Sinergisitas Bidan dan Dukun Beranak

advertisement
Sinergisitas Bidan dan Dukun Beranak:
Paradoks Kearifan Lokal dan Kebijakan
Pemerintah dalam Menurunkan Angka
Kematian Ibu dan Bayi
Varinia Pura Damaiyanti1
Abstrak
Millenium Development Goals atau yang disingkat MDGs
memiliki delapan tujuan antara lain tentang: 1)menghapus
kemiskinan dan kelaparan; 2) pencapaian pendidikan untuk
semua masyarakat; 3) mendorong kesetaraan gender dan
memberdayakan perempuan; 4) mengurangi angka kematian
anak; 5) meningkatkan kesehatan ibu; 6) memerangi HIV/AIDs
dan penyakit lainnya; 7) kelestarian lingkungan; 8)
mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan.
Berdasarkan delapan MDGs tersebut dapat kita cermati bahwa
persoalan gender dan persoalan kesehatan baik ibu dan anak
menjadi persoalan penting. Tentunya persoalan tersebut tidak
hanya berada di tingkat makro, tetapi juga pada tingkat mikro.
Persoalan kesehatan khususnya pada ibu dan anak telah
menjadi agenda penting yang perlu dikaji. Sekalipun angka
kematian pada ibu dan anak telah menurun tetapi masih perlu
perhatian khusus, tidak hanya oleh pemerintah, tenaga medis,
tapi juga oleh masyarakat.
Hal inilah yang diangkat dalam penelitian ini, yaitu bagaimana
peran dan sinergisitas bidan dan dukun beranak dalam
menjaga kesehatan ibu hamil, khususnya ketika terjadi
1
FISIP Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin
Varinia Pura Damaiyanti | 259
persinggungan antara ilmu kesehatan ilmiah bidan dengan
ilmu kesehatan supranatural dukun. Keterkaitan kesemuanya
ini dengan budaya masyarakat Banjar yang cenderung
merupakan masyarakat transisi, yaitu masyarakat modern
yang masih kuat memegang nilai-nilai luhur atau kearifan lokal
sebagai warisan budaya tak pelak menjadi menarik untuk
dicermati.
Penelitian ini mendapati bahwa terjadi persinggungan antara
ilmu yang dimiliki oleh bidan dengan ilmu yang dimiliki oleh
dukun beranak. Di kalangan perempuan Banjar masih terdapat
kekhawatiran mengenai pengalaman dan kemampuan bidan
dalam merawat kehamilan, khususnya dalam hal pemberian
ramuan dimana dukun beranak memberikan ramuan alami
yang diracik sendiri sedangkan bidan memberikan ramuan
(obat dan vitamin) yang diproses dengan cara modern. Ramuan
tradisional sangat dipercaya oleh perempuan Banjar, padahal
bisa jadi ramuan tersebut bertentangan dengan ilmu kesehatan
ilmiah seorang bidan. Selain itu, dukun beranak dianggap lebih
jitu dalam memprediksi waktu kelahiran, sedangkan bidan dan
dokter bisa salah memperkirakan waktu kelahiran. Kemudian
dukun beranak dipandang memiliki pengetahuan agama yang
lebih ketimbang bidan, oleh karenanya meminta doa dari dukun
beranak juga menjadi agenda rutin para ibu hamil.
Menyikapi hal tersebut para bidan pada dasarnya tidak
mempersoalkan keberadaan dukun beranak, selama treatment
yang mereka berikan kepada ibu hamil tidak bertentangan
dengan ilmu kesehatan ilmiah. Ketika menjumpai treatment
yang melenceng, para bidan berusaha membangun kedekatan
emosional dengan pasien guna memberikan kesadaran apa
yang benar sesuai ilmu kesehatan ilmiah, hal ini dilakukan
untuk meminimalisir kelainan atau kejadian di luar dugaan
yang dapat berakibat buruk pada kesehatan ibu dan janin.
