KONTRAK BAKU PADA ASURANSI SYARIAH DALAM PERSFEKTIF HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN Oleh: ABDUL KARIM MUNTHE NIM : 1611048000023 K O N S E N T R A SI HUKUM BISNIS PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1435 H/2014 M KONTRAK BAKU PADA ASURANSI SYARIAH DALAM PERSFEKTIF HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (SH) Oleh: ABDUL KARIM MUNTHE NIM : 1611048000023 K O N S E N T R A SI HUKUM BISNIS PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1435 H/2014 M i ABSTRAK ABDUL KARIM MUNTHE, NIM: 1611048000023, KONTRAK BAKU PADA ASURANSI SYARIAH DALAM PERSFEKTIF HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN. Konsentrasi Hukum Bisnis, Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1435 H/2014 M. xi +81. Perkembagan asuransi syariah tidak dapat dielakkan seiring dengan perkembagan masyarakat itu sendiri. Usaha asuransi syariah yang berlandaskan pada good faith dari peserta dan perusahaan. Sebab, yang diusahakan adalah jasa. Dasar dari itu semua adalah kontrak yang telah dibakukan oleh perusahaan. Oleh karena itu perlu diteliti apakah kontrak yang dibuat perusahaan telah sesuai dengan perlindungan konsumen. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keadaan polis baku yang dikelaurkan oleh perusahaan asuransi syariah telah sesuai dengan prinsip perlindungan konsumen. Metode yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dengan spesifikasi penelitian yaitu dpreskriptif analitis. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah data primer yang diperoleh dari peraturan perundang-undangan data sekunder berupa buku-buku, kitab-kitab, dan karya tulis ilmiah. Data yang diperoleh kemudian dianalisis secara kualitatif. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) Polis yang dikeluarkan oleh perusahaan asuransi syariah masih ditemukan pencantuman klausula pengalihan tanggung jawab atau kewajiban perusahaan kepada konsumen, penenolakan pengembalian uang, memberi kuasa untuk melakukan tindakan sepihak, pemberian kewenangan untuk mengurangi kegunaan produk atau layanan, menyatakan tunduk pada peraturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau perubahan yang dibuat secara sepihak, pencantuman klausula yang sulit dipahami, dan penafsiran force majeure yang sangat luas, yang dilarang oleh perundang-undangan. (2) Menurut hukum Islam pencantuman kontrak baku tidak dilarang sebagaimana halnya juga dalam peraturan perundang-undangan tidak melarang menggunakan kontrak baku. menurut peraturan perundang-undangan kontrak baku dapat digunakan selama tidak melanggar UUPK pasal 18 dan juga POJK-PKSJK pasal 22. Dalam persfektif hukum Islam kontrak baku harus mencantumkan hal-hal yang telah difatwakan oleh DSN-MUI dan PMK Nomor 18/PMK.010/2010. Serta menjunjung tinggi asas kesetaraan dan keadilan. (3) dalam sebuah kontrak baku harus memenuhi syarat-syarat sebagaimana halnya perjanjian pada umumnya harus memenuhi ketentuan pasal 1320 KUH Perdata ditambah dengan ketentuan UUPK dan POJK-PKSJK. Kata kunci : Asuransi Syariah, Kontrak Baku, Perlindungan Konsumen. Pembimbing Daftar Pustaka : Ah. Azharuddin Lathif, M.Ag., MH. : Tahun 1965 s.d Tahun 2012. v KATA PENGANTAR ﺑﺴﻢ اﷲ اﻟﺮﺣﻤﻦ اﻟﺮﺣﻴﻢ Puji syukur kepada Allah Tuhan Seru Sekalian Alam. Tidak ada kata yang pantas kecuali pujian yang terus dilafalkan oleh lisan dan tidak ada perbuatan baik dan perbuatan ketaatan kecuali tertuju hanya kepada-Nya. Hanya Dia lah yang pantas dipuji dan hanya Dia lah yang pantas disembah, kepada-Nya pula hamba memohon pertolongan, sehingga penulisan karya ilmiah ini dapat diselesaikan dengan baik. Sholawat serta salam kepada “legislator” yang tidak ada tandingannya, membuat hukum dengan kemaslahatan yang mengelilinginya, menegakkan hukum dengan penuh kebersihan akal dan jiwa sehingga setiap keputusan sesuai tidak ada yang menentangnya. Semoga sholawat dan salam menolong hamba pada saat penghakiman di akhirat kelak, serta memberikan atsar semangat dan keteguhan dalam perjuangan penulis dalam menegakkan hukum di kehidupan sehari-hari hamba. Penulisan skripsi ini bukanlah akhir dari studi dari penulis lakukan mudahmudahan penulis akan terus melanjutkan ketingkat yang lebih tinggi lagi. Itu semua penulis persembahkan kepada Ibunda tercinta (Alm.) Lamsariah Sipahutar, moga Allah swt, memberikan kasih sayangnya serta melapangkan kubur mu dan menjauhkan dari siksa nereka. Kepada Ayahanda dan Ibunda moga Allah swt, memelihara serta memberikan nikmat terbaikNya. Kepada kakak-kakak, abang dan adik penulis tercinta mudah-mudahan Allah swt, melancarkan semua urusan kita. Amiin. Tidak lupa, penulis juga menyampaikan terimakasih kepada orang-orang yang turut mempengaruhi hamba dalam mendewasakan penulis, yang terhormat: 1. Dr. H. JM. Muslimin, MA, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta; 2. Dr. Ahmad Tholabi Kharli, MA., Ketua Program Doeble Degree. Bapak Isma’il Hasani, SH., MH. Sekretaris Program Doeble Degree; vi 3. Ah. Azharuddin Lathif, M.Ag., MH. Sebagai pembimbing skripsi, terimakasih tak terhingga atas masukan dan dukungannya dalam penulisan skripsi ini. 4. Dr. Al Fitra, SH., M.Hum dan H. M. Yasir, SH., MH. Sebagai penguji pertama dan kedua. Mudah-mudahan segala masukan dan nasihatnya dapat memberi dampak positif pada penulis. 5. Prof. Dr. KH. Ali Musthafa Ya’qub, MA., Pengasuh Pondok Pesantren International Institute For Hadith Sciences Darus-Sunnah yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menuntut ilmu dalam konsentrasi Ilmu Hadis; 6. Keluarga besar Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta beserta segenap Dosen, Karyawan, dan seluruh staf yang telah banyak membantu dan memberikan fasilitas bagi penulis selama studi di “Kampus Hijau” ini; 7. Pustakawan Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Pustakawan Fakultas Syariah dan Hukum, dan Universitas Indonesia, yang telah memberikan pelayanan kepada penulis dalam menyediakan referensi dalam penulisan skripsi ini; 8. Kawan-kawan seperjuangan di konsentrasi Pengadilan Agama dan Administrasi Keperdataan Islam, kawan-kawan Double Degree dan Ilmu Hukum angkatan 2009, mohon maaf atas segala kesalahan yang pernah penulis perbuat kepada kalian; 9. Seluruh pengurus BEM Fakultas Syariah dan Hukum periode 2012-2013, mohon maaf jikalau selama sebagai wakil Presiden tidak bisa memuaskan kawan-kawan semua; 10. Keluarga besar HMI Cab. Ciputat, LKBHMI Ciputat, FKADU Jakarta, HIMLAB Jakarta Raya, KMSU Jakarta, ISDAR, LSO Rasionalika, yang telah memberikan ilmu dalam diskusi-diskusi dan kematangan dalam berorganisasi; vii 11. Keluarga besar AntaBena, mudah-mudahan angkatan ini terus mengembangkan sayap silaturahminya dan terus semangat untuk menebar Hadis-hadis yang tak lagi membumi; 12. Teman-teman seperjuangan Siti Ramadhani, Irpan, Zullisan Shidqi yang bersama-sama penulis berjuang dalam melanjutkan studi di perguruan tinggi di ibu kota ini. 13. Teman-teman kos “white house” Zuki, Zullisan, Azhar, Azmi, Idham, Eka, Azhar, Azmi dan spesial kepada Ibu Kos yang terus memotivasi untuk tetap semangat dalam menyelesaikan studi penulis; Akhirnya penulis sampaikan terimakasih kepada seluruh pihak yang tidak dapat penulis tuliskan, semoga doa dan harapan kita semua dikabulkan-Nya, Amiin. Jakarta, 06 Mei 2014 Penulis Abdul Karim Munthe viii DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL …………………………………………………………… i PERSETUJUAN PEMBIMBING …………………………………………….. ii LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ……………………………………….. iii LEMBAR PERNYATAAN ……………………………………………………. iv ABSTRAK ………………………………………………………………………. v KATA PENGANTAR ………………………………………………………….. vi DAFTAR ISI ……………………………………………………………………. ix BAB I PENDAHULUAN ………………………………………………. 1 A. Latar Belakang Masalah ……………………………………... 1 B. Identifikasi Masalah …………………………………………. 6 C. Pembatasan dan Perumusan Masalah ………………………... 6 D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ………………………………. 7 E. Kajian Terdahulu ……………………………………………... 8 F. Metode Penelitian ……………………………………………. 11 G. Sistematika Penulisan ………………………………………… 14 BAB II ASURANSI SYARIAH DALAM SISTEM HUKUM INDONESIA ………………………………………….. 16 A. Landasan Hukum Asuransi Syariah ………………………….. 16 B. Prinsip-prinsip Asuransi Syariah ………………………………19 C. Akad-akad Asuransi Syariah ………………………………… 23 ix D. Produk Asuransi Syariah …………………………………….. 31 BAB III ASPEK PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM KONTRAK BAKU ASURANSI SYARIAH ……………………………….. 34 A. Kontrak Baku ………………………………………………. 34 1. Pengertian Kontrak Baku ……………………………….. 34 2. Dasar Hukum Kontrak Baku ……………………………. 35 3. Keabsahan Kontrak Baku ……………………………….. 37 4. Prinsip-prinsip Kontrak Baku …………………………… 39 5. Pencantuman Klausul Eksemsi ………………………….. 41 6. Force Majeure …………………………………………… 42 B. Perlindungan Konsumen …………………………………… 45 BAB IV 1. Dasar Hukum Perlindungan Konsumen …………………. 45 2. Asas-asas Perlindungan Konsumen ……………………… 46 3. Hak dan Kewajiban Konsumen ………………………….. 50 4. Perlindungan Konsumen dalam Kontrak Baku ………….. 52 ANALISIS PERBANDINGAN KONTRAK BAKU ASURANSI SYARIAH …………………………………………. 54 A. Analisis Isi Kontrak Baku Menurut Prinsip Syariah ………… 54 B. Analisis Isi Kontrak Baku Persfektif Perlindungan Konsumen .65 BAB V PENUTUP ……………………………………………………….. 76 A. Kesimpulan …………………………………………………. 76 x B. Saran-saran …………………………………………………. 77 DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………….. xi 78 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Semakin pesatnya perkembangan ekonomi, teknologi, dan pengetahuan modern menggiring masyarakat agraris ke arah masyarakat modern1 yang selalu diiringi dengan tingkat kewaspadaan yang terus meningkat dalam segala bidang, bisnis, sosial, politik atau dalam interaksi lainnya. Dalam hal berbisnis, setiap orang pribadi atau badan hukum tidak ingin menanggung resiko berat apalagi resiko tersebut sampai pada kondisi yang dapat merugikan atau membebani kelancaran kehidupannya. Dalam hal ini asuransi adalah salah satu solusi untuk menghindari kondisi tersebut. Asuransi diharapkan mampu untuk mengurangi atau memperkecil resiko yang diakibatkan resiko tersebut.2 Meningkatnya pertumbuhan ekonomi biasanya selalu diiringi dengan meningkatnya pertumbuhan asuransi. Asuransi sebagai jalan keluar dari kesulitan yang tidak diduga-duga sering kali menjadi acuan para pelaku usaha atau pada orang pribadi untuk menjamin kelangsungan hidup seperti kesehatan, property, pendidikan, jiwa, dan lain-lain, sebab, asuransi ditujukan untuk membantu menyelesaikan masalah yang tidak dapat diduga.3 Atas tujuan itu pula banyak 1 Mohammad Muslehuddin, Insurance and Islamic Law, 2nd Edition, (Delhi: Markazi Maktaba Islami, 1995), h.ix. 2 Abbas Salim, Asuransi dan Menejemen Resiko, Edisi 2. (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2007), h.9-11. 3 Muhammad al-Bahî, Nidhâm al-Ta’min fi Hady Ahkâm al-Islâm, wa Dhorûrât al-Mujtama’ al-Mu’âshir, (ttp: Maktabah Wahbah, 1965), h.5. 1 2 masyarakat yang ikut serta dalam mengasuransikan dirinya atau yang dia miliki kepada asuransi baik itu asuransi syariah atau asuransi konvensional. Asuransi syariah dan asuransi kovensional memiliki perbedaan yang cukup signifikan. Di antara perbedaan tersebut adalah bahwa asuransi konvensional dilakukan untuk memindahkan resiko yang akan ditanggung oleh si tertanggung kepada si penanggung.4 Sedangkan asuransi syariah tidak demikian, si penanggung hanya sebagai perantara daripada tertanggung. Dalam hal ini yang menanggung resiko adalah para tertanggung sendiri atau lebih dikenal dengan konsep ta’âwun (tolong menolong), dengan landasan konsep al-mudhârobah,5 atau dalam bentuk kontrak yang lain. Walaupun demikian, kedua sistem asuransi di atas tetap terfokus kepada konsumen atau tertanggung. Konsumen adalah tulang punggung perusahaan asuransi, berjalan atau tidaknya perusahaan asuransi tergantung pada pelayanan perusahaan terhadap konsumen mereka. Dalam hal ini menjadi penting pembahasan konsumen di perusahaan asuransi syariah. Pelayanan kepada konsumen menjadi promosi paling ampuh untuk mengembangkan usaha asuransi. Meningkatkan pelayanan kepada konsumen adalah bentuk dari perlindungan konsumen. Walaupun demikian perusahaan tetap lebih mengutamakan kepentingan perusahaan dengan terus meningkatkan keuntungan. Terkadang perusahaan untuk meningkatkan keuntungan tersebut 4 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Asuransi di Indonesia, (Jakarta: Intermasa, 1994), h.1. Mohd Ma’sum Billah, Kontekstualisasi Takaful dalam Asuransi Modern: Tinjauan Hukum dan Praktek, Penerjemah, Suparto. (Jakarta: PT. Multazam Mitra Prima, 2010), h.30. 5 3 memanfaatkan posisi konsumen untuk melakukan tindakan yang dapat merugikan konsumen.6 Posisi tawar konsumen yang lemah dimanfaatkan perusahaan untuk mengambil keuntungan dengan mencederai kepentingan konsumen. Modus ini dilakukan dengan berbagai cara seperti mengalihkan resiko yang akan ditanggung perusahaan apabila terjadi suatu kejadian, menolak untuk mempertanggung jawabkan yang seharusnya dipertanggung jawabkan sebagaimana yang banyak ditemui pada kartu parkir, menambah aturan tanpa sepengetahuan konsumen dan beberapa modus lainnya. Lemahnya daya tawar konsumen dimanfaatkan oleh perusahaan termasuk asuransi di dalamnya untuk mencantumkan hal-hal yang dapat merugikan konsumen dalam sebuah kontrak atau polis yang dikenal dengan kontrak baku. Walaupun demikian nasabah masih tetap menerima kontrak baku yang ditawarkan oleh perusahaan karena kondisi sosial mereka yang lemah.7 Berbagai masalah pun kemudian bermunculan, banyak gugatan dan keluhan dari konsumen atas perlakuan perusahaan seperti ini.8 Harusnya dengan 6 Sebagaimana dikatakan oleh Salim HS bahwa dalam membuat kontrak penting untuk mempersiapkan draft kontrak karena dengan cara ini seseorang telah memeneangkan negosiasi sebanyak 75 per sen. Kalau kita berpegangan pada pendapat ini jelas bahwa dalam kondisi ini perusahaan adalah orang yang paling diuntungkan karena dialah yang telah membuat kontrak. Munir Fuady, Hukum Bisnis Dalam Teori dan Praktek Buku Kedua, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1994), h.5. 7 Salim H.S., Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, cet. Ke-4. (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h.2. 