa, sebagai sesuatu yang ‘terbayang’,
63
karena setiap para warga atau anggota bangsa itu, sebenarnya tidak banyak
mengetahui atau tidak mengenal sebagian besar anggota lain, tidak salaing
bertatap muka, bahkan mungkin tidak pernah mendengar tentang mereka. Namun
toh, di benak setiap orang yang menjadi anggota sebuah bangsa itu, hidup sebuah
bayangan tentang kebersamaan mereka (Anderson, 2002:8).
Dengan demikian, suatu bangsa dapat terbentuk, jika keseluruhan warga
dalam suatu komunitas itu, mau menetapkan diri sebagai suatu bangsa yang
mereka angankan atau bayangkan. Fenomena tersebut dapat direalisasikan
manakala setiap warga komunitas yang bersangkutan, mampu melampaui
kompleksitas konstruksi keberagaman perbedaan yang mereka miliki, baik itu
terkait dengan etnisitas, adat-istiadat, bahasa, kepercayaan, dan lain sebagainya,
untuk kemudian dikonstruksi suatu orientasi nilai-nilai-nilai baru yang dicitacitakan secara bersama. Seturut dengan pandangan ini, maka nasionalisme itu
didefinisikan sebagai: “Loyalty to the nation above and beyond individual
differences” (Joanna Sullivan, 2001:71), atau “A projection of individual diversity
onto a collective narrative” (Tara Brabazon, 2001).
Nasionalisme, dengan demikian menekankan pentingnya homogenitas, di
atas heterogenitas dari sebuah komunitas. Dalam kata-kata Gellner (2008:44),
“Nationalism insists upon homogeneity”. Komitmen dan keinginan untuk
mengikatkan diri dalam komunitas bangsa atau keinginan untuk bersatu inilah,
yang akhirnya mengantarkan lahirnya rasa dan jiwa kesetiaan yang tinggi pada
nation state (negara kebangsaan), atau yang kerap dikenal dengan istilah
nasionalisme. Dengan nasionalisme ini, bahkan banyak warga suatu negara
64
kebangsaan itu rela mengorbankan jiwa-raga, demi untuk membela bangsa dan
negara mereka.
Alir nalar inilah yang kemudian segera mengantarkan pemahaman
dialektis yang tak mungkin terhindarkan antara keberadaan bahasa, bangsa,
berikut konstruksi identitas yang dinamakan dengan nasionalisme yang ada di
dalamnya. Bahasa bahkan dapat dikatakan sebagai salah satu pilar terbesar bagi
konstruksi dan eksistensi identitas sebuah bangsa. Dalam kata-kata Leigh Oakes
(2001:2), “Languages is considered of the greatest importance for a nation's
identity”. Oleh karena itulah, membincang perihal eksistensi sejarah sebuah
masyarakat, bangsa, beserta segala atribusi identitas nasional dan pelbagai domain
nasionalisme yang melekat di dalamnya, nyaris tak dapat dielakkan kaitan
diskursusnya dengan eksistensi dan peran bahasa yang dimilikinya (John Myhill,
2006:6). Salah satu cara yang paling dasar, untuk menentukan identitas kita dan
untuk mempengaruhi cara orang lain memandang diri kita, adalah lewat cara kita
menggunakan bahasa (Joanna Thornborrow, 2007:223). Sejalan dengan hal itu,
Gellner pernah mengungkapkan bahwa “Nationalism as had a truth value based
on the reality of national culture which they associated with language” (Gellner,
2008:xvi). Atau kalau konsep dan pemahaman ini ditarik lagi jauh ke belakang,
seorang filsuf Jerman pada abad ke-18, Johann Gottfried Herder, dalam essainya
yang berjudul “On the Origins of Language” sebagaimana dikutip oleh Christof
Demont-Heinrich (2005:67) juga sudah pernah meneguhkan tentang hal yang
sama, dengan mengajukan satu tesis yang berbunyi, “That language and national
consciousness are inseparable” (bahwa bahasa dan kesadaran nasional tidak dapat
65
dipisahkan).
Seorang ahli filsafat bahasa asal Austria, Ludwig Wittgenstein, dalam
bukunya Philosophische Untersuchungen yang terbit pada tahun 1958,
sebagaimana diadaptasi Panggabean (1981:x-xi), terkait dengan persoalan
pentingnya peranan bahasa dalam kaitannya dengan diskursus karakteristik
kebudayaan suatu masyarakat, jauh-jauh hari juga sudah mengemukakan, bahwa
bahasa yang dipergunakan oleh setiap kelompok masyarakat atau bangsa itu sudah
tersirat suatu ‘orientasi hidup’ yang khas atau apa yang disebut dalam bahasa
Jerman sebagai weltanschauung. Orientasi hidup ini, bukan saja mencakup
konsep-konsep yang mengenai alam sekitar, melainkan juga aneka kompleksitas
yang menyangkut perasaan, kepercayaan, nilai-nilai, bahkan takhyul-takhyul yang
dimilikinya, yang pada prinsipnya adalah representasi yang akan menjadi penanda
identitas ideologis yang khas dari kebudayaan yang mereka miliki, yang kerapkali
Oleh karena itu merupakan kenyataan yang memperihatinkan kiranya ketika
melihat hegemoni bahasa Inggris dalam wacana estetika periklanan sebagaimana
dimaksud,
yang
secara
tansadar bersinggungan
erat
dengan
persoalan
nasionalisme ke-Indonesia-an.
2. Dimensi Obesei terhadap Ketubuhan Barat
Persoalan kedua terkait dengan hegemoni estetika postkolonial dalam
representasi iklan di media massa cetak Indonesia tahun 2007-2010 adalah
dimensi obsesi terhadap ketubuhan Barat. fenomena ini sebenarnya juga menjadi
persoalan yang relatif sama dalam iklan di media massa yang lain, misalnya
elektronik. Obsesi terhadap sosok ketubuhan Barat dalam iklan sebagaimana
66
dimaksud, difungsikan sebagai salah satu elemen penanda penting dalam iklan,
yakni sebagai ilustrasi, baik untuk mengiklankan produk barang maupun jasa
dalam kategori maupun jenisnya yang amat banyak. Di samping itu, penggunaan
model Barat sebagai ilustrasi iklan itu, cakupannya juga luas, baik terkait dengan
kategori gender perempuan maupun laki-laki, maupun berdasarkan kategori usia,
yang mencakup baik bayi, anak-anak, remaja, maupun orang dewasa. Beberapa
representasi penanda dan petanda estetikanya dalam konteks iklan di media massa
cetak Indonesia tahun 2007-2010, khususnya yang terdapat dalam majalah yang
menjadi sasaran penelitian ini dapat dilihat pada gambar-gambar berikut.
Gambar 7. Sosok Perempuan Barat sebagai Model
Ilustrasi Iklan untuk Produk Lipstik Merk Revlon.
(Sumber: Majalah Femina, Edisi 3-9 Juli 2008, Halaman 7)
Iklan yang terdapat dalam gambar 7 di atas adalah untuk menawarkan
salah satu produk lipstik atau pewarna bibir merk Revlon. Representasi iklan
tersebut dapat dikatakan cukup sederhana atau tidak kompleks sistem panandanya.
Yang tampak cukup menonjol adalah ilustrasi piktorial yang digunakannya, yakni
67
wajah seorang perempuan yang disajikan secara close up, terutama pada bagian
bibirnya yang memakai lipstik berwarna merah yang ronanya tampak agak
mengkilat dan ‘basah’. Iklan tersebut juga disertai sajian teks verbal yang juga
sederhana berupa headline kecil, dan tampak tidak menyolok, yakni berupa katakata Mix & Mingle Lip Pallete. Di samping itu, juga ada istilah new, yang hendak
menyampaikan pesan bahwa produk yang diiklankan tersebut adalah baru, serta
kata-kata Revlon Limited Edition Collection, sebagai penegasan merk berikut
produknya yang dibuat terbatas. Yang menjadi persoalan dalam konteks ini
adalah, bahwa sosok yang dijadikan model ilustrasi dari iklan tersebut adalah
orang Barat. Meskipun gambaran wajah atau apalagi tubuh sang model tersebut
tidak disajikan secara utuh, namun secara sekilas akan dapat dilihat, bahwa model
tersebut adalah sosok yang berasal dari Barat, misalnya tampak dari bentuk
wajahnya dan warna rambutnya yang pirang atau blonde.
Gambar 8. Sosok Perempuan Barat (Artis Jessica Alba)
sebagai Model Ilustrasi Iklan untuk Produk
Pengharum Badan Merk Rexona.
(Sumber: Majalah Femina, Edisi 17-23 April 2008, Halaman 47)
68
Demikian juga halnya dengan iklan untuk produk pengharum badan atau
lebih tepatnya pengharum ketiak sebagaimana yang terdapat pada gambar 8 di
atas, juga menggunakan sosok model sebagai ilustrasinya, yang jelas-jelas orang
Barat. Selain dari indikator dari konstruksi wajahnya yang cukup khas terutama
hidungnya yang amat mancung, matanya yang berwarna kebiru-biruan, juga
rambutnya meski tampak sebagian, nampak jelas berwarna pirang, juga yang pasti
adalah sosok model tersebut adalah seorang artis atau bintang film Hollywood dari
Amerika Serikat yang cukup terkenal, yakni Jessica Alba. Di pojok kanan bawah,
meski dalam ukuran yang tak terlalu besar, ilustrasi piktorial iklan ini juga
dilengkapi dengan gambar produk yang diiklankan. Ilustrasi yang lain, adalah
gambar seekor kambing yang dibuat secara kartunis, yang ditempatkan pada
ketiak kiri sang model, yang sengaja ditampakkan terbuka, dengan mengangkat
tangannya. Iklan ini juga disertai dengan headline berbahasa Indonesia berbunyi
‘jangan biarkan bau badan mengganggu penampilanmu’.
Gambar 9. Sosok Perempuan dan Laki-laki Barat
(Jenni dan Kimi Raikkonen) sebagai Model Ilustrasi Iklan
untuk Produk Kacamata Merk Tagheuer, dari Optik Tunggal.
(Sumber: Majalah Tempo, Edisi 30 Juni-6 Juli 2008, Halaman 5)
69
Iklan untuk produk kacamata dari Optik Tunggal, bermerk Tagheuer yang
terdapat pada gambar 9 di atas, kebetulan dengan menggunakan ilustrasi
modelnya dua orang, yakni sosok perempuan dan laki-laki, namun dengan jelas
dan sama dengan iklan-iklan lain sebelumnya, yakni bersosok Barat. Sosok model
perempuannya bernama Jenni adalah pasangannya model laki-lakinya yang
bernama Kimi Raikkonen. Terlepas dari kemungkinan alasan penggunaan sosok
tersebut misalnya terkait dengan pretasi internasionalnya, terutama Raikkonen
sebagai juara balap mobil Formula 1 tahun 2008, yang tak teringkari adalah
karena daya tariknya sosok tersebut yang berlatar belakang keturunan ras Barat.
Gambar 10. Sosok Perempuan dan Laki-laki Barat sebagai
Model Ilustrasi Iklan untuk Produk Buku Pelajaran Kreativitas
bagi Anak-anak Terbitan Penerbit Erlangga.
Sumber: Majalah Kartini, Edisi 14-28 Mei 2009, Halaman 129.
Gambar 10 di atas adalah iklan untuk produk buku, khususnya serial
tentang materi pelajaran keterampilan atau kreativitas kreativitas untuk anak-anak,
terbitan Erlangga Kids. Hal itu tampak dari ilustrasi berupa display beberapa buku
yang tampak sampul depannya misalnya berjudul ‘Kreasi Kartu Atraktif’;
‘Perhiasan Unik’; ‘Kostum Kreatif’; ‘Kamar Tidur Impian’; serta ‘Hadiah
70
Menawan’, yang disertai juga dengan ilustrasi gambar sampul buku dan pilihan
hurufnya yang unik, khas untuk anak-anak. Di samping gambar sampul bukubuku tersebut, ilustrasi utama dalam iklan ini adalah tetap juga menggunakan
model, yakni berupa sosok seorang ibu dan anaknya, yang tampak juga berasal
dari Barat. Struktur wajah baik ibu maupun anaknya yang tampak khas Barat,
misalnya dari bentuk hidungnya, serta juga warna rambut keduanya yang juga
pirang. Dalam ilustrasi yag diletakkan di sudut kiri atas tersebut, tampak
gambaran seorang ibu yang duduk asyik sambil memangku anaknya, sedang
mengajari membuat suatu benda kerajinan atau keterampilan berbahan baku dari
sejenis benang tertentu.
Berdasarkan data-data iklan sebagaimana yang terdapat dalam gambargambar tersebut di atas, dapat diungkapkan bahwa persoalan daya tarik ketubuhan
Barat, merupakan salah satu realitas yang juga amat menonjol dalam representasi
estetika iklan, bukan hanya terjadi dalam media massa cetak sebagaimana yang
menjadi fokus terbatas penelitian ini, melainkan jika dicermati juga menjadi
pemandangan yang sama dalam iklan media massa elektronik, terutama televisi.
Dalam konteks ini, sosok ketubuhan Barat atau yang mempunyai
hubungan darah dengan ras Barat seolah menjadi semacam obsesi tersendiri
dalam tradisi dan kultural Indonesia, sebagai bangsa yang termasuk dalam
ketegori Timur, yang notabene secara kodrati jelas memiliki pelbagai konstruksi
ketubuhannya yang berbeda. Persoalan dimensi obsesi terhadap ketubuhan Barat
ini kemudian jika dicermati lebih jauh lagi, sebenarnya hanya merupakan bagian
refleksi kecil dari persoalan ‘kegilaan’ akan ketubuhan Barat dalam arti yang luas
71
dalam kebudayaan Indonesia. Dapat diandaikan, ia hanyalah bagian kecil dari
sejenis puncak kepundan dari teori gunung es yang tampak menyembul ke
permukaan, sementara bagian yang tak terlihat di permukaan jauh lebih besar lagi.
Hal tersebut dapat dengan mudah diverifikasi dalam banyak ranah
representasi kebudayaan Indonesia, apalagi jika ditelusur dalam konteks kaitannya
dengan latar representasi kebudayaan massa, dengan segala jenis dan variannya.
Untuk menyebut di antaranya adalah yang terjadi dalam dunia hiburan, seperti
film dan sinetron misalnya, betapa yang dinamakan sosok Barat akan tampak
demikian mendominasi di hampir semua tayangan yang ada. Secara faktual,
sosok-sosok ketubuhan Barat dalam konteks diskursus ruang-ruang tersebut,
kerap atau bahkan niscaya ditempatkan dalam posisi dan peran yang utama,
sehingga akan menjadi point of view/centre of interest/emphasize. Dalam
terminologi wacana periklanan hal ini diistilahkan sebagai eye cathing atau eye
cather, yang mempunyai daya tarik pesona atau daya pukau yang luar biasa di
masyarakat.
Fenomena tersebut jika ditilik dari perspektif estetika, secara tansadar ada
semacam pengakuan atau pengharagaan yang lebih terhadap sosok manusia
dengan pelbagai atribusi penanda fisiknya yang khas Barat, misalnya berupa kulit
putih, hidung mancung, mata biru, serta rambut pirang. Padahal mestinya,
pelbagai komponen penanda fisik tersebut mestinya bermakna netral. Artinya
konstruksi pemahaman tentang ciri-ciri fisik, misalnya warna kulit putih itu, yang
seolah secara tak langsung dianggap lebih baik dibanding dengan warna selain
putih, misalnya hitam, coklat, kuning, atau sawo matang, jelas merupakan
72
persoalan serius dalam konteks estetika. Demikian juga halnya dengan penanda
warna biji mata yang kebiru-biruan atau rambut yang pirang, yang dianggap
sebagai hal yang lebih baik dibanding dengan warna biji mata yang hitam pekat
atau rambut yang berwana hitam, sama bermasalahnya dalam perspektif estetis.
Semua penanda tersebut mestinya mempunyai peluang yang sama sebagai sistem
tanda yang berujung pada pengharagaan, entah baik atau kurang baik.
Namun yang terjadi dalam persoalan ini adalah, ada semacam kesadaran—
yang sudah sampai kategori tak sadar—bahwa pelbagai perbedaan penanda
tersebut menjadi alat untuk mengkategori keindahan atau ketakindahan sebuah
karya. Dalam konteks periklanan sebagaimana yang direpresentasikan di atas,
jelas bahwa pelbagai penanda yang berasal dari bangsa ras keturunan Barat, yang
difungsikan sebagai ilustrasi utama, dijustifikasi sebagai semacam garansi untuk
kualitas keestetisan karya. Sementara itu sebaliknya, penanda-penanda di luar
kesadaran itu tak pernah menjadi hitungan yang penting dan strategis secara
estetis.
Format dan kesadaran akan estetika yang seperti itulah, kemudian tanpa
disadari menghadirkan kesadaran estetika yang bersinggungan keras dengan salah
satu persoalan kemanusiaan yang amat mendasar, yakni rasisme. Atau dalam
ungkapan lain dapat disampaikan, bahwa fenomena representasi estetika
sebagaimana yang terdapat dalam iklan-iklan tersebut di atas dapat dimaknai
sebagai sebentuk ‘estetika rasisme’ (racism aesthetics). Estetika rasisme dapat
diberikan pemaknaan sebagai sebentuk sebagai sebentuk faham dalam
penghadiran atau representasi karya seni yang domain keindahan atau estetikanya
73
mengeksploitasi penanda dan petandan yang bersinggungan dengan konsep
rasisme, yakni membedakan manusia berdasarkan asal-usul atau genealogi rasnya.
Oleh karena itulah, terkait dengan persoalan representasi estetika
periklanan di media massa cetak Indonesia kekinian, yang amat dihegemoni oleh
domain obsesi terhadap ketubuhan Barat sebagaimana dimaksud di atas, kiranya
merupakan sebuah realitas yang amat memperihatinkan, dan artinya pula amat
mendesak memerlukan revitalisasi yang lebih mencerahkan.
3. Dimensi Obsesi terhadap Ketubuhan Indo
Persoalan ketiga, yang tak kalah menonjol dan dominan dalam wacana
periklanan di media massa Indonesia tahun 2007-2010, baik dalam konteks media
massa cetak maupun elektronik, adalah domain obsesi terhadap ketubuhan Indo.
Persoalan ini, sebenarnya dapat dikatakan sebagai sebentuk fenomena turunan
dari obsesi ketubuhan Barat itu sendiri. Hal ini, paling tidak jika dilihat dari
makna dari istilah Indo, yang menunjuk pada sesorang yang identitas biologisnya
berasal dari keturunan hasil perkawinan campur antara orang Indonesia dan Barat.
Obsesi terhadap sosok ketubuhan Indo dalam iklan sebagaimana dimaksud, juga
difungsikan sebagai salah satu elemen penanda penting dalam iklan, yakni sebagai
ilustrasi, yang mempunyai kekuatan atau daya eye catching yang tinggi.
Beberapa representasi penanda dan petanda estetikanya dalam konteks
iklan di media massa cetak Indonesia 2007-2010, dapat dilihat pada gambargambar berikut.
74
Gambar 11. Sosok Indo Nadya Hutagalung
sebagai Model Ilustrasi Iklan Produk
Hand & Body Lotion Merk Natural Honey.
(Sumber: Majalah Femina, Edisi 5-11 September 2009,
Halaman 57)
Gambar 11 di atas adalah representasi iklan untuk produk kosmetik
perawatan kulit atau hand & body lotion yang bermerk Natural Honey. Yang
menjadi fokus perhatian dalam konteks ini adalah model yang dijadikan
ilustrasinya tersebut, yakni bernama Nadya Hutagalung. Ia adalah model Indo
keturunan Batak (Indonesia) dan Australia, yang lahir di Sydney Australia, pada
tanggal 28 Juli 1974. Ia memulai karier modellingnya di usia 12 di Tokyo, Jepang.
Ketika MTV Asia mulai mengudara dari Singapura di tahun 1995, ia termasuk
salah satu VJ (Video Jockey) pertamanya. Saat ini ia tinggal di Singapura. Dalam
ilustrasi iklan yang hampir keseluruhan didominasi warna kuning keemasan yang
mirip warna madu—yang mungkin sengaja disamakan konotasinya dengan makna
merk kosemetik yang ditawarkan ini, yakni ada istilahnya ‘honey’—tersebut,
Nadya ditampilkan dalam ukuran yang cukup besar, dengan posisi berdiri tampak
75
dari samping kirinya. Dengan menggunakan gaun yang berwarna seperti warna
madu juga, yang punggungnya tampak terbuka, wajahnya menatap ke arah
samping kiri dengan tampak anggun. Iklan ini dilengkapi headline yang berbunyi:
feel the nature on your skin.
Gambar 12. Sosok Indo Wulan Guritno sebagai
Model Ilustrasi Iklan Produk Pelembab Kulit Merk Inez.
(Sumber: Majalah Femina, Edisi 5-11 September 2009,
Halaman 111)
Representasi iklan dalam gambar 12 di atas, adalah untuk menawarkan
produk kosmetik perawatan wajah dan kullit perempuan dengan merk Inez.
Penanda iklan ini juga mengandalkan kekuatan ilustrasi utamanya, berupa
penggunaan sosok model, yakni artis Indo Wulan Guritno. Wulan Guritno adalah
artis kelahiran London, Inggris pada tanggal 14 April 1980, berdarah campuran
Jawa, tepatnya Solo-Inggris. Sebagai artis Indo, nama Wulan Guritno cukup
terkenal sebagai bintang film, sinetron, iklan, serta presenter. Oleh karenanya tak
76
mengeherankan jika sosoknya difungsikan sebagai daya tarik penanda utama
dalam iklan ini. Dalam iklan ini, Wulan ditampilkan tidak secara seluruh badan,
melainkan pada sebagian tubuh, terutama wajahnya yang tampak cantik dan
berkulit bersih, indah, beseri, yang dihadirkan secara close up. Ilustrasi
pendukung yang ditampilkan dalam iklan ini adalah berupa gambar produk
kosmetik yang ditawarkan, yang diletakkan di pojok kanan bawah. Sementara itu,
untuk identitas merk produk ini ditempatkan di sudut kanan atas, yang dilengkapi
dengan logo serta jargon produk ini, yakni more than beauty. Iklan ini juga
dilengkapi headline yang berbunyi: ‘Wajah Cantik Alami, Kulit Indah Berseri’.
Gambar 13. Sosok Indo Christian Sugiyono sebagai Model
Ilustrasi Iklan Produk Obat Flu Merk Neozep Forte.
(Sumber: Majalah Tempo, Edisi 25-21 Maret 2010, Halaman 93)
Gambar 13 di atas adalah iklan untuk produk obat sakit flu dengan merk
Neozep Forte. Iklan ini juga mengandalkan kekuatan daya tarik ilustrasinya, yang
77
dalam hal ini adalah sosok seorang model artis laki-laki Indo, yakni Christian
Sugiyono. Christian Sugiono lahir di Jakarta, 25 Februari 1981, dengan memiliki
darah keturunan Jerman-Jawa-Pontianak. Ibunya adalah orang Jerman, sementara
ayahnya dari Indonesia. Selain sebagai bintang iklan ia dikenal juga sebagai artis
film, sinetron, dan model fashion. Karena kepopulerannya, Christian pernah
berperan sebagai ‘Duta Pengetahuan Bebas’ (2009) yang menjadi program
Departemen Komunikasi dan Informatika
dan ‘Duta Microsoft Windows 7’.
Dalam representasi iklan ini, Sugiyono diilustrasikan dengan gagah dan tegapnya
seolah sedang meghalau sakit flu, dengan cara memukul idiom komponen sakit
flu yang digambarkan dengan gumpalan-gumpalan yang nyaris berantakan
bertuliskan bersin-bersin, demam, sakit kepal, dan hidung terseumbat. Headline
iklan ini berbunyi ‘Neozep Forte, Aksi Forte Atasi Flu’. Sementara itu identitas
merk sekaligus gambar produk obat ini ditempatkan di sudut kiri bawah.
Gambar 14. Sosok Indo Nicholas Saputra sebagai Model
Ilustrasi Iklan Film Nasional Berjudul 3 Hari untuk Selamanya.
(Sumber: Majalah Tempo, Edisi 4-10 Juni 2007, Halaman 71)
78
Iklan yang terdapat pada gambar 14 di atas adalah untuk menawarkan
produk berupa film nasional dengan judul 3 Hari untuk Selamanya. Dalam iklan
tersebut sosok model yang dijadikan ilustrasi utamanya dan sekaligus juga
menjadi pemeran bintang atau aktor utama laki-lakinya adalah Nicholas Saputra.
Ia lahir di Jakarta, 24 Februari 1984, dan berasal dari darah keturunan JawaJerman. Dalam potongan film yang disajikan dalam tiga frame yang ditata dari
atas ke bawah tersebut, tampak sosok Nicholas disajikan lebih dominan, jika
dibandingkan dengan partner perempuannya dalam film itu, yakni Adinia Wirasti.
