BAB 2 LANDASAN TEORI Perbedaan latar belakang dan budaya di suatu tempat atau lingkungan kerja dan komunikasi yang terjadi di dalamnya disebut komunikasi antarbudaya. Penelitian mengenai komunikasi antarbudaya memfokuskan perhatiannya mengenai bagaimana budaya-budaya yang berbeda berinteraksi dalam sebuah proses komunikasi (Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat, 2010:242). Oleh sebab itu dua teori umum yang akan diangkat dalam karya ilmiah ini adalah seputar komunikasi dan budaya. Berikut merupakan uraian landasan teori terkait karya ilmiah ini. 2.1. Penelitian Sebelumnya (State of The Art) Tabel 2.1 State of Art Nama Peneliti Zhang Xiaochi Lokasi Tahun Penelitian Penelitian Discussion on USA dan 2012 International China Judul Penelitian Hasil Penelitian Program kerja di USA menarik bagi pelajar di Internship and China sebagai Intercultural pengalaman baru di Competence from a lingkungan kerja dan Perspective of untuk memiliki nilai Higher tambah bagi CV atau Educational resume yang mereka Internationalizatio miliki. Dari penelitian ini n - A Case Study of diketahui bahwa jarak the Program atau perbedaan tertentu Workand Travel diantara USA dan China USA telah berkurang. Melalui program ini juga kompetensi antar budaya yang dimiliki mahasiswa China meningkat, paham bagaimana menangani isu lintas budaya secara 7 8 umum dan menerapkannya dalam lingkungan kerja mereka. Program magang internasional dinilai efektif untuk mengukur talent internasionalisasi di China. Emma Nhlapo dan Roelien Intercultural South communication in Africa Information System Development Teams 2010 Partisipan setuju bahwa teknis latar belakang yang mereka miliki memberikan mereka Goede dorongan untuk menemukan kerangka acuan yang sama selama mereka meminimalisir miscommunications yang terjadi didalam tim. Partisipan berbeda juga melihat sifat budaya dari sudut pandang yang berbeda juga. Sebagian sangat terikat dengan kepribadian mereka dan sebagian sangat peka terhadap cultural makeup. Amia Kompetensi Australia 2011 Model kompetensi Luthfia Komunikasi dan komunikasi antarbudaya Antarbudaya Indonesia yang Peserta Pelatihan dikemukakan Chen dan dari Indonesia di Starosta kurang mengena Australia dengan penelitian ini 9 karena sulit untuk dilihat.Setiap budaya memiliki gaya komunikasi yang berbeda dengan budaya lainnya, khususnya budaya timur dan budaya barat. Peneliti menyarankan akan adanya penelitian lebih lanjut tentang kompetensi komunikasi antarbudaya namun dengan menggunakan perspektif budaya Indonesia atau perspektif budaya timur. Pentingnya Kesadaran Antarbudaya dan Indonesia 2013 Globalisasi memberikan kesempatan akan lahirnya ribuan Kompetensi perusahaan internasional Komunikasi dan multinasional di Antarbudaya dalam seluruh dunia. Dunia Kerja Global Kegagalan transaksi dalam bisnis dan menurunnya kinerja perusahaan ternyata sering disebabkan perbedaan budaya. Untuk itu para pebisnis dan anggota organisasi multinasional kiranya harus memahami budaya mitra asing mereka. 10 Menyadari, mengenal dan memahami perbedaan-perbedaan budaya yang ada. Setiap budaya memiliki keunikan dan karakteristik tersendiri, berbeda bahasa berarti berbeda budaya. Sherman Komunikasi Zein Antarbudaya: Indonesia 2012 Komunikasi antarbudaya berperan dalam Sebuah Alternatif memecahkan masalah dalam Pemecahan hubungan antar peserta Masalah Interaksi komunikasi dengan latar Sosial belakang budaya berbeda secara individual melalui komunikasi antar pribadi dan proses akulturasi. Sedangkan untuk masalah secara kelompok, masalah diselesaikan melalui pendekatan komunikasi massa dan difusi inovasi. Sumber: Hasil Pemikiran Peneliti 2.2. Landasan Konseptual 2.2.1. Komunikasi Individu berinteraksi dan saling mengirim pesan dengan individu lainnya melalui sebuah proses yakni komunikasi. Emma Nhlapo dan Roelien Goede (2010: 273-280) menyebutkan bahwa komunikasi didefinisikan sebagai proses yang dilakukan satu,dua atau lebih dari dua orang yang menyampaikan dan menerima pesan didalam suatu konteks tertentu, memiliki efek dan masing-masing pihak dalam komunikasi diberi kesempatan untuk memberikan umpan balik (feedback). Komunikasi terjadi dimana saja, formal maupun informal. Begitu pun di dalam 11 sebuah lingkungan kerja suatu perusahaan atau organisasi. Komunikasi diperlukan untuk saling menyampaikan pesan satu sama lain, secara vertikal maupun horizontal. Komunikasi terjadi antara atasan dengan bawahannya ataupun antara karyawan dengan karyawan lain. Seluruh aktifitas dalam sebuah perusahaan maupun bentuk organisasi lainnya dilakukan dengan melalui proses komunikasi. Komunikasi juga merupakan tindakan simbolik dimana didalamnya digunakan berbagai kode yang dibuat oleh manusia dan memiliki makna tertentu (Sherman Zein,2012: 349). Kode-kode ini digunakan untuk dapat berinteraksi baik secara verbal dan nonverbal untuk dapat membuat komunikan atau pihak yang menerima pesan bisa memahami isi pesan dengan mudah. Dalam jurnalnya, Sherman Zein (2012: 349) juga menuliskan bahwa komunikasi merupakan perilaku simbolik yang menghasilkan berbagai derajat pembagian persamaan makna dan nilai diantara para pelakunya. Disini nampak bahwa komunikasi dilakukan agar kedua pihak dalam proses komunikasi tersebut baik yang mengirimkan pesan maupun yang menerima pesan dapat memahami pesan yang disampaikan dengan tepat dan dalam konteks yang sama. Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat(2010: 12-13) menyebutkan bahwa komunikasi berhubungan dengan apa yang terjadi bila suatu perilaku kemudian diberi makna. Bila seseorang memperhatikan perilaku dari orang lain lalu kemudian memberinya makna, maka secara sadar maupun tidak sadar komunikasi telah terjadi diantara keduanya. Setiap pelaku memiliki potensi untuk menjadi alasan terjadinya sebuah proses komunikasi. Sebagai contoh ketika berada di Thailand, orang memberi salam dengan mempertemukan kedua tangan didepan wajah dan menundukan badan. Ketika orang dari negara lain melihat perilaku ini, makna yang diberikan salah satunya adalah dengan membandingkan kebiasaan dan tata cara menyapa yang dilihatnya dari masyarakat lokal Thailand dengan negara asalnya yang mungkin memiliki tata cara sapaan yang berbeda. Hal ini disetujui oleh Ahmad Sihabudin (2013: 14), bahwa sebelum perilaku seesorang dikategorikan sebagai pesan yang disampaikan dalam suatu proses komunikasi, perilaku terlebih dahulu harus memenuhi dua syarat yakni perilaku harus diobservasi terlebih dahulu oleh orang lain dan perilaku harus memiliki suatu makna. 