1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mengkaji wacana iklan di media massa, tidak mesti berkonotasikan terkait dengan dimensi politik ekonomi khususnya manajemen pemasaran. Keberadaan iklan sebagaimana halnya tek-teks budaya lainnya yang ada di masyarakat, berpotensi didekati dari multidisiplin dan juga multiperspektif. Jika ditilik dari ranah disiplin Seni Rupa misalnya, iklan merupakan bagian dari karya seni terapan (applied art). Sebagai konsekuensi logis menjadi bagian dari karya seni terapan, representasi estetis yang ada di dalam karya seni iklan, karenanya sama sekali tidak diorientasikan sebagai ekspresi murni keindahan, melainkan difungsikan untuk ‘kepentingan yang lain’ di luar domain seni. Kepentingan itu yang utama adalah dalam rangka politik persuasif pemasaran. Dalam kaitan dengan hal inilah, dalam representasinya iklan kerap menggunakan pelbagai sistem tanda estetis apa pun, yang secara prinsip dapat berpotensi menjadi daya tarik yang besar terhadap produk baik barang maupun jasa yang ditawarkan. Yang menjadi persoalan kemudian adalah, bahwa di dalam penggunaan sistem tanda estetis dalam karya iklan yang ada di masyarakat itu, kerap mengeksploitasi penanda (bentuk) maupun petanda (makna) apa pun, yang baik disadari maupun tidak keberadaannya potensial menimbulkan dampak negatif, bahkan destruktif bagi masyarakat. Keberadaan iklan dengan demikian, sebagaimana halnya produk budaya lain pada umumnya seperti karya sastra, 2 filsafat, buku ajar, karya seni, dan lain sebagainya, merupakan sebuah entitas yang potensial menjadi situs hegemonik, yang secara laten dapat berperan sebagai tempat kontestasi atau pertarungan nilai-nilai atau ideologi yang kompleks (Raymond Williams, 1988:88-93). Kompleksitas nilai-nilai atau ideologi tersebut, tidak selamanya bermakna positif bahkan tak jarang yang negatif bahkan sangat mungkin amat destrukif bagi masyarakat. Sebagaimana difahami dalam optik pandang Gramscian (Richard Howson and Kylie Smith, 2008:1) dan juga Foucaultian misalnya (Foucault, 1980; 2002; 2007), bahwa pelbagai ekspresi representasi produk budaya sebagai situs hegemonik di masyarakat itu, termasuk yang menjadi fokus kajian ini adalah iklan, selain merupakan tempat refleksi cerminan pandangan dunia masyarakatnya, juga sekaligus dapat berperan sebaliknya yakni justru sebagai media untuk mengonstruksi kesadaran masyarakat itu sendiri. Pelbagai kompleksitas keseharian yang berkembang dan bahkan akhirnya diyakini secara ideologis di masyarakat modern dan postmodern misalnya terkait dengan gaya hidup, pilihan-pilihan moral, orientasi-orientasi terhadap nilai-nilai tertentu, banyak yang berhulu dari konstruksi representasi pelbagai situs hegemonik, misalnya melalui tayangan-tayangan iklan yang tampil secara massif dan eksplosif. Adapun faktor penyebab adanya kekuatan pelbagai situs budaya itu untuk mengonstruksi kesadaran masyarakat sebagaimana dimaksud, diskursifnya secara substantif lebih banyak disandarkan terkait perbincangan tentang teori termutakhir tentang eksistensi bahasa yang ternyata tak pernah dilepaskan dengan apa yang dinamakan dengan keberadaan ideologi di dalamnya (Stephens, 1992; Fairclough, 3 2003:2-3). Sebagaimana diketahui, dalam perspektif sosiologis, persoalan keberadaan sistem bahasa dalam kebudayaan manusia itu, pada sejarah awalnya memang cenderung lebih berfungsi untuk kepentingan alat komunikasi yang relatif natural, guna membangun pengertian sosial secara kolektif. Namun, perkembangan termutakhir menunjukkan bahwa betapa bahasa tidak lagi terbatas maknanya sebagai refleksi atau cermin atas realitas yang relatif natural, melainkan justru penggunaan bahasa kerap menampilkan sisi yang sebaliknya, yakni mempengaruhi atau mengonstruksi kesadaran masyarakat itu sendiri. Potensi daya atau kekuatan bahasa yang seperti ini, lebih dikarenakan di dalam setiap kehadiran atau representasi bahasa itu ternyata sebenarnya senantiasa tersembunyi apa yang dinamakan ideologi yang menyertainya. Hal tersebut kiranya sejalan dengan pandangan seorang eksistensialis Heidegger, yang pernah menegaskan bahwa betapa dalam bahasa itu sebenarnya selalu bersemayam apa yang diistilahkan sebagai ‘Sang Ada’ (dalam Wiryomartono, 2001:68). Karena itulah, tidak mengherankan manakala Habermas (dalam Yudi Latif dan Idi Subandy Ibrahim, 1996:16) juga pernah menyampikan bahwa, “Language is a medium of domination and power”. Berdasarkan kenyataan tersebut, maka dalam keyakinan Richard M. Weaver & Kenneth Burke, dalam buku Language as Symbolic Action (1966) (dalam Johannesen, 1996:4) disebutkan bahwa hingga tingkat tertentu, seluruh perkembangan penggunaan bahasa yang disengaja antarmanusia bersifat ‘seremonik’. Artinya, setiap penggunaan bahasa di masyarakat itu tidak ada yang sepenuhnya netral, melainkan senantiasa mengekspresikan pilihan, sikap, 4 kecenderungan, disposisi, dan evaluasi sang komunikator, dan dengan demikian menyalurkan persepsi pengirim pesan. Kita tidak mengucapkan kata-kata, demikian ujar Weaver, tanpa sekaligus memberi impuls pada orang lain untuk memandang dunia, atau sebagian kecil daripadanya, dengan cara kita. Dengan pemahaman yang hampir sama, David Berlo dalam The Process of Communication (1960), menyatakan pandangan bahwa ada alasan untuk mempercayai bahwa seluruh penggunaan bahasa memiliki dimensi persuasi, sehingga orang tidak bisa berkomunikasi tanpa sekaligus berupaya untuk membujuk, dalam satu atau lain cara (dalam Johannesen, 1996:4). Oleh karena itu, lewat pengalaman yang panjang dalam menjalankan analisis semiotiknya terhadap sistem tanda (bahasa), Roland Barthes sampai pada simpulan bahwa bahasa itu, terutama lagi dalam konteks budaya modern, kecenderungannya adalah ‘fasis’. Wacana yang dihasilkan kekuatan fasis bahasa inilah, yang oleh Barthes disebut sebagai ‘wacana kekuasaan’ (discourse of power) (Sunardi, 2002:238). Jika terminologi potensi hegemonik bahasa sebagaimana dimaksud dikontekstualisasikan dalam ranah bahasa periklanan, kiranya dapat disampaikan bahwa relevansi diskursifnya menjadi dengan segera dapat ditemukan. Iklan di era modern telah menjelma menjadi salah satu realitas kebudayaan yang amat dominan, membentuk sebuah suprastruktur kebudayaan yang luas, mempunyai pengaruh sangat besar yang berperan sebagai penentu kecenderungan, tren, serta mode berbudaya di masyarakat (Ewen, 2001:7-8). Dapat dikatakan bahwa pada era modern ini iklan bukan hanya sekedar sebagai alat atau media promosi produk barang maupun jasa semata, tetapi lebih dari itu, ia telah menjelma menjadi 5 sebentuk kategori dan kunci sosial utama yang memproduksi dan mereproduksi supremasi pelbagai ideologi komodifikasi di abad modern ini (Goldman, 1992:2). Di samping mempunyai makna yang positif bagi masyarakat, keberadaan iklan juga mempunyai dimensi ketaksaan lain yang cenderung negatif dan merugikan. Dimensi negatif sebagaimana dimaksud, yang amat menonjol di antaranya adalah persoalan penjungkirbalikan logika hukum produksi dan konsumsi dalam budaya industri di dalam masyarakat kapitalis mutakhir, di mana barang-barang tidak lagi diproduksi untuk memenuhi kebutuhan, melainkan justru kebutuhan yang sengaja diciptakan agar barang-barang hasil produk industri habis terjual di pasaran (Marcuse, 2000; Galbraith, 1998:124-125). Proses penjungkirbalikan ini, secara fundamental telah mengubah sifat dasar iklan sebagai alat komunikasi pemasaran, kemudian bergeser amat jauh ke fungsi konotasi yang sifatnya manipulatif (Phillips, 1997:2; Bertens, 2000:270274). Cara manipulasi ini dijalankan dengan modus apa yang diistilahkan dengan exchange-value (Dyer, 1982:116), yakni menukar makna nilai guna produk yang diiklankan menjadi nilai tanda yang merepresentasikan citra-citra sosial tertentu, misalnya terkait dengan gaya hidup dan kemewahan (Odih, 2007:5). Dalam konteks inilah, iklan telah melakukan apa yang dapat dikategorikan sebagai colonising of the real (McFall, 2004:9), yakni sebuah proses pengaburan atau bahkan penghilangan substansi naturalitas nilai guna atas komoditas yang ditawarkan. Proses manipulasi ini dalam praksisnya dijalankan oleh bahasa iklan dengan cara-cara yang halus dan tersembunyi, hingga masyarakat kerap tidak mengenali (Sutherland & Sylverter, 2008:6). 6 Berangkat dari kenyataan inilah, iklan kemudian menuai berbagai kritik tajam, yang di antara isu sentralnya adalah terkait dengan persoalan politik persuasif tipu dayanya yang manipulatif di masyarakat yang kerapkali teramat ideologis (Nicosia, 2009:244-245; Barnard, 2003:33). Crystal (1991:487) dan juga Cronin, 2005:37) misalnya, mengkritik iklan sebagai produk budaya modern yang paling kontroversial, jika dipandang dari perspektif moral, ideologi, dan estetikanya. Hal ini dengan amat segera dapat dikenali dari realitas representasinya yang dapat diilustrasikan sebagai mesin bertenaga raksasa yang kerap menyesatkan massa lewat berbagai bujukannya yang irasional, yang berujung pada terciptanya berbagai krisis nilai dan moral di masyarakat. Krisis itu secara menonjol di masyarakat ditandai dengan hilangnya budaya sense of purpose yang kemudian diganti dengan acquisitive ideology (Blikolong, 1983:3) yang amat eksploitatif dan banal, yang menjerumuskan masyarakat ke dalam kubangan konsumerisme, materialisme, dan hedonisme (McKendrick, Brewer & Plumb, 2003:19-20). Demikian juga halnya dengan Sosiolog Daniel Bell (1976:69) menamai iklan sebagai salah satu penemuan yang paling menakutkan di sepanjang sejarah peradaban kapitalisme Barat. Dampak yang ditimbulkan oleh iklan telah memicu tumbuhnya realitas budaya masyarakat modern, yang menurut Tester (2003:69) amat dihegemoni oleh sebentuk faham yang dapat diidentikan dengan totalitarianisme atau bahkan fasisme, yang indikasinya adalah lumpuhnya kesadaran masyarakat, yang terutama diakibatkan oleh kecenderungan sikap dan 7 perilakunya yang dipandu oleh akal budi instrumentalis (Horkheimer dan Adorno, 2002). Hal ini menegaskan kritik, betapa iklan telah mengkikis dan mengkolonisasi kesadaran sosial, hingga menegasikan banyak dimensi nilai-nilai yang telah ada, tumbuh, dan berkembang di masyarakat (Goldman, 1992:8). Dalam konteks inilah, keberadaan iklan telah banyak menggantikan peran pranata-pranata sosial klasik yang ada di masyarakat selama ini seperti agama, dalam memberi pengertian tentang nilai-nilai kebaikan dan kebahagiaan dalam hidup (Danesi, 2010:282). Iklan seolah menjadi situs sandaran baru bagi penghiburan, semangat, harapan, dan bahkan identitas diri. Iklan secara persuasif juga mendorong atau sebaliknya melarang orang untuk berbuat sesuatu. Singkatnya dalam kultur seperti ini, iklan benar-benar berperan menjadi semacam legislator cita rasa untuk menghalalkan atau sebaliknya mengharamkan sesuatu, fungsi yang semula diperankan oleh agama. Dalam kultur seperti ini, keberadaan iklan mirip seperti agama baru yang disebarluaskan secara massif melalui berbagai media massa serta dirayakan di berbagai pusat-pusat perbelanjaan, yang mengantarkan pada sebuah periode zaman yang dinamakan sebagai periode historis ledakan konsumsi massa (Chaney, 2006:43). Namun, melampaui semua kritik terhadap dampak negatif iklan tersebut, ada dampak negatif lain yang tak kalah mendasar, tetapi selama ini nyaris terlepas dari perhatian masyarakat, yakni dalam kaitannya dengan persoalan politik identitas kebudayaan dan nasionalisme sebuah bangsa. Hal ini jika dikaitkan dengan adanya kenyataan yang cenderung berkembang, terutama terkait dengan resentasi estetika iklan di media massa apa pun di Indonesia, yang kecenderungan 8 termutakhirnya semakin didominasi, dihegemoni, dan dikolonisasi secara banal dan radikal oleh pelbagai sistem tanda dengan cita rasa estetika yang serba Barat yang amat ideologis. Persoalan tersebut kiranya tidak terlampau sulit untuk diverifikas di lapangan, misalnya dalam bentuk dominasi akan keberadaan sosok Barat atau minimal Indo sebagai ilustrasi model dalam iklan. Kemudian yang lain lagi adalah, persoalan terobsesinya domain kulit tubuh ke-‘putih’-an (whiteness) yang ditawarkan oleh iklan, serta masih banyak pelbagai ikon sistem tanda lainnya. Fenomena tersebut jika ditilik jernih, sebenarnya bukan hanya mendera pada wacana estetika periklanan semata, melainkan juga menjadi persoalan yang nyaris sama, di hampir seluruh sistem dan pranata kebudayaan di Indonesia. Barat, dengan segala narasi besarnya, seolah telah menjadi sebentuk situs ‘kutukan’ obsesi histeria keterpesonaan (kegilaan) historis tersendiri, yang melampaui akan hasrat dan keinginan apa pun, dalam proses kinerja kulturasi di negeri ini, terutama di era modern dan postmodern ini. Jika ditilik secara jernih, fenomena tersebut sebenarnya adalah sebentuk realitas belenggu postkolonialisme yang diderita oleh bangsa ini di era postkolonial. Postkolonialisme yang secara terminologis adalah identik dengan sebentuk wacana neokolonialisme atau neoimperialisme ini, modusnya tidak dilakukan dengan cara kekerasan fisik (coersive), melainkan dengan persuasif (O’Shaughnessy & O’Shaughnessy, 2004:1) atau dalam perspektif Gramscian dikenal dengan istilah hegemonik (Howson & Smith, 2008:14). Fakta ini seolah juga menegaskan bahwa bangsa Indonesia ini sebenarnya baru sebatas merdeka merdeka secara de yure, dan belum merdeka secara de facto. Lanskap fenomena 9 tersebut tentunya merupakan realitas kultural yang amat memperihatinkan, karena tanpa disadari dapat berpotensi amat destruktif bagi pembangunan salah satu pilar vital karakter, kepribadian, dan politik identitas, serta harkat dan martabat budaya bangsa Indonesia. Dalam konteks pemahaman keberadaan estetika periklanan sebagai bagian dari estitas pertarungan kompleksitas ideologis dan khususnya lagi ideologi postkolonial inilah, penelitian ini mencoba mengkaji perihal bentuk-bentuk atau pola-pola hegemoni postkolonial di Indonesia yang salah satu refleksi kecilnya terepresentasi melalui estetika iklan yang ada. Oleh karena itu penelitian ini dihajatkan dan didedikasikan untuk mendapatkan data temuan yang komprehensif tentang hegemoni postkolonial dalam representasi periklanan di media massa cetak Indonesia. Berdasarkan data temuan penelitian tersebut, penelitian ini kemudian berupaya mencoba mengembangkan formula alternatif pencerahannya di masa mendatang, terutama dengan cara mengembangkan gagasan tentang estetika periklanan yang lebih disandarkan pada basis muatan pelbagai khazanah karakter budaya lokal ke-Indonesia-an. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang permasalahan seperti telah dideskripsikan di atas, maka rumusan permasalahan pokok penelitian ini adalah seperti apa pola atau bentuk hegemoni postkolonial dalam representasi estetika iklan di media massa cetak Indonesia kontemporer? 10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Dalam sajian tentang kajian pustaka yang terdapat dalam Bab II ini, disajikan tiga konsep teoretis yang terkait dengan penelitian ini, yakni pertama, estetika iklan, postkolonial, dan budaya lokal. Sajian selengkapnya perihal kajian pustka tersebut, adalah sebagai berikut. A. Iklan sebagai Karya Seni Tarapan dan Implikasi Estetikanya Mengkaji fenomena iklan sebenarnya merupakan salah satu kajian penting atas keberadaan sistem ‘representasi’ simbolik bahasa, baik yang sifatnya verbal maupun piktorial dalam kebudayaan. Pesan itu difungsikan sebagai politik persuasif dalam kaitannya dengan sistem ekonomi pemasaran. Sementara itu istilah ‘representasi’ memang merupakan salah satu terma penting dan sekaligus khas dalam kajian cultural studies, karena pembahasannya tidak terbatas sematamata didedahkan pada pola struktural yang ada dalam teks atau bahasa, tetapi lebih dari itu adalah pada pelbagai persoalan wacana ideologis yang melingkupinya. Dengan mengkaji ‘representasi’ bahasa diharapkan akan dapat dibongkar bagaimana beroperasinya ideologi yang ada di dalamnya (Hall, 2007: 15-19). Representasi tidak sekedar kehadiran sesuatu dalam medium tertentu, melainkan merupakan sebuah ‘kehadiran makna’ melalui bahasa dalam berbagai macam bentuknya. Dalam representasi itu terdapat dua sistem yang saling berhubungan satu sama lain, yakni representasi mental dan bahasa. Pertama, representasi mental pada dasarnya merupakan serangkaian konsep yang ada 11 dalam benak, di mana makna bergantung sepenuhnya pada sistem konsep dan citra yang dibentuk dalam pikiran kita, yang mana bisa menggantikan atau merepresentasikan jagad, sehingga memungkinkan kita merujuk pada segala hal yang ada, baik di dalam dan di luar kepala kita (Hall, 2007:17). Representasi mental inilah yang kemudian menjadi peta konseptual yang menyebar secara kultural, sehingga bisa digunakan medium berkomunikasi. Sementara itu kedua, representasi bahasa merupakan sistem representasi yang melibatkan keseluruhan proses konstruksi makna, di mana dengannya orang bisa mengorelasikan konsep dan ide dengan kata-kata tulis, suara-suara, atau citra visual tertentu (Hall, 2007:18). Tanda-tanda itulah yang kemudian diorganisir ke dalam bahasa, dan hanya eksistensi bahasa umumlah yang memungkinkan terjadinya pertukaran konsep dan pemikiran antarorang dalam satu masayarakat. Hubungan di antara kedua sistem representasi itulah, yang pada akhirnya memungkinkan terjadinya praktik representasi yang menjadi inti proses makna dalam setiap kebudayaan. Oleh karena itu, dalam kebudayaan itu yang dinamakan makna tidak hanya berhenti pada pemahaman bersama (common sense), tetapi lebih dari itu terdapat kepentingan-kepentingan yang bermain di dalamnya, yang direpresentasikan melalui sistem bahasa. Ketika makna sudah dilekatkan ke dalam rangkaian tanda dalam praktik penandaan (representasi) maka di situ sudah berlangsung politik representasi, di mana kekuatan-kekuatan dari kelas ideologis dalam masyarakat memasukkan makna dan kepentingannya. Sebagaimana dijelaskan oleh Hall (1997:18) representasi melibatkan proses aktif dari pembuat yang tidak sekedar merefleksikan realitas, tetapi memproduksi realitas yang sudah dihuni oleh 12 kepentingan-kepentingan dari kelas kuasa. Dengan demikian, sistem representasi merupakan praktik ideologi yang menemukan aksentuasinya, melalui tanda-tanda yang tersebar dan dipahami oleh masyarakat tertentu. Dengan pemahaman di atas, iklan dalam konteks kajian ini, adalah juga merupakan rangkaian representasi tanda dalam masyarakat, yang dalam istilahnya Hodge & Kress (1988) disebut ‘kompleks ideologis’ atau dalam istilahnya Gramsci disebut common sense. Kompleks ideologis dimaksud, terepresentasi dalam berbagai wujud. Dalam konteks iklan di media massa cetak misalnya, wujudnya berupa narasi visual, baik yang sifatnya verbal dan piktorial. Kompleks ideologis yang terdapat dalam representasi iklan tersebut, kecenderungannya tampak semakin kuat di zaman modern ini, yang sejalan dengan fenomena perkembangan makna bahasa itu sendiri dalam kebudayaan. Dalam perspektif sosiologis, persoalan keberadaan sistem bahasa dalam kebudayaan manusia itu, pada awalnya cenderung lebih berfungsi untuk kepentingan alat komunikasi secara natural, guna membangun pengertian sosial secara kolektif, sebagai konsekuensi adanya komitmen hidup bersama dalam sebuah kelompok komunitas tertentu. Dalam konteks ini, keberadaan bahasa lebih dekat dengan makna sebagai cultural text, yang dapat memberikan gambaran pencandraan perihal kontekstual warna sebuah realitas sosial budaya masyarakat pendukungnya. Namun, dalam perkembangannya kemudian teori terbaru mengenai bahasa menunjukkan kecenderungan gejala yang lain. Bahasa tidak lagi terbatas maknanya sebagai refleksi atas realitas sosial semata, melainkan sebaliknya, yakni memiliki kemampuan (power) untuk membentuk atau 13 mengonstruksi realitas sosial itu sendiri. Dalam pemaknaan yang terakhir ini, keberadaan representasi bahasa tertentu sangat berpengaruh pada persepsi dan cara pandang masyarakat terhadap suatu hal. Dengan demikian, fenomena bahasa memiliki hubungan dua arah dengan realitas sosial. Di satu pihak, bahasa dapat menjadi cermin bagi keadaan di sekelilingnya, namun di lain pihak bahasa juga dapat mempengaruhi bahkan membentuk atau mengkonstruksi realitas sosial atau masyarakat itu sendiri. Kemampuan bahasa untuk membentuk realitas sosial itu, lebih disebabkan di dalamnya senantiasa terdapat ideologi yang menyertainya (Fairclough, 2003:2-3). Demikian juga halnya dengan perkembangan fenomena periklanan modern atau postmodern kekinian. Sebagai sistem bahasa, iklan di zaman modern ini cenderung tidak lagi berfungsi untuk menyampaikan pesan atas naturalitas nilai guna (use value) produk yang ditawarkan, melainkan telah menjadi sebentuk sarana untuk menanamkan ideologi konsumerisme kapitalistik. Dalam hal ini, substansi naturalitas nilai guna dari suatu produk yang ditawarkan hilang tereduksi oleh konstruksi citra nilai-nilai ideologis tertentu yang menyelimuti. Proses produksi citra nilai-nilai ini menurut Mike Featherstone (1991:171) akhirnya mengubah barang-barang menjadi janji-janji simbolik, misalnya terkait dengan kemewahan, kenyamanan, serta aneka gaya hidup lainnya, yang kecenderungannya berdekatan dengan wilayah materialisme dan hedonisme. Penggunaan pelbagi citra nilai yang kerap ideologis dalam iklan modern tersebut, telah menciptakan pergeseran yang amat jauh tentang makna representasi bahasa dalam iklan dari yang awalnya bersifat utilitarian, ke ekspresi gaya hidup, self 14 esteem, bahkan nilai-nilai sosial yang sifatnya cenderung palsu. Dalam konteks inilah, terjadi penjungkirbalikan logika produksi-konsumsi, karena pelbagai komoditas tidak lagi diproduksi untuk memenuhi kebutuhan, melainkan justru sebaliknya kebutuhan yang memang sengaja diciptakan (Marcuse, 2000). Proses penjungkirbalikan ini, secara fundamental telah mengubah sifat dasar iklan sebagai alat komunikasi pemasaran, kemudian bergeser amat jauh ke fungsi konotasi-manipulatif. Cara manipulasi ini dijalankan dengan modus exchange-value (Dyer, 1982:116), yakni menukar makna nilai guna produk, menjadi nilai citra sosial tertentu. Dalam konteks inilah, iklan telah memerankan apa yang dapat dikategorikan sebagai colonising of the real (McFall, 2004:9). Iklan yang secara historis sudah dikenal sejaka zaman Yunani dan Romawi Kuna (Tungate, 2007:10), mempunyai beberapa padanan bahasa asing, yakni: i’lan (Bahasa Arab), advertere (Bahasa Latin), advertentie (Bahasa Belanda), advertising (Bahasa Inggris), dan reclamare (Bahasa Prancis), yang maknanya meneriakkan sesuatu secara berulang-ulang (Kasali, 1993:111). Dalam pengertian yang lebih luas, iklan berarti berita pesanan yang dimuat di media massa, untuk mendorong dan membujuk khalayak ramai pada barang atau jasa yang ditawarkan (Bovee & Arens, 1986:5) Dalam representasinya di media massa, iklan diwujudkan dalam bentuk sistem tanda, baik yang sifatnya visual, audio, maupun kombinasi antara audiovisual, tergantung jenis media yang digunakan. Sistem tanda tersebut difungsikan sebagai simbol, yang digunakan untuk mewakili atau memberi identitas atas 15 sesuatu benda atau objek yang lain (Ross & van den Haag, 1962:211). Adapun fungsi simbol dalam periklanan, digunakan sebagai alat untuk menginformasikan pesan atas produk, baik barang atau pun jasa kepada masyarakat. Dalam perspektif semiotis-estetis, baik iklan untuk kategori media massa cetak maupun elektronik, secara substansial konstruksi representasinya terkait dengan dua ranah, yakni penanda (signifier) dan petanda (signified) yang terdapat di dalamnya. Yang disebut bentuk adalah wujud fisik lahiriah (waarneembare gestalte) yang secara langsung mengungkap atau mengobjektivasi pengalaman batiniah, sedangkan yang disebut isi adalah pranata makna dari berbagai gambaran perasaan (voorstelingen) yang digerakkan lewat wujud lahiriah tersebut (Feldman, 1967:61). Jika iklan yang dimaksud menggunakan media massa elektronik, maka bentuk atau wujud lahiriahnya dapat berupa audio atau penggabungan antara audio-visual, sedangkan aspek fisik dalam iklan di media massa cetak, wujudnya berupa penggabungan seperangkat elemen material visual seni rupa, yang terdiri atas: garis, bidang, bentuk, warna, dan ruang. Semua komponen tersebut dikomposisi secara estetis dengan menggunakan seperangkat prinsip seni, yakni kesatuan, variasi, ritme atau irama, keseimbangan, harmoni, proporsi, kontras, dan pusat perhatian (Harris, 2006:13-15). Adapun kesatuan komposisi estetis penanda dan petanda dalam iklan itu, strukturnya terdiri atas pelbagai unsur, yakni: ilustrasi, head line, subheadline (body copy), dan slogan (Vestergaard & Schroder, 1985:49-50). Ilustrasi adalah gambar atau objek tertentu, yang dibuat untuk memperjelas audiens terhadap wacana tertentu. Sementara itu, subheadline merupakan penjelasan suatu pesan 16 yang lebih lengkap tentang apa yang diinformasikan dalam iklan. Sementara itu slogan adalah serangkaian kata-kata atau ungkapan pendek, yang biasanya mengetengahkan keunggulan produk barang atau jasa yang sedang ditawarkan. Sebagai bagian dari seni rupa, iklan termasuk dalam lingkup ‘seni terapan’ (applied arts), yakni sebuah kategori seni yang ekspresi estetikanya dikategorikan ke dalam genre ‘seni dalam rangka’ (Soedarsono, 1998:223-233). Maknanya adalah, penciptaan seni yang kesadaran utamanya pertama-tama dan yang utama tidak diperuntukkan bagi kepentingan pemenuhan dimensi estetis, melainkan lebih diperuntukkan bagi kepentingan lain di luar seni itu sendiri (Adorno, 2004:284). Dalam konteks karya seni iklan, sebagaimana telah disebutkan di atas, kesadaran estetisnya bukan murni sebagai ekspresi keindahan, melainkan lebih bertendensikan sebagai instrumentasi komunikasi persuasif terutama terkait politik ekonomi pemasaran. Dalam kaitan dengan konsep inilah, yang namanya kaidah estetisasi dalam iklan berbaur dengan kaidah komunikasi persuasif (Goddard, 2001:2-3). Implikasinya adalah domain estetika yang melekat dalam iklan lebih mempertimbangkan dimensi fungsionalnya untuk kepentingan komunikasi persuasif penjualan. Dalam kaitan dengan konsep inilah, yang namanya kaidah estetisasi dalam karya iklan berbaur dengan kaidah komunikasi persuasif. Untuk memenuhi tuntutan itu, makanya iklan mestinya mempertimbangkan berbagai faktor yang terkait dengan konteks kultural sosial masyarakatnya, tempat di mana iklan tersebut disajikan, agar pesan yang disampaikan menjadi efektif dan efisien (Goddard, 2001:2-3). 17 B. Tinjauan tentang Teori Postkolonial Gagasan tentang postkolonial sebagai sebuah teori, jika ditilik dari domain kesejarahannya berasal dari Barat. kehadiran teori postkolonial di Barat terutama ditandai dengan terbitnya buku Orientalism pada tahun 1979 oleh Edward W. Said, yang kemudian disusul dengan sejumlah buku lainnya, baik yang juga ditulis oleh Said, maupun oleh penulis lainnya, yang substansinya mempersoalkan tentang konstruksi ketidakadilan dialektika antara kebudayaan Barat dan Timur yang selama ini ada. Buku-buku penyokong utama teori postkolonial yang ditulis Said misalnya: Covering Islam: How the Media and the Experts Determine How We See that Rest the World (1981) yang diterbitkan di New York oleh Pantheon Books; dan Culture and Imperialism (1994), yang juga diterbitkan di New York, oleh Vintage Books. Sementara itu, buku lain tentang postkolonial yang ditulis pihak lain yang penting dan akhirnya menjadi banyak sandaran rujukan, di antaranya adalah: The Empire Writes Back (1989), suntingan Bill Ashcroft, Gareth Griffiths, dan Helen Tiffin, yang diterbitkan di London oleh Routledge. Demikian juga buku karya Homi K. Bhabha, yang berjudul The Location of Culture (1994), yang terbit di London and New York, oleh penerbit Routledge. Karya lain yang cukup monumental dalam kaitannya dengan teori postkolonial adalah tulisan-tulisan Gayatri Chakravorty Spivak, misalnya Can the Subaltern Speak? (1988) serta A Critique of Postcolonial Reason: Toward A History of the Vanishing Present (1999). Di awal kehadirannya itu, teori postkolonial terutama lebih banyak terkait dengan bidang kajian sastra dan juga filsafat, yang substansinya mengkaji 18 hegemoni Barat atas Timur, yang terefleksi dalam karya-karya tersebut. Namun dalam perkembangan kemudian, postkolonial menjadi teori yang mencakup lintas bidang dan disiplin sosial budaya atau humaniora yang luas. Sebagai sebuah teori sosial, postkolonial dapat dikatakan di samping keberadaanya ‘relatif baru’, juga merupakan terminologi yang relatif sulit untuk dikerangkai dalam definisi yang ketat, sehingga keberadaannya bukan sebuah konsep yang tunggal dan statis (Gading Sianipar, 2004:7; Manneke Budiman, 2006:xi). Potensi multitafsir yang amat terbuka tersebut, bahkan dimulai dari pemaknaan postkolonial itu sendiri di tingkat etimologis. Istilah postkolonial berasal dari bahasa Inggris, yakni: post, yang berarti after or later than (sesudah) dan colonial yang artinya relating to a colony or colonialism (Cambridge Advanced Learner’s Dictionary, 2003). Pemakmaan tekstual etimologis tersebut jelas mengundang tafsir yang amat luas. Meskipun terminologi ‘postkolonial’ sebagaimana makna etimologisnya tersebut mencakup makna penjajahan dalam arti yang sangat luas dan bisa terjadi di mana saja, namun dalam konteks ini, makna penjajahan sebagaimana dimaksud lebih dispesifikkan pada penjajahan yang dilakukan oleh bangsa-bangsa Barat terhadap bangsa-bangsa Timur, sebagaimana tipikalnya pemaknaan ‘postkolonial’ yang berkembang atau dipakai dalam studi ilmu-ilmu sosial dan budaya. Kemudian yang juga perlu disampaikan bahwa kata post dalam istilah postcolonial ini, kiranya relatif kurang memadai maknanya, jika semata-mata disandarkan pemaknaannya dalam kaitannya dengan terminologi tentang waktu, yakni ‘sesudah’ kolonialisme dalam yang sempit. Sebaiknya, kata post itu 19 diartikan sebagai ‘melampaui’. Implikasinya adalah makna kolonialisme dalam teori postkolonialisme itu melampaui dari pemahaman terminologi kolonialisme klasik, yakni bisa berupa permasalahan apa pun yang masih terkait, meskipun tampak seperti terpisah dari kolonialisme. Berangkat dari pemahaman ini, konteks postkolonialisme juga mencakup berbagai persoalan, misalnya kasus globalisasi, yang juga kerap menghadirkan makna sebagai sebentuk neokolonialisme atau neoimperialisme Barat atas Timur. Demikian juga halnya dengan persoalan lain, seperti Amerikanisasi misalnya, termasuk dalam cakupan diskursus postkolonialisme, meskipun Amerika Serikat—sebagai imperialis kesiangan—tidak termasuk dalam daftar deretan sebagai negara imperialis atau kolonial Barat yang klasik, sebagaimana negara-negara imperialis dari Eropa, seperti Belanda, Prancis, Portugis, atau Spanyol misalnya, yang menjajah Timur lebih awal, kira-kira semenjak abad ke-16. Paralel dengan pemaknaan tersebut, ada satu rumusan yang dikemukakan oleh Mangunwijaya (dalam Tony Day dan Keith Foulcher (2006:5) yakni bahwa istilah post itu sama dengan postgraduate, yang maknanya adalah ‘kolonialisme yang lebih lengkap, lebih multidimensional, lebih tuntas kekolonialismeannya’. Salah satu substansi teori postkolonial yang dapat dikedepankan sebagaimana disampaikan Said (1979:1-3) adalah bahwa teori ini lebih terkait dengan gugatan terhadap orientalisme Barat yang selama ini memiliki imperium otoritas untuk menampilkan, memberi identitas, menaklukkan, menjajah, dan bahkan menindas Timur. Menurut Said, secara semena-mena, Timur sudah sejak sangat lama—paling tidak sejak abad ke-16—telah menjadi objek mode of 20 discourse Barat secara negatif, melalui semua sistem pranata kebudayaan yang dimilikinya, baik secara politis, sosiologis, ekonomi, militer, ideologis, saintifik, bahkan imajinatif (Said, 1979:2). Konstruksi dan berikut proses itu juga melibatkan nyaris semua elemen aktor, yang oleh Said diistilahkan sebagai para orientalis. Para orientalis itu mencakup ilmuwan, penyair, novelis, filosof, teretikus politik, ekonom, administratur pemerintahan, dan lain sebagainya. Tugas para orientalis dalam kebudayaan Barat tersebut adalah menyusun teori-teori, epik-epik, novel-novel, deskripsi-deskripsi sosial, dan perhitungan-perhitungan politik yang cermat mengenai Timur, rakyatnya, adat kebiasaannya, pikirannya, serta seribu satu hal lainnya, bahkan nasib yang mesti dan akan dihujahkan oleh Barat bagi dirinya (Said, 1979:3). Tujuan dari konstruksi pengetahuan itu adalah untuk semata-mata kepentingan proyek penjajahan atau kolonisasi. Di tangan para orientalis inilah, Timur akhirnya telah menjadi sebentuk panggung yang didirikan di hadapan Barat. Di sinilah repertoar budaya dikukuhkan, imajinasi Barat (Eropa dan Amerika) dibangun. Konstruksi atau bangunan itu terutama yang amat terkenal dengan serangkaian stereotip oposisi binernya, yakni Barat adalah maju, pintar hebat, dan superior, sedangkan Timur adalah sebaliknya: terbelakang, bodoh, inferior, dan bahkan menjijikkan (Muhidin M. Dahlan, 2001:8). Dari sinilah akhirnya Said berkesimpulan, bahwa sebenarnya yang dinamakan dengan ‘Timur’ bukanlah suatu kenyataan yang asli dan alami. ‘Timur’ tidak ada begitu saja, seperti halnya ‘Barat’. ‘Timur’ adalah diciptakan atau tepatnya sengaja ‘ditimur’-kan oleh Barat (Said, 1979:6-7). 