Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas 2014 DEPARTEMEN ILMU KEDOKTERAN KOMUNITAS FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA BUKU KETERAMPILAN KLINIS ILMU KEDOKTERAN KOMUNITAS Diterbitkan oleh Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas FKUI Jl. Pegangsaan Timur No. 16 Jakarta 10320 – Indonesia Telp. dan Fax 021 - 3141066 Dicetak di Jakarta, INDONESIA Hak cipta dilindungi. Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit. ISBN 978-979-18349-9 Lay out: dr. Marinda Asiah Nuril Haya Cover photo: Schubert Malbas Diunduh dari: http://www.schubertmalbas.net/2011_06_01_archive.html Editor: Dr. dr. Herqutanto, MPH, MARS dr. Retno Asti Werdhani, MEpid Kontributor: - Dr. dr. Joedo Prihartono, MPH - dr. Setyawati Budiningsih, MPH - dr. Aria Kekalih, MTI - Prof. Dr. dr. Azrul Azwar, MPH - Prof. Dr. dr. Endang Basuki, MPH - dr. Resna A. Soerawidjaja, MPH - dr. Judilherry Justam, MM, ME - Dr. dr. Herqutanto, MPH, MARS - dr. Nitra Nirwani Rifki, PKK - Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dr. Dhanasari Vidiawati, MSc.CM-FM dr. Retno Asti Werdhani, MEpid Dr. dr. Astrid B Sulistomo, MPH, SpOk Dr. dr. Dewi Soemarko, MS, SpOk dr. Muchtaruddin Mansyur, MS, SpOk, PhD Ambar W Roestam, SKM, MOH Dr. dr. Fikri Effendi, MOH, SpOk Dr. Nuri Purwito Adi, MSc, MKK DAFTAR ISI Daftar Tabel Daftar Gambar Kata Pengantar Diagnosis Komunitas Langkah-langkah Pelaksanaan Jaminan Mutu dan Panduan Penulisan Laporan Problem Solving Cycle Evaluasi Program Kedokteran/Kesehatan berdasarkan Pendekatan Sistem Pelayanan Kesehatan dengan Pendekatan Dokter Keluarga Diagnosis Okupasi Plant Survey Keselamatan pasien Identifikasi dan Modifikasi Gaya Hidup Pencarian Kontak Surveilans ii iii iv 1 13 18 24 34 42 52 72 Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | i DAFTAR TABEL Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | ii DAFTAR GAMBAR Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | iii KATA PENGANTAR Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas (IKK) Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) memiliki sejarah panjang dalam dunia pendidikan kedokteran, sejak masa penjajahan Belanda. Departemen IKK FKUI memiliki visi untuk menjadi institusi pendidikan terdepan dalam ilmu kedokteran komunitas di wilayah Asia Pasifik. Selain itu, Departemen IKK FKUI berharap untuk dapat berperan nyata dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat Indonesia. Untuk mewujudkan visi tersebut, Departemen IKK FKUI senantiasa mengembangkan pendidikan kedokteran, penelitian, serta pelayanan di bidang kedokteran komunitas. Dalam bidang pendidikan kedokteran, Departemen IKK FKUI terlibat dalam penyelenggaraan pendidikan untuk program postgraduate maupun undergraduate. Karena keterbatasan alokasi waktu yang diberikan dalam modul-modul undergraduate, mahasiswa menghadapi keterbatasan dan kesulitan dalam memahami materi-materi kedokteran komunitas. Selain mahasiswa, staf pengajar dari departemen lain pun mengalami kesulitan ketika harus menjadi fasilitator dalam modul-modul kedokteran komunitas. Untuk itu, Departemen IKK FKUI menerbitkan buku-buku mengenai kedokteran komunitas sebagai materi pembelajaran ilmu kedokteran komunitas. Pada buku “Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas” ini, pembaca akan mendapatkan keterampilan-keterampilan klinis yang sering digunakan dalam kedokteran komunitas, seperti diagnosis holistik dan diagnosis okupasi. Pembaca juga akan mempelajari metode evaluasi dalam materi quality assurance, evaluasi program, serta diagnosis komunitas. Selain itu, masih banyak materi lain yang termasuk keterampilan dalam kedokteran komunitas. Penulis menyadari adanya kekurangan dalam pembuatan buku ini. Untuk itu, kritik dan saran dari pembaca sangat kami harapkan untuk perbaikan buku ini. Semoga buku ini dapat bermanfaat dan dipergunakan sebaik-baiknya oleh penyelenggara pelatihan dokter keluarga di Indonesia. Hormat kami, Editor Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | iv DIAGNOSIS KOMUNITAS Setyawati Budiningsih, Joedo Prihartono, Aria Kekalih Divisi Epidemiologi dan Biostatistik, Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia PENDAHULUAN Profil dokter masa depan menurut WHO (The Future Doctor) mencakup Care provider, Decision Maker, Educator, Manager dan Community Leader. Salah satu posisi atau pekerjaan yang akan dijalani dokter adalah memimpin suatu fasilitas kesehatan. Pada sistim kesehatan di Indonesia di tingkat primer, dikenal Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) yang bertanggung jawab terhadap masyarakat di area kerjanya, yaitu kecamatan atau kelurahan. Fungsi dari puskesmas ada 3, yaitu: 1. Pusat pengembangan program kesehatan 2. Pusat pelayanan kesehatan primer 3. Pusat pemberdayaan masyarakat Sebagai pusat pengembangan program kesehatan, maka fasilitas kesehatan perlu melakukan melakukan Diagnosis Komunitas (Community Diagnosis), sehingga program kesehatan yang dilakukan sesuai dengan masalah yang terutama dihadapi oleh komunitas/masyarakat di area tersebut. Diagnosis komunitas merupakan keterampilan (skill) yang harus dikuasai oleh dokter di fasilitas kesehatan tingkat primer, dan/atau bila bekerja sebagai pimpinan institusi/unit kesehatan yang bertanggung jawab atas kesehatan suatu komunitas/masyarakat. Terdapat beberapa persamaan dan perbedaan di antara pendekatan kedokteran klinis dan kedokteran komunitas dalam penegakan diagnosis masalah kesehatan. Seorang klinisi akan memeriksa pasien serta harus mampu menentukan kondisi patologis berdasarkan gejala dan tanda yang ada agar dapat menegakkan diagnosis penyakit dan memilih cara tepat untuk pengobatannya. Pada kedokteran komunitas, keterampilan epidemiologi (mempelajari tentang frekwensi dan distribusi penyakit serta faktor determinan yang mempengaruhinya di kalangan manusia) sangat diperlukan untuk dapat memeriksa seluruh masyarakat dan memilih indikator yang sesuai untuk menjelaskan masalah kesehatan di komunitas; kemudian menetapkan diagnosis komunitas serta menetapkan intervensi yang paling efektif untuk dapat meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | 1 POSISI DIAGNOSIS KOMUNITAS DALAM STANDAR KOMPETENSI DOKTER INDONESIA Diagnosis Komunitas dikembangkan untuk mendukung area kompetensi dokter khususnya area ke-7 yaitu tentang “Pengelolaan Masalah Kesehatan”. Pada penjabaran area kompetensi ke- 7 ini disebutkan bahwa dokter mampu mengelola masalah kesehatan individu, keluarga maupun masyarakat secara komprehensif, holistik, terpadu dan berkesinambungan dalam konteks pelayanan kesehatan primer. Diagnosis komunitas disebutkan dengan tegas dalam penjelasannya yaitu dokter mampu menginterpretasi data kesehatan masyarakat dalam rangka mengidentifikasi dan merumuskan diagnosis komunitas. Selain itu diagnosis komunitas juga merupakan implementasi dari ketrampilan yang harus dilaksanakan secara mandiri (Kompetensi 4A). Ketrampilan tersebut antara lain: 1. Memperlihatkan kemampuan pemeriksaan medis di komunitas 2. Memperlihatkan kemampuan penelitian yang berkaitan dengan lingkungan DEFINISI DAN CAKUPAN Definisi komunitas Komunitas didefinisikan sebagai sekelompok orang yang memiliki paling tidak ada satu kesamaan sifat yang berlaku untuk semua anggota komunitas bersangkutan. Kesamaan sifat ini bisa berupa kesamaan wilayah misalnya komunitas Jakarta; kesamaan pekerjaan misalnya komunitas guru; kesamaan suku misalnya komunitas Betawi; kesamaan kondisi perumahan misalnya komunitas perumnas; dan sebagainya. Komunitas dapat juga didefiniskan sebagai sebagian dari anggota masyarakat yang lebih besar, serta memiliki kesamaan sifat atau minat. Sebagai contoh adalah sebagian dari masyarakat Jakarta yang memiliki minat yang sama terhadap cabang olahraga sepakbola dan menjadi fans Persija, yakni komunitas Jakmania. Adanya kesamaan sifat dari semua anggota komunitas ini telah membantu keterkaitan di antara mereka satu sama lain. Keterkaitan antara bagian komunitas atau subsistem dari suatu komunitaslah yang dapat mendorong agar komunitas bersangkutan berfungsi secara baik. Hal ini pula yang mampu diberdayakan dalam aspek kesehatan sehingga seluruh komunitas mampu bersama-sama menggunakan potensi yang ada didalamnya untuk menjaga dan meningkatkan derajat kesehatannya. Definisi diagnosis komunitas Diagnosis komunitas adalah suatu kegiatan untuk menentukan adanya suatu masalah dengan cara pengumpulan data di masyarakat lapangan. Menurut definisi WHO, diagnosis komunitas adalah penjelasan secara kuantitatif dan kualitatif mengenai kondisi kesehatan di komunitas serta faktor faktor yang mempengaruhi kondisi kesehatannya. Diagnosis komunitas ini mengidentifikasi Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | 2 masalah kemudian mengarahkan suatu intervensi perbaikan sehingga menghasilkan suatu rencana kerja yang konkrit. Keterampilan melakukan diagnosis komunitas merupakan keterampilan yang harus dikuasai oleh dokter untuk menerapkan pelayanan kedokteran secara holistik dan komprehensif dengan pendekatan keluarga dan okupasi terhadap pasien. Dalam penerapannya, penggunaan diagnosis komunitas dalam suatu program kesehatan adalah sebagai berikut : - untuk berperan sebagai referensi data kesehatan dalam suatu wilayah - untuk menyediakan gambaran secara keseluruhan mengenai masalah kesehatan pada komunitas lokal dan penduduknya - untuk merekomendasikan intervensi yang akan dijadikan prioritas dan solusi pemecahan masalah yang mampu laksana - untuk mengindikasi alokasi sumber daya dan mengarahkan rencana kerja di masa depan - untuk menciptakan peluang dari kolaborasi inter sektoral dan keterlibatan media - untuk pembentukan dasar indikator keberhasilan dari evaluasi program kerja kesehatan. Oleh karena itu diagnosis komunitas harus disadari bukan sebagai suatu kegiatan yang berdiri sendiri namun merupakan bagian dari suatu proses dinamis yang mengarah kepada kegiatan promosi kesehatan dan perbaikan permasalahan kesehatan di dalam komunitas. Diagnosis komunitas merupakan awal dari siklus pemecahan masalah untuk digunakan sebagai dasar pengenalan masalah di komunitas, sehingga dilanjutkan dengan suatu perencanaan intervensi, pelaksanaan intervensi serta evaluasi bagaimana intervensi tersebut berhasil dilakukan di komunitas. Oleh karena itu diagnosis komunitas TIDAK hanya berhenti pada identifikasi (diagnosis) masalah, tetapi juga mencakup solusi (treatment) untuk mengatasi masalah berdasarkan sumber-sumber yang ada. Untuk lebih menjelaskan diagnosis komunitas, dibawah ini dijelaskan perbedaan antara Kedokteran komunitas (Community Medicine) dengan Kedokteran rumah sakit dan perbedaan antara Diagnosis Komunitas dengan diagnosis klinis Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | 3 Tabel 1. Perbedaan antara Kedokteran komunitas dan Kedokteran Rumah Sakit Karakteristik Area pelayanan Strategi operasional Organisasi Kedokteran Komunitas Populasi di area kerja Bentuk pelayanan Komprehensif (health promotion, specific protection, early diagnosis dan prompt treatment, disability-limitation, rehabilitation Ada koordinasi dengan departemen kesehatan dan jajarannya Mengikut sertakan masyarakat dalam program kesehatan Memberikan high cost- benefit rasio melalui minimumexpenditure dan maximum-result Koordinasi Intersektoral Partisipasi masyarakat Analisis costbenefit Aktif dan pasif Terdiri atas puskesmas, pustu, posyandu Kedokteran Rumah Sakit Pasien yang datang ke fasilitas kesehatan Pasif, menunggu pasien datang Terdiri atas hubungan yang tidak mengikat antara pelayanan primer, sekunder dan tersier Hanya kuratif Tidak ada hubungan Partisipasi terbatas Memberikan poor cost- benefit rasio melalui maximumexpenditure dan minimumresult (Sumber: Suryakantha AH. Community Medicine with Recent Advances, Ed 2. Jaypee Brothers Medical Publisher, 2010) Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | 4 Tabel 2. Perbedaan antara Diagnosis komunitas dan Diagnosis Klinis No 1 Diagnosis Klinis Dilakukan oleh dokter 2 Fokus perhatian : pasien 3 4 5 Fokus perhatian : hanya orang sakit Dilakukan dengan memeriksa pasien Diagnosis didapat berdasarkan keluhan dan simtom 6 Memerlukan pemeriksaan laboratorium Dokter menentukan pengobatan 7 8 9 10 Pengobatan pasien menjadi tujuan utama Diikiuti dengan follow up kasus Dokter tertarik menggunakan teknologi tinggi Diagnosis Komunitas Dilakukan oleh dokter atau epidemiologis Fokus perhatian : komunitas / masyarakat Fokus perhatian : orang sakit dan sehat Dilakukan dengan cara survey Diagnosis didasarkan atas Riwayat Alamiah Perjalanan Penyakit ( Natural history of disease) Memerlukan penelitian epidemiologi Dokter/epidemiologis merencanakan plan of action Pencegahan dan Promosi menjadi tujuan utama Diikuti dengan program evaluasi Dokter/epidemiologis tertarik dengan nilai2 statistik (Sumber: Suryakantha AH. Community Medicine with Recent Advances, Ed 2. Jaypee Brothers Medical Publisher, 2010) Sama seperti halnya melakukan diagnosis terhadap pasien, maka pelaksanaan diagnosis komunitas dilakukan dengan mengikuti kaidah kaidah tertentu, agar data (diagnosis) yang diperoleh dapat dipercaya. Dalam melaksanakan diagnosis komunitas, perlu disadari bahwa yang menjadi sasaran adalah komunitas (yang terdiri dari sejumlah orang) sehingga sangat ditunjang oleh pengetahuan epidemiologi, statistik, manajemen dan ilmu ilmu sosial lainnya. TUJUAN KOMPETENSI DIAGNOSIS KOMUNITAS Tujuan utama dari penguatan kompetensi diagnosis komunitas adalah dokter mampu mengidentifikasi masalah kesehatan di komunitas dan membuat solusi pemecahannya. Secara khusus, tujuannya adalah dokter mampu : - mengidentifikasi masalah kesehatan di masyarakat - mengembangkan instrumen untuk mengidentifikasi masalah kesehatan - menganalisis permasalahan kesehatan dan mengajukan solusi pemecahannya - menjelaskan struktur organisasi fasilitas kesehatan tingkat primer - berkomunikasi secara baik dengan masyarakat - membuat usulan pemecahan terhadap masalah kesehatan Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | 5 MANFAAT DIAGNOSIS KOMUNITAS Setelah mendapatkan diagnosis komunitas, maka manfaat yang bisa didapatkan adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui kondisi kesehatan dari komunitas bersangkutan saat ini Pertanyaan ini menekankan pada keadaan tingkat kesehatan sebenarnya yang saat ini sedang dihadapi oleh komunitas bersangkutan. Indikator kesehatan masyarakat yang dikumpulkan dalam proses diagnosis komunitas akan memberikan gambaran mengenai permasalahan kesehatan apa saja yang sedang dihadapi oleh anggota komunitas. Mengingat cukup banyak masalah kesehatan masyarakat yang dapat terjaring dalam tahap ini, maka perlu ditetapkan permasalahan kesehatan yang bersifat prioritas serta memerlukan penanganan segera. 2. Untuk mengetahui bagaimana kondisi kesehatan komunitas ini bisa ditingkatkan Pada tahap ini team penilai harus menetapkan harapan mengenai sejauh mana upaya perbaikan kondisi kesehatan ini ingin diperbaiki. Memang sesuai kesepakatan internasional tentunya kita ingin mencapai tingkat yang ditetapkan oleh target (misalnya MDG). Namun harus diingat bahwa target tersebut masih sangat jauh sehingga besar kemungkinan belum dapat dicapai dalam waktu singkat. Penetapan ini harus disesuaikan dengan tingkat kemampuan yang dimiliki oleh komunitas bersangkutan. 3. Untuk mengetahui bagaimana caranya untuk meningkatkan kondisi kesehatan komunitas Setelah team menetapkan tingkat kesehatan masyarakat yang ingin dicapai dalam upaya peningkatan kondisi komunitas bersangkutan, maka perlu dikembangkan beberapa pilihan cara untuk mencapai harapan tersebut. Pilihan-pilihan ini sudah barang tentu mempunyai konsekuensi mengenai sumber daya yang diperlukan, sehingga team harus memilih cara solusi yang paling efektif dan paling efisien dalam pencapaian target yang telah ditetapkan. LANGKAH-LANGKAH PENERAPAN DIAGNOSIS KOMUNITAS Langkah langkah untuk melakukan diagnosis komunitas tidaklah sesederhana seperti melakukan diagnosis pada seorang pasien, karena yang akan menjadi sasaran adalah suatu komunitas yang terdiri atas sekelompok penduduk yang mempunyai karakteristik yang (kurang lebih) sama dan tinggal di area yang tertentu. Selain itu, hasil dari diagnosis komunitas tidak selalu berbentuk penyakit, tetapi bisa masalah-masalah non medis yang menyebabkan suatu penyakit. Ini disebabkan karena masalah kesehatan dalam komunitas merupakan akibat dari berbagai determinan sesuai dengan teori Blum yang menyatakan ada Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | 6 4 determinan yaitu perilaku, lingkungan, pelayanan kesehatan dan genetik (urutan sesuai dengan kontribusi terhadap masalah kesehatan). Langkah-langkah penerapan diagnosis komunitas adalah secara bertahap yaitu: 1. Pertemuan awal untuk menentukan area permasalahan 2. Menentukan instrument pengumpulan data 3. Pengumpulan data dari masyarakat 4. Menganalisis dan menyimpulkan data 5. Membuat laporan hasil dan presentasi diseminasi. Langkah 1. Pertemuan awal untuk menentukan area permasalahan Pada fase awal pertemuan pendahuluan harus ditentukan tim pelaksana yang berperan mengelola dan mengkoordinasikan diagnosis komunitas. Tim ini harus mengidentifikasi dana dan sumber daya yang tersedia untuk menentukan batasan dari diagnosis komunitas. Beberapa cakupan yang umum untuk dipelajari dalam diagnosis komunitas adalah status kesehatan, gaya hidup, kondisi tempat tinggal, kondisi sosial ekonomi, infrastruktur sosial dan fisik, tidak berimbangnya fasilitasi dan akses kesehatan (inequality), termasuk mengenai pelayanan kesehatan masyarakat dan kebijakan yang sudah ada. Menurut epidemiologi, penentuan masalah (medis dan non medis) di komunitas harus memakai indikator yang merepresentasikan permasalahan komunitas/ masyarakat. Berikut adalah indikator status kesehatan yang biasa dipakai untuk menggambarkan masalah kesehatan di komunitas: 1. Angka Kematian (Mortality rate): AKK, AKI, AKB, Angka Kematian akibat penyakit tertentu, dll 2. Angka Kesakitan (Morbidity rate): Insiden, prevalen (menyangkut berbagai penyakit) 3. Angka Ke-cacatan (Disability rate): Angka absensi, dll Selain indikator diatas terdapat indikator lain yang sering dipergunakan misalnya : 1. Indikator jangkauan pelayanan kesehatan, misalnya cakupan ibu hamil yang mendapat pelayanan ANC. 2. Rasio petugas kesehatan-penduduk, misalnya rasio dokter : penduduk 3. Indikator kesehatan lingkungan, misalnya persentase penduduk yang mendapat air bersih 4. Indikator sosio-demografi (komposisi/struktur/distribusi, income per capita, angka buta huruf, dll) Bila kita mau mengetahui masalah kesehatan suatu komunitas, maka jalan yang paling baik adalah melakukan survey yang mengumpulkan data-data sesuai indikator diatas. Kegiatan ini akan memakan waktu lama dan biaya yang banyak. Oleh karena itu sebagai pendekatan awal ada cara lain yang dapat digunakan Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | 7 yaitu dengan menganalisis laporan penyakit/kematian yang ada disuatu wilayah. Data ini bisa diperoleh dari hasil penelitian kesehatan atau laporan tahunan puskesmas (harap diingat bahwa tidak semua orang yang sakit datang ke puskesmas). Pola penyakit di suatu area biasanya akan selalu sama dalam kurun waktu tertentu, kecuali bila ada kejadian luar biasa. Dalam situasi ini maka penyakit yang akan menjadi area diagnosis komunitas dalam pelatihan modul komunitas, tidak selalu harus yang paling banyak ditemukan. Dalam keadaan tertentu, masalah kesehatan dapat pula ditanyakan kepada orang orang yang dianggap mempunyai pengetahuan dalam hal ini, misalnya pimpinan puskesmas, kepala daerah (camat, lurah) atau orang orang yang bergerak dalam bidang kesehatan (guru, kader). Untuk mendapatkan informasi dari orang orang ini, maka dapat dipergunakan metoda NGT atau Delphi tehnik. Bila sudah ditemukan area masalah, maka juga perlu mengetahui berbagai faktor yang mempengaruhi terjadinya masalah tersebut. Konsep terjadinya penyakit menurut Blum dapat dipakai untuk membuat kerangka konsep yang menjelaskan mengapa penyakit tersebut terjadi. Ini akan membantu menentukan data apa yang akan dikumpulkan dari masyarakat agar mendapatkan masalah yang utama dan hal-hal lain yang diperlukan untuk mengatasi masalah tersebut. Langkah 2. Menentukan instrument pengumpulan data Tergantung data apa yang akan dikumpulkan, maka diperlukan metode pengumpulan data (instrumen) yang sesuai. Data dapat dikumpulkan melalui observasi (menggunakan cek lis), wawancara (dengan kuesioner), pemeriksaan (TB, BB, pemeriksaan lab) atau menggunakan data sekunder dari rekam medis. Bila menggunakan kuesioner, maka kuesioner tersebut haruslah diuji-coba untuk mengetahui apakah kuesioner itu baik (valid dan reliabilitas) serta mengetahui realitas pelaksanaan sebenarnya (lama wawancara, situasi lapangan, dll). Untuk menguji kuesioner sebaiknya dicobakan pada 30 responden. Langkah 3. Pengumpulan data dari masyarakat Pada tahap ketiga yaitu pengumpulan data dan analisis, sebaiknya dilakukan dengan kombinasi pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Oleh karena itu, latar belakang wilayah yang dibahas harus dipelajari melalui data statistik dan hasil sensus populasi, misalnya besarnya populasi, struktur jenis kelamin dan usia masyarakat, pelayanan kesehatan perorangan dan masyakarat, pelayanan sosial, pendidikan, perumahan, keamanan publik dan transportasi. Untuk mengumpulkan data dari komunitas, hal yang dapat dilakukan adalah melakukan survey, menggunakan kuisioner mandiri (self administered questionnaire), kemudian wawancara atau fokus grup diskusi atau acara dengan telepon. Untuk memastikan reliabilitas datanya, sebaiknya institusi yang sudah berpengalaman seperti institusi pendidikan, dilibatkan dalam diagnosis komunitas. Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | 8 Penentuan sampel harus direncanakan secara hati-hati, sehingga jumlah sampelnya mampu mewakili kondisi lokal komunitas yang dikaji, sehingga dapat menghasilkan suatu kesimpulan yang valid. Agar data yang dikumpulkan merepresentasikan gambaran masyarakat, maka perlu ditentukan sasaran penduduk yang akan menjadi responden, berapa jumlahnya serta lokasinya tinggalnya. Sebaiknya penentuan sasaran berdasarkan probability sampling, kecuali bila terpaksa dapat dilakukan non probability sampling. Hal ini juga berlaku bila responden diambil dari rekam medis atau pengunjung puskesmas. Strategi menemui responden di lapangan memerlukan persiapan khusus, yaitu mendapatkan ijin dari kepala daerah setempat. Dalam hal ini, sebaiknya mahasiswa meminta kepala puskesmas membuat surat kepada kepala daerah setempat menjelaskan bahwa Puskesmasnya akan melakukan pengumpulan data. Ini dilakukan, agar masalah ijin pengumpulan data menjadi mudah dan memang kegiatan ini merupakan kegiatan untuk menunjang puskesmas. Selain itu, bila diperlukan, pimpinan puskesmas dapat dimintakan bantuannya untuk memfasilitasi agar ada petugas/kader yang membantu mengantar mahasiswa mengumpulkan data (misalnya kader atau pegawa puskesmas). Bila data berasal dari rekam medik, maka mahasiswa dapat meminta bantuan pimpinan puskesmas memfasilitasi agar petugas terkait memahami apa yang akan dilakukan mahasiswa dalam rangka diagnosis komunitas, dan mahasiswa juga harus menjaga agar rekam medik kembali tersusun seperti semula dan tidak ada yang hilang, termasuk menjaga kerahasiaan data pasien. Semua kuesioner (data) yang didapat haruslah diperiksa kelengkapan serta kebenarnya, sebelum dianalisis. Rencana mendapatkan data harus dibuat seperti proposal penelitian sederhana yang terdiri atas : a. Latar belakang b. Tujuan c. Metoda d. Sasaran dan sampel (besar dan cara pemilihan) e. Instrumen yang dipakai (observasi, kuesioner atau pemeriksaan) f. Batasan operasional data yang diambil Langkah 4. Menganalisis dan menyimpulkan data Tahap keempat adalah penentuan kesimpulan diagnosis komunitas yang dihasilkan dari pengolahan dan interpretasi analisis data yang ada. Hasil diagnosis sebaiknya terdiri atas tiga aspek yaitu : - Status kesehatan di komunitas - Determinan dari masalah kesehatan di komunitas Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | 9 - Potensi dari pengembangan kondisi kesehatan di komunitas dan area yang lebih luas Beberapa hal umum yang menjadi sifat hasil analisis data diagnosis komunitas adalah: - Informasi statistik lebih baik ditampilkan dalam bentuk rate atau rasio untuk perbandingan - Tren atau proyeksi sangat berguna untuk memonitor perubahan sepanjang waktu yang diamati serta perencanaan ke depan - Data wilayah atau distrik lokal dapat dibandingkan dengan distrik yang lain atau ke seluruh populasi - Tampilan hasil dalam bentuk skematis atau gambar dapat digunakan untuk mendapatkan pemahaman yang lebih mudah dan cepat Langkah 5. Membuat laporan hasil dan presentasi diseminasi Tahap terakhir adalah presentasi atau diseminasi hasil diagnosis komunitas. Tahap ini menunjukkan bahwa diagnosis komunitas tidak pernah menjadi akhir dari program kerja. Diagnosis komunitas harus dilanjutkan dengan usaha untuk mengkomunikasikannya sehingga memastikan prioritas tindak lanjut yang harus segera diambil. Target pihak-pihak yang harus dilibatkan dalam mengetahui hasil diagnosis komunitas adalah para perumus kebijakan, profesional kesehatan serta tokoh tokoh masyarakat di dalam komunitas. Umumnya hasil dari diagnosis komunitas dapat di diseminasi melalui berbagai forum yaitu misalnya presentasi pada pertemuan dewan kesehatan masyarakat atau tokoh masyarakat dan forum khusus organisasi swadaya masyarakat, dalam rilis media massa atau satu seminar khusus mengenai promosi kesehatan. Penerapan langkah diagnosis komunitas dapat dijabarkan secara skematis seperti gambar berikut, yang menekankan perlunya kombinasi dari penggunaan data sekunder serta pendekatan kuantitatif dan kualitatif dalam memetakan permasalahan kesehatan di komunitas. Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | 10 Gambar 1. Langkah penerapan diagnosis komunitas TAHAPAN KERJA DIAGNOSIS KOMUNITAS Tahapan kerjanya adalah: 1. Menentukan area masalah yang dihadapi puskesmas. Area masalah yang dimaksud bisa diambil dari program program yang dilaksanakan di puskesmas. Untuk itu ada beberapa sumber untuk menentukan area yaitu melihat data jangkauan pelayanan atau pencapaian program serta menanyakan kepada pimpinan puskesmas yang dianggap sebagai informan kunci 2. Menentukan masalah yang spesifik yang ada di area tersebut. Cara menentukannya adalah dengan menanyakan kepada dokter puskesmas atau penanggung jawab program yang bersangkutan 3. Membuat proposal sederhana untuk merumuskan langkah langkah metode diagnosis komunitas mencakup sasaran, sampel, instrumen yang dipakai dan batasan operasional data yang akan diambil Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | 11 4. Persiapan pengumpulan data di lapangan atau dari pengunjung puskesmas 5. Menganalisis data secara deskriptif dengan menggunakan program analisis. Dalam diagnosis komunitas ini uji statistik inferens tidak penting untuk dilakukan 6. Membuat laporan untuk diseminasi ke pimpinan dan pengelola program terkait di puskesmas Contoh kerangka isi laporan diagnosis komunitas (profil komunitas) di pendidikan Bentuk laporan profil komunitas direkomendasikan mencakup beberapa aspek dibawah ini: Nama wilayah tempat komunitas bersangkutan (kota, kecamatan, kelurahan) Nama lokasi keberadaan komunitas sasaran Gambaran singkat wilayah (topografi dan vegetasi) Adat istiadat dan kepercayaan masyarakat Kelompok agama yang utama Kegiatan ekonomi (sumber pendapatan) Sarana ekonomi (pasar, toko) Sarana transportasi Sarana komunikasi Sarana penyediaan air Sarana sanitasi Perumahan (kondisi dan pola bangunan) Sekolah dan sarana pendidikan lain Sarana kesehatan (RS, klinik, puskesmas, toko obat, dukun) Pola penyakit: o Penyebab utama dari gangguan kesehatan o Jenis penyakit yang paling banyak o Masalah kesehatan khusus Perilaku sehat dan sakit o Kemana mencari pertolongan ketika sakit o Apa yang dilakukan untuk mencegah penyakit o Apa peranan pengobatan tradisional dalam pelayanan kesehatan Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | 12 DAFTAR PUSTAKA 1. Suryakantha AH. Community medicine with recent advances. Jaypee Brothers, Medical Publishers; 2010. 904 p. 2. Indonesia KK. Standar Kompetensi Dokter Indonesia. Jakarta: Konsil Kedokteran Indonesia [online]. 2012 [disitasi 5 Mei 2014]; Diunduh dari: http://www.pkfi.net/file/download/Perkonsil%20No%2011% 20Th%202012%20Ttg%20Standar%20Kompetensi%20Dokter%20Indone sia%20%202012.pdf 3. World Health Organization. City health profiles: how to report on health in your city. ICP/HSIT/94/01 PB 02. Available at: www.euro.who.int/ document/wa38094ci.pdf 4. Garcia P, McCarthy M. Measuring health: a step in the development of city health profiles. EUR/ICP/HCIT 94 01/PB03. Available at: www.euro.who.int/document/WA95096GA.pdf 5. Matsuda Y, Okada N. Community diagnosis for sustainable disaster preparedness. Journal of Natural Disaster Science. 2006;28(1):25–33. 6. Bennett FJ, Health U of ND of C. Community diagnosis and health action: a manual for tropical and rural areas. Macmillan; 1979. 208 p. 7. Budiningsih S. Panduan pelaksanaan keterampilan kedokteran komunitas di FKUI: modul ilmu kedokteran komunitas. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013. Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | 13 PROGRAM JAMINAN MUTU Herqutanto, Judilherry Justam Divisi Manajemen Kedokteran, Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia PENDAHULUAN Pelayanan kesehatan yang bermutu bisa dilihat dari dua sisi yaitu dari sisi pasien dan sisi pemberi pelayanan. Yang dimaksud dengan pelayanan kesehatan bermutu dari sisi pasien adalah pelayanan kesehatan yang mudah ditemui, mudah didapat, memberikan tingkat kesembuhan tinggi, dengan pelayanan yang ramah dan sopan. Yang dimaksud dengan pelayanan kesehatan bermutu dari sisi pelayanan kesehatan adalah pelayanan kesehatan yang efektif, memberikan tingkat kesembuhan tinggi, dan dilaksanakan sesuai dengan prosedur terstandar. Artinya sebuah pelayanan kesehatan yang bermutu harus memenuhi kriteriakriteria dari dua sisi tersebut. Agar dapat menghasilkan layanan yang bermutu tersebut dan secara konsisten menghasilkan dibutuhkan sebuah program yang disebut program jaminan mutu. PENGERTIAN PROGRAM JAMINAN MUTU Banyak definisi tentang program jaminan mutu. Levits dan Hilts menyatakan bahwa program jaminan mutu adalah proses pengumpulan data dari sebuah pelayanan kesehatan untuk membandingkan kinerja dengan indicator-indikator yang mempengaruhi hasil pelayanan serta mengidentifikasi masalah dalam proses pelayanan dan manajemen pelayanan. Sedangkan Azrul Azwar mendefinisikan program jaminan mutu sebagai…… Lebih dari 40 tahun yang lalu Donabedian mengajukan pengukuran kualitas pelayanan kesehatan dengan cara mengobservasi struktur, proses, dan keluaran. Observasi struktur meliputi aksesibilitas, ketersediaan, dan mutu sumber daya. Observasi proses meliputi pemberian pelayanan oleh dokter dan tenaga kesehatan lainnya. Observasi keluaran mengacu pada hasil akhir dari pelayanan kesehatan yang dapat dipengaruhi oleh factor lingkungan dan factor perilaku. Di tahun 1990an Deming yang selanjutnya disebut sebagai Bapak Total Quality Management (TQM), mengajukan sebuah model analisis sistematik dan pengukuran proses dalam hubungannya dengan kapasitas atau keluaran. Model TQM tersebut mencakup pendekatan organisasi yaitu manajemen organisasi, kerjasama tim, proses yang didefinisikan, berpikir secara system, dan perubahan untuk menghasilkan perbaikan. Pendekatan ini berpegang pada pandangan bahwa seluruh organisasi harus memiliki komitmen terhadap mutu dan peningkatan mutu untuk mencapai hasil terbaik. Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | 14 TUJUAN PROGRAM JAMINAN MUTU 1. Memprioritaskan bagian dari pelayanan kesehatan yang perlu ditingkatkan mutunya 2. Menghasilkan solusi terhadap masalah yang membutuhkan penanganan secara fundamental 3. Membangun kesuksesan organisasi melalui peningkatan mutu pelayanan ALAT DAN BAHAN Untuk tersebut diperlukan data sekunder berupa: 1. Laporan hasil pelayanan 2. Hasil survey terkait hasil pelayanan dan kepuasan pasien 3. Standar prosedur operasional (SPO) atau protap 4. Standar pelayanan medic (SPM) dan panduan praktik klinik (PPK) LANGKAH-LANGKAH 1. Mempelajari struktur fasilitas pelayanan kesehatan - Mempelajari visi dan misi klinik. Melihat apakah misi yang dituliskan sesuai dengan visinya? Apakah misi yang dilaksanakan sesuai dengan visi yang dituliskan? - Mempelajari SOP, SPM, PPK. Jika fasilitas kesehatan belum mempunyai SOP, perlu dicari SOP dari sumber bacaan yang sesuai dan terkini. - Mempelajari data-data hasil pelayanan dan survey terkait kepuasan pasien - Mempelajari perencanaan jangka pendek, jangka menengah, jangka panjang - Mempelajari sumber daya klinik, baik sumber daya manusia atau sumber daya lainnya dikaitkan dengan target klinik, termasuk di dalamnya kuantitas dan kualitas pegawai, reward and punishment system - Mempelajari fungsi manajemen lainnya misalnya pengarahan, koordinasi, monitoring serta supervise yang dilakukan setiap manajer dalam klinik. - Mempelajari/mengevaluasi pembiayaan klinik. - Mempelajari perencanaan dan pengadaan obat. - Mempelajari rekam medic serta pemanfaatannya bagi kemajuan klinik. - Mempelajari alur pasien untuk efisiensi waktu. - Mempelajari fungsi dari masing-masing divisi dalam klinik, misalnya laboratorium, radiologi, klinik gigi. Aoakah masing-masing telah berfungsi secara efektif dan efisien? - Mempelajari sistem pencatatan dan pelaporan. Apakah pelaporan sudah dipakai untuk menuju kemajuan klinik? Misalnya membuat tampilan data yang dapat diketahui oleh semua eleme di klinik, dan lain sebagainya. - Mempelajari kepuasan pasien. Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | 15 2. - Mempelajari pendidikan kesehatan di klinik. Mempelajari penatalaksanaan dalam menangani satu jenis penyakit. Mempelajari tatacara komunikasi petugas di klinik. Dan lain sebagainya. Melakukan observasi di lapangan Membuat daftar tilik pengamatan Membandingkan struktur yang telah direncanakan dengan kenyataan dilapangan sesuai dengan area pelayanan yang dipilih. 3. Menentukan masalah dan prioritas masalah - Melihat apakah ada kesenjangan (gap) antara kenyataan dan apa yang seharusnya terjadi, antara lain dengan melihat SOP klinik atau fasilitas kesehatan yang bersangkutan. - Masalah timbul bila terdapat selisih atau kesenjangan antara harapan dan kenyataan. - Cara menentukan prioritas masalah bisa dengan cara teknik skoring maupun teknik non-skoring. 4. Penetapan masalah dengan teknik criteria matriks a. Pentingnya masalah (I = importancy) b. Kelayakan teknis (T = technical feasibility) c. Sumber daya yang tersedia (R = resources availability) Masalah yang dipilih sebagai prioritas adalah yang memiliki nilai I x T x R yang tertinggi. Ad. a. Pentingnya masalah (I = importancy) diukur berdasarkan: - Besarnya masalah (P = prevalence) - Akibat yang ditimbulkan masalah (S = severity) - Kenaikan besarnya masalah (RI = rate of increase) - Derajat keinginan masyarakat yang tidak terpenuhi (DU = degree of unmet need) - Keuntungan social karena selesainya masalah (SB = social benefit) - Kepedulian masyarakat (PB = public concern) - Suasana atau iklim politik (PC = political climate) - Dengan demikian I = P + S + RI + DU + SB + PB + PC Ad. b. Kelayakan teknis (T = technical feasibility) Makin layak teknologi yang tersedia dan yang dapat dipakai untuk mengatasi masalah, maka makin diprioritaskan masalah tersebut. Ad. c. Sumber daya yang tersedia (R = resources availability) Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | 16 Makin tersedia sumber daya yang dapat dipakai untuk mengatasi masalah, maka makin diprioritaskan masalah tersebut. Untuk semua variabel (unsur-unsur I, T dan R) diberikan nilai antara 1 (tidak penting) sampai dengan 5 (sangat penting), misalkan untuk variabel P (prevalensi), prevalensi yang paling tinggi diberikan nilai yang tertinggi (5), sedangkan prevalensi terendah diberi nilai 1. 5. Mencari penyebab masalah - Buatlah daftar semua penyebab masalah yang mungkin berpengaruh terhadap timbulnya masalah. - Pergunakanlah bagan tulang ikan (fish bone diagram) dan pendekatan system, temukan berbagai penyebab masalah tersebut. - Kalau penyebab masalah lebih dari satu, pilih prioritas masalah, misalnya dengan menggunakan diagram Pareto atau menggunakan teknik matriks / skoring. o Diagram Pareto diperkenalkan oleh Vilfredo Pareto (1848 – 1923) seorang ahli ekonomi berkebangsaan Italia. o Pareto yang melakukan penelitian mengenai perekonomian Italia menemukan fakta bahwa 80% kekayaan bangsa Italia dikuasai oleh 20% dari jumlah penduduknya, yang kemudian dikenal dengan istilah “80 – 20 rule.” o Penemuan Pareto dikembangkan oleh Dr. Joseph M. Duran, seorang ahli manajemen, yang menerapkannya dalam bidang manajemen mutu, mengemukakan bahwa 80% dari uang yang hilang (loss) sebagai akibat masalah mutu terdapat dalam 20% item permasalahan mutu. o Analogi dalam manajemen pelayanan kesehatan adalah bahwa 80% kerugian akibat masalah kesehatan terdapat dalam 20% item permasalahan mutu. 6. Merancang alternatif pemecahan masalah dan menemukan pemecahan masalah terbaik. - Merancang berbagai alternatif penyelesaian berdasarkan pada penyebab masalah terbesar. - Alternatif penyelesaian masalah dibuat sebanyak mungkin sesuai dengan penyebab masalah yang ditemukan. - Pilihlah alternatif penyelesaian masalah yang paling mungkin sesuai dengan penyebab masalah yang ditemukan. - Pilihlah alternatif penyelesaian masalah yang paling mungkin dilaksanakan dengan menggunakan teknik skoring prioritas penyelesaian masalah: P = (M x I x V) / C Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | 17 Keterangan: - M = Magnitude Besarnya masalah yang dapat diselesaikan. Makin besar masalah yang dapat diatasi makin tinggi prioritas jalan keluar tersebut. - I = Importancy Pentingnya jalan keluar dikaitkan dengan kelanggengan penyelesaian masalah. Makin lama bebas masalah, makin penting jalan keluar tersebut. - V = Vulnerability Sensitivitas jalan keluar, dikaitkan dengan kecepatan jalan keluar untuk mengatasi masalah. Makin cepat teratasi, makin sensitive jalan keluar tersebut. - C = Cost Adalah ukuran efisiensi alternatif jalan keluar. Nilai efisiensi ini biasanya dikaitkan dengan biaya (cost) yang diperlukan untuk melaksanakan jalan keluar. Makin besar biaya yang diperlukan, makin tidak efisien jalan keluar tersebut. Berikan angka 1 (biaya paling sedikit) sampai dengan angka 5 (biaya paling besar). Nilai prioritas (P) untuk setiap alternatif jalan keluar dihitung dengan membagi hasil perkalian nilai M x I x V dengan C. Jalan keluar dengan nilai P tertinggi adalah prioritas jalan keluar terpilih. 7. Menyusun rencana intervensi - Dari pemecahan masalah terbaik, dibuat rencana lengkap untuk intervensi, yang terdiri atas: a. Latar belakang b. Tujuan c. Metoda d. Sasaran dan sampel (besar dan cara pemilihan) e. Instrumen yang dipakai (observasi, kuesioner atau pemeriksaan) f. Batasan operasionil data yang diambil - Tentukan cara membuat pengukuran pra intervensi - Harus diingat bahwa dalam membuat proposal intervensi harus selalu menerapkan metoda 5W dan 1H: Why Mengapa perbaikan harus dilakukan? What Apa rencana perbaikannya? Where Dimana lokasi perbaikan akan dilakukan? When Kapan (rentang waktu) dilakukannya perbaikan? Who Siapa yang bertanggung jawab? How Bagaimana pelaksanaannya Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | 18 Ada beberapa jenis penerapan dalam mengajukan pertanyaan h (How) yang pada dasarnya semua benar dan bisa digunakan. a. Menggunakan satu H Bagaimana cara melaksanakan perbaikan? b. Menggunakan dua H o How Bagaimana cara melaksanakan perbaikan? o How much Berapa besar hasil yang akan dicapai setelah perbaikan? c. Menggunakan tiga H o How Bagaimana cara melaksanakan perbaikan? o How much effort Berapa besar daya upaya atau usaha yang telah dilakukan dalam perbaikan ini? o How much benefit Berapa nilai hasil yang akan dicapai setelah perbaikan ini? 8. Melaksanakan intervensi sesuai dengan rencana Hal yang perlu diperhatikan adalah: 1. Penjelasan tentang intervensi secara rinci 2. Tujuan intervensi 3. Target dan sasaran intervensi 4. Langkah-langkah pelaksanaan intervensi 5. Sumber daya yang dibutuhkan meliputi sumber daya manusia, dana, materi, dan waktu. 