Inovasi Di Instansi Pemerintah

advertisement
Inovasi Di Instansi Pemerintah:
Antara Resistensi Dan Inkompetensi1
Oleh. Haris Faozan
Background
Seiring dengan beranjak dewasanya usia sebuah bangsa, sejalan dengan terus
berkembangnya pola pikir masyarakat, dan senapas dengan perubahan global yang tiada
henti memprovokasi warga negara kita, maka tibalah saatnya seluruh instansi
pemerintah Indonesia untuk segera membuka mata dan hati serta melakukan pengkajian
ke dalam diri masing-masing, kemudian bertanyalah:” Hal terbaik apa yang sudah kami
berikan kepada bangsa ini?”. Hal demikian untuk mengingatkan kembali bahwa institusi
pemerintah merupakan wakil Tuhan di muka bumi yang mengemban amanah Tuhan
guna mewujudkan kebaikan di muka bumi –kedamaian, kemakmuran, kesejahteraan,
keadilan dan sebagainya.
Pernyataan tersebut bukanlah sesuatu yang relatif baru, melainkan jauh lebih tua dari
bangsa Indonesia sendiri, bahkan jauh sebelum tanah air kita dikuasai oleh kolonial
Belanda. Tetapi mengapa hal ini perlu diangkat kembali? Tentu sudah sangat jelas
permasalahannya yaitu karena kedamaian, kemakmuran, kesejahteraan, dan keadilan
belum dapat dirasakan oleh sebagian besar penghuni bumi Indonesia ini. Memang
bukan pekerjaan yang mudah untuk mewujudkan itu semua. Dibutuhkan komitmen dan
kesabaran yang luar biasa untuk bisa mencapai semua itu. Pertanyaan mendasarnya
adalah: apakah kita bisa mencapai hal demikian? Memang perlu disadari bahwa “untuk
mencapai sesuatu yang besar tidaklah mudah, tetapi mencapai sesuatu yang besar
bukanlah sesuatu yang mustahil”.
Pada esensinya tulisan ringan ini berusaha kembali menebar semangat bagi seluruh
instansi pemerintah di Indonesia baik Pusat maupun Daerah untuk menjadi institusi
yang bersih, mumpuni, inovatif dan akuntabel. Isi paper akan dimulai dengan
memaparkan beberapa penyebab rendahnya inovasi di lingkungan instansi pemerintah.
Kemudian dilanjutkan uraian mengenai pentingnya inovasi di instansi pemerintah.
Terakhir, paper akan ditutup dengan kesimpulan.
1
Tulisan ini pernah diikutsertakan dalam lomba karya tulis internal LAN Tahun 2002 dan mendapatkan predikat
Terbaik Kedua. Terbit dalam buku MENDOBRAK BUDAYA LAMA ORGANISASI BIROKRASI: Menanamkan
Budaya Baru Berbasis Kinerja (Haris Faozan, 2003). Pusat Kajian Kinerja Kelembagaan Lembaga Administrasi
Negara, Jakarta.
1
Penyebab Kebuntuan Inovasi Di Pemerintahan
Banyaknya keterbatasan yang membebani instansi pemerintah –Pusat dan Daerahbukan saatnya lagi dijadikan alasan mendasar bagi rendahnya kinerja instansi
pemerintah. Mengapa? Karena masyarakat tidak toleran dengan keterbatasan tersebut.
Yang masyarakat tahu adalah bahwa pemerintah bertanggungjawab untuk menciptakan
perbaikan sosial (social betterment) dan sebaliknya bukan untuk memelopori
kehancuran sosial (social destruction). Masyarakat awam tidak tahu dengan apa yang
sedang diguncingkan di lingkungan internal pemerintah, tetapi yang pasti masyarakat
pada umumnya menunggu-nunggu gebrakan pemerintah yaitu berbagai langkah kreatif
dan inovatif guna memperbaiki keadaan.
Langkah-langkah kontroversi yang telah ditempuh pemerintah beberapa waktu lalu
diantaranya adalah divestasi saham BCA dan INDOSAT. Mungkin ini yang disebut
inovasi oleh pemerintah Indonesia, dimana menurut banyak kalangan bahwa langkah
tersebut adalah something stupid yang seharusnya tidak boleh dibiarkan. Langkah lain
yang dilakukan oleh pemerintah adalah menaikkan harga BBM pada saat hangatnya
tahun baru 2003 masih tercium baunya.
