BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Manajemen 2.1.1 Pengertian Manajemen Menurut Hasibuan (2013:9) manajemen adalah ilmu dan seni mengatur proses pemanfaatan sumber daya manusia dan sumber-sumber lainnya secara efektif dan efisien untuk mencapai suatu tujuan tertentu. 2.1.2 Fungsi-fungsi Manajemen Setiap manajer menjalankan lima buah fungsi: perencanaan (planning), penataan (organizing), penugasan (commanding), koordinasi (coordinating), dan pengendalian (controlling). Robbins (2008:5-6), mengemukakan bahwa pada era modern ini fungsi manajemen lebih di padatkan menjadi perencanaan (planning), penataan (organizing), kepemimpinan (leading),dan pengendalian (controlling). 1. Planning Seorang manajer akan mendefinisikan sasaran-sasaran, menetapkan strategi untuk mencapai sasaran-sasaran itu, dan mengembangkan rencana kerja untuk memadukan dan mengkoordinasikan berbagai aktivitas menuju sasaran-sasaran tersebut. 2. Organizing Dimana seorang manajer melakukan penataan, ia akan menentukan tugas-tugas apa yang harus dikerjakan, siapa yang akan melakukannya, bagaimana tugas- tugas tersebut dikelompokan, siapa yang harus melapor kepada siapa, dan dimana keputusan- keputusan akan diambil. 3. Leading Seorang manager memotivasi para bawahannya, membantu mereka menyelesaikan konflik internal, mengarahkan individu atau kelompok individu dalam bekerja, memilih metode komunikasi yang paling efektif, atau menangani beragam isu lainnya yang berkaitan dengan perilaku karyawan. 4. Controlling Suatu bentuk evaluasi untuk mengetahui sejauh mana segala sesuatunya berjalan sesuai rencana. Untuk memastikan sasaran-sasaran dapat dicapai dan pekerjaanpekerjaan diselesaikan sebagaimana mestinya, seorang manajer harus mengawasi dan menilai kinerja aktual. Kinerja aktual ini harus dibandingkan dengan sasaran-sasaran yang digariskan. Bila sasaran sasaran ini belum tercapai, adalah tugas manajemen untuk mengembalikannya ada jalur yang benar. Proses pengawasan, penilaian, dan koreksi ini adalah apa yang disebut sebagai fungsi pengendalian. 2.1.3 Manajemen Sumber Daya Manusia Menurut Hasibuan (2013:10) manajemen sumber daya manusia adalah ilmu dan seni mengatur hubungan dan peranan tenaga kerja agar efektif dan efisien membantu terwujudnya tujuan perusahaan, karyawan, dan masyarakat. Sedangkan menurut Mathis dan Jackson (2006:3) manajemen sumber daya manusia (human resource-HR Management) adalah rancangan sistem-sistem formal dalam sebuah organisasi untuk memastikan penggunaan bakat manusia secara efektif dan efisien guna mencapai tujuan-tujuan organisasional. Jadi menurut pengertian di atas dapat ditarik sebuah kesimpulan b a h w a manajemen sumber daya manusia adalah ilmu dan seni untuk merancang proses organisasi dengan pengalokasian sumber daya manusia secara efektif dan efisien untuk mencapai tujuan organisasi. 2.1.4 Komponen MSDM Menurut Hasibuan (2013;12), Tenaga kerja manusia pada dasarnya dibedakan atas pengusaha, karyawan dan pemimpin. 1. Pengusaha Adalah setiap orang yang menginvestasikan modalnya untuk memperoleh pendapatan dan besarnya pendapatan itu tidak menentu, tergantung pada laba yang dicapai perusahaan tersebut. 2. Karyawan Karyawan merupakan kekayaan utama suatu perusahaan karena tanpa keikutsertaan mereka, aktivitas perusahaan tidak akan terjadi. Karyawan berperan aktif dalam menetapkan rencana, system, proses dan tujuan yang ingin dicapai. Mereka adalah penjual jasa baik dalam hal pikiran maupun tenaga dan mendapatkan kompensasi yang besarnya telah ditetapkan terlebih dahulu. Mereka wajib dan terikat untuk mengerjakan pekerjaan yang diberikan dan berhak memperoleh kompensasi sesuai dengan perjanjian. Posisi karyawan dalam suatu perusahaan dibedakan atas karyawan operasional dan karyawan manajerial (pimpinan). 3. Pemimpin atau Manajer Pemimpin adalah seseorang yang mempergunakan wewenang dan kepemimpinannya untuk mengarahkan orang lain serta bertanggung jawab atas pekerjaan orang tersebut dalam mencapai suatu tujuan. Kepemimpinan adalah gaya seseorang pemimpin mempengaruhi bawahannya, agar mau bekerja sama dan bekerja efektif. Asas-asas kepemimpinan adalah bersikap tegas dan rasional, bertindak konsisten dan berlaku adil dan jujur. 2.1.5 Aktivitas Manajemen Sumber Daya Manusia Manajemen sumber daya manusia terdiri atas beberapa kelompok aktivitas yang saling berhubungan yang terjadi dalam konteks organisasi. Selain itu, semua manajer yang memiliki tanggung jawab sumber daya manusia harus mempertimbangkan pengaruh lingkungan eksternal hukum, politik, ekonomi, sosial, budaya dan teknologi ketika menyampaikan aktivitas ini. Menurut Mathis dan Jackson (2006:43), ada tujuh aktivitas pokok manajemen sumber daya manusia, yaitu: 1. Perencanaan dan Analisis Sumber Daya Manusia Lewat perencanaan sumber daya manusia, para manajer berusaha untuk mengantisipasi kekuatan yang akan mempengaruhi persediaan dan tuntutan karyawan dimasa depan. Sebagai bagian dari usaha mempertahankan daya saing organisasional, harus ada analisis dan penilaian efektifitas SDM. 2. Kesetaraan Kesempatan Kerja Pemenuhan hukum dan peraturan tentang kesetaraan kesempatan kerja mempengaruhi semua aktivitas sumber daya manusia yang lain dan terintegrasi dengan manajemen. 3. Pengangkatan Pegawai Tujuan utama dari pengangkatan pegawai adalah memberikan persediaan yang memadai atas individu yang kompeten untuk mengisi lowongan pekerjaan dalam sebuah organisasi. 4. Pengembangan Sumber Daya Manusia Dimulai dengan orientasi karyawan baru, pengembangan SDM juga meliputi pelatihan keterampilan pekerjaan. 5. Kompensasi dan Tunjangan Memberikan penghargaan kepada karyawan atas pelaksanaan pekerjaan melalui gaji, insentif dan tunjangan. Para pemberi pekerjaan harus mengembangkan dan memperbaiki sistem upah dan gaji dasar mereka, program insentif juga harus digunakan. Kenaikan yang cepat dalam hal biaya tunjangan, terutama tunjangan kesehatan akan terus menjadi persoalan utama. 6. Kesehatan, Keselamatan dan Keamanan Jaminan atas kesehatan fisik dan mental serta keselamatan para karyawan adalah hal yang sangat penting bagi karyawan. 7. Hubungan Karyawan dengan Manajemen Hubungan antara manajer dan karyawan mereka harus ditangani secara efektif apabila karyawan dan organisasi ingin sukses bersama. 2.2 Stres Kerja 2.2.1 Pengertian Stres Kerja Stres adalah suatu situasi emosional yang tidak menyenangkan yang kita alami ketika terdapat sebuah persyaratan (terkait masalah pekerjaan ataupun bukan) yang tidak dapat kita imbangi atau atasi dengan kemampuan yang kita miliki. Hal ini menyebabkan perubahan emosi yang muncul sebagai reaksi terhadap situasi berbahaya tersebut. Menurut Mondy (2010), stres adalah sebuah reaksi non-spesifik tubuh kepada setiap keadaan atau kebutuhan yang muncul, dan dapat memperngaruhi seseorang dengan cara yang berbeda-beda tergantung akan bagaimana kondisi individu tersebut. Hal ini berasal dari hubungan antara seseorang dengan lingkungannya sehingga muncul tekanan yang bersifat subjektif, karena stressor yang sama dapat mempengaruhi satu orang, tetapi tidak dapat mempengaruhi orang lain. ketika karyawan dapat mengelola tekanan pekerjaan dan setiap kemungkinan untuk menyelesaikan suatu tugas secara prima maka stres justru akan dapat bekerja sebagai faktor pendorong (Halkos, 2008). Menurut Mondy (2010), ia menyatakan bahwa efek stres tidak selamanya negatif, contohnya stres dengan kadar yang ringan dapat meningkatkan produktivitas, serta dapat membantu dalam menciptakan inovasi-inovasi dan ide kreatif yang baru. Stres dalam bentuk positif tersebut lebih dikenal dengan eustress, yaitu stres yang dapat mengarahkan individu yang mengalaminya kepada sebuah pencapaian serta kebahagiaan. Contohnya stres ketika akan menghadapi tantangan seperti yang ditemukan pada manajerial, tekhnikal ataupun public contact job. Namun stres yang tidak dapat dikelola dengan baik akan berdampak buruk bagi individu tersebut dan menyebabkannya terjebak dalam distress, yaitu stres yang terjadi ketika kita mulai merasa kehilangan perasaan aman dan perasaan puas. Atau ketika perasaan tidak berdaya, putus asa dan kekecewaan merubah stres menjadi distress (Snell dan Bohlander, 2010). Sedangkan menurut Muhammad Nassem Shadid, Khalid latif, Nadeem sohail dan Muhammad Allem Ashraf (2012) dalam jurnal yang berjudul Work Stress and Employee Performance in Banking Sector Evidence From District Faisalabad, Pakistan berpendapat bahwa stres kerja adalah masalah yang meningkat dalam organisasi dan lebih sering menimbulkan efek negatif bagi kinerja pekerja. Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa stres kerja adalah keadaan dimana pikiran, emosional dan psikologis dari seorang individu mereaksi suatu kejadian dimana terjadi kesenggangan atau ketidakseimbangan antara kemampuan dan skill individu dengan kapasitas pekerjaan yang diberikan kepada individu tersebut. Namun dengan jumlah tertentu dan pengelolaan yang baik, hal itu justru dapat berdampak positif bagi individu tersebut. 2.2.2 Faktor-Faktor Penyebab Munculnya Stres Kerja Robbins dan Judge (2007), menjelaskan bahwa munculnya stress kerja pada karyawan dapat dilihat melalui 3 faktor utamanya, yang diantara lain: 1. Environmental Factor (Faktor Lingkungan) Antara lain adalah: a. Economic Uncertainties Sebuah akibat dari siklus atau perputaran dunia bisnis yang berpengaruh langsung terhadap perekonomian secara global, sehingga membuat orang-orang semakin khawatir akan keamanan pekerjaannya (job securities). b. Political Uncertainties Segala bentuk ancaman atau perubahan politik yang berpengaruh terhadap kestabilan politik di suatu Negara atau daerah akan mengakibatkan stres pada masyarakatnya. c. Technological Changes Munculnya inovasi-inovasi baru, terutama dalam bidang teknologi seperti komputerisasi, robotic atau automation akan mengakibatkan skill serta pengalaman yang telah lama dimiliki para karyawan akan menjadi usang dan tidak terpakai lagi, sehingga hal ini akan menyebabkan munculnya stres kerja bagi mereka yang seketika harus mempelajari hal-hal yang sangat baru. d. Terrorism Suatu bentuk faktor penyebab stres paling meningkat di abad 21 ini, karena terorisme menyebabkan terjadinya diskriminasi ras atau agama di beberapa wilayah, serta efeknya yang sangat terlihat dalam dunia kerja adalah munculnya ketakutan serta trauma dari para pekerja yang bekerja di bangunan-bangunan pencakar langit, selain itu kini orang-orang mulai takut untuk hadir di dalam acara-acara publik yang besar. 2. Organizational Factor (Faktor Organisasional) Antara lain adalah: a. Task Demands Merupakan faktor yang berhubungan dengan profesi atau pekerjaan seseorang. Baik dalam hal desain kerja, Working condition serta Physical work layout. b. Role Demands Tekanan (pressures) dari suatu peran yang dijalankan suatu individu dalam organisasi. i. Role Conflict : Suatu keadaan yang terjadi akibat ekspektasi dari peran yang dijalankan sulit dicapai. ii. Role Demands : Dimana pekerja berharap untuk dapat mengerjakan banyak hal dalam waktu yang sangat terbatas. iii. Role Ambiguity: Peran yang kurang dimengerti oleh pekerja, bahkan pekerja cenderung tidak yakin akan apa yang harus dikerjakannya. c. Interpersonal Demands Tekanan yang ditimbulkan oleh rekan kerja, biasanya hal ini terjadi dikarenakan kurangnya support dari rekan kerja atau kurangnya Interpersonal Relationship dari individu tersebut terhadap rekan-rekan kerja di lingkungannya 3. Personal Factor (Faktor personal) Antara lain terdiri dari: a. Family Issues Sebuah permasalahan terhadap hubungan pribadi seseorang yang menyebabkan munculnya stres kerja pada diri individu tersebut, dimana beban-beban tersebut sulit atau bahkan tidak ia lepaskan sejak awal ia melewati pintu masuk kantornya. Contohnya seperti kesulitan pernikahan, masalah dalam hubungan personal ataupun masalah mengenai kedisiplinan anaknya. b. Personal Economic Problem Permasalahan ekonomi yang dihadapi oleh individu dimana hal-hal tersebut membuatnya ia tidak bisa konsentrasi dalam menyelesaikan pekerjaannya. c. Inherent Personality Characteristic Munculnya stres yang sebenarnya terjadi karena karakteristik atau sifat sifat dasar dari individu yang bersangkutan. Selain itu Cooper dalam Arnold (2005), terkait dengan seluruh jenis pekerjaan, menjabarkan tujuh faktor yang menyebabkan terjadinya stres kerja, antara lain: 1. Faktor-faktor intrisik pekerjaan antara lain adalah: a. Kondisi lingkungan kerja yang kurang baik Misalnya lingkungan kerja yang bising, pencahayaan yang kurang baik, mtercium bau-bauan, dan lain sebagainya. b. Kerja shift/ kerja malam Kerja shift merupakan sumber utama dari stres bagi para pekerja shift lebih sering mengeluh tentang kelelahan dan gangguan perut daripada para pekerja pagi/siang dan dampak dari kerja shift terhadap kebiasaan makan yang mungkin menyebabkan gangguan-gangguan perut. Pengaruhnya adalah emosional dan biological, karena gangguan ritme circadian dari tidur/daur keadaan bangun (wake cycle), pola suhu, dan ritme pengeluaran adrenalin. c. Jam kerja yang lama dan kerja yang terlalu overload Menurut Sparks et al dalam Arnold (2005), bahwa jam kerja yang panjang secara terus menerus akan merusak kesehatan fisik dan psikologikal individu tersebut. Adapun dua tipe kerja yang telalu overload (work overhead), yaitu overload kuantitatif yaitu banyaknya yang harus dikerjakan, dan overload kualitatif yaitu mengacu pada pekerjaan yang terlalu sulit untuk seseorang. d. Tingkat resiko dan bahaya yang dihadapi Pekerjaan yang mempunyai resiko atau bahaya yang tinggi akan menghasilkan tingkat stres yang tinggi. e. Teknologi baru Mengajarkan teknologi baru dengan cara dan metode yang lama akan menambah beban karyawan yang sedang dilatih. 2. Peraturan dalam organisasi Antara lain adalah: a. Konflik peran dan ketidakjelasan peran Role conflict atau konflik peran merupakan hasil dari tidak konsistennya harapan-harapan berbagai pihak atau persepsi adanya ketidakcocokan antara tuntutan peran dengan kebutuhan, nilai-nilai individu, dan sebagainya. Sebagai akibatnya seseorang yang mengalami konflik peran akan berada dalam suasana yang terombang-ambing, terjepit, dan serba salah. Selain konflik peran yang sudah dijelaskan diatas, ketidakjelasan peran juga merupakan salah satu penyebab terjadinya stres di tempat kerja. b. Tanggung jawab Pada dasarnya, tanggung jawab terdiri dari 2, yaitu tanggung jawab terhadap orang, dan tanggung jawab terhadap sesuatu, termasuk anggaran, perlengkapan, dan bangunan. Tanggung jawab terhadap orang lebih menyebabkan stres, lebih menyebabkan penyakit jantung koroner daripada tanggung jawab terhadap sesuatu. Mempunyai tanggung jawab terhadap orang biasanya memerlukan waktu yang lebih banyak untuk berinteraksi dengan sesama, menghadiri pertemuan-pertemuan dan diharapkan dengan batas waktu. Penelitian membuktikan bahwa senior executive dan semakin besar tanggung jawabnya, maka semakin besar kemungkinan terkena resiko penyakit jantung koroner. 3. Kepribadian Penelitian telah menunjukkan bahwa orang dengan tingkat kecemasan tinggi lebih menderita akibat konflik peran dibandingkan orang yang fleksibel dalam pendekatan mereka terhadap kehidupan. Kecemasan pengalaman individu-individu yang rawan konflik peran lebih akut dan bereaksi dengan ketegangan yang lebih besar daripada orang-orang yang kurang kecemasan rentan; dan lebih fleksibel individu menanggapi konflik peran yang tinggi dengan perasaan ketegangan lebih rendah daripada rekan-rekan mereka yang lebih kaku (Warr dan Wall, dalam Arnold,2005). 4. Hubungan dalam pekerjaan Orang lain dan kita dapat menjadi sumber utama dari stres dan dukungan (Makin et al,dalam Arnold, 2005). a. Hubungan dengan superior Sosik dan Godshalk dalam Arnold (2005), telah menunjukkan bahwa gaya kepemimpinan yang penuh inspirasi dapat secara signifikan mengurangi jumlah stres kerja yang dialami oleh bawahannya. Untuk mengerti bagaimana cara mengelola atasan, penting untuk dapat mengidentifikasikan perbedaan jenis atasan. Cooper et al,dalam Arnold (2005), menemukan bahwa terdapat beberapa prototype atasan, yaitu: yang birokrat, yang otokrat, yang lihay, manajer yang enggan terbuka. Masing-masing harus ditangani dengan cara yang berbeda untuk meminimalkan tingkat stres yang dialami. b. Hubungan antara bawahan dan rekan Stres di antara rekan kerja dapat timbul dari kompetisi, komunikasi yang kurang kancar dan konflik kepribadian. Karena kebanyakan orang menghabiskan begitu banyak waktu di tempat kerja, hubungan antara rekan kerja dapat menjadi dukungan yang sangat berharga, atau sebaliknya dapat menjadi sumber stres yang sangat besar. French dan Caplan dalam Arnold (2005), menemukan bahwa dukungan yang kuat dari rekan-rekan kerja akan mereda ketegangan. Dukungan ini juga mengurangi efek tekanan kerja. 