BAB II LANDASAN TEORI

advertisement
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Pengertian Islam
Secara etimologis (bahasa), kata Islam merupakan kata Arab, al-Islam, yakni
bentuk mashdar (Inggris: abstract noun) dari kata: aslama-yuslimu. Al-islam di
sini dimaknai dengan “ketundukkan yang tulus” atau “kepasrahan”. Aslama juga
dimaknai dengan mengikhlaskan agama hanya untuk Allah dan Aslama juga
diartikan dengan “masuk/memeluk agama Islam”. Kata kerja aslama-yuslimu
jika dirunut kembali asalnya adalah kata kerja intransitif dari ‘salima-yaslamu’
yang bermakna “damai” atau “kedamaian” (dalam Faisal, 2007).
Azra, dkk (2002) menyatakan bahwa berdasarkan arti katanya, Islam
mengandung arti berserah diri, tunduk, patuh dan turut sepenuhnya kepada
kehendak Allah, kepatuhan dan ketundukkan kepada Allah itu melahirkan
keselamatan dan kesejahteraan diri serta kedamaian kepada sesama manusia dan
lingkungannya. Islam merupakan agama yang diturunkan Allah kepada manusia
melalui rasul-rasulnya, berisi hukum-hukum yang mengatur hubungan manusia
dengan Allah, manusia dengan manusia, dan manusia dengan alam semesta.
Departemen Agama RI (2001) menjelaskan bahwa Islam mengandung arti
berserah diri, tunduk, patuh, dan taat sepenuhnya kepada kehendak Allah SWT.
Kepatuhan dan ketundukkan pada Allah SWT itu melahirkan keselamatan dan
kesejahteraan diri serta kedamaian kepada sesama manusia dan lingkungannya.
8
Jadi Islam adalah agama yang menyuruh umatnya untuk berserah diri,
tunduk, patuh dan taat kepada kehendak Allah SWT karena dengan ketaatan
kepada Allah itu melahirkan keselamatan dan kesejahteraan diri serta kedamaian
kepada sesama manusia.
2.2 Religiusitas
2.2.1 Pengertian Agama dan Religiusitas
Banyak ahli menyebutkan agama berasal dari bahasa Sansekerta, yaitu
“a” yang berarti tidak dan “gama” yang berarti kacau. Maka agama berarti
tidak kacau (teratur). Dengan demikian agama itu adalah peraturan, yaitu
peraturan yang mengatur keadaan manusia, maupun mengenai sesuatu yang
gaib, mengenai budi pekerti dan pergaulan hidup bersama (Ismail, 1997).
Menurut Daradjat, agama adalah
proses hubungan manusia yang
dirasakan terhadap sesuatu yang diyakininya, bahwa sesuatu lebih tinggi dari
pada manusia. Sedangkan Glock dan Stark mendefinisikan agama sebagai
sistem simbol, sistem keyakinan, sistem nilai, dan sistem perilaku yang
terlembaga, yang kesemuanya terpusat pada persoalan-persoalan yang dihayati
sebagai yang paling maknawi.
Lebih lanjut dijelaskan menurut Hadikusuma dalam Agus (2006)
pengertian agama yaitu sebagai ajaran yang diturunkan oleh Tuhan untuk
petunjuk bagi umat dalam menjalani kehidupannya. Ada beberapa istilah lain
dari agama, antara lain religi, religion (Inggris), dan religie (Belanda)
religio/relegare (Latin) dan dien (Arab). Kata Religion (Bahasa Inggris) dan
9
religie (bahasa Belanda) adalah berasal dari bahasa induk dari kedua bahasa
tersebut, yaitu Latin “religio” dari akar kata “relegare” yang berarti mengikat
(Kahmad, 2002).
Dari istilah agama inilah kemudian muncul apa yang dinamakan
religiusitas. Glock dan Stark merumuskan religiusitas sebagai komitmen
religius (yang berhubungan dengan agama atau keyakinan iman), yang dapat
dilihat melalui aktivitas atau perilaku individu yang bersangkutan dengan
agama atau keyakinan iman yang dianut. Religiusitas seringkali diidentikkan
dengan
keberagamaan.