21 Demikian luar biasanya berwenangnya kedudukan orientalisme, sampai Said berkesimpulan, bahwa tak seorang pun bisa yang menulis, berfikir mengenai, atau bertindak terhadap dunia Timur, tanpa mempertimbangkan pembatasanpembatasan atas pikiran dan tindakan yang telah digariskan oleh orientalisme (Said, 1979:4). Ujung dari semua risalah orientalisme itu adalah tak lebih sebagai politik untuk menguasai Timur, baik terkait dengan alam, budaya, maupun manusianya. Dengan mencangkok pemikiran dan perspektif Gramscian dan juga Foucaultian, Said menyuarakan dengan keras, bagaimana jangkauan luar biasa imperalisme Barat terhadap Timur, yang membentang sejak abad ke-16 sampai awal abad ke-20, merupakan salah satu fakta yang paling menakjubkan dalam sejarah politik dan peradaban dunia. Melalui penafsirannya yang brilian atas karya-karya pengetahuan kanonik Barat, Said menunjukkan bagaimana kebudayaan Barat, akhirnya telah menjadi sebentuk situs hegemonik atas Timur, yang ditegakkan tidak semata-mata dengan dominasi senjata melalui kekerasan, melainkan juga melalui kebudayaan. Politik dan kebudayaan pada kasus kolonialisme telah bekerjasama, secara sengaja atau pun tidak, melahirkan suatu sistem dominasi yang melibatkan bukan hanya meriam dan serdadu, tetapi suatu kedaulatan yang melampaui bentuk-bentuk, kiasan, dan imajinasi penguasa (penjajah) dan yang dikuasai (dijajah). Hasilnya adalah suatu visi yang menegaskan, bahwa Barat bukan hanya berhak, melainkan wajib untuk menguasai Timur (Said, 1979:30-35). Oleh karena itulah, dalam kaitan ini, Smith menegaskan betapa pentingnya bangsa di negara-negara Timur, yang terutama berada di kawasan belahan bumi 22 selatan, memahami, dan menyamakan bahasa dalam membicarakan sejarah, sosiologi, psikologi, dan politik imperialisme serta kolonialisme, yang ternyata sebagai sebuah kisah epik tentang penghancuran besar-besaran, perjuangan penuh derita, dan upaya survival tanpa ujung, dan karenanya perlu digugat dan diperjuangkan (Linda Tuhiwai Smith, 2006:2). Teori postkolonialisme dengan demikian, substansinya adalah perjuangan resistensi, penggugatan, atau penolakan terhadap penindasan (Melani Budianta, 2008:19). Namun yang perlu mendapatkan klarifikasi dan penegasan secara jernih adalah, bahwa teori postkolonial yang terasa keras ini, sekali-kali tidak pernah bertendensikan hajat sebagai sebentuk teori yang tujuannya adalah penggagasan anti Barat. Postkolonilasme lebih sebagai sebuah paradigma kritis, terhadap sebentuk dominasi dan kemapanan kebudayaan yang secara nyata selama ini amat dihegemoni oleh framework dan worldview orientalis Barat. Teori postkolonial dengan demikian, lebih terkait dengan harapan akan kemungkinan merangsang jenis ‘perlakuan baru’ (yang lebih positif dan adil) terhadap Timur, atau kalau bisa menghapus sama sekali stereotip dikotomi antara ‘Timur’ dan ‘Barat’ yang pernah dikonstruksi semena-mena oleh para orientalis Barat (Said, 1979:36). Postkolonialisme yang menggugat orientalisme Barat, sama sekali tidak berkepentingan untuk membalik konstruksi orientalisme manjadi misalnya ‘oksidentalisme’ oleh Timur. “Jawaban orientalisme bukanlah oksidentalisme”, demikian sebagaimana ditegaskan oleh Said (1979:424), dalam bagian akhir kalimat sebagai panutup buku Orientalism-nya itu. 23 Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa postkolonialisme merupakan strategi teoretis dan kritis yang digunakan untuk meneliti kebudayaan dalam arti yang luas—kesusastraan, politik, sejarah, seni dan lain sebagainya—dari bekas koloni negara-negara Barat, yang didasarkan pada fakta historis kolonialisme dan aneka dampak negatif yang ditimbulkannya—misalnya terkait dengan persoalan eksploitasi, marginalisasi, rasialisasi, dan lain sebagainya—untuk kemudian dapat dikembangkan serangkaian gagasan positif yang lebih memungkinkan terjadinya dialektika kebudayaan antara Barat dan Timur, yang lebih berspiritkan keadilan. Sebagaimana keniscayaan klasiknya tentang keberadaan akan sebuah teori, yang senantiasa memiliki dimensi kelemahan, demikian halnya teori postkolonial yang digagas oleh Said tersebut. Paling tidak terdapat dua hal yang mendasar, yakni pertama, karena terlalu memusatkan perhatian pada persoalan pengaruh orientalisme itu, Said tampak mengabaikan kemungkinan adanya potensi aktif dan kreatif yang berbasiskan lokalitas bangsa-bangsa Timur, yang dapat difungsikan sebagai modal yang strategis bagi perjuangan dan politik resistensi terhadap penjajahan model baru melalui sistem pengetahuan di atas (Faruk, 2007:5-6). Kedua, pendekatan politik resistensi yang cenderung radikal dari Said itu, kalau tidak dicermati secara jernih dan hati-hati, bisa mengarah pada jebakan fundamentalisme atau ‘solipsisme’ budaya, yang berdampak saling menutup diri terhadap kemungkinan dialog antarkebudayaan (Haryanto Cahyadi, 2004:57). Untuk itu teori postkolonial Said dalam konteks penelitian ini, diperkaya dengan dua teori postkolonial yang dikembangkan oleh pemikir terkemuka penerusnya, yakni Homi K. Bhabha dan Gayatry Chakravorty Spivak. Pertama, 24 gagasan Bhabha, terutama lewat buku The Location of Culture (1994) dan juga lewat tulisannya Cultural Diversity and Culrtural Differences (2006) menawarkan alternatif perspektif berupa teori liminalitas, yang diistilahkan dengan the third space (ruang ketiga) atau the in-between (ruang antara), sebagai modus ideal terkait dengan wacana dialektika antarbudaya yang saling berbeda. Dengan teori ini, Bhabha bermaksud menengahi pertentangan yang dianggapnya kurang tepat dari para teoretikus postkolonial yang pernah digagas oleh Said, terutama tentang konsep oposisi biner-kulturalnya yang terlalu disederhanakan sebagai ‘penjajah’ (Barat) dan ‘terjajah’ (Timur). Bhabha kemudian mengajukan pemahaman kemungkinan menghadirkan model liminalitas yang diistilahkan ‘ruang ketiga’ (the third space) atau ‘ruang antara’ (the inbetween) yakni suatu ruang yang tidak memisahkan, tetapi sebaliknya menjembatani hubungan timbal balik (reciprocal) antarkebudayaan yang mungkin dapat diupayakan. Dengan hadirnya kesadaran ‘ruang ketiga’ ini, diharapkan serangkaian proses perjumpaan antarbudaya yang tak terhindarkan, sebagai konsekuensi dari perkembangan wajah dunia modern yang bercirikan keterhubungan berskala global (global interconnectedness), dapat dikerangkai dalam format dan perspektif dialektitis yang lebih positif dan berkeadilan (Homi K. Bhabha, 2006:155-157). Dalam ruang ini proses gerak dan pertukaran antara status budaya yang berbeda-beda dapat terus diupayakan, sehingga pencarian serta identifikasi identitas itu terus mengalir, berada dalam formasi proses keterlibatan, kontestasi, dan penyesuaian. Kodrat identitas kultural itu bukanlah sebuah cap yang kekal 25 dan kaku, melainkan sesuatu yang amat cair, dan karenanya amat potensial berubah, terutama seiring perjalanan waktu. Karenanya, dalam Ruang Ketiga itu pula, berbagai pengalaman intersubjektif dan kolektif kebangsaan, kepentingan komunitas, serta nilai-nilai budaya bisa dirundingkan. Pandangan tentang oposisi biner ‘penjajah’ dan ‘terjajah’, tidak lagi sebagai yang terpisah satu dengan yang lain dan masing-masing berdiri sendiri, melainkan menyatu dalam lintasan format tegur-sapa, yang pada saatnya akan menghasilkan pengakuan timbal balik akan perbedaan budaya. Dalam perspektif ‘ruang ketiga’ ini, Bhabha mencoba memperkaya teori postkolonialnya Said, yang cenderung dikuras pada upaya semacam nasionalisasi banal sebuah kebudayaan secara total, dengan jalan pembersihan diri dari pengaruh kebudayaan kolonial atau upaya pendekolonisasian total, yang memang merupakan strategi penolakan yang hampir tidak mungkin dijalankan di level praksis. Pada hakikatnya masa lalu sebagai bangsa terjajah itu hingga tingkat tertentu, mempunyai keniscayaan turut menentukan eksistensi bangsa terjajah, dan dengan demikian pengaruh tersebut tidak mungkin disangkal atau ditolak. Periode kolonialisme itu adalah ibarat sebuah batu yang ikut menyusun atau menopang keseluruhan bangunan identitas bangsa bekas jajahan di saat ini. Dalam artian inilah, melakukan destruksi menyeluruh atas apa yang dianggap sebagai kultur kolonial, sama dengan melakukan destruksi atas diri sendiri. Sikap kritis terhadap masa lalu itu karenanya, harus dimaknai sebagai melihat masa lalu sebagai modal yang harus dikelola secara aktif dan kreatif terus-menerus. Terkait dengan hal itulah, teori ‘ruang ketiga’-nya Bhabha ini, secara praksis-kultural kerap mewajah 26 dalam wujudnya yang sangat populer, yakni misalnya dalam bentuk strategi ‘mimikri’ dan juga ‘hibridasi’ (Faruk, 2008:6). Mimikri adalah konsep tindakan meniru budaya penjajah oleh bangsa terjajah, akan tetapi tidak dalam arti kepatuhan buta masyarakat terjajah terhadap penjajahnya. Dalam peniruan model ini, tindakan masyarakat terjajah untuk meniru (to mimic) itu, dapat pula menjadi suatu ejekan (mockery) terhadap penjajah, karena mereka tidak melakukan peniruan dengan sepenuhnya setia model yang ditawarkan penjajah. Proses identifikasi melalui model peniruan ini, akhirnya dapat menjadi false identification (Homi K. Bhabha, 1994:85-92). Sementara itu ‘hibridasi’ adalah proses pencampuran atau penggabungan dua kebudayaan atau lebih, tanpa adanya dimensi politis mengalahkan salah satu di antaranya, yang akan menghasilkan wujud kebudayaan baru yang lebih baik. Konsep ‘hibridasi’ (hybridity) ini diadaptasi dari khazanah disiplin Biologi, sebagaimana yang tercermin dari makna istilah ini, yang secara leksikal berasal dari akar kata hybrid, yang artinya adalah: “A plant or animal that has been produced from two different types of plant or animal, especially to get better characteristics, or anything that is a mixture of two very different things” (Cambridge Advanced Learner’s Dictionary, 2003). Kedua, pandangan yang dikemukakan oleh Gayatri Chakravorty Spivak, terutama melalui tulisannya “Can the Subaltern Speak?”, yang dimuat dalam buku A Critique of Postcolonial Reason: Toward A History of the Vanishing Present (1999). Dalam gagasannya yang banyak dipengaruhi oleh pendekatan dekonstruksi Derrida ini, Spivak menawarkan modus strategi berbudaya bagi 27 kelompok-kelompok yang di-liyan-kan (subaltern), ketika bersemuka dengan budaya dominan. Tujuannya adalah agar sang subaltern tidak mengalami apa yang kerap disebut dengan tragedi ‘kekerasan epistemis’ akibat transformasi ideologis, yang berujung pada alineasi diri kultural. Spivak menyarankan suatu siasat, yakni agar sang subaltern menjadi dirinya sendiri, dengan cara menolak gagasan hegemonik, melalui apa yang diistilahkan sebagai ‘menunda persetujuan’ (a willing suspension of disbelief), ketika berjamahan dengan kebudayaan dominan (Gayatri Chakravorty Spivak, 1988:271-314; 2006:28-37). Adapun satu hal yang perlu mendapatkan penekanan perhatian dalam kaitannya dengan teori postkolonial Bhabha dan juga Spivak ini adalah, bahwa untuk mengkerangkai hadirnya ‘ruang ketiga’ agar sang subaltern itu mampu melakukan a willing suspension of disbelief, adalah perlunya kesadaran dari pihak subaltern tentang pentingnya pemahaman akan makna apa yang dinamakan dengan kearifan budaya lokal bagi sebuah bangsa yang dimilikinya. Kesadaran akan lokalitas ini, sama sekali tidak dalam pengertian sebagai sebentuk sikap ‘romantisisme kultural’, melainkan lebih digunakan untuk menegaskan pemahaman akan pentingnya kerangka orientasi dalam kinerja berkebudayaan itu, yang mesti memperhatikan keterjalinan antara masa lampau, masa kini, dan terutama lagi adalah masa depan. Karena memang kodrat konstruksi identitas budaya itu, lebih tepat dimaknai sebagai sebuah proses menjadi, atau yang dalam perspektifnya Martin Heidegger (2005:21-35) disebut sebagai suatu mode of existence atau mode of being. Identitas budaya itu, dengan demikian merupakan proyek ke depan, sekaligus ke belakang. Karenanya, suatu identitas budaya itu, 28 tidak pernah tepat dikatakan lahir secara absolut, melainkan lebih cocok disebut hadir, dalam proses formasi sebagai historical being, yang selalu mempertimbangkan keterjalinan antara masa lampau, masa kini, dan masa depan (Daniel Dhakidae, 2002:xxxii). C. Konsep tentang Budaya Lokal Dalam perspektif arkeologi, khazanah tradisi dan budaya lokal kerap diistilahkan sebagai local genius (Koentjaraningrat, dalam Ayatrohaedi, 1986:80). Pertama kali konsep ini dikenalkan oleh tokoh arkeologi H.G. Quaritch Wales dalam tulisannya berjudul The Making of Greater India: A Study in South-East Asia Culture Change, yang dimuat dalam Journal of the Royal Asiatic Sociaty (1948). Munculnya istilah local genius oleh Wales ini dipicu oleh pendapat F.D.K. Bosch pada tahun 1946 dalam pidato pengukuhannya sebagai guru besar Universitas Leiden, yang antara lain mengatakan bahwa kebudayaan India sebaiknya dianggap sebagai zat penyubur yang menimbulkan pertumbuhan kebudayaan Indonesia-India yang tetap memperlihatkan ciri-ciri khasnya. Pidato yang berjudul Het Vraagstuk van de Hindoe-kolonisatie van den Archipel tersebut akhirnya menimbulkan tanggapan dan diskusi yang amat luas. Istilah local genius, nampaknya juga diilhami oleh ahli psikologi Abram Kardiner dalam karangannya berjudul The Psychological of Society (1945), untuk memberi pengertian yang sama dengan istilah ‘basic personality of each culture’. Menurut H.G. Quaritch Wales (dalam Poespowardojo, 1986:30) local genius diberikan pengertian, “the sum of the cultural characteristic which the vast majority of a people have in common as a result of their experience in early life”. 29 (Keseluruhan ciri-ciri kebudayaan yang dimiliki bersama oleh suatu masyarakat/bangsa sebagai hasil pengalaman mereka di masa lampau). Pentingnya ciri-ciri khas yang ada dalam setiap budaya bangsa, atau yang biasa disebut sebagai ‘pribumi’ itulah, yang oleh Wales diistilahkan ‘local genius’, yang di dalamnya terkandung makna sebagai ‘basic personality of each culture’. Atau dalam pemaknaannya Anderson (2006:6) disebut sebagai cultural artefacts of a particular kind. Dengan demikian, local genius merupakan manifestasi dari kepribadian masyarakat, yang tercermin dalam orientasi yang menunjukkan pandangan hidup serta sistem nilainya, dalam persepsi untuk melihat dan menanggapi dunia luarnya, dalam pola, gaya, serta sikap hidup yang ditunjukkan dalam tingkah laku sehari-hari, yang mewarnai perikehidupannya. Dalam kaitannya dengan hubungannya dengan proses akulturasi hasil dari kemungkinan bersemukanya dengan budaya asing, maka jangan sampai terjadi apa yang diistilahkan oleh Wales, yakni extreme acculturation, untuk menggambarkan musnahnya spirit dan bentuk-bentuk budaya lokal. Melainkan perlunya dipertimbangkan model a less extreme acculturation, yang masih memperlihatkan local genius, yakni adanya unsur-unsur atau ciri-ciri tradisional yang mampu bertahan dan bahkan memiliki kemampuan untuk mengakomodasikan unsur-unsur budaya dari luar serta mengintegrasikannya dalam kebudayaan asli (Wales dalam Poespowardojo, 1986:31). Dengan demikian, terkait dengan dimensi local genius, dapat dikemukakan bahwa kebudayaan adalah merupakan manifestasi kepribadian masyarakat. Artinya, identitas masyarakat tercermin dalam orientasi yang 30 menunjukkan pandangan hidup serta sistem nilainya, dalam persepsi untuk melihat dan menanggapi dunia luarnya, dalam pola serta sikap hidup yang ditunjukkan dalam tingkah laku sehari-hari, serta dalam gaya hidup yang mewarnai perikehidupannya (Poespowardojo, 1986:32-33). Kedudukan local genius itu sentral, karena merupakan kekuatan yang mampu bertahan terhadap unsur-unsur yang yang datang dari luar dan yang mampu pula berkembang untuk masa-masa mendatang. Hilangnya atau musnahnya local genius, berarti pula memudarnya kepribadian suatu masyarakat, sedangkan kuatnya local genius untuk bertahan dan berkembang, menunjukkan pula kepribadian masyarakat itu. Oleh karena itu adalah penting sekali adanya usaha pemupukan serta pengembangan local genius, yang berfungsi dalam seluruh kehidupan masyarakat, baik dalam gaya hidup masyarakat, dalam pola dan sikap hidup, persepsi, maupun orientasi masyarakat (Poespowardojo, 1986:32-33). Perlu disadari pula bahwa hubungan dengan masyarakat dan bangsa lain akan meniscayakan terjadinya proses akulturasi, di mana masing-masing masyarakat saling memberi dan menerima pengaruh. Dalam Microsoft ® Encarta ® Reference Library 2005. © 1993-2004 Microsoft Corporation. All rights reserved disebutkan: Acculturation, process by which continuous contact between two or more distinct societies causes cultural change. This can happen in one of two ways. The beliefs and customs of the groups may merge almost equally and result in a single culture. More often, however, one society completely absorbs the cultural patterns of another through a process of selection and modification. This change often occurs because of political or military domination. It may cause considerable psychological disturbance and social unrest. 31 Namun yang terjadi, tidak jarang proses akulturasi itu mendatangkan dominasi kebudayaan asing, yang berarti memusnahkan local genius, sebagai pencerminan budaya masyarakat setempat. Oleh karenanya perlu revitalisasi. Sebagaimana tesisnya Toynbee, kemajuan masyarakat itu ditentukan oleh dua kriteria dialektis, yakni secara lahiriah penguasaan terhadap dunia lingkungannya melalui teknologi, dan secara batiniah, perkembangan kemampuan masyarakat untuk menentukan sendiri (self determination) (Poespowardojo, 1986:36-37). Selain itu, Toynbee mengutarakan pula bahwa kebudayaan akan berkembang apabila ada keseimbangan antara challenge dan response. Kalau challenge terlalu besar, sedangkan kemampuan response terlalu kecil, kebudayaan itu akan terdesak. Sebaliknya, kalau challenge terlalu kecil, kreativitas masyarakat tidak tumbuh. Dalam era modernisasi ini, challenge masyarakat Indonesia cukup tinggi, namun wilayah respons terasa kurang, terutama yang terkait dengan pemaknaan local genius. Sejalan dengan pandangan tersebut, dalam pemaknaan yang lebih luas yang berdimensikan kultural, Rendra (1983:3) mengungkapkan bahwa tradisi merupakan kebiasaan yang turun-temurun dalam sebuah masyarakat. Ia merupakan kesadaran kolektif sebuah masyarakat. Sifatnya luas sekali, meliputi segala kompleks kehidupan, sehingga sukar dipilah-pilah dengan pemerincian yang tetap dan pasti. Terutama sulit sekali diperlakukan seperti itu, karena tradisi itu bukan objek yang mati, melainkan alat yang hidup untuk melayani manusia yang hidup pula. Ia bisa disederhanakan, tetapi kenyataannya tidak sederhana. 32 Lebih jauh lagi Rendra menegaskan, bahwa sebagai kebiasaan dan kesadaran kolektif, tradisi bisa merupakan mekanisme yang membantu memperlancar pertumbuhan pribadi anggota masyarakat. Namun demikian, nilainya sebagai pembimbing akan merosot, apabila tradisi mulai bersifat absolut. Dalam keadaan serupa itu, ia tidak lagi menjadi pembimbing, melainkan penghalang bagi pertumbuhan pribadi dan pergaulan bersama yang kreatif. Apabila ia mulai membeku, maka ia lalu menjadi merugikan pertumbuhan pribadi dan kemnausiaan. Oleh karena itu, harus diberontak, dicairkan, diberi perkembangan yang baru, karena sebagai bagian dari substansi hidup dan kebudayaan yang selalau tumbuh dan berkembang. Tradisi yang tidak mampu berkembang adalah tradisi yang menyalahi fitrah kehidupan. Fanatisme yang menghalangi perkembangan tradisi adalah sikap yang menghalangi hidup dan sebaliknya, sikap yang fanatik antitradisi dan menuntut kebebasan mutlak, bisa dinilai sebagai ketiadaan pengertian akan hidup bersama. Sikap ini, meskipun semula didorong oleh gairah hidup, pada akhirnya akan menjauhkan dari hidup. Sebab sikap semacam itu membawanya ke arah anarkhi, yang akhirnya memisahkannya dari kebersamaan dengan orang lain (Rendra, 1983:4). Adapun wilayah yang menjadi ruang tempat meng-`ada’-nya nilai-nilai local genius itu, seluas pemaknaan hakikat kebudayaan manusia itu sendiri, yang secara substantif, sebagaimana dikemukakan antropolog J.J. Honingmann (dalam Koentjaraningrat, 1990:186-187) menyangkut tiga kategorial besar, yakni sistem ideas, activities, dan artifacts. 33 BAB III TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN A. Tujuan Khusus Tujuan khusus penelitian ini secara keseluruhan, sebagaimana telah disinggung dalam sajian di bagian akhir latar belakang di atas, yakni untuk mendapatkan hasil temuan data komprehensif tentang hegemoni estetika postkolonial dalam periklanan di Indonesia, kemudian dicarikan alternatif pencerahannya di masa mendatang, dengan cara pengembangan model desainnya yang berbasis budaya lokal, sebagai counter hegemoni estetika postkolonial. Adapun rumusan tujuan khusus tersebut, secara operasional dan terperinci, terbagi dalam tiga tahun, sebagai berikut. 1. Tahun pertama, bertujuan untuk mengidentifikasi, mendeskripsi, dan mengeksplanasi tentang bentuk-bentuk (penanda) visual, makna (petanda), dan pola-pola hegemoni estetika postkolonial yang terrepresentasi dalam iklan di media massa cetak Indonesia kontemporer; 2) Perancangan model desain iklan media massa cetak, sebagai counter hegemoni estetika postkolonial, sebagai tindak lanjut temuan penelitian yang telah dihasilkan. 2. Tahun kedua, bertujuan untuk mengimplementasikan temuan penelitian tahun pertama secara operasional, yakni berupa pengembangan model desain iklan media massa cetak dengan berbasiskan budaya lokal, sebagai counter hegemoni estetika postkolonial. 34 3. Tahun ketiga, berupa desiminasi/sosialisasi produk hasil pengembangan model desain iklan media massa cetak berbasiskan budaya lokal, sebagai counter hegemoni estetika postkolonial sebagaimana dimaksud. B. Manfaat Penelitian Berdasarkan tujuan atau target hasil yang diharapkan sesuai dengan ke tiga tahapan sebagaimana telah disebutkan di atas, penelitian ini mempunyai beberapa urgensi yang dapat dideskripsikan sebagai berikut. Tahun pertama, dihasilkan temuan perihal kategorisasi bentuk atau pola hegemoni postkolonial dalam estetika iklan di media massa cetak Indonesia. Tahun kedua, akan ditemukan model desain estetika iklan di media massa cetak berbasis budaya lokal, sebagai counter hegemoni estetika postkolonial; dan tahun ketiga, temuan penelitian itu akan disosialisasikan atau didesiminasikan kepada masyarakat. Keseluruhan temuan penelitian tersebut tentunya mempunyai makna urgensi yang tinggi, yang diharapkan mampu memberikan kontribusi positif dalam spektrum yang luas, baik yang sifatnya pengembangan keilmuan (teoretis) maupun praktis. 1. Secara Teoretis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan andil kontribusi yang signifikan bagi pengkayaan teori, terutama terkait dengan disiplin Seni Rupa atau kajian yang relevan, di antaranya adalah sebagai berikut. a. Bagi Disiplin Seni Rupa secara Umum Paling tidak ada dua hal strategis-siginifikan yang dapat dirumuskan, yakni: pertama, bagi historis dan historiografi seni rupa Indonesia, dan kedua, 35 bagi kajian estetika. Pertama, terkait dengan historis dan historiografi seni rupa Indonesia, hasil kajian ini diharapkan dapat dijadikan referensi dekonstrukstif yang penting, bagi kemungkinan reinventing historis dan historiografi seni rupa Indonesia secara utuh di masa depan, terutama terkait dengan salah satu problem elitis yang masih diidapnya hingga saat ini. Problem elitis sebagaimana dimaksud, terutama adalah kecenderungan arus utama wacananya yang terlalu dikuras pada diskursus kanonik di seputar terminologi seni murni (fine arts) misalnya seni lukis dan patung. Fenomena persoalan ini merupakan realitas yang sudah menyejarah dalam ruang dan waktu yang sangat lama dalam kesadaran historis dan historiografi seni rupa Indonesia—dan juga seni rupa dunia—yang sampai saat ini nyaris tanpa adanya tafsir kritis yang cukup berarti, bahkan dalam setting konteks diskursus wacana seni rupa kontemporer sekali pun (Atmaja, et al., 1990; Supangkat, et al., 2000). Dampaknya adalah, bukan hanya kurang terakomodasinya ruang diskursus wacana bagi eksistensi kategori seni rupa lainnya, yakni seni terapan (applied arts), yang dalam konteks ini adalah wacana periklanan, melainkan juga kategori seni terapan relatif ditempatkan dalam makna yang kurang berharga, dengan label klasiknya minor/low arts, sebagai lawan atau kebalikan major/high arts sebagai label yang melekat dalam seni murni (Yuliman, 2001; Supangkat, 1979). Padahal wacana periklanan di Indonesia keberadaannya sudah menyejarah sangat tua, yang dimulai sekitar tahun 1600-an seiring dengan awal sejarah percetakan di Indonesia (Lombard, 1996:150). Artinya iklan juga telah menjadi bagian dan pilar penting dalam diskursus sejarah peradaban bangsa Indonesia. Dengan mengadaptasi pandangan Bambang Purwanto (2006:xiv) 36 fenomena inilah sebenarnya merupakan bagian dari potret ‘kegagalan historiografi seni rupa Indonesiasentris’, yang tak mampu menghadirkan realitas sejarah kesenirupaan Indonesiaan yang komprehensif, yang disebabkan ketidakberdayaannya lepas dari jeratan warisan sejarah kolonial. Kedua, terkait dengan dimensi kajian estetika, hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan referensi penting bagi kemungkinan pengembangan wacana estetika yang lebih berspiritkan ke-Indonesiaan—yang sangat dekat esesnsi filosofinya adalah estetika Timur—secara lebih komprehensif, bagi kemungkinan solusi atas realitas keterbelengguan estetika Barat yang hegemonik itu, bukan hanya untuk konteks kecil periklanan, melainkan juga bagi kepentingan perspektif keilmuan seni rupa Indonesia dalam arti yang luas. b. Bagi Subdisiplin Desain Komunikasi Visual secara Khusus Hasil penelitian ini, diharapkan dapat dijadikan referensi penting untuk kemungkinan pengembangan wacana keilmuan desain periklanan, yang basis keilmuannya olah kreatif estetisnya, tidak semata-mata didasarkan pada terminologi efektivitas dan efisiensi pesan komodifikasi produk yang ditawarkan kepada masyarakat, melainkan juga mempertimbangkan pelbagai kompleksitas dimensi nilai-etis, baik moral maupun kultural lainnya, yang berpotensi lebih mencerahkan bagi masyarakat di masa mendatang. Terkait dengan hal inilah, dalam batas-batas tertentu, hasil penelitian ini juga dapat dijadikan referensi penting bagi kemungkinan penggagasan dan pengembangan wacana kelimuan estetika desain periklanan, dalam kaitannya dengan diskursus estetika sebagai 37 keterlibatan/keberpihakan’ sebagai sebagai counter wacana terhadap konsep ‘estetika sebagai kebebasan’, sebagaimana yang selama ini tampak dominan dan hegemonik dalam representasi periklanan. c. Bagi Kajian tentang Nasionalisme Bahwa penelitian dengan perspektif postkolonialisme itu, salah satu substansinya adalah bersinggungan dengan salah satu dimensi dan pilar terpenting dari keberadaan sebuah nation-state, yakni apa yang dinamakan dengan semangat dan nilai-nilai nasionalisme (Ratna, 2008:1-2). Sebagaimana diketahui bahwa nasionalisme itu, meskipun sebagai sebentuk fenomena imajiner (tetapi bukan imajinatif), keberadaannya senantiasa menuntut keharusan untuk dikonstruksi dan dipertahankan secara terus-menerus oleh segenap masyarakat pendukungnya (Anderson, 2006:1-15). Oleh karena itulah, bentuk-bentuk postkolonialisme Barat yang hegemonik harus dicermati secara kritis, sehingga bangsa Indonesia tidak masuk dan terperangkap dalam serangkaian jabakan praktik kolonialisme Barat model baru. Dalam kaitannya dengan konteks kepentingan pemupukan, pengembangan, pemertahanan, serta pelestarian nilai-nilai dan semangat nasionalisme, demi tetap teguh dan tegaknya entitas nation-state ke-Indonesiaan itulah, salah satu muatan gagasan penting dan strategis penelitian ini hendak dihajatkan dan didedikasikan. 38 2. Secara Praktis a. Bagi Lembaga Periklanan Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan referensi penting bagi wacana kontemplatif, untuk kemungkinan pengupayaan penghadiran karya iklan komersial di media massa pada masa mendatang, yang gagasan kreatif-estetisnya tidak semata-mata diabdikan pada kepentingan politik ekonomi dan kapitalisme semata, melainkan juga mempertimbangkan dimensi yang lain, termasuk dimensi kultural yang lebih bermanfaat bagi masyarakat dan bangsa. b. Bagi Masyarakat secara Umum Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan referensi dan inspirasi penting, untuk membantu masyarakat menjadi semakin cerdas dan kritis terhadap fenomena periklanan yang semakin eksplosif-ideologis, terutama lagi terkait dengan pelbagai konstruksi ideologi yang kerap hadir tersembunyi. Tujuannya adalah, diharapkan masyarakat bukan hanya semakin dapat menjaga jarak, dengan pelbagai kultur absurd misalnya konsumerisme, materialisme, dan hedonisme, melainkan juga mampu mewaspadai iklan secara kritis, sebagai salah satu situs hegemonik yang potensial terkoneksi dengan pelbagai dimensi nilai-nilai. 