8 Kasus lain pernah juga seorang Advocat melakukan gugatan kepada maskapai Lion Air yang telat sampai 3,5 Jam. Lihat http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol17594/lagi-konsumenmenggugat-keterlambatan-pesawat Akses, Selasa, 24-12-2013, Pukul 10:06 wib. Kasus lainnya antara 4 adanya perjanjian permasalahan yang dapat merugikan kedua belah pihak dapat dihindari dan menyelesaikan masalah.9 Di sinilah pentingnya good faith atau iktikad baik dalam kontrak baku. sebagaimana dikatakan oleh Mariam Darus dalam acara Dies Natalis fakultas hukum USU bahwa iktikad baik adalah asas untuk mencari sebuah keadilan.10 Kontrak baku menjadi pilihan utama para pengusaha demi efisiensi dan efektifitas dalam menjalankan usahanya. Walaupun demikian kontrak baku tetap menjadi perdebatan kebolehannya. Sluijter mengatakan bahwa perjanjian baku bukan merupakan perjanjian akan tetapi hanya sebatas undang-undang swasta (legio particuliere wetgever). Pittlo menggolongkan perjanjian baku sebagai perjanjian paksa (dwang contract).11 Stein mencoba untuk memberikan solusi atas permasalahan ini dengan mengatakan bahwa perjanjian baku dapat diterima berdasarkan fiksi adanya kemauan dan kepercayaan (fictie van wil en vertrouwen). Asser Rutten mengatakan bahwa setiap orang yang menandatangani perjanjian bertanggung gugat pada isi dan apa yang ditanda tanginanya. Bahkan Hondius dalam Sriwiyani v PT. Adira Dinamika Multy Finence, Tbk., yang telah diputus oleh Pengadilan Negeri Pekalongan dengan Nomor 42/Pdt.G/2011/PN PKL. 9 Sri Rejeki Hartono, Hukum Asuransi dan Peruhaan Asuransi, cet. Ke-2. (Malang: Bayu Media, 2007), h.132. 10 http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt52d150ceef12a/profesor-fh-usu-bedah-definisiasas-iktikad-baik akses, 13 Januari 2014, pukul 14:18 wib. 11 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2004), h.117. 5 disertasinya menyatakan perjanjian baku mempunyai kekuatan yang mengikat berdasarkan kebiasaan (gebruik) yang hidup di bisnis.12 Untuk mengontrol perbuatan perusahaan yang seperti itu. Pemerintah mengambil sikap dengan disahkannya Undang-undang Nomor 9 tahun 1998 tentang Perlindungan Konsumen (selanjutnya disebut UUPK). Pada prinsipnya kontrak baku tidak dilarang dalam UU ini, akan tetapi sudah dibatasi dengan mencantumkan beberapa aturan yang dilarang dicantumkan dalam kontrak baku, sebagaimana yang dijelaskan dalam pasal 18 UUPK. Tidak sampai di sana, Otoritas Jasa Keuangan (selanjutnya disebut OJK) sebagai lembaga baru yang salah satu tugasnya adalah pengawasan lembaga keuangan yang bertujuan untuk meningkatkan perlindungan konsumen juga mengatur hal yang sama berkaitan dengan kontrak baku. OJK mengeluarkan peraturan dengan Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan (selanjutnya disebut POJK) yang diundangkan pada tanggal 6 Agustus 2013 yang berlaku bagi seluruh perusahaan keuangan. Atas dasar pertimbangan di atas penulis tertarik untuk meneliti kontrak baku yang berlaku di beberapa perusahaan asuransi syariah, dengan judul “Kontrak Baku Pada Asuransi Syariah Dalam Persfektif Hukum Perlindungan Konsumen”. 12 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, h.117. 6 B. Indentifikasi Masalah Dari latar belakang masalah di atas, maka dapat diidentifikasi permasalahan sebagai berikut: 1. Apa yang dimaksud dengan perlindungan konsumen? 2. Apa yang harus dilakukan konsumen ketika haknya tidak dilindungi? 3. Bagaimana pandangan hukum Islam dan peraturan perundang-undangan terhadap kontrak baku Asuransi Syariah? 4. Apakah polis yang di atur oleh perusahaan Asuransi Syariah di Indonesia telah sesuai dengan peraturan perlindungan konsumen? 5. Bagaimana peran negara dalam melindungi konsumen? C. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah Untuk menghindari meluasnya permasalahan yang akan dibahas pada penelitian ini maka penulis membatasi masalah yang diteliti hanya terfokus pada kontrak baku yang terdapat pada perusahaan asuransi syariah dalam tinjauan, Fatwa Dewan Syariah Nasional (selanjutnya disebut DSN), UUPK dan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan perlindungan konsumen. 2. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah di atas penulis merumuskan masalah yang akan diteliti. Bahwa, masih banyak perusahaan asuransi syariah yang menerapkan polis yang bertentangan dengan ketentuan 7 UUPK. Untuk mempermudah menjawab rumusan masalah tersebut, penulis merumuskan masalah sebagai berikut: a. Bagaimana pandangan hukum Islam dan peraturan perundang-undangan terhadap kontrak baku asuransi syariah? b. Apakah kontrak baku yang dibuat oleh perusahaan asuransi syariah di Indonesia telah sesuai dengan peraturan pelindungan konsumen? D. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Penelitian ini ditujukan untuk menjawab beberapa permasalahan di atas yaitu: a. Mengetahui pandangan hukum Islam dan peraturan perundang-undangan terhadap penerapan kontrak baku asuransi syariah. b. Mengetahui kontrak baku yang dibuat oleh perusahaan asuransi syariah telah sesuai peraturan perundang-undangan perlindungan konsumen. 2. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat menemukan keadaan polis yang berlaku dibeberapa perusahaan asuransi syariah. Sehingga dapat menjadi acuan bagi perusahaan asuransi syariah untuk membentuk kontrak baku yang sesuai dengan hukum Islam dan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta memenuhi hak-hak setiap konsumen. Selain itu penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dan masukan bagi penegak hukum, pemerintah, dan legislatif 8 agar lebih ketat dalam mengawasi produk dan kontrak yang ditawarkan kepada konsumen asuransi syariah. Kepada masyarakat umum penelitian ini diharapkan mampu memberikan penjelasan yang cukup untuk mengetahui hak-hak dan menilai kontrak asuransi yang akan dipilih terkait kedudukannya sebagai konsumen asuransi syariah. Manfaat terakhir yang diharapkan dengan adanya penelitian ini adalah meningkatnya kinerja Lembaga Pengawas Syariah (selanjutnya disebut LPS) dalam mengawasi produk yang dikeluarkan asuransi syariah, tidak hanya pada aspek kesyariahaanya tapi juga aspek perlindungan konsumen dalam persfektif hukum Islam dan UUPK. E. Kajian Terdahulu Perkembangan kajian perlindungan konsumen di lembagan keuangan syariah telah banyak dilakukan penelitia baik dalam bentuk penelitian sampai pada penelitian skripsi, tesis maupun disertasi. Berikut penelitian yang pernah dilakukan di beberapa universitas yang penulis temukan. Irjayanti Mardin skripsi S 1 dengan judul Analisis Perbandingan Perlindungan Debitur Perjanjian Kredit Pemilikan Rumah (KPR) Bank Konvensional X dan Akad Pembiayaan al-Mudharabah (KPR Syariah) Bank Syariah Y. yang ditulis pada tahun 2011 di Universitas Indonesia. Penelitian yang berdasarkan perbandingan yang mendasarkan pada pokok permasalahan perbedaan, kelebihan dan kekurangan perlindungan debitur KPR pada Bank 9 Syariah dan Bank Konvensional. Penelitian yang menggunakan metode yuridisnormatif dan didukung dengan data wawancara menghasilkan kesimpulan bahwa perbedaan adalah sistem bunga dan keuntungan, sedangkan untuk akad KPR di Bank Syariah maupun Bank Konvensional sama-sama menggunakan akad baku, yang tentunya lebih memberatkan posisi debitur. Gista Lastersia dengan judul Perlindungan Hukum Terhadap Nasabah Bank Dalam Transaksi Derivatif yang ditulis pada tahun 2009 di Universitas Indonesia. Melli Meilany Skripsi S 1 dengan judul Perlindungan Hukum Terhadap Nasabah Bank Ditinjau Dari Undang-undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, yang ditulis pada tahun 2008 di Universitas Sumatera Utara. Skripsi ini menggunaka penelitian lapangan mengambil sample PT. Bank Sumut Syariah yang dipadu dengan studi kepustakaan. Destri Budi Nugraheni dengan judul Penerapan Perlindugan Nasabah Produk Pembiyaan KPR BTN Syariah Cabang Yogyakarta, tesis S 2 yang ditulis pada tahun 2007 di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta menggunkan metode kualitatif dengan penyajian deskriftif interpretatif terhadap produk pembiyaan KPR BTN Syariah dengan responden adalah nasabah pembiayaan KPR BTN Syariah dan staf Financing Officer. Hasil penelitiannya mengatakan bahwa tidak semua hak-hak nasabah belum semuanya diterapkan sesuai dengan UUPK, PBI dan Hukum Ekonomi Islam. Ivan Faiz Billah, skripsi S 1 dengan judul, Aspek hukum perlindungan konsumen dalam dunia perbankan Syariah di Indonesia: tinjauan atas 10 perlindungan nasabah Bank Syariah terhadap produk dan jasa Bnak Syariah, yang ditulis pada tahun 2007 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Andi Syafrani, skripsi dengan judul, Perlindungan konsumen dalam perspektif hukum Islam: Tinjauan Terhadap Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang ditulis pada tahun 2002 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Ahmad Daenuri, skripsi S 1 dengan judul, Perlindungan Konsumen Pada Transaksi Internet Dalam Perspektif Hukum Islam (Studi Yuridis UndangUndang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, yang ditulis pada tahun 2009 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Ridwan, skripsi S 1 dengan judul, Perlindungan Konsumen Perspektif Hukum Islam: Analisa Terhadap Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999, yang ditulis pada tahun 2010 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Abdul Hafid Nur, Skripsi S 1 dengan judul, Aplikasi kontrak musyarakah Bank Syariah X ditinjau dari UU No. 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen, yang ditulis pada tahun 2010 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Hafid Nur Abdul, skripsi dengan judul, Aplikasikontrakmusyarakah Bank Syariah X ditinjaudari UU No.8 Tahun 1999 tentangperlindungankonsumen, yang ditulis pada tahun 2010. Dalam penelitiannya ternyata masih mencantumkan hal-hal yang dilarang oleh pasal 18 UUPK dalam kontrak baku bahkan ada juga yang tidak sesuai dengan fatwa yang dikeluarkan oleh DSN. Dari beberapa penelitian yang pernah dilakukan, terhadap kontrak baku masih hanya seputar pada produk di perbankan syariah. Sedangkan untuk 11 lembaga keuangan asuransi syariah belum ada penelitian yang menganalisis perlindungan konsumen dalam kontrak baku yang dikeluarkan oleh perusahaan asuransi syariah. F. Metode Penelitian Untuk menjawab pertanyaan dari rumusan masalah yang telah penulis kemukakan di atas diperlukan metode penelitian sehingga jawaban dari setiap rumusan di atas dapat dipertanggungjawabkan dan bernilai akademis. Sehingga dapat diterapkan oleh semua kalangan. 1. Jenis penelitian Penerapan kontrak baku asuransi syariah dikaitkan dengan perlindungan konsumen adalah isu utama yang diteliti dalam skripsi ini. Dengan demikian penelitian yang cocok untuk tema ini adalah penelitian hukum yang bersifat normatif (dogmatic).13 Suatu penelitian yang menganalisis hukum posistif maupun asas-asas hukum, dengan melakukan penjelasan secara sistematis ketentuan-ketentuan hukum dalam sebuah kategori hukum tertentu, menganilisis hubungan antara ketentuan hukum, menjelaskan dan memprediksi pengembangan kedepan. 2. Pendekatan masalah Pendekatan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan konsep, perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan kasus. Pendekatan 13 h.51. Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Cet. Ke-3. (Jakarta: UI Press, 1986), 12 konsep dilakukan untuk melihat kesesuaian konsep dengan aplikasi yang berlaku di asuransi syariah. Pendekatan perundang-undangan dilakukan untuk menyingkap konsep kontrak dalam sistem hukum di Indonesia. untuk tujuan tersebut akan dikaji beberapa peraturan perundang-undangan terkait. Sedangkan untuk pendekatan kasus dilakukan untuk melihat pelanggaran klausula kontrak dengan konsep atau teori dan perundang-undangan di lembaga asuransi syariah. 3. Bahan hukum Sesuai dengan sifat penelitian hukum normatif, bahan hukum yang digunakan adalah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Selain itu dimungkinkan juga untuk mendukung bahan hukum primer dan sekunder bahan non hukum. Bahan hukum primer berupan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan perlindungan konsumen di Indonesia, yaitu Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Undang-undang Nomor 2 Tahun 1999 tentang Usaha Perasuransian, dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan, PMK No. 18/PMK.010/2010 tentang Penerapan Prinsip Dasar Penyelenggaraan Usaha Asuransi dan Usaha Reasuransi Dengan Prinsip Syariah. Bahan hukum sekunder meliputi bahan yang mendukung bahan hukum primer seperti buku-buku hukum, jurnal, hasil penelitian, makalah, 13 dan karya ilmiah lainnya, serta dokumen-dokumen kontrak di lembaga asuransi syariah yang menjadi objek penelitian. 4. Analisis data Data atau informasi yang diperoleh dalam penelitian ini akan disajikan secara kualitatif dengan pendekatan deskriptif-analitif dan perskriptif-analitis. Analisa data dilakukan secara menyeluruh dan merupakan satu kesatuan, metode yang demikian ditempuh mengingat penelitian ini tidak mementingkan kuantitas datanya, akan tetapi lebih mementingkan pada kesesuaian prosedur dan isinya dengan teori, fatwa DSN dan peraturan perundang-undangan. Teknik analisis dimulai dengan menghimpun bahan-bahan hukum primer dan sekunder yang berkaitan dengan perlindungan konsumen dan asuransi syariah. Bahan hukum tersebut diperoleh melalui studi kepustakaan, buku-buku (treatises) hukum, artikel, jurnal hukum, internet, hasil seminar dan lain-lain. Terhadap bahan hukum primer dipelajari dan diidentifikasi kaidahkaidah atau asas-asas hukum yang telah dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan. Langkah-langkah tersebut oleh Terry Hutchinson diberi singkatan “IRAC” yaitu memilih masalah (issues), menentukan peraturan hukum yang relevan (rule of law), menganalisis fakta-fakta dari segi hukum (analyzing the facts), akhirnya menghasilkan sebuah kesimpulan (conclusion). 