program pascasarjana fakultas hukum universitas islam

advertisement
BIDANG ILMU
FILSAFAT HUKUM ISLAM
LAPORAN PENELITIAN
PENGATURAN ABORSI BAGI KORBAN PERKOSAAN
DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF
MAṢLAḤAH NAJM AL-DĪN AL-ṬŪFĪ
Peneliti:
Dr. Rohidin, M.Ag.
Buheti, S.H.
PROGRAM PASCASARJANA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
YOGYAKARTA
2012
HALAMAN REKOMENDASI
1. Judul Penelitian
Pengaturan Aborsi Bagi Korban Perkosaan di
Indonesia dalam PerspeKif Maslahah Najm AlDin Al-Tufi
2. Ketua Peneliti
a.
bC.
d.
e.
Nama lengkap
-lenis Kelamin
NIP/ NIK
Jabatan Struktural
Jabatan Fungsional
f, Prodirurusan
g. Fakultas
i. Alamat
h. rerpon/ rax
i. Alamat Rumah
j. Telepon/Fax/Email
3. Jangka Waktu Penelitian
4. Pembiayaan
Rohidin, Dr. Drs. l4A.
Laki-laki
924100103
Sekretaris Program PKPA FH UII
IV/
a
Hukum/ IImu Hukum
Hukum Universitas Islam Indonesia Yogyakarta
Jl. Tamansiswa 158 PO gOX 1133 Yogyakarta 55151
(0274) 8984,14 ext. 2503
Warungboto UH IV/ 815 Yogyakarata
0at22954322
6 (enam) bulan
Pascasajrana Fakultas Hukum UII (5.000.000,J
Yogyakarta, 8 November 2012
Menyetujui,
Ketua Program PPs Fak Hukum UII
PeneliU
idin, Dr. Drs. MA.
SURATPERNYATAAN
Yang bertandatangan d i barvah ini kamir
Nama
ROHIDIN, Dr., M.Ag.
Jabatan
Ketua Pencliti
Alamat Rumah
Warungboto Umbullrarjo
Telp./HP
+62274 4r8 4t5
M8l5
Rt. 30/07 Yogyakarta
Tirjaw
MaSlahah I'erspektif Najm al-Drn al-Tufi atas
Pengatumn Aborsi bagi Korban Perkosaan di Indonesia
(Studi Kasus UU No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan)
Judul Penelitian
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa:
1.
Laporan Penelitian yang kami ajukan bcnar asli karya ilmiah yang kami tulis
sendiri,
2.
Apabila
di
kcmudian hari tcrnyata diketahui bahwa karya tersebut bukan
karya ilmiah kami (plagiasi). maka kami berscdia menanggung
sebagimana yang berlaku.
Demikian pernyataan ini kami buat dcngan sebenar-benamya.
Yogyakafta, I 1
Kami yang M
sanksi
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL .....................................................................................
i
HALAMAN PERNYATAAN .......................................................................
ii
DAFTAR ISI ..................................................................................................
iii
TRANSLITERASI ........................................................................................
v
BAB I
PENDAHULUAN .............................................................................................
1
A. Latar Belakang Masalah ................................................................................
1
B. Rumusan Masalah .........................................................................................
5
C. Tujuan ............................................................................................................
5
D. Kajian Pustaka ...............................................................................................
5
E. Kerangka Teori ..............................................................................................
9
F. Metode ........................................................................................................... 15
G. Sistematika Pembahasan ............................................................................... 17
BAB II
ABORSI DAN KONSEP MAṢLAḤAH PERSPEKTIF NAJM AL-DĪN
AL-ṬŪFĪ ........................................................................................................... 19
A. Pengertian dan Macam-Macam Aborsi.......................................................... 19
B. Metode Aborsi............................................................................................... 24
C. Aborsi dalam Kontroversi Ulama Konvensional........................................... 27
D. Tinjauan Umum Tentang Maṣlaḥah ............................................................. 35
E. Biografi Najm al-Dīn al-Ṭūfī ......................................................................... 40
F. Pandangan Najm al-Dīn al-Ṭūfī Terhadap Konsep Maṣlaḥah ...................... 46
iii
BAB III
PENGATURAN ABORSI BAGI KORBAN PERKOSAAN ....................... 55
A. Pengaturan Aborsi bagi Korban Perkosaan di Indonesia Sebelum Tahun
2009 ............................................................................................................... 55
B. Legalitas Praktik Aborsi bagi Korban Perkosaan dalam UU No. 36 Tahun
2009 Tentang Kesehatan ....................................... ........................................ 65
C. Analisis atas Struktur Materi Hukum Aborsi bagi Korban Perkosaan dalam
UU No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan dengan Tinjauan Maṣlaḥah alṬūfī ................................................................................................................ 70
BAB IV
PENUTUP ......................................................................................................... 82
A. Kesimpulan .................................................................................................... 82
B. Rekomendasi dan Saran ................................................................................ 83
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 84
iv
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN
Transliterasi yang digunakan dalam penulisan skripsi ini, bersumber dari
pedoman Arab-Latin yang diangkat dari Keputusan Bersama Menteri Agama dan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Nomor 158 Tahun 1987
dan Nomor 0543 b/U/1987, selengkapnya adalah sebagai berikut :
1. Konsonan
Fonem konsonan bahasa Arab, yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan
dengan huruf, dalam tulisan transliterasi ini sebagian dilambangkan dengan
huruf, sebagian dengan tanda, dan sebagian dengan huruf dan tanda sekaligus,
sebagai berikut :
Huruf Arab
Nama
Huruf Latin
Keterangan
‫ا‬
Alif
Tidak dilambangkan
tidak dilambangkan
‫ب‬
Ba’
B
be
‫ت‬
Ta’
T
te
‫ث‬
Sa
Ṡ
es (dengan titik di atas)
‫ج‬
Jim
J
je
‫ح‬
Ha
Ḥ
ha (dengan titik di bawah)
‫خ‬
Kha
Kh
ka dan ha
‫د‬
Dal
D
de
‫ذ‬
Zal
Ż
zet (dengan titik di atas)
‫ر‬
Ra
R
er
‫ز‬
Zai
Z
zet
v
‫س‬
Sin
S
es
‫ش‬
Syin
Sy
es dan ye
‫ص‬
Sad
Ṣ
es (dengan titik di bawah)
‫ض‬
Dad
Ḍ
de (dengan titik di bawah)
‫ط‬
Ta
Ṭ
te (dengan titik dibawah)
‫ظ‬
Za
Ẓ
zet (dengan titik di
bawah)
‫ع‬
`Ain
`
koma terbalik (di atas)
‫غ‬
Ghain
G
ge
‫ف‬
Fa
F
ef
‫ق‬
Qaf
Q
qi
‫ك‬
Kaf
K
ka
‫ل‬
Lam
L
el
‫م‬
Mim
M
em
‫ن‬
Nun
N
en
‫و‬
Wau
W
we
‫ه‬
Ha
H
ha
‫ء‬
Hamzah
’
apostrof
‫ي‬
Ya’
Y
ya
2. Vokal
a. Vokal tunggal :
Tanda Vokal
Nama
Huruf Latin
Keterangan
َ◌
Fathah
A
a
vi
◌ِ
Kasrah
I
i
◌ُ
Dammah
U
u
Tanda
Nama
Huruf Latin
Keterangan
‫ي‬
َ
Fathah dan ya
Ai
a-i
‫َو‬
Fathah dan Wau
Au
a-u
b. Vokal Rangkap :
Contoh :
‫ كيف‬---- kaifa
‫ حول‬----- ḥaula
c. Vokal Panjang (maddah)
Tanda
Nama
Huruf Latin
Keterangan
َ‫ا‬
Fathah dan alif
Ā
a dengan garis di atas
‫ي‬
َ
Fathah dan ya
Ā
a dengan garis di atas
‫ي‬
ٍ
Kasrah dan ya
Ī
i dengan garis di atas
‫ُو‬
Dammah dan wau
Ū
u dengan garis di atas
Contoh :
‫ قال‬---- qāla
‫ قيل‬---- qīla
‫ رمى‬---- ramā
‫ يقول‬---- yaqūlu
vii
3. Tā’ Marbūṭah
a. Transliterasi ta’ marbūṭah hidup adalah "t".
b. Transliterasi ta’ marbūṭah mati adalah "h".
c. Jika ta’ marbūṭah diikuti kata yang menggunakan kata sandang "‫"( "ال‬al-"),
dan bacaannya terpisah, maka ta’ marbūṭah tersebut ditransliterasikan dengan
"h".
Contoh :
‫ روضة االطفال‬------- rauḍatul aṭfāl, atau rauḍah al-aṭfāl
‫ المدينة المنورة‬------- al-Madīnatul Munawwarah, atau al-Madīnah
al- Munawwarah
‫ طلحة‬------------
Ṭalḥatu atau Ṭalḥah
4. Huruf Ganda (Syaddah atau Tasydīd)
Transliterasi syaddah atau tasydīd dilambangkan dengan huruf yang sama, baik
ketika berada di awal atau di akhir kata.
Contoh :
‫ نزل‬------ nazzala
‫ البر‬------- al-birru
viii
5. Kata Sandang Alif + Lām
Kata sandang alif + lām ditransliterasikan dengan "al" diikuti dengan tanda
penghubung "-", baik ketika bertemu dengan huruf qamariyyah maupun huruf
syamsiyyah.
Contoh :
‫ القلم‬-------- al-qalamu
‫ الشمس‬------ al-syamsu
6. Huruf Kapital
Meskipun tulisan Arab tidak mengenal huruf kapital, tetapi dalam transliterasi
huruf kapital digunakan untuk awal kalimat, nama diri, dan sebagainya seperti
ketentuan dalam EYD. Awal kata sandang pada nama diri tidak ditulis dengan
huruf kapital, kecuali jika terletak pada permulaan kalimat.
Contoh :
‫ ومامحمد االرسول‬-----Wa mā Muḥammadun illā rasūl
ix
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Fenomena perkosaan merupakan bagian dari tindak kekerasan seksual. Di
Indonesia, kasus tersebut berbanding lurus dengan fenomena aborsi itu sendiri, dalam
arti sama-sama maraknya.1 Bahkan, akhir-akhir ini gencar diberitakan bahwa
perkosaan sering dilakukan di tempat-tempat umum, seperti dalam angkutan umum.2
Farha Ciciek menjelaskan pada tahun 1997 kasus perkosaan yang dilaporkan kepada
Pihak Kepolisian berjumlah 299, dan di tahun berikutnya (1998) jumlah tersebut
meningkat menjadi 338 kasus.3 Lembaga Rifka Annisa yang berkantor di Yogyakarta
mem-publish dalam situs resminya bahwa pada tahun 2000-2003 menerima
1
Di Indonesia, dan mungkin seluruh dunia, praktik aborsi seakan menjadi fenomena abadi.
Sebagai sebuah bangsa yang mengklaim dirinya religious lagi berkeadaban, dan bahkan berbudi luhur,
justru grafik praktik aborsi tidak pernah mengalami penurunan. Sebut saja misalnya data hasil
penelitian yang dihimpun oleh Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia (UI) menunjukkan
bahwa pada tahun 2000 di Indonesia diperkirakan sekitar dua juta aborsi telah terjadi. Angka ini
dihasilkan dari penelitian yang dilakukan berdasarkan sampel yang diambil dari fasilitas-fasilitas
kesehatan di enam wilayah, dan juga termasuk jumlah aborsi spontan yang tidak diketahui jumlahnya
walaupun dalam hal ini diperkirakan jumlahnya kecil. Namun demikian, estimasi aborsi tersebut
merupakan data yang paling komprehensif yang terdapat di Indonesia sampai saat ini. Estimasi dalam
penelitian tersebut berdasarkan angka tahunan aborsi sebesar 37 aborsi untuk setiap 1.000 perempuan
usia reproduksi (15-49 tahun). Estimasi ini bagi Gutmacher Institute tampak cukup tinggi bila
dibandingkan dengan negara-negara lain di Asia, di mana dalam skala regional sekitar 29 aborsi terjadi
untuk setiap 1.000 perempuan usia reproduksi. Diadaptasi dari Gutmacher Institute, Aborsi di
Indonesia (New York: Gutmacher Institute, 2008), hlm. 1. Baca, Amnesty Internasional, Tak Ada
Pilihan, Rintangan atas Kesehatan Reproduktif di Indonesia: Ringkasan Eksekutif (London: Amnesty
International Publication, 2010), hlm. 8-9. Telusuri lebih lanjut dalam, Utomo B (dkk.), Insidence and
Social-Psychological Aspects of Abortion in Indonesia: A Community-Base Survey in 10 Major Cities
and 6 Districts, Year 2000 (Jakarta: Pusat Penelitian Kesehataan UI, 2001). 2
Baca, “Waduh! Terjadi Lagi Penumpang Angkot Diperkosa Sopir”, dalam
http://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/11/10/13/lt0g3x-waduh-terjadi-lagi-penumpangangkot-diperkosa-sopir (Diakses pada tanggal 22 Nopember 2011)., “Baru Enam Bulan di Jakarta,
Pengasuh
Bayi
Diperkosa
Sopir
Angkot”,
dalam
http://www.tempo.co/read/news/2011/10/14/064361333/Baru-Enam-Bulan-di-Jakarta-Pengasuh-BayiDiperkosa-Sopir-Angkot (Diakses pada tanggal 22 Nopember 2011)., “Bocah Lima Tahun Diperkosa
Sopir Angkot “, dalam http://www.tempo.co/read/news/2011/09/30/064359209/Bocah-Lima-TahunDiperkosa-Sopir-Angkot (Diakses pada tanggal 22 Nopember 2011). 3
Farha Ciciek, “Perkosaan Terhadap Perempuan di Ruang Domestik dan Publik”, dalam S. Edi
Santosa, Islam dan Konstruksi Seksualitas (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 108-109. 2
pengaduan perkosaan rata-rata 250 kasus di setiap tahunnya.4 Lebih jauh, Komnas
Perempuan melaporkan bahwa dari tahun 1998 hingga 2010 sejumlah 8.326 kasus
kekerasan seksual telah terjadi. Dari jumlah tersebut, jenis kasus perkosaan
menempati urutan tertinggi, yakni 4.391 kasus, sementara kasus percobaan perkosaan
mencapai 109 kasus.5
Estimasi tersebut bukanlah data faktual yang terjadi di lapangan. Masalahnya,
banyak korban perkosaan tidak bersedia untuk melaporkan kepada Pihak Kepolisian
karena stigma negatif yang akan ia terima. Lebih dari itu, perempuan korban
perkosaan sering menjadi objek yang dipersalahkan. Dalam pada itu, diakui atau
tidak, di antara sejumlah kasus tersebut terdapat kasus-kasus perkosaan hingga
mengakibatkan kehamilan.6 Di sinilah letak urgensitas diangkatnya topik aborsi bagi
korban perkosaan dalam penelitian ini. Pertanyaanya kemudian manakah yang lebih
diutamakan antara haknya dan hak hidup si janin? Legalkah jika ia melakukan aborsi
sebagai bentuk pemenuhan haknya? Jika memang legal, bagaimana ketentuannya?
Di Indonesia, aborsi bagi korban perkosaan pada dasarnya telah diatur oleh
beberapa ketentuan perundang-undangan. Di antaranya adalah Kitab Hukum Pidana
4
Lihat,
http://rifka-annisa.or.id/go/rifka-goes-to-school-gender-seksualitas-dan-kekerasan/
(Diakses pada tanggal 16 Oktober 2011). 5
Tim Partisipasi Masyarakat, “Dukung Perempuan Korban Kekerasan Seksual”, dalam Berita
Komnas Perempuan, Edisi 6, februari, 2011, hlm. 4. 6
Baca,
“Santri
Diperkosa
Sampai
Hamil
Dua
Kali”,
dalam
http://nasional.kompas.com/read/2008/11/22/09091350/santri.diperkosa.sampai.hamil.dua.kali
(Diakses pada tanggal 02 Oktober 2011), “Santriwati Itu Diperkosa Sampai Hamil 6 Bulan”, dalam
http://megapolitan.kompas.com/read/2010/01/13/14425834/Santriwati.Itu.Diperkosa.Sampai.Hamil.6.
Bulan (Diakses pada tanggal 02 Oktober 2011), “Ini di Palembang, Anak Diperkosa Ayah Hingga
Hamil”, dalam http://makassar.tribunnews.com/2011/07/05/ini-di-palembang-anak-diperkosa-ayahhingga-hamil, (Diakses pada tanggal 02 Oktober 2011), “Diperkosa Ayah Tiri, Siswi SMP Hamil 5
Bulan”,
dalam
http://www.surya.co.id/2011/07/14/diperkosa-ayah-tiri-siswi-smp-hamil-5-bulan
(Diakses pada tanggal 02 Oktober 2011), “Diperkosa Hingga Hamil, Seorang Buruh Pabrik di Nganjuk
Lapor Polisi”, dalam http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2011/01/08/75004 (Diakses
pada tanggal 02 Oktober 2011), “Gadis 9 Tahun Hamil Bayi Kembar Akibat Diperkosa Ayah Tiri”,
dalam
http://www.detiknews.com/read/2009/03/02/043237/1092489/10/gadis-9-tahun-hamil-bayikembar-akibat-diperkosa-ayah-tiri (Diakses pada tanggal 02 Oktober 2011), dan “Siswi I SMP
Diperkosa
Kakak
lpar,
Hamil
4
Bulan”,
dalam
http://megapolitan.kompas.com/read/2010/02/05/09323161/Siswi.I.SMP.Diperkosa.Kakak.lpar.Hamil.
4.Bulan (Diakses pada tanggal 02 Oktober 2011). 3
(KUHP) Pasal 283, 299, 346, 348, 349, dan 535, serta Undang-undang (UU) No. 23
Tahun 1992 Tentang Kesehatan Pasal 15 dan 80. Pada tahun 2009, UU No. 23 Tahun
1992 diamandemen dengan UU No. 36 Tahun 2009. Di dalamnya juga termasuk
mengamandemen pasal-pasal yang mengatur tentang aborsi bagi korban perkosaan,
yakni melalui Pasal 75, 76, dan 77. Pasca-disahkannya UU No. 36 Tahun 2009 ini,
perbincangan boleh dan tidaknya aborsi secara umum dan dari Kehamilan yang Tidak
Dikehendaki (KTD) akibat perkosaan kerap diperbincangkan.
