ARTIKEL3 - Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia

advertisement
MEMBANGUN IKLIM BELAJAR YANG KONDUSIF
Secara eksplisit dinyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan
proses pembelajaran di dalam kelas antara adalah kompetensi fasilitator, metode
pembelajaran yang dipakai, kurikulum, sarana dan prasarana, serta lingkungan fisik dan
sosial (Depdikbud, 1994).
Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengoptimalkan proses berlatih melatih di
kelas dengan melaksanakan program diklat/ magang untuk meningkatkan kompetensi
widyaiswara, pengenalan metode-metode baru dalam pembelajaran, serta perbaikan dan
peningkatan sarana maupun prasarana pendidikan. Namun demikian, meskipun secara
eksplisit diakui bahwa lingkungan pembelajaran merupakan faktor yang menentukan
keberhasilan proses pembelajaran di dalam kelas, program-program yang dilaksanakan belum
menyentuh atau masih mengabaikan hal tersebut.
A. Sistem dan Prosedur Kerja
Sistem dan prosedur kerja yang baik akan menjamin kebersamaan dan keteraturan
kerja. Dalam sistem kebersamaan dan keteraturan, setiap individu didorong untuk
bekerja dengan cara yang tidak individual. Oleh karena itu, lembaga diklat ini harus lebih
serius dalam menggarap SOP (Standard Operating Procedure) yang lebih jelas mengatur
siapa (unit mana) melakukan apa dan membuat kejelasan transformasi input-output
pekerjaan dalam suatu sistem manajemen diklat. Dengan demikian, tidak akan terjadi
tumpang tindih pekerjaan atau sebaliknya tidak ada kejelasan siapa yang bertanggung
jawab atas terlaksananya suatu pekerjaan itu. Dengan prosedur operasional yang standar,
pengelolaan pekerjaannya tidak berpusat pada satu tangan kekuasaan saja (management
by person),tetapi mengikuti sistem yang sudah dikembangkan (management by sistem).
Kuncinya, adalah kebersamaan dan keterbukaan yang menjamin terwujudnya sense of
belonging,sense of participation, dan sense of responsibility.
Adalah tugas manajemen untuk kemudian membuat SOP itu dipahami oleh
unsur-unsur yang terlibat, yang dalam pengamatan selama ini tidak atau kurang adanya
gairah untuk mensosialisasikan dan membahas kembali isi SOP yang konon sudah ada.
Menyamakan pemahaman terhadap SOP ini tidaklah mudah. Artinya, tidah
mudah pula bagi pimpinan lembaga memotivasi semua yang terlibat untuk mencapai
kesamaan pandangaan dan gerak dalam menjalankan misi untuk mewujudkan visi-nya.
Ada saja hal-hal yang dapat menghalangi terjadinya sharred vision, baik sejak dibukanya
forum dimana orang-orang mulai menunjukkan gairahnya atas tugasnya maupun ketika
membicarakan dan mulai berupaya untuk mewujudkannya. Bahkan, ketika semua orang
telah berhasil memperoleh kejelasan untuk ambil bagian atas tugasnya, tidak jarang
pelaksanaannya tidak dapat diujudkan. Tentu, faktor individu berpengaruh sebab
kalancaran pelaksanaan tugas sangat ditentukan oleh kompetensi individu.
Oleh karena itu, penerapan sistem dan prosedur kerja masih membutuhkan
pengendalian kualitasnya. Untuk mengendalikan kualitas pelaksanaan sistem dan
prosedur dapat dilakukan dengan menerapkan konsep siklus Deming PDSA (Plan-DoStudy-Act).
Menurut Gaspersz (1997), siklus Deming PDSA dapat diterapkan dalam
manajemen untuk membangun kualitas. Siklus PDSA menggambarkan suatu proses
pengendalian mutu terpadu yang dimulai dari: Plan (Merecanakan), Do (Melaksanakan),
Study (Mempelajari), dan Act (Bertindak). Di antara ke empat tahapan proses ini masingmasing ada kegiatan: pengambilan keputusan, koordinasi, analisis, dan penilaian.