Religiusitas
diartikan
sebagai
seberapa
jauh
pengetahuan, seberapa kokoh keyakinan, seberapa pelaksanaan ibadah dan
kaidah dan seberapa dalam penghayatan atas nama agama yang dianutnya.
Bagi seorang Muslim, religiusitas dapat diketahui dari seberapa jauh
pengetahuan, keyakinan, pelaksanaan dan penghayatan atas agama Islam
(Nashori dan Mucharam, 2002).
Dari pengertian diatas maka religiusitas dalam Islam menyangkut lima
hal yakni aqidah, ibadah, amal, akhlak (ihsan) dan pengetahuan. Aqidah
meyangkut keyakinan kepada Allah, Malaikat, Rasul, Al-Qur’an, dan percaya
pada Qada dan Qadar. Ibadah menyangkut pelaksanaan hubungan antar
manusia dengan Allah. Amal menyangkut pelaksanaan hubungan manusia
dengan sesama makhluk. Akhlak merujuk pada spontanitas tanggapan atau
perilaku seseorang atau rangsangan yang hadir padanya, sementara Ihsan
merujuk pada situasi dimana seseorang merasa sangat dekat dengan Allah
SWT. Ihsan merupakan bagian dari akhlak. Bila akhlak positif seseorang
10
mencapai tingkatan yang optimal, maka ia memperoleh berbagai pengalaman
dan penghayatan dalam agamanya, itulah ihsan dan merupakan akhlak tingkat
tinggi. Selain keempat hal diatas ada lagi hal penting harus di ketahui dalam
religiusitas Islam yakni pengetahuan keagamaan seseorang.
2.2.2 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Religiusitas
Daradjat (2003), mengungkapkan bahwa pembinaan kehidupan
beragama tidak dapat dilepaskan dari pembinaan kepribadian secara
keseluruhan. Karena kehidupan beragama itu adalah bagian dari kehidupan
itu sendiri, sikap atau tindakan seseorang dalam hidupnya tidak lain dari
pantulan pribadinya yang tumbuh dan berkembang sejak lahir, bahkan telah
mulai sejak dalam kandungan. Semua pengalaman yang dilalui sejak dalam
kandungan mempunyai pengaruh terhadap pembinaan pribadi. Thouless
(1992), menjelaskan tentang faktor-faktor yang dapat mempengaruhi
religiusitas, yaitu :
a. Pengaruh pendidikan dan berbagai tekanan sosial (faktor sosial)
b. Berbagai pengalaman yang membantu sikap keberagamaan terutama
pengalaman tentang keindahan, keserasian, kebaikan (faktor efektif).
c. Faktor-faktor yang seluruhnya atau sebagian timbul dari kebutuhan yang
tidak terpenuhi terutama kebutuhan terhadap keamanan, cinta kasih, harga
diri, dan ancaman kematian.
11
2.2.3 Dimensi – dimensi religiusitas
Menurut Glock dan Stark (dalam Ancok, 2005), ada 5 dimensi
religiusitas (keagamaan) yaitu :
a. Dimensi keyakinan (Iman)
Dimensi ini berisi pengharapan-pengharapan dimana orang religius
berpegang teguh pada pandangan teologis tertentu dan mengakui
kebenaran doktrin tersebut. Misalnya keyakinan akan adanya malaikat,
surga dan neraka.
b. Dimensi peribadatan (Islam)
Dimensi ini mencakup perilaku pemujaan, pelaksanaan ritus formal
keagamaan,
ketaatan
dan
hal-hal
yang
dilakukan
orang
untuk
menunjukkan komitmen terhadap agama yang dianutnya. ,Praktik-praktik
keagamaan ini terdiri atas dua kelas, yaitu :
1. Ritual, mengacu kepada seperangkat ritus, tindakan keagamaan formal
dan praktik-praktik suci yang semua mengharapkan para pemeluk
melaksanakannya.