Dalam konteks pengaturan aborsi, materi undang-undang tersebut menuai
kontroversi yang berkepanjangan. Di satu pihak dianggap memasung kebebasan
perempuan dan di sisi yang lain juga terdapat sekelompok kecil yang menganggap
sebagai bentuk ketidakhormatan kepada manusia. Di antara dua pandangan tersebut,
tidak sedikit juga masyarakat yang mendukung adanya undang-undang tersebut. Cara
pandang yang digunakan oleh masing-masing kelompok berbeda satu sama lain,
seperti agama, Hak asasi Manusia (HAM), dan feminisme.7
Dalam pada itu, ajaran agama merupakan tinjauan yang sering digunakan oleh
masyarakat Muslim Indonesia. Maraknya penggunaan cara pandang ini menjadi
wajar mengingat kasus aborsi—dalam kasus-kasus tertentu—erat kaitannya dengan
persoalan zina. Sementara zina bagi masyarakat Indonesia merupakan bagian dari
pelanggaran berat agama. Terlebih lagi, jika diikuti dengan kasus aborsi yang syarat
dengan nuansa pemutusan kehidupan anak manusia yang tidak berdosa, sudah barang
tentu jika bobot yang ditimbulkan akan lebih berat lagi. Namun, hal tersebut tentu
berbeda dengan kasus aborsi dari KTD akibat perkosaan.
7
Lihat, “Tokoh Agama Tentang Aturan Aborsi”, dalam http://matanews.com/2009/10/13/tokohagama-tentang-aturan-aborsi/ (Diakses pada tanggal 24 November 2011), “DPR: Silahkan UU
Kesehatan Dibawa Ke MK”, dalam http://matanews.com/2009/10/14/dpr-silahkan-uu-kesehatandibawa-ke-mk/ (Diakses pada tanggal 24 November 2011), “MUI: Korban Perkosaan Boleh Aborsi”,
dalam http://www.merdeka.com/pernik/mui-korban-perkosaan-boleh-aborsi-p8ribrd.html (Diakses
pada tanggal 24 November 2011), Sri Nelis, Aborsi dan Hukumnya di Indonesia, dalam
http://www.sumbaronline.com/berita-4240-aborsi-dan-hukumnya-di-indonesia--.html (Diakses pada
tanggal 24 November 2011), dan Yulianti Muthmainnah , Mengkritisi Undang-Undang Kesehatan
Kita, dalam http://www.komnasperempuan.or.id/2010/03/mengkritisi-undang-undang-kesehatan-kita/
(Diakses pada tanggal 24 November 2011). 4
Istilah agama sendiri oleh masyarakat Muslim Indonesia identik dengan fikih
itu sendiri. Artinya, jika terjadi praktik aborsi yang dibicarakan masyarakat adalah
bagaimana fikih memandang itu. Padahal, agama Islam sendiri pada hakikatnya
adalah syariah, al-Qur’an dan hadis, bukan semata mata fikih. Sementara itu, Islam
sendiri diturunkan oleh Allah melalui Muhammad dalam bentuk al-Qur’an hanya
untuk kemaslahatan manusia. Dalam proses penurunannya yang bersifat gradual tidak
terlepas dari adanya tujuan-tujuan (maqāṣid al-syarīˋah) yang ingin dicapai.
Kemaslahatan inilah yang seharusnya digunakan dalam memandang praktik aborsi—
terlebih
bagi
korban
perkosaan
yang
syarat
dengan
persoalan—jika
hal
pembicaraannya terbingkai dalam wilayah agama. Inilah yang kemudian menjadi
alasan peneliti untuk memilih maṣlaḥah sebagai tinjauan analisisnya.
Konsep maṣlaḥah sendiri dipahami oleh para ahli secara beragam. Dalam
penelitian ini, peneliti menggunakan konsep maṣlaḥah perspektif Najm al-Dīn alṬūfī (kemudian disebut al-Ṭūfī). Pemilihan ini bukan tanpa alasan, tetapi lebih
dikarenakan titik tekan al-Ṭūfī atas rasionalitas manusia yang lebih diunggulkan dari
pada teks keagamaan dalam aras konseptual maṣlaḥah-nya.8 Penekanan rasionalitas
manusia dalam konsep maṣlaḥah menjadi relevan mengingat fokus kajian penelitian
ini adalah KTD akibat perkosaan, bukan KTD akibat kelalaian atau “kecelakaan”
lain.
Sebagaimana telah disebutkan bahwa di Indonesia praktik aborsi bagi korban
perkosaan telah dilegalkan dengan ketentuan UU, seperti yang terdapat dalam UU
No. 36 Tahun 2009. Sementara itu, di hadapan publik materi undang-undang ini
sendiri masih menuai banyak perdebatan. Pada saat yang bersamaan, KTD akibat
perkosaan merupakan dilema tersendiri bagi korban. Untuk itu, urgen kiranya jika
8
Inilah sisi perbedaan maṣlaḥah al-Ṭūfī dengan rumusan maṣlaḥah yang lain, seperti Abū
Ḥāmid al-Gazalī, Abū Isḥāq al-Syāṭibī, dan Ibn al-Qayyim al-Jawziyyah. Lihat dan bandingkan, Abū
Ḥāmid al-Gazalī, Al-Muṣtasfā fī ˋIlm al-Uṣūl (Beirut: Dār al-Kutub al-ˋIlmiyyah, 1980), hlm. 286.,
Abū Isḥāq Ibrāhim Ibn Muḥammad al-Syāṭibī, Al-Muwāfaqāt fī Uṣūl al-Syarīˋah (Beirut: Dār alMaˋrifah, 1973), juz II, hlm. 8-12., dan Ibn al-Qayyim al-Jawziyyah, Aˋlām al-Muwaqqiˋīn (Beirut:
Dār al-Jalīl, 1973), hlm. 14. 5
dilakukan kajian secara mendalam terkait dengan pengaturan aborsi bagi korban
perkosaan tersebut dengan tinjauan maṣlaḥah al-Ṭūfī sebagai perangkat analisisnya.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, permasalahan yang perlu diteliti
adalah, “Bagaimana pengaturan aborsi bagi korban perkosaan di Indonesia ditinjau
dari perspektif maṣlaḥah al-Ṭūfī?
C. Tujuan
Penelitian ini memiliki dua tujuan, yakni teoretis dan praktis. Tujuan teoretis
penelitian ini adalah memahami dan mendeskripsikan pengaturan aborsi bagi korban
perkosaan di Indonesia dilihat dengan prinsip-prinsip maṣlaḥah al-Ṭūfī sebagai
perangkatnya. Sementara tujuan praktisnya, hasil penelitian ini diharapkan dapat
memberikan kontribusi terhadap pengembangan ilmu pengetahuan di bidang hukum.
Selain itu, penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan pemikiran dalam
menjawab pertanyaan yang sering muncul di tengah masyarakat mengenai hukum
aborsi bagi korban perkosaan dalam Islam.
D. Kajian Pustaka
Sebagai sebuah fenomena sosial yang abadi, persoalan aborsi telah banyak
dibicarakan, demikian halnya dengan aborsi bagi korban perkosaan. Akan tetapi,
seiring dengan munculnya UU No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan yang di
dalamnya juga mengatur tentang aborsi bagi korban perkosaan, penelitian atau karyakarya tulis yang langsung berkaitan dengan undang-undang tersebut belum banyak
dilakukan. Kalaupun ada, pembahasannya pun tidak dilakukan secara komprehensif.
Artikel yang ditulis oleh Titik Triwulan Tutik, misalnya, karya yang berjudul Analisis
Hukum Islam Terhadap Praktik Aborsi Bagi Kehamilan Tidak Diharapkan (KTD)
Akibat Perkosaan Menurut Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan
6
secara sepintas memang memiliki kemiripan dengan penelitian ini tetapi dalam
analisisnya Tutik justru bukan menggunakan syari’ah,9 tetapi menggunakan fikih
Islam. Dalam hal ini fikih yang digunakan adalah karya Yūsuf al-Qardawī,
Muhammad Mekki Naciri, intelektual bermazhab Ḥanafiyyah, dan fatwa Majelis
Ulama Indonesia (MUI).10 Dalam kesimpulannya, Tutik mengungkapkan bahwa
hukum Islam –fikih- maupun UU No. 36 Tahun 2009 sama-sama memandang bahwa
aborsi adalah suatu kejahatan (tindak pidana), sehingga memberikan kobolehan
aborsi pada kasus, 1) apabila kehamilan tersebut akan membahayakan bagi ibu dan
janin, dan 2) kehamilan tidak diharapkan akibat perkosaan. Kebolehan tersebut, bagi
Tutik, hanya merujuk pada ketentuan-ketentuan medis, sehingga dalam praktiknya
tidak membawa akibat yang lebih buruk bagi si ibu, dan terutama dalam hukum Islam
yang harus merujuk pada syariah.11
Selain dari artikel tersebut hasil penelusuran peneliti menunjukkan bahwa
belum ada satu karya pun—baik berupa artikel maupun buku—yang mengupas
legalitas praktik aborsi menurut UU No. 36 Tahun 2009, terlebih jika ditinjau dari
konsep maṣlaḥah. Karya-karya ilmiah yang ada secara umum masih berkutat pada
kajian atas materi perundang-undangan sebelumnya. Buku Abortus Provokatus Bagi
Korban Perkosaan: Perspektif Viktimologi Kriminologi dan Hukum Pidana,
misalnya, karya bersama dari Suryono Ekotomo, Harum Pudjiarto, dan Widiartana
tersebut masih menggunakan KUH Pidana, KUH Perdata, dan UU No. 23 Tahun
1992 Tentang Kesehatan sebagai objek kajiannya. Dalam kesimpulannya mereka
9
Bagi peneliti terma hukum Islam dan fikih Islam berbeda. Jika hukum Islam adalah ketentuanketentuan syariah yang diformalisasikan dalam bentuk perundangan oleh suatu pemerintahan, sementa
fikih adalah hasil ijtihad para intelektual Muslim yang terdokumentasikan dalam literatur fikih maupun
hanya sebatas fatwa yang diverbalkan. Lihat, Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam Indonesia:
Tinjauan dari Aspek Metodologis, Legislasi, dan Yusipudensi (Jakarta: Raja Grafindo persada, 2007),
hlm. 57-66. 10
Baca ulasannya dalam Titik Triwulan Tutik, “Analisis Hukum Islam Terhadap Praktik Aborsi
Bagi Kehamilan Tidak Diharapkan (KTD) Akibat Perkosaan Menurut Undang-Undang No. 36 Tahun
2009 Tentang Kesehatan”, Makalah (Semarang: Undip, 2010), hlm. 12-15. 11
Ibid., 28. 7
mengungkapkan bahwa aborsi yang dilakukan oleh korban perkosaan seharusnya
bukan sebagai tindakan kriminal. Korban seharusnya mendapatkan perhatian dari
hukum. Akan tetapi, kenyataannya selama ini korban malah dianggap sebagai pemicu
terjadinya perkosaan. Dengan menggunakan pendekatan viktimologi dan kriminologi,
ketiganya
beranggapan
bahwa
mayoritas
korban
perkosaan
masih
belum
mendapatkan perlidungan yang layak.12
Lebih jauh lagi adalah karya Istibsjaroh dengan judul, Menimbang Hukum
Pornografi, Pornoaksi, dan Aborsi dalam Perspektif Islam. Tidak hanya melihat pada
aspek materi hukum sebelum UU No. 36 Tahun 2009, Istibsjaroh juga mengupasnya
dari sudut pandang keagamaan. Dengan menyandarkan pada pendapat M. Saˋīd
Ramaḍān al-Būṭī, Istibsjaroh mengungkapkan bahwa aborsi yang disebabkan karena
perkosaan diperbolehkan jika kelahiran anak tersebut dipastikan akan membawa
dampak buruk bagi jiwa dan raga si ibu di kemudian hari. Aborsi untuk kasus seperti
ini boleh karena perempuan yang diperkosa akan memperoleh status rukhṣah untuk
melakukan aborsi, terlebih perempuan tersebut hamil bukan atas kemauannya sendiri
melainkan dipaksa.13
Apa yang dilakukan oleh Istibsjaroh sepadan dengan Afwah Mumtazah dan
Yulianti Muthmainnah. Dalam karya kecilnya, Menimbang Penghentian Kehamilan
Tidak Diinginkan: Perspektif Islam dan Hukum Positif, dua pegiat kesetaraan gender
tersebut mengkaji kasus aborsi bagi korban perkosaan dengan Islam (fikih) dan
hukum positif sebagai perspektifnya. Sebagaimana Istibsjaroh, hukum positif yang
12
Suryono Ekotomo (dkk.), Abortus Provokatus Bagi Korban Perkosaan: Perspektif
Viktimologi Kriminologi dan Hukum Pidana (Yogyakarta: Universitas Atmajaya Press, 2000), hlm.
206. 13
Istibsjaroh, Menimbang Hukum Pornografi, Pornoaksi, dan Aborsi dalam Perspektif Islam
(Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press, 2007), hlm. 67. Dalam pada itu, Istibsjaroh memberikan catatan
bahwa nila-nilai moral yang mendasari seluruh bangunan hukum—baik agama maupun negara—
tentang aborsi ternyata mengalami kesulitan penerapan dan perbenturan di tingkat lapangan. Terlebih
lagi, hukum positif maupun fikih Islam, menurutnya, hingga sekarang belum memasukkan agenda hakhak reproduksi perempuan, dan bahkan dalam kasusu-kasus tertentu dinafikan sama sekali. Di tengah
dilema antara nilai moral dan tuntutan kebebasan perempuan untuk menjalankan hak-hak
reproduksinya, menurutnya sudah saatnya agama Islam menyatakan pendirian yang tegas dengan
segala konsekuensinya. Ibid., 72-73. 8
digunakan juga sebelum munculnya UU No. 36 tahun 2009. Dalam kesimpulannya,
dua aktifis Rahima tersebut mengungkapkan bahwa perempuan korban perkosaan,
ataupun kehamilan yang berhadapan dengan masalah ḍarūriyyah dapat dilakukan
tindakan aborsi, karena secara psikis—terutama korban perkosaan—ibu hamil yang
tertekan dapat berimbas serius terhadap kehamilannya, sehingga dalam jangka
panjang ikut pula mengganggu kesehatan sang ibu.14
Sejalan dengan Istibsjaroh, Afwah Mumtazah, dan Yulianti Muthmainnah
adalah Husein Muhammad. Sosok Kyai Pesantren ini mengalokasikan halaman
karyanya untuk mengupas persoalan aborsi dalam dua buku dengan judul, Fiqh
Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender (2001) dan Islam Agama
Ramah Perempuan: Pembelaan Kiai Pesantren (2004). Dalam buku yang pertama
Husein hanya melakukan pemetaan pandangan fuqahā’ (para pakar fikih) berkaitan
dengan kasus tersebut, sementara dalam buku kedua sama sekali tidak menyentuh
persoalan aborsi bagi korban perkosaan, melainkan aborsi secara umum dan terfokus
pada kajian waktu diperbolehkannya aborsi di kalangan fuqahā’. Dari hasil
pemetaannya Husein berkesimpulan bahwa aborsi bagi korban perkosaan
diperbolehkan hanya ketika dalam kondisi dilematis. Demikian itu, menurut Husein,
dalam bahasa fikih disebut dengan al-akhż bi akhaff al-ḍarūrain (mengambil pilihan
yang buruk daripada yang lebih buruk), sebagaimana bunyi kaidah, iżā taˋāraḍa almafsadatān rūˋiya aˋẓamuhumā ḍarāran (jika berhadapan pada dua bahaya, maka
yang harus dijaga adalah yang paling buruk).15
Apa yang dilakukan oleh para pengkaji di atas dalam masing-masing karyanya
jelas berbeda dengan penelitian ini. Perbedaan ini tentunya menjadi titik kebaruan
dari penelitian ini. Kebaruan yang dimaksud dapat dilihat dari dua aspek, yaitu 1)
objek material-formalnya—di mana objek materialnya berupa aborsi bagi korban
14
Afwah Mumtazah dan Yulianti Muthmainnah, Menimbang Penghentian Kehamilan Tidak
Diinginkan: Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif (Jakarta: Rahima, 2007), hlm. 23. 15
Husein Muhammad, Fiqh Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender
(Yogyakarta: LKiS, 2002), hlm. 166. 9
perkosaan, sementara objek formalnya pengaturannya dalam ketentuan perundangundangan yang mengikut sertakan UU No. 36 Tahun 2009, dan 2) perangkat
analisisnya yang berupa konsep maṣlaḥah perspektif al-Ṭūfī. Titik kebaruan ini
sekaligus menjadi alasan akan urgennya penelitian ini untuk dilakukan.
E. Kerangka Teori
Bunyi redaksi judul di atas dapat dipahami bahwa penelitian ini memiliki dua
variabel pokok yang menjadi titik utama kajiannya, yaitu materi hukum dari
pengaturan aborsi bagi korban perkosaan dan tinjauan maṣlaḥah perspektif al-Ṭūfī
atas struktur materi hukum tersebut. Dalam pada itu, Satjipto Rahardjo
mengungkapkan bahwa hukum dibuat untuk (kepentingan/kemaslahatan) manusia,
bukan sebaliknya. Hukum bukan sebagai institusi yang bersifat mutlak dan final,
melainkan sebagai institusi bermoral, bernurani, dan karena itu sangat ditentukan oleh
kemampuannya untuk mengabdi kepada manusia. Hukum adalah suatu institusi yang
bertujuan untuk mengantarkan manusia kepada kehidupan yang berkemanusiaan yang
adil beradab, sejahtera, serta membuat manusia bahagia. Oleh karena itu, jika terjadi
problematika hukum, maka hukumlah yang harus ditinjau dan diperbaiki, bukan
manusianya yang dipaksa-paksa untuk dimasukan ke dalam skema hukum.16 Posisi
yang demikian mengantarkan satu predisposisi bahwa hukum itu selalu berada pada
status ‘law in the making’ (hukum yang selalu berproses untuk menjadi).17
Adanya tujuan hukum yang hendak dicapai tersebut menunjukkan bahwa aspek
kemaslahatan manusia menjadi pertimbangan penting dalam memunculkan sebuah
hukum, termasuk aborsi bagi korban perkosaan. Sementara itu, sebagaimana telah
16
Satjipto Rahardjo,”Hukum Progresif: Hukum yang Membebaskan”, dalam Jurnal Hukum
Progresif, Vol. 1, No. 1, April 2005, hlm. 3. Lihat pula Satjipto Rahardjo, “Konsep dan Karakteristik
Hukum Progresif”, Makalah, dalam Seminar Nasional Hukum Progresif I, Diselenggarakan oleh
Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Bekerjasama dengan Program Doktor Ilmu Hukum
Universitas Diponegoro dan Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Jakarta di Semarang, 15 Desember
2007, hlm. 11. 17
Ibid., hlm. 6. 10
diungkap dalam latar belakang masalah bahwa membicarakan praktik aborsi,
umumnya, dan bagi korban perkosaan, khususnya, senantiasa menjadikan agama
sebagai salah satu tinjauannya. Agama (baca: Islam) sendiri diturunkan oleh Allah,
dengan
kitab
al-Qur’an—sebagai
perwujudan
tekstualnya—dan
melalui
Muhammad—sebagai perantara, dalam bingkai kemaslahatan manusia. Berkaitan
dengan itu, para intelektual Muslim terdahulu telah mengkonsepsikan kemaslahatan
tersebut untuk kemudian dijadikan pertimbangan-pertimbangan dalam mengeluarkan
hukum (istinbāṭ al-ḥukm).
