faktor prediktor keberhasilan terapi tuberkulosis ekstra paru dengan

advertisement
UNIVERSITAS INDONESIA
FAKTOR PREDIKTOR KEBERHASILAN
TERAPI TUBERKULOSIS EKSTRA PARU
DENGAN MENGGUNAKAN STRATEGI DOTS
DI RSUPN DR. CIPTO MANGUNKUSUMO
TESIS
TELLY KAMELIA
1206327286
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SUBSPESIALIS
PROGRAM STUDI ILMU PENYAKIT DALAM
JAKARTA
JULI 2014
Faktor prediktor ..., Telly Kamelia, FK UI, 2014
UNIVERSITAS INDONESIA
FAKTOR PREDIKTOR KEBERHASILAN
TERAPI TUBERKULOSIS EKSTRA PARU
DENGAN MENGGUNAKAN STRATEGI DOTS
DI RSUPN DR. CIPTO MANGUNKUSUMO
TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar subspesialis
Ilmu Penyakit Dalam
TELLY KAMELIA
1206327286
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SUBSPESIALIS
PROGRAM STUDI ILMU PENYAKIT DALAM
PEMINATAN PULMONOLOGI
JAKARTA
JULI 2014
Faktor prediktor ..., Telly Kamelia, FK UI, 2014
Faktor prediktor ..., Telly Kamelia, FK UI, 2014
Faktor prediktor ..., Telly Kamelia, FK UI, 2014
Faktor prediktor ..., Telly Kamelia, FK UI, 2014
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan
karunia-Nya, sehingga saya dapat menyelesaikan penelitian ini sebagai salah satu syarat
kelengkapan dalam menyelesaikan Program Pendidikan Dokter Subspesialis Kekhususan
Pulmonologi di Divisi Pulmonologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
Saya menyadari bahwa apa yang saya capai sampai saat ini baik selama pendidikan
maupun selama mengerjakan penelitian ini, tidak terlepas dari bimbingan, dukungan, kerjasama,
dan doa restu dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini ijinkan saya
menyampaikan rasa hormat, penghargaan dan ucapan terima kasih yang tidak terhingga kepada :

Dr. dr. Ratna Sitompul, SpM(K) sebagai Dekan Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia saat ini, yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk menjalani
proses pendidikan di Fakultas yang beliau pimpin.

Dr. dr. Imam Subekti, SpPD, KEMD, FINASIM selaku Ketua Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI dan Dr. dr. Czeresna H. Soejono, SpPD, KGer, M. Epid,
FINASIM, FACP, sebagai Ketua Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI terdahulu atas
kesempatan yang diberikan kepada saya untuk dapat mengikuti pendidikan di
Departemen yang beliau pimpin.

dr. H. E. Mudjaddid, SpPD, KPsi, FINASIM selaku Ketua Program Studi PPDS-II
IPD saat ini serta kepada Dr. dr. Imam Subekti, SpPD, KEMD, FINASIM selaku
Ketua Program Studi terdahulu, serta kepada para Staf di Koordinator Pendidikan atas
kesempatan, bimbingan dan perhatian yang diberikan selama masa pendidikan saya.

Dr. dr. Cleopas Martin Rumende, SpPD, KP, FINASIM selaku Ketua Divisi
Pulmonologi dan selaku pembimbing utama serta pembimbing metologi penelitian saya
yang telah
memberikan kesempatan dan kemudahan bagi saya untuk melakukan
penelitian di divisi yang beliau pimpin, berikut dengan semua bimbingan dan dukungan
moril yang telah beliau berikan selama saya menjalani pendidikan dan melakukan
penelitian dan penyusunan tesis akhir saya ini.
Faktor prediktor ..., Telly Kamelia, FK UI, 2014

Dr. Ceva Wicaksono Pitoyo, SpPD, KP, KIC, FINASIM selaku sebagai pembimbing
penelitian saya dan selaku koordinator pendidikan Sp2 Divisi Pulmonologi yang telah
memberikan waktu dan perhatian disela-sela kesibukan dan jadwal beliau yang padat
baik selama proses pendidikan maupun selama proses penelitian ini. Semua masukan,
saran dan dukungan moril terhadap saya dalam pembuatan tesis ini telah banyak
membantu saya khususnya membuka cakrawala terhadap ilmu pulmonologi.

Dr. dr. Zulkifli Amin, SpPD, KP, FINASIM selaku koordinator pendidikan Sp2 Divisi
Pulmonologi terdahulu atas bantuan dan dukungannya yang teramat besar selama saya
berproses dalam pendidikan dan penelitian ini. Banyak sekali kesempatan dan
kemungkinan yang beliau buka untuk saya sehingga saya dapat menyelesaikan studi ini.
Tanpa dukungan beliau, rasanya sangat sulit untuk saya menuntaskan penelitian ini
dengan baik.

Dr. Anna Uyainah, SpPD, KP, MARS, FINASIM selaku penguji selama masa
pendidikan ini yang telah memberikan perhatian dan dukungan kepada saya selama saya
menyelesaikan studi di Divisi Pulmonologi ini. Kebaikan beliau merupakan pelita bagi
saya dan akan tetap menjadi tempat bertanya bagi saya di kemudian hari.

Staf Divisi Pulmonologi : dr. Gurmeet Singh, SpPD, dr. Eric Daniel Tenda, SpPD,
dr. Mira Yulianti, SpPD sebagai rekan sejawat di Divisi Pulmonologi, Departemen Ilmu
Penyakit Dalam, yang mendukung, memberikan spirit dan semangat bagi saya untuk
dapat menyelesaikan penelitian ini.

Para Staf Administrasi Divisi Pulmonologi, Departemen Penyakit Dalam dr. Rendi,
dr. Zaky, dr. Ibnu, Indah, Ima, Febri, Ridho, Rafika, Pak Samsul yang telah banyak
membantu saya dalam proses penelitian saya ini.

Teman seangkatan dan seperjuangan dr. Fauzar, SpPD atas kerjasama, dukungan,
kekeluargaan, dan kekompakan yang terbina selama pendidikan ini.

Mbak Lidya dan Mbak Gumi : sebagai staf sekretariat PPDS-II FKUI/RSCM atas
bantuannya selama pendidikan dan penelitian ini.

Mbak Tami dan Mas Bayu : sebagai staf sekretariat Koordinator Penelitian FKUI /
RSCM atas bantuannya selama penelitian ini.
Faktor prediktor ..., Telly Kamelia, FK UI, 2014

Terima kasih tak terhingga saya sampaikan kepada Ayahanda dr. H. Asril Bahar,
SpPD, KP, K-Ger dan Ibunda tercinta Hj. Eva Asril, atas kasih sayang, kesempatan,
dorongan, dukungan moril dan spiritualnnya sejak saya masih ditimang hingga sampai
saat in. Do’a restu, pengertian, dan kasih sayang seorang Bapak dan Ibu yang tercurah,
selalu menjadi kekuatan baru yang mengisi ulang semangat saya untuk terus maju sampai
dengan saat ini dan serta telah memberikan seluruh kasih sayangnya yang tidak ada hentihentinya kepada saya sehigga saya dapat menyelesaikan pendidikan ini.

Dipl. Ing. Gelora Yala Nusantoro, DEA, suami saya terkasih, yang telah menemani
saya selama ini. Segala pengertiannya dan kesabarannya yang telah dicurahkan selama
ini, memberikan dorongan moril yang amat besar untuk saya. Ananda Akmal Hugo
Prasetyo, Iqbal Vito Dewantoro, Raisa Tatum Lubna, putra putri kami yang
kehadirannya merupakan kebahagiannya dan obat pelipur letih yang amat mujarab dikala
susah dan senang. Keberhasilan kali ini tentu saya persembahkan untuk kalian anakanakku serta suamiku tersayang.

Alm. Letkol. Ir. H. Mintaryo Suseno dan Hj. Turzanah Rosita kedua mertua saya
yang juga mencurahkan banyak pengertiannya kepada saya dan sepenuhnya mendukung
saya dalam menyelesaikan pendidikan ini.