5. Metode dan Teknik Penulisan 14 Adapun teknik penulisan dalam penelitian ini menggunakan pedoman penulisan skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2012. G. Sistematika Penulisan Dalam penulisan skripsi ini penulis menyusunnya dalam lima bab yaitu: Bab pertama yang berisi pendahuluan yang menjabarkan latar belakang permasalahan penulisan skripsi ini yang kemudian dirumuskan menjadi sebuah rumusan penelitian yang layak dengan menjelaskan metode penelitian dan terakhir dijabarkan sistematika penulisan. Bab kedua mebahas asuransi syariah dalam sistem hukum Indonesia, dengan sub pembahasan yaitu: landasan hukum asuransi syariah, prinsip-prinsip asuransi syariah, Akad-akad Asuransi Syariah, Produk Asuransi Syariah. Bab ketiga membahas tentang aspek perlindungan konsumen dalam kontrak baku asuransi syariah. Pembahasan ini mencakup dua tema. Pertama, kontrak baku dengan cakupan pembahasan, pengertian kontrak baku, dasar hukum kontrak baku, keabsahan kontrak baku, prinsip-prinsip kontrak baku, pencantuman klausul eksemsi, force majeure. Kedua, perlindungan konsumen mencakup, dasar hukum Perlindungan Konsumen, Asas-asas Perlindungan Konsumen, Hak dan Kewajiban Konsumen, Perlindungan Konsumen dalam Kontrak Baku. 15 Bab keempat membahas analisis kontrak baku yang terdapat asuransi syariah dalam pandangan fatwa DSN dan terutama dalam prespektif perlindungan konsumen. Bab kelima sebagai penutup yang berisi kesimpulan dan saran-saran dari hasil penelitian yang bisa diterapkan dan menjadi pegangan bagi konsumen asuransi syariah. BAB II ASURANSI SYARIAH DALAM SISTEM HUKUM INDONESIA A. Landasan Hukum Asuransi Syariah Asuransi syariah muncul seiring dengan usaha syariah lainnya seperti perbankan syariah. Pada dasarnya munculnya asuransi syariah ditujukan atas kegelisahan usaha asuransi konvensional yang penuh dengan ketidakadilan, karena dipenuhi dengan unsur gharar, riba, maisir, atau zalim. Dalam literatur hukum Islam, asuransi dapat diartikan dalam dua istilah yaitu dhaman dan al-kafâlah1 ada juga yang menggunakan istilah ta’mîn.2 Sedangkan di Indonesia atas rekomendasi Majlis Ulama Indonesia (selanjutnya disebut MUI) pada tahun 2001 sebaiknya istilah yang digunakan adalah Asuransi Syariah.3 Pada dasarnya ketiga istilah di atas tidak terdapat perbedaan yang memberikan dampak pada pemahaman. Perbedaannya terletak pada kebiasaan orang Arab dalam memadankan kata tersebut. Undang-undang Nomor 2 tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian (selanjutnya disebut UU Asuransi) pasal 1 menjelaskan, Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian tertanggung karena kerugian, 1 Ali al-Khafîf, al-Dhomân fi al-Fiqh al-Islâmî, (Qâhirah: Dar al-Fikr al-„Arabî, 2000), h.8. Musthafa Dib al-Bugha, Buku Pintar Transaksi Syariah (Menjalin Kerja Sama Bisnis dan Menyelesaikan Sengketanya Berdasarkan Panduan Islam), Penerjemah, Fakhri Ghafur. (Jakarta: Alhikmah, 2010), h.83. 3 Abdul Manan, Hukum Ekonomi Syariah Dalam Persfektif Kewenangan Peradilan Agama, (Jakarta: Kencana, 2012), h.240. 2 16 17 kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang dadasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan. Lembaga asuransi syariah sebagai wadah tanggung menanggung antar sesama anggota asuransi belum memiliki undang-undang khusus sebagaimana perbankan syariah. Akan tetapi bukan berarti usaha asuransi syariah illegal. Asuransi syariah berjalan sesuai dengan peraturan asuransi pada umumnya yang berlaku di Indonesia selama belum diatur lebih lanjut.4 Asuransi syariah di atur di berbagai aturan yang dikeluarkan oleh pemerintah terkait, seperti: 1. Undang-undang Nomor 2 tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian. 2. Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD). 3. Peraturan Pemerintah Nomor 39 tahun 2008 Tentang Perubahan. Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 Tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian. 4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/PMK.010/2010 Tentang Penerapan Prinsip Dasar Penyelenggaraan Usaha Asuransi Dan Usaha Reasuransi Dengan Prinsip Syariah. 4 Gemala Dewi, dkk., Hukum Perikatan Islam di Indonesia, cet. Ke-3. (Jakarta: Kencana, 2007), h.165. 18 5. Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2008 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 Tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian. 6. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 152/PMK.010/2012 tentang Tata Kelola Perusahaan Yang Baik Bagi Perusahaan Perasuransian 7. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 53/PMK.010/2012 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi 8. KMK 422/KMK.06/2003 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Asuransi dan Reasuransi Selain itu aspek hukum Islam juga mendukung akan adanya usaha asuransi yang bersifat sosial dalam Quran, Hadis dan Fatwa Ulama dalam hal ini diwakili oleh DSN-MUI yang diberi otoritas oleh negara dalam mengeluarkan fatwa tentang kesyariahan usaha asuransi syariah. Berikut ayat yang memberikan legitimasi usaha asuransi syariah. ِب ااَو ا َوَت َو َواُن وا َو َو ْلِب )2ا:5/وا ا(وامآئ ة ااواْل ُن ْل َوا ِبا اوا ْل ِب َو ااوالَت ْل َو َو َواَوَت َو َواُن وا َو َو اواْل ِّر َو.1 Artinya: “Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” ِب ِب ِب ِب ِب ْلم ْلؤِب ِب ا ا«وا ُنْلم ْلؤ ُن اا ُن:اا َوو َوا ا َو َواا َو ُنو ُنااواا َو اواُنا َو َوْل َو: َو ْل اَو ا ُن َوو ىا َو اَوا.2 5 »ض َوك اْلُنَت ْلنَتَو ِباايَو ُن ً ض ُنا َوَت ْل ش ُّ ا َوَت ْل ُن Artinya: “Dari Abi Musa berkata: bersabda Rasulullah saw, “Orang mukmin dengan mukmin lainnya laksana bangunan, satu bagian menguatkan bagian lainnya.” 5 Muslim, Shohih Muslim, (Berut: Dâr Ihyâ‟ al-Turâts al-„Arabi, t.t), Juz 4, h.1999, Nomor Hadis 2585. 19 3. Fatwa DSN-MUI NO: 21/DSN-MUI/X/2001 Tentang Pedoman Umum Asuransi Syari‟ah. B. Prinsip-prinsip asuransi syariah Prinsip sebagai kebenaran yang menjadi pokok berfikir dan bertindak6 pada umumnya perusahaan asuransi berprinsip sama. Banyak pakar yang menjelaskan tentang prinsip-prinsip asuransi. Gemala Dewi mengatakan bahwa ada tiga prinsip utama asuransi syariah yaitu: 1. Saling bertanggung jawab; 2. Saling bekerja sama atau saling membantu; 3. Saling melindungi penderitaan satu sama lainnya.7 Muhammad Syakir Sula8 menjelaskan ada sebelas (11) prinsip asuransi syariah yaitu: 1. Prinsip berserah diri dan ikhtiar. Sebagai makhluk Allah swt yang beragama Islam berserah diri adalah makna dari Islam itu sendiri. Segala tindakan dan keputusan harus diserahkan kepada keputusan dan ketetapan Allah swt akan tetapi tidak berarti harus berserah apa adanya tanpa ada usaha yang mengiringi. Ikhtiar dan tawakkal adalah dua hal yang harus beriringan tidak dapat berjalan sendiri-sendiri. 2. Prinsip tolong-menolong. 6 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ketiga, Cet. Ke-4. (Jakarta: Balai Pustaka, 2007), h. 7 Lihat bukunya, Gemala Dewi, dkk., Hukum Perikatan Islam di Indonesia, h.167. Hal yang sama juga dijelaskan oleh Abdul Manan, lihat Abdul Manan, Hukum Ekonomi Syariah, h.264-268. 8 Muhammad Syakir Sula, Asuransi Syariah (life and general): Konsep dan Sistem Operasional, (Jakarta: Gema Insani Press, 2004), h.228-249. 20 Ada banyak nas Quran dan Hadis yang menganjurkan untuk meningkatkan hubungan sesama masyarakat, salah satu bentuk untuk meningkatkan hubungan tersebut adalah dengan tolong menolong atau dalam bahasa Arab ta’awun dalam setiap kesulitan yang dihadapi. Prinsip ini menjadi dasar seluruh asuransi dalam hal life insurance dan general insurance. Prinsip tolong menolong adalah fondasi dasar dalam menegakkan asuransi syariah, sekaligus juga yang menjadi dasar kebolehan asuransi syariah. 3. Prinsip saling bertanggung jawab. Prinsip saling bertanggung jawab antara satu sama lain tidak bisa dipisahkan dari asuransi syariah. Sebab, hal ini lah yang membedakan asuransi syariah dengan asuransi konvensional. Asuransi konvensional dengan trasnfer of sharing, sedangkan asuransi syariah berlandaskan share of sharing.9 Asuransi konvensional yang bertanggung jawab adalah perusahaan, sedangkan dalam asuransi syariah seluruh pihak, perusahaan dan sesama anggota asuransi harus bertanggung jawab sesuai dengan kedudukan mereka masing-masing. 4. Prinsip saling kerjasama dan bantu-membantu. 9 Agus Edi Sumanto, dkk., Solusi Berasuransi Lebih Indah Dengan Syariah, (Bandung: PT. Salamadina Pustaka Semesta, 2009), h.8. 21 Agama Islam mengajarkan kerjasama dalam segala hal, termasuk dalam mengelola resiko. Abu Zahroh menjalaskan bahwa kerja sama umat muslim telah dijelaskan dalam berbagai hal, seperti zakat. Atas dasar ini pula KH. Sahal Mahfud mengkampanyekan fikih sosial, untuk mengatasi permasalahan masyakat.10 5. Prinsip saling melindungi dari berbagai kesusahan. 6. Prinsip kepentingan terasuransikan (insurable interest). Benda yang menjadi objek asuransi tertanggung harus memiliki kepentingan dengan benda tersebut. Kepentingan sebagaimana dimaksud dalam pasal 268 KUHD adalah yang dapat dinilai dengan uang, dapat diancam oleh suatu bahanya, dan tidak dikecualikan oleh undang-undang.11 Ada lima hal yang dapat menimbulkan kepentingan yaitu: (1) hubungan keluarga; (2) hubungan bisnis; (3) kepemilikan; (4) kuasa orang lain; (5) karena undang-undang;12 7. Prinsip iktikad baik (utmost good faith). Asuransi sebagai usaha yang bermodalkan jasa, iktikad baik bagi penanggung dan tertanggung adalah suatu hal yang mutlak harus dimiliki, sebab, usaha ini sangat rentan terhadap terjadinya kecurangan baik dari perusahaan, seperti yang banyak terjadi dalam kontrak baku. Kecurangan yang 10 Jamal Ma‟mur Asmani, Fiqh Sosial Kiai Sahal Mahfudh Antara Konsep dan Implementasi, (Surabaya: Khalista, 2007), h.50. 11 R. Subekti dan R. Tjitrosudibjo, Kitab Undang-undang Hukum Dangang dan Undangundang Kepailitan, Cet. Ke-23. (Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 2003), h.77. 12 Andri Soemitra, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, Cet. Ke-2. (Jakarta: Kencana, 2010), h.262. 22 dilakukan oleh anggota asuransi sendiri seperti melakukan penipuan terhadap klaim. Jika prinsip ini dilanggar terutama tertanggung dapat mengakibatkan pertanggungan menjadi batal.13 8. Prinsip ganti rugi (indemnity). Sebagaimana pada dasarnya asuransi ditujukan untuk menghilangkan atau meringankan resiko yang diderita oleh tertanggung karena terjadi peristiwa yang tak terduga. 9. Prinsip penyebab dominan (proximate cause). Ada juga yang memberi istilah sebab aktif.14 Peristiwa yang ditanggung dan dijamin oleh asuransi selama sesuai dengan apa yang diisi dalam perjanjian polis dan tidak dikecualikan dalam polis. Kejadian tersebut tidak ada intervensi suatu kekuatan lain, diawali dan bekerja dengan aktif dari suatu sumber baru dan indpenden.15 10. Prinsip subrogasi. Jika tertanggung mengalami musibah, misalnya gedungnya terbakar, pihak ketiga yang melakukan pembakaran tersebut harus melakukan ganti rugi sebagaimana dalam hukum tanggung gugat dan membayar ke perusahaan, dan tertanggung tidak boleh lagi menerima ganti rugi dari pelaku tersebut. 11. Prinsip kontribusi (contribution/al-muhasamah). 13 Andri Soemitra, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, h.263. Andri Soemitra, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, h.263. 15 Andri Soemitra, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, h.263. 14 23 Al-muhasamah adalah bentuk kerjasama di mana tiap-tiap anggota menanamkan modalnya dan akan memperoleh kompensasi atas saham sesuai dengan modal yang dia tanamkan. Selain dari sebelas prinsip yang dikemukakan di atas ada satu prinsip lagi yang penting dalam usaha asuransi syariah. Prinsip yang halal. Halal dari aspek akad, berarti bebas dari unsur: riba, gharar;16 zalim, maysir (judi), bukan terhadap barang yang diharamkan, tidak ada unsur maksiat, dan tidak ada risywah;17 C. Akad-akad Asuransi Syariah Sebagai sebuah mu’amalat, usahan asuransi berjalan berdasarkan akad yang dilakukan oleh penanggung dengan tertanggung, akad tersebut lazim disebut dengan polis. Akad sebagai ikatan antara para pihak diharuskan dalam sebuah perbuatan bisnis. Sebab, asuransi sebagai usaha harus didasarkan pada kesepakatan kedua belah pihak atau dalam bahasa lain dikenal dengan keridhoan yang ditunjukkan dengan adanya ijab dan kabul. 16 Gharar dalam pengertiannya adalah sesuatu yang tidak diketahui secara pasti, seperti membeli ikan yang masih di dalam kolam. Praktek seperti ini diharamkan oleh ulama dengan pertimbangan hadis yang diriwayatkan oleh imam Muslim, Tirmizi, Abu Daud, Nasai yang bersumber dari sahabat Abu Hurairah, yang mengatakan Rasulullah saw melarang jual beli gharar. Musthafa Dib Bugha mengatakan bahwa ulama fikih membagi gharar kedalam tiga bagian, yaitu, pertama, gharar katsîr, kedua, gharar yasîr, dan ketiga, gharar mutawassith. (Musthafa Dib Bugha, Buku Pintar transaksi Syariah), h. 89. Sedangkan ulama Malikiah menjelaskan bahwa tidak semua gharar itu diharamkan ada yang masih dimaafkan sebagaimana dijelaskan oleh Husain hamid Hisan, apabila ada tiga unsur berikut, yaitu: 1) gharar-nya yasir; 2) tidak diniatkan/tidak dimaksudkan; 3) dalam keadaan darurat. Lihat Nandi Ramhman, Asuransi Dalam Pandangan Islam, (Jakarta: Lembaga Pers Bekasi, 2003), h. 8 17 Lihat, Fatwa Dewan Syari'ah Nasional NO: 21/DSN-MUI/X/2001, Tentang Pedoman Umum Asuransi Syari‟ah, dalam bagian pertama dalam putusan. 24 Akad sebagai media yang menghubungkan penanggung dan tertanggung menimbulkan hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak. Usaha asuransi secara umum dijalankan berdasarkan dua bentuk akad. Akad tijari dan akad tabarru’. Akad tijari ditujukan kepada kontrak yang bersifat komersial. Sedangkan akan tabarru‟ ditujukan kepada akad non-komersial. Dalam penjelasan ini penulis akan membagi kedua akad di atas menjadi bermacam-macam akad sebagaimana yang telah diatur dalam Peraturan Kementrian Keuangan Nomor. 18/PMK.010/2010. 1. Akad tijari Asuransi tidak hanya terbatas pada akad yang bersifat sosial yang berdasarkan tolong menolong antar sesama anggota asuransi akan tetapi juga diperlukan keuntungan dari investasi sehingga dapat menarik keinginan masyarakat. a. Mudharabah Mudharabah (istilah ini digunakan oleh mazhab Hanafi dan Hanbali) ada juga yang menggunakan istilah al-Qirâdh (istilah ini digunakan oleh mazhab Maliki dan Syaf‟i),18 secara etimologi berarti bahwa al-qath’ yang berarti memotong. Sedangkan terminologi berarti 18 Abdullah al-„Abâdî, Syarh Bidâyah al-Mujtahid wa Nihâyah al-Muqtashid, Cet. Ke-4. (Kairo: Dâr al-Salâm, 2009), Jilid 4, h.1829. 25 penyerahan modal kepada orang lain untuk diinvestasikan yang keuntungannya dibagi kepada pemilik modal dan pengelola modal.19 Afzalurrahman mengatakan mudharabah adalah kontrak kemitraan yang berdasarkan pada prinsip bagi hasil dengan cara seseorang memberikan modalnya kepada orang lain untuk melakukan usaha dan kedua belah pihak membagi keuntungan atau memikul beban kerugian berdasarkan isi perjanjian bersama.20 Pengertian mudharabah ditegaskan dalam PMK Nomor 18/PMK.010/2010 sebagai berikut: Akad Mudharabah adalah Akad Tijarah yang memberikan kuasa kepada Perusahaan sebagai mudharib untuk mengelola investasi Dana Tabarru ‟ dan/atau Dana Investasi Peserta, sesuai kuasa atau wewenang yang diberikan, dengan imbalan berupa bagi hasil (nisbah) yang besarnya telah disepakati sebelumnya. b. Mudharabah musytarakah Akad mudharabah musytarakah adalah kelanjutan dari akad mudharabah di atas. yang membedakan kedua akad ini terletak pada penanaman modalnya. Pada akad mudharabah modal hanya dari penanam modal sedangkan pengelola tidak ikut serta dalam menanamkan modalnya. Sedangkan mudharabah musytarakah pengelola dan penanam modal sama-sama menanamkan modal mereka. 19 Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihâyah al-Muqtashid, dalam Abdullah al-„Abâdî, Syarh Bidâyah al-Mujtahid wa Nihâyah al-Muqtashid, h.1829. 20 Agus Edi Sumanto, dkk., Solusi Berasuransi Lebih Indah Dengan Syariah, h.79. 