39 BAB IV METODE PENELITIAN A. Pendekatan Penelitian Keseluruhan penelitian, yang direncakan selama tiga tahun ini, mempergunakan payung besar jenis pendekatan riset dan pengembangan atau R&D (Research and Development) modelnya Gall, Gall, dan Borg (2003) dengan modifikasi. Pada tahun pertama, merupakan bagian dari tahapan studi pendahuluan (define) dari tahapan penelitian ini. Tahap ini merupakan langkah paling awal, yakni berupa studi pendahuluan terkait dengan analisis tentang fenomena periklanan yang ada di media massa cetak Indonesia, terutama dalam kaitannya dengan representasi estetikanya yang banyak dihegemoni oleh estetika postkolonial (Barat). Analisis hegemoni estetika postkolonial dalam iklan di media massa cetak Indonesia kontemporer ini, dilakukan baik di tingkat penanda (bentuk) maupun petanda (makna)-nya. Penelitian tahun pertama yang difokuskan pada analisis dokumen iklan di media massa cetak Indonesia kontemporer, terutama pada aspek hegemoni postkolonial yang terdapat di dalam representasi estetika iklannya ini, menggunakan pendekatan yang sifatnya multidisiplin atau multipersektif, yakni postkolonial dan semiotis. Pendekatan postkolonial disandarkan pada teorinya Edward W. Said (1979), Homi K. Bhabha (1994; 1995), dan Gayatri C. Spivak (1995), yang substansinya adalah merupakan teori yang digunakan untuk mengkaji fenomena kolonialisme atau penjajahan kebudayaan yang terjadi secara 40 de facto (terutama oleh Barat) terhadap bangsa-bangsa bekas jajahan (terutama Timur, termasuk Indonesia) yang terjadi ketika bangsa-bangsa bekas jajahan tersebut secara de jure telah merdeka. Postkolonial, dengan demikian dapat dikatakan sebagai sebentuk penjajahan model baru. Modus operandi penjajahan model baru tersebut, tidak dilakukan dengan cara kekerasan fisik (coersive), melainkan dengan cara-cara persuasif-hegemonik,yakni penaklukan kesadaran bangsa yang terjajah dengan menggunakan pelbagai sarana ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Termasuk dalam konteks penelitian ini, penjajahan model baru itu melalui representasi estetika periklanan di media massa. Selanjutnya teori semiotika dipilih dalam penelitian ini, karena penelitian ini adalah studi tentang sistem tanda yang terdapat dalam wacana iklan, baik yang sifatnya verbal maupun pictorial. Hal ini sejalan dengan makna semiotika yang artinya adalah: as a science of sign atau ilmu tentang tanda (Eco, 1979:3; Sudjiman dan A.J.A. van Zoest, 1992:vii). Adapun sistem tanda dalam estetika iklan yang menjadi fokus kajian ini adalah representasi tanda yang menjadi struktur penyusun utama teks iklan pada media massa cetak, yang mencakup lima kategori, yakni: ‘ilustrasi’, headline, subheadline (body copy), signature line, dan ‘slogan’ (Vestergaard and Kim Schroder, 1985:49-50; Forceville, 2006). Secara spesifik teori semiotika yang digunakan dalam penelitian ini adalah model semiotikanya Roland Barthes (1978), terutama digunakan mengkerangkai kinerja kritik ideologi (mitos) atas penanda dan petanda budaya. Dalam konteks ini kritik ideologi (mitos) sebagaimana dimaksud adalah yang terdapat dalam representasi estetika iklan di media massa cetak Indonesia. Terkait dengan 41 persoalan teori kritik ideologi atau mitos ini, Barthes secara spesifik mengungkapkan bahwa mitos itu merupakan sistem semiotika tingkat dua (a second-order semiological system), yang dalam konteks kajian budaya massa ini, yakni lebih memusatkan kajian atas objek sebagai the significant daripada sebagai the technical/the functional. Pembedaan ini amat penting untuk melihat gejala budaya dalam masyarakat modern, yang ternyata the significant atas objek fungsional, menjadi lebih penting daripada the technical atau fungsinya (Sunardi, 2002:95). Secara operasional penerapan teori semiotika Barthesian untuk mengkaji representasi iklan di media massa cetak dengan perspektif postkolonial ini, dilakukan dengan dua tahap, yakni pertama, secara denotatif, dan kedua, secara konotatif. Pertama, untuk analisis denotatif, ditempuh dengan cara mengkaji sistem penanda elemen struktur rupa atau visual yang dapat diamati di tingkat permukaan (surface) dalam representasi estetika iklan yang dijadikan objek penelitian ini. Secara semiotis, struktur tanda visual dalam iklan di media massa cetak khususnya lagi untuk kategori iklan display, dibedakan menjadi dua, yakni tanda-tanda yang sifatnya verbal (dalam bentuk tulisan) dan non verbal (dalam bentuk gambar/pictorial) (Ron Beasley & Marcel Danesi, 2002:22). Kemudian kedua, analisis secara konotatif, ditempuh dengan menginterpretasi dan mengkritisi isi atau makna yang tersembunyi di balik surface iklan yang diwujudkan melalui serangkaian representasi penanda, serta mengungkap bagaimana makna tersebut dikonstruksikan. Analisis makna dalam konteks ini, bukannya bermaksud mencari dan menemukan makna yang sifatnya 42 denotatif, melainkan makna konotatif, yang dalam kata-katanya Barthes dalam buku Mythologies (1973) seperti didaptasi oleh diistilahkan Sut Jhally (1990:140) sebagai ‘mitos’ atau ‘ideologi’ tertentu. Dalam konteks dunia periklanan, mitos atau ideologi tertentu itu difungsikan untuk kepentingan manipulasi (the myth of manipulation) (William Leiss, Stephen Kline & Sut Jhally, 1997:36). Dalam konteks penelitian ini, mitos atau ideologi sebagaimana dimaksud adalah ideologi postkolonial. Penerapan teori semiotika Barthesian untuk kajian kritis terhadap karya iklan dalam penelitian ini, proses kinerjanya secara operasional didasarkan pada ‘teori estetika resepsi’ atau yang lebih familier kerap diistilahkan dengan ‘teori resepsi’. Teori resepsi adalah sebagai sebuah aliran pemikiran yang meneliti teks dengan bertitik tolak pada pentingnya posisi dan peranan pembaca yang memberi reaksi atau tanggapan terhadap suatu teks. Perspektif ini menawarkan sebuah alternatif terhadap metode ataupun pendekatan tradisional terhadap pembacaan teks yang berbasiskan pada perspektif ‘estetika formalisme’, yang kecenderungan diskursusnya banyak berpusat pada pembuat teks (Robert C. Holub, 1993:14-15). Teori resepsi mendasarkan diri pada keyakinan bahwa keberadaan teks itu selalu terkait dengan keberadaan pembaca atau audiensnya. Pentingnya perhatian terhadap faktor penerimaan dalam pengkajian teks ini, terbuka sejak timbulnya kesadaran bahwa yang dinamakan dengan teks atau karya seni itu adalah bangunan bahasa yang diperuntukkan atau ditujukan kepada pembaca. Bahkan terkait dengan konteks ini, Mukarovsky pernah menegaskan bahwa yang dinamakan karya seni itu, baru akan bermakna sebagai ‘artefak estetik’, setelah 43 dibaca atau dikonkretisasi oleh pembaca (Imran T. Abdullah, 2001:115-120). Perihal karakteristik pembaca, dalam pandangan Rien T. Siegers, dibedakan ada pembaca umum dan pembaca khusus (misalnya peneliti) (Siti Chamamah Soeratno, 2001:155-164). Dalam konteks ini tentunya, ‘pembaca’ di sini, dimaknai sebagai pembaca yang membaca sebagai peneliti. Proses pembacaan terhadap teks dalam teori resepsi, biasanya diarahkan oleh apa yang diistilahkan sebagai ‘horizon harapan’ (horizon of expectation) atau dalam istilah Jermannya Erwartungshorizont tertentu (Robert C. Holub, 1984:5859; Raman Selden, 1995:323). Dalam riset semiologis, ‘horizon harapan’ ini diistilahkan dengan ‘prinsip pertinensi’ (pertinent principles), yakni suatu prinsip limitatif terkait dengan pembatasan pilihan titik atau sudut pandang tertentu terhadap objek yang diamati atau yang menjadi sasaran penelitian (Roland Barthes, 2007:86). Dalam konteks penelitian ini prinsip pertinensi sebagaimana dimaksud adalah terkait dengan persoalan postkolonial yang terepresentasi dalam estetika iklan di media massa cetak Indonesia 2007-2010. B. Jenis Penelitian Sejalan dengan topik penelitian ini yang secara substantif hendak mengkaji persoalan hegemoni ideologis-estetis Barat (postkolonial) yang terepresentasi dalam wacana iklan di media massa cetak, maka jenis penelitian ini termasuk dalam kategori kajian budaya (cultural studies). Menurut Hardt (dalam Morley & Kuan-Hsing Chen, 1997, 101-111) culture studies menyediakan perspektif partikular tentang persoalan budaya dan representasi ideologinya, sehingga bisa menjadi kekuatan untuk analisis komunikasi terutama terkait 44 dengan praktik media massa. Pandangan ini sejalan dengan perspektifnya Alasuutari (1999:92), yang menegaskan bahwa tujuan besar proyek cultural studies adalah membedah beroperasinya aspek politis dalam setiap teks dan praktik kultural yang ada (terepresentasi) dalam masyarakat. Oleh karena itulah, ‘representasi’ merupakan terma penting dan sekaligus khas dalam kajian cultural studies, karena pembahasannya tidak terbatas pada pola struktural yang ada dalam teks atau bahasa, tetapi lebih ditekankan pada persoalan-persoalan wacana ideologis yang melingkarinya. Dengan mengkaji representasi teks bisa dibongkar bagaimana beroperasinya ideologi yang ada di dalam teks tersebut (Hall, 2007, 15-19). Dalam konteks penelitian ini, teks sebagaimana dimaksud adalah wacana iklan di media massa cetak Indonesia kontemporer. Dalam kaitan ini pula, perlu disampaikan bahwa penelitian ini juga termasuk dalam jenis kategori penelitian perpustakaan (library research), yakni jenis penelitian yang difokuskan untuk mengkaji data yang bersumber dari bahan dokumenter (Soedarsono, 2001). dalam konteks ini adalah dokumen tercetak sebagaimana dimaksud, berasal dari majalah. Karakteristik data dan sumber data dalam penelitian ini, kiranya perlu diberikan penegasan tentang beberapa batasan yang terkait dengan tiga hal. Pertama, dibatasi pada media massa cetak berupa majalah, yakni terdiri atas empat majalah, yang masing-masing adalah: Tempo, Gatra, Femina, dan Kartini. Keempat majalah tersebut, dipilih berdasarkan dua ketegori, yakni pertama adalah termasuk kategori ‘majalah berita ilmiah’, yakni Tempo dan Gatra, dan kedua adalah termasuk kategori ‘majalah populer’, yakni Femina dan Kartini. 45 Alasan pembatasan iklan yang difokuskan yang terdapat di media massa cetak ini, lebih berdasarkan pertimbangan teknis saja, yakni relatif lebih mudah dihadirkan dalam lembar laporan penelitian untuk kepentingan analisis. Hal ini sedikit berbeda manakala dibandingkan dengan media massa lainnya, baik yang berbasis audio maupun audio-visual, yang relatif cukup sulit dihadirkan secara utuh sebagai data yang dapat dicetak atau ditulis dalam lembaran laporan. Di samping terkait dengan dimensi praktis tersebut, faktor lain yang dapat dikemukakan adalah, bahwa produksi satu iklan itu, biasanya secara bersamaan waktunya dibuat di berbagai media massa, baik visual maupun elektronik, yang tujuannya untuk menghadirkan daya tarik efek psikologis yang kuat kepada masyarakat yang menjadi sasarannya. Hal ini sejalan dengan makna mendasar dari iklan atau ‘reklame’ itu sendiri yang berasal dari bahasa Perancis reclamare, yang berarti meneriakkan sesuatu secara berulang-ulang (Kasali, 1993:111). Karenanya, meski penelitian iklan dalam studi ini difokuskan hanya pada iklan yang terdapat di media massa cetak, namun pada titik tertentu hakikatnya juga merupakan cerminan atas realitas iklan yang ada di media massa lainnya dalam arti yang luas. Kedua, batasan tentang subject matter atas data yang menjadi fokus penelitian ini adalah jenis data iklan yang menunjukkan makna citra estetika postkolonial (Barat). Adapun jenis subject matter data iklan sebagaimana dimaksud, difokuskan dari jenis iklan dari media massa cetak yang bersifat komersial. Ketiga, batasan terkait persoalan waktu keberadaan data yang akan dianalisis, yakni menggunakan data tahun 2007-2011. Periode waktu tersebut, 46 diharapkan mampu menghadirkan informasi data yang cukup komprehensif. Penentuan sumber data dalam penelitian ini, ditempuh dengan purposive sampling (jugdmental sampling) yang dalam prosesnya, “the researcher specifies the characteristics of the population of interest and locates”(Johnson, 1995:313338). Adapun ciri-ciri dan prosedur purposive sampling adalah: 1) data tidak dapat ditentukan atau ditarik terlebih dahulu; 2) pengumpulan datanya menggunakan teknik sampel bola salju (snowball samping); dan 3) kegiatan penelitian akan berakhir jika sudah jenuh datanya (Moleong, 2005:224-225). Untuk instrumen penelitiannya, adalah peneliti sendiri sebagai human instrument, dibantu dengan pedoman dokumentasi, serta pelbagai mechanical devices yang relevan (daftar check list, scanner, dan lain sebagainya). Selanjutnya tentang teknik analisis data dalam penelitian ini, menggunakan teknik analisis deskriptif kualitatif modelnya Matthew B. Miles dan A. Michael Huberman (1992:15-21). Proses berikut penerapan teknik analisis ini dilakukan secara simultan dan terus-menerus, mulai dari awal sampai akhir penelitian. Dalam proses analisis data ini tercakup tiga hal sekaligus juga tahapan, yakni, reduksi data, penyajian data dan pembahasan, dan penarikan kesimpulan. C. Bagan Alir Penelitian Untuk mendapatkan gambaran perihal keutuhan penelitian ini yang direncanakan selama 3 tahun, dan juga posisi penelitian di tahun pertama ini, perlu disampaikan bagan alir penelitian ini secara keseluruhan sebagai berikut. 47 MODEL DESAIN IKLAN MEDIA MASSA bentukPENGEMBANGAN (penanda) visual hegemoni Barat dalam iklan CETAK BERBASIS BUDAYA LOKAL SEBAGAI COUNTER HEGEMONI ESTETIKA POSTKOLONIAL Tahun Pertama Teori Postkolonial, Semiotik, Historis Identifikasi penanda (ilustrasi, headline, subheadline, signature line, slogan) dan petanda (makna) hegemoni postkolonial dalam iklan media massa cetak Indonesia (baik iklan kontemporer maupun iklan kuna). Identifikasi pelbagai faktor sosiokultural dan historis penyebab kuatnya konstruksi hegemoni postkolonial dalam representasi estetika di media massa Indonesia. Pola-pola Hegemoni Postkolonial dalam Representasi Estetika Iklan di Media Massa Cetak Indonesia Tahun Kedua Pengembangan Model Desain Iklan Media Massa Cetak Berbasis Budaya Lokal dengan Estetika Counter Hegemoni Postkolonial. Domain Estetika Penandanya (mencakup: ilustrasi, headline, subheadline, signature line, dan slogan). Model Desain Iklan Media Massa Cetak Berbasis Budaya Lokal dengan Estetika Counter Hegemoni Postkolonial. Domain Estetika Petandanya (maknanya). Expert Judgment. Evaluasi/Validasi. Uji Coba Lapangan Terbatas dan Luas. Tahun Ketiga Diversifikasi Model Desain Iklan Media Massa Cetak Berbasis Budaya Lokal dengan Estetika Counter Hegemoni Postkolonial. Desiminasi Model Desain Iklan Media Massa Cetak Berbasis Budaya Lokal dengan Estetika Counter Hegemoni Postkolonial. 48 BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Pengantar Sejalan dengan fokus rumusan masalah dan juga tujuan penelitian sebagaimana disajikan di Bab I, maka hasil penelitian dan pembahasan yang terdapat di Bab V ini, meyajikan bentuk atau pola hegemoni postkolonial dalam representasi estetika iklan di media massa cetak Indonesia kontemporer. Adapun sajian deskripsi data hasil temuan penelitian berikut pembahasan selengkapnya adalah sebagai berikut. Berdasarkan hasil analisis data terhadap iklan-iklan di media massa cetak Indonesia sebegaimana yang menjadi fokus penelitian ini, ditemukan paling tidak lima kategori pola atau bentuk hegemoni postkolonial dalam representasi estetika iklan di media massa cetak Indonesia kontemporer, yakni terkait dengan domain obsesi terhadap: 1) penggunaan bahasa Inggris, 2) ketubuhan Barat 3) Ketubuhan Indo, 4) ketubuhan kulit putih Barat; dan 5) superlativisme. Adapun sajian sampel data perihal pola atau bentuk hegemoni postkolonial dalam representasi estetika iklan di media massa cetak Indonesia kontemporer sebagaimana dimaksud selengkapnya adalah sebagai berikut. B. Pola Hegemoni Postkolonial dalam Represnetasi Estetika Iklan 1. Dimensi Obsesi terhadap Penggunaan Bahasa Inggris (Englishness) Hegemoni postkolonial pertama yang terdapat dalam representasi estetika iklan di media massa cetak Indonesia tahun 2007-2010, adalah persoalan obsesi penggunaan bahasa Inggris (Englishness), yang dapat dikatakan amat berlebihan. 49 Dalam kaitan dengan persoalan ini, kiranya perlu disampaikan bahwa iklan-iklan yang dimaksud dalam konteks ini adalah iklan yang dimuat di media massa Indonesia, diterbitkan di Indonesia, dan juga diperuntukkan bagi audiens atau masyarakat Indonesia, yang notabene bahasa komunikasi utamanya adalah bahasa Indonesia, di samping juga bahasa daerah. Oleh karena itu, bahasa Inggris dan juga bahasa asing lainnya yang berasal dari mancanegara, dalam konteks masyarakat Indonesia sampai saat ini, statusnya adalah masih termasuk dalam kategori bahasa asing (foreign language). Artinya, bahasa Inggris bukan atau belum menjadi sebagai bahasa komunikasi primer dalam hubungan atau pergaulan antar anggota atau warga masyarakat secara luas. Atau dengan ungkapan lain, bahasa Inggris masih menjadi realitas yang dapat dikatakan elitis dalam masyarakat dan kebudayaan bangsa Indonesia. Ia menjadi bagian dari bahasa untuk komunitas yang cukup terbatas, misalnya dalam kaitannya dengan komunikasi formal dalam situasi-situasi formal tertentu, seperti dalam dunia akademik di perguruan tinggi, kerja diplomatik, dunia pariwisata yang melibatkan orang asing, dan lain sebagainya. Singkat kata, bahasa Inggris meskipun diakui sebagai bahasa komunikasi resmi internasional, keberadaannya sampai saat ini adalah bukan atau belum berperan atau berfungsi sebagai lingua franca dalam masyarakat dan kebudayaan Indonesia. Namun ironinya dan yang memperihatinkan dalam kaitan dengan konteks ini adalah, bahwa justru bahasa asing tersebut (bahasa Inggris) dapat dikatakan menjadi sebentuk sistem penanda dan petanda verbal utama dalam jagad dan wacana periklanan di media massa cetak Indonesia tahun 2007-2010 ini. Fenomena inilah, yang kemudian 50 menghadirkan semacam logika absurd yang sangat sulit untuk dimengerti. Sebagaimana diketahui, periklanan adalah sebentuk komunikasi pemasaran dalam politik ekonomi kapital, yang ditujukan untuk kepentingan mempersuasif atau mempengaruhi khalayak sasaran seefektif dan sekaligus sebanyak mungkin, demi mendapatkan keuntungan sebanya-banyaknya. Salah satu konsekuensi dan konotasi logis dari makna representasi periklanan sebagaimana dimaksud, adalah bahwa hal tersebut akan dapat dicapai manakala representasi iklan yang disajikan di masyarakat tersebut, menggunakan sistem tanda (penanda maupun petanda) yang tentunya cukup familier atau akrab dalam kesadarannya. Artinya, semakin familier atau akrab sistem tanda yang digunakan, logikanya kemungkinan besar akan semakin besar pula potensi tersampaikannya pesan yang ditawarkan dari sebuah iklan. Demikian juga halnya sebaliknya, karena memang analisis tentang hal ini, kiranya dapat mengadaptasi dari hukum logika komunikasi berbahasa secara umum atau universal yang ada atau berlaku di masyarakat. Dengan menggunakan alir nalar ini, maka dalam kaitan dengan konteks penggunaan bahasa Inggris dalam konteks periklanan di media massa Indonesia ini, dapat dikatakan menyalahi atau mengingkari dari logika kesadaran berbahasa sebagaimana adanya. Namun, itulah yang terjadi dan menjadi pemandangan absurd, bukan hanya membingungkan melainkan juga memperihatinkan. Beberapa contoh perihal persoalan tersebut, adalah sebagaimana tampak dalam sajian gambar-gambar berikut. 51 Gambar 1. Penggunaan Istilah dan atau Ungkapan Berbahasa Inggris untuk Iklan Produk Perlengkapan Rumah Tangga Penanak Nasi Merk Yong Ma. (Sumber: Majalah Femina, Edisi 3-9 Mei 2007, Halaman 95) Iklan yang terdapat pada gambar 1 di atas adalah untuk menawarkan produk kebutuhan domestik atau rumah tangga yakni berupa peralatan memasak nasi, dengan merk Yong Ma. Terkait dengan representasi iklan tersebut, yang menjadi fokus persoalan dalam kaitan dengan studi ini, yakni hegemoni estetika postkolonial yang terdapat di dalamnya adalah terkait dengan penggunaan beberapa penanda verbal atau kata-kata atau ungkapan dalam bahasa Inggris. Kalimat pertama, yang keberadaannya cukup menonjol, adalah berupa kalimat atau ungkapan yang berfungsi sebagai headline dalam iklan ini, yang berbunyi: The Magic in Life. Headline iklan tersebut ditulis dengan ukuran huruf yang cukup besar, yang diletakkan pada bidang sebelah kiri atas, dengan warna merah yang cukup jelas untuk dilihat. Di samping itu, penanda verbal lainnya yang juga 52 menggunakan istilah dari bahasa Inggris yang tampak cukup jelas, adalah istilah New. Kemudian ada beberapa penanda verbal lainnya, meskipun dalam ukuran tulisannya dalam skala kecil, akan tetapi juga tetap menggunakan istilah Inggris, yakni identitas dua serial produk MC-1000 Series dan MJ-8800 Series; juga istilah Service Centre, yang semuanya terdapat di bidang bagian bawah. Gambar 2. Penggunaan Istilah dan atau Kalimat Berbahasa Inggris untuk Iklan Produk Susu Formula Merk Dancow. Sumber: Majalah Femina, Edisi 29 Agustus-4 September 2009, Halaman 133) Gambar 2 di atas adalah sajian iklan untuk salah satu produk susu untuk anak-anak dari merk Dancow. Iklan tersebut juga merepresentasikan salah satu ikonnya, yakni penggunaan bahasa Inggris. Kata-kata atau kalimat pendek yang berbunyi All Around Love in All Around Nutrition tersebut dalam representasi iklan ini, menjadi salah satu kekuatan daya tarik magis yang besar dari representasi iklan susu untuk anak-anak ini. Kata-kata atau kalimat pendek 53 berbahasa Inggris tersebut, sengaja difungsikan sebagai headline, yang ditempatkan dalam posisi ditengah-tengah bidang iklan ini, yang disertai dengan setting gambaran ekpresi ceria dan kecintaan yang penuh seorang ibu terhadap anaknya yang sedang digendhongnya itu. Di samping itu, penggunaan bahasa Inggris juga tampak dari pemberian nama atau istilah dari serial produk susu untuk anak-anak ini, yakni yang bernama NutriGold, yang tampak dengan cukup jelas dituliskan dalam kemasan kotak dari produk susu ini. Demikian juga halnya dengan informasi perihal beberapa keunggulan atau kualitas kandungan dari produk susu ini, juga disajikan dalam tulisan berbahasa Inggris, yakni berbunyi: Protection, Brain Development, dan Body Growth. Pesan dari kata-kata tersebut, seolah akan sangat berbeda daya tarik dan maknanya manakala digantikan dengan berbahasa Indonesia. Gambar 3. Penggunaan Bahasa Inggris One is Enough sebagai Headline Iklan Produk Obat Sakit Maag Merk Promag. (Sumber: Majalah Tempo, Edisi 30 Maret-5 April 2009, Halaman 49) 54 Iklan selanjutnya sebagaimana yang tampak pada gambar 3 di atas adalah untuk menawarkan salah satu produk obat untuk sakit maag, yang bermerk Promag. Secara semiotis, iklan tersebut representasinya cukup sederhana, jika dikaitkan dengan kompleksitas penanda yang dipakainya, baik yang sifatnya verbal maupun yang piktorial. Penanda verbal yang tampil amat menyolok dan dominan adalah berupa satu kalimat pendek berbunyi One is Enough, yang difungsikan sebagai headline iklan ini. Penanda verbal tersebut ditempatkan di tengah-tengah bidang bagian atas, dengan pilihan jenis huruf atau tipografi yang berkesan tegas, dengan ukuran yang cukup besar, serta warna yang putih yang cukup jelas. Sementara itu, sajian penanda piktorialnya yang tampak dominan adalah seorang laki-laki dengan pakaian formal (berjas dan berdasi), sedang memegang untuk menunjukkan sebutir tablet obat sakit maag yang diiklankan ini. Penanda piktorial lainnya, tampak dalam ukuran kecil di sudut pojok kanan bawah iklan ini, adalah gambar kemasan produk obat maag ini. Justru dengan kesederhanaan penanda yang dipakai dalam iklan ini, kata-kata asing berbunyi One is Enough tersebut demikian tampak amat jelas, sehingga juga mempunyai daya tarik yang besar pula. Persoalannya adalah, mengapa kata-kata tersebut tidak berbunyi ‘Satu Saja Cukup’. 55 Gambar 4. Penggunaan Istilah dan atau Kalimat Berbahasa Inggris untuk Iklan Produk Cat Tembok Merk Dulux. (Sumber: Majalah Femina, Edisi 29 Agustus-4 September 2009, Halaman 113) Tema iklan untuk menawarkan produk salah satu merk cat Dulux, dengan serialnya ‘Watershield’ yang terdapat pada gambar 4 di atas, adalah tentang keceriaan. Sebuah terminologi yang pasti akan disukai oleh semua orang. Selain dieskpresikan melalui penggambaran secara piktorial, berupa suasana ceria sekelompok anak-anak dan juga ada seorang ibu dengan anaknya, dengan latar belakang deretan rumah berlantai dua yang keseluruhannya dicat dengan warnawarni yang kesannya tampak cerah, asri, dan indah, juga direpresentasikan dengan penanda verbal. Change Your Walls…, Change Your World. Penanda verbal berupa kata-kata sederhana yang dibuat dalam warna-warni yang menarik, yang manakala diterjemahkan secara sederhaman menjadi, ‘Ubah Dindingmu… Ubah Duniamu… tersebut dalam iklan ini, menjadi headline penting, yang diharapkan mempunyai daya tarik yang amat tinggi bagi para pemirsa iklan ini. Kata-kata 56 dalam bahasa Inggris tersebut, karenanya, selain dibuat dengan aneka warna yang menarik, juga disertai dengan pilihan tipografinya yang menarik pula, serta ukuran hurufnya yang cukup besar, sehingga akan dengan gampang atau mudah dibaca. Karakteristik kata-kata tersebut jelas sangat berbeda jika dibandingkan dengan yang berbahasa Indonesia, yang narasinya cukup panjang, yang dalam iklan ini difungsikan sebagai subheadline. Gambar 5. Penggunaan Istilah dan atau Kalimat Berbahasa Inggris untuk Iklan Produk Rokok Merk Clas Mild. (Sumber: Majalah Gatra, Edisi 11-17 Februari 2010, Halaman 1) Iklan yang terdapat pada gambar 5 di atas representasi semiotisnya juga dapat dikatakan amat sederhana, karena tak ada sedikit pun penanda piktorial yang menyertainya. Iklan untuk menawarkan produk salah satu merk rokok yang bernama Class Mild ini, sepenuhnya disandarkan pada kekuatan akan penan verbal. Kekuatan penanda verbalnya pun dalam iklan ini, hanya terdiri dari dua kalimat pendek berbahasa Inggris, yakni berbunyi: Talk Less Do More dan today’s spirit. Manakala disimak lebih jernih terhadap kata-kata berbahasa Inggris, terutama yang pertama itu, kalau diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, menjadi ‘Sedikit Bicara Banyak Kerja’, atau ke dalam bahasa Jawa 57 secara kasar menjadi ‘Thithik Ngomong Akèh Mêgawé’. Kata-tersebut mengingatkan pada satu ungkapan yang teramat klasik dalam masyarakat Jawa yang berbunyi ‘Sêpi Ing Pamrih Ramé Ing Gawé’. Jadi, kekuatan pesan iklan dalam rokok merk Class Mild ini, sebenarnya bukan pada isi pesannya yang luar biasa, karena hal itu bukan hanya sudah menjadi pemahaman pengetahuan yang terlampaui, melainkan lebih dikarenakan pesan tersebut diungkapkan dalam formula bahasa Inggris. Pesan atau ungkapan klasik yang sudah mendarah daging bagi masyarakat Jawa ini, kemudian seolah dalam iklan ini sebagai sesuatu yang sama sekali baru, berkilau-kilau dan di-‘gila’-i secara euforiastis. Gambar 6. Penggunaan Istilah dan atau Kalimat Berbahasa Inggris sebagai Headline untuk Iklan Acara Metro TV. (Sumber: Majalah Tempo, Edisi 12-18 Februari 2007, Halaman 11) Adalah Rizal Malarangeng dan Najwa Shihab yang menjadi ikon penanda piktorial dalam iklan acara televisi bertajuk Save Our Nation, dari Metro TV sebagaimana yang terdapat pada gambar 6 di atas. Kedua orang tersebut adalah 58 pemandu acara dialog interaktif yang diselenggarakan pada setiap hari Rabu, pada pukul 20.05 itu. Acara ini diklaim, sebagai salah satu acara talkshow berwawasan kebangsaan yang paling diminati pemirsa. Namun acara dan sekaligus iklan ini sebenarnya sungguh terasa amat kental aura keanehan dan keabsurditasaannya, karena acara dialog interaktif tentang Indonesia, oleh orang dan televisi Indonesia, dan untuk orang Indonesia, rumusan tajuk acaranya berbahasa, yakni Save Our Nation. Kata-kata ini sarat kontradiksi dalam dirinya: nasionalisme direduksi dalam pemaknaan yang kelewat sempit, sehingga persoalan bahasa tidak pernah menjadi kesatuan analisis pemahanan yang komprehensif di dalamnya. Berdasarkan data-data sebagaimana yang telah disajikan pada gambargambar di atas, dapat dikemukakan bahwa betapa yang dinamakan dengan penggunaan bahasa asing, terutama Inggris dalam wacana periklanan di media massa cetak Indonesia tahun 2007-2010 merupakan satu realitas yang amat hegemonik. Manakala dicermati lebih komprehensif lagi, fenomena tersebut tidak hanya ‘menjangkiti’ dalam wajah periklanan yang ada di media massa cetak semata, melainkan juga menjadi persoalan yang relatif sama dengan yang ada di media massa eletronik, baik radio, televisi, maupun internet. Sebagaimana halnya persoalan yang terdapat dalam dimensi obsesi terhadap sosok ketubuhan Barat, ketubuhan Indo, serta ketubuhan atau kulit putih yang telah dikaji dalam narasi di atas, persoalan dimensi obsesi terhadap bahasa Inggris dalam representasi iklan ini, juga difungsikan sebagai salah satu kekuatan ikon penanda daya tarik utama yang amat penting, yang disebut eye catching. 59 Penggunaan eye catching dalam konteks ini, dapat dikatakan jelas mengundang keanehan, kelemahan atau bahkan cacat yang cukup mendasar dari sisi alir nalar sosiologis. Sebagaimana diketahui, bukankah yang dinamakan dengan eye catching itu adalah sebentuk penanda dan petanda yang diasumsikan akan mempunyai kekuatan lebih, untuk menyampikan pesan atau informasi kepada khalayak atau masyarakat. Logikanya, bahasa Inggris itu hanya akan dapat berfungsi optimal sebagai eye catching, dengan indikatornya yakni pesan itu akan sangat efektif ditangkap, difahami, dan diterima oleh masyarakat, jika masyarakat yang menjadi sasarannya itu adalah memang penutur dalam bahasa Inggris, baik bahasa Inggris sebagai bahasa ibu atau bahasa nasional dari masyarakat yang bersangkutan. Jika tidak, maka pesan verbal berbahasa Inggris itu akan sulit ditangkap, difahami dan juga diterima oleh masyarakat yang menjadi sasarannya. Seturut dengan alir nalar tersebut, maka jelas kenyataan tersebut kiranya teramat absurd dan sulit diterima akal sehat, karena memang nirlogis. Bagaimana dapat difamahi, bahwa iklan yang dimuat dalam media massa cetak Indonesia, berbahasa Indonesia, disebarluaskan atau diperuntukkan bagi khalayak sasaran atau masyarakat Indonesia, yang notabene juga kesadaran berbahasa yang dimilikinya adalah bahasa Indonesia atau berbagai bahasa daerah atau etnis itu, direpresentaskan dengan penanda verbal yang hegemonik berupa Bahasa Inggris. Secara logis, dapat dikatakan bahwa iklan-iklan kategori demikian akan sulit ditangkap dan diterima oleh masyarakatnya. Akan tetapi, itulah realitasnya wacana yang menghampar dalam wajah dan sekujur tubuh dalam dunia periklanan di Indonesia, fenomena ke-‘Inggris-inggris’-an telah menjadi pemandangan yang 60 sulit untuk dielakkan. Dalam konteks ini, seolah ada semacam pengakuan dan penegasan, bahwa yang dinamakan dengan Bahasa Inggris itu mempunyai derajat atau kasta yang lebih tinggi, jika dibandingkan dengan bahasa nasional kita, yakni Bahasa Indonesia. Atau juga jika dibandingkan dengan pelbagai bahasa daerah yang tersebar di seluruh nusantara, sehingga dalam periklanan bahasa Inggris menjadi satu obsesi tersendiri, meskipun mungkin tidak dimengerti. Persoalan perihal obsesi terhadap penggunaan bahasa asing, yakni bahasa Inggris ini, jika diamati lebih luas bukan hanya merupakan persoalan khas dalam konteks wacana periklanan, melainkan juga telah menjangkiti hampir di semua sistem pranata yang luas dan kompleks dalam kebudayaan masyarakat Indonesia modern kekinian. Bahasa Indonesia dan juga bahasa-bahasa daerah yang banyak tersebar di seantero nusantara ini, kian hari tampak kian tersudutkan. Fenomena ini kiranya merupakan sebuah kenyataan yang amat memperihatinkan, terutama jika dikaitkan dengan diskursus tentang ke-Indonesia-an. Dalam kajian perihal signifikansi jalinan antara bahasa dalam konteks nasionalisme ke-Indonesia-an, kiranya perlu sedikit dirunut terlebih dahulu perihal peranan penting dan strategis bahasa, dalam kaitannya dengan sesuatu hal yang amat mendasar, yakni eksistensi manusia itu sendiri. Bahasa bisa dikatakan merupakan kodrat kedua dari manusia, di samping kodrat kemanusiaannya sebagai kodrat pertama (Fransiskus Borgias, 1993:361). Keberadaan bahasa dapat dikatakan sebagai unsur yang sangat penting dan bahkan esensial dalam kehidupan manusia. Membincang tentang manusia, tentu juga tak dapat dipisahkan dari perbincangan tentang bahasanya, atau manusia yang berbahasa. 61 Dengan demikian, soal bahasa adalah soal manusia. Bahasa, dapat dikatakan sebagai mekanisme yang harus ada demi kehidupan manusia (John C. Concon Jr., 1981:7). Oleh karena sedemikian erat dan pentingnya hubungan antara manusia dan sistem bahasanya, tidak mengerankan manakala dalam filsafat, ada yang memandang bahwa filsafat itu sebagai analisis bahasa (K. Bertens, 1983:18). Dengan kepemilikan bahasanya, membuat manusia mampu melakukan tiga hal yang sangat esensial-eksistensial dalam hidupnya sebagai manusia. Pertama, bahasa membuat manusia mampu berkomunikasi dan berbagi pengalaman dengan orang lain. Pengalaman ini harus diartikan secara luas: perjumpaan dengan apa pun yang ada di ‘alam’ tempat manusia meng-alam. Kedua, bahasa merupakan landasan utama bagi manusia untuk menata gambarangambaran mental internal yang dimilikinya, dalam sebuah proses yang disebut berfikir. Organisasi-pemikiran yang mewujud dalam bentuk bahasa ini, merupakan kerangka kerja penting bagi kemampuan manusia untuk melakukan proses kreasi. Ketiga, bahasa memungkinkan manusia dan atau masyarakat terlibat dalam proses transformasi dan atau perubahan sosial. Bahkan serangkaian dinamika dan proses transformasi serta perubahan sosial yang terjadi dalam sebuah masyarakat, akan memperoleh dayanya, hanya ketika dibingkai dengan menggunakan sarana bahasa. Tanpa bahasa, formulasi suatu transformasi dan atau perubahan sosial dalam sebuah komunitas masyarakat, adalah sesuatu yang tidak mungkin untuk dilakukan (Borgias, 1993:362). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa bahasa menjadi salah satu komponen penting dalam kaitannya dengan keberadaan manusia beserta 62 kebudayaananya dalam suatu masyarakat, yang disebabkan fungsi dan peran strategis yang disandangnya, yakni sebagai medium komunikasi antarsesama anggota masyarakat. Proses komunikasi dengan menggunakan bahasa tersebut, dalam taraf selanjutnya yang lebih tinggi, kemudian menghasilkan sebuah kesadaran kultural kolektif, yang dikenal dengan istilah social self (Alo Liliweri, 2005:154). Bahasa, dalam makna ini menjadi variabel penting dan strategis bagi eksistensi keseluruhan kinerja dan praksis kesadaran kebudayaan suatu masyarakat (Leonard Bloomfield, 1983:43). Paralel dengan konstruksi pemaknaan tersebut, maka jika istilah masyarakat itu kemudian dikontekstualisasikan dalam makna sebuah bangsa, kiranya pemahaman akan alir nalar ini juga dapat dirajut dan dimaknai secara kongruensi. Artinya, bahasa juga menjadi salah satu variabel dan pilar vital bagi sebuah bangsa. Makna dari posisi dan peran penting itu, bukan hanya dan sematamata dalam konteks kaitannya dengan fungsi komunikatif antarsesama warga bangsa yang bersangkutan, melainkan lebih dari itu adalah terutama sebagai medium penting pengonstruksi apa yang diistilahkan sebagai kesadaran dan identitas sebuah bangsa. Ketika menyoal perihal konsep sebuah bangsa, kiranya ada gagasan klasik yang amat menarik yang pernah ditawarkan oleh Anderson. Dalam pandangan Anderson, nation (bangsa) itu, sebenarnya tak lebih sebagai ‘sesuatu yang terbayang’, imagined (Benedict Anderson, 2002:8). Namun pemaknaan ‘yang terbayang’ itu tentunya perlu mendapatkan penegasan yang ketat, bahwa ia bukan ‘imajiner’. Anderson memaknai konsep bangsa, sebagai sesuatu yang ‘terbayang’, 63 karena setiap para warga atau anggota bangsa itu, sebenarnya tidak banyak mengetahui atau tidak mengenal sebagian besar anggota lain, tidak salaing bertatap muka, bahkan mungkin tidak pernah mendengar tentang mereka. Namun toh, di benak setiap orang yang menjadi anggota sebuah bangsa itu, hidup sebuah bayangan tentang kebersamaan mereka (Anderson, 2002:8). Dengan demikian, suatu bangsa dapat terbentuk, jika keseluruhan warga dalam suatu komunitas itu, mau menetapkan diri sebagai suatu bangsa yang mereka angankan atau bayangkan. Fenomena tersebut dapat direalisasikan manakala setiap warga komunitas yang bersangkutan, mampu melampaui kompleksitas konstruksi keberagaman perbedaan yang mereka miliki, baik itu terkait dengan etnisitas, adat-istiadat, bahasa, kepercayaan, dan lain sebagainya, untuk kemudian dikonstruksi suatu orientasi nilai-nilai-nilai baru yang dicitacitakan secara bersama. Seturut dengan pandangan ini, maka nasionalisme itu didefinisikan sebagai: “Loyalty to the nation above and beyond individual differences” (Joanna Sullivan, 2001:71), atau “A projection of individual diversity onto a collective narrative” (Tara Brabazon, 2001). Nasionalisme, dengan demikian menekankan pentingnya homogenitas, di atas heterogenitas dari sebuah komunitas. Dalam kata-kata Gellner (2008:44), “Nationalism insists upon homogeneity”. Komitmen dan keinginan untuk mengikatkan diri dalam komunitas bangsa atau keinginan untuk bersatu inilah, yang akhirnya mengantarkan lahirnya rasa dan jiwa kesetiaan yang tinggi pada nation state (negara kebangsaan), atau yang kerap dikenal dengan istilah nasionalisme. Dengan nasionalisme ini, bahkan banyak warga suatu negara 64 kebangsaan itu rela mengorbankan jiwa-raga, demi untuk membela bangsa dan negara mereka. Alir nalar inilah yang kemudian segera mengantarkan pemahaman dialektis yang tak mungkin terhindarkan antara keberadaan bahasa, bangsa, berikut konstruksi identitas yang dinamakan dengan nasionalisme yang ada di dalamnya. Bahasa bahkan dapat dikatakan sebagai salah satu pilar terbesar bagi konstruksi dan eksistensi identitas sebuah bangsa. Dalam kata-kata Leigh Oakes (2001:2), “Languages is considered of the greatest importance for a nation's identity”. Oleh karena itulah, membincang perihal eksistensi sejarah sebuah masyarakat, bangsa, beserta segala atribusi identitas nasional dan pelbagai domain nasionalisme yang melekat di dalamnya, nyaris tak dapat dielakkan kaitan diskursusnya dengan eksistensi dan peran bahasa yang dimilikinya (John Myhill, 2006:6). Salah satu cara yang paling dasar, untuk menentukan identitas kita dan untuk mempengaruhi cara orang lain memandang diri kita, adalah lewat cara kita menggunakan bahasa (Joanna Thornborrow, 2007:223). Sejalan dengan hal itu, Gellner pernah mengungkapkan bahwa “Nationalism as had a truth value based on the reality of national culture which they associated with language” (Gellner, 2008:xvi). Atau kalau konsep dan pemahaman ini ditarik lagi jauh ke belakang, seorang filsuf Jerman pada abad ke-18, Johann Gottfried Herder, dalam essainya yang berjudul “On the Origins of Language” sebagaimana dikutip oleh Christof Demont-Heinrich (2005:67) juga sudah pernah meneguhkan tentang hal yang sama, dengan mengajukan satu tesis yang berbunyi, “That language and national consciousness are inseparable” (bahwa bahasa dan kesadaran nasional tidak dapat 65 dipisahkan). Seorang ahli filsafat bahasa asal Austria, Ludwig Wittgenstein, dalam bukunya Philosophische Untersuchungen yang terbit pada tahun 1958, sebagaimana diadaptasi Panggabean (1981:x-xi), terkait dengan persoalan pentingnya peranan bahasa dalam kaitannya dengan diskursus karakteristik kebudayaan suatu masyarakat, jauh-jauh hari juga sudah mengemukakan, bahwa bahasa yang dipergunakan oleh setiap kelompok masyarakat atau bangsa itu sudah tersirat suatu ‘orientasi hidup’ yang khas atau apa yang disebut dalam bahasa Jerman sebagai weltanschauung. Orientasi hidup ini, bukan saja mencakup konsep-konsep yang mengenai alam sekitar, melainkan juga aneka kompleksitas yang menyangkut perasaan, kepercayaan, nilai-nilai, bahkan takhyul-takhyul yang dimilikinya, yang pada prinsipnya adalah representasi yang akan menjadi penanda identitas ideologis yang khas dari kebudayaan yang mereka miliki, yang kerapkali Oleh karena itu merupakan kenyataan yang memperihatinkan kiranya ketika melihat hegemoni bahasa Inggris dalam wacana estetika periklanan sebagaimana dimaksud, yang secara tansadar bersinggungan erat dengan persoalan nasionalisme ke-Indonesia-an. 2. Dimensi Obesei terhadap Ketubuhan Barat Persoalan kedua terkait dengan hegemoni estetika postkolonial dalam representasi iklan di media massa cetak Indonesia tahun 2007-2010 adalah dimensi obsesi terhadap ketubuhan Barat. fenomena ini sebenarnya juga menjadi persoalan yang relatif sama dalam iklan di media massa yang lain, misalnya elektronik. Obsesi terhadap sosok ketubuhan Barat dalam iklan sebagaimana 66 dimaksud, difungsikan sebagai salah satu elemen penanda penting dalam iklan, yakni sebagai ilustrasi, baik untuk mengiklankan produk barang maupun jasa dalam kategori maupun jenisnya yang amat banyak. Di samping itu, penggunaan model Barat sebagai ilustrasi iklan itu, cakupannya juga luas, baik terkait dengan kategori gender perempuan maupun laki-laki, maupun berdasarkan kategori usia, yang mencakup baik bayi, anak-anak, remaja, maupun orang dewasa. Beberapa representasi penanda dan petanda estetikanya dalam konteks iklan di media massa cetak Indonesia tahun 2007-2010, khususnya yang terdapat dalam majalah yang menjadi sasaran penelitian ini dapat dilihat pada gambar-gambar berikut. Gambar 7. Sosok Perempuan Barat sebagai Model Ilustrasi Iklan untuk Produk Lipstik Merk Revlon. (Sumber: Majalah Femina, Edisi 3-9 Juli 2008, Halaman 7) Iklan yang terdapat dalam gambar 7 di atas adalah untuk menawarkan salah satu produk lipstik atau pewarna bibir merk Revlon. Representasi iklan tersebut dapat dikatakan cukup sederhana atau tidak kompleks sistem panandanya. Yang tampak cukup menonjol adalah ilustrasi piktorial yang digunakannya, yakni 67 wajah seorang perempuan yang disajikan secara close up, terutama pada bagian bibirnya yang memakai lipstik berwarna merah yang ronanya tampak agak mengkilat dan ‘basah’. Iklan tersebut juga disertai sajian teks verbal yang juga sederhana berupa headline kecil, dan tampak tidak menyolok, yakni berupa katakata Mix & Mingle Lip Pallete. Di samping itu, juga ada istilah new, yang hendak menyampaikan pesan bahwa produk yang diiklankan tersebut adalah baru, serta kata-kata Revlon Limited Edition Collection, sebagai penegasan merk berikut produknya yang dibuat terbatas. Yang menjadi persoalan dalam konteks ini adalah, bahwa sosok yang dijadikan model ilustrasi dari iklan tersebut adalah orang Barat. Meskipun gambaran wajah atau apalagi tubuh sang model tersebut tidak disajikan secara utuh, namun secara sekilas akan dapat dilihat, bahwa model tersebut adalah sosok yang berasal dari Barat, misalnya tampak dari bentuk wajahnya dan warna rambutnya yang pirang atau blonde. Gambar 8. Sosok Perempuan Barat (Artis Jessica Alba) sebagai Model Ilustrasi Iklan untuk Produk Pengharum Badan Merk Rexona. (Sumber: Majalah Femina, Edisi 17-23 April 2008, Halaman 47) 68 Demikian juga halnya dengan iklan untuk produk pengharum badan atau lebih tepatnya pengharum ketiak sebagaimana yang terdapat pada gambar 8 di atas, juga menggunakan sosok model sebagai ilustrasinya, yang jelas-jelas orang Barat. Selain dari indikator dari konstruksi wajahnya yang cukup khas terutama hidungnya yang amat mancung, matanya yang berwarna kebiru-biruan, juga rambutnya meski tampak sebagian, nampak jelas berwarna pirang, juga yang pasti adalah sosok model tersebut adalah seorang artis atau bintang film Hollywood dari Amerika Serikat yang cukup terkenal, yakni Jessica Alba. Di pojok kanan bawah, meski dalam ukuran yang tak terlalu besar, ilustrasi piktorial iklan ini juga dilengkapi dengan gambar produk yang diiklankan. Ilustrasi yang lain, adalah gambar seekor kambing yang dibuat secara kartunis, yang ditempatkan pada ketiak kiri sang model, yang sengaja ditampakkan terbuka, dengan mengangkat tangannya. Iklan ini juga disertai dengan headline berbahasa Indonesia berbunyi ‘jangan biarkan bau badan mengganggu penampilanmu’. Gambar 9. Sosok Perempuan dan Laki-laki Barat (Jenni dan Kimi Raikkonen) sebagai Model Ilustrasi Iklan untuk Produk Kacamata Merk Tagheuer, dari Optik Tunggal. (Sumber: Majalah Tempo, Edisi 30 Juni-6 Juli 2008, Halaman 5) 69 Iklan untuk produk kacamata dari Optik Tunggal, bermerk Tagheuer yang terdapat pada gambar 9 di atas, kebetulan dengan menggunakan ilustrasi modelnya dua orang, yakni sosok perempuan dan laki-laki, namun dengan jelas dan sama dengan iklan-iklan lain sebelumnya, yakni bersosok Barat. Sosok model perempuannya bernama Jenni adalah pasangannya model laki-lakinya yang bernama Kimi Raikkonen. Terlepas dari kemungkinan alasan penggunaan sosok tersebut misalnya terkait dengan pretasi internasionalnya, terutama Raikkonen sebagai juara balap mobil Formula 1 tahun 2008, yang tak teringkari adalah karena daya tariknya sosok tersebut yang berlatar belakang keturunan ras Barat. Gambar 10. Sosok Perempuan dan Laki-laki Barat sebagai Model Ilustrasi Iklan untuk Produk Buku Pelajaran Kreativitas bagi Anak-anak Terbitan Penerbit Erlangga. Sumber: Majalah Kartini, Edisi 14-28 Mei 2009, Halaman 129. Gambar 10 di atas adalah iklan untuk produk buku, khususnya serial tentang materi pelajaran keterampilan atau kreativitas kreativitas untuk anak-anak, terbitan Erlangga Kids. Hal itu tampak dari ilustrasi berupa display beberapa buku yang tampak sampul depannya misalnya berjudul ‘Kreasi Kartu Atraktif’; ‘Perhiasan Unik’; ‘Kostum Kreatif’; ‘Kamar Tidur Impian’; serta ‘Hadiah 70 Menawan’, yang disertai juga dengan ilustrasi gambar sampul buku dan pilihan hurufnya yang unik, khas untuk anak-anak. Di samping gambar sampul bukubuku tersebut, ilustrasi utama dalam iklan ini adalah tetap juga menggunakan model, yakni berupa sosok seorang ibu dan anaknya, yang tampak juga berasal dari Barat. Struktur wajah baik ibu maupun anaknya yang tampak khas Barat, misalnya dari bentuk hidungnya, serta juga warna rambut keduanya yang juga pirang. Dalam ilustrasi yag diletakkan di sudut kiri atas tersebut, tampak gambaran seorang ibu yang duduk asyik sambil memangku anaknya, sedang mengajari membuat suatu benda kerajinan atau keterampilan berbahan baku dari sejenis benang tertentu. Berdasarkan data-data iklan sebagaimana yang terdapat dalam gambargambar tersebut di atas, dapat diungkapkan bahwa persoalan daya tarik ketubuhan Barat, merupakan salah satu realitas yang juga amat menonjol dalam representasi estetika iklan, bukan hanya terjadi dalam media massa cetak sebagaimana yang menjadi fokus terbatas penelitian ini, melainkan jika dicermati juga menjadi pemandangan yang sama dalam iklan media massa elektronik, terutama televisi. Dalam konteks ini, sosok ketubuhan Barat atau yang mempunyai hubungan darah dengan ras Barat seolah menjadi semacam obsesi tersendiri dalam tradisi dan kultural Indonesia, sebagai bangsa yang termasuk dalam ketegori Timur, yang notabene secara kodrati jelas memiliki pelbagai konstruksi ketubuhannya yang berbeda. Persoalan dimensi obsesi terhadap ketubuhan Barat ini kemudian jika dicermati lebih jauh lagi, sebenarnya hanya merupakan bagian refleksi kecil dari persoalan ‘kegilaan’ akan ketubuhan Barat dalam arti yang luas 71 dalam kebudayaan Indonesia. Dapat diandaikan, ia hanyalah bagian kecil dari sejenis puncak kepundan dari teori gunung es yang tampak menyembul ke permukaan, sementara bagian yang tak terlihat di permukaan jauh lebih besar lagi. Hal tersebut dapat dengan mudah diverifikasi dalam banyak ranah representasi kebudayaan Indonesia, apalagi jika ditelusur dalam konteks kaitannya dengan latar representasi kebudayaan massa, dengan segala jenis dan variannya. Untuk menyebut di antaranya adalah yang terjadi dalam dunia hiburan, seperti film dan sinetron misalnya, betapa yang dinamakan sosok Barat akan tampak demikian mendominasi di hampir semua tayangan yang ada. Secara faktual, sosok-sosok ketubuhan Barat dalam konteks diskursus ruang-ruang tersebut, kerap atau bahkan niscaya ditempatkan dalam posisi dan peran yang utama, sehingga akan menjadi point of view/centre of interest/emphasize. Dalam terminologi wacana periklanan hal ini diistilahkan sebagai eye cathing atau eye cather, yang mempunyai daya tarik pesona atau daya pukau yang luar biasa di masyarakat. Fenomena tersebut jika ditilik dari perspektif estetika, secara tansadar ada semacam pengakuan atau pengharagaan yang lebih terhadap sosok manusia dengan pelbagai atribusi penanda fisiknya yang khas Barat, misalnya berupa kulit putih, hidung mancung, mata biru, serta rambut pirang. Padahal mestinya, pelbagai komponen penanda fisik tersebut mestinya bermakna netral. Artinya konstruksi pemahaman tentang ciri-ciri fisik, misalnya warna kulit putih itu, yang seolah secara tak langsung dianggap lebih baik dibanding dengan warna selain putih, misalnya hitam, coklat, kuning, atau sawo matang, jelas merupakan 72 persoalan serius dalam konteks estetika. Demikian juga halnya dengan penanda warna biji mata yang kebiru-biruan atau rambut yang pirang, yang dianggap sebagai hal yang lebih baik dibanding dengan warna biji mata yang hitam pekat atau rambut yang berwana hitam, sama bermasalahnya dalam perspektif estetis. Semua penanda tersebut mestinya mempunyai peluang yang sama sebagai sistem tanda yang berujung pada pengharagaan, entah baik atau kurang baik. Namun yang terjadi dalam persoalan ini adalah, ada semacam kesadaran— yang sudah sampai kategori tak sadar—bahwa pelbagai perbedaan penanda tersebut menjadi alat untuk mengkategori keindahan atau ketakindahan sebuah karya. Dalam konteks periklanan sebagaimana yang direpresentasikan di atas, jelas bahwa pelbagai penanda yang berasal dari bangsa ras keturunan Barat, yang difungsikan sebagai ilustrasi utama, dijustifikasi sebagai semacam garansi untuk kualitas keestetisan karya. Sementara itu sebaliknya, penanda-penanda di luar kesadaran itu tak pernah menjadi hitungan yang penting dan strategis secara estetis. Format dan kesadaran akan estetika yang seperti itulah, kemudian tanpa disadari menghadirkan kesadaran estetika yang bersinggungan keras dengan salah satu persoalan kemanusiaan yang amat mendasar, yakni rasisme. Atau dalam ungkapan lain dapat disampaikan, bahwa fenomena representasi estetika sebagaimana yang terdapat dalam iklan-iklan tersebut di atas dapat dimaknai sebagai sebentuk ‘estetika rasisme’ (racism aesthetics). Estetika rasisme dapat diberikan pemaknaan sebagai sebentuk sebagai sebentuk faham dalam penghadiran atau representasi karya seni yang domain keindahan atau estetikanya 73 mengeksploitasi penanda dan petandan yang bersinggungan dengan konsep rasisme, yakni membedakan manusia berdasarkan asal-usul atau genealogi rasnya. Oleh karena itulah, terkait dengan persoalan representasi estetika periklanan di media massa cetak Indonesia kekinian, yang amat dihegemoni oleh domain obsesi terhadap ketubuhan Barat sebagaimana dimaksud di atas, kiranya merupakan sebuah realitas yang amat memperihatinkan, dan artinya pula amat mendesak memerlukan revitalisasi yang lebih mencerahkan. 3. Dimensi Obsesi terhadap Ketubuhan Indo Persoalan ketiga, yang tak kalah menonjol dan dominan dalam wacana periklanan di media massa Indonesia tahun 2007-2010, baik dalam konteks media massa cetak maupun elektronik, adalah domain obsesi terhadap ketubuhan Indo. Persoalan ini, sebenarnya dapat dikatakan sebagai sebentuk fenomena turunan dari obsesi ketubuhan Barat itu sendiri. Hal ini, paling tidak jika dilihat dari makna dari istilah Indo, yang menunjuk pada sesorang yang identitas biologisnya berasal dari keturunan hasil perkawinan campur antara orang Indonesia dan Barat. Obsesi terhadap sosok ketubuhan Indo dalam iklan sebagaimana dimaksud, juga difungsikan sebagai salah satu elemen penanda penting dalam iklan, yakni sebagai ilustrasi, yang mempunyai kekuatan atau daya eye catching yang tinggi. Beberapa representasi penanda dan petanda estetikanya dalam konteks iklan di media massa cetak Indonesia 2007-2010, dapat dilihat pada gambargambar berikut. 74 Gambar 11. Sosok Indo Nadya Hutagalung sebagai Model Ilustrasi Iklan Produk Hand & Body Lotion Merk Natural Honey. (Sumber: Majalah Femina, Edisi 5-11 September 2009, Halaman 57) Gambar 11 di atas adalah representasi iklan untuk produk kosmetik perawatan kulit atau hand & body lotion yang bermerk Natural Honey. Yang menjadi fokus perhatian dalam konteks ini adalah model yang dijadikan ilustrasinya tersebut, yakni bernama Nadya Hutagalung. Ia adalah model Indo keturunan Batak (Indonesia) dan Australia, yang lahir di Sydney Australia, pada tanggal 28 Juli 1974. Ia memulai karier modellingnya di usia 12 di Tokyo, Jepang. Ketika MTV Asia mulai mengudara dari Singapura di tahun 1995, ia termasuk salah satu VJ (Video Jockey) pertamanya. Saat ini ia tinggal di Singapura. Dalam ilustrasi iklan yang hampir keseluruhan didominasi warna kuning keemasan yang mirip warna madu—yang mungkin sengaja disamakan konotasinya dengan makna merk kosemetik yang ditawarkan ini, yakni ada istilahnya ‘honey’—tersebut, Nadya ditampilkan dalam ukuran yang cukup besar, dengan posisi berdiri tampak 75 dari samping kirinya. Dengan menggunakan gaun yang berwarna seperti warna madu juga, yang punggungnya tampak terbuka, wajahnya menatap ke arah samping kiri dengan tampak anggun. Iklan ini dilengkapi headline yang berbunyi: feel the nature on your skin. Gambar 12. Sosok Indo Wulan Guritno sebagai Model Ilustrasi Iklan Produk Pelembab Kulit Merk Inez. (Sumber: Majalah Femina, Edisi 5-11 September 2009, Halaman 111) Representasi iklan dalam gambar 12 di atas, adalah untuk menawarkan produk kosmetik perawatan wajah dan kullit perempuan dengan merk Inez. Penanda iklan ini juga mengandalkan kekuatan ilustrasi utamanya, berupa penggunaan sosok model, yakni artis Indo Wulan Guritno. Wulan Guritno adalah artis kelahiran London, Inggris pada tanggal 14 April 1980, berdarah campuran Jawa, tepatnya Solo-Inggris. Sebagai artis Indo, nama Wulan Guritno cukup terkenal sebagai bintang film, sinetron, iklan, serta presenter. Oleh karenanya tak 76 mengeherankan jika sosoknya difungsikan sebagai daya tarik penanda utama dalam iklan ini. Dalam iklan ini, Wulan ditampilkan tidak secara seluruh badan, melainkan pada sebagian tubuh, terutama wajahnya yang tampak cantik dan berkulit bersih, indah, beseri, yang dihadirkan secara close up. Ilustrasi pendukung yang ditampilkan dalam iklan ini adalah berupa gambar produk kosmetik yang ditawarkan, yang diletakkan di pojok kanan bawah. Sementara itu, untuk identitas merk produk ini ditempatkan di sudut kanan atas, yang dilengkapi dengan logo serta jargon produk ini, yakni more than beauty. Iklan ini juga dilengkapi headline yang berbunyi: ‘Wajah Cantik Alami, Kulit Indah Berseri’. Gambar 13. Sosok Indo Christian Sugiyono sebagai Model Ilustrasi Iklan Produk Obat Flu Merk Neozep Forte. (Sumber: Majalah Tempo, Edisi 25-21 Maret 2010, Halaman 93) Gambar 13 di atas adalah iklan untuk produk obat sakit flu dengan merk Neozep Forte. Iklan ini juga mengandalkan kekuatan daya tarik ilustrasinya, yang 77 dalam hal ini adalah sosok seorang model artis laki-laki Indo, yakni Christian Sugiyono. Christian Sugiono lahir di Jakarta, 25 Februari 1981, dengan memiliki darah keturunan Jerman-Jawa-Pontianak. Ibunya adalah orang Jerman, sementara ayahnya dari Indonesia. Selain sebagai bintang iklan ia dikenal juga sebagai artis film, sinetron, dan model fashion. Karena kepopulerannya, Christian pernah berperan sebagai ‘Duta Pengetahuan Bebas’ (2009) yang menjadi program Departemen Komunikasi dan Informatika dan ‘Duta Microsoft Windows 7’. Dalam representasi iklan ini, Sugiyono diilustrasikan dengan gagah dan tegapnya seolah sedang meghalau sakit flu, dengan cara memukul idiom komponen sakit flu yang digambarkan dengan gumpalan-gumpalan yang nyaris berantakan bertuliskan bersin-bersin, demam, sakit kepal, dan hidung terseumbat. Headline iklan ini berbunyi ‘Neozep Forte, Aksi Forte Atasi Flu’. Sementara itu identitas merk sekaligus gambar produk obat ini ditempatkan di sudut kiri bawah. Gambar 14. Sosok Indo Nicholas Saputra sebagai Model Ilustrasi Iklan Film Nasional Berjudul 3 Hari untuk Selamanya. (Sumber: Majalah Tempo, Edisi 4-10 Juni 2007, Halaman 71) 78 Iklan yang terdapat pada gambar 14 di atas adalah untuk menawarkan produk berupa film nasional dengan judul 3 Hari untuk Selamanya. Dalam iklan tersebut sosok model yang dijadikan ilustrasi utamanya dan sekaligus juga menjadi pemeran bintang atau aktor utama laki-lakinya adalah Nicholas Saputra. Ia lahir di Jakarta, 24 Februari 1984, dan berasal dari darah keturunan JawaJerman. Dalam potongan film yang disajikan dalam tiga frame yang ditata dari atas ke bawah tersebut, tampak sosok Nicholas disajikan lebih dominan, jika dibandingkan dengan partner perempuannya dalam film itu, yakni Adinia Wirasti. Hal ini tampak misalnya pada sajian frame ketiga atau paling bawah, yang wajah Nicholas ditampilkan dalam posisi yang tampak lebih besar sehingga lebih mengundang perhatian, jika dibandingkan dengan wajah Adinia di sampingnya, yang tampak lebih kecil. Selain mengiklankan film, iklan ini juga sekaligus iklan dari rokok bermerk A Mild—sebagai sponsor utama film ini—yang ditampilkan pada bagian tengah atas bidang iklan ini. Headline iklan ini sekaligus juga judul film yang diiklankan. Sementara itu, untuk sajian subheadline-nya, cukup sederhana yakni hanya berupa sajian informasi tentang film tersebut yang akan di putar terbatas hanya di 4 kota, mulai tanggal 8 Juni 2007. Berdasarkan data-data sebagaimana telah disajikan pada gambar-gambar tersebut di atas, dapat diungkapkan bahwa betapa sososk ketubuhan Indo— sebagaimana halnya dengan sosok ketubuhan Barat—juga difungsikan dalam iklan sebagai salah satu elemen daya tarik yang utama (eye catching), yakni sebagai model untuk ilustrasinya. Oleh karena konsep dari domain ketubuhan 79 Indo merupakan turunan dari konsep ketubuhan Barat, maka ciri-ciri atau karakteristik yang melekat pada penanda fisik dari domain ketubuhan Indo, juga relatif sama dengan karakteristik penanda fisik yang terdapat dalam ketubuhan Barat, misalnya struktur atau bentuk wajahnya, bentuk hidung yang cenderung mancung, warna rambutnya yang cenderung mengarah ke blonde, dan juga warna kulitnya yang cenderung putih. Sebagaimana yang terdapat pada persoalan obsesi terhadap ketubuhan Barat, maka obsesi terhadap ketubuhan Indo ini dapat disebutkan juga mengundang porsoalan yang serius. Hal ini dikarenakan hakikat eksistensi yang namanya sosok insan, direduksi amat absurd, yakni semata-mata dalam dimensi fisik ketubuhannya. Salah satu tafsir atas obsesi atau ‘kegilaan’ terhadap ketubuhan Indo ini akhirnya juga berujung pada domain rasisme, yakni menyangkut konstelasi politik kulturasi pembedaan dan bahkan pendiskriminasian secara hierarkhis, hakikat derajat dan harkat kemanusiaan seseorang, yang didasarkan semata-mata pada domain fisik yang artifisial. Dalam kultur rasisme ini, karenanya mengenal hubungan ketaksetaraan, di mana di satu pihak dimaknai sebagai yang superior, sementara di pihak lain, sebagai inferior. Dalam konteks ini, dalam sejarahnya yang sangat panjang, makna superior itu senantiasa melekat (atau tepatnya dilekatkan) secara kultural pada kelompok manusia yang berjenis ras putih Kaukasoid-Arya, atau kelompok manusia Barat Eropa dan Amerika. Sebaliknya, untuk yang berkategori makna inferior adalah dilekatkan secara kultural pada kelompok ras dengan kategori ‘kulit berwarna’, terutama yang berada di Afrika, Asia, dan juga sebagaian 80 Amerika (terutama kawasan Amerika Latin), dan juga sebagian Australia (terutama untuk kelompok penduduk asli bangsa Australia, yakni suku Aborigin). Berdasarkan kanyataan itulah, maka domain obsesi terhadap ketubuhan Barat atau minimal Indo ini, khususnya dalam dunia dan atau wacana estetika periklanan, maupun dalam konteks lainnya yang lebih luas, dapat disimpulkan sebanarnya jika ditilik dari perspektif kultur ke-Indonesia-an jelas merupakan sebuah fenomena yang amat memperihatinkan, sehingga amat mendesak dan menuntut kedalaman perhatian. 4. Dimensi Obsesi terhadap Ketubuhan Kulit Putih Barat Persoalan keempat terkait dengan representasi estetika iklan di media massa cetak tahun 2007-2010, yang juga menunjukkan kecenderungan hegemoniknya adalah dimensi obsesi terhadap ketubuhan, khususnya kulit putih atau ke-putih-an (whiteness). Fenomena tersebut merupakan derivat lebih jauh dari varian tentang dimensi obsesi terhadap ketubuhan Barat, sebagaimana yang telah disajikan pada persoalan pertama di atas. Sebagaimana halnya dengan persoalan dimensi obsesi terhadap ketubuhan atau sosok yang berasal dari Barat, fenomena hegemonik tentang pesan kulit putih tersebut, tidak hanya terjadi dalam ranah dan konteks dunia periklanan di media massa cetak semata, melainkan juga menjadi pemandangan yang cukup khas dalam iklan di media massa yang lain, yakni eletronik, terutama lagi yang ada di televisi. Di samping itu, pesan tentang pengidolaan kulit putih tersebut, juga banyak menjadi pemandangan dalam sajian iklan-iklan yang termasuk dalam 81 kategori luar ruang, yang dicetak dan dipasang di pelbagai tempat strategis, baik di pinggir-pinggir perempatan atau sudut jalan-jalan besar maupun gedunggedung di perkotaan. Bahkan dalam konteks yang lebih luas lagi, persoalan tersebut juga menjadi pemandangan yang khas, terutama dalam konteks kaitannya dengan ranah industri hiburan yang berbasiskan budaya massa, misalnya film atau sinetron. Dalam fakta keseharian menunjukkan betapa para artis atau bintang film maupun sinetron dalam kebudayaan Indonesia modern itu, kebanyakan tafsir yang cukup mengedepan terkait keberadaannya banyak disandarkan pada analisis ketubuhannya secara fisik, yakni di samping cantik adalah berkulit putih. Baik terminologi cantik maupun kulit putih sebagaimana dimaksud, tentunya adalah mengacu pada ukuran-ukuran sebagaimana yang dimiliki oleh ras Kaukasoid Barat. Ada dua hal yang perlu disampaikan dalam kaitannya kajian untuk konteks obsesi terhadap ke-putih-an ini. Pertama, bahwa fenomena ini ‘korbannya’ banyak atau hampir semua menimpa kaum perempuan, sehingga kajiannya sedikit banyak akan bersinggungan dengan ideologi gender, meskipun persoalan tersebut bukan menjadi fokus kajian ini. Kedua, oleh karena persoalan ini terkait dengan ranah kulit, maka diskursus persoalan ini hampir semua terkait dengan fenomena iklan untuk produk-produk kosmetik. Produk-produk kosmetik yang diiklankan tersebut, jenis dan jumlahnya sangat banyak, baik yang berasal dari dalam negeri maupun luar negeri. Oleh karena itu, kajian data dan pembahasan dalam konteks ini akan disajikan berbagai varian jenis dan produk kosmetik yang ditawarkan 82 melalui iklan, untuk semakin menegaskan dan meneguhkan, bahwa betapa terminologi perihal ke-putih-an itu, memang benar-benar manjadi semacam obsesi yang luar biasa yang menghegemoni kesadaran atau bahkan ketaksadaran kultural kita, bangsa Indonesia ini. Sebagaimana diketahui, bangsa-bangsa Timur, khususnya lagi yang berada di kawasan Asia, kecenderungan warna kulit sebagai kodrat yang terberikan dari Tuhan itu adalah kuning atau cokelat, dengan pelbagai varian istilah yang menyertainya, termauk misalnya ‘kuning langsat’, atau kalau dalam budaya Jawa dikenal istilah ‘sawo matang’; sebuah warna yang basisnya adalah cokelat atau kinung, dan bukannya putih. Namun, di situlah persoalannya, putih sebagai salah satu simbol utama dari ras Barat, kenyataannya telah menghegemoni dan menggantikan terminologi estetika warna kulit, yang secara kodrati sebenarnya berbeda dan plural, menjadi satu konsep yakni putih yang tunggal dan universal. Adapun beberapa representasi penanda dan petanda estetikanya terkait dengan dimensi obsesi terhadap ketubuhan atau kulit putih atau ke-putih-an dalam konteks iklan di media massa cetak Indonesia tahun 2007-2010, yang menjadi fokus penelitian ini dapat dilihat pada gambar–gambar berikut. 83 Gambar 15. Iklan Produk Pemutih Kulit Serial ‘Citra Sabun Cair’ dari Merk Citra. (Sumber: Majalah Femina, Edisi 18-24 Mei 2007, Halaman Sampul Belakang) Gambar 15 di atas adalah iklan untuk produk pemutih kulit, serial ‘Citra Sabun Mandi Cair’ dari merk Citra. Iklan tersebut menggunakan ikon ilustrasi utamanya seorang perempuan muda yang juga cantik—yang mungkin diasosiasikan sebagai putri kraton di Jawa—sedang melakukan adegan mandi. Dengan posisi duduk bersimpuh di lantai, perempuan tersebut hanya mengenakan selembar kain batik untuk kêmbên sebatas dada, serta ekspresi wajahnya menunduk, tangan kirinya ditekuk melintang tubuhnya sampai hampir di pundak kanannya, seolah sedang memperagakan mengusap tubuhnya dengan sabun, sementara tangan kanannya berada di atas paha. Tampak sekali sebagian tubuhnya yang putih mulus, terutama pada bagian atas dada, leher dan wajahnya. Dominasi harmoni warna cokelat, berupa kain batik, diinding kayu berukir di belekang, 84 lantai, maupaun jambangan besar tempat air, menambah kesan dalam tentang daya tarik ke-putih-an tubuh perempuan ini. Di depannya tampak kemasan produk sabun mandi cair tersebut dengan kemasan berwarna putih juga. Verbalitas iklan ini sederhana, dicetak kecil ukuranya, berada di atas dan bawah yang masingmasing terdiri dari satu baris kalimat: ‘Rahasia kecantikan masa lampau untuk perawatan kulit masa kini’; dan ‘ Citra sabun cair baru dengan ekstrak bengkoang putih alami’. Gambar 16. Iklan Produk Pemutih Kulit Serial ‘Citra HazelinWhite & Natural’ dari Merk Citra. (Sumber: Majalah Femina, Edisi 10-16 Mei 2007, Halaman 121) Iklan yang terdapat pada gambar 16 di atas adalah juga iklan untuk produk pemutih kulit tubuh dan wajah. Penanda piktorial utamanya, yakni berupa ilustrasi dengan menggunakan sosok perempuan muda yang cantik, yang tentunya adalah juga berkulit putih mulus. Sosok perempuan ditampilkan setengah badan, tampak 85 dari sisi tubuh bagian kanannya, wajah menoleh dan menatap dengan senyum cerianya. Tubuh putihnya yang mulus, yang tidak dibalut dengan baju, melainkan hanya dengan pakaian atau kaos dalam, yang tampak talinya bergaris putih tampak melekat di pundak dan punggungnya. Ilustrasi tambahan iklan ini yakni beripa gambar kemasan produknya, di sudut kanan bawah, yang juga dijajarkan dengan beberapa buah bengkoang yang sudah dikupas, sehingga tampak kelihatan putih bersih buahnya, yang seolah juga menegaskan tentang produk pemutih tubuh ini. Terkait dengan penanda verbalnya, idak ada headline dalam iklan ini, yang ada hanya identitas produk yang diletakkan di bagain paling atas, dalam ukuran yang cukup besar, berbunyi ‘Citra Hazeline White & Natural’; serta keterangan kandungan produk tersebut, yang diletakkan di bagian paling bawah, yang berbunyi: ‘kini diperkaya sari bengkoang untuk kulit tampak lebih putih alami’. Gambar 17. Iklan Produk Pemutih Kulit Serial ‘Nivea Whitening Body Lotion’ dari Merk Nivea. (Sumber: Majalah Femina, Edisi 23-29 November 2007, hlm. 17) 86 Demikian juga halnya dengan iklan yang terdapat pada gambar 17 di atas, juga menampilkan pesan putih yang cukup tegas dalam representasinya. Iklan kosmetik untuk kulit tubuh perempuan dengan merk Nivea dengan serial ‘Nivea Whitening Body Lotion’, penanda ke-putih-an tampak dari beberapa elemen pendukungnya, yakni mulai dari sosok model perempuan muda dan cantik sebagai ilustrator utamanya, yang sengaja ditampilkan dengan balutan pakaian yang amat minim, yakni hanya penutup dada dan memakai celana pendek, sehingga keputihmulusan tubuhnya demikian ditonjolkan. Kemudian, pesan putih juga dieksplisitkan dalam nama produknya, yang dalam hal ini yakni dari serial ‘Nivea Whitening Body Lotion’. Demikian juga halnya dengan pilihan warna secara keseluruhan dalam iklan ini, yakni biru muda cenderung putih cerah, seolah menegaskan pesan itu. Di samping itu juga adalah pilihan warna dari pananda tekstual, baik sebagai headline maupun subheadline dalam iklan ini yang sengaja menggunakan warna huruf putih, juga memberikan kesan yang cukup kuat atas tawaran produk pemutih kulit ini. Gambar 18. Iklan Produk Pemutih Kulit ‘Serial Shinzu’I Body Lotion’ dari Merk Shinzu’i. (Sumber: Majalah Femina, Edisi 25 September-1 Oktober 2010, Hlm. 101) 87 Untuk iklan yang terdapat dalam gambar 18 di atas adalah masih tetap dalam kaitannya dengan pengedepanan dimensi pesan kulit putih. Adapun untuk membangun citra atas pesan ke-putih-an atau kulit putih dalam iklan ini juga tetap mengandalkan kekuatan pada sosok model yang dijadikan sebagai ilustrasi utama. Dalam hal ini model sebagaimana dimaksud, adalah sosok perempuan muda dan kelihatan sangat cantik, tentunya dengan penampakan kulit tubuhnya yang demikian segar, cerah, dan putih bersih atau mulus. Sang model direpresentasikan dalam format close up, sehingga dengan jelas kelihatan kulitnya yang putih tersebut, terutama pada bagian wajah, leher, bahu, dan sedikit dada bagian atas, karena kebertulan model tersebut sengaja ditampilkan dengan pakaian yang amat terbuka, hingga bagian atas badannya, terutama bahu, leher, dan dada bagian atas jelas kelihatan. Demikian juga halnya dengan penegasan pada headline iklan ini, yang dirumuskan dengan ungkapan sederhana, yang ditulis di sudut kiri atas, yang berbunyi: ‘karena putih itu… Shinzu’I’, juga menegaskan tentang pesan kulit putih yanga sama. Hal lain yang juga semakin menguatkan pesan putih adalah, tampak dari gambaran benda-benda putih, yang tampak melayang di dekat gambar kemasan produk yang sengaja dibuka tutupnya itu. Kesan putih itu juga cukup kuat, terutama ketika iklan ini didukung dengan latar belakangnya yang berwarna hitam pekat. Berdasarkan data-data yang terdapat pada sajian gambar-gambar di atas, maka dapat dikemukakan bahwa penanda lainnya yang kerap menjadi ciri khas sosok Barat atau Indo adalah dari sisi warna kulitnya, yang lazimnya dikenal berwarna putih. Fenomena ini seolah mentasbihan risalah eksistensi tubuh ke- 88 putih-an Barat itu, sebagai satu-satunya standar keindahan kulit dan mitos kecantikan 2007-2010 universal. Hampir dalam keseluruhan iklan untuk produk kecantikan kulit yang ada dalam iklan Indonesia kekinian, kata-kata ‘putih’ atau white, telah menjadi penanda dan petanda kekuatan sihir yang mempunyai daya magis luar biasa. Hal tersebut dapat dilihat dari iklan produk kosmetik atau kecantikan kulit yang banyak beredar, misalnya Sari Ayu Martha Tillar pada tahun 2007 yang mengiklankan serial produk kosmetik ‘putih langsat’; Mustika Ratu tahun 2008 mengiklankan produknya berupa Bengkoang Whitening Series; kemudian juga produk kosemtik lainnya seperti Viva White, Citra White, Fanbo Whitening Arromatic; Pixy UV Whitening’; Hazelin Natural White; Nivea Pure White; Pond’s White, L’oréal White Perfect; Revlon Absolute White; Vaselin Healthy White; Shinzu’I; Lux White Glamour; Give White; dan masih banyak lagi produk atau merk yang lainnya. Oleh karena itulah, dalam kaitan ini estetika yang terdapat dalam konteks estetika periklanan yang didominasi dengan sistem tanda kulit tubuh ke-putih-an ini, dapat diistilahkan sebagai ‘estetika ke-putih-an’ (whiteness aesthetics). Adapun istilah whiteness itu sendiri, maknanya dibedakan dengan semata-mata persoalan ‘warna kulit putih’, yang konotasinya lebih terkait dengan domain pigmentasi kulit semata. Melainkan lebih dari itu, konsep whiteness adalah lebih terkait dengan persoalan representasi sistem budaya yang kecenderungannya menempatkan makna yang lebih (superior) kepada kelompok manusia berjenis kulit putih, jika dibandingkan dengan yang berkulit berwarna (Valerie Melissa Babb, 1998:9-10; Ruth Frankenberg, 2005:5-6). 