2. Ketaatan, apabila aspek ritual dari komitmen sangat formal dan khas,
publik, semua agama yang dikenal juga mempunyai seperangkat tindakan
persembahan dan kontemplasi personal yang relatif spontan, informal dan
khas pribadi.
c. Dimensi penghayatan (Ihsan)
Dimensi ini berkaitan dengan pengalaman keagamaan, perasaan, persepsi
dan sensasi yang dialami seseorang atau didefinisikan oleh suatu
12
kelompok keagamaan (atau masyarakat) yang melihat komunikasi,
walaupun kecil, dalam suatu esensi ketuhanan yaitu dengan Tuhan,
kenyataan terakhir, dengan otoritas transedental.
d. Dimensi Pengetahuan Agama
Dimensi ini mengacu pada harapan bagi orang-orang yang beragama
paling tidak memiliki sejumlah minimal pengetahuan mengenai dasardasar keyakinan, ritus-ritus, kitab suci dan tradisi-tradisi.
e. Dimensi Konsekuensi
Dimensi
ini
mengacu
pada
identifikasi
akibat-akibat
keyakinan
keagamaan, praktik, pengalaman dan pengetahuan seseorang dari hari ke
hari.
Dengan
kata
lain,
sejauh
mana
implikasi
ajaran
agama
mempengaruhi perilakunya.
2.2.4 Perspektif Islam tentang Religiusitas
Perspektif Islam tentang religiusitas dijelaskan dalam Surat Al-Baqarah
: (208), yang artinya :


  





   
  
“Hai orang-orang yang beriman masuklah kamu ke dalam
Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu turut
langkah-langkah syeitan. Sesungguhnya syeitan itu musuh
nyata bagimu” (Al-Baqarah :208).
Islam menyuruh umatnya untuk beragama secara menyeluruh, tidak
hanya pada satu aspek saja melainkan terjalin secara harmonis dan
13
berkesinambungan. Islam sebagai suatu sistem yang menyeluruh terdiri dari
beberapa aspek atau dimensi. Setiap muslim baik dalam berfikir, bersikap
maupun bertindak harus didasarkan pada Islam.
Esensi Islam adalah tauhid atau pengesaan Tuhan, tindakan yang
menegaskan Allah Yang Maha Esa, pencipta yang mutlak dan transeden,
penguasa segala yang ada. Searah dengan pandangan Islam, Glock dan Stark
(dalam Ancok dan Suroso, 2005) menilai bahwa kepercayaan keagamaan
adalah jantungnya dimensi keyakinan.
Suroso (dalam Ancok dan Suroso , 2005) menyatakan bahwa rumusan
Glock dan Stark yang membagi keberagaman menjadi lima dimensi dalam
tingkat tertentu mempunyai kesesuaian dengan Islam. Keberagaman dalam
Islam bukan hanya diwujudkan dalam bentuk ibadah ritual saja, tapi juga
dalam aktivitas-aktivitas lainnya. Sebagai suatu sistem Islam mendorong
pemeluknya untuk beragama secara menyeluruh pula.
Dimensi keyakinan dapat disejajarkan dengan akidah, dimensi praktik
agama disejajarkan dengan syariah dan dimensi pengamalan dengan akhlak,
dimensi pengetahuan dengan Ilmu dan dimensi pengalaman dengan ihsan
(penghayatan), Suroso (dalam Ancok dan Suroso, 2005).
 Dimensi keyakinan atau akidah Islam menunjuk pada seberapa tingkat
keyakinan Muslim terhadap kebenaran ajaran-ajaran agamanya, terutama
terhadap ajaran yang bersifat fundamental dan dogmatik. Di dalam
keberislaman, isi dimensi ini menyangkut keyakinan tentang allah, para
14
Malaikat, Nabi dan Rasul, kitab-kitab Allah, surga dan neraka, serta qadha
dan qadar.
 Dimensi peribadatan (praktik agama) atau syariah menunjuk pada
seberapa tingkat kepatuhan Muslim dalam mengerjakan kegiatan-kegiatan
ritual sebagaimana disuruh dan dianjurkan oleh agamanya. Dalam
keberislaman, dimensi peribadatan menyangkut pelaksanaan shalat, puasa,
zakat, haji, membaca Alquran, doa, zikir, dan sebagainya.