Hal ini tampak misalnya pada sajian frame ketiga atau paling bawah, yang wajah
Nicholas ditampilkan dalam posisi yang tampak lebih besar sehingga lebih
mengundang perhatian, jika dibandingkan dengan wajah Adinia di sampingnya,
yang tampak lebih kecil. Selain mengiklankan film, iklan ini juga sekaligus iklan
dari rokok bermerk A Mild—sebagai sponsor utama film ini—yang ditampilkan
pada bagian tengah atas bidang iklan ini. Headline iklan ini sekaligus juga judul
film yang diiklankan. Sementara itu, untuk sajian subheadline-nya, cukup
sederhana yakni hanya berupa sajian informasi tentang film tersebut yang akan di
putar terbatas hanya di 4 kota, mulai tanggal 8 Juni 2007.
Berdasarkan data-data sebagaimana telah disajikan pada gambar-gambar
tersebut di atas, dapat diungkapkan bahwa betapa sososk ketubuhan Indo—
sebagaimana halnya dengan sosok ketubuhan Barat—juga difungsikan dalam
iklan sebagai salah satu elemen daya tarik yang utama (eye catching), yakni
sebagai model untuk ilustrasinya. Oleh karena konsep dari domain ketubuhan
79
Indo merupakan turunan dari konsep ketubuhan Barat, maka ciri-ciri atau
karakteristik yang melekat pada penanda fisik dari domain ketubuhan Indo, juga
relatif sama dengan karakteristik penanda fisik yang terdapat dalam ketubuhan
Barat, misalnya struktur atau bentuk wajahnya, bentuk hidung yang cenderung
mancung, warna rambutnya yang cenderung mengarah ke blonde, dan juga warna
kulitnya yang cenderung putih.
Sebagaimana yang terdapat pada persoalan obsesi terhadap ketubuhan
Barat, maka obsesi terhadap ketubuhan Indo ini dapat disebutkan juga
mengundang porsoalan yang serius. Hal ini dikarenakan hakikat eksistensi yang
namanya sosok insan, direduksi amat absurd, yakni semata-mata dalam dimensi
fisik ketubuhannya. Salah satu tafsir atas obsesi atau ‘kegilaan’ terhadap
ketubuhan Indo ini akhirnya juga berujung pada domain rasisme, yakni
menyangkut konstelasi politik kulturasi pembedaan dan bahkan pendiskriminasian
secara hierarkhis, hakikat derajat dan harkat kemanusiaan seseorang, yang
didasarkan semata-mata pada domain fisik yang artifisial.
Dalam kultur rasisme ini, karenanya mengenal hubungan ketaksetaraan, di
mana di satu pihak dimaknai sebagai yang superior, sementara di pihak lain,
sebagai inferior. Dalam konteks ini, dalam sejarahnya yang sangat panjang,
makna superior itu senantiasa melekat (atau tepatnya dilekatkan) secara kultural
pada kelompok manusia yang berjenis ras putih Kaukasoid-Arya, atau kelompok
manusia Barat Eropa dan Amerika. Sebaliknya, untuk yang berkategori makna
inferior adalah dilekatkan secara kultural pada kelompok ras dengan kategori
‘kulit berwarna’, terutama yang berada di Afrika, Asia, dan juga sebagaian
80
Amerika (terutama kawasan Amerika Latin), dan juga sebagian Australia
(terutama untuk kelompok penduduk asli bangsa Australia, yakni suku Aborigin).
Berdasarkan kanyataan itulah, maka domain obsesi terhadap ketubuhan
Barat atau minimal Indo ini, khususnya dalam dunia dan atau wacana estetika
periklanan, maupun dalam konteks lainnya yang lebih luas, dapat disimpulkan
sebanarnya jika ditilik dari perspektif kultur ke-Indonesia-an jelas merupakan
sebuah fenomena yang amat memperihatinkan, sehingga amat mendesak dan
menuntut kedalaman perhatian.
4. Dimensi Obsesi terhadap Ketubuhan Kulit Putih Barat
Persoalan keempat terkait dengan representasi estetika iklan di media
massa cetak tahun 2007-2010, yang juga menunjukkan kecenderungan
hegemoniknya adalah dimensi obsesi terhadap ketubuhan, khususnya kulit putih
atau ke-putih-an (whiteness). Fenomena tersebut merupakan derivat lebih jauh
dari varian tentang dimensi obsesi terhadap ketubuhan Barat, sebagaimana yang
telah disajikan pada persoalan pertama di atas.
Sebagaimana halnya dengan persoalan dimensi obsesi terhadap ketubuhan
atau sosok yang berasal dari Barat, fenomena hegemonik tentang pesan kulit putih
tersebut, tidak hanya terjadi dalam ranah dan konteks dunia periklanan di media
massa cetak semata, melainkan juga menjadi pemandangan yang cukup khas
dalam iklan di media massa yang lain, yakni eletronik, terutama lagi yang ada di
televisi. Di samping itu, pesan tentang pengidolaan kulit putih tersebut, juga
banyak menjadi pemandangan dalam sajian iklan-iklan yang termasuk dalam
81
kategori luar ruang, yang dicetak dan dipasang di pelbagai tempat strategis, baik
di pinggir-pinggir perempatan atau sudut jalan-jalan besar maupun gedunggedung di perkotaan.
Bahkan dalam konteks yang lebih luas lagi, persoalan tersebut juga
menjadi pemandangan yang khas, terutama dalam konteks kaitannya dengan
ranah industri hiburan yang berbasiskan budaya massa, misalnya film atau
sinetron. Dalam fakta keseharian menunjukkan betapa para artis atau bintang film
maupun sinetron dalam kebudayaan Indonesia modern itu, kebanyakan tafsir yang
cukup mengedepan terkait keberadaannya banyak disandarkan pada analisis
ketubuhannya secara fisik, yakni di samping cantik adalah berkulit putih. Baik
terminologi cantik maupun kulit putih sebagaimana dimaksud, tentunya adalah
mengacu pada ukuran-ukuran sebagaimana yang dimiliki oleh ras Kaukasoid
Barat.
Ada dua hal yang perlu disampaikan dalam kaitannya kajian untuk konteks
obsesi terhadap ke-putih-an ini. Pertama, bahwa fenomena ini ‘korbannya’ banyak
atau hampir semua menimpa kaum perempuan, sehingga kajiannya sedikit banyak
akan bersinggungan dengan ideologi gender, meskipun persoalan tersebut bukan
menjadi fokus kajian ini. Kedua, oleh karena persoalan ini terkait dengan ranah
kulit, maka diskursus persoalan ini hampir semua terkait dengan fenomena iklan
untuk produk-produk kosmetik. Produk-produk kosmetik yang diiklankan
tersebut, jenis dan jumlahnya sangat banyak, baik yang berasal dari dalam negeri
maupun luar negeri. Oleh karena itu, kajian data dan pembahasan dalam konteks
ini akan disajikan berbagai varian jenis dan produk kosmetik yang ditawarkan
82
melalui iklan, untuk semakin menegaskan dan meneguhkan, bahwa betapa
terminologi perihal ke-putih-an itu, memang benar-benar manjadi semacam obsesi
yang luar biasa yang menghegemoni kesadaran atau bahkan ketaksadaran kultural
kita, bangsa Indonesia ini.
Sebagaimana diketahui, bangsa-bangsa Timur, khususnya lagi yang berada
di kawasan Asia, kecenderungan warna kulit sebagai kodrat yang terberikan dari
Tuhan itu adalah kuning atau cokelat, dengan pelbagai varian istilah yang
menyertainya, termauk misalnya ‘kuning langsat’, atau kalau dalam budaya Jawa
dikenal istilah ‘sawo matang’; sebuah warna yang basisnya adalah cokelat atau
kinung, dan bukannya putih. Namun, di situlah persoalannya, putih sebagai salah
satu simbol utama dari ras Barat, kenyataannya telah menghegemoni dan
menggantikan terminologi estetika warna kulit, yang secara kodrati sebenarnya
berbeda dan plural, menjadi satu konsep yakni putih yang tunggal dan universal.
Adapun beberapa representasi penanda dan petanda estetikanya terkait
dengan dimensi obsesi terhadap ketubuhan atau kulit putih atau ke-putih-an dalam
konteks iklan di media massa cetak Indonesia tahun 2007-2010, yang menjadi
fokus penelitian ini dapat dilihat pada gambar–gambar berikut.
83
Gambar 15. Iklan Produk Pemutih Kulit
Serial ‘Citra Sabun Cair’ dari Merk Citra.
(Sumber: Majalah Femina, Edisi 18-24 Mei 2007,
Halaman Sampul Belakang)
Gambar 15 di atas adalah iklan untuk produk pemutih kulit, serial ‘Citra
Sabun Mandi Cair’ dari merk Citra. Iklan tersebut menggunakan ikon ilustrasi
utamanya seorang perempuan muda yang juga cantik—yang mungkin
diasosiasikan sebagai putri kraton di Jawa—sedang melakukan adegan mandi.
Dengan posisi duduk bersimpuh di lantai, perempuan tersebut hanya mengenakan
selembar kain batik untuk kêmbên sebatas dada, serta ekspresi wajahnya
menunduk, tangan kirinya ditekuk melintang tubuhnya sampai hampir di pundak
kanannya, seolah sedang memperagakan mengusap tubuhnya dengan sabun,
sementara tangan kanannya berada di atas paha. Tampak sekali sebagian tubuhnya
yang putih mulus, terutama pada bagian atas dada, leher dan wajahnya. Dominasi
harmoni warna cokelat, berupa kain batik, diinding kayu berukir di belekang,
84
lantai, maupaun jambangan besar tempat air, menambah kesan dalam tentang
daya tarik ke-putih-an tubuh perempuan ini. Di depannya tampak kemasan produk
sabun mandi cair tersebut dengan kemasan berwarna putih juga. Verbalitas iklan
ini sederhana, dicetak kecil ukuranya, berada di atas dan bawah yang masingmasing terdiri dari satu baris kalimat: ‘Rahasia kecantikan masa lampau untuk
perawatan kulit masa kini’; dan ‘ Citra sabun cair baru dengan ekstrak bengkoang
putih alami’.
Gambar 16. Iklan Produk Pemutih Kulit
Serial ‘Citra HazelinWhite & Natural’ dari Merk Citra.
(Sumber: Majalah Femina, Edisi 10-16 Mei 2007, Halaman 121)
Iklan yang terdapat pada gambar 16 di atas adalah juga iklan untuk produk
pemutih kulit tubuh dan wajah. Penanda piktorial utamanya, yakni berupa ilustrasi
dengan menggunakan sosok perempuan muda yang cantik, yang tentunya adalah
juga berkulit putih mulus. Sosok perempuan ditampilkan setengah badan, tampak
85
dari sisi tubuh bagian kanannya, wajah menoleh dan menatap dengan senyum
cerianya. Tubuh putihnya yang mulus, yang tidak dibalut dengan baju, melainkan
hanya dengan pakaian atau kaos dalam, yang tampak talinya bergaris putih
tampak melekat di pundak dan punggungnya. Ilustrasi tambahan iklan ini yakni
beripa gambar kemasan produknya, di sudut kanan bawah, yang juga dijajarkan
dengan beberapa buah bengkoang yang sudah dikupas, sehingga tampak kelihatan
putih bersih buahnya, yang seolah juga menegaskan tentang produk pemutih
tubuh ini. Terkait dengan penanda verbalnya, idak ada headline dalam iklan ini,
yang ada hanya identitas produk yang diletakkan di bagain paling atas, dalam
ukuran yang cukup besar, berbunyi ‘Citra Hazeline White & Natural’; serta
keterangan kandungan produk tersebut, yang diletakkan di bagian paling bawah,
yang berbunyi: ‘kini diperkaya sari bengkoang untuk kulit tampak lebih putih
alami’.
Gambar 17. Iklan Produk Pemutih Kulit
Serial ‘Nivea Whitening Body Lotion’ dari Merk Nivea.
(Sumber: Majalah Femina, Edisi 23-29 November 2007, hlm. 17)
86
Demikian juga halnya dengan iklan yang terdapat pada gambar 17 di atas,
juga menampilkan pesan putih yang cukup tegas dalam representasinya. Iklan
kosmetik untuk kulit tubuh perempuan dengan merk Nivea dengan serial ‘Nivea
Whitening Body Lotion’, penanda ke-putih-an tampak dari beberapa elemen
pendukungnya, yakni mulai dari sosok model perempuan muda dan cantik sebagai
ilustrator utamanya, yang sengaja ditampilkan dengan balutan pakaian yang amat
minim, yakni hanya penutup dada dan memakai celana pendek, sehingga keputihmulusan
tubuhnya demikian
ditonjolkan. Kemudian, pesan putih
juga
dieksplisitkan dalam nama produknya, yang dalam hal ini yakni dari serial ‘Nivea
Whitening Body Lotion’. Demikian juga halnya dengan pilihan warna secara
keseluruhan dalam iklan ini, yakni biru muda cenderung putih cerah, seolah
menegaskan pesan itu. Di samping itu juga adalah pilihan warna dari pananda
tekstual, baik sebagai headline maupun subheadline dalam iklan ini yang sengaja
menggunakan warna huruf putih, juga memberikan kesan yang cukup kuat atas
tawaran produk pemutih kulit ini.
Gambar 18. Iklan Produk Pemutih Kulit
‘Serial Shinzu’I Body Lotion’ dari Merk Shinzu’i.
(Sumber: Majalah Femina, Edisi 25 September-1 Oktober 2010, Hlm. 101)
87
Untuk iklan yang terdapat dalam gambar 18 di atas adalah masih tetap
dalam kaitannya dengan pengedepanan dimensi pesan kulit putih. Adapun untuk
membangun citra atas pesan ke-putih-an atau kulit putih dalam iklan ini juga tetap
mengandalkan kekuatan pada sosok model yang dijadikan sebagai ilustrasi utama.
Dalam hal ini model sebagaimana dimaksud, adalah sosok perempuan muda dan
kelihatan sangat cantik, tentunya dengan penampakan kulit tubuhnya yang
demikian segar, cerah, dan putih bersih atau mulus. Sang model direpresentasikan
dalam format close up, sehingga dengan jelas kelihatan kulitnya yang putih
tersebut, terutama pada bagian wajah, leher, bahu, dan sedikit dada bagian atas,
karena kebertulan model tersebut sengaja ditampilkan dengan pakaian yang amat
terbuka, hingga bagian atas badannya, terutama bahu, leher, dan dada bagian atas
jelas kelihatan. Demikian juga halnya dengan penegasan pada headline iklan ini,
yang dirumuskan dengan ungkapan sederhana, yang ditulis di sudut kiri atas, yang
berbunyi: ‘karena putih itu… Shinzu’I’, juga menegaskan tentang pesan kulit
putih yanga sama. Hal lain yang juga semakin menguatkan pesan putih adalah,
tampak dari gambaran benda-benda putih, yang tampak melayang di dekat gambar
kemasan produk yang sengaja dibuka tutupnya itu. Kesan putih itu juga cukup
kuat, terutama ketika iklan ini didukung dengan latar belakangnya yang berwarna
hitam pekat.
Berdasarkan data-data yang terdapat pada sajian gambar-gambar di atas,
maka dapat dikemukakan bahwa penanda lainnya yang kerap menjadi ciri khas
sosok Barat atau Indo adalah dari sisi warna kulitnya, yang lazimnya dikenal
berwarna putih. Fenomena ini seolah mentasbihan risalah eksistensi tubuh ke-
88
putih-an Barat itu, sebagai satu-satunya standar keindahan kulit dan mitos
kecantikan 2007-2010 universal. Hampir dalam keseluruhan iklan untuk produk
kecantikan kulit yang ada dalam iklan Indonesia kekinian, kata-kata ‘putih’ atau
white, telah menjadi penanda dan petanda kekuatan sihir yang mempunyai daya
magis luar biasa. Hal tersebut dapat dilihat dari iklan produk kosmetik atau
kecantikan kulit yang banyak beredar, misalnya Sari Ayu Martha Tillar pada
tahun 2007 yang mengiklankan serial produk kosmetik ‘putih langsat’; Mustika
Ratu tahun 2008 mengiklankan produknya berupa Bengkoang Whitening Series;
kemudian juga produk kosemtik lainnya seperti Viva White, Citra White, Fanbo
Whitening Arromatic; Pixy UV Whitening’; Hazelin Natural White; Nivea Pure
White; Pond’s White, L’oréal White Perfect; Revlon Absolute White; Vaselin
Healthy White; Shinzu’I; Lux White Glamour; Give White; dan masih banyak lagi
produk atau merk yang lainnya.
Oleh karena itulah, dalam kaitan ini estetika yang terdapat dalam konteks
estetika periklanan yang didominasi dengan sistem tanda kulit tubuh ke-putih-an
ini, dapat diistilahkan sebagai ‘estetika ke-putih-an’ (whiteness aesthetics).
Adapun istilah whiteness itu sendiri, maknanya dibedakan dengan semata-mata
persoalan ‘warna kulit putih’, yang konotasinya lebih terkait dengan domain
pigmentasi kulit semata. Melainkan lebih dari itu, konsep whiteness adalah lebih
terkait dengan persoalan representasi sistem budaya yang kecenderungannya
menempatkan makna yang lebih (superior) kepada kelompok manusia berjenis
kulit putih, jika dibandingkan dengan yang berkulit berwarna (Valerie Melissa
Babb, 1998:9-10; Ruth Frankenberg, 2005:5-6).
89
Berangkat dari terminologi itulah, maka yang dinamakan dengan istilah
whiteness itu lebih sebagai ‘rezim dan politik kebudayaan’ (Uli Linke, 2004:207;
Alfred J. López, 2005:1-30; Franz Fanon, 2008; Stuart Hall, 2010:81-84).
Fenomena obsesi terhadap ketubuhan putih Barat ini, di luar kaitannya dengan
persoalan yang jelas amat bersinggungan dengan politik identitas nasional atau
kebangsaan, juga yang tak kalah amat mendasar adalah ditilik dari optik domain
kemanusiaan. Dalam konteks ini, seolah kita diingatkan kembali dengan sebuah
dalil dan faham Darwinian yang amat peyoratif dan absurd tentang persoalan
wacana kontestasi manusia dalam mempertahankan kehidupan. Charles Darwin
(2007:62) pernah membuat dalil tentang the survival of the fittest yang konotasi
maknanya adalah, hanya manusia yang yang paling kuat lah yang akan dapat
memenangkan dan mempertahankan kontestasi kehidupan. Dalam konteks
wacana persoalan domain obsesi terhadap ketubuhan kulit putih (whiteness) ini,
seolah kemudian secara samar-samar di masyarakat berkembang dalil baru yang
mirip dengannya, yakni yang berbunyi: the survival of the most white (Paul
D'Amato, 2006:27). Bahwa yang akan mampu bertahan hidup dan menjadi
pemenang dalam kontestasi kebuasan belantara kehidupan, hanyalah mereka yang
tubuhnya berkulit putih. Sebuah dalil dan faham yang bukan hanya amat
menyakitkan dan menyesatkan dari sudut kebudayaan dan kemanusiaan,
melainkan juga telah mengingkari dan bahkan mensubversi hakikat kodrat
perbedaan yang memang sebenarnya telah diabsolutkan oleh keniscayaan Tuhan.
Akibat begitu kuatnya gema propaganda dan provokasi terutama melalui
media periklanan tentang ‘mitos ke-putih-an’ itu bergaung di masyarakat,
90
akhirnya masyarakat menganggap bahwa wacana dan persoalan itu adalah benar
adanya, dan masyarakat pun kecenderungannya kemudian bukan hanya
mempercayai tetapi amat meyakini, sehingga implikasinya kaum pribumi
(terutama para perempuannya), tanpa disadari harus berlomba-lomba untuk
memimikri kulit tubuh mereka, yang ‘kodratnya’ adalah berwarna kuning
kecoklatan atau sawo matang, agar menjadi putih, seputih idolanya yang berasal
dari ras Kaukasian Barat itu.
Hal ini dapat diverifikasi, di antaranya adalah di luar dari berbagai atau
aneka jenis kosmetik untuk pemutih kulit, yang jumlahnya bisa mencapai puluhan
atau bahkan ratusan, baik yang berasal dari produk dalam negeri maupun luar
negeri, sebagaimana sebagian kecilnya telah disajikan sebagai data-data di atas,
juga dapat dverifikasi dari fenomena semakin menjamurnya dari hari ke hari apa
yang dinamakan dengan berbagai tempat seperti salon kecantikan, atau spa,
terutama di kota-kota metropolitan—bahkan juga sudah merambah sampai di
kota-kota kecil yang berada di pelosok-pelosok seantero Nusantara, dengan salah
satu fokus utamanya pelayanan jasanya adalah ‘pemuith kulit’, yang akumulasi
omzet per tahunnya ternyata angkanya mencapai, bukan hanya milliaran, tetapi
triliunan rupiah.
Hal ini dapat dilihat berdasarkan data dari Persatuan Perusahaan Kosmetik
Indonesia (Perkosmi) menyebutkan, pertumbuhan pasar kosmetik di Indonesia
antara 15% sampai 20% tiap tahun. Perkosmi memperkirakan, pada tahun 2008
ini, omzet pasar kosmetika akan tumbuh sekitar 20%. Jadi nilainya sekitar Rp 22
triliun
(http://yohanes-hans.blogspot.com/2008/06/bisnis-raksasa-dari-mereka-
91
yang-inging.html. Diakses Juni 2010). Sungguh merupakan angka-angka yang
amat fantastis yang kiranya bukan hanya mencengangkan, namun juga amat
mengerikan dan memiriskan mata hati nurani, hanya untuk demi impian memiliki
sebuah kulit yang berwarna putih, seperti kulit putih Barat.
Menyaksikan, memahami, dan merenungkan semua fenomena itulah,
kiranya tak berlebihan manakala dikemukakan bahwa representasi hegemoni
postkolonial ini, telah, sedang, dan sepertinya masih akan tetap terus
menghasilkan sebuah epik drama kolosal, yang merupakan kombinasi antara
lakon ‘tragedi sekaligus komedi’ yang mengharu biru, dan menyayat hati di
seantero bangsa ini. Bagaimana tidak dapat dikatakan sebagai ‘tragedi-komedi’,
kalau dikaitkan dengan dengan risalah sosok Barat atau minimal Indo yang
berkulit putih, dalam lintasan historis yang panjang telah menjadi bagian narasi
gelap perjalanan bangsa ini di masa-msa yang telah lewat di belakang, masa-masa
ketika Indonesia berada di bawah koloni penjajahan.
Namun ironinya adalah, meskipun trauma kolonialisme demikian hebat,
menyayat jantung, hati, dan melukai nurani semua anak bangsa ini dari generasi
ke generasi—oleh karena daya pesona Barat dengan segala narasi besar
kehebatannya yang tak terperikan—ternyata tak cukup dijadikan dasar alasan
untuk sekedar mengambil jarak darinya. Inilah yang diistilahkan kutukan
‘ambivalensi’ yang memang menjadi salah satu kata kunci khas dalam teori
postkolonial yang sulit diurai (Budiawan, 2010:vii-xxii.
Karena pada satu sisi, kesadaran bangsa Indonesia ini pasti amat
membenci karena luka-luka sejarah yang ditimbulkannya; tetapi dalam waktu
92
yang bersamaan, di sisi yang lainnya, bangsa ini sekaligus juga ada rasa kagum
(dan karena itu merindukannya, entah sadar atau tidak), karena superioritas
perdaban
yang
dipertontonkannya.
Juga
ada
kecenderungan
untuk
mengkambinghitamkan masa lalu kolonial, atas segala kertbelakangan dan
keterpurukan pada masa kini, tetapi sekaligus juga berterima kasih kepadanya atas
kekuatan-kekuatan koloniallah (meskipun secara tidak langsung) yang juga
kemudian turut memungkinkan terbentuknya ‘negara-bangsa’ yang ada sekarang
ini.
Namun yang pasti, melampaui diskursus apa pun tentangnnya, bahwa telah
terjadi sebuah fenomena di mana bangsa Indonesia secara massif, berada dalam
drama tragika itu, bukan hanya berperan sebagai figuran dan korban, tetapi lebih
dari itu, adalah bahkan tampaknya sebagai budak-budak stereotip bangsa kulit
putih Barat, sehingga bangsa ini seolah tidak punya sama sekali yang namanya
hakikat harkat, martabat, dan harga ketubuhan dan jiwa diri.
5. Dimensi Obsesi terhadap Superlativisme
Hegemoni postkolonial yang kelima yang terdapat dalam representasi
estetika iklan di media massa cetak Indonesia tahun 2007-2010, adalah persoalan
dimensi obsesi terhadap apa yang dapat diistilahkan sebagai ‘superlativisme’.
