BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Islam Secara etimologis (bahasa), kata Islam merupakan kata Arab, al-Islam, yakni bentuk mashdar (Inggris: abstract noun) dari kata: aslama-yuslimu. Al-islam di sini dimaknai dengan “ketundukkan yang tulus” atau “kepasrahan”. Aslama juga dimaknai dengan mengikhlaskan agama hanya untuk Allah dan Aslama juga diartikan dengan “masuk/memeluk agama Islam”. Kata kerja aslama-yuslimu jika dirunut kembali asalnya adalah kata kerja intransitif dari ‘salima-yaslamu’ yang bermakna “damai” atau “kedamaian” (dalam Faisal, 2007). Azra, dkk (2002) menyatakan bahwa berdasarkan arti katanya, Islam mengandung arti berserah diri, tunduk, patuh dan turut sepenuhnya kepada kehendak Allah, kepatuhan dan ketundukkan kepada Allah itu melahirkan keselamatan dan kesejahteraan diri serta kedamaian kepada sesama manusia dan lingkungannya. Islam merupakan agama yang diturunkan Allah kepada manusia melalui rasul-rasulnya, berisi hukum-hukum yang mengatur hubungan manusia dengan Allah, manusia dengan manusia, dan manusia dengan alam semesta. Departemen Agama RI (2001) menjelaskan bahwa Islam mengandung arti berserah diri, tunduk, patuh, dan taat sepenuhnya kepada kehendak Allah SWT. Kepatuhan dan ketundukkan pada Allah SWT itu melahirkan keselamatan dan kesejahteraan diri serta kedamaian kepada sesama manusia dan lingkungannya. 8 Jadi Islam adalah agama yang menyuruh umatnya untuk berserah diri, tunduk, patuh dan taat kepada kehendak Allah SWT karena dengan ketaatan kepada Allah itu melahirkan keselamatan dan kesejahteraan diri serta kedamaian kepada sesama manusia. 2.2 Religiusitas 2.2.1 Pengertian Agama dan Religiusitas Banyak ahli menyebutkan agama berasal dari bahasa Sansekerta, yaitu “a” yang berarti tidak dan “gama” yang berarti kacau. Maka agama berarti tidak kacau (teratur). Dengan demikian agama itu adalah peraturan, yaitu peraturan yang mengatur keadaan manusia, maupun mengenai sesuatu yang gaib, mengenai budi pekerti dan pergaulan hidup bersama (Ismail, 1997). Menurut Daradjat, agama adalah proses hubungan manusia yang dirasakan terhadap sesuatu yang diyakininya, bahwa sesuatu lebih tinggi dari pada manusia. Sedangkan Glock dan Stark mendefinisikan agama sebagai sistem simbol, sistem keyakinan, sistem nilai, dan sistem perilaku yang terlembaga, yang kesemuanya terpusat pada persoalan-persoalan yang dihayati sebagai yang paling maknawi. Lebih lanjut dijelaskan menurut Hadikusuma dalam Agus (2006) pengertian agama yaitu sebagai ajaran yang diturunkan oleh Tuhan untuk petunjuk bagi umat dalam menjalani kehidupannya. Ada beberapa istilah lain dari agama, antara lain religi, religion (Inggris), dan religie (Belanda) religio/relegare (Latin) dan dien (Arab). Kata Religion (Bahasa Inggris) dan 9 religie (bahasa Belanda) adalah berasal dari bahasa induk dari kedua bahasa tersebut, yaitu Latin “religio” dari akar kata “relegare” yang berarti mengikat (Kahmad, 2002). Dari istilah agama inilah kemudian muncul apa yang dinamakan religiusitas. Glock dan Stark merumuskan religiusitas sebagai komitmen religius (yang berhubungan dengan agama atau keyakinan iman), yang dapat dilihat melalui aktivitas atau perilaku individu yang bersangkutan dengan agama atau keyakinan iman yang dianut. Religiusitas seringkali