BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS A. Grand Theory 1. Teori Agensi Teori agensi menjelaskan hubungan antara satu orang atau lebih yang sebagai principle (pemilik modal) dengan manajemen sebagai agent (pengelola modal) (Jensen dan Meckling, 1976). Manajemen adalah pihak yang dikontrak oleh pemilik modal yang kemudian diberi wewenang untuk mewakili kepentingan pemegang saham. Oleh karena itu, pihak manejemen diharuskan untuk mempertanggungjawabkan setiap pekerjaannya kepada pemilik modal. Lebih lanjut, Jensen dan Meckling (1976) menekankan adanya pemisahan fungsi kepemilikan principle dengan fungsi manajemen sebagai agent. Sebagaimana dikatakan oleh Eisenhard (1989), teori agensi dilandasi oleh 3 (tiga) buah asumsi yaitu : a. Asumsi tentang sifat manusia menjelaskan bahwa manusia memiliki sifat mementingkan diri sendiri (self interest), dan tidak suka dengan adanya risiko. b. Asumsi tentang keorganisasian yang menjelaskan adanya konflik antaranggota di dalam organisasi. c. Asumsi tentang informasi yang menjelaskan bahwa ada AI (Asymmetric Information) antara prinsipal dan agen. 7 2. Makro Ekonomi Makro ekonomi adalah faktor-faktor eksternal yang terdiri dari kejadian-kejadian yang berasal dari luar perusahaan, sehingga pihak perusahaan tidak mampu untuk mengendalikannya (Djamil, 1989). Sebagaimana yang dikatakan oleh Athanasoglou et al. (2006) menyatakan bahwa profitabilitas bank dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Lebih lanjut Athanasoglou (2006) menjelaskan faktor eksternal merupakan faktor yang tidak berhubungan langsung dengan manajemen bank, tetapi memiliki dampak secara tidak langsung bagi perekonomian dan lembaga keuangan. B. Variabel Dependen dan Variabel Independen Variabel dependen adalah Profitabilitas, sedangkan variabel independen adalah inflasi, BI rate, CAR, dan NPL. 1. Profitabilitas Profitabilitas merupakan kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba dari penjualan total aset maupun modal sendiri (Sugiyarso, 2005:118). Profitabilitas adalah tingkat kemampuan suatu bank untuk mengahsilkan laba yang dihitung dengan menggunakan rasio-rasio rentabilitas (Judisseno, 2002:141). 8 Menurut Hassan dan Bashir (2002), tingkat profitabilitas bank dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu faktor internal maupun faktor eksternal. Lebih lanjut Hassan dkk. (2002) menjelaskan beberapa faktor tersebut adalah karakteristik bank, indikator makro, struktur keuangan, perpajakan, modal, kualitas asset, dan likuiditas. Tingkat profitabilitas merupakan hal penting bagi sebuah bank dan menjadi salah satu indikator untuk mengukur kinerja keuangan suatu bank (Indahsari, 2015). Lebih lanjut Indahsari (2015) juga menyatakan bahwa tingkat profitabilitas menjadi faktor penentu keberlanjutan sebuah bank untuk terus berkembang. Bank Indonesia sebagai pembina dan pengawas perbankan nasional menganjurkan profitabilitas bank diukur dengan menggunakan ROA karena lebih mengutamakan tingkat profitabilitas suatu bank diukur dengan menggunakan aset yang dananya sebagian besar dari dana simpanan masyarakat (Dendawijaya, 2009:119). ROA (Return on Assets) merupakan rasio yang digunakan untuk mengukur kemampuan pihak manajemen bank dalam menghasilkan profit (laba sebelum pajak) yang diperoleh dari rata-rata total aset bank itu sendiri. Sebagaimana yang dikatakan Rahardja (2006), rasio ini digunakan untuk mengukur kemampuan manajemen bank dalam memperoleh keuntungan secara keseluruhan. Semakin tinggi rasio ROA yang dimiliki suatu bank maka semaking tinggi tingkat profit yang diperoleh bank sehingga kemungkinan bank mengalami masalah keuangan semakin rendah. 