A. ETIOLOGI Emboli Paru (Pulmonary Embolism)

advertisement
A. ETIOLOGI
Emboli Paru (Pulmonary Embolism)adalah penyumbatan arteri pulmonalis (arteri paru-paru)
oleh suatu embolus, yang terjadi secara tiba-tiba.
Trias klinik klsasik yang merupakan predisposisi tromboemboli paru dideskripsikan oleh
Rudolph Virchow tahu 1856, yaitu :
1. Trauma lokal pada dinding pembuluh darah
2. Hiperkoagulabilitas
3. Stasis darah
Suatu emboli bisa merupakan gumpalan darah (trombus), tetapi bisa juga berupa lemak, cairan
ketuban, sumsum tulang, pecahan tumor atau gelembung udara, yang akan mengikuti aliran
darah sampai akhirnya menyumbat pembuluh darah.
Biasanya arteri yang tidak tersumbat dapat memberikan darah dalam jumlah yang memadai ke
jaringan paru-paru yang terkena sehingga kematian jaringan bisa dihindari. Tetapi bila yang
tersumbat adalah pembuluh yang sangat besar atau orang tersebut memiliki kelainan paru-paru
sebelumnya, maka jumlah darah mungkin tidak mencukupi untuk mencegah kematian paru-paru.
Sekitar 10% penderita emboli paru mengalami kematian jaringan paru-paru, yang disebut infark
paru. Jika tubuh bisa memecah gumpalan tersebut, kerusakan dapat diminimalkan. Gumpalan
yang besar membutuhkan waktu lebih lama untuk hancur sehingga lebih besar kerusakan yang
ditimbulkan. Gumpalan yang besar bisa menyebabkan kematian mendadak. (1)
B. PATOFISIOLOGI
Efek klinis EP tergantung pada:
 Derajat obstruksi vaskular paru
 Pelepasan agen humoral vasoaktif dan brokokonstriksi dari platelet teraktivasi (misalnya
serotonin, teromboksan A2)
 Penyakit kardiopulmonal sebelumnya
 Usia dan kesehatan umum pasien
Kebanyakan kasus disebabkan oleh bekuan darah dari vena, terutama vena di tungkai
atau panggul. Penyebab yang lebih jarang adalah gelembung udara, lemak, cairan ketuban atau
gumpalan parasit maupun sel tumor.
Penyebab yang paling sering adalah bekuan darah dari vena tungkai, yang disebut trombosis
vena dalam. Gumpalan darah cenderung terbentuk jika darah mengalir lambat atau tidak
mengalir sama sekali, yang dapat terjadi di vena kaki jika seseorang berada dalam satu posisi
tertentu dalam waktu yang cukup lama. Jika orang tersebut bergerak kembali, gumpalan tersebut
dapat hancur, tetapi ada juga gumpalan darah yang menyebabkan penyakit berat bahkan
kematian.
Penyebab terjadinya gumpalan di dalam vena mungkin tidak dapat diketahui, tetapi faktor
predisposisinya (faktor pendukungnya) sangat jelas, yaitu:
 Pembedahan
 Tirah baring atau tidak melakukan aktivitas dalam waktu lama(seperti duduk selama
perjalanan dengan mobil, pesawat terbang maupun kereta api)
erStroke
 Serangan jantung
 Obesitas (kegemukan)
 Patah tulang tungkai tungkai atau tulang pangggul
 Meningkatnya kecenderungan darah untuk menggumpal (pada kanker tertentu,
pemakaian pil kontrasepsi, kekurangan faktor penghambat pembekuan darah bawaan)
 Persalinan
 Trauma berat
 Luka bakar. (2)
Afterload ventrikel kanan meningkat secara bermakna bila lebih dari 25% sirkulasi paru
mengalami obstruksi. Awalnya hal ini mengakibatkan peningkatan tekanan ventrikel kanan,
kemudian diikuti oleh dilatasi ventrikel kanan, terjadi penurunan tekanan ventrikel kanan.
