PEMEROLEHAN BAHASA IBU : Komunikatif, Integratif dan Ekspresif Oleh : I Nengah Sudipa untuk Panitia Seminar Nasional Bahasa Ibu Universitas Udayana 2013 Abstract Pemerolehan Bahasa Ibu is a term used to refer to the process of a child acquiring his/her first languages with certain stages, methods and functions. This paper aims at analyzing the functions of the first language acquired by its own speakers. It turns out that it is termed as Bahasa Ibu when it is able to imply the communicative, integrative and expressive functions. Keywords : acquisition, bahasa ibu, function. I. PENDAHULUAN Dalam kajian Psikolinguistik, ada tiga persoalan mendasar yang menjadi tumpuan keilmuan yang pasti diurai yakni : (1) Pemahaman bahasa; (2) Pemerolehan Bahasa dan (3) Produksi bahasa (Dardjowidjojo, 2003; Sudipa, 2009:1). Masalah Pemerolehan bahasa bisa juga dilihat dari tiga aspek sesuai dengan status kebahasaan yang ditelaah, yakni : (1) Pemerolehan bahasa Pertama; (2) Pemerolehan/Pengajaran bahasa Kedua dan (3) Pengajaran bahasa Asing. Pemerolehan bahasa pertama sering diistilahkan dengan (a) child language acquisition pemerolehan bahasa oleh anak-anak atau (b) pemerolehan bahasa Ibu. Pemerolehan bahasa ibu bisa dilihat dari (1) tahapan menurut usia anak : cooing, babbling, vocable, dstnya (2) cara memperolehnya : imitating (peniruan model bahasa orang dewasa oleh anak-anak); reinforcement yaitu penguatan yang terdiri atas : penguatan positif kalau peniruan anak itu benar, atau penguatan negatif bila peniruan anak salah, lalu diberi pengulangan peniruan lagi, demikian berulang-ulang sehingga pemerolehan bisa sempurna. Untuk memperoleh bahasa tentu fungsi yang bersifat : communicative, integrative dan expressive pantas dijadikan pedoman dalam menentukan status bahasa yang diperoleh. II. BAHAN DAN METODA Bahan kajian ini bersumber dari hasil bacaan sumber tertulis tentang Pemerolehn bahasa melalui telaah baca dan analisis kritis, dibandingkan dengan data empiris dari berbagai bahasa daerah yang merupakan bahasa ibu penutur sebagai responden. Data empiris bersumber dari bahasa Bali, Minang, Kei-Maluku, Dawan, Rote dan Sasak yang dipakai mengungkapkan identitas diri. Dipilihnya identitas diri ini disebabkan karena ada keyakinan bahwa topik ini bisa dikomunikasikan, sekaligus menjadi bagian dari dirinya sendiri dan mampu mengekspresikan kebutuhan yang bersifat kejiwaan (Schumann et al, 1974:39-40). Data empiris diperoleh dari sejumlah infoman dengan cara mengisi blanko terjemahan dari Bahasa Indonesia ke dalam bahasa masing-masing. Ada lima responden dengan bahasa daerahnya masing-masing diminta mengisi dan menerjemahkan bahan berikut ini. 2.1 Bahasa Indonesia (1) Nama saya (2) Saya dilahirkan di …. Pada tanggal …. (3) Saya menetap di … (4) Pekerjaan saya ……… (5) Saya pernah sebagai …..….. (6) Saya melanjutkan kuliah di S2 karena …….. (7) Hobi saya adalah …………… (8) Keluarga saya bermukim di …………… (9) Bahasa ……….. untuk berkomunkasi dengan keluarga ……… (10) Obsesi saya setelah menyelesaikan program ….. 