BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Columna

advertisement
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi
Columna vertebralis merupakan poros tulang rangka tubuh yang
memungkinkan untuk bergerak. Terdapat 33 columna vertebralis, meliputi 7
columna vertebra cervical, 12 columna vertebra thoracal, 5 columna
vertebra lumbal, 5 columna vertebra sacral dan 4 columna vertebra
coccygeal. Vertebra sacral dan cocygeal menyatu menjadi sacrum-coccyx
pada umur 20 sampai 25 tahun. Columna vertebrales juga membentuk
saluran untuk spinal cord. Spinal cord merupakan struktur yang sangat
sensitif dan penting karena menghubungkan otak dan sistem saraf perifer.2
Canalis
spinalis
dibentuk
di
bagian
anterior
oleh
discus
intervertebralis atau corpus vertebra, di lateral oleh pediculus, di
posterolateral oleh facet joint dan di posterior oleh lamina atau ligament
kuning. Canalis spi nalis mempunyai dua bagian yang terbuka di lateral di
tiap segmen, yaitu foramina intervertebralis.2
Recessus lateralis adalah bagian lateral dari canalis spinalis. Dimulai
di pinggir processus articularis superior dari vertebra inferior, yang
merupakan bagian dari facet joint. Di bagian recessus inilah yang
merupakan
bagian
tersempit.
Setelah
melengkung
secara
lateral
mengelilingi pediculus, lalu berakhir di caudal di bagian terbuka yang lebih
lebar dari canalis spinalis di lateral, yaitu foramen intervertebralis. Dinding
anterior dari recessus lateralis dibatasi oleh discus intervertebralis di bagian
superior, dan corpus verterbralis di bagian inferior.2
Dinding lateral dibentuk oleh pediculus vertebralis. Dinding dorsal
dibatasi oleh processus articularis superior dari vertebra bagian bawah,
sampai ke bagian kecil dari lamina dan juga oleh ligamen kuning (lamina).
Di bagian sempit recessus lateralis, dinding dorsalnya hanya dibentuk oleh
hanya processus lateralis, dan perubahan degeneratif di daerah inilah
4
mengakibatkan kebanyakan penekanan akar saraf pada stenosis spinalis
lumbalis.2
Akar saraf yang berhubungan dengan tiap segmen dipisahkan dari
kantong dura setinggi ruang intervertebra lalu melintasi recessus lateralis
dan keluar dari canalis spinalis satu tingkat dibawahnya melalui foramina
intervertebralis. Di tiap-tiap titik ini dapat terjadi penekanan.2
Ketika tulang belakang ditumpuk di atas satu sama lain, lingkaran
tulang ini menciptakan tabung hampa yaitu kanalis vertebra. Saluran tulang
belakang membungkus bundel saraf yang menuju ke organ tubuh bagian
bawah dan panggul yang disebut cauda equina. Sebuah cakram
intervertebralis yang cocok antara setiap tubuh vertebral dan menyediakan
ruang antara tulang tulang belakang. Disk biasanya bekerja seperti shock
absorber. Disk ini juga melindungi tulang belakang selama aktivitas berat
yang menempatkan gaya kuat pada tulang belakang, seperti melompat,
berlari.
Gambar 2.1. Columna vertebralis
5
2.2. Fisiologi
Tiga komponen biokimia utama diskus intervertebralis adalah air,
kolagen, dan proteoglikan, sebanyak 90-95% total volume diskus. Kolagen
tersusun dalam lamina, membuat diskus mampu berekstensi dan membuat
ikatan intervertebra. Proteoglikan berperan sebagai komponen hidrodinamik
dan elektrostatik dan mengontrol turgor jaringan dengan mengatur
pertukaran cairan pada matriks diskus. Komponen air memiliki porsi sangat
besar pada berat diskus, jumlahnya bervariasi tergantung beban mekanis
yang diberikan pada segment tersebut.5
2.3. Definisi
Spinal canal stenosis adalah suatu kondisi penyempitan kanalis
spinalis atau foramen intervertebralis disertai dengan penekanan akar saraf
yang keluar dari foramen tersebut.3
2.4. Etiologi
Struktur anatomi yang bertanggung jawab terhadap penyempitan
kanal adalah struktur tulang dan jaringan lunak. Akibat kelainan struktur
tulang jaringan lunak tersebut dapat mengakibatkan beberapa kondisi yang
mendasari terjadinya spinal canal stenosis yaitu :
A. Degenerasi diskus
Degenerasi diskus merupakan tahap awal yang paling sering terjadi
pada proses degenerasi spinal, walaupun artritis pada sendi facet juga
bisa mencetuskan suatu keadaan patologis pada diskus. Pada usia 50
tahun terjadi degenerasi diskus yang paling sering terjadi pada L4-L5,
dan L5-S1.