6. Jadwal pelaksanaan intervensi 9. Monitoring dan Evaluasi - Menentukan cara pengukuran pasca intervensi - Monitoring dilaksanakan sepanjang proses intervensi - Evaluasi dilaksanakan paling sedikit 2 kali dalam proses intervensi tersebut yaitu di tengah dan di akhir - Buatlah analisis perbanding pra dan pasca intervensi 10. Menuliskan laporan Laporan lengkap terdiri dari: - Bab I: Pendahuluan, berisi latar belakang permasalahan, tujuan penulisan dan manfaat penulisan. - Bab II: Tinjauan pustaka tentang topik yang dipilih, mis. QA di lab farmasi, rekam medis, dll. - Bab III: Langkah-langkah pelaksanaan - Bab IV: Hasil (terutama) intervensi dan indikator keberhasilan. - Bab V: Diskusi dan Pembahasan - Bab VI: Kesimpulan dan Saran Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | 19 DAFTAR PUSTAKA Azrul Azwar. Program Jaminan Mutu. Dian Pustaka. Hughes RG. Tools and Strategies for Quality Improvement and Keselamatan pasien: An Evidence-Based Handbook for Nurses. Rockville;US, 2008 Levitt C, Hilts L. Quality in Family Practice Books of Tools, 1st ed. McMaster Innovation Press;Toronto, 2010 Franco LM, Newman J, Murphy G, Mariani E. Achieving Quality Through Problem Solving and Process Improvement, 2nd Ed. USAID;Wisconsin, 1997 Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | 20 Siklus Pemecahan Masalah (Problem-Solving Cycle) Herqutanto, Judilherry Justam, Endang Basuki Divisi Manajemen Kedokteran, Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Pendahulan: Masalah timbul jika ada kesenjangan antara kenyataan dan harapan. Masalah adalah suatu situasi dimana ada sesuatu yang diinginkan tetapi belum diketahui bagaimana mendapatkannya. Masalah kesehatan adalah kesenjangan antara standar yang diharapkan ada di masyarakat dengan kondisi kesehatan masyarakat yang sesungguhnya ditemui. Berbagai metode telah banyak digunakan untuk memecahkan sebuah masalah kesehatan,. Salah satu metode tersebut adalah siklus pemecahan masalah. Metode tersebut merujuk pada kontinuitas langkah-langkah yang dilaksanakan secara sistematis meliputi identifikasi dan analisis masalah, menyusun dan merencanakan pemecahan masalah, melaksanakan serta memonitor dan mengevaluasinya. Melalui serangkaian langkah-langkah tersebut, diharapkan pemecahan masalah memiliki daya ungkit yang besar dan benar-benar menjawab permasalahan kesehatan yang dihadapi masyarakat. Pengertian Siklus pemecahan masalah adalah satu proses perencanaan yang berpedoman pada dimunculkannya masalah, berlangsungnya kegiatan penyelesaian masalah serta dinilainya hasil penyelesaian yang dicapai. Setiap siklus dapat berakhir dengan selesainya masalah secara tuntas atau haya sebagian saja. Dengan demikian, siklus tersebut dapat selalu berulang dan merupakan lingkaran yang kontinu. Tujuan: 1. Mengidentifikasi masalah dan penyebab masalah 2. Menyusun alternatif pemecahan masalah 3. Melaksanakan intervensi untuk memecahkan masalah 4. Mengevaluasi keberhasilan intervensi Langkah-langkah Siklus Pemecahan Masalah Ada beberapa versi langkah-langkah Siklus Pemecahan Masalah, ada yang terdiri atas 7 maupun 9 langkah. Namun yang menjadi prinsip dasar adalah siklus tersebut terdiri atas beberapa langkah, mencakup identifikasi masalah, mencari alternatif pemecahan masalah dan melaksanakan pemecahan masalah, serta monitoring dan evaluasi. Yang penting adalah memandang pemecahan masalah Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | 21 sebagai sebuah siklus, karena kadang-kadang sebuah masalah memerlukan berbagai upaya (lebih dari satu upaya) untuk menyelesaikannya, atau masalah yang sudah diselesaikan tersebut berubah menjadi masalah lain yang harus dipecahkan juga. Bagan berikut dapat digunakan sebagai panduan langkah-langkah siklus pemecahan masalah. Lakukan setiap langkah pada satu waktu secara bertahap. Langkah 1. Identifikasi masalah (Identify the problem) Langkah pertama yang harus dilakukan adalah mengidentifikasi dan klarifikasi masalah. Harus dibedakan antara masalah yang sebenarnya dengan gejala atau simptom yang terlihat. Karena itu selalu gunakan data yang valid untuk mendukung pernyataan masalah. Sebisa mungkin hindari pernyataan tentang masalah secara subyektif. Jenis data yang dikumpulkan tergantung dari masalah apa yang dihadapi. Perlu dipertimbangkan jenis data serta sumber dan cara mengumpulkannya. Apabila data yang valid tidak tersedia, dapat ditempuh cara curah pendapat (brainstorming) untuk menentukan permasalahannya. Langkah 2. Analisis masalah (Explore the problem) Bila masalah telah terdefinisi dengan jelas, maka masalah harus digali lebih jauh lagi. Beberapa kriteria yang dapat digunaan untuk menentukan besarnya masalah misalnya: ‘Seberapa besar dampak masalah?’ Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | 22 ‘Apakah masalah juga berdampak pada orang lain?’ ‘Siapa saja yang mengalami masalah?’ ‘Apa yang mereka lakukan?’ Pada akhir langkah ini kita sudah harus dapat menentukan prioritas masalah yang akan diselesaikan. Metode yang dapat digunakan adalah dengan cara skoring apabila data lengkap atau dengan cara grup nominal apabila data yang digunakan diperoleh dari curah pendapat. Langkah 3. Menetapkan tujuan (Set goals) Setelah dipilih masalah yang menjadi prioritas perlu ditentukan tujuan yang ingin dicapai. Pada saat ini penting untuk mempertimbangkan apakah tujuan tersebut bersifat jangka pendek atau jangka panjang. Kadangkala, karena masalah yang timbul sedemikian besar, kita jadi lupa memikirkan apa tujuan kita selanjutnya. Dengan menentukan tujuan, bisa jadi muncul beberapa pemecahan masalah yang saling terkait. Dengan demikian menentukan tujuan adalah bagian yang sangat penting dari proses pemecahan masalah. Langkah 4. Menyusun Rencana Pemecahan Masalah (Look at Alternatives) Saat tujuan telah didefinisikan dan ditentukan dengan jelas, langkah selanjutnya adalah mencari alternatif pemecahan masalah. Semakin banyak solusi yang diajukan semakin besar kemungkinan menemukan pemecahan masalah yang efektif. Salah satu metode adalah brain-storm, yang bertujuan mengumpulkan ide dan alternatif pemecahan masalah bersama-sama. Pada saat ini tidak perlu menilai apakah ide pemecahan masalah yang diusulkan tersebut bermanfaat, atau praktis, atau dapat dilaksanakan. Tuliskan semua ide yang muncul selama proses brainstorm. Langkah 5. Memilih Pemecahan Masalah (Select a possible solution) Dari sejumlah alternatif pemecahan masalah kita dapat memilih alternatifalternatif mana yang relevan dengan permasalahan yang dihadapi, alternatif mana yang realistis, dan yang mana dapat dilaksanakan. Cara yang dapat dilaksanakan adalah memprediksi hasil/akibat dari masing-masing pemecahan masalah, serta membandingkannya dengan pendapat orang lain. Bila semua konsekuensi telah dibicarakan, kita dapat menggunakannya untuk menentukan solusi mana yang paling relevan dan menghasilkan keluaran terbaik. Langkah 6. Melaksanakan Pemecahan Masalah (Implement a possible solution) Setelah solusi yang terbaik telah terpilih, rencana solusi tersebut siap dilaksanakan. Pelaksanaan solusi tersebut perlu memperhatikan prinsip-prinsip manajemen sebuah program. Aspek kepemimpinan serta kegiatan pengawasan, pengarahan, motivasi dan komunikasi perlu dijalankan dengan baik demi keberhasilan pelaksanaan rencana tersebut. Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | 23 Langkah 7. Evaluasi (Evaluate) Evaluasi untuk menilai keberhasilan pemecahan masalah amat penting. Bila solusi tersebut, secara logika masalah dapat diatasi dan tujuan tercapai. Bila kita tidak puas dengan hasilnya, maka langkah-langkah siklus pemecahan masalah perlu diulangi kembali. Kapan menggunakan Siklus Pemecahan Masalah Memandang pemecahan masalah sebagai sebuah siklus dapat membantu kita memahami bahwa pemecahan masalah bisa lebih dari satu, dan perlu dievaluasi. Karena itu siklus pemecahan masalah dapat digunakan pada saat kita menghadapi sebuah masalah atau merencanakan sebuah program untuk memecahkan masalah kesehatan, baik berupa program kesehatan atau sebuah proses di pelayanan. Beberapa keterampilan lain yang terkait dengan siklus pemecahan masalah di antaranya adalah evaluasi program kesehatan, program jaminan mutu pelayanan, serta mendiagnosis masalah kesehatan di dalam komunitas. Keterampilanketerampilan tersebut akan dibahas pada bagian tersendiri. Referensi: 1. Sihombing G. Ilmu Administrasi dan manajemen program kesehatan untuk mahasiswa kedokteran. Bagian Ilmu Kedokteran Komunitas FKUI;Jakarta:2000. 2. Department of Obstetrics and Gynecology, University of Alabama at Birmingham. Problem solving project, program handbook. 2000. 3. The National Public Health Partnership. A planning framework for publi health practice. 2000. Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | 24 EVALUASI PROGRAM KEDOKTERAN/ KESEHATAN BERDASARKAN PENDEKATAN SISTEM Azrul Azwar, Endang Basuki, Resna A. Soerawidjaja Divisi Manajemen Kedokteran, Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia DEFINISI, TUJUAN DAN MANFAAT Evaluasi Evaluasi menurut The American Public Association adalah suatu proses untuk menentukan nilai atau jumlah keberhasilan dari pelaksanaan suatu program dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Sedangkan menurut The International Clearing House on Adolescent Fertility Control for Population Options1, evaluasi adalah suatu proses yang teratur dan sistematis dalam membandingkan hasil yang dicapai dengan tolok ukur atau standar yang telah ditetapkan, dilanjutkan dengan pengambilan kesimpulan serta penyusunan saransaran, yang dapat dilakukan pada setiap tahap dari pelaksanaan program. Pendekatan sistem Terdapat beberapa macam pengertian dari sistem yang dikemukakan oleh berbagai ahli, antara lain sebagai berikut: 1. Sistem adalah gabungan dari elemen-elemen yang saling dihubungkan oleh suatu proses atau struktur dan berfungsi sebagai satu kesatuan organisasi dalam upaya menghasilkan sesuatu yang telah ditetapkan 2. Sistem adalah suatu struktur konseptual yang terdiri dari fungsi-fungsi yang saling berhubungan yang bekerja sebagai satu unit organik untuk mencapai keluaran yang diinginkan secara efektif dan efisien 3. Sistem adalah kumpulan dari bagian-bagian yang berhubungan dan membentuk satu kesatuan yang majemuk, dimana masing-masing bagian bekerja sama secara bebas dan terkait untuk mencapai sasaran kesatuan dalam suatu situasi yang majemuk pula 4. Sistem adalah suatu kesatuan yang utuh dan terpadu dari berbagai elemen yang berhubungan serta saling mempengaruhi yang dengan sadar dipersiapkan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan Unsur sistem 1. Masukan Yang dimaksud dengan masukan (input) adalah kumpulan bagian atau elemen yang terdapat dalam sistem dan yang diperlukan untuk dapat berfungsinya sistem tersebut. Dalam sistem pelayanan kesehatan, masukan terdiri dari tenaga, dana, metode, sarana/material. Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | 25 2. Proses Yang dimaksud dengan proses adalah kumpulan bagian atau elemen yang terdapat dalam sistem dan yang berfungsi untuk mengubah masukan menjadi keluaran yang direncanakan. Dalam sistem pelayanan kesehatan terdiri dari perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan penilaian. 3. Keluaran Yang dimaksud dengan keluaran (output) adalah kumpulan bagian atau elemen yang dihasilkan dari berlangsungnya proses dalam sistem. Contohnya dalam program BIAS Campak adalah berupa cakupan program di suatu wilayah. 4. Umpan Balik Yang dimaksud dengan umpan balik (feed back) adalah kumpulan dari bagian atau elemen yang merupakan keluaran dari sistem dan sekaligus sebagai masukan bagi sistem tersebut. 5. Dampak Yang dimaksud dengan dampak (impact) adalah akibat yang dihasilkan oleh keluaran suatu sistem. 6. Lingkungan Yang dimaksud dengan lingkungan (environment) adalah dunia di luar sistem yang tidak dikelola oleh sistem tetapi mempunyai pengaruh besar terhadap sistem. Keenam unsur sistem ini saling berhubungan dan mempengaruhi yang secara sederhana dapat digambarkan seperti berikut : Lingkungan Input Proses Output Dampak Umpan Balik Gambar 2. Unsur sistem suatu program Suatu sistem pada dasarnya dibentuk untuk mencapai suatu tujuan tertentu yang telah ditetapkan/disepakati bersama. Dan untuk terbentuknya sistem tersebut, perlu dirangkai berbagai unsur atau elemen sedemikian rupa sehingga secara keseluruhan membentuk suatu kesatuan dan secara bersama-sama berfungsi untuk mencapai tujuan. Apabila prinsip pokok atau cara kerja sistem ini Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | 26 diterapkan ketika menyelenggarakan pekerjaan administrasi, maka prinsip pokok atau cara kerja ini dikenal dengan nama pendekatan sistem (system approach). Evaluasi berdasarkan pendekatan sistem Evaluasi Program berdasarkan pendekatan sistem adalah suatu proses yang teratur dan sistematis dalam membandingkan hasil yang dicapai dengan tolok ukur atau standar dari masing-masing indikator yang telah ditetapkan dari unsur keluaran (output), dilanjutkan dengan menemukan kausa (penyebab), pada unsur lain dari sistem tersebut, kemudian dilakukan pengambilan kesimpulan serta penyusunan saran-saran yang akan memperbaiki pencapaian sistem itu. Tujuan melakukan evaluasi berdasarkan pendekatan sistem Tujuan Umum Mengetahui pelaksanaan dan tingkat keberhasilan pengelolaan suatu program kesehatan, di suatu tempat tertentu, pada waktu tertentu. Tujuan Khusus 1. Diketahuinya pelaksanaan pengelolaan suatu program kesehatan 2. Diketahuinya berbagai masalah pelaksanaan pengelolaan program kesehatan tersebut 3. Diketahuinya prioritas masalah 4. Diketahuinya berbagai penyebab dari masalah yang diprioritaskan tersebut 5. Diketahuinya prioritas penyebab masalah 6. Dirumuskannya pemecahan masalah bagi pelaksanaan pengelolaan EVALUASI PROGRAM FASILITAS KESEHATAN Evaluasi program dilakukan dengan menggunakan pendekatan sistem (system approach). Prinsip pokok pendekatan sistem dalam pekerjaan administrasi dapat dimanfaatkan untuk 2 tujuan. Pertama untuk membentuk sesuatu sebagai hasil dari pekerjaan administrasi. Kedua, untuk menguraikan sesuatu yang telah ada dalam administrasi. Tujuan kedua ini yang akan dipakai dalam mengevaluasi program di suatu fasilitas kesehatan. Contoh program yang akan dievaluasi adalah program di puskesmas.1 LANGKAH-LANGKAH MEMBUAT EVALUASI PROGRAM 1. Menetapkan indikator dari unsur keluaran Langkah awal untuk dapat menentukan adanya masalah dari pencapaian hasil keluaran (output) atau dampak (impact) adalah dengan menetapkan indikator yang akan dipakai untuk mengukur keluaran atau dampak sebagai keberhasilan dari suatu program kesehatan. Sebenarnya dampak merupakan hasil akhir dari suatu program kesehatan, tetapi sering sekali hasilnya belum dapat diukur bila program baru berjalan beberapa bulan atau satu tahun. Misalnya keberhasilan program pemberantasan diare atau program KB, baru Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | 27 akan menunjukkan dampak yang signifikan setelah program berjalan beberapa tahun. Karena itu biasanya yang dipakai sebagai ukuran keberhasilan suatu program kesehatan adalah keluaran. Menetapkan indikator dari keluaran dapat dilakukan dengan mempelajari berbagai sumber rujukan. Bila dari satu sumber ditemukan beberapa indikator dan menurut pandangan kita salah satu atau beberapa indikator tersebut tidak realistis, kita dapat menghilangkannya kemudian menambahkan atau menggunakan indikator keluaran dari sumber yang lain yang dirasakan lebih sesuai. Kita juga boleh memodifikasi indikator tersebut sesuai dengan logika serta referensi yang lebih masuk akal. 2. Menentukan tolok ukur tiap-tiap indikator keluaran yang telah ditetapkan Biasanya di dalam sumber rujukan tersebut selain ada indikator keluaran yang akan dinilai juga ada tolok ukur keberhasilan dari masing-masing indikator tersebut. Bila tolok ukur tersebut dinilai kurang sesuai atau tidak realistis, misalnya karena sudah kadaluwarsa atau tidak cocok dengan kondisi lapangan yang kita nilai, maka bisa saja penilai menggunakan tolok ukur lainnya yang diyakini lebih masuk akal. Tidak tertutup kemungkinan tolok ukur yang ingin dicapai ditetapkan sendiri oleh penilai beserta timnya, dengan pembenaran yang dapat diterima atau berdasarkan pengalaman orang lain yang diunduh dari referensi yang ada. Sebagai contoh untuk penilaian terhadap Program Kesehatan Jiwa, nilai tolok ukur antara lain dapat diperoleh dari berbagai sumber seperti misalnya Buku Standar Manajemen Mutu Pelayanan Kesehatan Jiwa dari Dinas Kesehatan, Stratifikasi Puskesmas tahun 2000, Buku Pedoman Kerja Puskesmas dan sebagainya.2 Internet merupakan salah satu sumber untuk memperoleh indikator dan tolok ukurnya masing-masing. 3. Membandingkan pencapaian masing-masing indikator keluaran program dengan tolok ukurnya Langkah selanjutnya adalah membandingkan hasil pencapaian tiap-tiap indikator keluaran program dengan tolok ukur masing-masing. Bila ada kesenjangan antara pencapaian indikator keluaran program dengan tolok ukurnya, maka ditetapkan sebagai masalah. Masalah bisa lebih dari satu, tergantung dari banyaknya indikator yang dipakai untuk mengukur keberhasilan keluaran program. 4. Menetapkan prioritas masalah Masalah-masalah pada komponen keluaran belum tentu semuanya dapat di atasi secara bersamaan mengingat keterbatasan kemampuan fasilitas kesehatan. Selain itu adanya kemungkinan masalah-masalah tersebut berkaitan satu dengan yang lainnya dimana bila diselesaikan salah satu masalah yang dianggap paling penting, maka masalah lainnya dapat teratasi Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | 28 pula. Oleh sebab itu, perlu ditetapkan prioritas masalah yang akan dicari pemecahannya. Penetapan prioritas masalah dilakukan dengan menggunakan teknik kriteria matriks (criteria matrix technique). Pada teknik ini terdapat variabel pentingnya masalah/I (Importancy) yang diukur berdasarkan besarnya masalah/P (Prevalence), akibat yang ditimbulkan masalah/S (Severity), kenaikan besarnya masalah/RI (Rate of Increase), derajat keinginan masyarakat yang tidak terpenuhi/DU (Degree of Unmet Need), keuntungan sosial karena selesainya masalah/SB (Social Benefit), kepedulian masyarakat/PB (Public Concern), dan suasana politik/PC (Political Climate). Selain itu juga digunakan kriteria kelayakan teknologi/T (Technical feasibility). Makin layak teknologi yang tersedia dan yang dapat dipakai untuk mengatasi masalah, makin diprioritaskan masalah tersebut. Begitu juga dengan sumber daya yang tersedia/R (Resources availability). Makin tersedia sumber daya yang dapat dipakai untuk mengatasi masalah, maka makin diprioritaskan masalah tersebut. Beri nilai antara 1 (tidak penting) sampai dengan 5 (sangat penting) pada tiap kotak dalam matriks sesuai dengan jenis masalah masingmasing. Dalam proses pemberian nilai, misalnya untuk prevalensi, tentunya harus dipertimbangkan prevalensi dari masing-masing masalah yang akan diprioritaskan tersebut. Prevalensi yang paling tinggi tentunya diberi nilai yang tertinggi, sedangkan prevalensi yang terendah diberi niai 1. Masalah yang dipilih sebagai prioritas adalah yang memiliki nilai I x T x R tertinggi. Dalam penetapan prioritas masalah, dapat dilibatkan seluruh petugas fasilitas kesehatan. Dalam proses penetapan masalah ini tentunya setiap orang yang terlibat dalam kegiatan ini harus memahami benar masalah yang dihadapi dan akan dipilih prioritasnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang baik, penilai harus memaparkan masalah ini kepada semua anggota tim penilai yang terlibat. Pembobotan pada masing-masing indikator keluaran harus disertai dengan pembenaran yang dapat diterima. Alasan pemberian bobot untuk tiap-tiap variabel pada matriks untuk setiap masalah harus dituliskan dengan jelas. Misalnya untuk masalah A, mengapa diberikan nilai tinggi (5) untuk prevalensinya, sedangkan untuk rate of increasenya hanya diberikan nilai sedang (3) dan seterusnya. Contoh dapat dilihat pada Lampiran 1. Dalam melakukan pembobotan, prosesnya dimulai dari prevalensi, severity, dan seterusnya. Dilakukan pembobotan prevalensi tiap-tiap masalah, kemudian selanjutnya dilakukan pembobotan severity tiap masalah, dan seterusnya. Dalam melakukan pembobotan, harus dipakai data yang akurat, dan mutakhir. 5. Membuat kerangka konsep dari masalah yang diprioritaskan Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | 29 Untuk menentukan penyebab masalah yang telah diprioritaskan tersebut, perlu dibuat kerangka konsep prioritas masalah. Hal ini bertujuan untuk menentukan faktor-faktor penyebab masalah yang berasal dari komponen sistem yang lainnya, yaitu komponen input, proses, lingkungan dan umpan balik. Dengan menggunakan kerangka konsep diharapkan semua faktor penyebab masalah dapat diketahui dan diidentifikasi sehingga tidak ada yang tertinggal. Jelaskan hubungan antara faktor-faktor dalam kerangka konsep tersebut. Kadang-kadang ada faktor yang mempengaruhi prioritas masalah melalui faktor lain. Perhatikan benar-benar hubungan antar faktor tersebut. Dalam membuat kerangka konsep dapat dipakai diagram pohon atau diagram tulang ikan. Semua variabel yang ada di dalam kerangka konsep, ditulis dalam bentuk netral. Contoh dapat dilihat pada Lampiran 1.3,4 6. Identifikasi penyebab masalah Selanjutnya dilakukan identifikasi berbagai penyebab masalah yang terdapat pada kerangka konsep. Identifikasi penyebab masalah dilakukan dengan: 1) Mengelompokkan faktor-faktor yang diperkirakan berpengaruh terhadap prioritas masalah dalam unsur masukan, proses, umpan balik dan lingkungan, 2) menentukan indikator-indikator serta tolok ukurnya masing-masing dari faktor-faktor tersebut 3) Mengukur besarnya nilai indikator-indikator tersebut di lapangan, 4) Membandingkan nilai dari tiap-tiap indikator tersebut dengan tolok ukurnya. Bila terdapat kesenjangan, maka ditetapkan sebagai penyebab dari masalah yang diprioritaskan tadi. Tentu saja penyebabnya bisa lebih dari satu. Pada waktu mengukur besarnya nilai indikator di lapangan tersebut diperlukan pengumpulan data baik data yang ada dalam dokumen atau data yang diperoleh dari wawancara atau kuesioner. Bisa juga data diperoleh dari laporan tahunan, triwulan, dan sebagainya. Wawancara atau pemberian kuesioner dapat dilakukan terhadap petugas atau pengunjung fasilitas yang dinilai, tergantung kebutuhannya. Tolok ukur dana harus dibuat, dengan memperkirakan besarnya biaya yang harus disediakan oleh program yang dievaluasi tersebut agar menghasilkan keluaran yang baik. Tolok ukur dana dinyatakan dalam bentuk rupiah. 7. Memprioritaskan penyebab masalah Bila penyebab masalah telah diketahui, teliti kembali apakah semua penyebab tersebut saling berkaitan. Bila saling berkaitan, tidak perlu dibuat prioritas penyebab masalah. Bila ternyata penyebab masalah amat bervariasi, usahakan untuk mengelompokkan berdasarkan keterkaitan masing-masing penyebab tersebut. Bisa saja dari 10 penyebab masalah dikelompokkan menjadi 3 kelompok besar. Tiga kelompok penyebab masalah ini yang perlu dicari prioritasnya. Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | 30 Prioritas penyebab masalah dapat diperoleh dengan cara melakukan teknik kriteria matriks yang telah dipelajari, bisa juga dengan metode lainnya seperti misalnya teknik kelompok nominal (Nominal Group Technique), yakni metode untuk memperoleh beberapa prioritas utama dari sedemikian banyak pilihan. Biasanya dilakukan dalam kelompok. terdiri dari 2 bagian: 1) Formalisasi sumbang saran, 2) Membuat pilihan. Caranya adalah sebagai berikut: Dengan memperlihatkan kerangka konsep, pemimpin diskusi memaparkan semua penyebab masalah yang diperkirakan, serta data yang berhubungan dengan kemungkinan penyebab masalah tersebut. Minta tiap anggota tim mengemukakan ide-idenya tentang penyebab masalah tersebut. Ketua tim menuliskan penyebab-penyebab masalah yang dipaparkan anggotanya. Langkah kedua dilaksanakan dengan membuang penyebab-penyebab yang dirasakan tidak terlalu penting. Anggota boleh membuang idenya, tetapi tidak boleh membuang ide orang lain. Selanjutnya kepada masing-masing anggota dibagikan kartu. Banyaknya kartu sesuai dengan banyaknya ide yang dituliskan. Bila ide kurang dari 20, cukup dibagikan 4 kartu. Tiap anggota menuliskan ide yang dipilihnya serta peringkatnya. Jadi bila ada 4 kartu, seorang anggota akan menulis, misalnya Ide A perngkat 1, Ide nomer 4 peringkat 2. Ide nomer 6, peringkat 3. Ide nomer 10, peringkat 4. Di akhir sesi, dilihat ide mana yang mempunyai peringkat tertinggi. Itu yang ditentukan sebagai penyebab masalah utama.5 8. Membuat alternatif pemecahan masalah Setelah kita mengetahui prioritas penyebab masalah, tindakan selanjutnya yang perlu dilakukan adalah membuat 2 sampai 3 alternatif pemecahan masalah yang diperkirakan dapat mengatasi penyebab masalah tersebut. Alternatif pemecahan masalah ini dibuat dengan memperhatikan kemampuan serta situasi dan kondisi fasilitas kesehatan. Berarti diperlukan wawancara dengan petugas di fasilitas kesehatan tersebut yang diperkirakan akan melaksanakan program tersebut. Sumber rujukan lain yang sangat penting adalah referensi yang dapat diperoleh dari jurnal atau pengalaman orang lain yang telah didokumentasikan. Komunikasi personal dengan seorang yang berpengalaman juga sangat dianjurkan. Alternatif penyebab masalah hendaknya dibuat secara rinci, sehingga jelas sekali tujuan umumnya, tujuan khusus, sasaran, metode, jadwal kegiatan, serta rincian dananya. Dana sering tidak ditulis secara rinci. Padahal dana sangat penting dalam menentukan apakah suatu alternatif pemecahan masalah nantinya akan terpilih pada waktu melakukan pemilihan prioritas masalah. Rincian dana ini harus dikembangkan oleh penilai. 9. Menentukan prioritas cara pemecahan masalah Dari berbagai alternatif cara pemecahan masalah yang telah dibuat, dipilih satu cara pemecahan masalah yang dianggap paling baik dan memungkinkan. Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | 31 Pemilihan/penentuan prioritas cara pemecahan masalah ini dengan memakai teknik kriteria matriks. Dua kriteria yang lazim digunakan adalah : a. Efektivitas Jalan keluar Tetapkan nilai efektivitas (effectiveness) untuk setiap alternatif jalan keluar, yakni dengan memberikan angka 1 (paling tidak efektif) sampai dengan angka 5 (paling efektif). Prioritas jalan keluar adalah yang nilai efektivitasnya paling tinggi. Untuk menentukan efektivitas jalan keluar, dipergunakan kriteria tambahan sebagai berikut : Besarnya masalah yang dapat diselesaikan (Magnitude) Makin besar masalah yang dapat di atasi, makin tinggi prioritas jalan keluar tersebut. Pentingnya jalan keluar (Importancy) Pentingnya jalan keluar dikaitkan dengan kelanggengan penyelesaian masalah. Makin lama masa bebas masalah, makin penting jalan keluar tersebut. Sensitivitas jalan keluar (Vulnerability) Sensitivitas dikaitkan dengan kecepatan jalan keluar mengatasi masalah. Makin cepat masalah teratasi, makin sensitif jalan keluar tersebut. b. Efisiensi Jalan Keluar (C) Tetapkan nilai efisiensi (Efficiency) untuk setiap alternatif jalan keluar. Nilai efisiensi ini biasanya dikaitkan dengan biaya (cost) yang diperlukan untuk melaksanakan jalan keluar. Makin besar biaya yang diperlukan, makin tidak efisien jalan keluar tersebut. Berikan angka 1 (biaya paling sedikit) sampai dengan angka 5 (biaya paling besar). Nilai prioritas (P) untuk setiap alternatif jalan keluar dihitung dengan membagi hasil perkalian nilai M x I x V dibagi C. Jalan keluar dengan nilai P tertinggi, adalah prioritas jalan keluar terpilih. Lihat contoh di lampiran 1.4 10. Pengumpulan Data Data yang akan diambil meliputi semua data yang berkaitan dengan indikator dari masing-masing variabel yang ada di dalam kerangka konsep, baik variabel prioritas masalah maupun semua variabel kemungkinan penyebab masalah. Selain itu juga diperlukan data untuk dapat menentukan berbagai alternatif pemecahan masalah. Data primer bisa berasal dari wawancara, diskusi kelompok terarah (FGD), atau kuesioner yang mungkin dipakai untuk mengumpulkan data, atau dari status pasien yang pengisiannya dilakukan sendiri oleh penilai beserta timnya sesuai tujuan penelitian. Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | 32 Data sekunder adalah data yang berasal dari laporan bulanan dan tahunan, serta rekam medik Data tersier adalah data yang berasal dari suatu publikasi. 11. Membuat kesimpulan dan saran Kesimpulan adalah penyampaian singkat semua hasil yang diperoleh sesuai dengan tujuan-tujuan yang ingin dicapai. Sebagai hasil akhir dari penilaian adalah terpilihnya prioritas pemecahan masalah. Saran merupakan kondisi atau prasyarat yang diharapkan dapat disediakan oleh fasilitas kesehatan agar pemecahan masalah yang diprioritaskan tersebut dapat terlaksana dengan baik. Jadi harus ada keterkaitan antara saran yang diajukan dengan prioritas pemecahan masalah. FORMAT LAPORAN EVALUASI PROGRAM Format laporan evaluasi (penilaian) program kesehatan adalah sebagai berikut. 1. Pendahuluan 1.1. Latar Belakang 1.2. Permasalahan 1.3. Tujuan 1.3.1. Tujuan Umum 1.3.2. Tujuan Khusus 1.4. Manfaat 2. Tinjauan Pustaka 3. Metode Evaluasi 4. Penyajian Data o Gambaran Umum Wilayah Kerja o Data Khusus (data yang berhubungan dengan program yang dinilai) 5. Hasil Penilaian dan Pembahasan a. Indikator dan Tolok Ukur Keluaran b. Identifikasi Masalah c. Prioritas Masalah d. Kerangka Konsep Masalah e. Identifikasi Penyebab Masalah f. Alternatif Pemecahan Masalah g. Prioritas Pemecahan Masalah 6. Kesimpulan dan Saran a. Kesimpulan b. Saran 7. Daftar Pustaka DAFTAR PUSTAKA Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | 33 1. Azwar A. Pengantar Administrasi Kesehatan. Edisi 3, Binarupa Aksara, Jakarta; 1996.p.181-210, p.329-347. 2. Arief M.R. Penilaian Program Kesehatan Jiwa Periode 2003, di Puskesmas Cengkareng, Jakarta Barat. Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas, FKUI 2004. 3. Hassarief M.I. Penilaian Program Pengelolaan Obat di Puskesmas Kecamatan Pulogadung Periode Januari-Juli 2006. Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas FKUI, 2006. 4. Maselia. Penilaian Program BIAS Campak Periode April 2006 di Puskesmas Kelurahan Pulogadung, Jakarta Timur. Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas, FKUI, 2006. 5. Pyzdek T. The Six Sigma Handbook. Penerbit Salemba Empat, 2002. Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | 34 PELAYANAN KESEHATAN DENGAN PENDEKATAN DOKTER KELUARGA Nitra N. Rifki, Dhanasari Vidiawati, Retno Asti Werdhani Divisi Kedokteran Keluarga, Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Definisi kesehatan menurut UU no 36 tahun 2009 adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis yang dibutuhkan individu, keluarga, kelompok, dan masyarakat. Indonesia masih memerlukan sebuah sistem pelayanan kesehatan tingkat primer yang bersifat menyeluruh, serta memiliki hubungan kerja sama dengan berbagai pihak untuk menjamin kelancaran dan kesinambungan pelayanan medis pasien. Oleh karena itu itu dibutuhkan pelayanan kesehatan yang bersifat paripurna, tidak terkotak-kotak, terpadu/integrasi, bersinambung, berbasis lima tingkat pencegahan, tersedia setiap saat dibutuhkan, serta memperhatikan factor fisik, mental, social, budaya, spiritual dan lingkungan lain yang mempengaruhi dan/atau dipengaruhi oleh masalah kesehatan pasien. Ilmu kedokteran keluarga merupakan ilmu yang mencakup seluruh spektrum ilmu kedokteran, berorientasi pada pelayanan kesehatan tingkat primer yang bersinambung dan menyeluruh kepada satu kesatuan individu, keluarga dan masyarakat dengan memperhatikan faktor-faktor lingkungan, ekonomi dan social-budaya. Termasuk diantaranya terkait pada masalah-masalah keluarga yang ada hubungannya dengan masalah kesehatan yaitu masalah sehat-sakit yang dihadapi oleh perorangan sebagai bagian dari anggota keluarga. (PB IDI, 1983) Untuk menunjang keberhasilan pelayanan kesehatan yang bersifat paripurna, diperlukan kualitas dokter layanan primer dan paramedis dengan pendekatan kedokteran keluarga yang dapat berkomunikasi serta dapat saling bekerja sama untuk mengoptimalisasi penatalaksanaan masalah kesehatan pasien dan keluarga menuju kualitas hidup masyarakat Indonesia yang lebih baik. KONSEP DASAR Ruang lingkup karakteristik kedokteran keluarga terdiri dari beberapa konsep dasar seperti komitmen untuk melakukan pembinaan terhadap pasien dan keluarganya secara terus menerus, sebuah pendekatan yang komprehensif, dan menerima semua pasien tanpa memandang jenis kelamin, usia, atau jenis penyakit. Hal tersebut dilakukan oleh seorang dokter keluarga dalam ruang lingkup praktik berbasis masyarakat serta rawat jalan. Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | 35 Ilmu Kedokteran Keluarga adalah disiplin ilmu yang berkaitan dengan penyediaan pelayanan kesehatan personal yang dilakukan di fasilitas kesehatan tingkat primer, dengan pendekatan komprehensif dan terus-menerus bagi individu sebagai bagian dari keluarga, masyarakat, dan lingkungannya. Disiplin ini juga dikenal dengan nama lain seperti 'Dokter Praktik Umum' atau 'Dokter Layanan Primer'. Untuk tujuan praktis, istilah ini memiliki makna yang sama. Namun istilah 'Kedokteran Keluarga' lebih disukai untuk menekankan keluarga sebagai unit sosiologi yang memberikan dukungan kepada individu serta menegaskan pentingnya keluarga dalam sebab dan akibat dari kesehatan dan penyakit individu. Dokter keluarga adalah seorang praktisi medis berkualitas yang menyediakan pelayanan kesehatan personal di pelayanan kesehatan tingkat primer, dengan pendekatan holistik dan komprehensif, serta melakukan tindak lanjut terhadap pelayanan kesehatan kepada pasien dalam kaitannya dengan keluarga, masyarakat, dan lingkungan mereka. Seorang dokter keluarga mungkin hadir untuk pasien di kliniknya, di rumah pasien, atau kadang-kadang di rumah sakit. Dalam mengobati pasiennya, dokter keluarga harus memperlakukan pasien sebagai manusia seutuhnya, jiwa serta sistem tubuh mereka dan tidak hanya memperhatikan tanda-tanda dan gejala klinis saja. Dalam memberikan pelayanan yang komprehensif dan berkelanjutan, dokter keluarga perlu berinteraksi dengan rekan-rekan medis dan paramedis. Dalam mempromosikan kesehatan pasiennya, dokter keluarga tidak hanya mengobati, tetapi juga menganggap setiap kontak dengan pasien sebagai kesempatan untuk melakukan pencegahan, pendidikan kesehatan dan konseling terhadap pasien dan keluarga. Dokter keluarga harus mengetahui berbagai issue kesehatan dan dampaknya, mendidik pasien tentang perawatan diri, keluaran serta prognosis penyakit, disertai pemahaman mengenai harapan, kekhawatiran, dan persepsi pasien. Pola penyakit dalam praktik dokter keluarga menggambarkan pola penyakit di masyarakat. Ini berarti bahwa kasus-kasus yang ditemukan di praktik dokter keluarga adalah penyakit-penyakit yang memiliki angka insidensi dan prevalensi tinggi; seperti penyakit akut jangka pendek yang bersifat sementara, dapat sembuh sendiri (self limiting disease) dan penyakit kronis serta psikosomatik. Di satu pihak, ada pasien yang datang bukan karena masalah fisik maupun psikis. Mereka datang dengan masalah campuran kompleks dari unsur-unsur fisik, psikologis, dan sosial. Karena perannya sebagai dokter utama/pertama/gate keeper, dokter keluarga cenderung menghadapi penyakit pada tahap awal. Diagnosis dini merupakan tanggung jawab utama, terutama pada penyakit dimana pengobatan awal dapat membuat perbedaan prognosis. Oleh karena itu, seorang dokter keluarga harus sangat memperhatikan data klinis tahap awal yang membedakan penyakit serius dan mengancam nyawa dari penyakit kurang serius. Gejala-gejala, tanda, dan tes yang diidentifikasi pada tahap awal dapat memberikan gambaran hasil yang berbeda bila diidentifikasi di tahap selanjutnya. Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | 36 ATRIBUT DOKTER KELUARGA Karakteristik dasar kedokteran keluarga dan atributnya memberi sumbangan substansial terhadap sistem kesehatan di semua negara. Atribut pelayanan dengan pendekatan kedokteran keluarga adalah sebagai berikut: Pelayanan Personal Ini menggambarkan pelayanan yang dilakukan berdasarkan hubungan yang harmonis antara dokter dan pasien. Pasien dapat berkonsultasi ke dokter keluarganya tidak hanya ketika ia sedang sakit tetapi juga pada saat pasien ingin mencari nasihat dokter sebagai seorang teman dan mentor. Pelayanan Umum Praktik dokter keluarga keluarga tidak memilih masalah kesehatan dari seluruh populasi, melainkan mencakup seluruh masalah kesehatan dari semua kategori usia, jenis kelamin, kelas sosial, ras, agama, atau keluhan-keluhan yang berhubungan dengan semua masalah kesehatan tersebut. Praktik dokter keluarga harus mudah diakses dengan cepat serta tidak dibatasi oleh hambatan geografis, budaya, administrasi, atau keuangan. Pelayanan dapat dilakukan di kantor/perusahaan atau di klinik baik di wilayah perkotaan maupun pedesaan. Pelayanan Tingkat Primer Pelayanan kesehatan tingkat primer disediakan sebagai titik kontak pertama pasien untuk mendapatkan pelayanan kesehatan (Starfield 1990). Berdasarkan sifatnya, pelayanan kesehatan tingkat primer harus bersifat umum dan mampu mengatasi masalah kesehatan apa pun yang timbul. Dalam pelayanan kesehatan tingkat primer, pasien mungkin datang dengan satu atau lebih dari alasan kedatangan: nyeri atau gejala lainnya, kecelakaan dan darurat, pelayanan kesehatan preventif, persyaratan administrasi (pemeriksaan fisik dan sertifikasi kesehatan), meyakinkan sesuatu (khawatir akan gejala tertentu), masalah hidup, atau surat sakit. Jika perlu, pasien dapat dirujuk dari pelayanan kesehatan tingkat primer ke rumah sakit tingkat sekunder / tersier atau profesional kesehatan lainnya. Akses pasien ke profesional kesehatan tingkat sekunder / tersier adalah melalui rujukan dokter keluarga. Pelayanan Bersinambung Konsultasi dalam praktik dokter keluarga tidak terjadi dalam satu waktu. Hal ini didasari pada hubungan pribadi jangka panjang antara pasien dan dokter, yang meliputi pelayanan kesehatan individu jangka panjang sebagai bagian dari kehidupan mereka. Tidak terbatas pada satu episode tertentu dari penyakit, tetapi juga untuk mempertahankan dan/atau meningkatkan kesehatan dalam jangka panjang. Oleh karena itu diperlukan pemantauan secara rutin dan juga perawatan komplikasi yang mungkin timbul. Pelayanan ini dapat diberikan oleh Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | 37 dokter sendiri, atau dokter sebagai anggota tim. Kebutuhan mendasar adalah adanya rencana pengelolaan masalah kesehatan secara jelas dan tertulis. Oleh karena itu, penting adanya rekam medis yang terjaga baik kualitasnya, komunikasi, dan diskusi tentang rencana penatalaksanaan dengan pasien dan keluarganya. Pelayanan Komprehensif Praktik dokter keluarga menyediakan berbagai layanan, termasuk manajemen penyakit akut dan kronis, promosi kesehatan terpadu, pencegahan penyakit, pengobatan kuratif, rehabilitasi fisik dan psikologis, serta dukungan sosial kepada individu. Pelayanan komprehensif medis adalah pelayanan yang menyediakan pelayanan pencegahan primer, sekunder dan tersier di satu tempat (klinik, rumah sakit, panti jompo, atau melalui telepon) dan memiliki pendekatan untuk melakukan pencegahan setiap kali bertemu/berbicara dengan pasien. Ini berkaitan dengan keluhan dan penyakit, yang mengintegrasikan humanistik dan aspek etis dari hubungan dokter-pasien dalam pengambilan keputusan klinis. Pelayanan Terkoordinasi Dokter keluarga mengetahui seluruh daftar masalah pasien dan sumber utama informasi perawatan pasien. Seorang dokter keluarga bisa menangani banyak masalah kesehatan yang disampaikan oleh individu pada kontak pertama mereka, tetapi bila perlu, dokter keluarga harus memastikan rujukan yang sesuai, tepat waktu, dan kontrol dari pasien ke layanan spesialis atau ahli kesehatan lain. Dalam kesempatan tersebut, dokter keluarga harus memberi tahu pasien tentang layanan yang tersedia dan bagaimana cara terbaik untuk menggunakannya, serta harus menjadi koordinator dari nasihat dan dukungan yang diterima pasien. Dokter keluarga harus bertindak sebagai manajer pelayanan dan berhubungan dengan penyedia pelayanan kesehatan dan sosial lainnya, serta bertindak sebagai penasihat pasien mengenai berbagai masalah kesehatan. Pelayanan Berkolaborasi Dokter keluarga harus siap bekerja dengan tenaga kesehatan lain dan penyedia pelayanan sosial, mendelegasikan perawatan pasien kepada mereka jika diperlukan, dengan memperhatikan kompetensi disiplin ilmu lainnya. Seorang dokter keluarga harus berkontribusi dan berpartisipasi aktif dalam tim perawatan multidisiplin yang berfungsi dengan baik dan harus siap untuk melaksanakan kepemimpinan tim. Pelayanan Berorientasi Keluarga Praktik dokter keluarga menangani masalah-masalah kesehatan individu dalam konteks sebagai bagian dari keluarga mereka, jaringan sosial dan budaya, serta keadaan di mana mereka tinggal dan bekerja. Banyak orang menghadapi penyakitnya sendiri, namun mereka juga memanfaatkan sumber daya di sekitar Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | 38 mereka. Kerabat, anggota keluarga, dan teman-teman dapat memberikan dukungan, saran, dan bentuk keperawatan awam jika diperlukan. Hal ini khususnya diperlukan pada penyakit anak. Untuk mendapatkan bantuan dan dukungan dari sekitar, biasanya bergantung pada unit keluarga. Para dokter akan mengetahui kesehatan keluarga sebagai satu unit, juga sebagai keluarga yang telah melewati tahapan kehidupan keluarga. Bentuk keluarga Fungsi keluarga Ada 8 tahapan kehidupan keluarga (Duvall, 1977) dan contoh risiko yang mungkin terjadi: 1. Menikah (belum memiliki anak) : cth. Gangguan hubungan seksual, infertilitas, gangguan pada kehamilan, keguguran 2. Bayi (anak berusia 0-30 bulan) : cth. Penyesuaian diri sebagai orang tua, gangguan tumbuh kembang anak, ASI tidak eksklusif, gizi kurang, imunisasi tidak lengkap, kerentanan terhadap penyakit infeksi, kelainan genetik 3. Balita (anak berusia 30 bulan – 6 tahun) : cth. Gangguan tumbuh kembang, gizi kurang, gangguan atensi, kerentanan terhadap penyakit infeksi, kesehatan gigi, penyakit keturunan, obesitas pada anak 4. Usia sekolah (anak berusia 6-13 tahun) : cth. Gangguan belajar, gangguan atensi, penyakit infeksi, penyakit keturunan, gangguan pubertas, pendidikan seks, obesitas pada anak, krisis percaya diri 5. Remaja (anak berusia 13 – 20 tahun) : cth. Kenakalan remaja, perilaku seks bebas dan tidak aman, alcohol, narkoba, krisis percaya diri, penyakit menular seksual, kehamilan remaja, orientasi seksual, krisis kematangan dan kemandirian 6. Anak satu persatu meninggalkan keluarga (‘Launching family’) : cth. Ketidakmampuan adaptasi terhadap lingkungan luar rumah, stress, komunikasi anak-orang tua tidak lancar, obesitas, sindrom metabolik, perubahan gaya hidup, kesehatan mental 7. Orang tua usia pertengahan/pensiun (seluruh anak meninggalkan keluarga) : cth. Penyakit degeneratif dan kardiovaskuler, ‘post power syndrome’, kesehatan mental, stress, komunikasi anak-orang tua tidak lancar, komplikasi sindrom metabolik, osteoporosis, perubahan bentuk tubuh, hilangnya libido, kulit keriput, kanker, menopause, gangguan sendi 8. Usia lanjut (sampai dengan meninggal dunia) : depressi dan penuaan, tinggal sendiri dalam rumah (soliter), kedukaan, penurunan respons seksual, penyakit kronis dan stadium terminal, multifarmaka, komunikasi kakek/nenek-anak-cucu tidak lancar, tidak menerima kematian Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | 39 Pelayanan Berorientasi Masyarakat Masalah pasien harus dilihat dalam konteks hidupnya di masyarakat setempat. Dokter keluarga harus menyadari kebutuhan kesehatan penduduk yang hidup di komunitas dan harus berkolaborasi dengan profesional lainnya, lembaga dari sektor lain serta kelompok lain untuk memulai perubahan positif dalam masalah kesehatan setempat. Dengan sumber daya yang memadai, dokter keluarga dapat mengelola masalah kesehatan di masyarakat. Kepedulian dari masyarakat dan oleh masyarakat, tergantung pada kemauan dan kemampuan masyarakat untuk mengatasi masalah mereka sendiri Pelayanan dengan Pendekatan Holistik Penyakit adalah sebuah fenomena psikososial yang sama kontribusinya dengan fenomena biologis. Dokter keluarga harus menyadari bahwa faktor yang berkontribusi untuk terjadinya sehat-sakit dan sejahtera tidak hanya berasal dari dimensi fisik, tetapi juga dari dimensi sosial dan psikologis pasien (model biopsiko-sosial kesehatan) serta dari