Kata Kunci: Bidan, Dukun Beranak, Kearifan Lokal, AKI/AKB
260 | Prosiding PKWG Seminar Series
Pendahuluan
Pada tahun 2000, 189 negara anggota Perserikatan BangsaBangsa telah menyepakati Deklarasi Millenium, dimana
deklarasi tersebut menyepakati penanganan berbagai isu
seperti kemiskinan, pendidikan, kelestarian lingkungan,
kesetaraan gender, dan kesehatan. Deklarasi millenium
tersebut menyepakati delapan tujuan pembangunan
millenium yang disebut Millenium Development Goals atau
yang disingkat MDGs. Delapan tujuan tersebut antara lain
tentang: 1)menghapus kemiskinan dan kelaparan; 2)
pencapaian pendidikan untuk semua masyarakat; 3)
mendorong kesetaraan gender dan memberdayakan
perempuan; 4) mengurangi angka kematian anak; 5)
meningkatkan kesehatan ibu; 6) memerangi HIV/AIDs dan
penyakit
lainnya;
7)
kelestarian
lingkungan;
8)
mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan.
Berdasarkan delapan MDGs tersebut dapat kita cermati
bahwa persoalan gender dan persoalan kesehatan baik ibu
dan anak menjadi persoalan penting. Tentunya persoalan
tersebut tidak hanya berada di tingkat makro, tetapi juga pada
tingkat mikro. Persoalan kesehatan khususnya pada ibu dan
anak telah menjadi agenda penting yang perlu dikaji.
Sekalipun angka kematian pada ibu dan anak telah menurun
tetapi masih perlu perhatian khusus, tidak hanya oleh
pemerintah, tenaga medis, tapi juga oleh masyarakat.
Hal inilah yang diangkat dalam penelitian ini, yaitu
bagaimana peran dan sinergisitas bidan dan dukun beranak
dalam menjaga kesehatan ibu hamil, khususnya ketika terjadi
persinggungan antara ilmu kesehatan ilmiah bidan dengan
ilmu kesehatan supranatural dukun. Keterkaitan kesemuanya
ini dengan budaya masyarakat Banjar yang cenderung
merupakan masyarakat transisi, yaitu masyarakat modern
yang masih kuat memegang nilai-nilai luhur atau kearifan
lokal sebagai warisan budaya tak pelak menjadi menarik
untuk dicermati.
Varinia Pura Damaiyanti | 261
Beberapa fenomena tentang perawatan kehamilan dan
proses melahirkan yang terkait dengan usaha menjaga
keselamatan menjadi catatan-catatan penting dalam penelitian
ini. Beberapa subjek penelitian seperti bidan, dukun beranak,
dan ibu hamil menceritakan pengalaman mereka secara
mendalam dimana pengalaman-pengalaman tersebut menjadi
data penting dalam penelitian ini.
Fenomena dukun beranak menjadi fenomena yang
menarik, karena nilai-nilai kearifan lokal yang mereka jaga,
mereka ini dianggap memiliki “ilmu”, kekuatan supranatural
yang pada umumnya mereka dapatkan dari warisan. Dukun
beranak biasanya adalah profesi yang diturunkan dari nenek
moyang mereka, merupakan kemampuan yang diwariskan,
garis tangan seseorang sebagai penerus profesi ini. Bidan,
sebaliknya merupakan tenaga medis yang menempuh jalur
pendidikan formal guna memiliki ilmu kesehatan perbidanan.
Ilmu yang mereka miliki adalah hasil dari belajar, mengkaji,
dan diajarkan bukan turun-temurun garis keluarga, melainkan
oleh para ahli macam dokter kandungan. Kedua profesi ini
memiliki kesamaan, yaitu mengurusi ibu hamil, memberi
mereka treatment, obat, vitamin atau ramuan, memeriksa
kehamilan dan kondisi janin. Tujuannya sama, ingin agar ibu
dan bayi selamat serta sehat. Hanya saja berbagai kontradiksi
muncul seiring dengan metode yang berbeda pula.
Melahirkan di Rumah
Sebagian perempuan Banjar lebih suka melahirkan di
rumah. Mereka merasa bahwa kenyamanan dan keamanan
lebih mereka rasakan jika melahirkan di rumah ketimbang di
rumah sakit atau klinik bidan praktek. Hal ini berkaitan
dengan perasaan nyaman ketika mereka harus mengejan,
membuka kaki lebar-lebar, berdarah-darah, dimana semua hal
dalam proses melahirkan mereka lalui di kamar tidur mereka
sendiri, nilai pivacy menjadi hal yang utama dalam hal ini.