26 Pengertian ini diatur dalam PMK Nomor 18/PMK.010/2010 pasal 1 angka 11: Akad Tijarah yang memberikan kuasa kepada Perusahaan sebagai mudharib untuk mengelola investasi Dana Tabarru ‟ dan/atau Dana Investasi Peserta, yang digabungkan dengan kekayaan Perusahaan, sesuai kuasa atau wewenang yang diberikan, dengan imbalan berupa bagi hasil (nisbah) yang besarnya ditentukan berdasarkan komposisi kekayaan yang digabungkan dan telah disepakati sebelumnya.21 Hal-hal yang harus dicantumkan dalam akad mudharabah musytarakah sekurang-kurangnya sebagai berikut: a. Hak dan kewajiban Peserta secara kolektif dan/atau Peserta secara individu sebagai shâhibul mâl (pemilik dana); b. Hak dan kewajiban Perusahaan sebagai mudhârib (pengelola dana) termasuk kewajiban Perusahaan untuk menanggung seluruh kerugian yang terjadi dalam kegiatan pengelolaan; c. Investasi yang diakibatkan oleh kesalahan yang disengaja, kelalaian atau wanprestasi yang dilakukan Perusahaan; d. Batasan wewenang yang diberikan Peserta kepada Perusahaan; e. Cara dan waktu penentuan besar kekayaan Peserta dan kekayaan Perusahaan; f. Bagi hasil (nisbah), cara, dan waktu pembagian hasil investasi; 21 Bandingkan dengan Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor. 50/DSN-MUI/III/2006 tentang Akad Mudharabah Musytarakah. 27 Sebagai sebuah akad dalam asuransi syariah konsekuensi yang diterima dalam memilih akad ini adalah apabila terjadi kerugian pada saat investasi dana tersebut maka kedua belah pihak menanggung kerugian tersebut secara bersama-sama. Inilah yang membedakan akad ini dengan wakalah bil ujrah sebagaiaman dijelaskan di bawah. Dalam fatwa yang dikeluarkan oleh DSN-MUI22 bahwa pembagian hasil keuntungan investasi dapat dilakukan melalui dua alternatif sebagai berikut: Alternatif pertama: 1) Hasil investasi dibagi antara perusahaan asuransi (sebagai mudhârib) dengan peserta (sebagai shâhibul mâl) sesuai dengan nisbah yang disepakati. 2) Bagian hasil investasi sesudah disisihkan untuk perusahaan asuransi (sebagai mudharib) dibagi antara perusahaan asuransi (sebagai musytarik) dengan para peserta sesuai dengan porsi modal atau dana masing-masing. Alternatif kedua: 1) Hasil investasi dibagi secara proporsional antara perusahaan asuransi (sebagai musytarik) dengan peserta berdasarkan porsi modal atau dana masing-masing. 22 Lihat Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor. 51/DSN-MUI/III/2006 tentang Akad Mudharabah Musytarakah Pada Asuransi Syariah. 28 2) Bagian hasil investasi sesudah disisihkan untuk perusahaan asuransi (sebagai musytarik) dibagi antara perusahaan asuransi sebagai mudharib dengan peserta sesuai dengan nisbah yang disepakati. c. Wakalah Bil Ujrah Secara bahasa wakalah berarti al-hifz (menjaga) (Qs. Ali Imran [3]: 173). Secara etimologis wakalah diartikan sebagai tafwîdh al-tashorruf, wal hifzh ila al-wakîl23 yang berarti pengalihan pemilikan kepada orang lain untuk diinvestasikan dan dipelihara oleh wakil. Kata “ujrah” dapat diartikan sebagai “fee”. Dengan demikian yang dimaksud dengan wakalah bil ujrah adalah penyerahan modal kepada pihak kedua untuk diinvestasikan dengan imbalan. Dalam fatwa yang dikeluarkan oleh DSN-MUI wakalah bil ujrah adalah pemberian kuasa dari peserta kepada perusahaan asuransi untuk mengelola dana peserta dengan imbalan pemberian ujrah (fee).24 Pemberian wewenang kepada perusahaan asuransi syariah untuk mengelola dana dikenakan biaya-biaya. Dalam fatwa DSN-MUI menjelaskan bahwa yang dapat dijadikan objek wakalah bil ujrah pada tujuh objek, yaitu: a. kegiatan administrasi; b. pengelolaan dana; c. pembayaran klaim; d. underwriting; e. pengelolaan portofolio risiko; f. pemasaran; g. investasi; 23 Abdullah al-„Abâdî, Syarh Bidâyah al-Mujtahid wa Nihâyah al-Muqtashid, h.1967. Lihat Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor. 52/DSN-MUI/III/2006 tentang Akad Wakalah Bil Ujrah Pada Asuransi Syariah dan Reasuransi Syariah. 24 29 Dalam akad Wakalah bil Ujrah hal-hal yang harus disebutkan sekurang-kurangnya adalah: a. Objek yang dikuasakan pengelolaannya; b. Hak dan kewajiban Peserta secara kolektif dan/atau Peserta secara individu sebagai muwakkil (pemberi kuasa); c. Hak dan kewajiban Perusahaan sebagai wakil (penerima kuasa) termasuk kewajiban Perusahaan untuk menanggung seluruh kerugian yang terjadi dalam kegiatan pengelolaan risiko dan/atau kegiatan pengelolaan investasi yang diakibatkan oleh kesalahan yang disengaja, kelalaian, atau wanprestasi yang dilakukan Perusahaan; d. Batasan kuasa atau wewenang yang diberikan Peserta kepada Perusahaan; e. Besaran, cara, dan waktu pemotongan ujrah (fee);25 Sebagai sebuah akad antara perusahaan dengan nasabah tetunya ada konsekuensi-konsekuensi apabila akad ini yang dipilih. Perusahaan dalam akad ini tidak akan mendapatkan keuntungan apapun dari hasil investasi yang dia lakukan, kecuali hanya sebatas fee yang telah disepakati dalam polis. Atas dasar itu pula perusahaan tidak bertanggung jawab atas kerugian yang dialami selama itu dilakukan secara profesional. Perusahaan baru bertanggung jawab atas terjadinya kerugian apabila dia 25 Lihat Peraturan Mentri Keuangan Nomor 18/PMK.010/2010 pasal 10 ayat (1). 30 menginvestasikan modal tersebut tidak secara profesional dan wanprestasi.26 2. Akad tabarru’ Kata tabarru’ berasal dari kata barra’a yang berarti memberikan tanpa mengharapkan apapun atau pemberian cuma-cuma, dapat juga diartikan sebagai pemberian yang tidak diwajibkan untuk dikembalikan.27 Akad tabarru’ dalam usaha asuransi syariah adalah “ruh” dalam usaha asuransi syariah, dengan akad ini para tertanggung saling memberikan bantuan apabila terjadi evenemen sebagaimana yang telah ditetapkan oleh perusahaan asuransi dalam polis. Dana tabarru’ hanya boleh digunakan untuk hal-hal yang langsung berkaitan dengan nasabah, seperti klaim, cadangan tabarru’ dan reasuransi syariah.28 Inilah yang membedakannya dengan akad tijari yang boleh dialihkan fungsikan menjadi akad hibah. Kebolehan penggunaan akad tabarru’ telah difatwakan DSN-MUI dengan Nomor 53/DSN-MUI/III 2006 tentang Akad Tabarru‟ Pada Asuransi Syariah yang disahkan pada tanggal 23 Maret 2006 yang berisi tujuh ketetapan. Dalam akad tabarru’, harus disebutkan sekurang-kurangnya: 26 Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor. 52/DSN-MUI/III/2006 tentang Akad Wakalah Bil Ujrah Pada Asuransi Syariah dan Reasuransi Syariah. 27 Sa‟idi Abu Hubaib, al-Qâmûs al-Fiqhî Lughotan wa Ishtilahan, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1988), h.37. 28 Agus Edi Sumanto, dkk., Solusi Berasuransi Lebih Indah Dengan Syariah, h.77. 31 a. Kesepakatan para Peserta untuk saling tolong menolong (ta’awuni); g. Hak dan kewajiban masing-masing Peserta secara individu; h. Hak dan kewajiban Peserta secara kolektif dalam kelompok; i. Cara dan waktu pembayaran kontribusi dan santunan/klaim; j. Ketentuan mengenai boleh atau tidaknya kontribusi ditarik kembali oleh Peserta dalam hal terjadi pembatalan oleh Peserta; k. Ketentuan mengenai alternatif dan persentase pembagian Surplus Underwriting;29 Sebagian akad yang termasuk dalam kelompok akad tabarru’ adalah hibah, kafalah dan takaful.30 D. Produk Asuransi Syariah Dennis W. Goodwin (1992) mengatakan bahwa produk adalah semua yang diterima oleh konsumen.31 Produk asuransi syariah terbagi ke dalam berbagai macam, sesuai dari sudut pandang kita melihatnya. Dilihat dari dana, produk asuransi syariah terbagi dua, yaitu: produk yang memiliki unsur tabungan. Kedua, produk yang tidak memiliki unsur tabungan.32 Sedangkan jika melihat dari pembuatannya ada dua jenis. Produk standar, yaitu produk yang dipasarkan sesuai dengan surat keputusan direksi, mengenai manfaat, premi, maupun syarat- 29 Lihat Peraturan Mentri Keuangan Nomor 18/PMK.010/2010 pasal 8 ayat (1). Muhammad Luthfi, Asuransi Dalam Pandangan Islam, (Jakarta:Lembaga Pers Bekasi, 2003), h.97. 31 Kholil Anwar, Asuransi Syariah Halal dan Mashlahat, (Solo: Tiga Serangkai, 2007), h.81. 32 Kholil Anwar, Asuransi Syariah Halal dan Mashlahat, h.83. 30 32 syarat penutupannya sudah diatur terperinci. Kedua, produk tidak standar (tailor made). Produk ini dibuat berdasarkan permintaan konsumen.33 Berikut ini beberapa contoh produk asuransi dengan unsur tabungan: 1. Program dana pendidikan.34 2. Program dana haji35 3. Program unit link.36 Merupakan program asuransi jiwa unit link yang memberikan santunan kepada orang yang berhak apabila pesarta mengalami musibah, sebagaimana diakadkan dalam polis. Produk non tabungan. Maksud asuransi non tabungan adalah jenis produk yang tidak memiliki unsur tabungan karena premi yang dibayar oleh peserta hanya dimasukkan ke dalam rekening khusus, yaitu rekening tabarru’. Sebagai dana yang diniatkan untuk saling menolong apabila ada peserta lain yang terkena musibah.37 1. Program kecelakaan diri38 2. Program kecelakaan siswa.39 3. Program kecelakaan diri perkumpulan.40 Program ini ditujukan untuk perusahaan atau organisasi berbadan hukum yang ingin menyediakan 33 Kholil Anwar, Asuransi Syariah Halal dan Mashlahat, h.83. Kholil Anwar, Asuransi Syariah Halal dan Mashlahat, h.83. 35 Kholil Anwar, Asuransi Syariah Halal dan Mashlahat, h.86. 36 Kholil Anwar, Asuransi Syariah Halal dan Mashlahat, h.87. 37 Kholil Anwar, Asuransi Syariah Halal dan Mashlahat, h.89. 38 Kholil Anwar, Asuransi Syariah Halal dan Mashlahat, h.89. 39 Kholil Anwar, Asuransi Syariah Halal dan Mashlahat, h.90. 34 33 santunan bagi karyawan/anggotanya apabila mengalami musibah karena kecelakaan. Program ini biasanya disyaratkan diikuti minimal 25 orang. 4. Program asuransi falah. Program ini merupakan produk yang dirancang secara khusus untuk peserta yang menginginkan manfaat asuransi secara luas atau menyeluruh. Maksudnya mencakup segala sisi kebutuhan peserta guna memperoleh proteksi dari kerugian financial akibat musibah yang menimpa.41 Program asuransi kesehatan kumpulan.42 Ditujukan pada karyawan 5. perusahaan atau anggota organisasi. Dua jenis produk, yaitu: takaful jiwa (life insurance) dan takaful kerugian (general insurance).43 Jenis takaful jiwa terdiri dari empat jenis produk yaitu: takaful dana siswa, takaful dana investasi, takaful dana haji, dan takaful khairat. Jenis takful kerugian terdiri dari tiga jenis yaitu: takaful kebakaran, takaful kendaraan, takaful kecelakaan. 40 Kholil Anwar, Asuransi Syariah Halal dan Mashlahat, h.90. Kholil Anwar, Asuransi Syariah Halal dan Mashlahat, h.94. 42 Kholil Anwar, Asuransi Syariah Halal dan Mashlahat, h.95. 43 Gemala Dewi, dkk., Hukum Perikatan Islam di Indonesia, h.168. 41 BAB III ASPEK PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM KONTRAK BAKU ASURANSI SYARIAH A. Kontrak Baku 1. Pengertian Kontrak Baku Sebagaimana pada umumnya kontrak baku atau perjanjian baku sama halnya dengan perjanjian pada umumnya. Perikatan sebagai ikatan yang menghubungkan antara dua pihak.1 Sebagaimana dijelaskan dalam KUH Perdata pasal 1313 perjanjian atau persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana seorang atau lebih mengikatkan dririnya terhadap satu orang lain atau lebih. Kontrak baku, kontrak standard atau kontrak adhesi adalah beberapa istilah yang digunakan terhadap perjanjian yang seluruh klausul-klausulnya sudah dibakukan oleh pemakainya dan pihak yang lain pada dasarnya tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau minta perubahan.2 Perjanjian baku pada umumnya telah tercetak (boilerplate) sehingga pihak lain tidak memiliki kesempatan untuk menegosiasi, pilihan yang ada adalah mengambil kontrak tersebut atau meninggalkannya,3 hal yang senada 1 Soebekti, Hukum Perjanjian, cet. Ke-19. (Jakarta: Intermasa, 2002), h.1. Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, (Jakarta: Institut Bankir Indonesia, 1993), h.66. 3 Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), Buku Kedua, (Jakarta: PT. Citra Aditya Bakti, 2003), h.76. 2 34 35 juga diutarakan oleh Hondius.4 Yang belum dibakukan hanya terkait beberapa hal yaitu seputar objek yang ditransaksikan dan besaran biaya yang harus ditanggung.5 Di tengah bisnis yang semakin pesat diperlukan kontrak yang baku untuk mengefisiensikan biaya, tenaga, dan waktu6 dalam perjalanan bisnis. Banyak contoh perjanjian yang bisa kita lihat penggunaan kontrak baku seperti tiket pesawat, kredit bank, jual beli, asuransi, dan lain-lain. Ciri-ciri kontrak baku menurut Mariam Badrulzaman, yaitu: a. Isi ditetapkan secara sepihak oleh pihak yang posisi (ekonominya) kuat; b. Masyarakat (debitur) sama sekali tidak ikut bersama-sama menentukan isi perjanjian; c. Terdorong oleh kebutuhannya, debitur terpaksa menerima perjanjian itu; d. Bentuknya tertulis; e. Dipersiapkan secara massal dan kolektif.7 2. Dasar Hukum Kontrak Baku Secara khusus keberadaan kontrak baku tidak diatur dalam perundangundangan dan juga tidak dilarang oleh undang-undang. Kontrak baku telah 4 Salim HS, dkk., Perancangan Kontrak dan Momerandum of Understanding (MoU), (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), h.70. 5 Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak, h.66. 6 Salim HS, dkk., Perancangan Kontrak, h.73. 7 Salim HS, dkk., Perancangan Kontrak, h.70-71. 36 ada dan eksis sejak ribuan tahun yang lalu dalam dunia bisnis.8 Pengaturan kontrak baku dapat kita temukan pada beberapa peraturan perundangundangan berikut. a. Pasal 6.5.1.2 dan pasal 6.5.1.3 NBW Belanda. b. Pasal 2.19 sampai dengan pasal 2.22 Priciples of international Commercial Contract (Prinsip UNIDROIT). Prinsip ini mengatur hak dan kewajiban para pihak pada saat mereka menerapkan prinsip kebebasan berkontrak. c. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. d. Undang-undang Nomor 8 tentang Perlindungan Konsumen. UUPK menjelaskan secara khusus pengertian pasal 1 angka 10 kemudian menjelaskan ketentuan yang tidak boleh dicantumkan dalam kontrak baku di dalam pasal 18. e. Rancangan Undang-undang tentang Kontrak. Kontrak ini dijelaskan dalam pasal 2.19 sampai dengan pasal 2.22.9 f. Peraturan Otoritas Jasa Keungan Nomor: 1/POJK.07/2013 yang diundangkan pada tanggal 6 Agustus 2013 yang berlaku bagi seluruh perusahaan keuangan, termasuk di dalamnya perusahaan Asuransi Syariah. Peraturan ini memuat ketentuan yang tidak boleh dicantumkan 8 9 Salim HS, dkk., Perancangan Kontrak, h.72. Salim HS, dkk., Perancangan Kontrak, h.73-76. 37 dalam sebuah kontrak baku dalam pasal 22. Pada dasarnya ketentuan yang dilarang dicantumkan dalam kontrak baku yang diatura dalam peraturan OJK ini tidak jauh berbeda dengan UUPK yang dijelaskan dalam pasal 18. 