2.2 Bahasa Bali Subjek : tiang lekad “ saya lahir’ tiang nongos’saya tinggal Posessessive : adan tiangé “nama saya 2.3 Bahasa Minang Subjek : ambo lahia ‘saya lahir , ambo tingga ‘saya menetap di Pos : namo ambo ‘ nama saya, kaluarga ambo ‘keluarga saya 2.4 Bahasa Dawan-Timor Subjek : Au ‘tok at ‘saya menetap di ‘, Au unaba’tein skol ‘saya melanjutkan kuliah Pos : Au kanka’ nama saya; au fain ‘pekerjaan saya; au malinat ‘hobi saya 2.5 Bahasa Kei-Maluku Subjek : yaa dok naa ‘saya menetap di; yaa lanjut kuliah ‘saya melanjutkan kuliah; Pos : ya’a miman ‘nama saya’; ya’a nung hobi is ‘hobi saya adalah” 2.6 Bahasa Rote Subjek : O leo nai ‘saya menetap di..”; Pos : O hobim ‘hobi saya’; O na’dem ‘nama saya 2.7 Bahasa Sasak Subjek : akuw bebale lik ‘Saya menetap di..”; akuw uwahkah jari ‘ saya pernah sebagai Pos : Pegoyankah akuw ‘pekerjaan saya; kedemenankah Akuw ‘hobi saya Data yang sudah dikumpulkan melalui daftar isian, kemudian dianalisis dengan metode deskriptif kualitatif untuk disajikan secara informal (Sudaryanto, 1993:23) III. HASIL DAN DISKUSI 3.1 Pemerolehan bahasa Pemerolehan bahasa atau language acquisition adalah suatu proses yang digunakan oleh anak-anak untuk menguasai, mengerti dan memproduksi bahasa yang mereka dengar di sekeliling mereka tanpa disengaja ataupun tanpa perintah. Pada umumnya anak yang normal memperoleh kecakapan bahasa melalui bunyi-bunyi bahasa yang ada disekelilingnya tanpa disadari ‘sub-consious’. Ada tiga teori yang berkaitan dengan Pemerolehan Bahasa yang pantas dijadikan pertimbangan (a) Teori Mentalistik/Nativistik Teori Pemerolehan Bahasa menurut kaum mentalistik adalah bahwa bahasa merupakan pemberian biologis, hipotesis pemberiaan alam (Purwo, 1989:5); bekal kodrati (Dardjowidjojo, 2003:5); hipotetis nurani (Chaer, 2003:56). Menurut Pateda (1990:46-47) kajian Pemerolehan Bahasa yang terkait dengan pandangan kaum Nativistik selalu dihubungkan dengan nama linguis besar, Noam Chomsky. Dikatakan bahwa menurut Chomsky anak yang lahir ke dunia ini telah membawa kapasitas atau potensi bahasa. Kapasitas bahasa ini akan turut menentukan struktur bahasa yang akan mereka gunakan. Pandangan ini yang kelak disebut hipotesis rasionalis atau hipotesa ide-ide bawaan. Kaum mentalistis beranggapan bahwa setiap anak yang lahir telah dilengkapi dengan piranti pemerolehan bahasa (disebut Language Acquisition Device disingkat LAD, yang terdiri atas : - kecakapan untuk membedakan bunyi bahasa dengan bunyia-bunyi lainnya - kecakapan mengorganisasi satuan lunguistis ke dalam sejumlah kelas yang akan berkembang kemudian - Pengetahuan tentang sistem bahasa yang mungkin dan yang tidak mungkin - kecakapan menggunakan sistem bahasa yang didasarkan pada penilaian perkembangan sistem linguistik (b) Teori Behavioristik Teori Pemerolehan Bahasa menurut padangan kaum Behavioristik disebutkan bahwa lingkungan yang sangat berpengaruh terhadap kemampuan berbahasa, sama sekali tidak ada struktur linguistik yang dibawa sejak lahir. Anak yang lahir dianggap sebagai kertas kosong yang tidak membawa kapasitas atau potensi, lingkungannyalah yang akan memberi warna dan membentuknya, dengan perlahan –lahan dikondisikan oleh lingkungan dan pengukuhan terhadap tingkah lakunya. Pengetahuan dan keterampilan berbahasa diperoleh melalui pengalaman dan proses belajar. Gagasan behavioristik terutama