Persoalan ekonomi bukan menjadi faktor dalam masalah ini,
tetapi yang lebih mengemuka adalah rasa nyaman dan aman
262 | Prosiding PKWG Seminar Series
tersebut. Melahirkan di dalam kamar sendiri mereka rasakan
nyaman karena ada keleluasaan mengenai pendamping
persalinan, mereka bisa didampingi beberapa orang, misalnya
suami, ibu, mertua, atau bahkan perempuan tetua kampung
yang dianggap mampu memberi bantuan berupa doa-doa
dimana doa tersebut dibisikkan di telinga mereka yang akan
melahirkan. Apabila mereka melahirkan di ruang bersalin
rumah sakit, pendamping persalinan hanya dimungkinkan
satu atau dua orang saja. Dikelilingi oleh beberapa orang yang
dianggap mampu memberikan semangat, kekuatan, dan
keselamatan menjadi salah satu alasan mereka memilih
melahirkan di rumah, inilah nilai privasi yang tidak bisa
didapatkan jika mereka melahirkan di rmah sakit atau klinik
bidan praktek, sekalipun mereka memilih kamar VIP.
Selain nilai privacy yang hadir, para perempuan Banjar
yang lebih menyukai melahirkan di rumah juga mengaitkan
dengan persoalan mitos. Mereka mempercayai kelancaran dan
keselamatan dalam melahirkan terkait dengan mitos. Misalnya
mereka percaya dengan menaburkan garam di sekeliling
kamar dapat menangkal datangnya makhluk halus yang bisa
mengganggu kelancaran serta keselamatan persalinan.
Menaburkan garam di sekeliling kamar bagi mereka akan sulit
dilakukan jika melahirkan di rumah sakit (ruang bersalin) atau
di klinik bidan praktek. Tidak hanya menaburkan garam, mitos
lain yang dipercaya adalah menyediakan kopi pahit dan kopi
manis serta rokok di bawah ranjang yang digunakan untuk
proses bersalin. Mitos ini juga dipercaya untuk menangkal
masuknya roh halus ke dalam tubuh ibu yang akan
melahirkan. Pada dasarnya rasa nyaman yang ditimbulkan
ketika melahirkan di rumah dan dikelilingi orang-orang dekat
dapat menimbulkan kepercayaan diri pasien sekalipun sedikit
menyimpang dari “aturan” tentang melahirkan di klinik bidan
praktek atau rumah sakit (Bradby dan Hundt [ed], 2010).
Melahirkan di rumah tentunya menjadi pilihan yang utama
bagi mereka yang mempercayai hal tersebut, selain persoalan
Varinia Pura Damaiyanti | 263
ruang privat yang lebih nyaman dirasa ketika mereka harus
melahirkan. Memanggil bidan ke rumah sudah lajim dilakukan
oleh para perempuan Banjar, hanya saja menjadi persoalan
ketika sekarang sulit untuk mendapati bidan yang bersedia
membantu proses kelahiran di rumah pasien. Selain hal
tersebut sekarang sudah dilarang, para bidan ini juga merasa
lebih “leluasa” jika membantu proses kelahiran di klinik
praktek mereka. Tidak perlu repot membawa peralatan,
perlengkapan, dan obat-obatan ke rumah pasien. Apabila
melahirkan di klinik, dengan mudah bidan bisa memberikan
penanganan ataupun obat yang diperlukan sesuai dengan
kebutuhan pasien. Apabila melahirkan di rumah, peralatan,
perlengkapan dan obat-obatan yang dibawa tentunya tidak
selengkap yang tersedia di klinik praktek.