Dalam khazanah bahasa Indonesia, istilah ‘superlatif’ merupakan kata serapan
dari bahasa asing, yakni bahasa Inggris superlative (kata sifat), yang artinya of the
highest degree or quality (merupakan tingkat atau kualitas tertinggi), atau juga
bermakna sebagai kata keterangan yang berarti expressing the highest degree
(mengekspresikan tingkat tertinggi) (AS Hornby, 1987:868).
93
Demikian juga halnya dalam bahasa Indonesia, istilah superlatif diartikan
sebagai tingkat perbandingan yang teratas atau bentuk kata yang menyatakan
paling, yang biasanya dinyatakan dengan awalan ‘ter’ (J.S. Badudu, 2003:373;
Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2008:1107)). Sementara itu, ‘superlativisme’
merupakan sebentuk gejala atau kecenderungan yang berlebih-lebihan atau
keterlaluan dalam berkebudayaan, yang di antaranya tampak pada perkataan atau
tingkah laku (J.S. Badudu, 2003:373).
Istilah superlatif, dengan demikian mirip dengan istilah dan konsep
‘hiperbola’, yang artinya merupakan ucapan (ungkapan, pernyataan) atau kiasan
yang
dibesar-besarkan
atau
berlebih-lebihan,
yang
dimaksudkan
untuk
memperoleh atau menghadirkan efek tertentu secara psikologis (Kamus Besar
Bahasa Indonesia, 2008:403). Istilah dan konsep superlativisme ini, manakala
diperluas lagi maknanya maka pada titik tertentu akan bersinggungan dengan
persoalan ‘kesombongan’, ‘keserakahan’, ‘kemegalomaniaan’, dan istilah-istilah
lain yang semakna; yang prinsipnya adalah banyak keterkaitannya dengan sebuah
faham atau aliran filsafat materialisme yang amat memuja domain material atau
kebendaan menjadi sejenis ideologi yang dianggap paling bermakna dalam
kehidupan.
Dalam konteks estetika iklan, superlativisme ini direpresentasikan sebagai
penanda dan petanda verbal yang dapat dikatakan utama, dengan menggunakan
pilihan kata atau istilah tertentu yang kecenderungan konotasi maknanya
menghadirkan asosiasi sebagai yang paling atau terhebat, terbesar, terbaik, atau
apa pun makna lainnya yang relatif senada, terkait dengan produk barang maupun
94
jasa yang ditawarkan. Fenomena tersebut kiranya merupakan hal yang
mangandung persoalan, paling tidak terkait dengan dua hal mendasar.
Pertama, serangkaian penanda berupa istilah atau ungkapan superlatif
dalam iklan sebagaimana dimaksud kecenderungan substansi maknanya adalah
sebagai sesuatu yang sifatnya ‘hal yang sebenarnya atau sesungguhnya’
sebagaimana adanya, melainkan tak lebih sebagai sebuah citra (image). Padahal
yang dinamakan dengan citra itu adalah sejenis gambaran atau kesan yang
dimiliki orang banyak mengenai sesuatu hasil dari pengamatan terhadap suatu
objek tertentu. Atau juga merupakan kesan mental atau bayangan visual yang
ditimbulkan oleh sesuatu objek, misalnya kata, frasa, kalimat, atau gambar
(Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2005:216).
Dalam ungkapan lain, berbicara tentang citra, sebenarnya bukanlah
membincangkan tentang sesuatu yang memang benar-benar terkait secara
substantif sesuatu yang sedang diamati, melainkan lebih pada persoalan kesan
yang didapatkan dari hasil pengamatan terhadap sesuatu itu, sebagai hasil dari
tangkapan indera yang sifatnya permukaan. Oleh karena itulah, karenanya tak
mengherankan dalam konteks kaitannya dengan budaya dan media massa,
misalnya dalam wacana periklanan, istilah citra bahkan kerap dimaknai dalam
domain yang cenderung negatif, yakni sebagai sesuatu yang tampak oleh indera,
akan tetapi sama sekali tidak memiliki eksistesi substansial di dalamnya (Yasraf
Amir Piliang, 1998:13).
Kedua, jika dikaitkan dengan kesadaran secara kultural ke-Indonesia-an,
taruhlah dalam konteks yang sempit misalnya yang terdapat di budaya Jawa, maka
95
fenomena superlativisme tersebut kiranya merupakan sesuatu yang mengundang
persoalan. Sebagaimana diketahui, secara filosofis dan ideologis dalam kesadaran
budaya Jawa secara keseluruhannya cenderung menganut faham yang
berkebalikan sama sekali dengan konsep superlativisme, misalnya dalam wujud
kesederhanaan atau kebersahajaan. Hal itu dapat ditelisik dari nilai-nilai yang
diyakini dan telah berkembang sejak lama dalam budaya Jawa, misalnya dalam
bentuk konsep hidup prasaja atau sakmadya, yang artinya adalah bukan sebagai
sesuatu yang berlebihan, melainkan sebaliknya kesederhanaan.
Nilai-nilai hidup yang merupakan kebalikan dari konsep superlativisme
seperti itu, dalam spektrum yang luas, kiranya bukan hanya merupakan hal yang
sifatnya esklusif dalam khazanah budaya Jawa saja, melainkan juga dimiliki oleh
daerah-daerah lain di seantero Nusantara. Bahkan dalam skala yang lebih luas
lagi, hal itu juga menjadi salah satu ciri dari kebudayaan Timur, dan relatif kurang
dikenal dalam kebudayaan Barat, terutama semenjak era modern. Namun sekali
lagi, yang menjadi persoalan adalah, nilai-nilai Barat yang amat kontradiktif
dengan kesadaran filosofis budaya Timur pada umunya dan budaya Indonesia
pada khususnya itu, kini kecenderunganya tampil sebagai representasi yang
hegemonik dalam estetika periklanan di media massa Indonesia.
Berdasarkan data-data yang ada, ditemukan beberapa kategori konsep
superlativisme yang terdapat dalam iklan di media massa cetak Indonesia tahun
2007-2010, di antaranya adalah terkait dengan penggunaan istilah atau konsep
yang berawalan ‘ter-‘,
‘hiper-‘, dan ‘super-‘. Untuk penggunaan istilah atau
konsep yang berawalan ‘ter-‘, misalnya adalah: tak tertandingi, terbesar,
96
sementara itu untuk istilah atau konsep yang berawalan atau berkata kata depan
‘hiper-’ yakni misalnya: ‘hipermarket’ dan untuk istilah yang berwawalan atau
berkata depan ‘super-’, misalnya adalah ‘supermarket’, ‘superliga’.
Selain itu, juga terdapat berbagai varian dari penggunaan istilah atau
konsep yang maknanya relatif senada dengan maksud yang terdapat dalam konsep
superlativisme, misalnya yang direpresentasikan dalam bahasa Inggris, seperti
penggunaan istilah yang berakhiran ‘-er’, yang maknanya adalah ‘lebih’. Hal ini
misalnya tampak pada pemakaian istilah bigger (lebih besar), better (lebih baik),
bolder (lebih berani). Kemudian ada juga varian lain, yakni dengan penggunaan
istilah-istilah seperti: ‘paling’, best (terbaik), big (besar), more (lebih), most
(paling), great (besar), excellent (istimewa), ultimate (terakhir, penghabisan,
puncak) perfect (sempurna), luxury (kemewahan), glamour (mempesona, mewah),
amazing (menakjubkan, bukan main, bukan kepalang), magic (sakti), absolute
(absolut, mutlak, sepenuhnya), fantastic (fantastis, luar biasa, tidak masuk akal),
unlimited (tak terbatas), first (pertama), ‘nomor 1’, ‘top’, ‘luar biasa’, ‘maha’, dan
lain sebagainya yang maknanya relatif senada, yang secara sangat mendasar
menyampaikan pesan tentang sesuatu yang sifatnya lebih atau paling.
Beberapa contoh perihal persoalan tersebut, penanda dan petanda
estetikanya, khususnya yang terdapat dalam iklan media massa cetak Indonesia
tahun 2007-2010, adalah sebagaimana tampak dalam sajian gambar-gambar
berikut.
97
Gambar 19. Penggunaan Sitem Tanda Superlativisme, baik yang Sifatnya Verbal
(Bigger-Better-Bolder) maupun Piktorial (Mobil serta Bangunan Gedung sebagai
Latar Belakang), untuk Iklan Produk Mobil Serial ‘Accord’ dari Merk Honda.
(Sumber: Majalah Tempo, Edisi 21-27 April 2008, Halaman 31)
Iklan yang terdapat pada gamba 19 di atas, adalah merupakan salah satu
contoh dari representasi superlativisme. Superlativisme sebagaimana dimaksud,
terutama tanpak dari penanda dan tentunya sekaligus juga petanda verbal dalam
iklan ini, berbunyi: Bigger-Better-Bolder; yang maknanya adalah: ‘lebih besar,
lebih baik, lebih berani’. Di samping itu, superlativisme dalam iklan ini juga
tampak dari sistem tanda piktorialnya. Sebagaimana dapat dilihat, bahwa iklan
untuk mempromosikan mobil serial ‘Accord’ dari merk Honda ini, tampak
diilustrasikan dengan amat megah dan glamour. Gambar mobil tersebut
ditampilkan secara close up dari arah depan tampak gagah sekaligus mewah.
Mobil tersebut diparkir di dalam sebuah bangunan gedung atau rumah, yang juga
98
tak kalah megah dan mewahnya. Kemegahan dan sekaligus kemewahan bangunan
tersebut bukan hanya dari kemegahan tiang-tiangnya yang khas bergaya Yunani
atau
Romawi
Klasik
tersebut.
Melainkan
juga tampak
dari
berbagai
ornamentiknya yang amat indahnya yang menempel di gedung itu, baik di
dinding, ujung tiang penyangga bagian atas, serta langit-langit di atas ruangan
tempat mobil tersebut dipamerkan.
Gambar 20. Penggunaan Sitem Tanda Superlativisme, baik yang Sifatnya Verbal
(Tak Tertandingi, Kemewahan) maupun Piktorial (Mobil dan Bangunan sebagai
Latar Belakang), untuk Iklan Produk Perbankkan dari Bank BRI.
(Sumber: Majalah Tempo, Edisi 9-15 Agustus 2010, Halaman 47)
Iklan yang terdapat pada gambar 205 di atas adalah untuk menawarkan
produk jasa perbankkan, yakni dari Bank BRI, dan khususnya lagi dari salah satu
divisi jenis layanannya, yakni bernama ‘BRI Britama’. Iklan ini secara sangat
khusus pula menginformasikan perihal adanya undian berhadiah yang
diperuntukkan bagi para nasabahnya, sebagaimana hal yang sama juga kerap
99
terjadi pada perbankkan yang lain pada umumnya. Yang menjadi permasalahan
dan fokus pencermatan kritis terkait dengan fenomena superlativisme dalam
konteks iklan ini adalah, juga terkait dengan pemakaian sistem tanda, baik yang
sifatnya verbal maupun piktorialnya. Untuk sistem tanda superlativisme yang
bersifat verbal, yakni ditandai dengan pemakaian istilah ‘tak tertandingi’, dan juga
‘kemewahan’. Istilah tak tertandingi, kiranya sebuah jargon yang tidak dapat
dibuktikan atau disertai bukti kebenarannya yang bisa dipertanggungjawabkan.
Gambar 21. Penggunaan Sitem Tanda Superlativisme, Terutama yang Sifatnya
Verbal (Terbesar) untuk Iklan Harian Pagi Bernas Jogja.
(Sumber: Majalah Tempo, Edisi 5-11 Februari 2007, Halaman 60)
Untuk kategori penggunaan sistem tanda superlativisme pada sistem tanda
iklan yang berbasiskan verbal, terutama yang menggunakan istilah yang
berawalan ‘ter-‘, juga terdapat pada iklan sebagaimana yang tampak pada gambar
21 di atas. Sistem tanda verbal sebagaimana dimaksud dalam konteks iklan untuk
harian pagi Bernas, sebuah surat kabar yang terbit di Yogyakarta ini adalah
berbunyi: ‘koran modern dan terbesar di Jogja’. Ungkapan atau statemen yang
bernada sebagai klaim ini, di samping sekali lagi tidak dapat dibuktikan
kebenarannya, juga yang menjadi ironi adalah bahwa dalam perkembangannya,
100
yakni beberapa waktu setelah ungkapan jargon ini dikedepankan, koran atau
harian surat kabar ini dapat diistilahkan bangkrut, sehingga harus berganti nama
menjadi Harian Jogja (Harjo), pada tanggal 20 Mei 2009. Terlepas dari persoslan
yang terdapat dalam harian Bernas, namun yang pasti dapat diungkapkan bahwa
berganti atau berubahnya harian tersebut dengan nama yang baru, kiranya
merupakan satu indikasi bahwa di dalamnya ada sesuatu persoalan, yang
maknanya bertolak belakang dari domain ‘kebesaran’ yang diiklankannya.
Gambar 22. Penggunaan Sitem Tanda Superlativisme,
Terutama yang Sifatnya Verbal (Hipermarket, Supermarket)
untuk Iklan Produk GE Money Credit Cards.
(Sumber: Majalah Femina, Edisi 17-23 April 2008, Halaman 95)
Gambar 22 di atas adalah iklan yang dimuat di media massa cetak, yakni
majalah Femina yang terbit edisi 17-23 April 2008, yang menawarkan perihal
kartu kredit dari GE Money. Kartu kredit ini adalah salah satu media yang
101
dipergunakan untuk belanja, sebagai pengganti model transaksi dengan sistem
pembayaran langsung dengan uang tunai, yang dalam batas tertentu budaya
pemakaian kartu kredit ini lebih bermakna sebagai pendukung apa yang
diistilahkan gaya hidup (life style). Adapun sistem tanda yang terkait dengan
gagasan superlativisme dalam iklan ini, adalah terutama dengan pemakaian sistem
tanda yang sifatnya verbal, yakni berupa istilah ‘market’ (terjemahan dari pasar
atau toko) yang diberi awalan atau kata depan ‘hiper-’ dan ‘super-‘, sehingga
menjadi: ‘hipermarket’ dan ‘supermarket’. Sebagaimana yang sudah amat dikenal
di lingkungan kota-kota besar, dua istilah itu seolah dianggap sebagai hal yang
biasa maknanya, yakni sebagai penanda tentang sebuah tempat berbelanja yang
amat besar, yang menyediakan aneka kebutuhan. Dalam iklan tersebut, dua istilah
tersebut, diilustrasikan sebagai papan penunjuk arah, yang disertai gambar atau
logo kereta untuk tempat barang belanjaan (troly), dan pada bagian bawahnya
adalah gambar kartu kredit yang ditawarkan.
Berdasarkan data-data temuan sebagaimana disebutkan pada gambargambar di atas, maka dapat dikemukakan bahwa representasi estetika iklan di
media massa tersebut kecenderungannya banyak yang
menggunakan sistem
tanda, baik penanda maupun petandanya yang bermakna superlatif. Sebagaimana
halnya dengan berbagai domain persoalan lainnya yang menjadi fokus dalam
penelitian ini, penggunaan istilah atau konsep superlatif ini, juga bukan sematamata khas dalam iklan di media massa cetak, melainkan juga terjadi di media
massa yang lainnya, yakni media massa elektronik, mislanya televisi, radio, dan
juga di internet. Adapun tujuan dari penggunaan sistem tanda superlatif
102
sebagaimana dimaksud ujung-ujungnya adalah tak lebih sebagai bagian dari
politik persuasif atau bujuk rayu untuk kepentingan menghadirkan daya tarik yang
semaksimal mungkin atas produk yang ditawarkan kepada masyarakat.
Jika ditilik secara mendalam, fenomena pemakaian istilah atau konsep
superlatif dalam wacana periklanan ini, jelas mengandung persoalan secara
mendasar, terutama dari sudut pandang etika (moral), baik yang terkait dengan
dengan etika bisnis maupun etika kultural. Pertama, jika dilihat dari etika bisnis,
penggunaan sistem tanda superlatif sebagaimana beberapa contohnya seperti telah
disebutkan dalam gambar iklan di atas, yakni misalnya dengan menggunakan
istilah-istilah dari bahasa Indonesia yang berawalan ‘ter-‘ (‘tak tertandingi’,
‘terlengkap’ dan ‘terbesar’, ‘tertinggi’, dan lain sebagainya. Demikian juga halnya
dengan persoalan senada dengan menggunakan bahasa Inggris, misalnya bigger,
better, bolder, yang artinya ‘lebih besar’, ‘lebik baik’, ‘juga dengan menggunakan
istilah-istilah: largest, yang artinya ‘terbesar’; most, yang artinya ‘paling’ ; more,
yang artinya ‘lebih’; ‘hyper’ (hypermarket, ‘super’ (supermarket, superliga); best,
yang artinya ‘terbaik’; big, yang artinya ‘besar’; great, yang artinya ‘besar’, dan
lain sebagainya. Masalahnya adalah bahwa penggunaan istilah yang bernuansa
superlatif itu, kecenderungannya tidak dapat dibuktikan kebenarannya dengan
pernyataan tertulis dari otoritas terkait atau sumber yang otentik, dan karenanya
hal itu sebenarnya adalah tidak objektif atau tidak valid.
Oleh karena itu, iklan-iklan yang arus utamanya berkembang di
masyarakat modern kekinian, dengan penggunaan istilah-istilah superlatif itu,
sebenarnya tak lebih dari sebuah proyek manipulatif, penipuan dan bahkan
103
pembodohan besar-besaran pada konsumen (Ridwan Handoyo, 2010). Fenomena
ini, jelas bertentangan dan bahkan melanggar jiwa etika pariwara Indonesia dan
juga Undang-undang RI No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen,
teurtama pasal 17, ayat 1, butir a, yang dengan tegas menyebutkan bahwa: bahwa,
“Pelaku usaha periklanan dilarang memproduksi iklan yang mengelabui
konsumen mengenai kualitas, kuantitas, bahan, kegunaan dan harga barang
dan/atau tarif jasa serta ketepatan waktu penerimaan barang dan/atau jasa”. Oleh
karena itulah, penghadiran terminologi superlatif dalam estetika periklanan yang
tidak dapat dipertanggungjawabkan itu, adalah sebentuk a moral hazard atau
kejahatan moral yang amat berbahaya, karena kegiatan itu jelas bertentangan dari
sisi etika bisnis, yang mestinya juga mempertimbangkan domain nilai-nilai
moralitas secara sosial (Richard E. Just, Darrell L. Hueth, & Andrew Schmitz,
2004:443).
Kedua, jika dilihat dari perspektif etika atau nilai-nilai moral kultural,
terutama dalam konteks ini adalh kultual ke-Indonesia-an, fenomena penggunaan
sistem tanda superlatif dalam wacana periklanan di media massa Indonesia
sebagaimana dimaksud di atas, juga mengundang persoalan yang tak kalah
memperihatinkan. Hal ini disebabkan, persoalan tersebut bukan hanya
bersinggungan, melainkan telah menggerogoti, merendahkan dan menghinakan
nilai-nilai ideal-kultural ke-Indonesia-an yang memang secara substansial bukan
hanya berbeda, melainkan amat berseberangan atau bertolak belakang.
Hal ini disebabkan, dalam sudut pandang yang kedua, yakni dari
perspektif etis-kultural ini, analisisnya bukan hanya terkait dengan satu ranah
104
kecil, yakni bisnis semata, melainkan lebih dari itu adalah terkait dengan
konstruksi nilai-nilai ideologis kultural yang menjadi landasan atau fondasi
penting kebudayaan dalam konteks ke-Indonesia-an. Artinya, secara sederhana
dapat diungkapkan bahwa, betapa yang namanya konsep superlatif itu, secara
substansial adalah sebentuk gagasan yang amat bertentangan atau bertolak
belakang dengan nilai-nilai yang ada, tumbuh, berkembang, dan diyakini secara
ideologis dalam lintasan historis yang amat panjang oleh masyarakat dan bangsa
Indonesia.
Sebagaimana diketahui, ketika membicang perihal ‘standar’ nilai-nilai etis
yang melekat dan mendarah daging dalam hampir seluruh kebudayaan yang
tersebar di seluruh kepulauan Nusantara, mulai dari Sabang sampai Merauke, dari
Miangas sampai Rote, ralatif dapat dikatakan bahwa tidak ada satu pun yang
merefleksikan apalagi mengafirmasi nilai-nilai ideal yang sifatnya mengagungagungkan sesuatu yang berlebih-lebihan, terutama yang berbasiskan domain
material atau kebendaan, melainkan sebaliknya yang ada adalah ideologi
‘kesederhanaan’. Hal ini kiranya merupakan konsekuensi logis dari realitas
kebudayaan dan peradaban Nusantara itu sendiri, yang memang merupakan
bagian dari entitas semesta kebudayaan Timur, yang dari sejak risalahnya yang
amat panjang, sudah amat dikenal sebagai pemuja-pemuja kesederhanaan, bukan
sebaliknya kesuperlativan.
Hal tersebut di antaranya dapat diverifikasi melalui berbagai kearifan
kultural yang terdapat dalam salah satu suku di Indonesia, yakni Jawa, di mana
nilai-nilai kesederhanaan menjadi salah satu konsep kunci terpenting yang
105
senantiasa mendapat perhatian yang digunakan sebagai kerangka atau bingkai
dalam keseluruhan kesadaran dan praksis kinerja berkebudayaan. Konsep dan
nilai-nilai moral tentang kesederhanaan dalam masyarakat dan kebudayaan Jawa
ini, di antaranya dapat dirujuk dari dua konsepsi nilai-nilai ideal yang amat khas
dan telah sejak lama menjadi pedoman berkebudayaan, yakni misalnya dikenal
dengan istilah prasaja dan samadya.
Pertama, istilah prasaja yang artinya adalah ‘sederhana’, dapat dikatakan
merupakan bagian dari salah satu nilai-nilai ideal filosofis atau ajaran yang
tertinggi yang ada dan diyakini dalam kebudayaan Jawa, karenanya merupakan
bagian dari ilmu atau ajaran kêdjawèn yang penting. Konsep prasaja ini
merupakan ajaran yang dikenal disampaikan oleh salah satu tokoh kêjawèn yakni
Ki Ageng Soerjamentaram. Ki Ageng Soerjamentaram merupakan salah satu
tokoh pelaku mistik kêjawèn yang dikenal amat sederhana dalam menjalani
kehidupannya. Prinsip ajaran prasaja Ki Ageng Soerjamentaram ini—
sebagaimana halnya dengan keseluruhan ajaran kebajikan dan kearifan dalam
budaya pada umumnya—senantiasa berbasiskan pada faham tentang apa yang
dikenal dengan istilah kasampurnan (kesempurnaan) yang sifatnya transendental
ketuhanan (Suwardi Endraswara, 2006:122). Dalam ajaran prasaja, hidup bukan
untuk bermegah-megah, bermewah-mewah. Bahkan menurut Ki Ageng
Soerjamentaram, yang namanya dêrajat (kebesaran diri dan kehormatan), pangkat
(kedudukan dan kepangkatan), dan sêmat (harta-kekayaan), jika tidak disikapi
dengan prasaja hanya akan membuat manusia gelisah (Suwardi Endraswara,
2006:122). Oleh karena itu dalam ajaran prasaja, mengedepankan pemahaman
106
tentang makna hidup itu dengan konsep seadanya atau sederhana. Namun, perlu
disampaikan bahwa dalam faham prasaja, yang dinamakan dengan makna hidup
seadanya atau sederhana itu, bukan berarti hidup dengan penuh kekurangan atau
kemiskinan, tetapi lebih sebagai kesadaran untuk berusaha menampilkan diri
dengan penuh kesederhanaan.
Konsep kesederhanaan hidup prasaja itu, oleh Ki Ageng Soerjamentaram
diistilahkan sebagai ajaran kawruh bêgja. Yang maknanya adalah bahwa manusia
dalam kehidupannya mesti mengendalikan apa yang diistilahkan kramadhangsa
(nafsu diri atau keegoan) yang terutama lebih disebabkan oleh keterbelengguan
pada hal-hal yang sifatnya kebendaan dan keduniawian (Suwardi Endraswara,
2006:125). Sikap itu misalnya diwujudkan dalam ajaran hidup: sakpêrluné,
sakcukupé, lan sakbênêré (seperlunya, secukupnya, dan sebenarnya). (Suwardi
Endraswara, 2006:123). Pesan moral dalam ajaran ini adalah bahwa manusia tidak
boleh bersikap ngaya (memaksakan diri), apalagi nggégé mangsa (memaksakan
diri atau memaksakan momentum) dalam menjalani laku kehidupannya.
