Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas

advertisement
Buku Keterampilan Klinis
Ilmu Kedokteran Komunitas
2014
DEPARTEMEN ILMU KEDOKTERAN KOMUNITAS
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA
BUKU KETERAMPILAN KLINIS ILMU KEDOKTERAN KOMUNITAS
Diterbitkan oleh Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas FKUI
Jl. Pegangsaan Timur No. 16 Jakarta 10320 – Indonesia
Telp. dan Fax 021 - 3141066
Dicetak di Jakarta, INDONESIA
Hak cipta dilindungi. Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh
buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit.
ISBN 978-979-18349-9
Lay out:
dr. Marinda Asiah Nuril Haya
Cover photo:
Schubert Malbas Diunduh dari:
http://www.schubertmalbas.net/2011_06_01_archive.html
Editor:
Dr. dr. Herqutanto, MPH, MARS
dr. Retno Asti Werdhani, MEpid
Kontributor:
- Dr. dr. Joedo Prihartono, MPH
- dr. Setyawati Budiningsih, MPH
- dr. Aria Kekalih, MTI
- Prof. Dr. dr. Azrul Azwar, MPH
- Prof. Dr. dr. Endang Basuki, MPH
- dr. Resna A. Soerawidjaja, MPH
- dr. Judilherry Justam, MM, ME
- Dr. dr. Herqutanto, MPH, MARS
- dr. Nitra Nirwani Rifki, PKK
-
Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
dr. Dhanasari Vidiawati, MSc.CM-FM
dr. Retno Asti Werdhani, MEpid
Dr. dr. Astrid B Sulistomo, MPH, SpOk
Dr. dr. Dewi Soemarko, MS, SpOk
dr. Muchtaruddin Mansyur, MS, SpOk, PhD
Ambar W Roestam, SKM, MOH
Dr. dr. Fikri Effendi, MOH, SpOk
Dr. Nuri Purwito Adi, MSc, MKK
DAFTAR ISI
Daftar Tabel
Daftar Gambar
Kata Pengantar
Diagnosis Komunitas
Langkah-langkah Pelaksanaan Jaminan Mutu dan Panduan
Penulisan Laporan
Problem Solving Cycle
Evaluasi Program Kedokteran/Kesehatan berdasarkan
Pendekatan Sistem
Pelayanan Kesehatan dengan Pendekatan Dokter Keluarga
Diagnosis Okupasi
Plant Survey
Keselamatan pasien
Identifikasi dan Modifikasi Gaya Hidup
Pencarian Kontak
Surveilans
ii
iii
iv
1
13
18
24
34
42
52
72
Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | i
DAFTAR TABEL
Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | ii
DAFTAR GAMBAR
Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | iii
KATA PENGANTAR
Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas (IKK) Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia (FKUI) memiliki sejarah panjang dalam dunia
pendidikan kedokteran, sejak masa penjajahan Belanda.
Departemen IKK FKUI memiliki visi untuk menjadi institusi pendidikan
terdepan dalam ilmu kedokteran komunitas di wilayah Asia Pasifik. Selain itu,
Departemen IKK FKUI berharap untuk dapat berperan nyata dalam
meningkatkan derajat kesehatan masyarakat Indonesia. Untuk mewujudkan
visi tersebut, Departemen IKK FKUI senantiasa mengembangkan pendidikan
kedokteran, penelitian, serta pelayanan di bidang kedokteran komunitas.
Dalam bidang pendidikan kedokteran, Departemen IKK FKUI terlibat dalam
penyelenggaraan pendidikan untuk program postgraduate maupun
undergraduate. Karena keterbatasan alokasi waktu yang diberikan dalam
modul-modul undergraduate, mahasiswa menghadapi keterbatasan dan
kesulitan dalam memahami materi-materi kedokteran komunitas. Selain
mahasiswa, staf pengajar dari departemen lain pun mengalami kesulitan
ketika harus menjadi fasilitator dalam modul-modul kedokteran komunitas.
Untuk itu, Departemen IKK FKUI menerbitkan buku-buku mengenai
kedokteran komunitas sebagai materi pembelajaran ilmu kedokteran
komunitas.
Pada buku “Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas” ini, pembaca
akan mendapatkan keterampilan-keterampilan klinis yang sering digunakan
dalam kedokteran komunitas, seperti diagnosis holistik dan diagnosis okupasi.
Pembaca juga akan mempelajari metode evaluasi dalam materi quality
assurance, evaluasi program, serta diagnosis komunitas. Selain itu, masih
banyak materi lain yang termasuk keterampilan dalam kedokteran komunitas.
Penulis menyadari adanya kekurangan dalam pembuatan buku ini. Untuk itu,
kritik dan saran dari pembaca sangat kami harapkan untuk perbaikan buku ini.
Semoga buku ini dapat bermanfaat dan dipergunakan sebaik-baiknya oleh
penyelenggara pelatihan dokter keluarga di Indonesia.
Hormat kami,
Editor
Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | iv
DIAGNOSIS KOMUNITAS
Setyawati Budiningsih, Joedo Prihartono, Aria Kekalih
Divisi Epidemiologi dan Biostatistik, Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
PENDAHULUAN
Profil dokter masa depan menurut WHO (The Future Doctor) mencakup Care
provider, Decision Maker, Educator, Manager dan Community Leader. Salah satu
posisi atau pekerjaan yang akan dijalani dokter adalah memimpin suatu fasilitas
kesehatan. Pada sistim kesehatan di Indonesia di tingkat primer, dikenal Pusat
Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) yang bertanggung jawab terhadap
masyarakat di area kerjanya, yaitu kecamatan atau kelurahan. Fungsi dari
puskesmas ada 3, yaitu:
1. Pusat pengembangan program kesehatan
2. Pusat pelayanan kesehatan primer
3. Pusat pemberdayaan masyarakat
Sebagai pusat pengembangan program kesehatan, maka fasilitas kesehatan perlu
melakukan melakukan Diagnosis Komunitas (Community Diagnosis), sehingga
program kesehatan yang dilakukan sesuai dengan masalah yang terutama
dihadapi oleh komunitas/masyarakat di area tersebut. Diagnosis komunitas
merupakan keterampilan (skill) yang harus dikuasai oleh dokter di fasilitas
kesehatan tingkat primer, dan/atau bila bekerja sebagai pimpinan institusi/unit
kesehatan yang bertanggung jawab atas kesehatan suatu komunitas/masyarakat.
Terdapat beberapa persamaan dan perbedaan di antara pendekatan kedokteran
klinis dan kedokteran komunitas dalam penegakan diagnosis masalah kesehatan.
Seorang klinisi akan memeriksa pasien serta harus mampu menentukan kondisi
patologis berdasarkan gejala dan tanda yang ada agar dapat menegakkan
diagnosis penyakit dan memilih cara tepat untuk pengobatannya. Pada
kedokteran komunitas, keterampilan epidemiologi (mempelajari tentang
frekwensi dan distribusi penyakit serta faktor determinan yang
mempengaruhinya di kalangan manusia) sangat diperlukan untuk dapat
memeriksa seluruh masyarakat dan memilih indikator yang sesuai untuk
menjelaskan masalah kesehatan di komunitas; kemudian menetapkan diagnosis
komunitas serta menetapkan intervensi yang paling efektif untuk dapat
meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.
Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | 1
POSISI DIAGNOSIS KOMUNITAS DALAM STANDAR KOMPETENSI DOKTER
INDONESIA
Diagnosis Komunitas dikembangkan untuk mendukung area kompetensi dokter
khususnya area ke-7 yaitu tentang “Pengelolaan Masalah Kesehatan”. Pada
penjabaran area kompetensi ke- 7 ini disebutkan bahwa dokter mampu
mengelola masalah kesehatan individu, keluarga maupun masyarakat secara
komprehensif, holistik, terpadu dan berkesinambungan dalam konteks pelayanan
kesehatan primer. Diagnosis komunitas disebutkan dengan tegas dalam
penjelasannya yaitu dokter mampu menginterpretasi data kesehatan masyarakat
dalam rangka mengidentifikasi dan merumuskan diagnosis komunitas. Selain itu
diagnosis komunitas juga merupakan implementasi dari ketrampilan yang harus
dilaksanakan secara mandiri (Kompetensi 4A). Ketrampilan tersebut antara lain:
1. Memperlihatkan kemampuan pemeriksaan medis di komunitas
2. Memperlihatkan kemampuan penelitian yang berkaitan dengan
lingkungan
DEFINISI DAN CAKUPAN
Definisi komunitas
Komunitas didefinisikan sebagai sekelompok orang yang memiliki paling tidak ada
satu kesamaan sifat yang berlaku untuk semua anggota komunitas bersangkutan.
Kesamaan sifat ini bisa berupa kesamaan wilayah misalnya komunitas Jakarta;
kesamaan pekerjaan misalnya komunitas guru; kesamaan suku misalnya
komunitas Betawi; kesamaan kondisi perumahan misalnya komunitas perumnas;
dan sebagainya. Komunitas dapat juga didefiniskan sebagai sebagian dari anggota
masyarakat yang lebih besar, serta memiliki kesamaan sifat atau minat. Sebagai
contoh adalah sebagian dari masyarakat Jakarta yang memiliki minat yang sama
terhadap cabang olahraga sepakbola dan menjadi fans Persija, yakni komunitas
Jakmania.
Adanya kesamaan sifat dari semua anggota komunitas ini telah membantu
keterkaitan di antara mereka satu sama lain. Keterkaitan antara bagian komunitas
atau subsistem dari suatu komunitaslah yang dapat mendorong agar komunitas
bersangkutan berfungsi secara baik. Hal ini pula yang mampu diberdayakan
dalam aspek kesehatan sehingga seluruh komunitas mampu bersama-sama
menggunakan potensi yang ada didalamnya untuk menjaga dan meningkatkan
derajat kesehatannya.
Definisi diagnosis komunitas
Diagnosis komunitas adalah suatu kegiatan untuk menentukan adanya suatu
masalah dengan cara pengumpulan data di masyarakat lapangan. Menurut
definisi WHO, diagnosis komunitas adalah penjelasan secara kuantitatif dan
kualitatif mengenai kondisi kesehatan di komunitas serta faktor faktor yang
mempengaruhi kondisi kesehatannya. Diagnosis komunitas ini mengidentifikasi
Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | 2
masalah kemudian mengarahkan suatu intervensi perbaikan sehingga
menghasilkan suatu rencana kerja yang konkrit. Keterampilan melakukan
diagnosis komunitas merupakan keterampilan yang harus dikuasai oleh dokter
untuk menerapkan pelayanan kedokteran secara holistik dan komprehensif
dengan pendekatan keluarga dan okupasi terhadap pasien. Dalam penerapannya,
penggunaan diagnosis komunitas dalam suatu program kesehatan adalah sebagai
berikut :
- untuk berperan sebagai referensi data kesehatan dalam suatu wilayah
- untuk menyediakan gambaran secara keseluruhan mengenai masalah
kesehatan pada komunitas lokal dan penduduknya
- untuk merekomendasikan intervensi yang akan dijadikan prioritas dan
solusi pemecahan masalah yang mampu laksana
- untuk mengindikasi alokasi sumber daya dan mengarahkan rencana kerja
di masa depan
- untuk menciptakan peluang dari kolaborasi inter sektoral dan keterlibatan
media
- untuk pembentukan dasar indikator keberhasilan dari evaluasi program
kerja kesehatan.
Oleh karena itu diagnosis komunitas harus disadari bukan sebagai suatu kegiatan
yang berdiri sendiri namun merupakan bagian dari suatu proses dinamis yang
mengarah kepada kegiatan promosi kesehatan dan perbaikan permasalahan
kesehatan di dalam komunitas. Diagnosis komunitas merupakan awal dari siklus
pemecahan masalah untuk digunakan sebagai dasar pengenalan masalah di
komunitas, sehingga dilanjutkan dengan suatu perencanaan intervensi,
pelaksanaan intervensi serta evaluasi bagaimana intervensi tersebut berhasil
dilakukan di komunitas.
Oleh karena itu diagnosis komunitas TIDAK hanya berhenti pada identifikasi
(diagnosis) masalah, tetapi juga mencakup solusi (treatment) untuk mengatasi
masalah berdasarkan sumber-sumber yang ada. Untuk lebih menjelaskan
diagnosis komunitas, dibawah ini dijelaskan perbedaan antara Kedokteran
komunitas (Community Medicine) dengan Kedokteran rumah sakit dan perbedaan
antara Diagnosis Komunitas dengan diagnosis klinis
Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | 3
Tabel 1. Perbedaan antara Kedokteran komunitas dan Kedokteran Rumah Sakit
Karakteristik
Area
pelayanan
Strategi
operasional
Organisasi
Kedokteran Komunitas
Populasi di area kerja
Bentuk
pelayanan
Komprehensif (health
promotion, specific protection,
early diagnosis dan prompt
treatment, disability-limitation,
rehabilitation
Ada koordinasi dengan
departemen kesehatan dan
jajarannya
Mengikut sertakan masyarakat
dalam program kesehatan
Memberikan high cost- benefit
rasio melalui minimumexpenditure dan maximum-result
Koordinasi
Intersektoral
Partisipasi
masyarakat
Analisis costbenefit
Aktif dan pasif
Terdiri atas puskesmas, pustu,
posyandu
Kedokteran Rumah Sakit
Pasien yang datang ke fasilitas
kesehatan
Pasif, menunggu pasien datang
Terdiri atas hubungan yang
tidak mengikat antara
pelayanan primer, sekunder
dan tersier
Hanya kuratif
Tidak ada hubungan
Partisipasi terbatas
Memberikan poor cost- benefit
rasio melalui maximumexpenditure dan minimumresult
(Sumber: Suryakantha AH. Community Medicine with Recent Advances, Ed 2. Jaypee
Brothers Medical Publisher, 2010)
Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | 4
Tabel 2. Perbedaan antara Diagnosis komunitas dan Diagnosis Klinis
No
1
Diagnosis Klinis
Dilakukan oleh dokter
2
Fokus perhatian : pasien
3
4
5
Fokus perhatian : hanya orang sakit
Dilakukan dengan memeriksa pasien
Diagnosis didapat berdasarkan
keluhan dan simtom
6
Memerlukan pemeriksaan
laboratorium
Dokter menentukan pengobatan
7
8
9
10
Pengobatan pasien menjadi tujuan
utama
Diikiuti dengan follow up kasus
Dokter tertarik menggunakan
teknologi tinggi
Diagnosis Komunitas
Dilakukan oleh dokter atau
epidemiologis
Fokus perhatian : komunitas /
masyarakat
Fokus perhatian : orang sakit dan sehat
Dilakukan dengan cara survey
Diagnosis didasarkan atas Riwayat
Alamiah Perjalanan Penyakit ( Natural
history of disease)
Memerlukan penelitian epidemiologi
Dokter/epidemiologis merencanakan
plan of action
Pencegahan dan Promosi menjadi
tujuan utama
Diikuti dengan program evaluasi
Dokter/epidemiologis tertarik dengan
nilai2 statistik
(Sumber: Suryakantha AH. Community Medicine with Recent Advances, Ed 2. Jaypee
Brothers Medical Publisher, 2010)
Sama seperti halnya melakukan diagnosis terhadap pasien, maka pelaksanaan
diagnosis komunitas dilakukan dengan mengikuti kaidah kaidah tertentu, agar
data (diagnosis) yang diperoleh dapat dipercaya. Dalam melaksanakan diagnosis
komunitas, perlu disadari bahwa yang menjadi sasaran adalah komunitas (yang
terdiri dari sejumlah orang) sehingga sangat ditunjang oleh pengetahuan
epidemiologi, statistik, manajemen dan ilmu ilmu sosial lainnya.
TUJUAN KOMPETENSI DIAGNOSIS KOMUNITAS
Tujuan utama dari penguatan kompetensi diagnosis komunitas adalah dokter
mampu mengidentifikasi masalah kesehatan di komunitas dan membuat solusi
pemecahannya. Secara khusus, tujuannya adalah dokter mampu :
- mengidentifikasi masalah kesehatan di masyarakat
- mengembangkan instrumen untuk mengidentifikasi masalah kesehatan
- menganalisis permasalahan kesehatan dan mengajukan solusi
pemecahannya
- menjelaskan struktur organisasi fasilitas kesehatan tingkat primer
- berkomunikasi secara baik dengan masyarakat
- membuat usulan pemecahan terhadap masalah kesehatan
Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | 5
MANFAAT DIAGNOSIS KOMUNITAS
Setelah mendapatkan diagnosis komunitas, maka manfaat yang bisa didapatkan
adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui kondisi kesehatan dari komunitas bersangkutan saat ini
Pertanyaan ini menekankan pada keadaan tingkat kesehatan sebenarnya yang
saat ini sedang dihadapi oleh komunitas bersangkutan. Indikator kesehatan
masyarakat yang dikumpulkan dalam proses diagnosis komunitas akan
memberikan gambaran mengenai permasalahan kesehatan apa saja yang
sedang dihadapi oleh anggota komunitas. Mengingat cukup banyak masalah
kesehatan masyarakat yang dapat terjaring dalam tahap ini, maka perlu
ditetapkan permasalahan kesehatan yang bersifat prioritas serta memerlukan
penanganan segera.
2. Untuk mengetahui bagaimana kondisi kesehatan komunitas ini bisa
ditingkatkan
Pada tahap ini team penilai harus menetapkan harapan mengenai sejauh
mana upaya perbaikan kondisi kesehatan ini ingin diperbaiki. Memang sesuai
kesepakatan internasional tentunya kita ingin mencapai tingkat yang
ditetapkan oleh target (misalnya MDG). Namun harus diingat bahwa target
tersebut masih sangat jauh sehingga besar kemungkinan belum dapat dicapai
dalam waktu singkat. Penetapan ini harus disesuaikan dengan tingkat
kemampuan yang dimiliki oleh komunitas bersangkutan.
3. Untuk mengetahui bagaimana caranya untuk meningkatkan kondisi
kesehatan komunitas
Setelah team menetapkan tingkat kesehatan masyarakat yang ingin dicapai
dalam upaya peningkatan kondisi komunitas bersangkutan, maka perlu
dikembangkan beberapa pilihan cara untuk mencapai harapan tersebut.
Pilihan-pilihan ini sudah barang tentu mempunyai konsekuensi mengenai
sumber daya yang diperlukan, sehingga team harus memilih cara solusi yang
paling efektif dan paling efisien dalam pencapaian target yang telah
ditetapkan.
LANGKAH-LANGKAH PENERAPAN DIAGNOSIS KOMUNITAS
Langkah langkah untuk melakukan diagnosis komunitas tidaklah sesederhana
seperti melakukan diagnosis pada seorang pasien, karena yang akan menjadi
sasaran adalah suatu komunitas yang terdiri atas sekelompok penduduk yang
mempunyai karakteristik yang (kurang lebih) sama dan tinggal di area yang
tertentu. Selain itu, hasil dari diagnosis komunitas tidak selalu berbentuk
penyakit, tetapi bisa masalah-masalah non medis yang menyebabkan suatu
penyakit. Ini disebabkan karena masalah kesehatan dalam komunitas merupakan
akibat dari berbagai determinan sesuai dengan teori Blum yang menyatakan ada
Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | 6
4 determinan yaitu perilaku, lingkungan, pelayanan kesehatan dan genetik
(urutan sesuai dengan kontribusi terhadap masalah kesehatan).
Langkah-langkah penerapan diagnosis komunitas adalah secara bertahap yaitu:
1. Pertemuan awal untuk menentukan area permasalahan
2. Menentukan instrument pengumpulan data
3. Pengumpulan data dari masyarakat
4. Menganalisis dan menyimpulkan data
5. Membuat laporan hasil dan presentasi diseminasi.
Langkah 1. Pertemuan awal untuk menentukan area permasalahan
Pada fase awal pertemuan pendahuluan harus ditentukan tim pelaksana yang
berperan mengelola dan mengkoordinasikan diagnosis komunitas. Tim ini harus
mengidentifikasi dana dan sumber daya yang tersedia untuk menentukan batasan
dari diagnosis komunitas. Beberapa cakupan yang umum untuk dipelajari dalam
diagnosis komunitas adalah status kesehatan, gaya hidup, kondisi tempat tinggal,
kondisi sosial ekonomi, infrastruktur sosial dan fisik, tidak berimbangnya fasilitasi
dan akses kesehatan (inequality), termasuk mengenai pelayanan kesehatan
masyarakat dan kebijakan yang sudah ada.
Menurut epidemiologi, penentuan masalah (medis dan non medis) di komunitas
harus memakai indikator yang merepresentasikan permasalahan komunitas/
masyarakat. Berikut adalah indikator status kesehatan yang biasa dipakai untuk
menggambarkan masalah kesehatan di komunitas:
1. Angka Kematian (Mortality rate): AKK, AKI, AKB, Angka Kematian akibat
penyakit tertentu, dll
2. Angka Kesakitan (Morbidity rate): Insiden, prevalen (menyangkut berbagai
penyakit)
3. Angka Ke-cacatan (Disability rate): Angka absensi, dll
Selain indikator diatas terdapat indikator lain yang sering dipergunakan misalnya :
1. Indikator jangkauan pelayanan kesehatan, misalnya cakupan ibu hamil
yang mendapat pelayanan ANC.
2. Rasio petugas kesehatan-penduduk, misalnya rasio dokter : penduduk
3. Indikator kesehatan lingkungan, misalnya persentase penduduk yang
mendapat air bersih
4. Indikator sosio-demografi (komposisi/struktur/distribusi, income per
capita, angka buta huruf, dll)
Bila kita mau mengetahui masalah kesehatan suatu komunitas, maka jalan yang
paling baik adalah melakukan survey yang mengumpulkan data-data sesuai
indikator diatas. Kegiatan ini akan memakan waktu lama dan biaya yang banyak.
Oleh karena itu sebagai pendekatan awal ada cara lain yang dapat digunakan
Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | 7
yaitu dengan menganalisis laporan penyakit/kematian yang ada disuatu wilayah.
Data ini bisa diperoleh dari hasil penelitian kesehatan atau laporan tahunan
puskesmas (harap diingat bahwa tidak semua orang yang sakit datang ke
puskesmas). Pola penyakit di suatu area biasanya akan selalu sama dalam kurun
waktu tertentu, kecuali bila ada kejadian luar biasa. Dalam situasi ini maka
penyakit yang akan menjadi area diagnosis komunitas dalam pelatihan modul
komunitas, tidak selalu harus yang paling banyak ditemukan. Dalam keadaan
tertentu, masalah kesehatan dapat pula ditanyakan kepada orang orang yang
dianggap mempunyai pengetahuan dalam hal ini, misalnya pimpinan puskesmas,
kepala daerah (camat, lurah) atau orang orang yang bergerak dalam bidang
kesehatan (guru, kader). Untuk mendapatkan informasi dari orang orang ini,
maka dapat dipergunakan metoda NGT atau Delphi tehnik.
Bila sudah ditemukan area masalah, maka juga perlu mengetahui berbagai faktor
yang mempengaruhi terjadinya masalah tersebut. Konsep terjadinya penyakit
menurut Blum dapat dipakai untuk membuat kerangka konsep yang menjelaskan
mengapa penyakit tersebut terjadi. Ini akan membantu menentukan data apa
yang akan dikumpulkan dari masyarakat agar mendapatkan masalah yang utama
dan hal-hal lain yang diperlukan untuk mengatasi masalah tersebut.
Langkah 2. Menentukan instrument pengumpulan data
Tergantung data apa yang akan dikumpulkan, maka diperlukan metode
pengumpulan data (instrumen) yang sesuai. Data dapat dikumpulkan melalui
observasi (menggunakan cek lis), wawancara (dengan kuesioner), pemeriksaan
(TB, BB, pemeriksaan lab) atau menggunakan data sekunder dari rekam medis.
Bila menggunakan kuesioner, maka kuesioner tersebut haruslah diuji-coba untuk
mengetahui apakah kuesioner itu baik (valid dan reliabilitas) serta mengetahui
realitas pelaksanaan sebenarnya (lama wawancara, situasi lapangan, dll). Untuk
menguji kuesioner sebaiknya dicobakan pada 30 responden.