9 Surat Edaran Bank Indonesia No.6//23./DPNP tahun 2004, merumuskan untuk menghitung ROA adalah dengan membandingkan laba sebelum pajak dengan total aset. 2. Inflasi Inflasi adalah suatu fenomena ekonomi dimana terjadi peningkatan harga-harga barang barang secara terus menerus sebagai akibat dari mekanisme pasar (Anto dkk., 2012). Lebih lanjut Anto dkk. (2012) menjelaskan ada tiga syarat agar bisa dikatakan terjadi inflasi sebagai berikut: a. Terdapat kenaikan harga barang. b. Kenaikan harga terjadi terhadap barang-barang secara umum. c. Kenaikan harga terjadi terus menerus (tidak sesaat). Inflasi merupakan kenaikan harga-harga secara umum dan terus menerus (www.bi.go.id). Kenaikan harga dari satu atau dua barang tidak dapat disebut inflasi kecuali bila kenaikan itu meluas pada barang lainnya. Indikator yang digunakan untuk mengukur tingkat inflasi adalah Indeks Harga Konsumen (IHK) (www.bi.go.id). Upaya perbankan dalam menghimpun dana masyarakat terhambat ketika laju inflasi yang tinggi dan tidak terkendali (Dwijayanthy, 2009). Hal ini disebabkan karena tingginya tingkat inflasi mengakibatkan tingkat suku bunga riil menjadi menurun. Oleh karena itu keinginan masyarakat untuk 10 menabung pun menurun sehingga menyebabkan pertumbuhan dana perbankan yang bersumber dari masyarakat pun juga ikut menurun (Pohan, 2008). 3. BI Rate BI Rate adalah suku bunga kebijakan yang mencerminkan sikap atau stance kebijakan moneter yang ditetapkan oleh bank Indonesia dan diumumkan kepada public (www.bi.go.id). Bank Indonesia sebagai otoritas moneter menggunakan BI Rate untuk mengendalikan tingkat suku bunga agar tercapai stabilitas perekonomian (Indahsari, 2015). BI Rate diumumkan oleh Dewan Gubernur Bank Indonesia setiap Rapat Dewan Gubernur bulanan dan diimplementasikan pada operasi moneter yang dilakukan Bank Indonesia melalui pengelolaan likuiditas (liquidity management) di pasar uang untuk mencapai sasaran operasional kebijakan moneter (www.bi.go.id). Sasaran operasional kebijakan moneter dicerminkan pada perkembangan suku bunga Pasar Uang Antar Bank Overnight (PUAB O/N). Pergerakan di suku bunga PUAB ini diharapkan akan diikuti oleh perkembangan di suku bunga deposito, dan pada gilirannya suku bunga kredit perbankan (www.bi.go.id). BI rate merupakan suku bunga kebijakan Bank Indonesia yang menjadi acuan suku bunga di pasar uang, seperti suku bunga kredit (Bank Indonesia, 2012). Fluktuasi tingkat suku bunga sangat mempengaruhi perkembangan perbankan (Karisma 2009). Semakin tinggi suku bunga yang ditawarkan semakin tinggi pula hasrat masyarakat untuk menabung di bank sehingga jumlah dana simpanan masyarakat perbankan akan meningkat (Pohan, 2008). Lebih lanjut Pohan (2008) mengatakan bunga yang tinggi, 11 akan meningkatkan kemampuan bank dalam menghimpun dana untuk disalurkan dalam bentuk kredit kepada dunia usaha (Pohan, 2008). 4. CAR CAR (Capital Adequacy Ratio) merupakan rasio yang menggambarkan seberapa besar dari seluruh aktiva bank yang di dalamya terdapat resiko yang dibiayai dari modal bank sendiri (Ervani, 2010). Sederhananya Ervani (2010) menjelaskan CAR merupakan rasio untuk mengukur kecukupan modal yang dimiliki bank untuk menunjang aktiva yang mengandung resiko, misalnya kredit yang diberikan. CAR yang tinggi berarti semakin kuat kemampuan bank tersebut dalam menanggung setiap resiko kredit/aktiva produktif yang berisiko (Lisa dan Suryani dalam Rahim, 2008). Berdasarkan surat edaran Bank Indonesia No. 9/24/DPbS tahun 2007 menjelaskan CAR merupakan rasio permodalan untuk menilai kecukupan modal Bank dalam mengamankan eksposur risiko posisi dan mengantisipasi eksposur risiko yang akan muncul. Lebih lanjut di dalam surat edaran Bank Indonesia No. 9/24/DPbS tentang Sistem Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah tahun 2007, CAR diperoleh dengan membandingkan modal dan aktiva tertimbang menurut resiko (ATMR). 12 5. NPF NPF (Non Performing Financing) merupakan istilah yang digunakan untuk pembiayaan yang bermasalah pada bank syariah (Wibowo dkk., 2013). Pada bank konvensional NPF lebih dikenal dengan istilah NPL (Non Performing Loan). Menurut surat edaran Bank Indonesia No. 9/24/DPbS tentang Sistem Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah tahun 2007 menjelaskan penilaian kualitas aset dimaksudkan untuk menilai kondisi aset bank, termasuk antisipasi atas risiko gagal bayar dari pembiayaan yang muncul. Semakin rendah NPF suatu bank, maka semakin rendah kemungkinan bank tersebut mengalami masalah keuangan yang disebabkan oleh kredit macet. Perhitungan NPF sebagaimana dimaksud dilakukan dengan membandingkan pembiayaan non lancar dengan total pembiayaan (Surat Edaran Bank Indonesia, 2007): C. Pengembangan Hipotesis 1. Pengaruh Inflasi Terhadap Profitabilitas Sebagaimana yang dikatakan Wibowo dkk. (2013), dan Zulifiah & Susilowibowo (2014) menjelaskan bahwa inflasi tidak berpengaruh terhadap profitabilitas. Berbeda Utomo (2009) dimana inflasi berpengaruh negatif terhadap profitabilitas. Sebaliknya Harmono (2012) inflasi berpengaruh 13 positif terhadap profitabilitas. Penelitian mengajukan hipotesis pengaruh inflasi berpengaruh negatif terhadap profitabiltas perbankan karena minat untuk menabung cenderung menurun dan cenderung untuk menggunakan uang mereka untuk memenuhi kebutuhan konsumsi selama inflasi terjadi. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan Sukirno (2003) bahwa inflasi akan menyebabkan nilai riil tabungan merosot dikarenakan kebanyakan masyarakat akan menggunakan uangnya untuk memenuhi kebutuhan yang diakibatkan naiknya harga-harga barang, sehingga akan berdampak terhadap profitabilitas bank. H1: Terdapat pengaruh negatif inflasi terhadap profitabilitas perbankan syariah 2. Pengaruh BI Rate Terhadap Profitabilitas Anto & Wibowo (2012), Sahara (2013), dan Sultoni (2014) menjelaskan bahwa BI rate berpengaruh negatif terhadap profitabilitas. Sebaliknya, Indahsari & Hascaryani (2015) menyebutkan bahwa BI rate berpengaruh positif terhadap profitabilitas. Bertolakbelakang, Dwijyanthy, dkk. (2009), dan Wibowo dkk. (2013) menyatakan bahwa BI rate tidak berpengaruh terhadap profitabilitas bank. Penelitian ini mengajukan hipotesis pengaruh inflasi berpengaruh negatif terhadap profitabilitas perbankan syariah karena semakin tinggi tingkat BI rate maka semakin tinggi pula suku bunga yang ditawarkan oleh bank konvensional yang membuat nasabah bank syariah beralih ke bank konvensional. Hal ini didukung oleh Sahara (2013) yang menjelaskan meningkatnya BI rate akan diikuti dengan peningkatan suku bunga tabungan, akibatnya nasabah bank syariah banyak yang memindahkan dananya ke 14 bank konvensional untuk mendapatkan imbalan bunga yang tinggi. Lebih lanjut Sahara (2013) mengatakan dengan terjadinya peningkatan suku bunga bank konvensional akan mempengaruhi kegiatan operasional bank syariah yaitu dalam hal pembiayaan dan penyaluran dana yang tentu akan mengakibatkan profitabilitas bank syariah menurun. H2: Terdapat pengaruh negatif BI rate terhadap profitabilitas perbankan syariah 3. Pengaruh CAR Terhadap Profitabilitas Sebagaimana yang dikatakan Wibowo dkk. (2013), dan Fadjar, dkk. (2013) menyatakan bahwa CAR tidak berpengaruh terhadap profitabilitas. Berbeda, Nusantara (2009), Ervani (2010) dan Zullifiah dkk. (2014) CAR berpengaruh positif terhadap profitabilitas. Penelitian ini mengajukan hipotesis CAR berpengaruh positif terhadap profitabilitas perbankan syariah karena CAR menggambarkan kecukupan modal bank dalam mengantisipsi setiap risiko operasinya. Hal ini didukung oleh Suhardjono (2002) yang mengatakan jika nilai CAR tinggi (sesuai ketentuan BI) berarti bank tersebut mampu membiayai operasi bank, dan tentu akan memberikan kontribusi yang cukup besar bagi profitabilitas. Syaichu (2006) juga mengatakan CAR berpengaruh positif terhadap kepercayaan masyarakat terhadap bank, kepercayaan sangat penting bagi industri ini. H2: Tedapat pengaruh positif CAR terhadap profitabilitas perbankan syariah 15 4. Pengaruh NPF Terhadap Profitabilitas Sebagaimana yang dikatakan Wibowo dkk. (2013), dan Riyadi & Yulianto (2014) bahwa NPF tidak berpengaruh terhadap profitabilitas. Berbeda dengan Ali, Akhtar, dan Ahmed (2011) yang menyatakan NPF berpengaruh negatif terhadap ROA. Sebaliknya, Sukarno dan Syaichu (2006), dan Zulifiah dkk. (2014) menjelaskan bahwa NPF berpengaruh positif terhadap profitabilitas. Penelitian ini mengajukan hipotesis NPF berpengaruh negatif terhadap profitabilitas perbankan syariah karena pembiayaan non lancer akan memperkecil kesempatan bank dalam memperoleh profit dari pembiayaan yang diberikan bank. Hal ini didukung oleh Setiawan (2009) yang menyatakan semakin tinggi NPF maka semakin buruk kinerja perbankan. Pramesthi (2009) juga menyatakan semakin banyak pembiayaan non lancer yang terlihat dari NPF mengakibatkan hilangnya kesempatan bank memperoleh profit dari pembiayaan. H4: Terdapat pengaruh negatif NPF terhadap profitabilitas perbankan syariah D. Model Penelitian Berdasarkan pengembangan hipotesis data, maka model penelitian bisa dilihat pada gambar 1 berikut ini. 16 Gambar 1 Model Penlitian Varibel Independen Inflasi ask Varibel Dependen H (-) H (-) BI Rate HHh Profitabilitas Perbankan Syariah H (+) CAR H (-) NPF 17