Kedua, tentang konsep samadya, secara etimologis artinya adalah ‘tengahtengah’ (Sutrisno Sastro Utomo, 2007:558). Dalam pengertian yang lebih luas,
istilah samadya ini dapat dimaknai bahwa, dalam masyarakat Jawa berkembang
faham yang meyakini bahwa gambaran nilai dan makna ideal dalam menjalani
kehidupan itu, jika seseorang mampu menempatkan kesadarannya berada dalam
posisi di tengah-tengah, bukan berada pada salah satu kutub ekstrim yang saling
berseberangan. oleh karena itu, istilah samadya ini juga erat terkait dengan prinsip
dan keyakinan hidup manusia Jawa yang tidak didasarkan pada sesuatu yang
107
berlebih-lebihan, sebagaimana halnya yang terdapat dalam faham prasaja.
Keyakinan terkait dengan nilai-nilai hidup samadya ini, kemudian terefleksi
dalam berbagai bentuk ajaran tentang praksis laku hidup orang Jawa, misalnya
bahwa hidup di madyapada (alam dunia ini) manusia tidak boleh ngaya lan
ngangsa (melangkah berlebih-lebihan), tetapi seyogiyanya melangkah samadya
(secukupnya) saja. Kalau tidak hidup samadya, tetapi ngaya lang ngangsa
(memaksakan diri dan keadaan), maka akan mengakibatkan timbulnya implikasi
sikap dan perilaku negatif, misalnya menjadi manusia yang rumangsa bisa,
nanging ora bisa rumangsa (merasa bisa, tetapi tidak bisa merasa).
Dengan demikian dapat dimaknai bahwa, betapa baik dalam ajaran
prasaja dan samadya yang dimiliki oleh budaya Jawa ini, jangkar basis ukuran
yang digunakan untuk membangun sebuah kesadaran berperadaban, tidak sematamata mengandalkan ranah logika, melainkan lebih dari itu adalah ranah ‘rasa’. Hal
ini amat berbeda jika dibandingkan dengan kesadaran yang dominan dimiliki
dalam peradaban modern Barat, yang lebih mengedepankan logika. Persoalan
inilah kiranya yang menjadi salah satu permasalahan besar dalam kebudayaan
modern, yang terutama akibat dominasinya akal pikiran ketimbang perasaan.
Baik dalam konsep prasaja maupun samadya, dan konsep-konsep filosofis
lain yang senada yang berada dalam kesadaran kebudayaan Jawa, pada prinsipnya
terkandung hikmat kebijaksanaan dalam pemahaman hakikat kehidupan, yang
mengedepankan apa yang diistilahkan dengan konsep keseimbangan, keserasian,
atau keharmonian, baik dalam hubungannya dengan sesama manusia, alam,
maupun dengan Tuhan, baik yang sifatnya lahiriah maupun batiniah. Terkait
108
dengan konstruksi filosofis yang menjadi basis kesadaran kultural yang demikian
itulah, maka dalam budaya Jawa, fenomena superlativisme, yang merupakan
bagian dari faham hedonisme, yang misalnya diwujudkan bentuk sikap dan
perilaku
bermewah-mewah,
bermegah-megah,
pamer,
atau
jor-joran—
sebagaimana yang terdapat dalam representasi iklan,—cenderung dihindari atau
ditabukan, karena sangat potensial untuk merusak nilai keharmonisan dan
keseimbangan.
Superlativisme, yang konotasinya bermakna sebagai sebuah gagasan yang
cenderung menyukai sesuatu apa pun secara berlebih-lebihan dalam segala
narasinya yang kompleks, jelas bukan sebagai sebuah khazanah yang diidealkan
dalam kesadaran filsafat kebudayaan ke-Indonesia-an dalam arti sempit, dan juga
dalam kebudayaan Timur dalam artian yang luas. Artinya, ia berasal dari
khazanah kebudayaan Barat. Sebagaimana diketahui, bahwa dalam filsafat
kebudayaan Timur, termasuk Indonesia, amat mentabukan hal-hal atau gagasan
yang
berlebih-lebihan,
apalagi
yang
berbasis
materi,
sebaliknya
yang
dikedepankan adalah filsafat tentang kesederhanaan. Sementara itu di Barat, yang
namanya filsafat materialisme, seolah merupakan sesuatu yang melampaui segalagalanya, sebagaimana halnya dengan rasionalisme yang diyakininya.
Ketika Timur lebih mengedepankan soal risalah ‘rasa-transendensi’, Barat
menggilai yang namanya ‘logika-imanensi’. Transendensi ke-Timur-an, relatif
akan mengantarkan faham pada pentingnya menjaga keharmonisan, bukan hanya
dengan sesama manusia, melainkan juga alam, serta Tuhan. Sementara imanensi
Barat, kerap berujung pada lebih dominannya pengharagaan terhadap domain
109
personal, sehingga siapa pun boleh, dan bahkan harus memiliki ego
keindivudualitasan, jika ingin survive dalam kehidupan. Ego kedirian ini, yang
lebih parah lagi, semata-mata didasarkan pada bukan rasa, melainkan akal atau
logika,
sehingga
rasionalisme,
liberalisme,
dan
ujung-ujungnya
adalah
materialisme, juga superlativisme menjadi way of life segala-galanya dalam tradisi
kebudayaan modern Barat.
Kegairahan perlombaan dalam superlativisme ini, akhirnya telah
mengantarkan tragedi kebudayaan yang kompleks dan amat mengerikan, karena
memang yang dinamakan dengan nafsu berlebih-lebihan itu, tidak akan pernah
dapat dipuaskan. Dari sinilah akhirnya dapat difahami, bahwa superlativisme,
telah mengakibatkan berkembangnya budaya megalomania, kesombongan,
keangkuhan, kerakusan, dan lain sebagainya yang amat destruktif maknanya
dalam perspektif kebudayaan dan kemanusiaan, dan semua itu adalah nirbatas
adanya.
Ketika hampir seluruh alam, dan juga bahkan manusianya sendiri, kini
tampak ‘rusak-rusak-an, penjelasannya yang cukup komprehensif salah satunya
dapat disandarkan pada dialektika ini. Namun ironi dan anehnya adalah, warna
filsafat kebudaayaan yang amat destruktif tersebut di era kekinian, justru menjadi
gelombang kegilaan masyarakat secara massif yang amat mengerikan, dan
terutama salah satunya diprovokasi serta dipropagandakan besar-besaran melaui
representasi estetika iklan.
Itulah kiranya beberapa catatan kritis atas gambaran perihal yang terkait
dengan permasalahan domain obsesi terhadap superlativisme dalam representasi
110
estetika periklanan di media massa cetak Indonesia kontemporer, sebagai
sebentuk persoalan yang cukup memperihatinkan. Sebagaimana telah disebutkan
pada sajian di atas, bahwa fenomena dan persoalan tersebut, bukan semata-mata
berada dalam konteks periklanan di media massa cetak semata, melainkan juga
menjadi pemandangan dan permasalahan yang relatif sama di media massa
lainnya, misalnya media massa elektronik seperti televisi, radio, dan juga internet.
Kemudian, jika dirunut lebih jauh lagi, hal itu sebenarnya juga menjadi hal yang
bersoal dalam konteks yang lebih luas, yakni yang juga merupakan salah satu
problem kultural yang paling krusial dalam konteks kultural ke-Indoneisa-an,
terutama dalam kaitannya dengan diskursus postkolonial.
111
BAB VI
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitain dan pembahasan yang telah disajikan pada
Bab IV di atas, dapat disampaikan kesimpulan penelitian ini sebagai berikut.
Keberadaan iklan di samping mempunyai makna yang positif, juga mengandung
dampak negatif. Dampak negatifnya itu pun, juga bukan semata-mata terkait
dengan problem klasik, yakni berupa semakin berkembangnya budaya
konsumerisme, materialisme, dan hedonisme, sebagai turunan persoalan dari
politik ekonomi kapitalisme. Melainkan juga yang tak kalah penting dan mendasar
adalah terkait dengan persoalan kultural, yang berujung pada politik identitas dan
eksistensi hakikat harkat jati diri budaya sebuah bangsa. Dampak negatif atau
persoalan yang terakhir ini, terutama manakala pemaknaan iklan, baik dari segi
penanda maupun patandanya menggunakan perspektif postkolonial, sebagaimana
yang menjadi fokus penelitian ini.
Dampak negatif kulturasi sebuah bangsa dari telaahan dengan perspektif
postkolonial sebagaimana dimaksud, dalam konteks estetika periklanan di media
massa cetak Indonesia kontemporer, terutama ditunjukkan dengan penggunaan
serangkaian sistem tanda, baik di tingkat penanda (bentuk) maupun petanda (isi,
makna, nilai) di dalamnya, yang dari waktu ke waktu tampak semakin dipenuhi,
didominasi, dihegemoni, dan dikolonisasi oleh cita rasa estetika Barat, dengan
segala ekspresi dan representasinya yang kompleks serta amat ideologis.
112
Sesuai dengan data dan temuan penelitian dalam penelitian ini, perihal
hegemoni postkolonial Barat yang terepresentasi dalam estetika iklan di media
massa cetak Indonesia kontemporer, khususnya lagi yang terdapat pada empat
majalah yang terbit pada rentang kurun waktu 2007-2010, yang menjadi contoh
sampel penelitian ini, paling tidak ditemukan sebanyak lima kategori persoalan
postkolonial yang dianggap paling krusial. Kelima kategori tersebut adalah terkait
dengan dimensi obsesi terhadap: 1) penggunaan bahasa Inggris (Englishness); 2)
ketubuhan Barat; 3) ketubuhan Indo; 4) ketubuhan kulit putih atau ke-putih-an
Barat (whiteness); 5) superlativisme;
Pertama, perihal obsesi terhadap penggunaan bahasa Inggris, juga menjadi
bagian dari kenyataan hegemoni postkolonial dalam representasi iklan di media
massa cetak Indonesia. Sebagaimana dikethui, estetika iklan di media massa cetak
itu konstruksi sistem tandanya melibatkan dua komponen utama, yakni penanda
yang sifatnya piktorial (gambar) dan verbal (kata-kata). Bahasa Inggris dalam
konteks sebagai sistem tanda verbal inilah, dalam iklan di media massa cetak
Indonesia kekinian menunjukkan hegemoninya, terutama sebagai apa yang
diistilah penanda dan petanda utamanya, yakni headline, serta subheadline-nya.
Fenomena ini dapat diverifikasi dengan amat mudah di masyarakat, betapa
secara massif hegemonik, bahasa Inggris, seolah telah menggantikan peran bahasa
ibu yang dimiliki oleh bangsa Indonesia, yakni bahasa Indonesia itu sendiri
sebagai bahasa nasional, juga bahasa daerah yang jumlahnya amat banyak, yang
mencapai ratusan yang tersebar di seluruh kepulauan di Nusantara ini. Ini sungguh
sebuah ironi, karena iklan yang disampaikan ke masyarakat itu adalah dimuat di
113
media massa Indonesia, yang terbit di Indonesia, serta sasaran utamanya adalah
juga masyarakat atau bangsa Indonesia. Oleh karena itu, dalam perspektif
postkolonial, fenomena ini sungguh menjadi salah satu persoalan dan sekaligus
beban terberat bagi bangsa Indonesia, terutama ketika dikaitkan dengan apa yang
dinamakan upaya membangun politik identitas sebuah kebudayaan bangsa, yang
notabene tak pernah sedikit pun narasinya dapat dilepaskan dari yang namanya
peran sebuah bahasa. Nasionalisme bahasa yang dimiliki oleh sebuah bangsa akan
sebanding lurus dengan nasionalisme budaya yang dimilikinya.
Kedua, terkait persoalan obsesi terhadap ketubuhan Barat dalam konteks
representasi iklan di media massa cetak Indonesia tahun 2007-2010 ini, dapat
dilihat dari hegemoni penggunaan sosok model—baik dari kategori jenis kelamin:
laki-laki maupun perempuan, maupun dari kategori usia: anak-anak, remaja,
sampai orang tua—yang kecenderungannya berasal dari keturunan ras Kaukasoid
Barat. Penggunaan sosok model sebagai ilustrasi ini, sebagaimana halnya yang
terdapat dalam wacana estetika iklan, pada umumnya difungsikan sebagai daya
tarik utama, atas produk yang ditawarkan. Fungsi ini kerap diistilah sebagai eye
catching/eye catcher.
Ketiga, demikian juga halnya dengan penggunaan ilustrasi yang bersososk
Indo, juga menjadi pemandangan dan sekaligus persoalan yang sama dengan
kasus yang pertama, yang disebabkan fenomena ini, sebenarnya juga merupakan
permasalahan turunan dari domain obsesi terhadap ketubuhan ras Kaukasian
Barat, karena makna dari sosok Indo adalah hasil perkawinan campuran antara
penduduk pribumi dengan warga negara asing, khususnya yang berasal dari Barat.
114
Keempat, adalah persoalan obsesi terhadap ketubuhan atau kulit tubuh
putih Barat (whiteness). Substansi persoalan ini bermuara pada kecenderungan,
pentasbihan risalah eksistensi tubuh ke-putih-an Barat itu, sebagai satu-satunya
standar keindahan kulit dan mitos kecantikan kontemporer universal, sehingga
menjadi amat digandrungi atau ‘digilai’ oleh hampir semua penduduk bumi ini,
termasuk yang terdapat di Indonesia, yang notabene sebenarnya mempunyai
‘kodrat’ bawaan warna kulit yang berbeda, yakni kecenderungannya kuning
kecoklatan (yang populer dikenal dengan istilah kuning langsat, atau sawo
matêng).
Hal ini kiranya dapat diverifikasi dalam iklan-iklan tentang pelbagai
produk kosmetik, baik yang dibuat oleh bangsa Indonesia sendiri, maupun yang
diimpor dari luar negeri. Hampir dalam keseluruhan iklan untuk produk
kecantikan kulit yang ada dalam iklan kontemporer kekinian, tujuannya adalah
satu: yakni untuk membuat kulit menjadi putih, atau lebih putih, sebagaimana
kulit tubuh putih ras Barat, yang secara kodrat bawaan memang demikian adanya.
Oleh karena itu, dalam khazanah kecantikan modern, kemudian kata-kata ‘putih’
(white), telah menjadi kekuatan sihir yang mempunyai daya magis dan
menakjubkan luar biasa, sehingga menggantikan kata-kata yang dahulu pernah
menjadi atribut khas kecantikan Timur, termasuk Indonesia, misalnya: ‘kuning
langsat’, kuning gadhing, atau sawo matêng, yang berkembang dan menjadi
keyakinan ideologis dalam masyarakat dan kebudayaan Jawa, dengan istilah yang
tampaknya amat dipaksakan kedengarannya, yakni ‘putih langsat’. Berdasarkan
kenyataan fenomena hegemoni ke-putih-an inilah, maka, teori evolusi peradaban
115
modern yang khas Darwinian itu, yakni the survival of the fittest, kemudian
ditambah lagi klausulnya menjadi, the survival of the most white.
Kelima, persoalan adalah domain obsesi terhadap superlativisme juga
merupakan salah satu cukup hegemonik, dalam realitas fenomena representasi
estatika periklanan yang sedang berkembang di media massa cetak Indonesia ini.
Superlativisme, yang konotasinya bermakna sebagai sebuah gagasan yang
cenderung menyukai sesuatu apa pun secara berlebih-lebihan dalam segala
narasinya yang kompleks, jelas bukan sebagai sebuah khazanah yang diidealkan
dalam kesadaran filsafat kebudayaan ke-Indonesia-an dalam arti sempit, dan juga
dalam kebudayaan Timur dalam artian yang luas. Artinya, ia berasal dari
khazanah kebudayaan Barat. Sebagaimana diketahui, bahwa dalam filsafat
kebudayaan Timur, termasuk Indonesia, amat mentabukan hal-hal atau gagasan
yang
berlebih-lebihan,
apalagi
yang
berbasis
materi,
sebaliknya
yang
dikedepankan adalah filsafat tentang kesederhanaan. Sementara itu di Barat, yang
namanya filsafat materialisme, seolah merupakan sesuatu yang melampaui segalagalanya, sebagaimana halnya dengan rasionalisme yang diyakininya.
Ketika Timur lebih mengedepankan soal risalah ‘rasa-transendensi’, Barat
menggilai yang namanya ‘logika-imanensi’. Transendensi ke-Timur-an, relatif
akan mengantarkan faham pada pentingnya menjaga keharmonisan, bukan hanya
dengan sesama manusia, melainkan juga alam, serta Tuhan. Sementara imanensi
Barat, kerap berujung pada lebih dominannya pengharagaan terhadap domain
personal, sehingga siapa pun boleh, dan bahkan harus memiliki ego
keindivudualitasan, jika ingin survive dalam kehidupan. Ego kedirian ini, yang
116
lebih parah lagi, semata-mata didasarkan pada bukan rasa, melainkan akal atau
logika,
sehingga
rasionalisme,
liberalisme,
dan
ujung-ujungnya
adalah
materialisme, juga superlativisme menjadi way of life segala-galanya dalam tradisi
kebudayaan modern Barat.
Obsesi dan kegairahan terhadap superlativisme ini, akhirnya telah
mengantarkan tragedi kebudayaan yang kompleks dan amat mengerikan, karena
memang yang dinamakan dengan nafsu berlebih-lebihan itu, tidak akan pernah
dapat dipuaskan. Dari sini akhirnya dapat difahami, bahwa superlativisme telah
mengakibatkan
berkembangnya
budaya
megalomania,
kesombongan,
keangkuhan, kerakusan, dan lain sebagainya yang amat destruktif maknanya
dalam perspektif kebudayaan dan kemanusiaan, dan semua itu adalah nirbatas
adanya. Ketika hampir seluruh alam, dan juga bahkan manusianya sendiri, kini
tampak ‘rusak-rusakan’, penjelasannya yang cukup komprehensif salah satunya
dapat disandarkan pada dialektika ini. Namun ironi dan anehnya adalah, warna
filsafat kebudaayaan yang amat destruktif tersebut di era kekinian, justru menjadi
gelombang kegilaan masyarakat secara massif yang amat mengerikan, dan
terutama salah satunya diprovokasi serta dipropagandakan besar-besaran melaui
representasi estetika iklan.
Itulah kiranya beberapa kategori penting permasalahan postkolonial yang
tengah, sedang, dan tampaknya masih akan terus menghantui dan menjadi salah
satu beban terberat bangsa ini, yang sebenarnya dalam konteks kulturasi yang
lebih luas daftarnya masih dapat diperpanjang lagi. Fenomena hegemoni
postkolonial dalam representasi estetika iklan ini, dalam batas-batas tertentu bisa
117
diproyeksikan ke dalam konteks kultural ke-Indonesia-an untuk dipergunakan
sebagai entry point atau pintu masuk untuk memahami dan mengkritisi pelbagai
kompelsitas persoalan kultural ke-Indonesia-an yang lebih luas lagi, yang dalam
titik tertentu juga lebih banyak disebabkan persinggungannya dengan wacana
postkolonial ini.
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan hasil temuan penelitian sebagaimana telah
disampaikan di atas, kiranya perlu untuk dikemukakan beberapa rekomendasi
penting, yang dipilah dalam dua kategori besar, yakni yang terkait dengan gagasan
yang sifatnya teoretis, dan kedua praksis. Kedua formula rumusan rekomendasi
sebagaimana dimaksud adalah sebagai berikut.
Pertama, terkait rekomendasi gagasan yang sifatnya teoretis, dapat
disampaikan bahwa terkait dengan persoalan hegemoni postkolonial Barat dalam
representasi estetika iklan dan juga kebudayaan dalam arti yang ini, kiranya perlu
dicarikan alternatif strategi politik resistensi secara kultural secara luas dan
menyeluruh. Salah satunya yang kiranya bermakna amat strategis dapat
diupayakan adalah pentingnya pengedepanan kesadaran berpengetahuan, baik
dalam kaitannya dengan konteks kecil bidang estetika, maupun dalam bidangbidang kebudayaan lain yang lebih luas, yang lebih dilandasi oleh basis spirit
nilai-nilai kearifan budaya lokal.
Dalam kaitan ini, dalam konteks yang spesifik, misalnya sebagaimana
yang menjadi fokus penelitian ini, perihal pentingnya pengedepanan spirit nilai-
118
nilai kearifan budaya lokal ini, di antaranya dapat ditempuh dengan cara
melakukan upaya revitalisasi dan reorientasi tentang ‘estetika Timur’, yang
notabene juga berakar pada ‘filsafat Timur. Sebagaimana hasil temuan dalam
penelitian ini, betapa yang dinamakan dengan ‘filsafat Timur’ itu, merupakan
akar-akar terdasar dan terdalam yang pernah dimiliki dan bahkan menjadi fondasi
bukan hanya dalam praksis berkesenian, malainkan juga berperadaban dalam arti
yang luas bangsa ini, di masa lampau yang sangat panjang.
Upaya revitalisasi dan reorientasi filsafat Timur ini, di antara dapat digali
dari pelbagai khazanah kebudayaan yang tersebar di seantero bumi Nusantara ini,
di antaranya yang cukup berkembang luas di masyarakat adalah misalnya filsafat
Jawa. Nilai-nilai filsafat Timur ini, sebagaimana telah disajikan pada pembahasan
penelitian ini, kekuatan dan kelebihannya dibandingkan dengan filsafat Barat,
adalah terutama terletak pada gagasan perihal internalisasi pengetahuan yang
berpuncak bukan semata-mata pada keterjangkauan akal budi dan nalar manusia
yang imanensi, seperti yang terdapat dalam filsafat Barat. Melainkan sandaran
final proses pencarian kebenaran pengetahuan manusia itu lebih ditempatkan pada
kutub transendensi.
Filsafat Barat yang bercorak khas antropomorfis, yang semata-mata
disandarkan dan berpusat pada diri manusia itu sendiri, dan menghasilkan corak
kesenian berikut paradaban yang lebih bersifat sekuler dan profan, betapa telah
mengakibatkan manusia beserta peradaban yang ada di dalamnya mengalami
banyak persoalan, ketika ternyata manusia sehebat apa pun tak pernah mampu
menerobos yang namanya domain ‘ketakberhingaan’, sebagaimana yang selalu
119
didambakan. Ukuran-ukuran kebenaran pengetahuan yang semata-mata rasional,
sebagaimana tipikal khas dalam filsafat Barat itu, betapa tak pernah mampu
menyentuh apalagi menghadirkan yang transendental.
Sementara itu, dalam kesadaran filsafat Timur yang dari sejarah awalnya
yang paling purba diketahui lebih berbasiskan bukan pada spirit antropomorpis,
melainkan kesadaran teologis, betapa telah mampu dengan amat elegan memaknai
dan memahami segala kodrat keterbatasan yang dimiliki oleh manusia, sehingga
setiap penggagasan kebudayaan secara ideal yang kerap rumusannya menyentuh
aras ketakberhinggaan, bukan didasarkan pada akal dan nalar manusia yang
imanensi, melainkan pada wilayah ke-Illahi-an yang transendensi. Dari sinilah
akhirnya, makna kelebihan dan kekuatan filsafat Timur lebih dapat dirasakan, jika
dibandingkan dengan filsafat Barat, karena refleksinya dalam berpengetahuan tak
pernah sedikit pun dipisahkan dari domain kebaikan dan juga kebenaran; istilah
lain untuk domain ke-Illahi-an.
Manakala revitalisasi dan reorientasi estetika ke-Indonesia-an ini bisa
dilakukan, maka kemungkinan besar di suatu masa yang akan datang akan
kembali ditemukan karya-karya kreatif estetika iklan, yang tidak lagi didasarkan
pada domain-domain obsesi yang artifisial khas Barat, sebagaimana yang menjadi
temuan penelitian ini, melainkan lebih didasarkan nilai-nilai kedalaman yang
banyak berbasiskan kombinasi antara keindahan, kebaikan, dan kebenaran.
Karena sebenarnya, konsep utama dari daya tarik periklanan itu, sebenarnya
bukannya berada pada sistem penanda dan petanda estetis yang mesti bercitra
120
serba Barat, melainkan lebih pada persoalan sejauhmana bobot dan kadar
kreativitas estetisnya itu bisa diwacanakan.
Kedua, rekomendasi yang terkait dengan gagasan yang sifatnya praksis,
dalam hal ini lebih banyak ditujukan kepada pelbagai pihak yang dalam kinerja
kulturasi sehari-hari banyak bersentuhan baik langsung maupun tak langsung
dengan bidang periklanan. Pihak-pihak sebagaimana dimaksud, adalah sangat
banyak, misalnya pihak pemerintah, lembaga perguruan tinggi, lembaga
periklanan, dan pihak-pihak lain yang terkait dan berkepentingan, yang
diharapkan semakin menyadari pentingnya kemungkinan menghadikran estetika
periklanan yang lebih mencerahkan di masa mendatang. Terutama lagi secara
spesifik, estetika iklan yang relatif tidak lagi terhegemoni oleh estetika
postkolonial Barat yang memperihatinkan.