Perubahan biokimia dan biomekanik membuat diskus memendek.
Penonjolan annulus, herniasi diskus, dan pembentukan dini osteofit bisa
diamati. Sequela dari perubahan ini meningkatkan stres biomekanik yang
ditransmisikan ke posterior yaitu ke sendi facet. Perubahan akibat
arthritis terutama instabilitas pada sendi facet. Sebagai akibat dari
degenerasi diskus, penyempitan ruang foraminal chepalocaudal, akar
saraf bisa terjebak, kemudian menghasilkan central stenosis maupun
lateral stenosis.
B. Instabilitas Segmental
6
Konfigurasi tripod pada spina dengan diskus, sendi facet dan
ligamen yang normal membuat segmen dapat melakukan gerakan rotasi
dan angulasi dengan halus dan simetris tanpa perubahan ruang dimensi
pada kanal dan foramen.
Degenerasi sendi facet bisa terjadi sebagai akibat dari instabilitas
segmental, biasanya pada pergerakan segmental yang abnormal misalnya
gerakan translasi atau angulasi. Degenerasi diskus akan diikuti oleh
kolapsnya ruang diskus, karena pembentukan osteofit di sepanjang
anteromedial apsek dari prosesus articularis superior dan inferior akan
mengakibatkan arah sendi facet menjadi lebih sagital. Gerakan flexi akan
membagi tekanan ke arah anterior. Degenerasi pergerakan segmen
dengan penyempitan ruang diskus menyebabkan pemendekan relatif pada
kanal lumbalis, dan penurunan volume ruang yang sesuai untuk cauda
equina. Pengurangan volume diperparah oleh penyempitan segmental
yang disebabkan oleh penonjolan diskus dan melipatnya ligamentum
flavum.
Pada kaskade degenerative kanalis sentralis dan neuroforamen
menjadi kurang terakomodasi pada gerakan rotasi karena perubahan pada
diskus dan sendi facet sama halnya dengan penekanan saraf pada gerakan
berputar, kondisi ini bisa menimbulkan inflamasi pada elemen saraf
cauda equina kemudian mengahasilkan nyeri.
C. Hiperekstensi segmental
Gerakan ekstensi normal dibatasi oleh serat anterior annulus dan
otot-otot abdomen. Perubahan degeneratif pada annulus dan kelemahan
otot abdominal menghasilkan hiperekstensi lumbar yang menetap. Sendi
facet posterior merenggang secara kronis kemudian mengalami
subluksasi ke arah posterior sehingga menghasilkan nyeri pinggang.3
2.5. Epidemiologi
Spinal stenosis menjadi salah satu masalah yang sering ditemukan,
yang merupakan penyakit degeneratif pada tulang belakang pada populasi
usia lanjut. Prevalensinya 5 dari 1000 orang diatas usia 50 tahun di
Amerika. Merupakan penyakit terbanyak yang menyebabkan bedah pada
7
spinal pada usia lebih dari 60 tahun. Lebih dari 125.000 prosedur
laminektomi dikerjakan untuk kasus lumbar spinal stenosis. Pria lebih tinggi
insidennya daripada wanita. Patofisiologinya tidak berkaitan dengan ras,
jenis kelamin, tipe tubuh, pekerjaan dan paling banyak mengenai lumbar ke4 ke-5 dan lumbar ke-3 ke-4.5
2.6. Faktor Resiko
Risiko terjadinya stenosis tulang belakang meningkat pada orang yang :
 Terlahir dengan kanal spinal yang sempit
 Berjenis kelamin wanita
 Berusia 50 tahun atau lebih (osteofit atau tonjolan tulang berkaitan
dengan pertambahan usia)
 Pernah mengalami cedera tulang belakang sebelumnya
Beberapa kondisi medis juga dapat menyebabkan spinal stenosis,
diantaranya :
 Osteoarthritis
 Inflammatory spondyloarthritis
 Tumor spinal
 Paget’s disease
2.7. Patofisiologi
Sejalan dengan pertambahan usia cairan tersebut berkurang, akibatnya
nukleus
pulposus
mengalami
dehidrasi
dan
kemampuannya
mendistribusikan tekanan berkurang, memicu robekan pada annulus.