diidentikkan dengan keberagamaan. Religiusitas diartikan sebagai seberapa jauh pengetahuan, seberapa kokoh keyakinan, seberapa pelaksanaan ibadah dan kaidah dan seberapa dalam penghayatan atas nama agama yang dianutnya. Bagi seorang Muslim, religiusitas dapat diketahui dari seberapa jauh pengetahuan, keyakinan, pelaksanaan dan penghayatan atas agama Islam (Nashori dan Mucharam, 2002). Dari pengertian diatas maka religiusitas dalam Islam menyangkut lima hal yakni aqidah, ibadah, amal, akhlak (ihsan) dan pengetahuan. Aqidah meyangkut keyakinan kepada Allah, Malaikat, Rasul, Al-Qur’an, dan percaya pada Qada dan Qadar. Ibadah menyangkut pelaksanaan hubungan antar manusia dengan Allah. Amal menyangkut pelaksanaan hubungan manusia dengan sesama makhluk. Akhlak merujuk pada spontanitas tanggapan atau perilaku seseorang atau rangsangan yang hadir padanya, sementara Ihsan merujuk pada situasi dimana seseorang merasa sangat dekat dengan Allah SWT. Ihsan merupakan bagian dari akhlak. Bila akhlak positif seseorang 10 mencapai tingkatan yang optimal, maka ia memperoleh berbagai pengalaman dan penghayatan dalam agamanya, itulah ihsan dan merupakan akhlak tingkat tinggi. Selain keempat hal diatas ada lagi hal penting harus di ketahui dalam religiusitas Islam yakni pengetahuan keagamaan seseorang. 2.2.2 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Religiusitas Daradjat (2003), mengungkapkan bahwa pembinaan kehidupan beragama tidak dapat dilepaskan dari pembinaan kepribadian secara keseluruhan. Karena kehidupan beragama itu adalah bagian dari kehidupan itu sendiri, sikap atau tindakan seseorang dalam hidupnya tidak lain dari pantulan pribadinya yang tumbuh dan berkembang sejak lahir, bahkan telah mulai sejak dalam kandungan. Semua pengalaman yang dilalui sejak dalam kandungan mempunyai pengaruh terhadap pembinaan pribadi. Thouless (1992), menjelaskan tentang faktor-faktor yang dapat mempengaruhi religiusitas, yaitu : a. Pengaruh pendidikan dan berbagai tekanan sosial (faktor sosial) b. Berbagai pengalaman yang membantu sikap keberagamaan terutama pengalaman tentang keindahan, keserasian, kebaikan (faktor efektif). c. Faktor-faktor yang seluruhnya atau sebagian timbul dari kebutuhan yang tidak terpenuhi terutama kebutuhan terhadap keamanan, cinta kasih, harga diri, dan ancaman kematian. 11 2.2.3 Dimensi – dimensi religiusitas Menurut Glock dan Stark (dalam Ancok, 2005), ada 5 dimensi religiusitas (keagamaan) yaitu : a. Dimensi keyakinan (Iman) Dimensi ini berisi pengharapan-pengharapan dimana orang religius berpegang teguh pada pandangan teologis tertentu dan mengakui kebenaran doktrin tersebut. Misalnya keyakinan akan adanya malaikat, surga dan neraka. b. Dimensi peribadatan (Islam) Dimensi ini mencakup perilaku pemujaan, pelaksanaan ritus formal keagamaan, ketaatan dan hal-hal yang dilakukan orang untuk menunjukkan komitmen terhadap agama yang dianutnya. ,Praktik-praktik keagamaan ini terdiri atas dua kelas, yaitu : 1. Ritual, mengacu kepada seperangkat ritus, tindakan keagamaan formal dan praktik-praktik suci yang semua mengharapkan para pemeluk melaksanakannya. 