Langkah 3. Pengumpulan data dari masyarakat
Pada tahap ketiga yaitu pengumpulan data dan analisis, sebaiknya dilakukan
dengan kombinasi pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Oleh karena itu, latar
belakang wilayah yang dibahas harus dipelajari melalui data statistik dan hasil
sensus populasi, misalnya besarnya populasi, struktur jenis kelamin dan usia
masyarakat, pelayanan kesehatan perorangan dan masyakarat, pelayanan sosial,
pendidikan, perumahan, keamanan publik dan transportasi. Untuk
mengumpulkan data dari komunitas, hal yang dapat dilakukan adalah melakukan
survey, menggunakan kuisioner mandiri (self administered questionnaire),
kemudian wawancara atau fokus grup diskusi atau acara dengan telepon.
Untuk memastikan reliabilitas datanya, sebaiknya institusi yang sudah
berpengalaman seperti institusi pendidikan, dilibatkan dalam diagnosis komunitas.
Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | 8
Penentuan sampel harus direncanakan secara hati-hati, sehingga jumlah
sampelnya mampu mewakili kondisi lokal komunitas yang dikaji, sehingga dapat
menghasilkan suatu kesimpulan yang valid.
Agar data yang dikumpulkan merepresentasikan gambaran masyarakat, maka
perlu ditentukan sasaran penduduk yang akan menjadi responden, berapa
jumlahnya serta lokasinya tinggalnya. Sebaiknya penentuan sasaran berdasarkan
probability sampling, kecuali bila terpaksa dapat dilakukan non probability
sampling. Hal ini juga berlaku bila responden diambil dari rekam medis atau
pengunjung puskesmas.
Strategi menemui responden di lapangan memerlukan persiapan khusus, yaitu
mendapatkan ijin dari kepala daerah setempat. Dalam hal ini, sebaiknya
mahasiswa meminta kepala puskesmas membuat surat kepada kepala daerah
setempat menjelaskan bahwa Puskesmasnya akan melakukan pengumpulan
data. Ini dilakukan, agar masalah ijin pengumpulan data menjadi mudah dan
memang kegiatan ini merupakan kegiatan untuk menunjang puskesmas. Selain
itu, bila diperlukan, pimpinan puskesmas dapat dimintakan bantuannya untuk
memfasilitasi agar ada petugas/kader yang membantu mengantar mahasiswa
mengumpulkan data (misalnya kader atau pegawa puskesmas). Bila data berasal
dari rekam medik, maka mahasiswa dapat meminta bantuan pimpinan puskesmas
memfasilitasi agar petugas terkait memahami apa yang akan dilakukan
mahasiswa dalam rangka diagnosis komunitas, dan mahasiswa juga harus
menjaga agar rekam medik kembali tersusun seperti semula dan tidak ada yang
hilang, termasuk menjaga kerahasiaan data pasien. Semua kuesioner (data) yang
didapat haruslah diperiksa kelengkapan serta kebenarnya, sebelum dianalisis.
Rencana mendapatkan data harus dibuat seperti proposal penelitian sederhana
yang terdiri atas :
a. Latar belakang
b. Tujuan
c. Metoda
d. Sasaran dan sampel (besar dan cara pemilihan)
e. Instrumen yang dipakai (observasi, kuesioner atau pemeriksaan)
f. Batasan operasional data yang diambil
Langkah 4. Menganalisis dan menyimpulkan data
Tahap keempat adalah penentuan kesimpulan diagnosis komunitas yang
dihasilkan dari pengolahan dan interpretasi analisis data yang ada. Hasil diagnosis
sebaiknya terdiri atas tiga aspek yaitu :
- Status kesehatan di komunitas
- Determinan dari masalah kesehatan di komunitas
Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | 9
-
Potensi dari pengembangan kondisi kesehatan di komunitas dan area
yang lebih luas
Beberapa hal umum yang menjadi sifat hasil analisis data diagnosis komunitas
adalah:
- Informasi statistik lebih baik ditampilkan dalam bentuk rate atau rasio
untuk perbandingan
- Tren atau proyeksi sangat berguna untuk memonitor perubahan
sepanjang waktu yang diamati serta perencanaan ke depan
- Data wilayah atau distrik lokal dapat dibandingkan dengan distrik yang
lain atau ke seluruh populasi
- Tampilan hasil dalam bentuk skematis atau gambar dapat digunakan
untuk mendapatkan pemahaman yang lebih mudah dan cepat
Langkah 5. Membuat laporan hasil dan presentasi diseminasi
Tahap terakhir adalah presentasi atau diseminasi hasil diagnosis komunitas.
Tahap ini menunjukkan bahwa diagnosis komunitas tidak pernah menjadi akhir
dari program kerja. Diagnosis komunitas harus dilanjutkan dengan usaha untuk
mengkomunikasikannya sehingga memastikan prioritas tindak lanjut yang harus
segera diambil. Target pihak-pihak yang harus dilibatkan dalam mengetahui hasil
diagnosis komunitas adalah para perumus kebijakan, profesional kesehatan serta
tokoh tokoh masyarakat di dalam komunitas. Umumnya hasil dari diagnosis
komunitas dapat di diseminasi melalui berbagai forum yaitu misalnya presentasi
pada pertemuan dewan kesehatan masyarakat atau tokoh masyarakat dan forum
khusus organisasi swadaya masyarakat, dalam rilis media massa atau satu
seminar khusus mengenai promosi kesehatan.
Penerapan langkah diagnosis komunitas dapat dijabarkan secara skematis seperti
gambar berikut, yang menekankan perlunya kombinasi dari penggunaan data
sekunder serta pendekatan kuantitatif dan kualitatif dalam memetakan
permasalahan kesehatan di komunitas.
Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | 10
Gambar 1. Langkah penerapan diagnosis komunitas
TAHAPAN KERJA DIAGNOSIS KOMUNITAS
Tahapan kerjanya adalah:
1. Menentukan area masalah yang dihadapi puskesmas. Area masalah yang
dimaksud bisa diambil dari program program yang dilaksanakan di
puskesmas. Untuk itu ada beberapa sumber untuk menentukan area yaitu
melihat data jangkauan pelayanan atau pencapaian program serta
menanyakan kepada pimpinan puskesmas yang dianggap sebagai informan
kunci
2. Menentukan masalah yang spesifik yang ada di area tersebut. Cara
menentukannya adalah dengan menanyakan kepada dokter puskesmas
atau penanggung jawab program yang bersangkutan
3. Membuat proposal sederhana untuk merumuskan langkah langkah
metode diagnosis komunitas mencakup sasaran, sampel, instrumen yang
dipakai dan batasan operasional data yang akan diambil
Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | 11
4. Persiapan pengumpulan data di lapangan atau dari pengunjung puskesmas
5. Menganalisis data secara deskriptif dengan menggunakan program analisis.
Dalam diagnosis komunitas ini uji statistik inferens tidak penting untuk
dilakukan
6. Membuat laporan untuk diseminasi ke pimpinan dan pengelola program
terkait di puskesmas
Contoh kerangka isi laporan diagnosis komunitas (profil komunitas) di
pendidikan
Bentuk laporan profil komunitas direkomendasikan mencakup beberapa aspek
dibawah ini:
 Nama wilayah tempat komunitas bersangkutan (kota, kecamatan,
kelurahan)
 Nama lokasi keberadaan komunitas sasaran
 Gambaran singkat wilayah (topografi dan vegetasi)
 Adat istiadat dan kepercayaan masyarakat
 Kelompok agama yang utama
 Kegiatan ekonomi (sumber pendapatan)
 Sarana ekonomi (pasar, toko)
 Sarana transportasi
 Sarana komunikasi
 Sarana penyediaan air
 Sarana sanitasi
 Perumahan (kondisi dan pola bangunan)
 Sekolah dan sarana pendidikan lain
 Sarana kesehatan (RS, klinik, puskesmas, toko obat, dukun)
 Pola penyakit:
o Penyebab utama dari gangguan kesehatan
o Jenis penyakit yang paling banyak
o Masalah kesehatan khusus
 Perilaku sehat dan sakit
o Kemana mencari pertolongan ketika sakit
o Apa yang dilakukan untuk mencegah penyakit
o Apa peranan pengobatan tradisional dalam pelayanan
kesehatan
Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | 12
DAFTAR PUSTAKA
1. Suryakantha AH. Community medicine with recent advances. Jaypee
Brothers, Medical Publishers; 2010. 904 p.
2. Indonesia KK. Standar Kompetensi Dokter Indonesia. Jakarta: Konsil
Kedokteran Indonesia [online]. 2012 [disitasi 5 Mei 2014]; Diunduh dari:
http://www.pkfi.net/file/download/Perkonsil%20No%2011%
20Th%202012%20Ttg%20Standar%20Kompetensi%20Dokter%20Indone
sia%20%202012.pdf
3. World Health Organization. City health profiles: how to report on health
in your city. ICP/HSIT/94/01 PB 02. Available at: www.euro.who.int/
document/wa38094ci.pdf
4. Garcia P, McCarthy M. Measuring health: a step in the development of
city health profiles. EUR/ICP/HCIT 94 01/PB03. Available at:
www.euro.who.int/document/WA95096GA.pdf
5. Matsuda Y, Okada N. Community diagnosis for sustainable disaster
preparedness. Journal of Natural Disaster Science. 2006;28(1):25–33.
6. Bennett FJ, Health U of ND of C. Community diagnosis and health action:
a manual for tropical and rural areas. Macmillan; 1979. 208 p.
7. Budiningsih S. Panduan pelaksanaan keterampilan kedokteran
komunitas di FKUI: modul ilmu kedokteran komunitas. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, 2013.
Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | 13
PROGRAM JAMINAN MUTU
Herqutanto, Judilherry Justam
Divisi Manajemen Kedokteran, Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
PENDAHULUAN
Pelayanan kesehatan yang bermutu bisa dilihat dari dua sisi yaitu dari sisi pasien
dan sisi pemberi pelayanan. Yang dimaksud dengan pelayanan kesehatan
bermutu dari sisi pasien adalah pelayanan kesehatan yang mudah ditemui,
mudah didapat, memberikan tingkat kesembuhan tinggi, dengan pelayanan yang
ramah dan sopan. Yang dimaksud dengan pelayanan kesehatan bermutu dari sisi
pelayanan kesehatan adalah pelayanan kesehatan yang efektif, memberikan
tingkat kesembuhan tinggi, dan dilaksanakan sesuai dengan prosedur terstandar.
Artinya sebuah pelayanan kesehatan yang bermutu harus memenuhi kriteriakriteria dari dua sisi tersebut.
Agar dapat menghasilkan layanan yang bermutu tersebut dan secara konsisten
menghasilkan dibutuhkan sebuah program yang disebut program jaminan mutu.
PENGERTIAN PROGRAM JAMINAN MUTU
Banyak definisi tentang program jaminan mutu.
Levits dan Hilts menyatakan bahwa program jaminan mutu adalah proses
pengumpulan data dari sebuah pelayanan kesehatan untuk membandingkan
kinerja dengan indicator-indikator yang mempengaruhi hasil pelayanan serta
mengidentifikasi masalah dalam proses pelayanan dan manajemen pelayanan.
Sedangkan Azrul Azwar mendefinisikan program jaminan mutu sebagai……
Lebih dari 40 tahun yang lalu Donabedian mengajukan pengukuran kualitas
pelayanan kesehatan dengan cara mengobservasi struktur, proses, dan keluaran.
Observasi struktur meliputi aksesibilitas, ketersediaan, dan mutu sumber daya.
Observasi proses meliputi pemberian pelayanan oleh dokter dan tenaga
kesehatan lainnya. Observasi keluaran mengacu pada hasil akhir dari pelayanan
kesehatan yang dapat dipengaruhi oleh factor lingkungan dan factor perilaku.
Di tahun 1990an Deming yang selanjutnya disebut sebagai Bapak Total Quality
Management (TQM), mengajukan sebuah model analisis sistematik dan
pengukuran proses dalam hubungannya dengan kapasitas atau keluaran. Model
TQM tersebut mencakup pendekatan organisasi yaitu manajemen organisasi,
kerjasama tim, proses yang didefinisikan, berpikir secara system, dan perubahan
untuk menghasilkan perbaikan. Pendekatan ini berpegang pada pandangan
bahwa seluruh organisasi harus memiliki komitmen terhadap mutu dan
peningkatan mutu untuk mencapai hasil terbaik.
Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | 14
TUJUAN PROGRAM JAMINAN MUTU
1. Memprioritaskan bagian dari pelayanan kesehatan yang perlu
ditingkatkan mutunya
2. Menghasilkan solusi terhadap masalah yang membutuhkan penanganan
secara fundamental
3. Membangun kesuksesan organisasi melalui peningkatan mutu
pelayanan
ALAT DAN BAHAN
Untuk tersebut diperlukan data sekunder berupa:
1. Laporan hasil pelayanan
2. Hasil survey terkait hasil pelayanan dan kepuasan pasien
3. Standar prosedur operasional (SPO) atau protap
4. Standar pelayanan medic (SPM) dan panduan praktik klinik (PPK)
LANGKAH-LANGKAH
1. Mempelajari struktur fasilitas pelayanan kesehatan
- Mempelajari visi dan misi klinik. Melihat apakah misi yang dituliskan
sesuai dengan visinya? Apakah misi yang dilaksanakan sesuai dengan visi
yang dituliskan?
- Mempelajari SOP, SPM, PPK. Jika fasilitas kesehatan belum mempunyai
SOP, perlu dicari SOP dari sumber bacaan yang sesuai dan terkini.
- Mempelajari data-data hasil pelayanan dan survey terkait kepuasan
pasien
- Mempelajari perencanaan jangka pendek, jangka menengah, jangka
panjang
- Mempelajari sumber daya klinik, baik sumber daya manusia atau sumber
daya lainnya dikaitkan dengan target klinik, termasuk di dalamnya
kuantitas dan kualitas pegawai, reward and punishment system
- Mempelajari fungsi manajemen lainnya misalnya pengarahan, koordinasi,
monitoring serta supervise yang dilakukan setiap manajer dalam klinik.
- Mempelajari/mengevaluasi pembiayaan klinik.
- Mempelajari perencanaan dan pengadaan obat.
- Mempelajari rekam medic serta pemanfaatannya bagi kemajuan klinik.
- Mempelajari alur pasien untuk efisiensi waktu.
- Mempelajari fungsi dari masing-masing divisi dalam klinik, misalnya
laboratorium, radiologi, klinik gigi. Aoakah masing-masing telah berfungsi
secara efektif dan efisien?
- Mempelajari sistem pencatatan dan pelaporan. Apakah pelaporan sudah
dipakai untuk menuju kemajuan klinik? Misalnya membuat tampilan data
yang dapat diketahui oleh semua eleme di klinik, dan lain sebagainya.
- Mempelajari kepuasan pasien.
Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | 15
2.
-
Mempelajari pendidikan kesehatan di klinik.
Mempelajari penatalaksanaan dalam menangani satu jenis penyakit.
Mempelajari tatacara komunikasi petugas di klinik.
Dan lain sebagainya.
Melakukan observasi di lapangan
Membuat daftar tilik pengamatan
Membandingkan struktur yang telah direncanakan dengan kenyataan
dilapangan sesuai dengan area pelayanan yang dipilih.
3. Menentukan masalah dan prioritas masalah
- Melihat apakah ada kesenjangan (gap) antara kenyataan dan apa yang
seharusnya terjadi, antara lain dengan melihat SOP klinik atau fasilitas
kesehatan yang bersangkutan.
- Masalah timbul bila terdapat selisih atau kesenjangan antara harapan
dan kenyataan.
- Cara menentukan prioritas masalah bisa dengan cara teknik skoring
maupun teknik non-skoring.
4. Penetapan masalah dengan teknik criteria matriks
a. Pentingnya masalah (I = importancy)
b. Kelayakan teknis (T = technical feasibility)
c. Sumber daya yang tersedia (R = resources availability)
Masalah yang dipilih sebagai prioritas adalah yang memiliki nilai I x T x R yang
tertinggi.
Ad. a. Pentingnya masalah (I = importancy) diukur berdasarkan:
- Besarnya masalah (P = prevalence)
- Akibat yang ditimbulkan masalah (S = severity)
- Kenaikan besarnya masalah (RI = rate of increase)
- Derajat keinginan masyarakat yang tidak terpenuhi (DU = degree of
unmet need)
- Keuntungan social karena selesainya masalah (SB = social benefit)
- Kepedulian masyarakat (PB = public concern)
- Suasana atau iklim politik (PC = political climate)
- Dengan demikian I = P + S + RI + DU + SB + PB + PC
Ad. b. Kelayakan teknis (T = technical feasibility)
Makin layak teknologi yang tersedia dan yang dapat dipakai untuk
mengatasi masalah, maka makin diprioritaskan masalah tersebut.
Ad. c. Sumber daya yang tersedia (R = resources availability)
Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | 16
Makin tersedia sumber daya yang dapat dipakai untuk mengatasi
masalah, maka makin diprioritaskan masalah tersebut.
Untuk semua variabel (unsur-unsur I, T dan R) diberikan nilai antara 1 (tidak
penting) sampai dengan 5 (sangat penting), misalkan untuk variabel P (prevalensi),
prevalensi yang paling tinggi diberikan nilai yang tertinggi (5), sedangkan
prevalensi terendah diberi nilai 1.
5. Mencari penyebab masalah
- Buatlah daftar semua penyebab masalah yang mungkin berpengaruh
terhadap timbulnya masalah.
- Pergunakanlah bagan tulang ikan (fish bone diagram) dan pendekatan
system, temukan berbagai penyebab masalah tersebut.
- Kalau penyebab masalah lebih dari satu, pilih prioritas masalah, misalnya
dengan menggunakan diagram Pareto atau menggunakan teknik matriks
/ skoring.
o Diagram Pareto diperkenalkan oleh Vilfredo Pareto (1848 – 1923)
seorang ahli ekonomi berkebangsaan Italia.
o Pareto yang melakukan penelitian mengenai perekonomian Italia
menemukan fakta bahwa 80% kekayaan bangsa Italia dikuasai
oleh 20% dari jumlah penduduknya, yang kemudian dikenal
dengan istilah “80 – 20 rule.”
o Penemuan Pareto dikembangkan oleh Dr. Joseph M. Duran,
seorang ahli manajemen, yang menerapkannya dalam bidang
manajemen mutu, mengemukakan bahwa 80% dari uang yang
hilang (loss) sebagai akibat masalah mutu terdapat dalam 20%
item permasalahan mutu.
o Analogi dalam manajemen pelayanan kesehatan adalah bahwa
80% kerugian akibat masalah kesehatan terdapat dalam 20%
item permasalahan mutu.
6. Merancang alternatif pemecahan masalah dan menemukan pemecahan
masalah terbaik.
- Merancang berbagai alternatif penyelesaian berdasarkan pada penyebab
masalah terbesar.
- Alternatif penyelesaian masalah dibuat sebanyak mungkin sesuai dengan
penyebab masalah yang ditemukan.
- Pilihlah alternatif penyelesaian masalah yang paling mungkin sesuai
dengan penyebab masalah yang ditemukan.
- Pilihlah alternatif penyelesaian masalah yang paling mungkin
dilaksanakan dengan menggunakan teknik skoring prioritas penyelesaian
masalah:
P = (M x I x V) / C
Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | 17
Keterangan:
- M = Magnitude
Besarnya masalah yang dapat diselesaikan. Makin besar masalah yang
dapat diatasi makin tinggi prioritas jalan keluar tersebut.
- I = Importancy
Pentingnya jalan keluar dikaitkan dengan kelanggengan penyelesaian
masalah. Makin lama bebas masalah, makin penting jalan keluar
tersebut.
- V = Vulnerability
Sensitivitas jalan keluar, dikaitkan dengan kecepatan jalan keluar untuk
mengatasi masalah. Makin cepat teratasi, makin sensitive jalan keluar
tersebut.
- C = Cost
Adalah ukuran efisiensi alternatif jalan keluar. Nilai efisiensi ini biasanya
dikaitkan dengan biaya (cost) yang diperlukan untuk melaksanakan jalan
keluar. Makin besar biaya yang diperlukan, makin tidak efisien jalan
keluar tersebut. Berikan angka 1 (biaya paling sedikit) sampai dengan
angka 5 (biaya paling besar).
Nilai prioritas (P) untuk setiap alternatif jalan keluar dihitung dengan
membagi hasil perkalian nilai M x I x V dengan C. Jalan keluar dengan nilai P
tertinggi adalah prioritas jalan keluar terpilih.
7. Menyusun rencana intervensi
- Dari pemecahan masalah terbaik, dibuat rencana lengkap untuk
intervensi, yang terdiri atas:
a. Latar belakang
b. Tujuan
c. Metoda
d. Sasaran dan sampel (besar dan cara pemilihan)
e. Instrumen yang dipakai (observasi, kuesioner atau pemeriksaan)
f. Batasan operasionil data yang diambil
- Tentukan cara membuat pengukuran pra intervensi
- Harus diingat bahwa dalam membuat proposal intervensi harus selalu
menerapkan metoda 5W dan 1H:
 Why  Mengapa perbaikan harus dilakukan?
 What  Apa rencana perbaikannya?
 Where  Dimana lokasi perbaikan akan dilakukan?
 When  Kapan (rentang waktu) dilakukannya perbaikan?
 Who  Siapa yang bertanggung jawab?
 How  Bagaimana pelaksanaannya
Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | 18
Ada beberapa jenis penerapan dalam mengajukan pertanyaan h
(How) yang pada dasarnya semua benar dan bisa digunakan.
a. Menggunakan satu H  Bagaimana cara melaksanakan
perbaikan?
b. Menggunakan dua H
o How  Bagaimana cara melaksanakan perbaikan?
o How much  Berapa besar hasil yang akan dicapai setelah
perbaikan?
c. Menggunakan tiga H
o How  Bagaimana cara melaksanakan perbaikan?
o How much effort  Berapa besar daya upaya atau usaha
yang telah dilakukan dalam perbaikan ini?
o How much benefit  Berapa nilai hasil yang akan dicapai
setelah perbaikan ini?
8. Melaksanakan intervensi sesuai dengan rencana
Hal yang perlu diperhatikan adalah:
1. Penjelasan tentang intervensi secara rinci
2. Tujuan intervensi
3. Target dan sasaran intervensi
4. Langkah-langkah pelaksanaan intervensi
5. Sumber daya yang dibutuhkan meliputi sumber daya manusia, dana,
materi, dan waktu.
6. Jadwal pelaksanaan intervensi
9. Monitoring dan Evaluasi
- Menentukan cara pengukuran pasca intervensi
- Monitoring dilaksanakan sepanjang proses intervensi
- Evaluasi dilaksanakan paling sedikit 2 kali dalam proses intervensi
tersebut yaitu di tengah dan di akhir
- Buatlah analisis perbanding pra dan pasca intervensi
10. Menuliskan laporan
Laporan lengkap terdiri dari:
- Bab I: Pendahuluan, berisi latar belakang permasalahan, tujuan penulisan
dan manfaat penulisan.
- Bab II: Tinjauan pustaka tentang topik yang dipilih, mis. QA di lab farmasi,
rekam medis, dll.
- Bab III: Langkah-langkah pelaksanaan
- Bab IV: Hasil (terutama) intervensi dan indikator keberhasilan.
- Bab V: Diskusi dan Pembahasan
- Bab VI: Kesimpulan dan Saran
Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | 19
DAFTAR PUSTAKA
 Azrul Azwar. Program Jaminan Mutu. Dian Pustaka.
 Hughes RG. Tools and Strategies for Quality Improvement and
Keselamatan pasien: An Evidence-Based Handbook for Nurses.
Rockville;US, 2008
 Levitt C, Hilts L. Quality in Family Practice Books of Tools, 1st ed.
McMaster Innovation Press;Toronto, 2010
 Franco LM, Newman J, Murphy G, Mariani E. Achieving Quality Through
Problem Solving and Process Improvement, 2nd Ed. USAID;Wisconsin,
1997
Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | 20
Siklus Pemecahan Masalah
(Problem-Solving Cycle)
Herqutanto, Judilherry Justam, Endang Basuki
Divisi Manajemen Kedokteran, Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Pendahulan:
Masalah timbul jika ada kesenjangan antara kenyataan dan harapan. Masalah
adalah suatu situasi dimana ada sesuatu yang diinginkan tetapi belum diketahui
bagaimana mendapatkannya. Masalah kesehatan adalah kesenjangan antara
standar yang diharapkan ada di masyarakat dengan kondisi kesehatan masyarakat
yang sesungguhnya ditemui.
Berbagai metode telah banyak digunakan untuk memecahkan sebuah masalah
kesehatan,. Salah satu metode tersebut adalah siklus pemecahan masalah.