keluarga dan komunitasnya. Dengan memperhatikan ini, dokter dapat memecahkan masalah kesehatan fisik secara efektif. Solusi untuk kesehatan yang baik sebenarnya terletak di luar obat-obatan. Pelayanan dengan Bio-Psycho-Sosial model Adalah penting untuk mengenali bahwa setiap penyakit memiliki berbagai kontribusi dan konsekuensi fisik, sosial, dan psikologis. Tidak cukup hanya memperhatikan aspek-aspek fisik saja. Selama perawatan di rumah sakit, dimensi fisik mungkin menjadi yang utama. Namun setelah pasien sembuh, dimensi sosial dan psikologis akan menjadi lebih dominan. Dalam praktik dokter keluarga, beberapa pasien mungkin mengalami masalah sosial atau psikologis sebagai penyebab kesehatan yang buruk dan ini dapat diekspresikan sebagai keluhan fisik. Model biopsikososial sering disalahpahami. Ini dapat ditafsirkan sebagai keseimbangan dokter dalam menangani masalah biomedis, psikologis dan sosial, dimana dokter mungkin cukup berkata, "bukanlah tugas saya untuk menangani masalah perumahan, namun ada sumber lain yang lebih tepat untuk membantu”. Berurusan dengan masalah perumahan biasanya bukan pekerjaan dokter, tapi mungkin menjadi perhatian jika masalah perumahan memiliki hubungan yang signifikan terhadap penyakit pasien. Pelayanan Berpusat Pada Pasien (Patient Centered) Praktik dokter keluarga berpusat pada manusia dibandingkan berpusat pada penyakit. Salah satu alasan pasien mengunjungi dokter adalah untuk mendapatkan akses keahlian medis yang memungkinkan dokter untuk memikul beberapa tanggung jawab dalam mengelola penyakit. Untuk menyembuhkan Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | 40 pasien, hal lain yang diperlukan, yaitu, kemampuan untuk memahami dunia batin pasien - nilai-nilai hidup, pikiran, perasaan, dan ketakutan pasien. Esensi berpusat pada pasien adalah upaya dokter untuk memenuhi tugas ganda: memahami pasien dan memahami masalahnya. Dari pemahaman ini mengalir proses manajemen untuk pasien dan masalahnya. Sebagai dokter, dengan mengetahui lebih banyak tentang pasien (biografi mereka, hubungan interpersonal, kepribadian, perilaku, lingkungan fisik, sosial, budaya, dll), ia akan lebih mampu untuk mengembangkan wawasan yang lebih besar akan kebutuhan pasien yang sesungguhnya. Kunci dari hubungan yang berpusat pada pasien adalah memberikan kesempatan pasien untuk berbicara, termasuk mengekspresikan perasaan. Dari sini tidak hanya dokter dapat mengidentifikasi gejala dan tandatanda serta membuat diagnosis tepat, tetapi dengan mendengarkan pasien, dokter dapat mengidentifikasi apa yang menjadi masalah ‘nyata’ sebenarnya. Kemudian diperlukan keputusan bersama antara dokter dan pasien untuk menentukan tindakan terbaik. Jika kedua belah pihak setuju, akan berdampak kepada manajemen yang tepat dari masalah dan kepatuhan pasien akan tinggi. Hasilnya adalah kepuasan pasien dan dokter (Mead dan Bower 2000). DIAGNOSIS HOLISTIK Karena kebutuhan seorang dokter keluarga untuk berpikir holistik dalam mengidentifikasi faktor-faktor yang berkontribusi dalam sehat-sakit dan sejahtera, maka perlu adanya pencarian penyebab masalah kesehatan yang dikaitkan dengan aspek personal, aspek klinis, aspek individual, psikososial, keluarga, serta lingkungan kehidupan pasien lainnya (faktor risiko internal dan eksternal). Dengan demikian diharapkan penyelesaian masalah dapat dilakukan langsung secara efektif dan efisien terhadap penyebab utamanya. Proses pengumpulan data dilakukan berdasarkan standar yang telah ditetapkan disertai kerjasama antar penyedia pelayanan kesehatan. Tidak semua data diidentifikasi di kamar praktik dokter dan tidak harus selalu terjadi dalam satu waktu. Proses identifikasi ini terjadi secara bersinambung dan terintegrasi. Untuk itu diperlukan pencatatan yang baik dan benar. Diagnosis holistik terdiri dari 5 aspek : 1. Aspek Personal a. Idenfitikasi alasan kedatangan pasien b. Identifikasi harapan pasien c. Identifikasi kekhawatiran pasien 2. Aspek Klinik a. Identifikasi diagnosis kerja/diagnosis klinis b. Identifikasi diagnosis banding 3. Aspek Risiko Internal Pasien Identifikasi faktor penyebab masalah kesehatan pasien yang berasal dari dalam tubuh pasien : status gizi, perilaku, imunitas, jenis kelamin, usia, dll. Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | 41 4. Aspek Risiko Eksternal Pasien Identifikasi faktor penyebab masalah kesehatan pasien yang berasal dari luar tubuh pasien : lingkungan keluarga, lingkungan rumah, lingkungan pekerjaan, stressor, dll 5. Aspek Fungsional Identifikasi derajat fungsional pasien yaitu dampak aktivitas harian pasien saat mengalami keluhan/gejala yang dikeluhkan (International Classification of Primary Care). Dibagi menjadi lima: - 1 : No difficulty at all (sama sekali tidak mengurangi pekerjaan/aktivitas harian) - 2 : A little bit of difficulty (mulai mengurangi aktivitas berat, aktivitas ringan masih mampu) - 3 : Some difficulty (mulai mengurangi aktivitas ringan, sebagian perawatan diri sementara dibantu orang lain, kemungkinan perawatan di RS untuk sementara waktu) - 4 : Much difficulty (aktivitas harian lebih banyak di rumah, tidak mampu bekerja di luar rumah, perawatan diri sebagian sudah harus dibantu orang lain) - 5 : Could not do/permanent unfit (100% berbaring di tempat tidur, perawatan diri seluruhnya harus dibantu orang lain) No 1. Aspek Alasan kedatangan pasien Rincian 1.1. keluhan utama (reason of encounter) /simptom/ sindrom klinis yang ditampilkan Keterangan Keluhan (complaints) Fisik, m neuropsikologikososial (w keluhan tak jelas ) 2.2. apa yang diharapkan pasien atau keluarganya 3.3. serta apa yang dikawatirkan pasien atau keluarganya 2. 3. 4. Diagnosis klinis biologikal, psikomental, intelektual, nutrisi sertakan derajat keparahan . Perilaku individu dan gaya hidup (life style), kebiasaan yang menunjang terjadinya penyakit, beratnya penyakit Pemicu psikososial dan Bila diagnosis klinis belum dapat ditegakkan cukup dengan diagnosis kerja. Diagnosis berdasarkan 10, dan ICPC-2 yang mengemukakan mas sosial dan derajat penyakit - kebiasaan merokok (dietary habits;tinggi le tinggi kalori) - kebiasaan jajan, kebiasaan makan - kebiasaan individu mengisi waktu dengan perihal yang negatip 4.1. pemicu primer adalah dinilai - Bantuan Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | 42 suami terha lingkungan dalam kehidupan seseorang hingga mengalami penyakit seperti yang ditemukan No 5. Aspek dari dukungan keluarga yang terdekat (family support) 4.2. pemicu dukungan keluarga lainnya (dinilai dari tidak adanya/kurangnya ) sesuai kedekatan hubungan seseorang dengan keluarganya) Rincian 4.3. pemicu sosial (yang negatip) dapat menimbulkan masalah kesehatan , atau kejadian penyakit penyakit istri (bila sakit adalah isteri) - Tidak bantuan/perhatian/ perawatan/ suami & anak sesuai dengan h anak, menantu se dengan kedudukan, dan lainnya atau pe rawat yang - Kurangnya kasih sa (hubungan yang harmonis) - Kurangnya perha perkembangan pen Kurangnya pengob /perawatan oleh keluar - Tidak ada penyeles masalah yang dilakukan - tidak ada waktu disediakan keluarga - pekerjaan (penuh w kerja keras f psikologis) - pengaruh negatip da kultur,budaya, perga kebiasaan kelu kepercayaan , pendidikan (ren keterampilan terbatas) Keterangan - kebiasaan buruk berk tidak berolah raga, - perilaku jajan keluarga masak sendiri), m keluarga yang tak se kebutuhan - perilaku tidak menab (perilaku konsumtif) - tidak adanya perenca keluarga(tak pendidikan anak , tak pengarahan pengemba karier ) Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | 43 6. 4.4. masalah perilaku keluarga yang tidak sehat - perilaku kebersihan bu - perilaku kelu pemanfaatan waktu l buruk - penggunaan obat add penggunaan n merokok 4.5. masalah ekonomi yang mempunyai pengaruh terhadap penyakit/masalah kesehatan yang ada - pendapatan tak cukup menentu dengan ju keluarga besar - ketergantungan fina pada orang lain - ratio ketergantu (beban keluarga) 4.6. akses pada pelayanan kesehatan yang mempengaruhi penyakit : - - 4.7. pemicu dari lingkungan fisik - No 7. Aspek Rincian 4.8. masalah dengan bangunan tempat tinggal yang berdampak negatip terhadap kesehatan pasien dan keluarga tak mudahnya u mencapai tempat prakti tiada biaya berobat, tidak mempunyai si pra upaya/Asu Kesehatan) pelayanan pro kesehatan yang informatif, tidak ra tidak komprehensif polutan dalam rumah dapur, asap rokok,debu pada tempat kerja (p asap, debu, kimia) lingkungan pemukiman Keterangan - ventilasi, tak ad memadai - pencahayaan ku tertutup banguan tingg - sumber air tak (MCK), - wc umum, si pembuangan , - keamanan gedung ergonomi rumah, tan licin, (terutama u Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | 44 - 4.9. lingkungan pemukiman yang berdampak negatip pada seseorang 8. Fungsi sosial seseorang Aktivitas Menjalankan Sosial Dalam Kehidupan Fungsi Skala 1 - Mampu melakukan pekerjaan seperti sebelum sakit Skala 2 - Mampu melakukan pekerjaan ringan sehari-hari di dalam dan luar rumah lansia, balita), privasi tak ada ,kepad hunian , bising - kepadatan perumahan, sistem pembua sampah, limbah - kebersihan , kebising pemukiman kumuh , d kemampuan dalam menj kehidupan untuk tergantung pada orang (skala 1-5) - Perawatan diri, bekerj dalam dan di luar ru (mandiri) - Mulai mengurangi akti kerja (pekerjaan kantor) Skala 3 - Mampu melakukan perawatan diri, tapi tak mampu melakukan pekerjaan ringan Skala 4 - Perawatan diri masih dilakukan, hanya ma melakukan kerja ringan - Dalam keadaan tertentu masih mampu merawat diri, namun sebagian besar pekerjaan hanya duduk dan berbaring - Tak melakukan akti kerja, tergantung keluarga - Perawatan diri dilakukan orang lain, tak mampu berbuat apaapa berbaring pasif - Tergantung rawat Skala 5 DAFTAR PUSTAKA 1. McWhinney IR. A Textbook of Family Medicine. 2nd ed. Oxford:Oxford University Press, 2009 2. Gan Gl, Azwar A, Wonodirekso S. A Primer on Family Medicine Practice. Singapore:Singapore International Foundation, 2004 3. Boelen C, Haq C, et all. Improving Health Systems:The Contribution of Family Medicine. A guidebook. WONCA, 2002 4. Amstrong D. Outline of Sociology as Applied to Medicine. 5 th ed. London:Arnold Publisher, 2003 5. Rubin RH, Voss C, et all. Medicine A Primary Care Approach. Philadepphia:WB Saunders Company, 1996 6. Rakel RE, Rakel DP. Textbook of Family Medicine. 8th ed. Philadephia:Elsevier Saunders, 2011 Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | 45 pada pe 7. Rifki NN. Diagnosis Holistik Pada Pelayanan Kesehatan Primer:Pendekatan Multi Aspek. Jakarta:Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas, 2008 Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | 46 DIAGNOSIS OKUPASI Astrid B Sulistomo, Dewi Soemarko, Divisi Kedokteran Okupasi, Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia PENDAHULUAN Telah diketahui bahwa ada hubungan antara pajanan yang spesifik dengan berbagai jenis penyakit. Hubungan tersebut dapat diidentifikasi berdasarkan hubungan kausal antara pajanan dan penyakit yaitu berdasarkan kekuatan asosiasi, konsistensi, spesifisitas, waktu, dan dosis. Banyak penelitian yang mengungkap bahwa frekuensi kejadian penyakit pada populasi pekerja lebih tinggi daripada masyarakat umum. Hal tersebut mungkin disebabkan adanya pajanan-pajanan khusus di kalangan pekerja ditambah dengan kondisi lingkungan kerja yang kurang mendukung. Hal tersebut sangat disayangkan karena sesungguhnya banyak penyakit yang dapat dicegah dengan melakukan tindakan preventif di tempat kerja. DEFINISI- DEFINISI PENYAKIT AKIBAT KERJA 1. Penyakit akibat kerja (Occupational Diseases) menurut International Labor Organization (ILO), 1998 adalah Penyakit yang mempunyai penyebab yang spesifik atau asosiasi kuat dengan pekerjaan, yang pada umumnya terdiri dari satu agen penyebab yang sudah diakui. “Occupational diseases is a disease or an ailment caused due to excessive exposure of noxious fumes or substances in a working environment that are injurious to health.It includes asthma,poisoning due to use of pesticides,black lung disease among miners, lung cancer due to use of asbestos and other respiratory problems.Any employee who gets affected by disease or a disability under such condition is liable to receive compensation under the laws of workmen's compensation or any other related provision. (ACOEM)” “An occupational disease is a disease or disorder that is caused by the work or working conditions. This means that the disease must have developed due to exposures in the workplace and that the correlation between the exposures and the disease is well known in medical research. Or put in another way, it must not be likely, beyond reasonable doubt, that the disease was caused by factors other than work. (The National Board of Industrial Injuries, Sankt Kjelds Plads 11, Postboks 3000, DK-2100, Copenhagen, Denmark)” “The term "occupational disease" refers to those illnesses caused by exposures at the workplace. They should be separated, conceptually, from injuries that Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | 47 may also may occur at workplaces due to a variety of hazards. (Encyclopaedia of Public Health)” “According to Protocol of 2002 to the Occupational Safety and Health Convention, 1981, the term “occupational disease” covers any disease contracted as a result of an exposure to risk factors arising from work activity .Two main elements are present in the definition of an occupational disease: the causal relationship between exposure in a specific working environment or work activity and a specific disease; and the fact that the disease occurs among a group of exposed persons with a frequency above the average morbidity of the rest of the population.” 2. Penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan (Work Related Disease) 1998: Adalah Penyakit yang mempunyai beberapa agen penyebab, dimana faktor pada pekerjaan memegang peranan bersama dengan faktor risiko lainnya dalam berkembangnya penyakit yang mempunyai etiologi yang kompleks. Penyakit yang timbul karena hubungan kerja adalah penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan atau lingkungan kerja. (Keputusan Presiden No. 22 Tahun 1993 Tentang : Penyakit Yang Timbul Karena Hubungan Kerja). 3. Penyakit yang mengenai populasi pekerja (Diseases affecting working populations) Adalah Penyakit yang terjadi pada populasi pekerja tanpa adanya agen penyebab ditempat kerja, namun dapat diperberat oleh kondisi pekerjaan yang buruk bagi kesehatan. Penyakit tersebut juga dikenal dengan Penyakit yang diperberat oleh pekerjaan. Secara praktis, Penyakit yang diperberat oleh pekerjaan adalah Penyakit umum yang ada di masyarakat umum, tetapi mengenai pekerja. Penyakit tersebut secara tidak langsung menyebabkan semakin berat karena ada pengaruh dari pekerjaan/proses kerja yang dilakukan oleh pekerja tersebut. Dalam Ensiklopedi ILO edisi ke 3 (tahun 1983) definisi penyakit akibat kerja, penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan dan bukan penyakit akibat kerja masih dipisahkan secara jelas, namun dibeberapa Negara, penyakit yang disebabkan pekerjaan dan penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan diberlakukan sama, sebagai penyakit akibat kerja (occupational disease). Pengertian penyakit akibat kerja dan penyakit yang berhubungan dengan kerja selalu menjadi topik bahasan yang hangat. Sehingga akhirnya pada tahun 1987, suatu komite pakar kesehatan kerja dari WHO dan ILO, menawarkan gagasan, bahwa istilah “penyakit akibat hubungan kerja (work related disease)” dapat digunakan tidak saja untuk Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | 48 penyakit akibat kerja yang sudah diakui, tetapi juga untuk gangguan kesehatan dimana lingkungan kerja dan proses kerja merupakan salah satu faktor penyebab yang bermakna disamping faktor-faktor penyebab/risiko lainnya. Gagasan tersebut kemudian diadopsi oleh WHO dan ILO pada tahun 1989, sehingga untuk selanjutnya hanya dikenal Penyakit Akibat Hubungan Kerja. PEMBAGIAN PENYAKIT AKIBAT KERJA BERDASARKAN ILO, ICD DAN KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA 1. ILO Convention No. 121 di Geneva pada December 1991. Penyakit Akibat Kerja dibagi menjadi Penyakit karena agen, penyakit sesuai target organ dan keganasan. 2. ICD 10 – OH , secara umum dibagi menjadi: 1. Diseases caused by agents 1.1 Diseases caused by chemical agents 1.2 Diseases caused by physical agents 1.3 Diseases caused by biological agents 2. Diseases by target organ 2.1 Occupational respiratory diseases 2.2 Occupational skin diseases 2.3 Occupational musculoskeletal diseases 3. Occupational cancer 4. Others 3. Keputusan Presiden RI no 22/1993 tentang Penyakit yang timbul karena hubungan kerja : Penyakit yang timbul karena hubungan kerja adalah penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan atau lingkungan kerja, ada 31 kelompok penyakit. TUJUAN DAN MANFAAT DIAGNOSIS OKUPASI /DIAGNOSIS PENYAKIT AKIBAT KERJA Berbeda dengan diagnosis penyakit pada umumnya, diagnosis penyakit akibat kerja mempunyai aspek medis, aspek komunitas dan aspek legal. Dengan demikian tujuan melakukan diagnosis akibat kerja adalah: 1. Dasar terapi 2. Membatasi kecacatan dan mencegah kematian 3. Melindungi pekerja lain 4. Memenuhi hak pekerja Dengan melakukan diagnosis okupasi/ diagnosis penyakit akibat kerja, maka hal ini akan berkontribusi terhadap: Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | 49 1. Pengendalian pajanan berrisiko pada sumbernya 2. Identifikasi risiko pajanan baru secara dini 3. Asuhan medis dan upaya rehabilitasi pada pekerja yang sakit dan/atau cedera 4. Pencegahan terhadap terulangnya atau makin beratnya kejadian penyakit atau kecelakaan 5. Perlindungan pekerja yang lain 6. Pemenuhan hak kompensasi pekerja 7. Identifikasi adanya hubungan baru antara suatu pajanan dengan penyakit TUJUH LANGKAH DIAGNOSIS OKUPASI DALAM PENENTUAN PENYAKIT AKIBAT KERJA Agar diagnosis penyakit akibat kerja dapat ditegakkan, diperlukan perhatian khusus dan ketrampilan investigasi dari seorang dokter. Tanpa adanya kewaspadaan dan kecurigaan dari seorang dokter, bahwa penyebab suatu penyakit ada di tempat kerja, maka diagnosis penyakit akibat kerja sering terlewatkan. Langkah sistematis dan terarah dalam menegakkan diagnosis tersebut dinamakan 7 langkah diagnosis okupasi. Secara sistematis dapat dibuat skema sebagai berikut: 7 LANGKAH DIAGNOSIS OKUPASI Langkah 1: Diagnosis Klinis (untuk menentukan D/ PAK) Langkah 7: Tentukan Diagnosis PAK / Diperberat Pekerjaan /Bukan PAK / tambah Data Langkah 2: Pajanan di lingkungan kerja Langkah 3: Langkah 6: Adakah hub ant pajanan dengan Diagnosis Klinis Adakah faktor lain diluar pekerjaan Langkah 5: Adakah faktor2 individu yg berperan Langkah 4: Apakah pajanan yg dialami cukup besar Prepared by DS, kontribusi: AS dan Ditkesja 53 Gambar 3. Langkah diagnosis okupasi Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | 50 Langkah 1. Menentukan diagnosis klinis Sebagai langkah pertama penegakkan diagnosis Penyakit Akibat Kerja adalah menegakkan diaghnosis klinis penyakit. Diagnosis Okupasi/ Diagnosis Penyakit Akibat Kerja tidak dapat ditegakkan hanya berdasarkan simptom atau gejala yang dikeluhkan pasien, karena dasar dari penegakkan diagnosis penyakit akibat kerja adalah Evidence Based, dimana penelitian yang ada menunjukkan bahwa antara suatu pajanan dengan suatu penyakit ada hubungan spesifik. Artinya suatu pajanan hanya menyebabkan satu atau beberapa penyakit tertentu, sesuai hasil penelitian yang ada. Upaya diagnosis klinis mungkin memerlukan pemeriksaan laboratorium atau pemeriksaan penunjang lainnya dan sering perlu melibatkan dokter spesialis yang terkait dengan penyakit pasien. Langkah 2. Menentukan pajanan yang dialami individu tersebut dalam pekerjaan Suatu penyakit akibat kerja, seringkali tidak hanya disebabkan oleh pajanan yang dialami di pekerjaan yang saat ini dilakukan, tetapi dapat disebabkan oleh pajanan-pajanan pada pekerjaan-pekerjaan yang terdahulu. Selain itu beberapa pajanan bisa saja menyebabkan satu penyakit, sehingga seorang dokter harus mendapatkan informasi mengenai semua pajanan yang dialami dan pernah dialami oleh pasiennya, untuk dapat mengidentifikasi pajanan atau pekerjaan mana yang penting dan mungkin berpengaruh untuk diinvestigasi lebih lanjut. Untuk memperoleh informasi ini perlu dilakukan anamnesis pekerjaan yang lengkap, yang mencakup: - Deskripsi semua pekerjaan secara kronologis - Periode waktu melakukan masing-masing pekerjaan - Apa yang diproduksi - Bahan yang digunakan - Cara bekerja Informasi tersebut akan semakin bernilai, bila ditunjang dengan data yang objektif, seperti MSDS (Material Safety Data Sheet) dari bahan yang digunakan, catatan perusahaan mengenai penempatan kerja dsb. Langkah 3. Menentukan apakah ada hubungan antara pajanan dengan penyakit Melakukan identifikasi pajanan mana saja yang berhubungan dengan penyakit yang dialami. Hubungan ini harus berdasarkan hasil-hasil penelitian epidemiologis yang pernah dilakukan (evidence based). Identifikasi ada tidaknya hubungan antara pajanan dan penyakit dapat dilakukan dengan mengkaji referensi/literatur yang ada. Bila belum ada bukti bahwa suatu pajanan ada hubungan dengan suatu Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | 51 penyakit, maka diagnosis penyakit akibat kerja tidak dapat ditegakkan. Bila belum ada hasil penelitian yang menujukkan adanya suatu hubungan antara pajanan dan penyakit tertentu, tetapi dari pengalaman sangat dicurigai adanya suatu hubungan, maka itu baru dapat dijadikan dasar untuk melakukan penelitian awal. Hubungan antara pajanan dengan penyakit juga perlu dilihat dari waktu timbulnya gejala atau terjadinya penyakit, misalnya orang tersebut terpajan oleh bahan tertentu terlebih dahulu, sebelum mulai timbul gejala atau penyakit. Contoh lain adalah pada Asma Bronkhiale. Bila didapatkan, bahwa serangan asma lebih banyak terjadi pada waktu hari kerja dan berkurang pada hari libu, masa cuti atau pada waktu tidak terpajan, hal ini akan sangat mendukung ke diagnosis Asma Akibat Kerja. Sehingga anamnesis mengenai hubungan gejala dengan pekerjaan perlu dilakukan juga dengan teliti. Adanya hasil pemeriksaan pra-kerja mengenai penyakit akan mempermudah menentukan, bahwa penyakit terjadi sesudah terpajan, namun tidak adanya hasil pemeriksaan pra-kerja dan/atau hasil pemeriksaan berkala bukan berarti tidak dapat dilakukan diagnosis penyakit akibat kerja. Langkah 4. Menentukan apakah pajanan yang dialami cukup Untuk dapat menilai apakah suatu pajanan cukup besar untuk dapat menyebabkan penyakit tertentu, perlu dimengerti patofosiologi dari penyakit tersebut dan bukti epidemiologis. Cukup besarnya suatu pajanan dapat dinilai secara kualitatif, yaitu dengan menanyakan kepada pasien mengenai cara kerja, proses kerja dan bagaimana lingkungan kerja. Penting juga melakukan pengamatan dan memperhitungkan masa kerja, yaitu berapa lama pekerja tersebut sudah terpajan. Penilaian secara kuantitatif dapat menggunakan data pengukuran lingkungan kerja terhadap pajanan tersebut, yang telah dilakukan secara periodik oleh perusahaan atau data monitoring biologis yang ada. Bila tidak ada, bisa dilakukan pengukuran pada saat akan dilakukan diagnosis penyakit akibat kerja dan bila tidak ada perubahan dalam proses dan cara kerja secara berarti pada masa kerja pekerja tersebut, dapat diasumsikan bahwa selama masa kerja tersebut pekerja memperoleh pajanan dalam jumlah yang sama. Hasil pengukuran yang didapat perlu dinilai apakah melebihi Nilai Ambang Batas, atau termasuk terpajan tinggi atau tidak. Pemakaian alat pelindung perlu juga dinilai apakah dapat mengurangi pajanan yang dialami secara berarti atau tidak, yaitu bila jenis alat pelindung diri sesuai, dipakai secara benar dan konsisten. Langkah 5. Menentukan apakah ada faktor-faktor individu yang berperan Setiap penyakit selain disebabkan oleh faktor lingkungan dan/atau faktor pekerjaan, pasti juga ada faktor individu yang berperan. Perlu dinilai seberapa besar faktor individu itu berperan, sehingga dapat dimengerti mengapa yang terkena adalah individu pekerja tersebut dan bukan seluruh pekerja ditempat yang sama. Faktor individu yang mungkin berperan adalah riwayat atopi atau Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | 52 alergi, riwayat dalam keluarga, higiene perorangan dsb. Adanya faktor individu yang berperan tidak berarti diagnosis penyakit akibat kerja menjadi batal namun diperlukan untuk menilai seberapa besar faktor individu ikut berperan. Langkah 6. Menentukan apakah ada faktor lain diluar pekerjaan Faktor lain diluar pekerjaan, adalah pajanan lain yang juga dapat menyebabkan penyakit yang sama, namun bukan merupakan faktor pekerjaan, misalnya rokok, pajanan yang dialami dirumah, adanya hobi, dan sebagainya. Bila ternyata faktor pekerjaan tidak ada yang berhubungan dengan penyakit, ada kemungkinan faktor penyebab diluar pekerjaan yang lebih berperanan. Namun adanya kebiasaan tertentu dari pekerja, misalnya merokok, tidak bisa meniadakan faktor penyebab di pekerjaan. . Langkah 7. Menentukan Diagnosis Okupasi / Diagnosis Penyakit Akibat Kerja Kaji seluruh informasi yang telah dikumpulkan dari langkah-langkah terdahulu. Berdasarkan bukti-bukti dan referensi mutakhir yang ada, buat keputusan apakah penyakit yang diderita adalah penyakit akibat kerja atau tidak. Diagnosis sebagai penyakit akibat kerja dapat dibuat bila dari langkah-langkah diatas dapat disimpulkan, bahwa memang ada hubungan sebab-akibat antara pajanan yang dialami dengan penyakit dan faktor pekerjaan merupakan faktor yang bermakna terhadap terjadinya penyakit dan tidak dapat diabaikan, meskipun ada faktor individu atau faktor lain yang ikut berperan terhadap timbulnya penyakit. Tabel dibawah ini merupakan table kosong yang harus diisi oleh dokter pada saat dokter melakukan langkah-langkah diagnosis okupasi. Setiap kolom merupakan langkah diagnosis okupasi yang dilakukan untuk satu diagnosis klinis yang ditemukan. Bila didapatkan lebih dari satu diagnosis klinis, maka harus dilakukan 7 langkah diagnosis okupasi untuk setiap diagnosis klinis tersebut. Tabel 3. Tujuh langkah diagnosis okupasi setiap diagnosis klinis yang ditemukan Langkah 1. Diagnosis Klinis Dasar diagnosis (anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang,body map, brief survey) 2. Pajanan di tempat kerja Fisik Kimia Biologi Ergonomi (sesuai brief survey) Psikososial Diagnosis 1 Diagnosis 2 Diagnosis 3 Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | 53 Langkah Diagnosis 1 3 . Evidence Based (sebutkan secara teoritis) pajanan di tempat kerja yang menyebabkan diagnosis klinis di langkah 1 (satu). Diagnosis 2 Diagnosis 3 Dasar teorinya apa? 4. Apa pajanan cukup menimbulkan diagnosis klinis ?? masa kerja jumlah jam terpajan per hari Pemakaian APD Konsentrasi/dosis pajanan Lainnya ..................... Kesimpulan jumlah pajanan dan dasar perhitungannya 5. Apa ada faktor individu yang berpengaruh thd timbulnya diagnosis klinis? Bila ada, sebutkan. 6 . Apa terpajan bahaya potensial yang sama spt di langkah 3 di luar tempat kerja?Bila ada, sebutkan 7 . Diagnosis Okupasi Apa diagnosis klinis ini termasuk penyakit akibat kerja? Bukan penyakit akibat kerja (diperberat oleh pekerjaan atau bukan sama sekali PAK) Butuh pemeriksaan lebih lanjut)? Diagnosis Okupasi/Diagnosis Penyakit Akibat Kerja tidak dapat ditegakkan, bila dari referensi tidak ditemukan adanya hubungan antara pajanan dengan penyakit, pajanan yang dialami tidak cukup besar untuk dapat menyebabkan penyakit tersebut (secara kuantitatif maupun kualitatif, secara kumulatif dari masa kerja). PERDOKI (Perhimpunan Spesialis Kedokteran Okupasi Indonesia) membuat pembagian dari hasil akhir suatu Diagnosis Okupasi menjadi: 1. Penyakit Akibat Kerja : disini termasuk Occupational Diseases dan Work Related Diseases 2. Penyakit yang diperberat oleh pekerjaan: ada unsur pajanan di lingkungan kerja dan juga di luar lingkungan kerja dan atau faktor individu pekerja Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | 54 3. Bukan Penyakit Akibat Kerja; hanya ada unsur pajanan di luar lingkungan kerja dan faktor individu pekerja 4. Masih memerlukan data tambahan, artinya belum final dan masih memerlukan pemeriksaan tambahan untuk dapat menentukan hasil akhir DAFTAR PUSTAKA 1. Soemarko DS, Sulistomo AB, dkk. Buku konsensus diagnosis okupasi sebagai penentuan penyakit akibat kerja. Jakarta: Perhimpunan Spesialis Kedokteran Okupasi Indonesia dan Kolegium Kedokteran Okupasi Indonesia, 2011. 2. ILO . Occupational Health Services in ILO Encyclopaedia, 2000 : 16.1-62 3. Levy Barry S and Wegman David H. Occupational Health: Recognizing and Preventing Work Related Diseases and Injury. USA: Lippincott Williamas and Wilkins, 2000. 4. World Health Organisation. Deteksi Dini Penyakit Akibat Kerja. World Health Organization, 1993. 5. New Kirk William. Selecting a program Philosophy, structure and Medical Director, in Occupational Health Service : Practical Strategis Improving Quality dan Controlling Costs. American Hospital Publishing, Inc. USA. 1993 6. ILO. Ethical Issue in ILO Encyclopaedi. 2000: 19.1- 30 7. Yanri Zulmiar, Harjani Sri, Yusuf Muhamad. Himpunan Peraturan Perundangan Kesehatan Kerja. PT Citratama Bangun Mandiri. Jakarta 1999. 8. Jamsostek. Kumpulan Peraturan Perundangan Jamsostek.Jakarta. 2003 9. Dewan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Nasional. Pedoman Diagnosis dan Penilaian cacat karena Kecelakaan dan Penyakit Akibat Kerja. Jakarta. 2003 10. WHO. International Classification of Functioning, Disability and Health. Geneva 11. Dep. IKK FKUI dan Kolegium Kedokteran Okupasi Indonesia. Kurikulum PPDS Kedokteran Okupasi Indonesia. Jakarta. 1998 12. Kompetensi dokter pemberi pelayanan kesehatan kerja dan kedokteran okupasi, Kolegium Kedokteran Okupasi Indonesia, 1998. 13. La Dou, Current Occupational and Environmental Medicine, Lange Medical Books/ Mc Graw Hill, , 2004 14. Zens Dickerson Novark, Occupational Medicine 15. National Institute for Occupational and Safety and Health, University of Medicine and Dentistry of New Jersey. NIOSH Spirometry training Guide. December 2003. 16. Maizlish, Neil A., ed. Workplace Health Surveillance, An Action-Oriented Approach, Oxford University Press, Inc. New York, 2000 17. Newkirk W.L.ed., Occupational Health Services , Practical Strategies for Improving Quality and Controlling Costs, American Hospital Publishing Inc. USA, 1993. 18. Pusat Keselamatan dan Kesehatan Kerja Kemeterian Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI. Laporan survey tahun 2007-2009. Jakarta, Desember 2010. Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | 55 19. Direktorat Kesehatan kerja dan olah raga Kementerian Kesehatan RI dan PERDOKI. Buku Pelatihan Diagnosis PAK. Jakarta, April 2011. 20. Soemarko DS. Stress at the workplace in Indonesia. Malindobru. Jakarta, Juli 2009. 21. Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas FKUI. Kumpulan abstrak penelitian Kedokteran Kerja tahun 2008. Jakarta. Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | 56 PANDUAN PELAKSANAAN PLANT SURVEY Dewi Soemarko, Astrid Sulistomo, Muchtaruddin Mansyur, Fikri Effendi, Ambar Roestam, Nuri Purwito Adi Divisi Kedokteran Okupasi, Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia I. PENDAHULUAN: Seorang pekerja menghabiskan paling sedikit sepertiga dari kehidupan masa dewasanya di tempat kerja. Lingkungan kerja dan kegiatan yang dilakukan pada waktu kerja dapat sangat berbeda dengan lingkungan dan kegiatan sehari-hari di luar pekerjaannya. Di lingkungan kerja seorang pekerja dapat terpajan oleh bising, debu tinggi, suhu ekstrem, berbagai bahan kimia, radiasi atau bahan biologis dll. Pada waktu melakukan pekerjaan, seorang pekerja dapat mengangkat beban berat, melakukan kegiatan fisik berat, duduk seharian atau berada pada sikap statis lainnya, selain itu juga melakukan gerakan-gerakan yang tidak alamiah. Alat kerja yang digunakan bisa alat yang bervibrasi, memerlukan tenaga untuk mengoperasikan atau memerlukan gerakan berulang. Semua hal tersebut dapat menimbulkan masalah kesehatan atau merupakan risiko untuk terjadi kecelakaan, bila tidak diantisipasi dan dilakukan pengendalian terhadap pajanan. Upaya pengendalian pajanan ditempat kerja dan pencegahan penyakit akibat kerja, dikenal sebagai upaya Kesehatan dan Keselamatan Kerja, yang wajib dilakukan oleh semua perusahaan untuk melindungi pekerjanya. Populasi tenaga kerja di Indonesia meningkat terus, jumlah tenaga kerja di Indonesia yang pada tahun 1997 masih sekitar 89 juta, menurut data Badan Pusat Statistik tahun 2007, saat ini sudah mencapai sekitar 108,13 juta orang. Sekitar 68% tenaga kerja bekerja di sektor informal. Jumlah tenaga kerja perempuan di Indonesia sudah sekitar 40% Umumnya pekerja Indonesia masih berpendidikan rendah, khususnya di sektor informal lebih banyak masih lulusan Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama. Seorang dokter di fasilitas kesehatan layanan primer harus mampu mendeteksi bahaya potensial di tempat kerja, mengidentifikasi risiko masalah kesehatan yang terjadi di tempat kerja serta mengelola masalah kesehatan seorang pasien secara komprehensif, dengan memperhatikan aspek pekerjaan dan lingkungan, pada pasien bekerja. Kegiatan Plant Survey dapat merupakan upaya pengenalan bagi dokter layanan primer untuk mengenal risiko atau potensi bahaya yang dihadapi komunitas Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | 57 pekerja sehari-hari selama masa produksinya, sehingga diharapkan dokter yang bekerja di fasilitas kesehatan tingkat primer dapat memperhatikan aspek lingkungan dan pekerjaan dalam mengelola masalah kesehatan. II. PENGERTIAN: Plant Survey adalah suatu kunjungan ke perusahaan dengan tujuan untuk mendapatkan gambaran mengenai alur kerja, cara kerja pekerja, bahaya potensial yang dihadapi dan perlindungan yang telah diberikan perusahaan dengan cara observasi, wawancara dan pengukuran. Apabila dilakukan hanya pada satu kali kunjungan dan tidak melakukan pengukuran, juga sering disebut sebagai walk through survey. Kegiatan plant survey dilakukan dalam sebuah tim yang terdiri dari dokter dan tenaga kesehatan terkait untuk melakukan observasi, wawancara, dan pengukuran dengan menggunakan daftar tilik yang telah disusun sebelumnya. Dalam bahasa Indonesia, sering digunakan istilah ’Kunjungan Perusahaan’ namun tidak selalu tepat, karena istilah tersebut digunakan untuk semua kegiatan berkunjung ke perusahaan, termasuk hanya melihat bagaimana suatu produk dibuat. III. TUJUAN: Tujuan kegiatan plant survey bagi dokter layanan primer adalah: Tujuan umum: Agar dokter secara langsung melihat lingkungan kerja dan proses kerja suatu komunitas pekerja yang dapat merupakan faktor risiko gangguan kesehatan dan kecelakaan yang mungkin, sehingga memahami pengaruh lingkungan terhadap kesehatan. Tujuan khusus: 1. Mampu mengidentifikasi bahaya potensial/faktor risiko terhadap kesehatan dan keselamatan pekerja di suatu perusahaan/tempat kerja yang berhubungan dengan masalah kesehatan pasien 2. Mampu mengidentifikasi gangguan kesehatan yang mungkin timbul dengan adanya bahaya potensial tertentu di suatu tempat kerja. 3. Mampu menjelaskan upaya perlindungan dan pencegahan yang telah dilakukan oleh perusahaan. 4. Mampu memberikan rekomendasi untuk perbaikan upaya kesehatan dan keselamatan kerja bagi pekerja di suatu perusahaan, yang bersifat evidence – based (berdasarkan referensi yang mutakhir) Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | 58 IV. PERSIAPAN: Sebelum melakukan kunjungan ke perusahaan tim plant survey yang dipimpin oleh dokter layanan primer harus melakukan persiapan sebagai berikut: Menentukan waktu kunjungan Meminta ijin resmi ke perusahaan Membentuk tim dan pembagian tugasnya Membaca referensi mengenai K3 sesuai dengan jenis perusahaan untuk mengetahui faktor-faktor yang perlu diamati dan jenis informasi yang harus dikumpulkan Menyusun daftar tilik dan daftar pertanyaan yang akan digunakan Mengadakan pembagian tugas selama kunjungan agar pencapaian kunjungan dapat seefektif mungkin. Semua anggota tim diharapkan mengamati secara keseluruhan sesuai daftar tilik yang telah disusun sebelumnya. V. PELAKSANAAN: a. Pakaian yang digunakan: Pada waktu melakukan plant survey, seluruh anggota tim harus menggunakan pakaian yang nyaman dan sesuai untuk berjalan jauh dan observasi di lapangan, karena ini adalah kunjungan kerja dan sebagai profesi kesehatan harus memperhatikan aspek keselamatan. Seluruh anggota tim hendaknya menggunakan: -Pakaian: o Bersih dan sopan o Celana panjang (bukan jeans) o Atasan kemeja/blus bahan katun atau polo-shirt (Kaos berkrag) -Alas kaki: o Sepatu tertutup, tidak pakai hak o Sol dari karet o Boleh memakai sepatu olah raga atau bagi yang memiliki: Safety shoes Bagi anggota tim yang berambut panjang, rambut harus diikat. b. Kegiatan di perusahaan: Seluruh anggota tim akan berangkat bersama-sama ke perusahaan. Sesampainya di anggota tim berpencar sesuai pembagian tugasnya. Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | 59 Data-data yang harus diambil: - Informasi mengenai profil perusahaan, struktur organisasi, tim K3, sarana dan fasilitas yang ada - Informasi bahaya potensial (fisik, kimia, ergonomi, biologi dan psikososial) yang ada di masing-masing bagian produksi - Informasi risiko kecelakaan dan penyediaan/pengunaan APD, Alat pemadam kebakaran di masing-masing bagian produksi - Informasi mengenai kunjungan klinik, penyakit dan/atau kecelakaan yang ada pada 1 tahun terakhir - Informasi/mencatat keadaan lingkungan perusahaan seperti kebersihan tempat kerja, kamar kecil dan kantin dsb - Bila perlu gunakan kamera dan alat perekam suara untuk dokumentasi data. - Bila memungkinkan minta nomer telpon dari contact person agar masih bisa meminta infomasi bila dibutuhkan. c. Analisis data: 1. 2. 3. Informasi umum perusahaan Alur produksi Program kesehatan dan keselamatan kerja yang telah dilakukan perusahaan 4. Identifikasi faktor risiko/bahaya potensial fisika, kimia, biologi, ergonomi, psikososial pada masing-masing bagian produksi 5. Identifikasi masalah kesehatan dan kecelakaan yang mungkin terjadi akibat faktor risiko/bahaya potensial pada poin no 4 di masing-masing bagian produksi 6. Membuat rencana intervensi dan/atau program untuk setiap masalah masalah kesehatan dan kecelakaan yang mungkin terjadi akibat faktor risiko/bahaya potensial pada poin no 5 di masing-masing bagian produksi 7. Membuat rekomendasi kepada perusahaan berdasarkan hasil kunjungan plant survey yang telah dilakukan Referensi: Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | 60 KESELAMATAN PASIEN DAN PEKERJA Dewi Sumaryani Soemarko Divisi Kedokteran Okupasi, Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia PENDAHULUAN Hal yang dianggap paling mendasar dalam pelayanan kesehatan adalah kasus infeksius. Kasus Infeksi nosocomial, contohnya merupakan sesuatu yang dikuatirkan oleh petugas kesehatan. Diketahui bahwa kasus infeksi yang terjadi di pasien rawat inap di fasilitas pelayanan kesehatan di dunia rata-rata 9% dari 1,4 juta pasien. Bagaimana dengan data di Indonesia, secara detail belum ada tetapi dapat terlihat adanya angka kesakitan dan angka kematian yang cenderung meningkat. Hasil dari Quick Investigation of Quality di 17 Kabupaten di Indonesia pada tahun 2002, dari 273 observasi menemukan 18,7% petugas mencuci tangan sebelum memeriksa pasien, 61,25% mencuci tangan sesudah memeriksa pasien, 20% petugas membuang benda tajam dengan benar dan 45% petugas melakukan proses dekontaminasi. Kegiatan ini meningkat pada tahun 2004, dimana dari 237 observasi ditemukan 76,8% petugas mencuci tangan sebelum memeriksa, 88,6% petugas mencuci tangan sesudah memeriksa pasien, 85,7% petugas membuang benda tajam dengan benar dan 86,4% petugas melakukan dekontaminasi. Melihat dari penelitian di atas, dapat disimpulkan bahwa Program K3 (Kesehatan dan Keselamatan Kerja) pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan di Indonesia belum banyak diterapkan. Ini terlihat dengan belum banyaknya petugas Kesehatan yang mengerti dan menjalankan Kesehatan dan Keselamatan Kerja, seperti melakukan pekerjaan dengan aman dan nyaman. Ruang lingkup penting dalam Kesehatan dan Keselamatan Kerja di Pelayanan Kesehatan yang ingin dibahas adalah Keselamatan pasien dan Keselamatan pekerja serta Environmental Safety. Walaupun disadari bahwa Equipment safety dan Green Productivity juga termasuk hal yang secaratidak langsung akan dibahas dalam makalah ini Tujuan Tujuan program K3 di fasilitas kesehatan, terutama adalah melindungi pekerja dari kejadian kecelakaan dan penyakit akibat kerja dan terciptanya cara kerja dan lingkungan kerja pekerja yang aman (terhindar dari penyakit dan kecelakaan), nyaman (saat bekerja dan nyaman di hati) serta sehat. Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | 61 Untuk mencapai tujuan tersebut maka perlu diketahui bahaya potensial (hazards) apa yang ada di lingkungan kerja (biologi, kimia, fisika, ergonomi dan psikososial), juga perlu diketahui efek kesehatan/penyakit yang akan terjadi akibat hazard tersebut dan bagaimana melakukan antisipasi/ membuat Program penanggulangannya. Dalam pembicaraan kali ini tujuan yang ingin dicapai adalah: 1. Memahami Ruang lingkup Keselamatan pasien dan Keselamatan pekerja dalam praktek pelayanan kesehatan primer 2. Memahami Sasaran dan target Keselamatan pasien dan Keselamatan pekerja 3. Memahami Prinsip-prinsip dasar Keselamatan pasien 4. Memahami Prinsip-prinsip dasar Keselamatan pekerja Sasaran Sasaran utama dari program Kesehatan dan Keselamatan Kerja adalah Pekerja. Sasasan lainnya di pelayanan kesehatan adalah klien, dalam hal ini pasien di pelayanan kesehatan, juga lingkungan fasilitas pelayanan kesehatan dan pengunjung fasilitas tersebut. Sasaran dan target pada pembicaraan dalam makalah ini: 1. Pasien fasilitas pelayanan kesehatan 2. Pekerja pemberi pelayanan kesehatan 3. Pengunjung fasilitas pelayanan kesehatan 4. Lingkungan/ fasilitas pelayanan kesehatan Landasan Hukum Beberapa landasan hukum yang digunakan dalam program K3 di pelayanan kesehatan seperti yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan: Surat Edaran Dirjen Yanmed, tentang instruksi membentuk PK3RS di Rumah Sakit, Keputusan Dirjen PPM & PLP (1993) tentang persyaratan kesehatan lingkungan RS, Undang Undang no 23/1992 dan Peraturan Menteri Kesehatan no 986/1992, Undang Undang no36 /2009 tentang Kesehatan. Kebijakan dari pemerintah tertuang dalam Keputusan Menteri Kesehatan no 270/Menkes/III/2007 tentang Pedoman Manajerial Pengendalian Infeksi di RS dan Fasilitas kesehatan. Dan juga dengan adanya Keputusan Menteri Kesehatan no 381/Menkes/III/2007 tentang Pedoman Pengendalian Infeksi di Rumah Sakit dan fasilitas kesehatan Sementara landasan hukum yang ada di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi: Undang Undang no 1/1970 tentang Keselamatan Kerja, Peraturan Menteri Tenaga Kerja danTransmigrasi tahun 1980, 1982 & 1996 serta Kep.68/Men/IV/2004 mengenai AIDS ditempat kerja. Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | 62 Bahaya Potensial (Hazard) Pajanan (Hazards/Bahaya potensial) yang ada di fasilitas pelayanan kesehatan secara garis besar dapat dibagi menjadi 5 golongan besar, yaitu fisik, kimia, biologi, ergonomi dan psikososial. Secara jelas dapat di lihat pada tabel dibawah ini Tabel1. Bahaya Potensial di fasilitas Pelayanan Kesehatan BIOLOGI KIMIA Ethylene Oxide Formaldehyde Virus: - Hepatitis B, C - HIV/AIDS Glutaraldehyde Obat Ca Bakteri: - TBC Gas Anestesi Mercury Chlorine Risiko terpajan faktor biologis di Fasilitas Pelayanan Kesehatan merupakan hal terbesar yang ada dan dianggap dapat menimbulkan gangguan kesehatan pada pekerjanya. Tempat dan kegiatan yang diperkirakan adanya pajanan biologi di fasilitas pelayanan kesehatan, yaitu: Unit Pelayanan medis pada pasien (Unit perawatan, unit rawat jalan, ruang operasi/tindakan), Laboratorium (bila ada), Laundry (bila ada), Rumah Tangga (house keeping) dan Penanganan sampah/limbah Infeksi, sebagai akibat pajanan biologi dapat terjadi dari pasien ke petugas, pasien ke pengunjung, dan antar orang di lingk. Fasilitas kesehatan Sumber adanya pajanan biologi yaitu : penderita sendiri, personil pelayanan kesehatan (dokter/perawat), pengunjung, dan lingkungan. Kriteria infeksi berasal dari pelayanan kesehatan : 1. mulai dirawat tidak ada tanda klinik infeksi dan tidak sedang dalam masa inkubasi infeksi tertentu. 2. Infeksi timbul sekurang-kurangnya 72 jam sejak mulai dirawat. 3. Infeksi terjadi pada pasien dengan masa perawatan lebih lama dari waktu inkubasi infeksi tersebut. 4. Infeksi terjadi setelah pasien pulang dan dapat dibuktikan berasal dari rumah sakit. 5. Infeksi terjadi pada neonates yang didapatkan dari ibunya pada saat persalinan atau selama perawatan di rumah sakit. KESELAMATAN PASIEN Keselamatan pasien merupakan suatu issue mutu dan citra dari fasilitas pelayanan kesehatan, baik itu fasilitas primer, sekunder dan tersier. Penilaian dari hal tersebut pada umumnya dengan mengetahui Kejadian Tak Diharapkan (KTD) yang sering ada di fasilitas tersebut. Hasil penelitian di amerika serikat pada tahun 2000, ditemukan adanya KTD 2,9% di Utah dengan 6% kasus meninggal dunia di rumah sakit. Sementara di New York Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | 63 FISIK Radiasi panas ditemukan kasus meninggal 13,6% dengan KTD 3,7%. Data di WHO (world Health Organization)menyatakan kasus di Amerika Serikat, Inggris, Denmark dan Australia ada KTD sebesar 3,2-16,6%. Bagaimana dengan kasus KTD di Indonesia? Sampai saat ini data tentang KTD di Indonesia belum ada, yang ada keluhan mal praktik terhadap petugas pemberi pelayanan kesehatan meningkat Definisi Keselamatan pasien adalah suatu sistem dimana fasilitas pelayanan kesehatan membuat asuhan pasien lebih aman, mencegah terjadinya cidera yang disebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil Tujuan Keselamatan pasien: Tujuan dilakukannya kegiatan Keselamatan pasien adalah untuk menciptakan budaya keselamatan pasien di fasilitas pelayanan keehatan, meningkatkan akuntabilitas faslititas pelayanan kesehatan, menurunkan Kejadian Tak Diharapkan di daasilitas pelayanan kesehatan, terlaksananya program-program pencegahan sehingga tidak terjadi pengulangan kejadian tidak diharapkan. Ruang lingkup Keselamatan pasien Ruang lingkup Keselamatan pasien adalah membuat dan melakukan: 1. Asesmen risiko, 2. Identifikasi dan pengelolaan hal yg berhub dg risiko pasien, 3. Pelaporan dan analisis insiden 4. Kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjutnya 5. Implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya risiko Istilah-istilah 1. Medical error: Adalah kesalahan yang terjadi dalam proses asuhan medis yang mengakibatkan cedera pasien sehingga gagal melaksanakan suatu kegiatan/ salah rencana 2. Near miss: Adalah kesalahan akibat melaksanakan tindakan yang seharusnya diambil, sehingga dapat mencederai pasien, tetapi cedera tidak serius atau tidak terjadi cedera 3. Adverse even (kejadian tak diharapkan=KTD): Kejadian Tak Diharapkan yang mengakibatkan cedera pasien akibat melaksanakan tindakan/ tidak mengambil tindakan seharusnya, bukan karena penyakit dasarnya / kondisi pasien 4. Sentinel even: Kejadian Tak Diharapkan yang mengakibatkan kematian/cedera serius (kejadian sangat tidak diharapkan/tidak dapat diterima, misalnya: salah lokasi operasi, masalah berhubungan dengan kebijakan dan prosedur yang berlaku Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | 64 Pada pelaksanaan Keselamatan pasien di rumah sakit ada 7 standar yang perlu diperhatikan, yaitu: 1. Hak pasien 2. Mendidik keluarga dan pasien 3. Keselamatan pasien & kesinambungan pelayanan 4. Penggunaan metode peningkatan kinerja ( untuk evaluasi dan Program K3 – patient safety) 5. Peran kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien 6. Mendidik staf tentang keselamatan pasien 7. Komunikasi merupakan kunci bagi staf utk keselamatan pasien Untuk Keselamatan pasien yang dilaksanakan di fasilitas pelayanan kesehatan primer sudah disesuaikan, yang cocok adalah untuk standar-standar berikut di bawah ini. Standar 1. Hak pasien Pasien dan keluarga mempunyai hak untuk mendapatkan informasi tentang rencana pelayanan kesehatan yang akan dilakukan dan hasil pelayanan tersebut, termasuk kemungkinan terjadinya KTD Pada kegiatan ini Dokter pemberi pelayanan kesehatan primer adalah sebagai dokter yang membuat perencanaan pelayanan, pemberi informasi pelayanan yang diberikan kepada pasien dan keluarganya serta sebagai penanggung jawab kegiatan tersebut Standar 2. Mendidik keluarga dan pasien Fasilitas Pelayanan Kesehatan, dalam hal ini pelayanan primer berkewajiban mendidik pasien & keluarga tentang apa yang menjadi kewajiban & tanggung jawab dalam pelaksanaan penatalaksanaan penyakit / keluhan pasien Harus diperhatikan bahwa pasien dan keluarganya adalah patner dalam pelayanan kesehatan, oleh karena itu pemberi pelayanan kesehatan perlu memberikan informasi tentang : - pelayanan kesehatan benar, jelas, lengkap dan jujur. - kewajiban & tanggung jawab pasien dan keluarga - ajukan pertanyaan hal yang tak dimengerti - paham dan terima konsekuensi pelayanan - patuh instruksi dan hormati aturan RS - sikap menghormati dan tenggang rasa kewajiban finansial Standar 3. Keselamatan pasien & kesinambungan pelayanan Fasilitas Pelayanan Kesehatan menjamin berkesinambungan pelayanan dan melakukan koordinasi antar tenaga dan antar unit pelayanan kesehatan. Pada kegiatan ini dilakukan: koordinasi pelayanan kesehatan secara menyeluruh Koordinasi pelayanan kesehatan sesuai kebutuhan pasien Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | 65 Koordinasi pelayanan: kesehatan dengan melakukan komunikasi dengan keluarga Komunikasi dan transfer informasi antar profesi kesehatan di fasilitas pelayanan kesehatan primer Standar 4. Penggunaan metode peningkatan kinerja (untuk evaluasi dan Program K3 – keselamatan pasien) Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer melakukan pembuatan disain proses baru/memperbaiki proses yang ada, melakukan monitor dan melakukan evaluasi kinerja (pengumpulan data, melakukan analisis intensif Kejadian Tak Diharapkan), melakukan perubahan untuk meningkatkan kinerja & keselamatan pasien. Dalam kegiatannya, diharapkan pelayanan kesehatan primer: • mempunyai rancangan baik, mengacu visi, misi, tujuan, mengetahui kebutuhan pasien, kebutuhan jumlah petugas, mengetahui kaidah klinis terkini, melakukan praktik bisnis sehat & faktor lain sesuai • Melakukan pengumpulan data kinerja tentang laporan insiden, akreditasi, manajemen risk, utilisasi, mutu pelayanan, keuangan. • melakukan evaluasi intensif semua KTD, melakukan kegiatan pro aktif untuk mengevaluasi satu proses kasus risiko • menggunakan semua data & informasi hasil analisis untuk perubahan sistem, agar kinerja & keselamatan pasien terjamin Standar 7. Komunikasi merupakan kunci bagi staf utk keselamatan pasien Falitas pelayanan kesehatan merencanakan dan mendisain proses manajemen informasi internal dan eksternal. Proses transmisi data dan informasi harus tepat waktu dan akurat Dalam melakukan kegiatan fasilitas pelayanan kesehatan: • Perlu menyediakan anggaran untuk merencanakan dan mendisain proses manajemen agar diperoleh data dan informasi tentang hal terkait keselamatan pasien • Ada mekanisme identifikasi masalah dan kendala komunikasi utk revisi manajemen informasi yg ada Elemen Keselamatan pasien 1. Adverse Drug events (ADE) / Medication Error (ME) 2. Restrain Use 3. Nosocomial Infection 4. Surgical mishaps 5. Pressure ulcers 6. Blood Product safety (admnistration) 7. Antimicrobal Resistance 8. Imunization Programme 9. Falls 10. Blood Stream- vascular catheter care Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | 66 11. Systematic review, follow up, and Reporting of Patients / Visitor of Incidance Penyebab tersering dalam terjadinya kejadian tak diharapkan pada fasilitas pelayanan lesehatan: a. Masalah komunikasi b. Tidak adekuat nya informasi tentang alur pelayanan c. Masalah personil d. Isue hubungan pemberi pelayanan kesehatan - pasien e. Transfer pengetahuan (Organizational transfer of knowledge) f. Pola penetapan staf atau beban kerja (Staffing pattern / work flow) g. Kegagalan teknis (Technical failures) h. Kebijakan yang in adekuat (Inadequate policies and procedure) (Agency for Health and Research Quality) Publication no 04-RG005, December 2003 Target KESELAMATAN PASIEN INTERNATIONAL 1. Lakukan identifikasi pasien secara tepat (Identify Patient correctly) 2. Tingktkan Komunikasi efektif (Improve effective Communication) 3. Tingkatkan pemberian obat secara aman (Improve the safety of high-allert medication) 4. Kurangi lokasi salah, pasien salah, prosedur bedah yang salah (Eliminate wrong-site, wrong patient, wrong procedure surgery) 5. Turunkan risiko penularan infeksi petugas kesehatan (Reduce the risk of health care- associated infection) 6. Kurangi risiko patien hatuh dari tempat tidurnya (Reduce the risk of patient harm from falls) Solusi Keselamatan pasien di Pelayanan Kesehatan 1. Hati-hati dengan nama obat, perhatikan nama, huruf dan bentuknya (Be careful with the use of drug name, form and words that are similar). 2. Identitas pasien harus jelas (Identify clearly the identity of the patient). 3. Perlu komunikasi yang baik antar petugas pada saat pertukaran jaga (Communication is true when the handover / transfer patients). 4. Pastikan melakukan sesuatu yang benar pada bagian tubuh yang benar (Make sure the correct action on the right side of the body). 5. Monitoring larutan elektrolit (Control fluid electrolit (concetrated). 6. Gunakan alat suntik sekali pakai (Use of disposable injection equipment). 7. Tingkatan kegiatan cuci tangan untuk mencegah infeksi nosokomial (Increase hand hygiene to prevent nosocomial infection). 8. Pastikan penanganan obat secara akurat setiap pertukaran atau pemindahan pasien ( Ensure accuracy of the administration of drugs on the transfer of service) Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | 67 KESELAMATAN PEKERJA Keselamatan pekerja merupakan salah satu bagian dari Program K3, dimana fokus dari pembicaraan ini adalah tentang pekerja di fasilitas pelayanan kesehatan. Keselamatan pekerja adalah keamanan pekerja yang bertujuan agar pekerja aman dari penyakit dan kecelakaan serta mendapatkan kenyamanan hati dan lingkungan kersa pada saat melakukan pekerjaannya. Hazards terbanyak di fasilitas pelayanan kesehatan adalah hazards biologi Hazards biologis di lingkungan fasilitas pelayanan kesehatan dapat berasal dari air, udara, lantai, makanan serta alat-alat medis maupun non medis. Sumber penularan bisa melalui tangan petugas kesehatan, jarum injeksi, kateter, kasa pembalut atau perban, bisa juga karena penanganan yang keliru dalam menangani luka. Infeksi di fasilitas pelayanan kesehatan dapat mengenai Pasien, Petugas rumah sakit yang berhubungan langsung dengan pasien, Penunggu pasien dan Pengunjung pasien. Cara penularan dapat terjadi dengan cara: Airborne diseases (droplet), Blood borne diseases, skin contact dan waterborne diseases Cara penularan yang dianggap paling penting pada pelayanan kesehatan adalah Bloodborne pathogens, dimana mikroorganisme yang ada di darah, jaringan tubuh, produk darah dan material yang berpotensi menularkan (OPIM) Yang termasuk dalam OPIM didefinisikan oleh CDC (the Centers for Disease Control) adalah: • semen • vaginal secretions • cerebrospinal fluid • pleural fluid • peritoneal fluid • pericardial fluid • amniotic fluid • synovial fluid • breast milk (not all authorities agree) • saliva dalam pelayanan gigi. Pekerja yang terpajan darah dan berpotensi tertular infeksi: - mempunyai Tingkat risiko terinfeksi berdasarkan jumlah pasien yang ditangani di pelayanan kesehatan, seberapa sering dan lama pajanan terhadap material yang terkontaminasi darah - Pekerja kesehatan banyak yang terkena penyakit hepatitis, hepatitis B virus (HBV) atau hepatitis C virus (HCV) dan acquired immunodeficiency syndrome Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | 68 (AIDS) Hepatitis B HBV : bentuk serius virus hepatitis (most serious form of viral hepatitis), biasanya dirujuk sebagai serum hepatitis (commonly referred to as serum hepatitis). Ditemukan 300,000 kasus infeksi Hepatitis B di Amerika Serikat. HBV menyebar melalui darah dan yang terkontamiasi darah (inoculation through the skin), dari ibu yg terinfeksi (transplacental), or via sexual contact. Transmisi HBV pada petugas kesehatan: tertusuk jarum/benda tajam terinfeksi. Pekerja tidak imunisasi : 6 - 30% jadi Hepatitis B pasca tertusuk jarum terinfeksi. Infeksi dapat terjadi melalui mata (konjunctiva) , mukosa yang treinfeksi darah. Dapat terjadi juga di Laboratorium, klinik hemodialisa. Pencegahan: imunisasi Hepatitis B (HBV vaccine) dan follow up pasca pajanan Gejala: masa inkubasi 4 to 28 minggu. Gejala berhub dg akut hepatitis B: sakit kepala, kehilangan napsu makan,mual, muntah, demams. Urine berubah warna kecoklatan, Icterus (sklera kuning kadang- kadang ). 87-90%: imun ; 7% carier 1-3 %: progresif jadi kronik, dapat jadi sirosis, kanker hati atau keduanya. Hepatitis C: -HCV: adalah penyebab predominan hepatitis non A –non B (the predominant agent of non- A-non-B hepatitis). -Penyebaran dominan melalui pajanan darah atau yg terinfeksi (parenteral route / inoculation through the skin). - Penularan dari ibu ke anak (transplacental), via sexual contact appears to be inefficient. HCV - Penularan post-transfusion hepatitis. - Risiko tinggi : intravenous drug abusers dan past recipients of blood or blood products. Petugas Kesehatan: risiko HCV sama dg populasi biasa. - Penularan: tertusuk jarum suntik/benda tajam terinfeksi Penelitian: 4% pekerja HCV-positive tertusuk jarum yang terinfeksi sebelumnya • Gejala Masa inkubasi:2- minggu-6 bulan. Gejala akut hepatitis hampir sama dg hepatitis Cronic liver disease: pada 50% individu dg hepatitis C akut. • sekitar 20% chronic liver disease akan jadi chronic active hepatitis yang berhubungan dengan peningkatan kanker dan sirosis hati. HIV - HIV, the etiologic agent of AIDS, - penularan dari darah, parenteral route (inoculation through the skin),transplacental, via sexual contact. - umumnya terjadi pada lelaki homosexual and bisexual, intravenous drug abusers, heterosexuals dengan banyak patner seks, dan hemofili & penerima darah/produk darah terinfeksi - Petugas kesehatan : ditemukan kasus < 5% AIDS tiap tahun, banyak nonoccupational risk factors. -Gejala: Beberapa individu: , a flu-like illness(1-6 minggu) pasca pajanan. Demam, Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | 69 berkeringat, malaise, nyeri otot, hilang napsu makan , mual, diare, sakit tenggorokan. setelah bbrp lama: symptom-free (latent) 7-10 tahun, Risiko untuk petugas kesehatan: - Risiko penularan HIV setelah luka tusuk jarum suntik yang terkontaminasi HIV adalah 4: 1000. - Risiko penularan HBV setelah luka tusuk jarum suntik yang terkontaminasi HBV -8 27 - 37: 100 Setidaknya 10 ml (.00000001 ml) darah yang yang mengandung HBV dapat menularkan virus berbahaya ini ke tubuh manusia yang rentan. - Risiko penularan HCV setelah luka tusuk jarum suntik yang mengandung HCV 3 - 10 : 100 Tabel:Cairan tubuh dan risiko terpecik RISIKO TINGGI Darah, serum Semen Sputum, nanah Vaginal secretions Risiko tidak diketahui Cairan Amnion Cairan Serebrospinalis Cairan Pleura Cairan Peritoneal Cairan Pericardial Cairan Sinovial RISIKO RENDAH* Lendir serviks Bahan muntahan Tinja Air liur Keringat Air mata Urin ASI * Kecuali terlihat terinfeksi dengan darah Issue: Keselamatan pasien, keselamatan pekerja, environtmental safety, institutional safety, bussiness safety (Menkes, Nov 2011) Health care Association Infection (HAIs): pasien, petugas, pengunjung Program Pengendalian Infeksi (PPI) Merupakan suatu program yang dilakukan khususnya di fasilitas pelayanan kesehatan untuk mengurangi terjadinya penularan penyakit yang disebabkan oleh hazards biologi. Program pencegahan Infeksi ini terdiri dari beberapa kegiatan, yaitu: a. Pencegahan Infeksi, b. Pendidikan dan Pelatihan, c. Surveilens, d. Penggunaan obat yg rasional a.Pencegahan Infeksi Prinsip Dasar kegiatan ini adalah • Mencuci tangan sesudah kontak dengan pasien Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | 70 • Tidak menutup jarum suntik dengan 2 tangan • Pembuangan benda tajam dalam tempat khusus • Menggunakan Sarung tangan bila akan kontak dengan darah, cairan tubuh, kulit luka & mukosa • Memakai Alat Pelindung Diri bila kemungkinan terciprat • Menutup semua luka sendiri • Langsung membersihkan darah dll • Sistem pembuangan sampah/limbah yang aman Body Substance Isolation (BSI) , Lynch pada tahun1987 memperkenalkan beberapa kegiatan, sebagai berikut: b. Menggunakan Sarung tangan untuk semua kontak cairan tubuh c. Melakukan Imunisasi staf terhadap berbagai penyakit (campak, rubella, Hepatitis B) d. Instruksi khusus untuk setiap penyakit menular Standar Precaution (CDC, 1996) adalah suatu program yang diperkenalkan dengan beberapa kegiatan sebagai berikut • Kewaspadaan baku: – Diterapkan bagi semua klien/pasien • Kewaspadaan berdasarkan penularan: – Hanya diterapkan bagi pasien rawat inap Program diatas menggantikan Universal Precaution & Body substance Isolation, program ini dikembangkan terus sampai tahun 2001 Kegiatan Pencegahan Infeksi: A. Menghindari tertusuk jarum: 1. hindari suntikan tidak penting (misalnya penyuntikan antibiotika). 