5. Pengembangan Karir a. Job Insecurity Perubahan-perubahan lingkungan menimbulkan masalah baru yang dapat mempunyai dampak pada perusahaan. Re-organisasi dirasakan perlu untuk dapat menghadapi perubahan lingkungan dengan lebih baik. Sebagai akibatnya adalah adanya pekerjaan lama yang hilang dan adanya pekerjaan baru. Setiap re-organisasi menimbulkan ketidakpastian pekerjaan, yang merupakan sumber stres yang potensial. b. Over and Under Promotion Peluang yang kecil untuk promosi, baik karena keadaan tidak mengizinkan maupun karena dilupakan, merupakan pembangkit stres bagi tenaga kerja yang merasa sudah waktunya untuk mendapatkan promosi. Perilaku yang mengganggu, semangat kerja yang rendah dan hubungan antar pribadi yang bermutu rendah, berkaitan dengan stres dari kesenjangan yang dirasakan antara kedudukannya sekarang di organisasi dengan kedudukan yang diharapkan. Sedangkan stres yang timbul karena over-promotion memberikan kondisi beban kerja yang berlebihan serta adanya tuntutan pengetahuan dan keterampilan yang tidak sesuai dekat bakatnya. 6. Budaya dan Iklim Organisasi Bagaimana para tenaga kerja mempersepsikan kebudayaan, kebiasaan, dan iklim dari organisasi adalah penting dalam memahami sumber-sumber stres potensial sebagai hasil dari beradanya mereka dalam organisasi: kepuasan dan ketidakpuasan kerja berkaitan dengan penilaian dari struktur dan iklim organisasi. 7. Home-Work Interface Home-Work Interface atau pekerjaan rumah antar muka biasanya diberi label ‘konflik’ dalam literatur stres. Konflik ini dapat berupa salah satu atau dari dua arah gangguan bekerja dengan keluarga (di mana tuntutan pekerjaan menciptakan kesulitan untuk kehidupan rumah) dan gangguan keluarga dengan pekerjaan (di mana tuntutan kehidupan rumah menciptakan kesulitan untuk bekerja). 2.2.3 Dampak dari Stres Kerja Menurut Griffin dan Moorhead (2011:177), konsekuensi dari stress ada tiga yaitu sebagai berikut : 1. Konsekuensinya terhadap individu meliputi : a. Prilaku, menyebabkan penyalahgunaan obat-obatan dan alkohol, tindak kekerasan, agresi, gangguan nafsu makan. b. Psikologis, menyebabkan gangguan tidur, depresi, menganggu kesehatan mental, kesejahteraan karyawan, menimbulkan masalah dalam keluarga. c. Kesehatan, menyebabkan gangguan terhadap kesejahteraan fisik, penyakit hati, stroke, dan lain-lain. 2. Konsekuensinya terhadap organisasi yaitu menurunnya kinerja, menyebabkan ketidakhadiran, dan keluar masuknya pekerja serta menurunnya motivasi dan kepuasan kerja karyawan. 3. Kelelahan atau kejenuhan (burnout), perasaan akan suatu kelelahan yang terjadi ketika seorang individu mengalami terlalu banyak tekanan dan memiliki sumber kepuasan yang sedikit disaat bersamaan. 2.2.4 Management Stress Sebagian para pengidap stres di tempat kerja akibat persaingan, sering melampiaskan dengan cara bekerja lebih keras yang berlebihan. Ini bukanlah cara efektif yang bahkan tidak menghasilkan apa-apa untuk memecahkan sebab dari stres, justru akan menambah masalah lebih jauh. Pemahaman prinsip dasar, menjadi bagian penting agar seseorang mampu merancang solusi terhadap masalah yang muncul terutama yang berkait dengan penyebab stres dalam hubungannya di tempat kerja. Maka diperlukan pendekatan individu yang tepat dalam mengelola stres, ada dua pendekatan yaitu pendekatan individu dan pendekatan organisasi (Novitasari,2007). 1. Pendekatan Individu Seorang karyawan dapat berusaha sendiri untuk mengurangi tingkatan stresnya. Strategi yang bersifat individual yang cukup efektif yaitu ; pengelolaan waktu, latihan fisik, latihan relaksasi, dan dukungan sosial. a. Dengan pengolaan waktu (Manajemen Waktu) yang baik maka seorang karyawan dapat menyelesaikan tugas dengan baik, tanpa adanya tuntutan kerja yang tergesa-gesa. b. Dengan latihan fisik dapat meningkatkan kondisi tubuh agar lebih prima sehingga mampu menghadapi tuntutan tugas yang berat. c. Selain itu untuk mengurangi stres yang dihadapi pekerja perlu dilakukan kegiatan-kegiatan santai, yaitu melalui relaksasi. d. Dan sebagai strategi terakhir untuk mengurangi stres adalah dengan mengumpulkan sahabat, kolega, keluarga yang akan dapat memberikan dukungan dan saran-saran bagi dirinya. 2. Pendekatan Organisasional Beberapa penyebab stres adalah tuntutan dari tugas dan peran serta struktur organisasi yang semuanya dikendalikan oleh manajemen, sehingga faktor-faktor itu dapat diubah. Oleh karena itu strategi-strategi yang mungkin digunakan oleh manajemen untuk mengurangi stres karyawannya adalah melalui : a. Seleksi personil dan penempatan kerja b. Penetapan tujuan yang realistis c. Redesain pekerjaan d. Pengambilan keputusan partisipatif (keterlibatan pekerja) e. Perbaikan komunikasi organisasional, dan f. Program kesejahteraan Melalui strategi tersebut akan menyebabkan karyawan memperoleh pekerjaan yang sesuai dengan kemampuannya dan mereka bekerja untuk tujuan yang mereka inginkan serta adanya hubungan interpersonal yang sehat serta perawatan terhadap kondisi fisik dan mental (Robbins, 2007). Dan menurut Griffin dan Moorhead (2011:179) ada beberapa strategi untuk mengelola stress di tempat kerja yaitu : 1. Strategi individu mengatasi stress meliputi olahraga, relaksasi, mengelola waktu, mengelola peran, dukungan kelompok. 2. Strategi organisasi mengatasi stress meliputi : a. Program institusional, mengelola stress melalui mekanisme yang didirikan oleh organisasi. Sebagai contoh jam kerja, dapat menyebabkan masalah untuk karyawan, karena mereka terus menyesuaikan pola tidur dan relaksasi. b. Program kolateral atau jaminan, program perusahaan yang secara khusus dibuat untuk membantu karyawan menghadapi stress. Contohnya program pengelolaan stress, program kesehatan dan lain-lain. Sedangkan menurut Mondy (2010). terdapat beberapa cara untuk dapat mengendalikan stres yang dialami individu, yaitu sebagai berikut: 1. Exercise, melakukan olahraga sangatlah efektif dalam mengontrol stress di dalam diri dan pikiran. Stres menyebabkan perubahan molekul-molekul kimiawi dalam tubuh , dan berolahraga berfungsi untuk mengembalikan kondisi normal tubuh seseorang. Olahraga yang dapat dilakukan beragam, misalnya seperti jogging, bersepeda, tenis, bahkan berjalan pun merupakan suatu bentuk olahraga. 2. Good Diet Habits, Individu yang sedang dibawah pengaruh stres biasanya pembakaran energi yang terjadi ditubuhnya menjadi tidak normal , atau lebih besar dibanding proses pembakaran energy pada umumnya. Oleh karena itu pola makan yang baik sangat dibutuhkan, menjauhkan junk food, serta menjaga berat badan yang ideal. 3. Know when to Pullback, relaksasi sangat dibutuhkan oleh penderita stres, sebagian orang mempertahankan stres nya terlalu lama , dan beberapa orang mungkin tidak. Namun seriap orang harus mengetahui kapan ia harus menarik dirinya dari pikiran-pikiran atau masalah yang membuatnya menjadi stres. 4. Put the stressful situation into perspective, beberapa orang cenderung memandang suatu situasi ke dalam masalah hidup dan matinya, hal tersebut dapat mengakibatkan kapasitas stres yang besar. 5. Find someone who will listen, dengan memiliki seseorang yang dapat mendengarkan segala masalah-masalah kita dapat menjauhkan kita dalam memendam masalah tersebut hingga berdampak negatif pada diri kita sendiri. 6. Establish some structure in your life, Stres biasanya terjadi karena ketidak mampuan seseorang dalam menghadapi situasi tertentu, terutama yang bersifat spontan. Oleh karena itu setiap individu harus memiliki perencanaan atau strategi awal dalam menghadapi situasi seperti itu. Establishing structure atau membangun struktur juga bermaksud meninggalkan sementara pekerjaan di kantor, karena hampir setiap orang membutuhkan waktu untuk menjauh sejenak dari pekerjaan untuk mengurangi tingkat stres yang dialaminya. 7. Recognize your own limitations, mungkin diantara beberapa situasi yang mengakibatkan stres kita adalah ketika kita ditempatkan di dalam situasi dimana keterbatasan dan ketidakmampuan menjadi faktor utamanya. Oleh karena itulah kita harus mengetahui batasan dari diri kita sendiri. 