Gagasan-gagasan rekomendasi, baik yang sifatnya teoretis maupun praksis
tersebut, tidak sama sekali menafikan atau menegasikan kemungkinan
pertemuannya dengan filsafat Barat. Apalagi di zaman globalisasi seperti yang
tengah melanda di zaman modern dan postmodern kekinian, bahwa yang
dinamakan perjumpaan dengan banyak kebudayaan, termasuk Barat, merupakan
sesuatu keniscayaan yang tak mungkin terhindarkan. Yang kiranya perlu lebih
mendapatkan tekanan tafsir dan pemaknaan, adalah bagaimana di setiap
perjumpaan dengan kebudayaan, termasuk dengan kebudayaan Barat itu, bukan
berdampak menghilangkan eksistensi dan identitas baik estetika maupun kultural
ke-Indonesia-an, melainkan justru lebih mampu memperkaya nilai-nilai khazanah
121
‘otentisitas’ kebudayaan diri yang memang pernah dan sudah sangat lama dimiliki
oleh negeri dan bangsa ini.
Dalam pemahaman ini, juga sama sekali tidak terkandung muatan
pemaknaan bahwa semua yang berasal dari Barat itu adalah serba negatif,
demikian juga sebaliknya yang dimiliki oleh budaya Timur atau secara spesifik
Indonesia itu semuanya serba positif. Baik Barat maupun Timur, secara niscaya
eksistensi sejatinya masing-masing juga tak pernah dilepaskan dari dua domain
itu, kelebihan dan kekurangan. Dari sinilah karenanya, nilai urgensi dan
signifikansi setiap perjumpaan kebudayaan Timur dan Barat dapat dipetakan dan
diidealkan secara mencerahkan: bahwa apa-apa yang baik dari Barat mestinya
mampu dikombinasikan secara cerdas dan kreatif dengan apa-apa yang baik juga
yang memang telah dimiliki oleh Timur. Jika domain nilai-nilai kebaikan filsafat
Timur ada yang menyebut dan mengkristalkan maknanya sebagai ‘sumur madu
peradaban’, dan sebaliknya segala kebaikan filsafat Barat misalnya dapat
diatribusi
sebagai
‘sumur
susu
perdaban’,
maka
betapa
kemungkinan
penggabungan di antara keduanya, kiranya akan menjadi kemungkinan gagasan
simbiose mutualisme, yang akan menghasilkan kualitas peradaban ideal di masa
mendatang. Sebuah peradaban yang bukan hanya amat memesona, karena ditaburi
dengan hiasan yang bermahkotakan semata-mata ‘keindahan’, meiainkan di
dalamnya juga bersemayam nilai-nilai kebaikan dan kebenaran. Kiranya itulah
salah satu tugas dan kewajiban mulia kemanusiaan manusia di seluruh dunia, di
mana pun ia berada, yang amat layak dan mendesak untuk direnungkan,
122
diidealkan, dan secara praksis diimperatifkan dalam keseluruhan kinerja
berperadaban, kini dan di masa mendatang.
123
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Imran T. 2001. “Resepsi Sastra”, dalam Jabrohim (ed.), Metodologi
Penelitian Sastra. Yogyakarta: PT Handindita Graha Widia dan
Masyarakat Poetika Indonesia-Yogyakarta.
Adorno, Theodor W. 2004. Aesthetic Theory. London: Continuum International
Publishing Group.
Alasuutari, Pertti. 1996. Researching Culture: Qualitatif Method and Cultural
Studies. London: Sage Publication, Ltd.
Allen, Graham. 2003. Roland Barthes. London and New York: Sage Publication.
Anderson, Benedict Richard O'Gorman. 2006. Imagined Communities:
Reflections on the Origin and Spread of Nationalism. London: Verso.
Atmaja, Muchtar Kusuma, et al. 1990. Perjalanan Seni Rupa Indonesia: Dari
Zaman Prasejarah Hingga Masa Kini (Streams of Indonesia Art: From
Pre-Historic to Contemporary). Bandung: Seni Budaya.
Badudu, J.S. 2003. Kamus Kata-kata Serapan Asing dalam Bahasa Indonesia.
Cetakan Pertama. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Barnard, Malcolm. 2003. “Advertising: The Rethorical Imperative”, in Chris
Jenks (ed.), Visual Culture. This Edition Published in the Taylor & Francis
e-Library. London & New York: Routledge.
Barthes, Roland. 1978. Image, Music, Text. Hill and Wang, Macmillan.
__________. 2007. “Konklusi: Riset Semiologis”, dalam Petualangan Semiolog.
Terjemahan Stephanus Aswar Herwinarko. Cetakan Pertama. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Beasley, Ron & Marcel Danesi. 2002. “The Semiotic Approach to Advertising”,
in Persuasive Signs: The Semiotics of Advertising. Berlin: Walter de
Gruyter.
Bell, Daniel. 1976. The Cultural Contradictions of Capitalism. New York: Basic
Books.
Bertens, Kees. 1983, Filsafat Bahasa Abad XX, Jilid I. Jakarta: Gramedia.
Bhabha, Homi K. 1994. The Location of Culture. London: Routledge.
124
__________. 1995. “Signs Taken for Wonders”, dalam Ashcroft, Bill, et al. (eds.),
The Postcolonial Studies Reader. London: Routledge,
__________. 2006. “Chapter 33: Cultural Diversity and Culrtural Differences”, in
Bill Ashcroft, Gareth Griffiths, Helen Tiffin (eds.), The Post-Colonial
Studies Reader. Second Edition Published. USA & Canada: Taylor &
Francis.
Blikololong, Jacob. 1983. “Iklan-iklan Komersial, Pro dan Kontra (I)”, Basis
(Edisi Januari), 4.
Bloomfield, Leonard. 1995. “Chapter 2: The Usage Language”, in Language.
New Delhi: Motilal Banarsidass Publication.
Borgias, Fransiscus. 1993. “Bahasa dan Realitas Perubahan Sosial”, dalam Basis,
Majalah Kebudyaan Umum (Edisi Oktober-XLLII-No.10).
Bovee, Coutland L. & William F. Arens.1986. Contemporary Advertising. New
York: Irwin MC Graw-Hill.
Brabazon, Tara, “How Imagined are Virtual Communities?” Mots Pluriels, No. 8
(August 2001), http://www.arts.uwa.au/Mots Pluriels/MP1801tb2.html.
Diakses 21 May 2010.
Budianta, Melani. 2008. “Oposisi Biner dalam Wacana Kritik Pascakolonial”,
dalam Budi Susanto, S.J. (ed.), Membaca Postkolonialitas (di) Indonesia.
Cetakan Pertama. Yogyakarta: Kanisius.
Budiman, Manneke. 2006. “Masalah Sudut Pandang dan Dilema Kritik Pasca
Kolonial”, dalam Keith Foulcher & Tony Day (eds.). Clearing Space:
Kritik Pasca Kolonial tentang Sastra Indonesia Modern. Jakarta:
Kerjasama antara Yayasan Obor Indonesia dengan KITLV-Jakarta.
Cahyadi, Haryanto. 2004. “Keterlemparan Manusia dalam Dunia Ambigu:
Menimbang Gagasan Edward Said dalam Horizon Filsafat Martin
Heidegger”, dalam Mudji Sutisno dan Hendar Putranto (eds.),
Hermeneutika Pascakolonial: Soal Identitas. Cetakan Pertama.
Yogyakarta: Kanisius.
Chaney, David. 2006. Lifestyles: Sebuah Pengantar Komprehensif. Terjemahan
Nuraeni. Cetakan Pertama. Yogyakarta: Jalasutra.
Cobley, Paul dan Litza Jansz. 2002. Mengenal Semiotika for Beginners.
Terjemahan Ciptadi Sukono. Bandung: Mizan Media Utama.
125
Cronin, Anne M. 2005. “Chapter 2: Advertising Knowledge”, in Advertising and
Consumer Citizenship: Gender, Images, and Rights. This edition published
in the Taylor & Francis e-Library. London: Routledge.
Crystal, David. 1991. The Cambridge Encyclopedia. Cambridge, United
Kingdom: Cambridge University Press.
Dahlan, Muhidin M. 2001. Poskolonial: Sikap Kita terhadap Imperialisme.
Cetakan Pertama. Yogyakarta: Jendela.
Danesi, Marcel. 2008. Chapter 1: What is Pop Culture?”, in Popular Culture:
Introductory Perspectives. Maryland, USA: Rowman & Littlefield
Publishing Group, Inc.
D'Amato, Paul. 2006. “Chapter Two Marxs Materialist Method; Biological
Determinism: You Can’t Change Human Nature”, in The Meaning of
Marxism. First Published. Chicago, IL, USA: Haymarket Books.
Darwin, Charles. 2007. “Natural Selection; or the Survival of the Fittest”, in
Origin of Species. http://www.forgottenbooks.org./, Diakses pada bulan
Juni 2010.
Demont-Heinrich, Christof. 2005. “Language and National Identity in the Era
Globalization: The Case of English in Switzerland”, Journal of
Communication Inquiry (29:1, January 2005).
Dyer, Gillian. 1982. Advertising as Communication. London: Routledge.
Dhakidae, Daniel. 2002. “Memahami Rasa Kebangsaan dan Menyimak Bangsa
sebagai Komunitas-komunitas Terbayang”, dalam Benedict Anderson,
Imagined Communities (Komunitas-komunitas Terbayang). Cetakan
Kedua. Yogyakarta: INSIST Bekerjasama dengan Pustaka Pelajar.
Eco, Umberto. 1979. “Introduction: Toward A Logic of Culture”, in A Theory of
Semiotics. First Midland Book Edition. Bloomington, IN, USA: Indiana
University Press.
Endraswara, Suwardi. 2006. “Bagian Tujuh, Tokoh Mistik Kejawen: Ajaran Keras
dan Lembut; Ki Ageng Soerjamentaram: Bercermin Diri”, dalam Mistik
Kejawen: Sinkretisme, Simbolisme, dan Sufisme dalam Budaya Spiritual
Jawa. Cetakan Keempat, Edisi Revisi. Yogyakarta: Penerbit Narasi.
Ewen, Stuart. 2001. Captains of Cosciousness: Advertising and the Social Roots
of the Consumer Culture. New York: Basic Books.
126
Fairclough, Norman. 2003. Language and Power: Relasi Bahasa, Kekuasaan, dan
Ideologi. Terjemahan Indah Rohmani. Malang: Boyan Publishing.
Fanon, Frantz. 2008. Balck Skin White Mask. Translated from the French by
Richard Pilcox. First Edition. New York: Grove Press.
Faruk. 2007. Belenggu Pasca-Kolonial: Hegemoni dan Resistensi dalam Sastra
Indonesia. Cetakan Pertama. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Featherstone, Mike. 1991. “The Body in Consumer Culture“, in Mike
Featherstone, Mike Hepworth, & Bryan S. Turner (eds.), The Body: Social
Process and Cultural Theory. First Published. London: Sage Publication.
Feldman, Edmund Burke. 1967. Art as Image and Idea. Eglewood Cliffs, New
Jersey: The University Of Georgia-Prentice Hall, Inc.
Foucault, Michel. 1980. Power/Knowledge: Selected Interviews and Other
Writings, 1972-1977. New York: Harvester Press.
__________. 2002. Pengetahuan dan Metode: Karya-karya Penting Foucault.
Terjemahan Jalasutra, Jalasutra, Yogyakarta.
__________. 2007. Archaeology of Kknowledge. Routledge Classics. London:
Routledge.
Frankenberg, Ruth. 2005. “Points of Origin Points of Departure”, in White
Women, Race Matters: The Social Construction of Whiteness. This Edition
Published in the taylor & Francis e-Library. London: Taylor & Francis.
Galbraith, John Kenneth. 1998. “Chapter 11: The Dependence Effect”, in The
Affluent Society. New York: Houghton Mifflin Harcourt.
Gall, Meredith D., Joyce P. Gall, and Walter R. Borg. Educational Research: An
Introduction. Seventh Edition. New York: Pearson Education, Inc.
Gellner, Ernest. 2008. Nations and Nationalism. Second Edition. Oxford:
Blackwell Publishing, Ltd.
Goddard, Angela. 2001. “Introduction”, in The Language of Advertising. This
Edition Published in the Taylor & Francis e-Library. London & New
York: Routledge.
Goldman, Robert. 1992. Reading Ads Socially. London and New York:
Routledge.
127
Hall, Stuart. 2007. “The Work of Representation”, in Stuart Hall, Representation:
Cultural Representation and Signifying Practices. London: Sage
Publication in Association with The Open University.
__________. 2011. “The Whites of Their Eyes: Racist Ideologies and the Media,
in Gail Dines & Jean M. Humez (eds.), Gender, Race and Class in the
Media. Edition 3. London: Sage Publication.
Handoyo, Ridwan. “Diskusi Etika Periklanan Indonesia: Penggunaan Kata/Istilah
Superlatif”,
http://p3i-pusat.com/dunia-pariwara/berita/119-diskusi-epipenggunaan-kataistila. Diakses Januari 2011.
Hardt, Harno. 1997. “British Cultural Studies and the Return of the Critical in
American Mass Communication Research: Acommodation or Radical
Change?”, in David Morley & Kuan-Hsing Chen, Stuart Hall, Critical
Dialogue in Cultural Studies. London: Routledge.
Harris, George. 2006. “Composition in Arts”, in The Theory of the Arts; or, Art in
Relation to Nature, Civilization, and Man. Digital Version. London:
Tubner and Co.
Heidegger, Martin. 2005. “Introduction: Exposition of the Question of the
Meaning of Being”, in Being and Time. Malden, USA, Oxford, UK, &
Victoria, Australia: Wiley-Blackwell.
Hodge, Robert & Gunter Kress. 1988. Social Semiotics. New York: Cornell
University Press.
Holub, Robert C. 1984. “The Horison of expectation”, in Reception Theory: A
Critical Introduction. First Published. London & New York: Taylor &
Francis.
__________. 1993. “Constance School of Reception of Aesthetics [Reception
Theory]”, in Irene Rima Makaryk (ed.), Encyclopedia of Contemporary
Literary Theory: Approaches, Scholars, Terms. Toronto, Canada:
University of Toronto Press.
Horkheimer, Max & Theodor W. Adorno. 2002a. “Enlightenment as Mass
Deception”, in Dialectic of Enlightenment: Philosophical Fragments.
Translated by Edmund Jephcott. Palo Alto, California, USA: Stanford
University Press.
Hornby, AS. 1987. Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current Anglish.
Revised and Updated. Twenty-fifth Impression. Oxford, New York,
Toronto: Oxford University Press.
128
Howson, Richard and Kylie Smith. 2008. “Hegemony and the Operation of
Consensus and Coercion”, in Richard Howson and Kylie Smith (eds.),
Hegemony: Studies in Consensus and Coercion. London: Routledge.
Jhally, Sut. 1990. “The Code of the Audience”, in The Codes of Advertising:
Fetishism and the Political Economy of Meaning in the Consumer Society.
First Published. New York & London: Routledge.
Johnson, R.B. “Estimating an Evaluation Model Using Conjoint Measurement and
Analysis”. Evaluation Review, 1995: 19 (13), 313-338.
Jr., John C. Concon. 1981. “Bab I: Bahasa dan Kelestariannya”, dalam Maruli H.
Panggabean (ed.), Bahasa, Pengaruh dan Peranannya. Jakarta: P.T.
Gramedia.
Kasali, Rhenald. 1993. Manajemen Periklanan: Konsep dan Aplikasinya di
Indonesia. Cetakan Ketiga. Jakarta: PT Temprint.
Koentjaraningrat. 1986. “Peranan Local Genius dalam Akulturasi”, dalam
Ayatrohaedi, (ed.), Kepribadian Budaya Bangsa (Local Genius). Jakarta:
Pustaka Jaya.
__________. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Cetakan Kedelapan. Jakarta:
Rineka Cipta.
Leiss, William Stephen Kline & Sut Jhally. 1997. “Defences of Advertising”, in
Social Communication in Advertising: Persons, Products & Images of
Well-Being. Second Edition, Revised and Enlarged. London & New York:
Routledge.
Liliweri, Alo. 2005. “Perspektif Teoretis Hubungan Antarras”, dalam Prasangka
dan Konflik: Komunikasi Lintas Budaya Masyarakat Multikultur. Cetakan
Pertama. Yogyakarta: PT LKiS Pelangi Aksara.
Lombard, Denys. 1996. Nusa Jawa Silang Budaya, Kajian Sejarah Terpadu,
Bagian I: Batas-batas Pembaratan. Terjemahan Gramedia. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Marcuse, Herbert. 2000. Manusia Satu Dimensi. Terjemahan Silvester G. Sukur
dan Yusup Priyasudiarja. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya.
McFall, Liz. 2004. Advertiisng: A Cultural Economy. London: SAGE
Publications, Ltd.
129
McKendrick, N., J. Brewer & J.H. Plumb. 1982. The Birth of A Consumer Society,
the Commercialization of Eighteenth Century England. Bloomington, IN:
Indiana University Press.
McLuhan, Marshall. 1964. Understanding Media. The Extentions of Man.
London: Rotledge & Kegan Paul.
Miles, Matthew B. dan A. Michael Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif:
Buku Sumber tentang Metode-metode Baru. Terj. Tjetjep Rohindi Rohidi.
Indonesia University Press, Jakarta.
Moleong, Lexy J. 2005. Metodologi Penelitian Kualitatif. Edisi Revisi. Cetakan
Keduapuluhsatu. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Muhadjir, Noeng. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif. Edisi IV. Yogyakarta:
Rake Sarasin.
Myhill, John. 2006. “Introduction: Language, National Identity, and Nationalism”,
in Language, Religion and National Identity in Europe and the Middle
East: A Historical Study. Amsterdam, The Netherland: John Benjamins
Publishing Company.
Nicosia, Francesco M. 2009. “Advertising and the Manipulation of Consumers”,
in Advertising, Management, and Society: A Business Point of View.
Digital Published. USA: McGraw-Hill.
O’Shaughnessy, J. & N.J. O’Shaughnessy. 2004. Persuasion in Advertising.
London: Routledge.
Oakes, Leigh. 2001. Language and National Identity: Comparing France and
Sweden. Amsterdam, The Netherland: John Benjamins Publishing
Company.
Odih, Pamela. 2007. Advertising in Modern and Postmodern Times. London,
Thousand Oaks, California, Mathura Road, New Delhi, Singapore: Sage
Publication.
Panggabean, Maruli H. 1981. “Prakata”, dalam Maruli H. Panggabean (ed.),
Bahasa, Pengaruh dan Peranannya. Jakarta: P.T. Gramedia.
Pennycook, Alastair. 1998. English and the Discourses of Colonialism.
Routledge, London & New York.
Phillips, Michael J. 1997. “Chapter 1: The Indictment of Manipulative
Advertising”, in Ethics And Manipulation in Advertising: Answering A
130
Flawed Indictment. Westport, Connecticut, USA: Greenwood Publishing
Group.
Poespowardojo, Soerjanto. 1986. “Pengertian Local Genius dan Relevansinya
dalam Modernisasi”, dalam Ayatrohaedi (ed.), Kepribadian Budaya
Bangsa (Local Genius). Jakarta: Pustaka Jaya.
Purwanto, Bambang. 2006. “Bagian 5: Sejarah dan Pemahaman Kembali
Gagalnya
Historiografi
Nasionalisme
Indonesia”,
dalam
Indonesiasentris?! Cetakan Pertama. Yogyakarta: Ombak.
Ratna, I Nyoman Kutha. 2008. Postkolonialisme Indonesia: Relevansi Sastra.
Cetakan Pertama. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Rendra, W.S. 1983. Mempertimbangkan Tradisi. Jakarta: Gramedia.
Ross, Ralph & Ernest van den Haag. 1962. “Art and Its Social Functions” in
Symbols & Civilization: Science, Morals, Religion, Art. New York and
Burlingame: Harcourt, Brace & World, Inc.
Said, Edward W. 1979. Orientalism. New York: Vintage Books.
Smith, Linda Tuhiwai. 2006. “Chapter 1: Imperialism, History, Writing and
Theory”, Decolonizing Methodologies: Research and Indigenous Peoples.
Nineth Impression. London UK, New York USA, & Dunedin New
Zealand: Zed Books & University of Otago Press.
Soedarsono, R.M. 2001. Metodologi Penelitian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa.
Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia.
Soeratno, Siti Chamamah. 2001. “Penelitian Resepsi Sastra dan
Problematikanya”, dalam Jabrohim (ed.), Metodologi Penelitian Sastra.
Yogyakarta: PT Handindita Graha Widia dan Masyarakat Poetika
Indonesia-Yogyakarta.
Spivak, Gayatri Chakravorty. 1995. “Can the Subaltern Speak?”, in Ashcroft, Bill,
et al. (eds.), The Postcolonial Studies Reader. London and New York:
Routledge.
__________. 1988. “Can the Subaltern Speak?”, in Cary Nelson & Lawrence
Grossberg (eds.), Marxism and the Interpretation of Culture. Champaign,
Illinois, USA: University of Illinois Press.
__________. 2006. “Chapter 4: “Can the Subaltern Speak?”, in Bill Ashcroft,
Gareth Griffiths, & Helen Tiffin (eds.), The Post-Colonial Studies Reader.
Second Edition Published. USA & Canada: Taylor & Francis.
131
Stephens, John. 1992. Language and Ideology in Children’s Fiction. London:
Longman.
Sudjiman, Panuti dan A.J.A van Zoest. 1992. Serba-serbi Semiotika. Jakarta:
Gramedia.
Sullivan, Joanna. 2001. “The Question of a National Literature for Nigeria”,
Research in African Literatures, 32/3 (Fall 2001), 71-85.
Sunardi, St. 2002. Semiotika Negativa. Yogyakarta: Kanal.
Supangkat, Jim. 1979. Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia. Jakarta: Gramedia.
Supangkat, Jim, Sumartono, Asmudjo Jono irianto, Rizki A. Zaelani, dan M. Dwi
Marianto. 2000. Outlet: Yogya dalam Peta Seni Rupa Kontemporer
Indonesia. Yogyakarta: Yayasan Seni Cemeti Bekerjasama dengan Prince
Claus Fund for Culture and Development Belanda.
Sutherland, Max & Alice K. Sylvester. 2008. “Influencing People: Myths And
Mechanisms”, in Advertising and the Mind of the Consumer: What Works,
What Doesn’t and Why. 3rd Edition. Australia: Griffin Press.
Sutrisno, Mudji dan Hendar Putranto. 2004. Hermeneutika Pascakolonial: Soal
Identitas. Cetakan Pertama. Yogyakarta: Kanisius.
Tester, Keith. 2003. Media, Budaya, dan Moralitas. Terjemahan Muhammad
Syukri. Cetakan Pertama. Yogyakarta: Juxtapose Bekerjasama dengan
Kreasi Wacana.
Thornborrow, Joanna. 2007. “Bab 9: Bahasa dan Identitas”, dalam dalam Linda
Thomas & Shân Wareing, Bahasa, Masyarakat, dan Kekuasaan.
Terjemahan Sunoto, dkk. Cetakan I. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa, Departemen
Pendidikan Nasional. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Ketiga,
Cetakan Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka.
Tungate, Mark. 2007. “Pioneers of Persuasion”, in Adland: A Global History of
Advertising. London and Philadelphia: Kogan Page.
Undang-undang RI No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Vestergaard, Torben dan Kim Schroder. 1985. The Language of Advertising.
Oxford: Basil Blakwell, Ltd.
132
Williams, Raymond. 1988. “Dominat, Residual, and Emergent”, in K.M. Newton,
Twentieth-Century Literary Theory: A Reader. London: MacMillan
Education, Ltd.
Williamson, Judith. 2007. Decoding Advertisements: Membedah ideologi dan
Makna dalam Periklanan. Terjemahan Saleh Rahmana. Cetakan Pertama.
Yogyakarta: Jalasutra.
Wiryomartono, Bagoes P. 2001. “Seni sebagai Kebenaran Berada ke dalam
Karya: Heidegger”, dalam Pijar-pijar Penyingkap Rasa: Sebuah Wacana
Seni dan Keindahan dari Plato sampai Derrida. Jakarta: P.T. Gramedia
Pustaka Utama.
Yuliman, Sanento. 2001. Dua Seni Rupa: Serpihan Tulisan Sanento Yuliman.
Cetakan Pertama. Jakarta: Yayasan Kalam.
Zanot, Eric J. 1992. “Subliminal Seduction: Real or Imagined?”, in Sammy
Richard Danna, (ed.), Advertising and Popular Culture: Studies in Variety
and Versatility. Ohio, United States: Bowling Green State University &
Popular Press.
133
LAMPIRAN 1.