Metode tersebut merujuk pada kontinuitas langkah-langkah yang dilaksanakan
secara sistematis meliputi identifikasi dan analisis masalah, menyusun dan
merencanakan pemecahan masalah, melaksanakan serta memonitor dan
mengevaluasinya. Melalui serangkaian langkah-langkah tersebut, diharapkan
pemecahan masalah memiliki daya ungkit yang besar dan benar-benar menjawab
permasalahan kesehatan yang dihadapi masyarakat.
Pengertian
Siklus pemecahan masalah adalah satu proses perencanaan yang berpedoman
pada dimunculkannya masalah, berlangsungnya kegiatan penyelesaian masalah
serta dinilainya hasil penyelesaian yang dicapai. Setiap siklus dapat berakhir
dengan selesainya masalah secara tuntas atau haya sebagian saja. Dengan
demikian, siklus tersebut dapat selalu berulang dan merupakan lingkaran yang
kontinu.
Tujuan:
1. Mengidentifikasi masalah dan penyebab masalah
2. Menyusun alternatif pemecahan masalah
3. Melaksanakan intervensi untuk memecahkan masalah
4. Mengevaluasi keberhasilan intervensi
Langkah-langkah Siklus Pemecahan Masalah
Ada beberapa versi langkah-langkah Siklus Pemecahan Masalah, ada yang terdiri
atas 7 maupun 9 langkah. Namun yang menjadi prinsip dasar adalah siklus
tersebut terdiri atas beberapa langkah, mencakup identifikasi masalah, mencari
alternatif pemecahan masalah dan melaksanakan pemecahan masalah, serta
monitoring dan evaluasi. Yang penting adalah memandang pemecahan masalah
Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | 21
sebagai sebuah siklus, karena kadang-kadang sebuah masalah memerlukan
berbagai upaya (lebih dari satu upaya) untuk menyelesaikannya, atau masalah
yang sudah diselesaikan tersebut berubah menjadi masalah lain yang harus
dipecahkan juga.
Bagan berikut dapat digunakan sebagai panduan langkah-langkah siklus
pemecahan masalah. Lakukan setiap langkah pada satu waktu secara bertahap.
Langkah 1. Identifikasi masalah (Identify the problem)
Langkah pertama yang harus dilakukan adalah mengidentifikasi dan klarifikasi
masalah. Harus dibedakan antara masalah yang sebenarnya dengan gejala atau
simptom yang terlihat. Karena itu selalu gunakan data yang valid untuk
mendukung pernyataan masalah. Sebisa mungkin hindari pernyataan tentang
masalah secara subyektif.
Jenis data yang dikumpulkan tergantung dari masalah apa yang dihadapi. Perlu
dipertimbangkan jenis data serta sumber dan cara mengumpulkannya. Apabila
data yang valid tidak tersedia, dapat ditempuh cara curah pendapat
(brainstorming) untuk menentukan permasalahannya.
Langkah 2. Analisis masalah (Explore the problem)
Bila masalah telah terdefinisi dengan jelas, maka masalah harus digali lebih jauh
lagi. Beberapa kriteria yang dapat digunaan untuk menentukan besarnya masalah
misalnya:
 ‘Seberapa besar dampak masalah?’
Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | 22
 ‘Apakah masalah juga berdampak pada orang lain?’
 ‘Siapa saja yang mengalami masalah?’
 ‘Apa yang mereka lakukan?’
Pada akhir langkah ini kita sudah harus dapat menentukan prioritas masalah yang
akan diselesaikan. Metode yang dapat digunakan adalah dengan cara skoring
apabila data lengkap atau dengan cara grup nominal apabila data yang digunakan
diperoleh dari curah pendapat.
Langkah 3. Menetapkan tujuan (Set goals)
Setelah dipilih masalah yang menjadi prioritas perlu ditentukan tujuan yang ingin
dicapai. Pada saat ini penting untuk mempertimbangkan apakah tujuan tersebut
bersifat jangka pendek atau jangka panjang. Kadangkala, karena masalah yang
timbul sedemikian besar, kita jadi lupa memikirkan apa tujuan kita selanjutnya.
Dengan menentukan tujuan, bisa jadi muncul beberapa pemecahan masalah yang
saling terkait. Dengan demikian menentukan tujuan adalah bagian yang sangat
penting dari proses pemecahan masalah.
Langkah 4. Menyusun Rencana Pemecahan Masalah (Look at Alternatives)
Saat tujuan telah didefinisikan dan ditentukan dengan jelas, langkah selanjutnya
adalah mencari alternatif pemecahan masalah. Semakin banyak solusi yang
diajukan semakin besar kemungkinan menemukan pemecahan masalah yang
efektif. Salah satu metode adalah brain-storm, yang bertujuan mengumpulkan ide
dan alternatif pemecahan masalah bersama-sama. Pada saat ini tidak perlu
menilai apakah ide pemecahan masalah yang diusulkan tersebut bermanfaat,
atau praktis, atau dapat dilaksanakan. Tuliskan semua ide yang muncul selama
proses brainstorm.
Langkah 5. Memilih Pemecahan Masalah (Select a possible solution)
Dari sejumlah alternatif pemecahan masalah kita dapat memilih alternatifalternatif mana yang relevan dengan permasalahan yang dihadapi, alternatif
mana yang realistis, dan yang mana dapat dilaksanakan. Cara yang dapat
dilaksanakan adalah memprediksi hasil/akibat dari masing-masing pemecahan
masalah, serta membandingkannya dengan pendapat orang lain. Bila semua
konsekuensi telah dibicarakan, kita dapat menggunakannya untuk menentukan
solusi mana yang paling relevan dan menghasilkan keluaran terbaik.
Langkah 6. Melaksanakan Pemecahan Masalah (Implement a possible solution)
Setelah solusi yang terbaik telah terpilih, rencana solusi tersebut siap
dilaksanakan. Pelaksanaan solusi tersebut perlu memperhatikan prinsip-prinsip
manajemen sebuah program. Aspek kepemimpinan serta kegiatan pengawasan,
pengarahan, motivasi dan komunikasi perlu dijalankan dengan baik demi
keberhasilan pelaksanaan rencana tersebut.
Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | 23
Langkah 7. Evaluasi (Evaluate)
Evaluasi untuk menilai keberhasilan pemecahan masalah amat penting. Bila solusi
tersebut, secara logika masalah dapat diatasi dan tujuan tercapai. Bila kita tidak
puas dengan hasilnya, maka langkah-langkah siklus pemecahan masalah perlu
diulangi kembali.
Kapan menggunakan Siklus Pemecahan Masalah
Memandang pemecahan masalah sebagai sebuah siklus dapat membantu kita
memahami bahwa pemecahan masalah bisa lebih dari satu, dan perlu dievaluasi.
Karena itu siklus pemecahan masalah dapat digunakan pada saat kita
menghadapi sebuah masalah atau merencanakan sebuah program untuk
memecahkan masalah kesehatan, baik berupa program kesehatan atau sebuah
proses di pelayanan.
Beberapa keterampilan lain yang terkait dengan siklus pemecahan masalah di
antaranya adalah evaluasi program kesehatan, program jaminan mutu pelayanan,
serta mendiagnosis masalah kesehatan di dalam komunitas. Keterampilanketerampilan tersebut akan dibahas pada bagian tersendiri.
Referensi:
1. Sihombing G. Ilmu Administrasi dan manajemen program kesehatan
untuk mahasiswa kedokteran. Bagian Ilmu Kedokteran Komunitas
FKUI;Jakarta:2000.
2. Department of Obstetrics and Gynecology, University of Alabama at
Birmingham. Problem solving project, program handbook. 2000.
3. The National Public Health Partnership. A planning framework for publi
health practice. 2000.
Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | 24
EVALUASI PROGRAM KEDOKTERAN/ KESEHATAN
BERDASARKAN PENDEKATAN SISTEM
Azrul Azwar, Endang Basuki, Resna A. Soerawidjaja
Divisi Manajemen Kedokteran, Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
DEFINISI, TUJUAN DAN MANFAAT
Evaluasi
Evaluasi menurut The American Public Association adalah suatu proses untuk
menentukan nilai atau jumlah keberhasilan dari pelaksanaan suatu program
dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Sedangkan menurut The
International Clearing House on Adolescent Fertility Control for Population
Options1, evaluasi adalah suatu proses yang teratur dan sistematis dalam
membandingkan hasil yang dicapai dengan tolok ukur atau standar yang telah
ditetapkan, dilanjutkan dengan pengambilan kesimpulan serta penyusunan saransaran, yang dapat dilakukan pada setiap tahap dari pelaksanaan program.
Pendekatan sistem
Terdapat beberapa macam pengertian dari sistem yang dikemukakan oleh
berbagai ahli, antara lain sebagai berikut:
1. Sistem adalah gabungan dari elemen-elemen yang saling dihubungkan oleh
suatu proses atau struktur dan berfungsi sebagai satu kesatuan organisasi
dalam upaya menghasilkan sesuatu yang telah ditetapkan
2. Sistem adalah suatu struktur konseptual yang terdiri dari fungsi-fungsi yang
saling berhubungan yang bekerja sebagai satu unit organik untuk mencapai
keluaran yang diinginkan secara efektif dan efisien
3. Sistem adalah kumpulan dari bagian-bagian yang berhubungan dan
membentuk satu kesatuan yang majemuk, dimana masing-masing bagian
bekerja sama secara bebas dan terkait untuk mencapai sasaran kesatuan
dalam suatu situasi yang majemuk pula
4. Sistem adalah suatu kesatuan yang utuh dan terpadu dari berbagai elemen
yang berhubungan serta saling mempengaruhi yang dengan sadar
dipersiapkan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan
Unsur sistem
1. Masukan
Yang dimaksud dengan masukan (input) adalah kumpulan bagian atau elemen
yang terdapat dalam sistem dan yang diperlukan untuk dapat berfungsinya
sistem tersebut. Dalam sistem pelayanan kesehatan, masukan terdiri dari
tenaga, dana, metode, sarana/material.
Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | 25
2. Proses
Yang dimaksud dengan proses adalah kumpulan bagian atau elemen yang
terdapat dalam sistem dan yang berfungsi untuk mengubah masukan menjadi
keluaran yang direncanakan. Dalam sistem pelayanan kesehatan terdiri dari
perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan penilaian.
3. Keluaran
Yang dimaksud dengan keluaran (output) adalah kumpulan bagian atau
elemen yang dihasilkan dari berlangsungnya proses dalam sistem. Contohnya
dalam program BIAS Campak adalah berupa cakupan program di suatu
wilayah.
4. Umpan Balik
Yang dimaksud dengan umpan balik (feed back) adalah kumpulan dari bagian
atau elemen yang merupakan keluaran dari sistem dan sekaligus sebagai
masukan bagi sistem tersebut.
5. Dampak
Yang dimaksud dengan dampak (impact) adalah akibat yang dihasilkan oleh
keluaran suatu sistem.
6. Lingkungan
Yang dimaksud dengan lingkungan (environment) adalah dunia di luar sistem
yang tidak dikelola oleh sistem tetapi mempunyai pengaruh besar terhadap
sistem.
Keenam unsur sistem ini saling berhubungan dan mempengaruhi yang secara
sederhana dapat digambarkan seperti berikut :
Lingkungan
Input
Proses
Output
Dampak
Umpan Balik
Gambar 2. Unsur sistem suatu program
Suatu sistem pada dasarnya dibentuk untuk mencapai suatu tujuan tertentu yang
telah ditetapkan/disepakati bersama. Dan untuk terbentuknya sistem tersebut,
perlu dirangkai berbagai unsur atau elemen sedemikian rupa sehingga secara
keseluruhan membentuk suatu kesatuan dan secara bersama-sama berfungsi
untuk mencapai tujuan. Apabila prinsip pokok atau cara kerja sistem ini
Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | 26
diterapkan ketika menyelenggarakan pekerjaan administrasi, maka prinsip pokok
atau cara kerja ini dikenal dengan nama pendekatan sistem (system approach).
Evaluasi berdasarkan pendekatan sistem
Evaluasi Program berdasarkan pendekatan sistem adalah suatu proses yang
teratur dan sistematis dalam membandingkan hasil yang dicapai dengan tolok
ukur atau standar dari masing-masing indikator yang telah ditetapkan dari unsur
keluaran (output), dilanjutkan dengan menemukan kausa (penyebab), pada unsur
lain dari sistem tersebut, kemudian dilakukan pengambilan kesimpulan serta
penyusunan saran-saran yang akan memperbaiki pencapaian sistem itu.
Tujuan melakukan evaluasi berdasarkan pendekatan sistem
Tujuan Umum
Mengetahui pelaksanaan dan tingkat keberhasilan pengelolaan suatu program
kesehatan, di suatu tempat tertentu, pada waktu tertentu.
Tujuan Khusus
1. Diketahuinya pelaksanaan pengelolaan suatu program kesehatan
2. Diketahuinya berbagai masalah pelaksanaan pengelolaan program kesehatan
tersebut
3. Diketahuinya prioritas masalah
4. Diketahuinya berbagai penyebab dari masalah yang diprioritaskan tersebut
5. Diketahuinya prioritas penyebab masalah
6. Dirumuskannya pemecahan masalah bagi pelaksanaan pengelolaan
EVALUASI PROGRAM FASILITAS KESEHATAN
Evaluasi program dilakukan dengan menggunakan pendekatan sistem (system
approach). Prinsip pokok pendekatan sistem dalam pekerjaan administrasi dapat
dimanfaatkan untuk 2 tujuan. Pertama untuk membentuk sesuatu sebagai hasil
dari pekerjaan administrasi. Kedua, untuk menguraikan sesuatu yang telah ada
dalam administrasi. Tujuan kedua ini yang akan dipakai dalam mengevaluasi
program di suatu fasilitas kesehatan. Contoh program yang akan dievaluasi
adalah program di puskesmas.1
LANGKAH-LANGKAH MEMBUAT EVALUASI PROGRAM
1. Menetapkan indikator dari unsur keluaran
Langkah awal untuk dapat menentukan adanya masalah dari pencapaian hasil
keluaran (output) atau dampak (impact) adalah dengan menetapkan indikator
yang akan dipakai untuk mengukur keluaran atau dampak sebagai
keberhasilan dari suatu program kesehatan. Sebenarnya dampak merupakan
hasil akhir dari suatu program kesehatan, tetapi sering sekali hasilnya belum
dapat diukur bila program baru berjalan beberapa bulan atau satu tahun.
Misalnya keberhasilan program pemberantasan diare atau program KB, baru
Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | 27
akan menunjukkan dampak yang signifikan setelah program berjalan
beberapa tahun. Karena itu biasanya yang dipakai sebagai ukuran
keberhasilan suatu program kesehatan adalah keluaran. Menetapkan
indikator dari keluaran dapat dilakukan dengan mempelajari berbagai sumber
rujukan. Bila dari satu sumber ditemukan beberapa indikator dan menurut
pandangan kita salah satu atau beberapa indikator tersebut tidak realistis, kita
dapat menghilangkannya kemudian menambahkan atau menggunakan
indikator keluaran dari sumber yang lain yang dirasakan lebih sesuai. Kita juga
boleh memodifikasi indikator tersebut sesuai dengan logika serta referensi
yang lebih masuk akal.
2. Menentukan tolok ukur tiap-tiap indikator keluaran yang telah ditetapkan
Biasanya di dalam sumber rujukan tersebut selain ada indikator keluaran yang
akan dinilai juga ada tolok ukur keberhasilan dari masing-masing indikator
tersebut. Bila tolok ukur tersebut dinilai kurang sesuai atau tidak realistis,
misalnya karena sudah kadaluwarsa atau tidak cocok dengan kondisi lapangan
yang kita nilai, maka bisa saja penilai menggunakan tolok ukur lainnya yang
diyakini lebih masuk akal. Tidak tertutup kemungkinan tolok ukur yang ingin
dicapai ditetapkan sendiri oleh penilai beserta timnya, dengan pembenaran
yang dapat diterima atau berdasarkan pengalaman orang lain yang diunduh
dari referensi yang ada. Sebagai contoh untuk penilaian terhadap Program
Kesehatan Jiwa, nilai tolok ukur antara lain dapat diperoleh dari berbagai
sumber seperti misalnya Buku Standar Manajemen Mutu Pelayanan
Kesehatan Jiwa dari Dinas Kesehatan, Stratifikasi Puskesmas tahun 2000, Buku
Pedoman Kerja Puskesmas dan sebagainya.2 Internet merupakan salah satu
sumber untuk memperoleh indikator dan tolok ukurnya masing-masing.
3. Membandingkan pencapaian masing-masing indikator keluaran program
dengan tolok ukurnya
Langkah selanjutnya adalah membandingkan hasil pencapaian tiap-tiap
indikator keluaran program dengan tolok ukur masing-masing. Bila ada
kesenjangan antara pencapaian indikator keluaran program dengan tolok
ukurnya, maka ditetapkan sebagai masalah. Masalah bisa lebih dari satu,
tergantung dari banyaknya indikator yang dipakai untuk mengukur
keberhasilan keluaran program.
4. Menetapkan prioritas masalah
Masalah-masalah pada komponen keluaran belum tentu semuanya dapat di
atasi secara bersamaan mengingat keterbatasan kemampuan fasilitas
kesehatan. Selain itu adanya kemungkinan masalah-masalah tersebut
berkaitan satu dengan yang lainnya dimana bila diselesaikan salah satu
masalah yang dianggap paling penting, maka masalah lainnya dapat teratasi
Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | 28
pula. Oleh sebab itu, perlu ditetapkan prioritas masalah yang akan dicari
pemecahannya.
Penetapan prioritas masalah dilakukan dengan menggunakan teknik kriteria
matriks (criteria matrix technique). Pada teknik ini terdapat variabel
pentingnya masalah/I (Importancy) yang diukur berdasarkan besarnya
masalah/P (Prevalence), akibat yang ditimbulkan masalah/S (Severity),
kenaikan besarnya masalah/RI (Rate of Increase), derajat keinginan
masyarakat yang tidak terpenuhi/DU (Degree of Unmet Need), keuntungan
sosial karena selesainya masalah/SB (Social Benefit), kepedulian
masyarakat/PB (Public Concern), dan suasana politik/PC (Political Climate).
Selain itu juga digunakan kriteria kelayakan teknologi/T (Technical feasibility).
Makin layak teknologi yang tersedia dan yang dapat dipakai untuk mengatasi
masalah, makin diprioritaskan masalah tersebut. Begitu juga dengan sumber
daya yang tersedia/R (Resources availability). Makin tersedia sumber daya
yang dapat dipakai untuk mengatasi masalah, maka makin diprioritaskan
masalah tersebut. Beri nilai antara 1 (tidak penting) sampai dengan 5 (sangat
penting) pada tiap kotak dalam matriks sesuai dengan jenis masalah masingmasing. Dalam proses pemberian nilai, misalnya untuk prevalensi, tentunya
harus dipertimbangkan prevalensi dari masing-masing masalah yang akan
diprioritaskan tersebut. Prevalensi yang paling tinggi tentunya diberi nilai yang
tertinggi, sedangkan prevalensi yang terendah diberi niai 1. Masalah yang
dipilih sebagai prioritas adalah yang memiliki nilai I x T x R tertinggi.
Dalam penetapan prioritas masalah, dapat dilibatkan seluruh petugas fasilitas
kesehatan. Dalam proses penetapan masalah ini tentunya setiap orang yang
terlibat dalam kegiatan ini harus memahami benar masalah yang dihadapi dan
akan dipilih prioritasnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang baik, penilai
harus memaparkan masalah ini kepada semua anggota tim penilai yang
terlibat. Pembobotan pada masing-masing indikator keluaran harus disertai
dengan pembenaran yang dapat diterima. Alasan pemberian bobot untuk
tiap-tiap variabel pada matriks untuk setiap masalah harus dituliskan dengan
jelas. Misalnya untuk masalah A, mengapa diberikan nilai tinggi (5) untuk
prevalensinya, sedangkan untuk rate of increasenya hanya diberikan nilai
sedang (3) dan seterusnya. Contoh dapat dilihat pada Lampiran 1.
Dalam melakukan pembobotan, prosesnya dimulai dari prevalensi, severity,
dan seterusnya. Dilakukan pembobotan prevalensi tiap-tiap masalah,
kemudian selanjutnya dilakukan pembobotan severity tiap masalah, dan
seterusnya. Dalam melakukan pembobotan, harus dipakai data yang akurat,
dan mutakhir.
5. Membuat kerangka konsep dari masalah yang diprioritaskan
Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | 29
Untuk menentukan penyebab masalah yang telah diprioritaskan tersebut,
perlu dibuat kerangka konsep prioritas masalah. Hal ini bertujuan untuk
menentukan faktor-faktor penyebab masalah yang berasal dari komponen
sistem yang lainnya, yaitu komponen input, proses, lingkungan dan umpan
balik. Dengan menggunakan kerangka konsep diharapkan semua faktor
penyebab masalah dapat diketahui dan diidentifikasi sehingga tidak ada yang
tertinggal. Jelaskan hubungan antara faktor-faktor dalam kerangka konsep
tersebut. Kadang-kadang ada faktor yang mempengaruhi prioritas masalah
melalui faktor lain. Perhatikan benar-benar hubungan antar faktor tersebut.
Dalam membuat kerangka konsep dapat dipakai diagram pohon atau diagram
tulang ikan. Semua variabel yang ada di dalam kerangka konsep, ditulis dalam
bentuk netral. Contoh dapat dilihat pada Lampiran 1.3,4
6. Identifikasi penyebab masalah
Selanjutnya dilakukan identifikasi berbagai penyebab masalah yang terdapat
pada kerangka konsep. Identifikasi penyebab masalah dilakukan dengan: 1)
Mengelompokkan faktor-faktor yang diperkirakan berpengaruh terhadap
prioritas masalah dalam unsur masukan, proses, umpan balik dan lingkungan,
2) menentukan indikator-indikator serta tolok ukurnya masing-masing dari
faktor-faktor tersebut 3) Mengukur besarnya nilai indikator-indikator tersebut
di lapangan, 4) Membandingkan nilai dari tiap-tiap indikator tersebut dengan
tolok ukurnya. Bila terdapat kesenjangan, maka ditetapkan sebagai penyebab
dari masalah yang diprioritaskan tadi. Tentu saja penyebabnya bisa lebih dari
satu. Pada waktu mengukur besarnya nilai indikator di lapangan tersebut
diperlukan pengumpulan data baik data yang ada dalam dokumen atau data
yang diperoleh dari wawancara atau kuesioner. Bisa juga data diperoleh dari
laporan tahunan, triwulan, dan sebagainya. Wawancara atau pemberian
kuesioner dapat dilakukan terhadap petugas atau pengunjung fasilitas yang
dinilai, tergantung kebutuhannya. Tolok ukur dana harus dibuat, dengan
memperkirakan besarnya biaya yang harus disediakan oleh program yang
dievaluasi tersebut agar menghasilkan keluaran yang baik. Tolok ukur dana
dinyatakan dalam bentuk rupiah.
7. Memprioritaskan penyebab masalah
Bila penyebab masalah telah diketahui, teliti kembali apakah semua penyebab
tersebut saling berkaitan. Bila saling berkaitan, tidak perlu dibuat prioritas
penyebab masalah. Bila ternyata penyebab masalah amat bervariasi,
usahakan untuk mengelompokkan berdasarkan keterkaitan masing-masing
penyebab tersebut. Bisa saja dari 10 penyebab masalah dikelompokkan
menjadi 3 kelompok besar. Tiga kelompok penyebab masalah ini yang perlu
dicari prioritasnya.
Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | 30
Prioritas penyebab masalah dapat diperoleh dengan cara melakukan teknik
kriteria matriks yang telah dipelajari, bisa juga dengan metode lainnya seperti
misalnya teknik kelompok nominal (Nominal Group Technique), yakni metode
untuk memperoleh beberapa prioritas utama dari sedemikian banyak pilihan.
Biasanya dilakukan dalam kelompok. terdiri dari 2 bagian: 1) Formalisasi
sumbang saran, 2) Membuat pilihan. Caranya adalah sebagai berikut: Dengan
memperlihatkan kerangka konsep, pemimpin diskusi memaparkan semua
penyebab masalah yang diperkirakan, serta data yang berhubungan dengan
kemungkinan penyebab masalah tersebut. Minta tiap anggota tim
mengemukakan ide-idenya tentang penyebab masalah tersebut. Ketua tim
menuliskan penyebab-penyebab masalah yang dipaparkan anggotanya.
