Studi Pembungaan dan Isolasi Gen APETALA1

advertisement
II. TINJAUAN PUSTAKA
Botani dan Morfologi Tanaman Kakao
Tanaman kakao (Theobroma cacao L.) termasuk tanaman kaulifloral,
yaitu jenis tanaman yang membentuk bunga dan buah pada batang dan cabang
yang tua. Tanaman kakao dapat tumbuh pada dataran rendah tropis dengan
ketinggian hingga 1.000 m dpl, dimana temperatur rendah merupakan faktor
pembatas.
Tanaman kakao juga memerlukan curah hujan yang merata
sepanjang tahun dengan minimal 90-100 mm per bulan. Kakao dapat tumbuh
dengan baik pada tanah dengan kisaran pH 6.0-7.0 (Pusat Penelitian Kopi dan
Kakao Indonesia 2004).
Kakao merupakan tanaman dikotil tahunan dari famili Sterculiaceae dan
mempunyai jumlah kromosom 2n = 20. Tanaman dewasa dapat mencapai tinggi
6-9 m. Bunga kakao berwarna merah muda sampai putih, reguler, hermafrodit
dan memiliki lima sepal, lima petal, 10 stamen yang tersusun dalam dua
lingkaran, dan sebuah ovari superior yang merupakan gabungan dari lima carpel.
Bunga kakao muncul secara bergerombol pada bantalan bunga, yaitu jaringan
yang menebal yang terbentuk pada ketiak bekas menempelnya tangkai daun.
Sejak bakal bunga muncul pada bantalan tersebut sampai bunga mekar
diperlukan waktu sekitar 30 hari. Bila pada saat mekar bunga tidak mengalami
penyerbukan, maka bunga akan segera gugur (Tjasadihardja 1987).
Iklim merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap pola
pembentukan bunga. Pola curah hujan di suatu daerah dapat menentukan pola
pertumbuhan vegetatif dan generatif tanaman kakao.
Bunga kakao dapat
terbentuk sepanjang tahun tetapi intensitas pembentukannya beragam dari waktu
ke waktu. Bunga banyak terbentuk selama musim hujan dan bulan-bulan lembab
10
berikutnya. Di Pulau Jawa, musim pembungaan besar biasanya dimulai pada
bulan Nopember (awal musim hujan) dan berlangsung terus sampai bulan
Juni, dengan puncak pada bulan Desember-Januari.
Pembungaan besar
tersebut akan menghasilkan panen besar pada bulan Mei-Juni. Peningkatan
pembentukan bunga selama musim hujan diduga berkaitan juga dengan
pergantian dari lingkungan kering selama musim kemarau ke lingkungan basah
selama musim hujan (Tjasadihardja 1987).
Meskipun tanaman kakao dapat berbunga berkali-kali sepanjang tahun,
tetapi pembungaan yang utama terjadi pada saat hujan pertama setelah musim
kering. Tanaman mulai berbunga setelah berumur dua tahun sejak tanam, dan
untuk mencapai buah matang diperlukan waktu 5-6 bulan setelah polinasi. Buah
yang telah masak dinamakan pod dan ukurannya dapat mencapai diameter
10 cm dan panjang 30 cm.
Biji kakao kaya akan karbohidrat dan lemak,
sehingga merupakan sumber energi yang baik. Kakao juga mengandung
senyawa theobromin yang secara kimia dapat dikonversi menjadi kafein yang
dapat digunakan untuk minuman maupun keperluan kesehatan. Selain itu kakao
juga mengandung senyawa antioksidan (Mims 1998). Karena itu pemanfaatan
biji kakao tidak hanya untuk memenuhi bahan makanan, tetapi juga untuk
keperluan farmasi (Potts 2002).
Faktor musim terutama musim kemarau mempengaruhi perkembangan
dan produksi tanaman kakao. Pada musim kemarau intensitas cahaya matahari
sangat tinggi karena derajat awan rendah, kelembaban udara sangat rendah,
sebaliknya temperatur lingkungan meningkat sangat tajam, sehingga tanaman
kakao mengalami cekaman air (Suhadi 2002). Dalam kondisi seperti ini tanaman
kakao menjadi sulit berbunga dan akibatnya produksinya juga tertunda.
11
Fisiologi Pembungaan
Pembungaan tanaman merupakan kejadian fisiologis yang kompleks
yang secara morfologi terjadi perubahan dari fase vegetatif menuju terbentuknya
organ-organ bunga. Proses pembentukan bunga tersebut secara garis besar
terdiri atas empat tahap yaitu inisiasi bunga, diferensiasi bunga, pendewasaan
bunga dan anthesis. Dari keempat tahap tersebut, fase inisiasi bunga merupakan
fase yang paling kritis dari pembungaan yang merupakan proses biokimia dari
fase vegetatif ke arah reproduktif, namun secara morfologi tidak nampak
(Ryugo 1988).
Terdapat beberapa konsep yang mendasari para peneliti mempelajari
proses pembungaan. Konsep pertama yaitu konsep nutrisi yang menerangkan
bahwa pembungaan dikontrol oleh keseimbangan karbohidrat dan nitrogen atau
nisbah C/N (konsep Kraus and Kraibill), dan konsep yang kedua yaitu konsep
hormonal yang menjelaskan bahwa proses pembungaan pada tanaman tertentu
diatur oleh zat pendorong pembungaan (florigen). Hormon ini diproduksi oleh
daun kemudian ditranslokasi ke sebagian tunas yang akan memproduksi organ
generatif (Ryugo 1988). Analisis nisbah C/N pada Sinapsis alba dan Arabidopsis
yang sedang diinduksi bunganya, menunjukkan bahwa nisbah C/N pada cairan
floem meningkat dengan nyata dan cepat, yang mengindikasikan bahwa
penurunan suplai N dan peningkatan C organik ke meristem apikal merupakan
kejadian penting pada transisi pembungaan (Corbesier et al. 2002).