2.2.1.1. Unsur-unsur Komunikasi Untuk menghasilkan sebuah proses komunikasi, dibutuhkan unsur-unsur yang membangun proses tersebut. Komunikasi tidak terjadi begitu saja ada sumber pesan, 12 pesan yang ingin dikirim dan pihak yang akan menerima pesan tersebut. Lebih lengkapnya komponen komunikasi seperti yang dijabarkan Sandra Goodall, H.I Goodall,Jr dan Jill Schiefelbein (2010: 23-25) berikut: a. Sender Sender merupakan sumber yang memberikan pesan dalam sebuah komunikasi. Sender atau sumber suatu pesan bisa merupakan individu ataupun organisasi tertentu. Contohnya ketika masyarakat tahu mengenai adanya seminar atau acara tertentu yang diselenggarakan suatu universitas maka universitas tersebut merupakan sender atau pengirim pesan. Sender punya pengaruh yang kuat dalam proses komunikasi. Sender harus merupakan orang yang berkompeten dalam berkomunikasi sehingga ia dapat memastikan bahwa pesan yang ia pahami dimaknai sama oleh partisipan yang nantinya akan menerima pesannya (Amia Luthfia, 2013: 6). b. Receiver Penerima pesan yang menjadi tujuan dari sender disebut dengan istilah receiver. Sebagai akibat dari penerimaan pesan ini, receiver menjadi terhubung dengan sender sebagai sumber dari pesan itu sendiri (Ahmad Sihabudin, 2013: 16). Ketika ada dalam acara seminar, peserta seminar tersebut sedang mendengarkan pembicara yang sedang tampil, maka peserta seminar pada contoh ini merupakan receiver atau penerima pesan. Menurut Rini Darmastuti (2013: 9), komunikan atau receiver dalam memperhatikan dan memahami pesan sangat tergantung dalam tiga bentuk pemahaman yakni kognitif, afektif dan overt action. Kognitif merupakan suatu kondisi dimana receiver menerima suatu pesan sebagai sesuatu yang benar. Afektif adalah situasi ketika komunikan atau receiver tidak hanya menganggap pesan itu benar namun juga pesan itu disukai olehnya. Selanjutnya overt action atau yang disebut juga sebagai tindakan nyata adalah ketika seorang komunikan percaya atas pesan yang benar dan baik sehingga mendorongnya untuk melakukan suatu tindakan yang tepat sesuai dengan pesan yang disampaikan sender dan diterimanya atau dengan kata lainnya pesan menjadi pendorong untuknya melakukan suatu tindakan tertentu. c. Messages Pesan atau message merupakan apa yang disampaikan oleh sender selama proses komunikasi berjalan. Message bisa merupakan pesan verbal maupun pesan non verbal. Contohnya ketika mendengarkan seorang pembicara dalam 13 seminar, peserta sebagai penerima pesan tidak hanya mendengarkan kata-kata yang disampaikan pembicara tersebut saja atau yang disebut pesan verbal. Dalam waktu yang bersamaan peserta juga menangkap pesan-pesan non verbal seperti nada suara, gerakan tubuh, dan ekspresi pembicara selaku sender (Sandra Goodall, H.I Goodall,Jr dan Jill Schiefelbein, 2010: 24). Menurut Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat(2010: 15), pesan merupakan hasil dari proses penyandian sebuah perilaku yang memiliki makna tertentu. Berlo menyebutkan bahwa ada tiga faktor utama dalam pesan. Faktor-faktor tersebut adalah tanda pesan yakni bagaimana simbolsimbol pesan disusun, isi pesan yakni pemilihan bahan untuk menyatakan tujuan pesan dan perlakuan atas pesan yakni berkaitan dengan frekuensi ataupun penekanan (dalam Rini Darmastuti, 2013: 7). d. Noise Komunikasi tidak selamanya berjalan mulus. Baik secara internal maupun eksternal akan ada gangguan-gangguan yang menghambat suatu proses komunikasi atau yang disebut noise. Menurut Goodall, H.I Goodall,Jr dan Jill Schiefelbein (2010: 24) ada tiga tipe noise yang dapat mengganggu jalannya sebuah komunikasi yaitu physical noise, semantic noise dan hierarchical noise.Physical noise merupakan gangguan yang berasal dari lingkungan sekitar misalkan suara gaduh dari lingkungan sekitar atau suara kendaraan yang tiba-tiba lewat. Semantic noise adalah gangguan yang biasanya timbul dikarenakan pemahaman berbeda mengenai suatu informasi atau kata tertentu, penggunaan jargon atau kata-kata asing yang sulit dipahami oleh receiver dan sebagainya. Sedangkan hierarchical noise menggambarkan gangguan dalam komunikasi yang terjadi ketika peserta komunikasi menghubung-hubungkan pesan tersebut dengan status atau kedudukan orang tersebut didalam organisasi atau perusahaan yang diwakilinya. e. Feedback Umpan balik atau feedback merupakan suatu aktifitas yang memberikan kesempatan bagi pengirim maupun penerima pesan untuk memberikan respon atau proses komunikasi yang terjadi diantara keduanya. Menurut Porter dan Samovar, dari feedback yang diterima maka receiver dapat mulai menilai keefektifan komunikasi yang dilakukannya (dalam Ahmad Sihabudin, 2013: 16-17). Feedback dapat digunakan sebagai evaluasi sehingga pada komunikasi selanjutnya akan dilakukan penyesuaian dan perbaikan-perbaikan 14 yang lebih efektif. Umpan balik atau feedbackdengan respon bukan hal yang sama. Meskipun berkaitan keduanya jelas berbeda. Respon merupakan apa yang diputuskan atau dilakukan oleh penerima setelah mendapatkan pesan, sedangkan yang dimaksud dengan feedback adalah mengenai keefektifan suatu komunikasi. Feedback dan respon saling berhubungan karena respon yang diberikan oleh penerima dijadikan sumber dari feedback itu sendiri (Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat,2010: 15) f. Channels Channel merupakan suatu saluran yang merupakan alat fisik yang berfungsi untuk memindahkan pesan dari pengirim pesan kepada penerimanya (Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat,2010: 15). Memilih sebuah channel harus berdasarkan waktu yang ditentukan, penerimaan yang diharapkan dan bagaimana penerima pesan atau receiver bisa memahami pesan yang disampaikan (Goodall, H.I Goodall,Jr dan Jill Schiefelbein, 2010: 25). Setiap channel memiliki pengaruh yang berbeda, sasaran audience yang berbeda dan hasil yang berbeda pula. Ada dua tipe saluran yang digagas oleh ilmuwan sosial yakni sensory channel dan institutionalized means. Sensory channel merupakan saluran yang memindahkan pesan sehingga akan ditangkap oleh lima indera manusia yang berarti pesan dapat dilihat, didengar, diraba, dicium(hidung), dan dirasa (lidah). Sedangkan institutionalized means merupakan saluran yang sudah dikenal atau digunakan oleh manusia. Misalkan percakapan tatap muka, melalui media cetak maupun media elektronik (dalam Rini Darmastuti, 2013: 7-8). g. Context Semua komunikasi berlangsung atau terjadi didalam sebuah konteks. Menurut Goodall, H.I Goodall,Jr dan Jill Schiefelbein (2010: 25), hal-hal yang termasuk didalam konteks adalah situasi fisik, konteks budaya yang dibawa oleh masing-masing partisipan komunikasi dalam proses tersebut, serta pengalaman komunikasi sebelumnya yang pernah terjadi diantara kedua partisipan. Unsur-unsur diatas merupakan unsur komunikasi seperti yang dirumuskan oleh Goodall, H.I Goodall,Jr dan Jill Schiefelbein (2010: 23-25). Namun pada sumber literatur yang lain menyebutkan bahwa dalam sebuah proses komunikasi ada dua unsur lainnya yang juga penting yakni encoding dan decoding.Menurut Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat(2010:14), encoding merupakan kegiatan internal 15 seseorang untuk memilih dan merancang perilaku verbal dan nonverbalnya yang sesuai dengan aturan-aturan tata bahasa dan sintaksis guna menciptakan suatu pesan. Sedangkan decoding atau penyandian kembali adalah proses internal penerimaan dan pemberian makna kepada perilaku sumber yang mewakili perasaan dan pemikiran sumber (Ahmad Sihabudin, 2013: 16). Dalam situasi komunikasi yang terjadi diantara dua budaya berbeda, tahap encoding dan decoding merupakan tahap yang paling sulit karena pesan harus benar-benar dapat diinterpretasikan dengan tepat (Chiktakornkijsil dalam Amia Luthfia, 2013: 5). 