Dalam karyanya, Ḍawābiṭ al-Maṣlaḥah, M. Saˋīd Ramaḍān al-Būṭī
mengemukakan bahwa al-maṣlaḥah adalah manfaat yang dimaksudkan oleh Allah
Swt. untuk kepentingan hambanya, baik berupa pemeliharaan terhadap agama, jiwa,
akal, keturunan, maupun harta mereka, sesuai dengan urutan tertentu yang terdapat di
dalam kategori pemeliharaan tersebut.18 Dilihat dari tingkat kebutuhan dan skala
prioritasnya, maṣlaḥah dibedakan menjadi tiga peringkat, yakni ḍarūriyyah,
ḥājjiyyah, dan taḥsīniyyah. Peringkat ini akan terlihat dalam kepentingannya,
manakala kemaslahatan yang ada pada masing-masing peringkat itu satu sama lain
bertentangan. Jika terjadi demikian, maka peringkat ḍarūriyyah menempati urutan
pertama, disusul oleh peringkat ḥājjiyyah, kemudian disusul peringkat taḥsīniyyah.
Namun dari sisi lain, kelima tujuan tersebut bersifat komplementer, artinya peringkat
ketiga melengkapi peringkat kedua dan peringkat kedua melengkapi peringkat
pertama.19
Memelihara kelompok ḍarūriyyah berarti memelihara kebutuhan-kebutuhan
esensial bagi kehidupan manusia. Kebutuhan yang esensial itu adalah memelihara
agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta dalam batas tidak sampai terancam
eksistensinya kelima pokok itu. Tidak terpenuhinya atau tidak terpeliharanya
Muḥammad Saˋīd Ramaḍān al-Būṭī, Dawābiṭ al-Maṣlaḥah fī al-Syarīˋah al-Islāmiyyah
(Kairo: Mu’assasah al-Risālah, 1965), hlm. 27. 18
19
Al-Syāṭibī, Al-Muwāfaqāt, juz II, hlm. 24-25. 11
kebutuhan-kebutuhan itu akan berakibat terancamnya eksistensi kelima hal pokok
tersebut.20 Empat hal dari kelima hal pokok tersebut, dalam konteks aborsi di
Indonesia saat ini dapat diejawantahkan dalam bentuk beban psikis (akal), nyawa ibu
dan anak (jiwa), keturunan (status anak), dan beban ekonomi (harta). Berbeda dengan
kelompok ḍarūriyyah, kebutuhan dalam kelompok ḥājjiyyah tidak termasuk
kebutuhan yang esensial, melainkan termasuk kebutuhan yang dapat menghindarkan
manusia dari kesulitan dalam hidupnya,21 tidak terpeliharanya hal tersebut tidak akan
mengancam eksistensi kelima pokok di atas tetapi hanya akan menimbulkan kesulitan
bagi seseorang. Kelompok ini erat hubunganya dengan rukhṣah atau keringanan.
Sedangkan kebutuhan dalam kelompok taḥsīniyyah adalah kebutuhan yang
menunjang martabat seseoranng dalam masyarakat dan dihadapan Tuhannya sesuai
dengan kebutuhan.22
Pandangan al-Ṭūfī tentang maṣlaḥah berangkat dari maqāṣid al-syarīˋah bahwa
tujuan
tasyrīˋ
adalah
mewujudkan
kemaslahatan
kemanusiaan
universal.
Pemikirannya tentang maṣlaḥah bertolak dari hadis Nabi Saw.: “Tidak boleh
memudaratkan dan tidak boleh pula dimudaratkan orang lain”.23 Hadis ini,
menurutnya adalah “Tidak sah tindakan yang menyebabkan kerugian (pada orang
lain) kecuali karena sebab yang memaksa (seperti hukuman bagi pelanggar hukum
yang dibenarkan oleh syaraˋ). Sanksi hukum atau kerugian semacam ini merupakan
pengecualian dari aturan umum mengenai tidak bolehnya tindakan merugikan.24
Hadis lā ḍarara wa lā ḍirāran di atas, baginya memberikan prinsip umum mengenai
tidak bolehnya melakukan tindakan yang merugikan, yaitu tidak boleh melakukan
20
Ibid., 17-18. 21
Ibid., 21. 22
Ibid., 22. 23
Hadis Riwayat al-Baihaqī dalam al-Sunan al-Baihaqī al-Kubrā, al-Daruquṭnī dalam
Sunan al-Dāruqutnī, dan Aḥmad bin Ḥanbal dalam Musnad Aḥmad bin Ḥanbal. Najm al-Dīn Sulaimān bin ˋAbd al-Qawiy al-Ṭūfī, Syarḥ al-Arbaˋīn al-Nawawiyyah (Beirut: Dār
al-Fikr, tt), hlm. 13. 24
12
atau menyebabkan kerugian atau kerusakan sosial, harus diberi prioritas
pertimbangan di atas seluruh sumber hukum tradisional atau argumen-argumen
mazhab-mazhab hukum umat Muslim; penggunaan sumber-sumber hukum tersebut
harus dibatasi dalam rangka mengakhiri terciptanya kerugian dan kejahatan sosial
sebagai upaya merealisasikan kebaikan atau kemaslahatan sosial dalam praktik
aktual.25
Sumber-sumber hukum tradisional yang paling kuat, menurut al-Ṭūfī, adalah
konsensus para ahli hukum (ijmāˋ) dan teks-teks keagamaan (al-Qur’an dan hadis).
Jika dua sumber ini sejalan dengan kemasalahatan manusia, maka tidak ada yang
perlu dipermasalahkan. Namun, jika tidak sejalan, maka perlidungan kemaslahatan
diprioritaskan dari kedua sumber tersebut. Pemberian prioritas kepada perlindungan
kemaslahatan, tidak dimaksudkan untuk menghentikan secara total validitas dua
sumber tersebut, tetapi untuk menjelaskan fungsinya yang proposional, tuturnya.26
Menurut al-Ṭūfī, perlindungan terhadap kemaslahatan manusia merupakan
prinsip hukum paling tinggi karena ia merupakan tujuan pertama agama dan pokok
dari maksud syariah. Untuk mendukung pendapat ini, ia menyatakan bahwa
perlindungan terhadap kemaslahatan manusia sebagai tujuan di balik semua aturan
hukum, di balik petunjuk Tuhan, dan penciptaan manusia, serta cara-cara untuk
memperoleh mata pencaharian mereka.27 Konsekuensinya, hakim tertinggi atau
otoritas paling tinggi dari kemaslahatan hukum dan sosial manusia menurutnya
adalah akal atau intelegensia manusia sendiri. Sebab, baginya kemaslahatan hukum
atau sosial dapat diketahui oleh mereka melalui sinaran intelegensi, akal, atau
pengalaman hidup mereka. Pengetahuan atau pola pemahaman seperti ini sangat
25
Ibid., 16. 26
Ibid., 17. Najm al-Dīn Sulaimān bin ˋAbd al-Qawiy al-Ṭūfī, Syarḥ Mukhtaṣar Rawḍah al-Nāẓir (Saudi
Arabiyah: Mamlakah al-ˋArabiyyah, al-ˋAudiyyah, 1998), hlm. 55. 27
13
alami dan telah dianugerahkan oleh Tuhan.28 Oleh sebab itu, perlindungan terhadap
kemaslahatan manusia baginya merupakan sesuatu yang riil di dalam dirinya dan
tidak diperdebatkan. Lain halnya dengan teks-teks keagamaan, yang menurutnya
saling berbeda dan bertentangan, tidak seperti perlindungan terhadap kemaslahatan
manusia, yang dipandang sebagai sesuatu yang riil dan subtansial.29 Dalam pada itu,
prinsip yang dipegang oleh al-Ṭūfi adalah sebagai berikut:30
1. Akal bebas menentukan maṣlaḥah dan ke-mafsadat-an, lebih-lebih dalam
persoalan sosial.
2. maṣlaḥah merupakan petunjuk syarˋī mandiri yang ke-ḥujjah-annya tidak
tergantung pada konfirmasi teks, tetapi hanya tergantung padanya semata.
3. Maṣlaḥah hanya berlaku dalam persoalan sosial, sedangkan dalam persoalan
spiritual dan koridor syarˋī, seperti waktu solat, jumlah rakaˋat, dan lain-lain
tidak termasuk objek maṣlaḥah, karena persoalan tersebut merupakan hak
prerogarif Allah semata.
4. Maṣlaḥah merupakan petunjuk syarˋī yang paling kuat.
Teks-teks keagamaan, menurut al-Ṭūfī terkadang bersifat mutawātir dan
kadang bersifat āḥād, kadang jelas dalam pernyataannya (secara literal dalam aturan
hukumnya atau qaṭˋī) dan terkadang juga muhtamal (ẓannī). Konsekuensinya, jika
teks tersebut mutawātir dan qaṭˋī maka bersifat meyakinkan atau pasti, tetapi bisa
jadi ia muhtamal atau ẓannī dari segi keumuman atau ketidakterbatasan
signifikansinya. Jika demikian, ia menyatakan, maka kepastian absolut disangkal atau
diragukan, termasuk jika teks hadis adalah āḥād, atau tidak mutawātir, maka ia
dikatakan tidak meyakinkan, tidak peduli apakah ia jelas dalam pernyataannya
ataukah tidak, karena otentisitas periwayatannya meragukan. Oleh sebab itu, baginya
28
Dikutip dari Harun, “Pemikiran Najmuddin al-Thufi Tentang Konsep Maslahah Sebagai Teori
Istinbath Hukum Islam”, dalam Jurnal Ishraqi, Vol. 5, No. 1, Januari-Juni 2009, hlm. 30. Al-Ṭūfī, Syarḥ Mukhtaṣar Rawḍah, hlm. 30. 29
Muṣṭafā Zayd, Al-Maṣlaḥah fī al-Tasyrīˋ al-Islāmī: Risālah ˋIlmiyyah (Kairo: Dār al-Yasar li
al-Ṭabāˋah wa al-Nasyar, 1424 H.), hlm. 259. 30
14
perlindungan terhadap kemaslahatan manusia dipandang lebih kuat atau lebih
meyakinkan dari teks.31
Sementara itu, dalam tinjauan hukum pidana, materi suatu hukum harus betulbetul jelas hingga tidak menimbulkan multitafsir. Untuk kemudian, materi hukum
tersebut dapat menegakan rasa keadilan dan menghindari tindakan kesewenangwenangan dari penguasa, yang dalam hal ini penegak hukum. Telah dikatakan bahwa
pemidanaan seseorang atau suatu kelompok tidak bisa dilakukan berdasarkan suatu
opini, melainkan harus memenuhi prinsip-prinsip pemidanaan. Dengan mengutip
pendapat Jescheck dan Weigend, Machteld Boot mengungkapkan: (1) nullum crimen,
noela poena sine lege praevia (tidak ada pidana tanpa undang-undang sebelumnya),
(2) nullum crimen, nulla peona sine lege scripta (tidak ada perbuatan pidana, tidak
ada pidana tanpa undang-undang tertulis), (3) nullum crimen nulla poena sine lege
certa (tidak ada perbuatan pidana, tidak ada pidana tanpa aturan undang-undang yang
jelas), dan (4) nullum crimen noela poena sine lege stricta (tidak ada perbuatan
pidana, tidak ada pidana tanpa undang-undang yang ketat).32
Dengan demikian, kerangka kerja penelitian ini dimulai dari deskripsi materi
hukumnya. Apakah memang adanya hukum tersebut diproduk berdasarkan nilai-nilai
humanistis, ataukah manusia yang harus mengikuti hukum. Kemudian, struktur
materi hukum tersebut dianalisa melalui prinsip-prinsip maṣlaḥah al-Ṭūfī. Dilihat
dari skala prioritasnya, maka persoalan aborsi bagi korban perkosaan termasuk
kategori ḍarūriyyah. Sehingga, pertimbangan-pertimbangan yang digunakan adalah
lima hal pokok, yakni agama, akal, jiwa, keturunan, dan harta. Model analisa ini
dapat dijelaskan melalui ragaan berikut:
31
Al-Ṭūfī, Syarḥ Mukhtaṣar Rawḍah, hlm. 30. 32
Lihat, Eddy O.S Hiariej, Asas Legaltas dan Penemuan Hukum dalam Hukum Pidana (Jakarta:
Erlangga, 2009), hlm 4-5. 15
Pengaturan Aborsi bagi Korban
Perkosaan di Indonesia
UU No. 23 Tahun 1992
KUHP
UU No. 36 Tahun 2009
Struktur Materi
Ḥifẓ al-Dīn
Ḥifẓ al-̀Aql
Hukum Progressif
Ketentuan Hukum Pidana
Maṣlaḥah al-Ṭūfī
Ḥifẓ al-Nafs
Ḥifẓ al-Nasl
Hasil Penelitian
Ḥifẓ al-Māl
F. Metode
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini termasuk dalam kategori penelitian yang bersifat deskriptifanalisis berupa penggambaran tentang materi hukum aborsi bagi korban
perkosaan di Indonesia. Tidak berhenti hanya pada penggambaran, analisis
terhadap struktur materinya dengan menggunakan konsep maṣlaḥah al-Tūfī
juga telah dilakukan.
2. Pendekatan Penelitian
Menurut Peter Mahmud Marzuki, pendekatan dalam penelitian hukum
terdapat lima macam, yaitu pendekatan perundang-undangan (statute
approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis (historical
approach), pendekatan perbandingan (comparative approach), dan pendekatan
konseptual (conceptual approach).33 Dalam penelitian ini, pendekatan yang
33
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Jakarta: Kencana, 2009), hlm. 93. 16
dianggap relevan dengan permasalahan yang diangkat di antaranya adalah
pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Pendekatan
perundang-undangan dianggap relevan karena dalam penelitian ini, peneliti
telah menganalisa pengaturan aborsi bagi korban perkosaan di Indonesia,
sementara pendekatan konseptual digunakan untuk menganalisa struktur
konseptual dari materi pengaturan tersebut dengan perspektif maṣlaḥah al-Ṭūfī.
3. Jenis Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian pada umumnya dibedakan antara data
yang diperoleh secara langsung dari masyarakat dan dari data yang diperoleh
dari bahan-bahan pustaka. Data yang dipeoleh pada jenis pertama dinamakan
data primer, sementara jenis kedua dinamakan data sekunder. Apabila
penelitiannya bersifat kepustakaan, maka data yang diperlukan adalah data
sekunder.
Sebagaimana tampak dari redaksi judul di atas, maka penelitian ini
termasuk dalam kategori normatif. Sebagaimana lazimnya, penelitian normatif
berbasis pada studi dokumen dan wawancara. Namun demikian, sumber data
utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, yakni data
yang diperoleh dari bahan kepustakaan.34 Dalam penelitian hukum, data
sekunder dilihat dari kekuatan mengikatnya digolongkan menjadi:35
a. Bahan Hukum Primer
1) KUHP
2) UU No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan
3) Karya al-Ṭūfī berupa: Syarḥ al-Arbaˋīn al-Nawawiyyah, Syarḥ
Mukhtaṣar Rawḍah al-Nāẓir, dan Risālah fi Riˋāyah al-Maṣlaḥah.
34
Soerjono Soekamto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: UI Press, 1986), hlm. 51. 35
Ibid., hlm. 52. 17
b. Bahan Hukum Sekunder
Termasuk dalam kategori ini adalah bahan-bahan yang memberikan
penjelasan mengenai bahan hukum primer, misalnya hasil penelitian
dan karya-karya yang berkaitan dengan fokus penelitian ini.
c. Bahan Hukum Tersier
Termasuk dalam kategori ini dalah bahan hukum yang memberikan
petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan
sekunder, seperti kamus atau ensiklopedia.
4. Teknik Pengumpulan Data
Metode yang digunakan dalam pengumpulan data ini adalah dokumentasi
data literer. Sehingga, langkah yang akan dilakukan peneliti adalah mencari
sumber-sumber data di atas baik di perpustakaan fisik maupun di perspustakaan
elektronik.
5. Teknik Analisis Data
Teknik yang digunakan dalam menganalisis data dalam penelitian ini
adalah deskriptif-kualitatif, yaitu data yang disajikan secara deskriptif dan
dianalisis secara kualitatif (content analysis) dengan langkah-langkah, seperti:
klasifikasi, sistematisasi, dan analisis dasar suatu simpulan.
G. Sistematika Pembahasan
Rangkaian pembahasan dalam sebuah penelitian harus berkaitan satu sama lain
dalam satu bingkai kajian. Untuk itu, agar dapat dilakukan lebih runtut dan terarah,
penelitian ini dibagi dalam empat bab pembahasan. Adapun sistematisasi empat bab
tersebut
adalah
sebagai
berikut:
Bab
pertama
berisi
pendahuluan
yang
medeskripsikan secara utuh seputar penelitian ini. Karenanya, ulasan bab ini terdiri
dari; latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan, kajian pustaka,
metode penelitian yang digunakan, dan sistematika pembahasan. Bab ini sebagai
18
kerangka dari seluruh isi penelitiannya. Sedangkan secara rinci, hasil penelitian
tersebut peneliti ulas dalam beberapa bab selanjutnya.
