BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Thalassemia merupakan kelainan genetik akibat mutasi gen yang bersifat autosomal resesif yang disebabkan kekurangan sintesis rantai globin pembentuk hemoglobin darah dengan gejala mirip anemia. Kekurangan sintesis rantai globin pada penyandang thalassemia dikarenakan mutasi gen yang berperan dalam pembuatan globin darah. Mutasi gen dalam thalassemia bersifat herediter sehingga diturunkan ke generasi penerusnya (Galanello & Origa, 2010). Mutasi gen globin bersifat autosomal resesif yang terkait dengan kromosom tubuh (autosom). Jika ada gen dominan normal, maka kelainan ini tertutupi (individu tersebut merupakan pembawa sifat) atau sama sekali tidak diekspresikan (jika gen yang dimiliki homozigot dominan normal) (Wong, 1983, 1986). Penyandang thalassemia memiliki hemoglobin (Hb) dalam sel darah merah (eritrosit) yang tidak dapat mengikat oksigen dengan baik. Kondisi normal eritrosit mengandung hemoglobin yang terdiri dari heme dan globin. Hemoglobin berfungsi dalam pengangkutan oksigen dan karbon dioksida dalam tubuh sehingga jika tidak sempurna tidak dapat mengikat oksigen dan karbon dioksida dengan baik. Dengan kondisi yang demikian maka penyandang thalassemia sering merasa lemas karena kekurangan oksigen terlarut dalam darah. Hemoglobin disusun oleh kompleks dua protein α globin dan dua protein β globin. Thalassemia diklasifikasikan berdasar kelainan molekul sekunder protein α globin atau protein β globin. Thalassemia α memiliki kelainan pada protein α globin, sedangkan thalassemia β, pada protein β globin (Campbell et al., 2008; Guyton & Hall, 2010). Mutasi gen penyebab thalassemia diduga berasal dari Mediterania sehingga sering ditemukan di wilayah Afrika, Asia Selatan, Asia Tenggara dan ditengarai umum di Indonesia (Wong, 1983; Hoffbrand, et al., 2006). Di Indonesia, penyandang thalassemia, menurut Ketua Umum Yayasan Talasemia Indonesia (YTI), Rinie Amaludin, terus meningkat 8 hingga 10% per tahun 1 2 dengan jumlah penyandang sebanyak 5.700 orang di tahun 2013. Berdasarkan data dari YTI ini angka populasi penyandang thalassemia sangat besar, sehingga diperlukan penelitian dan strategi untuk menekan jumlah penyandang dalam populasi (Ansari & Shamsi, 2010). Strategi global World Health Organization (WHO) dalam mengurangi jumlah populasi penyandang kelainan genetik thalassemia meliputi pemeriksaan massal, pemeriksaan individu yang mempunyai riwayat thalassemia di keluarganya, pemeriksaan premarital, diagnosis prenatal dan terminasi kehamilan. Pemeriksaan terhadap pembawa sifat kelainan genetik sangat efektif, sebagaimana di Israel yang mampu menekan lahirnya bayi thalassemia dari 13 bayi per 10.000 kelahiran per tahun menjadi 5 bayi per 10.000 kelahiran. Penelitian genetik untuk deteksi cepat pembawa sifat thalassemia sangatlah penting untuk menekan populasi penyandang. Penelitian untuk deteksi dan jenis mutasi ini sangat sesuai dengan strategi WHO (Zlotogora et al., 2008). Pemeriksaan pembawa sifat thalassemia dapat dilakukan dengan pengecekkan hematologis yang terdiri dari, pemeriksaan abnormalitas gambaran darah tepi dari sel darah merah (Wintrobe, 1956), nilai MCV, MCH dan penghitungan hemoglobin, perhitungan sel darah merah, konsentrasi volume persel (PCV) dan pengecatan hemoglobin fetal (HbF), sedangkan untuk spesifik thalassemia β dapat menggunakan pengecekkan HbA2. Jika HbA2 yang diperiksa dengan elektroforesis di membran asetat selulosa berlebih (di atas 3,5%) adalah indikasi thalassemia β (Sofro et al., 1996). Pemeriksaan secara molekular dapat dilakukan untuk dapat mengetahui apakah seseorang adalah pembawa atau bukan. Salah satu pemeriksaan molekular adalah dengan pengecekkan sekuens DNA. Penggunaan teknik non-radioaktif seperti primer ARMS (Amplification-refractory mutation system) yang dikembangkan oleh Varawalla et al. (1991), telah mendeteksi sejumlah mutasi utama dalam kasus thalassemia β di Jakarta (Lie Injo et al., 1989), namun primer ARMS memiliki kelemahan karena tidak mampu mendeteksi mutasi gen yang tidak cocok dengan primer ARMS. Hal ini dikarenakan banyaknya jenis mutasi di 3 gen β globin pada pembawa thalassemia. Pada kasus thalassemia β, jenis mutasi sangat bervariasi di Indonesia (Sofro et al., 1996). Pemeriksaan molekular yang lainnya adalah dengan Polymerase chain reaction-single strand conformation polymorphism (PCR-SSCP). Deteksi menggunakan PCR-SSCP dapat melihat perubahan satu basa nukleotida pada elektroforesis dengan gel polyacrilamide (Gruszczynska et al., 2005). Kakavas, et al. (2007) menyebutkan bahwa PCR-SSCP sangat sensitif mendeteksi adanya mutasi pada DNA, sehingga sangat cocok untuk mendeteksi mutasi pada pembawa thalassemia β. Metode PCR-SSCP juga sangat aman karena tidak menggunakan unsur radioaktif dan mudah untuk diaplikasikan. Hasil deteksi menggunakan PCR-SSCP pada pembawa thalassemia β perlu diteruskan dengan identifikasi jenis dan letak mutasi yang ada di gen β globin. Identifikasi mutasi gen β globin ekson 1 dengan metode sekuensing merupakan cara mengetahui mutasi spesifik pada pembawa thalassemia. Hasil identifikasi mutasi gen β globin ekson 1 sangat diperlukan untuk menentukan variasi mutan dan dapat digunakan sebagai acuan untuk membuat primer ARMS spesifik untuk mutan di Indonesia. B. Permasalahan Berdasarkan latar belakang tersebut, kemudian dapat ditarik perumusan beberapa masalah dalam penelitian ini, yakni sebagai berikut: 1. Jenis mutasi apakah yang terjadi di gen β globin ekson 1 pada pembawa sifat thalassemia? 2. Dimana sajakah letak nukteotida yang sering terjadi mutasi di gen β globin ekson 1 dan adakah perubahan asam amino yang disandi? C. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mencapai hal sebagai berikut: 1. Mempelajari dan mengetahui jenis mutasi apakah yang terjadi di gen β globin ekson 1 pada pembawa thalassemia. 4 2. Mempelajari dan mengetahui letak mutasi nukleotida yang terjadi pada gen β globin ekson 1 dan perubahan asam amino yang disandi pada pembawa thalassemia. D. Manfaat Penelitian ini diharapkan mampu bermanfaat dalam memberikan alternatif pemeriksaan molekular yang cepat, efisien dan akurat untuk penyandang thalassemia. Hasil penelitian ini juga dapat dimanfaatkan sebagai kemandirian Indonesia dengan memiliki standar acuan pembuatan primer ARMS spesifik untuk suku lokal Indonesia, dalam mendeteksi thalassemia β. Selanjutnya primer ARMS untuk Indonesia ini memudahkan pemeriksaan gen thalassemia untuk menekan angka penyandang thalassemia, dan menciptakan Indonesia bebas thalassemia.