Kolagen memberikan kemampuan peregangan pada diskus. Nucleus
tersusun secara eksklusif oleh kolagen tipe-II, yang membantu menyediakan
level hidrasi yang lebih tinggi dengan memelihara cairan, membuat nucleus
mampu melawan beban tekan dan deformitas.
Annulus terdiri dari kolagen tipe-II dan kolagen tipe-I dalam jumlah
yang sama, namun pada orang yang memasuki usia 50 tahun atau lebih tua
dari 50 tahun kolagen tipe-I meningkat jumlahnya pada diskus. Proteoglikan
pada diskus intervertebralis jumlahnya lebih kecil dibanding pada sendi
kartilago, proteinnya lebih pendek, dan jumlah rantai keratin sulfat dan
kondroitin sulfat yang berbeda. Kemampatan diskus berkaitan dengan
proteoglikan, pada nucleus lebih padat daripada di annulus. Sejalan dengan
penuaan, jumlah proteoglikan menurun dan sintesisnya juga menurun.
8
Annulus tersusun atas serat kolagen yang kurang padat dan kurang
terorganisasi pada tepi perbatasannya dengan nukleus dan membentuk
jaringan yang renggang dengan nukleus pulposus.
Gambar 2.2. Spinal canal stenosis
Gambar 2.3. Vertebra normal dan vertebra dengan spinal stenosis
2.8. Klasifikasi
Kalsifikasi lumbar spinal canal stenosis dapat dibagi berdasarkan
etiologi dan anatomi. Berdasarkan etiologi lumbar spinal canal stenosis
dapat dibagi menjadi stenosis primer dan sekunder. Stenosis primer dibagi
menjadi: defek kongenital dan perkembangan. Defek kongenital dibagi
menjadi (1) Disrapismus spinalis; (2) Segmentasi vertebra yang mengalami
kegagalan; (3) Stenosis intermiten (d’Anquin syndrome). Perkembangan
9
dibagi menjadi: kegagalan pertumbuhan tulang dan idiopatik. Kegagalan
pertumbuhan tulang dibagi menjadi: (1)Akondroplasia; (2) Morculo disease;
(3) Osteopetrosis; (4) Eksostosis herediter multipel. Idiopatik yaitu
hipertrofi tulang pada arkus vertebralis. Sedangkan stenosis sekunder
menurut sifatnya dibagi menjadi (1) Degeneratif yaitu degeneratif
spondilolistesis; (2) Iatrogenik yaitu post-laminektomi, post-artrodesis, postdisektomi; (3) Akibat kumpulan penyakit yaitu akromegali, paget diseases,
fluorosis, ankylosing spondylitis; (4) Post-fraktur; (5) Penyakit tulang
sisitemik; (6) Tumor baik primer maupun sekunder.6
Berdasarkan anatomi lumbar spinal canal stenosis dapat dibagi
menjadi
sentral
stenosis, lateral
stenosis, foraminal
stenosis
dan
ekstraforaminal stenosis. Central stenosis biasanya terjadi pada tingkat
diskus sebagai hasil dari pertumbuhan berlebih sendi facet terutama aspek
inferior prosesus articularis vertebra yang lebih ke cranial serta penebalan
dan hipertrofi ligamentum falvum. Lateral stenosis dapat mengenai daerah
resesus lateralis dan foramen intervertebralis. Stenosis resesus lateralis yang
terjadi sebagai akibat dari perubahan degeneratif sama halnya dengan
central spinal stenosis, mempengaruhi kanal akar saraf pada tingkat diskus
dan aspek superior pedikel. Foraminal stenosis paling sering terjadi di
tingkat diskus, biasanya dimulai dari bagian inferior foramen. Stenosis jenis
ini menjadi penting secara klinis walaupun hanya melibatkan aspek
