III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Bobot Tubuh Ikan

advertisement
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Hasil
3.1.1 Bobot Tubuh Ikan Lele
Hasil penimbangan rata-rata bobot tubuh ikan lele yang diberi perlakuan
ekstrak purwoceng (Pimpinella alpina molk.) pada pakan sebanyak 0; 2,5; 5; dan
7,5 g/kg pakan disajikan pada Gambar 1.
417,2 ± 58,7a
Rata-rata bobot tubuh (gram)
414,0 ± 44,8a 412,6 ± 66,9a
420
415
410
405
396,8 ± 37,1a
400
395
390
385
0
2.5
5
Perlakuan (g/kg pakan)
7.5
Gambar 1.Rata-rata bobot tubuh ikan lele pada dosis pemberian ekstrak purwoceng
yang berbeda melalui pakan setelah 30 hari pemeliharaan
Berdasarkan diagram rata-rata bobot tubuh yang disajikan pada Gambar 1,
dapat diketahui bahwa perlakuan 0 g/kg pakan memiliki rata-rata bobot tubuh
tertinggi dibanding dengan perlakuan lainnya yaitu sebesar 417,2±58,7 gram
sedangkan rata-rata bobot tubuh terendah, terdapat pada perlakuan 5 g/kg pakan
yaitu sebesar 396,8±37,1 gram. Ikan uji yang diberi ekstrak purwoceng dengan
dosis yang berbeda memiliki rata-rata bobot tubuh lebih rendah dibanding kontrol.
Setelah dilakukan uji lanjut Duncan, diperoleh hasil bahwa rata-rata bobot tubuh
antar perlakuan tidak berbeda nyata (P>0,05).
7 3.1.2 Bobot Testis Ikan Lele
Hasil penimbangan rata-rata bobot testis ikan uji yang diberi perlakuan
ekstrak purwoceng (Pimpinella alpina Molk.) pada pakan sebanyak 0; 2; 5; dan
Rata-rata Bobot testis (gram)
7,5 g/kg pakan disajikan pada Gambar 2.
3.5
ab
2,52± 0,48
3
2.5
3,06± 0,48b
2,16± 1,02ab 1,81± 0,45a 2
1.5
1
0.5
0
0
2.5
5
7.5
Perlakuan (g/kg pakan)
Gambar 2. Rata-rata bobot testis ikan lele pada dosis pemberian ekstrak purwoceng yang
berbeda melalui pakan setelah 30 hari pemeliharaan
Berdasarkan diagram rata-rata bobot testis yang disajikan pada Gambar 2,
dapat diketahui bahwa perlakuan 5 g/kg pakan memiliki rata-rata bobot testis
tertinggi dibanding dengan perlakuan lainnya yaitu sebesar 3,06±0,48 gram. Ratarata bobot testis terendah terdapat pada perlakuan 0 g/kg pakan yaitu sebesar
1,81±0,45 gram. Diagram pada gambar 2 menunjukkan bahwa ikan uji yang
diberi perlakuan purwoceng memiliki rata-rata bobot testis yang lebih tinggi
dibanding perlakuan kontrol.
Setelah dilakukan uji lanjut Duncan diperoleh hasil bahwa pada selang
kepercayaan 95%, rata-rata bobot testis ikan uji yang diberi ekstrak purwoceng
berbeda nyata terhadap rata-rata bobot testis ikan kontrol. Berdasarkan uji tersebut
diketahui bahwa rata-rata bobot testis ikan uji perlakuan dengan dosis 5 g/kg
pakan memiliki perbedaan yang paling nyata terhadap kontrol.
3.1.3 Gonado Somatic Index (GSI)
Persentase perbandingan bobot testis terhadap bobot tubuh ikan dikenal
dengan Gonado Somatic Indeks (GSI) (Nikolsky, 1969 dalam Effendie, 2002).