3. Keabsahan Kontrak Baku Keabasahan kontrak baku sebenarnya tidak perlu dipersoalkan lagi, sebab, kontrak baku telah ada sejak 80 tahun yang lalu.10 Walaupun demikian perdebatan tentang keabsahan kontrak baku tidak bisa dilupakan begitu saja, sebab, hal ini berkaitan dengan perbaikan peraturan perundangundangan khususnya yang berkaitan dengan penggunaan kontrak baku. Ahli hukum berbeda pandangan dalam menilai keabsahan kontrak baku. Negara yang umumnya bersistem Eropa Kontinental berbeda pandangan dalam menilai keabsahannya dengan argumentasinya masingmasing. Sluijter mengatakan bahwa kontrak baku bukan perjanjian. Baginya kontrak yang dibuat oleh perusahaan adalah undang-undang swasta. Dengan bahasa yang berbeda Pitlo mengatakan kontrak baku adalah perjanjian paksa.11 Bagi yang mendukung sahnya kontrak baku berdasarkan alasan fiksi adanya kemauan dan kepercayaan yang mengikatkan dirinya pada kontrak 10 11 Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak, h.70. Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak, h.69. 38 baku tertsebut, pendapat ini diutarakan oleh Stein.12 Pendapat lain yang mendukung keabsahan kontrak baku diutarakan oleh Hondius yang berpendapat bahwa kontrak baku telah menjadi kebiasaan yang berlaku di masyarakat dan lalu lintas bisnis.13 Asser Ruten mengatakan bahwa setiap kontrak yang ditanda tanganinya maka ia terikat dengan kontrak tersebut.14 Kalau pendapat ini yang digunakan bagaimana kalau perjanjian tersebut tidak dibubuhi tanda tangan? Seperti kontrak yang ada pada tiket pesawat. Pada dasarnya tidak ada ketentuan yang mengharuskan suatu kontrak itu ditanda tangani, bahkan kontrak yang hanya disepakati dengan syarat saja sudah dapat dikatakan kontrak yang sah.15 Negara dengan sistem common law sebagaimana di Amerika berpandangan bahwa hakim di sana berpendapat bahwa kontrak baku (adhesi) tidak dapat diterapkan, hal ini disimpulkan oleh Whitman dan Gergacz.16 Walaupun demikian ini tidak berjalan lama. Pada tahun 1960-an pendapat ini mulai ditinggalkan. Hal ini ditandai dengan mulai diawasi penggunaan kontrak baku.17 Walaupun demikian mereka tetap berpegang 12 Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak, h.69. Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak, h.69. 14 Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak, h.69. 15 Munir Fuady, Hukum Kontrak, h.92. 16 Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak, h.70. 17 Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak, h.70. 13 39 teguh pada prinsip Cevat Emptor (Let the Buyer beware), yang berarti pembelilah yang harus hati-hati.18 4. Prinsip-prinsip Kontrak Baku Sebagai sebuah instrumen hukum yang mengikat debitur dengan kreditur serta mengatur kewajiban dan hak masing-masing pihak, kontrak baku harus mendapat perhatian khusus terkait dengan prinsip-prinsip penting yang berpotensi untuk dilanggar oleh karenanya ini harus mendapatkan perhatian dalam kontrak baku. Munir Fuadi menjelaskan ada empat (4)19 prinsip yang harus diperhatikan dalam kontrak baku yaitu: a. Prinsip kesepakatan kehendak dari para pihak Kesepakatan sebagai dasar sahnya perikatan tetap menjadi penentu sah atau tidaknya kontrak tersebut. Sebagaimana dijelaskan dalam pasal 1320 KUH Perdata yang menyatakan perjanjian yang sah adalah adanya kesepakatan dari kedua belah pihak. Walaupun kontrak baku dibuat oleh salah satu pihak saja, unsur kesepakatan harus dapat dipenuhi dalam kontrak baku tersebut. Kesepakatan itu dapat ditandai dengan ditanda tanganinya kontrak tersebut20 atau dengan cara serah terima barang yang ditransaksikan. 18 Munir Fuady, Hukum Kontrak, h.86. Munir Fuady, Hukum Kontrak, h.84-85. 20 Munir Fuady, Hukum Kontrak, h.84. 19 40 b. Prinsip asumsi risiko dari para pihak. Adanya asumsi resiko dalam perjanjian tidak dilarang. Artinya apabila salah satu pihak bersedia menanggung resiko tersebut, ketika resiko tersebut terjadi maka yang menyatakan bersedia tersebut harus menanggung resiko tersebut.21 c. Prinsip kewajiban membaca (duty to read). Prinsip kewajiban membaca oleh konsumen yang dianut oleh sistem negara common law seperti Amerika juga harus diperhatikan konsumen yang ada di Indonesia. Disiplin ilmu hukum juga mengajarkan bahwa setiap pihak wajib membaca kontrak yang mereka tanda tangani. Tanda tangan yang dibubuhkan dalam kontrak tersebut adalah tanda kalau mereka telah membaca sepenuhnya kontrak yang mereka sepakati.22 d. Prinsip kontrak mengikuti kebiasaan. Kontrak sebagai role yang mengatur apa yang harus dilakukan dan tidak boleh dilakukan para pihak bukan berarti apa yang tidak dicantumkan dalam kontrak boleh dilakukan atau tidak boleh dilakukan. Ada prinsip kebiasaan juga yang mengikat para pihak dalam perjanjian.23 Pasal 1339 mengatakan bahwa: 21 Munir Fuady, Hukum Kontrak, h.84. Munir Fuady, Hukum Kontrak, h.85. 23 Munir Fuady, Hukum Kontrak, h.85. 22 41 Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang. Ketentuan pasal ini ditujukan untuk memenuhi rasa keadilan di samping kepastian hukum. 5. Pencantuman Klausul Eksemsi Perbuatan curang sering diselipkan dalam kontrak dengan dicantumkanya klausula ekesemsi. Istilah eksemsi terjemahan dari istilah inggris exemtion clouse. Selain itu ada juga istilah lain seperti klausula eksonerasi istilah ini digunakan oleh Mariam Badurlzaman.24 Terlepas dari perbedaan penggunaan istilahnya. Yang dimaksud dengan klausul eksemsi adalah klausula yang berisi pembatasan pertanggungan jawab dari kreditur.25 Kumar memberikan pengertian exclution clouse sebagai berikut: Clouse of contract which purports to protect the proferens absolutely or in a limited manner against liability, for breach of contract, or damages, or exclude his liability if the action is brought after the stipulated time.26 Sutan Remi Sjahdeini mengatakan bahwa yang dimaksud dengan klausul esksemsi adalah: Klausul yang bertujuan untuk membebaskan atau membatasi tanggung jawab salah satu pihak terhadap gugatan pihak lainnya dalam hal yang bersangkutan tidak atau tidak dengan semestinya melaksanakan kewajibannya yang ditentukan di dalam perjanjian tersebut.27 24 Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak, h.72. Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak, h.74. 26 Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak, h.74. 27 Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak, h.75. 25 42 Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa klausul eksemsi ditujukan oleh salah satu pihak untuk menghindari tanggung jawab dari perbuatan wanprestasi yang harusnya ditanggung olehnya.28 Biasanya hal ini dicantumkan dalam perluasan makna force majeure, walaupun harus diakui bahwa force majeure adalah hal yang normal. Menghindari tanggung jawab tersebut dapat berupa menghindari seluruhnya tanggung jawab atau hanya sebagiannya saja.29 UUPK tidak membolehkan perbuatan ini dilakukan oleh pengusaha. Ketidak bolehan hal tersebut dijelaskan dalam pasal 18 ayat (1) huruf a yang menyatakan bahwa pelaku usaha dilarang untuk mencantumkan pengalihan tanggung jawab. 6. Force majeure Force majeure dapat diartikan sebagai keadaan yang memaksa. Dalam kontrak baku penafsiran force majeure dilakukan, bahkan ada yang terlihat seperti ingin mengelak dari tanggung jawab. Hal ini terjadi KUH Perdata tidak memberikan perincian yang jelas tentang pengertian force majeure, sehingga terjadi penafsiran yang luas. Pasal 1244 KUH Perdata menjelaskan tentang Force majeure: Dalam hal ini, kejadian-kejadian yang merupakan Force majeure tersebut tidak pernah terduga oleh para pihak sebelumnya. Sebab, jika para pihak sudah dapt menduga sebelumnya akan adanya peristiwa 28 29 Munir Fuady, Hukum Kontrak, h.98. Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak, h.76. 43 tersebut, maka seyogianya hal tersebut harus sudah dinegosiasikan di antara para pihak. Dari penjelasan pasal tersebut maka terjadinya Force majeure disebabkan oleh tiga hal: (1) Force majeure karena sebab-sebab yang tidak terduga; (2) force majeure karena keadaan memaksa; (3) force majeure karena perbuatan tersebut terlarang.30 Dari segi praktek yang berjalan force majeure dapat dibagi menjadi dua, yaitu: a. Force majeure yang objektif dan yang subjektif Yang dimaksud dengan force majeure yang objektif adalah kejadian yang menimpa benda tersebut sehingga tidak dapat dilakukan transaksi sebagaimana yang disepakati dalam kontrak, tanpa ada unsur kesengajaan dari pihak debitur. Misalnya benda tersebut terbakar.31 Sedangkan force majeure yang subjektif berkaitan dengan debitur itu sendiri, misalnya dia tidak mampu lagi membayar karena sakit berat.32 b. Force majeure yang absolut dan yang relatif. Force majeure yang obsolut adalah kejadian yang menyebabkan debitur sama sekali tidak mampu lagi melanjutkan kontrak tersebut. 30 Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), cet. Ke-2. (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2001), h.115. 31 Munir Fuady, Hukum Kontrak, h.115. 32 Munir Fuady, Hukum Kontrak, h.116. 44 Sedangkan force majeure relatif adalah pemenuhan prestasi masih mungkin untuk dilakukan.33 c. Force majeure permanen dan temporer Force majeure yang permanen jika sama sekali sampai kapan pun prestasi tidak mungkin sama sekali untuk dilakukan. Sedangkan temporer masih mungkin dilakukan setelah peristiwa yang menyebabkan force majeure tersebut telah selesai.34 Ilmu hukum dalam menyikapi keadaan ini terdapat dua teori terhadap pemenuhan prestasi apabila terjadi force majeure. Teori pertama adalah teori tradisional. Mengajarkan bahwa walaupun pelaksanaan kontrak memerlukan tenaga, waktu atau biaya ekstra besar, selama kontrak tersebut masih dapat dilaksanakan maka kontrak tersebut harus dilaksanakan dan force majeure belum berlaku.35 Teori kedua adalah teori modern. Mengajarkan walaupun pelaksanaan kontrak tersebut masih mungkin untuk dilakukan, akan tetapi, dia akan memerlukan pengorbanan yang besar. Teori ini memberi kesempatan suatu kejadian yang menghalangi untuk melakukan prestasi karena alasan force majeure. Alasan rasionalnya bahwa dimaafkannya pelaksanaan prestasi 33 Munir Fuady, Hukum Kontrak, h.116. Munir Fuady, Hukum Kontrak, h.117. 35 Munir Fuady, Hukum Kontrak, h.134. 34 45 dalam keadaan “tidak praktis” tersebut sudah merupakan “asumsi dasar” para pihak ketika kontrak dibuat.36 B. Perlindungan Konsumen Dasar Hukum Perlindungan Konsumen 1. Sebelum menjelaskan lebih jauh perihal perlindungan konsumen alangkah baiknya kalau terlebih dahulu memahami konsumen itu sendiri. UUPK memberikan pengertian konsumen dalam pasal 1 ayat (2) menyatakan bahwa: Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Selain itu pengertian yang tidak jauh berbeda juga dijelaskan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan (selanjutnya disebut POJK) pasal 1 angka 2 menyatakan bahwa yang dimaksud dengan konsumen adalah: Konsumen adalah pihak-pihak yang menempatkan dananya dan/atau memanfaatkan pelayanan yang tersedia di Lembaga Jasa Keuangan antara lain nasabah pada Perbankan, pemodal di Pasar Modal, pemegang polis pada perasuransian, dan peserta pada Dana Pensiun, berdasarkan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan. Dari pengertian di atas dalam konteks asuransi syariah bahwa yang dimaksud dengan konsumen asuransi syariah adalah orang pribadi maupun 36 Munir Fuady, Hukum Kontrak, h.134-135. 46 badan hukum yang menempatkan dana dan memanfaatkan jasa yang ditawarkan perusahaan asuransi syariah. Perlindungan konsumen ditujukan untuk memenuhi rasa keadilan serta memberikan kepastian hukum. Kedua tujuan ini diharapkan mampu untuk memberikan kualitas perlindugan konsumen, sehingga hak-haknya dapat terpenuhi tanpa ada penyelewengan dari posisi lemah yang mereka miliki. Untuk mendapat legitimasi dan legalitas maka perlindungan tersebut harus diatur dalam bentuk peraturan perundang-undangan sebagai dasar hukumnya. Ada beberapa peraturan yang berkaitan dengan perlindungan konsumen asuransi syariah. b. Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Asuransi Syariah. c. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1998 tentang Perlindungan Konsumen. d. Peraturan Otoritas Jasa Keungan Nomor: 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan. 2. Asas-asas Perlindungan Konsumen Dalam pasal 2 UUPK menyatakan bahwa “perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan, dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum.” Asas ini diharapkan mampu untuk memberikan perlindungan kepada hak-hak konsumen. Berikut penjelasan asas-asas tersebut. a. Asas manfaat. 47 Asas manfaat ditujukan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan. b. Asas keadilan. Asas ini dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil. c. Asas keseimbangan. Asas ini dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha dan pemerintah dalam arti materiil ataupun spiritual. d. Asas keamanan dan keselamatan konsumen. Asas ini dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan. e. Asas kepastian hukum. Asas ini dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum. 48 Kalau diperinci kelima asas tersebut dapat disempitkan menjadi tiga asas sebagai berikut: a. Asas kemanfaatan yang di dalamnya meliputi asas keamanan dan keselataman konsumen. b. Asas keadilan yang di dalamnya meliputi asas keseimbangan c. Asas kepastian hukum.37 Pengelompokan ketiga asas di atas berdasarkan hukum ekonomi keadilan disejajarkan dengan asas keseimbangan, kemanfaatan disejajarkan dengan asas maksimalisasi, dan kepastian hukum disejajarkan dengan asas efisiensi.38 Ditambahkan lagi bahwa asas kepastian hukum disejajarkan dengan asas efisiensi kerena menurut Himawan “hukum yang berwibawa berarti hukum yang efisien, di bawah naungan mana seseorang dapat melaksanakan hak-haknya tanpa ketakutan dan melaksankan kewajibannya tanpa penyimpangan.”39 Dengan asas-asas di atas diharapkan lahirnya UUPK ini mampu mencegah munculnya aktivitas-aktivitas bisnis yang mengarah pada unfair business and practice yang dengan cepat berkembang ditengah-tengah pasar bebas.40 37 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, h.26. Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, h.33. 39 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen,h.33. 40 Iman Sjahputra, Perlindungan Konsumen dalam Transaksi Elektronik, (Bandung: PT. Alumni, 2010), h.167. 38 49 Selain itu Lahirnya UUPK manfaatnya tidak hanya dirasakan oleh konsumen saja, sebagaimana dijelaskan di atas bahwa lahirnya UUPK memberikan pemahaman yang holistik tentang hak dan kewajibannya sebagai konsumen. Akan tetapi juga memberikan dampak yang positif kepada pelaku usaha, yang meningkatkan produktifitas dan kualitas produksi mereka, sehingga hak-hak konsumen dapat terpenuhi.41 Untuk mendukung tujuan tersebut OJK mengeluarkan peraturan tentang perlindungan konsumen yang berlaku khusus pada lembaga keuangan menambahkan lima prinsip. Kelima prinsip tersebut sebagai berikut: a. Transparansi; b. Perlakuan yang adil; c. Keandalan; d. kerahasiaan dan keamanan data/informasi Konsumen; dan e. penanganan pengaduan serta penyelesaian sengketa Konsumen secara sederhana, cepat, dan biaya terjangkau.42 Lebih lanjut POJK menjelaskan dalam pasal 4 UU bahwa OJK dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan jasa keuangan di dalam sektor jasa keuangan terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan 41 Tatik Suryani, Perilaku Konsumen: Implikasi pada Strategi Pemasaran, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2008), h.332. 