Bab kedua berisi ulasan tentang aborsi dalam tinjauan umum. Yang dimaksud
dengan tinjauan umum adalah gambaran umum berkaitan dengan persoalan aborsi.
Pembahasan dirangkai melalui tinjauan definitif, macam-macam aborsi, metode yang
digunakan, dan pandangan intelektual Muslim konvensional terhadap kasus aborsi.
Intelektual Muslim konvensional yang dijadikan miniaturnya adalah pandangan
empat imam mazhab fikih atau yang mewakilinya (aṣḥāb al-mażhab) dan MUI.
Dalam struktur pembahasan penelitian, bab ini dimaksudkan sebagai pengantar untuk
menjawab permasalahan yang telah dirumuskan mengenai konsep maṣlaḥah. Untuk
melihat titik-titik perbedaan rumusan al-Ṭūfī dari rumusan intelektual Muslim yang
lain, uraian mengenai konsep maṣlaḥah konvensional diulas sebelum mengurai
secara detai konsep maṣlaḥah perspektif al-Ṭūfī. Biografi al-Ṭūfī juga menjadi
bagian pembahasan ini guna mencegah distorsi pembacaan suatu pemikiran tokoh.
Adapun jawaban atas permasalahan di atas akan diuraikan dalam bab ketiga.
Sebagaimana dijelaskan dalam kerangka teori bahwa terdapat dua variabel pokok
yang menjadi titik utama penelitian ini, yaitu materi hukum dari pengaturan aborsi
bagi korban perkosaan di indonesia dan tinjauan maṣlaḥah atas struktur materi
hukum tersebut. Adapun aspek-aspek yang dikaji dalam bab ini meliputi, latar
belakang pembentukan, struktur materi hukum, kontroversi atas materi hukum
tersebut, dan analisis atas struktur materi hukum aborsi bagi korban perkosaan dalam
perundang-undangan di Indonesia dengan tinjauan maṣlaḥah al-Ṭūfī. Sedangkan bab
kelima adalah penutup yang berisikan kesimpulan dan rekomendasi dari seluruh hasil
penelitian serta saran-saran untuk para peneliti selanjutnya.
BAB II
ABORSI DAN KONSEP MAṢLAḤAH PERSPEKTIF
NAJM AL-DĪN AL-ṬŪFĪ
A. Pengertian dan Macam-Macam Aborsi
Secara etimologi aborsi berasal dari bahasa Inggris, yaitu abortion dan dari
bahasa Latin, yaitu abortus, yang artinya pengguguran kandungan, keluron (Jawa),
keguguran.1 Sementara itu, aborsi dalam bahasa Arab diartikan al-ijhāḍ, yang
merupakan bentuk maṣdar dari kata ajhaḍa, yang artinya lahirnya janin karena
dipaksa atau lahir dengan sendirinya sebelum tiba saatnya.2 Sementara itu, dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata aborsi diartikan lebih detail,
yaitu: (1) terpancarnya embrio yang tidak mungkin hidup lagi (sebelum bulan
keempat dari kehamilannya); keguguran atau keluron; (2) keadaan terhentinya
pertumbuhan yang normal (untuk mahluk hidup); (3) guguran (janin).3
Secara terminologi (istilāḥī)—mengutip penelitian dari Jurnalis Udin dkk.,
fuqahā memberikan definisi aborsi dengan redaksi berbeda, namun bermuara pada
substansi yang sama. Ibrāhim al-Nakhaˋī mengatakan bahwa aborsi adalah
pengguguran janin dari rahim ibu hamil, baik sudah berbentuk sempurna atau
belum. Tidak jauh berbeda dengan al-Nakhaˋī adalah definisi ˋAbdullāh bin
Aḥmad, yang menyatakan bahwa aborsi adalah merusak mahluk yang ada dalam
rahim perempuan. Demikian pula menurut ˋAbdul Qadir Audah, di mana ia
berpendapat bahwa aborsi adalah pengguguran kandungan dan perampasan hak
1
M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyah pada Masalah-Masalah Kontemporer Hukum Islam (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 1998), hlm. 44. 2
Mahjuddin, Masailul Fiqhiyah Berbagai Kasus yang Dihadapi Hukum Islam Masa Kini
(Jakarta: Kalam Mulia, 2005), hlm. 76. Selain diartikan dengan istilah al-ijhāḍ, aborsi juga diartikan
para fuqahā dengan istilah isqāṭ (menjatuhkan), ṭarḥ (membuang), ilqā’ (melempar), dan imlāṣ
(melahirkan dalam keadaan mati). Lihat, Jurnalis Uddin, dkk., Reinterpretasi Hukum Islam Tentang
Aborsi (Jakarta: Universitas Yarsi, 2006), hlm. 130. 3
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa
Indonesia (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan & Balai Pustaka, 1940), hlm. 2. 20
hidup janin atau perbuatan yang dapat memisahkan antara janin dengan ibunya.
Sedangkan bagi al-Gazalī, aborsi adalah pelenyapan nyawa janin atau merusak
sesuatu yang sudah terkonsepsi (mawjūd al-ḥaṣil).4 Definisi aborsi lebih detail
terurai dalam Grolier Family Encyclopedia. Sebagaimana dikutip Khairuddin
Nasution, aborsi didefinisikan dengan, “..is the termination of a pregnancy by loss
or destruction of the fetus before birth. An abortion may be spontaneous or
induced. The latter is an act with ethical and legal ramifications”.5
Secara medis, bagi William Obstetric, aborsi dipahami sebagai tindakan
penghentian kehamilan di bawah 20 minggu atau saat berat janin kurang dari 500
gram.6 Senada dengan pemahaman itu adalah definisi WHO, baginya aborsi adalah
penghentian kehamilan sebelum janin dapat hidup di luar kandungan atau berat
janin kurang dari 500 gram.7 Definisi lebih sederhana dirumuskan oleh Fakultas
Kedokteran Universitas Padjajaran, baginya aborsi merupakan pengeluaran buah
4
Maksud pernyataan al-Gazalī di atas adalah setelah terjadinya pertemuan antara sperma dan
ovum. Jika berdasarkan tes urin positif, maka itulah awal kehidupan. Akan tetapi jika dirusak, maka itu
adalah pelanggaran pidana (jināyah). Hal ini dikarenakan bahwa fase kehidupan janin bermula dari
terpancarnya sperma ke dalam vagina, yang kemudian bertemu dengan ovum perempuan, atau sebut
dengan konsepsi. Setelah konsepsi berarti sudah ada kehidupan. Baca, Jurnalis Uddin, dkk.,
Reinterpretasi Hukum Islam…, hlm. 131. 5
Khoiruddin Nasution, “Pandangan Islam Tentang Aborsi”, dalam Musawa: Jurnal Studi
Gender dan Islam, Vol. 2, Tahun 2003, hlm. 114. Lihat juga, Jurnalis Uddin, dkk., Reinterpretasi
Hukum Islam…, hlm. 130. 6
Aborsi secara medis dan hukum, biasa disebut dengan istilah abortus provokatus, yang dalam
ensiklopedia Islam diartikan sebagai penghentian dan pengeluaran hasil kehamilan dari rahim sebelum
janin bisa hidup di luar kandungan (viability). Lihat, Redaksi, Ensiklopedi Islam (Jakarta: Ikhtiar Baru
Van Hoeve, 1994), hlm. 33. Lebih lanjut, aborsi diartikan pengeluaran, karena keluarnya janin itu
dilakukan secara sengaja oleh campur tangan manusia—baik melalui alat mekanik, obat, atau cara
yang lainnya dan dengan alasan-alasan tertentu. Di antara alasan yang menyebabkan wanita melakukan
aborsi adalah: (1) alasan sosial ekonomi untuk mengakhiri kehamilan dikarenakan tidak mampu
membiayai atau membesarkan anak, (2) adanya alasan bahwa seorang wanita tersebut ingin membatasi
atau menangguhkan perawatan anak karena ingin melanjutkan pendidikan atau ingin mencapai suatu
karir tertentu, (3) alasan usia terlalu muda atau terlalu tua untuk mempunyai bayi, (4) akibat adanya
hubungan yang bermasalah (hamil diluar nikah) atau kehamilan karena perkosaan dan incest, dan (5)
alasan bahwa kehamilan akan dapat mempengaruhi kesehatan baik bagi si ibu maupun bayinya. Lihat,
Lysa Angrayni, “Aborsi dalam Pandangan Islam dan Hukum Positif di Indonesia”, dalam Jurnal
Hukum Islam, Vol. VII, No. 5, Juli 2007, hlm. 537. 7
WHO, Safe Abortion: Technical and Policy Guidance for Health System (4 September 2000). 21
kehamilan ketika masih sedemikian kecilnya, sehingga tidak dapat hidup di luar
rahim.8
Berangkat dari beberapa definisi aborsi di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa sebuah tindakan disebut aborsi, jika ada beberapa unsur. Di antaranya
adalah unsur kesengajaan, terjadi pada masa kehamilan belum sempurna, dan
sebagian anggota tubuhnya telah terbentuk. Bertolak dari definisi aborsi versi
fuqahāˋ dan aborsi versi ahli kedokteran, maka titik temu antara keduanya yaitu,
adanya upaya tertentu untuk mengakhiri kehamilan dan dilakukan pada saat janin
belum bisa hidup di luar kandungan. Karena itu, peneliti mendefinisikan bahwa
aborsi adalah penghentian kehamilan dengan cara pelenyapan atau merusak janin
pada fetus sebelum kelahiran. Aborsi ini dapat dilakukan dengan cara spontan atau
paksa. Sementara aborsi paksa ini adalah tindakan yang erat hubungannya dengan
masalah etika dan hukum.
Berdasarkan segi kejadiannya, menurut Masjfuk Zuhdi, aborsi dapat dibagi
menjadi dua macam, yaitu aborsi spontan dan aborsi buatan/disengaja.9 Aborsi
spontan (abortus spontanea) adalah pengguguran secara tidak disengaja dan
terjadi tanpa tindakan apapun. Pengguguran dalam bentuk ini lebih sering terjadi
karena faktor di luar kemampuan manusia, seperti pendarahan dan kecelakaan.
Pengguguran seperti ini tidak menimbulkan akibat hukum. Sementara aborsi
buatan (abortus provocatus) adalah pengguguran yang terjadi sebagai akibat dari
suatu tindakan. Artinya, ada campur tangan dari manusia akan kejadian tersebut.
Aborsi dalam bentuk ini dapat dibedakan dalam dua macam, yaitu therapicus dan
criminalis. Abortus provocatus therapicus adalah pengguguran yang dilakukan
oleh dokter karena indikasi medis.10 Jika kehamilan diteruskan, maka akan
8
Lihat Jurnalis Uddin, dkk., Reinterpretasi Hukum Islam…, hlm. 131. 9
Masjfuk Zuhdi, Islam dan Keluarga Berencana di Indonesia (Bina Ilmu: Surabaya,1986), hlm.
39. 10
Di Indonesia, yang dimaksud dengan indikasi medis adalah demi menyelamatkan nyawa ibu.
Namun demikian terdapat enam syarat yang menjadi ketentuannya. Pertama, dilakukan oleh tenaga
kesehatan yang memiliki keahlian dan kewenangan untuk melakukannya (yaitu seorang dokter ahli
22
membahyakan jiwa si calon ibu; karena ada penyakit berat, misalnya. Sementara
abortus provocatus criminalis adalah pengguguran yang dilakukan tanpa dasar
indikasi medis. Model yang terakhir ini dapat dicontohkan dengan aborsi yang
dilakukan untuk meniadakan hasil hubungan seks di luar nikah atau untuk
mengakhiri kehamilan yang tidak dikehendaki. Lebih lanjut dijelaskan bahwa
abortus provocatus criminalis sering disebut dengan aborsi illegal dan ada
ancaman hukumannya—baik hukum pidana maupun hukum Islam. Sedangkan
untuk dua macam aborsi yang lain abortus spontanea dan abortus provocatus
therapicus, hukum pidana dan hukum Islam memberikan kualifikasi dan ketentuan
yang berbeda-beda dengan melihat pada faktor penyebabnya, ringan atau beratnya,
serta jenis dan sifatnya.
Bertolak dari pembagian aborsi di atas, aborsi sebenarnya memiliki arti yang
luas, yaitu mencakup pengguguran secara sengaja maupun tidak disengaja
(spontan). Pengertian ini tentu sangat berbeda dengan definisi aborsi yang telah
dijelaskan di atas, yaitu aborsi definisikan hanya dilakukan secara sengaja.
Berbeda dengan Masjfuk Zuhdi, dalam hal pembagian aborsi ini, Kusmaryanto
membedakan jenis aborsi ke dalam Sembilan macam :11
1. Miscarriage, yaitu berhentinya kehamilan sebelum bayi bisa hidup di luar
kandungan, tanpa campur tangan manusia.
2. Abortus provocatus, yaitu penghentian hasil kehamilan dari rahim
sebelum janin bisa hidup di luar kandungan.
kebidanan dan penyakit kandungan) yang sesuai dengan tanggung jawab profesi. Kedua, harus
meminta pertimbangan tim ahli (ahli medis lain, agama, hukum, psikologi). Ketiga, harus ada
persetujuan tertulis dari penderita atau suaminya atau keluarga terdekat. Keempat, dilakukan di sarana
kesehatan yang memiliki tenaga/peralatan yang memadai, yang ditunjuk oleh pemerintah. Kelima,
prosedur tidak dirahasiakan. Keenam, dokumen medik harus lengkap. Lihat, Arti Rosaria Dewi,
Abortus dalam Pandangan Islam, hlm. 3-4, dalam http://ebookbrowse.com/abortus-dalam-pandanganislam-ppt-d149342242, diakses tanggal 7 Febuari 2012. 11
CB. Kusmaryanto, Kontroversi Aborsi (Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 2002), hlm.
11-18. 23
3. Abortus provocatus therapicus, yaitu penghentian kehamilan dengan
indikasi medis untuk menyelamatkan nyawa ibu.
4. Abortus provocatus criminalis, yaitu penghentian kehamilan sebelum
janin bisa hidup di luar kandungan dengan alasan-alasan selain untuk
terapi.
5. Abortus Eugenetik, yaitu penghentian kehamilan untuk menghindari
kelahiran bayi yang cacat atau bayi yang mempunyai penyakit genetis.
6. Aborsi langsung-tidak langsung. Aborsi langsung adalah tindakan medis
yang tujuannya secara langsung ingin membunuh janin yang ada dalam
rahim ibu. Sedangkan aborsi tidak langsung adalah tindakan medis yang
mengakibatkan aborsi, meskipun aborsinya sendiri bukan tujuan dalam
tindakan tersebut.
7. Selective Abortion, yaitu penghentian kehamilan karena janin yang
dikandung tidak memenuhi kriteria yang diinginkan.
8. Embryo reduction, yaitu pengurangan janin dengan menyisakan satu atau
dua
janin
saja,
karena
dikhawatirkan
mengalami
hambatan
perkembangan, atau bahkan tidak sehat perkembangannya.
9. Partial Birth Abortion, yaitu penghentian kehamilan dengan memberikan
obat-obatan kepada wanita hamil, dengan tujuan agar cervix (leher rahim)
terbuka secara prematur. Selanjutnya dokter menggunakan alat khusus
untuk memutar posisi bayi, sehingga yang keluar lebih dulu adalah
kakinya. Kemudian bayi itu ditarik keluar, tetapi tidak seluruhnya, agar
kepala bayi tetap berada dalam tubuh ibunya. Ketika di dalam itulah
dokter menusuk kepala si bayi, sehingga si bayi mati. Sesudah bayi itu
mati, baru dikeluarkan semuanya. Proses semacam ini dilakukan untuk
menghindari masalah hukum, sebab jika bayi itu dibunuh setelah lahir,
maka pelakunya akan dihukum .
24
Menurut Syaltūṭ, sebagaimana yang dikutip oleh Jurnalis Udin dkk., aborsi
berdasarkan sisi peniupan ruh ke dalam janin yang ada di dalam rahim ibunya,
dapat dibedakan menjadi dua macam. Pertama, aborsi yang dilakukan sebelum
peniupan ruh. Berkaitan dengan aborsi pada waktu ini, ulama berbeda pendapat,
ada yang membolehkan dan ada yang melarang secara mutlak. Kedua, aborsi yang
dilakukan sesudah peniupan ruh ke dalam janin. Berkaitan dengan aborsi pada
waktu ini, jumhur ulama sepakat bahwa aborsi ini diharamkan, kecuali dalam
keadaan darurat.12 Bertolak dari pemaparan pembagian aborsi di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa aborsi bisa terjadi baik secara spontan maupun disengaja.
Dalam hal ini, aborsi karena KTD (Kehamilan Tidak Dikehendaki)—di dalamnya
mencakup
aborsi
akibat
perkosaan—termasuk
ke
dalam
aborsi
yang
disengaja/abortus provokatus, khususnya masuk pada bagian abortus provokatus
criminalis. Sementara itu, mengenai waktunya, aborsi dapat terjadi kapan pun,
baik sebelum maupun sesudah peniupan ruh.
B. Metode Aborsi
1. Tradisional
Banyak cara yang dapat ditempuh untuk melakukan aborsi, di antaranya
adalah dengan menggunakan jasa ahli medis rumah sakit. Cara seperti ini pada
umumnya dilakukan di negara-negara yang melegalkan aborsi. Sementara di
negara-negara yang melarang aborsi, banyak wanita yang datang kepada para
dukun untuk menggugurkan kandungannya. Hal ini terpaksa dilakukan karena
jika menggunakan jasa medis tentu pelaku aborsi akan khawatir jika hukum
akan ikut campur tangan. Penggunaan jasa dukun yang tidak memiliki keahlian
ini sudah barang tentu berpotensi menimbulkan resiko yang tinggi. Di antara
resiko yang terjadi adalah meningkatnya AKI (Angka Kematian Ibu). AKI
manjadi meningkat karena pelayanannya—dalam hal ini metode aborsi
12
Baca, Jurnalis Uddin, dkk., Reinterpretasi Hukum Islam…, hlm. 75. 25
tradisional—tidak sesuai dengan standar profesi medis. Ada beberapa cara
dalam metode aborsi tradisional, di antaranya adalah: 13
a. Penggunaan ramuan, dengan jamu peluruh rahim, atau dengan
meminum nanas muda yang dicampur lada (merica).
b. Manipulasi fisik, seperti dengan melakukan pijatan pada rahim, agar
janin lepas dari rahim.
c. Menggunakan alat bantu tradisional yang tidak steril, dan berakibat
negatif pada rahim.