didasarkan pada teori belajar yang pusat perhatiannya tertuju pada peranan lingkungan, baik verbal maupun nonverbal. Teori belajar behavioristik menjelaskan perubahan tingkah laku dengan menggunakan model stimulus (S) dan respon (R) . Setiap ujaran dan bagian ujaran yang dihasilkan adalah reaksi atau respon terhadap stimulus. Nama linguis yang terkenal penganut kelompok behavioristik adalah F.B Skinner yang menambahkan bahwa anak-anak memperoleh bahasa melalui hubungan dengan lingkungannya, dengan jalan meniru dalam frekuensi yang berulang-ulang suatu kata atau ujaran dan akhirnya akan mendapat pengukuhan sehingga anak lebih berani menghasilkan kata atau urutan kata. Seandainya kata atau urutan kata itu salah, maka lingkungan tidak akan memberi pengukuhan. Dengan cara ini, lingkungan akan mendorong anak untuk menghasilkan tuturan yang gramatikal dan tidak sebaliknya. (c) Teori Kognitif Teori Pemerolehan Bahasa menurut pandangan Kognitif selalu dihubungkan dengan nama linguis besar yaitu Piaget. Beliau pada intinya memandang bahwa bahasa itu sendiri bukanlah suatu ciri alamiah yang terpisah, melainkan salah satu di antara beberapa kemampuan yang berasal dari pematangan kognitif. Menurut Piaget (1954, dalam Purwo, 1990), bahasa distrukturkan oleh nalar, perkembangan bahasa harus berlandaskan pada perubahan yang lebih mendasar dan umum di dalam kognisi. Dengan demikian urut-urutan perkembangan kognitif menentukan urutan perkembangan bahasa. Titik awal teori kognitif adalah anggapan terhadap kapasitas kognitif anak dalam menemukan struktur di dalam bahasa yang ia dengar di sekelilingnya. Baik pemahaman ‘comprehension’ maupun produksi ‘production’ bahasa pada anak dipandang sebagai hasil proses kognitif yang secara terus-menerus berkembang dan berubah. Jadi stimulus merupakan masukan bagi anak yang kemudian berproses dalam otak. Pada otak ini terjadi mekanisme internal yang diatur oleh perangkat kognitif yang kemudian keluar sebagai hasil pengolahannya. Dari ketiga pandangan ini, khususnya yang dikaitkan dengan proses Pemerolehan Bahasa, secara singkat bisa dikatakan bahwa kelompok nativistis bertumpu pada faktor biologis (bawaan, innate, insani, nurani); kelompok behaviouristik pada faktor lingkungan sedangkan kaum kognitif pada pematangan nalar. 3.1.1 Pemerolehan Bahasa Pertama Proses pemerolehan bahasa pertama atau sering disebut Child Language Acquisition umumnya dikaitkan dengan pemerolehan bahasa ibu. Kalau anak-anak di Inggris, sejak masa kanak-kanak, mereka sudah mendengar bunyi-bunyi bahasa Inggris dari lingkungannya tanpa disengaja. Pemerolehan ini melalui metode : peniruan dan reinforcement. 3.1.2 Pemerolehan Bahasa Kedua dan Pengajaran Bahasa Kedua Istilah bahasa Kedua, kalau menggunakan contoh bahasa Inggris, bisa didefinisikan sebagai bahasa yang digunakan dalam situasi formal. Seperti misal, Bahasa Inggris di Singapora yang secara politis menempatkan posisi Bahasa Inggris sebagai bahasa Kedua. Masyarakat Singapore secara garis besar terdiri dari empat etnik besar yang ditandai dengan penggunaan bahasa ibunya. Ada kelompok etnis dari India menggunakan bahasa Tamil sebagai bahasa ibunya; guyub masyarakat Melayu berbahasa Melayu; kelompok