42 Peraturan Otoritas Jasa Keungan Nomor: 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan pasal 2. 50 akuntabel, serta mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, dan mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat. 3. Hak dan Kewajiban Konsumen Secara umum hak-hak konsumen sangat beragam, secara garis besar hak-hak konsumen dapat dibagi tiga yaitu: a. Hak yang dimaksudkan untuk mencegah konsumen dari kerugian, baik keruguian personal, maupun kerugian harta kekayaan; b. Hak untuk memperoleh barang dan/atau jasa dengan harga yang wajar; dan c. Hak untuk memperoleh penyelesaian yang patut terhadap permasalahan yang dihadapi.43 Dari tiga hak di atas UUPK memberikan penjelasan lebih lanjut tentang hak konsumen sebagi berikut: a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa; b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; c. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa; 43 Abdul Halim Barkatullah, Hak-hak Konsumen, (Bandung: Nusa Media, 2010), h.25. 51 d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan; e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut; f. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen; g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundangundangan lainnya. Untuk menyeimbangkan antara hak konsumen di atas maka UUPK menjelaskan tentang kewajiban konsumen adalah: a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan; b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa; c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati; d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut. 52 4. Perlindungan Konsumen dalam Kontrak Baku UUPK telah memberikan rambu-rambu dalam pembuatan kontrak baku. Harus diakui bahwa posisi konsumen dalam kontrak baku hanya sebatas mengambil atau menolak polis yang ditawarkan kepadanya. Atas dasar itu pula negara sebagai pihak yang bertanggung jawab akan tegaknya perlindungan konsumen, sehingga kenyamanan dan keamanan dapat dirasakan oleh setiap konsumen. Rentannya posisi konsumen untuk disalah gunakan POJK mengatur keseimbangan dalam perjanjian yang dibuat oleh perusahaan, asas ini dijelaskan dalam pasal 21. Keseimbangan ini ditujukan untuk meningkatkan rasa saling menghormati antara para pihak, serta melaksanakan kewajiban dan hak mereka secara seimbang, tanpa memberatkan satu pihak dan meringankan pihak lain. Kebebasan dan kesepakatan dalam membuat kontrak adalah salah satu prinsip dalam membuat kontrak. Akan tetapi dengan adanya kontrak baku maka hal ini perlu diatur dalam peraturan perundang-undangan. Untuk mengakomodir hal tersebut UUPK dalam pasal 18 telah memberikan ramburambu dalam pembuatan kontrak baku. Ketentuan yang hampir sama juga diatur dalam pasal 22. Dalam pasal 22 ayat (1) menegaskan kembali tentang pentingnya sebab yang halal sebagaimana dijelaskan dalam pasal 1320. Sebab yang halal dalam pasal 1337 menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan sebab 53 yang halal adalah yang tidak bertentangan dengan peraturan perundangundangan dan ketertiban umum. Poin tidak bertentangan dengan perundangundangan inilah yang ditekankan dalam POJK tersebut. Kemudian dalam ayat (3) dijelaskan hal-hal yang tidak boleh dicantumkan dalam kontrak baku sebagai berikut: a. Menyatakan pengalihan tanggung jawab atau kewajiban Pelaku Usaha Jasa Keuangan kepada Konsumen; b. Menyatakan bahwa Pelaku Usaha Jasa Keuangan berhak menolak pengembalian uang yang telah dibayar oleh Konsumen atas produk dan/atau layanan yang dibeli; c. Menyatakan pemberian kuasa dari Konsumen kepada Pelaku Usaha Jasa Keuangan, baik secara langsung maupun tidak langsung, untuk melakukan segala tindakan sepihak atas barang yang diagunkan oleh Konsumen, kecuali tindakan sepihak tersebut dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan; d. Mengatur tentang kewajiban pembuktian oleh Konsumen, jika Pelaku Usaha Jasa Keuangan menyatakan bahwa hilangnya kegunaan produk dan/atau layanan yang dibeli oleh Konsumen, bukan merupakan tanggung jawab Pelaku Usaha Jasa Keuangan; e. Memberi hak kepada Pelaku Usaha Jasa Keuangan untuk mengurangi kegunaan produk dan/atau layanan atau mengurangi harta kekayaan Konsumen yang menjadi obyek perjanjian produk dan layanan; f. Menyatakan bahwa Konsumen tunduk pada peraturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau perubahan yang dibuat secara sepihak oleh Pelaku Usaha Jasa Keuangan dalam masa Konsumen memanfaatkan produk dan/atau layanan yang dibelinya; dan/atau g. Menyatakan bahwa Konsumen memberi kuasa kepada Pelaku Usaha Jasa Keuangan untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan atas produk dan/atau layanan yang dibeli oleh Konsumen secara angsuran. BAB IV ANALISIS PERBANDINGAN KONTRAK BAKU ASURANSI SYARIAH A. Analisis Isi Kontrak Baku Menurut Prinsip Syariah Penggunaan kontrak baku dalam persfektif hukum Islam tidak dilarang, sebagaimana tidak dilarang juga oleh peraturan perundang-undangan. Akan tetapi kontrak baku yang dibuat harus memenuhi prinsip-prinsip hukum Islam. Bebas dari unsur gharar, riba, maysir, zalim dan objek yang dilarang oleh hukum Islam. Kerelaan peserta menanda tangani polis, sebagai tanda persetujuannya untuk bersepakat mengikatkan diri kepada perusahaan. Kerelaan tersebut dianggap sah selama tidak diiringi dengan tipuan dan perubuatan curang lainnya, sehingga dapat berakibat kerugian bagi pemegang polis. 1. Penggunaan Akad Tabarru’ Pengaturan kesyariahan usaha asuransi yang berbasis syariah telah banyak dikeluarkan oleh DSN-MUI. Fatwa tersebut wajib diterapkan oleh lembaga usaha asuransi syariah diluar ketentuan lainnya yang diatur dalam peraturan perundang-undangan dalam perjalanan bisnis termasuk di dalamnya dalam polis. DSN-MUI mengeluarkan fatwa Nomor 53/DSN-MUI/III/2006 tentang Akad Tabarru’ Pada Asuransi syariah menyatakan bahwa, akad tabarru’ harus ada dalam setiap produk asuransi syariah. Semua produk asuransi 54 55 syariah harus mencantumkan ketentuan akad tabarru’ tersebut dalam setiap polis. Dalam fatwa di atas dijelaskan bahwa dalam sebuah polis minimalnya harus mencantumkan beberapa hal berikut ini: a. hak dan kewajiban masing-masing peserta secara individu; b. hak dan kewajiban antara peserta secara individu dalam akun tabarru’ selaku peserta dalam arti badan/kelompok; c. cara dan waktu pembayaran premi dan klaim; d. pilihan penempatan surplus underwrinting dari dana tabarru’. Terkait dengan hal-hal yang harus dicantumkan dalam sebuah polis, dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/PMK.010/2010 tentang Penerapan Prinsip Syariah Pada Usaha Asuransi dan Reasuransi Syariah Pasal 8 ayat (1) menyatakan bahwa: Akad Tabarru ’ sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, wajib memuat sekurang-kurangnya: a. kesepakatan para Peserta untuk saling tolong menolong (ta’awuni); b. hak dan kewajiban masing-masing Peserta secara individu; c. hak dan kewajiban Peserta secara kolektif dalam kelompok; d. cara dan waktu pembayaran kontribusi dan santunan/klaim; e. ketentuan mengenai boleh atau tidaknya kontribusi ditarik kembali oleh Peserta dalam hal terjadi pembatalan oleh Peserta; f. ketentuan mengenai alternatif dan persentase pembagian Surplus Underwriting; dan g. ketentuan lain yang disepakati. Dari berbagai macam akad tabarru’ akad yang digunakan dalam asuransi syariah adalah akad hibah, yang berarti bahwa dana yang telah 56 diberikan tidak dapat dikembalikan lagi kepada pemberi hibah (tertanggung) tersebut. Dana hibah yang diberikan tertanggung setiap pembayaran premi dapat dialokasikan dalam bentuk investasi dengan mengaplikasikan akad mudharabah, mudharabah musytarakah atau akad wakalah bil ujrah. Dana hibah dari pembayaran premi yang diinvestaksikan tersebut harus dipisahkan pembukuaannya dengan dana premi yang berbentuk akad tijari. Hal ini berimplikasi juga pada pembagian keuntungannya. Pada akad tabarru’ walaupun dana tersebut tidak bersifat ekonomis akan tetapi masih diperbolehkan untuk diinvestasikan, keuntungan dari underwriting tersebut dikembalikan kepada anggota asuransi. Sebab, pada dasarnya dana tersebut adalah milik peserta asuransi. Ada tiga pilihan dalam pengalokasian surplus underwriting sebagaimana diatur dalam PMK Nomor. 18/PMK.010/2010 pasal 13 ayat (1): a. b. c. Seluruhnya ditambahkan ke dalam Dana Tabarru’. Sebagian ditambahkan ke dalam Dana Tabarru’ dan sebagian dibagikan kepada peserta, atau Sebagian ditambahkan ke dalam Dana Tabarru’, sebagian dibagikan kepada peserta, dan sebagian dibagikan kepada perusahaan. Ketiga pilihan di atas dapat dilakukan oleh peserta asuransi. Pilihan tersebut harus disepakati oleh tertanggung dan dicantumkan dalam polis, ketentuan ini secara tegas dijelaskan dalam fatwa PMK PMK Nomor. 18/PMK.010/2010 pasal 13 ayat (2). Ada dua permasalahan dari ketentuan pengembalian surplus underwriting tersebut: 57 a. Polis baku yang ditawarkan oleh perusahaan asuransi syariah menempatkan posisi peserta asuransi tidak memiliki hak suara. b. Polis baku tidak memungkinkan kepada peserta asuransi untuk melakukan negosiasi kepada perusahaan asuransi. Walaupun demikian, harusnya polis tersebut juga dapat memberikan hak suara kepada peserta asuransi untuk membicarakan surplus dana tabarru’ tersebut. Selain permasalahan di atas terdapat juga permasalahan mengenai pemgembalian dana tabarru’ kepada anggota yang berhenti sebelum waktu perjanjian berakhir. Pada dasarnya dana tabarru’ tidak dapat dikembalikan kepada peserta yang berhenti tersebut. Hal ini sejalan dengan Hadis Rasulullah saw: العائد فى هبته كالكلب يقئ على قيئه Artinya: “Orang yang mengambil kembali barang yang telah dihibahkannya, seperti anjing yang menjilat muntahnya.” Walaupun demikian tidak menutup kemungkinan dana hibah tersebut dikembalikan kepada peserta. Kemungkinan ini dilegitimasi sebagaimana dalam fatwa DSN-MUI Nomor 81/DSN-MUI/III/2011. Apabila peserta sepakat dalam aturan mereka untuk mengembalikan dana hibah yang telah disetor oleh peserta yang mengundurkan diri tersebut, sebagaimana ditegaskan dalam PMK Nomor. 18/PMK.010/2010 pasal 8 ayat (1) huruf e. Maka perusahaan asuransi harus mengembalikan dana tersebut. Sebab, dana hibah adalah sepenuhnya hak peserta asuransi. 58 Untuk mengatur dana hibah tersebut peserta berwenang untuk membuat aturan yang mereka sepakati. Apabila mereka menyerahkan kewenangan tersebut kepada perusahaan asuransi maka kewenangan tersebut harus dinyatakan dengan tegas dalam akad. Oleh karenanya apabila perusahaan menerima kewenangan tersebut harus ditindak lanjuti oleh perusahaan asuransi dengan membuat aturan tentang pengelolaan dana hibah tersebut. Dalam polis Axa Mandiri dalam pasal 13 misalnya telah mengatur pilihan alternatif mana yang diambil ketika surplus atau defisit underwrinting terjadi. Bahkan ditambahkan pemberian surplus kepada pemegang polis dapat dilakukan apabila memenuhi syarat-syarat tertentu dalam bentuk unit. Akan tetapi dalam jumlah tertentu yang sangat minim untuk dibagikan kepada anggota asuransi maka surplus tersebut diberikan kepada lembaga amil zakat yang berwenang. Pasal 13 angka 4 menjelaskan bahwa: “dalam hal pembagian surplus underwriting tidak melebihi jumlah tertentu sehingga terlalu kecil untuk dilakukan pembagian maka pengelola akan menghibahkannya kepada badan amil zakat dan shodaqoh (BAZIS) yang memiliki izin dari lembaga pemerintah yang berwenang.” Dari ketentuan pasal tersebut telah memberikan jalan keluar bagi keuntungan dari dana yang diinvestasikan, sebagaimana yang dimaksud oleh fatwa DSN-MUI Nomor 53 tentang Akad Tabarru’ pada Asuransi Syariah pada bagian kelima. Pengelola dari ketentuan pasal di atas melakukan interpretasi terhadap fatwa yang dikelaurkan oleh DSN-MUI. Sebab, pada 59 fatwa tersebut tidak menjelaskan kadar minimal dari surplus. Axa Mandiri menginterpretasikan dengan memberikan batasan minimal yang wajar, walaupun dalam polis tidak ditemukan batasan yang terlalu kecil tersebut. Terkait dengan pencantuman Lembaga BAZIS dijelaskan dalam pasal 13 ayat (5) PMK Nomor 18/PMK.010/2010 menjelaskan bahwa : Dalam hal pembagian Surplus Underwriting kepada Peserta secara ekonomis membutuhkan biaya yang lebih besar daripada bagian yang akan dibagikan, Perusahaan tidak dapat mengambil bagian Peserta tersebut, dan dapat menambahkannya ke dalam Dana Tabarru ’, memperhitungkannya untuk mengurangi kontribusi Peserta periode berikutnya, atau memanfaatkannya untuk dana sosial. Pada dasarnya surplus dikembalikan kepada dana tabarru’ untuk tujuan meringankan beban peserta dalam pembayaran premi. Akan tetapi peraturan di atas tidak menutup kemungkinan untuk mengalihkannya menjadi dana sosial. Terkait dengan peserta yang berhenti sebelum terjadinya prestasi, dana tabarru’ (hibah) yang telah dikeluarkan oleh peserta tidak dapat dikembalikan lagi kepada pemegang polis salah satu yang berkebijakan seperti itu adalah PT Asuransi Allianz Utama Indonesia. Bagian 11 pada paragraf terakhir dinyatakan bahwa “dalam kasus pembatalan perusahaan tidak berkewajiban untuk mengembalikan premi dan biaya-biaya yang telah diterima.” Pencantuman klausula ini diperbolehkan oleh fatwa DSN-MUI Nomor 81. Perlu menjadi perhatian bahwa premi tidak hanya terdiri dari dana tabarru’ saja, dana tijari juga termasuk dari premi yang dibayarkan oleh 60 peserta. Klausula yang diatur oleh PT Asuransi Allianz Utama Indonesia berpotensi untuk disalah gunakan. Apabila yang dimaksud dalam klausula tersebut juga termasuk pada akad tijari maka hal itu bertentangan dengan fatwa DSN-MUI. Dana tijari yang telah dikeluarkan oleh peserta merupakan hak peserta, karena sifatnya hanya menitipkan, dalam skema akad wakalah bil ujrah atau mudharabah atau kongsi dalam skema akad mudharabah musyarokah. Polis standar PT Asuransi Allianz Utama Indonesia tidak mencantumkan pengalihan hak kepada mereka tentang pengelolaan dana tabarru’ termasuk pengembalian dana tersebut apabila peserta berhenti di tengah jalan. Padahal pengelola tidak berhak sama sekali terkait dengan dana tabarru’ tersebut. Kecuali dinyatakan oleh peserta dalam polis mereka. Sedangkan polis yang dikeluarkan oleh Axa Mandiri tidak menjelaskan pengembalian dana tabarru’ bagi anggotanya yang keluar di tengah jalan. Permenkeu Nomor 18/PMK.010/2010 pasal 4 ayat (2) huruf d menjelaskan bahwa dana tabarru’ dialokasikan untuk pengembalian dana tabarru’ akibat pembatalan polis dalam periode yang diperkenankan. Ketika terjadi defisit underwriting skema yang digunakan adalah dengan peminjaman dana tabarru’ dengan skema akad qardh. Yang akan dikembalikan dengan cara disisihkan dari dana tabarru’. Klausula yang dikeluarkan oleh Axa Mandiri, Takaful Keluarga dan PT. Asuransi Alliaz Life Indonesia polis asuransi jiwanya mengatur pembayaran pinjaman tersebut: 61 Klausula Baku pada polis Takaful Keluarga pasal 30 angka 3 menjelaskan: “Jika terjadi defisit underwriting dana tabarru’, maka perusahaan akan menutupi defisit tersebut dari dana pemegang saham dalam bentuk pinjaman (Qardh) dan pengembaliannya akan diperhitungkan terhadap Surplus Underwrinting yang akan datang.” Hal yang senada juga dicantumkan dalam klausula PT. Asuransi Allianz Life Indonesia pasal 4 huruf b menyatakan: “Apabila terjadi defisit underwriting, maka defisit tersebut akan menjadi tanggung jawab para pemegang polis sedangkan kami dapat meminjamkan dana berdasarkan prinsip qardh (pinjaman murni) untuk membayar maslahat meninggal yang terjadi di antara peserta, yang wajib dikembalikan oleh para pemegang polis dari surplus underwriting yang akan datang.” Tidak jauh berbeda dengan klausula di atas Axa Mandiri juga menjelaskan hal yang sama dengan klausula yang digunakan sebagaimana di atas. Hal ini sudah sesuai dengan fatwa yang dikeluarkan oleh DSN-MUI akan tetapi surplus yang dimaksud dibatasi pada dana tabarru’ saja. Pengelolaan dana tabarru’ harus mendapat perhatian yang serius dari stakeholder yang berwenang. Setiap peserta asuransi sudah mendapatkan porsi sesuai dengan premi yang mereka bayar. Akan tetapi keuntungan dan dana yang tidak diambil oleh peserta belum diatur pengelolaannya. 