Ventrikel kanan yang normal tidak mampu meningkatkan tekanan arteri pulmonalis lebih
banyak diatas 50-60 mmHg sebagai respon terhadap obstruksi mayor mendadak pada
sirkulasi paru, semantara pada tromboemboli kronis atau PH (Hipertensi Paru) primer
tekanan venttrikel kanan dapat meningkat secara bertahap hingga tingkat suprasistemik
(>100mmHg).kombinasi dari penurunan aliran darah paru dan pergeseran interventrikel ke
ruang ventrikel kiri akibat ventrikel kanan yang mengalami dilatasi, menurunkan pengisian
ventrikel kiri. Maka, dispnu pada pasien dengan obstruksi berat akut sirkulasi paru dapat di
kurangi dengan manuver yang meningkatkan aliran balik vena sistemik dan preload ventrikel
kiri, seperti berbaring datar, mendongak dengan kepala ke bawah, dan infus koloid
intravena. Hal ini berlawanan dengan dispnu pada pasien dengan gagal ventrikel kiri, yang
gejalanya berkurang dengan manuver yang menurunkan prload ventrikel kiri, seperti duduk
tegak dan terapi diuretik. (1)
C. GAMBARAN KLINIS
Emboli yang kecil mungkin tidak menimbulkan gejala, tetapi sering menyebabkan sesak
nafas. Sesak mungkin merupakan satu-satunya gejala, terutama bila tidak ditemukan adanya
infark.
Penting untuk diingat, bahwa gejala dari emboli paru mungkin sifatnya samar atau menyerupai
gejala penyakit lainnya:
 batuk (timbul secara mendadak, bisa disertai dengan dahak berdarah)
 sesak nafas yang timbul secara mendadak, baik ketika istirahat maupun ketika sedang
melakukan aktivitas
 nyeri dada (dirasakan dibawah tulang dada atau pada salah satu sisi dada, sifatnya tajam
atau menusuk)
 nyeri semakin memburuk jika penderita menarik nafas dalam, batuk, makan atau
membungkuk
 pernafasan cepat
 denyut jantung cepat (takikardia).
Variasi gambaran klinis dari emboli paru tergantung pada beratnya obstruksi pembuluh
darah, jumlah emboli paru ( tunggal atau multipel), ukurannya (kecil, sedang, atau masif), lokasi
emboli, umur pasien, dan penyakit kardiopulmonal yang ada. Selain itu gejala klinis yang timbul
merupakan gangguan lebih lanjut karena adanya obstruksi arteri pulmonalis oleh emboli paru,
yaitu timbulnya gangguan hemodinamik berupa gejala-gejala akibat vaskontriksi arteri
pulmonalis, dan timbulnya gangguan respirasi berupa gejala-gejala akibat brokokonstriksi daerah
paru yang terkena emboli. (2)
Keluhan utama klasik adalah nyeri dada pleuritik dengan onset mendadak disertai sesak
napas dan hemoptisis atau kolaps mendadak pada pasien pasca operasi segera setelah buang air
besar. Pasien lain bisa saja hanya menunjukkan gejala sesak napas, disertai nyeri pleuritik atau
hemoptisis, tetapi kelainan yang tampak pada rontgen toraks sedikit.
Emboli paru pada lebih dari 1% pasien rawat inap di rumah sakit dan emboli paru yang
signifikan ditemukan secara taak terduga saat pemeriksaan postmoterm pada lebih dari 10%
pasien yang meninggal di rumah sakit. Maka perlu dikembangkan indeks kecurigaan yang tinggi.
Emboli paru harus dipertimbangkan pada pasien dengan nyeri dada, kolaps, sesak napas, nyeri
pleuritik, hemoptisis, atau syok. (4)
D. Diagnosa
Diagnosis emboli paru ternyata lebih sulit dibandingkan dengan pengobatan dan
pencegahannya. Pendekatan diagnostik non invasif, khusunya pemeriksaan D-dimer, ELISA
(Enzym-linked immunosorbent assay), CT-Scan dan ultrasonografi vena saat ini semakin
meningkatkan nilai kepercayaan dalam menegakkan diagnosis emboli paru. Bagaimanapun juga,
disamping adanya kemajuan teknologi diagnosis, ternyata emboli paru yang besar selalu tidak
terdiagnosis dan hanya di jumpai saat autopsi. (3)
E. Pemeriksaan penunjang



Ekokardiografi
Bisa terlihat dilatasi jantung kanan dan perkiraan tekanan ventrikel kanan mungkin
dilakukan bila dideteksi regurgitasi triskupid. Adanya disfungsi ventrikel kanan dikaitkan
dengan keluaran yang buruk. Kadang, trombus bisa terlihat di jantung kanan. Bila terlihat
foramen ovale paten atau ASD (Atrial Septal Defect), berikan perhatian khusus pada
tatalaksana kemungkinan embolisme paradoksikal dari sirkulasi vena ke sistemik.