Tionghoa menggunakan bahasa China Mandarin dan sisanya menggunakan bahasa Inggris. Kalau berada pada situasi formal, di sekolah, di kantor misalnya mereka menggunakan bahasa Inggris, kalau sudah berbicara intra etnik, mereka menggunakan bahasa ibu masing-masing. Dalam kaitan dengan pemerolehan Bahasa Kedua, sebaiknya ditelaah dulu bahwa ada enam dimensi yang menjadi renungan demi keberhasilan proses ini. Menurut Klein (1986:33) dimensi pemerolehan bahasa adalah (a) Propensity, sejenis desakan yang ada pada setiap orang untuk mencapai kemajuan. Kehadiran propensity memang diperlukan tetapi merupakan kondisi yang tidak cukup demi keberhasilan proses Pemerolehan Bahasa ini. Orang ini harus memiliki (b) Language Faculty, yakni kemampuan untuk belajar bahasa – kesan yang menggambarkan kemampuan memproses bahasa – yakni memproduksi dan memahami ujaran. Kedua kondisi ini belum cukup untuk mencapai tujuan di atas. Di dalam mengembangkan potensi bahasa dan merealisasikan desakan tersebut, perlu adanya (c) Access, peluang untuk belajar dan mempraktekkan bahasa. Bila ketiga kondisi ini telah terpenuhi dengan bagus, sebenarnya proses Pemerolehan Bahasa baru bisa dimulai. Proses ini menggambarkan bahwa suatu bahasa yang diperoleh atau dipelajari memiliki (d) Structure, ciri, kaidah tertentu dan khusus yang perlu kita kenal dan akrabi karena masalah ini akan terjadi berulang-ulang pada bahasa tersebut. Kalau ada norma bahasa yang tidak sama atau tidak teratur kejadiannya, itu artinya bahasa memeiliki perkecualian ‘irregular’. Kecepatan proses Pemerolehan Bahasa ini sangat tergantung dari propensity, language faculty dan access yang ada. Proses ini bisa cepat atau lamban, cepat atau lambannya proses ini disebut (e) Tempo. Perlu juga disadari bahwa proses Pemerolehan Bahasa pada saat tertentu bisa berhenti atau tidak mengalami kemajuan. Ini bisa disebabkan karena sudah sempurnanya proses itu sehingga tidak ada lagi perkembangan, atau sebaliknya karena tidak lagi ada desakan untuk menguasai bahasa itu, atau kemampuan berbahasa sudah menurun karena beberapa piranti proses ini rusak, usang atau menua dan/atau karena peluang untuk mempraktekkan tidak masih tersedia. Faktor-faktor seperti inilah bisa mengantarkan seseorang sampai pada keadaan mandeg yang disebut (f) end-state. 3.1.3 Pengajaran Bahasa Asing Sebuah bahasa berstatus sebagai bahasa asing apabila bahasa itu hanya merupakan mata pelajaran yang dipelajari di sekolah, bukan dipakai untuk komunikasi sehari-hari, dan bukan juga digunakan pada situasi formal. Mari kita lihat status bahasa Inggris di Indonesia yang diajarkan sejak TK-perguruan Tinggi hanyalah sebagai mata pelajaran/kuliah, kecuali di PS Sastra Inggris. Keberhasilan seseorang belajar bahasa asing, sangat tergantung dari beberapa hal: (a) . Concrete Goal ‘tujuan yang pasti’, jawab dulu pertanyaan ini, apa tujuan konkret seseorang belajar bahasa Inggris?, ini harus sudah jelas dan pasti. Misalkan akan ada rencana studi ke Australia, atau menulis artikel internasional, ini pasti berbeda dengan orang yang belajar hanya bertujuan iseng-iseng mengisi waktu luang. (b) Urge “rasa keterdesakan’, bisa menjadi urgent‘ mendesak’ kalau sudah