2.2.1.2. Proses Komunikasi Seperti yang sudah dijelaskan pada bagian sebelumnya, komunikasi merupakan sebuah proses. Sebagai sebuah proses komunikasi berjalan secara terus menerus melalui setiap tahapan-tahapannya. Secara sederhana proses sebuah komunikasi bermula ketika sender ingin membagikan pikiran atau perasaannya kepada receiver. Hal ini tidak dapat dilakukan begitu saja, sehingga sender harus menggunakan lambang-lambang dengan makna tertentu untuk menyampaikan pemikiran dan perasaannya tersebut. Hal ini merupakan encoding seperti yang telah disebutkan pada bagian unsur-unsur komunikasi. Setelah di encoding maka pesan yang ingin disampaikan telah terbentuk. Untuk dapat sampai kepada penerimanya, pesan harus disampaikan dengan melalui sebuah media atau yang disebut dengan channel. Dari channel inilah pesan kemudian akan diteruskan kepada penerima. Namun sebelum diterima oleh penerima atau receiver, pesan harus melalui tahap penyandian kembali atau decoding. Proses ini kemudian dilanjutkan dengan pemberian respon dan feedback oleh penerima pesan kepada pengirim atau sender(Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat, 2010:14-15).Selama proses komunikasi ini akan ada berbagai macam gangguan atau noise yang menghambat berjalannya sebuah komunikasi yang efektif. Terlepas dari proses komunikasi yang dijabarkan secara teknis diatas, proses komunikasi yang digunakan didalam kehidupan manusia dibagi menjadi dua yakni komunikasi primer dan komunikasi sekunder (Rini Darmastuti, 2013: 17-18). Komunikasi primer merupakan proses dimana pikiran dan perasaan seseorang disampaikan kepada orang lain dengan menggunakan lambang atau suatu simbol yang memiliki makna tertentu sebagai medianya. Proses komunikasi secara primer ini dapat dilakukan dengan cara verbal maupun non verbal. Sedangkan komunikasi sekuder terjadi ketika pesan yang dilakukan oleh sender atau komunikator 16 disampaikan dengan menggunakan sarana atau alat tertentu sebagai media kedua setelah memakai lambang tertentu sebagai lambang pertama. Media pada kasus ini digunakan untuk memperlancar lambang tertentu yang telah ditentukan sebelumnya. Contohnya ketika menggunakan radio, televisi, surat kabar, majalah dan sebagainya. Komunikasi sekunder sangat efisien apabila akan digunakan kepada banyak penerima pesan sekaligus. Tentunya pesan yang dimiliki dalam proses komunikasi ini merupakan pesan yang hanya bersifat informatif. Untuk pesan yang lebih bersifat persuasif, lebih efektif jika menggunakaan proses komunikasi primer misalnya dengan bertatap muka secara langsung. 2.2.1.3. Prinsip dan Karakteristik Suatu Komunikasi Ada prinsip-prinsip tertentu dalam komunikasi. Seperti yang disebutkan oleh Joseph A. Devito (dalam Rini Darmastuti, 2013: 11-12) ada beberapa prinsip dari komunikasi yang terjadi diantara manusia yakni: a. Komunikasi adalah paket isyarat Dalam setiap perilaku komunikasi yang digunakan isyarat-isyarat tertentu baik secara komunikasi verbal maupun komunikasi non verbal sebagai salah satu media pengirim informasi. b. Komunikasi adalah proses penyesuaian Komunikasi dapat tejadi ketika setiap partisipan dalam komunikasi dapat menggunakan dan memahami simbol dan persepsi yang sama. Proses komunikasi ada dan diperlukan untuk menyesuaikan antara sender dan receiver yang memiliki latar belakang budaya serta pemahaman yang berbeda. c. Komunikasi mencakup dimensi isi dan hubungan Komunikasi tidak hanya berbicara mengenai bagaimana menyampaikan suatu pesan tertentu namun juga bagaimana membangun suatu hubungan atau relasi dengan partisipan komunikasi lainnya. d. Komunikasi melibatkan transaksi simetris dan komplementer Dalam suatu proses komunikasi hubungan yang terjadi dapat berbentuk simetris ataupun komplementer. Hubungan yang simetris berarti dua pihak ini saling bercermin pada perilaku lainnya. Sedangkan hubungan yang komplementer berarti kedua pihak ini saling melengkapi perilaku satu dengan yang lain. 17 e. Komunikasi adalah proses transaksional Komunikasi merupakan proses yang bersifat transaksional yakni proses dimana komponen-komponennya saling terkait. Partisipan dalam proses komunikasi saling beraksi dan bereaksi satu dengan yang lainnya sebagai satu kesatuan. f. Komunikasi tidak terhindarkan Komunikasi terjadi dalam kehidupan manusia dan tidak senantiasa dilakukan baik secara sadar dan sengaja. Terkadang komunikasi terjadi tanpa disadari pelakunya. g. Komunikasi bersifat tak reversible Komunikasi yang sudah dilakukan atau sudah terjadi tidak dapat diulang kembali. Komunikasi juga memiliki karakteristik tertentu. Dalam bukunya Komunikasi Antarbudaya: Satu Perspektif Multidimensi, Ahmad Sihabudin (2013: 17) mengungkapkan bahwa ada empat karakteristik dalam sebuah proses komunikasi yakni komunikasi itu dinamik, interaktif, tidak dapat dibalik (irreversible) dan komunikasi berlangsung dalam konteks fisik dan sosial. Komunikasi disebut dinamik karena komunikasi merupakan suatu aktifitas yang terus berlangsung dan senantiasa berubah. Ketika terlibat sebagai perserta komunikasi maka seseorang akan dipengaruhi oleh pesan yang disampaikan orang lain dan akan mengalami suatu perubahan, meskipun perubahan tersebut terbilang perubahan kecil. Terlibat dalam komunikasi seterusnya menjadikan manusia sebagai pribadi yang terus menerus berubah oleh sebab itu disebut sebagai orang-orang yang dinamik (Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat, 2010: 16). Karakteristik komunikasi yang menyatakan komunikasi sebagai proses yang interaktif memiliki pemahaman bahwa setiap pihak secara bersamaan menciptakan pesan yang dimaksudkan untuk memperoleh responsrespons tertentu dari pihak lainnya. Komunikasi terjadi diantara sumber atau sender dengan penerima pesan. Kedua pihak ini sama-sama membawa latar belakang dan pengalaman mereka masing-masing ke dalam proses komunikasi yang terjadi. Dalam proses komunikasi latar belakang dan pengalaman setiap pesertanya tersebut mempengaruhi jalannya peristiwa komunikasi. Interaktif juga menandakan situasi timbal balik yang memungkinkan setiap pihak mempengaruhi pihak yang lainnya. Deddy Mulyana dan 18 Jalaluddin Rakhmat (2010: 17) menjelaskan mengenai karakteristik komunikasi lainnya yakni komunikasi bersifat irreversible atau tidak dapat dibalik memiliki makna bahwa sekali komunikasi terjadi atau pesan telah disampaikan maka seeorang tidak akan dapat menarik kembali pesan tersebut dan tidak dapat membuat pengaruhnya hilang sama sekali. Sender bisa mengirimkan berbagai pesan lain untuk mengubah efek yang ditimbulkan pesan sebelumnya namun efek pertama dari pesan sebelumnya tetap tidak dapat sepenuhnya hilang. Karakteristik yang terakhir adalah komunikasi berlangsung dalam konteks fisik dan sosial. Konteks fisik berarti situasi di sekitar sender dan receiver selama proses komunikasi berlangsung misalnya kenyamanan lingkungan atau suasana ruangan tempat terjadinya suatu komunikasi. Sedangkan konteks sosial merupakan hubungan sosial yang dimiliki oleh para peserta komunikasi misalkan antara atasan dengan pegawainya atau antara pembicara dan peserta suatu seminar. Seperti apapun konteks sosial yang dimiliki oleh para peserta komunikasi ini akan mempengaruhi bentuk bahasa yang digunakan selama komunikasi, penghormatan pada seseorang, atau pun kepercayaan diri ketika mengungkapkan pesan (Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat, 2010: 17). 