superiornya saja pada level intermediet, karena pada level ini akar saraf
keluar dari bagian lateral, sebelah inferior pedikel dimana dia bisa ditekan
oleh material diskus atau tulang yang mengalami hipertrofi yang
membentuk osteofit dari aspek inferior vertebra chepalis atau dari prosesus
artikularis superior vertebra caudalis. Ekstraforaminal stenosis kebanyakan
karena akar saraf pada L5 terjebak oleh osteofit, diskus, prosesus
transversus, atau articulatio sacroilliacal.1,4,7
2.9. Gejala Klinis
Pasien dengan stenosis spinalis lumbalis sebagian besar mengalami
keluhan saat berdiri atau berjalan. Gejala atau tanda yang muncul saat
berjalan berkembang menjadi claudicatio neurogenik. Dalam beberapa
10
waktu, jarak saat berjalan akan bertambah pendek, kadang-kadang secara
mendadak pasien mengurangi langkahnya. Gejala yang muncul biasanya
akan sedikit sekali bahkan pada pasien yang dengan kasus lanjut.2
Gejala dan tanda yang menetap yang tidak berhubungan dengan
postur tubuh disebabkan oleh penekanan permanen pada akar saraf. Nyeri
tungkai bawah, defisit sensorik motorik, disfungsi sistem kemih atau
impotensi seringkali dapat ditemukan.2
Gejala dan tanda yang intermiten muncul ketika pasien berdiri,
termasuk nyeri pinggang bawah, nyeri alih, atau kelemahan pada punggung.
Gejala-gejala ini berhubungan dengan penyempitan recessus lateralis saat
punggung meregang. Oleh karena itu, gejala-gejala akan dipicu atau
diperburuk oleh postur tubuh yang diperburuk oleh lordosis lumbal,
termasuk berdiri, berjalan terutama menuruni tangga atau jalan menurun,
dan termasuk juga memakai sepatu hak tinggi.2
Nyeri pinggang bawah adalah keluhan yang paling umum muncul
dalam waktu yang lama sebelum munculnya penekanan radikuler.
Kelemahan punggung merupakan keluhan spesifik dari pasien dimana
seolah-olah punggung akan copot, kemungkinan akibat sensasi proprioseptif
dari otot dan sendi tulang belakang. Kedua keluhan, termasuk juga nyeri
alih (nyeri pseudoradikuler) disebabkan oleh instabilitas segmental tulang
belakang dan akan berkurang dengan perubahan postur yang mengurangi
posisi lordosis lumbalis : condong ke depan saat berjalan, berdiri, duduk
atau dengan berbaring. Saat berjalan, gejala permanen dapat meluas ke
daerah dermatom yang sebelumnya tidak terkena atau ke tungkai yang lain,
menandakan terlibatnya akar saraf yang lain. Nyeri tungkai bawah dapat
berkurang, yang merupakan fenomena yang tidak dapat dibedakan. Karena
pelebaran foramina secara postural, beberapa pasien dapat mengendarai
sepeda tanpa keluhan, pada saat yang sama mengalami gejala intermiten
hanya setelah berjalan dengan jarak pendek.2
Claudicatio intermiten neurogenik dialami oleh 80% pasien,
tergantung kepada beratnya penyempitan canalis spinalis. Tanda dan gejala
yang mengarahkan kepada hal tersebut adalah defisit motorik, defisit
11
sensorik, nyeri tungkai bawah, dan kadang-kadang terdapat inkontinensia
urin. Beristirahat dengan posisi vertebra lumbalis yang terfleksikan dapat
mengurangi gejala, tapi tidak dalam posisi berdiri, berlawanan dengan
claudicatio
intermiten
vaskuler.
