DEMOKRATISASI DESA, KEMISKINAN, DAN HANCURNYA

advertisement
DEMOKRATISASI DESA, KEMISKINAN, DAN HANCURNYA SUMBERDAYA ALAM:
DIMANAKAH KITA?
Oleh:
Arya Hadi Dharmawan
1. Pendahuluan
Memahami demokrasi dan kemiskinan di desa sebenarnya bisa menggelitik
munculnya beberapa pertanyaan yang menggugah rasa ingin tahu. Yaitu, manakah
yang diperlukan orang desa, apakah “demokrasi dicapai terlebih dahulu” atau “keluar
dari kemiskinan untuk mengejar capaian kemakmuran layaknya masyarakat “the great
tradition” (kota)” yang harus diutamakan? Apakah demokrasi adalah prasyarat
keluarnya masyarakat dari kemiskinan di pedesaan? Atau pernyataan sarkatis bisa
dilontarkan sebaliknya: karena demokrasi [salah praktek], menyebabkan masyarakat
desa kini merugi secara ekonomi [karena lebih akrab dengan konflik-konflik sosial
berbiaya mahal sebagaimana sering terjadi dalam kejadian pasca pemilu kepala desa]?
Pengalaman di lapangan menunjukkan bahwa “demokrasi” (di ranah politik) dan
“kemakmuran atau situasi lepas-dari-kemiskinan” (di ranah sosio-ekonomi) kadangkadang [malah] berada di ruang biner yang saling meniadakan. Demokrasi hanya bisa
dicapai dengan harga demokrasi berupa dematerialisasi sumberdaya ekonomi yang
sangat mahal (yang semestinya justru bisa digunakan untuk mengeluarkan mereka dari
lembah kemiskinan). Biaya pemilu kepala desa yang mahal disertai politik uang akibat
terlalu menggebu-gebunya para elit desa dalam menginginkan jabatan kepala desa,
telah merongrong perekonomian dan ketenangan ekonomi desa. Pertanyaan yang
sederhana bisa pula dikonstruksi berikut ini: bisakah demokrasi dan kemakmuran saling
berdampingan? Apa prasyarat untuk mencapainya, bila demokrasi dan kemakmuran
bisa dipersandingkan?
Pertanyaan pada akan menjadi makin kompleks, bila dimensi analisis tidak saja di
ruang politik-kekuasaan, namun diperluas dengan memasukkan ruang ekologi dan
ruang budaya ke dalam “model demokratisasi desa” [sebagaimana yang diproyeksikan
oleh pemerintah selama ini melalui berbagai pengaturan desa selama ini].
Pertanyaannya menjadi sebagai berikut: mana yang seyogianya didahulukan: capaian
politik berupa kehidupan bermasyarakat yang demokratiskah? Atau capaian ekonomi
berupa keadaan keluar dari kemiskinan-kah? Atau capaian ekologi berupa status
kelestarian dan stabilitas sumberdaya alam yang mengamankan sumber nafkah orang
desa-kah [tanpa perlu demokrasi dan pertumbuhan ekonomi yang dianggap sebagian
orang sebagai devastating bagi desa] itu? Atau capaianbudaya berupa pengakuan atas
kedaulatan lokal [identitas etnisitas dan identitas budaya lokal] serta tata-kelola
masyarakat adat [yang dihormati], tanpa peduli apakah hal itu harus selaras dengan
prinsip demokrasi atau tidak. Contoh paling baik untuk menjawab semua pertanyaan ini
diberikan oleh beberapa teladan dalam tata-pengaturan sosio-kemasyarakatan dan
sumberdaya bagi kehidupan yang berbasiskan pada ideologi KOLEKTIVISME (bukan
demokrasi!) pada masyarakat adat Dayak (di Kalimantan) atau suku-suku asli di Papua
maupun Nagari “yang asli” di ranah Minang [harus diakui bahwa konsep nagari saat ini
telah terdistorsi menjadi “lebih liberal” daripada yang terjadi di masa lalu], yang tidak
pernah mengenal kehidupan demokrasi ala Barat. Kekuasaan tertinggi pengaturan
masyarakat berada di tangan Temenggung (bagi suku Dayak) dan Ondoafi (bagi suku
asli Papua) serta Kerapatan Adat Nagari (KAN) sebagai wadah musyawarah “asli” di
Nagari. Otoritas tertinggi dan dihormati itu terutama dalam hal-hal yang berkaitan
dengan pengaturan sumber-sumber nafkah (terutama tanah bagi warganya). Krisis
agraria sebagaimana yang terjadi dalam banyak kasus sengketa-agraria yang terjadi
dalam sistem perekonomian daerah yang sejak 1999-2010 di era reformasi ini semakin
liberal [saya sebut sebagai ekonomi “neoliberalisme di daerah”], rasanya tidak akan
pernah terjadi bila pengaturannya diserahkan pada mekanisme kedaulatan tertinggi
adat yang berbasiskan pada pengetahuan dan local wisdom asli. Sebuah local wisdom