Langkah kedua dilaksanakan dengan membuang penyebab-penyebab yang
dirasakan tidak terlalu penting. Anggota boleh membuang idenya, tetapi tidak
boleh membuang ide orang lain. Selanjutnya kepada masing-masing anggota
dibagikan kartu. Banyaknya kartu sesuai dengan banyaknya ide yang dituliskan.
Bila ide kurang dari 20, cukup dibagikan 4 kartu. Tiap anggota menuliskan ide
yang dipilihnya serta peringkatnya. Jadi bila ada 4 kartu, seorang anggota akan
menulis, misalnya Ide A perngkat 1, Ide nomer 4 peringkat 2. Ide nomer 6,
peringkat 3. Ide nomer 10, peringkat 4. Di akhir sesi, dilihat ide mana yang
mempunyai peringkat tertinggi. Itu yang ditentukan sebagai penyebab
masalah utama.5
8. Membuat alternatif pemecahan masalah
Setelah kita mengetahui prioritas penyebab masalah, tindakan selanjutnya
yang perlu dilakukan adalah membuat 2 sampai 3 alternatif pemecahan
masalah yang diperkirakan dapat mengatasi penyebab masalah tersebut.
Alternatif pemecahan masalah ini dibuat dengan memperhatikan kemampuan
serta situasi dan kondisi fasilitas kesehatan. Berarti diperlukan wawancara
dengan petugas di fasilitas kesehatan tersebut yang diperkirakan akan
melaksanakan program tersebut. Sumber rujukan lain yang sangat penting
adalah referensi yang dapat diperoleh dari jurnal atau pengalaman orang lain
yang telah didokumentasikan. Komunikasi personal dengan seorang yang
berpengalaman juga sangat dianjurkan. Alternatif penyebab masalah
hendaknya dibuat secara rinci, sehingga jelas sekali tujuan umumnya, tujuan
khusus, sasaran, metode, jadwal kegiatan, serta rincian dananya. Dana sering
tidak ditulis secara rinci. Padahal dana sangat penting dalam menentukan
apakah suatu alternatif pemecahan masalah nantinya akan terpilih pada
waktu melakukan pemilihan prioritas masalah. Rincian dana ini harus
dikembangkan oleh penilai.
9. Menentukan prioritas cara pemecahan masalah
Dari berbagai alternatif cara pemecahan masalah yang telah dibuat, dipilih
satu cara pemecahan masalah yang dianggap paling baik dan memungkinkan.
Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | 31
Pemilihan/penentuan prioritas cara pemecahan masalah ini dengan memakai
teknik kriteria matriks. Dua kriteria yang lazim digunakan adalah :
a. Efektivitas Jalan keluar
Tetapkan nilai efektivitas (effectiveness) untuk setiap alternatif jalan
keluar, yakni dengan memberikan angka 1 (paling tidak efektif) sampai
dengan angka 5 (paling efektif). Prioritas jalan keluar adalah yang nilai
efektivitasnya paling tinggi. Untuk menentukan efektivitas jalan keluar,
dipergunakan kriteria tambahan sebagai berikut :
 Besarnya masalah yang dapat diselesaikan (Magnitude)
Makin besar masalah yang dapat di atasi, makin tinggi prioritas
jalan keluar tersebut.
 Pentingnya jalan keluar (Importancy)
Pentingnya jalan keluar dikaitkan dengan kelanggengan
penyelesaian masalah. Makin lama masa bebas masalah, makin
penting jalan keluar tersebut.
 Sensitivitas jalan keluar (Vulnerability)
Sensitivitas dikaitkan dengan kecepatan jalan keluar mengatasi
masalah. Makin cepat masalah teratasi, makin sensitif jalan
keluar tersebut.
b. Efisiensi Jalan Keluar (C)
Tetapkan nilai efisiensi (Efficiency) untuk setiap alternatif jalan keluar.
Nilai efisiensi ini biasanya dikaitkan dengan biaya (cost) yang diperlukan
untuk melaksanakan jalan keluar. Makin besar biaya yang diperlukan,
makin tidak efisien jalan keluar tersebut. Berikan angka 1 (biaya paling
sedikit) sampai dengan angka 5 (biaya paling besar).
Nilai prioritas (P) untuk setiap alternatif jalan keluar dihitung dengan membagi
hasil perkalian nilai M x I x V dibagi C. Jalan keluar dengan nilai P tertinggi,
adalah prioritas jalan keluar terpilih. Lihat contoh di lampiran 1.4
10. Pengumpulan Data
Data yang akan diambil meliputi semua data yang berkaitan dengan indikator
dari masing-masing variabel yang ada di dalam kerangka konsep, baik
variabel prioritas masalah maupun semua variabel kemungkinan penyebab
masalah. Selain itu juga diperlukan data untuk dapat menentukan berbagai
alternatif pemecahan masalah.
 Data primer bisa berasal dari wawancara, diskusi kelompok terarah
(FGD), atau kuesioner yang mungkin dipakai untuk mengumpulkan data,
atau dari status pasien yang pengisiannya dilakukan sendiri oleh penilai
beserta timnya sesuai tujuan penelitian.
Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | 32
 Data sekunder adalah data yang berasal dari laporan bulanan dan
tahunan, serta rekam medik
 Data tersier adalah data yang berasal dari suatu publikasi.
11. Membuat kesimpulan dan saran
Kesimpulan adalah penyampaian singkat semua hasil yang diperoleh sesuai
dengan tujuan-tujuan yang ingin dicapai. Sebagai hasil akhir dari penilaian
adalah terpilihnya prioritas pemecahan masalah.
Saran merupakan kondisi atau prasyarat yang diharapkan dapat disediakan
oleh fasilitas kesehatan agar pemecahan masalah yang diprioritaskan
tersebut dapat terlaksana dengan baik. Jadi harus ada keterkaitan antara
saran yang diajukan dengan prioritas pemecahan masalah.
FORMAT LAPORAN EVALUASI PROGRAM
Format laporan evaluasi (penilaian) program kesehatan adalah sebagai berikut.
1. Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
1.2. Permasalahan
1.3. Tujuan
1.3.1. Tujuan Umum
1.3.2. Tujuan Khusus
1.4. Manfaat
2. Tinjauan Pustaka
3. Metode Evaluasi
4. Penyajian Data
o Gambaran Umum Wilayah Kerja
o Data Khusus (data yang berhubungan dengan program yang dinilai)
5. Hasil Penilaian dan Pembahasan
a. Indikator dan Tolok Ukur Keluaran
b. Identifikasi Masalah
c. Prioritas Masalah
d. Kerangka Konsep Masalah
e. Identifikasi Penyebab Masalah
f. Alternatif Pemecahan Masalah
g. Prioritas Pemecahan Masalah
6. Kesimpulan dan Saran
a. Kesimpulan
b. Saran
7. Daftar Pustaka
DAFTAR PUSTAKA
Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | 33
1. Azwar A. Pengantar Administrasi Kesehatan. Edisi 3, Binarupa Aksara,
Jakarta; 1996.p.181-210, p.329-347.
2. Arief M.R. Penilaian Program Kesehatan Jiwa Periode 2003, di Puskesmas
Cengkareng, Jakarta Barat. Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas, FKUI
2004.
3. Hassarief M.I. Penilaian Program Pengelolaan Obat di Puskesmas
Kecamatan Pulogadung Periode Januari-Juli 2006. Departemen Ilmu
Kedokteran Komunitas FKUI, 2006.
4. Maselia. Penilaian Program BIAS Campak Periode April 2006 di Puskesmas
Kelurahan Pulogadung, Jakarta Timur. Departemen Ilmu Kedokteran
Komunitas, FKUI, 2006.
5. Pyzdek T. The Six Sigma Handbook. Penerbit Salemba Empat, 2002.
Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | 34
PELAYANAN KESEHATAN DENGAN PENDEKATAN DOKTER KELUARGA
Nitra N. Rifki, Dhanasari Vidiawati, Retno Asti Werdhani
Divisi Kedokteran Keluarga, Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Definisi kesehatan menurut UU no 36 tahun 2009 adalah keadaan sehat, baik
secara fisik, mental, spritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang
untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis yang dibutuhkan individu,
keluarga, kelompok, dan masyarakat.
Indonesia masih memerlukan sebuah sistem pelayanan kesehatan tingkat primer
yang bersifat menyeluruh, serta memiliki hubungan kerja sama dengan berbagai
pihak untuk menjamin kelancaran dan kesinambungan pelayanan medis pasien.
Oleh karena itu itu dibutuhkan pelayanan kesehatan yang bersifat paripurna,
tidak terkotak-kotak, terpadu/integrasi, bersinambung, berbasis lima tingkat
pencegahan, tersedia setiap saat dibutuhkan, serta memperhatikan factor fisik,
mental, social, budaya, spiritual dan lingkungan lain yang mempengaruhi
dan/atau dipengaruhi oleh masalah kesehatan pasien.
Ilmu kedokteran keluarga merupakan ilmu yang mencakup seluruh spektrum ilmu
kedokteran, berorientasi pada pelayanan kesehatan tingkat primer yang
bersinambung dan menyeluruh kepada satu kesatuan individu, keluarga dan
masyarakat dengan memperhatikan faktor-faktor lingkungan, ekonomi dan
social-budaya. Termasuk diantaranya terkait pada masalah-masalah keluarga
yang ada hubungannya dengan masalah kesehatan yaitu masalah sehat-sakit
yang dihadapi oleh perorangan sebagai bagian dari anggota keluarga. (PB IDI,
1983)
Untuk menunjang keberhasilan pelayanan kesehatan yang bersifat paripurna,
diperlukan kualitas dokter layanan primer dan paramedis dengan pendekatan
kedokteran keluarga yang dapat berkomunikasi serta dapat saling bekerja sama
untuk mengoptimalisasi penatalaksanaan masalah kesehatan pasien dan keluarga
menuju kualitas hidup masyarakat Indonesia yang lebih baik.
KONSEP DASAR
Ruang lingkup karakteristik kedokteran keluarga terdiri dari beberapa konsep
dasar seperti komitmen untuk melakukan pembinaan terhadap pasien dan
keluarganya secara terus menerus, sebuah pendekatan yang komprehensif, dan
menerima semua pasien tanpa memandang jenis kelamin, usia, atau jenis
penyakit. Hal tersebut dilakukan oleh seorang dokter keluarga dalam ruang
lingkup praktik berbasis masyarakat serta rawat jalan.
Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | 35
Ilmu Kedokteran Keluarga adalah disiplin ilmu yang berkaitan dengan penyediaan
pelayanan kesehatan personal yang dilakukan di fasilitas kesehatan tingkat
primer, dengan pendekatan komprehensif dan terus-menerus bagi individu
sebagai bagian dari keluarga, masyarakat, dan lingkungannya. Disiplin ini juga
dikenal dengan nama lain seperti 'Dokter Praktik Umum' atau 'Dokter Layanan
Primer'. Untuk tujuan praktis, istilah ini memiliki makna yang sama. Namun istilah
'Kedokteran Keluarga' lebih disukai untuk menekankan keluarga sebagai unit
sosiologi yang memberikan dukungan kepada individu serta menegaskan
pentingnya keluarga dalam sebab dan akibat dari kesehatan dan penyakit individu.
Dokter keluarga adalah seorang praktisi medis berkualitas yang menyediakan
pelayanan kesehatan personal di pelayanan kesehatan tingkat primer, dengan
pendekatan holistik dan komprehensif, serta melakukan tindak lanjut terhadap
pelayanan kesehatan kepada pasien dalam kaitannya dengan keluarga,
masyarakat, dan lingkungan mereka. Seorang dokter keluarga mungkin hadir
untuk pasien di kliniknya, di rumah pasien, atau kadang-kadang di rumah sakit.
Dalam mengobati pasiennya, dokter keluarga harus memperlakukan pasien
sebagai manusia seutuhnya, jiwa serta sistem tubuh mereka dan tidak hanya
memperhatikan tanda-tanda dan gejala klinis saja. Dalam memberikan pelayanan
yang komprehensif dan berkelanjutan, dokter keluarga perlu berinteraksi dengan
rekan-rekan medis dan paramedis. Dalam mempromosikan kesehatan pasiennya,
dokter keluarga tidak hanya mengobati, tetapi juga menganggap setiap kontak
dengan pasien sebagai kesempatan untuk melakukan pencegahan, pendidikan
kesehatan dan konseling terhadap pasien dan keluarga. Dokter keluarga harus
mengetahui berbagai issue kesehatan dan dampaknya, mendidik pasien tentang
perawatan diri, keluaran serta prognosis penyakit, disertai pemahaman mengenai
harapan, kekhawatiran, dan persepsi pasien.
Pola penyakit dalam praktik dokter keluarga menggambarkan pola penyakit di
masyarakat. Ini berarti bahwa kasus-kasus yang ditemukan di praktik dokter
keluarga adalah penyakit-penyakit yang memiliki angka insidensi dan prevalensi
tinggi; seperti penyakit akut jangka pendek yang bersifat sementara, dapat
sembuh sendiri (self limiting disease) dan penyakit kronis serta psikosomatik. Di
satu pihak, ada pasien yang datang bukan karena masalah fisik maupun psikis.
Mereka datang dengan masalah campuran kompleks dari unsur-unsur fisik,
psikologis, dan sosial. Karena perannya sebagai dokter utama/pertama/gate
keeper, dokter keluarga cenderung menghadapi penyakit pada tahap awal.
Diagnosis dini merupakan tanggung jawab utama, terutama pada penyakit
dimana pengobatan awal dapat membuat perbedaan prognosis. Oleh karena itu,
seorang dokter keluarga harus sangat memperhatikan data klinis tahap awal yang
membedakan penyakit serius dan mengancam nyawa dari penyakit kurang serius.
Gejala-gejala, tanda, dan tes yang diidentifikasi pada tahap awal dapat
memberikan gambaran hasil yang berbeda bila diidentifikasi di tahap selanjutnya.
Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | 36
ATRIBUT DOKTER KELUARGA
Karakteristik dasar kedokteran keluarga dan atributnya memberi sumbangan
substansial terhadap sistem kesehatan di semua negara. Atribut pelayanan
dengan pendekatan kedokteran keluarga adalah sebagai berikut:
Pelayanan Personal
Ini menggambarkan pelayanan yang dilakukan berdasarkan hubungan yang
harmonis antara dokter dan pasien. Pasien dapat berkonsultasi ke dokter
keluarganya tidak hanya ketika ia sedang sakit tetapi juga pada saat pasien ingin
mencari nasihat dokter sebagai seorang teman dan mentor.
Pelayanan Umum
Praktik dokter keluarga keluarga tidak memilih masalah kesehatan dari seluruh
populasi, melainkan mencakup seluruh masalah kesehatan dari semua kategori
usia, jenis kelamin, kelas sosial, ras, agama, atau keluhan-keluhan yang
berhubungan dengan semua masalah kesehatan tersebut. Praktik dokter keluarga
harus mudah diakses dengan cepat serta tidak dibatasi oleh hambatan geografis,
budaya, administrasi, atau keuangan. Pelayanan dapat dilakukan di
kantor/perusahaan atau di klinik baik di wilayah perkotaan maupun pedesaan.
Pelayanan Tingkat Primer
Pelayanan kesehatan tingkat primer disediakan sebagai titik kontak pertama
pasien untuk mendapatkan pelayanan kesehatan (Starfield 1990). Berdasarkan
sifatnya, pelayanan kesehatan tingkat primer harus bersifat umum dan mampu
mengatasi masalah kesehatan apa pun yang timbul. Dalam pelayanan kesehatan
tingkat primer, pasien mungkin datang dengan satu atau lebih dari alasan
kedatangan: nyeri atau gejala lainnya, kecelakaan dan darurat, pelayanan
kesehatan preventif, persyaratan administrasi (pemeriksaan fisik dan sertifikasi
kesehatan), meyakinkan sesuatu (khawatir akan gejala tertentu), masalah hidup,
atau surat sakit. Jika perlu, pasien dapat dirujuk dari pelayanan kesehatan tingkat
primer ke rumah sakit tingkat sekunder / tersier atau profesional kesehatan
lainnya. Akses pasien ke profesional kesehatan tingkat sekunder / tersier adalah
melalui rujukan dokter keluarga.
Pelayanan Bersinambung
Konsultasi dalam praktik dokter keluarga tidak terjadi dalam satu waktu. Hal ini
didasari pada hubungan pribadi jangka panjang antara pasien dan dokter, yang
meliputi pelayanan kesehatan individu jangka panjang sebagai bagian dari
kehidupan mereka. Tidak terbatas pada satu episode tertentu dari penyakit,
tetapi juga untuk mempertahankan dan/atau meningkatkan kesehatan dalam
jangka panjang. Oleh karena itu diperlukan pemantauan secara rutin dan juga
perawatan komplikasi yang mungkin timbul. Pelayanan ini dapat diberikan oleh
Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | 37
dokter sendiri, atau dokter sebagai anggota tim. Kebutuhan mendasar adalah
adanya rencana pengelolaan masalah kesehatan secara jelas dan tertulis. Oleh
karena itu, penting adanya rekam medis yang terjaga baik kualitasnya,
komunikasi, dan diskusi tentang rencana penatalaksanaan dengan pasien dan
keluarganya.
Pelayanan Komprehensif
Praktik dokter keluarga menyediakan berbagai layanan, termasuk manajemen
penyakit akut dan kronis, promosi kesehatan terpadu, pencegahan penyakit,
pengobatan kuratif, rehabilitasi fisik dan psikologis, serta dukungan sosial kepada
individu. Pelayanan komprehensif medis adalah pelayanan yang menyediakan
pelayanan pencegahan primer, sekunder dan tersier di satu tempat (klinik, rumah
sakit, panti jompo, atau melalui telepon) dan memiliki pendekatan untuk
melakukan pencegahan setiap kali bertemu/berbicara dengan pasien. Ini
berkaitan dengan keluhan dan penyakit, yang mengintegrasikan humanistik dan
aspek etis dari hubungan dokter-pasien dalam pengambilan keputusan klinis.
Pelayanan Terkoordinasi
Dokter keluarga mengetahui seluruh daftar masalah pasien dan sumber utama
informasi perawatan pasien. Seorang dokter keluarga bisa menangani banyak
masalah kesehatan yang disampaikan oleh individu pada kontak pertama mereka,
tetapi bila perlu, dokter keluarga harus memastikan rujukan yang sesuai, tepat
waktu, dan kontrol dari pasien ke layanan spesialis atau ahli kesehatan lain.
Dalam kesempatan tersebut, dokter keluarga harus memberi tahu pasien tentang
layanan yang tersedia dan bagaimana cara terbaik untuk menggunakannya, serta
harus menjadi koordinator dari nasihat dan dukungan yang diterima pasien.
Dokter keluarga harus bertindak sebagai manajer pelayanan dan berhubungan
dengan penyedia pelayanan kesehatan dan sosial lainnya, serta bertindak sebagai
penasihat pasien mengenai berbagai masalah kesehatan.
Pelayanan Berkolaborasi
Dokter keluarga harus siap bekerja dengan tenaga kesehatan lain dan penyedia
pelayanan sosial, mendelegasikan perawatan pasien kepada mereka jika
diperlukan, dengan memperhatikan kompetensi disiplin ilmu lainnya. Seorang
dokter keluarga harus berkontribusi dan berpartisipasi aktif dalam tim perawatan
multidisiplin yang berfungsi dengan baik dan harus siap untuk melaksanakan
kepemimpinan tim.
Pelayanan Berorientasi Keluarga
Praktik dokter keluarga menangani masalah-masalah kesehatan individu dalam
konteks sebagai bagian dari keluarga mereka, jaringan sosial dan budaya, serta
keadaan di mana mereka tinggal dan bekerja. Banyak orang menghadapi
penyakitnya sendiri, namun mereka juga memanfaatkan sumber daya di sekitar
Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | 38
mereka. Kerabat, anggota keluarga, dan teman-teman dapat memberikan
dukungan, saran, dan bentuk keperawatan awam jika diperlukan. Hal ini
khususnya diperlukan pada penyakit anak. Untuk mendapatkan bantuan dan
dukungan dari sekitar, biasanya bergantung pada unit keluarga. Para dokter akan
mengetahui kesehatan keluarga sebagai satu unit, juga sebagai keluarga yang
telah melewati tahapan kehidupan keluarga.
Bentuk keluarga
Fungsi keluarga
Ada 8 tahapan kehidupan keluarga (Duvall, 1977) dan contoh risiko yang mungkin
terjadi:
1. Menikah (belum memiliki anak) : cth. Gangguan hubungan seksual,
infertilitas, gangguan pada kehamilan, keguguran
2. Bayi (anak berusia 0-30 bulan) : cth. Penyesuaian diri sebagai orang tua,
gangguan tumbuh kembang anak, ASI tidak eksklusif, gizi kurang, imunisasi
tidak lengkap, kerentanan terhadap penyakit infeksi, kelainan genetik
3. Balita (anak berusia 30 bulan – 6 tahun) : cth. Gangguan tumbuh kembang,
gizi kurang, gangguan atensi, kerentanan terhadap penyakit infeksi,
kesehatan gigi, penyakit keturunan, obesitas pada anak
4. Usia sekolah (anak berusia 6-13 tahun) : cth. Gangguan belajar, gangguan
atensi, penyakit infeksi, penyakit keturunan, gangguan pubertas,
pendidikan seks, obesitas pada anak, krisis percaya diri
5. Remaja (anak berusia 13 – 20 tahun) : cth. Kenakalan remaja, perilaku seks
bebas dan tidak aman, alcohol, narkoba, krisis percaya diri, penyakit
menular seksual, kehamilan remaja, orientasi seksual, krisis kematangan
dan kemandirian
6. Anak satu persatu meninggalkan keluarga (‘Launching family’) : cth.
Ketidakmampuan adaptasi terhadap lingkungan luar rumah, stress,
komunikasi anak-orang tua tidak lancar, obesitas, sindrom metabolik,
perubahan gaya hidup, kesehatan mental
7. Orang tua usia pertengahan/pensiun (seluruh anak meninggalkan
keluarga) : cth. Penyakit degeneratif dan kardiovaskuler, ‘post power
syndrome’, kesehatan mental, stress, komunikasi anak-orang tua tidak
lancar, komplikasi sindrom metabolik, osteoporosis, perubahan bentuk
tubuh, hilangnya libido, kulit keriput, kanker, menopause, gangguan sendi
8. Usia lanjut (sampai dengan meninggal dunia) : depressi dan penuaan,
tinggal sendiri dalam rumah (soliter), kedukaan, penurunan respons
seksual, penyakit kronis dan stadium terminal, multifarmaka, komunikasi
kakek/nenek-anak-cucu tidak lancar, tidak menerima kematian
Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | 39
Pelayanan Berorientasi Masyarakat
Masalah pasien harus dilihat dalam konteks hidupnya di masyarakat setempat.
Dokter keluarga harus menyadari kebutuhan kesehatan penduduk yang hidup di
komunitas dan harus berkolaborasi dengan profesional lainnya, lembaga dari
sektor lain serta kelompok lain untuk memulai perubahan positif dalam masalah
kesehatan setempat. Dengan sumber daya yang memadai, dokter keluarga dapat
mengelola masalah kesehatan di masyarakat. Kepedulian dari masyarakat dan
oleh masyarakat, tergantung pada kemauan dan kemampuan masyarakat untuk
mengatasi masalah mereka sendiri
Pelayanan dengan Pendekatan Holistik
Penyakit adalah sebuah fenomena psikososial yang sama kontribusinya dengan
fenomena biologis. Dokter keluarga harus menyadari bahwa faktor yang
berkontribusi untuk terjadinya sehat-sakit dan sejahtera tidak hanya berasal dari
dimensi fisik, tetapi juga dari dimensi sosial dan psikologis pasien (model biopsiko-sosial kesehatan) serta dari keluarga dan komunitasnya. Dengan
memperhatikan ini, dokter dapat memecahkan masalah kesehatan fisik secara
efektif. Solusi untuk kesehatan yang baik sebenarnya terletak di luar obat-obatan.
Pelayanan dengan Bio-Psycho-Sosial model
Adalah penting untuk mengenali bahwa setiap penyakit memiliki berbagai
kontribusi dan konsekuensi fisik, sosial, dan psikologis. Tidak cukup hanya
memperhatikan aspek-aspek fisik saja. Selama perawatan di rumah sakit, dimensi
fisik mungkin menjadi yang utama. Namun setelah pasien sembuh, dimensi sosial
dan psikologis akan menjadi lebih dominan. Dalam praktik dokter keluarga,
beberapa pasien mungkin mengalami masalah sosial atau psikologis sebagai
penyebab kesehatan yang buruk dan ini dapat diekspresikan sebagai keluhan fisik.