Dalam pembungaan tanaman, transisi dari fase pertumbuhan vegetatif ke
fase reproduktif merupakan proses perkembangan yang kritis, yang ditandai oleh
sejumlah perubahan pada apeks tunas pada tingkat molekuler, fisiologi dan
morfologi. Dengan kondisi lingkungan yang dapat menginduksi dan kemampuan
tanaman untuk merespon faktor eksternal ini, meristem vegetatif akan
12
berkembang menjadi meristem reproduktif, yang mana dapat secara langsung
menjadi infloresen dan kemudian menghasilkan banyak bunga (Immink et al.
1999). Pada kebanyakan tanaman, faktor lingkungan (terutama panjang hari dan
temperatur) berperan mengendalikan transisi dari meristem vegetatif ke meristem
bunga. Meristem vegetatif menjadi meristem infloresen yang selanjutnya akan
membentuk satu atau lebih meristem bunga (Staveley 2005).
Dalam kondisi yang menginduksi pembungaan, meristem tunas utama
dari tanaman Arabidopsis menghasilkan meristem bunga lebih cepat daripada
meristem daun yang mengapitnya. Selama fase vegetatif, meristem tunas utama
dari Arabidopsis menghasilkan daun roset dengan jarak yang sangat dekat.
Transisi ke fase reproduksi, yang dikontrol dengan ketat oleh jaringan kompleks
dari gen pengontrol waktu pembungaan, dipengaruhi oleh sinyal lingkungan,
seperti panjang hari, kualitas cahaya dan temperatur, sebagaimana faktor
internal seperti umur tanaman.
Pada beberapa spesies, waktu pembungaan terutama dipengaruhi oleh
faktor lingkungan yang memberikan kondisi pertumbuhan yang baik untuk
reproduksi seksual dan pemasakan biji.
Faktor ini meliputi fotoperiod atau
panjang hari, kualitas cahaya, kuantitas cahaya, vernalisasi, dan ketersediaan
nutrisi dan air. Pembungaan dapat juga diinduksi oleh stres seperti defisiensi
nutrisi, kekeringan dan kerapatan tanaman (Levy dan Dean 1998). Sementara
itu Ratcliffe dan Riechmann (2002), mengatakan bahwa transisi pembungaan
merupakan proses yang plastis, yang selain dipengaruhi oleh faktor endogen
juga faktor lingkungan, yang meliputi panjang hari, kualitas cahaya, temperatur,
stres biotik dan stres abiotik.
Aplikasi GA jarang efektif untuk menginduksi pembungaan pada tanaman
short-day.
Pada umumnya GA menghambat pembungaan pada tanaman
berkayu angiosperm, meskipun dapat memacu pembungaan pada conifer
13
(Pharis dan King 1985). Pada satsuma mandarin (Citrus unshiu Marc.), GA1+3
dapat menghambat pembentukan kuncup bunga. GA eksogen memperlihatkan
penghambatan terhadap pembentukan kuncup bunga tidak hanya pada citrus,
tetapi juga pada apel, pear, cherrie dan peach. Bahkan tidak hanya GA eksogen
yang menghambat, tetapi GA endogen juga menurunkan pembentukan kuncup
bunga (Koshita et al. 1999).
Berdasarkan pada penelitian-penelitian di atas, maka dalam pengaturan
pembungaan diperlukan zat yang dapat menghambat biosintesis giberelin yang
kemudian disebut retardan. Namun demikian, pemberian retardan selain
mendorong pembungaan juga dapat mengakibatkan dormansi tunas. Untuk itu
diperlukan usaha pemecahan dormansi pada tunas yang sudah terinduksi
bunganya.
Senyawa Penginduksi Pembungaan
Zat penghambat tumbuh (retardan) merupakan zat yang mempunyai
efek fisiologis memperlambat pertumbuhan vegetatif dan dapat mendorong
pembungaan pada tanaman tertentu yaitu dengan menghambat pembelahan dan
pembesaran sel subapikal. Retardan ini menghambat sintesis giberelin, sehingga
akan menghambat pembelahan dan pembesaran sel (pertumbuhan vegetatif)
dan mendorong pertumbuhan generatif.
Dari kelompok senyawa triazol yang digunakan untuk meginduksi
pembungaan pada tanaman berkayu, paklobutrazol adalah yang paling umum
digunakan (Meilan 1997). Dasar teori penggunaan paklobutrazol adalah bahwa
senyawa ini dapat menghambat biosintesis giberelin. Paklobutrazol menghambat
biosintesis giberelin pada oksidasi ent-kaurene menjadi ent-kaurenoic acid
(Gambar 2). Hasil penelitian yang dilakukan oleh William dan Edgerton (1983)
menunjukkan bahwa paklobutrazol yang diaplikasikan pada pohon apel berumur
14
25 tahun dengan dosis 2 g/m2 melalui penyiraman akar dapat mengendalikan
pertumbuhan vegetatif dan meningkatkan hasil.
Hasil serupa terjadi pada tanaman Eucalyptus nitens dan E. globulus,
suatu tanaman berkayu yang berbunga secara biennial atau sporadis, dengan
aplikasi paklobutrazol melaui penyiraman, penyemprotan lewat daun, atau injeksi
batang ternyata dapat menginduksi inisiasi kuncup bunga. Paklobutrazol juga
diketahui dapat menurunkan level giberelin endogen pada beberapa spesies,
meningkatkan aktivitas reproduktif, menekan pertambahan tinggi dan produksi
daun (Hasan 1993; Moncur dan Hasan 1994). Karena itu induksi pembungaan
dengan paklobutrazol merupakan metode praktis dalam memacu pembungaan
untuk keperluan pemuliaan dan produksi biji.