Nilai GSI pada ikan uji yang diberi perlakuan ekstrak purwoceng (Pimpinella
8 alpina molk.) melalui pakan sebanyak 0; 2,5; 5; dan 7,5 g/kg pakan disajikan pada
Gambar 3.
Berdasarkan data yang disajikan pada Gambar 3, dapat diketahui bahwa
perlakuan 5 g/kg pakan memiliki nilai GSI tertinggi dibanding dengan perlakuan
lainnya yaitu sebesar 0,79±0,29 %. Hal ini dapat diartikan pada ikan uji perlakuan
5 g/kg pakan memiliki bobot testis sebesar 0,79 % dari seluruh bobot tubuh ikan
tersebut. Nilai GSI terendah terdapat pada perlakuan kontrol sebesar 0,45±0,15 %.
Diagram nilai GSI pada Gambar 3 menunjukkan bahwa ikan uji yang diberi
ekstrak purwoceng melalui pakan memiliki nilai GSI yang lebih tinggi dibanding
kontrol.
0,79± 0,29b
0.9
0.8
0,61± 0,14 ab
Nilai GS (%) 0.7
0.6
0.5
0,51± 0,21ab 0,45± 0,15a 0.4
0.3
0.2
0.1
0
0
2.5
5
7.5
Perlakuan (g/kg pakan)
Gambar 3. Nilai GSI ikan lele pada dosis pemberian ekstrak purwoceng yang berbeda
melalui pakan setelah 30 hari pemeliharaan.
Data GSI ikan lele pada pemberian ekstrak purwoceng melalui pakan
dilakukan uji lanjut Duncan sehingga diperoleh hasil bahwa pada selang
kepercayaan 95%, nilai GSI ikan lele yang diberi ekstrak purwoceng pada
berbagai dosis memiliki perbedaan yang nyata terhadap kontrol. Berdasarkan uji
tersebut perlakuan dengan dosis 5 g/kg pakan memiliki perbedaan yang paling
nyata terhadap kontrol.
9 3.1.4 Kadar Spermatokrit
Hasil pengukuran spermatokrit ikan uji yang diberi perlakuan ekstrak
purwoceng (Pimpinella alpina molk.) melalui pakan sebanyak 0; 2,5; 5; dan 7,5
g/kg pakan disajikan pada Gambar 4.
65,00± 7,07b
60,77± 1,09b
Kadar spermatokrit (%)
70
60
50
60,2± 4,64b 43,34± 4,72a 40
30
20
10
0
0
2.5
5
Perlakuan (g/kg pakan) 7.5
Gambar 4. Persentase kadar spermatokrit ikan lele pada dosis pemberian ekstrak
purwoceng yang berbeda melalui pakan setelah 30 hari pemeliharaan
Berdasarkan data yang disajikan pada Gambar 4, dapat diketahui bahwa
ikan uji pada perlakuan 2,5 g/kg pakan memiliki spermatokrit tertinggi dibanding
dengan perlakuan lainnya yaitu sebesar 65,0±7,07 %. Hal ini dapat diartikan
dalam setiap 1 ml sperma terdapat 0,65 ml padatan spermatozoa sedangkan
sisanya berupa cairan semen. Persentase kadar spermatokrit terendah terdapat
pada perlakuan kontrol sebesar 43,34±4,72%. Diagram pada Gambar 4
menunjukkan ikan uji yang diberi ekstrak purwoceng melalui pakan, memiliki
persentase kadar spermatokrit yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan
kontrol.
Data pengukuran kadar spermatokrit ikan lele tersebut selanjutnya
dilakukan uji Duncan sehingga diperoleh hasil bahwa pada selang kepercayaan
95%, kadar spermatokrit ikan lele yang diberi ekstrak purwoceng pada semua
dosis yang diberikan memiliki perbedaan nyata dibandingkan dengan ikan lele
yang tidak diberi ekstrak purwoceng.