Persoalan larangan bidan membantu persalinan di rumah
menjadi salah satu faktor yang menimbulkan keinginan
persalinan dibantu oleh dukun beranak. Para calon ibu merasa
lebih nyaman dibantu persalinan oleh dukun beranak karena
memungkinkan mereka untuk melahirkan di rumah. Hanya
saja, hal ini menjadi sulit ketika harus berhadapan dengan
sistem dan hukum. Persoalan sulitnya mengurus akta
kelahiran menjadi pertimbangan dalam hal ini. Apabila
melahirkan di rumah dengan dibantu dukun beranak, mereka
takut kesulitan mengurus akta kelahiran. Pada akhirnya,
mereka “terpaksa” memilih bidan dan melahirkan di klinik
bidan praktek. Karena jika diperbandingkan, klinik bidan
praktek mereka rasa sedikit lebih privacy ketimbang ruang
bersalin di rumah sakit.
Bidan vs Dukun dalam Merawat Kehamilan
Selama kehamilan, seorang ibu hamil biasanya mencari
sebanyak-banyaknya info yang berguna untuk merawat
kehamilannya. Sayangnya, info yang didapat seringkali seputar
mitos tentang kehamilan. Para perempuan Banjar percaya
sekali dengan mitos seputar kehamilan, khususnya apabila
yang ngucapkan adalah orang tua, baik itu ibu, ibu mertua,
264 | Prosiding PKWG Seminar Series
keluarga jauh, dan yang utama dukun beranak. Pada dasarnya
sebuah mitos bukanlah masalah jika memang tidak
menimbulkan dampak negatif terutama bagi kesehatan ibu
hamil dan janin, sayangnya di Banjarmasin masih ada dukun
beranak yang mempercayai mitos tentang perawatan
kehamilan dan bertentangan dengan ilmu kesehatan para
bidan. Salah satunya adalah meminum ramuan-ramuan atau
jamu. Masih ada dukun beranak yang memberikan “resep”
bahkan meracikkan jamu tersebut bagi para ibu hamil.
Padahal dalam ilmu kesehatan yang diyakini para bidan,
meminum jamu dapat mengakibatkan air ketuban keruh dan
ari-ari lengket sehingga sulit dikeluarkan/dibersihkan.
Tidak sedikit para bidan yang mempunyai pengalaman
membantu persalinan dimana air ketuban pasien keruh dan
ari-arinya lengket. Setelah ditelusuri ternyata benar si pasien
selama kehamilan rutin meminum jamu berdasarkan resep
bahkan racikan dari dukun beranak. Padahal para bidan selalu
mengingatkan pasien ketika mereka memmeriksakan
kandungan (pemeriksaan rutin berkala) agar tidak minum
jamu. Tetapi ada saja pasien yang melanggar karena mereka
lebih percaya apa yang disampaikan oleh dukun beranak
ketimbang apa yang disampaikan bidan. Alasan mereka adalah
adanya anggapan para dukun beranak ini sudah tua dan
berpengalaman, kemudian apa yang mereka resepkan adalah
resep racikan jamu turun-temurun dimana sudah ratusan
tahun dipercaya membantu merawat kehamilan, misalnya
menjaga stamina selama kehamilan, mengharumkan tubuh,
dan membantu memancarkan kecantikan selama kehamilan.
Resep racikan jamu ini dipercaya manjur dan tidak punya
dampak negatif terhadap kehamilan mereka, apalagi jika
diberi ember-embel “jamu dayak”. Kepercayaan bahwa orang
dayak ahli dalam perjamuan menguatkan mitos tentang
minum jamu tersebut. Pada akhirnya para bidan menjadi
kesulitan dalam membantu proses kelahiran, bahkan dapat
berakibat negatif pada janin, karena janin bisa keracunan air
ketuban yang keruh tersebut.
