Edisi 7, Vol. I. April 2016 Potensi Gelembung (Bubble) Properti di Indonesia Utang Indonesia Menuju Ambang Batas p. 02 p. 06 Buletin APBN Pusat Kajian Anggaran Badan Keahlian DPR RI www.puskajianggaran.dpr.go.id ISSN 2502-8685 1 Dewan Redaksi Penanggung Jawab Dr. Asep Ahmad Saefuloh, S.E., M.Si. Pemimpin Redaksi Slamet Widodo, S.E., M.E. Redaktur Robby Alexander Sirait, S.E., M.E. Dahiri, S.Si., M.Sc Adhi Prasetyo S. W., S.M. Dwi Resti Pratiwi, S.T., MPM. Editor Marihot Nasution, S.E., M.Si. Ade Nurul Aida, S.E. Daftar Isi Update APBN.....................................................................................................................p.01 Potensi Gelembung (Bubble) Properti di Indonesia...........................................................p.02 Utang Indonesia Menuju Ambang Batas ...........................................................................p.06 Terbitan ini dapat diunduh di halaman website www.puskajianggaran.dpr.go.id Update APBN Realisasi Pendapatan Negara per Februari 2016 sebesar Rp156,2 triliun atau setara 8,6 persen dari target dalam APBN 2016 yang sebesar Rp1.822,5 triliun. Realisasi ini menurun 12,5 persen dibanding realisasi per Februari 2015. Dari total realisasi tersebut, penerimaan Perpajakan menyumbang Rp132,5 triliun atau 8,6 persen dari target dan PNBP sebesar Rp23,7 triliun atau 8,6 persen dari target. Dari sisi Belanja Negara, realisasi per Februari 2016 sebesar Rp242,9 triliun atau setara 11,6 persen dari target APBN 2016 yang sebesar Rp2.095,7 triliun. Realisasi belanja ini meningkat 17,41 persen dibanding realisasi per Februari 2015. Dari total realisasi belanja tersebut, realisasi Belanja Pemerintah Pusat sebesar Rp109,9 triliun atau 8,3 persen dari target dan Belanja Transfer ke Daerah sebesar Rp133 triliun atau 17,3 persen dari target. Untuk pembiayaan, realisasi per Februari 2016 sebesar Rp74 triliun atau setara 27,1 persen dari target APBN 2016. Realisasi pembiayaan ini menurun 42,6 persen dibanding realisasi per Februari 2015. Sumber: Dirjen Perbendaharaan, Kemenkeu RI, 2016, data diolah 2 Potensi Gelembung (Bubble) Properti di Indonesia oleh Dwi Resti Pratiwi*) Fenomena Gelembung Properti ktivitas industri properti yang meningkat bisa menjadi petunjuk mulai meningkatnya kegiatan ekonomi. Hal ini dikarenakan industri properti dapat menjadi pendorong bagi meningkatnya berbagai kegiatan di sektor-sektor lain yang terkait (multiplier effect). Akan tetapi perkembangan industri properti yang berlebihan dapat menjadi bumerang bagi perekonomian itu sendiri. Meningkatnya industri properti yang ditandai dengan meningkatnya harga yang tak terkendali akan berdampak pada terganggunya perekonomian. Lonjakan harga properti yang diikuti dengan terjadinya gagal bayar dan kurangnya daya beli masyarakat akan berdampak pada penurunan harga secara drastis. Fenomena ini disebut gelembung harga properti, dimana kenaikan harga ini disebut gelembung udara yang terus membesar hingga pada titik tertentu, permintaan akan berhenti atau terjadi kelebihan pasokan rumah sehingga harga mulai turun. Terjadinya bubble atau gelembung harga properti itu sendiri, dari sisi psikologis dikarenakan harapan berlebihan dari masyarakat atau pelaku pasar (excessive public expectations) akan adanya kenaikan harga dimasa mendatang, harga rumah tidak akan