Berangkat dari fakta aborsi dan berbagai cara yang dilakukan metode aborsi
tradisional, ia kerap diklaim sebagai metode yang tidak aman dan ilegal.14 Di
anggap tidak aman dan illegal karena tidak dilakukan dengan tenaga ahli dan
dilakukan tanpa dasar peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. Modern
Aborsi yang dilakukan secara modern, dalam hal ini yaitu secara medis.
Aborsi secara modern ini tentu aborsi yang aman, karena dilakukan oleh dokter
atau tenaga kesehatan yang terlatih, dan dilaksanakan di tempat yang memenuhi
persyaratan medis, serta dilakukan dengan metode yang memenuhi syaratsyarat kesehatan. Dengan demikian resiko kematian sangat kecil. Meskipun
demikian, tidak berarti bahwa aborsi secara modern ini legal, karena pada
faktanya banyak dokter yang melakukan aborsi secara illegal, yaitu tanpa
medasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Lebih jelasnya,
aborsi secara modern biasanya menggunakan cara sebagai berikut:15
13
Suharyo, “Masalah Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD) di Kalangan Remaja dan Dampak
Ketidakadilan Gender”, dalam Jurnal Kemas, Vol. 4, No. 1, Juli-Desember 2008, hlm. 92. Telusuri
juga, Romli Atmasasmita, dkk., Penelitian Tentang Aspek Hukum Pelaksanaan Aborsi Akibat
Perkosaan (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, 2004), hlm. 24. 14
WHO mendefinisikan aborsi tidak aman sebagai terminasi (penghentian) kehamilan yang
dilakukan oleh tenaga tidak terlatih atau di tempat yang tidak memenuhi standar medik. Baca, Jurnalis
Uddin, dkk., Reinterpretasi Hukum Islam, hlm. 8. 15
Suharyo, Masalah Kehamilan Tidak Diinginkan, hlm. 92-93. 26
a. Curattage & Dilatage (C&D), yaitu pengerokan dengan sendok kuret
maupun vacuum kuret pada dinding tempat menempelnya janin.
b. Memasukkan cairan NaCI Hipertosis pada lapisan amnion, untuk
melepaskan janin dari dinding rahim.
c. Pemberian prostaglandin PgF2 melalui pembuluh darah balik, dan
memasukkannya melalui vagina dan uterus, dengan dosis tertentu.
d. Dengan melakukan vacuum aspiration, yaitu menggunakan semacam
selang plastik berdiameter tertentu, untuk menghisap janin dari rongga
rahim.
e. Selain itu, ada metode aborsi yang terbaru, yaitu dengan menggunakan
pil aborsi (RU-486) atau yang dalam istilah kimianya “mifepristone”.16
Berangkat dari kedua metode aborsi di atas, tentu resiko aborsi modern
sangat kecil dibandingkan dengan aborsi tradisional, yang dilakukan oleh
tenaga yang tak terlatih. Beberapa penyebab utama resiko tersebut antara lain:
Pertama, sepsis yang disebabkan oleh aborsi yang tidak lengkap, sebagian atau
seluruh produk pembuahan masih tertahan dalam rahim. Jika infeksi ini tidak
segera ditangani akan terjadi infeksi yang menyeluruh sehingga menimbulkan
aborsi septik. Kedua, perdarahan. Hal ini disebabkan oleh aborsi yang tidak
lengkap, atau cedera organ panggul atau usus. Ketiga, efek samping jangka
16
Pil aborsi ini pertama kali ditemukan di Prancis, dan mulai dipakai di sana sejak 1988. Selain
di Prancis, pil aborsi ini dipakai di 11 negara lain dan 15 negara Uni Eropa. Setelah masa
pertimbangan lama di Amerika Serikat, pil aborsi ini baru disetujui oleh Food and Drug
Administration pada tahun 2000. Di Belanda, banyak kritik atas metode ini, karena dinilai mahal dan
mempunyai efek yang tidak nyaman bagi si perempuan tersebut, seperti rasa sakit, mual, dan
pendarahan. Meskipun timbul berbagai efek samping yang menyakitkan, namun perlu diakui bahwa
sistem ini lebih menjamin privasi bagi si perempuan, karena ia tidak perlu ke klinik untuk menjalani
prosedur aborsi secara medis, yang beritanya akan dikonsumsi publik. Baca, Mien Rukmini, dkk.,
Penelitian Tentang Aspek Hukum Pelaksanaan Aborsi Akibat Perkosaan (Jakarta: Badan Pembinaan
Hukum Nasional, 2004), hlm. 45. 27
panjang berupa sumbatan atau kerusakan permanen pada tuba fallopi (saluran
telur) yang menyebabkan kemandulan.17
C. Aborsi dalam Kontroversi Ulama Konvensional
Dalam fikih, perdebatan intelektual Muslim mengenai aborsi lebih banyak
berkisar pada sebelum peniupan ruh kepada janin (qabla nafkh al-rūḥ). Sedangkan
sesudah peniupan ruh (baˋda nafkh al-rūḥ), semua ulama sepakat melarangnya,
kecuali dalam kondisi darurat, yaitu untuk melindungi nyawa ibunya. Jika
demikian, pertanyaan yang muncul kemudian adalah, kapan kehidupan manusia
itu dimulai? Jawaban dari pertanyaan tersebut akan terkemas dalam ragam
pandangan intelektual Muslim terhadap aborsi.
1. Pandangan Empat Imam Mazhab Fikih
Kontroversi ulama mengenai aborsi tidak hanya terjadi antar mazhab,
akan tetapi juga terjadi pada tubuh internal mazhab. Secara khusus, ikhtilāf
hukum terjadi untuk aborsi di bawah usia 120 hari (4 bulan).
a. Mazhab al-Syāfiˋī
Mengenai hukum aborsi qabla nafkh al-rūḥ—sebagaimana yang
dikutip oleh Jurnalis Udin dkk., ulama Mazhab al-Syāfiˋī berselisih
pendapat. Di antara ulama Mazhab al-Syāfiˋī yang mengharamkan aborsi
qabla nafkh al-rūḥ adalah al-ˋImdān. Pendapatnya ini sebagaimana alGazalī18 yang sangat tidak menyetujui pelenyapan janin, meskipun baru
17
Titik Triwulan Tutik, “Analisis Hukum Islam Terhadap Praktik Aborsi Bagi Kehamilan Tidak
Diharapkan (KTD) Akibat Perkosaan Menurut Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 Tentang
Kesehatan”, Makalah (Semarang: Undip, 2010), hlm. 6. 18
Imam al-Gazalī adalah penganut mazhab Syāfiˋī beraliran sufi. Dia sangat tidak menyetujui
aborsi, meskipun baru pada ranah konseptual. Al-Gazalī menganggap tindakan aborsi adalah bagian
dari tindakan jināyah, meski kadarnya kecil. Al-Gazalī menggambarkan konsepsi atau percampuran
antara sperma dan ovum sebagai transaksi serah terima (ijāb-qabūl), yang tidak boleh dirusak.
Sementara itu, lanjut al-Gazalī, tindakan yang diperbolehkan adalah senggama terputus (ˋazl). Abū
Ḥāmid al-Gazalī, Ihyā ˋUlūm al-Dīn (Beirut: Dār al-Maˋrifah, 1983), Juz II, hlm. 51. Baca juga, Maria
Ulfah, “Aborsi dan Dilema Kesehatan Reproduksi Perempuan”, dalam Rumadi dkk., Perempuan
dalam Relasi Agama dan Negara: Komisi Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, (Jakarta: Komnas
28
berbentuk nuṭfah (air mani). Berbeda dengan mereka adalah Abū Saˋd.
Baginya, hal itu boleh dilakukan selama masih berupa nuṭfah (air mani) dan
ˋalaqah (segumpal darah). Demikian juga dengan ulama Mazhab al-Syāfiˋī
lainnya yang memperbolehkan aborsi sebelum janin berusia 120 hari—yakni
sebelum janin ditiupkan ruh dan terbentuk anggota-anggota tubuhnya.
Sementara ulama Mazhab al-Syāfiˋī yang lainnya lagi, seperti al-Ramlī dan
al-Nawawī memperbolehkan aborsi sebelum berbentuk muḍghah (segumpal
daging)—yakni belum melewati 42 hari.19
Dalam pada itu, ulama yang memperbolehkan aborsi qabla nafkh alrūḥ, ber-ḥujjah bahwa di dalam janin belum ada kehidupan sebelum
peniupan ruh, maka bila digugurkan berarti tidak termasuk jināyah.
Sedangkan ulama yang mengharamkannya—dalam hal ini aborsi qabla
nafkh al-rūḥ, ber-ḥujjah bahwa pada hakikatnya sebelum janin ditiupkan
ruh, ia sudah memiliki kehidupan yang tetap meski belum nampak. Namun
demikian, perbedaan-perbedaan tersebut bermuara pada satu pendapat
bahwa aborsi baˋda nafkh al-rūḥ hukumnya haram.20
b. Mazhab Ḥanafī
Ulama Ḥanafī memperbolehkan aborsi qabla nafkh al-rūḥ, akan tetapi
harus disertai syarat-syarat yang rasional. Alasan yang dipakai adalah
kemaslahatan, baik untuk ibu maupun janinnya. Kebolehan di sini bukan
berarti pelaku bebas dari dosa, sebab jika janin yang diaborsi telah
memasuki tahap muḍgah (segumpal daging), maka pelakunya perlu
dikenakan taˋzīr, karena telah merampas hak janin.21 Namun demikian, ada
seorang ulama Ḥanafiyyah yang melarang aborsi qabla nafkh al-rūḥ secara
Perempuan, 2010), hlm. 147. Lihat juga, Istibsjaroh, Menimbang Hukum Pornografi, Pornoaksi, dan
Aborsi dalam Perspektif Islam (Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press, 2007), hlm. 63. 19
Jurnalis Uddin, dkk., Reinterpretasi Hukum Islam, hlm.76-77. 20
Ibid., hlm. 79. 21
Ibid., hlm. 82-84. 29
mutlak, ulama tersebut bernama ˋĀbidīn. Dia mengatakan bahwa aborsi
qabla nafkh al-rūḥ tidak ada bedanya dengan membunuh anak manusia.
Menurutnya, jika janin yang diaborsi dalam keadaan mati, maka pelaku
wajib membayar ghurrah dan disunnatkan membayar kifarat. Akan tetapi,
jika janin keluar dalam keadaan hidup lalu mati, disunnatkan membayar
diyah kāmilah dan kafarat.22
c. Mazhab Mālikī
Ulama Mālikī adalah ulama yang paling berhati-hati dalam menyikapi
masalah aborsi. Bagi mereka, aborsi dalam bentuk apapun diharamkan,
meskipun air mani baru tersimpan di dalam rahim ibu—apalagi jika janin
sudah berusia 40 hari. Pengharaman ini dianggap sebagai jināyah dan
merampas hak hidup janin. Jika dilanggar, maka pelakunya wajib dikenai
hukuman. Semakin tua usia kandungannya, maka semakin besar pula
hukumannya.23 Dalam pada itu, bagi pelaku kasus aborsi qabla nafkh al-rūḥ,
maka Imām Mālik sangat ekstrim, yaitu mewajibkan gurrah. Meskipun
22
Dalam persoalan kifarat ini, intelektual Muslim Ḥanafiyyah sejalan dengan kelompok
Mālikiyah, yakni menghukumi kifarat sebagai hal yang tidak wajib, tetapi baik untuk dikerjakan
(istihsān/mandūb). Sedangkan ulama Syāfiˋiyyah dan Ḥanabilah, menganggap kifarat sebagai hal yang
wajib, karena aborsi baˋda nafkh al-rūḥ dikategorikan sebagai bentuk pembunuhan terhadap manusia.
Sementara semua mazhab empat sepakat, jika janin keluar dari kandungan ibunya dalam keadaan
hidup, kemudian mati, maka pelaku dibebani kifarat selain diyat kāmilah, Baca lebih lanjut, Ibid., hlm.
90. 23
Ada beberapa sanksi bagi pelaku atau penyebab aborsi, sanksi ini disesuaikan dengan akibat
yang ditimbulkannya. Sanksi tersebut ada empat macam. Pertama, gurrah, yaitu denda yang nilainya
5% dari diyat penuh atau senilai lima ekor unta. Kedua, kifarāt, yaitu ganti rugi. Ketiga, diyat, yakni
tebusan. Keempat, taˋzīr, yaitu hukuman atas pertimbangnan hakim. Dalam pada itu, sanksi berupa
gurrah berlaku jika aborsi telah memenuhi lima syarat. Pertama, adanya tindakan tertentu yang
menyebabkan janin gugur. Kedua, janin gugur setelah terjadinya tindakan tertentu. Ketiga, janin keluar
dalam keadaan meninggal. Keempat, janin sudah melewati masa muḍgah (sudah terbentuk). Kelima,
orang tua janin bukan kafir ḥarbī kedua-duanya. Sementara diyat penuh berlaku bagi pelaku aborsi di
atas enam bulan. Diyat penuh juga berlaku jika janin diketahui hidup di dalam rahim ibunya, kemudian
terbunuh karena tindakan kriminal terhadap ibunya, dan bukan dimaksudkan untuk membunuh janin
itu sendiri. Namun demikian, jika tindakan tersebut dimaksudkan untuk mencelakai si janin itu sendiri,
maka pelakunya wajib membayat kifarat. Demikian pendapat mayoritas ulama, termasuk Syāfiˋiyyah
dan Ḥanabilah. Lihat al-Syarbinī, Mugnī al-Muḥtaj (Beirut: Ihyā’ al-Turāṡ al-ˋArabī), Juz IV, hlm.
105. 30
ekstrim, namun Imām Mālik memberikan kelonggaran untuk melakukan
aborsi, yaitu apabila dalam keadaan darurat, misalnya kehamilan akibat
perkosaan atau untuk menyelamatkan nyawa si ibu.24
d. Mazhab Ḥanbalī
Menurut Mazhab Ḥanbalī, aborsi dihalalkan sebelum usia janin 40
hari—ini artinya jika janin lebih dari usia tersebut, maka aborsi diharamkan.
Aborsi di sini diperbolehkan, namun harus dengan alasan-alasan yang
dibenarkan oleh syaraˋ. Meskipun adanya kelonggaran ini, akan tetapi
pelaku tetap berdosa, akan tetapi dosa tersebut tidak sampai pada hukuman.
Alasan berdosa adalah, karena pelaku aborsi dianggap telah merusak sesuatu
yang sangat berharga—yakni mawjūd al-ḥāṣil (hasil pembuahan).25
Sedangkan mengenai aborsi baˋda nafkh al-rūḥ, Imam al-Ḥanafī
menyatakan bahwa pelaku tindak aborsi ini patut dijatuhi hukuman keras,
yakni jika janin sudah mencapai usia 6 bulan ke atas.26
Bertolak dari ikhtilāf pendapat para fuqahā’ di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa hukum aborsi qabla nafkh al-rūḥ adalah sebagai
berikut:27
a) Boleh aborsi sebelum usia janin 120 hari. Pendapat ini dikemukakan
oleh sebagian besar ulama Ḥanafiyyah dan sebagian kecil ulama
Syāfiˋiyyah.
24
Jurnalis Uddin, dkk., Reinterpretasi Hukum Islam, hlm. 86. 25
Ibid. Mengenai aborsi baˋda nafkh al-rūḥ, dalam pernyataan Imam Ḥanbalī, bahwa seseorang yang
menyerang ibu hamil sampai ia menggugurkan kandungannya, baik laki-laki maupun perempuan,
maka diyat-nya adalah 1/10 diyat ibunya, dan jika ibu hamil yang diserang tadi menggugurkan
kandungannya dalam keadaan hidup lalu mati, maka diyat-nya adalah kāmilah, dengan syarat bayi
yang gugur tersebut telah berusia 6 bulan ke atas, dan apabila pelakunya adalah ibunya sendiri,
misalnya dengan meminum obat-obatan, sehingga bayinya keluar dalam keadaan sudah mati, maka ia
wajib membayar gurrah, dan jumlah gurrah disesuaikan dengan jumlah janin yang gugur. Baca, Ibid.,
hlm. 90. 26
27
Diadaptasi dari Istibsjaroh, Menimbang Hukum Pornografi, hlm. 64-65. 31
b) Boleh aborsi sebelum usia janin 40-45 hari (taḥalluq). Pendapat ini
dinyatakan oleh sebagian besar fuqahā’ Syāfiˋiyyah, sebagian besar
fuqahā’ Ḥanabilah, dan sebagian kecil fuqahā’ Ḥanafiyyah.
c) Makruh taḥrīm, baik sebelum maupun sesudah 40 hari. Pendapat ini
dikemukakan sebagian kecil fuqahā’ Ḥanafiyyah.
d) Haram secara mutlak. Pendapat ini dinyatakan oleh sebagian besar
fuqahā’ Mālikiyyah, Imām al-Gazalī, Ibn al-Jawzī, dan Ibn Ḥazm alẒāhirī.
2. Pandangan Intelektual Muslim Kontemporer terhadap Aborsi
Pandangan ulama kontemporer mengenai aborsi sebenarnya merupakan
pengembangan dari pandangan para imam mazhab sebelumnya. Misalnya saja,
Muḥammad Sallām Mażkūr dalam bukunya al-Janīn wa al-Aḥkām alMutaˋalliqah bih fī al-Fiqh al-Islāmī (Baḥs Muqāran). Dengan menguraikan
pandangan dari beragam mazhab, ia menguatkan pendapat yang mengharamkan
aborsi, baik sebelum ditiupkan ruh maupun sesudahnya. Begitu pun juga
dengan Wahbah al-Zuḥailī yang menguatkan pendapat al-Gazalī, ia
menganggap sekalipun aborsi dilakukan sejak konsepsi tetap saja merupakan
suatu
kejahatan
terhadap
mahluk
yang
sudah
tercipta.
