bab ii landasan teori

advertisement
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Manajemen
2.1.1 Pengertian Manajemen
Menurut Hasibuan (2013:9) manajemen adalah ilmu dan seni mengatur proses
pemanfaatan sumber daya manusia dan sumber-sumber lainnya secara efektif dan
efisien untuk mencapai suatu tujuan tertentu.
2.1.2 Fungsi-fungsi Manajemen
Setiap manajer menjalankan lima buah fungsi: perencanaan (planning), penataan
(organizing), penugasan (commanding), koordinasi (coordinating), dan pengendalian
(controlling). Robbins (2008:5-6), mengemukakan bahwa pada era modern ini fungsi
manajemen lebih di padatkan menjadi perencanaan (planning), penataan (organizing),
kepemimpinan (leading),dan pengendalian (controlling).
1. Planning
Seorang manajer akan mendefinisikan sasaran-sasaran, menetapkan strategi
untuk mencapai sasaran-sasaran itu, dan mengembangkan rencana kerja untuk
memadukan dan mengkoordinasikan berbagai aktivitas menuju sasaran-sasaran
tersebut.
2. Organizing
Dimana seorang manajer melakukan penataan, ia akan menentukan tugas-tugas
apa yang harus dikerjakan, siapa yang akan melakukannya, bagaimana tugas-
tugas tersebut dikelompokan, siapa yang harus melapor kepada siapa, dan
dimana keputusan- keputusan akan diambil.
3. Leading
Seorang
manager
memotivasi
para
bawahannya,
membantu
mereka
menyelesaikan konflik internal, mengarahkan individu atau kelompok individu
dalam bekerja, memilih metode komunikasi yang paling efektif, atau
menangani beragam isu lainnya yang berkaitan dengan perilaku karyawan.
4. Controlling
Suatu bentuk evaluasi untuk mengetahui sejauh mana segala sesuatunya berjalan
sesuai rencana. Untuk memastikan sasaran-sasaran dapat dicapai dan pekerjaanpekerjaan diselesaikan sebagaimana mestinya, seorang manajer harus mengawasi
dan menilai kinerja aktual. Kinerja aktual ini harus dibandingkan dengan
sasaran-sasaran yang digariskan. Bila sasaran sasaran ini belum tercapai, adalah
tugas manajemen untuk mengembalikannya ada jalur yang benar. Proses
pengawasan, penilaian, dan koreksi ini adalah apa yang disebut sebagai fungsi
pengendalian.
2.1.3 Manajemen Sumber Daya Manusia
Menurut Hasibuan (2013:10) manajemen sumber daya manusia adalah ilmu
dan seni mengatur hubungan dan peranan tenaga kerja agar efektif dan efisien
membantu terwujudnya tujuan perusahaan, karyawan, dan masyarakat. Sedangkan
menurut Mathis dan Jackson (2006:3) manajemen sumber daya manusia (human
resource-HR Management) adalah rancangan sistem-sistem formal dalam sebuah
organisasi untuk memastikan penggunaan bakat manusia secara efektif dan efisien guna
mencapai tujuan-tujuan organisasional.
Jadi menurut pengertian di atas dapat ditarik sebuah kesimpulan b a h w a
manajemen sumber daya manusia adalah ilmu dan seni untuk merancang proses
organisasi dengan pengalokasian sumber daya manusia secara efektif dan efisien untuk
mencapai tujuan organisasi.
2.1.4 Komponen MSDM
Menurut Hasibuan (2013;12), Tenaga kerja manusia pada dasarnya dibedakan
atas pengusaha, karyawan dan pemimpin.
1. Pengusaha
Adalah
setiap
orang
yang
menginvestasikan
modalnya
untuk
memperoleh pendapatan dan besarnya pendapatan itu tidak menentu,
tergantung pada laba yang dicapai perusahaan tersebut.
2. Karyawan
Karyawan merupakan kekayaan utama suatu perusahaan karena tanpa
keikutsertaan mereka, aktivitas perusahaan tidak akan terjadi. Karyawan
berperan aktif dalam menetapkan rencana, system, proses dan tujuan
yang ingin dicapai. Mereka adalah penjual jasa baik dalam hal pikiran
maupun tenaga dan mendapatkan kompensasi yang besarnya telah
ditetapkan terlebih dahulu. Mereka wajib dan terikat untuk mengerjakan
pekerjaan yang diberikan dan berhak memperoleh kompensasi sesuai
dengan perjanjian. Posisi karyawan dalam suatu perusahaan dibedakan
atas karyawan operasional dan karyawan manajerial (pimpinan).
3. Pemimpin atau Manajer
Pemimpin adalah seseorang yang mempergunakan wewenang dan
kepemimpinannya untuk mengarahkan orang lain serta bertanggung
jawab atas pekerjaan orang tersebut dalam mencapai suatu tujuan.
Kepemimpinan adalah gaya seseorang pemimpin mempengaruhi
bawahannya, agar mau bekerja sama dan bekerja efektif. Asas-asas
kepemimpinan adalah bersikap tegas dan rasional, bertindak konsisten
dan berlaku adil dan jujur.
2.1.5 Aktivitas Manajemen Sumber Daya Manusia
Manajemen sumber daya manusia terdiri atas beberapa kelompok aktivitas yang
saling berhubungan yang terjadi dalam konteks organisasi. Selain itu, semua manajer
yang memiliki tanggung jawab sumber daya manusia harus mempertimbangkan
pengaruh lingkungan eksternal hukum, politik, ekonomi, sosial, budaya dan teknologi
ketika menyampaikan aktivitas ini. Menurut Mathis dan Jackson (2006:43), ada tujuh
aktivitas pokok manajemen sumber daya manusia, yaitu:
1. Perencanaan dan Analisis Sumber Daya Manusia
Lewat perencanaan sumber daya manusia, para manajer berusaha untuk
mengantisipasi kekuatan yang akan mempengaruhi persediaan dan tuntutan
karyawan dimasa depan. Sebagai bagian dari usaha mempertahankan daya saing
organisasional, harus ada analisis dan penilaian efektifitas SDM.
2. Kesetaraan Kesempatan Kerja
Pemenuhan hukum dan peraturan tentang kesetaraan kesempatan kerja
mempengaruhi semua aktivitas sumber daya manusia yang lain dan terintegrasi
dengan manajemen.
3. Pengangkatan Pegawai
Tujuan utama dari pengangkatan pegawai adalah memberikan persediaan yang
memadai atas individu yang kompeten untuk mengisi lowongan pekerjaan dalam
sebuah organisasi.
4. Pengembangan Sumber Daya Manusia
Dimulai dengan orientasi karyawan baru, pengembangan SDM juga meliputi
pelatihan keterampilan pekerjaan.
5. Kompensasi dan Tunjangan
Memberikan penghargaan kepada karyawan atas pelaksanaan pekerjaan melalui
gaji, insentif dan tunjangan. Para pemberi pekerjaan harus mengembangkan dan
memperbaiki sistem upah dan gaji dasar mereka, program insentif juga harus
digunakan. Kenaikan yang cepat dalam hal biaya tunjangan, terutama tunjangan
kesehatan akan terus menjadi persoalan utama.
6. Kesehatan, Keselamatan dan Keamanan
Jaminan atas kesehatan fisik dan mental serta keselamatan para karyawan adalah
hal yang sangat penting bagi karyawan.
7. Hubungan Karyawan dengan Manajemen
Hubungan antara manajer dan karyawan mereka harus ditangani secara efektif
apabila karyawan dan organisasi ingin sukses bersama.
2.2 Stres Kerja
2.2.1 Pengertian Stres Kerja
Stres adalah suatu situasi emosional yang tidak menyenangkan yang kita alami
ketika terdapat sebuah persyaratan (terkait masalah pekerjaan ataupun bukan) yang tidak
dapat kita imbangi atau atasi dengan kemampuan yang kita miliki. Hal ini menyebabkan
perubahan emosi yang muncul sebagai reaksi terhadap situasi berbahaya tersebut.
Menurut Mondy (2010), stres adalah sebuah reaksi non-spesifik tubuh kepada setiap
keadaan atau kebutuhan yang muncul, dan dapat memperngaruhi seseorang dengan cara
yang berbeda-beda tergantung akan bagaimana kondisi individu tersebut. Hal ini berasal
dari hubungan antara seseorang dengan lingkungannya sehingga muncul tekanan yang
bersifat subjektif, karena stressor yang sama dapat mempengaruhi satu orang, tetapi
tidak dapat mempengaruhi orang lain. ketika karyawan dapat mengelola tekanan
pekerjaan dan setiap kemungkinan untuk menyelesaikan suatu tugas secara prima maka
stres justru akan dapat bekerja sebagai faktor pendorong (Halkos, 2008). Menurut
Mondy (2010), ia menyatakan bahwa efek stres tidak selamanya negatif, contohnya stres
dengan kadar yang ringan dapat meningkatkan produktivitas, serta dapat membantu
dalam menciptakan inovasi-inovasi dan ide kreatif yang baru. Stres dalam bentuk positif
tersebut lebih dikenal dengan eustress, yaitu stres yang dapat mengarahkan individu
yang mengalaminya kepada sebuah pencapaian serta kebahagiaan. Contohnya stres
ketika akan menghadapi tantangan seperti yang ditemukan pada manajerial, tekhnikal
ataupun public contact job. Namun stres yang tidak dapat dikelola dengan baik akan
berdampak buruk bagi individu tersebut dan menyebabkannya terjebak dalam distress,
yaitu stres yang terjadi ketika kita mulai merasa kehilangan perasaan aman dan perasaan
puas. Atau ketika perasaan tidak berdaya, putus asa dan kekecewaan merubah stres
menjadi distress (Snell dan Bohlander, 2010). Sedangkan menurut Muhammad Nassem
Shadid, Khalid latif, Nadeem sohail dan Muhammad Allem Ashraf (2012) dalam jurnal
yang berjudul Work Stress and Employee Performance in Banking Sector Evidence
From District Faisalabad, Pakistan berpendapat bahwa stres kerja adalah masalah yang
meningkat dalam organisasi dan lebih sering menimbulkan efek negatif bagi kinerja
pekerja.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa stres kerja adalah keadaan dimana
pikiran, emosional dan psikologis dari seorang individu mereaksi suatu kejadian dimana
terjadi kesenggangan atau ketidakseimbangan antara kemampuan dan skill individu
dengan kapasitas pekerjaan yang diberikan kepada individu tersebut. Namun dengan
jumlah tertentu dan pengelolaan yang baik, hal itu justru dapat berdampak positif bagi
individu tersebut.