turun, kekhawatiran jika tidak beli sekarang maka tidak akan sanggup beli, kenaikan rumah dianggap tabungan1. Selain itu dari sisi teknis, dapat dikarenakan beberapa faktor yaitu tingkat bunga kredit yang rendah menyebabkan permintaan pinjaman tinggi, tingkat bunga jangka pendek yang rendah, penurunan standar persyaratan kredit dan lain sebagainya. Indonesia, dengan jumlah penduduk yang tinggi tentunya memiliki pangsa pasar yang besar terhadap peningkatan industri properti. Saat ini kontribusi sektor real estate terhadap PDB ialah A sebesar 2,8 persen. Pemerintah terus mengupayakan peningkatan di sektor ini. Salah satunya yaitu dalam paket kebijakan ekonomi jilid VI disebutkan warga negara asing (WNA) dimungkinkan memiliki properti berupa rumah tapak atau rumah susun tanpa dikenakan PPnBM dan pajak penjualan atas barang sangat mewah (luxury tax) di Kawasan Ekonomi Khusus. Namun, Indonesia Property Watch (IPW) mengingatkan kepemilikan asing dibuka, maka harga akan naik tidak terkendali dan akan menciptakan bubble. Hal itu didorong oleh standar harga regional yang akan terus naik dan merupakan kenaikan semu. Dari semua negara yang membuka kepemilikan asing, maka pasar properti di negara tersebut akan mengalami bubble. Contohnya adalah Tiongkok, Malaysia, Vietnam, dan Singapura yang telah mengalami bubble di sektor properti, dimana pasar apartemen jatuh 20 persen2. Lalu bagaimanakah kondisi properti di Indonesia saat ini? Apakah akan terjadi “pecah gelembung” harga property sebagaimana yang dikhawatirkan? Indikasi Gelembung Properti di Indonesia Bank Dunia menyatakan dalam Economic Quaterly yang dirilis Maret 2013 bahwa Indonesia bisa berisiko mengalami bubble, indikatornya adalah terjadi kenaikan harga dan kredit properti yang kuat sepanjang tahun 2012. Dimana pada akhir tahun 2012, harga jual properti naik 43 persen dibanding 2011 (yoy) dan di periode yang sama pertumbuhan kredit kepemilikan apartemen tumbuh 84 persen3. Menurut peneliti Jones Lang LaSalle, terdapat dua aspek yang mengindikasi gelembung properti yaitu pertumbuhan harga dan kredit di sektor properti. Riset yang dilaksanakan Knight Frank, juga menyebutkan bahwa Jakarta dan Bali merupakan kota yang harganya mengalami pertumbuhan tertinggi yaitu rata-rata kenaikan sebesar 38,1 1) Case, Karl E. dan Robert J. Shiller, 2003, Is There a Bubble in the Housing Market? An Analysis, Prepared for the Brookings Panel on Economic Activity September 4-5, 2003 2) Berita Satu. “Kepemilikan Asing Dinilai Dapat Memicu Property Bubble”. http://www.beritasatu.com/properti/274952-kepemilikan-asing-dinilai-dapat-memicu-property-bubble.html 3) Yusuf, Ahmad. (2013). “Aturan Loan to Value KPR Sebagai Bentuk Pengendalian Inflasi dan Risiko Gagal Bayar di Sektor Properti Saat Suku Bunga Meningkat”. Sekolah Tinggi Akuntansi Negara. 4) Kata Data. (2013). “Gelembung Properti di Indonesia Sudah Terjadi?”