8. Be tolerant, belajar untuk dapat mentoleransi satu sama lain dengan orang lain, karena bertoleransi dapat menyadarkan kita kepada kondisi realita yang ada. 9. Pursue outside diversions, setiap individu perlu membangun keseimbangan antara pekerjaan dengan kehidupannya, komitmen dengan waktu luang. 10. Avoid artificial control, hilang kendali dapat menyebabkan stres, namun cara terakhir dan terburuknya dalam mengembalikan pengendalian diri adalah dengan menggunakan kepalsuan diri (menutupi kondisi asli). 2.3 Work-Life Balance 2.3.1 Pengertian Work-Life Balance Kehidupan setiap orang dewasa adalah kehidupan yang kompleks , karena setiap individu memiliki 2 peranan sekaligus di dua atau lebih tempat yang mungkin berbeda. Suatu individu harus bisa menghidupi keluarganya melalui penghasilan yang ia dapatkan , sedangkan untuk mendapatkan penghasilan tersebut individu tersebut harus bekerja di suatu tempat , yang dimana di tempat tersebut individu tersebut memiliki peranan yang lain. Sehingga suatu individu harus dapat menyeimbangkan prioritas kerja dengan prioritas keluarga. Tanpa ada pengelolaan yang baik maka kemungkinan terburuk yang terjadi adalah work-family conflict. Yaitu terjadinya kesenggangan atau ketidakseimbangan peranan di keluarga dengan di pekerjaan. Salah satu cara dalam menghindari kemungkinan terburuk tersebut adalah dengan menerapkan work-life balance yang baik. Work-life balance merupakan faktor penting bagi tiap karyawan, agar karyawan memiliki kualitas hidup yang seimbang dalam berhubungan dengan keluarganya dan seimbang dalam pekerjaan. Lockwood dalam Kreitner dan Cassidy (2006), work-life balance adalah suatu keadaan seimbang pada dua tuntutan dimana pekerjaan dan kehidupan seorang individu adalah sama. Dimana work-life balance dalam pandangan karyawan adalah pilihan mengelola kewajiban kerja dan pribadi atau tanggung jawab terhadap keluarga. Sedangkan dalam pandangan perusahaan work-life balance adalah tantangan untuk menciptakan budaya yang mendukung di perusahaan dimana karyawan dapat fokus pada pekerjaaan mereka sementara di tempat kerja. Sedangkan menurut Preeti Singh dan Parul Khanna (2011), work-life balance adalah konsep luas yang melibatkan penetapan prioritas yang tepat antara “pekerjaan“ (karir dan ambisi) pada satu sisi dan “kehidupan” (kebahagiaan, waktu luang, keluarga dan pengembangan spiritual) disisi lain. Selain itu menurut Mondy (2010), Bagi perusahaan, menciptakan sebuah lingkungan Work-Life Balance dapat menjadi strategi kunci dalam menarik minat para pekerja yang bertalenta dan profesional untuk bergabung dengan perusahaan tersebut. Karena dengan menciptakan lingkungan tersebut maka akan memberikan kesempatan atau kelonggaran terhadap para karyawannya untuk dapat menghabiskan waktunya serta berkomunikasi dengan keluarganya, komunitasnya serta kegiatan kegiatan sosial lainnya. Sehingga mereka akan sangat menghargai hal tersebut. Hal yang sama dikemukakan oleh Snell dan Bohlander (2010), bahwa perusahaan menerapkan work-life programs untuk mengakomodasi masuknya karyawan-karyawan dari generasi Y kedalam perusahaan, yaitu grup pekerja yang terbilang baru yang memiliki visi mereka sendiri mengenai tempat kerja serta karirnya, suatu hal yang dapat dipenuhi dengan diterapkannya work-life programs. Selain itu menurut studi dari Mellan Financial Human Resource and Investor Solutions oleh Kacher dan Hastings (2007), menemukan bahwa alasan perusahaan menawarkan work-life program adalah untuk meningkatkan moral (74 persen responden), meningkatkan upaya perekrutan karyawan berkualitas (73 persen responden) serta mempertahankan keunggulan kompetitif serta image industry (72 persen responden). Glass and Estes dalam Morgan (2009), telah mengidentifikasi tiga bidang utama kebijakan work-life balance , sebagai berikut: a. Fleksibilitas untuk memungkinkan pekerja untuk memenuhi tugas mereka sebagai orang tua - seperti lebih banyak akses ke pekerjaan paruh waktu, kerja dengan jangka waktu, dan penyediaan cuti untuk melahirkan, perawatan anak dan perawatan tanggungan lainnya. b. Fleksibilitas waktu kerja dan lokasi kerja. ini melibatkan jam kerja yang fleksibel; compressed work weeks; pembagian kerja; dan teleworking atau bekerja dari rumah. c. Assistance dengan childcare, eldercare, perawatan anak usia sekolah anak-anak selama liburan sekolah atau saat sakit. Berdasarkan pendapat para pakar diatas, dapat ditarik sebuah konklusi bahwa work-life balance adalah keseimbangan hidup, yaitu waktu luang, keluarga, agama dan kerja dimana karir dan ambisi pada seorang individu seharusnya sama atau seimbang untuk mengurangi ketegangan antara pekerjaaan dan kehidupan kerjanya. Dimana perusahaan membantu para karyawan untuk menyeimbangkan kehidupan dan kerja karyawan dengan menciptakan program family friendly benefit yang mendukung kesejahteraan karyawannya sehingga karyawan tidak mengorbankan tanggung jawab mereka. Selain itu bagi perusahaan yang menjalankan work-life balance terbukti dapat membantu perusahaan dalam proses rekrutmen, untuk menarik para calon karyawan yang berkualitas, bertalenta, serta profesional, untuk bergabung dengan perusahaan tersebut dikarenakan bentuk benefit yang sangat dibutuhkan oleh setiap pekerja, yaitu waktu serta kesempatan. 2.3.2 Komponen-komponen Work-Life Balance Menurut Mcdonald dan Bradley (2005), menyatakan bahwa Work-life balance dapat diukur melalui beberapa komponen-komponennya yang terdiri dari : 1. Keseimbangan Waktu (Time Balance) Merujuk pada jumlah waktu yang dapat diberikan oleh individu baik bagi pekerjaannya maupun hal-hal diluar pekerjaan misalnya seperti waktu bagi keluarganya. Schermerhorn dalam Malika (2013), menjelaskan bahwa hal ini menyangkut waktu yang digunakan oleh karyawan dalam pekerjaan dimulai dari lama perjalanan karyawan tersebut dari rumah menuju kantor hingga kembali ke rumah lagi. Keseimbangan waktu yang dimiliki oleh karyawan menentukan jumlah waktu yang dialokasikan oleh karyawan pada pekerjaan maupun kehidupan pribadi mereka dengan keluarga, beragam aktivitas kantor, keluarga atau tempat bersosialisasi lainnya hanya dapat dimiliki karyawan jika ia memiliki keseimbangan waktu. Keseimbangan waktu yang dicapai karyawan menunjukkan bahwa tuntutan dari keluarga terhadap karyawan tidak mengurangi waktu professional dalam menyelesaikan pekerjaan. 2. Keseimbangan Keterlibatan (Involvement Balance) Jumlah atau tingkat keterlibatan secara psikologis dan komitmen suatu individu dalam pekerjaannya maupun hal-hal diluar pekerjaannya (Schemerhorn, 2005). Waktu yang dialokasikan dengan baik belum tentu cukup sebagai dasar pengukuran tingkat work-life balance karyawan, melainkan harus didukung dengan jumlah atau kapasitas keterlibatan yang berkualitas disetiap kegiatan yang karyawan tersebut jalani. Sehingga karyawan harus terlibat secara fisik dan emosional baik dalam kegiatan pekerjaan, keluarga maupun kegiatan sosial lainnya, barulah involvement balance akan tercapai 3. Keseimbangan Kepuasan (satisfaction Balance) Menurut Schemerhorn (2005), keseimbangan kepuasan adalah jumlah tingkat kepuasan suatu individu terhadap kegiatan pekerjaannya maupun hal-hal diluar pekerjaannya. Kepuasan akan timbul sendiri apabila karyawan menganggap apa yang dilakukannya selama ini cukup baik dan dapat mengakomodasi kebutuhan pekerjaan maupun keluarga. Hal ini dilihat dari kondisi yang ada pada keluarga, hubungan dengan teman teman maupun rekan kerja, serta kualitas dan kuantitas pekerjaan yang diselesaikan. 2.3.3 Strategi Untuk Menciptakan Work-Life Balance Menurut Preeti Singh dan Parul Khanna (2011) telah merumuskan 10 strategi untuk menumbuhkan “ Work Life Balance “ yaitu : 1. Jam kerja yang fleksibel, menyediakan penyusunan waktu yang fleksibel dan dapat dikonsultasikan untuk seluruh karyawan. 2. Kerja paruh waktu, menyediakan lebih banyak kerja paruh waktu dengan jam atau shift yang lebih sedikit atau penyusunan pembagian kerja untuk seluruh karyawan. 3. Jam kerja yang masuk akal, mengurangi lama waktu kerja yang berlebihan. 4. Akses untuk penanganan anak, meningkatkan akses untuk penanganan anak dengan fasilitas penanganan anak di kantor bagi yang membutuhkan fasilitas tersebut. 5. Penyusunan pekerjaan yang fleksibel, menyediakan fleksibilitas yang lebih baik dalam penyusunan pekerjaan untuk menyesuaikan kondisi personal karyawan, termasuk menyediakan waktu penuh untuk anggota keluarga. 