PERSONALIA TENAGA PENELITI BERSETA KUALIFIKASINYA
No.
1.
Nama dan Gelar
Akademik
Kasiyan, M.Hum.
Bidang
Keahlian
 Estetika.
 Desain
Produk.
 Metodologi
Penelitian
Seni.
2.
Aran Handoko, M.Sn.
 Desain
Komunikasi
Visual.
 Fotografi.
Instansi
Jurusan
Pendidikan Seni
Rupa, Fakultas
Bahasa dan Seni,
Universitas
Negeri
Yogyakarta.
Jurusan
Pendidikan Seni
Rupa, Fakultas
Bahasa dan Seni,
Universitas
Negeri
Yogyakarta.
Alokasi Waktu
(jam/minggu)
10
Jam/Minggu
10
Jam/Minggu
134
B. DRAFT ARTIKEL ILMIAH
135
HEGEMONI ESTETIKA POSTKOLONIAL
DALAM REPRESENTASI IKLAN
DI MEDIA MASSA CETAK INDONESIA KONTEMPORER
Kasiyan
Jurusan Pendidikan Seni Rupa, Fakultas Bahasa dan Seni,
Universitas Negeri Yogyakarta
E-mail: [email protected]
ABSTRACT
This study is aimed at describing postcolonial aesthetic hegemony in the
advertisements of contemporary Indonesian printed mass media, focussing on
three main matters: 1) its signifiers and signified representations; 2) various
factors underlying the strength of postcolonial aesthetics; and 3) strategies of
cultural resistance policy to build possible counter-postcolonial aesthetics
awareness.The main approach of this study is postcolonial, assisted by other
relevant approaches, namely semiotics and historical. The main instrument of this
study is the researcher himself as the human instrument. The research data are in
the forms of advertising from printed media, namely: Tempo, Femina, and Kartini
of 2007-2009 edition. The data are analyzed by using descriptive qualitative
technique. The results of this study show the followings. 1) There are three
dominant signifier hegemony representations of Western aesthetics in the print
media advertising in contemporary Indonesia, associated with obsessions of: a)
Western physical appearance or Indo; b)Western whiteness; and c) the use of
English. 2)These phenomenon are the results of the existence of Indonesians’
strong construction of colonialism syndrom. 3) One of the strategies to build
possible counter-postcolonial aesthetics is by improving awareness on local
cultures as the foundation to build national culture and identity.
Keywords:
hegemony,
Indonesian.
postcolonial
aesthetics,
advertising,contemporary
ABSTRAK
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji perihal hegemoni
postkolonial dalam estetika iklan di media massa cetak Indonesia
kontemporer.Penelitian memfokuskan pada tiga persoalan, yakni: penanda
(bentuk) dan petanda (maknanya); faktor penyebabnya; dan strategi politik
resistensi kultural.Pendekatan penelitian ini adalah postkolonial, semiotis, dan
136
historis. Instrumen utama penelitian ini adalah peneliti, sebagai human instrument.
Data penelitian berupa iklan bersumber dari media massa cetak, yakni Tempo,
Femina, dan Kartini edisi 2007-2009. Adapun analisis datanya menggunakan
teknik deskriptif kualitatif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat tiga
representasi penanda hegemoni estetika postkolonial yang cukup dominan dalam
iklan di media massa cetak Indonesia kontemporer, yakni a) ketubuhan Barat dan
atau Indo; b) ketubuhan kulit putih; dan c) penggunaan Bahasa Inggris. Fenomena
tersebut disebabkan oleh masih kuatnya konstruksi sindrom kolonialisme yang
dialami oleh bangsa Indonesia, meskipun bangsa ini telah merdeka. Oleh karena
itu strategi politik resistensi kultural penting diupayakan untuk membangun
kesadaran counter-hegemoni estetika postkolonial, dengan cara mempertinggi
kesadaran tentang budaya lokal sebagai fondasi pengembangan budaya dan
identitas nasional.
Kata-kata kunci: hegemoni, estetika postkolonial, iklan, Indonesia kontemporer.
PENGANTAR
Iklan merupakan produk budaya modern yang fenomenal sehingga
seringkali dianggap sebagai salah satu variabel penting yang merefleksikan dan
mengonstruksi kesadaran masyarakat kekinian (Williamson, 2007:1). Betapa
tidak, totalitas kehidupan masyarakat, terutama di era modern dan postmodern,
seolah tidak menyisakan sedikit pun ruang yang steril dari pengaruh dan
kuasanya. McLuhan (2006:24) bahkan pernah menyebut iklan sebagai temuan
karya seni terbesar abad ke-20 karena di dalamnya terkandung sejenis the magic
system (Williams, 2005:170) atau the mistique system (Sutherland, 2008:3), yang
mempunyai daya luar biasa untuk melakukan the hidden persuaders (Packard,
1980) atau the subliminal seduction (Zanot, 1992:56) kesadaran masyarakat
secara masif-ideologis.
Di samping mempunyai manfaat positif, keberadaan iklan juga banyak
mengakibatkan dampak negatif. Dampak negatif itu secara klasik, terutama
banyak dikaitkan dengan persoalan semakin tingginya budaya konsumerisme,
materialisme, dan hedonisme di masyarakat (Brewer & Porter, 1994:19).
Fenomena tersebut dapat terjadi karena iklan memicu lumpuhnya daya nalar kritis
masyarakat (Tester, 2003:69) akibat kecenderungan sikap dan perilakunya yang
137
banyak dipandu oleh akal budi instrumentalis (Horkheimer & Adorno, 2003).
Oleh karena itu, tidak mengherankan kalau iklan banyak mendapat kritik keras di
masyarakat. Cronin (2005:37), misalnya, mengritik iklan sebagai produk budaya
modern yang kontroversial jika dipandang dari perspektif moral, ideologi, dan
estetikanya.Demikian juga halnya sosiolog Bell (1976:69) menyebut iklan sebagai
salah satu penemuan yang menakutkan di sepanjang sejarah peradaban
kapitalisme Barat karena telah banyak mengolonisasi kesadaran sosial, yang
mengikis nilai-nilai yang ada di masyarakat (Goldman, 1992:8).
Ada dampak negatif lain yang tidak kalah mendasar, yang nyaris terlepas
dari
perhatian
masyarakat,
terutama
dalam
kaitannya
dengan
konteks
keindonesiaan, yakni menyangkut persoalan politik identitas kebudayaan dan
nasionalisme sebuah bangsa. Persoalan ini, dapat diverifikasi dari representasi
estetika iklan di media massa mana pun dan untuk kepentingan menawarkan
produk apapun.
Pelbagai sistem tanda estetika yang serba Barat, akhirnya menjadi
sebentuk obsesi keterpesonaan yang luar biasa dalam wacana periklanan di media
massa yang dapat membahayakan eksistensi jati diri kebudayaan Indonesia.
Fenomena itu, jika ditilik dari perspektif postkolonial dapat dikatakan sebagai
sebentuk realitas penjajahan baru (new imperialism), modusnya tidak dilakukan
dengan
cara
kekerasan
fisik
(coersive),
melainkan
secara
persuasif
(O’Shaughnessy & O’Shaughnessy, 2004:1) atau hegemonik (Howson & Smith,
2008:14). Lanskap fenomena tersebut tentunya merupakan realitas kultural yang
amat memprihatinkan karena tanpa disadari dapat berpotensi destruktif bagi
pembangunan politik identitas dan nasionalisme bangsa. Terkait dengan persoalan
inilah, Williams (1998:88-93) menegaskan bahwa iklan, sebagai salah satu bagian
dari representasi sistem bahasa, merupakan salah satu situs hegemonik dari
kebudayaanyang secara laten sebagai tempat pertarungan ideologi yang kompleks
di masyarakat. Termasuk dalam konteks ini adalah ideologi postkolonial.
Berdasarkan latar belakang tersebut, penelitian hegemoni estetika
postkolonial dalam representasi iklan di media massa cetak Indonesia
kontemporer ini dilaksanakan dengan memfokus pada tiga masalah, yakni
138
representasi pelbagai bentuk (penanda) dan makna (petanda) yang digunakannya;
pelbagai faktor penyebab kuatnya konstruksi hegemoni estetika postkolonial
sebagaimana dimaksud, dan strategi politik resistensi kultural yang dapat
membangun kesadaran
counter-hegemoni estetika
postkolonial
di masa
mendatang.
Pendekatan utama dalam penelitian ini adalah postkolonial, dengan
pendekatan semiotika dan historis sebagai pertimbangan. Pendekatan postkolonial
disandarkan pada pandangan Edward W. Said (1979), Homi K. Bhabha (1994),
dan Gayatri C. Spivak (2006). Untuk pendekatan semiotis digunakan, karena
penelitian ini mengkaji tanda, yakni iklan. Dalam konteks penelitian ini, model
pendekatan semiotis yang digunakan adalah semiotikanya Roland Barthes (1975;
1981). Sementara itu, untuk pendekatan historis, dipilih model “sejarah
pemikiran” (history of thought)-nya Roland N. Stomberg (1968)yang diadaptasi
dari Kuntowijoyo (2003). Instrumen penelitian dalam konteks ini adalah peneliti
sendiri sebagai human instrument dengan pedoman dokumentasi. Data penelitian
berupa iklan bersumber dari media massa cetak Indonesia (majalah), yakni
Tempo, Femina, dan Kartini, terbitan tahun 2007-2009, yang ditentukan dengan
teknik purposive sampling. Sementara itu, teknik analisis datanya menggunakan
deskriptif kualitatif.
Perlu juga disampaikan bahwa, berdasarkan hasil penelusuran literatur di
lapangan, kajian tentang hegemoni estetika postkolonial dalam representasi iklan
di media massa Indonesia sulit ditemukan. Memang ada beberapa penelitian
tentang wacana periklanan di Indonesia yang bersinggungan dengan persoalan
budaya Barat, namun tidak secara tegas dan spesifik menggunakan perspektif
postkolonial, melainkan menggunakan perspektif kultural yang umum, di samping
beberapa yang fokusnya lebih mengarah pada studi yang terkait dengan
feminisme.
Paling tidak terdapat tiga hasil penelitian tentang iklan. Pada tahun 2000,
Muchyar melakukan penelitian yang berjudul “Citra Amerika dalam Periklanan
Prodok Konsumen di Indonesia”, yang menggunakan perspektif kultural secara
umum. Selanjutnya, Aquarini Priyatna Prabasmoro, pada tahun 2002melakukan
139
penelitian berjudul Becoming White: The Representation of Female Mixed-Race
Celebrities in Indonesian Soap Advertisements and Women’s Culture,yang
mengedepankan perspektif feminisme. Vissia Ita Yulianto dengan judul Pesona
Barat: Analisa Kritis-Historis tentang Kesadaran Warna Kulit di Indonesia, yang
diterbitkan tahun 2007, juga tidak secara eksplisit menggunakan pendekatan
postkolonialisme.
Penelitian ini di samping dapat dikatakan orisinil, oleh karena itu juga
mempunyai makna strategis, yakni terutama bagi kepentingan pemupukan dan
pengembangan nilai-nilai dan semangat nasionalisme, yang salah satunya lewat
estetika iklan, demi tetap teguh dan tegaknya entitas identitas jati diri dan nationstate keindonesiaan.
IKLAN DAN PERGESERAN MAKNA SIMBOLIK ESTETISNYA
Iklan, yang secara historis sudah dikenal sejak zaman Yunani dan Romawi
Kuna (Tungate, 2007:10), mempunyai beberapa padanan bahasa asing, yakni:
i’lan (Bahasa Arab), advertere (Bahasa Latin),advertentie (Bahasa Belanda),
advertising (Bahasa Inggris), dan reclamare (Bahasa Prancis), yang maknanya
meneriakkan sesuatu secara berulang-ulang (Kasali, 1993:111). Dalam pengertian
yang lebih luas, iklan berarti berita pesanan yang dimuat di media massa untuk
mendorong dan membujuk khalayak ramai pada barang atau jasa yang ditawarkan
(Bovee & Arens, 1986:5).
Dalam representasinya di media massa, iklan diwujudkan dalam bentuk
sistem tanda, baik visual, audio, maupun kombinasi antara audio-visual. Sistem
tanda tersebut difungsikan sebagai simbol, untuk mewakili atau memberi identitas
atas sesuatu benda atau objek yang lain (Ross & van den Haag, 1962:211).
Adapun simbol dalam periklanan digunakan sebagai alat untuk menginformasikan
pesan atas produk, baik barang ataupun jasa kepada masyarakat. Dalam perspektif
semiotis-estetis, baik iklan untuk kategori media massa cetak maupun elektronik,
secara substansial konstruksi representasinya terkait dengan dua ranah, yakni
penanda (signifier) dan petanda (signified) yang terdapat di dalamnya.
140
Bentuk adalah wujud fisik lahiriah (waarneembare gestalte) yang secara
langsung mengungkap atau mengobjektivasi pengalaman batiniah, sedangkan isi
adalah pranata makna dari berbagai gambaran perasaan (voorstelingen) yang
digerakkan lewat wujud lahiriah tersebut (Feldman, 1967:61). Jika iklan yang
dimaksud menggunakan media massa elektronik maka bentuk atau wujud
lahiriahnya dapat berupa audio atau penggabungan antara audio-visual, sedangkan
aspek fisik dalam iklan di media massa cetak, wujudnya berupa penggabungan
seperangkat elemen material visual seni rupa yang terdiri atas garis, bidang,
bentuk, warna, dan ruang. Semua komponen tersebut dikomposisi secara estetis
dengan menggunakan seperangkat prinsip seni, yakni kesatuan, variasi, ritme atau
irama, keseimbangan, harmoni, proporsi, kontras, dan pusat perhatian (Harris,
2006:13-15).
Adapun struktur kesatuan komposisi estetis penanda dan petanda dalam
iklan, terdiri atas pelbagai unsur, yakni ilustrasi, head line, subheadline (body
copy), dan slogan (Vestergaard & Schroder, 1985:49-50). Ilustrasi adalah gambar
atau objek tertentu yang dibuat untuk memperjelas audiens terhadap wacana
tertentu. Sementara itu, subheadline merupakan penjelasan suatu pesan yang lebih
lengkap tentang apa yang diinformasikan dalam iklan. Sementara itu, slogan
adalah
serangkaian
kata-kata
atau
ungkapan
pendek
yang
biasanya
mengetengahkan keunggulan produk barang atau jasa yang sedang ditawarkan.
Sebagai bagian dari seni rupa, iklan termasuk dalam lingkup “seni
terapan” (applied arts), yakni sebuah kategori seni yang ekspresi estetikanya
dikategorikan ke dalam genre “seni dalam rangka” (Soedarsono, 1998:223-233).
Maknanya adalah penciptaan seni yang kesadaran utamanya pertama-tama dan
yang utama tidak diperuntukkan bagi kepentingan pemenuhan dimensi estetis,
melainkan lebih dimaksudkan untuk kepentingan lain di luar seni itu sendiri
(Adorno, 2004:284). Dalam konteks karya iklan, kesadaran estetisnya lebih
bersifat instrumentalistik, yakni berfungsi sebagai media komunikasi persuasif
untuk memengaruhi masyarakat. Dalam kaitan dengan konsep inilah, kaidah
estetisasi dalam iklan berbaur dengan kaidah komunikasi persuasif (Goddard,
2001:2-3).
141
Pada awal sejarahnya iklan lebih berfungsi sebagai media untuk
mengomunikasikan pesan yang relatif natural, yang lebih banyak terkait dengan
nilai guna (use value) atas produk
yang ditawarkan. Namun, dalam
perkembangannya kemudian terjadi pergeseran yang jauh, yakni lebih
mengedepankan nilai citra (image value), misalnya berupa janji-janji simbolik
tentang kemewahan, gaya hidup, dan hedonisme (Featherstone, 1991:171). Dalam
konteks inilah, terjadi penjungkirbalikan logika produksi-konsumsi, karena
pelbagai komoditas tidak lagi diproduksi untuk memenuhi kebutuhan, melainkan
justru sebaliknya kebutuhan yang memang sengaja diciptakan (Marcuse, 2000).
Proses penjungkirbalikan ini, secara fundamental telah mengubah sifat dasar iklan
sebagai alat komunikasi pemasaran, kemudian bergeser amat jauh ke fungsi
konotasi-manipulatif. Cara manipulasi ini dijalankan dengan modus exchangevalue (Dyer, 1982:116), yakni menukar makna nilai guna produk, menjadi nilai
citra sosial tertentu. Dalam konteks inilah, iklan telah memerankan apa yang dapat
dikategorikan sebagai colonising of the real (McFall, 2004:9).
POSTKOLONIALISME: STRATEGI RESISTENSI KULTURASI ATAS
KUASA HEGEMONI
Postkolonialisme, sebagai sebuah teori merupakan terminologi yang sulit
untuk dikerangkai dalam definisi secara ketat karena memang bukan sebuah
konsep yang tunggal dan statis (Foulcher, 2006:xi). Namun, paling tidak terdapat
satu substansi penting di dalamnya, yakni postkolonialisme merupakan strategi
teoretis dan kritis yang digunakan untuk meneliti pelbagai kebudayaan yang ada
di bekas koloni negara-negara Barat, yang didasarkan pada fakta historis
kolonialisme dan aneka dampak negatif yang ditimbulkannya, terutama terkait
dengan persoalan ketidakadilan hubungan dialektis, misalnya dalam wujud
eksploitasi, marginalisasi, dan rasialisasi (Said, 1979:2-3).
Dengan demikian, kolonialisme tidaklah berakhir dengan berakhirnya
pendudukan kolonial (Gandhi, 2001:24). Ia berganti baju menjadi new
colonialism, yang substansinya tetap sama, merusak dan melukai (Smith, 2005:2).
Kolonialisme baru tersebut dijalankan tidak secara coercive (kekerasan),
142
melainkan secara hegemonik dengan modus memengaruhi ranah mental
kesadaran masyarakat lewat determinasi kultural dengan menggunakan sarana
utama aparatus ideologis bahasa (Bush, 2006:50-51). Pada era modern dan
postmodern kekinian hegemoni itu semakin eksplosif-masif, terutama seiring
dengan pengaruh revolusi teknologi dan informasi, yang disebut Toffler (1991)
sebagai sebagai “revolusi gelombang ketiga”. Dampak dari revolusi ini telah
mengubah dunia laksana sebentuk global village (McLuhan, 2006) sehingga dunia
dilanda badai globalisasi.
Dalam eraglobalisasi ini, pengaruh budaya Barat terhadap Timur lebih
dominan dan memanifesto, misalnya, dalam wujud “Amerikanisasi” (Bischof,
2009:2),
“McDonaldisasi”
(Ritzer,
2011:14-16),
“CocaColanisasi”,
“Hollywoodisasi”, serta “McDisneysasi”. Revolusi teknologi telah mengubah
orientasi budaya dan sistem nilai (Drucker, 1961:1).
DIMENSI OBSESI KETUBUHAN BARAT ATAU INDO
Hegemoni estetika Postkolonial dalam iklan di media massa Indonesia
kontemporer yang pertama adalah persoalan dimensi obesesi ketubuhan Barat atau
Indo. Persoalan tersebut tampak dalam dua gambar berikut.
Gambar 1. Sosok Perempuan Barat sebagai
Model Ilustrasi Iklan Produk Lipstik Merk
Revlon. (Sumber: Majalah Femina, Edisi 3-9
Juli 2008, Halaman 7).
Gambar 2. Sosok Indo Wulan Guritno sebagai
Model Ilustrasi Iklan Pelembab Kulit Merk
Inez(Sumber: Majalah Femina, Edisi 5-11
September 2009, Halaman 111).
143
Gambar 1 dan 2 di atas adalah contoh hegemoni estetika postkolonial
dalam periklanan di Indonesia, yang terepresentasi dalam wujud penggunaan
model sebagai ilustrasinya, yakni sosok perempuan Barat (gambar 1) dan sosok
Indo (hasil dari perkawinan campur antara orang pribumi dengan Barat), yakni
artis Wulan Guritno (gambar 2). Wulan Guritno, yang mempunyai nama lengkap
Wulan Lorraine Guritno, adalah artis Indo (Jawa-Inggris) kelahiran London, 14
April 1980. Persoalan penggunaan model yang bersosokkan Barat atau Indo
sebagai ilustrasi dalam iklan itu merupakan sesuatu yang amat tipikal dalam
periklanan di Indonesia. Hal ini menunjukkan betapa sosok Barat atau Indo seolah
merupakan suatu gambaran yang amat ideal tentang sosok manusia sehingga
mempunyai daya tarik yang luar biasa. Fenomena ini bersinggungan dengan
dengan salah satu konsep penting dalam teori postkolonial, yakni rasisme
(Huggan & Law, 2009). Kultur rasisme ini, di Indonesia telah mengakar panjang,
terutama semenjak zaman Hindia Belanda (Baay, 2010), dan masih eksis lestari
sampai hari ini.
DIMENSI OBSESI KETUBUHAN KULIT PUTIH
Persoalan hegemoni estetika postkolonial dalam iklan yang kedua adalah
obsesi terhadap ketubuhan kulit putih-Barat. Hal ini di antaranya dapat dilihat dari
representasi iklan yang terdapat pada gambar 3 dan 4 berikut ini.
144
Gambar 3. Iklan Kosmetik Pemutih Kulit,
Produksi dalam Negeri, Merk Viva White (Sumber:
Majalah Kartini, Edisi 8-22 Maret 2007, Halaman
67).
Gambar 4. Iklan Kosmetik Pemutih Kulit,
Produksi Luar Negeri, Merk Pond’s(Sumber:
Majalah Femina, Edisi 20-26 Desember 2007,
Halaman 31).
Gambar 3 dan 4 tersebut di atas adalah representasi iklan untuk kosmetik
pemutih kulit yang diproduksi di dalam negeri, yakni merk Viva White (gambar 3)
dan produk asing yang bermerk Pond’s (gambar 4). Fenomena kulit putih, yang
notabene khas Barat itu, kini dianggap sebagai standar ideal yang menghegemoni
kesadaran bangsa-bangsa Timur, termasuk Indonesia, sehingga menggeser
mainstream wacana warna kulit bangsa Timur yang telah mengideologi ribuan
tahun lamanya, yakni sebagai bangsa yang berkulit misalnya sawo matang, kuning
langsat, coklat, kuning, atau hitam.
DIMENSI OBSESI PENGGUNAAN BAHASA INGGRIS
Persoalan hegemoni estetika postkolonial dalam iklan yang ketiga adalah
obsesi penggunaan Bahasa Inggris yang memerihatinkan. Beberapa contoh perihal
persoalan tersebut tampak dalam sajian gambar 5 dan 6 berikut.
145
Gambar 5. Penggunaan Bahasa Inggris sebagai
Headline Iklan Obat Sakit Mag Merk
Promag(Sumber: Majalah Tempo, Edisi 30 Maret5 April 2009, Halaman 49).
Gambar 6. Penggunaan Bahasa Inggris sebagai
Headline Iklan Susu Merk Entrasol(Sumber:
Majalah Kartini, Edisi 3 Agustus-6 September
2007, Halaman 74).
Gambar 5 dan 6 di atas adalah beberapa contoh hegemoni penggunaan
Bahasa Inggris dalam iklan di media massa Indonesia kontemporer. Penggunaan
Bahasa Inggris dalam konteks kedua iklan tersebut di atas mempunyai daya tarik
kuat karena difungsikan sebagai headline. Pada gambar 5, untuk iklan obat sakit
mag merk Promag ini, headline-nya berbunyi: One is enough, sedangkan pada
iklan susu merk Entrasol di gambar 6 berbunyi: Smaller Waist, Better life!
Fenomena keinggris-inggrisan ini kiranya merupakan sebentuk kolonialisme
bahasa (Pennycook, 1998), dan kiranya hal ini merupakan persoaan krusial bagi
strategi politik Bahasa Indonesia di era global (Wijana, 1999:32-36).
FAKTOR PENGONSTRUKSI
BARAT DALAM IKLAN
KUATNYA
HEGEMONI
ESTETIKA
Jika ditilik dari optik pandang postkolonialisme, persoalan hegemoni
estetika postkolonial dalam representasi iklan di media massa Indonesia
kontemporer sebagaimanamana dimaksud, merupakan sebuah realitas yang lebih
146
disebabkan oleh sebentuk sindrom kolonialisme yang pernah diidap bangsa ini di
masa yang lampau. Analisis ini, sejalan dengan pandangan Jütte (2005:10-11),
yang menyimpulkan bahwa keberadaan cita rasa sebenarnya tidak pernah ada
yang natural. Ia selalu berkaitan erat dengan pelbagai kompleksitas fakor sosial
budaya yang menyertainya. Demikian juga halnya dengan persoalan sindrom
hegemoni cita rasa estetika Barat yang terdapat dalam periklanan yang di
Indonesia. Ia mempunyai keterkaitan erat dengan sejarah panjang kolonialisme
yang menimpa bangsa ini di masa lampau. Citra penjajah Barat yang superior, dan
sebaliknya pribumi inferior, tetap lestari hingga zaman modern dan postmodern
kini sehingga tidak mengherankan jika nyaris semua sistem panata budaya Barat
oleh bangsa Timur ditiru dan amat digilai. Inilah yang diintroduksi dan digugat
Said (1979) sebagai fenomena postkolonial. Menyimak fakta historis ini,
terminologi kemerdekaan bangsa bekas jajahan itu sebenarnya ilusi sebab yang
terjadi hanyalah semacam scheuring van het rijk (palihan nagari) (Onghokham,
2009:163-164).