. http://katadata.co.id/berita/2013/10/23/gelembung-properti-indonesia-sudah-terjadi4) *) Redaktur Buletin APBN 1 sepanjang tahun 2012 dimana puncaknya terjadi di triwulan IV tahun 2012 sebesar 9,5 persen (yoy), namun kemudian mengalami perlambatan secara signifikan hingga triwulan IV tahun 2015 (lihat gambar 2). Selain itu, hal ini mengindikasi terjadinya penurunan di sektor properti yang sejalan dengan pelemahan ekonomi global. Terjadinya pertumbuhan indeks harga properti yang tajam di tahun 2012-2013 ternyata tidak berlanjut di tahun 2014, dimana pertumbuhannya terus melambat hingga di triwulan 1-2016 (lihat gambar 3). Pertumbuhan indeks harga properti residensial pada periode tersebut tercatat hanya 5,41 persen (yoy) dibandingkan periode sebelumnya untuk kelas kecil, 3,11 persen (yoy). Faktor penentu utama kenaikan harga rumah saat ini yaitu kenaikan harga bangunan (31,76 persen) dan upah pekerja (23,79 persen)5. Perlambatan kinerja properti ini juga tercermin dari melambatnya pertumbuhan penjualan properti residensial. Selanjutnya, penjualan properti residensial juga melesu sejak triwulan IV-2014 dan terus berlanjut hingga triwulan IV-2015. Menurut Bank Indonesia, perlambatan penjualan diduga karena melambatnya kondisi perekonomian sehingga berpengaruh pada penurunan permintaan terhadap properti residensial. Perlambatan ini diperkirakan akan berlanjut pada triwulan I-2016. Sejalan dengan melambungnya indeks harga properti residensial dan tingkat penjualannya, kredit kepemilikan rumah dan apartemen juga mengalami peningkatan. Hal ini yang dikhawatirkan akan terjadinya gagal bayar dikemudian hari yang mengindikasi akan terjadinya gelembung harga. Berdasarkan data kredit bank umum berdasarkan lapangan usaha dan bukan lapangan usaha, proporsi penyaluran kredit untuk usaha real estate, kredit pemilikan rumah (KPR) ataupun kredit pemilikan apartemen (KPA) ialah rata-rata sebesar 13 persen dari periode 2011-2015. Pertumbuhan kredit kepemilikan rumah yang cukup tinggi terjadi pada Triwulan I dan Triwulan II-2012 yaitu masing-masing 33,4 persen dan 34,87 persen (yoy). Lalu mengalami perlambatan sejak Triwulan III-2012 yaitu sebesar 29,38 persen (yoy) hingga pada Triwulan II-2015 hanya mengalami pertumbuhan 9,10 persen (yoy). Hal ini dikarenakan diterbitkannya kebijakan Gambar 1. Pertumbuhan Indeks Harga Properti Residensial dan PDB/Kapita persen di Jakarta dan 20 persen di Bali4. Bank Indonesia juga merilis data perbandingan indeks pertumbuhan harga properti residensial dengan indeks pertumbuhan PDB/kapita. Data tersebut menunjukkan bahwa sejak triwulan II2013 indeks pertumbuhan harga properti residensial melebihi pertumbuhan GDP/kapita. Kenaikan harga yang tinggi ini dikhawatirkan memicu terjadinya gagal bayar oleh masyarakat yang memanfaatkan jasa perbankan sebagai sumber pembiayaan dalam pembelian properti (lihat gambar 1). Bila dilihat pertumbuhan sektor real estate dalam PDB, memang mengalami peningkatan yang cukup tajam di Gambar 2. Pertumbuhan Sektor Real Estate dalam PDB (%, YOY) Gambar 3. Pertumbuhan Harga Properti Residensial Tahun 2011-2014 (%, YoY) 5) Bank Indonesia 2 Gambar 4. Pertumbuhan Penjualan Rumah (%, qtq) Sumber: Bank Indonesia terkendali hingga terjadi penggelembungan harga akan berdampak pada melemahnya perekonomian suatu negara. Hal ini yang terjadi di Amerika Serikat, dimana dalam rentang waktu 1997-2006 kenaikan harga rumah mencapai 188 persen. Hingga pertengahan tahun 2009 harga rumah mengalami penurunan hingga 33 persen dari harga puncaknya6. Pecahnya gelembung harga ini mengakibatkan resesi ekonomi, bahkan saat itu juga berdampak bagi perekonomian global. Terdapat beberapa pengamatan yang berbeda terhadap terjadinya gelembung properti di Amerika. Ada pengamat yang menganggap gelembung ini terjadi