Perlakuan paklobutrazol dapat menyebabkan pembungaan pada pohon
durian.
Aplikasi senyawa paklobutrazol dengan dosis 15 g/pohon dapat
menghasilkan pembungaan secara nyata pada pohon durian (Utama 2003).
Aplikasi paklobutrazol juga dapat meningkatkan kandungan karbohidrat dalam
jaringan kayu.
Kandungan karbohidrat ini merupakan sumber energi untuk
pembentukan bunga.
Namun secara tidak langsung aplikasi paklobutrazol
dapat meningkatkan biosintesis asam absisat (ABA), sehingga mengakibatkan
terjadinya dormansi tunas.
Untuk itu diperlukan penyemprotan dengan zat
pemecah dormansi sesudah aplikasi paklobutrazol (Usman 1997).
Pada tanaman mangga, perlakuan paklobutrazol mampu menginduksi
pembungaan di luar musim dengan cara menghambat biosintesis giberelin
sehingga dapat menstimulir pembungaan dan meningkatkan munculnya tunas
reproduktif. Perlakuan paklobutrazol dengan dosis 1.0 g bahan aktif/pohon dan
waktu pemberian ethephon 60 hari sesudah aplikasi paklobutrazol mempunyai
potensi pembungaan terbaik dengan mempercepat saat berbunga, meningkatkan
15
jumlah ranting berbunga, meningkatkan jumlah malai normal dan meningkatkan
jumlah bunga sempurna (Usman 1997).
MVA
IPP
GPP
FPP
GGPP
CCC
CPP
ent-kaurene
Paclobutrazol
ent-kaurenoic acid
ent-7α-OH-kaurenoic acid
GAs-aldehyde
Gibberellinx
Keterangan :
MVA
IPP
GPP
FPP
GGPP
CPP
:
:
:
:
:
:
Mevalonic acid
Isopentenil pirofosfat
Geranil pirofosfat
Farnesil pirofosfat
Geranil geranil pirofosfat
Copalil pirofosfat
Gambar 2 Lokasi penghambatan biosintesis giberelin oleh CCC dan paklobutrazol (Rademacher 1995; Williams et al. 1999).
16
Aplikasi paklobutrazol pada tanaman mangga juga dapat menyebabkan
dormansi mata tunas yang berkepanjangan, sehingga mata tunas yang mungkin
sudah terinduksi menjadi bakal bunga tersebut tidak segera muncul. Karena itu,
penyemprotan dengan zat pemecah dormansi setelah aplikasi paklobutrazol
diharapkan dapat mempercepat munculnya bunga dan meningkatkan jumlah
bunga.
Terdapat beberapa bahan kimia yang dapat memecahkan dormansi
pada pohon buah-buahan, diantaranya yang telah berhasil mempercepat
munculnya bunga dan meningkatkan jumlah bunga pada tanaman jeruk siem,
yaitu ethephon 200 ppm, KNO3 20 g/l atau BA 100 ppm, yang disemprotkan pada
1-2 bulan setelah aplikasi paklobutrazol (Poerwanto dan Susanto 1996).
Aplikasi paklobutrazol didasarkan pada ukuran kanopi pohon dan
biasanya dengan kisaran dosis 1.0-1.5 g bahan aktif per pohon (Nartvaranant
et al. 2000).
Pada pohon lychee, aplikasi paklobutrazol melalui penyiraman
tanah dengan dosis 1.0 atau 1.5 g b.a./m2 dapat mengurangi terjadinya flush
selama periode pembungaan dibandingkan dengan kontrol (Chaitrakulsub et al.
1992). Pada pohon E. nitens, paklobutrazol dan juga CCC dapat mengontrol
pertumbuhan vegetatif dan merangsang pembungaan, serta menurunkan level
GA1 dan GA20 pada apeks sebagai akibat terjadinya penghambatan biosintesis
GA pada daerah tersebut (Williams et al. 1999).
Chlormequat chloride (CCC) juga merupakan senyawa yang bersifat anti
giberelin, yang menghambat biosintesis giberelin pada tahap pembentukan
copalil pirofosfat dari geranil geranil pirofosfat (Gambar 2). Pemberian CCC
dapat menurunkan pertumbuhan batang, daun dan stolon, tetapi dapat memacu
pengumbian kentang (Sharma et al. 1998).
Penyemprotan CCC juga dapat
meningkatkan kandungan gula pereduksi, pati dan sukrosa pada batang.
Sukrosa merupakan salah satu produk akhir dari proses fotosintesis dan
merupakan bentuk utama dari gula yang ditranslokasikan pada kebanyakan
17
tanaman. Menurut Latimer et al. (2001), CCC biasanya diaplikasikan melalui
foliar-spray dengan konsentrasi 1.500 sampai 3.000 ppm. Pada Hibiscus, aplikasi
CCC dengan konsentrasi 1.000 ppm dapat memacu pembungaan lebih awal dan
menghasilkan jumlah bunga yang lebih banyak.
CCC secara signifikan menghambat pertumbuhan tunas pada mangga,
baik pada tanaman muda maupun pada tanaman dewasa. Pengaruh perlakuan
CCC terhadap penurunan pertumbuhan terjadi lebih nyata pada tanaman
dewasa daripada pada tanaman yang masih muda. Lebih lanjut, penghambatan
pemanjangan tunas secara linier terjadi pada pohon dewasa dan muda dengan
konsentrasi CCC yang lebih tinggi. Penurunan pemanjangan secara linier pada
tanaman dewasa terjadi dengan perlakuan CCC 2.000 ppm, sedangkan pada
tanaman muda dengan konsentrasi CCC 4.000 ppm. CCC menyebabkan
penurunan produksi giberelin pada daun muda yang pada akhirnya akan
menurunkan produksi auksin pada meristem apikal (Maiti et al. 1972).