Kegiatan diklat merupakan kegiataan yang dilaksanakan secara terus-menerus.
Meskipun jenis pelatihan yang dilaksanakan bisa berbeda, tetapi manajemennya tidak
berbeda. Dari sudut pandang hirarkhi manajemen kediklatan, dalam batas fokus lembaga
diklat terdapat tiga jenjang yang saling melingkupi, yaitu: manajemen lembaga diklat,
manajemen proses penyelenggaraan diklat, dan manajemen proses pembelajaran. Oleh
karena terdapat tiga jenjang, maka siklus PDSA juga dapat diterapkan pada setiap
jenjang manajemen.
Pimpinan lembaga (top manajemen) bertanggung jawab pada pelaksanaan siklus
PDSA di tingkat manajemen lembaga diklat, Kepala-kepala Seksi bertanggung jawab
pada pelaksanaan siklus di tingkat menajemen penyelenggaraan diklat (mulai dari
perencanaan, pelaksanaaan, dan pengevaluasian program diklat), dan Koordinator
Akademis atau Koordinator Widyaiswara bertanggung jawab pada pelaksanaan siklus
PDSA di tingkat manajemen proses pembelajaran. Ini artinya bahwa pada setiap tingkat
manajemen itu harus ada kerjasama (melalui pertemuan) untuk mendiskusikan dan
membahas masalah yang terjadi dan pemecahannya. Teknik pemecahan masalah
(problem solving) dapat diterapkan, mulai dengan menemukan masalah, menemukan
sebab timbulnya masalah, mempelajari faktor apakah yang paling mempengaruhi,
mempertimbangkan langkah-langkah yang tepat untuk dilakukan, menerapkan langkah
yang tepat, mengecek hasil, mencegah timbulnya masalah yang sama, dan tindak lanjut
dengan siklus yang sama.
Untuk itu dibutuhkan kemauan dan itikat baik dari seluruh aparat diklat untuk
mau bekerja keras dan bekerja sama secara transparan dengan mengedepankan
kepentingan organisasi di atas kepentingan individu.
B. Sistem Diklat
Diklat dapat dipandang sebagai suatu sistem. Sebagai suatu sistem, diklat dapat
dilihat dengan pendekatan Input – Proses – output (Siwi, 1993). Sebagai inputnya adalah
calon peserta, tenaga pengajar, administrator, dana, sarana, prasarana, kurikulum, bukubuku perpustakaan, laboratorium dan alat-alat pembelajaran baik perangkat keras
maupun perangkat lunak. Prosesnya meliputi mengelola lembaga diklat, mengelola
program diklat, mengelola kegiatan belajar-mengajar dengan menggunakan berbagai
metode. Outputnya adalah lulusan yang kompetensi kerjanya mengalami kemajuan
sesuai dengan standar kemajuan yang diharapkan..
Berjalannya sistem mulai dari mengelola input diklat hingga melaksanakan
proses penyelengaraan diklat untuk menghasilkan output diklat secara penuh dan utuh
menjadi tanggung jawab lembaga diklat. Akan tetapi, dalam menjalankan misinya
lembaga diklat melihat sejauhmana manfaat pelatihan yang diprogramkan itu bagi
pengguna jasa. Artinya, sebagai lembaga diklat haruslah dapat melihat jauh ke depan
tentang perspektif pelatihan dalam pembangunan pada umumnya dan khususnya
pembangunan pertanian. Kualitas (quality) merupakan istilah yang dinamis yang terus
bergerak; jika bergerak maju maka dikatakan kualitasnya bertambah baik, sebaliknya
jika bergerak mundur maka dikatakan kualitasnya merosot. Menurut Idrus dkk (2000),
kualitas diartikan sebagai keadaaan yang melebihi standar umum yang berlaku. Sesuatu
dikatakan berkualitas jika terdapat kecocokan antara syarat-syarat yang dimiliki oleh
benda yang dikehendaki dengan maksud dari orang yang menghendakinya (The fitness
purpose as perceived by the customer).