Serta seluruh pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu-persatu yang juga telah banyak
memberikan bantuan dan perhatian kepada saya selama ini. Semoga Allah SWT
memberikan rahmat dan melimpahkan karunia, serta pahala yang berlipat ganda atas budi
baik yang telah diberikan.
8 Juli 2014
Dr. Telly Kamelia, SpPD
Faktor prediktor ..., Telly Kamelia, FK UI, 2014
Faktor prediktor ..., Telly Kamelia, FK UI, 2014
Faktor prediktor ..., Telly Kamelia, FK UI, 2014
Abstrak
Nama
: Telly Kamelia
Program Studi
: Program Pendidikan Profesi Dokter Subspesialis
Judul
: Faktor Prediktor Keberhasilan Terapi Tuberkulosis Ekstra Paru dengan
Menggunakan Strategi DOTS di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo,
Jakarta.
Latar belakang. Tuberkulosis (TB) ekstra paru merupakan penyakit yang banyak ditemukan di
Indonesia, disamping TB paru. Belum banyak penelitian mengenai TB ekstra paru di Indonesia,
khususnya keberhasilan terapi TB ekstra paru dengan menggunakan strategi DOTS. Belum
didapatkan laporan penelitian mengenai faktor prediktor yang mempengaruhi keberhasilan terapi
TB ekstra paru dengan menggunakan strategi DOTS di Indonesia.
Tujuan. Mengetahui faktor prediktor keberhasilan terapi tuberkulosis ekstra paru seperti usia,
jenis kelamin, diabetes mellitus, HIV dan riwayat antituberkulosis. Mengetahui tingkat
keberhasilan terapi TB ekstra paru dengan menggunakan strategi DOTS, bila diberikan selama
minimum 9 bulan.
Hasil. Penelitian kohort retrospektif dengan data register DOTS TB dan data rekam medis dari 1
Januari 2008 sampai 31 Desember 2012. Didapat 542 pasien TB ekstra paru, 279 pasien TB
kombinasi ekstra paru dan TB paru, 70 pasien data tidak lengkap, dan hanya 193 pasien TB
ekstra paru murni. Mayoritas pasien berjenis kelamin perempuan (52,3%). Umumnya usia muda
(18-60 tahun (95.9%)), rerata 31,34 + 11,64 tahun. TB ekstra paru yang paling banyak didapat
adalah limfadenitis TB. Keberhasilan terapi TB ekstra paru pada usia 18-60 tahun terjadi pada
49,7% pasien (OR 2,968, 95% CI 0,584-15,087, p 0,313). Keberhasilan terapi TB ekstra paru
untuk jenis kelamin perempuan didapat 55,4% pasien (OR 1,768, 95% CI 0,999-3,131, p0,05).
Keberhasilan terapi TB ekstra paru pada pasien diabetes mellitus 33,3% (OR 1.957, 95% CI
0.475-8.062, p 0,546) dan pada riwayat TB sebelumnya sekitar 55,6% (OR 0.738, 95% CI 0.2781.959, p 0,717). Keberhasilan terapi TB ekstra paru pada pasien HIV 32,1% (OR 2.588, 95% CI
1.330-5.038, p 0,007). Pada analisis multivariate, keberhasilan terapi TB ekstra paru dengan faktor koinfeksi HIV, OR 2.588, CI 95% 1.330-5.038, p 0,005. TB ekstra paru pada pasien HIV mempunyai
keberhasilan terapi rendah dengan menggunakan strategi DOTS dan berhubungan dengan kegagalan
terapi, serta prognosis buruk. Angka keberhasilan TB ekstra paru yang diterapi dengan menggunakan
strategi DOTS selama < 9 bulan adalah 20,2%. Sebanyak 94,6% pasien TB ekstra paru berhasil diterapi
dengan menggunakan strategi DOTS selama > 9 bulan.
Kesimpulan. HIV merupakan faktor prediktor yang dapat menurunkan keberhasilan terapi TB
ekstra paru dengan menggunakan strategi DOTS. Tingkat keberhasilan terapi TB ekstra paru
yang menggunakan strategi DOTS selama minimum 9 bulan baik (94,6%).
Kata kunci: TB ekstra paru, faktor prediktor, terapi TB, DOTS.
Faktor prediktor ..., Telly Kamelia, FK UI, 2014
Abstract
Name
: Telly Kamelia
Study Program
: Program Pendidikan Profesi Dokter Subspesialis
Title
: Predictors of Success Factors of Extrapulmonary Tuberculosis
Treatment Using DOTS Strategy in RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo,
Jakarta.
Background. Extrapulmonary tuberculosis (EPTB) is common presentation found in Indonesia,
besides Tuberculosis (TB). We found that no more research about EPTB in Indonesia, especially
EPTB success treatment using the DOTS strategy and its predictor factors.
Aims. To determine predictors of TB treatment success factors such as age, sex, diabetes
mellitus, HIV and anti-tuberculosis records. To acknowledge the success rate of EPTB treatment
using DOTS strategy, when administered for a minimum of 9 months.
Result. A retrospective cohort study was conducted from 1 January 2008 through 31 December
2012. A total of 542 patients of EPTB were identified, 193 patients were pure EPTB while 279
were mixed ones and 70 were incomplete data. The majority of patients were female (52.3%).
Generally young age (18-60 years old (95.9%), mean 31,34 + 11,64 years old. The most
common type of EPTB were lymph node. Success treatment rate of EPTB among age of 18-60
years was 49.7% (OR 2.968, 95% CI 0.584 to 15.087, p 0.313). Success treatment rate of EPTB
among female sex was 55.4% (OR 1.768, 95% CI 0.999 to 3.131, p0,05). Success treatment rate
using DOTS strategy among diabetes mellitus was 33,3% (OR 1.957, 95% CI 0.475-8.062, p
0.546) and the one that had tuberculosis record previously was 55,6% (OR 0.738, 95% CI 0.2781.959, p 0.717) Success treatment rate in extrapulmonary patient among HIV-seropositive was
32,1% (OR 2.588, 95% CI 1.330-5.038, p 0.007). In multivariate analysis, the success rate for
EPTB with HIV co-infection factor, had OR 2.588, CI 95% 1.330-5.038, p 0.005. EPTB among
HIV-seropositive patients had lower therapy success rate using DOTS strategy and were
associated with unsuccessful therapy and poor prognosis. The success rate of EPTB treatment
using DOTS strategy for < 9 months was 20.2%. There were 94.6% EPTB patients
successfully treated with the DOTS strategy for > 9 months.
Conclusion. HIV was a predictor factor that may decrease therapy success rate of EPTB using
DOTS strategy. Success rate of extrapulmonary TB treatment using DOTS strategy for minimum
9 months was good (94,6%).
Keywords: Extrapulmonary tuberculosis, Predictors factors, TB treatment, DOTS.
Faktor prediktor ..., Telly Kamelia, FK UI, 2014
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN LAPORAN HASIL PENELITIAN ................................ i
ABSTRACT…………………………………………………………………………...ii
ABSTRAK…………………………………………………………………………….iii
DAFTAR ISI ..................................................................................................... …..…iv
DAFTAR TABEL…………………………………………………………………..…vi
DAFTAR GAMBAR………………………………………………………………….vii
DAFTAR SINGKATAN………………………………………………………..……viii
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ........................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ....................................................................................... 6
1.3 Pertanyaan Penelitian ................................................................................. 6
1.4 Hipotesis ..................................................................................................... 6
1.5 Tujuan Penelitian ....................................................................................... 7
1.6 Manfaat Penelitian ...................................................................................... 7
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Tuberkulosis Ekstra Paru ...............................................................9
2.2 Epidemiologi Tuberkulosis Ekstra Paru .....................................................9
2.3 Patofisiologi dan Patogenesis Tuberkulosis Ekstra Paru ……………....10
2.4 Gambaran Klinis dan Diagnosis Tuberkulosis Ekstra Paru .......................15
2.5 Strategi DOTS dan Tatalaksana Tuberkulosis Ekstra Paru .......................22
2.6 Faktor-Faktor Prediktor Tuberkulosis Ekstra Paru ....................................25
2.7 Kerangka Teori ..........................................................................................32
3. KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL VARIABEL
3.1 Kerangka Konsep ...................................................................................... 33
3.2 Definisi Operasional ................................................................................. 33
Faktor prediktor ..., Telly Kamelia, FK UI, 2014
4. METODE PENELITIAN
4.1 Desain Penelitian .......................................................................................39
4.2 Tempat dan Waktu Penelitian ...................................................................39
4.3 Populasi dan Sampel Penelitian .................................................................39
4.4 Sampel Penelitian ......................................................................................39
4.5 Besar Sampel ............................................................................................39
4.6 Pemilihan Subjek Penelitian ......................................................................40
4.7 Cara Pengambilan Sampel ........................................................................40
4.8 Alur Penelitian ..........................................................................................41
4.9 Manajemen dan Analisa Data ....................................................................41
4.10 Etika .......................................................................................................42
5. HASIL PENELITIAN
5.1 Karakteristik subyek……...…………………………………….…..……43
5.2 Keberhasilan terapi penderita TB ekstra paru………………… ………45
6. PEMBAHASAN
6.1 Karakteristik subyek penelitian……………………………………..…..48
6.2 Keberhasilan terapi TB ekstra paru dengan strategi DOTS menurut usia
dan jenis kelamin………………………………………………...………50
6.3 Diabetes mellitus…………………………………………………………51
6.4 HIV…………………………………………………………….…………52
6.5 Riwayat obat anti tuberkulosis……………………………..…………...54
6.6 Keberhasilan terapi TB ekstra paru dengan strategi DOTS……………55
6.7 Keterbatasan penelitian……………………………………...…………..56
7. SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Kesimpulan……………………………………………………………….57
7.2 Saran……………………………………………………………………...57
8. DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................58
LAMPIRAN
Faktor prediktor ..., Telly Kamelia, FK UI, 2014
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Kerangka teori………….…………………………………………………….………32
Gambar 2. Alur penelitian………………………………………………………………………..41
Gambar 3. Sebaran pasien penelitian…………………………………………………………….43
Faktor prediktor ..., Telly Kamelia, FK UI, 2014
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Karakteristik subyek penelitian……………………………………………………...…44
Tabel 2. Faktor prediktor keberhasilan TB ekstra paru………………………………………….45
Tabel 3. Analisis bivariate keberhasilan terapi penderita TB ekstra paru……………………….46
Tabel 4. Analisis multivariate TB ekstra paru……………………….…………………………..46
Tabel 5. Keberhasilan terapi TB ekstra paru dengan strategi DOTS…………..………...………47
Faktor prediktor ..., Telly Kamelia, FK UI, 2014
DAFTAR SINGKATAN
ADA
: Adenosine Deaminase
AIDS
: Acquired Immunodeficiency Syndrome
BTA
: Basil Tahan Asam
CD4
: Cluster of differentiation 4
CI
: Confident Interval
CRP
: C-reactive protein
CT
: Computed Tomography
DM
: Diabetes Mellitus
DPS
: Dokter Praktek Swasta
DOTS
: Directly Observed Treatment Shortcourse
EEG
: Elektroensefalografi
EPTB
: Extrapulmonary Tuberculosis (TB ekstra paru)
IK
: Interval Kepercayaan
ISTC
: International Standard for TB Care
IUATLD
: International Union Against Tuberculosis and Lung Disease
HDL
: Hospital DOTS Linkage
HIV
: Human Immunodeficiency Virus
MDGs
: Millennium Development Goals
MDR
: Multidrug resistant
OAT
: Obat anti tuberkulosis
OR
: Odd Ratio
PCR
: Polymerase Chain Reaction
PERKENI
: Perhimpunan Endokrinologi Indonesia
PMO
: Pengawas Menelan Obat
POKDISUS
: Kelompok Studi Khusus AIDS FKUI/RSCM
RS
: Rumah Sakit
RSCM
: Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo
RSUPN
: Rumah Sakit Umum Pusat Nasional
STRANAS TB : Strategi Nasional Pengendalian Tuberkulosis
Faktor prediktor ..., Telly Kamelia, FK UI, 2014
TB
: Tuberkulosis
TTGO
: Tes toleransi glukosa oral
UNAIDS
: United Nations on HIV/AIDS
UPT HIV
: Unit Pelayanan Terpadu HIV
WHO
: World Health Organization
Faktor prediktor ..., Telly Kamelia, FK UI, 2014
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit infeksi yang banyak diderita oleh
penduduk dunia. Berdasarkan data WHO tahun 20131, diketahui ada 8,6 juta
insidens tuberkulosis, dengan 1,1 juta (13%) penderita HIV (Human
Immunodeficiency Viruses) positif. Selama tahun 1995-2012, 56 juta penderita
TB sudah diobati dengan obat antituberkulosis. Pada tahun 2012, diperkirakan
450.000 menderita MDR-TB (Multidrug-resistant tuberculosis), dan 170.000
meninggal karena MDR-TB.
Sebagian besar diderita oleh laki-laki (66%),
namun tuberkulosis juga merupakan tiga besar penyakit terbanyak yang menjadi
penyebab kematian pada perempuan. Diperkirakan terjadi 410.000 kematian
karena TB pada wanita, dan 160.000 diantaranya adalah penderita HIV.1
Insidens tuberkulosis paling tinggi didapatkan di Asia Tenggara (29%), diikuti
Afrika (27%) dan India (26%).1 Berdasarkan data WHO tahun 2011, Indonesia
mempunyai jumlah penderita tuberkulosis keempat terbanyak di dunia.2,3
Prevalensi tuberkulosis di Indonesia pada tahun 2012 adalah 297 (144506)/100.000 penduduk.1 Insidens penyakit tuberkulosis di Indonesia sekitar 185
(153-220)/100.000 penduduk. Jumlah kematian akibat tuberkulosis sebanyak
69.100 kasus, dan terdapat 15.697 kasus tuberkulosis ekstra paru dari 331.424
penemuan kasus baru di Indonesia. 1
Sejak tahun 2001, WHO bersama berbagai organisasi kesehatan baik
pemerintah maupun non-pemerintah serta organisasi swadaya masyarakat.
membentuk kemitraan masyarakat tuberkulosis atau “Stop TB Partnership”.
Kemitraan masyarakat tuberkulosis telah menggandeng sekitar 1000 mitra di
lebih dari 100 negara, termasuk Indonesia. Misi utama dari Stop TB Partnership
adalah
melayani setiap orang yang rentan terhadap TB dan memastikan
1
Faktor prediktor ..., Telly Kamelia, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
perawatan berkualitas tinggi tersedia bagi semua yang membutuhkan. Panduan
tuberkulosis terbaru yang dikeluarkan oleh Stop TB Partnership yaitu ―Global
Plan to Stop TB 2006-20015‖.4
Target pencapaian utama yang ditetapkan oleh Stop TB Partnership adalah:
(1) Pada tahun 2015, beban global penyakit TB (prevalensi dan mortalitas)
akan relatif berkurang sebesar 50% dibandingkan tahun 1990, dan 70% orang
yang terinfeksi TB dapat diobati
Observed Treatment
dengan strategi DOTS (Directly
Shortcourse) dan
85% diantaranya dinyatakan
sembuh.
(2) Pada tahun 2050, TB bukan lagi merupakan masalah kesehatan
masyarakat global.
Tujuan tersebut akan dicapai dengan strategi yang akan dikembangkan dalam
waktu 10 tahun ke depan, yaitu akselerasi pengembangan dan penggunaan
metode yang lebih baik untuk implementasi rekomendasi Stop TB yang baru
berdasarkan
strategi
DOTS
dengan
standar
pelayanan
mengacu
pada
International Standard for TB Care (ISTC).5
Program pengendalian TB Nasional di Indonesia dimulai sejak tahun 1969
oleh. Departemen Kesehatan Republik Indonesia (Depkes RI). Panduan terbaru
mengenai pengendalian TB Nasional yang dikeluarkan oleh Depkes RI adalah
Strategi Nasional Pengendalian Tuberkulosis di Indonesia tahun 2011-2014
(STRANAS TB) yang diterbitkan tahun 2011 mempunyai visi dan misi menuju
masyarakat bebas masalah TB, sehat, mandiri dan berkeadilan .5
Pada tahun 1994, Indonesia telah melakukan uji coba implementasi strategi
DOTS dalam penanggulangan TB di Kabupaten Tebo Provinsi Jambi dan
Kabupaten Sidoarjo Jawa Timur. Hasil uji coba tersebut telah menghasilkan
angka konversi dan angka kesembuhan lebih dari 85%, melampau target global
yaitu 80 % dan 85 %. Berdasarkan hasil uji coba tersebut,maka mulai tahun 1995
program penanggulangan TB Nasional mengadopsi strategi DOTS dan
menerapkannya secara bertahap di Puskesmas.5
2
Faktor prediktor ..., Telly Kamelia, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
Strategi DOTS merupakan implementasi strategi penanggulangan TB yang
diterapkan di Indonesia, yang direkomendasikan WHO, dan berpedoman pada
Panduan STRANAS TB di Indonesia tahun 2011-2014. Strategi DOTS adalah
strategi penyembuhan TB dengan obat jangka pendek selama 6 bulan, disertai
pengawasan terhadap penderita, agar menelan obat secara teratur hingga sembuh.
Strategi DOTS telah terbukti efektif memberikan angka kesembuhan yang tinggi.
Strategi DOTS ini telah diadopsi dan dimanfaatkan oleh banyak negara dengan
hasil yang baik, termasuk di negara-negara maju seperti Amerika Serikat. Strategi
DOTS terdiri dari lima komponen, yaitu:5,6
1. Komitmen politis dari para pengambil keputusan, termasuk dukungan dana;
2. Diagnosis TB dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung;
3. Pengobatan dengan paduan OAT jangka pendek dengan pengawasan langsung
oleh Pengawas Menelan Obat (PMO);
4. Kesinambungan persediaan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) jangka pendek
untuk pasien;
5. Pencatatan dan pelaporan yang baku untuk memudahkan pemantauan dan
evaluasi program TB.
Untuk menjamin keberhasilan penanggulangan TB, kelima komponen tersebut di
atas harus dilaksanakan secara bersamaan.
Dalam menerapkan strategi DOTS, organisasi profesi pada saat ini telah
merekomendasikan ISTC (International Standard for TB Care (ISTC)7 yang
terbit pada tahun 2006 sebagai standar untuk penatalaksanaan TB bagi seluruh
anggotanya. Di tingkat nasional dan provinsi telah dibentuk kelompok kerja ISTC
untuk penguatan kebijakan dan implementasinya. ISTC versi kedua
yang
diterbitkan tahun 2009 mencakup 21 standar pelayanan tuberkulosis internasiona
yang terdiri dari 6 standar untuk diagnosis; 7 standar untuk pengobatan; 4 standar
untuk penanganan TB dengan ko-infeksi HIV dan kondisi komorbid lain serta 4