2.2.1.4. Fungsi Komunikasi Fungsi komunikasi secara umum menurut Thomas M. Scheidel adalah untuk menyatakan dan mendukung identitas diri. Selain itu komunikasi juga dapat membangun kontak sosial dengan orang-orang sekitar dan untuk mempengaruhi orang lain (dalam Rini Darmastuti, 2013: 13). Komunikasi dilakukan untuk mempengaruhi orang lain berarti situsasi dimana seseorang ingin mempengaruhi orang lain agar merasa, berpikir dan berperilaku sesuai dengan yang dia inginkan. Dapat diartikan bahwa tujuan dasar ketika melakukan komunikasi adalah untuk mengendalikan lingkungan fisik dan psikologis dari setiap orang yang diajak berkomunikasi. Sedangkan William I. Gorden (dalam Rini Darmastuti, 2013: 13-17) membagi fungsi komunikasi dalam beberapa kategori. Keempat fungsi komunikasi ini tidak berjalan sendiri-sendiri melainkan bekerja saling terkait antara satu dengan yang lainnya. Fungsi komunikasi tersebut terbagi dalam fungsi komunikasi sosial, ekspresif, ritual dan instrumental. Fungsi komunikasi sosial biasanya berjalan seiring dengan fungsi komunikasi ekspresif dan fungsi komunikasi instrumental. Sedangkan fungsi komunikasi ritual terkait dengan fungsi komunikasi yang lainnya. Berikut merupakan penjelasan lebih lanjut mengenai fungsi komunikasi. 19 a. Fungsi Komunikasi Sosial Komunikasi dalam fungsinya secara sosial memiliki peran yang kuat dalam pembentukan konsep diri seseorang. Pembentukan konsep diri yang dimaksud disini adalah pandangan yang akan timbul mengenai seseorang dan biasanya hal tersebut diperoleh dari informasi yang diberikan oleh orang lain. Konsep diri membuat seseorang dipandang spesifik secara budaya dan berlandaskan keetnikan (Mead dalam Rini Darmastuti, 2013: 15). Dari asumsi konsep diri tersebut seseorang memainkan perannya hingga menjadi suatu panduan untuk tingkah laku. Komunikasi memiliki fungsi sebagai pembentuk aktualisasi diri untuk membantu kelangsungan hidup seseorang serta memperoleh kebahagiaan dan terhindar dari tekanan maupun ketegangan. Aktualisasi diri juga merupakan salah satu kebutuhan hidup manusia dimana manusia pada akhirnya juga ingin eksistensi atau keberadaannya diakui (Abraham Maslow dalam Rini Darmastuti, 2013: 15). Fungsi komunikasi secara sosial juga menyatakan bahwa komunikasi yang dilakukan dapat membangun hubungan orang tersebut dengan orang lain. Sebagai makhluk sosial manusia tidak dapat hidup sendiri dan berinteraksi atau berelasi dengan orang lain merupakan kebutuhan manusia sejak lahir. Komunikasi membantu setiap individu untuk memenuhi kebutuhan psikologis dan biologis mereka dalam interaksinya dengan individu lain. Secara implisit fungsi komunikasi sosial ini juga merupakan komunikasi kultural dimana komunikasi digunakan untuk mengaktualisasikan diri setiap partisipan dan membantu kelangsungan hidup melalui komunikasi budaya yang mereka lakukan. Edward T. Hall (dalam Rini Darmastuti, 2013: 14) menyatakan bahwa komunikasi dan budaya seperti mata uang yang memiliki dua sisi yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya saling terkait erat dan tidak dapat berdiri sendiri. Komunikasi adalah mekanisme yang mensosialisasikan norma-norma budaya kepada masyarakat baik secara vertikal yakni dari satu generasi kepada generasi lainnya maupun secara horizontal yakni komunikasi mensosialisasikan budaya tersebut dari satu masyarakat kepada masyarakat lainnya. b. Fungsi Komunikasi Ekspresif Dalam komunikasi partisipan dapat mengekspresikan apa yang dirasakan olehnya. Hal ini merupakan fungsi komunikasi secara ekspresif. Setiap 20 individu bebas mengekspresikan apa yang dirasakan secara verbal maupun non verbal. Komunikasi ekspresif juga dapat dilakukan oleh individu tersebut saja maupun secara berkelompok. Komunikasi dapat dijadikan instrumen untuk menyampaikan perasaan atau emosi seseorang (Deddy Mulyana, dalam Rini Darmastuti, 2013: 16). c. Fungsi Komunikasi Ritual Fungsi komunikasi ritual sering kali bersifat ekspresif. Kegiatan ritual memungkinkan para pesertanya untuk berbagi komitmensecara emosional dan menjadi perekat bagi kepaduan mereka sebagai suatu kelompok. Komunikasi dalam fungsi ritualnya kadang sulit dipahami oleh orang yang bukan berasal dari kelompok yang sama atau berada diluar dari komunitas itu. d. Fungsi Komunikasi Instrumental Komunikasi secara instrumental dalam fungsinya dipahami sebagai alat atau instrumen untuk membantu kegiatan lain yang dilakukan manusia. Komunikasi digunakan dengan tujuan menginformasikan, mendorong, mengajar, merubah sikap dan keyakinan, merubah perilaku dan menghibur. Sebagai instrumen, komunikasi tidak hanya membangun suatu hubungan tetapi juga menghancurkan hubungan tersebut. Komunikasi berfungsi sebagai instrumen untuk mencapai tujuan jangka pendek seperti pujian dan empati maupun tujuan jangka panjang (Deddy Mulyana dalam Rini Darmastuti, 2013: 17). 2.2.2. Budaya Selain komunikasi unsur penting lainnya yang akan dibahas dalam teori umum ini adalah budaya. Seperti yang telah disebutkan pada bagian sebelumnya bahwa budaya dan komunikasi seperti satu mata uang dengan dua sisi yang berbeda, tidak dapat berdiri sendiri-sendiri. Budaya merupakan pola penyebaran atau pembagian asumsi-asumsi dasar yang diyakini suatu kelompok tertentu dalam memecahkan suatu masalah yang telah dibuktikan keabsahannya sehingga diajarkan kepada anggota baru sebagai cara yang benar untuk memahami dan menyelesaikan masalah tersebut (Schein dalam Emma Nhlapo dan Roelien Goede, 2010: 273-280). Pengertian lainnya menyebutkan bahwa budaya mengacu pada cara berpikir dan bekerja yang dibawa oleh suatu masyarakat tertentu yang diperolehnya dari suatu proses sosialisasi. Budaya dibedakan melalui cara berpikir kelompok tersebut secara 21 keseluruhan, praktik, pola perilaku, persepsi, nilai dan ansumsi dalam hidup mereka yang mengarahkan perilaku tersebut serta evolusi melalui interaksi dengan budaya lainnya (Jandt dalam Emma Nhlapo dan Roelien Goede, 2010: 273-280). Sebagian besar budaya mulai diperoleh individu sedari masa kanak-kanaknya (Hofstede dan Hofstede dalam Emma Nhlapo dan Roelien Goede, 2010: 273-280). Kebudayaan tidak hanya menentukan siapa berbicara dengan siapa, mengenai apa dan bagaimana komunikasi seharusnya berlangsung, tetapi juga mengenai bagaimana pesan sebaiknya dirumuskan, makna dari pesan, serta dalam kondisi dan keadaan bagaimana pesan boleh dan tidak boleh disampaikan, diperhatikan dan ditafsirkan. Kebudayaan yang beraneka ragam, menghasilkan praktek komunikasi yang bervariasi pula (Porter Samovar dan Jain dalam Amia Luthfia ,2011: 862). Menurut Turnomo ada tiga hal penting dalam budaya. Pertama, istilah budaya merujuk pada keragaman poll of knowledge yakni realitas-realitas yang dipertukarkan dan norma-norma yang dikelompokan dan membentuk sistem-sistem makna yang dipelajari dalam masyarakat partikular. Kedua, sistem-sistem makna tersebut kemudian dipertukarkan dan ditransmisikan melalui interaksi sehari-hari diantara para anggota kelompok cultural dan dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Hal penting yang terakhir adalah budaya memfasilitasi kapasitas para anggota untuk bertahan hidup dan beradaptasi dengan lingkungan eksternal mereka (dalam Rini Darmastuti: 32-33). 