10 3.2 Pembahasan
Ikan dengan perlakuan ekstrak purwoceng 5 g/kg pakan menunjukkan ratarata bobot testis tertinggi dengan perlakuan lainnya. Pemberian ekstrak
purwoceng melalui pakan meningkatkan rata-rata bobot testis ikan uji sehingga
lebih tinggi daripada ikan uji pada perlakuan kontrol. Hal ini sejalan dengan
penelitian sebelumnya tentang pengujian ektrak purwoceng terhadap anak ayam
jantan yang memperlihatkan adanya efek androgenik pada penggunaan akar
purwoceng
yaitu ditandai dengan peningkatan ukuran jengger dan ditunjang
dengan adanya peningkatan bobot testis (Kosin 1992; Usmiati dan Yuliani 2010).
Juniarto (2004) menyatakan bahwa ekstrak purwoceng dapat meningkatkan
hormon LH, FSH dan testosteron yang mempengaruhi proses spermatogenesis.
Peningkatan bobot testis berhubungan dengan proses spermatogenesis (Cerda et
al., 1996 dalam Affandi dan Tang, 2004). Spermatogenesis merupakan proses
pembentukan sperma yang terjadi dalam tubulus semiferus yang terdapat di dalam
testis hewan vertebrata. Ada lima tingkatan perkembangan testis ikan lele (Clarias
batrachus) yang dikemukakan secara anatomi antara lain spermatogonia,
spermatosit primer, spermatosit sekunder, spermatid, dan spermatozoa (Chinabut
at al.1991; Tucker dan Hargreaves 2004)
Perlakuan purwoceng memperlihatkan peningkatan bobor testis pada ikan
uji tetapi rata-rata bobot tubuh ikan uji yang diberi ekstrak purwoceng nilainya
lebih rendah dibandingkan ikan pada perlakuan kontrol. Hal ini kurang sesuai
dengan pernyataan Effendie (1997) bahwa pertambahan
diikuti oleh pertambahan berat ikan.
berat
gonad
akan
Umumnya pertambahan berat gonad
pada ikan jantan 5 sampai 10% dari berat tubuh. Ikan yang diberi perlakuan
ekstrak purwoceng memiliki bobot testis yang lebih tinggi dibandingkan ikan
kontrol namun rata-rata bobot tubuhnya lebih rendah dibanding kontrol. Ikan uji
yang diberi ekstrak purwoceng dosis 5 g/kg pakan memiliki rata-rata bobot testis
tertinggi serta berbeda nyata terhadap kontrol (P<0,05) namun ikan uji tersebut
memiliki bobot tubuh terendah yaitu sebesar 396,8±37,1 gram.
Berdasarkan penelitian sebelumnya, ekstrak purwoceng dilaporkan memiliki
kandungan fitosterol yang dapat di konversi menjadi hormon steroid pada hewan
vertebrata
khususnya
mamalia
yang
digunakan
untuk
meningkatkan
11 spermatogenesis. Reseptor androgen dan estrogen pada hewan dapat mengikat
fitosterol (Tremblay dan Kraak 1998) sehingga dapat mempengaruhi seks rasio,
gonad, dan hormonal (Hewit et al. 2008). Pengikatan tersebut akibat dari adanya
kemiripan struktur molekul stigmasterol, kolesterol dan testosteron. Selain itu,
Zairin (2003) menyatakan bahwa struktur kimia hormon dari kelompok steroid
seperti kortisol, testosteron, dan 17α-hidroksiprogesteron sama, baik untuk
mamalia maupun ikan.
Hasil perhitungan persentase nilai GSI ikan menunjukkan bahwa ikan uji
yang diberi ekstrak purwoceng memiliki nilai GSI yang lebih tinggi dibandingkan
dengan kontrol. Ikan lele pada perlakuan 5 g/kg pakan memiliki nilai GSI
tertinggi dibanding perlakuan lain. Hal ini berbanding lurus dengan nilai bobot
testis pada perlakuan yang sama. Sedangkan berdasarkan perhitungan
spermatokrit yaitu persentase padatan sperma terhadap cairan sperma juga
menunjukkan perbedan yang nyata antar perlakuan. Cairan sperma adalah larutan
spermatozoa yang berada dalam cairan seminal dan dihasilkan oleh hidrasi testis
(Hoar 1969 dalam Affandi dan Tang 2002). Menurut Affandi dan Tang (2002),
campuran antara seminal plasma dengan spermatozoa disebut semen.