Radiologi
Perubahan radiografi toraks sering nonspesifik. Dilatasi arteri pulmonal proksimal mayor,
dan area oligemia paru dapat menandakan adanya obstruksi arteri mayor. Gambaran opak
berbentuk baji di lapangan paru perifer karena infark paru, dengan atau tanpa efusi pleura
kecil, dapat terjadi pada emboli paru minor. Pada hipertensi paru tromboemboli kronis,
rasio kardiotorasik dapat meningkatkan dan mungkin ada gambaran yang menandakan
dilatasi ventrikel kanan, oligemia berbecak, dan dilatasi arteri pulmonalis utama. Bila di
duga emboli paru, radiografi toraks normal pada pasien yang mengalami sesak napas akut
atau hipoksemia meningkatkan kemungkinan diagnosi emboli paru. Radiografi toraks
sering lebih membantu bila mengindikasikan diagnosis alternatif (misalnya pneumonia
lobaris).
Angiografi paru
Pasien dengan pindaian perfusi isotop normal sangat tidak mungkin mengalami emboli
paru. Diagnosi emboli paru dianggap dapat ditegakan pada pasien dengan indeks
kecurigaan klinis emboli paru tinggi dan pindaian isotop menunjukkan kemungkinan
emboli paru. Kedua kelompok pasien ini kadang-kadang membutuhkan angiografi.
Namun, bila indeks kecurigaan klinis sedang atau tinggi dan pindaian isotop ekuivokal,
angiografi harus dipertimbangkan.


Magnetic Resonance Imaging (MRI) dan pemindaian CT (Computerized Topograf)
CT spiral (helikal) diperkuat dengan kontras, semakin banyak digunakan untuk
mendeteksi emboli yang tidak diduga secara klinis. Pemindaian CT merupakan
pemeriksaan pilihan pada pasien dengan dugaan emboli paru yang juga memiliki
penyakit paru sebelumnya karena memungkinkan penilaian penyakit paru tersebut, selain
juga membantu menentukan terdapat emboli paru.
D-dimer
Pada keadaan di mana terbentuk trombus, proteolisis fibrin yang dimediasi oleh plasmin
melepas kan fragmen D-dimer. Peningkatan kadar D-dimer ditemukan pada 90% pasien
dengan emboli paru yang dibuktikan dengan pemindaian V/Q paru. Peningkatan kadar ini
walaupun sensitif untuk emboli paru, namum tidak spesifik. Kadar D-dimer juga
meningkat hingga satu minggu pascapembedahan, pada infark miokard, sepsis, dan
penyakit sistemik lain. Dalam kaitannya dengan penilaian klinis, D-dimer normal
memiliki tingkat akurasi prediktif negatif sebesar 97 % sehingga dapat berguna dalm
menyingkirkan keberadaan trombosis vena. (1)
F.DIAGNOSIS BANDING








Infark miokard
Pneumonia
Asma
Pneumotoraks
Ruptur aneurisma aorta
Syok septik
Diseksi aorta
Pleuritis (4)
G. TERAPI
Pengobatan emboli paru dimulai dengan pemberian oksigen dan obat pereda nyeri.
Oksigen diberikan untuk mempertahankan konsentrasi oksigen yang normal.
Terapi antikoagulan diberikan untuk mencegah pembentukan bekuan lebih lanjut dan
memungkinkan tubuh untuk secara lebih cepat menyerap kembali bekuan yang sudah ada. Terapi
antikoagulan terdiri dari heparin (diberikan melalui infus), kemudian dilanjutkan dengan
pemberian warfarin per-oral (melalui mulut). Heparin dan warfarin diberikan bersama selama 57 hari, sampai pemeriksaan darah menunjukkan adanya perbaikan.
Lamanya pemberian antikoagulan (anti pembekuan darah) tergantung dari keadaan penderita.
Jika emboli paru disebabkan oleh faktor predisposisi sementara, (misalnya pembedahan),
pengobatan diteruskan selama 2-3 bulan
Jika penyebabnya adalah masalah jangka panjang, pengobatan diteruskan selama 3-6
bulan, tapi kadang diteruskan sampai batas yang tidak tentu. Pada saat menjalani terapi warfarin,
darah harus diperiksa secara rutin untuk mengetahui apakah perlu dilakukan penyesuaian dosis
warfarin atau tidak.