standar untuk pelayanan kesehatan masyarakat. Standar pelayanan tuberkulosis
3
Faktor prediktor ..., Telly Kamelia, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
tersebut berlaku untuk tuberkulosis paru dan tuberkulosis ekstra paru. Sosialisasi
kepada tenaga kesehatan di berbagai fasilitas pelayanan kesehatan terutama
dokter spesialis, dokter umum dan perawat akan ditingkatkan intensitas dan
efektivitasnya. 6,7
Strategi DOTS dan ISTC gencar disosialisasikan oleh pemerintah, akademisi
dan organisasi swadaya masyarakat. Dengan berkembangnya strategi DOTS,
banyak penelitian mengenai TB paru dilakukan, terutama penelitian mengenai
manfaat strategi DOTS di berbagai daerah di Indonesia. Penelitian mengenai TB
ekstra paru masih lebih sedikit dibandingkan penelitian TB paru. Penelitian
mengenai faktor prediktor yang mempengaruhi keberhasilan terapi tuberkulosis
ekstra paru dengan menggunakan strategi DOTS, sangat penting dalam
tatalaksana pasien TB ekstra paru. Penegakkan diagnosis tuberkulosis ekstra paru
tidak mudah, dan tatalaksana pengobatan serta evaluasi terapi juga tidak
sederhana.
Meskipun regimen obat antituberkulosis (OAT) untuk TB ekstra paru sama
dengan TB paru, terapi OAT yang diberikan pada TB ekstra paru membutuhkan
durasi waktu lebih lama dibandingkan dengan tuberkulosis paru. Faktor prediktor
seperti usia, jenis kelamin, ko-infeksi HIV, riwayat OAT sebelumnya dan
diabetes mellitus (DM)
berperan dalam tatalaksana tuberkulosis ekstra paru.
Dengan mengetahui faktor prediktor tuberkulosis ekstra paru, klinisi dapat
memberikan tatalaksana yang lebih optimal, efektif dan efisien.
Penelitian
mengenai
berbagai
faktor
prediktor
yang
mempengaruhi
keberhasilan terapi tuberkulosis ekstra paru di dunia, diantaranya Mehta dkk.8
melaporkan usia lebih tua menjadi faktor prognostik tuberkulosis ekstra paru dan
menyebabkan mortalitas tinggi. Ong dkk.9 menemukan hasil yang sedikit
berbeda. Ia melaporkan faktor usia muda, jenis kelamin wanita dan ko-infeksi
HIV menjadi faktor risiko tuberkulosis ekstra paru. Yang dkk10 mendapatkan
wanita, ras kulit berwarna dan ko-infeksi HIV menjadi faktor risiko menderita
4
Faktor prediktor ..., Telly Kamelia, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
tuberkulosis ekstra paru lebih tinggi. Rodriquez dkk.11 meneliti tuberkulosis paru
dan ekstra paru pada ras kaukasia antara tahun 1991-2008, melaporkan faktor
usia (OR 1.02; 95% CI: 1.01-1.022) dan jenis kelamin wanita (OR 2.04; 95% CI:
1.56-2.66) berhubungan dengan TB ekstra paru. Nailul Haq dkk.12 menyelidiki
pola klinis tuberkulosis ekstra pulmoner di ruang rawat bagian Ilmu Penyakit
Dalam RSCM pada tahun 1988-1991, mortalitas tuberkulosis ekstra paru
meningkat seiring usia.
Penelitian yang melaporkan keberhasilan terapi tuberkulosis ekstra paru di
dunia diantaranya diteliti oleh Sandgren dkk13
yang mendapatkan angka
keberhasilan terapi tuberkulosis ekstra paru sebesar 81.4% di Eropa. Sharma
dkk14 menyatakan 94,9% pasien anak yang menderita limfadenitis TB telah
mendapat pengobatan lengkap dan dikatakan sembuh di India. Penelitian lain
yang dilakukan Arora dkk.15 di Delhi Selatan, memperlihatkan 94% pasien
tuberkulosis ekstra paru sudah mendapat pengobatan lengkap dan
dikatakan
sembuh. Chandir dkk16 melaporkan angka keberhasilan terapi tuberkulosis ekstra
paru adalah 40,7% di Pakistan. Di Brazil, Gomes dkk17 mendapatkan angka
keberhasilan terapi tuberkulosis ekstra paru sebesar 71,5%. Perbedaan
hasil
penelitian ini disebabkan oleh durasi terapi TB ekstra paru yang berbeda.
Walaupun telah banyak penelitian yang mengevaluasi faktor prediktor
keberhasilan terapi tuberkulosis ekstra paru, namun kebanyakan penelitian
tersebut dilakukan di luar negeri. Sepanjang penelusuran yang telah kami
lakukan, belum ada penelitian yang meneliti faktor prediktor yang mempengaruhi
keberhasilan terapi tubekulosis ekstra paru dengan mengunakan strategi DOTS di
Indonesia, khususnya di Rumah Sakit Dr Cipto Mangunkusumo, sehingga
peneliti berminat untuk melakukan penelitian ini.
5
Faktor prediktor ..., Telly Kamelia, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
1.2 Rumusan Masalah
Dari uraian pada latar belakang di atas, maka dapat diidentifikasi dan
dirumuskan masalah berikut yang merupakan dasar penelitian ini, diantaranya :
1.2.1
Tidak banyak penelitian tuberkulosis ekstra paru di Indonesia, khususnya
keberhasilan terapi TB ekstra paru dengan menggunakan strategi DOTS.
1.2.2
Belum didapatkan laporan penelitian mengenai faktor prediktor yang
mempengaruhi keberhasilan terapi tuberkulosis ekstra paru dengan
menggunakan strategi DOTS di Indonesia.
1.3 Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan identifikasi masalah di atas, maka dapat di rumuskan masalah
penelitian dalam bentuk perrtanyaan penelitian sebagai berikut :
1.3.1
Faktor prediktor apa saja yang dapat mempengaruhi keberhasilan terapi
tuberkulosis ekstra paru di RSCM ?
1.3.2
Bagaimana tingkat keberhasilan terapi tuberkulosis ekstra paru dengan
menggunakan strategi DOTS selama minimum 9 bulan ?
1.4 Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini, antara lain :
1.4.1
Usia tua, jenis kelamin, riwayat terapi anti tuberkulosis sebelumnya, diabetes,
dan ko-infeksi dengan HIV dapat menurunkan angka keberhasilan terapi
tuberkulosis ekstra paru.
1.4.2
Tingkat keberhasilan tuberkulosis ekstra paru dengan strategi DOTS selama
minimum 9 bulan cukup baik.
1.5 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini dikelompokkan menjadi 2, yaitu tujuan umum dan tujuan
khusus, antara lain :
6
Faktor prediktor ..., Telly Kamelia, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
1.5.1
Tujuan Umum :
1.5.1.1
Mengetahui keberhasilan terapi TB ekstra paru dengan strategi
DOTS dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.
1.5.2
Tujuan Khusus :
1.5.2.1
Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan
terapi tuberkulosis ekstra paru dengan strategi DOTS selama
minimum 9 bulan.
1.5.2.2
Mengetahui tingkat keberhasilan terapi tuberkulosis ekstra paru
dengan strategi DOTS selama minimum 9 bulan.
1.6 Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian dikelompokkan menjadi 3, yaitu :
1.6.1
Manfaat Akademis
1.6.1.1
Menambah khazanah ilmu pengetahuan mengenai tuberkulosis,
terutama tuberkulosis ekstra paru dengan strategi DOTS.
1.6.2
1.6.2.1
Manfaat Pelayanan
Menambah wawasan klinisi dengan diketahuinya faktor-faktor prediktor
yang mempengaruhi keberhasilan terapi tuberkulosis ekstra paru dengan
strategi DOTS, sehingga klinisi dapat menatalaksana secara optimal dan
efektif, dan diharapkan tingkat keberhasilan terapi tuberkulosis ekstra paru
meningkat.
1.6.3
Manfaat Penelitian
1.6.3.1
Sebagai
landasan
penelitian
selanjutnya
untuk
evaluasi
tuberkulosis ekstra paru dengan menggunakan strategi DOTS.
7
Faktor prediktor ..., Telly Kamelia, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Tuberkulosis Ekstra Paru
Tuberkulosis dapat melibatkan berbagai sistem organ di tubuh. Meskipun TB
paru adalah yang paling banyak, TB ekstraparu juga merupakan salah satu
masalah penting. Tuberkulosis ekstra paru merupakan penyakit yang disebabkan
oleh infeksi Mycobacterium tuberculosis (M. tb) kompleks dan varian atipik
yang menyerang jaringan selain paru, seperti pleura, perikardium, meninges,
kelenjar limfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing,
peritoneum, laring, rahim dan sebagainya. Diagnosis sebaiknya berdasarkan satu
kultur spesimen positif atau secara histopatologi atau ada bukti klinis yang
konsisten adanya penyakit TB ekstra paru aktif diikuti dengan keputusan klinisi
memberikan terapi regimen anti tuberkulosis. Pasien yang mempunyai penyakit
TB paru dan ekstra paru digolongkan sebagai pasien TB paru.6
Tuberkulosis ekstraparu paling sering mengenai kelenjar getah
bening
(limfadenitis
tuberkulosis)
dan
pleura. 8 , 1 1 , 18 ,1 9
Ang dkk
melaporkan tuberkulosis ekstra paru yang paling banyak ditemukan di Philipina
adalah Meningitis TB.20 Namun, pernah didapatkan kasus TB ekstra paru yang
menyerang multiorgan di Pakistan.16
2.2 Epidemiologi Tuberkulosis Ekstra Paru
Insidens tuberkulosis ekstra paru di dunia bervariasi. Rata-rata kasus
tuberkulosis ekstra paru lebih sedikit dibandingkan dengan tuberkulosis paru.
Prevalensi tuberkulosis ekstraparu di dunia bervariasi antara 1-40%.1 Prevalensi
yang dengan jangkauan yang sangat besar ini disebabkan karena penelitian
tuberkulosis ekstra paru masih sporadis. Di Amerika, terdapat 11,3% kasus
tuberkulosis ekstra paru dalam kurun waktu tahun 1982-1986. Dari tahun ke
tahun, insiden kasus tuberkulosis ekstra paru meningkat dari 10,4% (tahun 1977)
8
Faktor prediktor ..., Telly Kamelia, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
menjadi 15,7% (tahun 1986).8 Pada awalnya TB genital, saluran kemih dan TB
tulang mendominasi kasus TB ekstra paru di Amerika Serikat (1977), kemudian
limfadenitis TB dan efusi pleura/pleuritis TB menjadi kasus TB ekstra paru
terbanyak pada akhir tahun 1986. 8
Di Spanyol, Rodriguez dkk.11
menyatakan insiden tuberkulosis secara
keseluruhan menurun, tetapi insiden tuberkulosis ekstra paru meningkat. Dalam
kurun 18 tahun (tahun 1991-2008) didapatkan 2161 kasus tuberkulosis dimana
705 (32,6%) merupakan kasus tuberkulosis ekstra paru, dengan dominasi pleuritis
tuberkulosis dan limfadenitis tuberkulosis.
Di Asia Tenggara, Bangladesh yang menempati peringkat ke tujuh penderita
tuberkulosis terbanyak sedunia, terdapat 22% kasus TB ekstra paru.21 Berdasarkan
data WHO tahun 2011, Indonesia mempunyai jumlah penderita tuberkulosis
keempat terbanyak di dunia.3 Di Indonesia, terdapat 15.697 kasus tuberkulosis
ekstra paru dari 331.424 penemuan kasus baru pada tahun 2012. 1
Saat era sebelum adanya pandemik The human immunodeficiency virus (HIV),
dan pada penelitian pada pasien imunokompeten, tuberkulosis ekstra paru
diperkirankan sekitar 15-20%. Pada era didapat banyak pasien HIV, prevalensi
tuberkulosis ekstra paru diperkirakan meningkat, bahkan ada yang meneliti
prevalensi TB pada era ini bisa sampai 50%. Contohnya hal ini terjadi di India,
prevalesi tuberkulosis ekstraparu sekitar 45-56%.22-24 Tuberkulosis berhubungan
dengan beberapa kondisi, seperti HIV, diabetes mellitus, alkohol, penyalahgunaan
obat-obatan, penyakit ginjal kronis, dan keganasan. 22-31
2.3 Patofisiologi dan Patogenesis Tuberkulosis Ekstra Paru24,30,31
2.3.1 Infeksi Primer
Lebih dari 98% kasus infeksi TB. Karena ukurannya yang sangat
kecil, kuman TB dalam percik renik (droplet nuclei) yang terhirup, dapat
mencapai alveolus. Masuknya kuman TB ini akan segera diatasi oleh
mekanisme imunologis non spesifik. Makrofag alveolus akan menfagosit
kuman TB dan biasanya sanggup menghancurkan sebagian besar kuman
9
Faktor prediktor ..., Telly Kamelia, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
TB. Sebagian orang yang terinfeksi kuman TB akan menjadi penyakit
primer (infeksi primer) yang biasanya terlokalisir di paru dan limfonodi
regional dalam cavum thoracis dan 95% akan membaik sendiri tanpa
pengobatan. Pada infeksi primer biasanya pasien tidak mengeluhkan
infeksi primer, namun hasil tes tuberkulinnya positif. Akan tetapi, pada
sebagian kecil kasus, makrofag tidak mampu menghancurkan kuman TB
dan kuman akan bereplikasi dalam makrofag. Kuman TB dalam makrofag
yang terus berkembang biak, akhirnya akan membentuk koloni di tempat
tersebut. Kuman TB membelah diri setiap 25-32 jam di dalam makrofag
dan tumbuh selama 2-12 minggu hingga jumlahnya cukup untuk
mengiinduksi respon imun. Lokasi pertama koloni kuman TB di jaringan
paru disebut Fokus Primer GOHN.
Dari fokus primer, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju
kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe
ke lokasi fokus primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi
di saluran limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang
terkena. Jika fokus primer terletak di lobus paru bawah atau tengah,
kelenjar limfe yang akan terlibat adalah kelenjar limfe parahilus, sedangkan
jika fokus primer terletak di apeks paru, yang akan terlibat adalah kelenjar
paratrakeal. Kompleks primer merupakan gabungan antara fokus primer,
kelenjar limfe regional yang membesar (limfadenitis) dan saluran limfe
yang meradang (limfangitis).
Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga
terbentuknya kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa
inkubasi TB. Hal ini berbeda dengan pengertian masa inkubasi pada proses
infeksi lain, yaitu waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman hingga
timbulnya gejala penyakit. Masa inkubasi TB biasanya berlangsung dalam
waktu 4-8 minggu dengan rentang waktu antara 2-12 minggu. Dalam masa
inkubasi tersebut, kuman tumbuh hingga mencapai jumlah 103 -104, yaitu
jumlah yang cukup untuk merangsang respons imunitas seluler.
10
Faktor prediktor ..., Telly Kamelia, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
Selama berminggu-minggu awal proses infeksi, terjadi pertumbuhan
logaritmik kuman TB sehingga jaringan tubuh yang awalnya belum
tersensitisasi terhadap tuberkulin, mengalami perkembangan sensitivitas.
Pada saat terbentuknya kompleks primer inilah, infeksi TB primer
dinyatakan telah terjadi. Hal tersebut ditandai oleh terbentuknya
hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein, yaitu timbulnya respons positif
terhadap uji tuberkulin. Selama masa inkubasi, uji tuberkulin masih negatif.
Infeksi primer menyebabkan perubahan tes tuberkulin menjadi positif
sekitar 3-8 minggu setelah terinfeksi. Setelah kompleks primer terbentuk,
imunitas seluluer tubuh terhadap TB telah terbentuk. Pada sebagian besar
individu dengan system imun yang berfungsi baik, begitu sistem imun
seluler berkembang, proliferasi kuman TB terhenti. Namun, sejumlah kecil
kuman TB dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila imunitas seluler telah
terbentuk, kuman TB baru yang masuk ke dalam alveoli akan segera
dimusnahkan.
Setelah imunitas seluler terbentuk, fokus primer di jaringan paru
biasanya mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau
kalsifikasi setelah mengalami nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar
limfe regional juga akan mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi
penyembuhannya biasanya tidak sesempurna fokus primer di jaringan paru.
Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap selama bertahun-tahun dalam
kelenjar ini. Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi.
Komplikasi yang terjadi dapat disebabkan oleh fokus paru atau di kelenjar
limfe regional. Fokus primer di paru dapat membesar dan menyebabkan
pneumonitis atau pleuritis fokal. Fokus Ghon akan membesar dan bisa
pecah ke dalama kavum pleura menyebabkan pleurisy, sementara itu,
limfonodi hilar juga dapat membesar hingga menyebabkan penekanan pada
bronkus. Jika terjadi nekrosis perkijuan yang berat, bagian tengah lesi akan
mencair dan keluar melalui bronkus sehingga meninggalkan rongga di
jaringan paru (kavitas). Kelenjar limfe hilus atau paratrakea yang mulanya
11
Faktor prediktor ..., Telly Kamelia, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
berukuran normal saat awal infeksi, akan membesar karena reaksi inflamasi
yang berlanjut. Bronkus dapat terganggu. Penekanan ini menyebabkan
lobus paru kolaps atau erosi limfonodi ke dalam kavum pericardii atau ke
dalam bronkus sehingga menyebabkan penyebaran kuman TB ke kavum
endobronkial. Infeksi primer ini dapat menimbulkan kalsifikasi pada
limfonodi hilar dan luka parut pada parenkim paru. Namun, komplikasi
jarang terjadi pada infeksi primer ini. Sebanyak 95% infeksi primer akan
membaik sendiri tanpa pengobatan, dan hanya 5%nya saja yang menjadi
sakit TB.
Obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal dapat
menyebabkan ateletaksis. Kelenjar yang mengalami inflamasi dan
nekrosis perkijuan dapat merusak dan menimbulkan erosi dinding
bronkus, sehingga menyebabkan TB endobronkial atau membentuk
fistula. Massa keju dapat menimbulkan obstruksi komplit pada bronkus
sehingga menyebabkan gabungan pneumonitis dan ateletaksis, yang sering
disebut sebagai lesi segmental kolaps-konsolidasi. Selama masa inkubasi,
sebelum terbentuknya imunitas seluler, dapat terjadi penyebaran limfogen
dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar ke kelenjar
limfe regional membentuk kompleks primer. Sedangkan pada penyebaran
hematogen, kuman TB masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke
seluruh tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah yang menyebabkan
TB disebut sebagai penyakit sistemik. Penyebaran hamatogen yang paling
sering terjadi adalah dalam bentuk penyebaran hematogenik tersamar
(occult hamatogenic spread). Melalui cara ini, kuman TB menyebar secara
sporadik dan sedikit demi sedikit sehingga tidak menimbulkan gejala
klinis. Kuman TB kemudian akan mencapai berbagai organ di seluruh
tubuh. Organ yang biasanya dituju adalah organ yang mempunyai
vaskularisasi baik, misalnya otak, tulang, ginjal, dan paru sendiri, terutama
apeks paru atau lobus atas paru. Di berbagai lokasi tersebut, kuman TB
akan bereplikasi dan membentuk koloni kuman sebelum terbentuk
12
Faktor prediktor ..., Telly Kamelia, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
imunitas seluler yang akan membatasi pertumbuhannya. Di dalam koloni
yang sempat terbentuk dan kemudian dibatasi pertumbuhannya oleh
imunitas seluler, kuman tetap hidup dalam bentuk dormant. Fokus ini
umumnya tidak langsung berlanjut menjadi penyakit, tetapi berpotensi
untuk menjadi fokus reaktivasi. Fokus potensial di apeks paru disebut