Kadar spermatokrit dapat digunakan sebagai indikator kekentalan sperma.
Jika nilai spermatokrit tinggi maka dapat disimpulkan bahwa cairan sperma
tersebut bersifat kental sehingga memiliki padatan spermatozoa yang lebih banyak
dibandingkan dengan cairan seminalnya. Kadar spermatokrit yang rendah
menunjukkan cairan sperma tersebut memiliki kandungan padatan spermatozoa
yang lebih sedikit dibandingkan dengan cairan seminalnya. Kadar spermatokrit
ikan lele yang diberi perlakuan ekstrak purwoceng lebih tinggi dibandingkan ikan
lele pada perlakuan kontrol. Nilai spermatokrit tertinggi terdapat pada perlakuan
2,5 g/kg pakan yaitu 65,0±7,07%. Hal ini menunjukkan bahwa dalam setiap 1 ml
cairan sperma terdiri dari 0,65 ml padatan spermatozoa serta 0,35 ml berupa
cairan seminal. Menurut Gwo et al. (1991) dalam Affandi (2002), konsentrasi
spermatozoa yang tinggi dapat menghambat aktifitas spermatozoa karena
berkurangnya daya gerak sehingga spermatozoa sukar menemukan atau
menembus mikrofil sel telur yang mengakibatkan rendahnya fertilitas
spermatozoa. Peningkatan jumlah spermatozoa seharusnya diikuti dengan
12 peningkatan volume cairan seminal sehingga spermatozoa tetap mendapatkan zat
makanan yang cukup dari cairan seminal tersebut. Caropeboka (1980) meneliti
pengaruh ekstrak purwoceng terhadap tikus jantan yang dikebiri. Penelitian
tersebut menunjukkan adanya peningkatan aktivitas pada kelenjar prostat dan
kelenjar seminalis pada tikus. Kelenjar prostat dan kelenjar seminalis berfungsi
menghasilkan cairan nutrisi untuk sperma (cairan seminal). Menurut Ganong
(2003), cairan semen mengandung spermatozoa dan sekresi dari kelenjar vesikula
seminalis, prostat serta kelenjar cowper. Gardiner dalam Nurman
(1995)
melaporkan bahwa semen yang encer banyak mengandung glukosa, sehingga
memberikan motilitas yang lebih baik terhadap spermatozoa. Penelitian Scott dan
Baynes (1980) tentang komposisi kimia semen ikan menyatakan bahwa semen
yang kental dengan konsentrasi tinggi mengandung kadar potassium lebih tinggi
akan menghambat pergerakan spermatozoa, sehingga motilitasnya rendah.
Adanya peningkatan bobot testis, nilai GSI, dan kadar spermatokrit pada
ikan uji menunjukkan peningkatan proses spermatogenesis pada ikan lele yang
diberikan ekstrak purwoceng. Hal ini sesuai dengan penelitian Juniarto (2004)
yang menunjukkan bahwa ekstrak purwoceng dapat meningkatkan aktifitas testis
sehingga
meningkatkan
derajat
spermatogenesis.