jelas tujuannya, selalu kita merasa ada yang mendesak, seperti lagu : mau makan ingat bahasa Inggris, mau tidur ingat bahasa Inggris, mau ….. ingat ……. dst (c). Desire ‘hasrat’ mulai merencanakan untuk memilah dan memilih desakan-desakan itu, lalu mengatur sesuai potensi diri - pasti prioritas untuk bahasa Inggris lebih diutamakan. (d) Motivation ‘motivasi’ merealisasikan hasrat dengan cara berkonsentrasi, memaksimalkan daya dan waktu – tentu kita lebih fokus untuk tujuan itu. (e) Action ‘tindakan’ mulai tertarik membeli Kamus, serius baca buku bahasa Inggris, rajin ikut les- kursus dan intensif belajar mandiri. Kelima butir urutan ini mesti ada - tergantung intensitas per individu yang bisa menyebabkan cepat atau lamban – agar seseorang menggapai keberhasilan. Lebih jelas simak diagram di bawah. CONCRETE GOAL URGE DESIRE MOTIVATION ACTION 3.2 Bahasa Ibu Konsep bahasa ibu atau bahasa pertama masih menjadi polemik kalau kita mengacu pada situasi masyarakat tutur yang dwibahasawan, seperti masyarakat yang sejak lahir hidup di perkotaan. Pada masyarakat eka-bahasawan, seperti di Inggris akan tetap mengatakan bahwa bahasa ibu / pertamanya adalah bahasa Inggris (Platt, 1985). Pada masyarakat ekabahasawan, pemerolehan bahasa ibu memiliki stages, method dan function. Dari kajian inilah diperoleh postulat yang kuat bahwa definisi bahasa ibu bisa diformulasikan. 3.2.1 Tahapan Perkembangan kemampuan prilaku berbahasa pada bayi tidaklah muncul dengan tibatiba, malah melalui tahapan yang seirama dengan bertambahnya usia si bayi. (a) Bayi baru lahir Tahapan usia ini juga disebut dengan stadia mula yang ditandai dengan ‘kenyut-telan’ pada saat menyusu dengan ibunya. Untuk mengenyut, bayi yang baru lahir harus mampu menutup rongga nasal dengan menaikkan velum. Setelah rongga nasal tertutup si bayi dapat membuat ruang kosong di rongga mulut dengan menurunkan rahang bawah. Bunyi yang paling umum yang dapat dibuat oleh bayi ialah menangis. (b) Berdekut Usia bayi dua bulan ditandai dengan kemampuan memproduksi bunyi dengan ciri-ciri tertawa yang diistilahkan berdekut ‘cooing’. Bunyi yang dihasilkan adalah bunyi konsonan belakang dan tengah dengan vocal belakang, tetapi tanpa resonansi penuh. Bunyi konsonannya terdiri atas bunyi frikatif velar yang mirip dengan /s/ dan bunyi depan letupan velar yang mirip /k/ dan /g/ (c) Meraban/ berlétér Usia bayi 4-6 bulan ditandai dengan berlétér yang ciri-cirinya berupa bunyi dengan resonansi penuh seperti contoh /a/, selama masa meraban ‘cooing’ ini, si anak mencoba mengeluarkan macam-macam bunyi. Kadangkala bunyi yang dihasilkan bukanlah bunyi yang terdapat di dalam bahasa ibunya. (d) Vokabel Menjelang usia 11 bulan, kemampuan memproduksi bunyi sudah berkembang dari berlétér dengan rentetan bunyi yang mirip bicara orang dewasa. Mendekati usia satu tahun, anak mulai menghasilkan apa yang disebut ‘vocable’ yang hampir menyerupai ‘kata’ tidak memiliki arti, dan bukan merupakan tiruan orang dewasa. Namun secara fonetis, vokabel ini sudah konsisten. (e) Kata Pertama Munculnya kata pertama banyak ditentukan oleh penguasaan artikulasi dan juga oleh kemampuannya mengaitkan kata dengan benda yang dimaksud. Pengaitan kata yang