2.2.2 Faktor-Faktor Penyebab Munculnya Stres Kerja
Robbins dan Judge (2007), menjelaskan bahwa munculnya stress kerja pada
karyawan dapat dilihat melalui 3 faktor utamanya, yang diantara lain:
1. Environmental Factor (Faktor Lingkungan)
Antara lain adalah:
a. Economic Uncertainties
Sebuah akibat dari siklus atau perputaran dunia bisnis yang berpengaruh
langsung terhadap perekonomian secara global, sehingga membuat
orang-orang semakin khawatir akan keamanan pekerjaannya (job
securities).
b. Political Uncertainties
Segala bentuk ancaman atau perubahan politik yang berpengaruh
terhadap kestabilan politik di suatu Negara atau daerah akan
mengakibatkan stres pada masyarakatnya.
c. Technological Changes
Munculnya inovasi-inovasi baru, terutama dalam bidang teknologi seperti
komputerisasi, robotic atau automation akan mengakibatkan skill serta
pengalaman yang telah lama dimiliki para karyawan akan menjadi usang
dan tidak terpakai lagi, sehingga hal ini akan menyebabkan munculnya
stres kerja bagi mereka yang seketika harus mempelajari hal-hal yang
sangat baru.
d. Terrorism
Suatu bentuk faktor penyebab stres paling meningkat di abad 21 ini,
karena terorisme menyebabkan terjadinya diskriminasi ras atau agama di
beberapa wilayah, serta efeknya yang sangat terlihat dalam dunia kerja
adalah munculnya ketakutan serta trauma dari para pekerja yang bekerja
di bangunan-bangunan pencakar langit, selain itu kini orang-orang mulai
takut untuk hadir di dalam acara-acara publik yang besar.
2. Organizational Factor (Faktor Organisasional)
Antara lain adalah:
a. Task Demands
Merupakan faktor yang berhubungan dengan profesi atau pekerjaan
seseorang. Baik dalam hal desain kerja, Working condition serta Physical
work layout.
b. Role Demands
Tekanan (pressures) dari suatu peran yang dijalankan suatu individu
dalam organisasi.
i.
Role Conflict : Suatu keadaan yang terjadi akibat ekspektasi dari
peran yang dijalankan sulit dicapai.
ii.
Role Demands :
Dimana
pekerja
berharap
untuk
dapat
mengerjakan banyak hal dalam waktu yang sangat terbatas.
iii.
Role Ambiguity: Peran yang kurang dimengerti oleh pekerja,
bahkan pekerja cenderung tidak yakin akan apa yang harus
dikerjakannya.
c. Interpersonal Demands
Tekanan yang ditimbulkan oleh rekan kerja, biasanya hal ini terjadi
dikarenakan kurangnya support dari rekan kerja atau kurangnya
Interpersonal Relationship dari individu tersebut terhadap rekan-rekan
kerja di lingkungannya
3. Personal Factor (Faktor personal)
Antara lain terdiri dari:
a. Family Issues
Sebuah permasalahan terhadap hubungan pribadi seseorang yang
menyebabkan munculnya stres kerja pada diri individu tersebut, dimana
beban-beban tersebut sulit atau bahkan tidak ia lepaskan sejak awal ia
melewati
pintu
masuk
kantornya.
Contohnya
seperti
kesulitan
pernikahan, masalah dalam hubungan personal ataupun masalah
mengenai kedisiplinan anaknya.
b. Personal Economic Problem
Permasalahan ekonomi yang dihadapi oleh individu dimana hal-hal
tersebut membuatnya ia tidak bisa konsentrasi dalam menyelesaikan
pekerjaannya.
c. Inherent Personality Characteristic
Munculnya stres yang sebenarnya terjadi karena karakteristik atau sifat
sifat dasar dari individu yang bersangkutan.
Selain itu Cooper dalam Arnold (2005), terkait dengan seluruh jenis pekerjaan,
menjabarkan tujuh faktor yang menyebabkan terjadinya stres kerja, antara lain:
1. Faktor-faktor intrisik pekerjaan antara lain adalah:
a.
Kondisi lingkungan kerja yang kurang baik
Misalnya lingkungan kerja yang bising, pencahayaan yang
kurang baik, mtercium bau-bauan, dan lain sebagainya.
b. Kerja shift/ kerja malam
Kerja shift merupakan sumber utama dari stres bagi para pekerja shift
lebih sering mengeluh tentang kelelahan dan gangguan perut daripada
para pekerja pagi/siang dan dampak dari kerja shift terhadap kebiasaan
makan
yang
mungkin
menyebabkan
gangguan-gangguan
perut.
Pengaruhnya adalah emosional dan biological, karena gangguan ritme
circadian dari tidur/daur keadaan bangun (wake cycle), pola suhu, dan
ritme pengeluaran adrenalin.
c.
Jam kerja yang lama dan kerja yang terlalu overload
Menurut Sparks et al dalam Arnold (2005), bahwa jam kerja yang
panjang secara terus menerus akan merusak kesehatan fisik dan
psikologikal individu tersebut.
Adapun dua tipe kerja yang telalu overload (work overhead), yaitu
overload kuantitatif yaitu banyaknya yang harus dikerjakan, dan
overload kualitatif yaitu mengacu pada pekerjaan yang terlalu sulit untuk
seseorang.
d.
Tingkat resiko dan bahaya yang dihadapi
Pekerjaan yang mempunyai resiko atau bahaya yang tinggi akan
menghasilkan tingkat stres yang tinggi.
e.
Teknologi baru
Mengajarkan teknologi baru dengan cara dan metode yang lama akan
menambah beban karyawan yang sedang dilatih.
2. Peraturan dalam organisasi
Antara lain adalah:
a. Konflik peran dan ketidakjelasan peran
Role conflict atau konflik peran merupakan hasil dari tidak konsistennya
harapan-harapan berbagai pihak atau persepsi adanya ketidakcocokan
antara tuntutan peran dengan kebutuhan, nilai-nilai individu, dan
sebagainya. Sebagai akibatnya seseorang yang mengalami konflik peran
akan berada dalam suasana yang terombang-ambing, terjepit, dan serba
salah.
Selain konflik peran yang sudah dijelaskan diatas, ketidakjelasan peran
juga merupakan salah satu penyebab terjadinya stres di tempat kerja.
b. Tanggung jawab
Pada dasarnya, tanggung jawab terdiri dari 2, yaitu tanggung jawab
terhadap orang, dan tanggung jawab terhadap sesuatu, termasuk
anggaran, perlengkapan, dan bangunan. Tanggung jawab terhadap orang
lebih menyebabkan stres, lebih menyebabkan penyakit jantung koroner
daripada tanggung jawab terhadap sesuatu. Mempunyai tanggung jawab
terhadap orang biasanya memerlukan waktu yang lebih banyak untuk
berinteraksi dengan sesama, menghadiri pertemuan-pertemuan dan
diharapkan dengan batas waktu. Penelitian membuktikan bahwa senior
executive dan semakin besar tanggung jawabnya, maka semakin besar
kemungkinan terkena resiko penyakit jantung koroner.
3. Kepribadian
Penelitian telah menunjukkan bahwa orang dengan tingkat kecemasan
tinggi lebih menderita akibat konflik peran dibandingkan orang yang fleksibel
dalam pendekatan mereka terhadap kehidupan. Kecemasan pengalaman
individu-individu yang rawan konflik peran lebih akut dan bereaksi dengan
ketegangan yang lebih besar daripada orang-orang yang kurang kecemasan
rentan; dan lebih fleksibel individu menanggapi konflik peran yang tinggi
dengan perasaan ketegangan lebih rendah daripada rekan-rekan mereka yang
lebih kaku (Warr dan Wall, dalam Arnold,2005).
4. Hubungan dalam pekerjaan
Orang lain dan kita dapat menjadi sumber utama dari stres dan dukungan (Makin
et al,dalam Arnold, 2005).
a. Hubungan dengan superior
Sosik dan Godshalk dalam Arnold (2005), telah menunjukkan bahwa
gaya kepemimpinan yang penuh inspirasi dapat secara signifikan
mengurangi jumlah stres kerja yang dialami oleh bawahannya.
Untuk mengerti bagaimana cara mengelola atasan, penting untuk dapat
mengidentifikasikan perbedaan jenis atasan. Cooper et al,dalam Arnold
(2005), menemukan bahwa terdapat beberapa prototype atasan, yaitu:
yang birokrat, yang otokrat, yang lihay, manajer yang enggan terbuka.
Masing-masing harus ditangani dengan cara yang berbeda untuk
meminimalkan tingkat stres yang dialami.
b.
Hubungan antara bawahan dan rekan
Stres di antara rekan kerja dapat timbul dari kompetisi, komunikasi yang
kurang kancar dan konflik kepribadian. Karena kebanyakan orang
menghabiskan begitu banyak waktu di tempat kerja, hubungan antara
rekan kerja dapat menjadi dukungan yang sangat berharga, atau
sebaliknya dapat menjadi sumber stres yang sangat besar. French dan
Caplan dalam Arnold (2005), menemukan bahwa dukungan yang kuat
dari rekan-rekan kerja akan mereda ketegangan. Dukungan ini juga
mengurangi efek tekanan kerja.