karena kelonggaran kebijakan moneter oleh the Federal Reserve yang menetapkan suku bunga kredit yang rendah untuk jangka waktu yang panjang. Pengamat lain berpandangan adanya global saving glut (tingkat menabung tinggi namun kurang berinvestasi) mendorong penurunan tingkat suku bunga. Beberapa pengamat lainnya menekankan pada kemerosotan yang tajam pada standar peminjaman, berkontribusi dalam meningkatnya harga rumah. Pengamat lainnya juga loan to value (LTV) oleh Bank Indonesia melalui Surat Edaran BI No.14/10/ DPNP. Kemudian BI mencabut peraturan tersebut dan memperbaharuinya dengan menerbitkan Peraturan Bank Indonesia No.17/10/PBI/2015 tanggal 18 Juni 2015 tentang Rasio Loan to Value atau Rasio Financing to Value untuk Kredit atau Pembiayaan Properti dan Uang Muka untuk Kredit atau Pembiayaan Kendaraan Bermotor. Kebijakan ini dimaksudkan untuk memitigasi risiko inflasi akibat permintaan properti yang meningkat pesat akibat banyaknya spekulan yang ikut bermain di pasar properti. Selain itu, kebijakan ini menjadi jawaban pernyataan World Bank bahwa Indonesia sedang ke arah bubble properti dan nampaknya kebijakan ini cukup mengendalikan inflasi sektor perumahan. Hal ini ditunjukkan dengan melambatnya pertumbuhan kredit kepemilikan rumah dan apartemen setelah peraturan tersebut diberlakukan. Dampak Gelembung Properti terhadap Perekonomian (Studi Kasus Amerika Serikat) Kenaikan harga properti yang tidak Gambar 5. Total Kredit Kepemilikan Rumah dan Apartemen 6) Levitin, Adam dan Wachter, Susan. (2012). “Explaining the Housing Bubble”. 3 evaluasi lebih mendalam apakah proporsi kredit yang ditetapkan sudah sesuai perkembangan dan kebutuhan saat ini. Namun, perlu ada kebijakan lain yang dapat menjaga harga tanah tetap terjaga untuk masyarakat menengah bawah, karena sebaiknya kebijakan yang dibuat untuk meredam aksi spekulan bukan mengurangi kesempatan masyarakat menengah khususnya di kota besar untuk memiliki rumah. Daftar Pustaka Yusuf, Ahmad, (2013). Aturan Loan to Value KPR Sebagai Bentuk Pengendalian Inflasi dan Risiko Gagal Bayar di Sektor Properti Saat Suku Bunga Meningkat. Sekolah Tinggi Akuntansi Negara. Diakses dari https://www.academia.edu/8253699/ Aturan_Loan_To_Value_Kpr_sebagai_ Bentuk_Pengendalian_Inflasi_dan_Risiko_ Gagal_Bayar_di_Sektor_Properti_saat_ Suku_Bunga_Meningkat. Diakses tanggal 15 April 2016 Bank Indonesia, (2015). Survei Harga Properti Residensial di Pasar Primer Triwulan IV Tahun 2011-2015. Indonesia Bank Indonesia, (2015). Statistik Perbankan Indonesia Agustus 2015. Indonesia Berita Satu, 18 Mei 2015. Kepemilikan Asing Dinilai Dapat Memicu Property Bubble. Diakses dari http://www. beritasatu.com/properti/274952kepemilikan-asing-dinilai-dapat-memicuproperty-bubble.html. Diakses tanggal 13 April 2015 Case, Karl E. dan Robert J. Shiller, (2003). Is There a Bubble in the Housing Market? An Analysis, Prepared for the Brookings Panel on Economic Activity September 4-5, 2003. Diakses dari http://www.econ. yale.edu/~shiller/pubs/p1089.pdf. Diakses tanggal 14 April 2016 Hutapea, Handayani, (2015). Bubble Property. Diakses dari http://dokumen. tips/documents/bubble-property.html. Diakses tanggal 15 April 2015 Kata Data, 23 Oktober 2013. Gelembung Properti di Indonesia Sudah Terjadi?. Diakses dari http://katadata.co.id/ berita/2013/10/23/gelembung-propertiindonesia-sudah-terjadi. Diakses