bersangkutan secara konsisten terhadap benda tertentu dapat membantu penguasaan anak untuk mengucapkan kata itu (Purwo, 1990:15). Dari segi filosofi India, diceritakan bahwa anak usia satu tahun sudah bisa memproduksi kata dengan mengaitkan ke benda tertentu. Ini dinyatakan dengan adanya legenda Sanghyang Pasupati pada saat berumur satu tahun yang berhasil mengucapkan kata pertama dan dihubungkan dengan terciptanya dunia atau benda. Kata-kata bhur lalu lahirlah dunia manusia; bhuah lahirlah dunia dewa dan swah lahirlah dunia Tuhan (Fromkin, et al. 1982). (f) Kalimat Satu Kata Sering anak membuat kalimat yang ada maknanya dengan sebuah kata, misalnya : ma ‘mama’; guk ‘guguk yang dimaksud anjing; Walaupun terdiri atas satu kata tetapi konteks akan memberi makna (g) Kalimat Dua Kata Usia 18 bulan, anak mulai menggabungkan kata, meskipun masih pula banyak menggunakan kalimat satu kata. Dalam menggabungkan kata, anak mengikuti urutan kata yang terdapat pada bahasa orang dewasa. Misalnya : ma tang - mama datang; la kan ‘Sora makan’ 3.2.2 Teknik Pemerolehan Bahasa Ibu Seorang anak dalam kaitan dengan proses Pemerolehan bahasa pertama, sering menggunakan cara atau teknik peniruan. Lingkungan atau orang di sekitar anak itu memproduksi ujaran, dari tingkat sederhana sampai kompleks lalu didengar, dengan kemampuan anak itu memperoleh ujaran tersebut. Untuk membuktikan proses pemerolehan tersebut berhasil, perlu dicermati dari kemampuan si anak memproduksi bahasa, dengan kata lain berbicara. Pada waktu awal-awal kemampuan berbicara tentu si anak itu menggunakan teknik imitation, meniru bahasa orang dewasa, kemudian lingkungan juga yang akan memberikan penguatan. Penguatan ada dua kemungkinan yaitu (a) Positive reinforcement karena si anak meniru bahasa orang dewasa dengan baik dan benar untuk dimotivasi agar melanjutkan; (b) Negative reinforcement karena ada belum tercapai standar kaidah yang ditiru oleh si anak itu, ada bagian atau seluruh ujaran yang mesti diperbaiki sebelum melanjutkan tahap berikutnya. 3.2.3 Fungsi Bahasa Ibu Menurut buku yang berjudul New Frontiers in Second Language Learning, disunting oleh John. Schumann dan Nancy Stenson mengatakan bahwa The functions of language are three components : communicative, integrative and expressive. Through the communicative function information is exchanged among persons. The integrative function serves to mark one’s identity within the society and the expressive function is designed to allow the expression of certain psychological needs. (1974:39-40). Dari kutipan ini terlintas bahwa fungsi bahasa seperti ini bisa digunakan untuk mendefinisikan konsep bahasa ibu tersebut. Uraian berikut dengan data empiris akan memberikan hasil yang bisa lebih memadai. 3.2.3.1 Komunikatif Bahasa dikatakan berfungsi komunikatif bertendensi memiliki kemampuan untuk mentransfer infromasi dari seseorang ke orang lain atau menyebakan terjadi interaksi diantara pemakai bahasa. Dari data bahasa yang ada untuk nama saya dalam bahasa Bali, wastan tiangé, bahasa Minang namo ambo, bahasa Kei, Maluku Ya’a minan. Pemarkah –é dan ya’a akan dengan mudah dan tanpa keraguan berhasil mengkomunikasikan posesif pada bahasa yang dijadikan contoh. 