Pemberian CCC pada berbagai tanaman dapat memperbaiki pembungaan dan membuat tanaman lebih kompak, dengan pertumbuhan tunas yang
seragam. Pada tanaman jeruk, ketika senyawa penghambat tumbuh tersebut
digunakan untuk menstimulasi hasil pada pohon muda, maka pengaruhnya
terhadap pemanjangan dan vigor menjadi kurang efektif dan sebaliknya akan
memacu
pembungaan
dan
pembentukan
buah.
Aplikasi
CCC
dengan
konsentrasi 500, 1.500, dan 3.000 ppm pada pohon jeruk muda yang berumur
11 bulan dapat menginduksi saat pembungaan yang lebih cepat dan
memperbaiki pembentukan buah. Penurunan pemanjangan tunas pada tanaman
yang diperlakukan dengan CCC dapat menghasilkan penampilan pohon yang
kompak. Dengan perlakuan CCC, pembentukan buah diinisiasi lebih awal dan
hasil akhir juga meningkat. Buah dari tanaman yang diperlakukan dengan CCC
mempunyai jumlah biji yang lebih banyak daripada buah yang berasal dari
18
tanaman kontrol. Kandungan bahan kering buah sebagai bagian dari bahan
kering total menjadi meningkat, dan hanya terjadi penurunan yang relatif kecil
pada daun dan akar. Penurunan total bahan kering yang dihasilkan per tanaman
secara keseluruhan hanya terjadi pada konsentrasi CCC yang paling tinggi
(3.000 ppm), tetapi distribusi relatif dari bahan kering ke berbagai bagian
tanaman dipengaruhi oleh CCC pada semua level (Salomon 1981).
Studi fisiologi menunjukkan bahwa terdapat biomolekul kecil yang terlibat
dalam transisi pembungaan.
giberelin (GA).
Molekul tersebut meliputi gula, sitokinin dan
Studi pada Sinapsis alba, setelah induksi pembungaan,
konsentrasi molekul tersebut pada apeks meningkat dengan cepat dan nyata
(Bernier et al. 1993). Hal ini membuktikan bahwa secara genetik pembungaan
dikontrol oleh gula (Levy dan Dean 1998). Pada Arabidopsis, GA dapat memacu
pembungaan paling tidak dalam mengaktifkan ekspresi LFY. Blazquez et al.
(1998) juga menganalisis pengaruh langsung dari GA dengan dan tanpa sukrosa
terhadap aktivitas promoter LFY.
Perlakuan GA saja tidak memberikan
pengaruh, perlakuan sukrosa saja menghasilkan sedikit peningkatan, sedangkan
jika keduanya diberikan secara bersamaan dapat memberikan pengaruh
sinergis (Levy dan Dean 1998).
karbohidrat
endogen
memainkan
Meilan (1997) juga melaporkan bahwa
peranan
dalam
mengontrol
induksi
pembungaan pada pohon buah-buahan. Karbohidrat dapat merefleksikan status
metabolit dari suatu tanaman.
Hubungannya dengan proses pembungaan,
bahwa sukrosa ini akan menstimulasi ekspresi LFY yang selanjutnya akan
menstimulasi pembungaan (Zufall 2002).
Walaupun gula telah diketahui dapat memacu transisi pembungaan pada
beberapa spesies tanaman, tetapi dalam konsentrasi yang tinggi (5%) sukrosa
dapat menunda waktu pembungaan secara nyata pada Arabidopsis dan
menyebabkan peningkatan jumlah daun pada waktu berbunga.
Tertundanya
19
transisi pembungaan disebabkan oleh bertambahnya fase vegetatif, yang
diakibatkan oleh lambatnya aktivasi ekspresi LFY.
Konsentrasi sukrosa 1%
dapat memacu transisi pembungaan dari mutan yang lambat berbunga. Hasil ini
menunjukkan bahwa gula dapat mempengaruhi transisi pembungaan dengan
mengaktifkan gen yang berperan mengontrol transisi pembungaan, bergantung
pada konsentrasi gula, latar belakang genetik tanaman dan kapan gula tersebut
diberikan (Ohto et al. 2001).
Perubahan Zat Endogen selama Induksi Pembungaan
Pada spesies tertentu pertumbuhan batang dan daun terhenti pada saat
terjadi pembungaan. Alokasi asimilat pada tanaman yaitu untuk pertumbuhan
vegetatif yang meliputi pertumbuhan akar, batang dan daun, dan pertumbuhan
reproduktif yang meliputi pembentukan bunga, buah dan biji. Fase induksi dalam
proses pembungaan merupakan fase paling penting yang menentukan apakah
tanaman tersebut akan berbuah atau tidak. Pada fase ini terjadi perubahan
fisiologis atau biokimia pada mata tunas dari pertumbuhan vegetatif menuju
pertumbuhan generatif. Perubahan fisiologis atau biokimia yang terjadi pada fase
induksi pembungaan tersebut antara lain meliputi perubahan kandungan
karbohidrat, nitrogen, asam amino dan hormon (Poerwanto 2003).