Claudicatio
intermiten
neurogenik
disebabkan oleh insufisiensi suplai vaskuler pada satu atau lebih akar saraf
dari cauda equina yang terjadi selama aktivitas motorik dan peningkatan
kebutuhan oksigen yang berhubungan dengan hal tersebut. Daerah fokal
yang mengalami gangguan sirkulasi tersebt muncul pada titik tempat
terjadinya penekanan mekanik, dengan hipereksitabilitas neuronal yang
berkembang menjadi nyeri atau paresthesia Demielinasi atau hilangnya serat
saraf dalam jumlah besar akan berkembang menjadi kelemahan atau rasa
kebal. Efek lain dari penekanan mekanik adalah perlekatan arachnoid yang
akan memfiksasi akar saraf dan menganggu sirkulasi CSF di sekitarnya
dengan akibat negatif pada metabolismenya.2
Spinal stenosis biasanya berkembang perlahan-lahan selama jangka
waktu yang panjang. Hal ini karena penyebab utama stenosis tulang
belakang adalah degenerasi. Gejala jarang berkembang dengan cepat ketika
degenerasi etiologi utama.
Pasien dengan stenosis tidak selalu merasa sakit punggung. Gejala
lebih tampak pada kelemahan di kaki, biasanya di kedua kaki pada waktu
yang sama.
Gejala terutama mempengaruhi sensasi pada tungkai bawah. Tekanan
saraf dari stenosis dapat menyebabkan rasa kesemutan pada kulit. Refleks
menjadi melambat. Terkadang ada juga sensasi aneh seperti air mengalir di
kaki.
2.10. Pemeriksaan
A. Pemeriksaan Laboratorium
Tidak ada indikasi pemeriksaan laboratorium.1
B. Pemeriksaan Radiologis
 X-ray
Foto X-ray polos dengan arah anteroposterior, lateral dan oblique
berguna untuk menunjukkan lumbalisasi atau sakralisasi, menentukan
bentuk foramina intervertebralis dan facet joint, menunjukkan
12
spondilosis,
spondiloarthrosis,
retrolistesis,
spondilolisis,
dan
spondilolistesis. Stenosis spinalis centralis atau stenosis recessus
lateralis tidak dapat ditentukan dengan metode ini.2
 CT-scan
CT-scan adalah metode terbaik untuk mengevaluasi penekanan
osseus dan pada saat yang sama juga nampak struktur yang lainnya.
Dengan potongan setebal 3 mm, ukuran dan bentuk canalis spinalis,
recessus lateralis, facet joint, lamina, dan juga morfologi discuss
intervertebralis, lemak epidural dan ligamentum clavum juga terlihat.2
 MRI
MRI dengan jelas lebih canggih daripada CT dalam visualisasi
struktur non osseus dan saat ini merupakan metode terbaik untuk
mengevaluasi isi canalis spinalis. Disamping itu, di luar dari
penampakan degradasi diskus pada T2 weighted image, biasanya tidak
dilengkapi informasi penting untuk diagnosis stenosis spinalis
lumbalis.
Bagaimanapun
juga,
dengan
adanya
perkembangan
pemakaian MRI yang cepat yang merupakan metode non invasif,
peranan MRI dalam diagnosis penyakit ini akan bertambah.
Khususnya kemungkinan untuk melakukan rangkaian fungsional
spinal lumbalis akan sangat bermanfaat.2
Sangat penting bahwa semua gambaran radiologis berhubungan
dengan gejala-gejala, karena penyempitan asimptomatik yang terlihat
pada MRI atau CT sering ditemukan baik stenosis dari segmen yang
asimptomatik atau pasien yang sama sekali asimptomatik dan
seharusnya tidak diperhitungkan.
Cara terbaik untuk melihat efek dan tingkat stenosis tulang
belakang lumbar adalah dengan Magnetic Resonance Imaging (MRI)
scan. Mesin MRI menggunakan gelombang magnetik daripada sinarX untuk menunjukkan jaringan lunak tubuh. Tes ini memberikan
gambaran yang jelas dari kanal tulang belakang dan apakah saraf di
dalam menyempit.
 Elektromiogram
13
Elektromiogram memeriksa apakah jalur motor saraf bekerja
dengan benar. Motor perjalanan impuls ke syaraf dan bekerja untuk
memberikan energi otot.