5. Pengembangan Karir
a. Job Insecurity
Perubahan-perubahan lingkungan menimbulkan masalah baru yang dapat
mempunyai dampak pada perusahaan. Re-organisasi dirasakan perlu
untuk dapat menghadapi perubahan lingkungan dengan lebih baik.
Sebagai akibatnya adalah adanya pekerjaan lama yang hilang dan adanya
pekerjaan baru.
Setiap re-organisasi menimbulkan ketidakpastian pekerjaan, yang
merupakan sumber stres yang potensial.
b.
Over and Under Promotion
Peluang yang kecil untuk promosi, baik karena keadaan tidak
mengizinkan maupun karena dilupakan, merupakan pembangkit stres
bagi tenaga kerja yang merasa sudah waktunya untuk mendapatkan
promosi. Perilaku yang mengganggu, semangat kerja yang rendah dan
hubungan antar pribadi yang bermutu rendah, berkaitan dengan stres dari
kesenjangan yang dirasakan antara kedudukannya sekarang di organisasi
dengan kedudukan yang diharapkan. Sedangkan stres yang timbul karena
over-promotion memberikan kondisi beban kerja yang berlebihan serta
adanya tuntutan pengetahuan dan keterampilan yang tidak sesuai dekat
bakatnya.
6. Budaya dan Iklim Organisasi
Bagaimana para tenaga kerja mempersepsikan kebudayaan, kebiasaan, dan iklim
dari organisasi adalah penting dalam memahami sumber-sumber stres potensial sebagai
hasil dari beradanya mereka dalam organisasi: kepuasan dan ketidakpuasan kerja
berkaitan dengan penilaian dari struktur dan iklim organisasi.
7.
Home-Work Interface
Home-Work Interface atau pekerjaan rumah antar muka biasanya diberi label
‘konflik’ dalam literatur stres. Konflik ini dapat berupa salah satu atau dari dua arah
gangguan bekerja dengan keluarga (di mana tuntutan pekerjaan menciptakan kesulitan
untuk kehidupan rumah) dan gangguan keluarga dengan pekerjaan (di mana tuntutan
kehidupan rumah menciptakan kesulitan untuk bekerja).
2.2.3 Dampak dari Stres Kerja
Menurut Griffin dan Moorhead (2011:177), konsekuensi dari stress ada tiga
yaitu sebagai berikut :
1. Konsekuensinya terhadap individu meliputi :
a. Prilaku, menyebabkan penyalahgunaan obat-obatan dan alkohol, tindak
kekerasan, agresi, gangguan nafsu makan.
b. Psikologis, menyebabkan gangguan tidur, depresi, menganggu kesehatan
mental, kesejahteraan karyawan, menimbulkan masalah dalam keluarga.
c. Kesehatan, menyebabkan gangguan terhadap kesejahteraan fisik, penyakit
hati, stroke, dan lain-lain.
2. Konsekuensinya terhadap organisasi yaitu menurunnya kinerja, menyebabkan
ketidakhadiran, dan keluar masuknya pekerja serta menurunnya motivasi dan
kepuasan kerja karyawan.
3. Kelelahan atau kejenuhan (burnout), perasaan akan suatu kelelahan yang terjadi
ketika seorang individu mengalami terlalu banyak tekanan dan memiliki sumber
kepuasan yang sedikit disaat bersamaan.
2.2.4 Management Stress
Sebagian para pengidap stres di tempat kerja akibat persaingan, sering
melampiaskan dengan cara bekerja lebih keras yang berlebihan. Ini bukanlah cara
efektif yang bahkan tidak menghasilkan apa-apa untuk memecahkan sebab dari stres,
justru akan menambah masalah lebih jauh. Pemahaman prinsip dasar, menjadi bagian
penting agar seseorang mampu merancang solusi terhadap masalah yang muncul
terutama yang berkait dengan penyebab stres dalam hubungannya di tempat kerja. Maka
diperlukan pendekatan individu yang tepat dalam mengelola stres, ada dua pendekatan
yaitu pendekatan individu dan pendekatan organisasi (Novitasari,2007).
1.
Pendekatan Individu
Seorang karyawan dapat berusaha sendiri untuk mengurangi tingkatan
stresnya. Strategi yang bersifat individual yang cukup efektif yaitu ;
pengelolaan waktu, latihan fisik, latihan relaksasi, dan dukungan sosial.
a. Dengan pengolaan waktu (Manajemen Waktu) yang baik maka seorang
karyawan dapat menyelesaikan tugas dengan baik, tanpa adanya tuntutan
kerja yang tergesa-gesa.
b. Dengan latihan fisik dapat meningkatkan kondisi tubuh agar lebih prima
sehingga mampu menghadapi tuntutan tugas yang berat.
c. Selain itu untuk mengurangi stres yang dihadapi pekerja perlu dilakukan
kegiatan-kegiatan santai, yaitu melalui relaksasi.
d. Dan sebagai strategi terakhir untuk mengurangi stres adalah dengan
mengumpulkan sahabat, kolega, keluarga yang akan dapat memberikan
dukungan dan saran-saran bagi dirinya.
2.
Pendekatan Organisasional
Beberapa penyebab stres adalah tuntutan dari tugas dan peran serta
struktur organisasi yang semuanya dikendalikan oleh manajemen,
sehingga faktor-faktor itu dapat diubah. Oleh karena itu strategi-strategi
yang mungkin digunakan oleh manajemen untuk mengurangi stres
karyawannya adalah melalui :
a. Seleksi personil dan penempatan kerja
b. Penetapan tujuan yang realistis
c. Redesain pekerjaan
d. Pengambilan keputusan partisipatif (keterlibatan pekerja)
e. Perbaikan komunikasi organisasional, dan
f. Program kesejahteraan
Melalui strategi tersebut akan menyebabkan karyawan memperoleh
pekerjaan yang sesuai dengan kemampuannya dan mereka bekerja untuk
tujuan yang mereka inginkan serta adanya hubungan interpersonal yang
sehat serta perawatan terhadap kondisi fisik dan mental (Robbins, 2007).
Dan menurut Griffin dan Moorhead (2011:179) ada beberapa strategi untuk
mengelola stress di tempat kerja yaitu :
1. Strategi individu mengatasi stress meliputi olahraga, relaksasi, mengelola waktu,
mengelola peran, dukungan kelompok.
2. Strategi organisasi mengatasi stress meliputi :
a. Program institusional, mengelola stress melalui mekanisme yang didirikan
oleh organisasi. Sebagai contoh jam kerja, dapat menyebabkan masalah
untuk karyawan, karena mereka terus menyesuaikan pola tidur dan relaksasi.
b. Program kolateral atau jaminan, program perusahaan yang secara khusus
dibuat untuk membantu karyawan menghadapi stress. Contohnya program
pengelolaan stress, program kesehatan dan lain-lain.
Sedangkan menurut Mondy (2010). terdapat beberapa cara untuk dapat mengendalikan
stres yang dialami individu, yaitu sebagai berikut:
1. Exercise, melakukan olahraga sangatlah efektif dalam mengontrol stress di
dalam diri dan pikiran. Stres menyebabkan perubahan molekul-molekul kimiawi
dalam tubuh , dan berolahraga berfungsi untuk mengembalikan kondisi normal
tubuh seseorang. Olahraga yang dapat dilakukan beragam, misalnya seperti
jogging, bersepeda, tenis, bahkan berjalan pun merupakan suatu bentuk olahraga.
2. Good Diet Habits, Individu yang sedang dibawah pengaruh stres biasanya
pembakaran energi yang terjadi ditubuhnya menjadi tidak normal , atau lebih
besar dibanding proses pembakaran energy pada umumnya. Oleh karena itu pola
makan yang baik sangat dibutuhkan, menjauhkan junk food, serta menjaga berat
badan yang ideal.
3. Know when to Pullback, relaksasi sangat dibutuhkan oleh penderita stres,
sebagian orang mempertahankan stres nya terlalu lama , dan beberapa orang
mungkin tidak. Namun seriap orang harus mengetahui kapan ia harus menarik
dirinya dari pikiran-pikiran atau masalah yang membuatnya menjadi stres.
4. Put the stressful situation into perspective, beberapa orang cenderung
memandang suatu situasi ke dalam masalah hidup dan matinya, hal tersebut
dapat mengakibatkan kapasitas stres yang besar.
5. Find someone who will listen, dengan memiliki seseorang yang dapat
mendengarkan segala masalah-masalah kita dapat menjauhkan kita dalam
memendam masalah tersebut hingga berdampak negatif pada diri kita sendiri.
6. Establish some structure in your life, Stres biasanya terjadi karena ketidak
mampuan seseorang dalam menghadapi situasi tertentu, terutama yang bersifat
spontan. Oleh karena itu setiap individu harus memiliki perencanaan atau
strategi awal dalam menghadapi situasi seperti itu. Establishing structure atau
membangun struktur juga bermaksud meninggalkan sementara pekerjaan di
kantor, karena hampir setiap orang membutuhkan waktu untuk menjauh sejenak
dari pekerjaan untuk mengurangi tingkat stres yang dialaminya.
7. Recognize your own limitations, mungkin diantara beberapa situasi yang
mengakibatkan stres kita adalah ketika kita ditempatkan di dalam situasi dimana
keterbatasan dan ketidakmampuan menjadi faktor utamanya. Oleh karena itulah
kita harus mengetahui batasan dari diri kita sendiri.