Giberelin merupakan salah satu hormon yang berperanan penting pada
proses pembungaan tanaman. Giberelin adalah faktor endogen yang dapat
menghambat pembungaan jeruk disamping beberapa pohon buah-buahan
lainnya, dan induksi bunga tersebut memerlukan penurunan aktivitas hormon
giberelin (Krajewski dan Rabe 1995). Aktivitas zat mirip giberelin pada daun jeruk
Satsuma yang terinduksi bunganya lebih rendah daripada yang tidak terinduksi
(Poerwanto dan Inoue 1990). Sejalan dengan hal tersebut, muncul pemikiran
20
bahwa perangsangan pembungaan dapat dilakukan dengan perlakuan yang
menghambat biosintesis giberelin (Koshita et al. 1999).
Krajewski dan Rabe (1995) menyebutkan bahwa pembungaan pada jeruk
meliputi banyak proses fisiologi. Salah satu proses fisiologi tersebut adalah yang
berkaitan dengan hormon giberelin. Giberelin secara endogen dapat menjadi
penghambat pembungaan bagi tanaman. Berdasarkan studi pembungaan pada
jeruk, ditemukan senyawa GA1 dan GA4 terdapat dalam konsentrasi yang lebih
tinggi pada pucuk vegetatif dibandingkan pada pucuk berbunga. Disamping itu
kedua jenis giberelin tersebut ditemukan pada konsentrasi yang rendah pada
saat terjadinya pembungaan. Salah satu fungsi fisiologis giberelin adalah
pemanjangan batang dan meningkatkan pertumbuhan daun-daun muda dengan
meningkatkan aktivitas pemanjangan dan pembelahan sel. Kandungan giberelin
yang tinggi dapat meningkatkan aktivitas pertumbuhan vegetatif berupa
pemanjangan tunas dan pertumbuhan sel pada jaringan meristem (Hooley 1994).
Pada manggis, tanaman asal sambungan memiliki kandungan GA3, GA5 dan GA7
lebih rendah dibandingkan dengan tanaman asal biji (Rai 2004).
Pada kebanyakan tanaman buah-buahan, pucuk dapat terinduksi atau
tidak terinduksi untuk berbunga erat kaitannya dengan perbedaan kandungan
hormon tumbuh (Krajewski dan Rabe 1995; Koshita et al. 1999), perbedaan
keseimbangan karbohidrat dan nitrogen serta kondisi nutrisi yang optimum
bersamaan dengan perubahan-perubahan dalam tunas pucuk (Lyndon 1990;
Hempel et al. 2000). Pada manggis induksi bunga juga ditandai dengan
penurunan tajam kandungan giberelin dan peningkatan tajam gula total dan
nisbah C/N dibandingkan dengan sebelum induksi. Pada stadium induksi terjadi
peningkatan kandungan gula total dan penurunan nitrogen dibandingkan dengan
sebelum induksi, baik pada tanaman asal biji maupun pada tanaman asal
sambungan (Rai 2004).
21
Proses pembungaan dipengaruhi oleh kandungan gula total daun, nisbah
C/N daun dan gula total kulit ranting. Peningkatan gula total dan penurunan
nitrogen bermakna cukup penting dalam pembungaan, karena penurunan
kandungan nitrogen disertai dengan peningkatan gula total dapat meningkatkan
nisbah C/N, yang berperanan sangat penting dalam menginduksi bunga.
Kandungan gula yang tinggi pada pucuk diperlukan sebagai sumber energi awal
bagi proses induksi bunga, proses perkembangan daerah meristem dan bagianbagian bunga. Pada lengkeng, kandungan gula terlarut meningkat tajam pada
meristem pucuk yang terinduksi untuk berbunga (Prawitasari 2001).
Pentingnya peranan gula total dan nisbah C/N pada proses induksi bunga
terlihat pula pada perbedaan kandungan gula total dan nisbah C/N antara pucuk
berbunga dan pucuk tidak berbunga pada tanaman manggis. Pada stadium
induksi, kandungan gula total dan nisbah C/N pucuk berbunga nyata lebih tinggi
dibandingkan dengan pucuk tidak berbunga. Hal tersebut menunjukkan bahwa
pada saat terjadi induksi bunga gula total dan nisbah C/N di pucuk meningkat
dan peningkatan yang lebih besar terjadi pada pucuk-pucuk yang akan
menginduksi bunga. Pucuk yang tidak mengalami peningkatan gula total secara
tajam tidak mampu menginduksi bunga sehingga pucuk-pucuk tersebut tidak
berbunga (Rai 2004).
Studi Molekuler Pembungaan
Pembungaan merupakan proses yang memerlukan banyak faktor yang
dikontrol oleh integrasi sinyal endogen, yang berhubungan dengan faktor seperti
umur tanaman dan status metabolit, dengan sinyal lingkungan seperti panjang
hari, status nutrien dan temperatur. Gen yang berintegrasi dengan sinyal ini, gen
pengontrol waktu pembungaan, bertindak sebagai inducer (penginduksi) atau
repressor dari pembungaan. Pada Arabidopsis, gen LEAFY (LFY) mempunyai
22
posisi sentral dan merupakan gen yang terekspresi secara absolut untuk
keperluan inisiasi bunga secara normal. Gen-gen yang terlibat dalam
metabolisme senyawa dapat memainkan sebagian sinyal tanaman endogen,
seperti hormon tanaman giberelin dan sukrosa (status metabolit) (Nilsson 2002).
Fungsi gen-gen tersebut telah banyak dilaporkan, dan dapat dikelompokkan
kedalam alur genetik yang berbeda dan saling berinteraksi dalam pengaturan
pembungaan (Simpson et al. 1999). Menurut Blazquez (2000) dan Zufall (2002),
paling tidak terdapat empat alur atau lintasan yang mempengaruhi aktivitas gengen pembungaan yaitu lintasan photoperiodic, lintasan autonomous, lintasan
sucrose dan lintasan gibberellin (Gambar 3).