2. Ketaatan, apabila aspek ritual dari komitmen sangat formal dan khas, publik, semua agama yang dikenal juga mempunyai seperangkat tindakan persembahan dan kontemplasi personal yang relatif spontan, informal dan khas pribadi. c. Dimensi penghayatan (Ihsan) Dimensi ini berkaitan dengan pengalaman keagamaan, perasaan, persepsi dan sensasi yang dialami seseorang atau didefinisikan oleh suatu 12 kelompok keagamaan (atau masyarakat) yang melihat komunikasi, walaupun kecil, dalam suatu esensi ketuhanan yaitu dengan Tuhan, kenyataan terakhir, dengan otoritas transedental. d. Dimensi Pengetahuan Agama Dimensi ini mengacu pada harapan bagi orang-orang yang beragama paling tidak memiliki sejumlah minimal pengetahuan mengenai dasardasar keyakinan, ritus-ritus, kitab suci dan tradisi-tradisi. e. Dimensi Konsekuensi Dimensi ini mengacu pada identifikasi akibat-akibat keyakinan keagamaan, praktik, pengalaman dan pengetahuan seseorang dari hari ke hari. Dengan kata lain, sejauh mana implikasi ajaran agama mempengaruhi perilakunya. 2.2.4 Perspektif Islam tentang Religiusitas Perspektif Islam tentang religiusitas dijelaskan dalam Surat Al-Baqarah : (208), yang artinya : “Hai orang-orang yang beriman masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syeitan. Sesungguhnya syeitan itu musuh nyata bagimu” (Al-Baqarah :208). Islam menyuruh umatnya untuk beragama secara menyeluruh, tidak hanya pada satu aspek saja melainkan terjalin secara harmonis dan 13 berkesinambungan. Islam sebagai suatu sistem yang menyeluruh terdiri dari beberapa aspek atau dimensi. Setiap muslim baik dalam berfikir, bersikap maupun bertindak harus didasarkan pada Islam. Esensi Islam adalah tauhid atau pengesaan Tuhan, tindakan yang menegaskan Allah Yang Maha Esa, pencipta yang mutlak dan transeden, penguasa segala yang ada. Searah dengan pandangan Islam, Glock dan Stark (dalam Ancok dan Suroso, 2005) menilai bahwa kepercayaan keagamaan adalah jantungnya dimensi keyakinan. Suroso (dalam Ancok dan Suroso , 2005) menyatakan bahwa rumusan Glock dan Stark yang membagi keberagaman menjadi lima dimensi dalam tingkat tertentu mempunyai kesesuaian dengan Islam. Keberagaman dalam Islam bukan hanya diwujudkan dalam bentuk ibadah ritual saja, tapi juga dalam aktivitas-aktivitas lainnya. Sebagai suatu sistem Islam mendorong pemeluknya untuk beragama secara menyeluruh pula. Dimensi keyakinan dapat disejajarkan dengan akidah, dimensi praktik agama disejajarkan dengan syariah dan dimensi pengamalan dengan akhlak, dimensi pengetahuan dengan Ilmu dan dimensi pengalaman dengan ihsan (penghayatan), Suroso (dalam Ancok dan Suroso, 2005). Dimensi keyakinan atau akidah Islam menunjuk pada seberapa tingkat keyakinan Muslim terhadap kebenaran ajaran-ajaran agamanya, terutama terhadap ajaran yang bersifat fundamental dan dogmatik. Di dalam keberislaman, isi dimensi ini menyangkut keyakinan tentang allah, para 14 Malaikat, Nabi dan Rasul, kitab-kitab Allah, surga dan neraka, serta qadha dan qadar. Dimensi peribadatan (praktik agama) atau syariah menunjuk pada seberapa tingkat kepatuhan Muslim dalam mengerjakan kegiatan-kegiatan ritual sebagaimana disuruh dan dianjurkan oleh agamanya. Dalam keberislaman, dimensi peribadatan menyangkut pelaksanaan shalat, puasa, zakat, haji, membaca Alquran, doa, zikir, dan sebagainya. Dimensi pengamalan atau akhlak menunjuk pada seberapa tingkatan Muslim berperilaku dimotivasi oleh ajaran-ajaran agamanya, yaitu bagaimana individu