8. Be tolerant, belajar untuk dapat mentoleransi satu sama lain dengan orang lain,
karena bertoleransi dapat menyadarkan kita kepada kondisi realita yang ada.
9. Pursue outside diversions, setiap individu perlu membangun keseimbangan
antara pekerjaan dengan kehidupannya, komitmen dengan waktu luang.
10. Avoid artificial control, hilang kendali dapat menyebabkan stres, namun cara
terakhir dan terburuknya dalam mengembalikan pengendalian diri adalah dengan
menggunakan kepalsuan diri (menutupi kondisi asli).
2.3 Work-Life Balance
2.3.1 Pengertian Work-Life Balance
Kehidupan setiap orang dewasa adalah kehidupan yang kompleks , karena setiap
individu memiliki 2 peranan sekaligus di dua atau lebih tempat yang mungkin berbeda.
Suatu individu harus bisa menghidupi keluarganya melalui penghasilan yang ia
dapatkan , sedangkan untuk mendapatkan penghasilan tersebut individu tersebut harus
bekerja di suatu tempat , yang dimana di tempat tersebut individu tersebut memiliki
peranan yang lain. Sehingga suatu individu harus dapat menyeimbangkan prioritas kerja
dengan prioritas keluarga. Tanpa ada pengelolaan yang baik maka kemungkinan
terburuk yang terjadi adalah work-family conflict. Yaitu terjadinya kesenggangan atau
ketidakseimbangan peranan di keluarga dengan di pekerjaan.
Salah satu cara dalam menghindari kemungkinan terburuk tersebut adalah
dengan menerapkan work-life balance yang baik. Work-life balance merupakan faktor
penting bagi tiap karyawan, agar karyawan memiliki kualitas hidup yang seimbang
dalam berhubungan dengan keluarganya dan seimbang dalam pekerjaan.
Lockwood dalam Kreitner dan Cassidy (2006), work-life balance adalah suatu
keadaan seimbang pada dua tuntutan dimana pekerjaan dan kehidupan seorang individu
adalah sama. Dimana work-life balance dalam pandangan karyawan adalah pilihan
mengelola kewajiban kerja dan pribadi atau tanggung jawab terhadap keluarga.
Sedangkan dalam pandangan perusahaan work-life balance adalah tantangan untuk
menciptakan budaya yang mendukung di perusahaan dimana karyawan dapat fokus pada
pekerjaaan mereka sementara di tempat kerja. Sedangkan menurut Preeti Singh dan
Parul Khanna (2011), work-life balance adalah konsep luas yang melibatkan penetapan
prioritas yang tepat antara “pekerjaan“ (karir dan ambisi) pada satu sisi dan “kehidupan”
(kebahagiaan, waktu luang, keluarga dan pengembangan spiritual) disisi lain.
Selain itu menurut Mondy (2010), Bagi perusahaan, menciptakan sebuah
lingkungan Work-Life Balance dapat menjadi strategi kunci dalam menarik minat para
pekerja yang bertalenta dan profesional untuk bergabung dengan perusahaan tersebut.
Karena dengan menciptakan lingkungan tersebut maka akan memberikan kesempatan
atau kelonggaran terhadap para karyawannya untuk dapat menghabiskan waktunya serta
berkomunikasi dengan keluarganya, komunitasnya serta kegiatan kegiatan sosial
lainnya. Sehingga mereka akan sangat menghargai hal tersebut. Hal yang sama
dikemukakan oleh Snell dan Bohlander (2010), bahwa perusahaan menerapkan work-life
programs untuk mengakomodasi masuknya karyawan-karyawan dari generasi Y
kedalam perusahaan, yaitu grup pekerja yang terbilang baru yang memiliki visi mereka
sendiri mengenai tempat kerja serta karirnya, suatu hal yang dapat dipenuhi dengan
diterapkannya work-life programs. Selain itu menurut studi dari Mellan Financial
Human Resource and Investor Solutions oleh Kacher dan Hastings (2007), menemukan
bahwa alasan perusahaan menawarkan work-life program adalah untuk meningkatkan
moral (74 persen responden), meningkatkan upaya perekrutan karyawan berkualitas (73
persen responden) serta mempertahankan keunggulan kompetitif serta image industry
(72 persen responden).
Glass and Estes dalam Morgan (2009), telah mengidentifikasi tiga bidang utama
kebijakan work-life balance , sebagai berikut:
a.
Fleksibilitas
untuk
memungkinkan
pekerja
untuk
memenuhi tugas mereka sebagai orang tua - seperti lebih banyak akses ke
pekerjaan paruh waktu, kerja dengan jangka waktu, dan penyediaan cuti
untuk melahirkan, perawatan anak dan perawatan tanggungan lainnya.
b.
Fleksibilitas waktu kerja dan lokasi kerja. ini melibatkan
jam kerja yang fleksibel; compressed work weeks; pembagian kerja; dan
teleworking atau bekerja dari rumah.
c.
Assistance dengan childcare, eldercare, perawatan anak
usia sekolah anak-anak selama liburan sekolah atau saat sakit.
Berdasarkan pendapat para pakar diatas, dapat ditarik sebuah konklusi bahwa
work-life balance adalah keseimbangan hidup, yaitu waktu luang, keluarga, agama dan
kerja dimana karir dan ambisi pada seorang individu seharusnya sama atau seimbang
untuk mengurangi ketegangan antara pekerjaaan dan kehidupan kerjanya. Dimana
perusahaan membantu para karyawan untuk menyeimbangkan kehidupan dan kerja
karyawan dengan menciptakan program family friendly benefit yang mendukung
kesejahteraan karyawannya sehingga karyawan tidak mengorbankan tanggung jawab
mereka. Selain itu bagi perusahaan yang menjalankan work-life balance terbukti dapat
membantu perusahaan dalam proses rekrutmen, untuk menarik para calon karyawan
yang berkualitas, bertalenta, serta profesional, untuk bergabung dengan perusahaan
tersebut dikarenakan bentuk benefit yang sangat dibutuhkan oleh setiap pekerja, yaitu
waktu serta kesempatan.
2.3.2 Komponen-komponen Work-Life Balance
Menurut Mcdonald dan Bradley (2005), menyatakan bahwa Work-life balance
dapat diukur melalui beberapa komponen-komponennya yang terdiri dari :
1. Keseimbangan Waktu (Time Balance)
Merujuk pada jumlah waktu yang dapat diberikan oleh individu baik bagi
pekerjaannya maupun hal-hal diluar pekerjaan misalnya seperti waktu bagi
keluarganya. Schermerhorn dalam Malika (2013), menjelaskan bahwa hal ini
menyangkut waktu yang digunakan oleh karyawan dalam pekerjaan dimulai dari
lama perjalanan karyawan tersebut dari rumah menuju kantor hingga kembali ke
rumah lagi. Keseimbangan waktu yang dimiliki oleh karyawan menentukan
jumlah waktu yang dialokasikan oleh karyawan pada pekerjaan maupun
kehidupan pribadi mereka dengan keluarga, beragam aktivitas kantor, keluarga
atau tempat bersosialisasi lainnya hanya dapat dimiliki karyawan jika ia
memiliki keseimbangan waktu. Keseimbangan waktu yang dicapai karyawan
menunjukkan bahwa tuntutan dari keluarga terhadap karyawan tidak mengurangi
waktu professional dalam menyelesaikan pekerjaan.
2. Keseimbangan Keterlibatan (Involvement Balance)
Jumlah atau tingkat keterlibatan secara psikologis dan komitmen suatu individu
dalam pekerjaannya maupun hal-hal diluar pekerjaannya (Schemerhorn, 2005).
Waktu yang dialokasikan dengan baik belum tentu cukup sebagai dasar
pengukuran tingkat work-life balance karyawan, melainkan harus didukung
dengan jumlah atau kapasitas keterlibatan yang berkualitas disetiap kegiatan
yang karyawan tersebut jalani. Sehingga karyawan harus terlibat secara fisik dan
emosional baik dalam kegiatan pekerjaan, keluarga maupun kegiatan sosial
lainnya, barulah involvement balance akan tercapai
3. Keseimbangan Kepuasan (satisfaction Balance)
Menurut Schemerhorn (2005), keseimbangan kepuasan adalah jumlah tingkat
kepuasan suatu individu terhadap kegiatan pekerjaannya maupun hal-hal diluar
pekerjaannya. Kepuasan akan timbul sendiri apabila karyawan menganggap apa
yang dilakukannya selama ini cukup baik dan dapat mengakomodasi kebutuhan
pekerjaan maupun keluarga. Hal ini dilihat dari kondisi yang ada pada keluarga,
hubungan dengan teman teman maupun rekan kerja, serta kualitas dan kuantitas
pekerjaan yang diselesaikan.
2.3.3 Strategi Untuk Menciptakan Work-Life Balance
Menurut Preeti Singh dan Parul Khanna (2011) telah merumuskan 10 strategi
untuk menumbuhkan “ Work Life Balance “ yaitu :
1. Jam kerja yang fleksibel, menyediakan penyusunan waktu yang fleksibel dan
dapat dikonsultasikan untuk seluruh karyawan.
2. Kerja paruh waktu, menyediakan lebih banyak kerja paruh waktu dengan jam
atau shift yang lebih sedikit atau penyusunan pembagian kerja untuk seluruh
karyawan.
3. Jam kerja yang masuk akal, mengurangi lama waktu kerja yang berlebihan.
4. Akses untuk penanganan anak, meningkatkan akses untuk penanganan anak
dengan fasilitas penanganan anak di kantor bagi yang membutuhkan fasilitas
tersebut.
5. Penyusunan pekerjaan yang fleksibel, menyediakan fleksibilitas yang lebih baik
dalam penyusunan pekerjaan untuk menyesuaikan kondisi personal karyawan,
termasuk menyediakan waktu penuh untuk anggota keluarga.