tanggal 14 April 2016 Levitin, Adam dan Wachter, Susan, (2012). Explaining the Housing Bubble. Georgetownjournal.com beranggapan permintaan yang berlebihan terhadap perumahan. Harga perumahan yang menurun secara tajam berdampak pada anjloknya nilai kekayaan rumah tangga, mengurangi belanja konsumsi, dan berakibat terhadap pertumbuhan ekonomi. Penurunan harga rumah menyebabkan kredit macet dan terjadinya penyitaan aset. Hal ini berujung pada pasokan rumah yang tinggi di pasaran sementara harganya jatuh karena permintaan yang menurun. Selama kejatuhan harga perumahan di US tahun 2008, sebanyak 30 institusi pemberi pinjaman mortgage dilikuidasi. Catatan Redaksi Dengan melihat data indeks harga properti, penjualan rumah, dan total kredit kepemilikan rumah dan apartemen yang tetap cenderung naik walaupun melambat, menunjukkan bahwa properti di Indonesia belum terjadi bubble property. Saat ini yang dialami ialah terjadinya over value atau diatas nilai sesungguhnya yang berakibat beberapa investor khususnya di segmen menengah atas sampai mewah sulit untuk memasarkan propertinya karena harganya yang sudah sangat tinggi. Terkait hal itu, rencana pemerintah untuk memberikan izin kepemilikan property untuk warga asing tanpa ada kebijakan dan pengawasan yang ketat perlu dipertimbangkan karena justru akan membuat harga properti semakin tidak terkendali dan akan menciptakan bubble. Oleh karena itu, para pengambil kebijakan baik Pemerintah, Bank Indonesia, maupun Otoratis Jasa Keuangan perlu mewaspai akan terjadinya gelembung harga properti. Lebih lanjut, kondisi ini akan berdampak pada sulitnya memperoleh akses properti dari kalangan masyarakat menengah kebawah. Sebaiknya Pemerintah lebih fokus pada penyediaan rumah untuk masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah. Sebagai contoh, Singapura telah membuka kepemilikan properti untuk warga asing dengan kondisi 80 persen masyarakatnya sudah memliki rumah. Terkait dalam upaya menekan sepak terjang spekulan yang dapat mengakibatkan gelembung properti, Bank Indonesia sudah cukup tepat mengeluarkan kebijakan loan to value. Untuk selanjutnya Otoritas Jasa Keuangan yang bertindak sebagai pengawas perbankan saat ini perlu melakukan 4 Utang Indonesia Menuju Ambang Batas Slamet Widodo, S.E., M.E.1) Abstrak Kinerja pertumbuhan ekonomi Indonesia yang positif dalam beberapa tahun ini dan semakin membaiknya credit rating Indonesia, memberi sinyalemen positif terhadap kemampuan Indonesia dalam menyerap dana dari dalam dan luar negeri dalam rangka pembiayaan defisit APBN. Pembiayaan defisit APBN melalui utang merupakan alternatif yang harus ditempuh pemerintah ketika penerimaan negara belum mencukupi untuk membiayai prioritas pembangunan yang ditargetkan pemerintah. Pengelolaan utang negara dengan berbagai kebijakan dan analisis risiko yang telah dilaksanakan pemerintah tetap harus berpegang pada kemampuan negara dalam membayar kembali utangnya. Salah satu indikator yang mengukur kemampuan APBN dalam membiayai utangnya adalah keseimbangan primer yang dari tahun ke tahun semakin menurun. embiayaan pembangunan P melalui utang merupakan hal umum yang terjadi di hampir seluruh peningkatan jumlah utang pemerintah sebesar 23% yaitu dari Rp2.608,14 triliun menjadi Rp3.220,98 triliun dalam periode November 2014 sampai