Tahap pertama dalam perkembangan bunga adalah terjadinya transisi
dari meristem vegetatif menjadi meristem bunga. Setiap meristem bunga
didiferensiasi menjadi bunga yang mengandung empat tipe organ yang
menempati posisi secara tepat dalam empat lingkaran konsentris. Studi genetik
pada Arabidopsis thaliana dan Antirrhinum majus telah berhasil diidentifikasi gengen yang bertindak lebih awal yang menentukan penanda meristem bunga dan
gen-gen yang bertindak pada tahapan berikutnya yang menentukan penanda
organ bunga (Mandel et al. 1992). Pada Arabidopsis, perubahan perkembangan
dari vegetatif ke reproduktif dikontrol oleh beberapa faktor, dan sebagai
konsekuensinya muncullah beberapa kelompok gen yang terlibat dalam
pengaturan tersebut. LFY merupakan gen pertama yang diekspresikan pada
primordia yang mengapit meristem tunas apikal yang akan menjadi bunga.
Peningkatan jumlah kopi LFY akan mempercepat waktu pembungaan,
sedangkan penurunan level LFY akan memperlambat waktu pembungaan. Hasil
ini
menunjukkan
bahwa
LFY
bertindak
sebagai
gen
pengatur
waktu
pembungaan, yang mengindikasikan bahwa LFY merupakan switch yang
menentukan antara proses induksi pembungaan dan inisiasi pembungaan, dan
23
bahwa konversi daun menjadi bunga dikontrol oleh kombinasi level LFY dan
kemampuan untuk merespon LFY (Blazquez et al. 1997).
Gambar 3 Alur genetik perkembangan bunga pada Arabidopsis (Blazquez
2000).
Pembungaan melibatkan serangkaian aktivitas dari dua grup gen, yaitu
yang mengontrol transisi dari meristem vegetatif ke bunga (gen penanda
meristem bunga), dan yang secara langsung berhubungan dengan pembentukan
24
berbagai bagian bunga (gen penanda organ bunga) (Levy dan Dean 1998).
Sejumlah gen penanda meristem bunga telah diisolasi dari Arabidopsis thaliana
dan spesies tanaman model lainnya. Salah satu gen tersebut, LEAFY (LFY),
terlibat dalam mengontrol transisi dari meristem vegetatif menjadi meristem
bunga.
Gen yang lain, APETALA1 (AP1), selain terlibat dalam mengontrol
transisi dari meristem vegetatif ke meristem bunga juga diperlukan untuk
perkembangan sepal dan petal.
Weigel et al. (1992) memperlihatkan bahwa
LEAFY berinteraksi dengan gen pengontrol pembungaan yang lain, yaitu
APETALA1, untuk memacu transisi dari meristem vegetatif ke meristem bunga.
Dalam alur genetik perkembangan bunga pada Arabidopsis tersebut, meristem
vegetatif berkembang menjadi meristem bunga, dan kemudian menghasilkan
primordia organ bunga. Pada proses ini, produk gen LFY dan AP1 berinteraksi
secara sinergis untuk memacu perkembangan meristem bunga. Peranan utama
dari LEAFY adalah secara langsung menekan gen penanda tunas vegetatif atau
menekan faktor intermediet yang mengaktifkan gen penanda tunas vegetatif
(Parcy et al. 2002). Ketika AP1 atau LFY tersebut diekspresikan secara konstitutif
pada Arabidopsis transgenik secara in vitro, tanaman akan berbunga hanya
dalam 10 hari (Mandel dan Yanofsky 1995; Weigel dan Nilsson 1995).
Perubahan bentuk dari meristem vegetatif menjadi meristem bunga
mengakibatkan roset, hingga meristem infloresen menghasilkan daun dan bunga.
Hal ini tergantung pada aktivitas dari LFY dan AP1 sebagai gen penanda
meristem bunga (Bowman et al. 1993; Mandel dan Yanofsky 1995). Kedua gen
tersebut diekspresikan pada level yang tinggi pada primordia bunga yang
muncul, tetapi hanya LFY yang diekspresikan pada primordia daun sebelum
transisi ke pembungaan. Tingkat ekspresi LFY pada primordia lateral meningkat
sesuai dengan umur tanaman sampai mencapai batas ambang tertentu. Segera
25
setelah batas ambang ini tercapai, primordia tersebut akan berkembang dari
primordia daun menjadi primordia bunga (Blazquez et al. 1997).
Pembentukan meristem bunga Arabidopsis terutama dikontrol oleh gen
penanda meristem bunga yaitu LFY, AP1 dan CAULIFLOWER (CAL). Liljegren
et al. (1999) dan Burnham (2000) juga menjelaskan bahwa interaksi antara LFY,
AP1, dan CAL secara positif memacu fase transisi dari produksi tunas vegetatif
ke pembentukan bunga. Di samping menentukan pembentukan bunga, aktivitas
bersama antara LFY, AP1 dan CAL dapat menghambat ekspresi gen penanda
meristem tunas vegetatif TERMINAL FLOWER1 (TFL1) pada meristem lateral,
sehingga mencegah pembentukan tunas vegetatif. Dalam membentuk meristem
bunga, LFY dapat mengaktifkan AP1 secara langsung, sedangkan LFY, AP1 dan
CAL masing-masing diregulasi secara tidak langsung melalui regulasi negatif
oleh TFL1 (Liljegren et al. 1999). Pada tanaman tingkat tinggi, perubahan fase
perkembangan diregulasi melalui alur gen yang kompleks. Hilangnya fungsi gen
akibat mutasi pada gen EMBRYONIC FLOWER (EMF1 dan EMF2) mengakibatkan Arabidopsis langsung berbunga, menghindari pertumbuhan tunas vegetatif.