6. Cuti harian, mengizinkan karyawan untuk meminta dan mengambil cuti dalam
waktu harian.
7. Mobilitas pekerjaan, menyediakan mobilitas yang lebih baik untuk karyawan
dapat berpindah dari rumah sakit, tempat kerja dan layanan kesehatan untuk
menemukan penyusunan pekerjaan yang lebih sesuai.
8. Keamanan dan kesejahteraan, meningkatkan keamanan, kesejahteraan dan rasa
hormat untuk seluruh karyawan di tempat kerja.
9. Akses telepon, memastikan seluruh karyawan dapat menerima telepon atau
pesan mendesak dari keluarga mereka di tempat kerja, dan mendapat akses
telepon untuk tetap dapat menghubungi keluarga mereka selama jam kerja.
2.3.4 Bentuk-bentuk Work-Life Balance
Menurut Mondy (2010), keseimbangan pekerjaan dengan kehidupan pekerja
dapat dilakukan dengan beberapa cara sebagai berikut :
1. Flextime
Sebuah praktek dimana perusahaan memperbolehkan karyawannya untuk
menentukan jam kerjanya sendiri, dengan batasan-batasan atau standar tertentu
yang telah disetujui oleh pihak perusahaan. Harvard Study menunjukkan bahwa
komponen kerja yang paling dipentingkan oleh karyawan adalah, “Memiliki jam
& jadwal kerja yang memungkinkan mereka untuk dapat menghabiskan waktu
dengan keluarganya.” Selain itu flextime memberikan kesempatan para
karyawan untuk meningkatkan kemampuan personalnya atau memanfaatkan
kesempatannya, yaitu misalnya dalam hal edukasi, seminar, atau pelatihanpelatihan.
2. Compressed Workweek
Yaitu sebuah bentuk pengaturan jam kerja karyawan yang memberikan
para karyawannya kesempatan untuk memenuhi tugas-tugas pekerjaannya di luar
waktu kerja regulernya (kurang dari 5 hari, 8 jam sehari, dll). Dibawah
pengaturan jam kerja ini karyawan biasanya menunjukkan job satisfaction yang
lebih besar, produktifitas yang meningkat serta mengurangi potensi turnover &
absensi. Hal ini dikarenakan metode compressed workweek memberikan potensi
pemakaian waktu luang yang lebih baik untuk kehidupan keluarga, business
personal ataupun rekreasi. Contoh jenis-jenis pengaturan kerja compressed
workweek adalah sebagai berikut:
a. 10 Jam per Hari
b. 9 Jam per Hari
c. 12 Jam per Hari , serta
d. Setengah hari di hari Jumat.
3. Job Sharing
Sebuah proses penentuan waktu kerja dimana melibatkan 2 orang yang
sepakat saling berbagi waktu untuk berbagi tugas atas suatu pekerjaan dengan
sebuah persetujuan tertentu, serta upah/gaji yang sesuai dengan kontribusi
masing-masing karyawan tersebut. Dan dalam hal ini rekan atau partner kerja
haruslah sesuai dengan standar tertentu (compatible), memiliki communication
skill yang baik serta memiliki ikatan terpercaya dengan Manager.
4. Telecommuting
Sebuah metode Work arrangement yang bergantung pada lokasi atau
keadaan dimana karyawan tersebut berada. Yaitu dimana karyawan diizinkan
mengerjakan pekerjaannya dirumah (diluar kantor) menggunakan computer atau
alat komunikasi elektronik lainnya yang dapat menghubungkannya langsung
dengan kantor atau perusahaannya. Terdapat beberapa hal yang mendukung akan
dilakukannya metode ini yang diantara lain :
a. Alat
komunikasi
&
IT
yang
semakin
berkembang,
sehingga
memungkinkan perpindahan data & komunikasi melalui online yang
begitu cepat.
b. Traffic Congestion, atau kemacetan lalu lintas yang pasti terjadi setiap
jam berangkat atau pulang kantor.
c. Frustation with Commuting, atau tingkat kepenatan serta tekanan akan
proses perjalanan kerja yang dilakukan oleh para komuter, mereka yang
selalu pulang-pergi lintas kota untuk bekerja setiap harinya.
d. Serta tingginya harga bahan bakar gas untuk kendaraan para pekerja
tersebut.
5. Part-Time Work
Dimana karyawan menjalankan jam kerja serta porsi kerja setengah dari
standar kerja regular pada umumnya, tentunya dengan upah / gaji yang sesuai
dengan porsi kerjanya. Namun meskipun gaji, upah atau benefit yang ditawarkan
part time work tidak sebesar full time work, hal tersebut akan membantu para
pekerja dalam hal transisi dari full time employment, selain itu metode ini
terbukti dapat menciptakan individu-individu yang berkualitas dalam pasar
tenaga kerja, karena metode ini memberikan keleluasaan penuh bagi karyawan
untuk mengurus pekerjaannya dan kebutuhan pribadinya sendiri terutama dalam
hal melanjutkan studi-nya.
2.3.5 Manfaat Dan Tujuan Program Work-Life Balance
Lewison dalam sebuah jurnal berjudul “The Work/Life Balance Sheet” yang
dirilis oleh Journal of accountancy (2006), menjelaskan bahwa program keseimbangan
hidup dan kerja dapat mempengaruhi karyawan secara positif. Tujuan dari program
keseimbangan hidup dan kerja yaitu :
1. mengurangi absensi
2. mengurangi turnover
3. meningkatkan produktivitas
4. mengurangi biaya lembur
5. mempertahankan klien
2.4 Komitmen Organisasi
2.4.1 Pengertian Komitmen Organisasi
Komitmen Organisasi (Organizational Commitment) merupakan salah satu
tingkah laku dalam organisasi yang banyak dibicarakan dan diteliti, baik sebagai
variable terikat, variabel bebas, maupun variable mediator. Hal ini antara lain
dikarenakan organisasi membutuhkan karyawan yang memiliki komitmen organisasi
yang tinggi agar organisasi dapat terus bertahan serta meningkatkan jasa dan produk
yang dihasilkannya. Sedangkan menurut Mathis & Jackson (2006:122), Komitmen
Organisasi didefinisikan sebagai sebuah tingkat sampai dimana karyawan yakin dan
menerima tujuan organisasional, serta berkeinginan untuk tinggal bersama organisasi
tersebut. Berbagai studi penelitian menunjukkan bahwa orang-orang yang relatif puas
dengan pekerjaannya akan sedikit lebih berkomitmen terhadap organisasi, oleh karena
itulah komitmen organisasi dan kepuasan kerja dihubungkan oleh Mathis & Jackson.
Selain itu menurut Robbins (2007), Komitmen organisasi merupakan suatu keadaan
dimana seorang karyawan memihak kepada suatu organisasi dan tujuan-tujuannya, serta
berniat memelihara keanggotaannya didalam organisasi tersebut. Lalu dilanjutkan oleh
Jamal (2011), bahwa dengan demikian, komitmen organisasi, terutama komitmen
afektif, merupakan sesuatu hal di luar loyalitas yang pasif untuk sebuah organisasi.
Sebaliknya, melibatkan hubungan yang aktif dengan organisasi di mana individu
tersebut bersedia memberikan sesuatu dari diri mereka sendiri untuk membantu
organisasi sukses dan sejahtera. Namun di sisi lain, komitmen organisasi dianggap dapat
menjadi sebuah moderator terhadap hubungan antara job stress dengan job performance.
Faktor organisasional berperan penting terhadap timbulnya job stress. Selain itu
individual dengan tingkat komitmen organisasi yang berbeda akan otomatis mengalami
tingkat job stress yang berbeda juga (Jamal,2011).
Dari pernyataan para ahli diatas dapat disimpulkan bahwa komitmen organisasi
tercakup unsur mengenai loyalitas atau keberpihakan terhadap perusahaan, keterlibatan
dalam pekerjaan, dan identifikasi terhadap nilai-nilai dan tujuan-tujuan perusahaan.
Maka pada intinya komitmen organisasi yaitu adalah sebuah proses pada individu
karyawan yang menunjukkan kesediaannya untuk berkontribusi kepada perusahaan
secara penuh dalam hal mendukung terwujudnya peningkatan produktivitas perusahaan..
2.4.2 Bentuk - Bentuk Komitmen Organisasi
Menurut Robbins dan Judge dalam Allen dan Mayer (2007), bentuk-bentuk
komitmen organisasi adalah:
a. Affective Commitment
Ialah kuatnya keinginan seseorang dalam bekerja bagi organisasi atau
perusahaan disebabkan karena ia setuju serta sejalan dengan tujuan-tujuan
organisasi tersebut dan ingin melakukannya. Ini berarti, komitmen afektif
berkaitan dengan keterikatan emosional karyawan, identifikasi karyawan dan
keterlibatan karyawan pada organisasi. Dalam hal ini komitmen afektif sesorang
akan menjadi lebih kuat bila pengalamannya dalam organisasi dengan harapanharapan dan memuaskan kebutuhan dasarnya dan sebaliknya. Sehingga dapat
dikatakan pekerja ini memiliki komitmen terhadap organisasi karena
keinginannya sendiri.
b. Continuance Commitment
Ialah kuatnya keinginan seseorang dalam melanjutkan pekerjaannya bagi
organisasi disebabkan karena dia membutuhkan pekerjaan tersebut dan tidak
dapat melakukan pekerjaan yang lain, karena ia memiliki kesadaran akan
ketidakmungkinan memilih identitas sosial lain ataupun alternative tingkah laku
lain karena adanya ancaman akan kerugian besar yang akan menghadangnya jika
ia keluar. Hal ini menunjukkan adanya pertimbangan untung rugi dalam diri
karyawan atau individu berkaitan dengan keinginan untuk tetap bekerja atau
justru meninggalkan organisasi. Dengan kata lain, pekerja ini memiliki
komitmen dengan organisasi karena ia membutuhkannya.
c. Normative Commitment
Ialah kuatnya keinginan seseorang dalam melanjutkan pekerjaannya bagi
organisasi disebabkan karena dia merasa berkewajiban dari orang lain untuk
dipertahankan. Dengan kata lain, komitmen normatif berkaitan dengan perasaan
wajib untuk tetap bekerja dalam organisasi, yang melibatkan tingkah laku
karyawan didasari pada adanya keyakinan tentang “apa yang benar” serta
berkaitan dengan masalah moral, serta perasaan berhutang budi atas apa yang
telah diberikan perusahaan selama ini seperti pelatihan, dll. Maka dari itu pekerja
ini berkomitmen dengan organisasinya karena merupakan sebuah keharusan
baginya.