dengan November 2015. Sementara utang swasta dalam periode yang sama meningkat sebesar 18% yaitu dari Rp1.957,99 triliun menjadi Rp2.310,15 triliun. Secara keseluruhan, dalam periode satu tahun, total utang luar Indonesia meningkat sebesar 21% yaitu dari sebesar Rp4.566,13 triliun pada bulan November 2014 menjadi sebesar Rp5.531,13 triliun pada bulan November 2015. Dengan PDB tahun 2014 sebesar Rp10.542,6 triliun, maka rasio utang pemerintah terhadap PDB telah mencapai 30,5%, sedangkan rasio total utang negara (utang pemerintah plus utang swasta) terhadap PDB telah mencapai 52,46%. Kebijakan pengelolaan utang pemerintah dari tahun ke tahun tidak mengalami perubahan dengan tetap mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut: 1.kemampuan membayar kembali (solvabilitas), 2.kemampuan menyerap pinjaman sesuai rencana/target, 3.pemanfaatan yang diarahkan untuk kegiatan produktif dan memberi kontribusi yang optimal bagi perekonomian domestik, misalnya negara. Tidak ada satu negarapun yang terbebas dari utang. Keberadaan utang diyakini mampu memberikan stimulus bagi perekonomian untuk terus berlangsung dalam upayanya untuk mempercepat tujuan mensejahterakan rakyatnya. Demikian halnya dengan Indonesia, dengan APBN yang telah menembus Rp1.000 triliun di tahun 2009, peningkatan utang dari dalam maupun luar negeri diharapkan dapat memberikan multiplier effect yang lebih besar bagi perekonomian melalui intervensi pemerintah dalam belanja pembangunan. Meskipun batasan utang yang dapat dikelola negara, yaitu 60% dari PDB, telah diadopsi oleh hampir seluruh negara di dunia, pengelolaan utang negara tidak hanya dapat dilihat proporsionalnya terhadap PDB semata, namun juga bagaimana negara dapat mengurangi akumulasi utangnya dari tahun ke tahun, sebagaimana tercermin dari keseimbangan primer APBN. Perkembangan Utang Negara dan Kebijakan Pengelolaan Utang Pemerintah Berdasarkan data profil utang Indonesia yang dirilis oleh Direktorat Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko, Kementerian Keuangan, terjadi 1) Analis APBN, Pusat Kajian Anggaran, Badan Keahlian Dewan DPR RI. e-mail: [email protected] 5 Grafik 1. Posisi Utang Negara (dalam Triliun Rupiah) 3,500.00 3,000.00 2,500.00 2,000.00 1,500.00 1,000.00 500.00 - Nov-14 Nov-14 Jan-15 Jan-15 Mar-15 Mar-15 Jun-15 Jun-15 Sep-15 Sep-15 Nov-15 Nov-15 (Gov) (Priv) (Gov) (Priv) (Gov) (Priv) (Gov) (Priv) (Gov) (Priv) (Gov) (Priv) Utang Dalam Negeri/Residen Utang Luar Negeri / Non Residen Sumber : Profil Utang Pemerintah, Kemenkeu RI membayar kewajiban pokok utang secara tepat waktu dan efisien. Mekanisme debt swap juga telah dilakukan oleh pemerintah antara lain, debt for development swap. Program ini antara lain diarahkan untuk sektor kesehatan, sektor pendidikan dan sektor lingkungan hidup dan telah dilaksanakan dalam kurun waktu 20092014. Dalam rangka menghadapi gejolak perekonomian global yang berdampak terhadap fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap dollar, pemerintah bahkan telah mengeluarkan kebijakan lindung nilai (hedging) terhadap utang yang dalam bentuk valas. Untuk sementara counterpart yang menjadi sasaran adalah antara lain bank devisa yang melakukan kegiatan usaha perbankan dalam valuta asing, lembaga keuangan bukan bank, atau lembaga keuangan internasional yang bersedia untuk menandatangani Perjanjian