2. Penggunaan Akad Tijari Pada setiap produk asuransi syariah terdiri dari dua akad yaitu akad tabarru’ sebagaimana dijelaskan di atas, kemudian akad tijari. Pengelolaan 62 dana tijari sesuai dengan fatwa yang dikelaurkan oleh DSN-MUI dapat dilakukan dengan dengan tiga bentuk akad. Pada polis standar yang dikeluarkan oleh Allianz, Takaful Keluarga, Allisya dan Axa Mandiri menggunakan bentuk akad wakalah bil ujrah. Akad wakalah bil ujrah menggunakan skema pemberian wewenang kepada perusahaan untuk mengelola dana tijari yang terkumpul dari anggota asuransi dengan imbalan fee. PMK Nomor 18/PMK.010/2010 menjelaskan dalam pasal 10 ayat (1) bahwa: Akad Wakalah bil Ujrah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1), wajib memuat sekurang-kurangnya: a. objek yang dikuasakan pengelolaannya; b. hak dan kewajiban Peserta secara kolektif dan/atau Peserta secara individu sebagai muwakkil (pemberi kuasa); c. hak dan kewajiban Perusahaan sebagai wakil (penerima kuasa) termasuk kewajiban Perusahaan untuk menanggungseluruh kerugian yang terjadi dalam kegiatan pengelolaan risiko dan/atau kegiatan pengelolaan investasi yang diakibatkan oleh kesalahan yang disengaja, kelalaian, atau wanprestasi yang dilakukan Perusahaan; d. batasan kuasa atau wewenang yang diberikan Peserta kepada Perusahaan; e. besaran, cara, dan waktu pemotongan ujrah (fee); dan f. ketentuan lain yang disepakati. Kemudian dalam ayat (2) senada dengan fatwa DSN-MUI Nomor 52/DSN-MUI/III/2006 bahwa: objek yang dikuasakan pengelolaannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, meliputi namun tidak hanya terbatas pada: a. b. c. kegiatan administrasi; pengelolaan dana; pembayaran klaim; 63 d. e. f. g. underwriting; pengelolaan portofolio risiko; pemasaran; dan/atau investasi. Pengelolaan dana investasi dilakukan dengan amanah. Pengelolaan dana tersebut harus dilakukan dengan profesional. Sebab, dana yang dikeluarkan oleh peserta asuransi adalah milik sepenuhnya oleh peserta. Pengelolaan dengan profesional tersebut melepaskan kewajiban terhadap perusahaan kecuali apabila terjadi wanprestasi atau kecuali atas kecerobohan perusahaan. Berbeda dengan asuransi konvensional. Keuntungannya dapat dijamin. Sedangkan pada asuransi syariah kerugian tersebut ditanggung oleh peserta selama perusahaan mengelolanya dengan profesional, sebagaimana dijelaskan dalam Pemenkeu PMK Nomor 18/PMK.010/2010 pasal 10 huruf (c). Polis standar yang dikeluarkan oleh perusahaan asuransi syariah yang telah sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam peraturan perundangundangan yang ada. 3. Penyelesaian Sengketa Penyelesaian sengketa merupakan salah satu dari yang harus dicantumkan dalam kontrak asuransi syariha, termasuk kontrak baku yang dibuat dalam bentuk baku. Kepmen Nomor 422/KMK.06/2003 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi 64 dalam pasal 8 huruf f yang menyatakan bahwa: “pemilihan tempat penyelesaian perselisihan.” Seluruh fatwa yang dikeluarkan oleh DSN-MUI yang berkaitan dengan asuransi syariah pada penutupannya mengatur penyelesaian sengketa melalui badan arbitrase syariah nasional (BASYARNAS). Akan tetapi fatwa tersebut tidak disambut baik oleh perusahaan asuransi syariah. Polis yang dikeluarkan oleh PT. Asuransi Allianz Utama Indonesia, Axa Mandiri, dan PT. Asuransi Allianz Life Indonesia tidak memilih lembaga BASYARNAS dalam penyelesaian perselisihannya. Lebih banyak memilih cara musyawarah. Kecuali Takaful Keluarga yang telah memilih badan Arbitrase Syariah sebagai wadah penyelesaian sengketa mereka, penegasan ini dijelaskan dalam pasal 33 angka 2 huruf a. Perlu juga mendapat perhatian bahwa pilihan pengadilan tempat penyelesaian perkara. PT. Asuransi Allianz Utama Indonesia lebih memilih Pengadilan Negeri sebagai wadah untuk menyelesaikan sengketa mereka. Padahal hal ini bertentangan dengan Undang-undang Nomor 3 tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama pasal 49 yang memberikan kewenangan penyelesaian sengketa Ekonomi Syariah. Yang dimaksud dengan sengketa ekonomi syariah dalam penjelasaanya dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan ekonomi syariah mencakup sebelas hal yaitu: bank syariah, lembaga keuangan mikro syariah, 65 asuransi syariah, reasuransi syariah, reksa dana syariah, obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah, sekuritas syariah, pembiayaan syariah, pegadaian syariah, dana pensiun lembaga keuangan syariah, dan bisnis syariah. Dengan demikian selayaknya polis yang dicantumkan oleh asuransi syariah memilih penyelesaian sengketa mereka di Pengadilan Agama (PA), sebagaimana yang telah dilakukan oleh Axa Mandiri dalam pasal 12, Takaful Keluarga pasal 33 angka 2 huruf a. B. Analisis Isi Kontrak Baku Persfektif Perlindungan Konsumen Perlindungan konsumen adalah ruh usaha asuransi syariah berjalan dengan baik atau tidak. Sebab, semakin baik perlindungan konsumen maka secara otomatis kepuasan dan tingkat kepercayaan kepada konsumen akan semakin meningkat. Walaupun demikian masih banyak ditemukan pelanggaran dalam kontrak baku yang dikeluarkan oleh asuransi syariah. Pelanggaran ini dapat terjadi memanfaatkan posisi peserta asuransi yang lemah secara ekonomi dan kesempatan mereka untuk mempelajari polis yang ditawarkan kepada mereka. Pengaturan menganai ketentuan polis baku telah diatur oleh UUPK pasal 18 dalam empat ayat dan OJK dalam aturannya Nomor: 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan pasal 22 ayat (3) menjelaskan ada 7 (tujuh) larangan dicantumkan dalam polis standar yang dibuat. 66 Berikut beberapa pengaturan dalam polis asuransi syariah yang bertentangan dengan perlindungan konsumen, sebagai berikut: 1. Pengalihan tanggung jawab atau kewajiban perusahaan kepada konsumen Usaha perusahaan asuransi untuk melepaskan tanggung jawabnya dari kejadian-kejadian yang seharusnya menjadi tanggung jawab perusahaan untuk ditanggung sering kali dihindari dengan mencantumkannya dalam kontrak baku yang mereka buat. Perbuatan ini dilarang oleh UUPK dan POJK-PKSJK melarang pencantuman klausula (klausula eksemsi) tersebut. Larangan tersebut jelas diatur dalam UUPK pasal 18 ayat (1) huruf a dan POJK- PKSJK pasal 22 ayat (3) huruf a yang intinya mengatur bahwa: “menyatakan pengalihan tanggung jawab atau kewajiban Pelaku Usaha Jasa Keuangan kepada Konsumen.” berikut beberapa klausul yang perlu dicermati terkait dengan pasal tersebut: a. Polis PT. Asuransi Allianz Utama Indonesia Bagian 8 Ganti Rugi/Klaim angka 7 menyatakan bahwa: Hak ganti rugi berdasarkan atas asuransi ini dapat dihapuskan, jika ganti rugi tidak dituntut dalam waktu 2 tahun setelah hak tersebut muncul, tanpa mengurangi hak pada bagian 13, sub-bagian 2. Dalam surat permintaan asuransi jiwa syariah Axa Mandiri mencantumkan hal yang senada seperti di atas pad bagian L tentang pernyataan dan surat kuasa: 67 Telah mendapatkan penjelasan dan sepenuhnya mengerti serta menerima hal-hal di bawah ini: a. Besarnya nilai investasi tidak dijamin, dapat meningkat/menurun sesuai dengan karakteristik dan risiko dari masing-masing jenis nada investasi yang telah saya/kami pilih, b. Segala resiko pemilihan jenis dana investasi sepenuhnya menjadi tanggung jawab saya/kami dan karenanya saya/kami membebaskan PT. Axa Mandiri Financial Service (termasuk afiliasinya, pemegang saham, direksi, komisaris, financial advisor, dan karyawannya) dari setiap dan segala tuntutan, gangguan, ancaman, laporan dan gugatan dari siapapun dan dalam bentuk apapun yang mungkin timbul baik pada saat ini maupun dikemudian hari. c. Polis Takaful Keluarga pasal 21 risiko investasi mencantumkan klausula sebagai berikut: Risiko investasi yang timbul karena pilihan investasi, baik atas penetapan nilai unit maupun hasil pengembangan investasi per unit, ditanggung sepenuhnya oleh pemegang polis. Investasi syariah tidak dijamin keuntungannya sebagaimana investasi pada konvensional. Inilah yang membedakan kedua bentuk investasi ini. Akibatnya tanggung jawab apabila terjadi kerugian ditanggung oleh peserta. Selama hal tersebut dilakukan dengan profesional. Kepmenkeu Nomor 422/KMK.06/2003 pasal 11 ayat (2) mengatur bahwa: Apabila dalam Polis Asuransi terdapat perumusan yang dapat ditafsirkan sebagai pengurangan, pembatasan, atau pembebasan kewajiban penanggung, bagian perumusan dimaksud harus ditulis atau dicetak sedemikian rupa sehingga dapat dengan mudah diketahui adanya pengurangan, atau pembebasan penanggung tersebut. 68 Polis yang ada belum mengakomodir aturan di atas, pencantuman klausula dengan mudah diketahui misalnya dengan cara bold atau ceta miring tidak dilakukan. 2. Menolak pengembalian uang Aturan yang melarang pencantuman klausula yang mengatur penolakan pengembalian uang yang telah diberikan oleh pemegang polis atas premi yang telah dibayarkannya dilarang dalam peraturan perundangundangan. Larangan ini dicantumkan dalam UUPK pasal 18 ayat (1) huruf b dan POJK-PKSJK pasal 22 ayat (3) huruf b yang pada intinya mengatur sebagai berikut: Menyatakan bahwa Pelaku Usaha Jasa Keuangan berhak menolak pengembalian uang yang telah dibayar oleh Konsumen atas produk dan/atau layanan yang dibeli. Dalam polis yang dikeluarkan oleh PT. Asuransi Allianz Utama Indonesia Bagian 11 yang berjudul Pemutusan, Penundaan dan Peniadaan pada bagian terakhir ditemukan pencantuman klausula yang dilarang tersebut, sebagai berikut: Dalam kasus pembatalan perusahaan tidak berkewajiban untuk mengembalikan premi dan biaya-biaya yang diterima. Antara peraturan perundang-undangan dengan yang diterapkan dalam perjanjian tidak bertentangan. Karena dalam peraturan tersebut dikatakan “berhak”, dengan demikian keputusan tersebut diserhakan kepada perusahaan. Ketentuan tersebutlah yang harus dicantumkan dalam perjanjian. 69 3. Memberi kuasa untuk melakukan tindakan sepihak Pemberian kuasa kepada perusahaan asuransi yang dapat melakukan secara sepihak hal-hal yang dapat mengurangi hak konsumen tidak dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan. Hal ini diatur dalam UUPK pasal 18 ayat (1) huruf c dan POJK-PKSJK pasal 22 ayat (3) huruf c, kecuali perbuatan tersebut diperboleh oleh undang-undang, sebagai berikut: Menyatakan pemberian kuasa dari Konsumen kepada Pelaku Usaha Jasa Keuangan, baik secara langsung maupun tidak langsung, untuk melakukan segala tindakan sepihak atas barang yang digunakan oleh Konsumen, kecuali tindakan sepihak tersebut dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Klausula yang dicatumkan dalam polis telah sesuai dengan ketentuan di atas. 4. Pemberian kewenangan untuk mengurangi kegunaan produk atau layanan Pemerian kewenangan kepada perusahaan asuransi untuk mengurangi produk dan/atau layanan tidak boleh dicantumkan dalam polis standar. Ketentuan dijelaskan dalam UUPK pasal 18 ayat (1) huruf e dan POJK-PKSJK pasal 22 ayat (3) huruf e sebagai berikut: Memberi hak kepada Pelaku Usaha Jasa Keuangan untuk mengurangi kegunaan produk dan/atau layanan atau mengurangi harta kekayaan Konsumen yang menjadi obyek perjanjian produk dan layanan. Pada polis yang diterbitkan oleh perusahaan tidak ada klausula yang bertentangan dengan peraturan di atas. 70 5. Menyatakan tunduk pada peraturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau perubahan yang dibuat secara sepihak Perbuatan yang dilarang selanjutnya adalah menyatakan pemegang polis untuk tunduk pada peraturan baru yang dibuat secara sepihak oleh perusahaan tanpa pemberi tahuan terlebih dahulu oleh perusahaan. Larangan ini dinyatakan dalam UUPK pasal 18 ayat (1) huruf f dan POJK-PKSJK pasal 22 ayat (3) huruf f yang menyatakan bahwa: Menyatakan bahwa Konsumen tunduk pada peraturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau perubahan yang dibuat secara sepihak oleh Pelaku Usaha Jasa Keuangan dalam masa Konsumen memanfaatkan produk dan/atau layanan yang dibelinya. Pada kenyataannya banyak perusahaan yang melakukan perubahan tersebut khususnya terhadap besaran biaya pengelolaan, kontribusi, dan klaim yang akan diterima. Pada sebagian polis dinyatakan bahwa perubahan tersebut dapat dilakukan dengan pemberitahuan terlebih dahulu kemudian pihak pemegang polis menyatakan persetujuan atau tidaknya. Akan tetapi ada juga yang tidak mengatur hal demikian. Sebagaimana polis yang dikeluarkan oleh Axa Mandiri pasal 8 angka 7 yang menyatakan bahwa: Besar dan jenis biaya seperti diatur pada pasal 8 ayat 5 ditentukan oleh pengelola dan dapat berubah sewaktu-waktu sesuai dengan keputusan pengelola dengan meyampaikan pemberitahuan tertulis sebelumnya. Klausula ini sangat tidak adil karena tidak memberikan kesempatan kepada pemegang polis untuk memilih melanjutkan atau tidak. Padahal hal ini dapat merugikan pihak pemegang polis. Sebab, apabila peserta tidak mampu 71 untuk membayar maka konsekuensi yang diterima akan berbeda dengan pengakhiran. 