Varinia Pura Damaiyanti | 265
Treatment selain jamu adalah pemijatan perut. Banyak
perempuan Banjar yang masih mempercayakan pemijatan
perut selama hamil kepada dukun beranak. Hal ini mereka
lakukan untuk mengetahui posisi bayi mereka apakah
sungsang atau tidak, kemudian jika sungsang dengan dipijat
dapat diatur atau dirubah posisi bayi mereka. Sebagian bidan
tidak menganjurkan pemijatan ini, karena dikhawatirkan
justru terjadi kesalahan ketika proses pemijatan yang
mungkin dapat berakibat buruk pada janin. Akan tetapi
kepercayaan kepada dukun beranak sangat kuat dengan
alasan dukun ini sudah tua dan berpengalaman bahkan punya
“ilmu” sehingga sekalipun bidan tidak menganjurkan mereka
tetapi memijatkan perut pada dukun beranak menjadi agenda
rutin para ibu hamil ini. Menurut mereka selama ini para
orangtua, keluarga, nenek, buyut, dan para tetua
mempraktekkan kebiasaan pijat ini, justru dengan perut
mereka dipijat mereka merasa lebih tenang. Artinya, para
dukun beranak dipandang mampu mengetahui apa yang
terjadi dalam perut mereka, apa yang terjadi dengan janin
mereka, yaitu dengan cara dipijat. Hal ini memberikan
ketenangan pada ibu hamil, karena dengan mengetahui
kondisi janin mereka tahu apa yang selanjutnya harus
dilakukan. Misalnya setelah diketahui posisi janin sungsang,
mereka bisa merubah atau menambah frekuensi konsultasi
dengan dokter atau bidan dan dukun beranak tentunya.
Pada satu sisi ada pula ibu hamil yang mendatangi dukun
beranak bukan untuk pijat, tetapi hanya untuk meminta gara
dukun tersebut memegang perut mereka, hal ini dilakukan
untuk memperkirakan waktu melahirkan, biasanya dilakukan
di usia kehamilan tua. Mereka yang meminta dipegang
perutnya merupakan perempuan Banjar yang bersedia
mengikuti saran bidan agar tidak memijatkan perut, hanya
saja masih ada keinginan dan kepercayaan kepada dukun
beranak. Sehingga istilah “tidak pijat tapi minta dipegang”
banyak pula diyakini para ibu hamil. Pada umumnya prediksi
kelahiran para dukun ini tepat, tidak seperti perkiraan dokter
266 | Prosiding PKWG Seminar Series
yang bisa meleset. Inilah yang diyakini sebagai “ilmu” dari
para dukun beranak, perkiraan mereka tepat mengenai
prediksi kelahiran. Selain minta pegang biasanya para ibu
hamil ini minta agar perut mereka ditiup. Dukun beranak
biasa meniup perut ibu hamil disertai dengan doa-doa agar
proses melahirkan lancar dan baik ibu maupun bayinya
selamat.
Sinergisitas Bidan dan Dukun Beranak
Apa yang sudah diuraikan diatas merupakan beberapa
contoh dari paradoksitas ilmu kesehatan berbasis ilmiah
dengan ilmu kesehatan berbasis “kearifan lokal”. Mengapa
dikatakan kearifan lokal? Karena profesi dukun beranak ini
mengangkat nilai-nilai kultur dan mempertahankan sebagian
mitos turun-temurun dalam persoalan perawatan kehamilan
dan melahirkan. Menjadi masalah ketika nilai-nilai kearifan
lokal tersebut bersinggungan dengan nilai-nilai kesehatan
berbasis ilmiah. Masyarakat ketika berhadapan dengan hal ini,
cenderung ersikap absurd, khususnya masyarakat Banjar.
Menyikapi masalah kesehatan dalam hal ini tentunya tidak
bisa meninggalkan unsur-unsur budaya, dimana kepercayaan
akan mitos punya andil besar (Albrecht, 2011).
Banjarmasin sekalipun merupakan ibukota propinsi, akan
tetapi kebudayaan sungai yang merupakan identitas
masyarakatnya tidak bisa lepas dengan persoalan kesehatan.
Banjarmasin belum bisa melepaskan diri dari cultural
embodiment sebagai masyarakat dengan cara hidup yang
sekalipun “kekota-kotaan” tetapi masih memegang nilai-nilai
kearifan lokal, khususnya dalam hal kesehatan ibu hamil dan
bayi. Tidak peduli setinggi apapun pendidikannya, sehebat
apapun pekerjaannya, semodern apapun gaya hidupnya, tetap
saja peran dukun beranak sangat kuat pada perempuan
Banjar. Ungkapan “tidak ada salahnya mengikuti apa yang
sudah biasa dilakukan orangtua kita” adalah ungkapan yang
umum ditemui di masyarakat Banjar. Mereka merasa bahwa
sebagai orang yang minim pengalaman tentunya akan leih
Varinia Pura Damaiyanti | 267
baik mengikuti apa yang disarankan oleh para orangtua dan
tentunya dukun beranak. Walaupun pada akhirnya misalkan
mereka terpaksa melahirkan di rumah sakit ataupun klinik
bidan praktek karena persoalan akta kehiran, akan tetapi
treatment-treatment yang dijalankan tidak bisa lepas dari
peran dukun beranak dengan segala mitos kearifan lokal
mereka.