Induk. Keseimbangan Primer APBN Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara telah membatasi jumlah utang tidak boleh melampui 60% dari Produk Domestik Bruto. Kondisi ini tercermin melalui perhitungan rasio utang terhadap PDB yang dari tahun ke tahun terus mengalami penurunan. untuk percepatan pembangunan infrastruktur, 4.upaya mengendalikan rasio utang terhadap PDB pada level yang aman, 5.upaya minimasi biaya utang (cost of borrowing) pada tingkat risiko yang terkendali, dan 6.upaya menjaga keseimbangan makro. Pemerintah juga telah menjalankan berbagai upaya untuk mengatasi risiko utang pemerintah dengan berbagai analisis indikator antara lain indikator risiko utang dan indikator risiko kesinambungan fiskal. Analisis risiko ini memiliki tujuan yang terdiri dari: 1. tujuan jangka menengah a) Memenuhi kebutuhan pembiayaan APBN melalui utang dengan biaya minimal pada tingkat risiko yang terkendali; dan b) Mendukung terbentuknya pasar SBN yang dalam, aktif, dan likuid. 2. tujuan jangka pendek atau tahunan adalah memastikan tersedianya dana untuk membiayai defisit dan 6 Di samping prinsip-prinsip pengelolaan utang yang terus dilaksanakan oleh pemerintah, dalam setiap kurun waktu lima tahun, pemerintah juga menetapkan strategi pengelolaan utang negara yang berisi target pencapaian rasio utang dari tahun ke tahun. Dari perkembangan rasio utang pemerintah terhadap PDB di atas, meskipun masih berada jauh dari batasan yang ditentukan oleh UU, namun capaian ini telah melampaui target yang telah ditetapkan oleh pemerintah sendiri sebagaimana tertuang dalam Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 113/KMK.08/2014 tentang Strategi Pengelolaan Utang Negara Tahun 2014-2017. Dalam keputusan tersebut, pemerintah berkeinginan untuk secara perlahan menurunkan rasio utang terhadap PDB dari sebesar 24% di tahun 2014, menjadi sebesar 22% di tahun 2017. Namun kenyataannya angka realisasi berada di luar target yang telah ditetapkan dan memiliki kecenderungan meningkat di tahun mendatang. Kemampuan pemerintah dalam mengelola utang juga dapat dilihat dari seberapa besar keseimbangan primer APBN dari tahun ke tahun. Keseimbangan primer merupakan perangkat untuk melihat keberlanjutan fiskal, yang merupakan total penerimaan dikurangi belanja di luar pembayaran bunga utang [Pendapatan – (Belanja Total – Belanja Bunga)]. Agar posisi utang dapat terjaga dalam keseimbangan jangka panjang, maka nilai keseimbangan primer ini harus dijaga setidaknya mendekati nol. Jika nilai keseimbangan primer ini positif, maka posisi utang akan berkurang seiring waktu, namun sebaliknya, jika nilainya negatif maka dalam jangka panjang dapat menyebabkan peningkatan nilai utang secara signifikan, sehingga dapat membahayakan kesinambungan fiskal. Berdasarkan profil utang pemerintah pusat yang diterbitkan oleh pemerintah per bulan Februari 2016, posisi utang pemerintah pusat tahun 2016 sebesar Rp3.220,98 triliun atau Grafik 2. Perkembangan Rasio Utang Pemerintah terhadap PDB Sumber : Profil Utang Pemerintah, Kemenkeu RI *) Angka proyeksi menggunakan PDB berdasarkan asumsi APBN-P **) Angka APBN 2016 - Angka PDB 2010 – 2015 menggunakan tahun dasar 2010 atas harga berlaku 7 Tabel 1. Indikator Utang yang Perlu Dimonitor Indikator Tahun 2014 2015 2016 2017 Rasio Utang thd PDB (%) 24,0 23,5 23,0 22,0 Rasio