sebagai Fokus SIMON. Bertahun-tahun kemudian, bila daya tahan tubuh
pejamu menurun, fokus TB ini dapat mengalami reaktivasi dan menjadi
penyakit TB di organ terkait, misalnya meningitis, TB tulang, dan lainlain.
Bentuk penyebaran hamatogen yang lain adalah penyebaran
hematogenik generalisata akut (acute generalized hematogenic spread).
Pada bentuk ini, sejumlah besar kuman TB masuk dan beredar dalam
darah menuju ke seluruh tubuh. Hal ini dapat menyebabkan timbulnya
manifestasi klinis penyakit TB secara akut, yang disebut TB diseminata.
TB diseminata ini timbul dalam waktu 2-6 bulan setelah terjadi infeksi.
Timbulnya penyakit bergantung pada jumlah dan virulensi kuman TB
yang beredar serta frekuensi berulangnya penyebaran. Tuberkulosis
diseminata terjadi karena tidak adekuatnya sistem imun pejamu (host)
dalam mengatasi infeksi TB, misalnya pada balita. Tuberkulosis milier
merupakan hasil dari acute generalized hematogenic spread dengan
jumlah kuman yang besar. Semua tuberkel yang dihasilkan melalui cara
ini akan mempunyai ukuran yang lebih kurang sama. Istilah milier berasal
dari gambaran lesi diseminata yang menyerupai butur padi-padian/
jewawut (millet seed). Secara patologi anatomik, lesi ini berupa nodul
kuning berukuran 1-3 mm, yang secara histologi merupakan granuloma.
Bentuk penyebaran hematogen yang jarang terjadi adalah protracted
hematogenic spread. Bentuk penyebaran ini terjadi bila suatu focus
perkijuan menyebar ke saluran vaskular di dekatnya, sehingga sejumlah
kuman TB akan masuk dan beredar di dalam darah.
13
Faktor prediktor ..., Telly Kamelia, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
2.4 Gambaran Klinis dan Diagnosis Tuberkulosis Ekstra Paru
Pasien tuberkulosis ekstra paru dapat mempunyai gejala klinis seperti demam,
anoreksia, berat badan menurun, malaise dan kelelahan. Kadangkala manifestasi
tuberkulosis ekstra paru adalah demam berkepanjangan yang tidak diketahui
penyebabnya (fever of unknown origin). Di India, pasien TB ekstra paru pada
lokasi yang tidak jelas biasanya menderita demam tanpa penyebab yang jelas.13,20
Pasien tuberkulosis ekstra paru dapat memiliki gejala dan tanda yang
berhubungan dengan sistem organ yang terlibat.30,31 Gejala klinik tuberkulosis
dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala lokal dan gejala sistemik.31,32
2.4.1
Manifestasi Klinis
2.4.1.1 Gejala Lokal
Gejala lokal tuberkulosis ekstra paru tergantung organ yang
terlibat, misalnya pada limfadenitis tuberkulosa akan terjadi
pembesaran yang lambat dan tidak nyeri pada kelenjar getah
bening, pada meningitis tuberkulosa akan terlihat gejala
meningitis, sementara pada pleuritis tuberkulosa terdapat gejala
sesak napas & kadang nyeri dada pada sisi yang rongga pleuranya
terdapat cairan.
2.4.1.2 Gejala Sistemik
Gejala sistemik TB ekstra paru adalah demam. Gejala sistemik
lain adalah malaise, keringat malam, anoreksia dan berat badan
menurun.
2.4.2
Limfadenitis tuberkulosis
Limfadenitis adalah presentasi klinis paling sering dari TB ekstraparu.
Limfadenitis TB paling sering melibatkan kelenjar getah bening
servikalis, kemudian diikuti berdasarkan frekuensinya oleh kelenjar
mediastinal, aksilaris, mesentrikus, portal hepatikus, perihepatik dan
kelenjar inguinalis. Pembengkakan kelenjar limfe dapat terjadi secara
unilateral atau bilateral, tunggal maupun multipel, dimana benjolan ini
14
Faktor prediktor ..., Telly Kamelia, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
biasanya tidak nyeri dan berkembang secara lambat dalam hitungan
minggu sampai bulan, dan paling sering berlokasi di regio servikalis
posterior dan yang lebih jarang di regio supraklavikular.Gambaran
klinis
limfadenitis TB bergantung pada stadium penyakit. Kelenjar limfe yang
terkena biasanya tidak nyeri kecuali (i) terjadi infeksi sekunder bakteri, (ii)
pembesaran kelenjar yang cepat atau (iii) koinsidensi dengan infeksi HIV.
Abses kelenjar limfe dapat pecah, dan kemudian kadang-kadang dapat
terjadi sinus yang tidak menyembuh secara kronis dan pembentukan
ulkus. Penegakan diagnosis limfadenitis tuberkulosis secara pasti dengan
pemeriksaan spesimen biopsi kelenjar getah bening atau aspirasi jarum
halus kelenjar getah bening . Bila Pada pemeriksaan patologi anatomi
didapatkan gambaran granuloma, sel datia langhans, maupun sel-sel
radang kronik.
2.4.3
Pleuritis Tuberkulosis
Pleuritis tuberkulosis umumnya terjadi secara akut. Gejala yang sering
timbul adalah batuk yang tidak produktif (70%) dan nyeri dada pleuritik
(70%). Bila batuk dan nyeri dada pleuritik muncul, nyeri selalu
mendahului batuk. Hampir semua pasien mengalami demam, namun ada
juga 15% pasien yang tidak demam. Sesak napas terjadi bila efusi pleura
makin lama makin banyak. Penegakan diagnosis efusi pleura/pleuritis TB
berasal dari pengambilan spesimen cairan pleura melalui thoracocentesis.
Analisa cairan pleura pleuritis TB biasanya eksudat, sitologi terdapat selsel radang kronik dan limfosit. Dari cairan pleura dapat diperiksa BTA
cairan pleura positif, PCR TB positif dan Adenosine Deaminase (ADA)
yang positif.
15
Faktor prediktor ..., Telly Kamelia, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
2.4.4
Tuberkulosis Abdominal
Tuberkulosis
abdominal
meliputi
tuberkulosis
saluran
cerna,
peritoneum, omentum, kelenjar getah bening abdominal, mesenterika,
hati, limpa dan pankreas. Tuberkulosis hepatobilier dan tuberkulosis
pankreas jarang didapat, sering berkaitan dengan tuberkulosis milier dan
tak jarang diidap oleh pasien dengan imunitas menurun. Gambaran klinis
tidak spesifik, tergantung dengan organ yang terkena dan luasnya
penyebaran penyakit. Anoreksia, malaise, demam yang tidak terlalu
tinggi, berat badan menurun, melena, massa pancreas atau abses atau
ikterus obstruktif dapat dijumpai. TB pankreas dapat bermanifestasi
sebagai pankreatitis akut atau kronik, serta dapat menyerupai keganasan.
Penegakan diagnosis preoperatif sangat sulit, diagnosis pasti ditegakkan
setelah ada konfirmasi secara histopatologis. Dari spesimen cairan
peritoneum dapat diperiksa analisa cairan pleura yang biasanya eksudat,
BTA cairan peritoneum positif, sitologi terdapat sel-sel radang kronik dan
limfosit, PCR TB positif dan Adenosine Deaminase (ADA) yang positif.
2.4.5
Meningitis Tuberkulosis
Tuberkulosis yang menyerang SSP (Sistem Saraf Pusat) ditemukan
dalam tiga bentuk, yakni meningitis, tuberkuloma, dan araknoiditis
spinalis. Ketiganya sering ditemukan di negara endemis TB, dengan kasus
terbanyak berupa meningitis tuberkulosis.
Manifestasi klinis dari meningitis tuberkulosis
demam (tidak terlalu tinggi),
biasanya berupa
rasa lemah, nafsu makan menurun
(anorexia), nyeri perut, sakit kepala, tidur terganggu, mual, muntah,
konstipasi, apatis, iritabel. Pemeriksaan kaku kuduk (+), refleks Kernig
dan Brudzinski (+) dapat ditemukan. Gejala lain adalah sakit kepala berat
dan muntah akibat rangsang meningen. Kesadaran makin menurun,
irritable dan apatik, mengantuk, stupor, koma, otot ekstensor menjadi
16
Faktor prediktor ..., Telly Kamelia, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
kaku dan spasme, opistotonus, pupil melebar dan tidak bereaksi sama
sekali, nadi dan pernafasan menjadi tidak teratur dan hiperpireksia.
Pemeriksaan
penunjang
yang
menjadi
bahan
pertimbangan
penegakkan diagnosis meningitis tuberkulosis adalah pemeriksaan cairan
serebrospinal (cairan serebrospinal eksudat, BTA cairan serebrospinal
positif, PCR positif, ADA positif, sitologi sel radang kronik), tes mantoux,
pemeriksaan radiologi (foto toraks, EEG, CT-Scan kepala).
2.4.6 Perikarditis Tuberkulosis
Insidensi efusi perikardium tuberkulosis sekitar 1% dari jumlah kasus
tuberkulosis, dengan angka kematian berkisar 3–40%. Efusi perikardium
yang berlanjut menjadi tamponade jantung dan perikarditis konstriktif
merupakan 2 penyebab kematian tersering. Oleh karenanya, semua pasien
perikarditis tuberkulosis dianjurkan observasi kemungkinan terjadi efusi
perikardium atau tamponade jantung yang mengancam kehidupan.
Manifestasi klinis efusi perikardium timbul akibat dua hal, yaitu
penurunan curah jantung dan peningkatan tekanan vena sistemik.
Penurunan curah jantung menyebabkan hipo-tensi, perasaan cepat lelah,
penurunan berat badan dan refleks takikardi. Sedangkan peningkatan
tekanan atrium kanan dan vena sistemik menyebabkan bendungan vena
sistemik yang ditandai oleh edema, pembengkakan dan rasa tidak enak di
perut. akibat asites, serta hepatomegali. Jika tekanan jantung kanan dan
kiri meningkat lebih tinggi, maka gejala bendungan paru seperti batuk,
dan sesak napas. Sesak napas hebat timbul bila terdapat tamponade
jantung. Jika tamponade jantung terjadi secara tiba-tiba, maka gejalagejala hipotensi dapat terjadi termasuk penurunan kesadaran.
Pemeriksaan penunjang diagnosis perikarditis TB adalah foto toraks,
elektrokardiografi, ekokardiografi, CT-Scan kardiak dan perikardium, tes
Mantoux dan pemeriksaan PCR darah. Namun diagnosis pasti dapat
ditegakkan dari pemeriksaan histopatologis jaringan perikardium.
17
Faktor prediktor ..., Telly Kamelia, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
2.4.7
Spondilitis Tuberkulosis
Spondilitis tuberkulosa atau tuberkulosis tulang belakang adalah
peradangan
granulomatosa
yg
bersifat
kronis
destruktif
oleh
Mycobacterium tuberculosis. Dikenal pula dengan nama Pott’s disease of
the spine atau tuberculous vertebral osteomyelitis. Spondilitis ini paling
sering ditemukan pada vertebra T8 – L3. Spondilitis tuberkulosis biasanya
mengenai korpus vertebra, tetapi jarang menyerang arkus vertebrae.
Spondilitis tuberkulosa merupakan suatu tuberkulosis tulang yang sifatnya
sekunder dari TBC tempat lain di dalam tubuh. Penyebarannya secara
hematogen, diduga terjadinya penyakit ini sering karena penyebaran
hematogen dari infeksi traktus urinarius melalui pleksus Batson.
Pada awal dijumpai nyeri interkostal, nyeri yang menjalar dari tulang
belakang ke garis tengah atas dada melalui ruang interkostal. Hal ini
disebabkan oleh tertekannya radiks dorsalis di tingkat torakal. Nyeri spinal
menetap dan terbatasnya pergerakan spinale. Deformitas pada punggung
(gibbus).
Pembengkakan setempat (abses). Kelainan neurologis yang
terjadi pada 50% kasus spondilitis tuberkulosa karena proses destruksi
lanjut berupa paraplegia, paraparesis, atau nyeri radiks saraf akibat
penekanan medula spinalis yang menyebabkan kekakuan pada gerakan
berjalan dan nyeri. Gambaran paraplegia inferior kedua tungkai yang
bersifat UMN dan adanya batas defisit sensorik setinggi tempat gibbus
atau lokalisasi nyeri interkostal.
Penegakan diagnosis spondilitis tuberkulosis didapat dari inspeksi :
pada pasien dengan spondilitis tuberkulosa kelihatan lemah, pucat, dan
pada tulang belakang terlihat bentuk kifosis; palpasi : keadaan tulang
belakang terdapat adanya gibbus pada area tulang yang mengalami
infeksi; perkusi : tulang belakang yang mengalami infeksi terdapat nyeri
ketok, auskultasi : keadaan paru tidak ditemukan kelainan, kecuali disertai
dengan TB paru.
18
Faktor prediktor ..., Telly Kamelia, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
Pemeriksaan penunjang pada spondilitis tuberkulosa adalah
darah
lengkap didapatkan leukositosis dan LED meningkat, tes mantoux positif
tuberkulosis, kultur biakan bakteri dan BTA ditemukan M. tb, biopsi
jaringan granulasi atau kelenjar limfe regional., pemeriksaan hispatologis
ditemukan tuberkel, pungsi lumbal didapati tekanan cairan serebrospinalis
rendah, peningkatan CRP (C-Reaktif Protein), pemeriksaan serologi
dengan deteksi antibodi spesifik dalam sirkulasi, pemeriksaan ELISA
(Enzyme-Linked Immunoadsorbent Assay) tetapi menghasilkan negatif
palsu pada penderita dengan alergi, identifikasi PCR TB.
Pemeriksaan radiologi untuk spondilitis tuberkulosis yakni foto toraks,
foto polos vertebra ditemukan osteoporosis, osteolitik, destruksi korpus
vertebra, penyempitan diskusintervertebralis, dan mungkin ditemukan
adanya massa abses paravertebral, pemeriksaan mielografi,
CT scan
memberi gambaran tulang secara lebih detail dari lesi irreguler, skelerosis,
kolaps diskus, dan gangguan sirkumferensi tulang serta MRI untuk
mengevaluasi infeksi diskus intervertebralis dan osteomielitis tulang
belakang serta menunjukkan adanya penekanan saraf.
Pemeriksaan serologi yang dapat dilakukan pada tuberkulosis ekstra paru adalah
sebagai berikut :
2.4.8
Tes Tuberkulin
Pada orang normal yang tidak memiliki gejala TB namun telah
terinfeksi kuman TB, satu-satunya pemeriksaan yang menunjukan adanya
infeksi TB adalah hasil skin tes tuberkulin yang positif.30
2.4.9
Pemeriksaan dahak mikroskopis
Pemeriksaan dahak dilakukan bila terdapat kondisi tuberkulosis ekstra
paru bersamaan dengan tuberkulosis paru. Pemeriksaan dahak dilakukan
selama 2 hari dengan metode berurutan : Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS),
yaitu :
19
Faktor prediktor ..., Telly Kamelia, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
2.4.9.1 S (Sewaktu) : Dahak diambil saat pasien TB berkunjung pertama
kali
2.4.9.2 P (Pagi) : Pasien membawa pot dahak ke rumah dan pada pagi
hari ke-2 setelah bangun tidur, pasien mengumpulkan dahaknya di
rumah
2.4.9.3 S (Sewaktu) : dahak diambil saat pasien berkunjung ke pelayanan
kesehatan bersamaan dengan penyerahan dahak pagi.
Jika ditemukan kuman M.tuberculosis pada pemeriksaan dahak, sudah
dipastikan seseorang tersebut menderita TB dan harus mendapat
pengobatan yang tepat. Jika tidak dapat dilakukan pemeriksaan dahak,
seperti pada anak-anak yang sulit mengeluarkan dahak maka dapat diganti
dengan pemeriksaan isi lambung. Namun pemeriksaan isi lambung
ataupun swab laring kurang efisien dibandingkan dengan dahak.
2.4.10 Pemeriksaan biakan
Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengidentifikasi kuman M.
Tuberculosis. Isolasi kuman M.tuberculosis adalah diagnosis TB definitif,
namun diagnosis lebih diutamakan pada pemeriksaan klinisnya karena
kultur kuman TB positif hanya didapatkan pada 50% kasus. Biasanya
pemeriksaan biakan dilakukan pada: pasien TB kronis, pasien TB ekstra
paru dan TB anak, dan petugas kesehatan yang menangani pasien TB
dengan kekebalan ganda.
2.4.11 Pemeriksaan Tes Resistensi
Pemeriksaan ini dilakukan di laboratorium mikrobiologi khusus untuk
mengidentifikasi adanya resistensi obat antituberkulosis. Bakteri bisa
mengalami resistensi akibat induksi dari adaptasi atau secara spontan
melalui mutasi. Kultur dan tes resistensi obat anti tuberkulosis
membutuhkan waktu 4-6 minggu.
20
Faktor prediktor ..., Telly Kamelia, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
2.4.12 Pencitraan rongga dada
Pencitraan rongga dada bukan merupakan standar baku diagnosis TB.
Oleh karena itu mendiagnosis TB hanya dari gambaran rontgen dada tidak
tepat. Hal ini menghindari terjadinya overdiagnosis. Pemeriksaan rontgen
dada dilakukan jika didapatkan hasil pemeriksaan dahak SPS salah satu
dari 3 spesimen dahak BTA positif, jika kondisi tuberkulosis ekstra paru
didapatkan bersamaan tuberkulosis paru. Pemeriksaan baku emas adalah
menemukan BTA pada spesimen duh tubuh/cairan tubuh, kultur M. tb dan
pemeriksaan sitologi serta pemeriksaan histopatologis.
2.5 Strategi DOTS dan Tatalaksana Tuberkulosis Ekstra Paru.
Tujuan pengobatan TB, antara lain untuk menyembuhkan pasien, mencegah
penularan, mencegah resistensi kuman terhadap OAT, mencegah kekambuhan,
dan mencegah kematian. Pengobatan TB telah dilakukan serentak secara nasional
melalui Puskesmas pada tahun 1969. WHO dan IUATLD (International Union
Against Tuberculosis and Lung Disease) memperkenalkan strategi DOTS
(Directly Observed Tretment Short-course) untuk menanggulangi TB secara costeffective pada tahun 1990an dan telah direkomendasikan sejak tahun 1995. Di
Indonesia, stategi DOTS ini telah diterapkan di seluruh Puskesmas pada tahun
2000.
DOTS memiliki tujuan menemukan dan menyembuhkan penyakit sehingga
mengurangi kejadian TB dan mencegah munculnya MDR TB. Saat ini di
Indonesia penanggulangan TB dilaksanakan oleh Puskesmas, Rumas Sakit baik
Pemerintah maupun Swasta, Rumah Sakit Paru, Klinik pengobatan, Dokter
Praktek Swasta (DPS), dan Balai Pengobatan Penyakit Paru-Paru (BP4). Pada
pengobatan dengan stategi DOTS ini dilakukan pegawasan langsung oleh
Pengawas Menelan Obat (PMO) untuk menjamin kepatuhan pasien. Oleh karena
itu, selain OAT, dukungan keluarga sangat penting dalam penanganan kasus TB.
21
Faktor prediktor ..., Telly Kamelia, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
Komponen strategi DOTS antara lain :
1) komitmen politis
2) Pemeriksaan dahak mikroskopis dengan mutu terjamin
3) Pengobatan jangka pendek yang terstandar
4) Ketersediaan OAT yang bermutu
5) Adanya sistem pencatatan dan pelaporan yang bisa menilai hasil
pengobatan dan program kerja
Sementara itu, stategi utama pengendalian TB di Indonesia dikenal sebagai tujuh
strategi utama pengendalian TB, antara lain :
1) Ekspansi Quality DOTS
1. Perluasan dan peningkatan pelayanan DOTS berkualitas
2. Menghadapi tantangan baru, TB-HIV, MDR TB
3. Melibatkan seluruh penyedia pelayanan
4. Melibatkan penderita dan masyarakat
2) Didukung dengan Penguatan Sistem Kesehatan
5. Penguatan kebijakan dan kepemilikan daerah
6. Kontribusi pada sistem pelayanan kesehatan
7. Penelitian operasional
Pengobatan tuberkulosis ekstra paru harus tepat dan adekuat. Terapi TB ekstra
paru terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif dan fase lanjutan. Pada umumnya
lama pengobatan adalah 6-8 bulan. Berdasarkan riwayat terapi TB ekstra paru,
pasien tibagi menjadi :
a. Pasien baru : pasien yang belum pernah mendapat terapi obat antituberkulosis
(OAT) sebelumnya atau sudah pernah mendapatkan OAT kurang dari satu