Kelonggaran
disampaikan oleh Jāmil Mubārak ibn Mubārak, dia menguraikan bahwa jika
terdapat keadaan darurat yang mengharuskan dilakukannya aborsi, maka dapat
diberi dispensasi (rukhṣah), dan jika tidak ada, maka tidak dibenarkan. Hukum
ini berlaku, baik sebelum atau pun sesudah ditiupkannya ruh.28
Pengharaman aborsi dalam semua fase kehidupannya—baik sebelum
ataupun sesudah ditiupkan ruh—juga terdapat dalam sejumlah fatwa para muftī
kontemporer. Misalnya saja Syaltūṭ dalam al-Fatawā, dengan mengutip
28
Jurnalis Uddin, dkk., Reinterpretasi Hukum Islam, hlm. 134-135. 32
pendapatnya al-Gazalī ia mengatakan bahwa sebenarnya kehidupan sudah ada
sejak awal konsepsi, sehingga aborsi haram secara mutlak. Dengan alasan yang
berbeda namun bermuara pada kesimpulan yang sama adalah pandangan
Quraish Shihab. Dia mengungkapkan bahwa aborsi tidak ada bedanya dengan
pembunuhan terhadap anak, karena keduanya—aborsi dan pembunuhan—
sama-sama berdampak pada penghilangan nyawa yang telah siap untuk
berpartisipasi dalam tugas kekhalifahan. Menurutnya, perdebatan mengenai
aborsi selama ini lebih ditekankan pada kadar dosa dan sanksi hukum yang
harus dikenakan kepada pelakunya, padahal permasalahan aborsi terkait dengan
masalah etika. Oleh karena itu, dia berpendapat bahwa aborsi dilarang,
meskipun belum berumur 120 hari, kecuali ada alasan-alasan medis.29
Dewasa ini, kontroversi aborsi tidak hanya berlaku di negara-negara
Muslim, akan tetapi juga di negara sekuler—misalnya Amerika. Sebagaimana
disampaikan oleh Alwi Shihab, bahwa Amerika sangat memperhatikan aspek
agama dalam menilai aborsi. Agama-agama besar dunia sepakat untuk
membatasi aborsi dalam kondisi-kondisi tertentu (keadaan darurat) yang
membahayakan jiwa ibu. Mengenai keadaan darurat ini, Konferensi Islam
Rabat memutuskan bahwa aborsi diizinkan hanya ketika nyawa ibu terancam
atau tidak ada harapan bagi kelangsungan kehidupan janin.30 Dalam pada itu,
menurut Husein Muhammad, dalam kasus aborsi, kematian ibu lebih berat
daripada janin. Hal ini dikarenakan ibu adalah induk dari mana janin itu berasal,
dan dia sudah memiliki eksistensi yang pasti—memiliki hak dan kewajiban,
sementara janin belum. Karena itu, ia (calon ibu) tidak boleh dikorbankan demi
menyelamatkan janin yang eksistensinya belum pasti dan belum memiliki
kewajiban.31
29
Ibid., hlm. 136-137. 30
Ibid., hlm. 137-138. 31
Husein Muhammad, Aborsi dalam Perspektif Fiqh Kontemporer (Jakarta: Makalah SemiLoka PPFNU, 2001), hlm. 6-7. 33
Sementara itu, mengenai aborsi akibat perzinaan, Saˋīd Ramaḍān al-Būṭī
dengan tegas mengatakan bahwa aborsi dalam kasus ini hukumnya haram
secara mutlak.32 Hal ini dikarenakan janin tidak menanggung dosa ibunya dan
ia tidak bersalah. Oleh karenanya, aborsi akibat perzinaan dipandang sebagai
tindak kriminal yang berkaitan erat dengan moralitas social. Meskipun
demikian, al-Būṭī memberikan pengecualian, namun pengecualian tersebut
hanya berlaku jika si ibu mendapat ancaman pembunuhan jika tidak melakukan
aborsi. Maka, dalam kasus ini, aborsi diperbolehkan karena untuk
menyelamatkan jiwa si ibu. Sementara aborsi dalam kasus perkosaan, al-Būṭī
memperbolehkan jika kelahiran anak tersebut dipastikan akan membawa
dampak buruk bagi jiwa dan raga si ibu di kemudian hari. Aborsi untuk kasus
ini diperbolehkan karena perempuan korban perkosaan bukanlah sebagai pelaku
tindak pidana, sehingga rukhṣah aborsi diberlakukan.33 Akhirnya, bertolak pada
pendapat para ulama kontemporer di atas, maka dapat disimpulkan bahwa para
ulama kontemporer sependapat dengan ulama klasik, bahwa hukum aborsi
adalah haram, kecuali dalam keadaan darurat yang mengancam jiwa ibu.
Dengan demikian, di balik keharamannya, ada kemungkinan hukum sebaliknya,
yakni berhukum boleh atau makruh.
32
Al-Būṭī mengemukakan tiga dalil sebagai berikut: (1) surat al-Isra’, (17):16. Berdasarkan ayat
ini, seorang janin tidak menanggung dosa ibunya. Ia tidak bersalah, karena itu tidak boleh digugurkan
baik sebelum maupun sesudah takhalluq (tercipta); (2) Hadis mengenai perempuan Ghamidiyyah
yang diriwayatkan Muslim dari Buraidah ra., yang datang kepada Nabi dengan membawa pengakuan ia
telah berzina dengan Maˋiz bin Mālik dan sedang hamil karenanya. Maˋiz kemudian dirajam lebih dulu
setelah empat kali membuat pengakuan zina dan meminta Nabi mensucikannya. Namun terhadap
perempuan tersebut, Nabi rnenangguhkan hukuman rajam sampai ia melahirkan anaknya dan
menyapihnya. Setelah si anak disapih dan diserahkan kepada orang lain, barulah ia dirajam; (3)
Kebolehan aborsi untuk janin dibawah usia 40 hari hanya berlaku untuk nikah yang sah dan kebolehan
tersebut bersifat rukhṣah. Padahal ada kaedah ushuliyyah yang mengatakan “al-rukhaṣ lā tunāṭu bi al-ma
ˋāṣī” (rukhsah tidak berlaku untuk perbuatan maksiat). Oleh karena itu kehamilan itu sendiri disebabkan
oleh perbuatan haram, maka aborsi dengan sendirinya juga haram; dan (4) Aborsi terhadap janin hasil
hubungan di luar nikah juga bertentangan dengan kaedah ushuliyyah, “saż al-żariˋah” (menutup jalan
kemudharatan). Telusuri, al-Būṭī, hlm. 143. 33
Ibid., hlm. 159-160. 34
3. Fatwa MUI Tentang Aborsi
Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tahun 2005 mengeluarkan fatwanya
tentang aborsi. Fatwa ini dikeluarkan atas pertimbangan bahwa dewasa ini
semakin banyak terjadi tindakan aborsi yang dilakukan oleh masyarakat tanpa
memperhatikan tuntunan agama. Selain itu, aborsi juga banyak dilakukan oleh
pihak-pihak yang tidak memiliki kompetensi di bidangnya, sehingga banyak
masyarakat yang mempertanyakan hukumnya—apakah haram secara mutlak
ataukah boleh dalam kondisi-kondisi tertentu. Inilah alasan MUI mengeluarkan
fatwa tentang aborsi. Dengan mendasarkan pada al-Qur’an, hadis, kaidah fikih,
dan pendapat para ulama klasik, maka MUI mengeluarkan fatwa yang
dituangkan dalam Fatwa MUI No. 4 Tahun 2005 tentang Aborsi, yang isinya
sebagai berikut:
Pertama: Ketentuan umum
1. Darurat adalah suatu keadaan di mana seseorang apabila tidak melakukan
sesuatu yang diharamkan, maka ia akan mati atau hampir mati.
2. Hajat adalah suatu keadaan di mana seseorang apabila tidak melakukan
sesuatu yang diharamkan, maka ia akan mengalami kesulitan besar.
Kedua: Ketentuan Umum
1. Aborsi haram hukumnya sejak terjadinya implantasi blastosis pada
dinding rahim ibu (nidasi).
2. Aborsi dibolehkan karena adanya uzur, baik yang bersifat darurat ataupun
hajat.
a. Keadaan darurat yang berkaitan dengan kehamilan yang membolehkan
aborsi adalah:
a) Perempuan hamil menderita sakit fisik berat seperti kanker
stadium lanjut, TBC dengan cavern dan penyakit-penyakit fisik
berat lainnya yang harus ditetapkan oleh tim dokter.
b) Dalam keadaan di mana kehamilan mengancam nyawa si ibu.
b. Keadaan hajat yang berkaitan dengan kehamilan yang dapat
membolehkan aborsi adalah:
a) Janin yang dikandung dideteksi menderita cacat genetik yang
kalau lahir kelal sulit disembuhkan.
b) Kehamilan akibat perkosaan yang ditetapkan oleh tim yang
berwenang yang di dalamnya terdapat antara lain keluarga
korban, dokter dan ulama.
35
c. Kebolehan aborsi sebagaimana dimaksud huruf b harus dilakukan
sebelum janin berusia 40 hari.
3. Aborsi haram hukumnya dilakukan pada kehamilan yang terjadi akibat
zina.
Berangkat dari Fatwa MUI di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pada
dasarnya MUI sepakat dengan ulama’ klasik maupun kontemporer, bahwa
aborsi qabla nafkh al-rūḥ diharamkan, bahkan MUI sangat ketat, sebagaimana
pendapatnya al-Gazalī, bahwa aborsi qabla nafkh al-rūḥ dilarang sejak
terjadinya implantasi blastosis pada dinding rahim ibu (nidasi). Meskipun
demikian, MUI memberikan pengecualian aborsi jika ada indikasi yang bersifat
darurat maupun hajat. Pengecualian ini dibatasi sampai janin berusia 40 hari,
tentu ini sama dengan pendapat yang dinyatakan oleh sebagian besar fuqahā’
Syāfiˋiyyah, sebagian besar fuqahā’ Ḥanabilah, dan sebagian kecil fuqahā’
Ḥanafiyyah. Sementara aborsi akibat perzinaan, maka MUI secara mutlak
mengharamkannya. Hal ini sejalan dengan pendapat al-Buṭī yang telah
dikemukakan di atas.
D. Tinjauan Umum Tentang Maṣlaḥah
Kata maṣlaḥah merupakan derivasi dari kata ṣalaḥa-yaṣlaḥu-ṣuluḥan wa
ṣulaḥan wa ṣalaḥiyatan. Dalam bentuk maṣdar, ia memiliki arti sesuatu yang
berkesesuaian dengan dan di dalamnya memiliki arti penting atau sesuatu yang
mendatangkan nilai manfaat atau faidah baik materi ataupun in-materi.34
Maṣlaḥah merupakan antonim dari fasad (kerusakan), sehingga kata iṣlāḥ
merupakan antonim dari ifsād. Secara kuantitatif ia bermakna tunggal, sementara
dalam bentuk plural kata tersebut disebut dengan maṣāliḥ. ˋIzzuddīn bin ˋAbd alSalām dalam karyanya, Qawāˋid al-Aḥkām fī maṣāliḥ al-Anām, menjelaskan
Kāmil Iskandar Hāsyimah, Al-Munjid al-Wasīṭ fī al-ˋArabiyyah al-Muˋāṣirah (Beirut:
Libanon, Dār al-Masyriq, 2003), hlm. 629. 34
36
bahwa makna literal dari maṣlaḥah dan antonimnya, mafsadah, adalah suatu
kebaikan dan keburukan, manfaat dan maḍarat, bagus dan jelek.35
Secara sederhana, maṣlaḥah dalam tinjauan terminologis adalah upaya
pengambilan manfaat dan pencegahan mafsadat (jalb al-maṣālih wa dafˋ almafāsid).36 Sementara jika dikaitkan dengan kepentingan manusia, maṣlaḥah
adalah aktivitas yang bertujuan untuk pemanfaatan dan pencegahan maḍarat
dalam kehidupan manusia di dunia maupun di akhirat.37 Maṣlaḥah sendiri dapat
dikatakan sebagai salah satu unsur dalam syariah yang berhubungan langsung
dengan manusia sebagai objeknya. Sehingga dapat dikatakan bahwa maṣlaḥah
adalah menjadi tujuan utama (gāyah) dan maksud ditetapkannya syariah (almaqāṣid al-syarīˋah) di dunia dan di akhirat.38
Pada saat disesuikan dengan ˋurf (bi ḥasb al-ˋurf), maṣlaḥah dianggap
sebagai faktor penyebab yang membawa pada suatu kebaikan39 dan kemanfaatan.
Karena itu, ia merupakan faktor penyebab yang mengantarkan pada maksud
pembuat hukum (Syārīˋ) dalam masalah-masalah ibadah, maupun adat kebiasaan.
Pengertian maṣlaḥah menurut istilah juga dapat ditemukan pada kajian uṣūliyyīn
Izzuddin bin Abd al-Salam, Qawāˋid al-Aḥkām fī Maṣāliḥ al-Anˋām (Kairo: Maktabah alKuliyyah al-Azhariyah, 1994), hlm. 5. 35
Muṣṭafā Zayd, Al-Maṣlaḥah fī al-Tasyrīˋ, hlm. 22 36
37
ˋAbdullāh Darrās, Pengantar, dalam Abū Isḥāq Ibrāhim bin Mūsā al-Syāṭibī, Al-Muwāfaqāt fī
Uṣūl al-Syarīˋah (Beirut: Dār al-Fikr al-ˋArabī, t.t.), juz hlm. 3. Adapun dalam upaya menemukan makna al-maqāṣid al-syarīˋah kurang lebih menggunakan
tiga paradigm. Pertama, paradigma skriptualisme, yang memandang bahwa al-Qur’an dan Sunnah
dipandang sebagi naṣ, yang memuat segala kehendak Syāriˋ, dan teks-teks al-Qur’an dan sunnah
dianggap telah merekam seluruh makna subtantif (bahasa wahyu yang hidup berkembang pada masa
itu. Kedua, paradigma subtantifisme. Paradigma ini terbagi manjadi dua, yaitu al-baṭūniyyah dan almutaˋammiqīn fī al-qiyās. Paradigma ini merupakan kebalikan dari paradigma yang pertama. Ketiga,
paradigma konvegensisme, adalah suatu paradigma yang memadukan antara paradigma skriptualisme
dan paradigma substantifisme. Konvegegensisme memandang bahwa naṣ sebagai akumulasi teks dan
makna yang dipesankan tuhan sekaligus. Marzuki Wahid, “Teori Pendekatan dalam Memahami alQur’an dan al-Sunnah Perspektif Pemikiran al-Syatibi”, Majallah Nahdlah al-Ulama, No. 03 Tahun
1998, XX Maret, hlm. 73-75. 38
39
ˋAbdullāh Darrās, Pengantar, hlm. 101. 37
(para pakar ushul fiqh), yang tertera pada bab ˋillat atau kausalitas hukum. Di
antaranya terdapat pengertian yang dirumuskan oleh al-Khawarizmī. Baginya,
yang dimaksud dengan maṣlaḥah adalah memelihara tujuan hukum Islam dengan
menolak bencana atau kerusakan hal-hal yang merugikan dari mahluk
(manusia).”40
Pengertian-pengertian di atas juga sejalan dengan apa yang disampaikan oleh
Jalāluddīn ˋAbd al-Raḥmān al-Suyūṭī. Dalam al-Asybah wa al-Naẓā’ir ia
mengatakan bahwa bahwa dar’ al-mafasid muqaddamun ˋalā jalb al-maṣāliḥ41
berarti menolak kerusakan (mafsadah) lebih utama dari pada menarik maṣlaḥah.
Dalam hal ini, al-maṣlaḥah diartikan dengan pengambilan manfaat. Ia
memberikan alasan demikian karena menghindari suatu kerusakan adalah
berdampak besar terhadap keberlangsungan hidup manusia, sedangkan jalb almaṣāliḥ42 merupakan pelengkap dan kewajiban hidup yang pada dasarnya
menjahui ke-mafsadat-an harus lebih dijaga agar dapat melaksanakan kebaikan
secara maksimal.
Hal ini tidak diragukan lagi, bahwa konsep maṣlaḥah merupakan bagian dari
doktrin dalam syariah. Adapun legislasi (tasyrīˋ) atas hukum Allah yang tidak
luput dari cakupan maṣlaḥah, baik dalam bentuk perintah ataupun dalam bentuk
larangan, harus diyakini bahwa sesungguhnya dalam taklīf (pembebanan hukum)
atas hamba-hamba-Nya, akan senantiasa memberikan manfaat yang berupa
maṣlaḥah, baik berupa balasan baik secara langsung atau tidak. Karena itu,
40
Wahbah al-Zuḥailī, Uṣūl al-Fiqh al-Islamī (Beirut: Dār al-Fikr, 1986), juz II, hlm. 757. Jalāluddīn ˋAbd al-Raḥmān al-Suyuṭī, Al-Asybah wa al-Naẓā’ir (Surabaya: al-Hidayah), hlm.
41
7. Jalb al-maṣāliḥ adalah berperan sebagai penentu kesesuaian (munāsabah) agar segala sesuatu
dapat serasi dan imbang, sedangkan jalb al-maṣāliḥ merupakan kaidah yang diformulasikan dalam
bentuk metode istiṣlāḥ, yang merupakan metode fundamental dalam membangun dan memverivikasi
sebuah rasio, di mana hal ini disebabkan oleh hubungan antara rasio, dan keseimbangan maṣlaḥah
adalah bagian dari ushul al-Fiqh yang membawa prinsip kesesuaian. Wael b. Hallaq, Sejarah Teori
Hukum Islam: Pengantar Untuk Ushul Fiqh Madzab Sunni, terj. Abdul Haris (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2000), hlm. 165. 42
38
sesungguhnya tujuan syaraˋ adalah tidak bertujuan lain kecuali mendatangkan
kemaslahatan. Hal ini sebagaimana tersirat dalam Q.S. al-Anbiyā’, 107, “Dan
tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta
alam”.