Di lain pihak, ada pula perempuan Banjar yang melakukan
treatment ala dukun beranak disebabkan oleh mereka hanya
sekedar mengikuti apa yang disuruh oleh ibu atau ibu mertua
mereka. Pada dasarnya mereka tidak setuju karena tidak
meyakini dukun beranak ini, akan tetapi mereka enggan
berdebat dengan orangtua ataupun mertua sehingga mereka
bersedia mengikuti treatment dari dukun beranak. Inilah yang
menjadi dilema para ibu hamil. Terkadang, peran bidan bukan
hanya sebagai tenaga kesehatan yang memeriksa kehamilan
dan memberi nasehat medis, tetapi peran bidan juga bisa
menjadi tempat bercerita, tempat berkeluh kesah para ibu
hamil.
Disinilah pentingnya peran bidan, ketika para ibu hamil
membutuhkan tidak hanya pemeriksaan dan nasehat
bagaimana menjaga kehamilan, melainkan juga memerlukan
“orang ketiga” dalam menjalani kehamilan. Khususnya ketika
tempat bercerita dan berkeluh kesah itu tidak bisa didapatkan
dari dokter kandungan, bidanlah yang dicari. Bidan yang
sabar, bidan yang lucu, bidan yang bidan yang ramah, adalah
bidan yang dicari. Istilahnya “bidan top”, hanya sedikit bidan
top di Banjarmasin, tidak sampai 10 orang, tentunya mereka
adalah bidan yang punya klinik praktek dimana klinik ini tidak
hanya melayani pemeriksaan tetapi juga melayani persalinan.
Berbeda dengan bidan di puskesmas ataupun di rumah
sakit, bidan-bidan yang memiliki klinik praktek dan masuk
jajaran bidan top di kota Banjarmasin ini dikenal ramah, lucu,
dan sabar. Tidak jarang jika ada ibu hamil yang mencari
referensi bidan, yang ditanyakan adalah “galak gak bidannya?”
268 | Prosiding PKWG Seminar Series
atau “sinis dan suka ngatain gak bidannya?” Bidan-bidan top
ini punya nilai jual, selain klinik mereka yang bersih, obat dan
peralatan cenderung lengkap, tetapi karakter atau pembawaan
para bidan yang menyenangkan inilah yang membuat mereka
menjadi bidan top.
Para bidan menganggap bahwa di satu pihak dukun
beranak punya andil pula dalam menjaga kesehatan para ibu
hamil dan janin, khususnya dalam hal memberikan doa-doa
keselamatan dan memberikan nasehat-nasehat khususnya
mengenai asupan gizi selama tidak bertentangan dengan ilmu
kesehatan ilmiah. Inilah yang perlu dipertahankan dari
keberadaan dukun beranak, bahkan tidak jarang para bidan
dan dukun beranak ini saling mengenal baik.
Akan tetapi nilai positif dari keberadaan dukun beranak
menjadi paradoks ketika berkaitan dengan kearifan lokal
berupa mitos yang bertentangan dengan ilmu kesehatan
ilmiah. Para bidan di satu sisi tidak punya kekuasaan untuk
menentang hal tersebut, terlebih tidak ada aturan
mengenainya, satu-satunya yang bisa diandalkan adalah
tentang larangan melahirkan di rumah. Hal inipun masih ada
yang melanggar, dimana urusan birokrasi akta kelahiran
menjadi diabaikan dan dianggap sebagai “urusan belakangan”.
Hal ini tidak terlepas dari rasa percaya yang sangat kuat
terhadap dukun beranak dimana mereka dianggap punya
kekuatan supranatural. Dalam masyarakat Barat maupun nonBarat, unsur-unsur supranatural sering memainkan peranan
dalam menentukan siapa yang akan menjadi penyembuh
(Foster dan Anderson, 2006: 127).