bulan.
b. Pasien dengan riwayat terapi sebelumnya : pasien yang sudah pernah
mendapatkan terapi OAT sebelumnya minimal satu bulan, dengan hasil BTA
positif maupun negatif dengan lokasi organ dimanapun.
Terapi diberikan sesuai rekomendasi WHO dengan strategi DOTS untuk TB
ekstra paru pasien baru adalah selama 6 bulan yakni:
22
Faktor prediktor ..., Telly Kamelia, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
1) Fase intensif :
2
bulan diobati dengan regimen INH, Rifampisin,
Pyrazinamid dan Etambutol (2 HRZE).
2) Fase lanjutan : 4 bulan diobati dengan INH dan Rifampisin, pemberian
dosis 3 kali seminggu (4 H3R3).
Pasien dengan riwayat terapi sebelumnya karena putus obat atau gagal terapi
diberikan regimen 2HRZES / HRZE / 5H3R3E3. Setelah pengobatan dengan
strategi DOTS selama 6 bulan, maka pada akhir pengobatan akan didapatkan hasil
pengobatan sebagai berikut :
a. Sembuh
b. Pengobatan lengkap
c. Gagal pengobatan (Failure)
d. Putus berobat (Default)
e. Meninggal
f. Pindah
Kriteria di atas dalam strategi DOTS digunakan untuk TB paru, tidak secara
eksplisit menjelaskan kriteria kesembuhan untuk TB ekstra paru. ISTC versi 2
standar 10, menambahkan catatan untuk menilai kesembuhan TB ekstra paru
boleh cukup menilai kesembuhan secara klinis, namun lebih baik lagi bila
didukung oleh minimal satu pemeriksaan penunjang (laboratorium mikroskopis,
serologis, histopatologis, kimiawi atau pencitraan).
23
Faktor prediktor ..., Telly Kamelia, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
2.5.1
Steroid
Bukti klinis mendukung penggunaan steroid pada meningitis
tuberkulosis sebagai terapi ajuvan. Penggunaan steroid selain sebagai anti
inflamasi, juga dapat menurunkan tekanan intrakranial dan mengobati
edema otak. Steroid yang dipakai adalah prednison dengan dosis 1-2
mg/kgBB/hari selama 4-6 minggu, setelah itu dilakukan penurunan dosis
secara bertahap (tappering off) selama 4-6 minggu sesuai dengan lamanya
pemberian regimen.
2.6 Faktor-Faktor Prediktor Tuberkulosis Ekstra Paru
2.6.1
Usia
Penyakit TB Paru paling sering ditemukan pada usia muda atau usia
produktif (15-50) tahun. Dewasa ini dengan terjadinya transisi demografi
menyebabkan usia harapan hidup lansia menjadi lebih tinggi. Pada usia
lanjut lebih dari 55 tahun sistem imunologis seseorang menurun sehingga
sangat rentan terhadap berbagai penyakit, termasuk penyakit TB Paru.
Nazulis dkk33. melaporkan berdasarkan rentang umur, persentase tertinggi
pasien yang terdiagnosa DM tipe 2 dengan TB paru terdapat pada umur
50-59 tahun yaitu sebesar 80%, diikuti rentang umur 30-39 dan ≥ 60 tahun
masing-masing sebesar 10%. Pada penelitian Guptan & Shah34,
disebutkan bahwa pasien yang paling banyak menderita DM tipe 2 dengan
TB paru adalah pasien dengan kisaran umur diatas 40 tahunan. Yamagishi
dkk.35 menemukan bahwa penyakit DM dan TB paling tinggi dijumpai
pada pasien laki laki dengan rentang umur diatas 50 tahun (23,4%). Maka
dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa pasien dengan umur 50 tahun
keatas memiliki resiko tinggi DM tipe 2 dan TB paru. Leeds dkk.
36
melaporkan rerata usia penderita tuberkulosis ekstra paru di Amerika yang
diteliti pada
tahun 1995-2007 adalah 40 tahun. Rodriguez dkk11,
mendapatkan rerata usia pasien tuberkulosis ekstra paru lebih tua
dibanding tuberkulosis paru, terutama pada limfadenitis tuberkulosis,
24
Faktor prediktor ..., Telly Kamelia, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
tuberkulosis tulang dan sendi, TB genitourinarius, TB kutis dan TB
gastrointestinal. Penelitian Pesut dkk.
37
di Serbia tahun 1993-2007
melaporkan bahwa usia puncak TB ekstra paru adalah 45–64 tahun. Usia
rerata TB ekstra paru di Thailand adalah 47,58 tahun lebih muda
dibandingkan dengan TB paru 51,6 tahun (p<0,01).38 Namun menurut
Ong dkk39, usia muda lebih beresiko terkena TB ekstra paru dibandingkan
usia ≥ 65 tahun (p<0,03). Hal ini sesuai dengan penelitian Kim dkk.40 di
Korea yang melaporkan bahwa usia > 60 tahun lebih rendah terkena TB
ekstra paru (adjusted OR, 0.27; 95% CI, 0.08-0.89). Kejadian TB ekstra
paru menurun seiring dengan pertambahan dekade usia (OR 0.85, 95%CI
0.75–0.95, P<0.01). Dari seluruh kasus tuberkulosis ekstra paru, 27,7%
pasien berusia lebih dari 60 tahun. Sekitar 39,5% kasus limfadenitis
tuberkulosis berusia lebih dari 60 tahun. Namun menurut Ong dkk39,
pasien yang berusia ≤ 44 tahun 2 kali lebih beresiko menderita
limfadenitis TB dibandingkan usia ≥ 65 tahun. Tidak seperti dengan TB
paru, tidak ditemukan hubungan yang kuat antara usia dengan TB ekstra
paru.
2.6.2 Jenis Kelamin
Leeds dkk. 36 melaporkan proporsi penderita tuberkulosis ekstra paru
di Amerika kebanyakan laki-laki (67%). Pada jenis kelamin laki–laki,
penyakit ini lebih tinggi karena pengaruh merokok tembakau dan minum
alkohol sehingga dapat menurunkan sistem pertahanan tubuh dan lebih
mudah dipaparkan dengan agent penyebab TB Paru. Namun, Wanita lebih
beresiko menderita TB ekstra paru dibanding laki-laki.30,41 Angka
kejadian TB ekstra paru pada wanita 15 kali lebih tinggi daripada TB
paru.42 Chandir dkk..16 mendapatkan bahwa dari 194 pasien dengan TB
ekstra paru yang diobati di Liaquat National Hospital, Karachi, Pakistan
sebanyak 75%nya adalah wanita. Penelitian lain yang dilakukan oleh
Fiske dkk.41 menunjukkan bahwa insidensi TB ekstra paru per 100000
25
Faktor prediktor ..., Telly Kamelia, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
populasi tertinggi pada laki-laki kulit hitam yaitu 5,93 sedangkan wanita
kulit hitam 3,21. Hal demikian juga didapatkan pada insidensi TB ekstra
paru pada laki-laki bukan kulit hitam sebesar 1,01 sementara itu 0,58 pada
wanita bukan kulit hitam. Insidens TB ekstra paru pada wanita dibanding
laki-laki adalah 1.7 (95% CI 1.4-2.0).43 Dari penelitian ini didapatkan
bahwa wanita lebih mudah terkena TB ekstra paru dibandingkan laki-laki
(30.5% vs. 24.3%, p = 0.002). Ong dkk.39 menyebutkan bahwa wanita 2
kali lebih beresiko menderita TB ekstra paru dibandingkan laki-laki
(p<0,01). Wanita kulit hitam lebih mungkin terkena TB ekstra paru
(38.6%), diikuti oleh laki-laki kulit hitam (28.1%), wanita bukan kulit
hitam (24.6%) dan laki-laki bukan kulit hitam (21.1%). Hal serupa juga
didapatkan pada Kim dkk40, dengan konfirmasi diagnosis TB ekstra paru
dengan menggunakan kultur bahwa wanita kulit hitam lebih mungkin
terkena TB esktra paru (38.6%), diikuti oleh laki-laki kulit hitam (28.1%),
wanita bukan kulit hitam (24.6%), dan laki-laki bukan kulit hitam
(21.1%). Penelitian yang dilakukan oleh Forssbohm dkk44 di Jerman
menambahkan bahwa wanita lebih cenderung menderita berbagai bentuk
TB ekstra paru dibandingkan laki-laki, kecuali TB pleura terutama pada
usia 45-64 tahun. Menurut Rhines dkk.45 adanya perbedaan prevalensi TB
menurut jenis kelamin ini bisa jadi akibat rasio jenis kelamin yang tidak
simetris, terutama penelitian yang dilakukan di India dan China.
2.6.3
Diabetes
Suleiman dkk.
46
Melaporkan prevalensi diabetes pada pasien TB di
Malaysia adalah 30% dengan dominasi jenis kelamin pria (72%) dan
perokok (45,5%). Nazulis dkk33 melaporkan berdasarkan rentang umur,
persentase tertinggi pasien yang terdiagnosa DM tipe 2 dengan TB paru
terdapat pada umur 50-59 tahun yaitu sebesar 80%, diikuti rentang umur
30-39 dan ≥ 60 tahun masing-masing sebesar 10%. Pada penelitian
Guptan & Shah34, disebutkan bahwa pasien yang paling banyak menderita
26
Faktor prediktor ..., Telly Kamelia, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
DM tipe 2 dengan TB paru adalah pasien dengan kisaran umur diatas 40
tahunan. Yamagshi dkk.35 menemukan bahwa penyakit DM dan TB paling
tinggi dijumpai pada pasien laki laki dengan rentang umur diatas 50 tahun
(23,4%). Maka dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa pasien dengan
umur 50 tahun keatas memiliki resiko tinggi DM tipe 2 dan TB paru. DM
tipe 2 berhubungan dengan tingginya usia dan berat badan pada pasien TB
namun tidak berhubungan dengan manifestasi klinis TB. Lin dkk.47
menyebutkan bahwa diabetes tidak berhubungan dengan TB ekstra paru
(OR 0.41, 95% CI 0.22–0.76, P < 0.01). Di Indonesia, Nailul Haq12
melaporkan diabetes menjadi penyakit penyerta pada 3,33% pasien TB
ekstra paru.
2.6.4
Ko-infeksi dengan HIV
Menurut United Nations on HIV/AIDS (UNAIDS) dalam AIDS
Epidemic Update 2010, pertumbuhan secara keseluruhan dari epidemi
AIDS tampak telah stabil. Jumlah tahunan kasus infeksi baru HIV
menurun sejak akhir tahun 1990 dan kasus AIDS yang berkaitan dengan
mortalitas juga telah berkurang dikarenakan adanya peningkatan angka
terapi Anti Retroviral secara signifikan. Meskipun jumlah kasus infeksi
baru telah menurun hingga 25% di Sub Sahara Afrika, tingkat kasus
infeksi baru secara keseluruhan masih tetap tinggi dengan adanya
peningkatan hingga 25% di Asia Tengah dan Eropa Timur, sedangkan
jumlah kasus HIV di daerah Eropa Barat, Eropa Tengah, Eropa Timur,
Asia Tengah, dan Amerika Utara tetap stabil.48
Laju penularan HIV/AIDS di dunia saat ini mencapai 16 ribu orang
per hari dan Indonesia merupakan yang tercepat di kawasan Asia. Menurut
Ditjen Pengendalian Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan (PPM
& PL) Depkes RI jumlah kasus baru HIV di Indonesia (Januari sampai
dengan Maret 2012) sebanyak 5.991 kasus, sedangkan kasus baru AIDS
sebanyak 551 kasus yang tersebar di 300 kab/kota di 32 provinsi.
27
Faktor prediktor ..., Telly Kamelia, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
Proporsi kasus HIV tertinggi tercatat pada kelompok umur 25-49 tahun,
diikuti kelompok umur 20-24 tahun, dan kelompok umur ≥50 tahun.
Proporsi kasus AIDS tertinggi dilaporkan pada kelompok umur 30-39
tahun, disusul kelompok umur 20-29 tahun dan kelompok umur 40-49
tahun.49 HIV mempengaruhi epidemiologi Tuberkulosis melalui 3
mekanisme yaitu :
a) Progresi infeksi kuman TB pada pasien dengan infeksi HIV
b) Reaktivasi endogen dari infeksi kuman TB pada pasien dengan
infeksi HIV
c) Transmisi kuman TB ke populasi umum dari pasien TB dengan
infeksi HIV
HIV adalah faktor resiko yang sangat penting dalam perkembangan TB
aktif sehingga TB adalah infeksi oportunistik pada pasien HIV yang
paling
sering
menyebabkan
kematian.50-54
Sebaliknya,
TB
juga
meningkatkan replikasi virus HIV sehingga mempercepat penyebaran HIV
dalam tubuh seseorang.50-54 Sebanyak 5-10% pengidap HIV akan
menderita TB setiap tahunnya.50-54 Jumlah CD4 awal < 200 sel/uL
merupakan faktor independen untuk perkembangan TB pada pasien
dengan infeksi HIV.50-54 Penelitian Zenebe dkk.55 menunjukkan 52,9%
kasus tuberkulosis ekstra paru positif menderita HIV. Sedangkan data lain
menunjukkan bahwa sebanyak 50% kasus TB pada seseorang dengan HIV
positif adalah TB ekstra paru dan sebanyak 15-20% kasus TB pada
seseorang dengan immunocompromised adalah TB ekstra paru. Pada
populasi dengan populasi HIV rendah, TB ekstra paru diperkirakan sekitar
15-20%nya.50-54 Sedangkan pada populasi dengan HIV yang tinggi maka
jumlah kasus TB ekstra paru juga akan bertambah. TB ekstra paru tidak
berhubungan dengan lama paparan TB melainkan ditentukan oleh daya
tahan tubuh seseorang.50-54 Daya tahan tubuh rendah, seperti HIV dan
malnutrisi meningkatkan risiko TB ekstra paru. Jadi dapat disimpulkan
bahwa kejadian TB Ekstra paru berhubungan dengan infeksi HIV. Risiko
28
Faktor prediktor ..., Telly Kamelia, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
TB esktra paru akan meningkat jika seseorang menderita HIV sudah > 10
tahun. Infeksi HIV berhubungan dengan peningkatan kejadian limfadenitis
TB (p<0,01), namun paling rendah hubungannya dengan TB pleura
(p=0,03).49 Wiwatworapan dkk.38 melaporkan bahwa HIV positif sering
ditemukan pada TB diseminata (OR 41.51, 95% CI 4.98-34.5), TB di
meninges dan otak (OR 4.47, 95% CI 1.57-12.6) dan limfadenitis TB (OR
3.49, 95% CI 1.86-6.54), namun jarang ditemui pada TB tulang dan
spondilitis TB (OR 0.05, 95% CI 0.01-0.37) dan TB pleura (OR 0.24, 95%
CI 0.09-0.63). Proporsi ko-infeksi HIV
pada tuberkulosis ekstra paru
paling banyak ditemukan pada usia 31-40 tahun.38 Leeds dkk.36
melaporkan bahwa di Amerika didapat 320 kasus tuberkulosis ekstra paru
dalam kurun waktu 12 tahun (1995-2007) yang 48,1% diantaranya juga
mengidap HIV. Penelitian dengan hasil serupa dilakukan oleh Fiske dkk.41
yang menunjukkan bahwa infeksi HIV berhubungan dengan TB ekstra
paru (OR 1.45 (95% CI 0.99-2.11), p = 0.06), sesuai dengan penelitian
Peto dkk..56 (OR, 1.1; CI, 1.1–1.1). Dharmshale dkk.54 melaporkan kasus
TB ekstra paru pada pasien dengan HIV positif sebesar 47,5% sedangkan
pada HIV negatif sebesar 35.86%. Pada pasien tuberkulosis dengan koinfeksi HIV ini, CD4 yang rendah (<100) cenderung menderita
tuberkulosis ekstra paru yang berat seperti meningitis TB dan TB
diseminata yang memiliki risiko mortalitas yang tinggi.53,54 Penelitian lain
di Thailand menyebutkan bahwa pasien TB ekstra paru dengan HIV
positif memiliki resiko kematian yang lebih tinggi jika menderita
meningitis dan jumlah CD4 < 200 sel/ml. Meningitis TB memiliki angka
(hazard ratio (HR) 3.5, 95% CI 1.2—9.9).38 Jumlah CD4 berhubungan
dengan resiko kematian pada pasien TB ekstra paru dengan HIV positif :
CD4 0—24 sel/ml (HR 10.2, 95% CI 4.4—24.0), CD4 25—99 sel/ml (HR
4.1, 95% CI 1.7—9.6), dan CD4 100—199 sel/ml (HR 4.0, 95% CI 1.5—
10.7). Kingkaewa dkk.53 melaporkan bahwa TB ekstra paru jarang terjadi
pada pasien HIV dengan CD4 >199 sel/ul (AOR 0.6, 95% CI 0.4—1.0).
29
Faktor prediktor ..., Telly Kamelia, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
Namun menurut penelitian yang dilakukan oleh Fredy dkk.57 di RSCM
Jakarta, korelasi antara CD4 dan jenis TB pada pasien TB dengan HIV
positif sangat lemah oleh karena itu jumlah CD4 saja tidak bisa
menentukan keparahan TB dengan HIV. Tidak ada hubungan yang kuat
antara TB ekstra paru dengan infeksi HIV seperti yang didapatkan pada
TB paru. Namun, tes HIV sebaiknya ditawarkan pada pasien dengan TB
ekstraparu.
2.6.5
Riwayat anti tuberkulosis
Tidak jarang kasus tuberkulosis ekstra paru muncul setelah mengalami
tuberkulosis paru sebelumnya. Zenebe dkk.55 melaporkan riwayat
tuberkulosis paru pada kasus tuberkulosis ekstra paru (OR = 4.77,95% CI
1.86-12.24). Albuquerque dkk.58 mendapatkan riwayat pengobatan
tuberkulosis sebelumnya menjadi faktor prognostik dari kegagalan terapi
anti tuberkulosis (OR = 4.89; P < 0.001).
30
Faktor prediktor ..., Telly Kamelia, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
2.7 Kerangka Teori
Riwayat terapi TB
TB Ekstra Paru
Jenis Kelamin
Reaktivasi infeksi
Terapi
imunosupresan
Gagal terapi
TERAPI OAT dengan
Supresi sistem imun
Strategi DOTS
Infeksi oportunistik
Faktor lain :Terapi steroid/
imunosupresan, resistensi obat
antituberkulosis, infeksi
oportunistik, alkohol, merokok,
dan status gizi.
Sembuh
Usia Tua
Infeksi HIV
Resistensi OAT
(MDR/XDR)
Diabetes
Tidak Sembuh
Kematian
Faktor-faktor yang akan diteliti
Gambar 1. Kerangka teori
31
Faktor prediktor ..., Telly Kamelia, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
BAB 3
KERANGKA KONSEP
DAN DEFINISI OPERASIONAL VARIABEL
3.1 Kerangka Konsep
Strategi
KEBERHASILAN TERAPI
TB EKSTRAPARU :
FAKTOR-FAKTOR PREDIKTOR :
6,7
-
Umur
Jenis kelamin
Riwayat terapi anti tuberkulosis
Ko-infeksi dengan HIV
Diabetes
DOTS
Sembuh
Tidak Sembuh
3.2 Definisi Operasional
Variabel
Cara
Definisi
Skala
Keterangan
Pengukuran
Tuberkulosis
ekstra paru
Tuberkulosis
paru
Tuberkulosis yang menyerang organ selain
jaringan paru.
Diagnosis ditegakkan dari adanya gejala
dan tanda tuberkulosis ekstra paru.
Pembuktian klinis berdasarkan sedikitnya
satu spesimen positif M. Tuberculosis
dengan
pemeriksaan
histopatologis,
pemeriksaan
cairan
tubuh
(kultur,
pemeriksaan mikrobiologi), atau adanya
keadaan klinis yang kuat dan konsisten
suatu TB ekstraparu.1
TB paru didefinisikan sebagai kasus TB
yang melibatkan parenkim paru. TB milier
diklasifikasikan sebagai TB paru, karena
lesi terdapat pada paru.
Penegakkan
diagnosis
TB
paru
berdasarkan konsensus di Indonesia1,5 :
 TB paru BTA positif, apabila
minimal satu dari sedikitnya dua
kali
pemeriksaan
dahak
menunjukkan hasil BTA positif.
data
nominal
rekam
0. Tidak
1. Ya
medis
data
rekam
nominal
0. Tidak
1. Ya
medis
32
Faktor prediktor ..., Telly Kamelia, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
ATAU
apabila hasil pemeriksaan BTA
negatif tetapi hasil kultur positif.
 TB paru BTA negatif, jika hasil
pemeriksaan dahak BTA dua kali
negatif dengan hasil foto toraks
sesuai dengan gambaran TB aktif
Keberhasilan
terapi
Menurut rekomendasi WHO, keberhasilan data
terapi TB ekstra paru dibagi menjadi :
rekam
 Sembuh
 Pengobatan lengkap
medis
 Putus berobat
 Gagal
 Pindah
 Meninggal
Durasi terapi TB ekstra paru lebih lama
dari TB paru. Bila TB paru membutuhkan
terapi minimum 6 bulan, maka TB ekstra
paru membutuhkan terapi minimum 9
bulan. Oleh karena itu, durasi terapi
minimun yang digunakan pada penelitian
ini adalah 9 bulan.
nominal
0. Tidak
Sembuh
1. Sembuh
Keadaan penderita setelah di terapi, di bagi
menjadi6 :
Sembuh, berupa :
-Sembuh :
penderita yang menyelesaikan pengobatannya secara lengkap dan :
 kultur menjadi negatif pada akhir
pengobatan atau
 BTA menjadi negatif pada akhir
pengobatan
Kriteria sembuh TB ekstra paru berdasarkan organ yang terkena :
 Limfadenitis TB
KGB hilang/mengecil, untuk
KGB dalam (CT-Scan sesuai
region yang terkena KGB hilang).
Pasien dinyatakan sembuh tertulis
dalam register TB 01.
 Efusi pleura/Pleuritis TB :
Klinis : tidak ada sesak atau nyeri
dada terutama saat menarik
napas. Efusi pleura menghilang
33
Faktor prediktor ..., Telly Kamelia, FK UI, 2014
Universitas Indonesia