6. Cuti harian, mengizinkan karyawan untuk meminta dan mengambil cuti dalam waktu harian. 7. Mobilitas pekerjaan, menyediakan mobilitas yang lebih baik untuk karyawan dapat berpindah dari rumah sakit, tempat kerja dan layanan kesehatan untuk menemukan penyusunan pekerjaan yang lebih sesuai. 8. Keamanan dan kesejahteraan, meningkatkan keamanan, kesejahteraan dan rasa hormat untuk seluruh karyawan di tempat kerja. 9. Akses telepon, memastikan seluruh karyawan dapat menerima telepon atau pesan mendesak dari keluarga mereka di tempat kerja, dan mendapat akses telepon untuk tetap dapat menghubungi keluarga mereka selama jam kerja. 2.3.4 Bentuk-bentuk Work-Life Balance Menurut Mondy (2010), keseimbangan pekerjaan dengan kehidupan pekerja dapat dilakukan dengan beberapa cara sebagai berikut : 1. Flextime Sebuah praktek dimana perusahaan memperbolehkan karyawannya untuk menentukan jam kerjanya sendiri, dengan batasan-batasan atau standar tertentu yang telah disetujui oleh pihak perusahaan. Harvard Study menunjukkan bahwa komponen kerja yang paling dipentingkan oleh karyawan adalah, “Memiliki jam & jadwal kerja yang memungkinkan mereka untuk dapat menghabiskan waktu dengan keluarganya.” Selain itu flextime memberikan kesempatan para karyawan untuk meningkatkan kemampuan personalnya atau memanfaatkan kesempatannya, yaitu misalnya dalam hal edukasi, seminar, atau pelatihanpelatihan. 2. Compressed Workweek Yaitu sebuah bentuk pengaturan jam kerja karyawan yang memberikan para karyawannya kesempatan untuk memenuhi tugas-tugas pekerjaannya di luar waktu kerja regulernya (kurang dari 5 hari, 8 jam sehari, dll). Dibawah pengaturan jam kerja ini karyawan biasanya menunjukkan job satisfaction yang lebih besar, produktifitas yang meningkat serta mengurangi potensi turnover & absensi. Hal ini dikarenakan metode compressed workweek memberikan potensi pemakaian waktu luang yang lebih baik untuk kehidupan keluarga, business personal ataupun rekreasi. Contoh jenis-jenis pengaturan kerja compressed workweek adalah sebagai berikut: a. 10 Jam per Hari b. 9 Jam per Hari c. 12 Jam per Hari , serta d. Setengah hari di hari Jumat. 3. Job Sharing Sebuah proses penentuan waktu kerja dimana melibatkan 2 orang yang sepakat saling berbagi waktu untuk berbagi tugas atas suatu pekerjaan dengan sebuah persetujuan tertentu, serta upah/gaji yang sesuai dengan kontribusi masing-masing karyawan tersebut. Dan dalam hal ini rekan atau partner kerja haruslah sesuai dengan standar tertentu (compatible), memiliki communication skill yang baik serta memiliki ikatan terpercaya dengan Manager. 4. Telecommuting Sebuah metode Work arrangement yang bergantung pada lokasi atau keadaan dimana karyawan tersebut berada. Yaitu dimana karyawan diizinkan mengerjakan pekerjaannya dirumah (diluar kantor) menggunakan computer atau alat komunikasi elektronik lainnya yang dapat menghubungkannya langsung dengan kantor atau perusahaannya. Terdapat beberapa hal yang mendukung akan dilakukannya metode ini yang diantara lain : a. Alat komunikasi & IT yang semakin berkembang, sehingga memungkinkan perpindahan data & komunikasi melalui online yang begitu cepat. b. Traffic Congestion, atau kemacetan lalu lintas yang pasti terjadi setiap jam berangkat atau pulang kantor. c. Frustation with Commuting, atau tingkat kepenatan serta tekanan akan proses perjalanan kerja yang dilakukan oleh para komuter, mereka yang selalu pulang-pergi lintas kota untuk bekerja setiap harinya. d. Serta tingginya harga bahan bakar gas untuk kendaraan para pekerja tersebut. 5. Part-Time Work Dimana karyawan menjalankan jam kerja serta porsi kerja setengah dari standar kerja regular pada umumnya, tentunya dengan upah / gaji yang sesuai dengan porsi kerjanya. Namun meskipun gaji, upah atau benefit yang ditawarkan part time work tidak sebesar full time work, hal tersebut akan membantu para pekerja dalam hal transisi dari full time employment, selain itu metode ini terbukti dapat menciptakan individu-individu yang berkualitas dalam pasar tenaga kerja, karena metode ini memberikan keleluasaan penuh bagi karyawan untuk mengurus pekerjaannya dan kebutuhan pribadinya sendiri terutama dalam hal melanjutkan studi-nya. 2.3.5 Manfaat Dan Tujuan Program Work-Life Balance Lewison dalam sebuah jurnal berjudul “The Work/Life Balance Sheet” yang dirilis oleh Journal of accountancy (2006), menjelaskan bahwa program keseimbangan hidup dan kerja dapat mempengaruhi karyawan secara positif. Tujuan dari program keseimbangan hidup dan kerja yaitu : 1. mengurangi absensi 2. mengurangi turnover 3. meningkatkan produktivitas 4. mengurangi biaya lembur 5. mempertahankan klien 2.4 Komitmen Organisasi 2.4.1 Pengertian Komitmen Organisasi Komitmen Organisasi (Organizational Commitment) merupakan salah satu tingkah laku dalam organisasi yang banyak dibicarakan dan diteliti, baik sebagai variable terikat, variabel bebas, maupun variable mediator. Hal ini antara lain dikarenakan organisasi membutuhkan karyawan yang memiliki komitmen organisasi yang tinggi agar organisasi dapat terus bertahan serta meningkatkan jasa dan produk yang dihasilkannya. Sedangkan menurut Mathis & Jackson (2006:122), Komitmen Organisasi didefinisikan sebagai sebuah tingkat sampai dimana karyawan yakin dan menerima tujuan organisasional, serta berkeinginan untuk tinggal bersama organisasi tersebut. Berbagai studi penelitian menunjukkan bahwa orang-orang yang relatif puas dengan pekerjaannya akan sedikit lebih berkomitmen terhadap organisasi, oleh karena itulah komitmen organisasi dan kepuasan kerja dihubungkan oleh Mathis & Jackson. Selain itu menurut Robbins (2007), Komitmen organisasi merupakan suatu keadaan dimana seorang karyawan memihak kepada suatu organisasi dan tujuan-tujuannya, serta berniat memelihara keanggotaannya didalam organisasi tersebut. Lalu dilanjutkan oleh Jamal (2011), bahwa dengan demikian, komitmen organisasi, terutama komitmen afektif, merupakan sesuatu hal di luar loyalitas yang pasif untuk sebuah organisasi. Sebaliknya, melibatkan hubungan yang aktif dengan organisasi di mana individu tersebut bersedia memberikan sesuatu dari diri mereka sendiri untuk membantu organisasi sukses dan sejahtera. Namun di sisi lain, komitmen organisasi dianggap dapat menjadi sebuah moderator terhadap hubungan antara job stress dengan job performance. Faktor organisasional berperan penting terhadap timbulnya job stress. Selain itu individual dengan tingkat komitmen organisasi yang berbeda akan otomatis mengalami tingkat job stress yang berbeda juga (Jamal,2011). Dari pernyataan para ahli diatas dapat disimpulkan bahwa komitmen organisasi tercakup unsur mengenai loyalitas atau keberpihakan terhadap perusahaan, keterlibatan dalam pekerjaan, dan identifikasi terhadap nilai-nilai dan tujuan-tujuan perusahaan. Maka pada intinya komitmen organisasi yaitu adalah sebuah proses pada individu karyawan yang menunjukkan kesediaannya untuk berkontribusi kepada perusahaan secara penuh dalam hal mendukung terwujudnya peningkatan produktivitas perusahaan.. 2.4.2 Bentuk - Bentuk Komitmen Organisasi Menurut Robbins dan Judge dalam Allen dan Mayer (2007), bentuk-bentuk komitmen organisasi adalah: a. Affective Commitment Ialah kuatnya keinginan seseorang dalam bekerja bagi organisasi atau perusahaan disebabkan karena ia setuju serta sejalan dengan tujuan-tujuan organisasi tersebut dan ingin melakukannya. Ini berarti, komitmen afektif berkaitan dengan keterikatan emosional karyawan, identifikasi karyawan dan keterlibatan karyawan pada organisasi. Dalam hal ini komitmen afektif sesorang akan menjadi lebih kuat bila pengalamannya dalam organisasi dengan harapanharapan dan memuaskan kebutuhan dasarnya dan sebaliknya. Sehingga dapat dikatakan pekerja ini memiliki komitmen terhadap organisasi karena keinginannya sendiri. b. Continuance Commitment Ialah kuatnya keinginan seseorang dalam melanjutkan pekerjaannya bagi organisasi disebabkan karena dia membutuhkan pekerjaan tersebut dan tidak dapat melakukan pekerjaan yang lain, karena ia memiliki kesadaran akan ketidakmungkinan memilih identitas sosial lain ataupun alternative tingkah laku lain karena adanya ancaman akan kerugian besar yang akan menghadangnya jika ia keluar. Hal ini menunjukkan adanya pertimbangan untung rugi dalam diri karyawan atau individu berkaitan dengan keinginan untuk tetap bekerja atau justru meninggalkan organisasi. Dengan kata lain, pekerja ini memiliki komitmen dengan organisasi karena ia membutuhkannya. c. Normative Commitment Ialah kuatnya keinginan seseorang dalam melanjutkan pekerjaannya bagi organisasi disebabkan karena dia merasa berkewajiban dari orang lain untuk dipertahankan. Dengan kata lain, komitmen normatif berkaitan dengan perasaan wajib untuk tetap bekerja dalam organisasi, yang melibatkan tingkah laku karyawan didasari pada adanya keyakinan tentang “apa yang benar” serta berkaitan dengan masalah moral, serta perasaan berhutang budi atas apa yang telah diberikan perusahaan selama ini seperti pelatihan, dll. Maka dari itu pekerja ini berkomitmen dengan organisasinya karena merupakan sebuah keharusan baginya. 