Kenaikan tariff listrik, telepon, dan transportasi semakin mencengangkan banyak pihak
–para akademisi, mahasiswa, dan tentunya juga wong cilik. Dampak dari kenaikan harga
dan tarif tersebut tentu akan diikuti pula dengan naiknya harga bahan pokok, barangbarang manufaktur bahkan mungkin juga jasa-jasa yang diupayakan oleh pemerintah
sendiri. Sangat menakjubkan memang pemerintah kita, belum lagi mampu memberikan
pelayanan yang diharapkan masyarakat, pemerintah sudah meminta kembali untuk
dipenuhi harapannya. Apa yang dapat kita harapkan dari Pemerintah?
Pemerintah yang berpihak kepada masyarakat, kreatif, ulet, jujur dan bertanggungjawab
untuk menciptakan perbaikan sosial adalah karakter pemerintah yang diharapkan
masyarakatnya. Tetapi mengharapkan hal seperti ini tampaknya bagaikan mimpi di
siang hari. Untuk mengharapkan instansi pemerintah yang kreatif dan inovatif saja
sepertinya bagaikan biduk merindukan bulan. Mengapa? Karena tidak sedikit masalah
internal instansi pemerintah –Pusat dan Daerah- yang belum dapat disentuh secara
memadai. Menurut Farago & Skyrme (1995). setidaknya masalah-masalah tersebut
dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1. Learning Culture. Budaya pembelajaran di kalangan instansi pemerintah tampak
semakin meredup. Sedangkan di satu sisi karakteristik budaya pembelajaran
berkaitan sangat kuat terhadap inovasi sebuah organisasi.
2. Processes. Proses manajemen kunci berorientasi kepada internal per se,
terkungkung di dalam wilayah internal yang membutakan wawasan dan
pengetahuan penghuni-penghuni di dalamnya. Hal ini seringkali menimbulkan
prasangka bahwa sebagian besar institusi pemerintah disekitarnya bukanlah
mitra tetapi pesaing yang harus dikalahkan.
2
3. Tools and Techniques. Metode yang berkembang hanya dianggap sebagai
tontonan, bukan dikaji agar mampu menciptakan kreativitas dan pemecahan
masalah bagi individu dan kelompok.
4. Skills and Motivation. Kurang memadainya motivasi sumberdaya manusia
aparatur mengakibatkan rendahnya keinginan untuk belajar, sedangkan
terbatasnya keahlian mereka berakibat pada ketidakmampuan mereka dalam
beradaptasi dengan perubahan-perubahan yang terus bergerak tanpa belas kasih.
Kelompok-kelompok masalah tersebut bagaikan bola salju, semakin dibiarkan
menggelinding akan semakin besar. Dengan himpunan masalah yang bertambah besar
tentu akan membutuhkan penyelesaian yang semakin rumit. Singkat kata, pemerintah
harus mampu menghentikannya, lebih cepat lebih baik. Artinya bahwa pemerintah harus
segera introspeksi dan berbenah diri selagi masih memiliki kesempatan, sehingga pada
suatu saat nanti dapat mewariskan kebaikan bukannya puing-puing kehancuran.
Dapat dipastikan bahwa semua literatur yang membahas topik kepemimpinan
(leadership) –teori, perilaku dan pengembangan organisasi, ilmu administrasi dan
manajemen, sosiologi dan sebagainya- mengatakan bahwa kepemimpinan memegang
peranan penting bagi maju-mundurnya sebuah organisasi. Seorang yang dijuluki oleh
the Harvard Business Review sebagai one of the new gurus’ of management thinking,
Senge (1996) mengatakan:
“Truly innovative, adaptive companies recognize that healthy leadership ecology
requires three kind of leaders: local line leaders…, internal networkers…, and
executive leaders. All three have essential role to play. Without the initiative of
local line leaders, no change effort will get very far. Without internal networkers,
innovative practices rarely spread. Without executive leadership, the overall
corporate climate will continually thwart basic innovation”.