Akibat belenggu postkolonial, tipologi khas yang tampak menonjol diidap
oleh bangsa-bangsa bekas jajahan adalah ketidakmampuannya untuk merumuskan
apa yang dinamakan dengan masa depan. Masa depan itu tidak merealitas di
benak para korban penjajahan, di luar jangkauan, di tangan orang lain, bahkan
menjadi milik orang lain. Hal ini, untuk merumuskan masa depan itu diperlukan
seperangkat pengetahuan, baik pengetahuan alam maupun buatan, membutuhkan
tradisi tersendiri (Simon, 1996:1). Namun, fakta sejarah menunjukkan bahwa
bangsa-bangsa terjajah relatif sulit mengembangkan tradisi berpengatahuan
sehingga kerap tidak mempunyai pilihan masa depan. Bagi kaum terjajah, pilihan
adalah suatu kemewahan. Kalau lah bukan di tangan orang lain, nasibnya berada
di luar jangkauannya, atau sama sekali di luar kesadaran kulturalnya (Liddle &
Barnes, 1998).
Jika alir nalar dan kenyataan tersebut didedahkan dalam konteks
keindonesiaan, diskurusnya jelas relevan. Terlepas dari kontroversi terkait dengan
dimensi waktu pasti berapa lamanya kolonialisme yang mendera bangsa Indonesia
(Adam, 2007:1-2), yang pasti adalah ia telah menjadi sebentuk “kutukan” bagi
147
pengembangan
gagasan
kebudayaan
yang
lebih
menunjukkan
identitas
keindonesiaan. Bayang-bayang suprioritas Barat dan sebaliknya inferioritas
pribumi tetap lestari hingga saat ini, sebagaimana percikan kecilnya tampak dalam
pilihan cita rasa estetika iklan yang menghegemoni di negeri ini. Hegemoni
estetika Barat tersebut, bukan semata-mata terjadi dalam wacana periklanan,
melainkan juga terjadi dalam keseluruhan wacana dan jagad seni di negeri ini
(Sutirsno, 2006). Bahkan, hegemoni Barat ini juga, jika dilihat dalam dunia seni
dalam arti luas, juga bukan hanya terjadi dalam jagad estetika, melainkan
menghegemoni nyaris keseluruhan historis dan historiografi seni rupa di
Indonesia (Burhan, 2006:275). Jika persoalan tersebut diproyeksikan dalam
spektrum yang lebih luas lagi, yakni dalam budaya Indonesia, hegemoni budaya
Barat itu menjadi pemandangan yang hampir “sempurna”. Konon, bahkan sampai
istilah yang menjadi penanda identitas bangsa ini pun, yakni “Indonesia”, ternyata
juga bukan ditemukan atau diciptakan oleh bangsa Indonesia sendiri, melainkan
oleh seorang etnolog Jerman, Bastian (Elson, 2009:2-6).
Jalan keluar pemecahanpersoalan hegemoni postkolonial juga memerlukan
strategis yang juga kompleks, yang salah satunya yang penting adalah melakukan
ritus dekonstruksi. Salah satu kerja dekonstruksi-kulturasi yang menarik adalah,
sebagaimana disarankan oleh Smith (2005), yakni dengan jalan melakukan
“dekolonisasi metodologi” atas segala konstruksi epistemis-historis sosio-kultural
yang pernah dimiliki bangsa ini. Dekonstruksi dan dekolonisasi metodologi
kultural ini dapat ditempuh dengan jalan memperkuat posisi tawar budaya lokal
yang dimiliki olehsubaltern sehingga akan mampu melakukan “penundaan
persetujuan” (a willing suspension of disbelief) ketika berjamahan dengan
kebudayaan dominan (Spivak, 2006:28-37). Dengan berbekal pada kesadaran
budaya lokal, pelbagai proses perjumpaan dengan budaya global diharapkan
mampu menghasilkan formula yang ideal, yang menurut Bhabha (1994) ditandai
dengan terciptanya apa yang diistilahkan sebagai the third space (ruang ketiga)
atau the in-between (ruang antara): sebuah ruang yang menjanjikan tumbuh dan
berkembangnya keadilan dialektika antarbudaya. Wacana lokalitas itu, kalau
dikontekstualkan spesifik dalam khazanah estetika keindonesiaan misalnya,
148
revitalisasi paradigma tentang pentingnya “estetika Timur”, merupakan suatu hal
strategis yang penting untuk dilakukan.
SIMPULAN
Berdasarkan temuan penelitian, dapat disimpulkan bahwa iklan itu tidak
bebas nilai, dan dengan segala potensinya, dapat hadir sebagai hal yang bersoal.
Persoalan itu juga bukan semata-mata terkait dengan problem klasik, seperti
konsumerisme maupun materialisme, melainkan lebih dari itu. Jika ditilik dari
perspektif postkolonial, hal itu bersinggungan terlampau jauh dengan persoalan
kultural, yakni politik identitas dan nasionalisme sebuah bangsa. Paling tidak
terdapat tiga representasi penanda dan petanda hegemoni estetika postkolonial
yang cukup dominan dalam iklan di media massa cetak Indonesia kontemporer,
yakni domain obsesi terhadap: ketubuhan Barat atau Indo; kulit putih Barat; dan
penggunaan Bahasa Inggris. Keseluruhan representasi sistem tanda estetika
tersebut mengimplikasikan makna keterpesonaan atas superioritas Barat, dan
sebaliknya juga inferioritas kedirian keindonesiaan. Fenomena tersebut, bukan
semata-mata terjadi dalam khazanah budaya periklana, melainkan merupakan
persoalan yang hampir terdapat di seluruh sistem dan pranata kultural Indonesia.
Budaya Barat seolah telah menjadi sebentuk fenomena “kutukan” obsesi
historisyang melampaui akan hasrat dan keinginan apapun dalam proses kinerja
kulturasi di negeri ini dan karenanya amat memperihatinkan. Adapun faktor
penyebab kuatnya konstruksi dan reproduksi hegemoni estetika Barat dalam
representasi iklan di media massa cetak Indonesia kontemporer adalah lebih
terkait dengan persoalan sindrom postkolonial yang dialami oleh bangsa Indonesia
ini sebagai akibat dari proses kolonialisme yang panjang di masa lampau.
Banyak strategi politik resistensi kultural penting yang dapat diupayakan
untuk membangun kesadaran counter hegemoni postkolonial di antaranya yang
cukup strategis adalah dengan jalan merevitalisasi paradigma tentang pentingnya
arti dan keberadaan pelbagai kearifan budaya lokal yang sangat kaya dimiliki oleh
bangsa
Indonesia.
Dalam
konteks
spesifik
di
ranah
estetika,
terkait
denganrevitalisasi kesadaran paradigma kultur lokalitas itu, antara lain dapat
149
ditempuh dengan melakukan serangkaian upaya penggalian kembali pelbagai
khazanah “estetika keindonesiaan”, yang terutama banyak berbasis pada spirit
estetika Timur, yang difungsikan sebagai paradigma estetika utama dalam segala
praksis berkesenian, termasuk dalam konteks ini adalah dalam wacana periklanan.
Ketika penggagasan estetika keindonesiaan itu mampu diupayakan, substansi
diskursif atas terminologi pengembangan gagasan kreativitas yang terkait dengan
estetika periklanan, tidak lagi disandarkan pada hegemoni pengedepanan pelbagai
sistem tanda, baik menyangkut penanda maupun petanda yang berasal dari Barat,
melainkan lebih didasarkan pada seberapa besar kadar dan bobot kreativitas
estetisnya yang bisa diwacanakan. Dalam konteks ini pula, diharapkan akan
terciptanya kesadaran kolektif yang dimiliki oleh bangsa ini, terutama dalam
kaitannya dengan pemahaman tentang terminologi kemerdekaan, yang mestinya
secara substantif mampu dimaknai lebih sebagai upaya perjuangan terhadap setiap
praksis penjajahan dengan segala macam representasinya, baik yang terjadi dalam
konteks kolonialisme maupun juga postkolonialisme.
150
DAFTAR RUJUKAN
Adam, Asvi Marwan. 2007. Seabad Kontroversi Sejarah. Cetakan Pertama.
Yogyakarta: Ombak.
Adorno, Theodor W. 2004. Aesthetic Theory. London: Continuum International
Publishing Group.
Baay, Reggie. 2010. Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda. Jakarta:
Komunitas Bambu.
Barthes, Roland. 1978. The Pleasure of theText. Translated by Richard Miller.
New York: Hill and Wang.
__________. 1981. Elements of Semiology. Translated from the French by
Annette Lavers and Colin Smith.
Bhabha, Homi K. 1994. The Location of Culture. London and New York:
Routledge.
Bell, Daniel. 1976. The Cultural Contradictions of Capitalism. New York: Basic
Books.
Bischof, Günter. 2009. “Introduction: Austria in McWorld”, in Günter Bischof &
Anton Pelinka (eds.), The Americanization/Westernization of Austria.
Second Printing. New Brunswick & New Jersey: Transaction Publishers.
Bovee, Coutland L. and William F. Arens.1986. Contemporary Advertising. New
York: Irwin MC Graw-Hill.
Brewer, John & Roy Porter. 1994.Consumption and the World of Goods. London:
Routledge.
Burhan,M. Agus. 2006. “Seni Rupa Kontemporer Indonesia: Mempertimbangkan
Tradisi”, dalam Jaringan Makna Tradisi Hingga Kontemporer: Kenangan
Purna Bhakti untuk Prof. Soedarso Sp., M.A, Yogyakarta: BP ISI
Yogyakarta.
Bush, Barbara. 2006. “Chapter 4: Culture and Imperialism”, in Imperialism and
Postcolonialism. Essex, UK: Pearson Longman.
Cronin, Anne M. 2005. “Chapter 2: Advertising Knowledge”, in Advertising and
Consumer Citizenship: Gender, Images, and Rights. This Edition
Published in the Taylor & Francis e-Library. London: Routledge.
151
Day, Tony & Keith Foulcher (eds.). 2006. Clearing Space: Kritik Pasca Kolonial
tentang Sastra Indonesia Modern. Jakarta: Kerjasama antara Yayasan
Obor Indonesia dengan KITLV-Jakarta.
Drucker, Peter. 1961.“The Technological Revolution”, in Technology and Culture
Journal (Vol. II, No. 4).
Dyer, Gillian. 1982. Advertising as Communication. London: Routledge.
Elson, R.E. 2009. “Asal-usul Gagasan Indonesia”, dalam The Idea of Indonesia:
Sejarah Pemikiran dan Gagasan. Terjemahan Zia Anshor. Cetakan
Pertama. Jakarta: Serambi.
Featherstone, Mike. 1991. The Bodyin Consumer Culture. London: Sage
Publication.
Feldman, Edmund Burke. 1967. Art as Image and Idea. Eglewood Cliffs, New
Jersey: The University Of Georgia-Prentice Hall, Inc.
Gandhi, Leela. 2001. Teori Poskolonial: Upaya Meruntuhkan Hegemoni Barat.
Terjemahan Yuwan Wahyutri dan Nur Hamidah. Yogyakarta: Qalam.
Goddard, Angela. 2001. “Introduction”, in The Language of Advertising. This
Edition Published in the Taylor & Francis e-Library. London & New
York: Routledge.
Goldman, Robert. 1992. Reading Ads Socially. London & New York: Routledge.
Harris, George. 2006. “Composition in Arts”, in The Theory of the Arts; or, Art in
Relation to Nature, Civilization, and Man. Digital Version.London:
Tubner & Co.
Horkheimer, Max & Theodor W. Adorno. 2003. Dialektika Pencerahan.
Terjemahan Ahmad Sahidah. Cetakan Pertama. Yogyakarta: IRCiSoD.
Howson, Richard & Kylie Smith. 2008. “Hegemony and the Operation of
Consensus and Coercion”, in Richard Howson & Kylie Smith (eds.),
Hegemony: Studies in Consensus and Coercion. London: Rotledge.
Huggan, Graham & Ian Law. 2009. Racism Postcolonialism Europe. Cambridge,
UK: Liverpool University Press.
Jütte, Robert. 2005. “Approaching the Suprahistorical”, in A History of Senses:
From Antiquity to Cyberspace. Cambridge, UK: Polity Press.
Kasali, Rhenald. 1993. Manajemen Periklanan: Konsep dan Aplikasinya di
Indonesia. Cetakan Ketiga. Jakarta: PT Temprint.
152
Kuntowijoyo. 2003. Metodologi Sejarah. Cetakan Kedua. Yogyakarta: Tiara
Wacana.
Liddle, E. William & Samuel H. Barnes. 1988. Politics and Culture in Indonesia.
Ann Arbor, USA: Center for Political Studies, Institute for Social
Research, University of Michigan.
Marcuse, Herbert. 2000. Manusia Satu Dimensi. Terjemahan Silvester G. Sukur
dan Yusup Priyasudiarja. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya.
McFall, Liz. 2004. Advertising: A Cultural Economy. First Published. London:
Sage Publication.
McLuhan, Marshall. 2006. Understanding Media: The Extensions of Man
(Routledge Calssics). Revised Edition. London: Routledge.
Onghokham. 2009. “India yang Dibekukan: Mooi Indië dalam Seni Rupa dan
Ilmu Sosial”, dalam Harsya W. Bachtiar, Peter B.R. Carey, dan
Onghokham, Raden Saleh: Anak Belanda, Mooi Indie, dan Nasionalisme.
Cetakan Pertama. Jakarta: Komunitas Bambu.
O’Shaughnessy, J. & N.J. O’Shaughnessy. 2004. Persuasion in Advertising.
London: Routledge.
Packard, Vance. 1980. The Hidden Persuaders.Brooklyn, New York: IG
Publishing.
Pennycook, Alastair. 1998. English and the Discourses of Colonialism. London &
New York: Routledge.
Ritzer, George. 2011. The McDonaldization of Society 6. London, UK &
California, USA: Sage Publication.
Ross, Ralph & Ernest van den Haag. 1962. “Art and Its Social Functions” in
Symbols & Civilization: Science, Morals, Religion, Art. New York &
Burlingame: Harcourt, Brace & World, Inc.
Said, Edward W. 1979. Orientalism. New York: Vintage Books.
Simon, Herbert Alexander. 1996. The Sciences of the Artificial. Cambridge,
Massachusetts: Massachusetts Insitute of Technology Press.
Smith, Linda Tuhiwai. 2005. Dekolonisasi Metodologi. Terjemahan Nur Cholis.
Cetakan Pertama. Yogyakarta: Insist Press.
153
Soedarsono, R.M. 1998. “Umar Kayam dan Seni dalam Rangka”, dalam Aprinus
Salam (ed.), Umar Kayam dan Jaring Semiotik. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Spivak, Gayatri Chakravorty. 2006“Chapter 4: Can the Subaltern Speak?”in Bill
Ashcroft, Gareth Griffiths, Helen Tiffin (eds.), The Post-Colonial Studies
Reader. Second Edition Published. USA & Canada: Taylor & Francis.
Sutherland, Max. 2008. “Introduction”, in Advertising and The Mind of the
Consumer: What Works, What Doesn’t, and Why. Australia Crows Nest,
NSW: Allen & Unwin.
Sutrisno, Mudji. 2006. Oase Estetis: Estetika dalam Kata dan Sketza. Cetakan
Pertama. Yogyakarta: Kanisius.
Tester, Keith. 2003. Media, Budaya, dan Moralitas. Terjemahan Muhammad
Syukri. Yogyakarta: Juxtapose Bekerjasama dengan Kreasi Wacana.
Toffler, Alvin. 1991. Power Shift: Knowledge, Wealth, and Violence at the Edge
of the 21st Century. New York: Bantam Books.
Tungate, Mark. 2007. “Pioneers of Persuasion”, in Adland: A Global History of
Advertising. London & Philadelphia: Kogan Page.
Wijana, I Dewa Putu. 1999. “Fungsi dan Peranan Bahasa Indonesia dalam
Menyiapkan Sumber Daya Manusia di Era Kesejagatan”, Humaniora,
Jurnal Fakultas Sastra, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (Volume
Nomor 10, Januari-April).
Williamson, Judith. 2007. Decoding Advertisements: Membedah Ideologi dan
Makna dalam Periklanan. Terjemahan Saleh Rahmana. Cetakan Pertama.
Yogyakarta: Jalasutra.
Williams, Raymond. 1988. “Dominat, Residual, and Emergent”, in K.M. Newton
(ed.), Twentieth-Century Literary Theory: A Reader. London:MacMillan
Education Ltd.
__________. 2005. “Advertising: The Magic Syatem”, in Culture and
Materialism. (Radical Thinkers). London & New York: Verso.
Zanot, Eric J. 1992. “Subliminal Seduction: Real or Imagined?”, in Sammy
Richard Danna (ed.), Advertising and Popular Culture: Studies in Variety
and Versatility. Ohio, USA: Bowling Green State University Press.
154
C. SINOPSIS PENELITIAN LANJUTAN
155
SINOPSIS PROPOSAL PENELITIAN STRATEGIS NASIONAL
(TAHUN KEDUA)
PENGEMBANGAN MODEL DESAIN IKLAN MEDIA MASSA CETAK
BERBASIS BUDAYA LOKAL SEBAGAI COUNTER HEGEMONI
ESTETIKA POSTKOLONIAL
Oleh:
Ketua: Kasiyan
Anggota: Aran Handoko
A. Abstrak
Tujuan penelitian ini terbagi dalam tiga tahun. Tahun pertama, bertujuan
untuk: mengidentifikasi, mendeskripsi, dan mengeksplanasi tentang bentukbentuk (penanda) visual, makna (petanda), dan pola-pola hegemoni estetika
postkolonial yang terrepresentasi dalam iklan di media massa cetak Indonesia
kontemporer. Tahun kedua, bertujuan untuk mengimplementasikan temuan
penelitian tahun pertama, yakni berupa perancangan dan pengembangan model
desain estetika iklan untuk media massa cetak sebagai counter hegemoni estetika
postkolonial. Sementara itu tahun ketiga, berupa desiminasi produk model desain
iklan media massa cetak sebagai counter hegemoni estetika postkolonial
sebagaimana dimaksud.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Research and
Development modelnya Gall, Gall, dan Borg (2003) yang bersifat longitudinal,
yakni tiga tahun. Tahapan yang dilakukan dalam pendekatan ini, adalah sebagai
berikut. 1) Studi pendahuluan (define) tentang hegemoni estetika postkolonial
yang terrepresentasi dalam iklan di media massa cetak Indonesia kontemporer; 2)
Perancangan (design) dan pengembangan (development) model desain iklan untuk
media massa cetak sebagai counter hegemoni estetika postkolonial; 3) Validasi
dan desiminasi (desiminate) hasil. Pada tahun pertama, tahapan yang dilaksanakan
mancakup studi pendahuluan. Untuk tahun kedua, perancangan, pengembangan,
dan validasi. Sedangkan untuk tahap desiminasi/sosialisasi dilaksanakan pada
tahun ketiga.
B. Pendahuluan
Penelitian berjudul “Pengembangan Model Desain Iklan Media Massa
Cetak Berbasis Budaya Lokal sebagai Counter Hegemoni Estetika Postkolonial”
ini, pada tahun pertama menghasilkan temuan terutama tentang pola atau bentuk-
156
bentuk hegemoni postkolonial dalam representasi estetika iklan. Berdasarkan hasil
analisis data terhadap iklan-iklan di media massa cetak Indonesia kontemporer
sebagaimana yang menjadi fokus penelitian ini, ditemukan paling tidak lima
kategori pola atau bentuk hegemoni postkolonial, yakni domain obsesi terhadap:
1) penggunaan bahasa Inggris; 2) ketubuhan Barat; 3) Ketubuhan Indo; 4)
ketubuhan kulit putih Barat; dan 5) superlativisme.
Pelbagai sistem tanda estetika yang serba Barat tersebut, bahkan
kecendrungannya termutakhir menjadi sebentuk obsesi keterpesonaan/‘kegilaan’
yang luar biasa dalam wacana estetika periklanan di media massa di Indonesia.
Fenomena tersebut jika ditilik jernih, sebenarnya bukan hanya terjadi dan mendera
pada wacana estetika periklanan semata, melainkan juga menjadi persoalan yang
nyaris sama, di hampir seluruh sistem dan pranata kebudayaan di Indonesia.
Berdasarkan latar belakang pokok-pokok pikiran itulah, penelitian ini
dihajatkan untuk mengkaji pelbagai persoalan hegemoni postkolonial dalam
estetika iklan di media massa Indonesia kontemporer tersebut, beserta
pengupayaan alternatif pemecahannya, terutama dengan cara mengedepankan
pentingnya revitalisasi paradigma dalam kinerja berkebudayaan, yang beraraskan
jangkar karakter budaya lokal ke-Indonesia-an.
C. Tujuan Khusus Tahun Kedua
Secera ringkas tujuan penelitian penelitian tahun kedua ini adalah untuk
mengimplementasikan hasil temuan penelitian pada tahun pertama, yakni berupa
perancangan (design) dan pengembangan (development) model desain iklan media
157
massa cetak berbasis budaya lokal, sebagai counter hegemoni estetika
postkolonial.
D. Tinjauan Pustaka
1. Pengertian Iklan
Iklan yang secara historis sudah dikenal sejak zaman Yunani dan Romawi
Kuna (Tungate, 2007:10), mempunyai beberapa padanan bahasa asing, yakni:
i’lan (Bahasa Arab), advertere (Bahasa Latin), advertentie (Bahasa Belanda),
advertising (Bahasa Inggris), dan reclamare (Bahasa Prancis), yang maknanya
meneriakkan sesuatu secara berulang-ulang (Kasali, 1993:111). Dalam pengertian
yang lebih luas, iklan berarti berita pesanan yang dimuat di media massa, untuk
mendorong dan membujuk khalayak ramai pada barang atau jasa yang ditawarkan
(Bovee & Arens, 1986:5)
Dalam representasinya di media massa, iklan diwujudkan dalam bentuk
sistem tanda, baik yang sifatnya visual, audio, maupun kombinasi antara audiovisual, tergantung jenis media yang digunakan. Dalam perspektif semiotis-estetis,
baik iklan untuk kategori media massa cetak maupun elektronik, secara
substansial konstruksi representasinya terkait dengan dua ranah, yakni penanda
(signifier) dan petanda (signified) yang terdapat di dalamnya. Adapun kesatuan
komposisi estetis penanda dan petanda dalam iklan itu, strukturnya terdiri atas
pelbagai unsur, yakni: ilustrasi, head line, subheadline (body copy), dan slogan
(Vestergaard & Schroder, 1985:49-50). Sebagai bagian dari seni rupa, iklan
termasuk dalam lingkup ‘seni terapan’ (applied arts), yakni kesadaran estetisnya
158
bukan murni sebagai ekspresi keindahan, melainkan lebih bertendensikan sebagai
instrumentasi komunikasi persuasif terutama terkait politik ekonomi pemasaran.
Dalam kaitan dengan konsep inilah, yang namanya kaidah estetisasi dalam iklan
berbaur dengan kaidah komunikasi persuasif (Goddard, 2001:2-3).
Implikasinya adalah domain estetika yang melekat dalam iklan lebih
mempertimbangkan dimensi fungsionalnya untuk kepentingan komunikasi
persuasif penjualan. Dalam kaitan dengan konsep inilah, yang namanya kaidah
estetisasi dalam karya iklan berbaur dengan kaidah komunikasi persuasif. Untuk
memenuhi tuntutan itu, makanya iklan mestinya mempertimbangkan berbagai
faktor yang terkait dengan konteks kultural sosial masyarakatnya, tempat di mana
iklan tersebut disajikan, agar pesan yang disampaikan menjadi efektif dan efisien
(Goddard, 2001:2-3).