yang sudah teruji berabad-abad sehingga lebih adaptable pada situasi lokal. Dalam
pengaturan hubungan sosial manusia-dan-sumberdaya-alam (SDA) pada masyarakat
asli itu, sistem sosio-politik kemasyarakatan asli berfungsi dengan baik tanpa harus
mengenal lebih dahulu konsep demokrasi-liberal (seperti dipahami di Barat). Salah satu
tujuan ideologi pengaturan politik SDA lokal adalah menjamin daya hidup masyarakat
agar terus berada dalam ketenangan bernafkah serta kesinambungan eksistensi
alam/lingkungan yang terjaga dalam kondisi yang berkelanjutan. Sistem politik yang
menjamin sistem budaya asli-tradisi terjaga (tanpa merisaukan apakah segala
keputusan yang telah dibuat oleh Temenggung ataupun Ondoafi berlangsung secara
“demokratis ala Barat” berbasis voting ataukah tidak). Persoalan destabilitas sosiopolitik lokal dan ketidakstabilan perekonomian lokal, seringkali terjadi manakala sistem
sosio-politik dan sistem sosio-ekonomi lokal terdistorsi secara serius oleh nilai-nilai dan
praktek-praktek yang dipaksakan datang ke desa atas nama modernisasi sistem politik
dan modernisasi sistem perekonomian desa. Masyarakat asli biasanya menjadi
gamang dan mengalami krisis ketidakperacyaan pada bangun pengambilan keputusan
yang selama ini telah disusunnya sendiri.
2. Pertanyaan Filosofis: Demokrasi, Neoliberalisasi Desa dan Konflik Sistem
Pengetahuan
Bila kita menggunakan cara-pandang bertradisikan Konfliktual ala Foucauldian
(Foucault, 1926-1984). Maka pemaknaan dan pemahaman akan ide demokrasi (di
desa) kini telah memasuki dimensi yang agak berbeda. Gagasan demokrasi
(demokratisme) dalam perspektif Foucauldian bisa dimaknai sebagai “quasimaterialisme” di ruang gagasan yang sengaja dikomodifikasi [ditransaksikan oleh pihakpihak ekstra-desa] sebagai “alat penekan” kekuasaan untuk mengkolonisasi pihak lain
(masyarakat penganut ideologi non-demokratisme) di desa. Singkat kata, terdapat
banyak pihak kepentingan yang “tidak happy” dengan kehadiran tata-pengaturan sosioekonomi dan sosio-politik tradisional [yang berorientasi pada semangat kolekvisme dan
otoritas adat yang kukuh tak tergoyahkan oleh ideologi pasar berbasis individualisme
dalam sistem ekonomi-politik neoliberalisme]. Dengan kalimat berbeda, kehadiran
sistem pengaturan sosio-ekono-politik lokal telah menghambat laju kepentingan
neoliberalisme yang menyusahkan sistem-sistem ekonomi asing untuk masuk ke desa.
Artinya, dengan memainkan “gagasan demokrasi”, sekelompok orang (penganut
demokratisme-liberal) bisa melakukan olah-kekuasaan (exercise of power) atau
“menggoyang” kekukuhan sistem tradisi, untuk selanjutnya menguasai masyarakat adat
[atau otoritas lokal] yang memiliki sistem pengetahuan berbeda [demi penguasaan
sumberdaya alam]. Begitulah yang terjadi dalam rasionalisme filsafati ala Foucault,
dimana sistem gagasan atau sistem pengetahuan menjadi sumber kekuasaan
(knowledge is power) sang penguasa untuk memperluas pengaruh. Hasil akhir proses
penaklukan ideologi itu adalah penyerahan kelompok terpengaruh [masyarakat desa
dengan segala sistem otoritas sosio-politik lokalnya] untuk mengadopsi totalitas sistem
gagasan (asing) yang diperkenalkannya [dengan sebuah harga berupa hilangnya SDA
lokal karena diliberalisasi dan diperdagangkan melalu mekanisme pasar]. Dalam
pandangan penganut Foucauldian, bila sistem pengetahuan telah selaras dan
sepaham, maka stadium kekuasaan dan penguasaan selanjutnya akan bekerja. Proses
lanjutan yang terjadi [sangat mudah ditebak], yaitu masuknya mekanisme [pasar]
penghisapan SDA terhadap “kelompok yang kalah” [masyarakt adat-tradisi] oleh
kelompok pemenang [penganut neoliberalisme-demokrasi]. Hasil akhir dari penyedotan
SDA [melalui demokratisasi desa] adalah kemiskinan dan kehancuran lingkungan hidup
serta hilangnya identitas lokal. Pada titik ini, kita bisa menebak apakah demokrasi telah
bersandingan secara menguntungkan dengan kesejahteraan ekonomi, lingkungan
hidup dan identitas lokal pada masyarakat asli?