Pernyataan ini bagi para pimpinan instansi pemerintah barangkali tidak memiliki arti
apa-apa, karena menurut mereka hal tersebut hanya berlaku bagi pimpinan perusahaan
(company’s leaders) bukan diperuntukkan bagi pimpinan instansi pemerintah. Namun
demikian, barangkali sudah saatnya para pimpinan instansi pemerintah –para pejabat di
jajaran pemerintah pusat dan daerah- menyadari bahwa dalam satu dekade terakhir,
ilmu-ilmu yang selama ini hanya dioptimalkan oleh sektor bisnis telah merambah ke
dalam sektor publik atau pemerintah2. Namun sayangnya, sebagian besar para pimpinan
yang telah menerima materi berharga dalam diklat kepemimpinan, menganggap bahwa
hal itu hanya perlu diketahui dan dipelajari hanya pada saat diklat berlangsung, tetapi
Senge (1996) menegaskan “of course, real learning begins when you leave school”.
2
Lihat kurikulum dan muatan materi dalam Diklat Sekolah Pimpinan Administrasi Nasional (SPIMNAS-LAN)
3
Sekilas uraian di atas bermaksud mengingatkan bahwa para pimpinan instansi
pemerintah –dari pejabat terendah hingga tertinggi- memiliki peranan dan kewenangan
penting masing-masing yang harus dipertanggungjawabkan kepada stakeholders dalam
lingkup internal (birokrasi) maupun eksternal (masyarakat luas).
Pentingnya Inovasi Bagi Instansi Pemerintah
Inovasi menjadi terminologi yang sangat penting ketika kita memasuki era pengetahuan
(knowledge era). Inovasi telah menjadi suatu kebutuhan bagi setiap organisasi –publik,
privat, dan pemerintah-- yang ingin melanjutkan keberlangsungan perkembangannya
(sustainability). The Conference Board of Canada (2002:2) mendefinisikan inovasi
sebagai berikut:
“innovation as a process through which economic or social value is extracted
from knowledge/through the generation, development, and implementation of
ideas/ to produce new or improved products, processes, and services”
Inovasi telah menggantikan konsep bertahan hidup (survive) secara total, karena
terminologi “bertahan hidup” telah usang dalam situasi turbulensi (turbulance) dan
perubahan yang serba cepat. Terminologi inovasi bukan lagi hanya untuk manajemen
tingkat menengah atau puncak, tetapi setiap orang di dalam organisasi bertanggung
jawab untuk inovasi personal, tim dan organisasi (Clemmer, 2001). Sejalan dengan
pemikiran tersebut, Senge (1990) mengatakan:
“It is no longer sufficient to have one person learning for the organization, a
Ford or a Sloan or a Watson. It’s just not possible any longer to ‘figure out’
from the top, and have everyone else following the orders of the ‘grand
strategist.’ The organizations that will truly excel in the future will be the
organizations that will truly tap people’s commitment and capacity to learn at
all levels in an organization”.
Senge (1998) dalam papernya “The Practice of Innovation”, merujuk pendapat Peter
Drucker mengenai 3 (tiga) bahan baku dari disiplin inovasi (discipline of innovation),
yaitu misi (mission), visi (vision), dan penilaian hasil (assessment). Meskipun bahan
baku tersebut tampak sederhana, tetapi dalam prakteknya bukanlah sesuatu yang mudah
dilakukan. Hal ini dapat diketahui dari banyaknya organisasi yang belum mampu
menciptakan inovasi secara berkelanjutan atau bahkan seringkali gagal mewujudkan hal
tersebut.
Clemmer (2001) berargumentasi bahwa agar dapat melakukan inovasi secara
berkelanjutan, terdapat empat langkah yang dalam prakteknya harus dijalankan. Dua
langkah pertama tergantung pada keahlian orang-orang atau kepemimpinan. Langkah
4
ketiga dan keempat tergantung pada disiplin sistem dan proses manajemen. Keempat
langkah tersebut yaitu:
1) Exploration- a broad, open search for strategic partnership, unresolve
problems, latent or unmet needs, new markets and customers segments that
potentially fit the organization’s Context and Focus (vision, values, and
purpose) as well as core competencies.
2) Experimentation- pilots, clumsy tries, and “mucking around” to test the
potential opportunity for viability and to learn what would be needed to make it
successful.
3) Development- major resources are now commited to fully developing or refining
the few new products, services, or businesses that are clearly ready to be
capitalized on.
4) Integration- the new product, service, or business enters the organization’s
mainstream.