berelasi dengan dunianya terutama dengan manusia lainnya. Dalam keberislaman, dimensi ini meliputi perilaku suka menolong, bekerjasama, berderma, menyejahtrakan dan menumbuhkembangkan orang lain, menegakkan keadilan dan kebenaran, berlaku jujur, memaafkan, menjaga lingkungan hidup, menjaga amanat,tidak mencuri, tidak korupsi, tidak menipu, tidak berjudi, tidak meminum minuman yang memabukkan, mematuhi norma Islam dalam perilaku seksual, berjuang untuk hidup sukses menurut ukuran Islam dan sebagainya. Di dalam dimensi pengamalan atau akhlak tercakup dua dimensi lainnya yaitu : Dimensi pengetahuan atau Ilmu menunjuk pada seberapa tingkat pengetahuan dan pemahaman Muslim terhadap ajaran-ajaran agamanya, terutama mengenai ajaran-ajaran pokok dari agamanya, terutama mengenai ajaran pokok dari agamanya sebagaimana 15 termuat dalam kitab sucinya. Dalam keberislaman, dimensi ini menyangkut tentang pengetahuan tentang isi Alquran, pokokpokok ajaran yang harus diimani dan dilaksanakan (rukun Iman dan rukun Islam), hukum-hukum Islam, Sejarah Islam dan sebagainya. Dimensi pengalaman atau Ihsan menunjuk pada seberapa jauh tingkat Muslim dalam merasakan dan mengalami perasaanperasaan dan pengalaman-pengalaman religius. Dalam keberislaman, dimensi ini terwujud dalam perasaan dekat dengan Allah, perasaan doa-doanya sering terkabul, perasaan tentram bahagia karena menuhankan Allah, perasaan bertawakal (pasrah diri secara positif) kepada Allah, perasaan khusuk ketika melaksanakan shalat dan doa, perasaan tergetar ketika mendengar adzan atau ayat-ayat alquran, perasaan bersyukur kepada Allah, perasaan mendapat peringatan atau pertolongan dari Allah. Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa dimensidimensi religiusitas dalam Islam yaitu dimensi keyakinan atau akidah Islam, dimensi peribadatan (praktik agama) atau syariah, dimensi pengamalan atau akhlak, dimensi pengetahuan atau Ilmu dan dimensi pengalaman atau penghayatan. 16 2.3. Pola Asuh Orang Tua 2.3.1. Pengertian Pada dasarnya orang tua memiliki harapan, agar anak-anaknya tumbuh dan berkembang menjadi anak yang berguna, karena itu anak harus memahami, menghayati, melaksanakan, dan mempertahankan nilai-nilai luhur yang diyakini kebenarannya. Para orang tua menginginkan anaknya dapat membedakan yang baik dan yang tidak baik, memiliki motivasi mencapai cita-cita. Semua harapan itu dapat tercapai apabila orang tua menyadari peran dan tanggung jawabnya terhadap perkembangan kepribadian anak. Keluarga merupakan unit terkecil dalam masyarakat sebagai tempat tumbuh kembang anak secara fisik, emosi, sosial, moral, intelektual dan spiritual. Lingkungan keluarga merupakan tempat anak mengembangkan diri sebelum anak berinteraksi dengan dunia luar. Menurut Soetjipto (dalam Muryono, 2011) fungsi keluarga ada lima yaitu: (1) Sebagai tempat pertumbuhan jiwa dan raga manusia, (2) Tempat pemupukan jiwa keluarga yang diwujudkan dalam bentuk gotong royong, (3) Tempat pemupukan kebudayaan, (4) Tempat pemupukan kepribadian anak dan (5) Sebagai lembaga pendidikan. 