Fenotip ini mendukung pendapat bahwa gen EMF berperan utama dalam
menekan program reproduktif (Yoshida et al. 2001; Moon et al. 2003).
Ekspresi AP1 pada meristem lateral salah satunya adalah diregulasi oleh
LFY. LFY mempercepat ekspresi AP1 pada meristem lateral wild-type di bawah
kondisi yang menginduksi pembungaan, sehingga pada mutan lfy ekspresi AP1
menjadi tertunda. Hal ini menunjukkan bahwa LFY merupakan regulator positif
bagi aktivitas AP1. Namun pada gilirannya, AP1 juga dapat meregulasi LFY
secara positif, karena pada tanaman yang mengekspresikan AP1 secara
konstitutif, LFY diekspresikan lebih awal pada meristem bunga yang telah
mengalami perubahan tersebut (Liljegren et al. 1999). Mutasi LFY tidak
mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap fenotip yang diberikan oleh
26
tanaman 35S::AP1, dan konversi tunas ke bunga pada tanaman 35S::LFY
terutama ditekan oleh mutasi AP1 (Mandel dan Yanofsky 1995; Weigel dan
Nilsson 1995). Gen AP1 telah berhasil diklon dan memperlihatkan bahwa gen
tersebut mengkode putative faktor transkripsi yang mengandung MADS-domain
(DNA-binding domain). RNA AP1 diekspresikan secara seragam pada primordia
bunga muda, dan selanjutnya terlokalisir pada sepal dan petal. Hal ini
menunjukkan bahwa AP1 bertindak secara lokal untuk pembentukan penanda
meristem bunga dan untuk menentukan perkembangan sepal dan petal
(Mandel et al. 1992).
Fakta bahwa mutasi LFY hanya berpengaruh kecil terhadap pembungaan
dan transformasi dari tunas ke bunga yang lebih cepat pada tanaman yang
mengekspresikan AP1 secara konstitutif, menunjukkan bahwa AP1 bertindak
downstream dari LFY dalam membentuk penanda meristem bunga (Liljegren
et al. 1999). Namun demikian, berbagai fakta membuktikan bahwa aktivitas
gabungan dari LFY dan AP1 adalah lebih efektif daripada aktivitasnya secara
sendiri-sendiri. Pada kondisi yang menginduksi pembungaan, tanaman yang
membawa mutasi LFY dan AP1 menunjukkan transformasi yang hampir lengkap
dari semua bunga menjadi cabang-cabang tunas aksilar (Huala dan Sussex
1992;
Weigel
et
al.
1992).
Analisis
genetik
terhadap
tanaman
yang
mengekspresikan LFY secara konstitutif menunjukkan bahwa tunas lateral akan
menjadi penanda bunga ketika LFY diekspresikan secara konstitutif, dan
transformasi ini akan kembali lagi jika tidak ada aktivitas AP1 (Weigel dan
Nilsson 1995). Lebih lanjut dijelaskan bahwa meskipun aktivitas AP1 konstitutif
tersebut cukup untuk merubah tunas lateral menjadi bunga, namun bunga
yang dihasilkan memperlihatkan beberapa karakteristik seperti tunas jika aktivitas
LFY tidak ada.
27
Gen yang berhubungan dekat dengan AP1, yaitu CAULIFLOWER (CAL)
juga mempunyai fungsi yang terlibat dalam penentuan penanda meristem bunga
(Rounsley et al. 1995). Fenotip mutan ap1 juga dapat ditingkatkan lebih lanjut
oleh mutasi CAL yaitu dengan tidak terjadinya konversi secara lengkap dari
meristem vegetatif menjadi meristem bunga pada double mutans ap1 cal.
Karena meristem bunga tidak dihasilkan oleh tunas utama pada tanaman
ap1 cal di dalam kondisi tumbuh normal, maka tunas tersebut tidak pernah
menghasilkan transisi secara lengkap dari fase vegetatif ke fase reproduktif
(Bowman et al. 1993).
Studi gain-of-function dari tanaman transgenik yang mengekspresikan
LFY, AP1 atau CAL secara konstitutif di bawah kendali promoter Cauliflower
Mosaic Virus 35S (CaMV 35S) memperkuat kesimpulan hasil studi berdasarkan
loss-of-function dan menunjukkan bahwa aktivitas AP1 adalah downstream dan
diregulasi oleh LFY. Tanaman yang mengekspresikan LFY, AP1 atau CAL
secara konstitutif berbunga lebih cepat dan mengalami transformasi dari
meristem tunas primer dan sekunder menjadi meristem bunga, meskipun fenotip
yang dihasilkan oleh 35S::CAL lebih lemah daripada 35S::LFY atau 35S::AP1
(Mandel dan Yanofsky 1995; Weigel dan Nilsson 1995). Jadi sesuai dengan
pendapat Liljegren et al. (1999), bahwa LFY, AP1 dan CAL bertindak bersamasama untuk memacu transisi dari fase produksi tunas dan daun (fase vegetatif)
ke pembentukan meristem bunga (fase reproduktif).
Ekspresi AP1 dibatasi secara spatial untuk meristem bunga oleh aksi gen
penanda meristem vegetatif TERMINAL FLOWER1 (TFL1) (Bowman et al.