2.4.3 Ciri-Ciri Komitmen Organisasi Menurut Michaels dalam Budiharjo (2005), ciri-ciri komitmen organisasi dijelaskan sebagai berikut: a. Ciri-ciri komitmen pada pekerjaan : Menyenangi pekerjaannya, tidak pernah melihat jam untuk segera bersiap-siap pulang, mampu berkonsentrasi pada pekerjaannya, tetap memikirkan pekerjaan walaupun tidak bekerja b. Ciri-ciri komitmen dalam kelompok : Sangat memperhatikan bagaimana orang lain bekerja, selalu siap menolong teman kerjanya. Selalu berupaya untuk berinteraksi dengan teman kerjanya, memperlakukan teman kerjanya sebagai keluarga, selalu terbuka pada kehadiran teman kerja baru. c. Ciri-ciri komitmen pada organisasi antara lain : Selalu berupaya untuk mensukseskan organisasi, selalu mencari informasi tentang kondisi organisasi, selalu mencoba mencari komplementaris antara sasaran organisasi dengan sasaran pribadinya, selalu berupaya untuk memaksimalkan kontribusi kerjanya sebagai bagian dari usaha organisasi keseluruhan, menaruh perhatian pada hubungan kerja antar unit organisasi, berpikir positif pada kritik teman-teman, menempatkan prioritas di atas departemennya, tidak melihat organisasi lain sebagai unit yang lebih baik, memiliki keyakinan bahwa organisasinya memiliki harapan untuk berkembang, berpikir positif pada pimpinan puncak organisasi. 2.4.4 Membangun Komitmen Organisasi Dessler dalam Sopiah (2008;159), mengemukakan bahwa sejumlah cara yang bisa dilakukan untuk membangun komitmen karyawan pada organisasi, yaitu: 1. Make it Charismatic Jadikan visi dan misi organisasi sebagai sesuatu yang karismatik, sesuatu yang dijadikan pijakan, dasar bagi setiap karyawan dalam berperilaku, bersikap dan bertindak. 2. Build the tradition Segala sesuatu yang baik di organisasi jadikanlah sebagai suatu tradisi yang secara terus menerus dipelihara, dijaga oleh generasi berikutnya. 3. Have comprehensive grievance procedures Bila ada keluhan atau complain dari pihak luar ataupun dari internal organisasi maka organisasi harus memiliki prosedur untuk mengatasi keluhan tersebut secara menyeluruh. 4. Provide extensive two-way communications Jalinlah komunikasi dua arah di organisasi tanpa memandang rendah bawahan. 5. Create a sense of community Jadikan semua unsure dalam organisasi sebagai suatu komunitas, dimana di dalamnya ada nilai-nilai kebersamaan, rasa memiliki, kerja sama dan berbagi. 6. Build value-based homogeneity Membangun nilai-nilai yang didasarkan adanya kesamaan. Setiap anggota organisasi memiliki kesempatan yang sama, misalnya untuk promosi maka dasar yang digunakan untuk promosi adalah kemampuan, keterampilan, minat, motivasi, kinerja, tanpa ada diskriminasi. 7. Share and share alike Sebaiknya organisasi membuat kebijakan di mana antara karyawan level bawah sampai yang paling atas tidak terlalu berbeda atau mencolok dalam segi kompensasi yang diterima, gaya hidup dan penampilan fisik. 8. Emphasize barnraising, cross-utilization and teamwork Organisasi sebagai sebuah komunitas harus bekerja sama, saling berbagi, saling memberi manfaat dan memberikan kesempatan yang sama pada anggota organisasi. Semua harus memberikan kontribusi yang maksimal demi keberhasilan organisasi tersebut. 9. Get together Gelar acara-acara yang melibatkan semua anggota organisasi, seperti acara rekreasi, olahraga, piknik dan acara kesenian, sehingga kebersamaan antar rekan kerja bisa terjalin. 10. Support employee development Jika organisasi memperhatikan perkembangan karier karyawan dalam jangka panjang maka otomatis karyawan akan semakin merasa berkomitmen terhadap organisasi tersebut. 11. Commit to actualizing Setiap karyawan diberikan kesempatan yang sama untuk mengaktualisasikan diri secara maksimal di organisasi sesuai dengan kapsitas masing-masing. 12. Provide first-year job challenge Berikan bantuan yang kongkret bagi karyawan untuk mengembangkan potensi yang dimilikinya dan mewujudkan impiannya. Jika pada tahap-tahap wala karyawan memiliki persepsi yang positif terhadap organisasi maka karyawan akan cenderung memiliki kinerja yang tinggi pada tahap-tahap berikutnya. 13. Enrich and empower Ciptakan kondisi agar karyawan bekerja tidak secara monoton, karena rutinitas akan menimbulkan perasaan bosan bagi karyawan. Misalnya dengan rotasi kerja, tantangan dalam tugas, kewajiban dan otoritas tambahan. 14. Promote from within Memberikan kesempatan promosi bagi pihak intern perusahaan terlebih dahulu, sebelum merekrut karyawan dari luar perusahaan untuk mengisi posisi atau lowongan baru. 15. Provide development activities Bila organisasi membuat kebijakan untuk merekrut karyawan dari dalam sebagai prioritas maka dengan sendirinya hal itu akan memotivasi karyawan untuk terus tumbuh dan berkembang personalnya, juga jabatannya. 16. The question of employee security Bila karyawan merasa aman, baik fisik maupun psikis, maka komitmen akan muncul dengan sendirinya. 17. Commit to people-first values Perusahaan harus benar-benar memberikan perlakuan yang benar pada masa awal karyawan memasuki organisasi. Dengan demikian karyawan akan mempunyai persepsi yang positif terhadap organisasi. 18. Put it in writing Data-data tentang kebijakan, visi, misi, semboyan, filosofi, sejarah, dan strategi organisasi sebaiknya dibuat dalam bentuk tulisan, bukan sekedar bahasa lisan. 19. Hire “Right-Kind” Managers Pimpinan seharusnya memberikan teladan dalam bentuk sikap dan perilaku sehari-hari dengan tujuan menanamkan nilai-nilai, kebiasaan-kebiasaan, aturanaturan dan kedisiplinan pada bawahannya. 20. Walk the talk Tindakan jauh lebih efektif dari sekedar kata-kata. Bila pimpinan ingin karyawannya berbuat sesuatu maka sebaiknya pimpinan tersebut mulai berbuat sesuatu, tidak sekedar kata-kata atau bicara. 2.4.5 Proses Terjadinya Komitmen Organisasi Minner dalam Sopiah (2008;163), menjelaskan bahwa proses terjadinya komitmen organisasional, yaitu sebagai berikut: 1. Fase Awal, Innitial Commitment Faktor yang berpengaruh terhadap komitmen karyawan pada organisasi adalah: a. Karakteristik Individu b. Harapan-harapan karyawan pada organisasi, dan c. Karakteristik pekerjaan. 2. Fase Kedua, Commitment During Early Employment Pada fase ini karyawan sudah bekerja selama beberapa tahun. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap komitmen karyawan pada organisasi adalah pengalaman kerja yang ia rasakan pada tahap awal dia bekerja, bagaimana pekerjaannya, bagaimana sistem penggajiannya, bagaimana gaya supervisinya, bagaimana hubungan dia dengan teman sejawat atau hubungan dia dengan pimpinanya. Semua faktor ini akan membentuk komitmen awal dan tanggung jawab karyawan pada organisasi yang pada akhirnya akan bermuara pada komitmen karyawan pada awal memasuki dunia kerja. 3. Fase Ketiga, Commitment During Later Career Faktor yang berpengaruh terhadap komitmen pada fase ini berkaitan dengan investasi, mobilitas kerja, hubungan social yang tercipta di organisasi dan pengalaman-pengalaman selama ia bekerja. 