89 Berangkat dari terminologi itulah, maka yang dinamakan dengan istilah whiteness itu lebih sebagai ‘rezim dan politik kebudayaan’ (Uli Linke, 2004:207; Alfred J. López, 2005:1-30; Franz Fanon, 2008; Stuart Hall, 2010:81-84). Fenomena obsesi terhadap ketubuhan putih Barat ini, di luar kaitannya dengan persoalan yang jelas amat bersinggungan dengan politik identitas nasional atau kebangsaan, juga yang tak kalah amat mendasar adalah ditilik dari optik domain kemanusiaan. Dalam konteks ini, seolah kita diingatkan kembali dengan sebuah dalil dan faham Darwinian yang amat peyoratif dan absurd tentang persoalan wacana kontestasi manusia dalam mempertahankan kehidupan. Charles Darwin (2007:62) pernah membuat dalil tentang the survival of the fittest yang konotasi maknanya adalah, hanya manusia yang yang paling kuat lah yang akan dapat memenangkan dan mempertahankan kontestasi kehidupan. Dalam konteks wacana persoalan domain obsesi terhadap ketubuhan kulit putih (whiteness) ini, seolah kemudian secara samar-samar di masyarakat berkembang dalil baru yang mirip dengannya, yakni yang berbunyi: the survival of the most white (Paul D'Amato, 2006:27). Bahwa yang akan mampu bertahan hidup dan menjadi pemenang dalam kontestasi kebuasan belantara kehidupan, hanyalah mereka yang tubuhnya berkulit putih. Sebuah dalil dan faham yang bukan hanya amat menyakitkan dan menyesatkan dari sudut kebudayaan dan kemanusiaan, melainkan juga telah mengingkari dan bahkan mensubversi hakikat kodrat perbedaan yang memang sebenarnya telah diabsolutkan oleh keniscayaan Tuhan. Akibat begitu kuatnya gema propaganda dan provokasi terutama melalui media periklanan tentang ‘mitos ke-putih-an’ itu bergaung di masyarakat, 90 akhirnya masyarakat menganggap bahwa wacana dan persoalan itu adalah benar adanya, dan masyarakat pun kecenderungannya kemudian bukan hanya mempercayai tetapi amat meyakini, sehingga implikasinya kaum pribumi (terutama para perempuannya), tanpa disadari harus berlomba-lomba untuk memimikri kulit tubuh mereka, yang ‘kodratnya’ adalah berwarna kuning kecoklatan atau sawo matang, agar menjadi putih, seputih idolanya yang berasal dari ras Kaukasian Barat itu. Hal ini dapat diverifikasi, di antaranya adalah di luar dari berbagai atau aneka jenis kosmetik untuk pemutih kulit, yang jumlahnya bisa mencapai puluhan atau bahkan ratusan, baik yang berasal dari produk dalam negeri maupun luar negeri, sebagaimana sebagian kecilnya telah disajikan sebagai data-data di atas, juga dapat dverifikasi dari fenomena semakin menjamurnya dari hari ke hari apa yang dinamakan dengan berbagai tempat seperti salon kecantikan, atau spa, terutama di kota-kota metropolitan—bahkan juga sudah merambah sampai di kota-kota kecil yang berada di pelosok-pelosok seantero Nusantara, dengan salah satu fokus utamanya pelayanan jasanya adalah ‘pemuith kulit’, yang akumulasi omzet per tahunnya ternyata angkanya mencapai, bukan hanya milliaran, tetapi triliunan rupiah. Hal ini dapat dilihat berdasarkan data dari Persatuan Perusahaan Kosmetik Indonesia (Perkosmi) menyebutkan, pertumbuhan pasar kosmetik di Indonesia antara 15% sampai 20% tiap tahun. Perkosmi memperkirakan, pada tahun 2008 ini, omzet pasar kosmetika akan tumbuh sekitar 20%. Jadi nilainya sekitar Rp 22 triliun (http://yohanes-hans.blogspot.com/2008/06/bisnis-raksasa-dari-mereka- 91 yang-inging.html. Diakses Juni 2010). Sungguh merupakan angka-angka yang amat fantastis yang kiranya bukan hanya mencengangkan, namun juga amat mengerikan dan memiriskan mata hati nurani, hanya untuk demi impian memiliki sebuah kulit yang berwarna putih, seperti kulit putih Barat. Menyaksikan, memahami, dan merenungkan semua fenomena itulah, kiranya tak berlebihan manakala dikemukakan bahwa representasi hegemoni postkolonial ini, telah, sedang, dan sepertinya masih akan tetap terus menghasilkan sebuah epik drama kolosal, yang merupakan kombinasi antara lakon ‘tragedi sekaligus komedi’ yang mengharu biru, dan menyayat hati di seantero bangsa ini. Bagaimana tidak dapat dikatakan sebagai ‘tragedi-komedi’, kalau dikaitkan dengan dengan risalah sosok Barat atau minimal Indo yang berkulit putih, dalam lintasan historis yang panjang telah menjadi bagian narasi gelap perjalanan bangsa ini di masa-msa yang telah lewat di belakang, masa-masa ketika Indonesia berada di bawah koloni penjajahan. Namun ironinya adalah, meskipun trauma kolonialisme demikian hebat, menyayat jantung, hati, dan melukai nurani semua anak bangsa ini dari generasi ke generasi—oleh karena daya pesona Barat dengan segala narasi besar kehebatannya yang tak terperikan—ternyata tak cukup dijadikan dasar alasan untuk sekedar mengambil jarak darinya. Inilah yang diistilahkan kutukan ‘ambivalensi’ yang memang menjadi salah satu kata kunci khas dalam teori postkolonial yang sulit diurai (Budiawan, 2010:vii-xxii. Karena pada satu sisi, kesadaran bangsa Indonesia ini pasti amat membenci karena luka-luka sejarah yang ditimbulkannya; tetapi dalam waktu 92 yang bersamaan, di sisi yang lainnya, bangsa ini sekaligus juga ada rasa kagum (dan karena itu merindukannya, entah sadar atau tidak), karena superioritas perdaban yang dipertontonkannya. Juga ada kecenderungan untuk mengkambinghitamkan masa lalu kolonial, atas segala kertbelakangan dan keterpurukan pada masa kini, tetapi sekaligus juga berterima kasih kepadanya atas kekuatan-kekuatan koloniallah (meskipun secara tidak langsung) yang juga kemudian turut memungkinkan terbentuknya ‘negara-bangsa’ yang ada sekarang ini. Namun yang pasti, melampaui diskursus apa pun tentangnnya, bahwa telah terjadi sebuah fenomena di mana bangsa Indonesia secara massif, berada dalam drama tragika itu, bukan hanya berperan sebagai figuran dan korban, tetapi lebih dari itu, adalah bahkan tampaknya sebagai budak-budak stereotip bangsa kulit putih Barat, sehingga bangsa ini seolah tidak punya sama sekali yang namanya hakikat harkat, martabat, dan harga ketubuhan dan jiwa diri. 5. Dimensi Obsesi terhadap Superlativisme Hegemoni postkolonial yang kelima yang terdapat dalam representasi estetika iklan di media massa cetak Indonesia tahun 2007-2010, adalah persoalan dimensi obsesi terhadap apa yang dapat diistilahkan sebagai ‘superlativisme’. Dalam khazanah bahasa Indonesia, istilah ‘superlatif’ merupakan kata serapan dari bahasa asing, yakni bahasa Inggris superlative (kata sifat), yang artinya of the highest degree or quality (merupakan tingkat atau kualitas tertinggi), atau juga bermakna sebagai kata keterangan yang berarti expressing the highest degree (mengekspresikan tingkat tertinggi) (AS Hornby, 1987:868). 93 Demikian juga halnya dalam bahasa Indonesia, istilah superlatif diartikan sebagai tingkat perbandingan yang teratas atau bentuk kata yang menyatakan paling, yang biasanya dinyatakan dengan awalan ‘ter’ (J.S. Badudu, 2003:373; Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2008:1107)). Sementara itu, ‘superlativisme’ merupakan sebentuk gejala atau kecenderungan yang berlebih-lebihan atau keterlaluan dalam berkebudayaan, yang di antaranya tampak pada perkataan atau tingkah laku (J.S. Badudu, 2003:373). Istilah superlatif, dengan demikian mirip dengan istilah dan konsep ‘hiperbola’, yang artinya merupakan ucapan (ungkapan, pernyataan) atau kiasan yang dibesar-besarkan atau berlebih-lebihan, yang dimaksudkan untuk memperoleh atau menghadirkan efek tertentu secara psikologis (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2008:403). Istilah dan konsep superlativisme ini, manakala diperluas lagi maknanya maka pada titik tertentu akan bersinggungan dengan persoalan ‘kesombongan’, ‘keserakahan’, ‘kemegalomaniaan’, dan istilah-istilah lain yang semakna; yang prinsipnya adalah banyak keterkaitannya dengan sebuah faham atau aliran filsafat materialisme yang amat memuja domain material atau kebendaan menjadi sejenis ideologi yang dianggap paling bermakna dalam kehidupan. Dalam konteks estetika iklan, superlativisme ini direpresentasikan sebagai penanda dan petanda verbal yang dapat dikatakan utama, dengan menggunakan pilihan kata atau istilah tertentu yang kecenderungan konotasi maknanya menghadirkan asosiasi sebagai yang paling atau terhebat, terbesar, terbaik, atau apa pun makna lainnya yang relatif senada, terkait dengan produk barang maupun 94 jasa yang ditawarkan. Fenomena tersebut kiranya merupakan hal yang mangandung persoalan, paling tidak terkait dengan dua hal mendasar. Pertama, serangkaian penanda berupa istilah atau ungkapan superlatif dalam iklan sebagaimana dimaksud kecenderungan substansi maknanya adalah sebagai sesuatu yang sifatnya ‘hal yang sebenarnya atau sesungguhnya’ sebagaimana adanya, melainkan tak lebih sebagai sebuah citra (image). Padahal yang dinamakan dengan citra itu adalah sejenis gambaran atau kesan yang dimiliki orang banyak mengenai sesuatu hasil dari pengamatan terhadap suatu objek tertentu. Atau juga merupakan kesan mental atau bayangan visual yang ditimbulkan oleh sesuatu objek, misalnya kata, frasa, kalimat, atau gambar (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2005:216). Dalam ungkapan lain, berbicara tentang citra, sebenarnya bukanlah membincangkan tentang sesuatu yang memang benar-benar terkait secara substantif sesuatu yang sedang diamati, melainkan lebih pada persoalan kesan yang didapatkan dari hasil pengamatan terhadap sesuatu itu, sebagai hasil dari tangkapan indera yang sifatnya permukaan. Oleh karena itulah, karenanya tak mengherankan dalam konteks kaitannya dengan budaya dan media massa, misalnya dalam wacana periklanan, istilah citra bahkan kerap dimaknai dalam domain yang cenderung negatif, yakni sebagai sesuatu yang tampak oleh indera, akan tetapi sama sekali tidak memiliki eksistesi substansial di dalamnya (Yasraf Amir Piliang, 1998:13). Kedua, jika dikaitkan dengan kesadaran secara kultural ke-Indonesia-an, taruhlah dalam konteks yang sempit misalnya yang terdapat di budaya Jawa, maka 95 fenomena superlativisme tersebut kiranya merupakan sesuatu yang mengundang persoalan. Sebagaimana diketahui, secara filosofis dan ideologis dalam kesadaran budaya Jawa secara keseluruhannya cenderung menganut faham yang berkebalikan sama sekali dengan konsep superlativisme, misalnya dalam wujud kesederhanaan atau kebersahajaan. Hal itu dapat ditelisik dari nilai-nilai yang diyakini dan telah berkembang sejak lama dalam budaya Jawa, misalnya dalam bentuk konsep hidup prasaja atau sakmadya, yang artinya adalah bukan sebagai sesuatu yang berlebihan, melainkan sebaliknya kesederhanaan. Nilai-nilai hidup yang merupakan kebalikan dari konsep superlativisme seperti itu, dalam spektrum yang luas, kiranya bukan hanya merupakan hal yang sifatnya esklusif dalam khazanah budaya Jawa saja, melainkan juga dimiliki oleh daerah-daerah lain di seantero Nusantara. Bahkan dalam skala yang lebih luas lagi, hal itu juga menjadi salah satu ciri dari kebudayaan Timur, dan relatif kurang dikenal dalam kebudayaan Barat, terutama semenjak era modern. Namun sekali lagi, yang menjadi persoalan adalah, nilai-nilai Barat yang amat kontradiktif dengan kesadaran filosofis budaya Timur pada umunya dan budaya Indonesia pada khususnya itu, kini kecenderunganya tampil sebagai representasi yang hegemonik dalam estetika periklanan di media massa Indonesia. Berdasarkan data-data yang ada, ditemukan beberapa kategori konsep superlativisme yang terdapat dalam iklan di media massa cetak Indonesia tahun 2007-2010, di antaranya adalah terkait dengan penggunaan istilah atau konsep yang berawalan ‘ter-‘, ‘hiper-‘, dan ‘super-‘. Untuk penggunaan istilah atau konsep yang berawalan ‘ter-‘, misalnya adalah: tak tertandingi, terbesar, 96 sementara itu untuk istilah atau konsep yang berawalan atau berkata kata depan ‘hiper-’ yakni misalnya: ‘hipermarket’ dan untuk istilah yang berwawalan atau berkata depan ‘super-’, misalnya adalah ‘supermarket’, ‘superliga’. Selain itu, juga terdapat berbagai varian dari penggunaan istilah atau konsep yang maknanya relatif senada dengan maksud yang terdapat dalam konsep superlativisme, misalnya yang direpresentasikan dalam bahasa Inggris, seperti penggunaan istilah yang berakhiran ‘-er’, yang maknanya adalah ‘lebih’. Hal ini misalnya tampak pada pemakaian istilah bigger (lebih besar), better (lebih baik), bolder (lebih berani). Kemudian ada juga varian lain, yakni dengan penggunaan istilah-istilah seperti: ‘paling’, best (terbaik), big (besar), more (lebih), most (paling), great (besar), excellent (istimewa), ultimate (terakhir, penghabisan, puncak) perfect (sempurna), luxury (kemewahan), glamour (mempesona, mewah), amazing (menakjubkan, bukan main, bukan kepalang), magic (sakti), absolute (absolut, mutlak, sepenuhnya), fantastic (fantastis, luar biasa, tidak masuk akal), unlimited (tak terbatas), first (pertama), ‘nomor 1’, ‘top’, ‘luar biasa’, ‘maha’, dan lain sebagainya yang maknanya relatif senada, yang secara sangat mendasar menyampaikan pesan tentang sesuatu yang sifatnya lebih atau paling. Beberapa contoh perihal persoalan tersebut, penanda dan petanda estetikanya, khususnya yang terdapat dalam iklan media massa cetak Indonesia tahun 2007-2010, adalah sebagaimana tampak dalam sajian gambar-gambar berikut. 97 Gambar 19. Penggunaan Sitem Tanda Superlativisme, baik yang Sifatnya Verbal (Bigger-Better-Bolder) maupun Piktorial (Mobil serta Bangunan Gedung sebagai Latar Belakang), untuk Iklan Produk Mobil Serial ‘Accord’ dari Merk Honda. (Sumber: Majalah Tempo, Edisi 21-27 April 2008, Halaman 31) Iklan yang terdapat pada gamba 19 di atas, adalah merupakan salah satu contoh dari representasi superlativisme. Superlativisme sebagaimana dimaksud, terutama tanpak dari penanda dan tentunya sekaligus juga petanda verbal dalam iklan ini, berbunyi: Bigger-Better-Bolder; yang maknanya adalah: ‘lebih besar, lebih baik, lebih berani’. Di samping itu, superlativisme dalam iklan ini juga tampak dari sistem tanda piktorialnya. Sebagaimana dapat dilihat, bahwa iklan untuk mempromosikan mobil serial ‘Accord’ dari merk Honda ini, tampak diilustrasikan dengan amat megah dan glamour. Gambar mobil tersebut ditampilkan secara close up dari arah depan tampak gagah sekaligus mewah. Mobil tersebut diparkir di dalam sebuah bangunan gedung atau rumah, yang juga 98 tak kalah megah dan mewahnya. Kemegahan dan sekaligus kemewahan bangunan tersebut bukan hanya dari kemegahan tiang-tiangnya yang khas bergaya Yunani atau Romawi Klasik tersebut. Melainkan juga tampak dari berbagai ornamentiknya yang amat indahnya yang menempel di gedung itu, baik di dinding, ujung tiang penyangga bagian atas, serta langit-langit di atas ruangan tempat mobil tersebut dipamerkan. Gambar 20. Penggunaan Sitem Tanda Superlativisme, baik yang Sifatnya Verbal (Tak Tertandingi, Kemewahan) maupun Piktorial (Mobil dan Bangunan sebagai Latar Belakang), untuk Iklan Produk Perbankkan dari Bank BRI. (Sumber: Majalah Tempo, Edisi 9-15 Agustus 2010, Halaman 47) Iklan yang terdapat pada gambar 205 di atas adalah untuk menawarkan produk jasa perbankkan, yakni dari Bank BRI, dan khususnya lagi dari salah satu divisi jenis layanannya, yakni bernama ‘BRI Britama’. Iklan ini secara sangat khusus pula menginformasikan perihal adanya undian berhadiah yang diperuntukkan bagi para nasabahnya, sebagaimana hal yang sama juga kerap 99 terjadi pada perbankkan yang lain pada umumnya. Yang menjadi permasalahan dan fokus pencermatan kritis terkait dengan fenomena superlativisme dalam konteks iklan ini adalah, juga terkait dengan pemakaian sistem tanda, baik yang sifatnya verbal maupun piktorialnya. Untuk sistem tanda superlativisme yang bersifat verbal, yakni ditandai dengan pemakaian istilah ‘tak tertandingi’, dan juga ‘kemewahan’. Istilah tak tertandingi, kiranya sebuah jargon yang tidak dapat dibuktikan atau disertai bukti kebenarannya yang bisa dipertanggungjawabkan. Gambar 21. Penggunaan Sitem Tanda Superlativisme, Terutama yang Sifatnya Verbal (Terbesar) untuk Iklan Harian Pagi Bernas Jogja. (Sumber: Majalah Tempo, Edisi 5-11 Februari 2007, Halaman 60) Untuk kategori penggunaan sistem tanda superlativisme pada sistem tanda iklan yang berbasiskan verbal, terutama yang menggunakan istilah yang berawalan ‘ter-‘, juga terdapat pada iklan sebagaimana yang tampak pada gambar 21 di atas. Sistem tanda verbal sebagaimana dimaksud dalam konteks iklan untuk harian pagi Bernas, sebuah surat kabar yang terbit di Yogyakarta ini adalah berbunyi: ‘koran modern dan terbesar di Jogja’. Ungkapan atau statemen yang bernada sebagai klaim ini, di samping sekali lagi tidak dapat dibuktikan kebenarannya, juga yang menjadi ironi adalah bahwa dalam perkembangannya, 100 yakni beberapa waktu setelah ungkapan jargon ini dikedepankan, koran atau harian surat kabar ini dapat diistilahkan bangkrut, sehingga harus berganti nama menjadi Harian Jogja (Harjo), pada tanggal 20 Mei 2009. Terlepas dari persoslan yang terdapat dalam harian Bernas, namun yang pasti dapat diungkapkan bahwa berganti atau berubahnya harian tersebut dengan nama yang baru, kiranya merupakan satu indikasi bahwa di dalamnya ada sesuatu persoalan, yang maknanya bertolak belakang dari domain ‘kebesaran’ yang diiklankannya. Gambar 22. Penggunaan Sitem Tanda Superlativisme, Terutama yang Sifatnya Verbal (Hipermarket, Supermarket) untuk Iklan Produk GE Money Credit Cards. (Sumber: Majalah Femina, Edisi 17-23 April 2008, Halaman 95) Gambar 22 di atas adalah iklan yang dimuat di media massa cetak, yakni majalah Femina yang terbit edisi 17-23 April 2008, yang menawarkan perihal kartu kredit dari GE Money. Kartu kredit ini adalah salah satu media yang 101 dipergunakan untuk belanja, sebagai pengganti model transaksi dengan sistem pembayaran langsung dengan uang tunai, yang dalam batas tertentu budaya pemakaian kartu kredit ini lebih bermakna sebagai pendukung apa yang diistilahkan gaya hidup (life style). Adapun sistem tanda yang terkait dengan gagasan superlativisme dalam iklan ini, adalah terutama dengan pemakaian sistem tanda yang sifatnya verbal, yakni berupa istilah ‘market’ (terjemahan dari pasar atau toko) yang diberi awalan atau kata depan ‘hiper-’ dan ‘super-‘, sehingga menjadi: ‘hipermarket’ dan ‘supermarket’. Sebagaimana yang sudah amat dikenal di lingkungan kota-kota besar, dua istilah itu seolah dianggap sebagai hal yang biasa maknanya, yakni sebagai penanda tentang sebuah tempat berbelanja yang amat besar, yang menyediakan aneka kebutuhan. Dalam iklan tersebut, dua istilah tersebut, diilustrasikan sebagai papan penunjuk arah, yang disertai gambar atau logo kereta untuk tempat barang belanjaan (troly), dan pada bagian bawahnya adalah gambar kartu kredit yang ditawarkan. Berdasarkan data-data temuan sebagaimana disebutkan pada gambargambar di atas, maka dapat dikemukakan bahwa representasi estetika iklan di media massa tersebut kecenderungannya banyak yang menggunakan sistem tanda, baik penanda maupun petandanya yang bermakna superlatif. Sebagaimana halnya dengan berbagai domain persoalan lainnya yang menjadi fokus dalam penelitian ini, penggunaan istilah atau konsep superlatif ini, juga bukan sematamata khas dalam iklan di media massa cetak, melainkan juga terjadi di media massa yang lainnya, yakni media massa elektronik, mislanya televisi, radio, dan juga di internet. Adapun tujuan dari penggunaan sistem tanda superlatif 102 sebagaimana dimaksud ujung-ujungnya adalah tak lebih sebagai bagian dari politik persuasif atau bujuk rayu untuk kepentingan menghadirkan daya tarik yang semaksimal mungkin atas produk yang ditawarkan kepada masyarakat. Jika ditilik secara mendalam, fenomena pemakaian istilah atau konsep superlatif dalam wacana periklanan ini, jelas mengandung persoalan secara mendasar, terutama dari sudut pandang etika (moral), baik yang terkait dengan dengan etika bisnis maupun etika kultural. Pertama, jika dilihat dari etika bisnis, penggunaan sistem tanda superlatif sebagaimana beberapa contohnya seperti telah disebutkan dalam gambar iklan di atas, yakni misalnya dengan menggunakan istilah-istilah dari bahasa Indonesia yang berawalan ‘ter-‘ (‘tak tertandingi’, ‘terlengkap’ dan ‘terbesar’, ‘tertinggi’, dan lain sebagainya. Demikian juga halnya dengan persoalan senada dengan menggunakan bahasa Inggris, misalnya bigger, better, bolder, yang artinya ‘lebih besar’, ‘lebik baik’, ‘juga dengan menggunakan istilah-istilah: largest, yang artinya ‘terbesar’; most, yang artinya ‘paling’ ; more, yang artinya ‘lebih’; ‘hyper’ (hypermarket, ‘super’ (supermarket, superliga); best, yang artinya ‘terbaik’; big, yang artinya ‘besar’; great, yang artinya ‘besar’, dan lain sebagainya. Masalahnya adalah bahwa penggunaan istilah yang bernuansa superlatif itu, kecenderungannya tidak dapat dibuktikan kebenarannya dengan pernyataan tertulis dari otoritas terkait atau sumber yang otentik, dan karenanya hal itu sebenarnya adalah tidak objektif atau tidak valid. Oleh karena itu, iklan-iklan yang arus utamanya berkembang di masyarakat modern kekinian, dengan penggunaan istilah-istilah superlatif itu, sebenarnya tak lebih dari sebuah proyek manipulatif, penipuan dan bahkan 103 pembodohan besar-besaran pada konsumen (Ridwan Handoyo, 2010). Fenomena ini, jelas bertentangan dan bahkan melanggar jiwa etika pariwara Indonesia dan juga Undang-undang RI No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, teurtama pasal 17, ayat 1, butir a, yang dengan tegas menyebutkan bahwa: bahwa, “Pelaku usaha periklanan dilarang memproduksi iklan yang mengelabui konsumen mengenai kualitas, kuantitas, bahan, kegunaan dan harga barang dan/atau tarif jasa serta ketepatan waktu penerimaan barang dan/atau jasa”. Oleh karena itulah, penghadiran terminologi superlatif dalam estetika periklanan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan itu, adalah sebentuk a moral hazard atau kejahatan moral yang amat berbahaya, karena kegiatan itu jelas bertentangan dari sisi etika bisnis, yang mestinya juga mempertimbangkan domain nilai-nilai moralitas secara sosial (Richard E. Just, Darrell L. Hueth, & Andrew Schmitz, 2004:443). Kedua, jika dilihat dari perspektif etika atau nilai-nilai moral kultural, terutama dalam konteks ini adalh kultual ke-Indonesia-an, fenomena penggunaan sistem tanda superlatif dalam wacana periklanan di media massa Indonesia sebagaimana dimaksud di atas, juga mengundang persoalan yang tak kalah memperihatinkan. Hal ini disebabkan, persoalan tersebut bukan hanya bersinggungan, melainkan telah menggerogoti, merendahkan dan menghinakan nilai-nilai ideal-kultural ke-Indonesia-an yang memang secara substansial bukan hanya berbeda, melainkan amat berseberangan atau bertolak belakang. Hal ini disebabkan, dalam sudut pandang yang kedua, yakni dari perspektif etis-kultural ini, analisisnya bukan hanya terkait dengan satu ranah 104 kecil, yakni bisnis semata, melainkan lebih dari itu adalah terkait dengan konstruksi nilai-nilai ideologis kultural yang menjadi landasan atau fondasi penting kebudayaan dalam konteks ke-Indonesia-an. Artinya, secara sederhana dapat diungkapkan bahwa, betapa yang namanya konsep superlatif itu, secara substansial adalah sebentuk gagasan yang amat bertentangan atau bertolak belakang dengan nilai-nilai yang ada, tumbuh, berkembang, dan diyakini secara ideologis dalam lintasan historis yang amat panjang oleh masyarakat dan bangsa Indonesia. Sebagaimana diketahui, ketika membicang perihal ‘standar’ nilai-nilai etis yang melekat dan mendarah daging dalam hampir seluruh kebudayaan yang tersebar di seluruh kepulauan Nusantara, mulai dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Rote, ralatif dapat dikatakan bahwa tidak ada satu pun yang merefleksikan apalagi mengafirmasi nilai-nilai ideal yang sifatnya mengagungagungkan sesuatu yang berlebih-lebihan, terutama yang berbasiskan domain material atau kebendaan, melainkan sebaliknya yang ada adalah ideologi ‘kesederhanaan’. Hal ini kiranya merupakan konsekuensi logis dari realitas kebudayaan dan peradaban Nusantara itu sendiri, yang memang merupakan bagian dari entitas semesta kebudayaan Timur, yang dari sejak risalahnya yang amat panjang, sudah amat dikenal sebagai pemuja-pemuja kesederhanaan, bukan sebaliknya kesuperlativan. Hal tersebut di antaranya dapat diverifikasi melalui berbagai kearifan kultural yang terdapat dalam salah satu suku di Indonesia, yakni Jawa, di mana nilai-nilai kesederhanaan menjadi salah satu konsep kunci terpenting yang 105 senantiasa mendapat perhatian yang digunakan sebagai kerangka atau bingkai dalam keseluruhan kesadaran dan praksis kinerja berkebudayaan. Konsep dan nilai-nilai moral tentang kesederhanaan dalam masyarakat dan kebudayaan Jawa ini, di antaranya dapat dirujuk dari dua konsepsi nilai-nilai ideal yang amat khas dan telah sejak lama menjadi pedoman berkebudayaan, yakni misalnya dikenal dengan istilah prasaja dan samadya. Pertama, istilah prasaja yang artinya adalah ‘sederhana’, dapat dikatakan merupakan bagian dari salah satu nilai-nilai ideal filosofis atau ajaran yang tertinggi yang ada dan diyakini dalam kebudayaan Jawa, karenanya merupakan bagian dari ilmu atau ajaran kêdjawèn yang penting. Konsep prasaja ini merupakan ajaran yang dikenal disampaikan oleh salah satu tokoh kêjawèn yakni Ki Ageng Soerjamentaram. Ki Ageng Soerjamentaram merupakan salah satu tokoh pelaku mistik kêjawèn yang dikenal amat sederhana dalam menjalani kehidupannya. Prinsip ajaran prasaja Ki Ageng Soerjamentaram ini— sebagaimana halnya dengan keseluruhan ajaran kebajikan dan kearifan dalam budaya pada umumnya—senantiasa berbasiskan pada faham tentang apa yang dikenal dengan istilah kasampurnan (kesempurnaan) yang sifatnya transendental ketuhanan (Suwardi Endraswara, 2006:122). Dalam ajaran prasaja, hidup bukan untuk bermegah-megah, bermewah-mewah. Bahkan menurut Ki Ageng Soerjamentaram, yang namanya dêrajat (kebesaran diri dan kehormatan), pangkat (kedudukan dan kepangkatan), dan sêmat (harta-kekayaan), jika tidak disikapi dengan prasaja hanya akan membuat manusia gelisah (Suwardi Endraswara, 2006:122). Oleh karena itu dalam ajaran prasaja, mengedepankan pemahaman 106 tentang makna hidup itu dengan konsep seadanya atau sederhana. Namun, perlu disampaikan bahwa dalam faham prasaja, yang dinamakan dengan makna hidup seadanya atau sederhana itu, bukan berarti hidup dengan penuh kekurangan atau kemiskinan, tetapi lebih sebagai kesadaran untuk berusaha menampilkan diri dengan penuh kesederhanaan. Konsep kesederhanaan hidup prasaja itu, oleh Ki Ageng Soerjamentaram diistilahkan sebagai ajaran kawruh bêgja. Yang maknanya adalah bahwa manusia dalam kehidupannya mesti mengendalikan apa yang diistilahkan kramadhangsa (nafsu diri atau keegoan) yang terutama lebih disebabkan oleh keterbelengguan pada hal-hal yang sifatnya kebendaan dan keduniawian (Suwardi Endraswara, 2006:125). Sikap itu misalnya diwujudkan dalam ajaran hidup: sakpêrluné, sakcukupé, lan sakbênêré (seperlunya, secukupnya, dan sebenarnya). (Suwardi Endraswara, 2006:123). Pesan moral dalam ajaran ini adalah bahwa manusia tidak boleh bersikap ngaya (memaksakan diri), apalagi nggégé mangsa (memaksakan diri atau memaksakan momentum) dalam menjalani laku kehidupannya. Kedua, tentang konsep samadya, secara etimologis artinya adalah ‘tengahtengah’ (Sutrisno Sastro Utomo, 2007:558). Dalam pengertian yang lebih luas, istilah samadya ini dapat dimaknai bahwa, dalam masyarakat Jawa berkembang faham yang meyakini bahwa gambaran nilai dan makna ideal dalam menjalani kehidupan itu, jika seseorang mampu menempatkan kesadarannya berada dalam posisi di tengah-tengah, bukan berada pada salah satu kutub ekstrim yang saling berseberangan. oleh karena itu, istilah samadya ini juga erat terkait dengan prinsip dan keyakinan hidup manusia Jawa yang tidak didasarkan pada sesuatu yang 107 berlebih-lebihan, sebagaimana halnya yang terdapat dalam faham prasaja. Keyakinan terkait dengan nilai-nilai hidup samadya ini, kemudian terefleksi dalam berbagai bentuk ajaran tentang praksis laku hidup orang Jawa, misalnya bahwa hidup di madyapada (alam dunia ini) manusia tidak boleh ngaya lan ngangsa (melangkah berlebih-lebihan), tetapi seyogiyanya melangkah samadya (secukupnya) saja. Kalau tidak hidup samadya, tetapi ngaya lang ngangsa (memaksakan diri dan keadaan), maka akan mengakibatkan timbulnya implikasi sikap dan perilaku negatif, misalnya menjadi manusia yang rumangsa bisa, nanging ora bisa rumangsa (merasa bisa, tetapi tidak bisa merasa). Dengan demikian dapat dimaknai bahwa, betapa baik dalam ajaran prasaja dan samadya yang dimiliki oleh budaya Jawa ini, jangkar basis ukuran yang digunakan untuk membangun sebuah kesadaran berperadaban, tidak sematamata mengandalkan ranah logika, melainkan lebih dari itu adalah ranah ‘rasa’. Hal ini amat berbeda jika dibandingkan dengan kesadaran yang dominan dimiliki dalam peradaban modern Barat, yang lebih mengedepankan logika. Persoalan inilah kiranya yang menjadi salah satu permasalahan besar dalam kebudayaan modern, yang terutama akibat dominasinya akal pikiran ketimbang perasaan. Baik dalam konsep prasaja maupun samadya, dan konsep-konsep filosofis lain yang senada yang berada dalam kesadaran kebudayaan Jawa, pada prinsipnya terkandung hikmat kebijaksanaan dalam pemahaman hakikat kehidupan, yang mengedepankan apa yang diistilahkan dengan konsep keseimbangan, keserasian, atau keharmonian, baik dalam hubungannya dengan sesama manusia, alam, maupun dengan Tuhan, baik yang sifatnya lahiriah maupun batiniah. Terkait 108 dengan konstruksi filosofis yang menjadi basis kesadaran kultural yang demikian itulah, maka dalam budaya Jawa, fenomena superlativisme, yang merupakan bagian dari faham hedonisme, yang misalnya diwujudkan bentuk sikap dan perilaku bermewah-mewah, bermegah-megah, pamer, atau jor-joran— sebagaimana yang terdapat dalam representasi iklan,—cenderung dihindari atau ditabukan, karena sangat potensial untuk merusak nilai keharmonisan dan keseimbangan. Superlativisme, yang konotasinya bermakna sebagai sebuah gagasan yang cenderung menyukai sesuatu apa pun secara berlebih-lebihan dalam segala narasinya yang kompleks, jelas bukan sebagai sebuah khazanah yang diidealkan dalam kesadaran filsafat kebudayaan ke-Indonesia-an dalam arti sempit, dan juga dalam kebudayaan Timur dalam artian yang luas. Artinya, ia berasal dari khazanah kebudayaan Barat. Sebagaimana diketahui, bahwa dalam filsafat kebudayaan Timur, termasuk Indonesia, amat mentabukan hal-hal atau gagasan yang berlebih-lebihan, apalagi yang berbasis materi, sebaliknya yang dikedepankan adalah filsafat tentang kesederhanaan. Sementara itu di Barat, yang namanya filsafat materialisme, seolah merupakan sesuatu yang melampaui segalagalanya, sebagaimana halnya dengan rasionalisme yang diyakininya. Ketika Timur lebih mengedepankan soal risalah ‘rasa-transendensi’, Barat menggilai yang namanya ‘logika-imanensi’. Transendensi ke-Timur-an, relatif akan mengantarkan faham pada pentingnya menjaga keharmonisan, bukan hanya dengan sesama manusia, melainkan juga alam, serta Tuhan. Sementara imanensi Barat, kerap berujung pada lebih dominannya pengharagaan terhadap domain 109 personal, sehingga siapa pun boleh, dan bahkan harus memiliki ego keindivudualitasan, jika ingin survive dalam kehidupan. Ego kedirian ini, yang lebih parah lagi, semata-mata didasarkan pada bukan rasa, melainkan akal atau logika, sehingga rasionalisme, liberalisme, dan ujung-ujungnya adalah materialisme, juga superlativisme menjadi way of life segala-galanya dalam tradisi kebudayaan modern Barat. Kegairahan perlombaan dalam superlativisme ini, akhirnya telah mengantarkan tragedi kebudayaan yang kompleks dan amat mengerikan, karena memang yang dinamakan dengan nafsu berlebih-lebihan itu, tidak akan pernah dapat dipuaskan. Dari sinilah akhirnya dapat difahami, bahwa superlativisme, telah mengakibatkan berkembangnya budaya megalomania, kesombongan, keangkuhan, kerakusan, dan lain sebagainya yang amat destruktif maknanya dalam perspektif kebudayaan dan kemanusiaan, dan semua itu adalah nirbatas adanya. Ketika hampir seluruh alam, dan juga bahkan manusianya sendiri, kini tampak ‘rusak-rusak-an, penjelasannya yang cukup komprehensif salah satunya dapat disandarkan pada dialektika ini. Namun ironi dan anehnya adalah, warna filsafat kebudaayaan yang amat destruktif tersebut di era kekinian, justru menjadi gelombang kegilaan masyarakat secara massif yang amat mengerikan, dan terutama salah satunya diprovokasi serta dipropagandakan besar-besaran melaui representasi estetika iklan. Itulah kiranya beberapa catatan kritis atas gambaran perihal yang terkait dengan permasalahan domain obsesi terhadap superlativisme dalam representasi 110 estetika periklanan di media massa cetak Indonesia kontemporer, sebagai sebentuk persoalan yang cukup memperihatinkan. Sebagaimana telah disebutkan pada sajian di atas, bahwa fenomena dan persoalan tersebut, bukan semata-mata berada dalam konteks periklanan di media massa cetak semata, melainkan juga menjadi pemandangan dan permasalahan yang relatif sama di media massa lainnya, misalnya media massa elektronik seperti televisi, radio, dan juga internet. Kemudian, jika dirunut lebih jauh lagi, hal itu sebenarnya juga menjadi hal yang bersoal dalam konteks yang lebih luas, yakni yang juga merupakan salah satu problem kultural yang paling krusial dalam konteks kultural ke-Indoneisa-an, terutama dalam kaitannya dengan diskursus postkolonial. 