 Somatosensori (SSEP)
Somatosensori (SSEP) adalah tes untuk mencari lebih tepatnya di
mana saraf tulang belakang menyempit. SSEP digunakan untuk
mengukur sensasi saraf. Impuls sensorik perjalanan sampai saraf,
menginformasikan tentang sensasi tubuh seperti rasa sakit, suhu, dan
sentuhan.
2.11. Penatalaksanaan
Pengobatan harus disesuaikan dengan pasien, usia dan tujuan. Pada
kebanyakan pasien dapa dicapai perbaikan yang nyata atau berkurangnya
gejala-gejala. Gejala-gejala radikuler dan claudicatio intermitten neurogenik
lebih mudah berkurang dengan pengobatan daripada nyeri punggung, yang
menetap sampai pada 1/3 pasien.2
A. Konservatif
Pengobatan ini terdiri dari analgesik dan memakai korset lumbal
yang mana dengan mengurangi lordosis lumbalis dapat memperbaiki
gejala dan meningkatkan jarak saat berjalan. Pada beberapa kelompok
pasien, perbaikan yang mereka rasakan cukup memuaskan dan jarak saat
berjalan cukup untuk kegiatan sehari-hari.2
Korset dapat digunakan untuk mobilisasi, meskipun manfaatnya
kontroversial. Korset lumbosakral tidak memberikan keuntungan jangka
panjang. Korset dapat membatasi tekanan di cakram dan mencegah
gerakan ekstra di tulang belakang. Tetapi juga dapat menyebabkan otot
punggung dan perut melemah. Biasanya pemakaian korset dianjurkan
selama satu hingga dua minggu.
Percobaan dalam 3 bulan direkomendasikan sebagai bentuk
pengobatan awal kecuali terdapat defisit motorik atau defisit neurologis
yang progresif. Terapi konservatif untuk stenosis spinalis lumbalis
dengan gejala-gejala permanen jarang sekali berhasil untuk waktu yang
lama, berbeda dengan terapi konservatif untuk herniasi diskus.2
14
Terapi medis dipergunakan untuk mencari penyebab sebenarnya
dari gejala nyeri punggung dan nyeri skiatika.1
 Jangan menyimpulkan bahwa gejala pada pasien berhubungan dengan
osteofitosis. Carilah penyebab sebenarnya dari gejala pada pasien.
 Jika muncul gejala terkenanya akar saraf, maka diindikasikan untuk
bed rest total selama dua hari. Jika hal tersebut tidak mengatasi
keluhan, maka diindikasikan untuk bedah eksisi.
 Pengobatan tidak diindikasikan pada keadaan tanpa komplikasi.
B. Terapi Pembedahan (Operatif)
Terapi pembedahan diindikasikan jika terapi konservatif gagal dan
adanya gejala-gejala permanen khususnya defisit mototrik. 2 Pembedahan
tidak dianjurkan pada keadaan tanpa komplikasi.1
Bedah eksisi dilakukan pada skiatika dengan bukti adanya
persinggungan dengan nervus skiatika yang tidak membaik dengan bed
rest total selama 2 hari.1
 Penekanan saraf dari bagian posterior osteofit adalah penyulit yang
mungkin terjadi hanya jika sebuah neuroforamen ukurannya
berkurang 30% dari normal.
 Reduksi tinggi discus posterior samapi kurang dari 4 mm atau tinggi
foramen sampai kurang dari 15 mm sesuai dengan diagnosis kompresi
saraf yang diinduksi osteofit.
 Jika spondilosis lumbalis mucul di canalis spinalis, maka stenosis
spinalis adalah komplikasi yang mungkin terjadi.
 Jika osteofit menghilang, carilah adanya aneurisma aorta. Aneurisma
aorta dapat menyebabkan erosi tekanan dengan vertebra yang
berdekatan. Jika osteofit muncul kembali, tanda yang pertama muncul
seringkali adalah erosi dari osteofit-osteofit tersebut, sehingga tidak
nampak lagi.
 Terdapat kasus adanya massa tulang setinggi L4 yang menekan
duodenum.