 Dimensi pengamalan atau akhlak menunjuk pada seberapa tingkatan
Muslim berperilaku dimotivasi oleh ajaran-ajaran agamanya, yaitu
bagaimana individu berelasi dengan dunianya terutama dengan manusia
lainnya. Dalam keberislaman, dimensi ini meliputi perilaku suka
menolong,
bekerjasama,
berderma,
menyejahtrakan
dan
menumbuhkembangkan orang lain, menegakkan keadilan dan kebenaran,
berlaku
jujur,
memaafkan,
menjaga
lingkungan
hidup,
menjaga
amanat,tidak mencuri, tidak korupsi, tidak menipu, tidak berjudi, tidak
meminum minuman yang memabukkan, mematuhi norma Islam dalam
perilaku seksual, berjuang untuk hidup sukses menurut ukuran Islam dan
sebagainya. Di dalam dimensi pengamalan atau akhlak tercakup dua
dimensi lainnya yaitu :
 Dimensi pengetahuan atau Ilmu menunjuk pada seberapa tingkat
pengetahuan
dan pemahaman Muslim terhadap ajaran-ajaran
agamanya, terutama mengenai ajaran-ajaran pokok dari agamanya,
terutama mengenai ajaran pokok dari agamanya sebagaimana
15
termuat dalam kitab sucinya. Dalam keberislaman, dimensi ini
menyangkut tentang pengetahuan tentang isi Alquran, pokokpokok ajaran yang harus diimani dan dilaksanakan (rukun Iman
dan rukun Islam), hukum-hukum Islam, Sejarah Islam dan
sebagainya.
 Dimensi pengalaman atau Ihsan menunjuk pada seberapa jauh
tingkat Muslim dalam merasakan dan mengalami perasaanperasaan
dan
pengalaman-pengalaman
religius.
Dalam
keberislaman, dimensi ini terwujud dalam perasaan dekat dengan
Allah, perasaan doa-doanya sering terkabul, perasaan tentram
bahagia karena menuhankan Allah, perasaan bertawakal (pasrah
diri secara positif) kepada Allah, perasaan khusuk ketika
melaksanakan shalat dan doa, perasaan tergetar ketika mendengar
adzan atau ayat-ayat alquran, perasaan bersyukur kepada Allah,
perasaan mendapat peringatan atau pertolongan dari Allah.
Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa dimensidimensi religiusitas dalam Islam yaitu dimensi keyakinan atau akidah Islam,
dimensi peribadatan (praktik agama) atau syariah, dimensi pengamalan atau
akhlak, dimensi pengetahuan atau Ilmu dan dimensi pengalaman atau
penghayatan.
16
2.3. Pola Asuh Orang Tua
2.3.1. Pengertian
Pada dasarnya orang tua memiliki harapan, agar anak-anaknya
tumbuh dan berkembang menjadi anak yang berguna, karena itu anak harus
memahami, menghayati, melaksanakan, dan mempertahankan nilai-nilai
luhur yang diyakini kebenarannya. Para orang tua menginginkan anaknya
dapat membedakan yang baik dan yang tidak baik, memiliki motivasi
mencapai cita-cita. Semua harapan itu dapat tercapai apabila orang tua
menyadari peran dan tanggung jawabnya terhadap perkembangan
kepribadian anak.
Keluarga merupakan unit terkecil dalam masyarakat sebagai tempat
tumbuh kembang anak secara fisik, emosi, sosial, moral, intelektual dan
spiritual. Lingkungan keluarga merupakan tempat anak mengembangkan
diri sebelum anak berinteraksi dengan dunia luar. Menurut Soetjipto (dalam
Muryono, 2011) fungsi keluarga ada lima yaitu:
(1) Sebagai tempat pertumbuhan jiwa dan raga manusia,
(2) Tempat pemupukan jiwa keluarga yang diwujudkan dalam bentuk
gotong royong,
(3) Tempat pemupukan kebudayaan,
(4) Tempat pemupukan kepribadian anak dan
(5) Sebagai lembaga pendidikan.