/perbaikan, Foto toraks : sudut
kostofrenikus tumpul menjadi
lancip atau berkurang. USG
torak: cairan (-). Pasien
dinyatakan sembuh tertulis dalam
register TB 01.
TB neurologis (meningitis TB,
ensefalitis TB) :
Klinis pasien sadar dari
penurunan kesadaran, CT-scan
otak : nodul/mass
hilang/berkurang. Pasien
dinyatakan sembuh tertulis dalam
register TB 01.
Perikarditis TB
Klinis : tidak ada sesak, nyeri
dada. Ekokardiografi : efusi
perikard menghilang/berkurang.
Pasien dinyatakan sembuh tertulis
dalam register TB 01.
TB Abdominal
Klinis : keluhan sakit perut, diare
dan demam tidak ada. Pasien
dinyatakan sembuh tertulis dalam
register TB 01.
TB genitourinarius
Klinis : keluhan nyeri saat buang
air kecil tidak ada. USG
abdomen/CTscan abdomen: tidak
ada peradangan pada
genitourinarius, cairan negatif,
bisa didapatkan
kalsifikasi/fibrosis.Pasien
dinyatakan sembuh tertulis dalam
register TB 01.
TB tulang (Spondilitis TB,
Coxitis TB)
Klinis : keluhan nyeri berkurang,
luka bekas operasi sembuh,
pasien bisa berjalan. Pasien
dinyatakan sembuh tertulis dalam
register TB 01.
TB mata
Klinis : keluhan pada mata
berkurang/hilang. Pasien
dinyatakan sembuh tertulis dalam
register TB 01.
34
Faktor prediktor ..., Telly Kamelia, FK UI, 2014
Universitas Indonesia