2.4.3 Ciri-Ciri Komitmen Organisasi
Menurut Michaels dalam Budiharjo (2005), ciri-ciri komitmen organisasi
dijelaskan sebagai berikut:
a. Ciri-ciri komitmen pada pekerjaan : Menyenangi pekerjaannya, tidak pernah
melihat jam untuk segera bersiap-siap pulang, mampu berkonsentrasi pada
pekerjaannya, tetap memikirkan pekerjaan walaupun tidak bekerja
b. Ciri-ciri komitmen dalam kelompok : Sangat memperhatikan bagaimana orang
lain bekerja, selalu siap menolong teman kerjanya. Selalu berupaya untuk
berinteraksi dengan teman kerjanya, memperlakukan teman kerjanya sebagai
keluarga, selalu terbuka pada kehadiran teman kerja baru.
c. Ciri-ciri komitmen pada organisasi antara lain : Selalu berupaya untuk
mensukseskan organisasi, selalu mencari informasi tentang kondisi organisasi,
selalu mencoba mencari komplementaris antara sasaran organisasi dengan
sasaran pribadinya, selalu berupaya untuk memaksimalkan kontribusi kerjanya
sebagai bagian dari usaha organisasi keseluruhan, menaruh perhatian pada
hubungan kerja antar unit organisasi, berpikir positif pada kritik teman-teman,
menempatkan prioritas di atas departemennya, tidak melihat organisasi lain
sebagai unit yang lebih baik, memiliki keyakinan bahwa organisasinya memiliki
harapan untuk berkembang, berpikir positif pada pimpinan puncak organisasi.
2.4.4 Membangun Komitmen Organisasi
Dessler dalam Sopiah (2008;159), mengemukakan bahwa sejumlah cara yang
bisa dilakukan untuk membangun komitmen karyawan pada organisasi, yaitu:
1. Make it Charismatic
Jadikan visi dan misi organisasi sebagai sesuatu yang karismatik, sesuatu yang
dijadikan pijakan, dasar bagi setiap karyawan dalam berperilaku, bersikap dan
bertindak.
2. Build the tradition
Segala sesuatu yang baik di organisasi jadikanlah sebagai suatu tradisi yang
secara terus menerus dipelihara, dijaga oleh generasi berikutnya.
3. Have comprehensive grievance procedures
Bila ada keluhan atau complain dari pihak luar ataupun dari internal organisasi
maka organisasi harus memiliki prosedur untuk mengatasi keluhan tersebut
secara menyeluruh.
4. Provide extensive two-way communications
Jalinlah komunikasi dua arah di organisasi tanpa memandang rendah bawahan.
5. Create a sense of community
Jadikan semua unsure dalam organisasi sebagai suatu komunitas, dimana di
dalamnya ada nilai-nilai kebersamaan, rasa memiliki, kerja sama dan berbagi.
6. Build value-based homogeneity
Membangun nilai-nilai yang didasarkan adanya kesamaan. Setiap anggota
organisasi memiliki kesempatan yang sama, misalnya untuk promosi maka dasar
yang digunakan untuk promosi adalah kemampuan, keterampilan, minat,
motivasi, kinerja, tanpa ada diskriminasi.
7. Share and share alike
Sebaiknya organisasi membuat kebijakan di mana antara karyawan level bawah
sampai yang paling atas tidak terlalu berbeda atau mencolok dalam segi
kompensasi yang diterima, gaya hidup dan penampilan fisik.
8. Emphasize barnraising, cross-utilization and teamwork
Organisasi sebagai sebuah komunitas harus bekerja sama, saling berbagi, saling
memberi manfaat dan memberikan kesempatan yang sama pada anggota
organisasi. Semua harus memberikan kontribusi yang maksimal demi
keberhasilan organisasi tersebut.
9. Get together
Gelar acara-acara yang melibatkan semua anggota organisasi, seperti acara
rekreasi, olahraga, piknik dan acara kesenian, sehingga kebersamaan antar rekan
kerja bisa terjalin.
10. Support employee development
Jika organisasi memperhatikan perkembangan karier karyawan dalam jangka
panjang maka otomatis karyawan akan semakin merasa berkomitmen terhadap
organisasi tersebut.
11. Commit to actualizing
Setiap karyawan diberikan kesempatan yang sama untuk mengaktualisasikan diri
secara maksimal di organisasi sesuai dengan kapsitas masing-masing.
12. Provide first-year job challenge
Berikan bantuan yang kongkret bagi karyawan untuk mengembangkan potensi
yang dimilikinya dan mewujudkan impiannya. Jika pada tahap-tahap wala
karyawan memiliki persepsi yang positif terhadap organisasi maka karyawan
akan cenderung memiliki kinerja yang tinggi pada tahap-tahap berikutnya.
13. Enrich and empower
Ciptakan kondisi agar karyawan bekerja tidak secara monoton, karena rutinitas
akan menimbulkan perasaan bosan bagi karyawan. Misalnya dengan rotasi kerja,
tantangan dalam tugas, kewajiban dan otoritas tambahan.
14. Promote from within
Memberikan kesempatan promosi bagi pihak intern perusahaan terlebih dahulu,
sebelum merekrut karyawan dari luar perusahaan untuk mengisi posisi atau
lowongan baru.
15. Provide development activities
Bila organisasi membuat kebijakan untuk merekrut karyawan dari dalam sebagai
prioritas maka dengan sendirinya hal itu akan memotivasi karyawan untuk terus
tumbuh dan berkembang personalnya, juga jabatannya.
16. The question of employee security
Bila karyawan merasa aman, baik fisik maupun psikis, maka komitmen akan
muncul dengan sendirinya.
17. Commit to people-first values
Perusahaan harus benar-benar memberikan perlakuan yang benar pada masa
awal karyawan memasuki organisasi. Dengan demikian karyawan akan
mempunyai persepsi yang positif terhadap organisasi.
18. Put it in writing
Data-data tentang kebijakan, visi, misi, semboyan, filosofi, sejarah, dan strategi
organisasi sebaiknya dibuat dalam bentuk tulisan, bukan sekedar bahasa lisan.
19. Hire “Right-Kind” Managers
Pimpinan seharusnya memberikan teladan dalam bentuk sikap dan perilaku
sehari-hari dengan tujuan menanamkan nilai-nilai, kebiasaan-kebiasaan, aturanaturan dan kedisiplinan pada bawahannya.
20. Walk the talk
Tindakan jauh lebih efektif dari sekedar kata-kata. Bila pimpinan ingin
karyawannya berbuat sesuatu maka sebaiknya pimpinan tersebut mulai berbuat
sesuatu, tidak sekedar kata-kata atau bicara.
2.4.5 Proses Terjadinya Komitmen Organisasi
Minner dalam Sopiah (2008;163), menjelaskan bahwa proses terjadinya
komitmen organisasional, yaitu sebagai berikut:
1. Fase Awal, Innitial Commitment
Faktor yang berpengaruh terhadap komitmen karyawan pada organisasi adalah:
a. Karakteristik Individu
b. Harapan-harapan karyawan pada organisasi, dan
c. Karakteristik pekerjaan.
2. Fase Kedua, Commitment During Early Employment
Pada fase ini karyawan sudah bekerja selama beberapa tahun. Faktor-faktor yang
berpengaruh terhadap komitmen karyawan pada organisasi adalah pengalaman
kerja yang ia rasakan pada tahap awal dia bekerja, bagaimana pekerjaannya,
bagaimana sistem penggajiannya, bagaimana gaya supervisinya, bagaimana
hubungan dia dengan teman sejawat atau hubungan dia dengan pimpinanya.
Semua faktor ini akan membentuk komitmen awal dan tanggung jawab
karyawan pada organisasi yang pada akhirnya akan bermuara pada komitmen
karyawan pada awal memasuki dunia kerja.
3. Fase Ketiga, Commitment During Later Career
Faktor yang berpengaruh terhadap komitmen pada fase ini berkaitan dengan
investasi, mobilitas kerja, hubungan social yang tercipta di organisasi dan
pengalaman-pengalaman selama ia bekerja.
2.4.6 Dampak Komitmen Organisasi
Menurut Sopiah (2008:166), komitmen karyawan terhadap organisasi adalah
bertingkat, dari tingkatan yang sangat rendah hingga tingkatan yang sangat tinggi. Jika
ditinjau dari segi organisasi, karyawan yang berkomitmen rendah akan berdampak pada
turnover, tingginya tingkat absensi, meningkatnya kelambanan kerja, kurangnya
intensitas untuk bertahan sebagai karyawan di organisasi tersebut, rendahnya kualitas
kerja dan kurangnya loyalitas pada perusahaan. Lalu Near dan Jensen dalam Sopiah
(2008) menambahkan bahwa bila komitmen karyawan rendah maka ia bisa memicu
perilaku karyawan yang kurang baik, misalnya tindakan kerusuhan yang berdampak
lebih lanjut terhadap reputasi organisasi yang menurun, kehilangn kepercayaan dari
klien, dan dampak yang lebih jauh lagi adalah menurunnta laba perusahaan.