17
Kelima fungsi keluarga diatas penekanannya pada cara pengasuhan
anak. Sedangkan pengertian pola asuh menurut Markum (1999) adalah cara
orangtua mendidik anak dan membesarkan anak. Sedangkan menurut
Suardiman (Iswantini, 2002) mengatakan pola asuh adalah suatu cara orang
tua menjalankan peranan yang penting bagi perkembangan anak
selanjutnya, dengan memberi bimbingan dan pengalaman serta memberikan
pengawasan agar anak dapat menghadapi kehidupan yang akan datang
dengan sukses.
Berdasarkan paparan di atas menunjukkan bahwa pola asuh
merupakan interaksi antara orangtua dan anak dimana orangtua memiliki
kegiatan pengasuhan pada anak agar dapat menyelesaikan tugas-tugas
perkembangannya. Pengasuhan tersebut berupa pembimbingan, kasih
sayang, penerapan disiplin, pemberian hadiah dan lain sebagainya.
2.3.2 Macam-macam Pola Asuh Orang Tua
Menurut Shapiro (dalam Muryono, 2009) dalam mempelajari
interaksi orang tua terhadap anak-anaknya, membagi cara orangtua dalam
pengasuhan anak, yaitu :
1). Otoriter, dicirikan dengan pemberlakuan peraturan-peraturan yang ketat
untuk dipatuhi oleh anak. Pengasuhan otoriter yang ketat ini tidak
memperlihatkan keberhasilan, karena anak cenderung tidak bahagia,
menyendiri dan sulit mempercayai orang lain.
2). Permissif, dicirikan dengan sikap orang tua yang berusaha menerima
dan mendidik anak sebaik mungkin, tetapi sangat pasif
18
ketika ada
masalah yang perlu ditanggapi dan tidak dapat memberikan saran yang
jelas bagi anak.
3). Demokratis,
dicirikan
dengan
sikap
orang
tua
berusaha
menyeimbangkan antara aturan yang jelas dengan lingkungan rumah
yang baik.
Pengasuhan
ini
memberikan
keseimbangan
antara
penghargaan kemandirian anak dengan tuntutan untuk bertanggung
jawab yang tinggi kepada keluarga, teman, dan masyarakat, sehingga
anak dapat mandiri, percaya diri, imajinatif dan mudah beradaptasi.
Sedangkan menurut Hurlock (dalam Mansur, 2005) macam-macam cara
dalam pola asuh yang dilakukan oleh orangtua yaitu:
1) Pola asuh otoriter
Pola asuh otoriter adalah pola asuh yang ditandai dengan cara mengasuh
anak-anaknya dengan aturan-aturan ketat, seringkali memaksa anak untuk
berprilaku seperti dirinya (orangtua), kebebasan untuk bertindak atas nama
diri sendiri dibatasi. Anak jarang diajak berkomunikasi dan diajak ngobrol,
bercerita-cerita, bertukar pikiran dengan orangtua, orangtua malah
menganggap bahwa semua sikapnya yang dilakukan sudah benar sehingga
tidak perlu anak dimintai pertimbangan atas semua keputusan yang
menyangkut permasalahan anak- anaknya. Pola asuh yang bersifat otoriter
ini juga ditandai dengan hukuman-hukumannya yang dilakukan dengan
keras, mayoritas hukuman tersebut sifatnya hukuman badan dan anak juga
diatur yang membatasi perilakunya. Orangtua dengan pola asuh otoriter
19
jarang atau tidak pernah memberi hadiah yang berupa pujian maupun barang
meskipun anak telah berbuat sesuai dengan harapan orangtua.
2) Pola asuh yang demokratis
Pola asuh demokratis adalah pola asuh yang ditandai dengan pengakuan
orangtua terhadap kemampuan anak-anaknya, dan kemudian anak diberi
kesempatan untuk tidak selalu tergantung kepada orangtua. Dalam pola asuh
seperti ini orangtua memberikan sedikit kebebasan kepada anak untuk
memilih apa yang dikehendaki dan apa yang diinginkan yang terbaik bagi
dirinya, anak diperhatikan dan didengarkan saat anak berbicara, dan bila
berpendapat orangtua memberikan kesempatan untuk mendengarkan
pendapatnya, dilibatkan dalam pembicaraan terutam yang menyangkut
dengan
kehidupan
anak
itu
sendiri.