2.2.2.1. Unsur-unsur dalam Budaya Seperti halnya komunikasi yang memiliki berbagai unsur yang saling terkait di dalam prosesnya, demikian pun budaya dibangun oleh unsur-unsur penting yakni nilai,kepercayaan dan bahasa (Alo Liliweri dalam Rini Darmastuti, 2013: 33). Faktor-faktor ini yang kemudian mempengaruhi persepsi individu dalam memandang realitas yang ada disekitarnya (Larry A. Samovar dan Richard E. Porter dalam Rini Darmastuti, 2013: 33-35). Berikut penjelasan dari masing-masing unsur yang ada di dalam budaya: a. Kepercayaan Kepercayaan dipandang sebagai suatu konsep yang dimiliki oleh setiap individu mengenai bagaimana mereka melihat keadaan di sekelilingnya. Kepercayaan seseorang bisa terhadap suatu gagasan tertentu tentang orang lain, individu, alam, keadaan sekitar maupun tentang fisik, biologi, sosial dan sebagainya (Alo Liliweri dalam Rini Darmastuti, 2013: 33). Larry A Samovar 22 dan Richard E. Porter (dalam Rini Darmastuti, 2013: 34) menmberikan definisi lainnya tentang kepercayaan yaitu kepercayaan merupakan anggapan subjektif bahwa suatu objek atau peristiwa mempunyai ciri-ciri tertentu dengan atau tanpa bukti. b. Nilai Nilai merupakan suatu konsep abstrak yang dimiliki individu dalam memandang dunia ini. Dengan nilai individu dapat menetapkan apa yang dianggap baik atau buruk, benar atau salah, dan patut atau tidak patut. Semua budaya memiliki sistem nilai yang membentuk norma dan standar yang dimiliki oleh orang-orang yang memiliki kebudayaan tersebut. Norma-norma ini mempengaruhi apa yang dilakukan oleh seseorang. Nilai merupakan sistem yang mengakar pada diri seseorang (Masaaki Kotabe dan Kristian Helsen, 2010: 117). c. Bahasa Bahasa merupakan suatu sistem kodifikasi kode dan simbol baik secara verbal maupun non verbal. Bahasa memiliki peran penting dalam proses komunikasi khususnya dalam komunikasi dengan mereka yang berasal dari kebudayaan dan latar belakang yang berbeda. Bahasa menjadi sebuah identitas dan terkait dengan kelompok masyarakat yang menggunakan bahasa tersebut (Judith N. Martin danThomas K. Nakayama, 2010: 221). Bahasa memiliki komponen-komponen antara lain semantik yakni pemaknaannya, sintatik yakni struktur kalimat yang digunakan, pragmatis yakni maksud dari pengucapan suatu kalimat dan fonetik atau cara pengucapan suatu kata tertentu. Komponen semantik misalkan bagaimana memaknai suatu kata, apakah berdasarkan fungsi dari benda atau objek yang disebutkan dalam kata tersebut atau berdasarkan bentuknya dan sebagainya. Komponen secara sintatik yakni mengenai cara penyusunan kata-kata dalam suatu kalimat. Penyusunan yang berbeda dapat membuat makna yang berbeda pula, khususnya ketika objek dan subjek dalam kalimat berada di tempat yang tidak semestinya atau tertukar. Komponen pragmatis adalah mengenai bagaimana suatu kalimat diartikan. Terkadang kalimat diucapkan untuk arti yang sebenarnya, misalkan untuk memuji seseorang. Namun ada kalanya kalimat tersebut diungkapkan hanya untuk menyindir saja. Sedangkan komponen yang terakhir adalah fonetik. Komponen fonetik merupakan bagaimana cara mengucapkan suatu kata. Kadang kala pengucapan yang berbeda dapat 23 memiliki makna yang berbeda juga pada kata yang diucapkan tersebut. Misalkan kata apel untuk buah dan kata apel untuk upacara pagi. Keduanya memiliki cara penulisan yang sama namun dengan pengucapan yang berbeda, juga menimbulkan arti yang berbeda pada kata tersebut (Judith N. Martin danThomas K. Nakayama, 2010: 221). d. Persepsi Persepsi yang muncul dalam diri seseorang sangat terikat dengan budaya yang dimilikinya. Oleh sebab itu persepsi seseorang terhadap lingkungannya sangat subjektif dan budaya dianggap sebagai pola persepsi yang dianut oleh sekelompok orang. Persepsi merupakan cara-cara seperti apa seseorang dalam memberi makna suatu pesan, objek ataupun lingkungannya yang dipengaruhi sistem nilai yang dianut. Persepsi bisa mengenai diri sendiri maupun orang lain, hal ini sangat dipengaruhi latar belakang budaya dimana individu tersebut berada. Bagi masyarakat yang memiliki pandangan kolektivitas seperti masyarakat Timur misalnya, persepsi terhadap diri orang lain akan dipengaruhi oleh kelompoknya. Hal ini berbeda dengan masyarakat Barat yang memiliki kecenderungan otonom atau lebih individualis, dimana persepsi diri sendiri dan orang lain dipengaruhi oleh orang itu sendiri (Rini Darmastuti, 2013: 35). 2.2.2.2. Fungsi Budaya Ting-Toomey (dalam Rini Darmastuti, 2013: 36) menjabarkan ada beberapa fungsi budaya dalam kehidupan manusia yaitu: a. Identity Meaning Function Budaya dianggap dapat menjawab atau mengidentifikasi diri manusia mengenai siapa dirinya. Nilai dan norma yang diajarkan oleh suatu budaya dan dianut oleh setiap anggota dari budaya tersebut memiliki makna tertentu. Dimana makna tersebut memberikan makna terhadap identitas yang menganut budaya tersebut. b. Group Inclusion Function Group Inclusion Forum memberikan pemahaman bahwa budaya menyajikan fungsi inklusi dalam kelompok. Budaya dinilai dapat memuaskan kebutuhan seseorang terhadap afiliasi keanggotaan dan rasa ikut memiliki. Orang memiliki kemampuan untuk membedakan mana in-group atau mereka yang 24 berada dalam kelompok budaya yang sama dan mana yang out-group atau mereka yang berasal dari luar kelompok tersebut. c. Inter-group Boundary Regulation Function Fungsi ini memberi pengertian bahwa budaya membentuk pemahaman mengenai in-group dan out-group dimana dengan pemahaman ini seseorang mengevaluasi setiap interaksi didalam terlebih lagi dengan individu atau kelompok lain yang berasal dari luar kelompoknya. d. The Ecological Adaptation Function Dalam Ecological Adaptation Function, budaya dianggap dapat memfasilitasi proses-proses adaptasi antara diri, komunitas budaya dan lingkungan yang besar. Ini memperjelas bahwa budaya merupakan sistem dinamis yang terus berubah. Setiap budaya memiliki susunan sistem reward and punishment yang dapat meneguhkan perilaku-perilaku adaptif dan memberi sanksi bagi perilaku-perilaku yang non adaptif. Hal ini membantu individu dalam beradaptasi dengan lingkungannya. e. The Cultural Communication Function Dalam fungsi ini budaya dinilai mempengaruhi komunikasi dan begitupun komunikasi mempengaruhi budaya. (Edward T. Hall dalam Rini Darmastuti, 2013: 36). 2.2.3. Komunikasi Interpersonal Dalam sebuah perusahaan, komunikasi interpersonal punya peranan penting dalam mengantarkan pesan dan informasi seputar tanggung jawab kerja. Komunikasi interpersonal perlu dipahami dengan baik agar kinerja dalam perusahaan tersebut bisa terlaksana secara maksimal. Komunikasi interpersonal menghendaki informasi atau pesan dapat tersampaikan dan hubungan di antara orang yang berkomunikasi dapat terjalin berkelanjutan. Sehingga tidak hanya berbicara tentang komunikasi yang efektif dalam hal pemahaman pesan yang diberikan, namun juga komunikasi interpersonal berkonsentrasi secara mendalam terhadap hubungan yang berkelanjutan diantara para partisipan komunikasi tersebut. Komunikasi interpersonal dapatmembina percakapan, koordinasi, dan kerja sama orang-orang dalam organisasi agar mereka produktif,dinamis, dan inovatif. Keterampilan interpersonalmerupakan keterampilan yang sederhana, tetapi komunikasinya kepada orang lain bukanlah suatuproses yang sederhana. Hal ini disebabkan oleh manusia yang merupakan merupakan mahluk unik dimana masing-masing melihat dunia dengan cara berbeda 25 berdasarkan pengalaman, nilai, sikap, dan persepsi masing-masing. Setiap faktor bisa berpotensi melahirkan reaksi-reaksi yang tidak diinginkan oleh seseorang ketika berkomunikasi dengan orang-orang lain (Lelo Yosep Laurentius, 2013: 837). Richard West dan Lynn H. Turner (2008: 36) menyebutkan bahwa komunikasi interpersonal merupakan komunikasi yang terjadi secara langsung diantara dua orang. Konteks suatu komunikasi interpersonal lebih membahas mengenai bagaimana suatu hubungan dimulai, bagaimana mempertahankan suatu hubungan dan keretakan suatu hubungan (Berger, Dainton dan Standfford dalam Richard West dan Lynn H. Turner, 2008: 36). Relasi komunikasi interpersonal terdiri dari berbagai konteks seperti keluarga, pertemanan, pernikahan atau pun relasi di tempat kerja. 