Diklat merupakan kegiatan yang bergerak di bidang jasa. Menilai kualitas jasa
lebih sulit jika dibandingkan dengan barang. Akan tetapi, bukan berarti tidak bisa dinilai.
Sebagai kegiatan yang bergerak di bidang jasa, kepuasan pengguna jasa merupakan
indikasi apakah suatu diklat itu berkualitas atau tidak. Ini berarti bahwa kegiatan diklat,
apapun jenisnya, harus customer dan participant oriented.
Secara umum, kualitas penyelenggaraan diklat dapat dilihat dari sejauh mana
lembaga diklat dapat memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya; sejauh mana
kelancaran baik administrasi maupun teknis dapat terselenggara; serta sejauh mana hasil
pelaksanaan tugas dapat memenuhi kepentingan baik ditinjau dari kepentingan organisasi
(penyelenggara) dan kepentingan masyarakat yang dilayani (pelanggan), yang dalam hal
ini adalah peserta diklat. Pemenuhan organisasi dapat dilihat dari terlaksananya tugas
pokok; tercapainya tujuan program sesuai dengan target dan pedoman/petunjuk yang
ada; serta tercapainya tingkat kepuasan orang-orang yang ada didalamnya. Pemenuhan
kepentingan peserta diklat dapat dilihat dari sejauh mana peningkatan pengetahuan,
ketrampilan, sikap, dan kreativitas dapat diperoleh sesuai dengan tuntutan tugas dan
profesinya; terpenuhinya kebutuhan sarana dan prasarana yang diperlukan selama
mengikuti diklat; serta terpenuhinya rasa aman dan nyaman selama tinggal di lingkungan
kampus diklat.
C. Kompetensi Fasilitator/Widyaiswara
Berikut ini adalah penjabaran kompetensi widyaiswara menurut Peraturan Kepala
LAN no 5 tahun 2008 tentang Standar Kompetensi Widyaiswara:
1. kompetensi pengelolaan pembelajaran, yaitu kemampuan yang harus dimiliki
widyaiswara dalam merencanakan, menyusun, melaksanakan dan mengevaluasi
pembelajaran, yang meliputi kemampuan:
a. membuat GBPP/Rancang Bangun pembelajaran mata diklat (RBPMD) dan
SAP/Rencana Pembelajaran (RP)
b. menyusun bahan ajar
c. menerapkan pembelajaran orang dewasa
d. melakukan komunikasi yang efektif dengan peserta dan
e. mengevaluasi pembelajaran
2. kompetensi kepribadian, yaitu kemampuan yang harus dimiliki widyaiswara
mengenai tingkah laku dalam melaksanakan tugas jabatannya yang dapat diamati dan
dijadikan teladan bagi peserta diklat, yang meliputi kemampuan:
a. menampilkan pribadi yang dapat diteladani; dan
b. melaksanakan kode etik dan menunjukkan etos kerja sebagai WI yang
professional
3. Kompetensi sosial , yaitu kemampuan yang harus dimiliki WI dalam melakukan
hubungan dengan lingkungan kerjanya, yang meliputi kemampuan:
a. membina hubungan dan kerjasama dengan sesama WI; dan
b. menjalin hubungan dengan penyelenggara/pengelola lembaga Diklat
4. Kompetensi substantif, yaitu kemampuan yang harus dimiliki WI di bidang
keilmuan dan keterampilan dalam mata diklat yang diajarkan yang meliputi
kemampuan:
a. menguasai keilmuan dan keterampilan mempraktekkan sesuai dengan materi
diklat yang diajarkan; dan
b. menulis karya tulis ilmiah yang terkait dengan lingkup kediklatan dan/atau
pengembangan spesialisasinya
D. Metodologi Penyelenggaraan Diklat
Lembaga diklat semacam Balai Diklat ini bukan hanya sebagai tempat pelatihan,
tetapi sebagai pusat pelatihan. Artinya tugas pokoknya bukan hanya menyelenggarakan
pelatihan-pelatihan, tetapi juga mengembangkan metodologi kediklatan. Oleh karena itu,
sebagai lembaga diklat perlu melakukan terobosan-terobosan ”metodologist trial”
Berikut adalah sumbang saran yang dapat dipertimbangkan dalam rangka
peningkatan kualitas penyelenggaraan diklat melalui pengembangan metodologi, antara
lain:
-
Sosialisasi metodologi penetapan kebutuhan pelatihan kepada instansi pengguna
jasa. Melalui kegiatan ini diharapkan instansi pengguna jasa secara mandiri dapat
menetapkan menetapkan
kebutuhan pelatihan sehingga dapat memprogram
kebutuhan diklat untuk petugas- petugasnya. Sedangkan untuk pembinaan bagi
pelatih luar yang mendukung proses pembelajaran, lembaga diklat perlu melakukan
pembinaan aspek metodologi pembelajaran.