Artinya, persoalan menjadi dilematis bagi kita dalam memandang ide demokrasi
karena, dalam pandangan Foucauldian, demokrasi (yang seringkali “diagungkan” oleh
sementara kalangan itu) ternyata tidak lain tidak bukan hanyalah sekedar instrument
kolonisasi gagasan dari kelompok penganjurnya (masyarakat Barat) untuk selanjutnya
terjadi penguasaan pada dimensi materialisme lain yang lebih mendalam [dan
menguntungkan] yaitu SDA. Dengan pandangan ini, maka demokratisme menghadapi
pertanyaan krusial sebagaimana Escobar (1998, 1999) mengajukan tesis “benturan
antar tiga ranah”, yang bila dimodifikasi menjadi seperti ini strukturnya: If democracy is
a system of knowledge, then whose knowledge is this? If democracy is a kind of
panacea for western nation, is this (panacea) really relevant and effective for all illness
that non-western societies [adat society] have to suffer? Analisis di wilayah ini pula yang
mengilhami Huntington mengajukan tesis “the clash of civilizations” yang masyhur itu.
Dan faktanya, clash of civilization telah terjadi di pedesaan di Indonesia sejak
masuknya ideologi-ideologi asing ke pedesaan. Pada tataran ini kita bertanya:
benarkah kita telah “membangun” desa kita?
Bagi para penganut teori sistem dunia seperti Wallerstein, Chase-Dunn dan para
penganut teori ketergantungan pembangunan seperti Baran, Galtung, Cardoso, Frank,
dan Samir Amin, penolakan ideologi demokratisme boleh disejajarkan dengan
penolakan
mereka
terhadap
gagasan
kapitalisme-neoliberalisme-globalisme.
Sebagaimana diketahui, bahwa dalam berbagai pemecahan masalah-masalah
pembangunan (kemiskinan, pengangguran, keterbelakangan wilayah, dsb), para
penganjur pembangunan yang dipelopori oleh IMF, Wold Bank, dan negara-negara
dunia pertama selalu menganjurkan resep “3 (tiga) de” yaitu deregulasi, debirokratisasi,
dan demokratisasi. Ketiga ide tersebut sebenarnya dimaksudkan untuk memberikan
platform (baca: “jalan bebas hambatan”) yang leluasa, nyaman dan mencukupi bagi
para penguasa ekonomi liberal atau penguasa pasar (para pemilik kapital di Barat)
untuk bisa “mendarat dan melaju dengan nyaman” di sistem perekonomian negaranegara dunia ketiga. Kritik para penganut aliran Marxian dari dua kubu teori itu terhadap
fakta “3 de” itu adalah: alih-alih tertolong, maka penetrasi investasi asing, modal, dan
kapitalisasi sumberdaya alam di negara dunia ketiga oleh Barat justru menghasilkan
eksploitasi sumber-sumber ekonomi (dari negara dunia pertama terhadap negara dunia
ketiga) dan jurang kaya-miskin yang makin melebar. Jadi, sebagai sebuah sistem
gagasan, “kapitalisasi-liberalisasi pasar”, tak lain tak bukan sebenarnya (bersama-sama
dengan demokratisme) hanyalah sekedar alat atau instrumen-penaklukan kekuasaan
Barat atas negara non-Barat (dunia ketiga) dalam penataan kehidupan sosial-politik
kemasyarakatan. Dengan demikian, arah analisis Neo-Marxianism atas fenomena
penetrasi kapitalisme-neoliberalisme dan arah analisis Foucauldian atas fenomena
penetrasi ide demokratisme di atas, sebenarnya “setali tiga uang” sifat dan chemistrynya dalam analisis demokratisasi pedesaan di era reformasi Indonesia sejak 1999
hingga kini. Keduanya (kapitalisme-neoliberalisme dan demokratisme) boleh dipandang
sekedar alat perjuangan kekuasaan Barat, yang bila diterapkan akan menguntungkan
kekuasaan Barat [dalam penguasaan SDA dan penghancuran identitas lokal].