Terapi pembedahan tergantung pada tanda dan gejala klinis, dan
sebagian karena pendekatan yang berbeda terhadap stenosis spinalis
lumbalis, tiga kelompok prosedur operasi yang dapat dilakukan anatara
lain :
15
 Operasi dekompresi
 Kombinasi dekompresi dan stabilisasi dari segmen gerak yang tidak
stabil
 Operasi stabilisasi segmen gerak yang tidak stabil
Prosedur dekompresi adalah dekompresi
kanalis
spinalis,
dekompresi kanalis spinalis dengan dekompresi recessus lateralis dan
foramen intervertebralis, dekompresi selektif dari akar saraf.
 Dekompresi kanalis spinalis
Laminektomi adalah metode standar untuk dekompresi kanalis
spinalis bagian tengah. Keuntungannya adalah biasanya mudah
dikerjakan dan mempunyai angka kesuksesan yang tinggi. Angka
kegagalan dengan gejala yang rekuren adalah ¼ pasien setelah 5
tahun. Terdapat angka komplikasi post operatif non spesifik dan
jaringan parut epidural yang relatif rendah.
Secara tradisional, laminektomi sendiri diduga tidak menganggu
stabilitas spina lumbalis, selama struktur spina yang lain tetap intak
khususnya pada pasien manula. Pada spina yang degeneratif, bagian
penting yang lain seperti diskus intervertebaralis dan facet joint
seringkali
terganggu.
Hal
ini
dapat
menjelaskan
adanya
spondilolistesis post operatif setelah laminektomi yang akan
memberikan hasil yang buruk.
Laminektomi dikerjakan pada keadaan adanya spondilolistesis
degeneratif atau jika terdapat kerusakan operatif dari diskus atau facet
joint. Terdapat insiden yang tinggi dari instabilitas post operatif.
Dengan menjaga diskus bahkan yang sudah mengalami degenerasi,
nampaknya membantu stabilitas segmental. Untuk alasan inilah maka
discectomy tidak dianjurkan untuk stenosis spinalis lumbalis dimana
gejalanya ditimbulkan oleh protrusio atau herniasi, kecuali diskus
yang terherniasi menekan akar saraf bahkan setelah dekompresi
recessus lateralis.
Jaringan parut epidural muncul setelah laminektomi dan kadangkadang berlokasi di segmen yang bersebelahan dengan segmen yang
16
dioperasi. Jika jaringan parut sangat nyata, hal ini disebut dengan
“membran post laminektomi”. Autotransplantasi lemak dilakukan
pada epidural oleh beberapa ahli bedah untuk mengurangi fibrosis.
Walaupun beberapa telah berhasil, pembengkakan lemak post operatif
dapat mengakibatkan penekanan akar saraf.
Dekompresi harus dilakukan pada pasien dengan osteoporosis.
Sebaiknya dilakukan dengan hati-hati karena instabilitas post operatif
sangat sulit diobati.
Laminektomi dengan facetectomy parsial adalah prosedur
standar stenosis laminektomi tunggal cukup untuk stenosis kanalis
spinalis, sehingga biasanya digabungkan dengan beberapa bentuk
facetectomy parsial. ”Unroofing” foramen vertebralis dapat dikerjakan
hanya dari arah lateral sebagaimana pada herniasi diskus foramina.
Kemungkinan cara yang lain dikerjakan adalah prosedur laminoplasti
dengan memindahkan dan memasukkan kembali lengkung laminar
dan processus spinosus.
 Dekompresi selektif akar saraf
Kecuali terdapat penyempitan diameter sagital kanalis spinalis,
dekompresi selektif akar saraf sudah cukup, khususnya jika pasien
mempunyai gejala unilateral. Facetectomy medial melalui laminotomi
dapat dikerjakan. Biasanya
bagian medial
facet joint yang
membungkus akar saraf diangkat.
Komplikasi spesifik prosedur ini antara lain insufisiensi
dekompresi, instabilitas yang disebabkan oleh pengangkatan 30-40%
dari facet joint, atau fraktur fatique dari pars artikularis yang menipis.
 Dekompresi dan stabilisasi
Laminektomi dapat digabungkan dengan berbagai metode
stabilisasi. Sistem terbaru menggunakan skrup pedikuler, sebagaimana
pada sistem yang lebih lama seperti knodt rods, harrington rods dan
Luque frame dengan kawat sublaminer.