-
Penjaringan kebutuhan diklat berdasarkan permasalahan lapangan perlu dilakukan
dengan metode partisipatif dalam suatu forum pertemuan ”Tripartid Diklat” yang
terdiri atas Lembaga Diklat, Pengguna Jasa, Peserta Diklat. Kegiatan ini bertujuan
untuk mendapatkan masukan-masukan secara langsung tentang program-program
pembangunan pertanian
diwilayahnya, serta pelatihan yang dibutuhkan untuk
mendukung program itu.
-
Penjaringan kebutuhan diklat berdasarkan kurikulum standar yang disusun
berdasarkan
core-core kompetensi kerja. Kurikulum yang sudah standar dipakai
untuk menjaring peserta diklat. Hal ini berbeda dengan pendekatan pelatihan yang
dianut selama ini, dimana
kurikulum lebih bersifat taylor made, sehingga
kurikulum menjadi tidak standar.
E. Sarana dan prasarana fisik (Physical facilities)
Efektivitas proses belajar sangat bergantung kepada ketersediaan sarana
prasarana. Pengertian sarana prasarana disini adalah mencakup antara lain: peralatan dan
instalasi praktek lapang/laboratorium, peralatan mengajar seperti alat bantu, alat peraga,
dan media belajar, tempat dan ruang kelas, dan lain sebagainya. Pada umumnya masih
banyak permasalahan di beberapa sarana prasarana yang dibutuhkan.
Pelatihan berbeda dengan pendidikan. Demikian pula pelatihan pertanian berbeda
dengan pendidikan pada pelatihan adalah untuk mempersiapkan seseorang yang dilatih
agar memiliki kecakapan kerja sesuai dengan permasalahan yang dihadapi dalam
tugasnya. Hasil pelatihan dapat dirasakan dalam waktu segera setelah orang yang dilatih
kembali ke tempat kerja.
Materi yang dipelajari mengutamakan the how (bagaimana mengerjakan suatu
pekerjaan). Oleh karena itu, sarana dan prasarana yang dibutuhkan dalam pelatihan
adalah sarana dan prasarana sebagaimana yang dibutuhkan di tempat kerja sehingga
orang yang dilatih dapat berlatih bekerja dalam situasi nyata, dan hasilnya langsung
dapat diamati dan dievaluasi.
Permasalahan yang sering terjadi pada pelatihan teknis adalah tidak adanya
sarana dan prasarana diklat, lahan usahatani, yang dibutuhkan untuk memvisualisasikan
contoh-contoh keberhasilan usahatani. Lapangan praktek usahatani yang sering
diperlukan untuk pelatihan teknis tidak dapat membantu peserta untuk mempraktekkan
ketrampilan yang dituntut sesuai dengan kebutuhan kerja. Demikian pula peralatan dan
bahan untuk praktek belum memadai baik jenis maupun jumlahnya.
Kondisi
seperti
ini
pada
gilirannya
menyebabkan
kesulitan
dalam
mengembangkan metodologi pembelajaran sesuai dengan subject matter yang dipelajari
dan akhirnya tujuan pembelajaran yang dicapai tidak menggambarkan cerminan
pekerjaan yang sesungguhnya di lapangan.