Penderita dengan resiko meninggal karena emboli paru, bisa memperoleh manfaat dari 2
jenis terapi lainnya, yaitu terapi trombolitik dan pembedahan. Terapi trombolitik (obat yang
memecah gumpalan) bisa berupa streptokinase, urokinase atau aktivator plasminogen jaringan.
Tetapi obat-obatan ini tidak dapat diberikan kepada penderita yang:
 telah menjalani pembedahan 10 hari sebelumnya
 wanita hamil
 menderita stroke
 mempunyai bakat untuk mengalami perdarahan yang hebat.
Pada emboli paru yang berat atau pada penderita yang memiliki resiko tinggi mengalami
kekambuhan, mungkin perlu dilakukan pembedahan, yaitu biasanya dilakukan embolektomi paru
(pemindahan embolus dari arteri pulmonalis).
Jika tidak bisa diberikan terapi antikoagulan, maka dipasang penyaring pada vena kava inferior.
Alat ini dipasang pada vena sentral utama di perut, yang dirancang untuk menghalangi bekuan
yang besar agar tidak dapat masuk ke dalam pembuluh darah paru.(5)
F. Prognosis
Sulit untuk menentukan prognosis dari emboli paru, karena banyak kasus yang tidak
terdiagnosis. Prognosisnya seringkali berhubungan dengan penyakit yang mendasarinya
(misalnya kanker, pembedahan, trauma dan lain-lain).
Pada emboli paru yang berat, dimana telah terjadi syok dan gagal jantung, maka angka
kematiannya bisa mencapai lebih dari 50%.(3)
G. Pencegahan
Pada orang-orang yang memiliki resiko menderita emboli paru, dilakukan berbagai usaha untuk
mencegah pembentukan gumpalan darah di dalam vena.
Untuk penderita yang baru menjalani pembedahan (terutama orang tua), disarankan untuk:
 menggunakan stoking elastis
 melakukan latihan kaki
 bangun dari tempat tidur dan bergerak aktif sesegera mungkin untuk mengurangi
kemungkinan terjadinya pembentukan gumpalan.
Stoking kaki dirancang untuk mempertahankan aliran darah, mengurangi kemungkinan
pembentukan gumpalan, sehingga menurunkan resiko emboli paru.
Terapi yang paling banyak digunakan untuk mengurangi pembentukan gumpalan pada vena
tungkai setelah pembedahan adalah heparin.
Dosis kecil disuntikkan tepat dibawah kulit sebelum operasi dan selama 7 hari setelah operasi.
Heparin bisa menyebabkan perdarahan dan memperlambat penyembuhan, sehingga hanya
diberikan kepada orang yang memiliki resiko tinggi mengalami pembentukan gumpalan, yaitu:
 penderita gagal jantung atau syok
 penyakit paru menahun
 kegemukan
 sebelumnya sudah mempunyai gumpalan.
Heparin tidak digunakan pada operasi tulang belakang atau otak karena bahaya perdarahan pada
daerah ini lebih besar.
Kepada pasien rawat inap yang mempunyai resiko tinggi menderita emboli paru bisa diberikan
heparin dosis kecil meskipun tidak akan menjalani pembedahan.
Dekstran yang harus diberikan melalui infus, juga membantu mencegah pembentukan gumpalan.
Seperti halnya heparin, dekstran juga bisa menyebabkan perdarahan.
Pada pembedahan tertentu yang dapat menyebabkan terbentuknya gumpalan, (misalnya
pembedahan patah tulang panggul atau pembedahan untuk memperbaiki posisi sendi), bisa
diberikan warfarin per-oral. Terapi ini bisa dilanjutkan untuk beberapa minggu atau bulan setelah
pembedahan.(5)
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
4.
Gray, Huon H. KARDIOLOGI edisi IV. 2003
Buku ajar ILMU PENYAKIT DALAM. Jilid II, edisi IV
Goldhaber SZ : Pulmonary embolism. CARDIOLOGY. Edisi I . 2000
Gleadle, Jonathan. At a Glance, Anamnesis dan Pemeriksaan fisik.
Erlangga, 2006
5. Janata, K. Managing Pulmonary embolism. BMJ 2003.
Download