2.2.3.1. Pendekatan Komunikasi Interpersonal Efektifitas suatu komunikasi antar budaya dapat dilihat melalui dua perspektif dari pendekatan komunikasi antar pribadi atau interpersonal communication. Menurut Sendjaja (dalam Sherman Zein, 2012: 354), dua perspektif tersebut adalah perspektif humanistik dan pragmatis. Perspektif humanistik meliputi: a. Keterbukaan Sifat terbuka yang dimaksud adalah terbuka dalam memberikan interaksi dan dalam memberikan respon. b. PerilakuSupportif Perilaku supportif diartikan ketika seseorang menghadapi masalah, dia atidak menjadi defensif bagi lawan bicaranya melainkan bersifat deskriptif, spontan dan provisionalisme. Bersifat deskriptif berarti dalam menghadapi masalah seseorang berusaha semakin mencari tahu informasi-informasi tambahan yang dapat mendukungnya menyelesaikan permasalahan. Spontanitas berarti secara terus terang dan terbuka mengungkapkan apa yang dirasakan atau dialami dalam diri orang tersebut. Sedangkan provisionalisme merupakan sifat yang menuntut orang untuk dapat terbuka dan bersedia menerima pendapat orang lain. c. Perilaku positif Perilaku positif merupakan perilaku yang terkait dengan cara pandang secara positif yang dimiliki seseorang terhadap diri sendiri dan lingkungannya. 26 d. Empati Empati merupakan kemampuan yang dimiliki seseorang sehingga ia dapat menepatkan dirinya pada perasaan, peranan dan posisi sesuai dengan yang dialami oleh orang lain atau lawan bicaranya. e. Homofili (Kesamaan) Kesamaan yang dimaksud disini merupakan kesamaan dalam pengalaman dan kesamaan percakapan pada pelaku-pelaku komunikasi tersebut. Selain perspektif humanistik, perspektif lainnya yaitu perspektif pragmatis terdiri dari poin-poin dibawah ini: a. Bersikap yakin Pelaku-pelaku dalam komunikasi interpersonal harus mempunyai keyakinan terhadap diri sendiri, tidak gugup, tidak malu dan gelisah. b. Kebersamaan Kebersamaan yang dimaksud disini adalah bagaimana seseorang bisa membawa rasa kebersamaan dalam suatu proses komunikasi dengan memperhatikan dan merasakan kepentingan orang lain. c. Manajemen interaksi Manajemen interaksi menuntut partisipan dalam komunikasi interpersonal untuk memiliki kemampuan mengontrol dan menjaga interaksi sehingga agar dapat sama-sama terpuaskan dalam proses komunikasi tersebut. Dengan hal ini, tidak ada partisipan yang merasa diabaikan selama proses tersebut. d. Perilaku ekspresif Perilaku ekspresif menuntut keterlibatan seseorang bersungguh-sungguh dalam interaksi. Partisipan tersebut harus benar-benar mau dan menunjukan keinginannya untuk berinteraksi dalam proses komunikasi interpersonal tersebut. e. Orientasi pada orang lain Dalam suatu percakapan, individu sebagai partisipan dalam komunikasi tersebut harus memiliki sifat yang berorientasi pada orang lain, selain juga pada diri sendiri. Setiap partisipan harus memperhitungkan segala hal tidak hanya dari sisinya saja melainkan juga dari sisi partisipan lainnya (dalam Sherman Zein, 2012: 354). 27 2.2.4. Komunikasi Verbal Komunikasi secara verbal merupakan komunikasi yang sangat erat kaitannya dengan penggunaan kata-kata dalam bahasa. Jika dikaitkan dengan komunikasi yang terjadi diantara dua partisipan dari negara atau kebudayaan yang berbeda, maka penggunaan komunikasi verbal yang sama-sama dapat dipahami oleh kedua pihak sangat penting untuk terlaksananya komunikasi yang efektif. Komunikasi verbal lainnya yang digunakan dalam suatu proses komunikasi adalah nama. Nama digunakan sebagai simbol dalam komunikasi verbal. Nama diri sendiri adalah simbol pertama dan utama untuk mengidentifikasi seseorang (Deddy Mulyana dalam Rini Darmastuti, 2013: 82). Nama pribadi penting karena interaksi akan dimulai dengan nama kemudian akan diikuti atribut-atribut lainnya. Hal-hal lainnya yang cukup mempengaruhi komunikasi verbal adalah perbedaan logat, dialek intonasi, kecepatan dan volume ketika mengucapkan kata tersebut. (Rini Darmastuti, 2013: 82) 2.2.5. Komunikasi Non Verbal Dalam komunikasi nonverbal pesan disampaikan tidak dalam bentuk kata-kata. Pesan disampaikan dalam gerak tubuh atau gersutres, ekspresi wajah dan bahasa tubuh. Salah satu gerakan yang umum dari bahasa tubuh adalah berjabat tangan. Jabat tengan merupakan bahasa tubuh yang dapat menyatakan banyak hal mengenai kepribadian seseorang (V. J Kondalkar, 2007: 197). Selain itu mata dinilai sebagai bagian ekspresi wajah yang paling menonjol. Mata dapat menonjolkan ekspresi melalui lirikan, tatapan maupun gerakan profoaktif lainnya. Pengetahuan mengenai komunikasi non verbal khususnya bahasa tubuh sangat penting. Hal ini dikarenakan bahasa tubuh dapat diartikan berbeda atau bahkan berlawanan oleh lawan bicara dalam komunikasi tersebut, oleh sebab itu diperlukan kehati-hatian untuk menunjukannya (V. J Kondalkar, 2007: 197). Andik Purwasito mengatakan bahwa bahasa non verbal biasanya lebih berhasil dalam tindak komunikasi dengan perbandingan 10% kemampuan diterima oleh komunikan karena faktor pendengaran, 30% karena faktor suara sedangkan 60% karena adanya faktor non verbal (dalam Rini Darmastuti, 2013: 83). Ada tiga tujuan terkait dengan fungsi komunikasi non verbal. Pertama, partisipan dalam komunikasi berusaha untuk meningkatkan pemahaman mereka mengenai sifat dan fungsi komunikasi non verbal. Kedua, partisipan berusaha meningkatkan pemahaman mengenai diri sendiri dan orang lain yang terlibat didalam proses komunikasi tersebut. Ketiga, partisipan baik sender maupun receiver berusaha meningkatkan 28 kemampuan komunikasi agar lebih efektif dalam menyampaikan maupun menerima pesan-pesan non verbal (De Vito dalam Rini Darmastuti, 2013: 83-84). 