Anak
diberi
kesempatan
mengembangkan control internalnya sehingga sedikit demi sedikit berlatih
untuk bertanggungjawab terhadap dirinya sendiri.
3) Pola asuh permisif
Pola asuh ini adalah pola asuh dengan cara orangtua mendidik anak secara
bebas, anak dianggap orang dewasa atau muda, ia diberi kelonggaran seluasluasnya apa saja yang dikendaki. Kontrol orangtua terhadap anak sangat
lemah, juga tidak memberikan bimbingan pada anaknya. Semua apa yang
dilakukan oleh anak adalah benar dan tidakperlu mendapat teguran, arahan,
atau bimbingan. Orangtua beranggapan bahwa anak akan belajar dari
kesalahannya. Orangtua dengan pola asuh permisif tidak memberikan
hadiah, karena penghargaan merupakan hadiah.
20
Dari berbagai macam pola asuh yang dikemukakan di atas, penulis
hanya akan mengemukakan tiga macam saja, yaitu pola asuh otoriter,
demokratis dan permissif. Hal tersebut dilakukan dengan tujuan agar
pembahasan menjadi lebih terfokus dan jelas
2.3.3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pola Asuh
Menurut Mindel (dalam Walker, 1992) yang menyatakan bahwa ada
beberapa faktor yang mempengaruhi pola asuh orangtua terhadap anak
diantaranya :
a.
Budaya setempat
Lingkungan masyarakat sekitar tempat tinggal memiliki peran yang
cukup besar dalam membentuk arah pengasuhan orangtua terhadap anaknya.
Dalam hal ini mencakup segala atura, norma, adat dan budaya yang
berkembang didalamnya.
b.
Status ekonomi
Status ekonomi suatu keluarga juga mempunyai peranan dalam pola
asuh, dimana dengan perekonomian yang cukup, kesempatan dan fasilitas
yang diberikan serta lingkungan material yang mendukung atau bahkan pada
keluarga yang mengalami banyak keterbatasan seccara materii atau ekonomi
cenderung mengarahkan pola asuhan orangtua ke bentuk perlakuan tertentu
yang dianggap sesuai.
c.
Letak geografis norma etis
Letak suatu daerah beserta norma yang berkembang dalam
masyarakatnya memiliki peran yang cukup besar dalam membentuk pola
21
pengasuhan orangtua terhadap anaknya. Daerah dan penduduk pada dataran
tinggi tentu memiliki perbedaan karakteristik dengan orang-orang yang
tinggal didataran rendah sesuai dengan tuntutan dan tradisi yang
dikembangkan pada masing-masing daerah tersebut.
d.
Religiusitas
Religiusitas pada orangtua dapat menjadi pemicu diterapkannya suatu
pola pengasuhan dalam keluarga. Keluarga dan orangtua yang menganut
suatu paham atau agama dan keyakinan religius tertentu senantiasa berusaha
agar anak pada akhirnya nanti juga mengikutinya.
e.
Gaya hidup
Suatu nilai dan norma tertentu yang dianut dalam gaya hidup sehari-
hari sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan yang mengembangkan suatu
gaya hidup tertentu. Gaya hidup masyarakat dipedesaan dan di kota besar
cenderung memiliki ragam dan cara yang berbeda dalam mengatur interaksi
orangtua dan anak dalam keluarga.
2.3.4. Perspektif Pola Asuh Orangtua Menurut Islam
Anak merupakan karunia Allah SWT sebagai hasil pernikahan antara
ayah dan ibu, dalam hal ini anak adalah buah hati, tempat bergantung dihari
tua. Anak adalah titipan dari Allah SWT yang harus dijaga, dilindungi, diberi
pendidikan untuk bekal kehidupan dunia dan akhirat. Orangtua mempunyai
kewajiban untuk mengurus mereka dan Allah akan mempertanyakan di hari
kiamat nanti. Dari Ibnu Umar, ia berkata ”Saya mendengar Rasulullah SAW
bersabda”:
22
Artinya: Setiap kalian adalah pemimpin dan akan ditanyakan
tentang kepemimpinannya. Imam adalah pemimpin dan akan
ditanyakan tentang kepemimpinannya. Seorang suami adalah
pemimpin di tengah keluarganya dan akan ditanyakan
tentang kepemimpinannya. Istri adalah pemimpin di rumah
suaminya dan akan ditanyakan tentang kepemimpinannya.