Model biopsikososial sering disalahpahami. Ini dapat ditafsirkan sebagai
keseimbangan dokter dalam menangani masalah biomedis, psikologis dan sosial,
dimana dokter mungkin cukup berkata, "bukanlah tugas saya untuk menangani
masalah perumahan, namun ada sumber lain yang lebih tepat untuk membantu”.
Berurusan dengan masalah perumahan biasanya bukan pekerjaan dokter, tapi
mungkin menjadi perhatian jika masalah perumahan memiliki hubungan yang
signifikan terhadap penyakit pasien.
Pelayanan Berpusat Pada Pasien (Patient Centered)
Praktik dokter keluarga berpusat pada manusia dibandingkan berpusat pada
penyakit. Salah satu alasan pasien mengunjungi dokter adalah untuk
mendapatkan akses keahlian medis yang memungkinkan dokter untuk memikul
beberapa tanggung jawab dalam mengelola penyakit. Untuk menyembuhkan
Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | 40
pasien, hal lain yang diperlukan, yaitu, kemampuan untuk memahami dunia batin
pasien - nilai-nilai hidup, pikiran, perasaan, dan ketakutan pasien. Esensi berpusat
pada pasien adalah upaya dokter untuk memenuhi tugas ganda: memahami
pasien dan memahami masalahnya. Dari pemahaman ini mengalir proses
manajemen untuk pasien dan masalahnya. Sebagai dokter, dengan mengetahui
lebih banyak tentang pasien (biografi mereka, hubungan interpersonal,
kepribadian, perilaku, lingkungan fisik, sosial, budaya, dll), ia akan lebih mampu
untuk mengembangkan wawasan yang lebih besar akan kebutuhan pasien yang
sesungguhnya. Kunci dari hubungan yang berpusat pada pasien adalah
memberikan kesempatan pasien untuk berbicara, termasuk mengekspresikan
perasaan. Dari sini tidak hanya dokter dapat mengidentifikasi gejala dan tandatanda serta membuat diagnosis tepat, tetapi dengan mendengarkan pasien,
dokter dapat mengidentifikasi apa yang menjadi masalah ‘nyata’ sebenarnya.
Kemudian diperlukan keputusan bersama antara dokter dan pasien untuk
menentukan tindakan terbaik. Jika kedua belah pihak setuju, akan berdampak
kepada manajemen yang tepat dari masalah dan kepatuhan pasien akan tinggi.
Hasilnya adalah kepuasan pasien dan dokter (Mead dan Bower 2000).
DIAGNOSIS HOLISTIK
Karena kebutuhan seorang dokter keluarga untuk berpikir holistik dalam
mengidentifikasi faktor-faktor yang berkontribusi dalam sehat-sakit dan sejahtera,
maka perlu adanya pencarian penyebab masalah kesehatan yang dikaitkan
dengan aspek personal, aspek klinis, aspek individual, psikososial, keluarga, serta
lingkungan kehidupan pasien lainnya (faktor risiko internal dan eksternal).
Dengan demikian diharapkan penyelesaian masalah dapat dilakukan langsung
secara efektif dan efisien terhadap penyebab utamanya. Proses pengumpulan
data dilakukan berdasarkan standar yang telah ditetapkan disertai kerjasama
antar penyedia pelayanan kesehatan. Tidak semua data diidentifikasi di kamar
praktik dokter dan tidak harus selalu terjadi dalam satu waktu. Proses identifikasi
ini terjadi secara bersinambung dan terintegrasi. Untuk itu diperlukan pencatatan
yang baik dan benar.
Diagnosis holistik terdiri dari 5 aspek :
1. Aspek Personal
a. Idenfitikasi alasan kedatangan pasien
b. Identifikasi harapan pasien
c. Identifikasi kekhawatiran pasien
2. Aspek Klinik
a. Identifikasi diagnosis kerja/diagnosis klinis
b. Identifikasi diagnosis banding
3. Aspek Risiko Internal Pasien
Identifikasi faktor penyebab masalah kesehatan pasien yang berasal dari
dalam tubuh pasien : status gizi, perilaku, imunitas, jenis kelamin, usia, dll.
Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | 41
4. Aspek Risiko Eksternal Pasien
Identifikasi faktor penyebab masalah kesehatan pasien yang berasal dari
luar tubuh pasien : lingkungan keluarga, lingkungan rumah, lingkungan
pekerjaan, stressor, dll
5. Aspek Fungsional
Identifikasi derajat fungsional pasien yaitu dampak aktivitas harian pasien
saat mengalami keluhan/gejala yang dikeluhkan (International
Classification of Primary Care). Dibagi menjadi lima:
- 1 : No difficulty at all (sama sekali tidak mengurangi
pekerjaan/aktivitas harian)
- 2 : A little bit of difficulty (mulai mengurangi aktivitas berat,
aktivitas ringan masih mampu)
- 3 : Some difficulty (mulai mengurangi aktivitas ringan, sebagian
perawatan diri sementara dibantu orang lain, kemungkinan
perawatan di RS untuk sementara waktu)
- 4 : Much difficulty (aktivitas harian lebih banyak di rumah, tidak
mampu bekerja di luar rumah, perawatan diri sebagian sudah harus
dibantu orang lain)
- 5 : Could not do/permanent unfit (100% berbaring di tempat tidur,
perawatan diri seluruhnya harus dibantu orang lain)
No
1.
Aspek
Alasan kedatangan pasien
Rincian
1.1. keluhan utama (reason of
encounter)
/simptom/
sindrom
klinis
yang
ditampilkan
Keterangan
Keluhan (complaints)
Fisik,
m
neuropsikologikososial (w
keluhan tak jelas )
2.2. apa yang diharapkan pasien
atau keluarganya
3.3. serta apa yang dikawatirkan
pasien atau keluarganya
2.
3.
4.
Diagnosis
klinis
biologikal, psikomental,
intelektual,
nutrisi
sertakan
derajat
keparahan .
Perilaku individu dan gaya
hidup
(life style),
kebiasaan
yang
menunjang
terjadinya
penyakit,
beratnya
penyakit
Pemicu psikososial
dan
Bila diagnosis klinis belum dapat
ditegakkan
cukup dengan
diagnosis kerja.
Diagnosis berdasarkan
10, dan ICPC-2 yang
mengemukakan
mas
sosial dan derajat penyakit
- kebiasaan merokok
(dietary habits;tinggi le
tinggi kalori)
- kebiasaan jajan, kebiasaan
makan
- kebiasaan individu mengisi
waktu dengan perihal yang
negatip
4.1. pemicu primer adalah dinilai
- Bantuan
Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | 42
suami terha
lingkungan
dalam
kehidupan
seseorang
hingga
mengalami
penyakit seperti yang
ditemukan
No
5.
Aspek
dari
dukungan keluarga
yang
terdekat
(family
support)
4.2. pemicu dukungan keluarga
lainnya (dinilai dari tidak
adanya/kurangnya ) sesuai
kedekatan
hubungan
seseorang
dengan
keluarganya)
Rincian
4.3. pemicu sosial (yang negatip)
dapat menimbulkan masalah
kesehatan , atau kejadian
penyakit
penyakit istri (bila
sakit adalah isteri)
- Tidak
bantuan/perhatian/
perawatan/ suami &
anak sesuai dengan h
anak, menantu se
dengan kedudukan,
dan lainnya atau pe
rawat yang
- Kurangnya kasih sa
(hubungan
yang
harmonis)
- Kurangnya
perha
perkembangan
pen
Kurangnya
pengob
/perawatan oleh keluar
- Tidak ada
penyeles
masalah yang dilakukan
- tidak
ada waktu
disediakan keluarga
- pekerjaan (penuh w
kerja
keras
f
psikologis)
- pengaruh negatip da
kultur,budaya, perga
kebiasaan
kelu
kepercayaan ,
pendidikan
(ren
keterampilan terbatas)
Keterangan
- kebiasaan buruk berk
tidak berolah raga,
- perilaku jajan keluarga
masak
sendiri),
m
keluarga yang tak se
kebutuhan
- perilaku tidak menab
(perilaku konsumtif)
- tidak adanya perenca
keluarga(tak
pendidikan anak , tak
pengarahan pengemba
karier )
Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | 43
6.
4.4. masalah perilaku keluarga
yang tidak sehat
- perilaku kebersihan bu
- perilaku
kelu
pemanfaatan waktu l
buruk
- penggunaan obat add
penggunaan
n
merokok
4.5. masalah
ekonomi
yang
mempunyai
pengaruh
terhadap penyakit/masalah
kesehatan yang ada
- pendapatan tak cukup
menentu dengan ju
keluarga besar
- ketergantungan
fina
pada orang lain
- ratio
ketergantu
(beban keluarga)
4.6. akses
pada
pelayanan
kesehatan
yang
mempengaruhi penyakit :
-
-
4.7. pemicu dari lingkungan fisik
-
No
7.
Aspek
Rincian
4.8. masalah dengan bangunan
tempat
tinggal
yang
berdampak negatip terhadap
kesehatan
pasien
dan
keluarga
tak mudahnya
u
mencapai tempat prakti
tiada biaya berobat,
tidak mempunyai si
pra
upaya/Asu
Kesehatan)
pelayanan
pro
kesehatan
yang
informatif, tidak ra
tidak komprehensif
polutan dalam rumah
dapur, asap rokok,debu
pada tempat kerja (p
asap, debu, kimia)
lingkungan pemukiman
Keterangan
- ventilasi,
tak
ad
memadai
- pencahayaan
ku
tertutup banguan tingg
- sumber air tak
(MCK),
- wc
umum,
si
pembuangan ,
- keamanan
gedung
ergonomi rumah, tan
licin, (terutama
u
Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | 44
-
4.9. lingkungan pemukiman yang
berdampak negatip pada
seseorang
8.
Fungsi sosial seseorang
Aktivitas Menjalankan
Sosial Dalam Kehidupan
Fungsi
Skala 1
- Mampu melakukan pekerjaan
seperti sebelum sakit
Skala 2
- Mampu melakukan pekerjaan
ringan sehari-hari di dalam dan
luar rumah
lansia, balita),
privasi tak ada ,kepad
hunian , bising
-
kepadatan perumahan,
sistem
pembua
sampah, limbah
- kebersihan , kebising
pemukiman kumuh , d
kemampuan dalam menj
kehidupan untuk
tergantung pada orang
(skala 1-5)
- Perawatan diri, bekerj
dalam dan di luar ru
(mandiri)
- Mulai mengurangi akti
kerja (pekerjaan kantor)
Skala 3
- Mampu melakukan perawatan
diri, tapi tak mampu melakukan
pekerjaan ringan
Skala 4
- Perawatan diri masih
dilakukan, hanya ma
melakukan kerja ringan
- Dalam keadaan tertentu masih
mampu merawat diri, namun
sebagian besar pekerjaan hanya
duduk dan berbaring
- Tak melakukan akti
kerja,
tergantung
keluarga
- Perawatan diri dilakukan orang
lain, tak mampu berbuat apaapa berbaring pasif
- Tergantung
rawat
Skala 5
DAFTAR PUSTAKA
1. McWhinney IR. A Textbook of Family Medicine. 2nd ed. Oxford:Oxford
University Press, 2009
2. Gan Gl, Azwar A, Wonodirekso S. A Primer on Family Medicine Practice.
Singapore:Singapore International Foundation, 2004
3. Boelen C, Haq C, et all. Improving Health Systems:The Contribution of
Family Medicine. A guidebook. WONCA, 2002
4. Amstrong D. Outline of Sociology as Applied to Medicine. 5 th ed.
London:Arnold Publisher, 2003
5. Rubin RH, Voss C, et all. Medicine A Primary Care Approach.
Philadepphia:WB Saunders Company, 1996
6. Rakel RE, Rakel DP. Textbook of Family Medicine. 8th ed.
Philadephia:Elsevier Saunders, 2011
Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | 45
pada
pe
7.
Rifki NN. Diagnosis Holistik Pada Pelayanan
Kesehatan
Primer:Pendekatan Multi Aspek. Jakarta:Departemen Ilmu Kedokteran
Komunitas, 2008
Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | 46
DIAGNOSIS OKUPASI
Astrid B Sulistomo, Dewi Soemarko,
Divisi Kedokteran Okupasi, Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
PENDAHULUAN
Telah diketahui bahwa ada hubungan antara pajanan yang spesifik dengan
berbagai jenis penyakit. Hubungan tersebut dapat diidentifikasi berdasarkan
hubungan kausal antara pajanan dan penyakit yaitu berdasarkan kekuatan
asosiasi, konsistensi, spesifisitas, waktu, dan dosis. Banyak penelitian yang
mengungkap bahwa frekuensi kejadian penyakit pada populasi pekerja lebih
tinggi daripada masyarakat umum. Hal tersebut mungkin disebabkan adanya
pajanan-pajanan khusus di kalangan pekerja ditambah dengan kondisi lingkungan
kerja yang kurang mendukung. Hal tersebut sangat disayangkan karena
sesungguhnya banyak penyakit yang dapat dicegah dengan melakukan tindakan
preventif di tempat kerja.
DEFINISI- DEFINISI PENYAKIT AKIBAT KERJA
1. Penyakit akibat kerja (Occupational Diseases) menurut International Labor
Organization (ILO), 1998 adalah Penyakit yang mempunyai penyebab yang
spesifik atau asosiasi kuat dengan pekerjaan, yang pada umumnya terdiri dari
satu agen penyebab yang sudah diakui.
“Occupational diseases is a disease or an ailment caused due to excessive
exposure of noxious fumes or substances in a working environment that are
injurious to health.It includes asthma,poisoning due to use of pesticides,black
lung disease among miners, lung cancer due to use of asbestos and other
respiratory problems.Any employee who gets affected by disease or a
disability under such condition is liable to receive compensation under the laws
of workmen's compensation or any other related provision. (ACOEM)”
“An occupational disease is a disease or disorder that is caused by the work or
working conditions. This means that the disease must have developed due to
exposures in the workplace and that the correlation between the exposures
and the disease is well known in medical research. Or put in another way, it
must not be likely, beyond reasonable doubt, that the disease was caused by
factors other than work. (The National Board of Industrial Injuries, Sankt Kjelds
Plads 11, Postboks 3000, DK-2100, Copenhagen, Denmark)”
“The term "occupational disease" refers to those illnesses caused by exposures
at the workplace. They should be separated, conceptually, from injuries that
Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | 47
may also may occur at workplaces due to a variety of hazards. (Encyclopaedia
of Public Health)”
“According to Protocol of 2002 to the Occupational Safety and Health
Convention, 1981, the term “occupational disease” covers any disease
contracted as a result of an exposure to risk factors arising from work
activity .Two main elements are present in the definition of an occupational
disease: the causal relationship between exposure in a specific working
environment or work activity and a specific disease; and the fact that the
disease occurs among a group of exposed persons with a frequency above the
average morbidity of the rest of the population.”
2. Penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan (Work Related Disease) 1998:
Adalah Penyakit yang mempunyai beberapa agen penyebab, dimana faktor
pada pekerjaan memegang peranan bersama dengan faktor risiko lainnya
dalam berkembangnya penyakit yang mempunyai etiologi yang kompleks.
Penyakit yang timbul karena hubungan kerja adalah penyakit yang
disebabkan oleh pekerjaan atau lingkungan kerja. (Keputusan Presiden No. 22
Tahun 1993 Tentang : Penyakit Yang Timbul Karena Hubungan Kerja).
3. Penyakit yang mengenai populasi pekerja (Diseases affecting working
populations)
Adalah Penyakit yang terjadi pada populasi pekerja tanpa adanya agen
penyebab ditempat kerja, namun dapat diperberat oleh kondisi pekerjaan
yang buruk bagi kesehatan. Penyakit tersebut juga dikenal dengan Penyakit
yang diperberat oleh pekerjaan.
Secara praktis, Penyakit yang diperberat oleh pekerjaan adalah Penyakit
umum yang ada di masyarakat umum, tetapi mengenai pekerja. Penyakit
tersebut secara tidak langsung menyebabkan semakin berat karena ada
pengaruh dari pekerjaan/proses kerja yang dilakukan oleh pekerja tersebut.
Dalam Ensiklopedi ILO edisi ke 3 (tahun 1983) definisi penyakit akibat kerja,
penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan dan bukan penyakit akibat
kerja masih dipisahkan secara jelas, namun dibeberapa Negara, penyakit yang
disebabkan pekerjaan dan penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan
diberlakukan sama, sebagai penyakit akibat kerja (occupational disease).
Pengertian penyakit akibat kerja dan penyakit yang berhubungan dengan
kerja selalu menjadi topik bahasan yang hangat.
Sehingga akhirnya pada tahun 1987, suatu komite pakar kesehatan kerja dari
WHO dan ILO, menawarkan gagasan, bahwa istilah “penyakit akibat
hubungan kerja (work related disease)” dapat digunakan tidak saja untuk
Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | 48
penyakit akibat kerja yang sudah diakui, tetapi juga untuk gangguan
kesehatan dimana lingkungan kerja dan proses kerja merupakan salah satu
faktor penyebab yang bermakna disamping faktor-faktor penyebab/risiko
lainnya. Gagasan tersebut kemudian diadopsi oleh WHO dan ILO pada tahun
1989, sehingga untuk selanjutnya hanya dikenal Penyakit Akibat Hubungan
Kerja.
PEMBAGIAN PENYAKIT AKIBAT KERJA BERDASARKAN ILO, ICD DAN KEPUTUSAN
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
1. ILO Convention No. 121 di Geneva pada December 1991. Penyakit Akibat
Kerja dibagi menjadi Penyakit karena agen, penyakit sesuai target organ
dan keganasan.
2. ICD 10 – OH , secara umum dibagi menjadi:
1. Diseases caused by agents
1.1 Diseases caused by chemical agents
1.2 Diseases caused by physical agents
1.3 Diseases caused by biological agents
2. Diseases by target organ
2.1 Occupational respiratory diseases
2.2 Occupational skin diseases
2.3 Occupational musculoskeletal diseases
3. Occupational cancer
4. Others
3. Keputusan Presiden RI no 22/1993 tentang Penyakit yang timbul karena
hubungan kerja :
Penyakit yang timbul karena hubungan kerja adalah penyakit yang
disebabkan oleh pekerjaan atau lingkungan kerja, ada 31 kelompok
penyakit.
TUJUAN DAN MANFAAT DIAGNOSIS OKUPASI /DIAGNOSIS PENYAKIT AKIBAT
KERJA
Berbeda dengan diagnosis penyakit pada umumnya, diagnosis penyakit akibat
kerja mempunyai aspek medis, aspek komunitas dan aspek legal. Dengan
demikian tujuan melakukan diagnosis akibat kerja adalah:
1. Dasar terapi
2. Membatasi kecacatan dan mencegah kematian
3. Melindungi pekerja lain
4. Memenuhi hak pekerja
Dengan melakukan diagnosis okupasi/ diagnosis penyakit akibat kerja, maka hal
ini akan berkontribusi terhadap:
Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | 49
1. Pengendalian pajanan berrisiko pada sumbernya
2. Identifikasi risiko pajanan baru secara dini
3. Asuhan medis dan upaya rehabilitasi pada pekerja yang sakit dan/atau
cedera
4. Pencegahan terhadap terulangnya atau makin beratnya kejadian penyakit
atau kecelakaan
5. Perlindungan pekerja yang lain
6. Pemenuhan hak kompensasi pekerja
7. Identifikasi adanya hubungan baru antara suatu pajanan dengan penyakit
TUJUH LANGKAH DIAGNOSIS OKUPASI DALAM PENENTUAN PENYAKIT AKIBAT
KERJA
Agar diagnosis penyakit akibat kerja dapat ditegakkan, diperlukan perhatian
khusus dan ketrampilan investigasi dari seorang dokter. Tanpa adanya
kewaspadaan dan kecurigaan dari seorang dokter, bahwa penyebab suatu
penyakit ada di tempat kerja, maka diagnosis penyakit akibat kerja sering
terlewatkan. Langkah sistematis dan terarah dalam menegakkan diagnosis
tersebut dinamakan 7 langkah diagnosis okupasi.
Secara sistematis dapat dibuat skema sebagai berikut:
7 LANGKAH DIAGNOSIS OKUPASI
Langkah 1:
Diagnosis Klinis
(untuk menentukan D/ PAK)
Langkah 7: Tentukan
Diagnosis PAK /
Diperberat Pekerjaan
/Bukan PAK / tambah
Data
Langkah 2:
Pajanan di lingkungan
kerja
Langkah 3:
Langkah 6:
Adakah hub ant pajanan
dengan Diagnosis Klinis
Adakah faktor lain diluar
pekerjaan
Langkah 5:
Adakah faktor2 individu
yg berperan
Langkah 4:
Apakah pajanan yg
dialami cukup besar
Prepared by DS,
kontribusi: AS dan Ditkesja
53
Gambar 3. Langkah diagnosis okupasi
Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | 50
Langkah 1. Menentukan diagnosis klinis
Sebagai langkah pertama penegakkan diagnosis Penyakit Akibat Kerja adalah
menegakkan diaghnosis klinis penyakit. Diagnosis Okupasi/ Diagnosis Penyakit
Akibat Kerja tidak dapat ditegakkan hanya berdasarkan simptom atau gejala yang
dikeluhkan pasien, karena dasar dari penegakkan diagnosis penyakit akibat kerja
adalah Evidence Based, dimana penelitian yang ada menunjukkan bahwa antara
suatu pajanan dengan suatu penyakit ada hubungan spesifik. Artinya suatu
pajanan hanya menyebabkan satu atau beberapa penyakit tertentu, sesuai hasil
penelitian yang ada. Upaya diagnosis klinis mungkin memerlukan pemeriksaan
laboratorium atau pemeriksaan penunjang lainnya dan sering perlu melibatkan
dokter spesialis yang terkait dengan penyakit pasien.
Langkah 2. Menentukan pajanan yang dialami individu tersebut dalam
pekerjaan
Suatu penyakit akibat kerja, seringkali tidak hanya disebabkan oleh pajanan yang
dialami di pekerjaan yang saat ini dilakukan, tetapi dapat disebabkan oleh
pajanan-pajanan pada pekerjaan-pekerjaan yang terdahulu. Selain itu beberapa
pajanan bisa saja menyebabkan satu penyakit, sehingga seorang dokter harus
mendapatkan informasi mengenai semua pajanan yang dialami dan pernah
dialami oleh pasiennya, untuk dapat mengidentifikasi pajanan atau pekerjaan
mana yang penting dan mungkin berpengaruh untuk diinvestigasi lebih lanjut.
Untuk memperoleh informasi ini perlu dilakukan anamnesis pekerjaan yang
lengkap, yang mencakup:
- Deskripsi semua pekerjaan secara kronologis
- Periode waktu melakukan masing-masing pekerjaan
- Apa yang diproduksi
- Bahan yang digunakan
- Cara bekerja
Informasi tersebut akan semakin bernilai, bila ditunjang dengan data yang
objektif, seperti MSDS (Material Safety Data Sheet) dari bahan yang digunakan,
catatan perusahaan mengenai penempatan kerja dsb.
Langkah 3. Menentukan apakah ada hubungan antara pajanan dengan penyakit
Melakukan identifikasi pajanan mana saja yang berhubungan dengan penyakit
yang dialami. Hubungan ini harus berdasarkan hasil-hasil penelitian epidemiologis
yang pernah dilakukan (evidence based). Identifikasi ada tidaknya hubungan
antara pajanan dan penyakit dapat dilakukan dengan mengkaji referensi/literatur
yang ada. Bila belum ada bukti bahwa suatu pajanan ada hubungan dengan suatu
Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | 51
penyakit, maka diagnosis penyakit akibat kerja tidak dapat ditegakkan. Bila belum
ada hasil penelitian yang menujukkan adanya suatu hubungan antara pajanan
dan penyakit tertentu, tetapi dari pengalaman sangat dicurigai adanya suatu
hubungan, maka itu baru dapat dijadikan dasar untuk melakukan penelitian awal.
Hubungan antara pajanan dengan penyakit juga perlu dilihat dari waktu
timbulnya gejala atau terjadinya penyakit, misalnya orang tersebut terpajan oleh
bahan tertentu terlebih dahulu, sebelum mulai timbul gejala atau penyakit.