2.2.5.1. Konteks Komunikasi Nonverbal a. Konteks Nonverbal Deddy Mulyana menjelaskan bahwa konteks non verbal terdiri dari bahasa tubuh seperti gerakan kepala, isyarat tangan, postur tubuh dan kaki, ekspresi wajah dan tatapan mata, tampilan fisik, sentuhan, warna, artefak, karakteristik fisik dan bau-bauan (dalam Rini Darmastuti, 2013: 84). Berbagai konteks ini dapat menjadi salah satu unsur komunikasi non verbal yang membawa pesan tertentu bagi receiver dalam suatu komunikasi. Tampilan fisik dalam cara berpakaian misalkan. Menurut Ahmad Sihabudin (2013: 108-109), pakaian merupakan faktor penting dalam kesan pertama. Berpakaian secara rapi dan sopan tentunya menimbulkan kesan yang baik untuk hubungan selanjutnya dibandingkan dengan berpenampilan asal-asalan. Hal ini khususnya menjadi perhatian di lingkungan kerja secara profesional. b. Konteks Ruang Dalam komunikasi non verbal menjaga ruang disebut dengan prosemik. Prosemik merupakan aturan yang dianut oleh suatu masyarakat mengenai bagaimana seharusnya dua orang atau lebih menjaga jarak tubuh disaat berkomunikasi serta menggunakan ruang secara fisik sebagai tempat berkomunikasi (Alo Liliweri dalam Rini Darmastuti, 2013:89). West dan Turner menyebutkan bahwa ruang pribadi merupakan ruang yang tidak kelihatan yang dapat berubah-ubah dan menunjukan jarak yang dipilih. Ruang pribadi terdiri dari jarak intim, personal, sosial dan publik. Sedangkan ruang publik merupakan wilayah yang lebih terbuka dan bebas dimasuki serta digunakan oleh orang yang mengakui memilikinya. Posisi duduk dan pengaturan ruangan adalah konsep terkait dengan bagaimana seseorang harus tahu diri ketika berhadapan dengan orang lain sehingga dia dapat menempatkan diri dalam posisi yang benar (dalam Rini Darmastuti, 2013: 89). 29 c. Konteks Waktu Konsep tentang waktu disebut kronemik yakni mengenai aturan dalam suatu komunitas tentang penggunaan waktu (Alo Liliweri dalam Rini Darmastuti, 2013: 91). 2.2.6. Komunikasi Antarbudaya Suatu proses komunikasi menjadi lebih kompleks mana kala terjadi dalam lingkungan yang memiliki berbagai latar belakang dan budaya. Hal ini disebabkan perbedaan konteks dan simbol-simbol yang dimiliki oleh sender dan receiver dalam proses tersebut (Jandt dalam Emma Nhlapo dan Roelien Goede, 2010: 273-280). Judith N. Martin dan Thomas K. Nakayama (2010: 35) menyebutkan bahwa komunikasi antarbudaya merupakan suatu pembelajaran mengenai pola dan identitas suatu kebudayaan, bukan hanya kebudayaan sendiri menlainkan juga kebudayaan orang lain. Komunikasi antarbudaya merupakan individu dan budaya, personal dan kontekstual, yang memiliki karakteristik yang berbeda dan hampir serupa, statis maupun dinamis, yang berorientasi pada masa lalu dan masa depan serta dengan keuntungan dan kerugiannya masing-masing. Definisi para ahli lainnya menyebutkan bahwa komunikasi antarbudaya merujuk pada komunikasi antara individu-individu dari latar belakang dan budaya yang berbeda. Individu tersebut bahkan tidak harus berasal dari negara yang berbeda. Misalkan dari Indonesia sendiri dapat dilihat bahwa kebudayaan yang ada sangat beragam. Mulai dari bahasa, nilai hingga adat istiadat yang dimiliki berlainan satu dengan yang lain. Kelompok ini disebut cocultures dimana mereka merupakan bagian dari kelompok yang lebih besar tetapi memiliki perbedaan tertentu didalam ras, etnis, orientasi seksual, agama dan sebagainya (Lynn H. Turner dan Richard West, 2008: 43). 2.2.6.1. Fungsi Komunikasi Antarbudaya Komunikasi antarbudaya mempunyai peranan yang sangat besar. Hal ini terkait dengan menerima dan memahami budaya yang dimiliki oleh masyarakat lain yang memiliki budaya berbeda menjadi satu dasar dalam membangun komunikasi yang efektif. Menurut Rini Darmastuti (2013: 77-80), ada dua fungsi utama dari komunikasi antarbudaya yakni: a. Fungsi Pribadi Fungsi pribadi merupakan fungsi yang didapatkan seseorang dan dapat digunakan ketika mereka belajar mengenai komunikasi dan budaya maupun 30 ketika mereka belajar dan berusaha memahami tentang apa yang dimaksud dengan komunikasi antarbudaya. Menurut Alo Liliweri fungsi pribadi terdiri dari menyatakan identitas sosial, menyatakan integrasi sosial yakni menerima kesatuan dengan pribadi ataupun kelompok lainnya, menambah pengetahuan dan melepaskan diri ataupun jalan keluar dari masalah yang sedang dihadapi oleh individu tersebut (dalam Rini Darmastuti, 2013:77-80). b. Fungsi Sosial Fungsi sosial merupakan fungsi yang didapatkan oleh seseorang sebagai makhluk sosial yang bergaul dan berinterkasi dengan orang lain dalam kaitannya dengan komunikasi antarbudaya. Pemahaman yang diperoleh ini membantu individu untuk membantu hidupnya ketika berinteraksi dan bersosialisasi dengan anggota masyarakat lainnya. Fungsi sosial sendiri dibagi dalam beberapa bagian yakni pengawasan mengenai perkembangan lingkungan, menjembatani dua orang dari latar belakang budaya yang berbeda, sosialisasi nilai yakni untuk mengajarkan nilai-nilai suatu kebudayaan masyarakat kepada masyarakat lainnya, serta menghibur. Fungsi pengawasan umumnya dilakukan oleh media massa yang menyebarluaskan secara rutin mengenai perkembangan peristiwa yang terjadi. 2.2.6.2. Homofil dan Heterofil dalam Komunikasi Antarbudaya Homofil merupakan derajat kesamaan dalam hal penentu seperti nilai, pendidikan, status sosial dan lain-lain antra individu-individu yang berinteraksi dalam suatu proses komunikasi (Rogers dan Kin Caid dalam Sherman Zein, 2012:348-349). Berdasarkan hal tersebut maka semakin besar kemungkinan untuk mencapai persepsi dan makna yang sama terhadap suatu objek atau persitiwa yang terjadi. Penampilan, latar belakang, sikap, nilai dan kepribadian dapat dijadikan dimensi dalam mencari derajat persamaan atau homofil yang terjadi diantara partisipan komunikasi antar budaya. Sebaliknya heterofil merupakan derajat perbedaan yang ada diantara individu yang berinteraksi dalam komunikasi dengan latar belakang budaya yang berbeda. Benet menyebutkan suatu teori yakni equifality theory terkait dengan homofil dan heterofil ini. Teori tersebut menyebutkan bahwa dalam suatu sistem manapun akan dicapai suatu tujuan yang sama meskipun titik tolak dan tujuan yang digunakan diawal berbeda. Artinya walaupun memiliki banyak perbedaan dalam suatu proses, namun lambat laun akan mencapai suatu titik persamaan dalam hal tersebut (dalam Sherman Zein, 2012: 348-349). Pada umumnya 31 pada komunikasi antarbudaya, tingkat heterofil cukup tinggi. Namun masih ditemukan aspek-aspek yang bersifat homofili. Hal ini berarti ada perbedaanperbedaan tertentu yang dapat ditoleransi. 2.2.6.3. Dimensi-dimensi Komunikasi Antarbudaya a. Mobilitas Masyarakat Banyak peristiwa yang telah memberikan perubahan besar di dunia. Pembangunan yang cepat dan luas di bidang transportasi dan komunikasi membuat dunia semakin susut. Dalam artian semakin mudah untuk berinteraksi dengan masyarakat lainnya dari daerah yang berjauhan ataupun dari negara yang berbeda. Perjalanan dari suatu negara ke negara yang lain bahkan dari satu benua ke benua yang lain sudah banyak dilakukan. Hal ini juga terkait dengan masyarakat yang semakin menggali peluang ekonomi dan bisnisnya menjadi lebih luas. Selain transportasi, meningkatnya teknologi juga mendukung hubungan antarbudaya. Menurut Sihabudin, cepat atau lambat akan terjadi pertukaran secara besar-besaran di dalam kelompok yang dinamakan masyarakat yang muncul oleh revolusi ilmu pengetahua dan teknologi. Akibat hal tersebut muncul fenomena mengenai orang-orang yang didalam dirinya terdapat dua atau lebih budaya dengan subjektif yang berbeda (dalam Ahmad Sihabudin, 2013: 43-45). b. Interaksi Antarbudaya Selain komunikasi antarbudaya ada istilah lain yang dicetuskan para ahli yakni komunikasi lintas budaya atau crosscultural communication. Komunikasi lintas budaya menurut Syahra adalah komunikasi secara kolektif diantara kelompok-kelompok orang yang menjadi pendukung suatu kebudayaan yang berbeda (dalam Ahmad Sihabudin, 2013:45). Tujuan dialog antar budaya ini adalah memberikan suatu pandangan humanistis terhadap teori dan praktek komunikasi yang merupakan aspek penting dari kemanusiaan itu sendiri. Artinya komunikasi antar budaya terjadi apabila sender merupakan anggota suatu budaya dan receiver merupakan anggota budaya yang lainnya. Masyarakat saat ini berhadapan dengan situasi dimana suatu pesan disandi dalam suatu budaya yang berbeda dengan berbagai kesulitannya. Namun melalui studi dan pemahaman atas komunikasi antarbudaya, hal ini dapat diminimalisir (Porter dan Samovar dalam Ahmad Sihabudin, 2013: 46). 