Dari uraian di atas, sangat jelas bahwa inovasi sebuah organisasi tidak bisa lepas dari
kemampuan organisasi dalam belajar (learning). Oleh karena itu, pembelajaran di dalam
organisasi atau penciptaan pengetahuan organisasi menjadi pokok bahasan yang
semakin dominan dan semakin terkait erat dengan inovasi organisasi.
Untuk mengupas pembelajaran organisasi atau penciptaan pengetahuan organisasi, perlu
kiranya mempelajari secara teliti teori yang dikembangkan oleh Ikujiro Nonaka yang
telah diberi gelar “Mr. Knowledge” oleh Sloan Management Review. Model siklus
pembelajaran organisasi yang dikembangkan oleh Nonaka dan Takeuchi disebutnya
“the five phase model of the organizational knowledge-creation” (lihat juga Nonaka,
1994, 1996; von Grogh et al., 2000). Model tersebut berdasarkan pada spiral penciptaan
pengetahuan organisasi, dengan menggunkan 2 dimensi yaitu Epistemological dan
Ontological. Dimensi epistemologi terdiri dari tacit dan explicit kowledge sebagai kunci
utamanya dan termasuk juga dalam proses pergeseran/perubahan diantara perbedaan
cara konversi pengetahuan.
Konversi pengetahuan dimulai dari 1) socialization (field building), dilanjutkan dengan
2) externalization (dialog atau refleksi bersama), kemudian 3) combination (keterkaitan
dengan explicit knowledge), dan diakhiri dengan 4) internalization (learning by doing)
atau siklus tersebut akan diulang kembali. Dimensi epistemologi dan ontologi
dikombinasikan dengan 5 kondisi yang mendukung (enabling conditions) yaitu
kesungguhan maksud/tujuan (intention), otonomi (autonomy), (fluctuation/crative
chaos), redundancy, dan variasi-variasi yang diperlukan (requisite variety) misalnya
perbedaan internal sebuah organisasi. Kombinasi antara dimensi epistemologi dan
ontologi dengan enabling condition adalah untuk menciptakan proses model 5 (lima)
fase penciptaan pengetahuan organisasi (the five phase model of organizational
knowledge-creation process).
5
Sangat jelas kiranya, bahwa untuk menjadi intitusi pemerintah yang inovatif perlu
melakukan perubahan budaya besar-besaran yang mampu menghalau habis budayabudaya konvensional yang tidak kondusif. Jalan utama yang perlu dikembangkan adalah
membangun proses pembelajaran organisasi atau penciptaan pengetahuan organisasi
sebagai basis perdana dan utama membangun inovasi organisasi menuju keunggulan
daya saing (competitive advantage).
Kecenderungan instansi pemerintah kita adalah menerapkan exploitative learning –dan
seringkali juga kurang memadai-- karena visi dan misi yang dikembangkan tidak
merasuk ke dalam jiwa para anggotanya dan bahkan para pimpinannya. Hal ini bisa
ditelusuri melalui berbagai rutinitas yang seringkali tidak menantang dan justru
menjemukan. Menurut Antal (2002) terdapat beberapa hal yang menyebabkan
organisasi sulit melakukan pembelajaran:
1)
Struktur organisasi seringkali menghalangi alur atau aliran pengetahuan dari
satu bagian organisasi ke bagian yang lain dan budaya organisasi tidak
menghargai (devalues) pengetahuan yang berada diluar struktur kekuasaan inti
(core power structure).
2)
Organisasi (terutama organisasi yang memiliki sejarah keberhasilan yang
panjang) seringkali memelihara pendekatan tradisional dimana tidak lagi tepat
untuk memecahkan masalah yang berkembang.
3)
Organisasi memiliki informasi (bukan pengetahuan) yang melebihi kapasitas
sehingga menyulitkan dalam melihat sinyal-sinyal yang relevan.
Tentu kita bisa merasakan betapa komitmen para pimpinan instansi pemerintah jauh
dari memadai, tidak visioner, apatis dengan kemajuan organisasi dan berbagai hal yang
acapkali membuat frustrasi. Dari berbagai literatur yang ada menyebutkan bahwa pada
umumnya tanggungjawab mengenai pembelajaran organisasi menyebar keseluruh
penjuru organisasi. Tetapi perlu diketahui bahwa peranan pucuk pimpinan adalah untuk
mendukung (enabling) pembelajaran organisasi ketimbang mengatur atau mengontrol
hal ini secara langsung.