17 Kelima fungsi keluarga diatas penekanannya pada cara pengasuhan anak. Sedangkan pengertian pola asuh menurut Markum (1999) adalah cara orangtua mendidik anak dan membesarkan anak. Sedangkan menurut Suardiman (Iswantini, 2002) mengatakan pola asuh adalah suatu cara orang tua menjalankan peranan yang penting bagi perkembangan anak selanjutnya, dengan memberi bimbingan dan pengalaman serta memberikan pengawasan agar anak dapat menghadapi kehidupan yang akan datang dengan sukses. Berdasarkan paparan di atas menunjukkan bahwa pola asuh merupakan interaksi antara orangtua dan anak dimana orangtua memiliki kegiatan pengasuhan pada anak agar dapat menyelesaikan tugas-tugas perkembangannya. Pengasuhan tersebut berupa pembimbingan, kasih sayang, penerapan disiplin, pemberian hadiah dan lain sebagainya. 2.3.2 Macam-macam Pola Asuh Orang Tua Menurut Shapiro (dalam Muryono, 2009) dalam mempelajari interaksi orang tua terhadap anak-anaknya, membagi cara orangtua dalam pengasuhan anak, yaitu : 1). Otoriter, dicirikan dengan pemberlakuan peraturan-peraturan yang ketat untuk dipatuhi oleh anak. Pengasuhan otoriter yang ketat ini tidak memperlihatkan keberhasilan, karena anak cenderung tidak bahagia, menyendiri dan sulit mempercayai orang lain. 2). Permissif, dicirikan dengan sikap orang tua yang berusaha menerima dan mendidik anak sebaik mungkin, tetapi sangat pasif 18 ketika ada masalah yang perlu ditanggapi dan tidak dapat memberikan saran yang jelas bagi anak. 3). Demokratis, dicirikan dengan sikap orang tua berusaha menyeimbangkan antara aturan yang jelas dengan lingkungan rumah yang baik. Pengasuhan ini memberikan keseimbangan antara penghargaan kemandirian anak dengan tuntutan untuk bertanggung jawab yang tinggi kepada keluarga, teman, dan masyarakat, sehingga anak dapat mandiri, percaya diri, imajinatif dan mudah beradaptasi. Sedangkan menurut Hurlock (dalam Mansur, 2005) macam-macam cara dalam pola asuh yang dilakukan oleh orangtua yaitu: 1) Pola asuh otoriter Pola asuh otoriter adalah pola asuh yang ditandai dengan cara mengasuh anak-anaknya dengan aturan-aturan ketat, seringkali memaksa anak untuk berprilaku seperti dirinya (orangtua), kebebasan untuk bertindak atas nama diri sendiri dibatasi. Anak jarang diajak berkomunikasi dan diajak ngobrol, bercerita-cerita, bertukar pikiran dengan orangtua, orangtua malah menganggap bahwa semua sikapnya yang dilakukan sudah benar sehingga tidak perlu anak dimintai pertimbangan atas semua keputusan yang menyangkut permasalahan anak- anaknya. Pola asuh yang bersifat otoriter ini juga ditandai dengan hukuman-hukumannya yang dilakukan dengan keras, mayoritas hukuman tersebut sifatnya hukuman badan dan anak juga diatur yang membatasi perilakunya. Orangtua dengan pola asuh otoriter 19 jarang atau tidak pernah memberi hadiah yang berupa pujian maupun barang meskipun anak telah berbuat sesuai dengan harapan orangtua. 2) Pola asuh yang demokratis Pola asuh demokratis adalah pola asuh yang ditandai dengan pengakuan orangtua terhadap kemampuan anak-anaknya, dan kemudian anak diberi kesempatan untuk tidak selalu tergantung kepada orangtua. Dalam pola asuh seperti ini orangtua memberikan sedikit kebebasan kepada anak untuk memilih apa yang dikehendaki dan apa yang diinginkan yang terbaik bagi dirinya, anak diperhatikan dan didengarkan saat anak berbicara, dan bila berpendapat orangtua memberikan kesempatan untuk mendengarkan pendapatnya, dilibatkan dalam pembicaraan terutam yang menyangkut dengan kehidupan anak itu sendiri. Anak diberi kesempatan mengembangkan control internalnya sehingga sedikit demi sedikit berlatih untuk bertanggungjawab terhadap dirinya sendiri. 