Namun dilain sisi, karyawan yang memiliki komitmen organisasi yang tinggi
maka dampaknya akan terlihat pada tingkat stress kerja yang berkurang (Begley dan
Czajka dalam Sopiah, 2008:167). Kemudian ditambahkan oleh Hackett dan Guinon
dalam Sopiah (2008), karyawan yang memiliki komitmen organisasi yang tinggi akan
berdampak pada karyawan tersebut yaitu lebih puas dengan pekerjaannya dan tingkat
absensinya menurun.
2.5 Kinerja Karyawan
2.5.1 Pengertian Kinerja Karyawan
Berikut adalah pendapat dari beberapa ahli, Menurut Mangkunegara (2007:
67) Kinerja Karyawan adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai
oleh seseorang karyawan dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung
jawab yang diberikan kepadanya. Kemudian menurut Wirawan (2009),
menyatakan bahwa kinerja merupakan singkatan dari kinetika energi kerja, atau
yang berartu keluaran yang dihasilkan oleh fungsi-fungsi atau indikator-indikator
suatu pekerjaan atau suatu profesi dalam waktu tertentu. Misalkan indikator
pekerjaan seorang manajer adalah merencanakan pekerjaan, mengorganisasikan
jalannya pekerjaan, memimpin jalannya pekerjaan serta mengontrol berjalannya
suatu pekerjaan, dari itu maka kinerja manajer adalah jumlah keluaran dari
keempat indikator tersebut. Selain itu pengertian prestasi kerja Menurut Malayu
Hasibuan (2005:87), adalah suatu hasil kerja yang dicapai seseorang dalam
melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan
kepadanya yang didasarkan atas
kecakapan, pengalaman dan kesungguhan serta waktu. Sedangkan Menurut As'ad
dalam Brahmasari (2008), mengemukakan bahwa kinerja seseorang merupakan
ukuran sejauh mana keberhasilan seseorang dalam melakukan tugas pekerjaannya.
Dan menurut Dessler (2006) kinerja pegawai merupakan prestasi kerja, yakni
perbandingan antara hasil kerja yang dapat dilihat secara nyata dengan standar
kerja yang telah ditetapkan organisasi.
Dari seluruh definisi kinerja karyawan yang dijelaskan oleh para ahli
maka dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa kinerja karyawan adalah sebuah
hasil atau keluaran yang ditunjukkan atau diperlihatkan oleh karyawan baik
dalam bentuk kualitas maupun kuantitas dalam sebuah penyelesaian dan
pengerjaan tugas yang dilimpahkan kepadanya oleh organisasi atau perusahaan
tempat karyawan tersebut bekerja. Sehingga kinerja karyawan adalah salah satu
tolak ukur terpenting akan kinerja dari keseluruhan organisasi, berhasil atau
tidaknya suatu kinerja organisasi bisa diketahui dari kinerja karyawankaryawannya.
2.5.2 Faktor-Faktor yang mempengaruhi Kinerja
Menurut Mathis dan Jackson (2006, p113-114) terdapat 3 faktor utama
yang mempengaruhi kinerja karyawan, yaitu
1) Kemampuan Individual
Kemampuan individual karyawan ini mencakup bakat, minat, dan faktor
kepribadian.Tingkat keterampilan, bahan mentah yang dimiliki seseorang
berupa pengetahuan, pemahaman, kemampuan, kecakapan interpersonal, dan
kecakapan tekhnis. Dengan demikian, kemungkinan seorang karyawan akan
mempunyai kinerja yang baik, jika karyawan tersebut memiliki keterampilan
yang baik maka karyawan tersebut akan menghasilkan kinerja yang baik pula.
2) Usaha yang dicurahkan
Usaha yang dicurahkan dari karyawan bagi perusahaanadalah etika kerja,
kehadiran, dan motivasinya. Tingkat usahanya, merupakan gambaran
motivasi yang diperlihatkan karyawan untuk menyelesaikan pekerjaan dengan
baik. Dari itu, kalaupun karyawan mempunyai tingkat keterampilan untuk
mengerjakan pekerjaan, akan tetapi tidak akan bekerja dengan baik jika hanya
sedikit upaya.
3) Dukungan Organisasional
Dalam dukungan organisasional, perusahaan menyediakan fasilitas bagi
karyawan meliputi pelatihan, peralatanteknologi, dan manajemen atau rekan
kerja. Kinerja pada dasarnya adalah apa yang dilakukan atau tidak dilakukan
karyawan. Kinerja karyawan adalah apa yang mempengaruhi sebanyak
mereka memberikan kontribusi pada organisasi.
Tabel 2. 1 Faktor-faktor yang mempengaruhi Kinerja
Sumber: Mathis dan Jackson (2006)
2.5.3 Aspek-Aspek Kinerja
Sedangkan menurut Husein Umar dalam Mangkunegara (2007: 18), membagi
aspek-aspek kinerja sebagai berikut:
1)
Mutu Pekerjaan
6) Kerja Sama
2)
Kejujuran Karyawan
7) Keandalan
3) Inisiatif
8) Pengetahuan pekerjaan
4) Kehadiran
9) Tanggung Jawab
5) Sikap
10) Pemanfaatan waktu kerja
2.5.4 Penilaian Kinerja
Menurut Mangkunegara (2013: 69), Penilaian kinerja atau prestasi pegawai
adalah suatu proses penilaian prestasi kerja pegawai yang dilakukan pemimpin
perusahaan secara sistematik berdasarkan pekerjaan yang ditugaskan kepadanya.
Pemimpin perusahaan yang menilai prestasi kerja pegawai, yaitu atasan pegawai
langsung, dan atasan tak langsung. Di samping itu pula, kepala bagian personalia berhak
pula memberikan penilaian prestasi terhadap semua pegawainya sesuai dengan data
yang ada di bagian personalia.
E. Sikula dalam Mangkunegara (2013: 73), mengemukakan bahwa ruang
lingkup pengukuran kinerja berumuskan sebagai berikut:
5W + 1H, yaitu WHO, WHAT, WHY, WHEN, WHERE dan HOW
1. Who (Siapa?)
Pertanyaan ini mencakup:
a. Siapa yang harus dinilai? Yaitu seluruh tenaga kerja yang ada dalam
organisasi dari jabatan yang tertinggi sampai dengan pegawai jabatan
terendah
b. Siapa yang harus menilai? Penilaian kinerja dapat dilakukan oleh atasan
langsung dan atasan tidak langsung. Atau penilaian kinerja dapat ditunjuk
orang tertentu yang menurut pemimpin perusahaan memiliki keahlian
dalam bidangnya
2. What (Apa?)
Apa yang harus dinilai, yaitu:
a. Objek/materi yang dinilai antara lain hasil kerja, kemampuan sikap,
kepemimpinan kerja, dan motivasi kerja.
b. Dimensi waktu, yaitu kinerja yang dicapai pada saat ini dan potensi yang
dapat dikembangkan pada waktu yang akan dating.
3. Why (Mengapa?)
Mengapa penilaian kinerja itu harus dilakukan? Hal ini untuk:
a. Memelihara potensi kerja
b. Menentukan kebutuhan pelatihan kerja
c. Dasar pengembangan karier
d. Dasar promosi jabatan
4. When (Bilamana?)
Waktu pelaksanaan penelitian kinerja dapat dilakukan secara formal dan
informal
a. Penilaian kinerja secara formal dilakukan secara periodic, seperti setiap
bulan, kwartal, triwulan, semester atau setiap tahun.
b. Penilaian kinerja secara informal dilakukan secara terus menerus dan setiap
saat atau setiap hari kerja
5. Where (Di mana?)
Penilaian kinerja pegawai dapat dilakukan pada dua alternative tempat
a. Di tempat kerja (on the job appraisal). Pelaksanaan penilaian kinerja di
tempat kerja pegawai yang bersangkutan, atau di tempat lain yang masih
dalam lingkungan organisasinya sendiri.
b. Di luar tempat kerja (off the job appraisal). Pelaksanaan penilaian kinerja
dapat dilakukan di luar organisasi dengan cara meminta bantuan
konsultan.
6. How (Bagaimana?)
Bagaimana penilaian kinerja dilakukan, yaitu dengan menggunakan metode
tradisional atau modern. Metode tradisional, antara lain rating scale, employee
comparison. Sedangkan metode modern, antara lain, management by objective
(MBO), assessment centre.
Aspek-aspek yang harus diperhatikan oleh penilai kinerja pegawai yaitu:
a. Hallo Effect
Penilaian yang subjektif diberikan kepada pegawai, baik yang bersifat
negative maupun positif yang berlebihan dilihatnya dari penampilan
pegawai
b. Liniency
Penilaian kinerja yang cenderung memberikan nilai yang terlalu tinggi
dari yang sesungguhnya
c. Strickness
Penilaian kinerja yang cenderung memberikan nilai yang terlalu rendah
dari yang seharusnya.
d. Central Tendency
Penilaian kinerja yang cenderunh memberikan nilai rata-rata (sedang)
kepada pegawai
e. Personal biases
Penilaian kinerja memberikan nilai yang baik kepada pegawai senior.
2.7 State of The Art
Dalam penelitian dengan judul Job Stress and Job Performance Controversy
Revisited: An empirical Examination in Two countries oleh Muhammad Jamal
(Concordia University) , Penelitian ini menguji peran komitmen organisasi dalam
hubungan stres kerja dan prestasi kerja antara karyawan yang bekerja di perusahaan
multinasional berbasis di Amerika Utara yang berada di Malaysia dan Pakistan. Data
dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner terstruktur dari karyawan stres kerja dan
komitmen
organisasi.