111 BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitain dan pembahasan yang telah disajikan pada Bab IV di atas, dapat disampaikan kesimpulan penelitian ini sebagai berikut. Keberadaan iklan di samping mempunyai makna yang positif, juga mengandung dampak negatif. Dampak negatifnya itu pun, juga bukan semata-mata terkait dengan problem klasik, yakni berupa semakin berkembangnya budaya konsumerisme, materialisme, dan hedonisme, sebagai turunan persoalan dari politik ekonomi kapitalisme. Melainkan juga yang tak kalah penting dan mendasar adalah terkait dengan persoalan kultural, yang berujung pada politik identitas dan eksistensi hakikat harkat jati diri budaya sebuah bangsa. Dampak negatif atau persoalan yang terakhir ini, terutama manakala pemaknaan iklan, baik dari segi penanda maupun patandanya menggunakan perspektif postkolonial, sebagaimana yang menjadi fokus penelitian ini. Dampak negatif kulturasi sebuah bangsa dari telaahan dengan perspektif postkolonial sebagaimana dimaksud, dalam konteks estetika periklanan di media massa cetak Indonesia kontemporer, terutama ditunjukkan dengan penggunaan serangkaian sistem tanda, baik di tingkat penanda (bentuk) maupun petanda (isi, makna, nilai) di dalamnya, yang dari waktu ke waktu tampak semakin dipenuhi, didominasi, dihegemoni, dan dikolonisasi oleh cita rasa estetika Barat, dengan segala ekspresi dan representasinya yang kompleks serta amat ideologis. 112 Sesuai dengan data dan temuan penelitian dalam penelitian ini, perihal hegemoni postkolonial Barat yang terepresentasi dalam estetika iklan di media massa cetak Indonesia kontemporer, khususnya lagi yang terdapat pada empat majalah yang terbit pada rentang kurun waktu 2007-2010, yang menjadi contoh sampel penelitian ini, paling tidak ditemukan sebanyak lima kategori persoalan postkolonial yang dianggap paling krusial. Kelima kategori tersebut adalah terkait dengan dimensi obsesi terhadap: 1) penggunaan bahasa Inggris (Englishness); 2) ketubuhan Barat; 3) ketubuhan Indo; 4) ketubuhan kulit putih atau ke-putih-an Barat (whiteness); 5) superlativisme; Pertama, perihal obsesi terhadap penggunaan bahasa Inggris, juga menjadi bagian dari kenyataan hegemoni postkolonial dalam representasi iklan di media massa cetak Indonesia. Sebagaimana dikethui, estetika iklan di media massa cetak itu konstruksi sistem tandanya melibatkan dua komponen utama, yakni penanda yang sifatnya piktorial (gambar) dan verbal (kata-kata). Bahasa Inggris dalam konteks sebagai sistem tanda verbal inilah, dalam iklan di media massa cetak Indonesia kekinian menunjukkan hegemoninya, terutama sebagai apa yang diistilah penanda dan petanda utamanya, yakni headline, serta subheadline-nya. Fenomena ini dapat diverifikasi dengan amat mudah di masyarakat, betapa secara massif hegemonik, bahasa Inggris, seolah telah menggantikan peran bahasa ibu yang dimiliki oleh bangsa Indonesia, yakni bahasa Indonesia itu sendiri sebagai bahasa nasional, juga bahasa daerah yang jumlahnya amat banyak, yang mencapai ratusan yang tersebar di seluruh kepulauan di Nusantara ini. Ini sungguh sebuah ironi, karena iklan yang disampaikan ke masyarakat itu adalah dimuat di 113 media massa Indonesia, yang terbit di Indonesia, serta sasaran utamanya adalah juga masyarakat atau bangsa Indonesia. Oleh karena itu, dalam perspektif postkolonial, fenomena ini sungguh menjadi salah satu persoalan dan sekaligus beban terberat bagi bangsa Indonesia, terutama ketika dikaitkan dengan apa yang dinamakan upaya membangun politik identitas sebuah kebudayaan bangsa, yang notabene tak pernah sedikit pun narasinya dapat dilepaskan dari yang namanya peran sebuah bahasa. Nasionalisme bahasa yang dimiliki oleh sebuah bangsa akan sebanding lurus dengan nasionalisme budaya yang dimilikinya. Kedua, terkait persoalan obsesi terhadap ketubuhan Barat dalam konteks representasi iklan di media massa cetak Indonesia tahun 2007-2010 ini, dapat dilihat dari hegemoni penggunaan sosok model—baik dari kategori jenis kelamin: laki-laki maupun perempuan, maupun dari kategori usia: anak-anak, remaja, sampai orang tua—yang kecenderungannya berasal dari keturunan ras Kaukasoid Barat. Penggunaan sosok model sebagai ilustrasi ini, sebagaimana halnya yang terdapat dalam wacana estetika iklan, pada umumnya difungsikan sebagai daya tarik utama, atas produk yang ditawarkan. Fungsi ini kerap diistilah sebagai eye catching/eye catcher. Ketiga, demikian juga halnya dengan penggunaan ilustrasi yang bersososk Indo, juga menjadi pemandangan dan sekaligus persoalan yang sama dengan kasus yang pertama, yang disebabkan fenomena ini, sebenarnya juga merupakan permasalahan turunan dari domain obsesi terhadap ketubuhan ras Kaukasian Barat, karena makna dari sosok Indo adalah hasil perkawinan campuran antara penduduk pribumi dengan warga negara asing, khususnya yang berasal dari Barat. 114 Keempat, adalah persoalan obsesi terhadap ketubuhan atau kulit tubuh putih Barat (whiteness). Substansi persoalan ini bermuara pada kecenderungan, pentasbihan risalah eksistensi tubuh ke-putih-an Barat itu, sebagai satu-satunya standar keindahan kulit dan mitos kecantikan kontemporer universal, sehingga menjadi amat digandrungi atau ‘digilai’ oleh hampir semua penduduk bumi ini, termasuk yang terdapat di Indonesia, yang notabene sebenarnya mempunyai ‘kodrat’ bawaan warna kulit yang berbeda, yakni kecenderungannya kuning kecoklatan (yang populer dikenal dengan istilah kuning langsat, atau sawo matêng). Hal ini kiranya dapat diverifikasi dalam iklan-iklan tentang pelbagai produk kosmetik, baik yang dibuat oleh bangsa Indonesia sendiri, maupun yang diimpor dari luar negeri. Hampir dalam keseluruhan iklan untuk produk kecantikan kulit yang ada dalam iklan kontemporer kekinian, tujuannya adalah satu: yakni untuk membuat kulit menjadi putih, atau lebih putih, sebagaimana kulit tubuh putih ras Barat, yang secara kodrat bawaan memang demikian adanya. Oleh karena itu, dalam khazanah kecantikan modern, kemudian kata-kata ‘putih’ (white), telah menjadi kekuatan sihir yang mempunyai daya magis dan menakjubkan luar biasa, sehingga menggantikan kata-kata yang dahulu pernah menjadi atribut khas kecantikan Timur, termasuk Indonesia, misalnya: ‘kuning langsat’, kuning gadhing, atau sawo matêng, yang berkembang dan menjadi keyakinan ideologis dalam masyarakat dan kebudayaan Jawa, dengan istilah yang tampaknya amat dipaksakan kedengarannya, yakni ‘putih langsat’. Berdasarkan kenyataan fenomena hegemoni ke-putih-an inilah, maka, teori evolusi peradaban 115 modern yang khas Darwinian itu, yakni the survival of the fittest, kemudian ditambah lagi klausulnya menjadi, the survival of the most white. Kelima, persoalan adalah domain obsesi terhadap superlativisme juga merupakan salah satu cukup hegemonik, dalam realitas fenomena representasi estatika periklanan yang sedang berkembang di media massa cetak Indonesia ini. Superlativisme, yang konotasinya bermakna sebagai sebuah gagasan yang cenderung menyukai sesuatu apa pun secara berlebih-lebihan dalam segala narasinya yang kompleks, jelas bukan sebagai sebuah khazanah yang diidealkan dalam kesadaran filsafat kebudayaan ke-Indonesia-an dalam arti sempit, dan juga dalam kebudayaan Timur dalam artian yang luas. Artinya, ia berasal dari khazanah kebudayaan Barat. Sebagaimana diketahui, bahwa dalam filsafat kebudayaan Timur, termasuk Indonesia, amat mentabukan hal-hal atau gagasan yang berlebih-lebihan, apalagi yang berbasis materi, sebaliknya yang dikedepankan adalah filsafat tentang kesederhanaan. Sementara itu di Barat, yang namanya filsafat materialisme, seolah merupakan sesuatu yang melampaui segalagalanya, sebagaimana halnya dengan rasionalisme yang diyakininya. Ketika Timur lebih mengedepankan soal risalah ‘rasa-transendensi’, Barat menggilai yang namanya ‘logika-imanensi’. Transendensi ke-Timur-an, relatif akan mengantarkan faham pada pentingnya menjaga keharmonisan, bukan hanya dengan sesama manusia, melainkan juga alam, serta Tuhan. Sementara imanensi Barat, kerap berujung pada lebih dominannya pengharagaan terhadap domain personal, sehingga siapa pun boleh, dan bahkan harus memiliki ego keindivudualitasan, jika ingin survive dalam kehidupan. Ego kedirian ini, yang 116 lebih parah lagi, semata-mata didasarkan pada bukan rasa, melainkan akal atau logika, sehingga rasionalisme, liberalisme, dan ujung-ujungnya adalah materialisme, juga superlativisme menjadi way of life segala-galanya dalam tradisi kebudayaan modern Barat. Obsesi dan kegairahan terhadap superlativisme ini, akhirnya telah mengantarkan tragedi kebudayaan yang kompleks dan amat mengerikan, karena memang yang dinamakan dengan nafsu berlebih-lebihan itu, tidak akan pernah dapat dipuaskan. Dari sini akhirnya dapat difahami, bahwa superlativisme telah mengakibatkan berkembangnya budaya megalomania, kesombongan, keangkuhan, kerakusan, dan lain sebagainya yang amat destruktif maknanya dalam perspektif kebudayaan dan kemanusiaan, dan semua itu adalah nirbatas adanya. Ketika hampir seluruh alam, dan juga bahkan manusianya sendiri, kini tampak ‘rusak-rusakan’, penjelasannya yang cukup komprehensif salah satunya dapat disandarkan pada dialektika ini. Namun ironi dan anehnya adalah, warna filsafat kebudaayaan yang amat destruktif tersebut di era kekinian, justru menjadi gelombang kegilaan masyarakat secara massif yang amat mengerikan, dan terutama salah satunya diprovokasi serta dipropagandakan besar-besaran melaui representasi estetika iklan. Itulah kiranya beberapa kategori penting permasalahan postkolonial yang tengah, sedang, dan tampaknya masih akan terus menghantui dan menjadi salah satu beban terberat bangsa ini, yang sebenarnya dalam konteks kulturasi yang lebih luas daftarnya masih dapat diperpanjang lagi. Fenomena hegemoni postkolonial dalam representasi estetika iklan ini, dalam batas-batas tertentu bisa 117 diproyeksikan ke dalam konteks kultural ke-Indonesia-an untuk dipergunakan sebagai entry point atau pintu masuk untuk memahami dan mengkritisi pelbagai kompelsitas persoalan kultural ke-Indonesia-an yang lebih luas lagi, yang dalam titik tertentu juga lebih banyak disebabkan persinggungannya dengan wacana postkolonial ini. B. Saran Berdasarkan kesimpulan hasil temuan penelitian sebagaimana telah disampaikan di atas, kiranya perlu untuk dikemukakan beberapa rekomendasi penting, yang dipilah dalam dua kategori besar, yakni yang terkait dengan gagasan yang sifatnya teoretis, dan kedua praksis. Kedua formula rumusan rekomendasi sebagaimana dimaksud adalah sebagai berikut. Pertama, terkait rekomendasi gagasan yang sifatnya teoretis, dapat disampaikan bahwa terkait dengan persoalan hegemoni postkolonial Barat dalam representasi estetika iklan dan juga kebudayaan dalam arti yang ini, kiranya perlu dicarikan alternatif strategi politik resistensi secara kultural secara luas dan menyeluruh. Salah satunya yang kiranya bermakna amat strategis dapat diupayakan adalah pentingnya pengedepanan kesadaran berpengetahuan, baik dalam kaitannya dengan konteks kecil bidang estetika, maupun dalam bidangbidang kebudayaan lain yang lebih luas, yang lebih dilandasi oleh basis spirit nilai-nilai kearifan budaya lokal. Dalam kaitan ini, dalam konteks yang spesifik, misalnya sebagaimana yang menjadi fokus penelitian ini, perihal pentingnya pengedepanan spirit nilai- 118 nilai kearifan budaya lokal ini, di antaranya dapat ditempuh dengan cara melakukan upaya revitalisasi dan reorientasi tentang ‘estetika Timur’, yang notabene juga berakar pada ‘filsafat Timur. Sebagaimana hasil temuan dalam penelitian ini, betapa yang dinamakan dengan ‘filsafat Timur’ itu, merupakan akar-akar terdasar dan terdalam yang pernah dimiliki dan bahkan menjadi fondasi bukan hanya dalam praksis berkesenian, malainkan juga berperadaban dalam arti yang luas bangsa ini, di masa lampau yang sangat panjang. Upaya revitalisasi dan reorientasi filsafat Timur ini, di antara dapat digali dari pelbagai khazanah kebudayaan yang tersebar di seantero bumi Nusantara ini, di antaranya yang cukup berkembang luas di masyarakat adalah misalnya filsafat Jawa. Nilai-nilai filsafat Timur ini, sebagaimana telah disajikan pada pembahasan penelitian ini, kekuatan dan kelebihannya dibandingkan dengan filsafat Barat, adalah terutama terletak pada gagasan perihal internalisasi pengetahuan yang berpuncak bukan semata-mata pada keterjangkauan akal budi dan nalar manusia yang imanensi, seperti yang terdapat dalam filsafat Barat. Melainkan sandaran final proses pencarian kebenaran pengetahuan manusia itu lebih ditempatkan pada kutub transendensi. Filsafat Barat yang bercorak khas antropomorfis, yang semata-mata disandarkan dan berpusat pada diri manusia itu sendiri, dan menghasilkan corak kesenian berikut paradaban yang lebih bersifat sekuler dan profan, betapa telah mengakibatkan manusia beserta peradaban yang ada di dalamnya mengalami banyak persoalan, ketika ternyata manusia sehebat apa pun tak pernah mampu menerobos yang namanya domain ‘ketakberhingaan’, sebagaimana yang selalu 119 didambakan. Ukuran-ukuran kebenaran pengetahuan yang semata-mata rasional, sebagaimana tipikal khas dalam filsafat Barat itu, betapa tak pernah mampu menyentuh apalagi menghadirkan yang transendental. Sementara itu, dalam kesadaran filsafat Timur yang dari sejarah awalnya yang paling purba diketahui lebih berbasiskan bukan pada spirit antropomorpis, melainkan kesadaran teologis, betapa telah mampu dengan amat elegan memaknai dan memahami segala kodrat keterbatasan yang dimiliki oleh manusia, sehingga setiap penggagasan kebudayaan secara ideal yang kerap rumusannya menyentuh aras ketakberhinggaan, bukan didasarkan pada akal dan nalar manusia yang imanensi, melainkan pada wilayah ke-Illahi-an yang transendensi. Dari sinilah akhirnya, makna kelebihan dan kekuatan filsafat Timur lebih dapat dirasakan, jika dibandingkan dengan filsafat Barat, karena refleksinya dalam berpengetahuan tak pernah sedikit pun dipisahkan dari domain kebaikan dan juga kebenaran; istilah lain untuk domain ke-Illahi-an. Manakala revitalisasi dan reorientasi estetika ke-Indonesia-an ini bisa dilakukan, maka kemungkinan besar di suatu masa yang akan datang akan kembali ditemukan karya-karya kreatif estetika iklan, yang tidak lagi didasarkan pada domain-domain obsesi yang artifisial khas Barat, sebagaimana yang menjadi temuan penelitian ini, melainkan lebih didasarkan nilai-nilai kedalaman yang banyak berbasiskan kombinasi antara keindahan, kebaikan, dan kebenaran. Karena sebenarnya, konsep utama dari daya tarik periklanan itu, sebenarnya bukannya berada pada sistem penanda dan petanda estetis yang mesti bercitra 120 serba Barat, melainkan lebih pada persoalan sejauhmana bobot dan kadar kreativitas estetisnya itu bisa diwacanakan. Kedua, rekomendasi yang terkait dengan gagasan yang sifatnya praksis, dalam hal ini lebih banyak ditujukan kepada pelbagai pihak yang dalam kinerja kulturasi sehari-hari banyak bersentuhan baik langsung maupun tak langsung dengan bidang periklanan. Pihak-pihak sebagaimana dimaksud, adalah sangat banyak, misalnya pihak pemerintah, lembaga perguruan tinggi, lembaga periklanan, dan pihak-pihak lain yang terkait dan berkepentingan, yang diharapkan semakin menyadari pentingnya kemungkinan menghadikran estetika periklanan yang lebih mencerahkan di masa mendatang. Terutama lagi secara spesifik, estetika iklan yang relatif tidak lagi terhegemoni oleh estetika postkolonial Barat yang memperihatinkan. Gagasan-gagasan rekomendasi, baik yang sifatnya teoretis maupun praksis tersebut, tidak sama sekali menafikan atau menegasikan kemungkinan pertemuannya dengan filsafat Barat. Apalagi di zaman globalisasi seperti yang tengah melanda di zaman modern dan postmodern kekinian, bahwa yang dinamakan perjumpaan dengan banyak kebudayaan, termasuk Barat, merupakan sesuatu keniscayaan yang tak mungkin terhindarkan. Yang kiranya perlu lebih mendapatkan tekanan tafsir dan pemaknaan, adalah bagaimana di setiap perjumpaan dengan kebudayaan, termasuk dengan kebudayaan Barat itu, bukan berdampak menghilangkan eksistensi dan identitas baik estetika maupun kultural ke-Indonesia-an, melainkan justru lebih mampu memperkaya nilai-nilai khazanah 121 ‘otentisitas’ kebudayaan diri yang memang pernah dan sudah sangat lama dimiliki oleh negeri dan bangsa ini. Dalam pemahaman ini, juga sama sekali tidak terkandung muatan pemaknaan bahwa semua yang berasal dari Barat itu adalah serba negatif, demikian juga sebaliknya yang dimiliki oleh budaya Timur atau secara spesifik Indonesia itu semuanya serba positif. Baik Barat maupun Timur, secara niscaya eksistensi sejatinya masing-masing juga tak pernah dilepaskan dari dua domain itu, kelebihan dan kekurangan. Dari sinilah karenanya, nilai urgensi dan signifikansi setiap perjumpaan kebudayaan Timur dan Barat dapat dipetakan dan diidealkan secara mencerahkan: bahwa apa-apa yang baik dari Barat mestinya mampu dikombinasikan secara cerdas dan kreatif dengan apa-apa yang baik juga yang memang telah dimiliki oleh Timur. Jika domain nilai-nilai kebaikan filsafat Timur ada yang menyebut dan mengkristalkan maknanya sebagai ‘sumur madu peradaban’, dan sebaliknya segala kebaikan filsafat Barat misalnya dapat diatribusi sebagai ‘sumur susu perdaban’, maka betapa kemungkinan penggabungan di antara keduanya, kiranya akan menjadi kemungkinan gagasan simbiose mutualisme, yang akan menghasilkan kualitas peradaban ideal di masa mendatang. Sebuah peradaban yang bukan hanya amat memesona, karena ditaburi dengan hiasan yang bermahkotakan semata-mata ‘keindahan’, meiainkan di dalamnya juga bersemayam nilai-nilai kebaikan dan kebenaran. Kiranya itulah salah satu tugas dan kewajiban mulia kemanusiaan manusia di seluruh dunia, di mana pun ia berada, yang amat layak dan mendesak untuk direnungkan, 122 diidealkan, dan secara praksis diimperatifkan dalam keseluruhan kinerja berperadaban, kini dan di masa mendatang. 123 DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Imran T. 2001. “Resepsi Sastra”, dalam Jabrohim (ed.), Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: PT Handindita Graha Widia dan Masyarakat Poetika Indonesia-Yogyakarta. Adorno, Theodor W. 2004. Aesthetic Theory. London: Continuum International Publishing Group. Alasuutari, Pertti. 1996. Researching Culture: Qualitatif Method and Cultural Studies. London: Sage Publication, Ltd. Allen, Graham. 2003. Roland Barthes. London and New York: Sage Publication. Anderson, Benedict Richard O'Gorman. 2006. Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism. London: Verso. Atmaja, Muchtar Kusuma, et al. 1990. Perjalanan Seni Rupa Indonesia: Dari Zaman Prasejarah Hingga Masa Kini (Streams of Indonesia Art: From Pre-Historic to Contemporary). Bandung: Seni Budaya. Badudu, J.S. 2003. Kamus Kata-kata Serapan Asing dalam Bahasa Indonesia. Cetakan Pertama. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Barnard, Malcolm. 2003. “Advertising: The Rethorical Imperative”, in Chris Jenks (ed.), Visual Culture. This Edition Published in the Taylor & Francis e-Library. London & New York: Routledge. Barthes, Roland. 1978. Image, Music, Text. Hill and Wang, Macmillan. __________. 2007. “Konklusi: Riset Semiologis”, dalam Petualangan Semiolog. Terjemahan Stephanus Aswar Herwinarko. Cetakan Pertama. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Beasley, Ron & Marcel Danesi. 2002. “The Semiotic Approach to Advertising”, in Persuasive Signs: The Semiotics of Advertising. Berlin: Walter de Gruyter. Bell, Daniel. 1976. The Cultural Contradictions of Capitalism. New York: Basic Books. Bertens, Kees. 1983, Filsafat Bahasa Abad XX, Jilid I. Jakarta: Gramedia. Bhabha, Homi K. 1994. The Location of Culture. London: Routledge. 124 __________. 1995. “Signs Taken for Wonders”, dalam Ashcroft, Bill, et al. (eds.), The Postcolonial Studies Reader. London: Routledge, __________. 2006. “Chapter 33: Cultural Diversity and Culrtural Differences”, in Bill Ashcroft, Gareth Griffiths, Helen Tiffin (eds.), The Post-Colonial Studies Reader. Second Edition Published. USA & Canada: Taylor & Francis. Blikololong, Jacob. 1983. “Iklan-iklan Komersial, Pro dan Kontra (I)”, Basis (Edisi Januari), 4. Bloomfield, Leonard. 1995. “Chapter 2: The Usage Language”, in Language. New Delhi: Motilal Banarsidass Publication. Borgias, Fransiscus. 1993. “Bahasa dan Realitas Perubahan Sosial”, dalam Basis, Majalah Kebudyaan Umum (Edisi Oktober-XLLII-No.10). Bovee, Coutland L. & William F. Arens.1986. Contemporary Advertising. New York: Irwin MC Graw-Hill. Brabazon, Tara, “How Imagined are Virtual Communities?” Mots Pluriels, No. 8 (August 2001), http://www.arts.uwa.au/Mots Pluriels/MP1801tb2.html. Diakses 21 May 2010. Budianta, Melani. 2008. “Oposisi Biner dalam Wacana Kritik Pascakolonial”, dalam Budi Susanto, S.J. (ed.), Membaca Postkolonialitas (di) Indonesia. Cetakan Pertama. Yogyakarta: Kanisius. Budiman, Manneke. 2006. “Masalah Sudut Pandang dan Dilema Kritik Pasca Kolonial”, dalam Keith Foulcher & Tony Day (eds.). Clearing Space: Kritik Pasca Kolonial tentang Sastra Indonesia Modern. Jakarta: Kerjasama antara Yayasan Obor Indonesia dengan KITLV-Jakarta. Cahyadi, Haryanto. 2004. “Keterlemparan Manusia dalam Dunia Ambigu: Menimbang Gagasan Edward Said dalam Horizon Filsafat Martin Heidegger”, dalam Mudji Sutisno dan Hendar Putranto (eds.), Hermeneutika Pascakolonial: Soal Identitas. Cetakan Pertama. Yogyakarta: Kanisius. Chaney, David. 2006. Lifestyles: Sebuah Pengantar Komprehensif. Terjemahan Nuraeni. Cetakan Pertama. Yogyakarta: Jalasutra. Cobley, Paul dan Litza Jansz. 2002. Mengenal Semiotika for Beginners. Terjemahan Ciptadi Sukono. Bandung: Mizan Media Utama. 125 Cronin, Anne M. 2005. “Chapter 2: Advertising Knowledge”, in Advertising and Consumer Citizenship: Gender, Images, and Rights. This edition published in the Taylor & Francis e-Library. London: Routledge. Crystal, David. 1991. The Cambridge Encyclopedia. Cambridge, United Kingdom: Cambridge University Press. Dahlan, Muhidin M. 2001. Poskolonial: Sikap Kita terhadap Imperialisme. Cetakan Pertama. Yogyakarta: Jendela. Danesi, Marcel. 2008. Chapter 1: What is Pop Culture?”, in Popular Culture: Introductory Perspectives. Maryland, USA: Rowman & Littlefield Publishing Group, Inc. D'Amato, Paul. 2006. “Chapter Two Marxs Materialist Method; Biological Determinism: You Can’t Change Human Nature”, in The Meaning of Marxism. First Published. Chicago, IL, USA: Haymarket Books. Darwin, Charles. 2007. “Natural Selection; or the Survival of the Fittest”, in Origin of Species. http://www.forgottenbooks.org./, Diakses pada bulan Juni 2010. Demont-Heinrich, Christof. 2005. “Language and National Identity in the Era Globalization: The Case of English in Switzerland”, Journal of Communication Inquiry (29:1, January 2005). Dyer, Gillian. 1982. Advertising as Communication. London: Routledge. Dhakidae, Daniel. 2002. “Memahami Rasa Kebangsaan dan Menyimak Bangsa sebagai Komunitas-komunitas Terbayang”, dalam Benedict Anderson, Imagined Communities (Komunitas-komunitas Terbayang). Cetakan Kedua. Yogyakarta: INSIST Bekerjasama dengan Pustaka Pelajar. Eco, Umberto. 1979. “Introduction: Toward A Logic of Culture”, in A Theory of Semiotics. First Midland Book Edition. Bloomington, IN, USA: Indiana University Press. Endraswara, Suwardi. 2006. “Bagian Tujuh, Tokoh Mistik Kejawen: Ajaran Keras dan Lembut; Ki Ageng Soerjamentaram: Bercermin Diri”, dalam Mistik Kejawen: Sinkretisme, Simbolisme, dan Sufisme dalam Budaya Spiritual Jawa. Cetakan Keempat, Edisi Revisi. Yogyakarta: Penerbit Narasi. Ewen, Stuart. 2001. Captains of Cosciousness: Advertising and the Social Roots of the Consumer Culture. New York: Basic Books. 126 Fairclough, Norman. 2003. Language and Power: Relasi Bahasa, Kekuasaan, dan Ideologi. Terjemahan Indah Rohmani. Malang: Boyan Publishing. Fanon, Frantz. 2008. Balck Skin White Mask. Translated from the French by Richard Pilcox. First Edition. New York: Grove Press. Faruk. 2007. Belenggu Pasca-Kolonial: Hegemoni dan Resistensi dalam Sastra Indonesia. Cetakan Pertama. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Featherstone, Mike. 1991. “The Body in Consumer Culture“, in Mike Featherstone, Mike Hepworth, & Bryan S. Turner (eds.), The Body: Social Process and Cultural Theory. First Published. London: Sage Publication. Feldman, Edmund Burke. 1967. Art as Image and Idea. Eglewood Cliffs, New Jersey: The University Of Georgia-Prentice Hall, Inc. Foucault, Michel. 1980. Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings, 1972-1977. New York: Harvester Press. __________. 2002. Pengetahuan dan Metode: Karya-karya Penting Foucault. Terjemahan Jalasutra, Jalasutra, Yogyakarta. __________. 2007. Archaeology of Kknowledge. Routledge Classics. London: Routledge. Frankenberg, Ruth. 2005. “Points of Origin Points of Departure”, in White Women, Race Matters: The Social Construction of Whiteness. This Edition Published in the taylor & Francis e-Library. London: Taylor & Francis. Galbraith, John Kenneth. 1998. “Chapter 11: The Dependence Effect”, in The Affluent Society. New York: Houghton Mifflin Harcourt. Gall, Meredith D., Joyce P. Gall, and Walter R. Borg. Educational Research: An Introduction. Seventh Edition. New York: Pearson Education, Inc. Gellner, Ernest. 2008. Nations and Nationalism. Second Edition. Oxford: Blackwell Publishing, Ltd. Goddard, Angela. 2001. “Introduction”, in The Language of Advertising. This Edition Published in the Taylor & Francis e-Library. London & New York: Routledge. Goldman, Robert. 1992. Reading Ads Socially. London and New York: Routledge. 127 Hall, Stuart. 2007. “The Work of Representation”, in Stuart Hall, Representation: Cultural Representation and Signifying Practices. London: Sage Publication in Association with The Open University. __________. 2011. “The Whites of Their Eyes: Racist Ideologies and the Media, in Gail Dines & Jean M. Humez (eds.), Gender, Race and Class in the Media. Edition 3. London: Sage Publication. Handoyo, Ridwan. “Diskusi Etika Periklanan Indonesia: Penggunaan Kata/Istilah Superlatif”, http://p3i-pusat.com/dunia-pariwara/berita/119-diskusi-epipenggunaan-kataistila. Diakses Januari 2011. Hardt, Harno. 1997. “British Cultural Studies and the Return of the Critical in American Mass Communication Research: Acommodation or Radical Change?”, in David Morley & Kuan-Hsing Chen, Stuart Hall, Critical Dialogue in Cultural Studies. London: Routledge. Harris, George. 2006. “Composition in Arts”, in The Theory of the Arts; or, Art in Relation to Nature, Civilization, and Man. Digital Version. London: Tubner and Co. Heidegger, Martin. 2005. “Introduction: Exposition of the Question of the Meaning of Being”, in Being and Time. Malden, USA, Oxford, UK, & Victoria, Australia: Wiley-Blackwell. Hodge, Robert & Gunter Kress. 1988. Social Semiotics. New York: Cornell University Press. Holub, Robert C. 1984. “The Horison of expectation”, in Reception Theory: A Critical Introduction. First Published. London & New York: Taylor & Francis. __________. 1993. “Constance School of Reception of Aesthetics [Reception Theory]”, in Irene Rima Makaryk (ed.), Encyclopedia of Contemporary Literary Theory: Approaches, Scholars, Terms. Toronto, Canada: University of Toronto Press. Horkheimer, Max & Theodor W. Adorno. 2002a. “Enlightenment as Mass Deception”, in Dialectic of Enlightenment: Philosophical Fragments. Translated by Edmund Jephcott. Palo Alto, California, USA: Stanford University Press. Hornby, AS. 1987. Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current Anglish. Revised and Updated. Twenty-fifth Impression. Oxford, New York, Toronto: Oxford University Press. 128 Howson, Richard and Kylie Smith. 2008. “Hegemony and the Operation of Consensus and Coercion”, in Richard Howson and Kylie Smith (eds.), Hegemony: Studies in Consensus and Coercion. London: Routledge. Jhally, Sut. 1990. “The Code of the Audience”, in The Codes of Advertising: Fetishism and the Political Economy of Meaning in the Consumer Society. First Published. New York & London: Routledge. Johnson, R.B. “Estimating an Evaluation Model Using Conjoint Measurement and Analysis”. Evaluation Review, 1995: 19 (13), 313-338. Jr., John C. Concon. 1981. “Bab I: Bahasa dan Kelestariannya”, dalam Maruli H. Panggabean (ed.), Bahasa, Pengaruh dan Peranannya. Jakarta: P.T. Gramedia. Kasali, Rhenald. 1993. Manajemen Periklanan: Konsep dan Aplikasinya di Indonesia. Cetakan Ketiga. Jakarta: PT Temprint. Koentjaraningrat. 1986. “Peranan Local Genius dalam Akulturasi”, dalam Ayatrohaedi, (ed.), Kepribadian Budaya Bangsa (Local Genius). Jakarta: Pustaka Jaya. __________. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Cetakan Kedelapan. Jakarta: Rineka Cipta. Leiss, William Stephen Kline & Sut Jhally. 1997. “Defences of Advertising”, in Social Communication in Advertising: Persons, Products & Images of Well-Being. Second Edition, Revised and Enlarged. London & New York: Routledge. Liliweri, Alo. 2005. “Perspektif Teoretis Hubungan Antarras”, dalam Prasangka dan Konflik: Komunikasi Lintas Budaya Masyarakat Multikultur. Cetakan Pertama. Yogyakarta: PT LKiS Pelangi Aksara. Lombard, Denys. 1996. Nusa Jawa Silang Budaya, Kajian Sejarah Terpadu, Bagian I: Batas-batas Pembaratan. Terjemahan Gramedia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Marcuse, Herbert. 2000. Manusia Satu Dimensi. Terjemahan Silvester G. Sukur dan Yusup Priyasudiarja. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya. McFall, Liz. 2004. Advertiisng: A Cultural Economy. London: SAGE Publications, Ltd. 129 McKendrick, N., J. Brewer & J.H. Plumb. 1982. The Birth of A Consumer Society, the Commercialization of Eighteenth Century England. Bloomington, IN: Indiana University Press. McLuhan, Marshall. 1964. Understanding Media. The Extentions of Man. London: Rotledge & Kegan Paul. Miles, Matthew B. dan A. Michael Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif: Buku Sumber tentang Metode-metode Baru. Terj. Tjetjep Rohindi Rohidi. Indonesia University Press, Jakarta. Moleong, Lexy J. 2005. Metodologi Penelitian Kualitatif. Edisi Revisi. Cetakan Keduapuluhsatu. Bandung: Remaja Rosdakarya. Muhadjir, Noeng. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif. Edisi IV. Yogyakarta: Rake Sarasin. Myhill, John. 2006. “Introduction: Language, National Identity, and Nationalism”, in Language, Religion and National Identity in Europe and the Middle East: A Historical Study. Amsterdam, The Netherland: John Benjamins Publishing Company. Nicosia, Francesco M. 2009. “Advertising and the Manipulation of Consumers”, in Advertising, Management, and Society: A Business Point of View. Digital Published. USA: McGraw-Hill. O’Shaughnessy, J. & N.J. O’Shaughnessy. 2004. Persuasion in Advertising. London: Routledge. Oakes, Leigh. 2001. Language and National Identity: Comparing France and Sweden. Amsterdam, The Netherland: John Benjamins Publishing Company. Odih, Pamela. 2007. Advertising in Modern and Postmodern Times. London, Thousand Oaks, California, Mathura Road, New Delhi, Singapore: Sage Publication. Panggabean, Maruli H. 1981. “Prakata”, dalam Maruli H. Panggabean (ed.), Bahasa, Pengaruh dan Peranannya. Jakarta: P.T. Gramedia. Pennycook, Alastair. 1998. English and the Discourses of Colonialism. Routledge, London & New York. Phillips, Michael J. 1997. “Chapter 1: The Indictment of Manipulative Advertising”, in Ethics And Manipulation in Advertising: Answering A 130 Flawed Indictment. Westport, Connecticut, USA: Greenwood Publishing Group. Poespowardojo, Soerjanto. 1986. “Pengertian Local Genius dan Relevansinya dalam Modernisasi”, dalam Ayatrohaedi (ed.), Kepribadian Budaya Bangsa (Local Genius). Jakarta: Pustaka Jaya. Purwanto, Bambang. 2006. “Bagian 5: Sejarah dan Pemahaman Kembali Gagalnya Historiografi Nasionalisme Indonesia”, dalam Indonesiasentris?! Cetakan Pertama. Yogyakarta: Ombak. Ratna, I Nyoman Kutha. 2008. Postkolonialisme Indonesia: Relevansi Sastra. Cetakan Pertama. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Rendra, W.S. 1983. Mempertimbangkan Tradisi. Jakarta: Gramedia. Ross, Ralph & Ernest van den Haag. 1962. “Art and Its Social Functions” in Symbols & Civilization: Science, Morals, Religion, Art. New York and Burlingame: Harcourt, Brace & World, Inc. Said, Edward W. 1979. Orientalism. New York: Vintage Books. Smith, Linda Tuhiwai. 