2.4.6 Dampak Komitmen Organisasi Menurut Sopiah (2008:166), komitmen karyawan terhadap organisasi adalah bertingkat, dari tingkatan yang sangat rendah hingga tingkatan yang sangat tinggi. Jika ditinjau dari segi organisasi, karyawan yang berkomitmen rendah akan berdampak pada turnover, tingginya tingkat absensi, meningkatnya kelambanan kerja, kurangnya intensitas untuk bertahan sebagai karyawan di organisasi tersebut, rendahnya kualitas kerja dan kurangnya loyalitas pada perusahaan. Lalu Near dan Jensen dalam Sopiah (2008) menambahkan bahwa bila komitmen karyawan rendah maka ia bisa memicu perilaku karyawan yang kurang baik, misalnya tindakan kerusuhan yang berdampak lebih lanjut terhadap reputasi organisasi yang menurun, kehilangn kepercayaan dari klien, dan dampak yang lebih jauh lagi adalah menurunnta laba perusahaan. Namun dilain sisi, karyawan yang memiliki komitmen organisasi yang tinggi maka dampaknya akan terlihat pada tingkat stress kerja yang berkurang (Begley dan Czajka dalam Sopiah, 2008:167). Kemudian ditambahkan oleh Hackett dan Guinon dalam Sopiah (2008), karyawan yang memiliki komitmen organisasi yang tinggi akan berdampak pada karyawan tersebut yaitu lebih puas dengan pekerjaannya dan tingkat absensinya menurun. 2.5 Kinerja Karyawan 2.5.1 Pengertian Kinerja Karyawan Berikut adalah pendapat dari beberapa ahli, Menurut Mangkunegara (2007: 67) Kinerja Karyawan adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seseorang karyawan dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Kemudian menurut Wirawan (2009), menyatakan bahwa kinerja merupakan singkatan dari kinetika energi kerja, atau yang berartu keluaran yang dihasilkan oleh fungsi-fungsi atau indikator-indikator suatu pekerjaan atau suatu profesi dalam waktu tertentu. Misalkan indikator pekerjaan seorang manajer adalah merencanakan pekerjaan, mengorganisasikan jalannya pekerjaan, memimpin jalannya pekerjaan serta mengontrol berjalannya suatu pekerjaan, dari itu maka kinerja manajer adalah jumlah keluaran dari keempat indikator tersebut. Selain itu pengertian prestasi kerja Menurut Malayu Hasibuan (2005:87), adalah suatu hasil kerja yang dicapai seseorang dalam melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya yang didasarkan atas kecakapan, pengalaman dan kesungguhan serta waktu. Sedangkan Menurut As'ad dalam Brahmasari (2008), mengemukakan bahwa kinerja seseorang merupakan ukuran sejauh mana keberhasilan seseorang dalam melakukan tugas pekerjaannya. Dan menurut Dessler (2006) kinerja pegawai merupakan prestasi kerja, yakni perbandingan antara hasil kerja yang dapat dilihat secara nyata dengan standar kerja yang telah ditetapkan organisasi. Dari seluruh definisi kinerja karyawan yang dijelaskan oleh para ahli maka dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa kinerja karyawan adalah sebuah hasil atau keluaran yang ditunjukkan atau diperlihatkan oleh karyawan baik dalam bentuk kualitas maupun kuantitas dalam sebuah penyelesaian dan pengerjaan tugas yang dilimpahkan kepadanya oleh organisasi atau perusahaan tempat karyawan tersebut bekerja. Sehingga kinerja karyawan adalah salah satu tolak ukur terpenting akan kinerja dari keseluruhan organisasi, berhasil atau tidaknya suatu kinerja organisasi bisa diketahui dari kinerja karyawankaryawannya. 2.5.2 Faktor-Faktor yang mempengaruhi Kinerja Menurut Mathis dan Jackson (2006, p113-114) terdapat 3 faktor utama yang mempengaruhi kinerja karyawan, yaitu 1) Kemampuan Individual Kemampuan individual karyawan ini mencakup bakat, minat, dan faktor kepribadian.Tingkat keterampilan, bahan mentah yang dimiliki seseorang berupa pengetahuan, pemahaman, kemampuan, kecakapan interpersonal, dan kecakapan tekhnis. Dengan demikian, kemungkinan seorang karyawan akan mempunyai kinerja yang baik, jika karyawan tersebut memiliki keterampilan yang baik maka karyawan tersebut akan menghasilkan kinerja yang baik pula. 2) Usaha yang dicurahkan Usaha yang dicurahkan dari karyawan bagi perusahaanadalah etika kerja, kehadiran, dan motivasinya. Tingkat usahanya, merupakan gambaran motivasi yang diperlihatkan karyawan untuk menyelesaikan pekerjaan dengan baik. Dari itu, kalaupun karyawan mempunyai tingkat keterampilan untuk mengerjakan pekerjaan, akan tetapi tidak akan bekerja dengan baik jika hanya sedikit upaya. 3) Dukungan Organisasional Dalam dukungan organisasional, perusahaan menyediakan fasilitas bagi karyawan meliputi pelatihan, peralatanteknologi, dan manajemen atau rekan kerja. Kinerja pada dasarnya adalah apa yang dilakukan atau tidak dilakukan karyawan. Kinerja karyawan adalah apa yang mempengaruhi sebanyak mereka memberikan kontribusi pada organisasi. Tabel 2. 1 Faktor-faktor yang mempengaruhi Kinerja Sumber: Mathis dan Jackson (2006) 2.5.3 Aspek-Aspek Kinerja Sedangkan menurut Husein Umar dalam Mangkunegara (2007: 18), membagi aspek-aspek kinerja sebagai berikut: 1) Mutu Pekerjaan 6) Kerja Sama 2) Kejujuran Karyawan 7) Keandalan 3) Inisiatif 8) Pengetahuan pekerjaan 4) Kehadiran 9) Tanggung Jawab 5) Sikap 10) Pemanfaatan waktu kerja 2.5.4 Penilaian Kinerja Menurut Mangkunegara (2013: 69), Penilaian kinerja atau prestasi pegawai adalah suatu proses penilaian prestasi kerja pegawai yang dilakukan pemimpin perusahaan secara sistematik berdasarkan pekerjaan yang ditugaskan kepadanya. Pemimpin perusahaan yang menilai prestasi kerja pegawai, yaitu atasan pegawai langsung, dan atasan tak langsung. Di samping itu pula, kepala bagian personalia berhak pula memberikan penilaian prestasi terhadap semua pegawainya sesuai dengan data yang ada di bagian personalia. E. Sikula dalam Mangkunegara (2013: 73), mengemukakan bahwa ruang lingkup pengukuran kinerja berumuskan sebagai berikut: 5W + 1H, yaitu WHO, WHAT, WHY, WHEN, WHERE dan HOW 1. Who (Siapa?) Pertanyaan ini mencakup: a. Siapa yang harus dinilai? Yaitu seluruh tenaga kerja yang ada dalam organisasi dari jabatan yang tertinggi sampai dengan pegawai jabatan terendah b. Siapa yang harus menilai? Penilaian kinerja dapat dilakukan oleh atasan langsung dan atasan tidak langsung. Atau penilaian kinerja dapat ditunjuk orang tertentu yang menurut pemimpin perusahaan memiliki keahlian dalam bidangnya 2. What (Apa?) Apa yang harus dinilai, yaitu: a. Objek/materi yang dinilai antara lain hasil kerja, kemampuan sikap, kepemimpinan kerja, dan motivasi kerja. b. Dimensi waktu, yaitu kinerja yang dicapai pada saat ini dan potensi yang dapat dikembangkan pada waktu yang akan dating. 3. Why (Mengapa?) Mengapa penilaian kinerja itu harus dilakukan? Hal ini untuk: a. Memelihara potensi kerja b. Menentukan kebutuhan pelatihan kerja c. Dasar pengembangan karier d. Dasar promosi jabatan 4. When (Bilamana?) Waktu pelaksanaan penelitian kinerja dapat dilakukan secara formal dan informal a. Penilaian kinerja secara formal dilakukan secara periodic, seperti setiap bulan, kwartal, triwulan, semester atau setiap tahun. b. Penilaian kinerja secara informal dilakukan secara terus menerus dan setiap saat atau setiap hari kerja 5. Where (Di mana?) Penilaian kinerja pegawai dapat dilakukan pada dua alternative tempat a. Di tempat kerja (on the job appraisal). Pelaksanaan penilaian kinerja di tempat kerja pegawai yang bersangkutan, atau di tempat lain yang masih dalam lingkungan organisasinya sendiri. b. Di luar tempat kerja (off the job appraisal). Pelaksanaan penilaian kinerja dapat dilakukan di luar organisasi dengan cara meminta bantuan konsultan. 6. How (Bagaimana?) Bagaimana penilaian kinerja dilakukan, yaitu dengan menggunakan metode tradisional atau modern. Metode tradisional, antara lain rating scale, employee comparison. Sedangkan metode modern, antara lain, management by objective (MBO), assessment centre. Aspek-aspek yang harus diperhatikan oleh penilai kinerja pegawai yaitu: a. Hallo Effect Penilaian yang subjektif diberikan kepada pegawai, baik yang bersifat negative maupun positif yang berlebihan dilihatnya dari penampilan pegawai b. Liniency Penilaian kinerja yang cenderung memberikan nilai yang terlalu tinggi dari yang sesungguhnya c. Strickness Penilaian kinerja yang cenderung memberikan nilai yang terlalu rendah dari yang seharusnya. d. Central Tendency Penilaian kinerja yang cenderunh memberikan nilai rata-rata (sedang) kepada pegawai e. Personal biases Penilaian kinerja memberikan nilai yang baik kepada pegawai senior. 