2. Pengurangan penyuntikan yang kurang diperlukan 3. Pergunakan jarum steril 4. Penggunaan alat suntik yang disposabel. B. Masker, sebagai pelindung penyakit yang ditularkan melalui udara. - petugas - pasien infeksi saluran nafas, menggunakan masker saat keluar dari kamar C. Sarung tangan, digunakan terutama saat: menyentuh darah, cairan tubuh, feses maupun urine. Sarung tangan diganti untuk tiap pasiennya. D. Baju khusus untuk melindungi kulit dan pakaian selama melakukan tindakan untuk cegah percikan darah, cairan tubuh, urin dan feses. E. Mencegah penularan dari lingkungan rumah sakit : Pembersihan rutin - bersih dari debu, minyak dankotoran. Perlu diingat 90% kotoran ada kuman. Harus ada waktu teratur membersihkan dinding, lantai, tempat tidur, pintu, jendela, tirai, kamar mandi, dan alat-alat medis yang telah dipakai berkali-kali. F. Pengaturan udara Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | 71 Usahakan pakai penyaring udara, terutama pasien imun rendah dan infeksius G. Selain itu, rumah sakit harus ada penyaring air dan menjaga kebersihan H. Sterilisasi air di rumah sakit dengan prasarana yang terbatas dapat menggunakan panas matahari. I. Toilet rumah sakit dijaga, terutama di unit perawatan pasien diare Permukaan toilet harus selalu bersih dan diberi J. Desinfektan yang dipakai adalah: - punya kriteria membunuh kuman - punya efek sebagai detergen - punya efek terhadap banyak bakteri, dapat melarutkanminyak dan protein. - Tidak sulit digunakan - Tidak mudah menguap Bukan bahan yang mengandung zat yang berbahaya baik untuk petugas maupun pasien - Efektif - tidak berbau, atau tidak berbau tak enak K. Perbaiki ketahanan tubuh L. Ruangan Isolasi diperlukan untuk penyakit yang penularannya melalui udara, contoh: tuberkulosis, dan SARS, yang mengakibatkan kontaminasi berat. DHF dan HIV. leukimia dan pengguna obat immunosupresan Setiap orang berpotensi menularkan penyakit, oleh karena itu perlu melakukan: • Cuci tangan dengan air mengalir dan sabun • Usap tangan dengan larutan alkohol gliserin: – 2 ml gliserin dalam 100 cc alkohol 60 – 90% . Pelindungan Barier yang protektif, dengan Alat Pelindung Diri c. Sarung tangan d. Masker/pelindung mata/muka e. Apron/Celemek f. Alas/penutup kaki Perlindungan: Cara Kerja Aman • Mengelola jarum dan benda tajam lainnya • Pembuangan jarum suntik dan benda tajam Berikut di bawah ini cara melakukan pemrosesan alat-alat kesehatan: Issue Penting: 1.Pakai sarung tangan - tidak 100% terlindungdari penukaran infeksi - harus digunakan untuk keadaan tertentu 2. Pelumas tangan dan krim tangan - pakai 2 kali sehari untuk mencegah kering dan rawat dermatitis - vaselin / lanolin merusak sarung tangan lateks 3. Bahan antiseptik topikal - pakai triklosan jangka panjang tidak menyebabkan resisten, dan flora kulit normal masih ada 4. Kulit pecah, seperti luka lecet harus ditutup dengan pembalut tahan air. Bila tak mungkin ditutup, maka tak usah melakukan pembedahan 5. Kuku jari, pada saat melakukan pelayanan kesehatan seharusnya pendek 6. Cat kukutidak digunakan 7. Perhiasan tidak boleh digunakan pada saat melakukan pembedahan b. Pendidikan dan Pelatihan Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | 72 • Perlu dilakukan sosialisasi ke semua orang • Program Pengendalian Infeksi (PPI): Pencegahan Infeksi, Pendidikan dan Pelatihan, Surveilens, Penggunaan obat yg rasional • Perlu dilatih tentang Pencegahan Infeksi dan Pengendalian Infeksi, kegiatan yang paling sederhana adalah cuci tangan c. Surveilance • Tujuan dilakukan surveilens adalah : 1. mendapat data dasar 2. menurunkan angka infeksi 3. identifikasi kejadian luar biasa 4. meyakinkan petugas medis 5. evaluasi pengendalian 6. antisipasi malpraktek Ditujukan untuk High risk people Metode yang digunakan: • - cara melaksanakan (aktif, pasif) • - waktu melaksanakan (berkala, terus-terus) • - metode identifikasi kasus (obs kasus prospektif, kartu rekam medik, pemakaian antibiotik, sampel bakteri) Prinsip Metode yang dilakukan harus komprehensif d. Penggunaan obat yang rasional • Penggunaan antibiotika yang tidak sesuai dan tidak terkontrol • Dosis antibiotika yang tidak optimal • Terapi dan pengobatan menggunakan antibiotika yang terlalu singkat • Kesalahan diagnose dapat dikurangi dengan Pelayanan K3 pada pelayanan kesehatan Pelayanan Kesehatan dan Keselamatan Kerja di fasilitas pelayanan kesehatan meliputi : A. Pemeriksaan kesehatan pra kerja B. Pemeriksaan kesehatan berkala C. Pendidikan K3 D. Imunisasi E. Perawatan penyakit dan kecelakaan akibat kerja F. Konseling kesehatan G. Pengawasan lingkungan dan surveilens H. Sistem arsip/pencatatan K3 I. Koordinasi perencanaan antar departemen dan pelayanan A.Pemeriksaan Kesehatan Pra Kerja • Pemeriksaan fisik untuk semua pegawai • Lakukan pemeriksaan penunjang : darah diff count, gula darah, ureum, kreatinin, SGOT, SGPT, urin rutin EKG sesuai indikasi, umur > 40 th Chest X ray test visus, tonometri, lapang pandang audiogram (sesuai indikasi) B.Pemeriksaan Kesehatan Berkala: Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | 73 • Pemeriksaan fisik untuk semua pegawai • Lakukan pemeriksaan penunjang: sesuai dg pajanan bising dengan pemeriksaan audiometeri debu dengan pemeriksaan spirometri bahan kimia : toluen dengan pemeriksaan as. Hipurat benzene dengan periksa fenol, ttMA, s-PMA karbamat (pestisida) dengan periksa asetil kolin esterase Penting : pekerja yang baru sembuh sakit, pekerja yang akan dipindah bagian, sebaiknya juga untuk yang mau pension C. Pendidikan K3 • Perlu tahu tugas yg harus dilakukan • Perlu informasi ttg K3 utk semua pegawai D. Imunisasi • Imunisasi sebaiknya dilakukan untuk semua pegawai yang terpajan bahaya potensial biologis E. Perawatan penyakit dan kecelakaan akibat kerja • Perlu ada bagian khusus yang menangani pegawai untuk mendapatkan pelayanan medis, konsultasi psikologi dan lainnya selama 24 jam • Fasilitas yang memadai perlu diberikan untuk memberikan pelayanan medis, bedah, psikologi dan rehabilitasi kepada semua pegawai • Disediakan Konsultan yang kompeten • Prosedur baku perlu diberikan agar pegawai tetap dapat berhubungan dengan dokter keluarga atau dokter langganannya • Perlu dilakukan follow up yang adekuat • Pengobatan dan pelaporan kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja harus dilakukan F. Konseling Kesehatan • Program yang terjangkau dan tersedia dalam pelayanan medis, psikologis dan konseling sosial (mis: penghentian kebiasaan merokok, dll) • Perlu dibuat sistim rujukan dan evaluasi untuk mengatasi masalah pegawai • Apabila pelayanan sosial atau psikiatri belum ada, perlu dicari orang yg tertarik dengan hal ini, di latih sebagai konselor G. Pengawasan lingkungan dan surveilens • Sebagai bagian program kesehatan,di bawah langsung individu atau konsultan yang capable dalam menangani bahaya potensial yang ada di RS • Individu yang bertanggung jawab untuk kedokteran nuklir dan kegiatan radiologi H. Sistim pencatatan K3 • setiap pegawai harus punya medical record sendiri, dan ada di unit Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | 74 kesehatan.Catatan tersebut mencakup catatan pemeriksaan kesehatan , PAK/kecelakaan akibat kerja dan hal-hal yang berhubungan dengan kesehatan • Catatan sebaiknya dibuat berdasarkan dan bulan dan tahun sesuai dengan angka kesakitan dan angka kecelakaan kerja, dan juga laporan pengawasan bahaya potensial di lingkungan • Catatan pegawai bersifat rahasia dan hanya orang tertentu yang dapat melihatnya I.Koordinasi perencanaan antar departemen dan pelayanan Komite K3 sebagai penasehat dalam program kesehatan kerja Komite K3 dan komite pengawasan infeksi harus memasukkan kesehatan pegawai RS dalam perencanaannya Anggota dari Program Kesehatan kerja harus berada dalam komite K3 dan juga komite pengawasan infeksi Penanganan Bahan berbahaya dapat dilakukan dengan cara: Inspeksi dan monitoring berkala – mapping hazards Wawancara informal dengan pegawai Melakukan evaluasi medis Evaluasi lingkungan kerja Membandingkan dengan nilai standard Yang perlu diantisipasi: • Pencegahan: monitoring lingkungan kerja, penggunaan APD yg sesuai, cara kerja yg benar • Deteksi dini dilakukan dengan pemeriksaan berkala sesuai dengan pajanan yang ada • Bila sudah ada gejala maka pindahkan pekerja ke tempat yang tidak terpajan • Pengobatan yang diberikan umumnya Simptomatis, tidak kausatif Pencegahan: 1. Monitoring Lingkungan kerja - perhatikan nilai ambang batas bahan biologi/kimia/fisik 2. Pekerja : lakukan olah raga yang sesuai (physical Fitness), lakukan pelatihan cara menggunakan bahan kimia, cara mengatasi keadaan darurat 3. Pengendalian Teknik: perawatan/perbaikan alat, gudang bahan kimia, lemari bahan kimia, lemari obat Pengendalian administrasi : SOP, aturan administrasi, Program Pengendalian Infeksi Alat pelindung diri : sarung tangan/ cimpal, apron, masker (?), penutup kepala, sepatu boot/karet Masalah Pengelolaan Sampah di Negara-negara Berkembang -Pengumpulan, insinerasi, enkapsulasi dan penguburan yang aman memerlukan biaya Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | 75 -Perlu ada sistem nasional pengelolaan limbah -Sistem tersebut tidak akan terlaksana dalam - waktu dekat di tempat yang memiliki sumber daya terbatas Empat Pilar Program Pengendalian Infeksi Rekomendasi CDC Atlanta Dukungan Manajerial Pengendalian Administrasi Pengendalian Lingkungan Perlindungan Diri Penatalaksanaan pasca paparan virus HIV apabila percikan terjadi: 1. Bila mengenai Kulit: Cucilah kulit dengan air dan sabun segera, Jangan menggunakan bahan pemutih 2. Bila mengenai Mata, hidung dan mulut: maka segeralah bilas dengan air selama 10 menit di lokasi tersebut 3. Bila Tertusuk jarum atau luka sayat: segeralah cuci dengan air dan sabun di lokasi tersebut, Biarkan darah mengalir. Segera gunakan pembalut Pertimbangan Pencegahan Pascapaparan (Post-exposure prophylaxis (PEP) : 1. Menilai risiko pajanan sesuai dengan: - Sumber cairan atau benda - Cara terpajan (tertusuk, terciprat) - Status HIV /HBV/HCV dari sumber pajanan 2. Melakukan Tes HIV pada petugas kesehatan untuk data basis 3. Melakukan Imunisasi HBV atau kadar imunoglobulin Catatan:- Bila memberi pengobatan profilaksis, harus diberikan dalam 1 – 2 jam sesudah terpajan -Rekomendasi CDC: - Zidovudine (ZDV) & lamivudine (3TC) - Lamivudine (3TC) & stavudine (d4T) - Didanosine (ddI) & stavudine (d4T) Pemberian terapi selama 4 minggu dan harus dilakukan tindak lanjut REFERENCES 1. Kementerian Kesehatan RI. Keselamatan pasien (Keselamatan Pasien di Rumah Sakit). Jakarta 2006 2. Tietjen L, Bossemeyer D, Mc Intosh N, Saifuddin AB, Sumapraja S, Djajadilaga, Santoso IS. Panduan Pencegahan Infeksi untuk Fasilitas Pelayanan Kesehatan dengan Sumber daya Terbatas. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, JNPKKR/POGI, JHPIEGO. Jakarta, 2004 3. ILO . Occupational Health Services in ILO Encyclopaedia, 2000 : 16.1-62 4. Levy and Wegman. Occupational Health : Recognizing and Preventing Work Related Diseases and Injury. Lippincott Williamas and Wilkins. Phi. USA. 2000 5. New Kirk William. Selecting a program Philosophy, structure and Medical Director, in Occupational Health Service : Practical Strategis Improving Quality Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | 76 & Controlling Costs. American Hospital Publishing, Inc. USA. 1993 6. Yanri Zulmiar, Harjani Sri, Yusuf Muhamad. Himpunan Peraturan Perundangan KEsehatan Kerja. PT Citratama Bangun Mandiri. Jakarta 1999. 7. Jamsostek. Kumpulan Peraturan Perundangan Jamsostek.Jakarta. 2003 Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | 77 LAMPIRAN 1. Contoh Evaluasi Program Tabel 4. Tabel penetapan prioritas masalah Importance No Daftar Masalah P S RI DU SB PB PC 1 Tidak diperolehnya 4 4 2 4 3 1 2 data mengenai keakuratan pencatatan 2 Kurangnya 3 5 2 3 5 5 1 pengendalian ketersediaan obat di puskesmas kecamatanpulogadung 3 Belum adanya evaluasi penggunaan obat yang rasional dan tepat 4 Ketersediaan obat di puskesmas kelurahan tidak merata T R Jumlah (I x T x R) 2 2 80 2 3 144 4 3 1 4 5 3 1 3 2 126 4 3 2 3 5 2 1 3 2 120 Prevalensi Pencatatan dan pelaporan merupakan salah satu aspek penting dari pengelolaan obat yang ikut menentukan keberhasilan seluruh rangkaian pengelolaan obat / perbekalan farmasi. Di puskesmas kecamatan pulogadung, pencatatan dan pelaporan tiap bulan sudah dilaksanakan tepat waktu, namun data mengenai keakuratan tidak ada. Pencatatan dan pelaporan data obat yang akurat dapat memberikan perbaikan dalam efisiensi dan efektifitas manajemen obat. Oleh karena itu besarnya masalah (prevalence) mendapat poin yang cukup besar. Kami berikan nilai 4. Pengendalian ketersediaan obat di puskesmas merupakan suatu hal yang sangat penting dalam pengelolaan obat. Apabila terjadi masalah dalam aspek ini, maka dapat menimbulkan masalah lain dalam rangkaian proses pengelolaan obat. Bila keadaan ini tidak teratasi dapat menyebabkan kualitas pelayanan kesehatan masyarakat menjadi buruk. Masalah ini prevalensinya cukup besar karena tidak dapat mencapai 100% dari tolok ukur. Pembobotan yang diberikan 3. Masalah ke 3, juga cukup besar (prevalence) mengingat evaluasi dalam pemakaian obat yang rasional dan tepat terhadap pasien akan mempengaruhi masalah-masalah lain dalam manajemen obat. Diberikan nilai 4. Ketersediaan obat di puskesmas kelurahan tidak merata, masalah ini memiliki nilai prevalensi yang cukup besar karena ketersedian obat yang tidak merata akan mengurangi ketepatan dalam pengobatan pasien secara langsung. Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | 78 Severity Pelaporan dan pencatatan pemakaian obat yang tidak akurat dapat mengakibatkan buruknya laporan dan tingkat kepercayaan yang rendah terhadap pihak pengelola. Oleh karenanya untuk severity diberikan nilai yang juga cukup besar. Untuk masalah ke dua, akibat yang ditimbulkan oleh masalah ini cukup besar karena Puskesmas Kecamatan Pulogadung tidak melakukan pengendalian ketersediaan obat dengan baik. Dampak yang dapat terjadi adalah terbatasnya pemberian resep obat yang terbatas pada ketersediaan obat. Masalah ke tiga, bila keadaan ini tidak teratasi, pada akhirnya dapat menyebabkan penyakit pasien tidak terobati secara benar. Sehingga memberikan nilai severity yang sedikit besar. Pada masalah ke empat, keparahan penyakit pasien penyakit tidak langsung menjadi buruk dengan pengobatan yang kurang tepat, sehingga akibat yang ditimbulkan dari masalah (severity) tidak besar. Rate of increase, selanjutnya lakukan seperti prevalensi dan severity. Gambar 4. Kerangka konsep dengan model diagram tulang ikan Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | 79 Penentuan Prioritas Pemecahan Masalah Pemilihan/penentuan prioritas cara pemecahan masalah ini dilakukan dengan memakai teknik kriteria matriks. Dari berbagai alternatif cara pemecahan masalah yang telah dibuat maka akan dipilih satu cara pemecahan masalah yang dianggap paling baik dan memungkinkan. Pemecahan masalah dengan koordinasi lintas sektor dan sosialisasi atau penyuluhan paling besar dapat mengatasi masalah. Banyak penyebab masalah yang dapat diatasi oleh kedua alternatif jalan keluar tersebut. Koordinasi lintas sektoral berikut pembagian tugas dan tanggung jawab antara Puskesmas dan pihak SD penting dilakukan karena hal ini dapat mengatasi penyebab masalah yang berupa kurangnya tenaga kesehatan Puskesmas dalam pelaksanaan program BIAS dan tidak adanya koordinasi berikut pembagian tugas dan tanggung jawab antara Puskesmas, Sudin Dikdas, dan pihak SD. Dengan koordinasi tersebut, pihak SD dapat mengetahui seberapa pentingnya BIAS Campak dilaksanakan dan peranan mereka dalam pelaksanaan BIAS Campak ini. Peran pihak sekolah dalam hal ini adalah dalam pendaftaran siswa yang ikut serta, penginformasian kepada orangtua dan guru, penyediaan waktu dan tempat untuk BIAS Campak dan dapat memberikan sumbangan tenaga dalam pelaksanaan program. Koordinasi tidak cukup hanya Puskesmas dengan pihak SD tetapi juga diperlukan koordinasi antara Puskesmas dengan Sudin Dikdas (Suku Dinas Pendidikan Dasar) Jakarta Timur serta antara pihak SD dan Sudin Dikdas. Hal ini penting karena jika tidak ada instruksi atau pemberitahuan dari Sudin Dikdas (Suku Dinas Pendidikan Dasar), maka tidak ada tenaga yang mampu mendorong pihak SD agar lebih proaktif menyukseskan program BIAS ini. Pertemuan koordinasi berikut pembagian tugas dan tanggung jawab yang jelas antara Puskesmas Kelurahan Pulo Gadung, Sudin Dikdas Jakarta Timur, dan pihak SD se-Kelurahan Pulo Gadung membutuhkan banyak waktu dan persiapan yang baik karena melibatkan anggota yang cukup banyak, yaitu minimal 14 orang. Persiapan meliputi persiapan alat, waktu, tempat, menghubungi semua pihak dan menyusun jadwal. Akan tetapi masalah dapat terselesaikan sesegera mungkin jika pelaksanaan berhasil dilakukan. Biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan ini juga paling mahal, yaitu Rp. 3.602.500,00. Sosialisasi/penyuluhan tentang program BIAS kepada orangtua siswa dan guru dapat mengatasi penyebab masalah berupa kurangnya sosialisasi/penyuluhan mengenai program BIAS kepada orangtua siswa dan guru serta pengetahuan, sikap, dan perilaku orangtua dan guru terhadap program BIAS yang masih kurang. Hal tersebut tercermin dari banyaknya siswa yang tidak mendapat persetujuan dari orangtuanya untuk diimunisasi atas dasar alasan-alasan yang keliru yang telah dijelaskan pada penjelasan sebelumnya. Banyaknya alasan ini menyebabkan Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | 80 tidak tercapainya cakupan 100 % untuk program BIAS Campak. Penyuluhan langsung kepada orangtua siswa dapat mengubah pandangan yang salah. Peran guru dalam hal ini juga penting karena guru dapat membantu menginformasikan hal-hal yang perlu diketahui kepada para siswa dan orangtua mereka jika ada orangtua yang tidak hadir dalam penyuluhan. Yang perlu diperhatikan adalah penyuluhan tidak menjamin pandangan orangtua akan berubah. Hal ini dipengaruhi oleh faktor-faktor berupa keterbukaan orangtua, fleksibilitas (tidak bersikeras mempertahankan pendapat), dan pengetahuan orangtua. Penyuluhan membutuhkan persiapan baik alat, waktu dan tempat serta penginformasian kepada pihak orangtua dan guru. Karena kegiatan langsung ditujukan pada orangtua dan guru, masalah dapat terselesaikan sesegera mungkin jika kegiatan berhasil dilaksanakan. Biaya yang dibutuhkan untuk kegiatan ini cukup besar tetapi tidak sebesar kegiatan pertemuan koordinasi berikut pembagian tugas dan tanggung jawab yang jelas antara Puskesmas Kelurahan Pulo Gadung, Sudin Dikdas Jakarta Timur, dan pihak SD se-Kelurahan Pulo Gadung, yaitu Rp. 850.000,00. Pembuatan dan penyebaran media promosi kesehatan hanya mengatasi masalah pengetahuan, sikap, dan perilaku orangtua dan guru terhadap program BIAS yang masih kurang. Penyebaran media ini tidak terlalu banyak berperan dalam mengatasi masalah karena tergantung dari beberapa faktor, yaitu pengetahuan orangtua dan guru, keingintahuan orangtua dan guru, serta kepedulian dari orangtua dan guru. Masalah juga tidak cepat teratasi dengan hanya menggunakan alternatif jalan keluar ini. Jalan keluar ini hanya mendukung jalan keluar lain yang dilaksanakan. Namun, biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan ini tidak terlalu besar dibandingkan kegiatan sebelumnya, yaitu Rp 517.000,00. Dari penjelasan di atas, untuk besarnya masalah yang dapat diselesaikan (Magnitude), penulis memberikan angka 5 pada alternatif pemecahan masalah koordinasi lintas sektoral dan sosialisasi/penyuluhan karena keduanya dapat mengatasi masalah paling besar. Hal ini disebabkan karena kedua alternatif pemecahan masalah ini masing-masing dapat menyelesaikan 2 penyebab masalah dibandingkan dengan alternatif pemecahan masalah pembuatan dan penyebaran media promosi kesehatan yang hanya dapat menyelesaikan 1 penyebab masalah. Makin banyak penyebab masalah yang diselesaikan, maka makin besar masalah yang dapat terselesaikan. Penulis memberikan angka 2 pada alternatif pemecahan masalah pembuatan dan penyebaran media promosi kesehatan karena besarnya masalah yang dapat diselesaikan sangat kecil. Hal ini disebabkan oleh banyak faktor yang mempengaruhi alternatif pemecahan masalah ini yang telah disebutkan di atas. Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | 81 Dilihat dari besarnya masalah yang dapat diselesaikan, penulis menyatakan bahwa alternatif pemecahan masalah koordinasi lintas sektoral dan sosialisasi/penyuluhan merupakan jalan keluar yang penting (importance). Penulis memberikan angka 5 untuk alternatif pemecahan masalah koordinasi lintas sektoral dan angka 4 untuk alternatif pemecahan masalah sosialisasi/penyuluhan karena walaupun keduanya sama penting, jika hanya sosialisasi/penyuluhan tanpa adanya koordinasi lintas sektoral, masalah tidak akan terselesaikan. Di pihak lain, koordinasi lintas sektoral saja dapat menyelesaikan masalah walaupun hasilnya tidak maksimal tanpa adanya sosialisasi/penyuluhan. Dengan demikian, koordinasi lintas sektoral lebih penting daripada sosialiasi/penyuluhan. Alternatif pemecahan masalah pembuatan dan penyebaran media promosi kesehatan dilihat dari besarnya masalah yang dapat diselesaikan merupakan alternatif pemecahan masalah yang tidak terlalu penting tetapi mendukung alternatif pemecahan lainnya sehingga diberikan angka 3. Dilihat dari kecepatan terselesaikannya masalah (vulnerability), alternatif pemecahan masalah koordinasi lintas sektoral dan sosialisasi/penyuluhan diberikan angka 4. Kedua alternatif pemecahan masalah tersebut tidak diberikan angka 5 karena meskipun keduanya dapat sesegera mungkin menyelesaikan masalah tetapi tidak sempurna dan memerlukan dukungan alternatif pemecahan masalah yang lain agar lebih cepat menyelesaikan masalah. Di pihak lain, alternatif pemecahan masalah pembuatan dan penyebaran media promosi kesehatan lambat menyelesaikan masalah karena besarnya masalah yang dapat diselesaikan sangat kecil dengan adanya banyak faktor yang disebutkan di atas yang menghambat terselesaikannya masalah. Dengan demikian, alternatif pemecahan masalah ini diberikan angka 2. Dengan mempertimbangkan biaya yang dibutuhkan untuk pelaksanaan alternatif pemecahan masalah (cost), penulis memberikan nilai 5 pada alternatif pemecahan masalah pembuatan dan penyebaran media promosi kesehatan, nilai 4 untuk alternatif pemecahan masalah sosialisasi/penyuluhan, dan nilai 3 untuk alternatif pemecahan masalah koordinasi lintas sektoral. Hal ini disebabkan biaya yang dibutuhkan untuk pembuatan dan penyebaran media promosi kesehatan adalah yang paling murah (Rp 517.000,00) dibandingkan dengan biaya sosialisasi/penyuluhan (Rp 850.000,00) dan koordinasi lintas sektoral (Rp 3.602.500,00). Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | 82 No Tabel 5. Tabel penentuan prioritas pemecahan masalah Efektivitas Efisiensi Jumlah Alternatif jalan keluar C M x I x V/ C M I V 1. Koordinasi lintas sektoral 5 5 4 3 33 2. Sosialisasi/penyuluhan 5 4 4 4 20 3. Pembuatan dan penyebaran media promosi kesehatan 2 3 2 5 2,4 Dari tabel di atas diketahui bahwa yang mendapat nilai terbesar adalah alternatif jalan keluar pertama, yaitu Pertemuan koordinasi berikut pembagian tugas dan tanggung jawab yang jelas antara Puskesmas Kelurahan Pulo Gadung, Sudin Dikdas Jakarta Timur, dan pihak SD se-Kelurahan Pulo Gadung. Buku Keterampilan Klinis Ilmu Kedokteran Komunitas – Dept. IKK FKUI | 83