6. Pencantuman klausula yang sulit dipahami Klausula yang sulit dipahami sepertinya sudah menjadi kebiasaan dalam polis yang dikelaurkan oleh perusahaan asuransi. Kesulitan tersebut dapat disebabkan oleh bahasa yang berbelit-belit. Seperti yang tercantum dalam polis Polis PT. Asuransi Allianz Utama Indonesia bagian 1 angka 4 mengatur: Di samping konsekwensi kecelakaan juga diperlakukan sebagai seperti (itu). a. penetrasi bebas dari suatu kecelakaan-dengan seketika atau sesudahnya – dari kuman pathognenic ke dalam suatu luka-luka dan tempat yang secara medis dapat dipastikan dan muncul sebagai akibat dari suatu kecelakaan. Bahasa “sebagai seperti (itu)” sulit dipahami, karena maksudnya tidak dijelaskan dengan tegas dan dapat menimbulkan berbagai penafsiran. Sebab, pada ketentuan sebelumnya pengecualian dari kecelakaan. Harusnya kata “sebagai seperti (itu)” diganti dengan “dikecualikan”, agar lebih jelas. Bahasa yang digunakan bukan merupakan bahasa Indonesia khususnya polis syariah yang banyak menggunakan istilah yang tidak seragam seperti istilah kahar yang jikalau diterjemahkan dalam bahasa Indonesia berarti kereta yang ditarik oleh kuda, lembu, atau kerbau atau bisa juga berarti pedati dan dokar. Sedangkan dalam bahasa Arab berarti keadaan yang tidak disukai, yang kalau diistilahkan dalam bahasa hukum perdata sebagai force majeure. 72 Pilihan bahasa hukum yang terkadang memberi interpretasi yang berbeda-beda seperti pembatalan, pengakhiran, dan penghentian yang digunkan dalam satu judul dalam kontrak baku sebagaimana yang tercantum dalam polis yang dikeluarkan oleh Axa Mandiri dalam pasal 3. Selain itu perlu juga diseragamkan penggunaan bahasa yang berarti dana klaim yang diperoleh oleh tertanggung dalam hal terjadi evenemen. Polis PT. Asuransi Allianz Utama Indonesia menggunkan istilah hak ganti rugi/klaim, Axa Mandiri menggunakan istilah maslahat, sedangkan Takaful Keluarga menggunakan istilah manfaat. Selain penggunaan bahasa di atas, yang paling sering juga dilakukan oleh perusahaan adalah mencantumkan polis dengan huruf yang sangat kecil dan sulit untuk dibaca, serta susunan yang tidak beraturan. Polis yang seperti ini adalah seperti polis yang dikelaurkan oleh PT. Asuransi Allianz Utama Indonesia. Penerbitan polis yang sulit dipahami dilarang oleh UUPK dalam pasal 18 ayat (2) yang menyatakan bahwa: Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti. Sebenarnya permasalahan ini dapat diselesaikan dengan cara memperbaiki bahasa yang sulit di atas dan memberikan waktu kepada peserta untuk membaca polis yang akan mengikat peserta. Sebagaimana yang telah dilakukan oleh Axa Mandiri yang memberikan waktu baca selama 14 hari, 73 yang diistilahkan dengan hak bebas lihat (cooling off period). Sehingga prinsip kewajiban membaca oleh konsumen dapat terpenuhi. 7. Force Majeure Tidak diberikannya penjelasan yang memadai oleh KUH Pedata tentang force majeure memberikan kesempatan kepada pihak perusahaan untuk memberikan penafsiran yang dicantumkan dalam polis. Penafsiran terhadap force majeure yang dilakukan oleh perusahaan berimplikasi pada kerugian pemegang polis. Sebagaimana yang dicantumkan dalam polis Axa Mandiri pasal 1 angka 3.31 yang berjudul keadaan kahar (force majeure), sebagai berikut: Untuk keperluan polis ini, keadaan kahar berarti keadaan tertentu di luar jangkauan pengelola termasuk, namun tidak terbatas pada perang (baik dinyatakan atau tidak), operasi sejenis perang, invasi, tidakan dari musuh asing, konflik, pemberontakan, demonstrasi, kerusuhan, pernyataan keadaan perang, pernyataan keadaan darurat nasional, revolusi, bencana alam, kondisi epidemic seperti yang telah dinyatakan oleh pejabat yang berwenang, gangguan atau tutupnya atau dihentikannya bursa saham, bank atau lembaga kliring, pemogokan, kerusuhan, perang sipil, kebakaran, ledakan, sabotase, embargo atau adanya perubahan atau tindakan pemerintah baik dalam bidang perasuransian atau investasi atau bidang lainnya yang dapat mempengaruhi secara langsung terhadap pelaksanaan polis ini. Force majeure yang membebaskan salah satu pihak untuk melakukan prestasi harusnya berdasarkan pada alasan-alasan yang bersifat permanen dan tidak multi tafsir. Kalau kita lihat penjelasan force majeure yang tercantum dalam polis di atas terdapat alasan force majeure kebakaran, kerusuhan, pemogokan, demonstrasi dan lain-lain yang dapat diinterpretasikan luas. 74 Force majeure tidak berarti membebaskan salah satu pihak bebas dari kewajibannya untuk melakukan prestasi secara permanen. Hal ini harus disosialisakan oleh lembaga yang berwenang sehingga pemegang polis tidak terkecoh dengan klausula yang tercantum dalam polis. Harusnya alasan-alasan tersebut harus dibatasi kadar force majeure yang dimaksud. 8. Ketentuan minimal isi kontrak Pengaturan ketentuan ini sangat penting untuk menjamin hak-hak apa minimal apa saja yang harus dicantumkan dalam polis. Ketentuan minimal ini berkaitan dengan transparansi. Selain PMK Nomor 18/PMK.010/2010 pengaturan standar minimal dalam polis diatur dalam Kepmenkeu Nomor KMK Nomor 422/KMK.06/2003 dalam bab tersendiri, yaitu pada bab III. Pasal 8 mengatur bahwa ada 14 ketentuan yang harus dimuat dalam polis: a. b. c. d. e. f. g. h. i. j. Saat berlakunya polis, Uraian manfaat yang diperjanjikan, Cara pembayaran premi, Tenggang waktu (grace period) pembayaran premi, Kurs yang digunakan untuk polis Asuransi dengan mata uang asing apabila pembayaran premi dan manfaat dikaitkan dengan mata uang rupiah, Waktu yang diakui sebagai saat diterimanya pembayaran premi, Kebijakan perusahaan yang ditetapkan apabila pembayaran premi dilakukan melewati tenggang waktu yang disepakati, Periode dimana pihak perusahaan tidak dapat meninjau ulang keabsahan kontrak asuransi (inceontestable period), Tabel nilai tunai, bagi polis asuransi jiwa yang mengandung nilai tunai, Penghentian pertanggungan, baik dari pihak penanggung maupun dari pihak pemegang polis, termasuk syarat dan penyebabnya, 75 k. Syarat dan tata cara pengajuan klaim, termasuk bukti pendukung yang diperlukan dalam mengajukan klaim, l. Pemilihan tempat penyelesaian perselisihan, m. Bahasa yang dijadikan acuan dalam hal terjadi sengketa atau beda pendapat, untuk polis yang dicetak dalam 2 (dua) bahasa atau lebih. Dari beberapa ketentuan di atas ada yang diatur dalam perlindungan konsumen. Keempat belas ketentuan di atas secara umum telah diterapkan dalam polis asuransi syariah. Walaupun demikian, masih ada klausula yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, yaitu terkait dengan poin “k”. Ketentuan pengajuan klaim diatur lebih lanjut dalam peraturan ini pada pasal 25 huruf a yang menyatakan bahwa: Memperpanjang proses penyelesaian klaim dengan meminta penyerahan dokumen tertentu yang kemudian diikuti dengan meminta penyerahan dokumen lain yang pada dasarnya berisi hal yang sama. Sebagaimana yang diatur dalam polis PT. Axa Mandiri pasal 9 angka 3 bagian 3.1 (v dan vi) pada dasarnya adalah sama, akte kematian dan surat keterangan kematian yang dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang. Kedua pasal tersebut mengatur yang sama. BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Dari beberapa pemaparan pada bab-bab sebelumnya, maka penulis dapat mengambil kesimpulan dan sekaligus sebagai jawaban atas beberapa perumusan masalahyang penulis berikan. Pertama, menurut hukum Islam penggunaan kontrak baku tidak dilarang sebagaimana halnya juga dalam peraturan perundang-undangan tidak melarang menggunakan kontrak baku. menurut peraturan perundang-undangan kontrak baku dapat digunakan selama tidak melanggar UUPK pasal 18 dan juga POJKPKSJK pasal 22. Dalam persfektif hukum Islam kontrak baku harus mencantumkan hal-hal yang telah difatwakan oleh DSN-MUI dan PMK Nomor 18/PMK.010/2010. Serta menjunjung tinggi asas kesetaraan dan keadilan. Kedua, polis yang dikeluarkan oleh perusahaan asuransi syariah masih ditemukan pencantuman klausula-klasula yang telah dilarang oleh peraturan perundang-undangan. Beberapa klausula yang dilarang penulis temukan. Klausula yang mengatur pengalihan tanggung jawab atau kewajiban perusahaan kepada konsumen, penenolakan pengembalian uang, memberi kuasa untuk melakukan tindakan sepihak, pemberian kewenangan untuk mengurangi kegunaan produk atau layanan, menyatakan tunduk pada peraturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau perubahan yang dibuat secara sepihak, pencantuman klausula yang sulit dipahami, dan penafsiran force majeure yang sangat luas. 76 77 Ketiga, dalam sebuah kontrak baku harus memenuhi syarat-syarat sebagaimana halnya perjanjian pada umumnya harus memenuhi ketentuan pasal 1320 KUH Perdata ditambah dengan ketentuan UUPK dan POJK-PKSJK. B. Saran-saran Sebagai penutup dari kesimpulan di atas penulis di sini akan memberikan saransaran terkait dengan perbaikan penggunaan kontrak baku khususnya dalam perusahaan asuransi, sebagai berikut: 1. Agar badan legislatif segera menyelesaikan Rancangan Undang-undang tentang Kontrak, agar penggunaan kontrak baku bisa ditertibkan sehingga tidak mengurangi hak yang seharusnya diterima konsumen. 2. Agar Dewan Pengawas Syariah meningkatkan pengawasan tentang penerapan prinsip-prinsip syariah dalam kontrak yang dikeluarkan oleh perusahaan asuransi syariah. 3. Agar notaris lebih meningkatkan pemahamannya tentang akad asuransi syariah, sehingga dapat menjalankan tugasnya secara profesional. 4. Penelitian ini masih memerlukan penelitian lanjutan, khususnya terhadap aspek kesyariahan penyelenggaraan asuransi syariah. DAFTAR PUSTAKA ‘Abâdî, Abdullah al-. Syarh Bidâyah al-Mujtahid wa Nihâyah al-Muqtashid, Cet. Ke4. Kairo: Dâr al-Salâm, 2009. Jilid 4. Anwar, Kholil. Asuransi Syariah Halal dan Mashlahat. Solo: Tiga Serangkai, 2007. Asmani, Jamal Ma’mur. Fiqh Sosial Kiai Sahal Mahfudh Antara Konsep dan Implementasi. Surabaya: Khalista, 2007. Bahî, Muhammad al-. Nidhâm al-Ta’min fi Hady Ahkâm al-Islâm, wa Dhorûrât alMujtama’ al-Mu’âshir. Ttp: Maktabah Wahbah, 1965. Barkatullah, Abdul Halim. Hak-hak Konsumen. Bandung: Nusa Media, 2010. Billah, Mohd Ma’sum. Kontekstualisasi Takaful dalam Asuransi Modern: Tinjauan Hukum dan Praktek. Penerjemah, Suparto. Jakarta: PT. Multazam Mitra Prima, 2010. Bugha, Musthafa Dib al-. Buku Pintar Transaksi Syariah (Menjalin Kerja Sama Bisnis dan Menyelesaikan Sengketanya Berdasarkan Panduan Islam). Penerjemah, Fakhri Ghafur. (Jakarta: Al-hikmah, 2010. Dewi, Gemala, dkk. Hukum Perikatan Islam di Indonesia. cet. Ke-3. Jakarta: Kencana, 2007. Fuady, Munir. Hukum Bisnis Dalam Teori dan Praktek Buku Kedua. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1994. Fuady, Munir. Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), Buku Kedua. Jakarta: PT. Citra Aditya Bakti, 2003. Fuady, Munir. Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis). cet. Ke-2. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2001. Gemala Dewi, dkk., Hukum Perikatan Islam di Indonesia. cet. Ke-3. Jakarta: Kencana, 2007. H.S., Salim. Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, cet. Ke-4. Jakarta: Sinar Grafika, 2006. 78 Hartono, Sri Rejeki. Hukum Asuransi dan Peruhaan Asuransi. Cet. Ke-2. Malang: Bayu Media, 2007. HS., Salim, dkk. Perancangan Kontrak dan Momerandum of Understanding (MoU). Jakarta: Sinar Grafika, 2007. Hubaib, Sa’idi Abu. al-Qâmûs al-Fiqhî Lughotan wa Ishtilahan. Damaskus: Dar alFikr, 1988. Khafîf, Ali al-. al-Dhomân fi al-Fiqh al-Islâmî. Qohirah: Dar al-Fikr al-‘Arabî, 2000. Luthfi, Muhammad. Asuransi Dalam Pandangan Islam. Jakarta:Lembaga Pers Bekasi, 2003. Manan, Abdul. Hukum Ekonomi Syariah Dalam Persfektif Kewenangan Peradilan Agama. Jakarta: Kencana, 2012. Miru, Ahmadi dan Yodo, Sutarman. Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2004. Muslehuddin, Mohammad. Insurance and Islamic Law, 2nd Edition. Delhi: Markazi Maktaba Islami, 1995. Muslim, Shohih Muslim, (Berut: Dâr Ihyâ’ al-Turâts al-‘Arabi, t.t), Juz 4. Prodjodikoro, Wirjono. Hukum Asuransi di Indonesia. Jakarta: Intermasa, 1994. Rahman, Nandi. Asuransi Dalam Pandangan Islam. Jakarta: Lembaga Pers Bekasi, 2003. Salim, Abbas. Asuransi dan Menejemen Resiko. Edisi 2. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2007. Sjahdeini, Sutan Remy. Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Jakarta: Institut Bankir Indonesia, 1993. Sjahputra, Iman. Perlindungan Konsumen dalam Transaksi Elektronik. Bandung: PT. Alumni, 2010. Soebekti, Hukum Perjanjian, cet. Ke-19. Jakarta: Intermasa, 2002. 79 Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum, Cet. Ke-3. Jakarta: UI Press, 1986. Soemitra, Andri. Bank dan Lembaga Keuangan Syariah. Cet. Ke-2. Jakarta: Kencana, 2010. Subekti, R. dan Tjitrosudibjo, R.. Kitab Undang-undang Hukum Dangang dan Undang-undang Kepailitan, Cet. Ke-23. Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 2003. Sula, Muhammad Syakir. Asuransi Syariah (life and general): Konsep dan Sistem Operasional. Jakarta: Gema Insani Press, 2004. Sumanto, Agus Edi, dkk. Solusi Berasuransi Lebih Indah Dengan Syariah. Bandung: PT. Salamadina Pustaka Semesta, 2009. Suryani, Tatik. Perilaku Konsumen: Implikasi pada Strategi Pemasaran. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2008. Wirdyaningsih, dkk., Bank dan Asuransi Islam di Indonesia, cet. Ke-3. Jakarta: Kencana, 2007. Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ketiga, Cet. Ke-4. Jakarta: Balai Pustaka, 2007. Peraturan Perundang-undangan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1998 tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1999 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3821. Peraturan Menteri Keungan Nomor. 18/PMK.010/2010 tentang Penerapan Prinsip Dasar Penyelenggaraan Usaha Asuransi dan Usaha Reasuransi Dengan Prinsip Syariah. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 422/KMK.06/2003 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan. 80 Fatwa-fatwa Fatwa Dewan Syari'ah Nasional NO: 21/DSN-MUI/X/2001, Tentang Umum Asuransi Syari’ah, dalam bagian pertama dalam putusan. Pedoman Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor. 50/DSN-MUI/III/2006 tentang Akad Mudhorobah Musytarakah. Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor. 51/DSN-MUI/III/2006 tentang Akad Mudhorobah Musytarakah Pada Asuransi Syariah. Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor. 52/DSN-MUI/III/2006 tentang Akad Wakalah Bil Ujrah Pada Asuransi Syariah dan Reasuransi Syariah. Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor. 52/DSN-MUI/III/2006 tentang Akad Wakalah Bil Ujrah Pada Asuransi Syariah dan Reasuransi Syariah. Internet http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol17594/lagi-konsumen-menggugatketerlambatan-pesawat Akses, Selasa, 24-12-2013, Pukul 10:06 wib. http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt52d150ceef12a/profesor-fh-usu-bedahdefinisi-asas-iktikad-baik akses, 13 Januari 2014, pukul 14:18 wib. 81