32 c. Dimensi Komunikasi Komunikasi yang terjadi diantara manusia berarti merupakan suatu udaha untuk memahami apa yang terjadi, apa yang akan terjadi, akibat-akibat seperti apa yang dapat muncul dan apa yang dapat dilakukan untuk mempengaruhi serta memaksimalkan hasi-hasil dari kejadian tersebut. Dalam komunikasi, pesan merupakan salah satu unsur yang penting. Pesan muncul melalui perilaku manusia baik secara verbal maupun non verbal. Suatu proses komunikasi berlangsung dalam berbagai dimensi yang didasarkan pada jumlah partisipan komunikasi maupun ruang lingkup dan sifat komunikasi tersebut. Komunikasi antarbudaya termasuk dalam komunikasi kelompok yang melibatkan budaya sebagai latar belakang yang dimiliki partisipannya. Cara berkomunikasi sebagian besar dipengaruhi oleh budaya. Beda budaya maka berbeda pula cara berkomunikasi yang dilakukan. Artinya budaya dan komunikasi tidak dapat dipisahkan karena budaya juga turut menentukan bagaimana seseorang menyandi suatu pesan. Seluruh perilaku seseorang sangat tergantung pada budaya ia dibesarkan. Untuk komunikasi yang efektif, seseorang perlu memahami dan menghargai perbedaan ini (Ahmad Sihabudin,2013: 46-48). 2.2.6.4. Permasalahan dalam Komunikasi Antarbudaya a. Persepsi Persepsi merupakan proses yang dilalui individu untuk memilik mengorganisasikan dan menginterpretasi stimulus baik secara internal maupun eksternal untuk menghasilkan pandangan mereka terhadap dunia. Seluruh informasi yang diterima oleh otak akan mempengaruhi bagaimana seseorang menginterpretasi suatu informasi baru. Informasi tersebut akan diolah dan dikaji oleh otak bersama dengan pembelajaran dan pengalaman yang telah dimiliki sebelumnya oleh individu tersebut (Judith N. Martin danThomas K. Nakayama, 2010: 221). Setiap individu unik dan memiliki pengalaman, pengetahuan dan cara pandang yang berbeda sehingga persepsi yang dihasilkan pun akan berbeda pula. Khususnya dengan budaya yang berbeda. Perbedaan persepsi ini yang menimbulkan persepsi negatif hingga terjadi konflik antar budaya. 33 b. Pola pikir Sekalipun berasal dari budaya yang sama, bisa jadi pola pikir yang dimiliki oleh orang tersebut berbeda satu dengan yang lain. Hal ini disebabkan setiap orang bebas memaknai hidupnya dengan pandangan hidup yang diyakini masing-masing. Pola pikir yang didasari latar belakang budaya pada akhirnya menjadi peduman dalam bertindak dan bertingkah laku. Ketika berinteraksi dengan orang lain yang memiliki pola pikir berbeda, maka tidak jarang terjadi benturan-benturan akibat perbedaan pola pikir tersebut (Andik Purwasito dalam Rini Darmastuti, 2013: 72-73). c. Etnosentrisme Porter menyebutkan bahwa etnosentrime merupakan bentuk penghakiman yang dilakukan oleh suatu kelompok masyarakat terhadap kebudayaan kelompok masyarakat yang lain dengan cara membandingkan atau menggunakan standar budayanya sendiri terhadap kelompok lain tersebut. Sedangkan Nanda dan Warmsmengatakan bahwa etnosentrisme merupakan pandangan bahwa budaya seseorang lebih unggul dibanding budaya yang lainnya. Sebenarnya etnosentrisme tidak selalu bersifat negatif. Samovar membedakan tingkat etnosentrisme dari yang positif, negatif hingga sangat negatif. Etnosentrisme yang positif akan membawa kebanggaan terhadap budaya yang dimiliki, sehingga akan berusaha melestarikan budayanya sendiri. Etnosentrisme yang negatif biasanya menilai budaya lain sesuai dengan standar budayanya sendiri.Sedangkan pada tingkatan yang tertinggi adalah etnosentrisme yang sangat negatif dimana mereka melihat budayanya sendiri sebagai yang paling bagus, paling benar dan paling berkuasa (dalam Rini Darmastuti, 2013: 73-74). d. Stereotipe Meskipun interaksi antar budaya semakin sering terjadi namun masalah yang timbul karena prasangka tetap saja bisa terjadi. Stereotip dianggap sebagai generalisasi atas sekelompok orang dari suku, agama maupun ras tertentu dengan mengabaikan perbedaan-perbeedaan individual yang pada umumnya bersifat negatif (Ahmad Sihabudin, 2013: 120-121). Samovar berpendapat bahwa ada kemungkinan dimana suatu stereotipe mengalami perubahan. Dimensi perubahan stereotipe terdiri dari dimensi arah, intensitas, akurasi dan isi spesifik. Dalam konteks arah, stereotipe dinilai dapat mengalami perubahan ke arah yang menguntungkan ataupun 34 sebaliknya dapat berubah ke arah yang tidak menguntukan. Secara intensitas, stereotipe dapat mengalami perubahan konteks intensitasnya dimana terjadi perubahan pada keyakinan yang kuat seseorang terhadap stereotipe yang ada. Stereotipe juga dapat mengalami perubahan apabila suatu stereotipe terbukti benar atau bahkan tidak akurat. Dalam konteks isi, stereotipe dapat mengalami perubahan dalam konteks isi yang spesifik dimana sifat-sifat khusus yang diatribusikan kepada suatu kelompok. Stereotipe dapat menjadi hambatan dalam komunikasi antarbudaya karena menghalangi seseorang untuk memulai komunikasi dengan kelompok masyarakat dari budaya lain dengan stereotipe yang dimilikinya (dalam Rini Darmastuti, 2013: 76). e. Prasangka Prasangka merupakan sikap yang biasanya negatif terhadap sekelompok masyarakat dari budaya tertentu dengan sedikit bukti atau tanpa bukti sama sekali. Ketika stereotipe mengatakan kepada seseorang seperti apa kelompok yang dipandangnya, maka prasangka menceritakan mengenai apa yang dirasakan seseorang mengenai kelompok tersebut (Newberg dalam Judith N. Martin danThomas K. Nakayama, 2010: 207). Prasangka muncul dari kebutuhan seseorang secara pribadi untuk merasakan hal-hal yang positif mengenai kelompoknya dan merasakan hal yang negatif mengenai kelompok yang lain atau datang dari pengetahuan tertentu mengenai kelompok tersebut atau pun adanya ancaman yang diperoleh dari pihak yang berasal dari kelompok tersebut (Hecht dalam Judith N. Martin danThomas K. Nakayama, 2010: 207) f. Gegar Budaya Gegar budaya atau yang dikenal dengan culture shock merupakan suatu perasaan dalam jangka pendek dimana individu tersebut merasa tidak memahami dan tidak nyaman karena kehilangan tanda-tanda atau simbol yang sebelumnya sudah ia kenal dari lingkungannya. Gegar budaya terjadi hampir pada semua orang yang berada pada situasi transisi budaya. Kondisi ini terjadi jika masyarakat tidak mampu menyesuaikan diri denganbudaya dan lingkunganya yang baru. Hal ini dapat menghambat komunikasi antar budaya dikarenakan individu menjadi ragu memulai komunikasi dengan lingkungan baru yang tidak dikenalnya (Judith N. Martin danThomas K. Nakayama, 2010: 320) 35 2.3. Kerangka Pemikiran Humanitarian Affairs Asia Penerapan Komunikasi Karyawan Magang Karyawan Magang Karyawan Magang Budaya A Budaya B Budaya C Hambatan Komunikasi Antarbudaya Solusi Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran Sumber: Hasil Pemikiran Peneliti 36