TB laring
Klinis : tidak ada suara serak dan
gangguan menelan. Pasien
dinyatakan sembuh tertulis dalam
register TB 01.
TB kutis
Klinis : Lesi kulit hilang/
perbaikan. Pasien dinyatakan
sembuh tertulis dalam register TB
01.
-Pengobatan lengkap :
penderita yang menyelesaikan pengobatannya secara lengkap,yang pada pemeriksaan klinis memperlihatkan kesembuhan,
namun tidak ada data pemeriksaan kultur
atau BTA.
.
Tidak Sembuh, berupa :
-Putus berobat (Default):
Penderita yang tidak berobat 2 bulan
berturut-turut atau lebih sebelum masa
pengobatannya selesai.
-Gagal (Failure) :
Penderita yang secara klinis tidak memperlihatkan kesembuhan .
-Pindah :
Pasien yang pindah berobat ke unit
pelayanan lain. Pasien tercatat dalam
register TB 09.
-Meninggal :
Pasien yang tercatat meninggal
selama terapi, terlepas dari penyebab
kematian.
Usia
Usia kronologis pasien berdasarkan data
keterangan
pasien/keluarga
atau
keterangan tertulis lainnya saat pertama rekam
kali datang ke RSCM
medis
Ordinal
0 = < 60
tahun :
dewasa
1 = > 60
tahun : usia
35
Faktor prediktor ..., Telly Kamelia, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
lanjut
Jenis
kelamin
Jenis kelamin pasien berdasarkan kartu data
tanda penduduk seperti yang tercantum di
rekam
status.
Nominal
0.Pria
1.Wanita
medis
Pasien mempunyai riwayat pengobatan TB
Riwayat
terapi
TB sebelumnya, jika pasien termasuk dalam :
- Kasus kambuh (relaps)
sebelumnya
- Kasus
putus
berobat
(default/drop out)
- Kasus gagal
- Kasus kronik
Status HIV di bagi menjadi :
HIV
 HIV positif : hasil serologi HIV
positif atau adanya penyakit
terkait AIDS
 HIV negatif : hasil serologi HIV
negatif
data
Nominal
rekam
1.Ada
medis
data
Nominal
negatif
medis
1.HIV positif
Diagnosis DM tipe 2 ditegakkan data
berdasarkan konsensus PERKENI59, yaitu :
-Jika keluhan klasik (Poliuria,Polifagia, rekam
Polidipsi) ditemukan, maka pemeriksaan medis
glukosa plasma sewaktu >200 mg/dL
sudah cukup untuk menegak-kan diagnosis
DM.
-Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥ 126
mg/dL dengan adanya keluhan klasik.
-Tes toleransi glukosa oral (TTGO) dengan
beban 75 g glukosa.
Atau
Dikatakan DM oleh dokter pemeriksa dan
tertulis di catatan rekam medis.
Nominal
Strategi
-Singkatan dari Directly Observed Data
Treatment Shortcourse berupa strategi
register
operasional penanggulangan TB di unit
pelayanan kesehatan melalui pengobatan DOTS
Nominal
jangka pendek
langsung.
dengan
0.HIV
rekam
Diabetes
Mellitus
(DM)
DOTS
0.Tidak ada
pengawasan
Strategi DOTS terdiri dari 5 komponen
yaitu : (1)Komitmen politis dari para
pengambil
keputusan,
termasuk
dukungan dana; (2)Diagnosis TB
dengan pemeriksaan dahak secara
36
Faktor prediktor ..., Telly Kamelia, FK UI, 2014
0.Bukan DM
1.DM
0.Self
Assesment
1.Mengguna
kan strategi
DOTS
Universitas Indonesia
mikroskopis langsung;(3)Pengobatan
dengan paduan OAT jangka pendek
dengan pengawasan langsung oleh
Pengawas Menelan Obat (PMO);
(4)Kesinambungan persediaan Obat
Anti Tuberkulosis (OAT) jangka
pendek untuk pasien; (5)Pencatatan dan
pelaporan
yang
baku
untuk
memudahkan pemantauan dan evaluasi
program TB.
37
Faktor prediktor ..., Telly Kamelia, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
BAB 4
METODE PENELITIAN
4.1 Desain Penelitian
Desain penelitian ini adalah studi kohort retrospektif.
4.2 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan antara bulan Mei 2013 sampai Januari 2014 dengan cara
mengumpulkan dan mempelajari data rekam medis pasien TB ekstra paru sejak
bulan januari 2008 sampai bulan Desember 2012, bertempat di Pojok TB Poli
Pulmonologi, UPT HIV RSCM dan Ruang Rekam Medik Rumah Sakit Dr. Cipto
Mangunkusumo, Jakarta.
4.3 Populasi dan Sampel Penelitian
4.3.1 Populasi Target
Populasi penelitian adalah pasien TB ekstra paru.
4.3.2 Populasi Terjangkau
Penderita TB ekstra paru di RS Dr. Cipto Mangunkusumo dari bulan
Januari 2008 sampai Desember 2012.
4.4 Sampel Penelitian
Sampel penelitian diambil berdasarkan data pasien TB yang tercakup dalam
register DOTS yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.
4.5 Besar sampel
Besar sampel untuk penelitian prognostik di hitung berdasarkan rule of thumb.
N = (Jumlah variabel X 10) : insiden TB ekstra paru
38
Faktor prediktor ..., Telly Kamelia, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
Berdasarkan penelitian tuberkulosis ekstra paru di Indonesia, insiden
keberhasilan terapi tuberkulosis ekstra paru belum ada. Di India, Prakasha dkk60.
mendapatkan 528 (41,67%) kasus TB ekstra paru pada 1267 kasus TB. Dari data
tersebut, dihitung besar sampel sebagai berikut :
N = (5 x 10)/0,42 = 119 pasien.
Pada tahun 2012, ditemukan 234.029 kasus TB ekstra paru dan 637.273
kasus TB paru di India. Insiden TB ekstra paru di India sebesar 27%.1 Besar
sampel yang dibutuhkan untuk penelitian TB ekstra paru adalah :
N = (5 x 10)/0,27 = 185 pasien
Maka jumlah sampel yang diperlukan untuk penelitian ini adalah 185 pasien.
4.6 Pemilihan Sampel Penelitian
4.6.1
Kriteria inklusi :
4.6.1.1 Pasien berusia > 18 tahun
4.6.1.2 Pasien TB ekstra paru dan masuk dalam register DOTS.
4.6.2
Kriteria eksklusi :
4.6.2.1 Pasien TB paru
4.6.2.2 Data kurang lengkap
4.7 Cara Pengambilan Sampel
Sampel penelitian diambil dari data DOTS TB RSCM pada pasien TB ekstra
paru yang berobat di RSUPN Dr Ciptomangunkusumo dari bulan Januari 2008
sampai Desember 2012. Kemudian dilakukan pengambilan sampel penelitian
dengan cara menelusuri dan mencatat seluruh catatan medis rawat inap maupun
rawat jalan yang didiagnosis tuberkulosis ekstra paru di Rumah Sakit Cipto
Mangunkusumo.
39
Faktor prediktor ..., Telly Kamelia, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
4.8 Alur Penelitian
Data pasien TB dari data DOTS TB RSCM
Kriteria inklusi (+)
Kriteria Eksklusi (-)
Pengumpulan Data
Analisa Data
Laporan
Gambar 2. Alur penelitian
4.9 Manajemen dan analisa data
Seluruh data yang didapat dicatat pada lembar status (terlampir) dan
dipindahkan ke cakram/media penyimpanan elektronik untuk dilakukan
pembersihan dan kodifikasi data, untuk kemudian siap dideskripsi dan dianalisis.
Deskripsi dan analisis data dibuat dalam bentuk teks, tabel, maupun gambar.
Variabel prediktor diuji dengan uji Chi-square bila syarat uji chi-square terpenuhi.
Bila syarat tersebut tidak terpenuhi, maka akan dilakukan dengan uji Fisher exact.
Variabel yang pada analisa bivariat, didapat nilai p < 0,25, akan dimasukkan
dalam analisa multivariat. Analisis multivariat menggunakan regresi logistik.
Hasil analisis multivariat yang dianggap bermakna adalah variabel dengan nilai p
< 0,05. Hasil akhir regresi logistik disajikan dalam bentuk Odds Ratio (OR) dan
40
Faktor prediktor ..., Telly Kamelia, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
IK 95%. Seluruh proses deskripsi dan analisis data dilakukan dengan bantuan
Program SPSS 17.0 for Windows.
4.10
Etika
Penilaian etika penelitian dilakukan oleh Komisi Etik Kedokteran Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Penelitian ini telah mendapat persetujuan dari
komisi etik tersebut (No. 82/H2.F1/ETIK/2014). Data rekam medis akan dijaga
kerahasiaannya oleh peneliti.
41
Faktor prediktor ..., Telly Kamelia, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
BAB 5
HASIL PENELITIAN
5.1 Karakteristik Subyek
Selama periode bulan Januari 2008 sampai Desember 2012, terdata 542 pasien
TB ekstra paru dalam register Poli DOTS TB, di RS. Dr. Cipto Mangunkusumo
(RSCM) yang terdiri dari 263 pasien TB ekstra paru murni (selanjutnya di sebut TB
ekstra paru) dan 279 pasien TB ekstra paru kombinasi dengan TB paru. Dari 263
pasien TB ekstra paru murni, ada sekitar 70 pasien datanya tidak lengkap, sehingga
yang dapat diikutsertakan dalam penelitian ini adalah 193 pasien. Penelitian ini hanya
mengambil pasien TB ekstra paru yang terekam dalam data register Poli DOTS TB
RSCM, baik di POKDISUS/UPT HIV RSCM dan Poli Pulmonologi FKUI/RSCM.
Pasien poliklinik yang bukan berasal dari kedua poliklinik tersebut dan pasien rawat
inap yang tidak mengambil obat/tidak melaksanakan DOTS TB, tidak dimasukkan
dalam penelitian
.
Total pasien TB ekstra paru,
register DOTS, N = 542 subyek
Disertai penyakit TB paru,
N = 279 subyek
Pasien TB ekstra paru saja,
N = 263 subyek
Data tidak lengkap
N = 70 subyek
Sampel penelitian
N = 193 subyek
Gambar 3. Sebaran pasien penelitian
42
Faktor prediktor ..., Telly Kamelia, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
Tabel 1. Karakteristik subyek penelitian
Variabel
N
Persentase (%)
Jenis Kelamin
Laki-laki
Perempuan
92
101
47,7%
52,3%
18-60 tahun
>60 tahun
185
8
95,9%
4,1%
SD
SMP
SMA
Diploma
Sarjana
Paska Sarjana
Tidak sekolah
Pekerjaan
7
24
61
9
10
1
11
3,6%
12,4%
31,6%
4,7%
5,2%
0,5%
5,7%
PNS
Swasta
Wiraswasta
Ibu Rumah Tangga
Pelajar/Mahasiswa
Lain-lain
Tidak bekerja
Kategori OAT
3
52
17
51
14
27
29
1,6%
26,9%
8,8%
26,4%
7,3%
14%
15%
175
18
90,7%
9,3%
110
25
19
11
9
19
56,9%
12,9%
9,8%
5,7%
4,7%
9,8%
Usia
Pendidikan
OAT kategori I
OAT kategori II
Organ ekstra paru
Limfadenitis TB
Efusi Pleura
Spondilitis TB
Peritonitis TB
Meningitis TB
Lain-lain*
Keterangan :
* TB kulit, TB mata, kolitis TB, TB urogenital, laryngitis TB, perikarditis TB.
43
Faktor prediktor ..., Telly Kamelia, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
Tabel 2. Faktor prediktor keberhasilan TB ekstra paru
Variabel
N
Persentase (%)
Komorbid DM
DM
Bukan DM
9
184
4,7%
95,3%
Positif
53
27,5%
Negatif
140
72,5%
18
9,3%
175
90,7%
HIV
Riwayat OAT
Ada
Tidak
5.2 Keberhasilan terapi penderita TB ekstra paru
Keberhasilan terapi tuberkulosis ekstra paru di rentang usia 18-60 tahun
terjadi pada 92 orang (49,7%), sedangkan pada usia > 60 tahun ada 2 orang (25%),
OR 2,968 (IK 95% 0,584-15,087), p 0,313. Sekitar 38 (41,3%) laki-laki dan 56
(55,4%) perempuan sembuh dari TB ekstra paru, OR 1,768 ( IK 95% 0,999-3,131), p
0,05. Keberhasilan terapi pada penderita TB ekstra paru dengan komorbid diabetes
mellitus 33,3% (OR 1,957, IK 95% 0,475-8,062), p 0,546. Keberhasilan terapi pada
penderita TB ekstra paru dengan komorbid HIV terjadi pada 17 (32,1% ) pasien (OR
2,588; IK 95% 1,330-5,038), p 0,007. Pada pasien TB ekstra paru yang mempunyai
riwayat TB sebelumnya, kesembuhan terapi antituberkulosis ditemukan pada 10
(55,6%) pasien (OR 0,738; IK 95% 0,278-1,959, p 0,717).
44
Faktor prediktor ..., Telly Kamelia, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
Tabel 3. Analisis bivariat keberhasilan terapi penderita TB ekstra paru
Variabel
Keberhasilan terapi
Tidak berhasil
OR
IK 95%
p value
Berhasil
Usia
>60 tahun
18-60 tahun
6 (75%)
2 (25%)`
93 (50,3%)
92 (49,7%)
54 (58,7%)
38 (41,3)
2,968
(0,584-15,087)
0,313
1,768
(0,999-3,131)
0,05
1,957
(0,475-8,062)
0,546
Jenis Kelamin
Laki-laki
Perempuan
45 (44,6%)
56 (55,4%)
Diabetes Mellitus
Ya
Tidak
6 (66,7%)
3 (33,3%)
93 (50,5%)
91 (49,5%)
HIV
Ya
36 (67,9%)
17 (32,1%)
Tidak
63 (45%)
77 (55%)
8 (44,4%)
10 (55,6%)
2,588
(1,330-5,038)
0,007
0,738
(0,278-1,959)
0,717
Riwayat OAT
Ya
Tidak
91 (52%)
84 (48%)
Tabel 4. Analisis multivariat TB ekstra paru
Variabel
OR
IK 95%
p value
Jenis kelamin
1,341
0,717-2,509
0,358
HIV
2,588
1,330-5,038
0,007
Variabel yang diikutkan dalam analisis multivariat adalah variabel yang pada
analisis bivariat memberikan nilai p <0,250 yaitu jenis kelamin dan HIV. Analisis
multivariat dilakukan dengan menggunakan regresi logistik. Terdapat satu variabel
yaitu HIV yang pada akhir analisis multivariat yang mencapai kemaknaan secara
statistik, OR 2,588 (1,330-5,038), p 0,007.
45
Faktor prediktor ..., Telly Kamelia, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
Tabel 5. Keberhasilan terapi TB ekstra paru dengan strategi DOTS
Hasil terapi TB dengan DOTS
> 9 bulan
< 9 bulan
Total
Sembuh
70 (94,6%)
24 (20,2%)
94 (48,7%)
Tidak sembuh
4 (5,4%)
95 (79,8%)
99(51,3%)
100%
100%
100%
Total
Dari 193 pasien TB ekstra paru yang diterapi minimum selama 9 bulan, 94,6%
pasien sembuh.
46
Faktor prediktor ..., Telly Kamelia, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
BAB 6
PEMBAHASAN
6.1 Karakteristik subyek penelitian
Karakteristik subyek penelitian berdasarkan jenis kelamin, perempuan lebih
banyak dibandingkan laki-laki dengan persentase perempuan 52,3% dan laki-laki
47,7%. Hasil ini sama dengan penelitian Forssbohm dkk44, Chandir dkk.16 dan Ong
dkk.39 menyebutkan wanita lebih rentan menderita TB ekstra paru dibandingkan lakilaki. Hasil penelitian ini juga serupa dengan penelitian TB ekstra paru yang dilakukan
di Rumah Sakit yang sama pada rentang tahun 1988 – 1991, Haq12 melaporkan pasien
TB ekstra paru yang dirawat di bangsal Penyakit Dalam RSUPN Dr. Cipto
Mangunkusumo lebih banyak berjenis kelamin perempuan (64,44%) dibandingkan
laki-laki (35,56%). Sharma14 juga melaporkan perempuan lebih banyak menderita
limfadenitis TB daripada laki-laki pada usia kanak-kanak.
Penelitian ini berbeda dengan Leeds dkk. 36 yang melaporkan 67% penderita
tuberkulosis ekstra paru di Amerika adalah laki-laki. Leeds dkk. 36 menyatakan jenis
kelamin laki–laki lebih banyak menderita TB ekstra paru karena pengaruh merokok
tembakau dan minum alkohol sehingga dapat menurunkan sistem pertahanan tubuh
dan lebih mudah dipaparkan dengan agent penyebab TB Paru. Pada penelitian ini,
kebanyakan status merokok dan minum alkohol tidak diketahui, hanya sedikit yang
menuliskan status merokok dan minum alkohol. Fiske dkk.41 juga menyatakan
insidensi TB ekstra paru per 100000 populasi tertinggi pada laki-laki kulit hitam.
Zenebe dkk.55 melaporkan persentase jenis kelamin laki-laki ditemukan lebih banyak
dari perempuan (58,8% vs 41,2%). Namun menurut Rhines dkk.45 adanya perbedaan
prevalensi TB menurut jenis kelamin ini bisa jadi akibat rasio jenis kelamin yang
tidak simetris, terutama penelitian yang dilakukan di India dan China.
Jenis kelamin perempuan memiliki keberhasilan terapi jauh lebih baik
dibandingkan laki-laki. Hal ini dipertimbangkan karena berbagai hal yaitu lebih
47
Faktor prediktor ..., Telly Kamelia, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
rendahnya perilaku merokok pada perempuan dari pada laki-laki, faktor kepatuhan
(compliance) dalam berobat lebih baik, waktu berobat lebih leluasa dibanding lakilaki dan pajanan dari tempat lingkungan kerja lebih sedikit. Perempuan lebih fokus
dalam menjalani terapi dan waktunya tidak banyak tersita secara sia – sia dalam
pekerjaan. Hal ini sesuai yang dikemukakan oleh Hudelson61 dalam makalahnya yang
berjudul gender differentials in tuberculosis.
Rentang usia pada penelitian ini adalah 18 – 89 tahun. Rerata usia secara
keseluruhan adalah 31,34 tahun + 11,64 tahun. Hasil ini hampir sama dengan yang
didapatkan Karstaedt AS62 yang melaporkan rentang usia TB ekstra paru 18 – 87
tahun di Afrika Selatan. Karstaedt AS62 juga menyebutkan median pasien TB ekstra
paru berusia 33 tahun. Usia pasien yang muda juga didapatkan oleh Haq12
yang
melaporkan rerata usia pasien TB ekstra paru yang di rawat inap adalah 29,17 tahun
+ 12,53 tahun. Hasil penelitian ini sesuai dengan pendapat Ong dkk39,
memperlihatkan usia muda lebih beresiko terkena TB ekstra paru dibandingkan usia ≥
65 tahun (p<0,03). Hal ini sesuai dengan penelitian Kim dkk.40 di Korea yang
melaporkan bahwa usia > 60 tahun lebih rendah terkena TB ekstra paru (adjusted OR,
0.27; 95% CI, 0.08-0.89). Kejadian TB ekstra paru menurun seiring dengan
pertambahan dekade usia (OR 0.85, 95%CI 0.75–0.95, P<0.01). Dari seluruh kasus
tuberkulosis ekstra paru, 27,7% pasien berusia lebih dari 60 tahun. Sekitar 39,5%
kasus limfadenitis tuberkulosis berusia lebih dari 60 tahun. Namun menurut Ong
dkk39, pasien yang berusia ≤ 44 tahun 2 kali lebih beresiko menderita limfadenitis TB
dibandingkan usia ≥ 65 tahun. Rerata usia penderita TB ekstra paru 40 tahun yang
digolongkan usia produktif juga dilaporkan oleh Leeds dkk.
36
di Amerika. Usia
produktif mempunyai risiko lebih tinggi untuk terpajan infeksi di tempat kerja atau
lingkungan.63,64
Rodriguez dkk11, juga mendapatkan rerata usia pasien tuberkulosis ekstra
paru lebih tua dibanding tuberkulosis paru, terutama pada limfadenitis tuberkulosis,
tuberkulosis tulang dan sendi, TB genitourinarius, TB kutis dan TB gastrointestinal.
Penelitian Pesut dkk.
37
di Serbia tahun 1993-2007 melaporkan bahwa usia puncak
48
Faktor prediktor ..., Telly Kamelia, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
TB ekstra paru adalah 45–64 tahun. Usia rerata TB ekstra paru di Thailand adalah
47,58 tahun, lebih muda dibandingkan dengan TB paru 51,6 tahun (p<0,01).38
Jenis TB ekstra paru yang ditemukan pada penelitian ini didominasi oleh
limfadenitis TB, diikuti oleh efusi pleura, spondilitis TB, peritonitis TB dan
meningitis TB. Hasil penelitian ini sama dengan Zenebe dkk.55 menyebutkan, 82,4%
pasien TB ekstra paru didominasi oleh limfadenitis TB. Namun berbeda dengan yang
didapatkan oleh Karstaedt.62 efusi pleura lebih tinggi daripada limfadenitis TB. Yang
dkk.10 juga menyatakan hasil yang berbeda, TB tulang lebih banyak dibandingkan
limfadenitis TB.
6.2 Keberhasilan terapi TB ekstra paru dengan strategi DOTS menurut usia
dan jenis kelamin
Persentase keberhasilan terapi TB ekstra paru dengan strategi DOTS pada
usia < 60 tahun adalah 49,7%, berbeda jauh dengan keberhasilan terapi TB ekstra
paru di usia > 60 tahun (25%). Hal ini sama dengan penelitian Sharma14 yang
melaporkan keberhasilan TB ekstra paru pada anak-anak
atau usia muda baik
(94,9%); Arora dkk15 menemukan rentang usia 15-34 tahun (usia produktif) yang
paling banyak berhasil diterapi dengan anti tuberkulosis. Sandgren dkk13 melaporkan
rentang usia 25-44 tahun (36,7%) paling banyak yang berhasil sembuh dari TB
ekstra paru;
Gomes dkk17 juga menemukan rentang usia 25-44 tahun (45,8%)
banyak yang berhasil sembuh dari TB ekstra paru; Chandir dkk16 mendapatkan
rentang usia 15-44 tahun (66,5%) banyak yang berhasil diterapi dengan
antituberkulosis. Hal ini dapat disebabkan usia muda atau usia produktif (18-60
tahun) mempunyai daya tahan/imun yang lebih baik dari pada usia tua ( > 60 tahun).
Pada TB ekstra paru, ada 56 orang (55,4%) pasien perempuan dan 38
orang (41,3%) pasien laki-laki yang sembuh. Berarti angka keberhasilan terapi TB
ekstra paru lebih baik pada jenis kelamin perempuan dibandingkan dengan jenis
49
Faktor prediktor ..., Telly Kamelia, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
kelamin laki-laki. Hasil penelitian ini sama dengan yang didapatkan oleh Sharma14
yang mendapatkan jenis kelamin perempuan (66%) lebih banyak yang berhasil
menyelesaikan terapi antituberkulosis daripada laki-laki (34%). Begitu pula dengan
Arora dkk15 yang melaporkan jenis kelamin perempuan (57%) lebih banyak sembuh
dari pada jenis kelamin laki-laki (43%); Chandir dkk16 yang menemukan melaporkan
jenis kelamin perempuan (74,7%) lebih banyak sembuh dari pada jenis kelamin lakilaki (25,3%); Hal berbeda didapatkan oleh Sandgren dkk13 yang melaporkan bahwa
jenis kelamin laki-laki (53,4%) lebih banyak sembuh dari pada jenis kelamin
perempuan (46,4%); dan Gomes dkk17 yang menemukan jenis kelamin laki-laki
(60,7%) lebih banyak sembuh dari pada jenis kelamin perempuan (39,3%).
Perbedaan jenis kelamin ini bisa terjadi akibat rasio jenis kelamin yang tidak simetris
di berbagai wilayah di dunia. Jenis kelamin perempuan memiliki keberhasilan terapi
jauh lebih baik dibandingkan laki-laki, karena lebih rendahnya perilaku merokok,
faktor kepatuhan (compliance) dalam berobat lebih baik, waktu berobat lebih leluasa
dan pajanan dari tempat lingkungan kerja lebih sedikit.
6.3 Diabetes Mellitus
Komorbid diabetes mellitus pada TB ekstra paru tidak banyak didapat.
Ditemukan 184 pasien (95,3%) yang tidak menderita Diabetes Mellitus (DM) dan 9
(4,7%) pasien TB ekstra paru yang menderita DM. Hasil penelitian ini sama dengan
yang didapatkan oleh Nailul Haq12
yang melaporkan diabetes menjadi penyakit
penyerta pada 3,33% pasien TB ekstra paru. Bila pada penelitian ini, limfadenitis TB
merupakan manifestasi TB ekstra paru terbanyak pada DM, maka Weng dkk.66
menyebutkan peritonitis TB yang menjadi manifesitasi TB ekstra paru yang
terbanyak pada penelitiannya; sedangkan Peto dkk.56 dan Gupta dkk.67 melaporkan
TB disseminata yang diikuti limfadenitis TB menjadi manifestasi TB ekstra paru
terbanyak.
50
Faktor prediktor ..., Telly Kamelia, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
Ada 3 pasien (33,3%) TB ekstra paru dengan komorbid DM yang sembuh,
OR 1, 957 ; 95% CI 0,475-8,062,
47
dkk.
p 0,54. Hal ini sama dengan penelitian Lin
yang menyatakan bahwa diabetes tidak berhubungan dengan TB ekstra paru
(OR 0.41, 95% CI 0.22–0.76, P < 0.01). Hasil penelitian ini juga sama dengan Leung
dkk.65 yang memperlihatkan tidak ada hubungan TB ekstra paru dengan komorbid
DM, RR 1,05 ( CI 95% 0,49-2,31, p 0,97). Penelitian Leung dkk.65 memperlihatkan
bahwa DM menjadi faktor prediktor pasien TB paru, namun tidak pada TB ekstra
paru. Gomes dkk.17 juga memperkuat pernyataan Leung, bahwa DM menjadi faktor
prediktor kegagalan TB paru dengan OR 0.54; 95% CI 0.51–0.57, p <0,001.