Pembayaran Bunga Utang thd PDB (%) 1,2 1,2 1,2 1,2 Rasio SBN Tradable thd PDB (%) 11,0 11,5 12,0 12,0 Sumber: KMK Nomor 113/KMK.08/2014, Kemenkeu RI mengalami kenaikan sebesar 178,06% dibandingkan tahun 2011 yang sebesar Rp1.808,95 triliun. Peningkatan jumlah utang ini sebagai konsekuensi meningkatnya defisit APBN dari Rp84,4 triliun di tahun 2011, menjadi sebesar Rp273,2 triliun pada tahun 2016 atau mengalami peningkatan sebesar 323,7%. Hal tersebut memperburuk kondisi keseimbangan primer APBN yang terus menurun dari Rp8,9 triliun di tahun 2011, menjadi negatif Rp88,2 triliun di tahun 2016 atau mengalami penurunan tajam sebesar 323,7%. Rekomendasi Mempertahankan defisit APBN, dalam batasan tertentu yang diatur dalam undang-undang, menjadi salah satu upaya untuk menjamin kelangsungan pembangunan dan mempercepat tujuan bernegara yaitu menyejahterakan rakyat. Pengelolaan utang sebagai sumber pembiayaan tidak saja harus dilakukan dengan prinsip kehati-hatian dan transparan, sebagai hasil dari proses analisis risiko utang dalam jangka pendek, menengah dan jangka panjang, akan tetapi juga harus konsisten/berpatokan pada target indikator yang telah ditetapkan pemerintah dalam strategi pengelolaan utang negara. Upaya menjaga keseimbangan Grafik 3. Utang Pemerintah, Keseimbangan Primer dan Defisit APBN Tahun 2011 - 2016 Total Utang Pemerintah Pusat Surplus/(Defisit) Anggaran Keseimbangan Primer 3,500.00 20.0 8.9 *) Angka Sementara **) Termasuk SUN Valas Domestik 3,220.98 3,098.64 3,000.00 0.0 2,608.78 2,500.00 2,000.00 2,375.50 (20.0) 1,977.71 1,808.95 1,500.00 (40.0) (52.8) (60.0) (66.8) 1,000.00 (80.0) 500.00 (88.2) (93.3) 0.00 (98.6) 2011 (84.4) 2012 (153.3) (100.0) 2013 2014 (211.7) (226.7) -500.00 2015* (222.5) 2016** (273.2) (120.0) Sumber: Profil Utang Pemerintah Pusat, Edisi Februari 2016, DITJEN Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko, Kemenkeu RI 8 primer APBN yang sehat dapat dilakukan antara lain dengan cara meningkatkan penerimaan dalam negeri, baik bersumber dari pajak maupun PNBP, meningkatkan kualitas belanja baik dalam hal efisiensi dan efektifitasnya. Keseimbangan primer yang bernilai positif merupakan indikator bahwa APBN memiliki kemampuan untuk membayar cicilan pokok dan bunga utang, sehingga dalam jangka panjang hal ini dapat meminimalisir defisit APBN dan menjaga kesinambungan fiskal. Daftar Pustaka Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko, Kemenkeu RI. (2016). Profil Utang Pemerintah Pusat (Pinjaman dan Surat Berharga Negara), Jakarta Direktorat Utama Pembinaan dan Pengembangan Hukum Pemeriksaan Keuangan Negara BPK RI. (2013). Utang Negara: Pemerintah Buka “Hedging” Utang Valuta Asing (Valas). Diakses kembali pada http://jdih.bpk.go.id/ wp-content/uploads/2013/03/UTANGNEGARA.pdf Kementerian Keuangan RI. (2014). Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 113/KMK.08/2014 Tentang Strategi Pengelolaan Utang Negara Tahun 2014-2017. Jakarta Kementerian Keuangan RI. (2011-2016). Nota Keuangan APBN, Jakarta Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang Kementerian Keuangan Republik Indonesia, (2010-2014). Strategi Pengelolaan Utang Negara Tahun 2010-2014. Jakarta 9 Buletin APBN Pusat Kajian Anggaran Badan Keahlian DPR RI www.puskajianggaran.dpr.go.id Telp. 021-5715635/5715528, Fax. 021-5715528 e-mail [email protected] 10