Pengembangan
sarana
untuk
mendukung
diklat
sesungguhnya
dapat
dikembangkan bukan hanya dengan memanfaatkan potensi dalam lingkungan kampus
diklat, tetapi dengan memanfaatkan potensi di luar kampus misalnya melalui kerjasama
kemitraan dengan petani, kelompoktani, pelaku usaha.
F. Kurikulum
Kurikulum dan rencana penyajian diklat (RPD) atau garis-garis besar program
pembelajaran (GBPP) adalah satu kesatuan yang merupakan rencana besar pembelajaran.
Kurikulum dan RPD/GBPP menjadi acuhan dan memberikan arah proses pembelajaran
dan penyusunan bahan ajar: apa yang akan diajarkan, apa yang akan dicapai, apa yang
akan dibahas dalam proses pembelajaran, bagaimana metode pembelajarannya, apa
media dan alat bahan yang dibutuhkan, dimana lingkungan belajar yang sesuai, dan
bagaimana mengukur kemajuan belajarnya. Dengan demikian, kurikulum bukan hanya
sekedar daftar mata pelajaran. Kurikulum pelatihan merupakan input penting dan
menjadi ”Roh” pelatihan. Oleh karena itu, kurikulum harus sudah ada dan sudah
dipahami sebelum pelatihan dilaksanakan. Kurikulum pelatihan yang baik harus sesuai
dengan kebutuhan pengguna jasa pelatihan dan peserta diklat. Acuhannya adalah
kesesuaian dengan situasi dan kondisi daerah serta diskrepansi kemampuan kerja yang
dialami oleh peserta pelatihan.
G. Lingkuuan Fisik dan Sosial
Lingkungan fisik dalam hal ini adalah lingkungan yang ada disekitar peserta
berupa sarana fisik baik yang ada dilingkup kampus, dalam hal ini dalam ruang kelas
belajar di kampus diklat. Lingkungan fisik dapat berupa sarana dan prasarana kelas,
pencahayaan, pengudaraan, pewarnaan, alat/media belajar, pajangan serta penataannya.
Sedangkan lingkungan sosial merupakan pola interaksi yang terjadi dalam proses
pembelajaran. Interaksi yang dimaksud adalah interkasi antar peserta dengan peserta,
peserta dengan fasilitator, peserta dengan sumber belajar, dan lain sebagainya. Dalam hal
ini, lingkungan sosial yang baik memungkinkan adanya interkasi yang proporsional
antara fasilitator dengan peserta dalam proses pembelajaran.
Menurut Mulyasa (2006), dalam upaya menciptakan lingkungan pembelajaran
yang kondusif bagi peserta, fasilitator harus dapat memberikan kemudahan belajar
kepada peserta, menyediakan berbagai sarana dan sumber belajar yang memadai,
menyampaikan materi pembelajaran, dan strategi pembelajaran yang memungkinkan
peserta belajar. Oleh karena itu, peran fasilitator selayaknya membiasakan pengaturan
peran dan tanggung jawab bagi setiap peserta terhadap terciptanya lingkungan fisik kelas
yang diharapkan dan suasana lingkungan sosial kelas yang menjadikan proses
pembelajaran dapat berlangsung secara bermakna. Dengan terciptanya tanggung jawab
bersama antara peserta dan fasilitator, maka akan tercipta situasi pembelajaran yang
kondusif dan bersinergi bagi semua peserta (Kusmoro, 2008).
Desain Lingkungan fisik Dalam manajemen kelas efektif, lingkungan fisik
merupakan faktor yang sangat penting. Oleh Karena itu, lingkungan fisik harus dapat
didesain secara baik dan lebih dari sekedar penataan barang-barang di kelas. Menurut
Everston et al. (2003) dalam Santrock (2008), terdapat empat prinsip yang dapat dipakai
dalam menata kelas, yaitu:
Kurangi kepadatan di tempat lalu lalang. Daerah ini antara lain area belajar
kelompok, kursi peserta, meja fasilitator, dan lokasi penyimpanan alat tulis kertas,
computer dan lokasi lainnya. Area-area harus dapat dipisahkan sejauh mungkin dan
dipastikan mudah diakses, karena gangguan dapat terjadi pada daerah yang sering
dilewati.