Proses
spermatogenesis
dipengaruhi oleh hormon LH dan testosteron. Hasil uji farmakologis pada tikus
jantan menunjukkan pemberian ekstrak purwoceng dapat meningkatkan kadar
testosteron dan kadar LH. Peningkatan kadar testosteron ini disebabkan efek
stimulasi ekstrak purwoceng terhadap LH dan konversi fitosterol yang ada pada
ekstrak purwoceng menjadi testosteron pada jaringan hewan uji (Taufiqurrahman
dan Wibowo 2006). Testoteron dibentuk dari ester kolesterol di dalam sel Leydig
testis, sisanya sekitar 5% dihasilkan oleh kortek adrenal di mana prekursor seperti
sterol dari tanaman akan dikonversi
menjadi testoteron di dalam jaringan
pheripheral (Graner 1996 dalam Taufiqqurrachman dan Wibowo 2006). Aktivitas
androgenik testosteron adalah mempengaruhi inisiasi dan pemeliharaan
spermatogenesis dalam tubuliseminiferus testis. Hormon testosteron penting untuk
mengontrol sifat - sifat seks sekunder dan aktivitas kelenjar reproduksi asesori
(Pineda, 1989). Testosteron tidak disimpan dalam tubuh tetapi segera dipecah
13 menjadi androgen yang relatif inaktif dan diekskresikan melalui urin dan feses
(Turner dan Bagnara 1983).
Peningkatan spermatogenesis ikan lele jantan pada penelitian ini diduga
karena pengaruh senyawa yang terkandung dalam ekstrak purwoceng yang
diberikan. Akar purwoceng diketahui mengandung turunan senyawa kumarin,
sterol, alkaloid, saponin (Caropeboka & Lubis 1975 dalam Ajijah, 2009; Rostiana
et al. 2003), flavonoid, glikosida dan tanin (Rostiana et al. 2003), kelompok
furanokumarin seperti bergapten, isobargapten dan sphondin (Sidik et al. 1975
dalam Ajijah, 2009), stigmasterol (Suzery
et al. 2004 dalam Ajijah 2009;
Rahardjo et al. 2006; Rostiana et al. 2007), sitosterol (Rahardjo et al. 2006;
Rostiana et al. 2007), dan vitamin E (Rahardjo et al. 2006). Gunawan (2002)
menyebutkan bahwa pada ekstrak purwoceng terdapat beberapa senyawa seperti
stigmasterol, sitosterol, serta isoorientin. Senyawa isoorientin yang dapat
menambah produksi sperma sedangkan senyawa sitosterol dan stigmasterol pada
tanaman purwoceng bersifat androgenik.
Pengukuran kualitas sperma seperti jumlah kepadatan sperma dan motilitas
sperma tidak dapat dilakukan dalam penelitian ini. Hal tersebut disebabkan pada
beberapa ikan sampel memiliki jumlah sperma sangat sedikit sehingga tidak
memungkinkan dilakukan pengamatan kualitas sperma. Jumlah sperma yang
sedikit terutama dimiliki oleh ikan uji sebagai kontrol yang tidak diberikan
ekstrak purwoceng.
Penelitian ini dilakukan di laboratorium lapangan dengan kondisi
lingkungan yang tidak homogen seperti di dalam ruangan. Air hujan dan penetrasi
cahaya dapat mempengaruhi kondisi air pemeliharaan pada tiap bak sehingga
terjadi fluktuasi lingkungan. Menurut Affandi dan Tang (2004), beberapa faktor
yang mempengaruhi perkembangan gonad antara lain faktor lingkungan dan
hormon. Scott (1979) menyatakan bahwa faktor lingkungan yang dominan
mempengaruhi perkembangan gonad adalah suhu dan makanan, selain itu periode
cahaya dan musim. Hasil penelitian Buwono (1995) tentang pengaruh periode
cahaya terhadap kematangan gonad ikan lele yang menunjukkan bahwa pada
fotoperiode 14 jam dapat meningkatkan nilai GSI dan spermatogenesis ikan lele
jantan pra dewasa. Pengaruh suhu terhadap lama spermatogenesis pada ikan
14 teleostei bervariasi dari berbagai spesies sedangkan peran pakan dalam
perkembangan gonad penting untuk fungsi endokrin yang normal. Hyder dalam
Scott (1979) menjelaskan bahwa bagi beberapa spesies tropik, musim penghujan
atau banjir mempengaruhi perkembangan gonad.
15 
Download