Pembantu adalah pemimpin dalam harta majikannya dan
akan dipertanyakan tentang kepemimpinannya. Setiap kalian
adalah pemimpin dan akan ditanyakan tentang
kepemimpinannya. (Hadis shahih riwayat Al Bukhari (2/317)
dan Muslim (1829)).
Orangtua dalam memberi pendidikan pada anak haruslah dengan kasih
sayang karena pola asuh dalam mendidik anak akan sangat berpengaruh bagi
pembentukan kepribadiannya. Jika pola asuh tidak baik diterapkan justru
dapat menimbulkan rasa takut dan rasa tidak tenang dalam jiwa anak-anak
dalam berbagai situasi dan itu terjadi berulang-ulang. Maka pola asuh yang
tidak baik yang orang tua berikan kepada anak akan membuat anak
mengalami kekacauan jiwa dan menunda berbagai perkembangan anak
sehingga jelas berpengaruh bagi kesehatan jiwa anak pada kehidupan
mendatang. (Jamaludin, 2001).
Dalam perspektif Islam pola asuh yang dianjurkan adalah pola asuh
yang penuh kasih sayang dalam hal ini adalah pola asuh orangtua demokratis
lebih jelasnya dalam firman Allah dijelaskan bahwasanya orangtua harus
menyayangi anak-anaknya. Dalam surat Al –Balad ayat 17- 18 :












 
Artinya: Dan dia termasuk orang-orang yang beriman dan saling
berpesan untuk bersabar dan saling berpesan untuk berkasih
23
sayang. Mereka (orang-orang yang beriman dan saling berpesan
itu) adalah golongan kanan.
Anak yang hidup dalam kasih sayang mereka akan tumbuh menjadi
orang yang penuh kasih sayang, sebaliknya anak yang tumbuh dalam
kekerasan dan tekanan mereka akan tumbuh dengan keras dan penentang.
Anak adalah Anugerah sudah sepatutnya kedua Orangtua menjaga mereka
dengan memberikan pola asuh yang baik dan bijaksana sesuai dengan
tuntunan agama dan menjadikan anak-anak yang soleh dan solihah serta
menjadikan ketaqwaan
yang lebih kepada Allah.
Demikian Allah
menganjurkan kepada umat manusia untuk senantiasa menjaga dan mendidik
anak-anak mereka dengan kasih sayang dan perlindungan yang baik agar
anak-anak mereka menjadi anak yang bermanfaat di dunia mauppun di
akhirat. Tentunya Orangtua harus mendidik anak-anak mereka dengan pola
asuh yang baik agar mereka menjadi manusia yang soleh dan solihah
(Asmaliayah, 2009).
2.4. Kerangka Berpikir
Religiusitas seseorang tidak hanya dilihat dari sesering apa seseorang
itu mejalankan ibadah, tidak dapat juga hanya melihat bagaimana ia
berperilaku, sesuai atau tidak dengan ajaran agamanya. Ternyata memang
ada beberapa dimensi yang menjadi akar-akar dari tingkat religiusitas
seseorang. Glock & R. Stark (dalam Ancok & Fuat, 2008) menerangkan
tentang lima dimensi keberagamaan atau religiusitas, yaitu dimensi
keyakinan, dimensi peribadatan, dimensi pengalaman, dimensi pengamalan
dan dimensi pengetahuan agama. Rumusan ini bermaksud untuk melihat
24
religiusitas seseorang tidak hanya dari satu atau dua dimensi saja, tetapi
seluruh dimensinya. Begitu pula dengan religiusitas dalam Islam, agama
Islam memang mengharuskan umatnya untuk beragama secara menyeluruh,
tidak setengah-setengah, tidak hanya diwujudkan dalam bentuk
ibadah
ritualnya saja, atau dalam bentuk pengetahuan tentang agamanya saja. Maka
dari itu, Ancok dan Fuat (2008) mengadaptasikan rumusan ini dengan
keberagamaan Islam dengan mensejajarkan dimensi keyakinan dengan
akidah, dimensi praktik agama disejajarkan dengan syariah, dimensi
pengamalan disejajarkan dengan akhlak, dan dua dimensi lainnya
pengalaman serta pengetahuan.