3) Pola asuh permisif Pola asuh ini adalah pola asuh dengan cara orangtua mendidik anak secara bebas, anak dianggap orang dewasa atau muda, ia diberi kelonggaran seluasluasnya apa saja yang dikendaki. Kontrol orangtua terhadap anak sangat lemah, juga tidak memberikan bimbingan pada anaknya. Semua apa yang dilakukan oleh anak adalah benar dan tidakperlu mendapat teguran, arahan, atau bimbingan. Orangtua beranggapan bahwa anak akan belajar dari kesalahannya. Orangtua dengan pola asuh permisif tidak memberikan hadiah, karena penghargaan merupakan hadiah. 20 Dari berbagai macam pola asuh yang dikemukakan di atas, penulis hanya akan mengemukakan tiga macam saja, yaitu pola asuh otoriter, demokratis dan permissif. Hal tersebut dilakukan dengan tujuan agar pembahasan menjadi lebih terfokus dan jelas 2.3.3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pola Asuh Menurut Mindel (dalam Walker, 1992) yang menyatakan bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi pola asuh orangtua terhadap anak diantaranya : a. Budaya setempat Lingkungan masyarakat sekitar tempat tinggal memiliki peran yang cukup besar dalam membentuk arah pengasuhan orangtua terhadap anaknya. Dalam hal ini mencakup segala atura, norma, adat dan budaya yang berkembang didalamnya. b. Status ekonomi Status ekonomi suatu keluarga juga mempunyai peranan dalam pola asuh, dimana dengan perekonomian yang cukup, kesempatan dan fasilitas yang diberikan serta lingkungan material yang mendukung atau bahkan pada keluarga yang mengalami banyak keterbatasan seccara materii atau ekonomi cenderung mengarahkan pola asuhan orangtua ke bentuk perlakuan tertentu yang dianggap sesuai. c. Letak geografis norma etis Letak suatu daerah beserta norma yang berkembang dalam masyarakatnya memiliki peran yang cukup besar dalam membentuk pola 21 pengasuhan orangtua terhadap anaknya. Daerah dan penduduk pada dataran tinggi tentu memiliki perbedaan karakteristik dengan orang-orang yang tinggal didataran rendah sesuai dengan tuntutan dan tradisi yang dikembangkan pada masing-masing daerah tersebut. d. Religiusitas Religiusitas pada orangtua dapat menjadi pemicu diterapkannya suatu pola pengasuhan dalam keluarga. Keluarga dan orangtua yang menganut suatu paham atau agama dan keyakinan religius tertentu senantiasa berusaha agar anak pada akhirnya nanti juga mengikutinya. e. Gaya hidup Suatu nilai dan norma tertentu yang dianut dalam gaya hidup sehari- hari sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan yang mengembangkan suatu gaya hidup tertentu. Gaya hidup masyarakat dipedesaan dan di kota besar cenderung memiliki ragam dan cara yang berbeda dalam mengatur interaksi orangtua dan anak dalam keluarga. 