Salah satu metode yang dikembangkan oleh ulama ushul fiqh dalam mengistinbāṭ-kan hukum dari naṣ (dalil) lewat pendekatan istiṣlāḥī adalah maṣlaḥah
mursalah. Dalam maṣlaḥah mursalah suatu kemaslahatan yang tidak ada naṣ juz’ī
(rinci) yang mendukungnya, tidak ada yang menolaknya, dan tidak ada pula ijmāˋ
yang mendukungnya. Akan tetapi, kemaslahatan ini didukung oleh sejumlah naṣ
dengan cara induksi dari sejumlah naṣ.43 Pendekatan istiṣlāḥī digunakan bila tidak
ada dalil khusus yang berhubungan dengan kasus hukum baru sehubungan dengan
kemajuan dan perkembangan zaman.44
Al-Gazālī memandang bahwa suatu kemaslahatan harus sejalan dengan
tujuan syarˋi, sekalipun bertentangan dengan tujuan manusia, karena kemaslahatan
manusia tidak selamanya didasarkan kepada kehendak syarˋi, tetapi sering
didasarkan pada hawa nafsu. Oleh sebab itu, yang dijadikan patokan dalam
mentukan kemaslahatan itu adalah kehendak dan tujuan syarˋi, bukan kehendak
dan tujuan manusia.45 Kemaslahatan yang dapat dijadikan pertimbangan untuk
menetapkan hukum menurut al-Gazālī adalah apabila; (1) maṣlaḥah itu sejalan
dengan tindakan syara’, (2) maṣlaḥah itu tidak meninggalkan atau bertentangan
dengan naṣ syarˋī, (3) maṣlaḥah itu termasuk ke dalam kategori maṣlaḥah yang
ḍarūrī, baik yang menyangkut kemaslahatan pribadi maupun orang banyak dan
universal, yaitu berlaku sama untuk semua orang.46
43
Al-Syāṭibī, Al-Muwāfaqāt, juz II, hlm. 8-12. 44
Al Yasa Abu Bakar, “Fiqh Islam dan Rekayasa Sosial”, dalam Ari Anshori dan Slamet
Warsidi (ed.), Fiqh Indonesia dalam Tantangan (Surakarta: FAI UMS, 1991), hlm. 23. Abū Ḥāmid al-Gazālī, Al-Mustaṣfā fī ˋIlm al-Uṣūl (Beirut: Dār al-Kutub al-ˋIlmiyyah, 1980),
hlm. 286. 45
46
Ibid. 39
Maṣlaḥah menurut Abū Isḥāq al-Syāṭibī dapat dibagi ke dalam dua segi.
Pertama, dari segi kualitas dan kepentingan kemaslahatan. Segi ini terdapat tiga
macam, yaitu: ḍarūriyyah, ḥājiyah, dan taḥsīniyah. Kemaslahatan jenis pertama
berhubungan dengan kebutuhan pokok umat manusia di dunia dan di akhirat,
yakni memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Kelima kemaslahatan
ini disebut dengan al-maṣāliḥ al-khamsah. Kemaslahatan jenis kedua dibutuhkan
untuk menyempurnakan atau mengoptimalkan kemaslahatan pokok (al-maṣāliḥ
al-khamsah) yaitu berupa keringanan untuk mempertahankan dan memelihara
kebutuhan mendasar manusia (al-maṣāliḥ al-khamsah) diatas. Sedangkan jenis
kemaslahatan ketiga bersifat komplementer (pelengkap), berupa keleluasan dan
kepatutan yang dapat melengkapi kemaslahatan sebelumnya (maṣlaḥah ḥājiyah).
Kedua, dari segi keberadaan maṣlaḥah. Segi ini terdapat tiga macam, yaitu
muˋtabarah, mulgah, dan mursalah. Kemaslahatan jenis pertama didukung oleh
dalīl syarˋī. Artinya, terdapat dalil khusus yang menjadi dasar dari bentuk atau
jenis kemaslahatan tersebut. Jenis kedua adalah kemaslahatan yang ditolak oleh
dalil syarˋī, karena bertentangan dengan ketentuannya. Sedangkan jenis ketiga
kemaslahatan yang keberadaannya tidak didukung oleh dalil syarˋī dan tidak pula
dibatalkan atau ditolak melalui dalil yang rinci, tetapi didukung oleh sekumpulan
makna naṣ. Kemaslahatan dalam jenis ketiga ini terbagi lagi menjadi dua, yaitu
garībah dan mursalah. Garībah adalah jenis kemaslahatan yang asing, atau
kemaslahatan yang sama sekali tidak ada dukungan syarˋi, baik secara rinci
maupun umum. Al-Syāṭibī mengatakan kemaslahatan seperti ini tidak ditemukan
dalam praktik, sekalipun ada dalam teori. Sedangkan mursalah adalah
kemaslahatan yang tidak didukung dalil syarˋi atau naṣ yang rinci, tetapi didukung
oleh sekumpulan makna naṣ.47
47
Al-Syāṭibī, Al-Muwāfaqāt, juz II, hlm. 8-12. 40
Mayoritas ulama Ushul Fiqh (Ḥānafiyyah, Syāfiˋiyyah, Mālikiyyah dan
Ḥanabilah) menetapkan bahwa maṣlaḥah dapat dijadikan dalil untuk menetapkan
hukum, apabila memenuhi tiga syarat. Pertama, kemaslahatan itu sejalan dengan
kehendak syarˋi dan termasuk dalam jenis kemaslahatan yang didukung naṣ secara
umum. Kedua, kemaslahatan itu bersifat rasional dan pasti, bukan sekedar
perkiraan sehingga hukum yang diterapkan melalui maṣlaḥah mursalah itu benarbenar menghasilkan manfaat dan menghindari atau menolak kemudaratan. Ketiga,
kemaslahatan itu menyangkut kepentingan orang banyak, bukan kepentingan
pribadi atau kelompok kecil tertentu.48 Alasan Jumhur ulama Ushul Fiqh, di
antaranya adalah: (a) hasil induksi terhadap ayat atau hadis menunjukkan bahwa
setiap hukum mengandung kemaslahatan bagi umat manusia, (b) kemaslahatan
manusia senantiasa dipengaruhi perkembangan tempat, zaman, dan lingkungan
mereka sendiri, sementara apabila syariah Islam terbatas pada teks-teks hukum
yang ada, akan membawa kesulitan, (c) merujuk kepada tindakan yang dilakukan
oleh beberapa sahabat Nabi saw., antara lain ˋUmar ibn al-Khaṭṭāb tidak memberi
zakat kepada para mu’allaf, karena kemaslahatan orang banyak menuntut hal itu.49
E. Biografi Najm al-Dīn al-Ṭūfī
Najm al-Dīn al-Ṭūfī adalah seorang ulama fiqh dan ushul fiqh Mazhab
Ḥanbalī yang dilahirkan di desa Ṭūfī, Ṣaṣar, dekat Bagdad, Irak.50 Ṭūfī adalah kata
sifat yang berhubungan dengan kata Tawfā, jadi al-Ṭūfī adalah “orang yang
berasal dari Tawfā”. Najm al-Dīn yang berarti “bintangnya agama”, merupakan
nama panggilan atau gelar yang diberikan oleh para muridnya. Sedang nama
48
Al-Syāṭibī, Al-Muwāfaqāt, juz II, hlm. 8-12 dan Ibn al-Qayyim al-Jawziyyah, Aˋlam alMuwaqqiˋīn (Dār al-Jail, 1973), hlm. 14. Al-Gazalī, Al-Mustaṣfā, hlm. 139 dan Al-Syāṭibī, Al-Muwāfaqāt, juz II, hlm. 8-12. 49
50
Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I (Jakarta: Logos, 1996), hlm. 124. 41
aslinya adalah Sulaimān ibn ˋAbd al-Qāwī ibn ˋAbd al Karīm ibn Saˋīd.51 Ia
adalah seorang ilmuwan yang haus akan berbagai ilmu pengetahuan, sehingga
dalam sejarah tercatat bahwa ia belajar fiqh, ushul fiqh, bahasa arab, ilmu manthiq,
ilmu kalam, hadis, tafsir, sejarah, dan ilmu jadal (ilmu berdiskusi). Pada tahun 691
H., ia telah menghafal buku al-Muḥarrar fī al-Fiqh al-Ḥanbalī (rujukan fikih
dalam Mazhab Ḥanafī) dan mendiskusikannya dengan Taqī al-Dīn al-Zarziratī,
ulama besar Mazhab Ḥanbalī ketika itu. Kebanyakan gurunya adalah ulama-ulama
besar Mazhab Ḥanbalī di zamannya, sehingga tidak mengherankan al-Ṭūfī
dianggap sebagai penganut mazhab tersebut.52
Al-Ṭūfī meninggalkan tidak kurang dari 42 karya yang ia tulis mengenai
berbagai topik, terutama menyangkut tema-tema al-Qur’an, logika, bahasa arab,
dan sastra. Sebagian besar karya tersebut telah lapuk dalam manuskrip-manuskrip
yang masih disimpan di berbagai perpustakaan, atau bahkan hilang dari
dokumentasi perpustakaan.53 Sebagian informasi yang bisa diketahui mengenai
kehidupannya telah diteliti dan dipublikasikan oleh Muṣṭafā Zayd dalam karyanya
“al-Maṣlaḥah fī al-Ṭūfī al-Islām wa Najm al-Dīn al-Ṭūfī.54 Berbekal berbagai
ilmu pengetahuan yang ia kuasai, al-Ṭūfī berupaya untuk mengembangkan
pemikirannya dan mengajak para ulama di zamannya untuk berpegang teguh pada
al-Qur’an dan Sunnah secara langsung dalam mencari kebenaran, tanpa terikat
kepada pendapat orang lain atau madzhab fikih manapun. Ajakannya ini
dituangkan dalam kitabnya, al-Akbār fī Qawāˋid al-Tafsīr, kitab yang membahas
kaidah-kaidah tafsir.55
51
Muṣṭafā Zayd, Al-Maṣlaḥah, hlm. 6. 52
Haroen, Ushul Fiqh, hlm. 24. 53
Harun, “Pemikiran Najmuddin ath-Thufi tentang Konsep Maslahah Sebagai teori Istinbath
Hukum Islam”, dalam Ishraqi, Vol. V, No. 1, Januari-Juni 2009, hlm. 27. Muṣṭafā Zayd, Al-Maṣlaḥah, hlm. 63-91. 54
55
Haroen, Ushul Fiqh, hlm. 125. 42
Dalam rangka kebebasan berpikir untuk mencari kebenaran tersebut, al-Ṭūfī
tidak saja mempelajari berbagai kitab dalam Mazhab Sunnī, tetapi juga banyak
mempelajari literatur-literatur Syīˋah di zamannya. Ketika itu dikotomi SunnīSyīˋah sangat kuat, tetapi al-Ṭūfī tidak terpengaruh dengan dikotomi tersebut. AlṬūfī pernah terpengaruh dan menganut Mazhab Syīˋah. Namun demikian, ternyata
dari beberapa karya tulisnya menunjukkan bahwa ia jauh dari pengikut kaum
Syīˋah, karena menolak beberapa pendapat Syīˋah, karena dinilai kaum Syīˋah
sangat berpegang pada hadis-hadis versi mereka sendiri, yang mana propagandapropaganda partai mereka selama masa Abbasiyah sama-sama dinisbatkan kepada
Nabi, termasuk hal-hal yang bertentangan dengan akal pikiran dan prinsip-prinsip
universal al-Qur’an.56 Tetapi, sampai pada akhir hayatnya al-Ṭūfī tetap penganut
Mazhab Ḥanbalī. Namun demikian, pemikiran intelektual al-Ṭūfī yang terbiasa
berpikir bebas tidak pernah terhenti.57 Tampaknya, hal yang penting adalah
kemampuannya untuk membebaskan diri dari pengaruh mazhab-mazhab hukum
tradisional, khususnya dari kritik dan kebencian mereka terhadap akal yang kritis
dan pangabaian terhadap prinsip-prinsip universal al-Qur’an, seperti perlindungan
terhadap kemaslahatan manusia.58 Menurut riwayat, salah satu dari karya-karya alṬūfī yang hilang atau yang mendapat kritikan pedas berjudul Daˋ al-Malam ˋan
Ahl al-Mantiq wa al-Kalām (Bantahan atau Catatan terhadap Pendukung Logika
dan Teologi Sistematis), menegaskan bahwa adalah masuk akal membela prinsipprinsip logika dan teologi rasional, dan membela terhadap kaum Muslim awal
yang telah menegakkannya, khususnya Muˋtazilah.59 Dalam riwayat lain, al-Ṭūfī
Selama tinggal di Mesir, pernah disiksa, diarak dijalan-jalan Kairo. dipenjarakan
dan kemudian dibuang oleh penguasa politik atas permintaan para ahli hukum
56
Muṣṭafā Zayd, Al-Maṣlaḥah, hlm. 32. 57
Haroen, Ushul Fiqh, hlm. 125. 58
Harun, “Pemikiran Najmuddin ath-Thufi, hlm. 27-28. Muṣṭafā Zayd, Al-Maṣlaḥah, hlm. 91. 59
43
tradisional, terutama oleh hakim yang mewakili Mazhab Ḥanbalī di Kairo pada
masa itu, Saˋd al-Dīn al-Ḥāriṡī.60
Konspirasi melawan al-Ṭūfī oleh ulama atau para ahli hukum, tampaknya
terjadi karena penghormatannya terhadap akal dipandang telah menantang
legitimasi, otoritas, kebenaran, atau otentisitas asumsi-asumsi dasar dari mazhab
hukum mereka, khususnya asumsi-asumsi mereka berkaitan dengan Sunnah Nabi.
Karena itu, penindasan-penindasan dan penyiksaan terhadap akal pikiran dan
pembelanya telah terjadi sejak masa al-Mutawakkil (w. 247 H/861 M).61 Anehnya,
pandangan-pandangan al-Ṭūfī yang unik mengenai kemaslahatan manusia yang
menolak sumber-sumber hukum tradisional para cendekiawan dan kesimpulan
mereka karena tidak Islami dan bertentangan dengan akal manusia dan
kemaslahatannya tidak disebutkan oleh para penuduh atau rekan sezamannya
dalam tulisannya perihal kehidupan al-Ṭūfī dan isi pendapat-pendapatnya
(terutama mengenai kemaslahatan manusia) yang berbeda dengan para ahli hukum
yang memusuhi dan menyiksanya tidak dijelaskan atau diriwayatkan. Meskipun ia
dikatakan telah dikenal oleh ahli hukum Mazhab Ḥanbalī sampai akhir abad ke-10
Hijriyah dan ia dipandang sebagai ulama yang terkemuka.62 Di antara ulama
semasa al-Ṭūfī yang menuduh, mengkritik, dan menganiayanya adalah Ibn Rajab,
ahli hukum dan ahli hadis Mazhab Ḥanbalī, yang menuduh al-Ṭūfī sebagai
pembohong tidak bermoral. Dia berkata bahwa yang mengikuti pendapat al-Ṭūfī
dan berbagi pendapat dengannya adalah lebih buruk dari dia.63 Bahkan.
Muḥammad Zāhid al-Kawṡarī menyatakan pendapat al-Ṭūfī mengenai prioritas
hukum terhadap kemaslahatan manusia sebagai atheisme yang terang-terangan dan
60
Ibid., hlm. 30. 61
Harun, “Pemikiran Najmuddin ath-Thufi, hlm. 28. 62
Ibid. Muṣṭafā Zayd, Al-Maṣlaḥah, hlm. 34. 63
44
memusnahkan hukum agama. Hanya ahli hadis kontemporer yang merespon
positif terhadap pandangan al-Ṭūfī, yaitu Muḥammad Syaˋlabī.64
Serangan keras Ibn Rajab terhadap al-Ṭūfī tidak banyak disebutkan dalam
karya tulisnya, meski fakta menyebutkan adanya bukti bahwa ia menyadari
eksistensi dan isinya. Hal ini didasarkan atas dua argument. Pertama, Ibn Rajab
telah mendaftar banyak buku yang dinisbatkan pada al-Ṭūfī, sekitar 30 jumlahnya,
termasuk satu buku yang berisi satu-satunya pendapat yang masih bertahan
mengenai kemaslahatan manusia, yaitu Syarḥ al-Arbaˋīn al-Nawawiyyah. Kedua,
ia telah mengutip satu bagian dari tesis al-Ṭūfī tentang kemaslalahatan manusia,
hanya saja tampaknya ia sengaja menyalahgunakan untuk mendiskreditkan
penulisnya (al-Ṭūfī). Pada akhirnya, teks-teks yang masih bertahan yang memuat
pandangan-pandangan hukumnya mengenai kemaslahatan, dapat diamankan pada
abad ini. Misal, Jamāl al-Dīn al-Qāsimī setelah mengedit pandangan al-Ṭūfī, serta
perselisihan, saling membenci dan menfitnah di antara mazhab-mazhab hukum
yang berbeda yang telah dipublikasikan oleh Rasyid Riḍā di Jurnal Mesir, alManār, 9-10, 1324 H./1906 M. Sebagian perbaikan terhadap bagian-bagian yang
masih ada dipublikasikan oleh Muṣṭafā Zayd dalam karyanya, al-Maṣlaḥah fī alTasyrīˋ al-Islām wa Najm al-Dīn al-Ṭūfī.65 Namun respon kontemporer terhadap
pandangan al-Ṭūfī sangat negatif, karena absolutisme politik dan sektarianisme
tradisional dari masa lampau tampak belum berubah, pandangan akal atau
intlegensia yang obyektif, baik dalam kehidupan politik, hukum, dan sosial masih
belum dipandang sebagai kreteria kebenaran atau standar rujukan, meskipun
aplikasinya selaras dengan prinsip-prinsip al-Qur’an tentang kebenaran universal.
Sebaliknya, perhatian diberikan kepada ketetapan-ketetapan politik atau dari
otoritas tradisional yang memusuhi pencarian manusia akan kebenaran dan
64
Harun, “Pemikiran Najmuddin ath-Thufi, hlm. 28. 65
Harun, “Pemikiran Najmuddin ath-Thufi, hlm. 29. 45
kebebasan ekspresi akal pikirannya.66 Dengan kata lain, penekanan-penekanan
terhadap prinsip-prinsip al-Qur’an yang universal tentang keadilan, kebebasan,
penekanan terhadap akal atau intlegensia objektif sebagai pedoman tindakan dan
persamaan dibidang hukum, yang merupakan esensi-esensi dari kemaslahatan
manusia diabaikan oleh para yuris, ahli-ahli hukum Islam tradisional ketika itu.