Disini
dijelaskan
bahwa
semakin
tinggi
tingkat
ketidakseimbangan antara tuntutan dengan kemampuan individu maka semakin tinggi
pula potensi individu tersebut mengalami stres kerja. Dan dengan tingkat komitmen
organisasi yang berbeda-beda akan berpengaruh juga terhadap tingkat stres kerja yang
dialami individu tersebut. Dan hasilnya adalah Stres kerja berpengaruh negative
terhadap kinerja, Faktor organiasi memainkan peran penting dalam menghasilkan stress
kerja dan individu dengan berbagai tingkat komitmen organisasi mungkin akan
merasakan stress yang berbeda. Komitmen organisasi berpengaruh terhadap peningkatan
kinerja karyawan, karyawan yang berkomitmen tinggi cenderung akan berusaha keras
untuk mencapai goal organisasi
Menurut hasil penelitian dari George E. Halkos dan Dimitros Bousinakis
(University of Thessaly) dalam penelitiannya yang berjudul “The Influence of Stress and
Satisfaction on Productivity”, yang menyelidiki tentang efek dari stres dan kepuasan
kerja pada fungsi perusahaan. Perhatian terfokus pada faktor-faktor yang mempengaruhi
stres dan kepuasan kerja seperti jumlah jam kerja, hubungan baik antara manajemen dan
karyawan, fungsi yang baik dari workgroup dan pekerjaan yang berhubungan dengan
bidang pengetahuan dari karyawan. Analisis Faktor digunakan terlebih dahulu untuk
mengidentifikasi faktor-faktor yang bertanggung jawab bagi korelasi antara sejumlah
besar variabel kualitatif dan kuantitatif dan pengaruhnya terhadap produktivitas. Dari
faktor-faktor yang diekstraksi menunjukkan bahwa produktivitas merupakan sebuah
elemen yang dipengaruhi oleh dua faktor kualitatif, yaitu stres dan kepuasan.
Peningkatan stres menyebabkan penurunan produktivitas dan peningkatan Kepuasan
menyebabkan peningkatan produktivitas. Penelitian menggunakan sampel acak dari 425
karyawan di sektor swasta dan publik, dan menyelidiki efek dari stres dan kepuasan
kerja pada fungsi perusahaan. Hasil dari penelitian adalah Produktivitas merupakan
elemen yang dipengaruhi oleh dua faktor kualitatif, stres dan kepuasan. Peningkatan
stres menyebabkan penurunan produktivitas dan peningkatan Kepuasan menyebabkan
peningkatan produktivitas. Regresi logistik digunakan di dalam presentasi berikutnya
dengan banyak elemen yang berguna mengenai fungsi stres, kepuasan dan elemen
pendukung produktivitas
Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Syed Shahib ul Hasan dengan
judul Work-Life Balance, Stress, Working Hours and Productivity: A case Study of
Fashion Retailers in UK dengan tujuan untuk membahas dan menganalisa mengenai
dampak work-life balance terhadap produktivitas karyawan di Perusahaan Fashion
terkemuka di Inggris. Melibatkan gambaran singkat dari berbagai praktek kehidupan
kerja antara karyawan tersebut dan menilai dampaknya terhadap bisnis dan kemajuan
karir. Hal ini juga bertujuan untuk mengumpulkan pandangan mereka mengenai aplikasi
yang lebih efisien dari inisiatif work-life balance untuk memberikan manfaat maksimal
bagi bisnis dan kehidupan mereka sendiri. Sebuah keseimbangan kehidupan kerja yang
tepat dapat memastikan tenaga kerja puas dan efisien dalam jangka panjang juga.
Berdasarkan temuan, studi ini menyimpulkan bahwa ada kebutuhan untuk organisasi
mempertimbangkan secara serius dampak dari ketidakmampuan karyawan untuk
mencapai work-life balance. Ketika pengusaha berkomitmen untuk membantu karyawan
menyeimbangkan kehidupan mereka dengan pekerjaan, ada perbaikan yang pasti dalam
kinerja, dan komitmen karyawan yang lebih besar untuk organisasi. organisasi yang
mendukung inisiatif kerja work-life balance, memiliki kesempatan lebih besar untuk
meningkatkan produktivitas, meningkatkan retensi, perekrutan, komitmen organisasi,
dan loyalitas.
Rini dalam penelitiannya yaitu “Pendekatan yang Digunakan Dalam Mengatasi
Stres Kerja pada Suatu Organisasi” (2010), meneliti tentang Strategi untuk mengatasi
stres dengan mengidentifikasi sumber potensial stres yang meliputi lingkungan
organisasional individu yang kemudian memberikan informasi kepada manajemen
perusahaan untuk melaksanakan pendekatan individu terhadap organisasional dalam
mengatasi stres. Rini menganggap ini penting karena menurutnya manusia dalam setiap
organisasi memegang peranan yang penting untuk mencapai tujuan organisasi.
Keberadaan karyawan dalam organisasi sangat mempengaruhi keberhasilan atau
kegagalan misi organisasi. Namun kinerja seorang karyawan banyak dipengaruhi oleh
beberapa faktor dan salah satu faktor tersebut adalah stres. Stres dalam kerja perlu
diteliti penyebabnya, untuk dapat mengurangi dampak negatifnya, sehingga kinerja
karyawan bisa lebih baik. Dan hasil menunjukkan bahwa Stres yang tidak diatasi akan
mempengaruhi kinerja karyawan. Pendekatan yang digunakan untuk mengatasi stres
dalam suatu organisasi adalah:
1. Pendekatan individu, yang merupakan strategi bagi individu itu sendiri untuk
mengatasi stres dalam pekerjaannya.
2. Pendekatan organisasional, yang merupakan strategi yang digunakan manajemen
dalam mengatasi stres dalam pekerjaan yang dialami karyawan
Dalam sebuah penelitian berjudul “Analisis Work-life Balance, Keinginan untuk
Meninggalkan Organisasi, Kepenatan (Burnout) dan Kepuasan Kerja pada Dosen
Universitas Atma Jaya Yogyakarta” oleh Mega Rulita (2013) dimana Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis work-life balance, keinginan untuk
meninggalkan organisasi, kepenatan (burnout) dan kepuasan kerja pada dosen
Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Data yang digunakan merupakan data primer. Data
primer diperoleh dari penyebaran kuesioner ke 100 orang dosen tetap Universitas Atma
Jaya Yogyakarta. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa work-life balance dan
kepenatan (burnout) memiliki hubungan positif dengan kepuasan kerja. Keinginan untuk
meninggalkan organisasi memiliki hubungan negatif dengan kepuasan kerja.
Berdasarkan analisis regresi berganda, work-life balance, dan keinginan untuk
meninggalkan organisasi, berpengaruh signifikan terhadap kepuasan kerja. Analisis
Independent Sample T-Test, menunjukkan tidak ada perbedaan work-life balance,
keinginan untuk meninggalkan organisasi, kepenatan (burnout), dan kepuasan kerja
menurut jenis kelamin.
2.6 Kerangka Pemikiran
H6
Gambar 2. 1 Kerangka Pemikiran
Sumber: Peneliti
2.8 Hipotesis
1. Bagaimana pengaruh Stres Kerja (X1) terhadap Komitmen Organisasi (X3)
Ho
= Variabel Stres Kerja (X1) tidak berpengaruh secara signifikan terhadap
variable Komitmen Organisasi (X3)
Ha
= Variabel Stres Kerja (X1) berpengaruh secara signifikan terhadap variable
Komitmen Organisasi (X3)
2. Bagaimana pengaruh Stres Kerja (X1) terhadap Kinerja Karyawan (Y)
Ho
= Variabel Stres Kerja (X1) tidak berpengaruh secara signifikan terhadap
variable Kinerja Karyawan (Y)
Ha
= Variabel Stres Kerja (X1) berpengaruh secara signifikan terhadap variable
Kinerja Karyawan (Y)
3. Bagaimana pengaruh Work-Life Balance (X2) terhadap Komitmen Organisasi
(X3)
Ho
= Variabel Work-Life Balance (X2) tidak berpengaruh secara signifikan terhadap
variable Komitmen Organisasi (X3)
Ha
= Variabel Work-Life Balance (X2) berpengaruh secara signifikan terhadap
variable Komitmen Organisasi (X3)
4. Bagaimana pengaruh Work-Life Balance (X2) terhadap Kinerja Karyawan (Y)
Ho
= Variabel Work-Life Balance (X2) tidak berpengaruh secara signifikan terhadap
variable Kinerja Karyawan (Y)
Ha
= Variabel Work-Life Balance (X2) berpengaruh secara signifikan terhadap
variable Kinerja Karyawan (Y)
5. Bagaimana pengaruh Komitmen Organisasi (X3) terhadap Kinerja Karyawan
(Y)
Ho
= Variabel Komitmen Organisasi (X3) tidak berpengaruh secara signifikan
terhadap variable Kinerja Karyawan (Y)
Ha
= Variabel Komitmen Organisasi (X3) berpengaruh secara signifikan terhadap
variable Kinerja Karyawan (Y)
6. Bagaimana pengaruh Stres Kerja (X1) dan Work-Life Balance (X2) terhadap
Komitmen Organisasi (X3) dan dampaknya terhadap Kinerja Karyawan (Y)
Ho
= Variabel Stres Kerja (X1) dan Work-Life Balance (X2) tidak berpengaruh
secara signifikan terhadap variable Komitmen Organisasi (X3) dan tidak berdampak
signifikan terhadap Kinerja Karyawan (Y)
Ha
= Variabel Stres Kerja (X1) dan Work-Life Balance (X2) berpengaruh secara
signifikan terhadap variable Komitmen Organisasi (X3) dan berdampak signifikan
terhadap Kinerja Karyawan (Y)
Download