2.7 State of The Art Dalam penelitian dengan judul Job Stress and Job Performance Controversy Revisited: An empirical Examination in Two countries oleh Muhammad Jamal (Concordia University) , Penelitian ini menguji peran komitmen organisasi dalam hubungan stres kerja dan prestasi kerja antara karyawan yang bekerja di perusahaan multinasional berbasis di Amerika Utara yang berada di Malaysia dan Pakistan. Data dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner terstruktur dari karyawan stres kerja dan komitmen organisasi. Disini dijelaskan bahwa semakin tinggi tingkat ketidakseimbangan antara tuntutan dengan kemampuan individu maka semakin tinggi pula potensi individu tersebut mengalami stres kerja. Dan dengan tingkat komitmen organisasi yang berbeda-beda akan berpengaruh juga terhadap tingkat stres kerja yang dialami individu tersebut. Dan hasilnya adalah Stres kerja berpengaruh negative terhadap kinerja, Faktor organiasi memainkan peran penting dalam menghasilkan stress kerja dan individu dengan berbagai tingkat komitmen organisasi mungkin akan merasakan stress yang berbeda. Komitmen organisasi berpengaruh terhadap peningkatan kinerja karyawan, karyawan yang berkomitmen tinggi cenderung akan berusaha keras untuk mencapai goal organisasi Menurut hasil penelitian dari George E. Halkos dan Dimitros Bousinakis (University of Thessaly) dalam penelitiannya yang berjudul “The Influence of Stress and Satisfaction on Productivity”, yang menyelidiki tentang efek dari stres dan kepuasan kerja pada fungsi perusahaan. Perhatian terfokus pada faktor-faktor yang mempengaruhi stres dan kepuasan kerja seperti jumlah jam kerja, hubungan baik antara manajemen dan karyawan, fungsi yang baik dari workgroup dan pekerjaan yang berhubungan dengan bidang pengetahuan dari karyawan. Analisis Faktor digunakan terlebih dahulu untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang bertanggung jawab bagi korelasi antara sejumlah besar variabel kualitatif dan kuantitatif dan pengaruhnya terhadap produktivitas. Dari faktor-faktor yang diekstraksi menunjukkan bahwa produktivitas merupakan sebuah elemen yang dipengaruhi oleh dua faktor kualitatif, yaitu stres dan kepuasan. Peningkatan stres menyebabkan penurunan produktivitas dan peningkatan Kepuasan menyebabkan peningkatan produktivitas. Penelitian menggunakan sampel acak dari 425 karyawan di sektor swasta dan publik, dan menyelidiki efek dari stres dan kepuasan kerja pada fungsi perusahaan. Hasil dari penelitian adalah Produktivitas merupakan elemen yang dipengaruhi oleh dua faktor kualitatif, stres dan kepuasan. Peningkatan stres menyebabkan penurunan produktivitas dan peningkatan Kepuasan menyebabkan peningkatan produktivitas. Regresi logistik digunakan di dalam presentasi berikutnya dengan banyak elemen yang berguna mengenai fungsi stres, kepuasan dan elemen pendukung produktivitas Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Syed Shahib ul Hasan dengan judul Work-Life Balance, Stress, Working Hours and Productivity: A case Study of Fashion Retailers in UK dengan tujuan untuk membahas dan menganalisa mengenai dampak work-life balance terhadap produktivitas karyawan di Perusahaan Fashion terkemuka di Inggris. Melibatkan gambaran singkat dari berbagai praktek kehidupan kerja antara karyawan tersebut dan menilai dampaknya terhadap bisnis dan kemajuan karir. Hal ini juga bertujuan untuk mengumpulkan pandangan mereka mengenai aplikasi yang lebih efisien dari inisiatif work-life balance untuk memberikan manfaat maksimal bagi bisnis dan kehidupan mereka sendiri. Sebuah keseimbangan kehidupan kerja yang tepat dapat memastikan tenaga kerja puas dan efisien dalam jangka panjang juga. Berdasarkan temuan, studi ini menyimpulkan bahwa ada kebutuhan untuk organisasi mempertimbangkan secara serius dampak dari ketidakmampuan karyawan untuk mencapai work-life balance. Ketika pengusaha berkomitmen untuk membantu karyawan menyeimbangkan kehidupan mereka dengan pekerjaan, ada perbaikan yang pasti dalam kinerja, dan komitmen karyawan yang lebih besar untuk organisasi. organisasi yang mendukung inisiatif kerja work-life balance, memiliki kesempatan lebih besar untuk meningkatkan produktivitas, meningkatkan retensi, perekrutan, komitmen organisasi, dan loyalitas. Rini dalam penelitiannya yaitu “Pendekatan yang Digunakan Dalam Mengatasi Stres Kerja pada Suatu Organisasi” (2010), meneliti tentang Strategi untuk mengatasi stres dengan mengidentifikasi sumber potensial stres yang meliputi lingkungan organisasional individu yang kemudian memberikan informasi kepada manajemen perusahaan untuk melaksanakan pendekatan individu terhadap organisasional dalam mengatasi stres. Rini menganggap ini penting karena menurutnya manusia dalam setiap organisasi memegang peranan yang penting untuk mencapai tujuan organisasi. Keberadaan karyawan dalam organisasi sangat mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan misi organisasi. Namun kinerja seorang karyawan banyak dipengaruhi oleh beberapa faktor dan salah satu faktor tersebut adalah stres. Stres dalam kerja perlu diteliti penyebabnya, untuk dapat mengurangi dampak negatifnya, sehingga kinerja karyawan bisa lebih baik. Dan hasil menunjukkan bahwa Stres yang tidak diatasi akan mempengaruhi kinerja karyawan. Pendekatan yang digunakan untuk mengatasi stres dalam suatu organisasi adalah: 1. Pendekatan individu, yang merupakan strategi bagi individu itu sendiri untuk mengatasi stres dalam pekerjaannya. 2. Pendekatan organisasional, yang merupakan strategi yang digunakan manajemen dalam mengatasi stres dalam pekerjaan yang dialami karyawan Dalam sebuah penelitian berjudul “Analisis Work-life Balance, Keinginan untuk Meninggalkan Organisasi, Kepenatan (Burnout) dan Kepuasan Kerja pada Dosen Universitas Atma Jaya Yogyakarta” oleh Mega Rulita (2013) dimana Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis work-life balance, keinginan untuk meninggalkan organisasi, kepenatan (burnout) dan kepuasan kerja pada dosen Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Data yang digunakan merupakan data primer. Data primer diperoleh dari penyebaran kuesioner ke 100 orang dosen tetap Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa work-life balance dan kepenatan (burnout) memiliki hubungan positif dengan kepuasan kerja. Keinginan untuk meninggalkan organisasi memiliki hubungan negatif dengan kepuasan kerja. Berdasarkan analisis regresi berganda, work-life balance, dan keinginan untuk meninggalkan organisasi, berpengaruh signifikan terhadap kepuasan kerja. Analisis Independent Sample T-Test, menunjukkan tidak ada perbedaan work-life balance, keinginan untuk meninggalkan organisasi, kepenatan (burnout), dan kepuasan kerja menurut jenis kelamin. 2.6 Kerangka Pemikiran H6 Gambar 2. 1 Kerangka Pemikiran Sumber: Peneliti 2.8 Hipotesis 1. Bagaimana pengaruh Stres Kerja (X1) terhadap Komitmen Organisasi (X3) Ho = Variabel Stres Kerja (X1) tidak berpengaruh secara signifikan terhadap variable Komitmen Organisasi (X3) Ha = Variabel Stres Kerja (X1) berpengaruh secara signifikan terhadap variable Komitmen Organisasi (X3) 2. Bagaimana pengaruh Stres Kerja (X1) terhadap Kinerja Karyawan (Y) Ho = Variabel Stres Kerja (X1) tidak berpengaruh secara signifikan terhadap variable Kinerja Karyawan (Y) Ha = Variabel Stres Kerja (X1) berpengaruh secara signifikan terhadap variable Kinerja Karyawan (Y) 3. Bagaimana pengaruh Work-Life Balance (X2) terhadap Komitmen Organisasi (X3) Ho = Variabel Work-Life Balance (X2) tidak berpengaruh secara signifikan terhadap variable Komitmen Organisasi (X3) Ha = Variabel Work-Life Balance (X2) berpengaruh secara signifikan terhadap variable Komitmen Organisasi (X3) 4. Bagaimana pengaruh Work-Life Balance (X2) terhadap Kinerja Karyawan (Y) Ho = Variabel Work-Life Balance (X2) tidak berpengaruh secara signifikan terhadap variable Kinerja Karyawan (Y) Ha = Variabel Work-Life Balance (X2) berpengaruh secara signifikan terhadap variable Kinerja Karyawan (Y) 5. Bagaimana pengaruh Komitmen Organisasi (X3) terhadap Kinerja Karyawan (Y) Ho = Variabel Komitmen Organisasi (X3) tidak berpengaruh secara signifikan terhadap variable Kinerja Karyawan (Y) Ha = Variabel Komitmen Organisasi (X3) berpengaruh secara signifikan terhadap variable Kinerja Karyawan (Y) 6. Bagaimana pengaruh Stres Kerja (X1) dan Work-Life Balance (X2) terhadap Komitmen Organisasi (X3) dan dampaknya terhadap Kinerja Karyawan (Y) Ho = Variabel Stres Kerja (X1) dan Work-Life Balance (X2) tidak berpengaruh secara signifikan terhadap variable Komitmen Organisasi (X3) dan tidak berdampak signifikan terhadap Kinerja Karyawan (Y) Ha = Variabel Stres Kerja (X1) dan Work-Life Balance (X2) berpengaruh secara signifikan terhadap variable Komitmen Organisasi (X3) dan berdampak signifikan terhadap Kinerja Karyawan (Y)