2.3.4. Perspektif Pola Asuh Orangtua Menurut Islam Anak merupakan karunia Allah SWT sebagai hasil pernikahan antara ayah dan ibu, dalam hal ini anak adalah buah hati, tempat bergantung dihari tua. Anak adalah titipan dari Allah SWT yang harus dijaga, dilindungi, diberi pendidikan untuk bekal kehidupan dunia dan akhirat. Orangtua mempunyai kewajiban untuk mengurus mereka dan Allah akan mempertanyakan di hari kiamat nanti. Dari Ibnu Umar, ia berkata ”Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda”: 22 Artinya: Setiap kalian adalah pemimpin dan akan ditanyakan tentang kepemimpinannya. Imam adalah pemimpin dan akan ditanyakan tentang kepemimpinannya. Seorang suami adalah pemimpin di tengah keluarganya dan akan ditanyakan tentang kepemimpinannya. Istri adalah pemimpin di rumah suaminya dan akan ditanyakan tentang kepemimpinannya. Pembantu adalah pemimpin dalam harta majikannya dan akan dipertanyakan tentang kepemimpinannya. Setiap kalian adalah pemimpin dan akan ditanyakan tentang kepemimpinannya. (Hadis shahih riwayat Al Bukhari (2/317) dan Muslim (1829)). Orangtua dalam memberi pendidikan pada anak haruslah dengan kasih sayang karena pola asuh dalam mendidik anak akan sangat berpengaruh bagi pembentukan kepribadiannya. Jika pola asuh tidak baik diterapkan justru dapat menimbulkan rasa takut dan rasa tidak tenang dalam jiwa anak-anak dalam berbagai situasi dan itu terjadi berulang-ulang. Maka pola asuh yang tidak baik yang orang tua berikan kepada anak akan membuat anak mengalami kekacauan jiwa dan menunda berbagai perkembangan anak sehingga jelas berpengaruh bagi kesehatan jiwa anak pada kehidupan mendatang. (Jamaludin, 2001). Dalam perspektif Islam pola asuh yang dianjurkan adalah pola asuh yang penuh kasih sayang dalam hal ini adalah pola asuh orangtua demokratis lebih jelasnya dalam firman Allah dijelaskan bahwasanya orangtua harus menyayangi anak-anaknya. Dalam surat Al –Balad ayat 17- 18 : Artinya: Dan dia termasuk orang-orang yang beriman dan saling berpesan untuk bersabar dan saling berpesan untuk berkasih 23 sayang. Mereka (orang-orang yang beriman dan saling berpesan itu) adalah golongan kanan. Anak yang hidup dalam kasih sayang mereka akan tumbuh menjadi orang yang penuh kasih sayang, sebaliknya anak yang tumbuh dalam kekerasan dan tekanan mereka akan tumbuh dengan keras dan penentang. Anak adalah Anugerah sudah sepatutnya kedua Orangtua menjaga mereka dengan memberikan pola asuh yang baik dan bijaksana sesuai dengan tuntunan agama dan menjadikan anak-anak yang soleh dan solihah serta menjadikan ketaqwaan yang lebih kepada Allah. Demikian Allah menganjurkan kepada umat manusia untuk senantiasa menjaga dan mendidik anak-anak mereka dengan kasih sayang dan perlindungan yang baik agar anak-anak mereka menjadi anak yang bermanfaat di dunia mauppun di akhirat. Tentunya Orangtua harus mendidik anak-anak mereka dengan pola asuh yang baik agar mereka menjadi manusia yang soleh dan solihah (Asmaliayah, 2009). 2.4. Kerangka Berpikir Religiusitas seseorang tidak hanya dilihat dari sesering apa seseorang itu mejalankan ibadah, tidak dapat juga hanya melihat bagaimana ia berperilaku, sesuai atau tidak dengan ajaran agamanya. Ternyata memang ada beberapa dimensi yang menjadi akar-akar dari tingkat religiusitas seseorang. Glock & R. Stark (dalam Ancok & Fuat, 2008) menerangkan tentang lima dimensi keberagamaan atau religiusitas, yaitu dimensi keyakinan, dimensi peribadatan, dimensi pengalaman, dimensi pengamalan dan dimensi pengetahuan agama. Rumusan ini bermaksud untuk melihat 24 religiusitas seseorang tidak hanya dari satu atau dua dimensi saja, tetapi seluruh dimensinya. Begitu pula dengan religiusitas dalam Islam, agama Islam memang mengharuskan umatnya untuk beragama