2006. “Chapter 1: Imperialism, History, Writing and Theory”, Decolonizing Methodologies: Research and Indigenous Peoples. Nineth Impression. London UK, New York USA, & Dunedin New Zealand: Zed Books & University of Otago Press. Soedarsono, R.M. 2001. Metodologi Penelitian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa. Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia. Soeratno, Siti Chamamah. 2001. “Penelitian Resepsi Sastra dan Problematikanya”, dalam Jabrohim (ed.), Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: PT Handindita Graha Widia dan Masyarakat Poetika Indonesia-Yogyakarta. Spivak, Gayatri Chakravorty. 1995. “Can the Subaltern Speak?”, in Ashcroft, Bill, et al. (eds.), The Postcolonial Studies Reader. London and New York: Routledge. __________. 1988. “Can the Subaltern Speak?”, in Cary Nelson & Lawrence Grossberg (eds.), Marxism and the Interpretation of Culture. Champaign, Illinois, USA: University of Illinois Press. __________. 2006. “Chapter 4: “Can the Subaltern Speak?”, in Bill Ashcroft, Gareth Griffiths, & Helen Tiffin (eds.), The Post-Colonial Studies Reader. Second Edition Published. USA & Canada: Taylor & Francis. 131 Stephens, John. 1992. Language and Ideology in Children’s Fiction. London: Longman. Sudjiman, Panuti dan A.J.A van Zoest. 1992. Serba-serbi Semiotika. Jakarta: Gramedia. Sullivan, Joanna. 2001. “The Question of a National Literature for Nigeria”, Research in African Literatures, 32/3 (Fall 2001), 71-85. Sunardi, St. 2002. Semiotika Negativa. Yogyakarta: Kanal. Supangkat, Jim. 1979. Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia. Jakarta: Gramedia. Supangkat, Jim, Sumartono, Asmudjo Jono irianto, Rizki A. Zaelani, dan M. Dwi Marianto. 2000. Outlet: Yogya dalam Peta Seni Rupa Kontemporer Indonesia. Yogyakarta: Yayasan Seni Cemeti Bekerjasama dengan Prince Claus Fund for Culture and Development Belanda. Sutherland, Max & Alice K. Sylvester. 2008. “Influencing People: Myths And Mechanisms”, in Advertising and the Mind of the Consumer: What Works, What Doesn’t and Why. 3rd Edition. Australia: Griffin Press. Sutrisno, Mudji dan Hendar Putranto. 2004. Hermeneutika Pascakolonial: Soal Identitas. Cetakan Pertama. Yogyakarta: Kanisius. Tester, Keith. 2003. Media, Budaya, dan Moralitas. Terjemahan Muhammad Syukri. Cetakan Pertama. Yogyakarta: Juxtapose Bekerjasama dengan Kreasi Wacana. Thornborrow, Joanna. 2007. “Bab 9: Bahasa dan Identitas”, dalam dalam Linda Thomas & Shân Wareing, Bahasa, Masyarakat, dan Kekuasaan. Terjemahan Sunoto, dkk. Cetakan I. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Ketiga, Cetakan Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka. Tungate, Mark. 2007. “Pioneers of Persuasion”, in Adland: A Global History of Advertising. London and Philadelphia: Kogan Page. Undang-undang RI No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Vestergaard, Torben dan Kim Schroder. 1985. The Language of Advertising. Oxford: Basil Blakwell, Ltd. 132 Williams, Raymond. 1988. “Dominat, Residual, and Emergent”, in K.M. Newton, Twentieth-Century Literary Theory: A Reader. London: MacMillan Education, Ltd. Williamson, Judith. 2007. Decoding Advertisements: Membedah ideologi dan Makna dalam Periklanan. Terjemahan Saleh Rahmana. Cetakan Pertama. Yogyakarta: Jalasutra. Wiryomartono, Bagoes P. 2001. “Seni sebagai Kebenaran Berada ke dalam Karya: Heidegger”, dalam Pijar-pijar Penyingkap Rasa: Sebuah Wacana Seni dan Keindahan dari Plato sampai Derrida. Jakarta: P.T. Gramedia Pustaka Utama. Yuliman, Sanento. 2001. Dua Seni Rupa: Serpihan Tulisan Sanento Yuliman. Cetakan Pertama. Jakarta: Yayasan Kalam. Zanot, Eric J. 1992. “Subliminal Seduction: Real or Imagined?”, in Sammy Richard Danna, (ed.), Advertising and Popular Culture: Studies in Variety and Versatility. Ohio, United States: Bowling Green State University & Popular Press. 133 LAMPIRAN 1. PERSONALIA TENAGA PENELITI BERSETA KUALIFIKASINYA No. 1. Nama dan Gelar Akademik Kasiyan, M.Hum. Bidang Keahlian Estetika. Desain Produk. Metodologi Penelitian Seni. 2. Aran Handoko, M.Sn. Desain Komunikasi Visual. Fotografi. Instansi Jurusan Pendidikan Seni Rupa, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Yogyakarta. Jurusan Pendidikan Seni Rupa, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Yogyakarta. Alokasi Waktu (jam/minggu) 10 Jam/Minggu 10 Jam/Minggu 134 B. DRAFT ARTIKEL ILMIAH 135 HEGEMONI ESTETIKA POSTKOLONIAL DALAM REPRESENTASI IKLAN DI MEDIA MASSA CETAK INDONESIA KONTEMPORER Kasiyan Jurusan Pendidikan Seni Rupa, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Yogyakarta E-mail: [email protected] ABSTRACT This study is aimed at describing postcolonial aesthetic hegemony in the advertisements of contemporary Indonesian printed mass media, focussing on three main matters: 1) its signifiers and signified representations; 2) various factors underlying the strength of postcolonial aesthetics; and 3) strategies of cultural resistance policy to build possible counter-postcolonial aesthetics awareness.The main approach of this study is postcolonial, assisted by other relevant approaches, namely semiotics and historical. The main instrument of this study is the researcher himself as the human instrument. The research data are in the forms of advertising from printed media, namely: Tempo, Femina, and Kartini of 2007-2009 edition. The data are analyzed by using descriptive qualitative technique. The results of this study show the followings. 1) There are three dominant signifier hegemony representations of Western aesthetics in the print media advertising in contemporary Indonesia, associated with obsessions of: a) Western physical appearance or Indo; b)Western whiteness; and c) the use of English. 2)These phenomenon are the results of the existence of Indonesians’ strong construction of colonialism syndrom. 3) One of the strategies to build possible counter-postcolonial aesthetics is by improving awareness on local cultures as the foundation to build national culture and identity. Keywords: hegemony, Indonesian. postcolonial aesthetics, advertising,contemporary ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji perihal hegemoni postkolonial dalam estetika iklan di media massa cetak Indonesia kontemporer.Penelitian memfokuskan pada tiga persoalan, yakni: penanda (bentuk) dan petanda (maknanya); faktor penyebabnya; dan strategi politik resistensi kultural.Pendekatan penelitian ini adalah postkolonial, semiotis, dan 136 historis. Instrumen utama penelitian ini adalah peneliti, sebagai human instrument. Data penelitian berupa iklan bersumber dari media massa cetak, yakni Tempo, Femina, dan Kartini edisi 2007-2009. Adapun analisis datanya menggunakan teknik deskriptif kualitatif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat tiga representasi penanda hegemoni estetika postkolonial yang cukup dominan dalam iklan di media massa cetak Indonesia kontemporer, yakni a) ketubuhan Barat dan atau Indo; b) ketubuhan kulit putih; dan c) penggunaan Bahasa Inggris. Fenomena tersebut disebabkan oleh masih kuatnya konstruksi sindrom kolonialisme yang dialami oleh bangsa Indonesia, meskipun bangsa ini telah merdeka. Oleh karena itu strategi politik resistensi kultural penting diupayakan untuk membangun kesadaran counter-hegemoni estetika postkolonial, dengan cara mempertinggi kesadaran tentang budaya lokal sebagai fondasi pengembangan budaya dan identitas nasional. Kata-kata kunci: hegemoni, estetika postkolonial, iklan, Indonesia kontemporer. PENGANTAR Iklan merupakan produk budaya modern yang fenomenal sehingga seringkali dianggap sebagai salah satu variabel penting yang merefleksikan dan mengonstruksi kesadaran masyarakat kekinian (Williamson, 2007:1). Betapa tidak, totalitas kehidupan masyarakat, terutama di era modern dan postmodern, seolah tidak menyisakan sedikit pun ruang yang steril dari pengaruh dan kuasanya. McLuhan (2006:24) bahkan pernah menyebut iklan sebagai temuan karya seni terbesar abad ke-20 karena di dalamnya terkandung sejenis the magic system (Williams, 2005:170) atau the mistique system (Sutherland, 2008:3), yang mempunyai daya luar biasa untuk melakukan the hidden persuaders (Packard, 1980) atau the subliminal seduction (Zanot, 1992:56) kesadaran masyarakat secara masif-ideologis. Di samping mempunyai manfaat positif, keberadaan iklan juga banyak mengakibatkan dampak negatif. Dampak negatif itu secara klasik, terutama banyak dikaitkan dengan persoalan semakin tingginya budaya konsumerisme, materialisme, dan hedonisme di masyarakat (Brewer & Porter, 1994:19). Fenomena tersebut dapat terjadi karena iklan memicu lumpuhnya daya nalar kritis masyarakat (Tester, 2003:69) akibat kecenderungan sikap dan perilakunya yang 137 banyak dipandu oleh akal budi instrumentalis (Horkheimer & Adorno, 2003). Oleh karena itu, tidak mengherankan kalau iklan banyak mendapat kritik keras di masyarakat. Cronin (2005:37), misalnya, mengritik iklan sebagai produk budaya modern yang kontroversial jika dipandang dari perspektif moral, ideologi, dan estetikanya.Demikian juga halnya sosiolog Bell (1976:69) menyebut iklan sebagai salah satu penemuan yang menakutkan di sepanjang sejarah peradaban kapitalisme Barat karena telah banyak mengolonisasi kesadaran sosial, yang mengikis nilai-nilai yang ada di masyarakat (Goldman, 1992:8). Ada dampak negatif lain yang tidak kalah mendasar, yang nyaris terlepas dari perhatian masyarakat, terutama dalam kaitannya dengan konteks keindonesiaan, yakni menyangkut persoalan politik identitas kebudayaan dan nasionalisme sebuah bangsa. Persoalan ini, dapat diverifikasi dari representasi estetika iklan di media massa mana pun dan untuk kepentingan menawarkan produk apapun. Pelbagai sistem tanda estetika yang serba Barat, akhirnya menjadi sebentuk obsesi keterpesonaan yang luar biasa dalam wacana periklanan di media massa yang dapat membahayakan eksistensi jati diri kebudayaan Indonesia. Fenomena itu, jika ditilik dari perspektif postkolonial dapat dikatakan sebagai sebentuk realitas penjajahan baru (new imperialism), modusnya tidak dilakukan dengan cara kekerasan fisik (coersive), melainkan secara persuasif (O’Shaughnessy & O’Shaughnessy, 2004:1) atau hegemonik (Howson & Smith, 2008:14). Lanskap fenomena tersebut tentunya merupakan realitas kultural yang amat memprihatinkan karena tanpa disadari dapat berpotensi destruktif bagi pembangunan politik identitas dan nasionalisme bangsa. Terkait dengan persoalan inilah, Williams (1998:88-93) menegaskan bahwa iklan, sebagai salah satu bagian dari representasi sistem bahasa, merupakan salah satu situs hegemonik dari kebudayaanyang secara laten sebagai tempat pertarungan ideologi yang kompleks di masyarakat. Termasuk dalam konteks ini adalah ideologi postkolonial. Berdasarkan latar belakang tersebut, penelitian hegemoni estetika postkolonial dalam representasi iklan di media massa cetak Indonesia kontemporer ini dilaksanakan dengan memfokus pada tiga masalah, yakni 138 representasi pelbagai bentuk (penanda) dan makna (petanda) yang digunakannya; pelbagai faktor penyebab kuatnya konstruksi hegemoni estetika postkolonial sebagaimana dimaksud, dan strategi politik resistensi kultural yang dapat membangun kesadaran counter-hegemoni estetika postkolonial di masa mendatang. Pendekatan utama dalam penelitian ini adalah postkolonial, dengan pendekatan semiotika dan historis sebagai pertimbangan. Pendekatan postkolonial disandarkan pada pandangan Edward W. Said (1979), Homi K. Bhabha (1994), dan Gayatri C. Spivak (2006). Untuk pendekatan semiotis digunakan, karena penelitian ini mengkaji tanda, yakni iklan. Dalam konteks penelitian ini, model pendekatan semiotis yang digunakan adalah semiotikanya Roland Barthes (1975; 1981). Sementara itu, untuk pendekatan historis, dipilih model “sejarah pemikiran” (history of thought)-nya Roland N. Stomberg (1968)yang diadaptasi dari Kuntowijoyo (2003). Instrumen penelitian dalam konteks ini adalah peneliti sendiri sebagai human instrument dengan pedoman dokumentasi. Data penelitian berupa iklan bersumber dari media massa cetak Indonesia (majalah), yakni Tempo, Femina, dan Kartini, terbitan tahun 2007-2009, yang ditentukan dengan teknik purposive sampling. Sementara itu, teknik analisis datanya menggunakan deskriptif kualitatif. Perlu juga disampaikan bahwa, berdasarkan hasil penelusuran literatur di lapangan, kajian tentang hegemoni estetika postkolonial dalam representasi iklan di media massa Indonesia sulit ditemukan. Memang ada beberapa penelitian tentang wacana periklanan di Indonesia yang bersinggungan dengan persoalan budaya Barat, namun tidak secara tegas dan spesifik menggunakan perspektif postkolonial, melainkan menggunakan perspektif kultural yang umum, di samping beberapa yang fokusnya lebih mengarah pada studi yang terkait dengan feminisme. Paling tidak terdapat tiga hasil penelitian tentang iklan. Pada tahun 2000, Muchyar melakukan penelitian yang berjudul “Citra Amerika dalam Periklanan Prodok Konsumen di Indonesia”, yang menggunakan perspektif kultural secara umum. Selanjutnya, Aquarini Priyatna Prabasmoro, pada tahun 2002melakukan 139 penelitian berjudul Becoming White: The Representation of Female Mixed-Race Celebrities in Indonesian Soap Advertisements and Women’s Culture,yang mengedepankan perspektif feminisme. Vissia Ita Yulianto dengan judul Pesona Barat: Analisa Kritis-Historis tentang Kesadaran Warna Kulit di Indonesia, yang diterbitkan tahun 2007, juga tidak secara eksplisit menggunakan pendekatan postkolonialisme. Penelitian ini di samping dapat dikatakan orisinil, oleh karena itu juga mempunyai makna strategis, yakni terutama bagi kepentingan pemupukan dan pengembangan nilai-nilai dan semangat nasionalisme, yang salah satunya lewat estetika iklan, demi tetap teguh dan tegaknya entitas identitas jati diri dan nationstate keindonesiaan. IKLAN DAN PERGESERAN MAKNA SIMBOLIK ESTETISNYA Iklan, yang secara historis sudah dikenal sejak zaman Yunani dan Romawi Kuna (Tungate, 2007:10), mempunyai beberapa padanan bahasa asing, yakni: i’lan (Bahasa Arab), advertere (Bahasa Latin),advertentie (Bahasa Belanda), advertising (Bahasa Inggris), dan reclamare (Bahasa Prancis), yang maknanya meneriakkan sesuatu secara berulang-ulang (Kasali, 1993:111). Dalam pengertian yang lebih luas, iklan berarti berita pesanan yang dimuat di media massa untuk mendorong dan membujuk khalayak ramai pada barang atau jasa yang ditawarkan (Bovee & Arens, 1986:5). Dalam representasinya di media massa, iklan diwujudkan dalam bentuk sistem tanda, baik visual, audio, maupun kombinasi antara audio-visual. Sistem tanda tersebut difungsikan sebagai simbol, untuk mewakili atau memberi identitas atas sesuatu benda atau objek yang lain (Ross & van den Haag, 1962:211). Adapun simbol dalam periklanan digunakan sebagai alat untuk menginformasikan pesan atas produk, baik barang ataupun jasa kepada masyarakat. Dalam perspektif semiotis-estetis, baik iklan untuk kategori media massa cetak maupun elektronik, secara substansial konstruksi representasinya terkait dengan dua ranah, yakni penanda (signifier) dan petanda (signified) yang terdapat di dalamnya. 140 Bentuk adalah wujud fisik lahiriah (waarneembare gestalte) yang secara langsung mengungkap atau mengobjektivasi pengalaman batiniah, sedangkan isi adalah pranata makna dari berbagai gambaran perasaan (voorstelingen) yang digerakkan lewat wujud lahiriah tersebut (Feldman, 1967:61). Jika iklan yang dimaksud menggunakan media massa elektronik maka bentuk atau wujud lahiriahnya dapat berupa audio atau penggabungan antara audio-visual, sedangkan aspek fisik dalam iklan di media massa cetak, wujudnya berupa penggabungan seperangkat elemen material visual seni rupa yang terdiri atas garis, bidang, bentuk, warna, dan ruang. Semua komponen tersebut dikomposisi secara estetis dengan menggunakan seperangkat prinsip seni, yakni kesatuan, variasi, ritme atau irama, keseimbangan, harmoni, proporsi, kontras, dan pusat perhatian (Harris, 2006:13-15). Adapun struktur kesatuan komposisi estetis penanda dan petanda dalam iklan, terdiri atas pelbagai unsur, yakni ilustrasi, head line, subheadline (body copy), dan slogan (Vestergaard & Schroder, 1985:49-50). Ilustrasi adalah gambar atau objek tertentu yang dibuat untuk memperjelas audiens terhadap wacana tertentu. Sementara itu, subheadline merupakan penjelasan suatu pesan yang lebih lengkap tentang apa yang diinformasikan dalam iklan. Sementara itu, slogan adalah serangkaian kata-kata atau ungkapan pendek yang biasanya mengetengahkan keunggulan produk barang atau jasa yang sedang ditawarkan. Sebagai bagian dari seni rupa, iklan termasuk dalam lingkup “seni terapan” (applied arts), yakni sebuah kategori seni yang ekspresi estetikanya dikategorikan ke dalam genre “seni dalam rangka” (Soedarsono, 1998:223-233). Maknanya adalah penciptaan seni yang kesadaran utamanya pertama-tama dan yang utama tidak diperuntukkan bagi kepentingan pemenuhan dimensi estetis, melainkan lebih dimaksudkan untuk kepentingan lain di luar seni itu sendiri (Adorno, 2004:284). Dalam konteks karya iklan, kesadaran estetisnya lebih bersifat instrumentalistik, yakni berfungsi sebagai media komunikasi persuasif untuk memengaruhi masyarakat. Dalam kaitan dengan konsep inilah, kaidah estetisasi dalam iklan berbaur dengan kaidah komunikasi persuasif (Goddard, 2001:2-3). 141 Pada awal sejarahnya iklan lebih berfungsi sebagai media untuk mengomunikasikan pesan yang relatif natural, yang lebih banyak terkait dengan nilai guna (use value) atas produk yang ditawarkan. Namun, dalam perkembangannya kemudian terjadi pergeseran yang jauh, yakni lebih mengedepankan nilai citra (image value), misalnya berupa janji-janji simbolik tentang kemewahan, gaya hidup, dan hedonisme (Featherstone, 1991:171). Dalam konteks inilah, terjadi penjungkirbalikan logika produksi-konsumsi, karena pelbagai komoditas tidak lagi diproduksi untuk memenuhi kebutuhan, melainkan justru sebaliknya kebutuhan yang memang sengaja diciptakan (Marcuse, 2000). Proses penjungkirbalikan ini, secara fundamental telah mengubah sifat dasar iklan sebagai alat komunikasi pemasaran, kemudian bergeser amat jauh ke fungsi konotasi-manipulatif. Cara manipulasi ini dijalankan dengan modus exchangevalue (Dyer, 1982:116), yakni menukar makna nilai guna produk, menjadi nilai citra sosial tertentu. Dalam konteks inilah, iklan telah memerankan apa yang dapat dikategorikan sebagai colonising of the real (McFall, 2004:9). POSTKOLONIALISME: STRATEGI RESISTENSI KULTURASI ATAS KUASA HEGEMONI Postkolonialisme, sebagai sebuah teori merupakan terminologi yang sulit untuk dikerangkai dalam definisi secara ketat karena memang bukan sebuah konsep yang tunggal dan statis (Foulcher, 2006:xi). Namun, paling tidak terdapat satu substansi penting di dalamnya, yakni postkolonialisme merupakan strategi teoretis dan kritis yang digunakan untuk meneliti pelbagai kebudayaan yang ada di bekas koloni negara-negara Barat, yang didasarkan pada fakta historis kolonialisme dan aneka dampak negatif yang ditimbulkannya, terutama terkait dengan persoalan ketidakadilan hubungan dialektis, misalnya dalam wujud eksploitasi, marginalisasi, dan rasialisasi (Said, 1979:2-3). Dengan demikian, kolonialisme tidaklah berakhir dengan berakhirnya pendudukan kolonial (Gandhi, 2001:24). Ia berganti baju menjadi new colonialism, yang substansinya tetap sama, merusak dan melukai (Smith, 2005:2). Kolonialisme baru tersebut dijalankan tidak secara coercive (kekerasan), 142 melainkan secara hegemonik dengan modus memengaruhi ranah mental kesadaran masyarakat lewat determinasi kultural dengan menggunakan sarana utama aparatus ideologis bahasa (Bush, 2006:50-51). Pada era modern dan postmodern kekinian hegemoni itu semakin eksplosif-masif, terutama seiring dengan pengaruh revolusi teknologi dan informasi, yang disebut Toffler (1991) sebagai sebagai “revolusi gelombang ketiga”. Dampak dari revolusi ini telah mengubah dunia laksana sebentuk global village (McLuhan, 2006) sehingga dunia dilanda badai globalisasi. Dalam eraglobalisasi ini, pengaruh budaya Barat terhadap Timur lebih dominan dan memanifesto, misalnya, dalam wujud “Amerikanisasi” (Bischof, 2009:2), “McDonaldisasi” (Ritzer, 2011:14-16), “CocaColanisasi”, “Hollywoodisasi”, serta “McDisneysasi”. Revolusi teknologi telah mengubah orientasi budaya dan sistem nilai (Drucker, 1961:1). DIMENSI OBSESI KETUBUHAN BARAT ATAU INDO Hegemoni estetika Postkolonial dalam iklan di media massa Indonesia kontemporer yang pertama adalah persoalan dimensi obesesi ketubuhan Barat atau Indo. Persoalan tersebut tampak dalam dua gambar berikut. Gambar 1. Sosok Perempuan Barat sebagai Model Ilustrasi Iklan Produk Lipstik Merk Revlon. (Sumber: Majalah Femina, Edisi 3-9 Juli 2008, Halaman 7). Gambar 2. Sosok Indo Wulan Guritno sebagai Model Ilustrasi Iklan Pelembab Kulit Merk Inez(Sumber: Majalah Femina, Edisi 5-11 September 2009, Halaman 111). 143 Gambar 1 dan 2 di atas adalah contoh hegemoni estetika postkolonial dalam periklanan di Indonesia, yang terepresentasi dalam wujud penggunaan model sebagai ilustrasinya, yakni sosok perempuan Barat (gambar 1) dan sosok Indo (hasil dari perkawinan campur antara orang pribumi dengan Barat), yakni artis Wulan Guritno (gambar 2). Wulan Guritno, yang mempunyai nama lengkap Wulan Lorraine Guritno, adalah artis Indo (Jawa-Inggris) kelahiran London, 14 April 1980. Persoalan penggunaan model yang bersosokkan Barat atau Indo sebagai ilustrasi dalam iklan itu merupakan sesuatu yang amat tipikal dalam periklanan di Indonesia. Hal ini menunjukkan betapa sosok Barat atau Indo seolah merupakan suatu gambaran yang amat ideal tentang sosok manusia sehingga mempunyai daya tarik yang luar biasa. Fenomena ini bersinggungan dengan dengan salah satu konsep penting dalam teori postkolonial, yakni rasisme (Huggan & Law, 2009). Kultur rasisme ini, di Indonesia telah mengakar panjang, terutama semenjak zaman Hindia Belanda (Baay, 2010), dan masih eksis lestari sampai hari ini. DIMENSI OBSESI KETUBUHAN KULIT PUTIH Persoalan hegemoni estetika postkolonial dalam iklan yang kedua adalah obsesi terhadap ketubuhan kulit putih-Barat. Hal ini di antaranya dapat dilihat dari representasi iklan yang terdapat pada gambar 3 dan 4 berikut ini. 144 Gambar 3. Iklan Kosmetik Pemutih Kulit, Produksi dalam Negeri, Merk Viva White (Sumber: Majalah Kartini, Edisi 8-22 Maret 2007, Halaman 67). Gambar 4. Iklan Kosmetik Pemutih Kulit, Produksi Luar Negeri, Merk Pond’s(Sumber: Majalah Femina, Edisi 20-26 Desember 2007, Halaman 31). Gambar 3 dan 4 tersebut di atas adalah representasi iklan untuk kosmetik pemutih kulit yang diproduksi di dalam negeri, yakni merk Viva White (gambar 3) dan produk asing yang bermerk Pond’s (gambar 4). Fenomena kulit putih, yang notabene khas Barat itu, kini dianggap sebagai standar ideal yang menghegemoni kesadaran bangsa-bangsa Timur, termasuk Indonesia, sehingga menggeser mainstream wacana warna kulit bangsa Timur yang telah mengideologi ribuan tahun lamanya, yakni sebagai bangsa yang berkulit misalnya sawo matang, kuning langsat, coklat, kuning, atau hitam. DIMENSI OBSESI PENGGUNAAN BAHASA INGGRIS Persoalan hegemoni estetika postkolonial dalam iklan yang ketiga adalah obsesi penggunaan Bahasa Inggris yang memerihatinkan. Beberapa contoh perihal persoalan tersebut tampak dalam sajian gambar 5 dan 6 berikut. 145 Gambar 5. Penggunaan Bahasa Inggris sebagai Headline Iklan Obat Sakit Mag Merk Promag(Sumber: Majalah Tempo, Edisi 30 Maret5 April 2009, Halaman 49). Gambar 6. Penggunaan Bahasa Inggris sebagai Headline Iklan Susu Merk Entrasol(Sumber: Majalah Kartini, Edisi 3 Agustus-6 September 2007, Halaman 74). Gambar 5 dan 6 di atas adalah beberapa contoh hegemoni penggunaan Bahasa Inggris dalam iklan di media massa Indonesia kontemporer. Penggunaan Bahasa Inggris dalam konteks kedua iklan tersebut di atas mempunyai daya tarik kuat karena difungsikan sebagai headline. Pada gambar 5, untuk iklan obat sakit mag merk Promag ini, headline-nya berbunyi: One is enough, sedangkan pada iklan susu merk Entrasol di gambar 6 berbunyi: Smaller Waist, Better life! Fenomena keinggris-inggrisan ini kiranya merupakan sebentuk kolonialisme bahasa (Pennycook, 1998), dan kiranya hal ini merupakan persoaan krusial bagi strategi politik Bahasa Indonesia di era global (Wijana, 1999:32-36). FAKTOR PENGONSTRUKSI BARAT DALAM IKLAN KUATNYA HEGEMONI ESTETIKA Jika ditilik dari optik pandang postkolonialisme, persoalan hegemoni estetika postkolonial dalam representasi iklan di media massa Indonesia kontemporer sebagaimanamana dimaksud, merupakan sebuah realitas yang lebih 146 disebabkan oleh sebentuk sindrom kolonialisme yang pernah diidap bangsa ini di masa yang lampau. Analisis ini, sejalan dengan pandangan Jütte (2005:10-11), yang menyimpulkan bahwa keberadaan cita rasa sebenarnya tidak pernah ada yang natural. Ia selalu berkaitan erat dengan pelbagai kompleksitas fakor sosial budaya yang menyertainya. Demikian juga halnya dengan persoalan sindrom hegemoni cita rasa estetika Barat yang terdapat dalam periklanan yang di Indonesia. Ia mempunyai keterkaitan erat dengan sejarah panjang kolonialisme yang menimpa bangsa ini di masa lampau. Citra penjajah Barat yang superior, dan sebaliknya pribumi inferior, tetap lestari hingga zaman modern dan postmodern kini sehingga tidak mengherankan jika nyaris semua sistem panata budaya Barat oleh bangsa Timur ditiru dan amat digilai. Inilah yang diintroduksi dan digugat Said (1979) sebagai fenomena postkolonial. Menyimak fakta historis ini, terminologi kemerdekaan bangsa bekas jajahan itu sebenarnya ilusi sebab yang terjadi hanyalah semacam scheuring van het rijk (palihan nagari) (Onghokham, 2009:163-164). Akibat belenggu postkolonial, tipologi khas yang tampak menonjol diidap oleh bangsa-bangsa bekas jajahan adalah ketidakmampuannya untuk merumuskan apa yang dinamakan dengan masa depan. Masa depan itu tidak merealitas di benak para korban penjajahan, di luar jangkauan, di tangan orang lain, bahkan menjadi milik orang lain. Hal ini, untuk merumuskan masa depan itu diperlukan seperangkat pengetahuan, baik pengetahuan alam maupun buatan, membutuhkan tradisi tersendiri (Simon, 1996:1). Namun, fakta sejarah menunjukkan bahwa bangsa-bangsa terjajah relatif sulit mengembangkan tradisi berpengatahuan sehingga kerap tidak mempunyai pilihan masa depan. Bagi kaum terjajah, pilihan adalah suatu kemewahan. Kalau lah bukan di tangan orang lain, nasibnya berada di luar jangkauannya, atau sama sekali di luar kesadaran kulturalnya (Liddle & Barnes, 1998). Jika alir nalar dan kenyataan tersebut didedahkan dalam konteks keindonesiaan, diskurusnya jelas relevan. Terlepas dari kontroversi terkait dengan dimensi waktu pasti berapa lamanya kolonialisme yang mendera bangsa Indonesia (Adam, 2007:1-2), yang pasti adalah ia telah menjadi sebentuk “kutukan” bagi 147 pengembangan gagasan kebudayaan yang lebih menunjukkan identitas keindonesiaan. Bayang-bayang suprioritas Barat dan sebaliknya inferioritas pribumi tetap lestari hingga saat ini, sebagaimana percikan kecilnya tampak dalam pilihan cita rasa estetika iklan yang menghegemoni di negeri ini. Hegemoni estetika Barat tersebut, bukan semata-mata terjadi dalam wacana periklanan, melainkan juga terjadi dalam keseluruhan wacana dan jagad seni di negeri ini (Sutirsno, 2006). Bahkan, hegemoni Barat ini juga, jika dilihat dalam dunia seni dalam arti luas, juga bukan hanya terjadi dalam jagad estetika, melainkan menghegemoni nyaris keseluruhan historis dan historiografi seni rupa di Indonesia (Burhan, 2006:275). Jika persoalan tersebut diproyeksikan dalam spektrum yang lebih luas lagi, yakni dalam budaya Indonesia, hegemoni budaya Barat itu menjadi pemandangan yang hampir “sempurna”. Konon, bahkan sampai istilah yang menjadi penanda identitas bangsa ini pun, yakni “Indonesia”, ternyata juga bukan ditemukan atau diciptakan oleh bangsa Indonesia sendiri, melainkan oleh seorang etnolog Jerman, Bastian (Elson, 2009:2-6). Jalan keluar pemecahanpersoalan hegemoni postkolonial juga memerlukan strategis yang juga kompleks, yang salah satunya yang penting adalah melakukan ritus dekonstruksi. Salah satu kerja dekonstruksi-kulturasi yang menarik adalah, sebagaimana disarankan oleh Smith (2005), yakni dengan jalan melakukan “dekolonisasi metodologi” atas segala konstruksi epistemis-historis sosio-kultural yang pernah dimiliki bangsa ini. Dekonstruksi dan dekolonisasi metodologi kultural ini dapat ditempuh dengan jalan memperkuat posisi tawar budaya lokal yang dimiliki olehsubaltern sehingga akan mampu melakukan “penundaan persetujuan” (a willing suspension of disbelief) ketika berjamahan dengan kebudayaan dominan (Spivak, 2006:28-37). Dengan berbekal pada kesadaran budaya lokal, pelbagai proses perjumpaan dengan budaya global diharapkan mampu menghasilkan formula yang ideal, yang menurut Bhabha (1994) ditandai dengan terciptanya apa yang diistilahkan sebagai the third space (ruang ketiga) atau the in-between (ruang antara): sebuah ruang yang menjanjikan tumbuh dan berkembangnya keadilan dialektika antarbudaya. Wacana lokalitas itu, kalau dikontekstualkan spesifik dalam khazanah estetika keindonesiaan misalnya, 148 revitalisasi paradigma tentang pentingnya “estetika Timur”, merupakan suatu hal strategis yang penting untuk dilakukan. SIMPULAN Berdasarkan temuan penelitian, dapat disimpulkan bahwa iklan itu tidak bebas nilai, dan dengan segala potensinya, dapat hadir sebagai hal yang bersoal. Persoalan itu juga bukan semata-mata terkait dengan problem klasik, seperti konsumerisme maupun materialisme, melainkan lebih dari itu. Jika ditilik dari perspektif postkolonial, hal itu bersinggungan terlampau jauh dengan persoalan kultural, yakni politik identitas dan nasionalisme sebuah bangsa. Paling tidak terdapat tiga representasi penanda dan petanda hegemoni estetika postkolonial yang cukup dominan dalam iklan di media massa cetak Indonesia kontemporer, yakni domain obsesi terhadap: ketubuhan Barat atau Indo; kulit putih Barat; dan penggunaan Bahasa Inggris. Keseluruhan representasi sistem tanda estetika tersebut mengimplikasikan makna keterpesonaan atas superioritas Barat, dan sebaliknya juga inferioritas kedirian keindonesiaan. Fenomena tersebut, bukan semata-mata terjadi dalam khazanah budaya periklana, melainkan merupakan persoalan yang hampir terdapat di seluruh sistem dan pranata kultural Indonesia. Budaya Barat seolah telah menjadi sebentuk fenomena “kutukan” obsesi historisyang melampaui akan hasrat dan keinginan apapun dalam proses kinerja kulturasi di negeri ini dan karenanya amat memperihatinkan. Adapun faktor penyebab kuatnya konstruksi dan reproduksi hegemoni estetika Barat dalam representasi iklan di media massa cetak Indonesia kontemporer adalah lebih terkait dengan persoalan sindrom postkolonial yang dialami oleh bangsa Indonesia ini sebagai akibat dari proses kolonialisme yang panjang di masa lampau. Banyak strategi politik resistensi kultural penting yang dapat diupayakan untuk membangun kesadaran counter hegemoni postkolonial di antaranya yang cukup strategis adalah dengan jalan merevitalisasi paradigma tentang pentingnya arti dan keberadaan pelbagai kearifan budaya lokal yang sangat kaya dimiliki oleh bangsa Indonesia. Dalam konteks spesifik di ranah estetika, terkait denganrevitalisasi kesadaran paradigma kultur lokalitas itu, antara lain dapat 149 ditempuh dengan melakukan serangkaian upaya penggalian kembali pelbagai khazanah “estetika keindonesiaan”, yang terutama banyak berbasis pada spirit estetika Timur, yang difungsikan sebagai paradigma estetika utama dalam segala praksis berkesenian, termasuk dalam konteks ini adalah dalam wacana periklanan. Ketika penggagasan estetika keindonesiaan itu mampu diupayakan, substansi diskursif atas terminologi pengembangan gagasan kreativitas yang terkait dengan estetika periklanan, tidak lagi disandarkan pada hegemoni pengedepanan pelbagai sistem tanda, baik menyangkut penanda maupun petanda yang berasal dari Barat, melainkan lebih didasarkan pada seberapa besar kadar dan bobot kreativitas estetisnya yang bisa diwacanakan. Dalam konteks ini pula, diharapkan akan terciptanya kesadaran kolektif yang dimiliki oleh bangsa ini, terutama dalam kaitannya dengan pemahaman tentang terminologi kemerdekaan, yang mestinya secara substantif mampu dimaknai lebih sebagai upaya perjuangan terhadap setiap praksis penjajahan dengan segala macam representasinya, baik yang terjadi dalam konteks kolonialisme maupun juga postkolonialisme. 150 DAFTAR RUJUKAN Adam, Asvi Marwan. 2007. Seabad Kontroversi Sejarah. Cetakan Pertama. Yogyakarta: Ombak. Adorno, Theodor W. 2004. Aesthetic Theory. London: Continuum International Publishing Group. Baay, Reggie. 2010. Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda. Jakarta: Komunitas Bambu. Barthes, Roland. 1978. The Pleasure of theText. Translated by Richard Miller. New York: Hill and Wang. __________. 1981. Elements of Semiology. Translated from the French by Annette Lavers and Colin Smith. Bhabha, Homi K. 1994. The Location of Culture. London and New York: Routledge. Bell, Daniel. 1976. The Cultural Contradictions of Capitalism. New York: Basic Books. Bischof, Günter. 