Pastikan bahwa Fasilitator dapat dengan mudah melihat semua peserta. Sebagai
manajer kelas, fasilitator penting untuk memonitor peserta secara cermat. Pastikan ada
jarak pandang yang jelas dari meja fasilitator, lokasi instruksional, meja peserta, dan
semua peserta.
Materi Pengajaran dan Perlengkapan
harus mudah diakses. Hal ini akan
meminimalkan waktu persiapan dan perapian, serta mengurangi kelambatan dan
gangguan aktivitas.
Pastikan peserta dapat dengan mudah melihat semua presentasi kelas. Tentukan
di mana fasilitator dan peserta anda akan berada saat presentasi kelas diadakan.
H. Pelayanan sarana pelatihan.
Selama pelaksanaan pelatihan pekerjaan yang terpenting bagi pelaksana adalah
melayani; melayani peserta dan pengajar sebagai pelaku utama dalam interaksi belajar
mengajar. Jika pelayanan terhadap proses penyelenggaraan diklat lancar, dan proses
belajar mengajar menggairahkan, maka dapat dipastikan bahwa kualitas diklat akan lebih
baik. Berdasarkan laporan penyelenggaraan, hasil evaluasi penyelenggaraan terhadap
pelatihan-pelatihan yang sudah dilaksanakan rata-rata baik. Persoalannya bahwa hasil
evaluasi penyelenggaraan diklat itu dapat menggambarkan keadaan yang sesungguhnya.
Output Pelatihan Pertanian Secara kuantitatif, output penyelenggaraan
pelatihan adalah banyaknya peserta pelatihan (aparatur dan non aparatur) yang telah
diikutsertakan dan selesai mengikuti pelatihan. Secara kualitatif output penyelenggaraan
pelatihan adalah tingkat perubahan perilaku dari para purnawidya (aparatur dan non
aparatur) yang diukur dari perubahan pengetahuan, sikap, dan ketrampilannya. Dengan
perubahan pengetahuan, sikap, dan pengetahuan purnawidya diharapkan dapat
memberikan manfaat dalam pelaksanaan tugasnya dan pada gilirannya dapat
memberikan dampak positif dalam pembangunan.
Untuk mengetahui keberhasilan pelatihan secara kualitatif diukur dari perspektif
output pelatihan adalah menilai effect dan impact latihan itu. Effect pelatihan adalah
pengaruh pelatihan terhadap peningkatan kemampuan kerja, sikap, dan ketrampilan,
sedangkan impact adalah pengaruh pelatihan itu terhadap usaha peningkatan
produktivitas kerja purnawidya, produktivitas pertanian, peningkatan pendapatan, dan
kesejahteraan masyarakat. Hasil evaluasi awal dan akhir dari beberapa pelatihan, terlepas
dari faktor-faktor intern peserta yang mengikuti pelatihan, menunjukkan adanya
kemajuan diukur dari penguasaan terhadap materi-materi yang dilatihan. Ini berarti
bahwa pelatihan memberikan effect terhadap peningkatan perilaku peserta dilihat dari
segi koqnitif.
Daftar Pustaka
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan 1994. Kurikulum Sekolah Lanjutan Tingkat
Pertama (SLTP): Petunjuk pelaksanaan proses belajar mengajar. Dikmenum:
Jakarta.
Fisher, D. L., & Fraser, B. J. 1990. School Climate, (SET research information for teachers
No.2). Melbourne: Australian Council for Educational Research.
Freiberg, H. J. 1998. Measuring school climate: Let me count the ways. Educational
Leadership, 56(1), 22-26. Giddings, G.,
Download