Sementara itu, inovasi adalah suatu proses berkelanjutan dan berkembang tanpa henti.
Dalam prosesnya, inovasi membutuhkan pembelajaran eksploratif (explorative
learning) yaitu pencarian pengetahuan baru atau sesuatu yang mungkin datang untuk
diketahui, dan bukannya menekankan pembelajaran eksploitatif (exploitative learning)
yang hanya menggunakan dan mengembangkan sesuatu yang telah diketahui.
6
Penutup
Meskipun perkembangan teori pembelajaran organisasi (organizational learning theory)
atau penciptaan pengetahuan organisasi (organizational knowledge creation theory)
bergerak secara dinamis, tetapi dalam prakteknya hanya diaplikasikan terbatas pada
perusahaan-perusahaan dan pemerintahan negara-negara besar dunia. Sedangkan
perusahaan pada tingkat menengah dan pemerintahan negara-negara kelas dua sebagian
besar belum berorientasi ke arah tersebut.
Banyak faktor penghambat untuk melakukan praktek pembelajaran organisasi atau
penciptaan pengetahuan di dalam instansi pemerintah, diantaranya adalah keengganan
yang mengakar cukup kuat pada diri pimpinan instansi pemerintah. Hal ini ditandai dari
keengganan para pimpinan untuk memfasilitasi secara memadai bagi berlangsungnya
proses pembelajaran organisasi atau penciptaan pengetahuan.
Faktor lain yang tidak kalah penting adalah ketidakmampuan para pimpinan instansi
pemerintah mengawali babak baru pembelajaran atau penciptaan pengetahuan atau
inovasi di instansinya. Perasaan tidak mampu tumbuh dari pandangan mereka yang
selalu mengecilkan arti (under estimate) semua sumberdaya yang tersedia di instansinya
baik itu infrastruktur, perlengkapan, maupun sumberdaya manusianya. Yang sangat
memprihatinkan dari kondisi ini adalah bahwa para pimpinan instansi pemerintah jarang
berusaha sungguh-sungguh untuk menemukan solusi optimal.
Bagaimana kita menyikapi keadaan seperti ini? Tentu harus ada perubahan secara
radikal di tubuh instansi pemerintah baik Pusat maupun Daerah. Perubahan radikal
seperti itu dalam kosa kata Gary Hamel adalah REVOLUTION. Revolusi dalam konteks
ini adalah perubahan radikal secara menyeluruh di dalam tubuh instansi pemerintah
guna mencapai kinerja tinggi. Mampukah instansi pemerintah berbuat demikian?
Apabila tidak, maka apalah arti keberadaannya?
7
Referensi
Antal, A.B. (2002), Organizational Learning and its Relevance for Corporate
Sustainability. Ensuring Openness without Reinventing the Wheel. A paper at
Okologisches Wirtschaften, Ausgabe 5/2002, S. 11-13
Clemmer, J (2001). A Processes for Continuous innovation and Controlled Chaos is
Built on a Service Ethic. <http://www.clemmer-group.com/excerpts/
propcess_chaos.shtml>
Clemmer, J. (2001). Pathways to Performance: A Guide to Transforming yourself, Your
Team,
and
Your
Organization.
<http://www.clemmer-group.com
/excerpts/io_pathways2.shtml>
Farago, J. dan Skyrme, D. J., 1995.
http://www/skyrme.com /insights/3lrnorg.htm
The
Learning
Organization,
Nonaka, I. & Takeuchi, H. (1995), The Knowledge Creating Company, New York, NY:
Oxford Univ. Press.
Senge, P. M., 1996. The Ecology of Leadership, In Leader to Leader, 2 (Fall 1996):1823. <http://www.pfdf.org/leaderbooks/121/fall96/senge.html>
Senge, P.M. (1990),The Fifth Disciplin-The Art and Practice of the Learning
Organization, Doubleday, New York.
Senge, P.M. (1998). The Practice of Innovation. In Leader to Leader, 9 (Summer 1998),
halaman 16-22. <http://www.pfdf.org /leaderbooks/121/summer98 /senge.html>
The Conference Board of Canada, Innovation Challenge Paper #1 May 2002, “The
Road to Global Best: Leadership, Innovation and Corporate Culture.
8
Download