2009. “Introduction: Austria in McWorld”, in Günter Bischof & Anton Pelinka (eds.), The Americanization/Westernization of Austria. Second Printing. New Brunswick & New Jersey: Transaction Publishers. Bovee, Coutland L. and William F. Arens.1986. Contemporary Advertising. New York: Irwin MC Graw-Hill. Brewer, John & Roy Porter. 1994.Consumption and the World of Goods. London: Routledge. Burhan,M. Agus. 2006. “Seni Rupa Kontemporer Indonesia: Mempertimbangkan Tradisi”, dalam Jaringan Makna Tradisi Hingga Kontemporer: Kenangan Purna Bhakti untuk Prof. Soedarso Sp., M.A, Yogyakarta: BP ISI Yogyakarta. Bush, Barbara. 2006. “Chapter 4: Culture and Imperialism”, in Imperialism and Postcolonialism. Essex, UK: Pearson Longman. Cronin, Anne M. 2005. “Chapter 2: Advertising Knowledge”, in Advertising and Consumer Citizenship: Gender, Images, and Rights. This Edition Published in the Taylor & Francis e-Library. London: Routledge. 151 Day, Tony & Keith Foulcher (eds.). 2006. Clearing Space: Kritik Pasca Kolonial tentang Sastra Indonesia Modern. Jakarta: Kerjasama antara Yayasan Obor Indonesia dengan KITLV-Jakarta. Drucker, Peter. 1961.“The Technological Revolution”, in Technology and Culture Journal (Vol. II, No. 4). Dyer, Gillian. 1982. Advertising as Communication. London: Routledge. Elson, R.E. 2009. “Asal-usul Gagasan Indonesia”, dalam The Idea of Indonesia: Sejarah Pemikiran dan Gagasan. Terjemahan Zia Anshor. Cetakan Pertama. Jakarta: Serambi. Featherstone, Mike. 1991. The Bodyin Consumer Culture. London: Sage Publication. Feldman, Edmund Burke. 1967. Art as Image and Idea. Eglewood Cliffs, New Jersey: The University Of Georgia-Prentice Hall, Inc. Gandhi, Leela. 2001. Teori Poskolonial: Upaya Meruntuhkan Hegemoni Barat. Terjemahan Yuwan Wahyutri dan Nur Hamidah. Yogyakarta: Qalam. Goddard, Angela. 2001. “Introduction”, in The Language of Advertising. This Edition Published in the Taylor & Francis e-Library. London & New York: Routledge. Goldman, Robert. 1992. Reading Ads Socially. London & New York: Routledge. Harris, George. 2006. “Composition in Arts”, in The Theory of the Arts; or, Art in Relation to Nature, Civilization, and Man. Digital Version.London: Tubner & Co. Horkheimer, Max & Theodor W. Adorno. 2003. Dialektika Pencerahan. Terjemahan Ahmad Sahidah. Cetakan Pertama. Yogyakarta: IRCiSoD. Howson, Richard & Kylie Smith. 2008. “Hegemony and the Operation of Consensus and Coercion”, in Richard Howson & Kylie Smith (eds.), Hegemony: Studies in Consensus and Coercion. London: Rotledge. Huggan, Graham & Ian Law. 2009. Racism Postcolonialism Europe. Cambridge, UK: Liverpool University Press. Jütte, Robert. 2005. “Approaching the Suprahistorical”, in A History of Senses: From Antiquity to Cyberspace. Cambridge, UK: Polity Press. Kasali, Rhenald. 1993. Manajemen Periklanan: Konsep dan Aplikasinya di Indonesia. Cetakan Ketiga. Jakarta: PT Temprint. 152 Kuntowijoyo. 2003. Metodologi Sejarah. Cetakan Kedua. Yogyakarta: Tiara Wacana. Liddle, E. William & Samuel H. Barnes. 1988. Politics and Culture in Indonesia. Ann Arbor, USA: Center for Political Studies, Institute for Social Research, University of Michigan. Marcuse, Herbert. 2000. Manusia Satu Dimensi. Terjemahan Silvester G. Sukur dan Yusup Priyasudiarja. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya. McFall, Liz. 2004. Advertising: A Cultural Economy. First Published. London: Sage Publication. McLuhan, Marshall. 2006. Understanding Media: The Extensions of Man (Routledge Calssics). Revised Edition. London: Routledge. Onghokham. 2009. “India yang Dibekukan: Mooi Indië dalam Seni Rupa dan Ilmu Sosial”, dalam Harsya W. Bachtiar, Peter B.R. Carey, dan Onghokham, Raden Saleh: Anak Belanda, Mooi Indie, dan Nasionalisme. Cetakan Pertama. Jakarta: Komunitas Bambu. O’Shaughnessy, J. & N.J. O’Shaughnessy. 2004. Persuasion in Advertising. London: Routledge. Packard, Vance. 1980. The Hidden Persuaders.Brooklyn, New York: IG Publishing. Pennycook, Alastair. 1998. English and the Discourses of Colonialism. London & New York: Routledge. Ritzer, George. 2011. The McDonaldization of Society 6. London, UK & California, USA: Sage Publication. Ross, Ralph & Ernest van den Haag. 1962. “Art and Its Social Functions” in Symbols & Civilization: Science, Morals, Religion, Art. New York & Burlingame: Harcourt, Brace & World, Inc. Said, Edward W. 1979. Orientalism. New York: Vintage Books. Simon, Herbert Alexander. 1996. The Sciences of the Artificial. Cambridge, Massachusetts: Massachusetts Insitute of Technology Press. Smith, Linda Tuhiwai. 2005. Dekolonisasi Metodologi. Terjemahan Nur Cholis. Cetakan Pertama. Yogyakarta: Insist Press. 153 Soedarsono, R.M. 1998. “Umar Kayam dan Seni dalam Rangka”, dalam Aprinus Salam (ed.), Umar Kayam dan Jaring Semiotik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Spivak, Gayatri Chakravorty. 2006“Chapter 4: Can the Subaltern Speak?”in Bill Ashcroft, Gareth Griffiths, Helen Tiffin (eds.), The Post-Colonial Studies Reader. Second Edition Published. USA & Canada: Taylor & Francis. Sutherland, Max. 2008. “Introduction”, in Advertising and The Mind of the Consumer: What Works, What Doesn’t, and Why. Australia Crows Nest, NSW: Allen & Unwin. Sutrisno, Mudji. 2006. Oase Estetis: Estetika dalam Kata dan Sketza. Cetakan Pertama. Yogyakarta: Kanisius. Tester, Keith. 2003. Media, Budaya, dan Moralitas. Terjemahan Muhammad Syukri. Yogyakarta: Juxtapose Bekerjasama dengan Kreasi Wacana. Toffler, Alvin. 1991. Power Shift: Knowledge, Wealth, and Violence at the Edge of the 21st Century. New York: Bantam Books. Tungate, Mark. 2007. “Pioneers of Persuasion”, in Adland: A Global History of Advertising. London & Philadelphia: Kogan Page. Wijana, I Dewa Putu. 1999. “Fungsi dan Peranan Bahasa Indonesia dalam Menyiapkan Sumber Daya Manusia di Era Kesejagatan”, Humaniora, Jurnal Fakultas Sastra, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (Volume Nomor 10, Januari-April). Williamson, Judith. 2007. Decoding Advertisements: Membedah Ideologi dan Makna dalam Periklanan. Terjemahan Saleh Rahmana. Cetakan Pertama. Yogyakarta: Jalasutra. Williams, Raymond. 1988. “Dominat, Residual, and Emergent”, in K.M. Newton (ed.), Twentieth-Century Literary Theory: A Reader. London:MacMillan Education Ltd. __________. 2005. “Advertising: The Magic Syatem”, in Culture and Materialism. (Radical Thinkers). London & New York: Verso. Zanot, Eric J. 1992. “Subliminal Seduction: Real or Imagined?”, in Sammy Richard Danna (ed.), Advertising and Popular Culture: Studies in Variety and Versatility. Ohio, USA: Bowling Green State University Press. 154 C. SINOPSIS PENELITIAN LANJUTAN 155 SINOPSIS PROPOSAL PENELITIAN STRATEGIS NASIONAL (TAHUN KEDUA) PENGEMBANGAN MODEL DESAIN IKLAN MEDIA MASSA CETAK BERBASIS BUDAYA LOKAL SEBAGAI COUNTER HEGEMONI ESTETIKA POSTKOLONIAL Oleh: Ketua: Kasiyan Anggota: Aran Handoko A. Abstrak Tujuan penelitian ini terbagi dalam tiga tahun. Tahun pertama, bertujuan untuk: mengidentifikasi, mendeskripsi, dan mengeksplanasi tentang bentukbentuk (penanda) visual, makna (petanda), dan pola-pola hegemoni estetika postkolonial yang terrepresentasi dalam iklan di media massa cetak Indonesia kontemporer. Tahun kedua, bertujuan untuk mengimplementasikan temuan penelitian tahun pertama, yakni berupa perancangan dan pengembangan model desain estetika iklan untuk media massa cetak sebagai counter hegemoni estetika postkolonial. Sementara itu tahun ketiga, berupa desiminasi produk model desain iklan media massa cetak sebagai counter hegemoni estetika postkolonial sebagaimana dimaksud. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Research and Development modelnya Gall, Gall, dan Borg (2003) yang bersifat longitudinal, yakni tiga tahun. Tahapan yang dilakukan dalam pendekatan ini, adalah sebagai berikut. 1) Studi pendahuluan (define) tentang hegemoni estetika postkolonial yang terrepresentasi dalam iklan di media massa cetak Indonesia kontemporer; 2) Perancangan (design) dan pengembangan (development) model desain iklan untuk media massa cetak sebagai counter hegemoni estetika postkolonial; 3) Validasi dan desiminasi (desiminate) hasil. Pada tahun pertama, tahapan yang dilaksanakan mancakup studi pendahuluan. Untuk tahun kedua, perancangan, pengembangan, dan validasi. Sedangkan untuk tahap desiminasi/sosialisasi dilaksanakan pada tahun ketiga. B. Pendahuluan Penelitian berjudul “Pengembangan Model Desain Iklan Media Massa Cetak Berbasis Budaya Lokal sebagai Counter Hegemoni Estetika Postkolonial” ini, pada tahun pertama menghasilkan temuan terutama tentang pola atau bentuk- 156 bentuk hegemoni postkolonial dalam representasi estetika iklan. Berdasarkan hasil analisis data terhadap iklan-iklan di media massa cetak Indonesia kontemporer sebagaimana yang menjadi fokus penelitian ini, ditemukan paling tidak lima kategori pola atau bentuk hegemoni postkolonial, yakni domain obsesi terhadap: 1) penggunaan bahasa Inggris; 2) ketubuhan Barat; 3) Ketubuhan Indo; 4) ketubuhan kulit putih Barat; dan 5) superlativisme. Pelbagai sistem tanda estetika yang serba Barat tersebut, bahkan kecendrungannya termutakhir menjadi sebentuk obsesi keterpesonaan/‘kegilaan’ yang luar biasa dalam wacana estetika periklanan di media massa di Indonesia. Fenomena tersebut jika ditilik jernih, sebenarnya bukan hanya terjadi dan mendera pada wacana estetika periklanan semata, melainkan juga menjadi persoalan yang nyaris sama, di hampir seluruh sistem dan pranata kebudayaan di Indonesia. Berdasarkan latar belakang pokok-pokok pikiran itulah, penelitian ini dihajatkan untuk mengkaji pelbagai persoalan hegemoni postkolonial dalam estetika iklan di media massa Indonesia kontemporer tersebut, beserta pengupayaan alternatif pemecahannya, terutama dengan cara mengedepankan pentingnya revitalisasi paradigma dalam kinerja berkebudayaan, yang beraraskan jangkar karakter budaya lokal ke-Indonesia-an. C. Tujuan Khusus Tahun Kedua Secera ringkas tujuan penelitian penelitian tahun kedua ini adalah untuk mengimplementasikan hasil temuan penelitian pada tahun pertama, yakni berupa perancangan (design) dan pengembangan (development) model desain iklan media 157 massa cetak berbasis budaya lokal, sebagai counter hegemoni estetika postkolonial. D. Tinjauan Pustaka 1. Pengertian Iklan Iklan yang secara historis sudah dikenal sejak zaman Yunani dan Romawi Kuna (Tungate, 2007:10), mempunyai beberapa padanan bahasa asing, yakni: i’lan (Bahasa Arab), advertere (Bahasa Latin), advertentie (Bahasa Belanda), advertising (Bahasa Inggris), dan reclamare (Bahasa Prancis), yang maknanya meneriakkan sesuatu secara berulang-ulang (Kasali, 1993:111). Dalam pengertian yang lebih luas, iklan berarti berita pesanan yang dimuat di media massa, untuk mendorong dan membujuk khalayak ramai pada barang atau jasa yang ditawarkan (Bovee & Arens, 1986:5) Dalam representasinya di media massa, iklan diwujudkan dalam bentuk sistem tanda, baik yang sifatnya visual, audio, maupun kombinasi antara audiovisual, tergantung jenis media yang digunakan. Dalam perspektif semiotis-estetis, baik iklan untuk kategori media massa cetak maupun elektronik, secara substansial konstruksi representasinya terkait dengan dua ranah, yakni penanda (signifier) dan petanda (signified) yang terdapat di dalamnya. Adapun kesatuan komposisi estetis penanda dan petanda dalam iklan itu, strukturnya terdiri atas pelbagai unsur, yakni: ilustrasi, head line, subheadline (body copy), dan slogan (Vestergaard & Schroder, 1985:49-50). Sebagai bagian dari seni rupa, iklan termasuk dalam lingkup ‘seni terapan’ (applied arts), yakni kesadaran estetisnya 158 bukan murni sebagai ekspresi keindahan, melainkan lebih bertendensikan sebagai instrumentasi komunikasi persuasif terutama terkait politik ekonomi pemasaran. Dalam kaitan dengan konsep inilah, yang namanya kaidah estetisasi dalam iklan berbaur dengan kaidah komunikasi persuasif (Goddard, 2001:2-3). Implikasinya adalah domain estetika yang melekat dalam iklan lebih mempertimbangkan dimensi fungsionalnya untuk kepentingan komunikasi persuasif penjualan. Dalam kaitan dengan konsep inilah, yang namanya kaidah estetisasi dalam karya iklan berbaur dengan kaidah komunikasi persuasif. Untuk memenuhi tuntutan itu, makanya iklan mestinya mempertimbangkan berbagai faktor yang terkait dengan konteks kultural sosial masyarakatnya, tempat di mana iklan tersebut disajikan, agar pesan yang disampaikan menjadi efektif dan efisien (Goddard, 2001:2-3). 2. Tinjauan tentang Teori Postkolonial Gagasan tentang postkolonial sebagai sebuah teori, jika ditilik dari domain kesejarahannya berasal dari Barat. Di awal kehadirannya itu, teori postkolonial terutama lebih banyak terkait dengan bidang kajian sastra dan juga filsafat, yang substansinya mengkaji hegemoni Barat atas Timur, yang terefleksi dalam karyakarya tersebut. Namun dalam perkembangan kemudian, postkolonial menjadi teori yang mencakup lintas bidang dan disiplin sosial budaya atau humaniora yang luas. Istilah postkolonial berasal dari bahasa Inggris, yakni: post, yang berarti after or later than (sesudah) dan colonial yang artinya relating to a colony or colonialism (Cambridge Advanced Learner’s Dictionary, 2003). Pemakmaan tekstual etimologis tersebut jelas mengundang tafsir yang amat luas. Meskipun 159 terminologi ‘postkolonial’ sebagaimana makna etimologisnya tersebut mencakup makna penjajahan dalam arti yang sangat luas dan bisa terjadi di mana saja, namun dalam konteks ini, makna penjajahan sebagaimana dimaksud lebih dispesifikkan pada penjajahan yang dilakukan oleh bangsa-bangsa Barat terhadap bangsa-bangsa Timur, sebagaimana tipikalnya pemaknaan ‘postkolonial’ yang berkembang atau dipakai dalam studi ilmu-ilmu sosial dan budaya. Kemudian yang juga perlu disampaikan bahwa kata post dalam istilah postcolonial ini, kiranya relatif kurang memadai maknanya, jika semata-mata disandarkan pemaknaannya dalam kaitannya dengan terminologi tentang waktu, yakni ‘sesudah’ kolonialisme dalam yang sempit. Sebaiknya, kata post itu diartikan sebagai ‘melampaui’. Implikasinya adalah makna kolonialisme dalam teori postkolonialisme itu melampaui dari pemahaman terminologi kolonialisme klasik, yakni bisa berupa permasalahan apa pun yang masih terkait, meskipun tampak seperti terpisah dari kolonialisme. Berangkat dari pemahaman ini, konteks postkolonialisme juga mencakup berbagai persoalan, misalnya kasus globalisasi, yang juga kerap menghadirkan makna sebagai sebentuk neokolonialisme atau neoimperialisme Barat atas Timur. Paralel dengan pemaknaan tersebut, ada satu rumusan yang dikemukakan oleh Mangunwijaya (dalam Tony Day dan Keith Foulcher (2006:5) yakni bahwa istilah post itu sama dengan postgraduate, yang maknanya adalah ‘kolonialisme yang lebih lengkap, lebih multidimensional, lebih tuntas kekolonialismeannya’. Salah satu substansi teori postkolonial yang dapat dikedepankan sebagaimana disampaikan Said (1979:1-3) adalah bahwa teori ini lebih terkait 160 dengan gugatan terhadap orientalisme Barat yang selama ini memiliki imperium otoritas untuk menampilkan, memberi identitas, menaklukkan, menjajah, dan bahkan menindas Timur. Menurut Said, secara semena-mena, Timur sudah sejak sangat lama—paling tidak sejak abad ke-16—telah menjadi objek mode of discourse Barat secara negatif, melalui semua sistem pranata kebudayaan yang dimilikinya, baik secara politis, sosiologis, ekonomi, militer, ideologis, saintifik, bahkan imajinatif (Said, 1979:2). Konstruksi dan berikut proses itu juga melibatkan nyaris semua elemen aktor, yang oleh Said diistilahkan sebagai para orientalis. Para orientalis itu mencakup ilmuwan, penyair, novelis, filosof, teretikus politik, ekonom, administratur pemerintahan, dan lain sebagainya. Tugas para orientalis dalam kebudayaan Barat tersebut adalah menyusun teori-teori, epik-epik, novel-novel, deskripsi-deskripsi sosial, dan perhitungan-perhitungan politik yang cermat mengenai Timur, rakyatnya, adat kebiasaannya, pikirannya, serta seribu satu hal lainnya, bahkan nasib yang mesti dan akan dihujahkan oleh Barat bagi dirinya (Said, 1979:3). Tujuan dari konstruksi pengetahuan itu adalah untuk semata-mata kepentingan proyek penjajahan atau kolonisasi. Di tangan para orientalis inilah, Timur akhirnya telah menjadi sebentuk panggung yang didirikan di hadapan Barat. Di sinilah repertoar budaya dikukuhkan, imajinasi Barat (Eropa dan Amerika) dibangun. Konstruksi atau bangunan itu terutama yang amat terkenal dengan serangkaian stereotip oposisi binernya, yakni Barat adalah maju, pintar hebat, dan superior, sedangkan Timur adalah sebaliknya: terbelakang, bodoh, inferior, dan bahkan menjijikkan (Muhidin M. Dahlan, 2001:8). Dari sinilah akhirnya Said berkesimpulan, bahwa sebenarnya 161 yang dinamakan dengan ‘Timur’ bukanlah suatu kenyataan yang asli dan alami. ‘Timur’ tidak ada begitu saja, seperti halnya ‘Barat’. ‘Timur’ adalah diciptakan atau tepatnya sengaja ‘ditimur’-kan oleh Barat (Said, 1979:6-7). Demikian luar biasanya berwenangnya kedudukan orientalisme, sampai Said berkesimpulan, bahwa tak seorang pun bisa yang menulis, berfikir mengenai, atau bertindak terhadap dunia Timur, tanpa mempertimbangkan pembatasanpembatasan atas pikiran dan tindakan yang telah digariskan oleh orientalisme (Said, 1979:4). Ujung dari semua risalah orientalisme itu adalah tak lebih sebagai politik untuk menguasai Timur, baik terkait dengan alam, budaya, maupun manusianya. Dengan mencangkok pemikiran dan perspektif Gramscian dan juga Foucaultian, Said menyuarakan dengan keras, bagaimana jangkauan luar biasa imperalisme Barat terhadap Timur, yang membentang sejak abad ke-16 sampai awal abad ke-20, merupakan salah satu fakta yang paling menakjubkan dalam sejarah politik dan peradaban dunia. Melalui penafsirannya yang brilian atas karya-karya pengetahuan kanonik Barat, Said menunjukkan bagaimana kebudayaan Barat, akhirnya telah menjadi sebentuk situs hegemonik atas Timur, yang ditegakkan tidak semata-mata dengan dominasi senjata melalui kekerasan, melainkan juga melalui kebudayaan. Politik dan kebudayaan pada kasus kolonialisme telah bekerjasama, secara sengaja atau pun tidak, melahirkan suatu sistem dominasi yang melibatkan bukan hanya meriam dan serdadu, tetapi suatu kedaulatan yang melampaui bentuk-bentuk, kiasan, dan imajinasi penguasa (penjajah) dan yang dikuasai (dijajah). Hasilnya adalah suatu visi yang 162 menegaskan, bahwa Barat bukan hanya berhak, melainkan wajib untuk menguasai Timur (Said, 1979:30-35). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa postkolonialisme merupakan strategi teoretis dan kritis yang digunakan untuk meneliti kebudayaan dalam arti yang luas—kesusastraan, politik, sejarah, seni dan lain sebagainya—dari bekas koloni negara-negara Barat, yang didasarkan pada fakta historis kolonialisme dan aneka dampak negatif yang ditimbulkannya—misalnya terkait dengan persoalan eksploitasi, marginalisasi, rasialisasi, dan lain sebagainya—untuk kemudian dapat dikembangkan serangkaian gagasan positif yang lebih memungkinkan terjadinya dialektika kebudayaan antara Barat dan Timur, yang lebih berspiritkan keadilan. 3. Konsep tentang Budaya Lokal Dalam perspektif arkeologi, khazanah tradisi dan budaya lokal kerap diistilahkan sebagai local genius (Koentjaraningrat, dalam Ayatrohaedi, 1986:80). Menurut H.G. Quaritch Wales (dalam Poespowardojo, 1986:30) local genius diberikan pengertian, “the sum of the cultural characteristic which the vast majority of a people have in common as a result of their experience in early life”. Pentingnya ciri-ciri khas yang ada dalam setiap budaya bangsa, atau yang biasa disebut sebagai ‘pribumi’ itulah, yang oleh Wales diistilahkan ‘local genius’, yang di dalamnya terkandung makna sebagai ‘basic personality of each culture’. Atau dalam pemaknaannya Anderson (2006:6) disebut sebagai cultural artefacts of a particular kind. Dengan demikian, local genius merupakan manifestasi dari kepribadian masyarakat, yang tercermin dalam orientasi yang menunjukkan pandangan hidup serta sistem nilainya, dalam persepsi untuk melihat dan 163 menanggapi dunia luarnya, dalam pola, gaya, serta sikap hidup yang ditunjukkan dalam tingkah laku sehari-hari, yang mewarnai perikehidupannya. E. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan model penelitain pengembangan (research and development/R&D) yang diadaptasi dari modelnya Gall, Gall, dan Borg (2003:570-573) dengan modifikasi. Penerapan model R&D-nya Gall, Gall, dan Borg (2003) ini sifanya longitudinal, yakni selama tiga tahun. Adapun tahapan yang dilakukan dalam operasionalisasi pendekatan R&D modelnya Gall, Gall, dan Borg (2003) ini, setiap tahun atau tahap berbeda, sesuai dengan fokus dan tujuan yang hendak dicapai. Perihal deskripsi yang lebih detail terkait dengan operasionalisasi tahapan terutama pada tahun kedua dideskripsikan sebagai berikut. Tahun kedua merupakan kegiatan perancangan (designing) dan pengembangan (development). Perancangan dan pengembangan erancangan merupakan kegiatan mendesain produk model desain periklanan untuk media massa cetak dengan konsep estetika baru sebagai counter hegemoni estetika postkolonial. Pada tahap ini akan dilakukan perancangan terutama terkait dengan dua hal mendasar, yakni perancangan terkait sisi bentuk (penanda) estetikanya, dan dimensi makna (petanda) estetisnya. Perancangan pada sisi penandanya mencakup unsur-unsur: ilustrasi, headline, subheadline (body copy), dan slogan. Sedangkan perancangan terkait dengan petanda estetikanya, disandarkan pada nilai-nilai budaya yang berkembang di salah satu etnis yang cukup berperan 164 penting dan strategis maknanya dalam konteks ke-Indonesia-an yakni budaya Jawa. Secara spesifik, sejalan dengan temuan perihal lima pola hegemoni postkolonial dalam representasi estetika iklan di media massa cetak Indonesia kontemporer, sebagaimana yang telah disebutkan di atas (yakni terkait dengan obsesi terhadap penggunaan bahasa Inggris, ketubuhan Barat, ketubuhan Indo, dan ketubuhan kulit putih Barat, dan superlativisme) maka model desain baru estetika iklan yang direncanakan di tahun kedua yang berbasis spirit budaya lokal tersebut, substansinya adalah diganti dengan pengedepanan konsep terhadap nilainilai ketubuhan lokal diri serta penggunaan bahasa lokal/nasional, serta nilai-nilai yang berkebalikan dengan superlativisme Barat, misalnya adalah kesederhanaan dan kebersahajaan. Jenis data pada penelitian tahun kedua ini, adalah berupa desain periklanan untuk media massa cetak, yang bersumber dari hasil pengembangan yang telah dilakukan, yang dibedakan menjadi dua kategori, yakni data berupa bentuk (penanda) estetikanya, dan data berupa makna (petanda) estetikanya. Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa hasil data-data berupa model desain estetika iklan baru hasil dari pengembangan ini, didasarkan pada data-data persoalan estetika iklan hasil temuan penelitian yang telah didadaptkan pada tahap pertama atau sebelumnya. Oleh karena itu, kompelsitas perihal data berupa desain periklanan yang baru dibuat atau dikembangkan dalam tahapan ini, substansi muatan yang hendak ditekankan adalah inovasi pada revitalisasi nilai-nilai budaya lokal. 165 Sejalan dengan karakteristik jenis dan sumber data penelitian di tahun kedua yang telah disebutkan di atas, maka teknik pengumpulan data penelitian pada tahap ini terutama ditempuh melalui kegiatan focus group of discussion (FGD). Kegiatan FGD yang melibatkan para pakar dan pemangku kepentingan dalam dunia periklanan ini, disamping dilakukan dalam bentuk forum diskusi, juga dilengkapi dengan instrumen angket, untuk kepentingan menjaring data terkait dengan tanggapan terhadap hasil pengembangan model desain iklan tersebut yang lebih detil dan operasional. Validasi data penelitian ini dilakukan terutama dengan melibatkan expert jugdment lintas bidang dan disiplin, yang mencakup ahli atau pakar dalam bidang: desain komunikasi visual, postkolonial, komunikasi, dan periklanan, serta melibatkan juga para pemangku kepentingan yang relevan, dengan tujuan agar hasil pengembangan desain periklanan media massa cetak counter postkolonial ini valid atau sahih. Secara teknis proses ini diselenggarakan dalam bentuk format kegiatan FGD. Teknik analisis data penelitian untuk tahun kedua ini, dengan menggunakan analisis deskriptif kualitatif, terutama terkait uji validitas data hasil penelitian, yang didapatkan dari para expert jugdment lintas bidang, dan juga melalui forum kegiatan FGD. Keseluruhan proses pelaksanaan penelitian yang direncanakan berlangsung selama tiga tahun ini dapat digambarkan dengan bagan alir sebagai berikut. 166 PENGEMBANGAN MODEL DESAIN IKLAN MEDIA MASSA CETAK bentuk (penanda) visual hegemoni Barat dalam iklan BERBASIS BUDAYA LOKAL SEBAGAI COUNTER HEGEMONI ESTETIKA POSTKOLONIAL Tahun Pertama Teori Postkolonial, Semiotik, Historis Identifikasi bentuk (penanda) visual hegemoni postkolonial dalam iklan media massa cetak kontemporer dan kuna. Mencakup aspek: ilustrasi, headline, subheadline, signature line, dan slogan. Identifikasi makna (petanda) visual hegemoni postkolonial dalam iklan media massa cetak kontemporer dan kuna. Mencakup aspek petanda: denotatif, konotatif, dan mitos. Pola-pola Hegemoni Estetika Potkolonial dalam Representasi Iklan di Media Massa Cetak Indonesia Kontemporer Tahun Kedua Pengembangan Model Desain Iklan Media Massa Cetak Berbasis Budaya Lokal dengan Estetika Counter Hegemoni Postkolonial. Berdasarkan lima kategori pola hegemoni postkolonial hasil temuan penelitian. Model Desain Iklan Media Massa Cetak Berbasis Budaya Lokal dengan Estetika Counter Hegemoni Postkolonial. Struktur elemen visul dasar iklan (ilustrasi, headline, subheadline, signature line, dan slogan. Domain Estetika Penandanya. Domain Estetika Petandanya. Expert Judgment. Validasi/Evaluasi Uji Coba Lapangan Terbatas dan Luas. Tahun Ketiga Diversifikasi Model Desain Iklan Media Massa Cetak Berbasis Budaya Lokal dengan Estetika Counter Hegemoni Postkolonial. Desiminasi Model Desain Iklan Media Massa Cetak Berbasis Budaya Lokal dengan Estetika Counter Hegemoni Postkolonial. 167 F. Jadwal Pelaksanaan Jadwal pelaksanaan penelitian khusus tahun kedua ini dapat disampaikan sebagaimana terlihat pada tabel berikut. No. Jenis dan Uraian Kegiatan 1 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 2 3 Bulan Ke 4 5 6 7 8 Koordinasi tim, penyusunan instrumen penelitian . Seminar proposal dan instrumen penelitian di LPPM UNY dan revisi.. Penyusunan rancangan atau desain iklan. Uji validitas, evaluasi, dan revisi. Uji lapangan terbatas, evaluasi, dan revisi. Uji lapangan luas, evaluasi, dan revisi. Analisis data penelitian. Penulisan laporan penelitian. Penulisan artikel jurnal Monitoring dan evaluasi dari Dikti. Seminar laporan hasil penelitian di LPPM UNY dan revisi. Penyusunan proposal penelitian tahap III. G. Anggaran Biaya Penelitian Anggaran biaya penelitian tahun kedua ini dapat dilihat pada tabel anggaran penelitian secara keseluruhan (tiga tahun) sebagai berikut. No. 1. 2. 3. 4. Jenis Pengeluaran Gaji (upah) tim peneliti (30%). Bahan habis pakai dan perangkat penunjang (35%). Perjalanan (20%). Lain-lain (Pengolahan Data, Laporan, Seminar, dan Publikasi Jumlah Jenis Anggaran yang Diusulkan Tahun I Tahun II Tahun III (Rp.) (Rp.) (Rp.) 30.000.000,30.000.000,- 30.000.000,35.000.000,20.000.000,15.000.000,- 100.000.000,- 35.000.000,20.000.000,15.000.000,- 35.000.000,20.000.000,15.000.000,- 100.000.000,- 100.000.000,- Adapun rincian anggaran secara detil khususnya untuk pelaksanaan penelitian khusus tahun kedua dapat dilihat pada sajian tabel berikut. 168 1. Upah/Gaji (30%) No. 1. 2. 3. 4. Komponen Ketua Tim Pelaksana Anggota Tim Pelaksana Staf Administrasi Teknisi Satuan dan Volume 1 Orang x 8 bulan 2 Orang x 8 bulan 1 Orang x 8 bulan 1 Orang x 8 bulan Satuan Biaya (Rp.) 1.250.000,1.000.000,250.000,250.000,- Subjumlah Jumlah (Rp.) 10.000.000,16.000.000,2.000.000,2.000.000,30.000.000,- 2. Bahan/Perangkat Penunjang (35%) a. Bahan Habis Pakai No. Komponen 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. Kertas HVS 80 gr. CD-RW blank. Catridge hitam. Catridge warna. Isi tinta print hitam. Isi tinta warna. Isi tinta laser jet. Kertas foto glossy 120 gr. Kertas foto doff 120 gr. Stapler nomor 10. Stapler nomor 3. Isi staples nomor 10. Isi staples nomor 3. Pervorator. Dokumen keeper. Box file. Buku agenda kerja. Alat tulis. Stop map mika. Satuan dan Volume 5 5 5 5 5 5 5 2 rim buah buah buah pak pak pak pak Satuan Biaya (Rp.) 30.000,20.000,300.000,350.000,50.000,75.000,300.000,100.000,- 2 2 5 5 2 3 3 4 5 25 buah buah pak pak buah buah buah buah buah buah 50.000,50.000,50.000,50.000,50.000,20.000,100.000,30.000,10.000,4000,- Subjumlah Jumlah (Rp.) 150.000,100.000,1.500.000,1.750.000,100.000,150.000,1.500.000,200.000,100.000,100.000,250.000,250.000,100.000,60.000,300.000,120.000,50.000,100.000,7.000.000,- b. Perangkat Penunjang No. 1. Komponen Sewa camera digital Nikon, untuk pemotretan model iklan. Satuan dan Volume 2 set 4 bulan Satuan Biaya (Rp.) 250.000,- Jumlah (Rp.) 1.000.000,- 169 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. Sewa Handycam Sony untuk dokumentasi pembuatan iklan dan uji lapangan terbatas dan luas. Sewa printer HP laserjet P1005. Sewa laboratorium/ studio desain komunikasi visual dan fotografi, Jurusan Pendidikan Seni Rupa FBS UNY, untuk pengolahan dan editing gambar iklan yang dikembangkan. Honorarium model iklan. Honorarium ahli/pakar (expert judgment) untuk validasi produk pengembangan desain model iklan. Biaya uji lapangan dalam skala terbatas dan luas. Biaya uji lapangan skala luas Scan dan prin out gambar iklan. 2 set 4 bulan 500.000.,- 2.000.000,- 1 set 1 unit 5 bulan 2 bulan 200.000,2.000.000,- 1.000.000,4.000.000,- 5 3 orang orang 1.500.000,200.0000,- 7.500.000,6.000.000,- 1 paket 300.0000,- 3.000.000,- 1 100 paket lembar 3.000.000,5.000,- 3.000.000,500.000,- Subjumlah 28.000.000,- 3. Perjalanan (20%) No. 1. 2. 3 4. 5. Satuan dan Volume Komponen Transport lokal di Yogyakarta untuk peneliti utama dan anggota peneliti. Transport lokal di Yogyakarta untuk teknisi dan tenaga administrasi penelitian. Transport untuk model iklan. Transport untuk ahli/pakar (expert judgment) untuk validasi produk pengembangan desain model iklan. Transport peserta FGD Satuan Biaya (Rp.) Jumlah (Rp.) 5 kali 200.000,- 3.000.000,- 2 orang 5 kali 10 orang 3 kali 100.000,300.000,- 1.000.000,9.000.000,- 3 orang 3 kali 20 orang 2 kali 300.000,100.000,- 3.000.000,4.000.000,- 3 orang Subjumlah 20.000.000,- 4. Lain-lain (Pengolahan Data, Laporan, Seminar, dan Publikasi (15%) No. 1. 2. 3. Komponen Pengolahan data penelitian. Pembuatan lapran penelitian. Seminar proposal dan instrumen penelitian. Seminar hasil penelitian. Satuan dan Volume 1 paket 1 paket 1 paket 1 paket Satuan Biaya (Rp.) 2.000.000,2.000.000,1.500.000,1.500.000,- Jumlah (Rp.) 2.000.000,2.000.000,1.500.000,1.500.000,- 170 4. 5. 6. Publikasi ilmiah di jurnal nasional terakreditasi. Partisipasi seminar nasional dan kontribusi prosiding. Pengeluaran lain-lain: Foto copy. Cetak foto 3R. Penjilidan laporan. Persiapan penelitian tahap III. 2 paket 1.000.000,- 2.000.000,- 2 paket 1.000.000,- 2.000.000,- 5000 100 10 2 lembar lembar eksemplar orang 250,5.000,25.000,1.000.000,- 1.250.000,500.000,250.000,2.000.000,- Sub Jumlah 15.000.000 Rekapitulasi Keseluruhan Pembiayaan Tahun II 1. Upah/Gaji (30%). 2. Bahan/Perangkat Penunjang (35%). : : Rp.30.000.000,Rp.35.000.000,- 3. Perjalanan (20%). : Rp.20.000.000,- 4. Pengolahan Data, Laporan, Seminar, Publikasi, dan Lainlain (15%). : Jumlah Rp.15.000.000,Rp.100.000.000,- H. Dukungan pada Pelaksanaan Penelitian Tidak ada dukungan dana lain dalam penelitian ini. I. Sarana 1. Laboratorium Laboratorium pendukung kegiatan ini dapat disebutkan dalam dua kategori, yakni: 1) laboratorium di dalam kampus, yakni di Jurusan Pendidikan Seni Rupa, Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta, yang dalam hal ini akan menggunakan laboratorium desain komunikasi visual dan laboratorium fotografi desain; dan 2) laboratorium yang di luar kampus, yang 171 dalam hal ini adalah lembaga mitra yang diajak kerjasama dalam pelaksanaan kegiatan penelitian ini, yakni Biro Periklanan PT Petak Umpet Creative Network yang ada di Yogyakarta. Dukungan kedua laboratorium tersebut, baik yang ada di dalam kampus, maupun milik mitra penelitian ini situasi dan kondisinya berikut semua hal yang menyangkut sumber daya yang mendukung kinerja laboratorium tersebut dalam kondisi amat baik, sehingga diharapkan dapat mendukung pelaksanaan penelitian ini secara optimal. 2. Peralatan Utama Beberapa peralatan standar di kedua laboratorium, baik di dalam kampus Jurusan Pendidikan Seni Rupa Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta, maupun milik lembaga mitra penelitian ini, dapat disebutkan sebagai berikut: komputer dan laptop generasi termutakhir (pentium 4) standar, LCD, scanner, camera foto dengan lensa optik berbagai jenis dan ukuran multifungsi, handycam, meja gambar, studio kamar gelap untuk cuci cetak foto, berbagai softwere komputer untuk kepentingan proses desaining dan editing gambar dua dimensi, maupun proses pembuatan film. 3. Keterangan Tambahan Tidak ada.