Selain religiusitas variabel lain yang diukur dalam penelitian ini adalah
pola asuh. Pola asuh dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya yaitu
budaya setempat, status ekonomi, letak geografis norma etis, religiusitas dan
gaya hidup. (Mindel, dalam Walker, 1992).
Terciptanya religiusitas pada orang tua maka akan mempengaruhi orang
tua dalam bersikap dan berperilaku termasuk dalam memberikan pola asuh
pada anak. Sedangkan pengertian pola asuh adalah pola interaksi antara
orang tua dan anak, yaitu bagaimana cara sikap atau perilaku orang tua saat
berinteraksi dengan anak, termasuk cara penerapan aturan, mengajarkan
nilai/ norma, memberikan perhatian dan kasih sayang serta menunjukkan
sikap dan perilaku baik sehingga dijadikan panutan bagi anaknya (Yusuf,
2007). Menurut Gunarsa (2000) bahwa dalam berinteraksi dengan anak,
orang tua dengan tidak sengaja atau tanpa disadari mengambil sikap tertentu.
25
Anak melihat dan menerima sikap orang tuanya dan memperhatikan suatu
reaksi dalam tingkah lakunya yang dibiasakan, sehingga akhirnya menjadi
suatu pola kepribadian, dalam keluarga ada orang tua yang cenderung
menerapkan pola perlakuan demokratis, ada yang permisif, dan ada pula
sejumlah orang tua yang bersikap otoriter.
Islam memiliki pandangan mengenai pola asuh terhadap anak, agama
Islam tidak menganjurkan orang tua bersikap terlalu keras dan otoriter
kepada anak. Karena hal ini akan menyebabkan anak takut kepada orang tua,
dan tidak menghormati orang tua. Pola asuh permissif dan pola asuh otoriter
sangat dibenci oleh Islam, karena akan melahirkan generasi yang lemah dan
tidak siap dalam menghadapi masa depan, dan akan menyebabkan anak
tidak berkembang, sehingga besar kemungkinan anak akan terjerumus
kepada jalan yang tidak sesuai dengan syariat Islam dan anak mengalami
kebebasan dan tekanan yang berat. Sedangkan pola asuh demokratis yang
penuh dengan kasih sayang, meneladani sikap Luqman Al- Hakim dalam
mendidik anak-anaknya, memberikan efek pembiasaan, diskusi, penalaran,
dan penjelasan yang memadai dalam mendidik anak.
Berdasarkan uraian di atas maka disusunlah kerangka berpikir antara
religiusitas dengn pola asuh pada orang tua yang beragama Islam.
26
Gambar 2.1. Bagan kerangka berpikir
Religiusitas
Pola Asuh
Agama Islam
Orang Tua
Dimensi Aqidah
Dimensi Ibadah
Demokratis
Dimensi Amal
Otoriter
Dimensi Ihsan
Permissif
Dimensi Ilmu
2.5 Hipotesis
Hipotesis merupakan pernyataan yang bersifat dugaan, dalam suatu
penelitian, hipotesis
ini berfungsi sebagai jawaban sementara atas pertanyaan penelitian, karena
sifatnya yang sementara itu, maka hipotesis perlu di uji (Sulistiyono, 2009).
Ho : Tidak ada hubungan antara religiusitas dengan pola asuh pada orang
tua yang beragama Islam.
Ha : Ada hubungan antara religiusitas dengan pola asuh pada orang tua
yang beragama Islam.
27
Download