2. Tinjauan tentang Teori Postkolonial
Gagasan tentang postkolonial sebagai sebuah teori, jika ditilik dari domain
kesejarahannya berasal dari Barat. Di awal kehadirannya itu, teori postkolonial
terutama lebih banyak terkait dengan bidang kajian sastra dan juga filsafat, yang
substansinya mengkaji hegemoni Barat atas Timur, yang terefleksi dalam karyakarya tersebut. Namun dalam perkembangan kemudian, postkolonial menjadi
teori yang mencakup lintas bidang dan disiplin sosial budaya atau humaniora yang
luas. Istilah postkolonial berasal dari bahasa Inggris, yakni: post, yang berarti
after or later than (sesudah) dan colonial yang artinya relating to a colony or
colonialism (Cambridge Advanced Learner’s Dictionary, 2003). Pemakmaan
tekstual etimologis tersebut jelas mengundang tafsir yang amat luas. Meskipun
159
terminologi ‘postkolonial’ sebagaimana makna etimologisnya tersebut mencakup
makna penjajahan dalam arti yang sangat luas dan bisa terjadi di mana saja,
namun dalam konteks ini, makna penjajahan sebagaimana dimaksud lebih
dispesifikkan pada penjajahan yang dilakukan oleh bangsa-bangsa Barat terhadap
bangsa-bangsa Timur, sebagaimana tipikalnya pemaknaan ‘postkolonial’ yang
berkembang atau dipakai dalam studi ilmu-ilmu sosial dan budaya.
Kemudian yang juga perlu disampaikan bahwa kata post dalam istilah
postcolonial ini, kiranya relatif kurang memadai maknanya, jika semata-mata
disandarkan pemaknaannya dalam kaitannya dengan terminologi tentang waktu,
yakni ‘sesudah’ kolonialisme dalam yang sempit. Sebaiknya, kata post itu
diartikan sebagai ‘melampaui’. Implikasinya adalah makna kolonialisme dalam
teori postkolonialisme itu melampaui dari pemahaman terminologi kolonialisme
klasik, yakni bisa berupa permasalahan apa pun yang masih terkait, meskipun
tampak seperti terpisah dari kolonialisme. Berangkat dari pemahaman ini,
konteks postkolonialisme juga mencakup berbagai persoalan, misalnya kasus
globalisasi,
yang
juga
kerap
menghadirkan
makna
sebagai
sebentuk
neokolonialisme atau neoimperialisme Barat atas Timur. Paralel dengan
pemaknaan tersebut, ada satu rumusan yang dikemukakan oleh Mangunwijaya
(dalam Tony Day dan Keith Foulcher (2006:5) yakni bahwa istilah post itu sama
dengan postgraduate, yang maknanya adalah ‘kolonialisme yang lebih lengkap,
lebih multidimensional, lebih tuntas kekolonialismeannya’.
Salah satu substansi teori postkolonial yang dapat dikedepankan
sebagaimana disampaikan Said (1979:1-3) adalah bahwa teori ini lebih terkait
160
dengan gugatan terhadap orientalisme Barat yang selama ini memiliki imperium
otoritas untuk menampilkan, memberi identitas, menaklukkan, menjajah, dan
bahkan menindas Timur. Menurut Said, secara semena-mena, Timur sudah sejak
sangat lama—paling tidak sejak abad ke-16—telah menjadi objek mode of
discourse Barat secara negatif, melalui semua sistem pranata kebudayaan yang
dimilikinya, baik secara politis, sosiologis, ekonomi, militer, ideologis, saintifik,
bahkan imajinatif (Said, 1979:2). Konstruksi dan berikut proses itu juga
melibatkan nyaris semua elemen aktor, yang oleh Said diistilahkan sebagai para
orientalis. Para orientalis itu mencakup ilmuwan, penyair, novelis, filosof,
teretikus politik, ekonom, administratur pemerintahan, dan lain sebagainya. Tugas
para orientalis dalam kebudayaan Barat tersebut adalah menyusun teori-teori,
epik-epik, novel-novel, deskripsi-deskripsi sosial, dan perhitungan-perhitungan
politik yang cermat mengenai Timur, rakyatnya, adat kebiasaannya, pikirannya,
serta seribu satu hal lainnya, bahkan nasib yang mesti dan akan dihujahkan oleh
Barat bagi dirinya (Said, 1979:3). Tujuan dari konstruksi pengetahuan itu adalah
untuk semata-mata kepentingan proyek penjajahan atau kolonisasi.
Di tangan para orientalis inilah, Timur akhirnya telah menjadi sebentuk
panggung yang didirikan di hadapan Barat. Di sinilah repertoar budaya
dikukuhkan, imajinasi Barat (Eropa dan Amerika) dibangun. Konstruksi atau
bangunan itu terutama yang amat terkenal dengan serangkaian stereotip oposisi
binernya, yakni Barat adalah maju, pintar hebat, dan superior, sedangkan Timur
adalah sebaliknya: terbelakang, bodoh, inferior, dan bahkan menjijikkan (Muhidin
M. Dahlan, 2001:8). Dari sinilah akhirnya Said berkesimpulan, bahwa sebenarnya
161
yang dinamakan dengan ‘Timur’ bukanlah suatu kenyataan yang asli dan alami.
‘Timur’ tidak ada begitu saja, seperti halnya ‘Barat’. ‘Timur’ adalah diciptakan
atau tepatnya sengaja ‘ditimur’-kan oleh Barat (Said, 1979:6-7).
Demikian luar biasanya berwenangnya kedudukan orientalisme, sampai
Said berkesimpulan, bahwa tak seorang pun bisa yang menulis, berfikir mengenai,
atau bertindak terhadap dunia Timur, tanpa mempertimbangkan pembatasanpembatasan atas pikiran dan tindakan yang telah digariskan oleh orientalisme
(Said, 1979:4). Ujung dari semua risalah orientalisme itu adalah tak lebih sebagai
politik untuk menguasai Timur, baik terkait dengan alam, budaya, maupun
manusianya. Dengan mencangkok pemikiran dan perspektif Gramscian dan juga
Foucaultian, Said menyuarakan dengan keras, bagaimana jangkauan luar biasa
imperalisme Barat terhadap Timur, yang membentang sejak abad ke-16 sampai
awal abad ke-20, merupakan salah satu fakta yang paling menakjubkan dalam
sejarah politik dan peradaban dunia. Melalui penafsirannya yang brilian atas
karya-karya pengetahuan
kanonik
Barat,
Said
menunjukkan
bagaimana
kebudayaan Barat, akhirnya telah menjadi sebentuk situs hegemonik atas Timur,
yang ditegakkan tidak semata-mata dengan dominasi senjata melalui kekerasan,
melainkan juga melalui kebudayaan. Politik dan kebudayaan pada kasus
kolonialisme telah bekerjasama, secara sengaja atau pun tidak, melahirkan suatu
sistem dominasi yang melibatkan bukan hanya meriam dan serdadu, tetapi suatu
kedaulatan yang melampaui bentuk-bentuk, kiasan, dan imajinasi penguasa
(penjajah) dan yang dikuasai (dijajah). Hasilnya adalah suatu visi yang
162
menegaskan, bahwa Barat bukan hanya berhak, melainkan wajib untuk menguasai
Timur (Said, 1979:30-35).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa postkolonialisme merupakan
strategi teoretis dan kritis yang digunakan untuk meneliti kebudayaan dalam arti
yang luas—kesusastraan, politik, sejarah, seni dan lain sebagainya—dari bekas
koloni negara-negara Barat, yang didasarkan pada fakta historis kolonialisme dan
aneka dampak negatif yang ditimbulkannya—misalnya terkait dengan persoalan
eksploitasi, marginalisasi, rasialisasi, dan lain sebagainya—untuk kemudian dapat
dikembangkan serangkaian gagasan positif yang lebih memungkinkan terjadinya
dialektika kebudayaan antara Barat dan Timur, yang lebih berspiritkan keadilan.
3. Konsep tentang Budaya Lokal
Dalam perspektif arkeologi, khazanah tradisi dan budaya lokal
kerap diistilahkan sebagai local genius (Koentjaraningrat, dalam Ayatrohaedi,
1986:80). Menurut H.G. Quaritch Wales (dalam Poespowardojo, 1986:30) local
genius diberikan pengertian, “the sum of the cultural characteristic which the vast
majority of a people have in common as a result of their experience in early life”.
Pentingnya ciri-ciri khas yang ada dalam setiap budaya bangsa, atau yang biasa
disebut sebagai ‘pribumi’ itulah, yang oleh Wales diistilahkan ‘local genius’, yang
di dalamnya terkandung makna sebagai ‘basic personality of each culture’. Atau
dalam pemaknaannya Anderson (2006:6) disebut sebagai cultural artefacts of a
particular kind. Dengan demikian, local genius merupakan manifestasi dari
kepribadian masyarakat, yang tercermin dalam orientasi yang menunjukkan
pandangan hidup serta sistem nilainya, dalam persepsi untuk melihat dan
163
menanggapi dunia luarnya, dalam pola, gaya, serta sikap hidup yang ditunjukkan
dalam tingkah laku sehari-hari, yang mewarnai perikehidupannya.
E. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan model penelitain pengembangan (research
and development/R&D) yang diadaptasi dari modelnya Gall, Gall, dan Borg
(2003:570-573) dengan modifikasi. Penerapan model R&D-nya Gall, Gall, dan
Borg (2003) ini sifanya longitudinal, yakni selama tiga tahun. Adapun tahapan
yang dilakukan dalam operasionalisasi pendekatan R&D modelnya Gall, Gall, dan
Borg (2003) ini, setiap tahun atau tahap berbeda, sesuai dengan fokus dan tujuan
yang hendak dicapai. Perihal deskripsi yang lebih detail terkait dengan
operasionalisasi tahapan terutama pada tahun kedua dideskripsikan sebagai
berikut.
Tahun
kedua
merupakan
kegiatan
perancangan
(designing)
dan
pengembangan (development). Perancangan dan pengembangan erancangan
merupakan kegiatan mendesain produk model desain periklanan untuk media
massa cetak dengan konsep estetika baru sebagai counter hegemoni estetika
postkolonial. Pada tahap ini akan dilakukan perancangan terutama terkait dengan
dua hal mendasar, yakni perancangan terkait sisi bentuk (penanda) estetikanya,
dan dimensi makna (petanda) estetisnya. Perancangan pada sisi penandanya
mencakup unsur-unsur: ilustrasi, headline, subheadline (body copy), dan slogan.
Sedangkan perancangan terkait dengan petanda estetikanya, disandarkan pada
nilai-nilai budaya yang berkembang di salah satu etnis yang cukup berperan
164
penting dan strategis maknanya dalam konteks ke-Indonesia-an yakni budaya
Jawa. Secara spesifik, sejalan dengan temuan perihal lima pola hegemoni
postkolonial dalam representasi estetika iklan di media massa cetak Indonesia
kontemporer, sebagaimana yang telah disebutkan di atas (yakni terkait dengan
obsesi terhadap penggunaan bahasa Inggris, ketubuhan Barat, ketubuhan Indo,
dan ketubuhan kulit putih Barat, dan superlativisme) maka model desain baru
estetika iklan yang direncanakan di tahun kedua yang berbasis spirit budaya lokal
tersebut, substansinya adalah diganti dengan pengedepanan konsep terhadap nilainilai ketubuhan lokal diri serta penggunaan bahasa lokal/nasional, serta nilai-nilai
yang berkebalikan dengan superlativisme Barat, misalnya adalah kesederhanaan
dan kebersahajaan.
Jenis data pada penelitian tahun kedua ini, adalah berupa desain periklanan
untuk media massa cetak, yang bersumber dari hasil pengembangan yang telah
dilakukan, yang dibedakan menjadi dua kategori, yakni data berupa bentuk
(penanda)
estetikanya,
dan
data
berupa
makna
(petanda)
estetikanya.
Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa hasil data-data berupa model desain
estetika iklan baru hasil dari pengembangan ini, didasarkan pada data-data
persoalan estetika iklan hasil temuan penelitian yang telah didadaptkan pada tahap
pertama atau sebelumnya. Oleh karena itu, kompelsitas perihal data berupa desain
periklanan yang baru dibuat atau dikembangkan dalam tahapan ini, substansi
muatan yang hendak ditekankan adalah inovasi pada revitalisasi nilai-nilai budaya
lokal.
165
Sejalan dengan karakteristik jenis dan sumber data penelitian di tahun
kedua yang telah disebutkan di atas, maka teknik pengumpulan data penelitian
pada tahap ini terutama ditempuh melalui kegiatan focus group of discussion
(FGD). Kegiatan FGD yang melibatkan para pakar dan pemangku kepentingan
dalam dunia periklanan ini, disamping dilakukan dalam bentuk forum diskusi,
juga dilengkapi dengan instrumen angket, untuk kepentingan menjaring data
terkait dengan tanggapan terhadap hasil pengembangan model desain iklan
tersebut yang lebih detil dan operasional.
Validasi data penelitian ini dilakukan terutama dengan melibatkan expert
jugdment lintas bidang dan disiplin, yang mencakup ahli atau pakar dalam bidang:
desain komunikasi visual, postkolonial, komunikasi, dan periklanan, serta
melibatkan juga para pemangku kepentingan yang relevan, dengan tujuan agar
hasil pengembangan desain periklanan media massa cetak counter postkolonial ini
valid atau sahih. Secara teknis proses ini diselenggarakan dalam bentuk format
kegiatan FGD.
Teknik analisis data penelitian untuk tahun kedua ini, dengan
menggunakan analisis deskriptif kualitatif, terutama terkait uji validitas data hasil
penelitian, yang didapatkan dari para expert jugdment lintas bidang, dan juga
melalui forum kegiatan FGD.
Keseluruhan
proses
pelaksanaan
penelitian
yang
direncanakan
berlangsung selama tiga tahun ini dapat digambarkan dengan bagan alir sebagai
berikut.
166
PENGEMBANGAN
MODEL DESAIN
IKLAN
MEDIA MASSA CETAK
bentuk
(penanda) visual hegemoni
Barat dalam
iklan
BERBASIS BUDAYA LOKAL SEBAGAI COUNTER HEGEMONI
ESTETIKA POSTKOLONIAL
Tahun Pertama
Teori Postkolonial, Semiotik, Historis
 Identifikasi bentuk (penanda) visual hegemoni
postkolonial dalam iklan media massa cetak
kontemporer dan kuna.
 Mencakup aspek: ilustrasi, headline,
subheadline, signature line, dan slogan.
 Identifikasi makna (petanda) visual hegemoni
postkolonial dalam iklan media massa cetak
kontemporer dan kuna.
 Mencakup aspek petanda: denotatif,
konotatif, dan mitos.
Pola-pola Hegemoni Estetika Potkolonial dalam
Representasi Iklan di Media Massa Cetak Indonesia
Kontemporer
Tahun Kedua
Pengembangan Model Desain Iklan Media Massa Cetak
Berbasis Budaya Lokal dengan Estetika Counter Hegemoni
Postkolonial.
Berdasarkan lima kategori pola
hegemoni postkolonial hasil
temuan penelitian.
Model Desain Iklan
Media Massa Cetak
Berbasis Budaya Lokal
dengan Estetika Counter
Hegemoni Postkolonial.
Struktur elemen visul dasar iklan
(ilustrasi, headline, subheadline,
signature line, dan slogan.
 Domain Estetika Penandanya.
 Domain Estetika Petandanya.
Expert Judgment.
Validasi/Evaluasi
Uji Coba Lapangan Terbatas dan Luas.
Tahun Ketiga
Diversifikasi Model Desain Iklan Media Massa
Cetak Berbasis Budaya Lokal dengan Estetika
Counter Hegemoni Postkolonial.
Desiminasi Model Desain Iklan Media Massa
Cetak Berbasis Budaya Lokal dengan Estetika
Counter Hegemoni Postkolonial.
167
F. Jadwal Pelaksanaan
Jadwal pelaksanaan penelitian khusus tahun kedua ini dapat disampaikan
sebagaimana terlihat pada tabel berikut.
No.
Jenis dan Uraian Kegiatan
1
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
2
3
Bulan Ke
4
5
6
7
8
Koordinasi tim, penyusunan instrumen
penelitian .
Seminar proposal dan instrumen penelitian
di LPPM UNY dan revisi..
Penyusunan rancangan atau desain iklan.
Uji validitas, evaluasi, dan revisi.
Uji lapangan terbatas, evaluasi, dan revisi.
Uji lapangan luas, evaluasi, dan revisi.
Analisis data penelitian.
Penulisan laporan penelitian.
Penulisan artikel jurnal
Monitoring dan evaluasi dari Dikti.
Seminar laporan hasil penelitian di LPPM
UNY dan revisi.
Penyusunan proposal penelitian tahap III.
G. Anggaran Biaya Penelitian
Anggaran biaya penelitian tahun kedua ini dapat dilihat pada tabel
anggaran penelitian secara keseluruhan (tiga tahun) sebagai berikut.
No.
1.
2.
3.
4.
Jenis Pengeluaran
Gaji (upah) tim peneliti (30%).
Bahan habis pakai dan perangkat
penunjang (35%).
Perjalanan (20%).
Lain-lain (Pengolahan Data, Laporan,
Seminar, dan Publikasi
Jumlah
Jenis Anggaran yang Diusulkan
Tahun I
Tahun II
Tahun III
(Rp.)
(Rp.)
(Rp.)
30.000.000,30.000.000,- 30.000.000,35.000.000,20.000.000,15.000.000,-
100.000.000,-
35.000.000,20.000.000,15.000.000,-
35.000.000,20.000.000,15.000.000,-
100.000.000,- 100.000.000,-
Adapun rincian anggaran secara detil khususnya untuk pelaksanaan
penelitian khusus tahun kedua dapat dilihat pada sajian tabel berikut.
168
1. Upah/Gaji (30%)
No.
1.
2.
3.
4.
Komponen
Ketua Tim Pelaksana
Anggota Tim Pelaksana
Staf Administrasi
Teknisi
Satuan dan
Volume
1 Orang x 8 bulan
2 Orang x 8 bulan
1 Orang x 8 bulan
1 Orang x 8 bulan
Satuan Biaya
(Rp.)
1.250.000,1.000.000,250.000,250.000,-
Subjumlah
Jumlah (Rp.)
10.000.000,16.000.000,2.000.000,2.000.000,30.000.000,-
2. Bahan/Perangkat Penunjang (35%)
a. Bahan Habis Pakai
No.
Komponen
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
Kertas HVS 80 gr.
CD-RW blank.
Catridge hitam.
Catridge warna.
Isi tinta print hitam.
Isi tinta warna.
Isi tinta laser jet.
Kertas foto glossy 120 gr.
Kertas foto doff 120 gr.
Stapler nomor 10.
Stapler nomor 3.
Isi staples nomor 10.
Isi staples nomor 3.
Pervorator.
Dokumen keeper.
Box file.
Buku agenda kerja.
Alat tulis.
Stop map mika.
Satuan dan
Volume
5
5
5
5
5
5
5
2
rim
buah
buah
buah
pak
pak
pak
pak
Satuan
Biaya
(Rp.)
30.000,20.000,300.000,350.000,50.000,75.000,300.000,100.000,-
2
2
5
5
2
3
3
4
5
25
buah
buah
pak
pak
buah
buah
buah
buah
buah
buah
50.000,50.000,50.000,50.000,50.000,20.000,100.000,30.000,10.000,4000,-
Subjumlah
Jumlah (Rp.)
150.000,100.000,1.500.000,1.750.000,100.000,150.000,1.500.000,200.000,100.000,100.000,250.000,250.000,100.000,60.000,300.000,120.000,50.000,100.000,7.000.000,-
b. Perangkat Penunjang
No.
1.
Komponen
Sewa camera digital Nikon, untuk
pemotretan model iklan.
Satuan dan
Volume
2 set
4 bulan
Satuan
Biaya (Rp.)
250.000,-
Jumlah (Rp.)
1.000.000,-
169
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Sewa Handycam Sony untuk
dokumentasi pembuatan iklan dan uji
lapangan terbatas dan luas.
Sewa printer HP laserjet P1005.
Sewa laboratorium/ studio desain
komunikasi visual dan fotografi,
Jurusan Pendidikan Seni Rupa FBS
UNY, untuk pengolahan dan editing
gambar iklan yang dikembangkan.
Honorarium model iklan.
Honorarium ahli/pakar (expert
judgment) untuk validasi produk
pengembangan desain model iklan.
Biaya uji lapangan dalam skala
terbatas dan luas.
Biaya uji lapangan skala luas
Scan dan prin out gambar iklan.
2 set
4 bulan
500.000.,-
2.000.000,-
1 set
1 unit
5 bulan
2 bulan
200.000,2.000.000,-
1.000.000,4.000.000,-
5
3
orang
orang
1.500.000,200.0000,-
7.500.000,6.000.000,-
1
paket
300.0000,-
3.000.000,-
1
100
paket
lembar
3.000.000,5.000,-
3.000.000,500.000,-
Subjumlah
28.000.000,-
3. Perjalanan (20%)
No.
1.
2.
3
4.
5.
Satuan dan
Volume
Komponen
Transport lokal di Yogyakarta untuk
peneliti utama dan anggota peneliti.
Transport lokal di Yogyakarta untuk
teknisi dan tenaga administrasi
penelitian.
Transport untuk model iklan.
Transport untuk ahli/pakar (expert
judgment) untuk validasi produk
pengembangan desain model iklan.
Transport peserta FGD
Satuan
Biaya
(Rp.)
Jumlah (Rp.)
5 kali
200.000,-
3.000.000,-
2 orang 5 kali
10 orang 3 kali
100.000,300.000,-
1.000.000,9.000.000,-
3 orang 3 kali
20 orang 2 kali
300.000,100.000,-
3.000.000,4.000.000,-
3 orang
Subjumlah
20.000.000,-
4. Lain-lain (Pengolahan Data, Laporan, Seminar, dan Publikasi (15%)
No.
1.
2.
3.
Komponen
Pengolahan data penelitian.
Pembuatan lapran penelitian.
Seminar proposal dan instrumen
penelitian.
Seminar hasil penelitian.
Satuan dan
Volume
1
paket
1
paket
1
paket
1
paket
Satuan Biaya
(Rp.)
2.000.000,2.000.000,1.500.000,1.500.000,-
Jumlah (Rp.)
2.000.000,2.000.000,1.500.000,1.500.000,-
170
4.
5.
6.
Publikasi ilmiah di jurnal nasional
terakreditasi.
Partisipasi seminar nasional dan
kontribusi prosiding.
Pengeluaran lain-lain:
Foto copy.
Cetak foto 3R.
Penjilidan laporan.
Persiapan penelitian tahap III.
2
paket
1.000.000,-
2.000.000,-
2
paket
1.000.000,-
2.000.000,-
5000
100
10
2
lembar
lembar
eksemplar
orang
250,5.000,25.000,1.000.000,-
1.250.000,500.000,250.000,2.000.000,-
Sub Jumlah
15.000.000
Rekapitulasi Keseluruhan Pembiayaan Tahun II
1. Upah/Gaji (30%).
2. Bahan/Perangkat Penunjang (35%).
:
:
Rp.30.000.000,Rp.35.000.000,-
3. Perjalanan (20%).
:
Rp.20.000.000,-
4. Pengolahan Data, Laporan, Seminar, Publikasi, dan Lainlain (15%).
:
Jumlah
Rp.15.000.000,Rp.100.000.000,-
H. Dukungan pada Pelaksanaan Penelitian
Tidak ada dukungan dana lain dalam penelitian ini.
I. Sarana
1. Laboratorium
Laboratorium pendukung kegiatan ini dapat disebutkan dalam dua
kategori, yakni: 1) laboratorium di dalam kampus, yakni di Jurusan Pendidikan
Seni Rupa, Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta, yang dalam
hal ini akan menggunakan laboratorium desain komunikasi visual dan
laboratorium fotografi desain; dan 2) laboratorium yang di luar kampus, yang
171
dalam hal ini adalah lembaga mitra yang diajak kerjasama dalam pelaksanaan
kegiatan penelitian ini, yakni Biro Periklanan PT Petak Umpet Creative Network
yang ada di Yogyakarta. Dukungan kedua laboratorium tersebut, baik yang ada di
dalam kampus, maupun milik mitra penelitian ini situasi dan kondisinya berikut
semua hal yang menyangkut sumber daya yang mendukung kinerja laboratorium
tersebut dalam kondisi amat baik, sehingga diharapkan dapat mendukung
pelaksanaan penelitian ini secara optimal.
2. Peralatan Utama
Beberapa peralatan standar di kedua laboratorium, baik di dalam kampus
Jurusan Pendidikan Seni Rupa Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri
Yogyakarta, maupun milik lembaga mitra penelitian ini, dapat disebutkan sebagai
berikut: komputer dan laptop generasi termutakhir (pentium 4) standar, LCD,
scanner, camera foto dengan lensa optik berbagai jenis dan ukuran multifungsi,
handycam, meja gambar, studio kamar gelap untuk cuci cetak foto, berbagai
softwere komputer untuk kepentingan proses desaining dan editing gambar dua
dimensi, maupun proses pembuatan film.
3. Keterangan Tambahan
Tidak ada.
Download