Contoh lain adalah pada Asma Bronkhiale. Bila didapatkan, bahwa serangan asma
lebih banyak terjadi pada waktu hari kerja dan berkurang pada hari libu, masa
cuti atau pada waktu tidak terpajan, hal ini akan sangat mendukung ke diagnosis
Asma Akibat Kerja. Sehingga anamnesis mengenai hubungan gejala dengan
pekerjaan perlu dilakukan juga dengan teliti. Adanya hasil pemeriksaan pra-kerja
mengenai penyakit akan mempermudah menentukan, bahwa penyakit terjadi
sesudah terpajan, namun tidak adanya hasil pemeriksaan pra-kerja dan/atau hasil
pemeriksaan berkala bukan berarti tidak dapat dilakukan diagnosis penyakit
akibat kerja.
Langkah 4. Menentukan apakah pajanan yang dialami cukup
Untuk dapat menilai apakah suatu pajanan cukup besar untuk dapat
menyebabkan penyakit tertentu, perlu dimengerti patofosiologi dari penyakit
tersebut dan bukti epidemiologis. Cukup besarnya suatu pajanan dapat dinilai
secara kualitatif, yaitu dengan menanyakan kepada pasien mengenai cara kerja,
proses kerja dan bagaimana lingkungan kerja. Penting juga melakukan
pengamatan dan memperhitungkan masa kerja, yaitu berapa lama pekerja
tersebut sudah terpajan. Penilaian secara kuantitatif dapat menggunakan data
pengukuran lingkungan kerja terhadap pajanan tersebut, yang telah dilakukan
secara periodik oleh perusahaan atau data monitoring biologis yang ada. Bila
tidak ada, bisa dilakukan pengukuran pada saat akan dilakukan diagnosis penyakit
akibat kerja dan bila tidak ada perubahan dalam proses dan cara kerja secara
berarti pada masa kerja pekerja tersebut, dapat diasumsikan bahwa selama masa
kerja tersebut pekerja memperoleh pajanan dalam jumlah yang sama. Hasil
pengukuran yang didapat perlu dinilai apakah melebihi Nilai Ambang Batas, atau
termasuk terpajan tinggi atau tidak. Pemakaian alat pelindung perlu juga dinilai
apakah dapat mengurangi pajanan yang dialami secara berarti atau tidak, yaitu
bila jenis alat pelindung diri sesuai, dipakai secara benar dan konsisten.
Langkah 5. Menentukan apakah ada faktor-faktor individu yang berperan
Setiap penyakit selain disebabkan oleh faktor lingkungan dan/atau faktor
pekerjaan, pasti juga ada faktor individu yang berperan. Perlu dinilai seberapa
besar faktor individu itu berperan, sehingga dapat dimengerti mengapa yang
terkena adalah individu pekerja tersebut dan bukan seluruh pekerja ditempat
yang sama. Faktor individu yang mungkin berperan adalah riwayat atopi atau
Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | 52
alergi, riwayat dalam keluarga, higiene perorangan dsb. Adanya faktor individu
yang berperan tidak berarti diagnosis penyakit akibat kerja menjadi batal namun
diperlukan untuk menilai seberapa besar faktor individu ikut berperan.
Langkah 6. Menentukan apakah ada faktor lain diluar pekerjaan
Faktor lain diluar pekerjaan, adalah pajanan lain yang juga dapat menyebabkan
penyakit yang sama, namun bukan merupakan faktor pekerjaan, misalnya rokok,
pajanan yang dialami dirumah, adanya hobi, dan sebagainya. Bila ternyata faktor
pekerjaan tidak ada yang berhubungan dengan penyakit, ada kemungkinan faktor
penyebab diluar pekerjaan yang lebih berperanan. Namun adanya kebiasaan
tertentu dari pekerja, misalnya merokok, tidak bisa meniadakan faktor penyebab
di pekerjaan. .
Langkah 7. Menentukan Diagnosis Okupasi / Diagnosis Penyakit Akibat Kerja
Kaji seluruh informasi yang telah dikumpulkan dari langkah-langkah terdahulu.
Berdasarkan bukti-bukti dan referensi mutakhir yang ada, buat keputusan apakah
penyakit yang diderita adalah penyakit akibat kerja atau tidak. Diagnosis sebagai
penyakit akibat kerja dapat dibuat bila dari langkah-langkah diatas dapat
disimpulkan, bahwa memang ada hubungan sebab-akibat antara pajanan yang
dialami dengan penyakit dan faktor pekerjaan merupakan faktor yang bermakna
terhadap terjadinya penyakit dan tidak dapat diabaikan, meskipun ada faktor
individu atau faktor lain yang ikut berperan terhadap timbulnya penyakit.
Tabel dibawah ini merupakan table kosong yang harus diisi oleh dokter pada saat
dokter melakukan langkah-langkah diagnosis okupasi. Setiap kolom merupakan
langkah diagnosis okupasi yang dilakukan untuk satu diagnosis klinis yang
ditemukan. Bila didapatkan lebih dari satu diagnosis klinis, maka harus dilakukan
7 langkah diagnosis okupasi untuk setiap diagnosis klinis tersebut.
Tabel 3. Tujuh langkah diagnosis okupasi setiap diagnosis klinis yang ditemukan
Langkah
1. Diagnosis Klinis
Dasar diagnosis
(anamnesis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan penunjang,body map,
brief survey)
2. Pajanan di tempat kerja
Fisik
Kimia
Biologi
Ergonomi
(sesuai brief survey)
Psikososial
Diagnosis 1
Diagnosis 2
Diagnosis 3
Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | 53
Langkah
Diagnosis 1
3 . Evidence Based (sebutkan secara teoritis)
pajanan di tempat kerja yang menyebabkan
diagnosis klinis di langkah 1 (satu).
Diagnosis 2
Diagnosis 3
Dasar teorinya apa?
4. Apa pajanan cukup menimbulkan
diagnosis klinis ??
masa kerja
jumlah jam terpajan per hari
Pemakaian APD
Konsentrasi/dosis pajanan
Lainnya .....................
Kesimpulan jumlah pajanan dan dasar
perhitungannya
5. Apa ada faktor individu yang
berpengaruh thd timbulnya diagnosis
klinis? Bila ada, sebutkan.
6 . Apa terpajan bahaya potensial yang
sama spt di langkah 3 di luar tempat
kerja?Bila ada, sebutkan
7 . Diagnosis Okupasi
Apa diagnosis klinis ini termasuk
penyakit akibat kerja?
Bukan penyakit akibat kerja (diperberat
oleh pekerjaan atau bukan sama
sekali PAK)
Butuh pemeriksaan lebih lanjut)?
Diagnosis Okupasi/Diagnosis Penyakit Akibat Kerja tidak dapat ditegakkan, bila
dari referensi tidak ditemukan adanya hubungan antara pajanan dengan penyakit,
pajanan yang dialami tidak cukup besar untuk dapat menyebabkan penyakit
tersebut (secara kuantitatif maupun kualitatif, secara kumulatif dari masa kerja).
PERDOKI (Perhimpunan Spesialis Kedokteran Okupasi Indonesia) membuat
pembagian dari hasil akhir suatu Diagnosis Okupasi menjadi:
1. Penyakit Akibat Kerja : disini termasuk Occupational Diseases dan Work
Related Diseases
2. Penyakit yang diperberat oleh pekerjaan: ada unsur pajanan di lingkungan
kerja dan juga di luar lingkungan kerja dan atau faktor individu pekerja
Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | 54
3. Bukan Penyakit Akibat Kerja; hanya ada unsur pajanan di luar lingkungan
kerja dan faktor individu pekerja
4. Masih memerlukan data tambahan, artinya belum final dan masih
memerlukan pemeriksaan tambahan untuk dapat menentukan hasil akhir
DAFTAR PUSTAKA
1. Soemarko DS, Sulistomo AB, dkk. Buku konsensus diagnosis okupasi sebagai
penentuan penyakit akibat kerja. Jakarta: Perhimpunan Spesialis Kedokteran
Okupasi Indonesia dan Kolegium Kedokteran Okupasi Indonesia, 2011.
2. ILO . Occupational Health Services in ILO Encyclopaedia, 2000 : 16.1-62
3. Levy Barry S and Wegman David H. Occupational Health: Recognizing and
Preventing Work Related Diseases and Injury. USA: Lippincott Williamas and
Wilkins, 2000.
4. World Health Organisation. Deteksi Dini Penyakit Akibat Kerja. World Health
Organization, 1993.
5. New Kirk William. Selecting a program Philosophy, structure and Medical
Director, in Occupational Health Service : Practical Strategis Improving Quality
dan Controlling Costs. American Hospital Publishing, Inc. USA. 1993
6. ILO. Ethical Issue in ILO Encyclopaedi. 2000: 19.1- 30
7. Yanri Zulmiar, Harjani Sri, Yusuf Muhamad. Himpunan Peraturan Perundangan
Kesehatan Kerja. PT Citratama Bangun Mandiri. Jakarta 1999.
8. Jamsostek. Kumpulan Peraturan Perundangan Jamsostek.Jakarta. 2003
9. Dewan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Nasional. Pedoman Diagnosis dan
Penilaian cacat karena Kecelakaan dan Penyakit Akibat Kerja. Jakarta. 2003
10. WHO. International Classification of Functioning, Disability and Health.
Geneva
11. Dep. IKK FKUI dan Kolegium Kedokteran Okupasi Indonesia. Kurikulum PPDS
Kedokteran Okupasi Indonesia. Jakarta. 1998
12. Kompetensi dokter pemberi pelayanan kesehatan kerja dan kedokteran
okupasi, Kolegium Kedokteran Okupasi Indonesia, 1998.
13. La Dou, Current Occupational and Environmental Medicine, Lange Medical
Books/ Mc Graw Hill, , 2004
14. Zens Dickerson Novark, Occupational Medicine
15. National Institute for Occupational and Safety and Health, University of
Medicine and Dentistry of New Jersey. NIOSH Spirometry training Guide.
December 2003.
16. Maizlish, Neil A., ed. Workplace Health Surveillance, An Action-Oriented
Approach, Oxford University Press, Inc. New York, 2000
17. Newkirk W.L.ed., Occupational Health Services , Practical Strategies for
Improving Quality and Controlling Costs, American Hospital Publishing Inc.
USA, 1993.
18. Pusat Keselamatan dan Kesehatan Kerja Kemeterian Tenaga Kerja dan
Transmigrasi RI. Laporan survey tahun 2007-2009. Jakarta, Desember 2010.
Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | 55
19. Direktorat Kesehatan kerja dan olah raga Kementerian Kesehatan RI dan
PERDOKI. Buku Pelatihan Diagnosis PAK. Jakarta, April 2011.
20. Soemarko DS. Stress at the workplace in Indonesia. Malindobru. Jakarta, Juli
2009.
21. Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas FKUI. Kumpulan abstrak penelitian
Kedokteran Kerja tahun 2008. Jakarta.
Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | 56
PANDUAN PELAKSANAAN PLANT SURVEY
Dewi Soemarko, Astrid Sulistomo, Muchtaruddin Mansyur, Fikri Effendi,
Ambar Roestam, Nuri Purwito Adi
Divisi Kedokteran Okupasi, Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia
I. PENDAHULUAN:
Seorang pekerja menghabiskan paling sedikit sepertiga dari kehidupan masa
dewasanya di tempat kerja. Lingkungan kerja dan kegiatan yang dilakukan pada
waktu kerja dapat sangat berbeda dengan lingkungan dan kegiatan sehari-hari di
luar pekerjaannya. Di lingkungan kerja seorang pekerja dapat terpajan oleh bising,
debu tinggi, suhu ekstrem, berbagai bahan kimia, radiasi atau bahan biologis dll.
Pada waktu melakukan pekerjaan, seorang pekerja dapat mengangkat beban
berat, melakukan kegiatan fisik berat, duduk seharian atau berada pada sikap
statis lainnya, selain itu juga melakukan gerakan-gerakan yang tidak alamiah. Alat
kerja yang digunakan bisa alat yang bervibrasi, memerlukan tenaga untuk
mengoperasikan atau memerlukan gerakan berulang.
Semua hal tersebut dapat menimbulkan masalah kesehatan atau merupakan
risiko untuk terjadi kecelakaan, bila tidak diantisipasi dan dilakukan pengendalian
terhadap pajanan. Upaya pengendalian pajanan ditempat kerja dan pencegahan
penyakit akibat kerja, dikenal sebagai upaya Kesehatan dan Keselamatan Kerja,
yang wajib dilakukan oleh semua perusahaan untuk melindungi pekerjanya.
Populasi tenaga kerja di Indonesia meningkat terus, jumlah tenaga kerja di
Indonesia yang pada tahun 1997 masih sekitar 89 juta, menurut data Badan Pusat
Statistik tahun 2007, saat ini sudah mencapai sekitar 108,13 juta orang. Sekitar
68% tenaga kerja bekerja di sektor informal. Jumlah tenaga kerja perempuan di
Indonesia sudah sekitar 40% Umumnya pekerja Indonesia masih berpendidikan
rendah, khususnya di sektor informal lebih banyak masih lulusan Sekolah Dasar
dan Sekolah Menengah Pertama.
Seorang dokter di fasilitas kesehatan layanan primer harus mampu mendeteksi
bahaya potensial di tempat kerja, mengidentifikasi risiko masalah kesehatan yang
terjadi di tempat kerja serta mengelola masalah kesehatan seorang pasien secara
komprehensif, dengan memperhatikan aspek pekerjaan dan lingkungan, pada
pasien bekerja.
Kegiatan Plant Survey dapat merupakan upaya pengenalan bagi dokter layanan
primer untuk mengenal risiko atau potensi bahaya yang dihadapi komunitas
Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | 57
pekerja sehari-hari selama masa produksinya, sehingga diharapkan dokter yang
bekerja di fasilitas kesehatan tingkat primer dapat memperhatikan aspek
lingkungan dan pekerjaan dalam mengelola masalah kesehatan.
II. PENGERTIAN:
Plant Survey adalah suatu kunjungan ke perusahaan dengan tujuan untuk
mendapatkan gambaran mengenai alur kerja, cara kerja pekerja, bahaya
potensial yang dihadapi dan perlindungan yang telah diberikan perusahaan
dengan cara observasi, wawancara dan pengukuran. Apabila dilakukan hanya
pada satu kali kunjungan dan tidak melakukan pengukuran, juga sering disebut
sebagai walk through survey.
Kegiatan plant survey dilakukan dalam sebuah tim yang terdiri dari dokter dan
tenaga kesehatan terkait untuk melakukan observasi, wawancara, dan
pengukuran dengan menggunakan daftar tilik yang telah disusun sebelumnya.
Dalam bahasa Indonesia, sering digunakan istilah ’Kunjungan Perusahaan’ namun
tidak selalu tepat, karena istilah tersebut digunakan untuk semua kegiatan
berkunjung ke perusahaan, termasuk hanya melihat bagaimana suatu produk
dibuat.
III. TUJUAN:
Tujuan kegiatan plant survey bagi dokter layanan primer adalah:
Tujuan umum:
Agar dokter secara langsung melihat lingkungan kerja dan proses kerja suatu
komunitas pekerja yang dapat merupakan faktor risiko gangguan kesehatan dan
kecelakaan yang mungkin, sehingga memahami pengaruh lingkungan terhadap
kesehatan.
Tujuan khusus:
1.
Mampu mengidentifikasi bahaya potensial/faktor risiko terhadap
kesehatan dan keselamatan pekerja di suatu perusahaan/tempat kerja
yang berhubungan dengan masalah kesehatan pasien
2.
Mampu mengidentifikasi gangguan kesehatan yang mungkin timbul
dengan adanya bahaya potensial tertentu di suatu tempat kerja.
3.
Mampu menjelaskan upaya perlindungan dan pencegahan yang telah
dilakukan oleh perusahaan.
4.
Mampu memberikan rekomendasi untuk perbaikan upaya kesehatan
dan keselamatan kerja bagi pekerja di suatu perusahaan, yang bersifat
evidence – based (berdasarkan referensi yang mutakhir)
Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | 58
IV. PERSIAPAN:
Sebelum melakukan kunjungan ke perusahaan tim plant survey yang dipimpin
oleh dokter layanan primer harus melakukan persiapan sebagai berikut:
 Menentukan waktu kunjungan
 Meminta ijin resmi ke perusahaan
 Membentuk tim dan pembagian tugasnya
 Membaca referensi mengenai K3 sesuai dengan jenis perusahaan untuk
mengetahui faktor-faktor yang perlu diamati dan jenis informasi yang
harus dikumpulkan
 Menyusun daftar tilik dan daftar pertanyaan yang akan digunakan
 Mengadakan pembagian tugas selama kunjungan agar pencapaian
kunjungan dapat seefektif mungkin. Semua anggota tim diharapkan
mengamati secara keseluruhan sesuai daftar tilik yang telah disusun
sebelumnya.
V. PELAKSANAAN:
a. Pakaian yang digunakan:
Pada waktu melakukan plant survey, seluruh anggota tim harus menggunakan
pakaian yang nyaman dan sesuai untuk berjalan jauh dan observasi di lapangan,
karena ini adalah kunjungan kerja dan sebagai profesi kesehatan harus
memperhatikan aspek keselamatan. Seluruh anggota tim hendaknya
menggunakan:
-Pakaian:
o Bersih dan sopan
o Celana panjang (bukan jeans)
o Atasan kemeja/blus bahan katun atau polo-shirt (Kaos berkrag)
-Alas kaki:
o Sepatu tertutup, tidak pakai hak
o Sol dari karet
o Boleh memakai sepatu olah raga atau bagi yang memiliki: Safety shoes
Bagi anggota tim yang berambut panjang, rambut harus diikat.
b. Kegiatan di perusahaan:
Seluruh anggota tim akan berangkat bersama-sama ke perusahaan. Sesampainya
di anggota tim berpencar sesuai pembagian tugasnya.
Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | 59
Data-data yang harus diambil:
- Informasi mengenai profil perusahaan, struktur organisasi, tim K3,
sarana dan fasilitas yang ada
- Informasi bahaya potensial (fisik, kimia, ergonomi, biologi dan
psikososial) yang ada di masing-masing bagian produksi
- Informasi risiko kecelakaan dan penyediaan/pengunaan APD, Alat
pemadam kebakaran di masing-masing bagian produksi
- Informasi mengenai kunjungan klinik, penyakit dan/atau kecelakaan
yang ada pada 1 tahun terakhir
- Informasi/mencatat keadaan lingkungan perusahaan seperti kebersihan
tempat kerja, kamar kecil dan kantin dsb
- Bila perlu gunakan kamera dan alat perekam suara untuk dokumentasi
data.
- Bila memungkinkan minta nomer telpon dari contact person agar masih
bisa meminta infomasi bila dibutuhkan.
c. Analisis data:
1.
2.
3.
Informasi umum perusahaan
Alur produksi
Program kesehatan dan keselamatan kerja yang telah dilakukan
perusahaan
4. Identifikasi faktor risiko/bahaya potensial fisika, kimia, biologi, ergonomi,
psikososial pada masing-masing bagian produksi
5. Identifikasi masalah kesehatan dan kecelakaan yang mungkin terjadi
akibat faktor risiko/bahaya potensial pada poin no 4 di masing-masing
bagian produksi
6. Membuat rencana intervensi dan/atau program untuk setiap masalah
masalah kesehatan dan kecelakaan yang mungkin terjadi akibat faktor
risiko/bahaya potensial pada poin no 5 di masing-masing bagian
produksi
7. Membuat rekomendasi kepada perusahaan berdasarkan hasil kunjungan
plant survey yang telah dilakukan
Referensi:
Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | 60
KESELAMATAN PASIEN DAN PEKERJA
Dewi Sumaryani Soemarko
Divisi Kedokteran Okupasi, Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia
PENDAHULUAN
Hal yang dianggap paling mendasar dalam pelayanan kesehatan adalah kasus
infeksius. Kasus Infeksi nosocomial, contohnya merupakan sesuatu yang
dikuatirkan oleh petugas kesehatan.
Diketahui bahwa kasus infeksi yang terjadi di pasien rawat inap di fasilitas
pelayanan kesehatan di dunia rata-rata 9% dari 1,4 juta pasien. Bagaimana
dengan data di Indonesia, secara detail belum ada tetapi dapat terlihat adanya
angka kesakitan dan angka kematian yang cenderung meningkat.
Hasil dari Quick Investigation of Quality di 17 Kabupaten di Indonesia pada tahun
2002, dari 273 observasi menemukan 18,7% petugas mencuci tangan sebelum
memeriksa pasien, 61,25% mencuci tangan sesudah memeriksa pasien, 20%
petugas membuang benda tajam dengan benar dan 45% petugas melakukan
proses dekontaminasi. Kegiatan ini meningkat pada tahun 2004, dimana dari 237
observasi ditemukan 76,8% petugas mencuci tangan sebelum memeriksa, 88,6%
petugas mencuci tangan sesudah memeriksa pasien, 85,7% petugas membuang
benda tajam dengan benar dan 86,4% petugas melakukan dekontaminasi.
Melihat dari penelitian di atas, dapat disimpulkan bahwa Program K3 (Kesehatan
dan Keselamatan Kerja) pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan di Indonesia belum
banyak diterapkan. Ini terlihat dengan belum banyaknya petugas Kesehatan yang
mengerti dan menjalankan Kesehatan dan Keselamatan Kerja, seperti melakukan
pekerjaan dengan aman dan nyaman.
Ruang lingkup penting dalam Kesehatan dan Keselamatan Kerja di Pelayanan
Kesehatan yang ingin dibahas adalah Keselamatan pasien dan Keselamatan
pekerja serta Environmental Safety. Walaupun disadari bahwa Equipment safety
dan Green Productivity juga termasuk hal yang secaratidak langsung akan dibahas
dalam makalah ini
Tujuan
Tujuan program K3 di fasilitas kesehatan, terutama adalah melindungi pekerja
dari kejadian kecelakaan dan penyakit akibat kerja dan terciptanya cara kerja dan
lingkungan kerja pekerja yang aman (terhindar dari penyakit dan kecelakaan),
nyaman (saat bekerja dan nyaman di hati) serta sehat.
Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | 61
Untuk mencapai tujuan tersebut maka perlu diketahui bahaya potensial (hazards)
apa yang ada di lingkungan kerja (biologi, kimia, fisika, ergonomi dan psikososial),
juga perlu diketahui efek kesehatan/penyakit yang akan terjadi akibat hazard
tersebut dan bagaimana melakukan antisipasi/ membuat Program
penanggulangannya.
Dalam pembicaraan kali ini tujuan yang ingin dicapai adalah:
1. Memahami Ruang lingkup Keselamatan pasien dan Keselamatan pekerja dalam
praktek pelayanan kesehatan primer
2. Memahami Sasaran dan target Keselamatan pasien dan Keselamatan pekerja
3. Memahami Prinsip-prinsip dasar Keselamatan pasien
4. Memahami Prinsip-prinsip dasar Keselamatan pekerja
Sasaran
Sasaran utama dari program Kesehatan dan Keselamatan Kerja adalah Pekerja.
Sasasan lainnya di pelayanan kesehatan adalah klien, dalam hal ini pasien di
pelayanan kesehatan, juga lingkungan fasilitas pelayanan kesehatan dan
pengunjung fasilitas tersebut.
Sasaran dan target pada pembicaraan dalam makalah ini:
1. Pasien fasilitas pelayanan kesehatan
2. Pekerja pemberi pelayanan kesehatan
3. Pengunjung fasilitas pelayanan kesehatan
4. Lingkungan/ fasilitas pelayanan kesehatan
Landasan Hukum
Beberapa landasan hukum yang digunakan dalam program K3 di pelayanan
kesehatan seperti yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan:
Surat Edaran
Dirjen Yanmed, tentang instruksi membentuk PK3RS di Rumah Sakit, Keputusan
Dirjen PPM & PLP (1993) tentang persyaratan kesehatan lingkungan RS, Undang
Undang no 23/1992 dan Peraturan Menteri Kesehatan no 986/1992, Undang
Undang no36 /2009 tentang Kesehatan.
Kebijakan dari pemerintah tertuang dalam Keputusan Menteri Kesehatan no
270/Menkes/III/2007 tentang Pedoman Manajerial Pengendalian Infeksi di RS dan
Fasilitas kesehatan. Dan juga dengan adanya Keputusan Menteri Kesehatan no
381/Menkes/III/2007 tentang Pedoman Pengendalian Infeksi di Rumah Sakit dan
fasilitas kesehatan
Sementara landasan hukum yang ada di Kementerian Tenaga Kerja dan
Transmigrasi: Undang Undang no 1/1970 tentang Keselamatan Kerja, Peraturan
Menteri Tenaga Kerja danTransmigrasi tahun 1980, 1982 & 1996 serta
Kep.68/Men/IV/2004 mengenai AIDS ditempat kerja.
Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | 62
Bahaya Potensial (Hazard)
Pajanan (Hazards/Bahaya potensial) yang ada di fasilitas pelayanan kesehatan
secara garis besar dapat dibagi menjadi 5 golongan besar, yaitu fisik, kimia,
biologi, ergonomi dan psikososial. Secara jelas dapat di lihat pada tabel dibawah
ini
Tabel1. Bahaya Potensial di fasilitas Pelayanan Kesehatan
BIOLOGI
KIMIA
Ethylene
Oxide
Formaldehyde
Virus:
- Hepatitis B, C
- HIV/AIDS
Glutaraldehyde Obat Ca
Bakteri:
- TBC
Gas Anestesi Mercury Chlorine
Risiko terpajan faktor biologis di Fasilitas Pelayanan Kesehatan merupakan hal
terbesar yang ada dan dianggap dapat menimbulkan gangguan kesehatan pada
pekerjanya. Tempat dan kegiatan yang diperkirakan adanya pajanan biologi di
fasilitas pelayanan kesehatan, yaitu: Unit Pelayanan medis pada pasien (Unit
perawatan, unit rawat jalan, ruang operasi/tindakan), Laboratorium (bila ada),
Laundry (bila ada), Rumah Tangga (house keeping) dan Penanganan
sampah/limbah
Infeksi, sebagai akibat pajanan biologi dapat terjadi dari pasien ke petugas, pasien
ke pengunjung, dan antar orang di lingk. Fasilitas kesehatan
Sumber adanya pajanan biologi yaitu : penderita sendiri, personil pelayanan
kesehatan (dokter/perawat), pengunjung, dan lingkungan.
Kriteria infeksi berasal dari pelayanan kesehatan :
1. mulai dirawat tidak ada
tanda klinik infeksi dan tidak sedang dalam masa inkubasi infeksi tertentu.
2.
Infeksi timbul sekurang-kurangnya 72 jam sejak mulai dirawat.
3. Infeksi terjadi
pada pasien dengan masa perawatan lebih lama dari waktu inkubasi infeksi
tersebut.
4. Infeksi terjadi setelah pasien pulang dan dapat dibuktikan berasal
dari rumah sakit.
5. Infeksi terjadi pada neonates yang didapatkan dari ibunya
pada saat persalinan atau selama perawatan di rumah sakit.
KESELAMATAN PASIEN
Keselamatan pasien merupakan suatu issue mutu dan citra dari fasilitas
pelayanan kesehatan, baik itu fasilitas primer, sekunder dan tersier. Penilaian dari
hal tersebut pada umumnya dengan mengetahui Kejadian Tak Diharapkan (KTD)
yang sering ada di fasilitas tersebut.
Hasil penelitian di amerika serikat pada tahun 2000, ditemukan adanya KTD 2,9%
di Utah dengan 6% kasus meninggal dunia di rumah sakit. Sementara di New York
Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | 63
FISIK
Radiasi
panas
ditemukan kasus meninggal 13,6% dengan KTD 3,7%. Data di WHO (world Health
Organization)menyatakan kasus di Amerika Serikat, Inggris, Denmark dan
Australia ada KTD sebesar 3,2-16,6%. Bagaimana dengan kasus KTD di Indonesia?
Sampai saat ini data tentang KTD di Indonesia belum ada, yang ada keluhan mal
praktik terhadap petugas pemberi pelayanan kesehatan meningkat
Definisi
Keselamatan pasien adalah suatu sistem dimana fasilitas pelayanan kesehatan
membuat asuhan pasien lebih aman, mencegah terjadinya cidera yang
disebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak
mengambil tindakan yang seharusnya diambil
Tujuan Keselamatan pasien:
Tujuan dilakukannya kegiatan Keselamatan pasien adalah untuk menciptakan
budaya keselamatan pasien di fasilitas pelayanan keehatan, meningkatkan
akuntabilitas faslititas pelayanan kesehatan, menurunkan Kejadian Tak
Diharapkan di daasilitas pelayanan kesehatan, terlaksananya program-program
pencegahan sehingga tidak terjadi pengulangan kejadian tidak diharapkan.
Ruang lingkup Keselamatan pasien
Ruang lingkup Keselamatan pasien adalah membuat dan melakukan:
1. Asesmen risiko,
2. Identifikasi dan pengelolaan hal yg berhub dg risiko pasien,
3. Pelaporan dan analisis insiden
4. Kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjutnya
5. Implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya risiko
Istilah-istilah
1. Medical error: Adalah kesalahan yang terjadi dalam proses asuhan medis
yang mengakibatkan cedera pasien sehingga gagal melaksanakan suatu
kegiatan/ salah rencana
2. Near miss: Adalah kesalahan akibat melaksanakan tindakan yang seharusnya
diambil, sehingga dapat mencederai pasien, tetapi cedera tidak serius atau
tidak terjadi cedera
3. Adverse even (kejadian tak diharapkan=KTD): Kejadian Tak Diharapkan yang
mengakibatkan cedera pasien akibat melaksanakan tindakan/ tidak
mengambil tindakan seharusnya, bukan karena penyakit dasarnya / kondisi
pasien
4. Sentinel
even:
Kejadian
Tak
Diharapkan
yang
mengakibatkan
kematian/cedera serius (kejadian sangat tidak diharapkan/tidak dapat
diterima, misalnya: salah lokasi operasi, masalah berhubungan dengan
kebijakan dan prosedur yang berlaku
Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | 64
Pada pelaksanaan Keselamatan pasien di rumah sakit ada 7 standar yang perlu
diperhatikan, yaitu:
1. Hak pasien
2. Mendidik keluarga dan pasien
3. Keselamatan pasien & kesinambungan pelayanan
4. Penggunaan metode peningkatan kinerja ( untuk evaluasi dan Program K3 –
patient safety)
5. Peran kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien
6. Mendidik staf tentang keselamatan pasien
7. Komunikasi merupakan kunci bagi staf utk keselamatan pasien
Untuk Keselamatan pasien yang dilaksanakan di fasilitas pelayanan kesehatan
primer sudah disesuaikan, yang cocok adalah untuk standar-standar berikut di
bawah ini.
Standar 1. Hak pasien
Pasien dan keluarga mempunyai hak untuk mendapatkan informasi tentang
rencana pelayanan kesehatan yang akan dilakukan dan hasil pelayanan tersebut,
termasuk kemungkinan terjadinya KTD
Pada kegiatan ini Dokter pemberi pelayanan kesehatan primer adalah sebagai
dokter yang membuat perencanaan pelayanan, pemberi informasi pelayanan
yang diberikan kepada pasien dan keluarganya serta sebagai penanggung jawab
kegiatan tersebut
Standar 2. Mendidik keluarga dan pasien
Fasilitas Pelayanan Kesehatan, dalam hal ini pelayanan primer berkewajiban
mendidik pasien & keluarga tentang apa yang menjadi kewajiban & tanggung
jawab dalam pelaksanaan penatalaksanaan penyakit / keluhan pasien
Harus diperhatikan bahwa pasien dan keluarganya adalah patner dalam
pelayanan kesehatan, oleh karena itu pemberi pelayanan kesehatan perlu
memberikan informasi tentang :
- pelayanan kesehatan benar, jelas, lengkap dan jujur. - kewajiban & tanggung
jawab pasien dan keluarga
- ajukan pertanyaan hal yang tak dimengerti
- paham
dan terima konsekuensi pelayanan
- patuh instruksi dan hormati aturan RS - sikap menghormati dan tenggang rasa kewajiban finansial
Standar 3. Keselamatan pasien & kesinambungan pelayanan
Fasilitas Pelayanan Kesehatan menjamin berkesinambungan pelayanan dan
melakukan koordinasi antar tenaga dan antar unit pelayanan kesehatan.
Pada kegiatan ini dilakukan:
koordinasi pelayanan kesehatan secara menyeluruh
Koordinasi pelayanan kesehatan sesuai kebutuhan pasien
Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | 65
Koordinasi pelayanan: kesehatan dengan melakukan komunikasi dengan
keluarga
Komunikasi dan transfer informasi antar profesi kesehatan di fasilitas pelayanan
kesehatan primer Standar 4. Penggunaan metode peningkatan kinerja (untuk evaluasi dan
Program K3 – keselamatan pasien)
Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer melakukan pembuatan disain proses
baru/memperbaiki proses yang ada, melakukan monitor dan melakukan evaluasi
kinerja (pengumpulan data, melakukan analisis intensif Kejadian Tak Diharapkan),
melakukan perubahan untuk meningkatkan kinerja & keselamatan pasien. Dalam kegiatannya, diharapkan pelayanan kesehatan primer:
• mempunyai rancangan baik, mengacu visi, misi, tujuan, mengetahui kebutuhan
pasien, kebutuhan jumlah petugas, mengetahui kaidah klinis terkini,
melakukan praktik bisnis sehat & faktor lain sesuai
• Melakukan pengumpulan data kinerja tentang laporan insiden, akreditasi,
manajemen risk, utilisasi, mutu pelayanan, keuangan.
• melakukan evaluasi intensif semua KTD, melakukan kegiatan pro aktif untuk
mengevaluasi satu proses kasus risiko
• menggunakan semua data & informasi hasil analisis untuk perubahan sistem,
agar kinerja & keselamatan pasien terjamin Standar 7. Komunikasi merupakan kunci bagi staf utk keselamatan pasien
Falitas pelayanan kesehatan merencanakan dan mendisain proses manajemen
informasi internal dan eksternal. Proses transmisi data dan informasi harus
tepat waktu dan akurat Dalam melakukan kegiatan fasilitas pelayanan
kesehatan:
• Perlu menyediakan anggaran untuk merencanakan dan mendisain
proses manajemen agar diperoleh data dan informasi tentang hal terkait
keselamatan pasien
• Ada mekanisme identifikasi masalah dan kendala komunikasi utk revisi
manajemen informasi yg ada
Elemen Keselamatan pasien
1. Adverse Drug events (ADE) / Medication Error (ME)
2. Restrain Use
3. Nosocomial Infection
4. Surgical mishaps
5. Pressure ulcers
6. Blood Product safety (admnistration)
7. Antimicrobal Resistance
8. Imunization Programme
9. Falls
10. Blood Stream- vascular catheter care
Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | 66
11. Systematic review, follow up, and Reporting of Patients / Visitor of Incidance
Penyebab tersering dalam terjadinya kejadian tak diharapkan pada fasilitas
pelayanan lesehatan:
a.
Masalah komunikasi
b.
Tidak adekuat nya informasi tentang alur pelayanan
c.
Masalah personil
d.
Isue hubungan pemberi pelayanan kesehatan - pasien
e.
Transfer pengetahuan (Organizational transfer of knowledge)
f.
Pola penetapan staf atau beban kerja (Staffing pattern / work flow)
g.
Kegagalan teknis (Technical failures)
h.
Kebijakan yang in adekuat (Inadequate policies and procedure)
(Agency for Health and Research Quality) Publication no 04-RG005, December
2003
Target KESELAMATAN PASIEN INTERNATIONAL
1. Lakukan identifikasi pasien secara tepat (Identify Patient correctly)
2. Tingktkan Komunikasi efektif (Improve effective Communication)
3. Tingkatkan pemberian obat secara aman (Improve the safety of high-allert
medication)
4. Kurangi lokasi salah, pasien salah, prosedur bedah yang salah (Eliminate
wrong-site, wrong patient, wrong procedure surgery)
5. Turunkan risiko penularan infeksi petugas kesehatan (Reduce the risk of health
care- associated infection)
6. Kurangi risiko patien hatuh dari tempat tidurnya (Reduce the risk of patient
harm from falls)
Solusi Keselamatan pasien di Pelayanan Kesehatan
1. Hati-hati dengan nama obat, perhatikan nama, huruf dan bentuknya (Be
careful with the use of drug name, form and words that are similar).
2. Identitas pasien harus jelas (Identify clearly the identity of the patient).
3. Perlu komunikasi yang baik antar petugas pada saat pertukaran jaga
(Communication is true when the handover / transfer patients).
4. Pastikan melakukan sesuatu yang benar pada bagian tubuh yang benar (Make
sure the correct action on the right side of the body).
5. Monitoring larutan elektrolit (Control fluid electrolit (concetrated).
6. Gunakan alat suntik sekali pakai (Use of disposable injection equipment).
7. Tingkatan kegiatan cuci tangan untuk mencegah infeksi nosokomial (Increase
hand hygiene to prevent nosocomial infection).
8. Pastikan penanganan obat secara akurat setiap pertukaran atau pemindahan
pasien ( Ensure accuracy of the administration of drugs on the transfer of
service)
Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | 67
KESELAMATAN PEKERJA
Keselamatan pekerja merupakan salah satu bagian dari Program K3, dimana fokus
dari pembicaraan ini adalah tentang pekerja di fasilitas pelayanan kesehatan.
Keselamatan pekerja adalah keamanan pekerja yang bertujuan agar pekerja aman
dari penyakit dan kecelakaan serta mendapatkan kenyamanan hati dan
lingkungan kersa pada saat melakukan pekerjaannya.
Hazards terbanyak di fasilitas pelayanan kesehatan adalah hazards
biologi
Hazards biologis di lingkungan fasilitas pelayanan kesehatan dapat
berasal dari air, udara, lantai, makanan serta alat-alat medis maupun non
medis.
Sumber penularan bisa melalui tangan petugas kesehatan, jarum injeksi,
kateter, kasa pembalut atau perban, bisa juga karena penanganan yang keliru
dalam menangani luka.
Infeksi di fasilitas pelayanan kesehatan dapat mengenai Pasien, Petugas rumah
sakit yang berhubungan langsung dengan pasien, Penunggu pasien dan
Pengunjung pasien.
Cara penularan dapat terjadi dengan cara: Airborne diseases (droplet), Blood
borne diseases, skin contact dan waterborne diseases
Cara penularan yang dianggap paling penting pada pelayanan kesehatan adalah
Bloodborne pathogens, dimana mikroorganisme yang ada di darah, jaringan
tubuh, produk darah dan material yang berpotensi menularkan (OPIM)
Yang termasuk dalam OPIM didefinisikan oleh CDC (the Centers for Disease
Control) adalah:
• semen
• vaginal secretions
• cerebrospinal fluid
• pleural fluid
• peritoneal fluid
• pericardial fluid
• amniotic fluid
• synovial fluid
• breast milk (not all authorities agree)
• saliva dalam pelayanan gigi. Pekerja yang terpajan darah dan berpotensi tertular infeksi:
- mempunyai Tingkat risiko terinfeksi berdasarkan jumlah pasien yang ditangani
di pelayanan kesehatan, seberapa sering dan lama pajanan terhadap material
yang terkontaminasi darah
- Pekerja kesehatan banyak yang terkena penyakit hepatitis, hepatitis B virus
(HBV) atau hepatitis C virus (HCV) dan acquired immunodeficiency syndrome
Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | 68
(AIDS)
Hepatitis B
HBV : bentuk serius virus hepatitis (most serious form of viral hepatitis), biasanya
dirujuk sebagai serum hepatitis (commonly referred to as serum
hepatitis).
Ditemukan 300,000 kasus infeksi Hepatitis B di Amerika Serikat. HBV
menyebar melalui darah dan yang terkontamiasi darah (inoculation through the
skin), dari ibu yg terinfeksi (transplacental), or via sexual contact.
Transmisi HBV pada petugas kesehatan: tertusuk jarum/benda tajam terinfeksi.
Pekerja tidak imunisasi : 6 - 30% jadi Hepatitis B pasca tertusuk jarum terinfeksi.
Infeksi dapat terjadi melalui mata (konjunctiva) , mukosa yang treinfeksi darah.
Dapat terjadi juga di Laboratorium, klinik hemodialisa.
Pencegahan: imunisasi Hepatitis B (HBV vaccine) dan follow up pasca pajanan
Gejala: masa inkubasi 4 to 28 minggu.
Gejala berhub dg akut hepatitis B: sakit kepala, kehilangan napsu makan,mual,
muntah, demams. Urine berubah warna kecoklatan, Icterus (sklera kuning
kadang- kadang ).
87-90%: imun ; 7% carier
1-3 %: progresif jadi kronik, dapat jadi sirosis, kanker hati atau keduanya. Hepatitis C:
-HCV: adalah penyebab predominan hepatitis non A –non B (the
predominant agent of non- A-non-B hepatitis).
-Penyebaran dominan melalui
pajanan darah atau yg terinfeksi (parenteral route / inoculation through the
skin).
- Penularan dari ibu ke anak (transplacental), via sexual contact appears to
be inefficient. HCV
- Penularan post-transfusion hepatitis.
- Risiko tinggi :
intravenous drug abusers dan past recipients of blood or blood products. Petugas Kesehatan: risiko HCV sama dg populasi biasa. - Penularan: tertusuk
jarum suntik/benda tajam terinfeksi Penelitian: 4% pekerja HCV-positive
tertusuk jarum yang terinfeksi sebelumnya
• Gejala Masa inkubasi:2- minggu-6 bulan. Gejala akut hepatitis hampir sama dg
hepatitis Cronic liver disease: pada 50% individu dg hepatitis C akut.
• sekitar 20% chronic liver disease akan jadi chronic active hepatitis yang
berhubungan dengan peningkatan kanker dan sirosis hati.
HIV
- HIV, the etiologic agent of AIDS,
- penularan dari darah, parenteral route
(inoculation through the skin),transplacental, via sexual contact.
- umumnya
terjadi pada lelaki homosexual and bisexual, intravenous drug abusers,
heterosexuals dengan banyak patner seks, dan hemofili & penerima
darah/produk darah terinfeksi
- Petugas kesehatan : ditemukan kasus < 5% AIDS tiap tahun, banyak
nonoccupational risk factors.
-Gejala: Beberapa individu: , a flu-like illness(1-6
minggu) pasca pajanan. Demam,
Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | 69
berkeringat, malaise, nyeri otot, hilang napsu makan , mual, diare, sakit
tenggorokan. setelah bbrp lama: symptom-free (latent) 7-10 tahun,
Risiko untuk petugas kesehatan:
- Risiko penularan HIV setelah luka tusuk jarum suntik yang terkontaminasi HIV
adalah 4: 1000.
- Risiko penularan HBV setelah luka tusuk jarum suntik yang terkontaminasi HBV
-8
27 - 37: 100 Setidaknya 10 ml (.00000001 ml) darah yang yang mengandung
HBV dapat menularkan virus berbahaya ini ke tubuh manusia yang rentan.
- Risiko penularan HCV setelah luka tusuk jarum suntik yang
mengandung HCV
3 - 10 : 100
Tabel:Cairan tubuh dan risiko terpecik
RISIKO TINGGI
Darah, serum Semen
Sputum, nanah Vaginal secretions
Risiko tidak diketahui
Cairan Amnion
Cairan Serebrospinalis Cairan Pleura
Cairan Peritoneal Cairan
Pericardial Cairan Sinovial
RISIKO RENDAH*
Lendir serviks Bahan muntahan Tinja
Air liur
Keringat Air mata Urin
ASI
* Kecuali terlihat terinfeksi dengan darah
Issue: Keselamatan pasien, keselamatan pekerja, environtmental safety,
institutional safety, bussiness safety (Menkes, Nov 2011)
Health care Association Infection (HAIs): pasien, petugas, pengunjung Program
Pengendalian Infeksi (PPI)
Merupakan suatu program yang dilakukan khususnya di fasilitas pelayanan
kesehatan untuk mengurangi terjadinya penularan penyakit yang disebabkan oleh
hazards biologi.
Program pencegahan Infeksi ini terdiri dari beberapa kegiatan, yaitu:
a. Pencegahan Infeksi,
b. Pendidikan dan Pelatihan,
c. Surveilens,
d. Penggunaan obat yg rasional
a.Pencegahan Infeksi
Prinsip Dasar kegiatan ini adalah
• Mencuci tangan sesudah kontak dengan pasien
Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | 70
• Tidak menutup jarum suntik dengan 2 tangan
• Pembuangan benda tajam dalam tempat khusus
• Menggunakan Sarung tangan bila akan kontak dengan darah, cairan tubuh,
kulit luka & mukosa
• Memakai Alat Pelindung Diri bila kemungkinan terciprat
• Menutup semua luka sendiri
• Langsung membersihkan darah dll
• Sistem pembuangan sampah/limbah yang aman Body Substance Isolation
(BSI) , Lynch pada tahun1987 memperkenalkan beberapa kegiatan, sebagai
berikut:
b. Menggunakan Sarung tangan untuk semua kontak cairan tubuh
c. Melakukan Imunisasi staf terhadap berbagai penyakit (campak, rubella,
Hepatitis B)
d. Instruksi khusus untuk setiap penyakit menular Standar Precaution (CDC,
1996) adalah suatu program yang diperkenalkan dengan beberapa kegiatan
sebagai berikut
• Kewaspadaan baku:
– Diterapkan bagi semua klien/pasien
• Kewaspadaan berdasarkan penularan:
– Hanya diterapkan bagi pasien rawat
inap
Program diatas menggantikan Universal Precaution & Body substance Isolation,
program ini dikembangkan terus sampai tahun 2001
Kegiatan Pencegahan Infeksi:
A. Menghindari tertusuk jarum:
1. hindari suntikan tidak penting (misalnya penyuntikan antibiotika).
2. Pengurangan penyuntikan yang kurang diperlukan
3. Pergunakan jarum steril
4. Penggunaan alat suntik yang disposabel.
B. Masker, sebagai pelindung penyakit yang ditularkan melalui udara.
- petugas
- pasien infeksi saluran nafas, menggunakan masker saat keluar dari kamar
C. Sarung tangan,
digunakan terutama saat: menyentuh darah, cairan tubuh, feses maupun urine.
Sarung tangan diganti untuk tiap pasiennya.
D. Baju khusus
untuk melindungi kulit dan pakaian selama melakukan tindakan untuk cegah
percikan darah, cairan tubuh, urin dan feses.
E. Mencegah penularan dari lingkungan rumah sakit :
Pembersihan rutin - bersih dari debu, minyak dankotoran. Perlu diingat 90%
kotoran ada kuman.
Harus ada waktu teratur membersihkan dinding, lantai,
tempat tidur, pintu, jendela, tirai, kamar mandi, dan alat-alat medis yang telah
dipakai berkali-kali.
F. Pengaturan udara
Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | 71
Usahakan pakai penyaring udara, terutama pasien imun rendah dan infeksius
G. Selain itu, rumah sakit harus ada penyaring air dan menjaga kebersihan
H.
Sterilisasi air di rumah sakit dengan prasarana yang terbatas dapat
menggunakan panas matahari.
I. Toilet rumah sakit dijaga, terutama di unit perawatan pasien diare
Permukaan toilet harus selalu bersih dan diberi
J. Desinfektan yang dipakai adalah:
- punya kriteria membunuh kuman
- punya
efek sebagai detergen
- punya efek terhadap banyak bakteri, dapat
melarutkanminyak dan protein. - Tidak sulit digunakan
- Tidak mudah menguap
Bukan bahan yang mengandung zat yang berbahaya baik untuk petugas
maupun pasien
- Efektif
- tidak berbau, atau tidak berbau tak enak
K. Perbaiki ketahanan tubuh
L. Ruangan Isolasi
diperlukan untuk penyakit yang penularannya melalui udara, contoh:
tuberkulosis, dan SARS, yang mengakibatkan kontaminasi berat.
DHF dan HIV.
leukimia dan pengguna obat immunosupresan
Setiap orang berpotensi menularkan penyakit, oleh karena itu perlu melakukan:
• Cuci tangan dengan air mengalir dan sabun
• Usap tangan dengan larutan alkohol gliserin:
– 2 ml gliserin dalam 100 cc alkohol 60 – 90%
.