secara menyeluruh, tidak setengah-setengah, tidak hanya diwujudkan dalam bentuk ibadah ritualnya saja, atau dalam bentuk pengetahuan tentang agamanya saja. Maka dari itu, Ancok dan Fuat (2008) mengadaptasikan rumusan ini dengan keberagamaan Islam dengan mensejajarkan dimensi keyakinan dengan akidah, dimensi praktik agama disejajarkan dengan syariah, dimensi pengamalan disejajarkan dengan akhlak, dan dua dimensi lainnya pengalaman serta pengetahuan. Selain religiusitas variabel lain yang diukur dalam penelitian ini adalah pola asuh. Pola asuh dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya yaitu budaya setempat, status ekonomi, letak geografis norma etis, religiusitas dan gaya hidup. (Mindel, dalam Walker, 1992). Terciptanya religiusitas pada orang tua maka akan mempengaruhi orang tua dalam bersikap dan berperilaku termasuk dalam memberikan pola asuh pada anak. Sedangkan pengertian pola asuh adalah pola interaksi antara orang tua dan anak, yaitu bagaimana cara sikap atau perilaku orang tua saat berinteraksi dengan anak, termasuk cara penerapan aturan, mengajarkan nilai/ norma, memberikan perhatian dan kasih sayang serta menunjukkan sikap dan perilaku baik sehingga dijadikan panutan bagi anaknya (Yusuf, 2007). Menurut Gunarsa (2000) bahwa dalam berinteraksi dengan anak, orang tua dengan tidak sengaja atau tanpa disadari mengambil sikap tertentu. 25 Anak melihat dan menerima sikap orang tuanya dan memperhatikan suatu reaksi dalam tingkah lakunya yang dibiasakan, sehingga akhirnya menjadi suatu pola kepribadian, dalam keluarga ada orang tua yang cenderung menerapkan pola perlakuan demokratis, ada yang permisif, dan ada pula sejumlah orang tua yang bersikap otoriter. Islam memiliki pandangan mengenai pola asuh terhadap anak, agama Islam tidak menganjurkan orang tua bersikap terlalu keras dan otoriter kepada anak. Karena hal ini akan menyebabkan anak takut kepada orang tua, dan tidak menghormati orang tua. Pola asuh permissif dan pola asuh otoriter sangat dibenci oleh Islam, karena akan melahirkan generasi yang lemah dan tidak siap dalam menghadapi masa depan, dan akan menyebabkan anak tidak berkembang, sehingga besar kemungkinan anak akan terjerumus kepada jalan yang tidak sesuai dengan syariat Islam dan anak mengalami kebebasan dan tekanan yang berat. Sedangkan pola asuh demokratis yang penuh dengan kasih sayang, meneladani sikap Luqman Al- Hakim dalam mendidik anak-anaknya, memberikan efek pembiasaan, diskusi, penalaran, dan penjelasan yang memadai dalam mendidik anak. Berdasarkan uraian di atas maka disusunlah kerangka berpikir antara religiusitas dengn pola asuh pada orang tua yang beragama Islam. 26 Gambar 2.1. Bagan kerangka berpikir Religiusitas Pola Asuh Agama Islam Orang Tua Dimensi Aqidah Dimensi Ibadah Demokratis Dimensi Amal Otoriter Dimensi Ihsan Permissif Dimensi Ilmu 2.5 Hipotesis Hipotesis merupakan pernyataan yang bersifat dugaan, dalam suatu penelitian, hipotesis ini berfungsi sebagai jawaban sementara atas pertanyaan penelitian, karena sifatnya yang sementara itu, maka hipotesis perlu di uji (Sulistiyono, 2009). Ho : Tidak ada hubungan antara religiusitas dengan pola asuh pada orang tua yang beragama Islam. Ha : Ada hubungan antara religiusitas dengan pola asuh pada orang tua yang beragama Islam. 27