Keberhasilan terapi pasien TB ekstra paru dengan komorbid diabetes mellitus rendah,
dapat disebabkan oleh sedikitnya pasien TB ekstra paru dengan komorbid DM.
Kendati TB ekstra paru banyak terjadi pada pasien imun yang menurun,
namun TB ekstra paru ini kurang infeksius dibandingkan dengan TB paru. Adanya
komorbid DM, akan meningkatkan risiko paparan infeksi, termasuk infeksi
tuberkulosis. Kontrol Gula darah yang lebih baik pada pasien DM, akan menurunkan
risiko infeksi tuberkulosis.
6.4 HIV
Ada 53 (27,5%) pasien TB ekstra paru dengan komorbid HIV. Sekitar
140 (72,5%) pasien TB ekstra paru yang tidak mempunyai komorbid HIV. Hasil
penelitian ini tidak jauh berbeda dengan Namme dkk.68 yang melaporkan komorbid
HIV pada TB ekstra paru terjadi 33.6% (95% CI 28.5-38.8). Namun penelitian ini
berbeda dengan Zenebe dkk.55 menunjukkan 52,9% kasus tuberkulosis ekstra paru
positif menderita HIV dan Leeds dkk.35 yang melaporkan bahwa di Amerika didapat
320 kasus tuberkulosis ekstra paru dalam kurun waktu 12 tahun (1995-2007) yang
48,1% diantaranya juga mengidap HIV serta Dharmshale dkk.54 melaporkan kasus
TB ekstra paru pada pasien dengan HIV positif sebesar 47,5% sedangkan pada HIV
negatif sebesar 35.86%.
51
Faktor prediktor ..., Telly Kamelia, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
Pada populasi dengan HIV yang tinggi maka jumlah kasus TB ekstra paru
juga akan bertambah. TB ekstra paru tidak berhubungan dengan lama paparan TB
melainkan ditentukan oleh daya tahan tubuh seseorang.50-54 Daya tahan tubuh rendah,
seperti HIV dan malnutrisi meningkatkan resiko TB ekstra paru. CD4 yang rendah
(<100) cenderung menderita tuberkulosis ekstra paru yang berat seperti meningitis
TB dan TB diseminata yang memiliki risiko mortalitas yang tinggi.53,54 Jadi dapat
disimpulkan bahwa kejadian TB ekstra paru berhubungan dengan infeksi HIV.
Rerata CD4 pada pasien TB HIV dalam penelitian ini adalah 89,68 +
94,72. CD4 yang rendah pada penelitian ini dapat menyebabkan angka kegagalan
terapi di samping meningkatkan mortalitas TB HIV. Hal ini sesuai dengan penelitian
Sharma dkk.69 yang melaporkan CD4 yang rendah (< 200/µL) menjadi prediktor
kegagalan terapi tuberkulosis.
Kingkaew dkk.53 melaporkan bahwa TB ekstra paru jarang terjadi pada
pasien HIV dengan CD4 >199 sel/ul (OR 0.6, 95% CI 0.4—1.0). Namun menurut
penelitian yang dilakukan oleh Fredy dkk.57 di RSCM Jakarta, korelasi antara CD4
dan jenis TB pada pasien TB dengan HIV positif sangat lemah oleh karena itu jumlah
CD4 saja tidak bisa menentukan keparahan TB dengan HIV. Tidak ada hubungan
yang kuat antara TB ekstra paru dengan infeksi HIV seperti yang didapatkan pada TB
paru. Namun, tes HIV sebaiknya ditawarkan pada pasien dengan TB ekstra paru.
Manifestasi TB ekstra paru yang paling banyak ditemukan pada
penelitian ini adalah limfadenitis TB. Hasil penelitian ini sama dengan Sharma
dkk.18,23 yang melaporkan resiko TB ekstra paru akan meningkat jika seseorang
menderita HIV sudah > 10 tahun. Infeksi HIV berhubungan dengan peningkatan
kejadian limfadenitis TB (p<0,01), namun paling rendah hubungannya dengan TB
pleura (p=0,03). Penelitian ini juga kurang lebih sama dengan Wiwatworapan dkk.38
melaporkan bahwa HIV positif sering ditemukan pada TB diseminata (OR 41.51,
95% CI 4.98-34.5), TB di meninges dan otak (OR 4.47, 95% CI 1.57-12.6) dan
limfadenitis TB (OR 3.49, 95% CI 1.86-6.54), namun jarang ditemui pada TB tulang
52
Faktor prediktor ..., Telly Kamelia, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
dan spondilitis TB (OR 0.05, 95%CI 0.01-0.37) dan TB pleura (OR 0.24, 95%CI
0.09-0.63).
Keberhasilan terapi TB ekstra paru dengan komorbid HIV terjadi
sebanyak 17 (32,1%) pasien, OR 2,59 (IK 95% 1,33 – 5,04), p 0,01). Keberhasilan
TB ekstra paru pada pasien non HIV terjadi 77 (55%) pasien. Hasil penelitian ini
sama dengan Gomes dkk.17 melaporkan ko-infeksi HIV menjadi prediktor kegagalan
terapi pasien TB ekstra paru dengan OR 2.15 (95% CI 2.09–2.21, p <0,001), serta
Fiske dkk.41 yang mendapatkan infeksi HIV berhubungan dengan TB ekstra paru (OR
1.45 (95% CI 0.99-2.11). p = 0.06). Analisis multivariat dengan regresi logistik,
didapatkan OR 2,588 (1,330-5,038), p 0,007. Ini berarti kegagalan terapi TB ekstra
paru berhubungan dengan ko-infeksi HIV. Kalau ditelusuri lebih jauh, keberhasilan
pasien-pasien TB HIV ini tidak lepas dari peran konseling di UPT HIV RSCM. Pada
konseling ini, selain pasien mendapat penjelasan mengenai penyakitnya, juga
diberikan motivasi agar dapat berobat sampai tuntas.
6.5 Riwayat obat anti tuberkulosis
Sebagian besar pasien TB ekstra paru dalam penelitian ini adalah kategori
I atau kasus baru. Pasien TB ekstra paru yang memiliki riwayat anti tuberkulosis
sebelumnya 18 orang (9,3%). Keberhasilan terapi TB ekstra paru dengan
menggunakan strategi DOTS pada pasien dengan riwayat anti tuberkulosis
sebelumnya terjadi pada 10 (55,6%) pasien, OR 0,74 (IK 95% 0,28 – 1,96), p 0,72.
Hasil penelitian ini sama dengan penelitian Zenebe dkk.55 yang melaporkan riwayat
tuberkulosis paru pada kasus tuberkulosis ekstra paru berkaitan dengan kegagalan
terapi tuberkulosis ekstra paru (OR = 4.77, 95% CI 1.86-12.24); demikian pula
dengan Sandgren dkk13 yang memperlihatkan 5,1% pasien TB ekstra paru dengan
riwayat terapi OAT gagal diterapi dengan obat antituberkulosis (p<0,01) dan
Albuquerque dkk.58 mendapatkan riwayat pengobatan tuberkulosis sebelumnya
menjadi faktor prognostik dari kegagalan terapi anti tuberkulosis (OR = 4.89; P <
53
Faktor prediktor ..., Telly Kamelia, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
0.001). Zenebe dkk.55 juga menyatakan, riwayat kontak TB juga merupakan faktor
risiko yang berhubungan dengan kegagalan terapi TB ekstra paru. Dalam penelitian
ini, keberhasilan terapi pasien TB ekstra paru dengan riwayat terapi OAT sebelumnya
hanya terjadi pada 10 (55,6%) pasien, OR 0,738 (IK 95% 0,278 – 1,959), p 0,719.
Hal ini disebabkan oleh sedikitnya pasien TB ekstra paru dengan riwayat terapi
OAT.
6.6. Keberhasilan terapi TB ekstra paru dengan strategi DOTS
Dari 193 pasien TB ekstra paru, berdasarkan strategi DOTS,
persentase
pasien yang dinyatakan sembuh adalah 94,6%. Hasil penelitian ini tidak jauh
berbeda dengan Sharma dkk.14 yang melaporkan keberhasilan terapi TB ekstra
paru dengan strategi DOTS di India
sekitar 94,9%; Sandgren dkk13
yang
mendapatkan angka keberhasilan terapi tuberkulosis ekstra paru sebesar 81.4% di
Eropa; Arora dkk.15 di Delhi Selatan, menyebutkan 94% pasien tuberkulosis
ekstra paru sudah mendapat pengobatan lengkap; dan Gomes dkk.17 yang
menyatakan keberhasilan terapi tuberkulosis ekstra paru sebesar 71,5% di Brazil.
Namun hasil penelitian ini berbeda dengan Chandir dkk16 yang melaporkan angka
keberhasilan terapi
tuberkulosis ekstra paru yang rendah yakni 40,7% di
Pakistan. Perbedaan ini dapat disebabkan oleh durasi pengobatan TB ekstra paru
yang lebih pendek (6-8 bulan) pada penelitian Chandir dkk.
Menurut data WHO tahun 2012, kesembuhan TB paru di Indonesia sekitar
90%, dan kesembuhan TB ekstra paru 85%, berarti angka keberhasilan terapi
(succees rate) TB paru lebih tinggi dari pada TB ekstra paru. Pada penelitian ini,
angka keberhasilan terapi TB ekstra paru yang 94,6% juga sudah melewati angka
keberhasilan terapi minimal 85% yang ditargetkan pemerintah dalam program
MDGs, sehingga dapat disimpulkan tingkat keberhasilan TB ekstra paru selama
minimum 9 bulan dengan menggunakan strategi DOTS baik.
54
Faktor prediktor ..., Telly Kamelia, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
6.7 Keterbatasan penelitian
Pada penelitian ini
ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi
keberhasilan terapi tuberkulosis ekstra paru seperti pemakaian steroid/terapi
imunosupresan,
resistensi obat antituberkulosis,
infeksi oportunistik, alkohol,
merokok, dan status gizi, tidak dapat dilakukan karena data pada catatan medik tidak
lengkap sehingga faktor-faktor tersebut tidak dapat dianalisis pada penelitian ini.
Pada beberapa pasien TB ekstra paru yang sebenarnya dapat dilakukan
pemeriksaaan BTA dan atau kultur, namun tidak dapat dilakukan karena belum
mendapat persetujuan dari pasien.
55
Faktor prediktor ..., Telly Kamelia, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
BAB 7
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
1. Ko-infeksi HIV merupakan faktor prediktor
yang dapat menurunkan
keberhasilan terapi TB ekstra paru.
2. Tingkat keberhasilan terapi TB ekstra paru dengan menggunakan strategi
DOTS selama minimum 9 bulan baik (94,6%).
Saran
1. Perlu penelitian lanjutan untuk pasien TB ekstra paru dengan HIV, khususnya
untuk mencari durasi pengobatan yang optimal dan kebijakan pengobatan
tepat.
2. Dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan HIV untuk pasien TB ekstra paru
di RSCM.
3. Perlu dilakukan penelitian prospektif mengenai faktor prediktor yang
mempengaruhi keberhasilan TB ekstra paru.
56
Faktor prediktor ..., Telly Kamelia, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
1. WHO. Global tuberculosis report 2013. Geneva: World Health Organization,
2013.
2. Oki NO, Reif AAM, Antas PRZ, Levy S, Holland SM, Sterling TR. Novel
human genetic variants associated with extrapulmonary tuberculosis: a pilot
genome wide association study. BMC Research 2011;4:28.
3. WHO. Global Report Tuberculosis Country Profile 2011. Geneva: World
Health Organization, 2011.
4. Stop TB Partnership. The global plan to stop TB 2011-2015. Geneva: World
Health Organization, 2011.
5. Mustikawati DE, Surya A. (editor). Strategi nasional pengendalian TB di
Indonesia 2011-2014. Jakarta: Depkes RI, 2011.
6. WHO. Definitions of Cases and Treatment Outcome. Available from
http//www.who.int/tb/publications/global_report. Cited 12 mei 2013.
7. International standards for tuberculosis care (ISTC) version 2. Available from
http//istcweb.org/tb/publication. Cited 30 mei 2013.
8. Mehta JB, Dutt A, Harvill L, Mathews KM. Epidemiology of extrapulmonary
tuberculosis. Chest 1991 ; 99 :1134-8.
9. Ong A, Creasman J, Hopewell PC, Gonzalez LC, Wong M, Jasmer RM, et al.
A Molecular Epidemiological Assessment of Extrapulmonary Tuberculosis in
San Francisco. Clin Infect Dis 2004; 38: 25–31.
10. Yang Z, Kong Y, Wilson F, Foxman B, Fowler
AH, Marrs CF, et al.
Identification of Risk Factors for Extrapulmonary Tuberculosis. Clinical
Infectious Diseases 2004; 38 :199–205.
11. Rodriguez JFG, Diaz HA, GarciA MVL, no-Callejo AM, Rial AF, Sanchez PS.
Extrapulmonary tuberculosis: epidemiology and risk factors. Enferm Infecc
Microbiol Clin 2011; 531:1-8.
57
Faktor prediktor ..., Telly Kamelia, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
12. Haq N. Pola Klinis Tuberkulosis Ekstrapulmoner di Ruang Rawat Bagian Ilmu
Penyakit Dalam FKUI-RSCM 1 Januari 1998-31 Desember 1991. Tesis
Program Studi Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta, 1993.
13. Sandgren A, Hollo V, van der Werf MJ. Extrapulmonary tuberculosis in the
European Union and European Economic Area 2002 to 2011. Euro Surveill
2013; 18: 204-31.
14. Sharma S, Sarin R, Khalid UK, Singla N, Sharma PP, Behera D. Clinical
profile and treatment outcome of tuberculous lymphadenitis in children using
DOTS strategy. Indian J Tuberc 2010; 57:4-11.
15. Arora VK, Gupta R. Trends of extrapulmonary tuberculosis under revised
national tuberculosis control programme: a study from South Delhi. Indian J
Tuberc 2006;53:77-83.
16. Chandir S, Hussain H, Salahuddin N, Amir M, Ali F, Lotia I, et al.
Extrapulmonary Tuberculosis: A retrospective review of 194 cases at a tertiary
care hospital.l in Karachi, Pakistan. J Pak Med Assoc 2010; 60(2): 105-109.
17. Gomes T, Santos BR, Bertolde A, Johnson JL, Riley LW, Maciel EL.
Epidemiology of extrapulmonary tuberculosis in Brazil: a hierarchical model.
BMC Infect Dis 2014,14:1-9
18. Sharma SK, Mohan A. Extrapulmonary tuberculosis. Indian J Med Res 2004;
120:316-353.
19. Hesselink DA,Yoo SM, Verhoeven GT, Brouwers JW, Smit FJ, Van Saase
LCM. A high prevalence of culture-positive extrapulmonary tuberculosis in a
large Dutch teaching hospital. Netherland J Med 2003;61(3):65-70.
20. Ang EP, Quimosing EM, Alora BD. Extrapulmonary tuberculosis. Phil J
Microbiol Infect Dis 1982; 11(2):115-123.
21. WHO. South East Region Tuberculosis Report 2012. Geneva: World Health
Organization, 2012.
22. Sharma P, Saxena S, Aggarwal P, Reddy V. Tuberculosis of Odontogenic
Cyst. Indian J Tuberc 2013; 60:50 – 54.
58
Faktor prediktor ..., Telly Kamelia, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
23. Sharma SK, Mohan A, Gupta R, Kumar A, Gupta AK, Singhal VK, et al.
Clinical presentation of tuberculosis in patients with AIDS: an Indian
experience. Indian J Chest Dis Allied Sci 1997; 39:213-20.
24. Kumar P, Sharma N, Sharma NC, Patnaik S. Clinical profile of tuberculosis in
patients with HIV Infection/AIDS. Indian J Chest Dis Allied Sci 2002; 44:
159-63.
25. Wares F, Balasubramanian R, Mohan A, Sharma SK. Extrapulmonary
Tuberculosis: Management and Control. Am Fam Physician 2005 ; 72: 1761-8.
26. Departemen
Kesehatan
Republik
Indonesia.
Pedoman
Nasional
Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik
Indonesia, 2008.
27. WHO. Guidelines For The Control of Tuberculosis in Prisons. Geneva: WHO,
International Committee of Red Cross,1998.
28. American Thoracic Society. Diagnostic Standards and Classification of
Tuberculosis in Adults and Children. Am J Respir Crit Care Med 2000; 161:
1376-l395.
29. Kaye LD, Litlejohn J. An Indonesian Male with Abdominal Pain and Weight
Loss: Abdominal Tuberculosis Presenting with Cervical Lymph Node
Enlargement. The Medicine Forum 2012; 13: 8.
30. Wani RLS. Clinical manifestations of pulmonary and extra-pulmonary
tuberculosis. South Sudan Medical Journal 2013; 6(3): 52-56.
31. Knechel NA. Tuberculosis: Pathophysiology, Clinical Features, and Diagnosis.
Critical Care Nurse 2009; 29(2):34-43.
32. Zumla A, Raviglione M, Hafner R, Fordham von Reyn C. Tuberculosis. The
New England Journal of Medicine 2013; 368(8): 745-755.
33. Nazulis RA. Drug Related Problems Pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2
Dengan Tuberkulosis Paru Di Bangsal Penyakit Dalam Dan Poliklinik RSUP.
Dr. M. Djamil Padang, Tesis 2011.
34. Guptan A, Shah A. Tuberculosis and diabetes: an appraisal. Ind J Tub.
2000;47:3-8.
59
Faktor prediktor ..., Telly Kamelia, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
35. Yamagishi F, Sasaki Y, Yagi T, Yamatani H, Kuroda F, Shoda H. Frequency
of Complication of Diabetes Mellitus in Pulmonary Tuberculosis, Kekkaku
2000;75 (6): 435 –7.
36. Leeds IL, Magee MJ, Kurbatova EV, Rio C, Blumberg,HM, Leonard MK, et
al. Site of Extrapulmonary Tuberculosis is Associated with HIV Infection. Clin
Infect Dis 2012; 55(1): 75-81.
37. Pesut DP, Bulajic MV, Lesic AR. Time trend and clinical pattern of
extrapulmonary tuberculosis in Serbia, 1993–2007. Vojnosanit Pregl 2012;
69(3): 227–230.
38. Wiwatworapan T, Anantasetagoon T. Extra-Pulmonary Tuberculosis at A
Regional Hospital in Thailand. Southeast Asian J Trop Med Public Health
2008; 39(3): 521-525.
39. Ong A, Creasman J, Hopewell PC, Gonzalez LC, Wong M, Jasmer RM, Daley
CL.
A
Molecular
Epidemiological
Assessment
of
Extrapulmonary
Tuberculosis in San Francisco 2004. Clinical Infectious Diseases 2004: 38:25–
31.
40. Kim MJ, Kim H, Hwang SS, Kim YW, Han SK, Shim Y, Yim J. Prevalence
and Its Predictors of Extrapulmonary Involvement in Patients with Pulmonary
Tuberculosis. J Korean Med Sci 2009; 24: 237-41.
41. Fiske CT, Griffin MR, Erin H, Warketin J, Lisa K, Arbogast PG, et al. Black
race, sex, and extrapulmonary tuberculosis risk: an observational study. BMC
Infect Dis 2010; 10:16.
42. Gaikwad A, Deopujari K. A Study of Clinical Profile and Treatment Outcome
of DOTS (Directly Observed Therapy Short Course) Regimen in 250
Pulmonary and Extrapulmonary Tuberculosis Patients in Hamidia Hospital,
Bhopal in the Year 2011. Chest 2012; 142(4): 1.
43. Golden MP, Vikram HR. Extrapulmonary Tuberculosis: An Overview. Am
Fam Physician 2005; 72: 1761-8.
60
Faktor prediktor ..., Telly Kamelia, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
44. Forssbohm M, Zwahlen M, Lodenkemper R, Rieder H L. Demographic
characteristics of patients with extrapulmonary tuberculosis in Germany. Eur
Respir J 2008; 31: 99–105.
45. Rhines AS. The role of sex differences in the prevalence and transmission of
tuberculosis. Tuberculosis 2013; 93: 104-107.
46. Suleiman SAS, Aweis DMI, Mohamed AJ, Muttalif AR, Moussa MAA. Role
of Diabetes in the Prognosis and Therapeutic Outcome of Tuberculosis. Int J
Endocrin 2012;1-6.
47. Lin JN, Lai CH, Chen YH, Lee SSJ, Tsai SS, Huang CK, et al. Risk factors for
extra-pulmonary tuberculosis compared to pulmonary tuberculosis. Int J
Tuberc Lung Dis 2009: 13(5): 620–625.
48. UNAIDS. Global Report: UNAIDS report on the global AIDS epidemic 2010.
Geneva: UNAIDS, 2010.
49. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Laporan Triwulan Situasi
Perkembangan HIV-AIDS di Indonesia sampai dengan Maret 2012. Jakarta:
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2012.
50. Narain JP, Lo YR. Epidemiology of HIV-TB in Asia. Indian J Med Res 2004;
120: 277-289.
51. Hwang J, Choe PG, Kim NH, Bang JH, Song K, Park WB, Kim ES, Park
SW, Kim H, Kim NJ, Oh M, Choe KW. Incidence and Risk Factors of
Tuberculosis in Patients with Human Immunodefciency Virus Infection. J
Korean Med Sci 2013; 28:374-377.
52. Kaur P, Sharma P, Aggarwal A. HIV Positivity in TB Suspects – An
Observational, Non-Randomized Study. Indian J Tuberc 2013; 60: 59 – 60.
53. Kingkaewa
N,
Sangtong
B,
Amnuaiphon
W,
Jongpaibulpatana
J,
Mankatitthamb W, Aksilp S, Sirinak C, et al. HIV-associated extrapulmonary
tuberculosis in Thailand: epidemiology and risk factors for death. International
J Infect Dis 2009; 13:722—729.
61
Faktor prediktor ..., Telly Kamelia, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
54. Dharmshale S, Bharadwaj RS, Gohil AH, Chowdhary AS. Extra-Pulmonary
Tuberculosis in HIV & non HIV patients in a tertiary care Hospital, Mumbai.
Indian Journal of Basic & Applied Medical Research 2012; 1: 205-208.
55. Zenebe Y, Anaga B, Tesfay W, Debebe T, Gelaw B. Smear positive extra
pulmonary tuberculosis disease at University of Gondar Hospital, Northwest
Ethiopia. BMC Research Notes 2013: 6: 21-30.
56. Peto HM, Pratt RH, Harrington TA, LoBue PA, Armstrong LR. Epidemiology
of Extrapulmonary Tuberculosis in the United States, 1993–2006. Clinical
Infectious Diseases 2009; 49:1350–7.
57. Fredy FC, Liwang F, Kurniawan R, Nasir AU. The Corelation Between CD4+
T-lymphocyte Count and Tuberculosis Form in TB-HIV Coinfected Patients
in Indonesia. Acta Medica Indonesiana - The Indonesian Journal of Internal
Medicine 2012; 44(2): 122-127.
58. Albuquerque MF, Leitao CC, Campelo AR, deSouza WV, Salustiano A.
Prognostic
factors for pulmonary tuberculosis outcome in Recife,
Pernambuco, Brazil. Rev Panam Salut Publica 2001; 9:368-74.
59. PERKENI. Konsensus pengelolaan dan pencegahan diabetes mellitus tipe 2 di
Indonesia.. Jakarta: Perhimpunan Endokrinologi Indonesia (PERKENI), 2011.
60. Prakasha SR, Suresh G, Dsa IP, Shetty SS, Kumar SG. Mapping the pattern
and trends of extrapulmonary tuberculosis. J Global Infect Dis 2013;5(2):54-9.
61. Hudelson P. Gender differentials in tuberculosis: the role of socio-economic
and cultural factor. Tuber Lung Dis 1996; 77:391-400.
62. Karstaedt AS. Extrapulmonary tuberculosis among adults: Experience at Chris
Hani Baragwanath Academic Hospital, Johannesburg, South Africa. S Afr Med
J 2014;104(1):22-24.
63. Davies PDO. Risk factor for tuberculosis. Monaldi Arch Chest Dis
2005;63(1):37-46.
64. Nyirenda T. Epidemiology of tuberculosis in Malawi. Malawi Medical J
2006;18(3):147-59.
62
Faktor prediktor ..., Telly Kamelia, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
65. Leung CC, Lam TH, Chan WM, Yew WW, Ho KS, Leung GM, et al.
Diabetic control and risk of tuberculosis ; a cohort study. Am J Epidemiol
2008;167:1486-94.
66. Weng SF, Hsu CH, Lirn LN, Huang CL. Extrapulmonary tuberculosis: a study
comparing diabetic and nondiabetic patients. Exp Clin Endocrinol Diabetes
2009;117(6):305-7.
67. Gupta S, Shenoy VP, Bairy I, Srinivas H, Mukhopadhyay. Diabetes mellitus
and HIV as co-morbidities in tuberculosis patients of rural South India. J Infect
Public Health 2011;4:140-4.
68. Namme LH, Solange DM, Bertrand MNH, Elvis T, Achu JH, Christopher K.
Extrapulmonary tuberculosis and HIV coinfection in patients treated for
tuberculosis at the Douala General Hospital in Cameroon. Ann Trop Med
Public Health 2013;6(1):100-4.
69. Sharma SK, Soneja M, Prasad KT, Ranjan S. Clinical profile & predictors of
poor outcome of adult HIV-tuberculosis patients in a tertiary care centre in
North India. Indian J Med Res 2014;139:154-160.
.
63
Faktor prediktor ..., Telly Kamelia, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
Faktor prediktor ..., Telly Kamelia, FK UI, 2014
Download