1993). Pada tanaman wild-type, AP1 dan TFL1 diekspresikan pada tempat
yang berbeda, dimana TFL1 diekspresikan pada daerah subapikal meristem
tunas vegetatif, sedangkan ekspresi AP1 terbatas untuk perkembangan bunga
(Mandel et al. 1992). Di samping berperan dalam meregulasi perubahan fase
28
pertumbuhan, TFL1 juga mempunyai pengaruh antagonis terhadap AP1 dalam
pembentukan penanda meristem, karena TFL1 memacu penanda meristem
vegetatif dan AP1 menentukan meristem bunga. Fenotip tanaman yang
mengekspresikan AP1 secara konstitutif mencerminkan fenotip tanaman yang
mengalami mutasi TFL1. Tanaman 35S::AP1 dan mutan tfl1 memperpendek fase
pertumbuhan vegetatifnya dan mengalami transformasi dari tunas vegetatif
menjadi bunga (Mandel dan Yanofsky 1995). TFL1 diekspresikan pada level
yang rendah dalam meristem vegetatif dan tampaknya berperan untuk mencegah
pembungaan sebelum waktunya. Pada stadia lebih lanjut, TFL1 mengatur dan
berperan dalam menekan ekspresi gen penanda meristem bunga seperti LFY
dan AP1 pada meristem vegetatif (Jack 2004).
Selain sebagai gen penanda meristem bunga, AP1 juga bertindak
sebagai gen kelas A yang diperlukan untuk membentuk whorl pertama dan
kedua dari penanda organ bunga (Bowman et al. 1993). Sesuai dengan kedua
peranannya dalam menentukan penanda meristem dan penanda organ, AP1
pada awalnya diekspresikan pada meristem bunga muda dan kemudian menjadi
terbatas pada daerah dimana akan dibentuk primordia sepal dan petal (Mandel
et al. 1992; Gustafson-Brown et al. 1994). Karena gen AP1 berperan dalam
mengontrol pembentukan primordia bunga dan organ bunga, maka mutasi gen
AP1 dapat mengganggu kedua fase perkembangan bunga tersebut. Pengaruh ini
ditunjukkan dengan terjadinya konversi sebagian bunga menjadi infloresen tunas
dan gangguan terhadap perkembangan sepal dan petal. Tanaman mutan ap1
akan mengalami kegagalan pembentukan sepal dan petal pada whorl pertama
dan whorl ke dua dari bunga, sedangkan pengaruhnya terhadap pembentukan
stamen dan carpel pada whorl ke tiga dan ke empat dari bunga adalah kecil
(Bowman et al. 1993).
29
Pada tanaman tomat transgenik, pengaruh utama dari ekspresi AP1
adalah mempercepat saat pembungaan. Tanaman transgenik rata-rata berbunga
setelah memproduksi enam daun, sedangkan pada tanaman kontrol (wild-type)
setelah memproduksi 11 daun baru berbunga. Tanaman tomat yang mengekspresikan AP1 juga mengalami konversi lebih awal dari meristem vegetatif
menjadi bunga. Setelah 18 minggu pada kondisi greenhouse, tanaman
transgenik menghasilkan konversi bunga dari meristem vegetatif dua kali lipat
lebih tinggi dibandingkan tanaman kontrol (Ellul et al. 2004). Selain tidak
mempengaruhi fertilitas bunga, tanaman tomat transgenik yang mengekspresikan AP1 juga tidak mengakibatkan abnormalitas bentuk dan ukuran buah yang
dihasilkan. Ekspresi konstitutif AP1 pada tanaman tomat transgenik tersebut
dapat memperpendek fase vegetatifnya secara signifikan, tanpa menyebabkan
abnormalitas infloresen, perkembangan bunga dan produksi buah. Hasil ini
sesuai dengan ekspresi AP1 yang telah diteliti pada jeruk (Pena et al. 2001).
Pada tanaman jeruk, yang mempunyai fase juvenil yang panjang dengan
menunda perkembangan reproduktifnya antara 6-20 tahun, juga dapat dipercepat
pembungaannya dengan mentransformasikan gen AP1 atau LFY. Bibit tanaman
jeruk yang mengekspresikan secara konstitutif gen AP1 atau LFY dari
Arabidopsis, dapat memproduksi bunga dan buah pada tahun pertama, sehingga
dapat memperpendek fase juvenilnya. Selanjutnya dapat dijelaskan bahwa
ekspresi AP1 adalah sama efisiennya dengan LFY di dalam menginisiasi
pembungaan yang lebih awal, dan tidak menghasilkan perkembangan yang
abnormal. Kedua tipe tanaman jeruk transgenik tersebut bunganya normal dan
fertil, serta berbunga dalam tahun-tahun berikutnya (Pena et al. 2001).
Gen penanda meristem bunga seperti AP1 dan LFY memang sangat
diperlukan untuk memacu pembungaan (Mandel dan Yanofsky 1995; Weigel
dan Nilsson 1995). Ekspresi AP1 atau LFY pada meristem tunas apikal
30
Arabidopsis menyebabkan produksi bunga terminal sebagaimana fenotip yang
diakibatkan oleh mutan pada gen TFL1 (Bradley et al. 1997). Ekspresi konstitutif
dari AP1 atau LFY pada herbaceous maupun spesies berkayu tersebut telah
terbukti dapat mempercepat inisiasi pembungaan melalui penekanan yang kuat
terhadap fase juvenil (Weigel dan Nilsson 1995; Pena et al. 2001). Hasil ini
telah membuka kemungkinan baru untuk program domestikasi, perbaikan
genetik, dan penelitian lebih lanjut, terutama pada pohon buah-buahan dan
spesies berkayu lainnya.
Berdasarkan pada pernyataan di atas, pengaturan ekspresi gen oleh
perkembangan, lingkungan dan signal metabolit, adalah sangat mungkin terjadi
pula dalam pengaturan inisiasi pembungaan pada tanaman kakao dengan
mengikuti jalur yang sama, dimana hal tersebut ditandai oleh adanya signal
penginduksi, protein pengatur transduksi signal, dan interaksi gen-gen yang
terlibat dalam pengaturan pembungaan.
Download