Bagaimana sinergisitas bidan dan dukun beranak? Pada
dasarnya para bidan tetap mengupayakan agar para pasien
mengikuti saran medis dari bidan, dengan cara mengobrol
secara intensif dan berusaha meluangkan waktu dengan para
pasien para bidan ini berusaha membuka pikiran perempuan
Banjar mengenai apa saja yang berbahaya dari mitos-mitos
atau treatment para dukun beranak. Bahkan ada juga bidan
Varinia Pura Damaiyanti | 269
yang 24 jam memberikan layanan telepon jika ada pasien yang
ingin berkonsultasi ataupun sekedar ingin mengobrol.
Sedangkan para dukun beranak melihat bahwa tidak ada
persoalan dalam hal ini, treatment ataupun mitos yang mereka
yakini semata adalah ilmu dan pengalaman yang diharapkan
dapat bermanfaat bagi pasien, jikapun treatment ataupun
mitos tersebut bertentangan dengan ilmu kesehatan yang
dimiliki bidan maka bagi para dukun beranak itu adalah hal
yang lumrah, bagi mereka setiap orang memiliki ilmu masingmasing, dimana tidak ada yang mempunyai tujuan buruk,
semuanya memiliki tujuan bagi untuk kesehatan dan
keselamatan pasien.
Kekhawatiran para dukun beranak adalah akan
menghilangnya profesi ini. Apalagi dengan adanya larangan
melahirkan di rumah, maka dukun beranak bukan lagi menjadi
dukun beranak, hanya sebagai tukang urut saja. Inilah yang
mereka khawatirkan, dimana nilai-nilai kearifan lokal sedikit
demi sedikit akan hilang, digantikan oleh ilmu kesehatan
modern. Mereka khawatir tidak ada lagi yang bisa memutar
bayi sungsang, tidak ada lagi yang bisa meracik jamu dayak,
tidak ada lagi yang bisa membacakan doa selamat,
kesemuanya itu digantikan oleh operasi cesar, obat kimia yang
mahal, dan konsultasi dengan para motivator kehamilan
(termasuk senam hamil) yang membutuhkan biaya lebih
ketimbang berkonsultasi dengan dukun beranak. Dukun
beranak tidak menentukan tarif, terserah pasien saja
membayarkan biayanya, bahkan dipercaya jika para dukun
beranak ini menentukan tarif maka “kesaktian” mereka akan
berkurang.
Pada dasarnya kesehatan selama kehamilan tetap menjadi
faktor yang perlu diperhatikan dalam menurunkan Angka
Kematian Ibu dan Bayi, yang perlu menjadi perhatian
pemerintah dan selanjutnya sebagai agenda kebijakan adalah
menentukan formulasi kebijakan yang tepat guna menyikapi
berbagai fenomena terkait persinggungan dua ilmu atau dua
270 | Prosiding PKWG Seminar Series
profesi ini. Sekalipun keduanya punya tujuan yang sama, yaitu
ibu dan bayi selamat serta sehat, tetapi ada nilai-nilai serta
metode yang berbeda di dalamnya. Ironisnya, sekolah-sekolah
perbidanan menjamur, sedangkan praktek perdukunan
meredup. Ini mungkin menjadi awal meledaknya modernitas
di bidang kesehatan, sekaligus melunturkan kelestarian nilainilai kearifan lokal di masyarakat kita. Apapun itu, salah satu
yang menjadi agenda utama dalam MDGs tetap
mengedepankan persoalan gender, juga menurunkan angka
kematian ibu dan anak.
Daftar Pustaka
Albrecht, Gary L, 2011, “The Sociology of Health and Illness”
dalam The Sage Handbook of Sociology, London: Sage
Bradby, Hannah dan Gillian Lewando Hundt [ed], 2010, Global
Perspectives on War, Gender, and Health: the Sociology and
Anthropology of Suffering, UK: MPG Groups Books
Foster, George M dan Barbara Gallatin Anderson, 2006,
Antropologi Kesehatan, Jakarta: UI-Press
Varinia Pura Damaiyanti | 271
Download