Pelindungan Barier yang protektif, dengan Alat Pelindung Diri
c. Sarung tangan
d. Masker/pelindung mata/muka
e. Apron/Celemek
f. Alas/penutup kaki Perlindungan: Cara Kerja Aman
• Mengelola jarum dan benda tajam lainnya
• Pembuangan jarum suntik dan benda tajam Berikut di bawah ini cara
melakukan pemrosesan alat-alat kesehatan: Issue Penting:
1.Pakai sarung tangan - tidak 100% terlindungdari penukaran infeksi - harus
digunakan untuk keadaan tertentu
2. Pelumas tangan dan krim tangan - pakai 2 kali sehari untuk mencegah
kering dan rawat dermatitis - vaselin / lanolin merusak sarung tangan lateks
3. Bahan antiseptik topikal
- pakai triklosan jangka panjang tidak
menyebabkan resisten, dan flora kulit normal masih ada
4. Kulit pecah, seperti luka lecet harus ditutup dengan pembalut tahan air. Bila
tak mungkin ditutup, maka tak usah melakukan pembedahan
5. Kuku jari, pada saat melakukan pelayanan kesehatan seharusnya pendek
6. Cat kukutidak digunakan
7. Perhiasan tidak boleh digunakan pada saat melakukan pembedahan b. Pendidikan dan Pelatihan
Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | 72
• Perlu dilakukan sosialisasi ke semua orang
• Program Pengendalian Infeksi (PPI): Pencegahan Infeksi, Pendidikan dan
Pelatihan, Surveilens, Penggunaan obat yg rasional
• Perlu dilatih tentang Pencegahan Infeksi dan Pengendalian Infeksi, kegiatan
yang paling sederhana adalah cuci tangan
c. Surveilance
• Tujuan dilakukan surveilens adalah :
1. mendapat data dasar
2. menurunkan angka infeksi
3. identifikasi kejadian luar biasa
4. meyakinkan petugas medis
5. evaluasi pengendalian
6. antisipasi malpraktek
Ditujukan untuk High risk people
Metode yang digunakan: • - cara melaksanakan (aktif, pasif)
• - waktu melaksanakan (berkala, terus-terus)
• - metode identifikasi kasus (obs kasus prospektif, kartu rekam medik,
pemakaian antibiotik, sampel bakteri) Prinsip Metode yang dilakukan harus
komprehensif d. Penggunaan obat yang rasional
• Penggunaan antibiotika yang tidak sesuai dan tidak terkontrol
• Dosis antibiotika yang tidak optimal
• Terapi dan pengobatan menggunakan antibiotika yang terlalu singkat
• Kesalahan diagnose dapat dikurangi dengan Pelayanan K3 pada pelayanan
kesehatan Pelayanan Kesehatan dan Keselamatan Kerja di fasilitas
pelayanan kesehatan meliputi : A. Pemeriksaan kesehatan pra kerja
B.
Pemeriksaan kesehatan berkala
C. Pendidikan K3 D. Imunisasi
E. Perawatan
penyakit dan kecelakaan akibat kerja
F. Konseling kesehatan
G. Pengawasan
lingkungan dan surveilens
H. Sistem arsip/pencatatan K3
I. Koordinasi
perencanaan antar departemen dan pelayanan
A.Pemeriksaan Kesehatan Pra Kerja
• Pemeriksaan fisik untuk semua pegawai
• Lakukan pemeriksaan penunjang : darah diff count, gula darah, ureum,
kreatinin, SGOT, SGPT, urin rutin
EKG sesuai indikasi, umur > 40 th
Chest X
ray test visus, tonometri, lapang pandang audiogram (sesuai indikasi) B.Pemeriksaan Kesehatan Berkala:
Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | 73
• Pemeriksaan fisik untuk semua pegawai
• Lakukan pemeriksaan penunjang: sesuai dg pajanan bising dengan
pemeriksaan audiometeri
debu dengan pemeriksaan spirometri
bahan kimia
: toluen dengan pemeriksaan as. Hipurat benzene dengan periksa fenol,
ttMA, s-PMA
karbamat (pestisida) dengan periksa asetil kolin esterase
Penting : pekerja yang baru sembuh sakit, pekerja yang akan dipindah
bagian, sebaiknya juga untuk yang mau pension C. Pendidikan K3
• Perlu tahu tugas yg harus dilakukan
• Perlu informasi ttg K3 utk semua pegawai D. Imunisasi
• Imunisasi sebaiknya dilakukan untuk semua pegawai yang terpajan bahaya
potensial biologis
E. Perawatan penyakit dan kecelakaan akibat kerja
• Perlu ada bagian khusus yang menangani pegawai untuk mendapatkan
pelayanan medis, konsultasi psikologi dan lainnya selama 24 jam
• Fasilitas yang memadai perlu diberikan untuk memberikan pelayanan medis,
bedah, psikologi dan rehabilitasi kepada semua pegawai
• Disediakan Konsultan yang kompeten
• Prosedur baku perlu diberikan agar pegawai tetap dapat berhubungan dengan
dokter keluarga atau dokter langganannya
• Perlu dilakukan follow up yang adekuat
• Pengobatan dan pelaporan kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja harus
dilakukan
F. Konseling Kesehatan
• Program yang terjangkau dan tersedia dalam pelayanan medis, psikologis dan
konseling sosial (mis: penghentian kebiasaan merokok, dll)
• Perlu dibuat sistim rujukan dan evaluasi untuk mengatasi masalah pegawai
• Apabila pelayanan sosial atau psikiatri belum ada, perlu dicari orang yg tertarik
dengan hal ini, di latih sebagai konselor G. Pengawasan lingkungan dan surveilens
• Sebagai bagian program kesehatan,di bawah langsung individu atau konsultan
yang capable dalam menangani bahaya potensial yang ada di RS
• Individu yang bertanggung jawab untuk kedokteran nuklir dan kegiatan
radiologi H. Sistim pencatatan K3
• setiap pegawai harus punya medical record sendiri, dan ada di unit
Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | 74
kesehatan.Catatan tersebut mencakup catatan pemeriksaan kesehatan ,
PAK/kecelakaan akibat kerja dan hal-hal yang berhubungan dengan kesehatan
• Catatan sebaiknya dibuat berdasarkan dan bulan dan tahun sesuai dengan
angka kesakitan dan angka kecelakaan kerja, dan juga laporan pengawasan
bahaya potensial di lingkungan
• Catatan pegawai bersifat rahasia dan hanya orang tertentu yang dapat
melihatnya I.Koordinasi perencanaan antar departemen dan pelayanan Komite K3 sebagai penasehat dalam program kesehatan kerja
Komite K3 dan
komite pengawasan infeksi harus memasukkan kesehatan pegawai RS dalam
perencanaannya
Anggota dari Program Kesehatan kerja harus berada dalam
komite K3 dan juga komite pengawasan infeksi Penanganan Bahan berbahaya dapat dilakukan dengan cara:
 Inspeksi dan monitoring berkala –
 mapping hazards
 Wawancara informal dengan pegawai
 Melakukan evaluasi medis
 Evaluasi lingkungan kerja
 Membandingkan dengan nilai standard
Yang perlu diantisipasi:
• Pencegahan: monitoring lingkungan kerja, penggunaan APD yg sesuai, cara
kerja yg benar
• Deteksi dini dilakukan dengan pemeriksaan berkala sesuai dengan pajanan
yang ada
• Bila sudah ada gejala maka pindahkan pekerja ke tempat yang tidak terpajan
• Pengobatan yang diberikan umumnya Simptomatis, tidak kausatif
Pencegahan:
1. Monitoring Lingkungan kerja
- perhatikan nilai ambang batas bahan
biologi/kimia/fisik
2. Pekerja : lakukan olah raga yang sesuai (physical Fitness), lakukan pelatihan
cara menggunakan bahan kimia, cara mengatasi keadaan darurat
3. Pengendalian Teknik: perawatan/perbaikan alat, gudang bahan kimia, lemari
bahan kimia, lemari obat
Pengendalian administrasi : SOP, aturan
administrasi, Program Pengendalian Infeksi Alat pelindung diri : sarung
tangan/ cimpal, apron, masker (?), penutup kepala, sepatu boot/karet
Masalah Pengelolaan Sampah di Negara-negara Berkembang
-Pengumpulan, insinerasi, enkapsulasi dan penguburan yang aman memerlukan
biaya
Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | 75
-Perlu ada sistem nasional pengelolaan limbah
-Sistem tersebut tidak akan terlaksana dalam
-
waktu dekat di tempat yang
memiliki sumber daya terbatas Empat Pilar Program Pengendalian Infeksi
Rekomendasi CDC Atlanta
Dukungan Manajerial
Pengendalian Administrasi
Pengendalian Lingkungan
Perlindungan Diri Penatalaksanaan pasca paparan virus HIV apabila percikan
terjadi:
1. Bila mengenai Kulit: Cucilah kulit dengan air dan sabun segera, Jangan
menggunakan bahan pemutih
2. Bila mengenai Mata, hidung dan mulut: maka segeralah bilas dengan air
selama 10 menit di lokasi tersebut
3. Bila Tertusuk jarum atau luka sayat: segeralah cuci dengan air dan sabun
di lokasi tersebut, Biarkan darah mengalir. Segera gunakan pembalut
Pertimbangan Pencegahan Pascapaparan (Post-exposure prophylaxis (PEP) :
1. Menilai risiko pajanan sesuai dengan:
- Sumber cairan atau benda
- Cara terpajan (tertusuk, terciprat)
- Status HIV /HBV/HCV dari sumber pajanan
2. Melakukan Tes HIV pada petugas kesehatan untuk data basis
3. Melakukan Imunisasi HBV atau kadar imunoglobulin
Catatan:- Bila memberi pengobatan profilaksis, harus diberikan dalam 1 – 2 jam
sesudah terpajan
-Rekomendasi CDC: - Zidovudine (ZDV) & lamivudine (3TC) - Lamivudine (3TC) &
stavudine (d4T)
- Didanosine (ddI) & stavudine (d4T)
Pemberian terapi selama 4 minggu dan
harus dilakukan tindak lanjut
REFERENCES
1. Kementerian Kesehatan RI. Keselamatan pasien (Keselamatan Pasien di Rumah
Sakit). Jakarta 2006
2. Tietjen L, Bossemeyer D, Mc Intosh N, Saifuddin AB, Sumapraja S, Djajadilaga,
Santoso IS. Panduan Pencegahan Infeksi untuk Fasilitas Pelayanan Kesehatan
dengan Sumber daya Terbatas. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo,
JNPKKR/POGI, JHPIEGO. Jakarta, 2004
3. ILO . Occupational Health Services in ILO Encyclopaedia, 2000 : 16.1-62
4. Levy and Wegman. Occupational Health : Recognizing and Preventing Work
Related Diseases and Injury. Lippincott Williamas and Wilkins. Phi. USA. 2000
5. New Kirk William. Selecting a program Philosophy, structure and Medical
Director, in Occupational Health Service : Practical Strategis Improving Quality
Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | 76
& Controlling Costs. American Hospital Publishing, Inc. USA. 1993
6. Yanri Zulmiar, Harjani Sri, Yusuf Muhamad. Himpunan Peraturan Perundangan
KEsehatan Kerja. PT Citratama Bangun Mandiri. Jakarta 1999.
7. Jamsostek. Kumpulan Peraturan Perundangan Jamsostek.Jakarta. 2003
Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | 77
LAMPIRAN 1. Contoh Evaluasi Program
Tabel 4. Tabel penetapan prioritas masalah
Importance
No
Daftar Masalah
P S RI DU SB PB PC
1 Tidak diperolehnya
4 4 2 4 3 1 2
data mengenai
keakuratan pencatatan
2 Kurangnya
3 5 2 3 5 5 1
pengendalian
ketersediaan obat di
puskesmas
kecamatanpulogadung
3 Belum adanya evaluasi
penggunaan obat yang
rasional dan tepat
4 Ketersediaan obat di
puskesmas kelurahan
tidak merata
T
R
Jumlah
(I x T x R)
2
2
80
2
3
144
4
3
1
4
5
3
1
3
2
126
4
3
2
3
5
2
1
3
2
120
Prevalensi
Pencatatan dan pelaporan merupakan salah satu aspek penting dari pengelolaan
obat yang ikut menentukan keberhasilan seluruh rangkaian pengelolaan obat /
perbekalan farmasi. Di puskesmas kecamatan pulogadung, pencatatan dan
pelaporan tiap bulan sudah dilaksanakan tepat waktu, namun data mengenai
keakuratan tidak ada. Pencatatan dan pelaporan data obat yang akurat dapat
memberikan perbaikan dalam efisiensi dan efektifitas manajemen obat. Oleh
karena itu besarnya masalah (prevalence) mendapat poin yang cukup besar.
Kami berikan nilai 4. Pengendalian ketersediaan obat di puskesmas merupakan
suatu hal yang sangat penting dalam pengelolaan obat. Apabila terjadi masalah
dalam aspek ini, maka dapat menimbulkan masalah lain dalam rangkaian proses
pengelolaan obat. Bila keadaan ini tidak teratasi dapat menyebabkan kualitas
pelayanan kesehatan masyarakat menjadi buruk. Masalah ini prevalensinya
cukup besar karena tidak dapat mencapai 100% dari tolok ukur. Pembobotan
yang diberikan 3. Masalah ke 3, juga cukup besar (prevalence) mengingat
evaluasi dalam pemakaian obat yang rasional dan tepat terhadap pasien akan
mempengaruhi masalah-masalah lain dalam manajemen obat. Diberikan nilai 4.
Ketersediaan obat di puskesmas kelurahan tidak merata, masalah ini memiliki
nilai prevalensi yang cukup besar karena ketersedian obat yang tidak merata
akan mengurangi ketepatan dalam pengobatan pasien secara langsung.
Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | 78
Severity
Pelaporan dan pencatatan pemakaian obat yang tidak akurat
dapat
mengakibatkan buruknya laporan dan tingkat kepercayaan yang rendah
terhadap pihak pengelola. Oleh karenanya untuk severity diberikan nilai yang
juga cukup besar. Untuk masalah ke dua, akibat yang ditimbulkan oleh masalah
ini cukup besar karena Puskesmas Kecamatan Pulogadung tidak melakukan
pengendalian ketersediaan obat dengan baik. Dampak yang dapat terjadi adalah
terbatasnya pemberian resep obat yang terbatas pada ketersediaan obat. Masalah ke
tiga, bila keadaan ini tidak teratasi, pada akhirnya dapat menyebabkan penyakit
pasien tidak terobati secara benar. Sehingga memberikan nilai severity yang
sedikit besar. Pada masalah ke empat, keparahan penyakit pasien penyakit tidak
langsung menjadi buruk dengan pengobatan yang kurang tepat, sehingga akibat
yang ditimbulkan dari masalah (severity) tidak besar.
Rate of increase, selanjutnya lakukan seperti prevalensi dan severity.
Gambar 4. Kerangka konsep dengan model diagram tulang ikan
Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | 79
Penentuan Prioritas Pemecahan Masalah
Pemilihan/penentuan prioritas cara pemecahan masalah ini dilakukan dengan
memakai teknik kriteria matriks. Dari berbagai alternatif cara pemecahan masalah
yang telah dibuat maka akan dipilih satu cara pemecahan masalah yang dianggap
paling baik dan memungkinkan.
Pemecahan masalah dengan koordinasi lintas sektor dan sosialisasi atau
penyuluhan paling besar dapat mengatasi masalah. Banyak penyebab masalah
yang dapat diatasi oleh kedua alternatif jalan keluar tersebut.
Koordinasi lintas sektoral berikut pembagian tugas dan tanggung jawab antara
Puskesmas dan pihak SD penting dilakukan karena hal ini dapat mengatasi
penyebab masalah yang berupa kurangnya tenaga kesehatan Puskesmas dalam
pelaksanaan program BIAS dan tidak adanya koordinasi berikut pembagian tugas
dan tanggung jawab antara Puskesmas, Sudin Dikdas, dan pihak SD. Dengan
koordinasi tersebut, pihak SD dapat mengetahui seberapa pentingnya BIAS
Campak dilaksanakan dan peranan mereka dalam pelaksanaan BIAS Campak ini.
Peran pihak sekolah dalam hal ini adalah dalam pendaftaran siswa yang ikut serta,
penginformasian kepada orangtua dan guru, penyediaan waktu dan tempat untuk
BIAS Campak dan dapat memberikan sumbangan tenaga dalam pelaksanaan
program. Koordinasi tidak cukup hanya Puskesmas dengan pihak SD tetapi juga
diperlukan koordinasi antara Puskesmas dengan Sudin Dikdas (Suku Dinas
Pendidikan Dasar) Jakarta Timur serta antara pihak SD dan Sudin Dikdas. Hal ini
penting karena jika tidak ada instruksi atau pemberitahuan dari Sudin Dikdas
(Suku Dinas Pendidikan Dasar), maka tidak ada tenaga yang mampu mendorong
pihak SD agar lebih proaktif menyukseskan program BIAS ini.
Pertemuan koordinasi berikut pembagian tugas dan tanggung jawab yang jelas
antara Puskesmas Kelurahan Pulo Gadung, Sudin Dikdas Jakarta Timur, dan pihak
SD se-Kelurahan Pulo Gadung membutuhkan banyak waktu dan persiapan yang
baik karena melibatkan anggota yang cukup banyak, yaitu minimal 14 orang.
Persiapan meliputi persiapan alat, waktu, tempat, menghubungi semua pihak dan
menyusun jadwal. Akan tetapi masalah dapat terselesaikan sesegera mungkin jika
pelaksanaan berhasil dilakukan. Biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan ini juga
paling mahal, yaitu Rp. 3.602.500,00.
Sosialisasi/penyuluhan tentang program BIAS kepada orangtua siswa dan guru
dapat mengatasi penyebab masalah berupa kurangnya sosialisasi/penyuluhan
mengenai program BIAS kepada orangtua siswa dan guru serta pengetahuan,
sikap, dan perilaku orangtua dan guru terhadap program BIAS yang masih kurang.
Hal tersebut tercermin dari banyaknya siswa yang tidak mendapat persetujuan
dari orangtuanya untuk diimunisasi atas dasar alasan-alasan yang keliru yang
telah dijelaskan pada penjelasan sebelumnya. Banyaknya alasan ini menyebabkan
Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | 80
tidak tercapainya cakupan 100 % untuk program BIAS Campak. Penyuluhan
langsung kepada orangtua siswa dapat mengubah pandangan yang salah. Peran
guru dalam hal ini juga penting karena guru dapat membantu menginformasikan
hal-hal yang perlu diketahui kepada para siswa dan orangtua mereka jika ada
orangtua yang tidak hadir dalam penyuluhan. Yang perlu diperhatikan adalah
penyuluhan tidak menjamin pandangan orangtua akan berubah. Hal ini
dipengaruhi oleh faktor-faktor berupa keterbukaan orangtua, fleksibilitas (tidak
bersikeras mempertahankan pendapat), dan pengetahuan orangtua.
Penyuluhan membutuhkan persiapan baik alat, waktu dan tempat serta
penginformasian kepada pihak orangtua dan guru. Karena kegiatan langsung
ditujukan pada orangtua dan guru, masalah dapat terselesaikan sesegera
mungkin jika kegiatan berhasil dilaksanakan. Biaya yang dibutuhkan untuk
kegiatan ini cukup besar tetapi tidak sebesar kegiatan pertemuan koordinasi
berikut pembagian tugas dan tanggung jawab yang jelas antara Puskesmas
Kelurahan Pulo Gadung, Sudin Dikdas Jakarta Timur, dan pihak SD se-Kelurahan
Pulo Gadung, yaitu Rp. 850.000,00.
Pembuatan dan penyebaran media promosi kesehatan hanya mengatasi masalah
pengetahuan, sikap, dan perilaku orangtua dan guru terhadap program BIAS yang
masih kurang. Penyebaran media ini tidak terlalu banyak berperan dalam
mengatasi masalah karena tergantung dari beberapa faktor, yaitu pengetahuan
orangtua dan guru, keingintahuan orangtua dan guru, serta kepedulian dari
orangtua dan guru. Masalah juga tidak cepat teratasi dengan hanya
menggunakan alternatif jalan keluar ini. Jalan keluar ini hanya mendukung jalan
keluar lain yang dilaksanakan. Namun, biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan ini
tidak terlalu besar dibandingkan kegiatan sebelumnya, yaitu Rp 517.000,00.
Dari penjelasan di atas, untuk besarnya masalah yang dapat diselesaikan
(Magnitude), penulis memberikan angka 5 pada alternatif pemecahan masalah
koordinasi lintas sektoral dan sosialisasi/penyuluhan karena keduanya dapat
mengatasi masalah paling besar. Hal ini disebabkan karena kedua alternatif
pemecahan masalah ini masing-masing dapat menyelesaikan 2 penyebab masalah
dibandingkan dengan alternatif pemecahan masalah pembuatan dan penyebaran
media promosi kesehatan yang hanya dapat menyelesaikan 1 penyebab masalah.
Makin banyak penyebab masalah yang diselesaikan, maka makin besar masalah
yang dapat terselesaikan. Penulis memberikan angka 2 pada alternatif
pemecahan masalah pembuatan dan penyebaran media promosi kesehatan
karena besarnya masalah yang dapat diselesaikan sangat kecil. Hal ini disebabkan
oleh banyak faktor yang mempengaruhi alternatif pemecahan masalah ini yang
telah disebutkan di atas.
Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | 81
Dilihat dari besarnya masalah yang dapat diselesaikan, penulis menyatakan
bahwa alternatif pemecahan masalah koordinasi lintas sektoral dan
sosialisasi/penyuluhan merupakan jalan keluar yang penting (importance). Penulis
memberikan angka 5 untuk alternatif pemecahan masalah koordinasi lintas
sektoral dan angka 4 untuk alternatif pemecahan masalah sosialisasi/penyuluhan
karena walaupun keduanya sama penting, jika hanya sosialisasi/penyuluhan
tanpa adanya koordinasi lintas sektoral, masalah tidak akan terselesaikan. Di
pihak lain, koordinasi lintas sektoral saja dapat menyelesaikan masalah walaupun
hasilnya tidak maksimal tanpa adanya sosialisasi/penyuluhan. Dengan demikian,
koordinasi lintas sektoral lebih penting daripada sosialiasi/penyuluhan. Alternatif
pemecahan masalah pembuatan dan penyebaran media promosi kesehatan
dilihat dari besarnya masalah yang dapat diselesaikan merupakan alternatif
pemecahan masalah yang tidak terlalu penting tetapi mendukung alternatif
pemecahan lainnya sehingga diberikan angka 3.
Dilihat dari kecepatan terselesaikannya masalah (vulnerability), alternatif
pemecahan masalah koordinasi lintas sektoral dan sosialisasi/penyuluhan
diberikan angka 4. Kedua alternatif pemecahan masalah tersebut tidak diberikan
angka 5 karena meskipun keduanya dapat sesegera mungkin menyelesaikan
masalah tetapi tidak sempurna dan memerlukan dukungan alternatif pemecahan
masalah yang lain agar lebih cepat menyelesaikan masalah. Di pihak lain,
alternatif pemecahan masalah pembuatan dan penyebaran media promosi
kesehatan lambat menyelesaikan masalah karena besarnya masalah yang dapat
diselesaikan sangat kecil dengan adanya banyak faktor yang disebutkan di atas
yang menghambat terselesaikannya masalah. Dengan demikian, alternatif
pemecahan masalah ini diberikan angka 2.
Dengan mempertimbangkan biaya yang dibutuhkan untuk pelaksanaan alternatif
pemecahan masalah (cost), penulis memberikan nilai 5 pada alternatif
pemecahan masalah pembuatan dan penyebaran media promosi kesehatan, nilai
4 untuk alternatif pemecahan masalah sosialisasi/penyuluhan, dan nilai 3 untuk
alternatif pemecahan masalah koordinasi lintas sektoral. Hal ini disebabkan biaya
yang dibutuhkan untuk pembuatan dan penyebaran media promosi kesehatan
adalah yang paling murah (Rp 517.000,00) dibandingkan dengan biaya
sosialisasi/penyuluhan (Rp 850.000,00) dan koordinasi lintas sektoral (Rp
3.602.500,00).
Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | 82
No
Tabel 5. Tabel penentuan prioritas pemecahan masalah
Efektivitas
Efisiensi
Jumlah
Alternatif jalan keluar
C
M
x I x V/ C
M
I
V
1. Koordinasi lintas sektoral
5
5
4
3
33
2. Sosialisasi/penyuluhan
5
4
4
4
20
3. Pembuatan dan
penyebaran media
promosi kesehatan
2
3
2
5
2,4
Dari tabel di atas diketahui bahwa yang mendapat nilai terbesar adalah alternatif
jalan keluar pertama, yaitu Pertemuan koordinasi berikut pembagian tugas dan
tanggung jawab yang jelas antara Puskesmas Kelurahan Pulo Gadung, Sudin
Dikdas Jakarta Timur, dan pihak SD se-Kelurahan Pulo Gadung.
Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | 83
Download