17
Laminektomi spondilolistesis degeneratif dan penyatuan prosesus
intertranvesus dengan atau tanpa fiksasi internal adalah prosedur
standar. Untuk alternatifnya dapat dilakukan penyatuan interkorpus
lumbalis posterior atau penyatuan interkorpus anterior. Beberapa ahli
mengatakan, laminektomi dengan penyatuan spinal lebih baik
daripada
laminektomi
tunggal
karena
laminektomi
tunggal
berhubungan dengan insiden yang tinggi dari spondilolistesis
progresif.
Komplikasi prosedur stabilisasi termasuk di dalamnya kerusakan
materi osteosintetik, trauma neurovaskuler, fraktur prosesus spinosus,
lamina atau pedikel, pseudoarthrosis, ileus paralitik, dan nyeri tempat
donor graft iliakus. Degenerasi dan stenosis post fusi dapat muncul
pada segmen yang bersebelahan dengan yang mengalami fusi yang
disebabkan oleh hipermotilitas. Walaupun hasil percobaan mendukung
teori ini, efek klinis dari komplikasi ini masih belum dapat diketahui.
Berbeda dari spondilolistesis degeneratif dimana dekompresi dan
stablisasi adalah prosedur yang dianjurkan, tidak terdapat konsensus
bahwa hal ini merupakan pengobatan yang paling efektif. Stenosis
spinalis lumbalis diterapi dengan pembedahan dalam rangkaian
operasi yang banyak dengan hasil jangka pendek yang baik. Namun
demikian, setelah lebih dari 40 tahun, penelitian dna pengalaman
dalam terapi, etiologinya masih belum dapat dimengerti secara jelas
dan juga, definisi dan klasifikasi masih belum jelas karena derajat
stenosis tdak selalu berhubungan dengan gejala-gejalanya.
Protokol pembedahan yang dianjurkan antara lain :
a. Pada pasien dengan gejala-gejala permanen yang bertambah saat
berdiri atau menyebabkan claudicatio intermitten neurogenik
dilakukan dekompresi dan stabilisasi
b. Pada pasien tanpa gejala-gejala yang permanen tapi dengan gejala
intermitten yang jelas berhubungan dengan postur dilakukan
prosedur stabilisasi, terutama jika keluhan membaik dengan korset
lumbal.
18
Penurunan berat badan dan latihan untuk memperbaiki postur
tubuh dan menguatkan otot-otot abdominal dan spinal harus
dikerjakan bersama dengan pengobatan baik konservatif maupun
pembedahan.
Gambar 2.4. Laminektomi
2.12. Komplikasi
Skoliosis degeneratif didefinisikan sebagai suatu keadaan yang
ditemukan pada usia paruh baya dan usia lanjut, dengan berat skoliosis lebih
dari 10°. Keadaan ini biasanya terletak pada daerah punggung bawah atau
lumbal, dan seringkali menyertai hilangnya lordosis atau kesegarisan
lumbal, serta pergeseran tulang (vertebra) ke arah samping (lateral) atau
depan (ventral) pada satu tingkat atau lebih. Degenerasi sendi faset dan
diskus dapat menyebabkan pergeseran berputar (rotasi) dan translasi
(listesis), yang merupakan titik awal penyebab skoliosis.
Indikasi tersering dilakukannya operasi pada skoliosis degeneratif
adalah stenosis tulang belakang yang tidak membaik dengan terapi
konservatif seperti pengobatan, akupunktur, dan fisioterapi. Nyeri punggung
merupakan indikasi yang lebih jarang untuk intervensi bedah. Dekompresi
dapat menyebabkan sebagian besar faset harus diangkat, dan dengan
demikian operasi seringkali melibatkan fusi in situ atau koreksi deformitas
ditambah fusi.5
2.13. Prognosis
19
Prognosis baik bila dekompresi adekuat, stabilitas sendi facet terjaga,
pembedahan lebih awal, pemakaian korset post-op, latihan pasca operasi.
Prognosis buruk bila terjadi dominan back pain, segmen yang terkena
multilevel, penundaan lama pembedahan, terdapat tanda defisit neurologis,
wanita, operasi sebelumnya gagal, pasien dengan penyakit sistemik kronis.5
Download