Demikianlah arah analisis konstelasi kekuasaan ala Foucauldian yang biasanya diakhiri
dengan episode “benturan dua sistem gagasan” dalam medan pertempuran yang tak
seimbang [di pedesaan].
Demikianlah, bila tela’ah menggunakan alat analisis teori-sosial Malthusianisme, ide
demokratisme (dan segala gagasan turunannya) yang diintroduksikan ke negara dunia
ketiga/Indonesia (bahkan ke pedesaan) niscaya akan dipahami sebagai bagian dari
pertempuran ideologi (“battlefield of paradigm”) dimana setiap ideologi yang bertempur
berusaha untuk keluar sebagai pemenag. Karenanya pertempuran antara ideologi
demokratisme melawan ideologi non-demokratisme yang saling berhadap-hadapan
berada dalam situasi “survival of the fittest” atau “struggle of power to exist”. Siapapun
pemenangnya, maka ideologi itulah yang akan mendapatkan tempat untuk berkembang
dan selanjutnya beroperasi sesuai sifat dan karakternya. Fakta di Indonesia,
menunjukkan bahwa ideologi demokratisme adalah pemenangnya dan menggilas
semua sistem pengaturan asli masyarakat tradisi yang secara kesejarahan telah lebih
dahulu eksis.
3. Persoalan yang muncul dalam ide-ide demokratisasi pedesaan seturut analisis
ala Foucauldian dengan demikian, adalah:
Nyamankah kita untuk meyakini dan (bahkan) menjalankan/menerapkan sistem
gagasan atau ideologi demokratisme (bahkan mengaplikasikannya secara fundamental
– fundamentalisme demokrasi) dan secara massal dengan harga hilangnya sistem
pengetahuan asli [yang selama ini terbukti telah berfungsi dengan baik dalam
memelihara konstitusi sosial dan SDA masayarakat asli]? Relakah kita sebagai bangsa
Indinesia menerapkan sistem gagasan yang tidak lain tidak bukan sebenarnya adalah
alat atau platform bagi penguasaan SDA dan identitas pengaruh dari luar?
Bila analisis ala Foucauldian digunakan untuk membedah penetrasi ideologi
demokratisme ke pedesaan, dapatkah diidentifikasi dengan baik keuntungan dan
kerugian penerapan sistem ini dalam jangka panjang [bagi pedesaan]? Benarkah
analisis yang akhirnya melihat penetrasi demokratisme sebagai sebuah jebakan sosiopolitis dan sosio-ekonomis terhadap tatanan sosio-politis, SDA dan budaya masyarakat
asli di negara dunia ketiga (seperti Indonesia)?
Dalam ranah sistem-gagasan, apakah benar bahwa masyarakat lokal (tradisi)
memang (selama ini) tidak memiliki sistem ide yang boleh diunggulkan (local
knowledge)
dalam
penataan
tata-kehidupan
sosio-ekonomis,
sosio-politik
kemasyarakatan dan pengelolaan SDA yang lebih menenteramkan? Dengan kesadaran
ini, boleh kita merenungkan dan bertanya lebih lanjut: bijakkah keputusan kita
mengintroduksikan ideologi demokratisme [+neoliberalisme] ke pedesaan sebagai
resep untuk menata kehidupan sosio-politik dan sosio-kemasyarakatan dalam arti luas
di pedesaan? Tidakkah demokratisme pedesaan sesungguhnya adalah innovasi yang
“dipaksakan” terhadap mereka?
4. Penutup
Sebagai masyarakat ilmiah, penetrasi ideologi demokrasi-liberalisme Barat ke
pedesaan adalah ruang riset kontemporer yang perlu dipikirkan secara bersama-sama
untuk dilajalankan. Bila tidak, kita sebagai bangsa akan menyesal atas besarnya
implikasi (biaya-eksternalitas) ekonomi, kebudayaan, sosiologis, dan politik yang harus
dibayar sebagai akibat dari penerapan sistem demokrasi dan sosial-kemasyarakatan
non-asli di pedesaan? Akhirnya, janganlah kita kelak hanya bisa bercerita kepada anakcucu, bahwa dulu kita pernah memiliki kearifan lokal, dulu kita pernah memiliki sistem
sosio-politik-kemasyarakatan asli, dulu kita pernah memiliki Ondoafi, dulu kita pernah
memiliki ini dan itu, yang kini [semua itu] telah tiada lagi karena kita kini tidak berbeda
lagi dengan identitas masyarakat Eropa Barat ataupun masyarakat Amerika Utara
[secara sistem ideologi, sosio-politik, dan sistem ekonomi].
Download