3.2.3.2 Integratif Bahasa dikatakan berfungsi integrative apabila memiliki potensi menjadi identitas, karakter, jati diri dalam guyub tutur bahasa bersangkutan. Dalam bahasa Rote dan Dawan dialek Amanuban, Timor untuk posisi Subyek dan Posesif tidak ada perbedaan, tetap berada di depan untuk terjemahan untuk saya = O, seperti : Nama saya, : ‘O na’dem se?; Saya menetap di ‘O leo nai be?; Pekerjaan saya ‘O karjam hata?; Saya pernah sebagai … ‘O parna da’di hata; Hobi saya ‘O hobim na bek?; keluarga saya bermukim di ..’O tolanom la leo nai be?. Begitu pula dalam bahasa Dawan dialek Amanuban/Meto , Timor : saya ‘Au’ seperti : nama saya ‘Au kanka; saya menetap di … Au ‘tok at; Saya melanjutkan kuliah ‘Au unaba’tein skol at..; Hobi saya ‘Au malinat es; keluarga saya bermukim ‘Au biaenu ntokon at .. 3.2.3.3 Ekspresif Bahasa dikatakan berfungsi ekspresif bila dirancang untuk mengungkapkan kebutuhan yang bersifat psikologis. Penutur dengan jitunya memilih sebutir leksikon yang digunakan dalam ujaran dengan harapan Petutur sudah dengan serta merta mendapatkan pemahaman dan sekaligus memiliki dampak kejiwaan akan makna kata tersebut. Contoh untuk leksikon keluarga, Bahasa Bali ‘kulawarga’; bahasa Minang ‘kaluarga’; bahasa Dawan ‘biaenu’; bahasa Kei, Maluku ‘keluarga’; bahasa Rote ‘tolanom; dan bahasa Sasak ‘keluargengkah’ IV. PENUTUP Dari hasil analisis di atas, pemerolehan bahasa ibu selalu dikaitkan dengan bahasa Pertama atau bahasa anak-anak. Konsep pengertian bahasa ibu, selain dicirikan dengan stages (tahapan produksi bahasa); teknik pemerolehan dan yang juga patut dipertimbangkan adalah fungsi bahasa bersangkutan. Bila sebuah bahasa, seperti bahasa Inggris yang mampu mewahanai ketiga fungsi bahasa : komunikatif, integratif dan ekspresif sekaligus, maka kecenderungan bahasa itulah bahasa ibu bagi orang yang berasal dari England. Pustaka Acuan Chaer, Abdul. 2003. Psikolinguistik : kajian teoritik Jakarta : Rineka Cipta Clark, H and Clark, E. 1977. Psychology and Language. New York : Harcourt Brade Jovanovitch Crystal, D. 1985. Dictionary of Phoenetics and Linguistics London: Basil Balckwell Dardjowidjojo, Soenjono. 2003. Psikolinguistik : Pemahaman Bahasa Manusia. Jakarta : Yayasan Obor Fromkin, V dan R. Rodman. 1982: An Introduction to Language. New York : Holt-Saunders International Klein, Wolfgang. 1986. Second Language Acquisition. Cambridge : Cambridge University Press Pateda, Mansoer. 1990. Aspek-aspek Psikolinguistik. Flores : Nusa Indah Platt. John T., Heidi Weber dan Ho. 1985. New Englishes. Singapore: Kegen & Routledge Purwo, Bambang Kaswanti. 1990. Perkembangan bahasa Anak. Jakarta :Peba 3 Samsunuwiyati, Ma’rat. 2005. Psikolinguistik, Suatu Pengantar. Jakarta : Aditama Schumann, John dan Nancy Stenson (eds). 1974.New Frontiers in Second Language Learning. Massachusetts: Newburry House Publishers Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Yaigyakarta: Duta Wacana University Press. Sudipa, I Nengah. 2009. Psycholinguistics : An Introductory Note. Essay Majalah volume 16. English Department, Udayana University Titone, R dan M. Daneshi. 1985. Applied Psycholinguistics. Rowley, Massachussetts : Newburry House