Seruan al-Ṭūfī mengenai tujuan Islam adalah perlindungan kemasalahatan
manusia sebagai sumber atau prinsip hukum tertinggi, didorong oleh tekanan
politik, hukum, dan sosial yang ia alami atau praktik-praktik hukum dan politik
saat itu telah melumpuhkan kehidupan umat Muslim.67 Otoritas politik dan hukum
untuk menghukum para pendukung akal pikiran, kebebasan berpikir dalam awal
sejarah Muslim bermula dari pengambilan tindakan keras terhadap kaum Khawārij
dan kaum Muˋtazilah, para pengkritik terhadap hadis palsu yang dimasukkan ke
dalam ajaran-ajaran dan hukum Islam.68 Atmosfir politik, hukum, dan sosial yang
demikian, terjadi ketika penguasa Mamluk menduduki jabatan puncak, sultan,
sebagian besar merupakan akibat dari berlakunya prinsip yang kuat adalah yang
menang. Prinsip ini terus dipraktikkan oleh penguasa-penguasa Muslim Mongol,
ide-ide al-Qur’an tentang keadilan sosial, syūrā, kesamaan di bidang hukum, dan
kebebasan menyatakan pendapat, secara permanen ditolak oleh para ahli-ahli
hukum Islam, yang berakibat para ahli hukum abad ke-9 hijriah (abad 15 M.) yang
menyatakan bahwa syariah bukan instrumen yang terus-menerus beroposisi, yaitu
oposisi terhadap para penguasa dinasti atau militer atau terhadap para gubernur
yang tidak mewakili mereka dan ketetapan-ketetapannya, tetapi seperangkat
aturan-aturan yang tertutup yang diterapkan pada masyarakat tanpa kaitan praktis
dengan kehidupan orang-orang yang berkuasa. Inilah yang kemudian menjadi
rumusan final para ahli hukum mengenai makna tertutupnya “pintu ijtihad” dan
66
Ibid. 67
Ibid. 68
Ibid. 46
penerapan “doktrin taqlid”. Akibatnya, para penguasa dan para pejabat pemerintah
lainnya bukanlah para pelayan masyarakat, tetapi para tuan yang harus dilayani,
ditakuti atau disogok, dirangkai dengan sikap tidak toleran mereka terhadap semua
bentuk oposisi, tanpa peduli pada nilainya atau kontribusinya bagi kemanusian
yang lebih baik. Dalam suasana kondisi politik, hukum, dan sosial semacam ini,
al-Ṭūfī menyerukan perlindungan terhadap kemaslahatan manusia sebagai tujuan
hukum yang tertinggi.69
F. Pandangan Najm al-Dīn al-Ṭūfī Terhadap Konsep Maṣlaḥah
Pandangan al-Ṭūfī tentang maṣlaḥah berasal dari komentarnya (syarḥ) atas
hadis nomor 32 dari kitab al-Arbaˋīn al-Nawawiyyah. Hadis tersebut berbunyi, “la
ḍarara wa lā ḍirara (tidak memudaratkan diri sendiri dan tidak memudaratkan
orang lain)”. Hadis tersebut memiliki pengertian bahwa menetapkan maṣlaḥah
dan menafikan (meniadakan) mudarat. Sebab, mudarat adalah kerusakan. Jika
dilarang oleh syariah, maṣlaḥah haruslah dipertahankan karena keduanya
merupakan dua hal yang bertentangan bagai air dan minyak.70
Menurut al-Ṭūfī, dalil-dalil syaraˋ itu terdiri dari sembilan belas macam,
yaitu: (1) al-Kitāb, (2) sunnah, (3) ijmāˋ al-ummah, (4) ijmāˋ ahl al-madīnah, (5)
al-qiyās, (6) perkataan sahabat Rasul, (7) maṣālih al-mursalah, (8) al-istiṣḥāb,
(9) al-bara’ah al-aṣliyyah, (10) al-ˋawā’id, (11) istiqrā’, (12) saż al-żarāˋī, (13)
istidlāl, (14) istiḥsān, (15) al-akhż bi al-akhaff (mengambil yang lebih ringan),
(16) al-ˋismāḥ, (17) ijmāˋ ahl al-kūfah, (18) ijmāˋ ahl al-uṡrah (keluarga Nabi),
(19) ijmāˋ al-khulafā’ al-rāsyidūn.71 Dari sembilan belas dalil tersebut, dalil
terkuat adalah naṣ dan ijmāˋ. Keduanya ini terkadang selaras dan terkadang
69
Ibid., hlm. 30. Aḥmad bin ˋAbd al-Rāḥim al-Sāyiḥ, Risālah fī Riˋāyah al-Maṣlaḥah li al-Imām al-Ṭūfī
(Mesir: Dār al-Miṣriyah li al-Banāniyah, 1993), hlm. 23. 70
71
Ibid., hlm. 13-18. 47
bertentangan dengan kemaslahatan. Jika selaras dengan kemaslahatan, tidak perlu
dipertentangkan lagi. Hal ini karena telah adanya kesepakatan tiga dalil sekaligus
bagi suatu hukum, yakni naṣ, ijmāˋ dan maṣlaḥah, yang diambil dari pengertian
sabda Rasulullah saw., lā ḍarara wa lā dirāra. Jika antara keduanya bertentangan,
yang harus didahulukan adalah penggunaan maṣlaḥah daripada naṣ dan ijmāˋ.
Caranya mengadakan taḥṣīṣ atau tabyīn terhadap pengertian naṣ dan ijmāˋ, bukan
membekukan berlakunya
salah satu dari keduanya. Sama halnya dengan
penjelasan Sunnah terhadap ayat al-Qur’an, kemudian mengamalkan pengertian
Sunnah.72 Ringkasnya, naṣ dan ijmāˋ itu terkadang tidak mengandung segi
maḍarah dan mafsadah, atau memang mengandung maḍarah. Jika tidak
mengandung maḍarah sama sekali, berarti keduanya sama dengan maṣlaḥah.
Akan tetapi, jika mengandung maḍarah, terkadang maḍarah itu bersifat
menyeluruh atau sebagian. Jika maḍarah yang ada itu bersifat keseluruhan, hal itu
termasuk pengecualian dari hadis Rasulullah saw.73
Dalam pandangan al-Ṭūfī bahasan lafal maṣlaḥah berdasarkan wazan
mafˋalatun dari bentuk kata kerja lampau ṣalaḥa. Artinya, sesuatu dibuat
sedemikian rupa sesuai dengan kegunaannya. Sedangkan definisi maṣlaḥah adalah
sarana yang menyebabkan adanya maṣlaḥah dan manfaat. Pengertian berdasarkan
syariah adalah sesuatu yang menjadi penyebab untuk sampai kepada maksud
Syāriˋ, baik berupa ibadat maupun adat. Kemudian, maṣlaḥah ini terbagi menjadi
dua bagian, yaitu perbuatan yang memang merupakan kehendak Syāriˋ, yakni
ibadat dan apa yang dimaksudkan untuk kemanfaatan semua umat manusia dan
tatanan kehidupan, seperti adat-istiadat.74
Al-Ṭūfī menganggap bahwa maṣlaḥah hanya ada pada masalah-masalah
yang berkaitan dengan muˋamalah dan yang sejenis, bukan pada masalah-masalah
72
Ibid, hlm. 23-24. 73
Ibid, hlm. 24. 74
Ibid, hlm. 25. 48
yang berhubungan dengan ibadat atau yang serupa. Sebab, masalah ibadat
merupakan hak preogratif Syāriˋ. Tidak mungkin seseorang mengetahui hakikat
yang terkandung di dalam ibadat, baik kualitas maupun kuantitas, waktu atau
tempat, kecuali hanya berdasarkan petujuk resmi Syāriˋ. Kewajiban hamba
hanyalah menjalankan apa saja yang telah diperintahkan oleh Tuhannya. Sebab,
seseorang pembantu tidak akan dikatakan sebagai seorang yang taat jika tidak
menjalankan perintah yang telah diucapkan oleh tuannya, atau mengerjakan apa
saja yang sudah menjadi tugasnya. Demikian halnya dalam masalah ibadat.
Karenanya, ketika para filosof telah mulai mempertuhankan akal, dan mulai
menolak syariah, Allah swt. amat murka terhadap mereka. Mereka tersesat jauh
dari kebenaran. Bahkan mereka sangat menyesatkan. Berbeda halnya dengan
kaum mukallaf, hak-hak mereka di dalam memutuskan hukum adalah perpaduan
antara siyasah dan syariah yang sengaja oleh pencipta dicanangkan untuk
maṣlaḥah umat manusia. Itulah yang menjadi ukuran berpikir mereka.75
Kami
tidak
mengatakan
bahwa
syariah
lebih
mengetahui
maṣlaḥah-maṣlaḥah manusia karena dalil-dalilnya harus diambil dan
diamalkan sesuai dengan pengertiannya. Kami menetapkan bahwa maṣlaḥah
adalah termasuk salah satu dalil syariah, bahkan boleh dikatakan sebagai
dalil terkuat dan teristimewa. Karenanya, kami lebih mendahulukan
maṣlaḥah.76
Berdasarkan ungkapan tersebut, bagi al-Ṭūfī maṣlaḥah-maṣlaḥah yang tidak dapat
diketahui adalah maṣlaḥah yang terkandung di dalam ibadat. Namun, mengenai
maṣlaḥah yang bertalian dengan kehidupan sosial kaum mukallaf dan hak-hak
mereka, hal ini dapat diketahui oleh mereka melalui akal pikiran mereka. Dengan
kata lain, jika tidak melihat dalil syariah yang tidak menyebutkan maṣlaḥah-nya,
ia berpegang bahwa syariah telah membolehkan untuk mencari maṣlaḥah sendiri.
75
Ibid, hlm. 47. 76
Ibid. 49
Pandangan al-Ṭūfī tentang maṣlaḥah nampaknya bertitik tolak dari konsep
maqāṣid al-tasyrīˋ (al-syarīˋah) yang menegaskan bahwa hukum Islam
disyariahkan untuk mewujudkan dan memelihara maṣlaḥah umat manusia.
Konsep ini telah diakui oleh para ulama dan oleh karena itu mereka
memformulasikan suatu kaidah yang cukup populer, "Di mana ada maṣlaḥah, di
sana terdapat hukum Allah."77 Signifikansi ini membuat para pakar teori hukum
menjadikan maqāṣid al-syarīˋah sebagai salah satu kriteria (di samping kriteria
lainnya) bagi mujtahid yang melakukan ijtihad. Adapun inti dari konsep maqāṣid
al-syarīˋah adalah untuk mewujudkan kebaikan sekaligus menghindarkan
keburukan atau menarik manfaat dan menolak mudarat, istilah yang sepadan
dengan inti dari maqāṣid al-syarīˋah tersebut adalah maṣlaḥah, karena penetapan
hukum dalam Islam harus bermuara kepada maṣlaḥah.
Imam al-Ḥaramain al-Juwainī dapat dikatakan sebagai ahli teori pertama
yang menekankan pentingnya memahami maqāṣid al-syarīˋah dalam menetapkan
hukum Islam. Ia secara tegas mengatakan bahwa seseorang tidak dapat dikatakan
mampu menetapkan hukum dalam Islam, sebelum ia memahami benar tujuan
Allah mengeluarkan perintah-perintah dan larangan-larangan-Nya.78 Al-Juwainī
kemudian mengelaborasi
lebih jauh maqāṣid al-syarīˋah itu ke dalam
hubungannya dengan ˋillah-aṣl, yang dibedakan menjadi lima bagian, yaitu: aṣl
yang masuk kategori ḍarūriyyah (primer), al-ḥājah al-ˋāmmah (sekunder),
makramah (tersier), dan
sesuatu yang tidak masuk kelompok ḍarūriyyah,
ḥājiyyah, taḥsīniyyah.79 Dengan demikian, pada prinsipnya al-Juwainī membagi
aṣl atau tujuan tasyrīˋ itu menjadi tiga macam, yaitu ḍarūriyyah, ḥājiyyah,
taḥsīniyyah.
77
Ramaḍān al-Būṭī, Dawābiṭ al-Maṣlaḥah, hlm.12. ˋAbd al-Mālik ibn Yūsuf Abū al-Maˋālī al-Juwainī, Al-Burhān fī Uṣūl al-Fiqh (Kairo: Dār
al-Anṣār, 1400 H.), juz I, hlm. 295. 78
79
Ibid., hlm. 923-930. 50
Pemikiran al-Juwainī tersebut dikembangkan oleh muridnya, al-Gazalī.
Al-Gazalī menjelaskan maqāṣid al-syarīˋah dalam kaitannya dengan pembahasan
al-munāsabah al-maṣlāḥiyah dalam qiyās80 yang dalam pembahasannya yang
lain, dan ia menerangkan dalam tema istiṣlāh.81 Maṣlaḥah bagi al-Gazalī adalah
memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.82 Kelima macam maṣlaḥah di
atas bagi al-Gazalī berada pada skala prioritas dan urutan yang berbeda jika dilihat
dari sisi tujuannya, yaitu peringkat primer, sekunder, dan tersier.83 Dari keterangan
ini jelaslah bahwa teori maqāṣid al-syarīˋah sudah mulai tampak bentuknya.
Pemikir dan teoretisi hukum Islam berikutnya yang secara khusus membahas
maqāṣid al-syarīˋah adalah ˋIzzuddīn ibn ˋAbd al-Salām dari kalangan
Syāfiˋiyyah. Ia lebih banyak menekankan dan mengelaborasi konsep maṣlaḥah
secara hakiki dalam bentuk menolak mafsadat dan menarik manfaat.84 Menurutnya, maṣlaḥah keduniaan tidak dapat dilepaskan dari tiga tingkat urutan skala
prioritas, yaitu: ḍarūriyyah, ḥājiyah, dan takmīlah atau tatimmah.85 Lebih jauh
lagi, ia menjelaskan bahwa taklīf harus bermuara pada terwujudnya maṣlaḥah
manusia, baik di dunia maupun di akhirat.86 Berdasarkan penjelasan ini, dapat
dikatakan bahwa ˋIzzuddīn ibn ˋAbd al-Salām telah berusaha mengembangkan
konsep maṣlaḥah yang merupakan inti pembahasan dari maqāṣid al-syarīˋah.
Pembahasan tentang maqāṣid al-syarīˋah secara khusus, sistematis, dan jelas
dilakukan
oleh
al-Syāṭibī
dari
kalangan
Mālikiyyah.
Dalam
karyanya
80
Abū Ḥāmid al-Gazalī, Syifā’ al-Gazalī fī Bayān al-Syibh wa al-Mukhil wa Masālik al-Taˋlīl
(Bagdad: Maṭbaˋah al-Irsyād, 1971), hlm. 159. Al-Gazalī, Al-Mustaṣfā, hlm. 250. 81
82
Ibid., hlm. 251. 83
Ibid. ˋIzzuddīn ibn ˋAbd al-Salām, Qawāˋid al-Aḥkām fī Maṣāliḥ al-Anˋām (Kairo: al-Istiqāmah,
t.t.), juz I, hlm. 9. 84
85
Ibid., hlm. 60 dan 62. 86
Ibid. 51
al-Muwāfaqāt, ia menghabiskan lebih kurang sepertiga pembahasannya mengenai
maqāṣid al-syarīˋah. Sudah tentu, pembahasan tentang maslahat pun menjadi
bagian yang sangat penting dalam tulisannya. Ia secara tegas mengatakan bahwa
tujuan utama Allah menetapkan hukum-hukum-Nya adalah untuk terwujudnya
maṣlaḥah hidup manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Karena itu, taklīf
dalam bidang hukum harus mengarah pada dan merealisasikan terwujudnya tujuan
hukum tersebut.87 Seperti halnya ulama sebelumnya, ia juga membagi urutan dan
skala prioritas maṣlaḥah menjadi tiga urutan peringkat, yaitu ḍarūriyyah,
ḥājiyyah, dan taḥsīniyyah.88 Yang dimaksud maṣlaḥah menurutnya seperti halnya
konsep al-Gazalī, yaitu memelihara lima hal pokok, yaitu: agama, jiwa, akal,
keturunan dan harta.89
Konsep maqāṣid al-syarīˋah atau maṣlaḥah
yang dikembangkan oleh
al-Syāṭibī di atas sebenarnya telah melampaui pembahasan ulama abad-abad
sebelumnya. Konsep maṣlaḥah al-Syāṭibī tersebut melingkupi seluruh bagian
syariah dan bukan hanya aspek yang tidak diatur oleh naṣ. Sesuai dengan
pernyataan al-Gazalī, al-Syāṭibī merangkum bahwa tujuan Allah menurunkan
syariah adalah untuk mewujudkan maṣlaḥah. Meskipun begitu, pemikiran
maṣlaḥah al-Syāṭibī ini tidak seberani gagasan al-Ṭūfī.90
Pandangan al-Ṭūfī mewakili pandangan yang radikal dan liberal tentang
maṣlaḥah.91 Al-Ṭūfī berpendapat bahwa prinsip maṣlaḥah dapat membatasi
(takhṣīṣ) al-Qur’an, sunnah, dan ijmāˋ jika penerapan naṣ ketiganya itu akan
menyusahkan manusia.92 Al-Ṭūfī membangun pemikirannya tentang maslahat
87
Al-Syāṭibī, Al-Muwāfaqāt, hlm. 4. 88
Ibid. 89
Ibid, hlm. 5. 90
Nur A. Fadhil Lubis, Hukum Islam dalam Kerangka Teori Fikih dan Tata Hukum Indonesia
(Medan: Pustaka Widyasarana, 1995), hlm. 34-35. 91
Ibid. Al-Ṭūfī, Syarḥ al-Arbaˋīn, hlm. 46. 92
52
tersebut berdasarkan atas empat prinsip, yaitu: (a) akal bebas menentukan
maṣlaḥah dan ke-mafsadat-an, (b) maṣlaḥah merupakan petunjuk syarˋī mandiri
yang ke-ḥujjah-annya tidak tergantung pada konfirmasi teks, (c) maṣlaḥah hanya
berlaku dalam persoalan sosial, dan (d) maṣlaḥah merupakan petunjuk syarˋī
yang paling kuat.93
Sejak awal syariah Islam sebenarnya tidak memiliki tujuan lain kecuali
kemaslahatan manusia. Ungkapan standar bahwa syariah Islam dicanangkan demi
kebahagiaan manusia, lahir-batin; duniawi-ukhrawi, sepenuhnya mencerminkan
maṣlaḥah. Akan tetapi keterikatan yang berlebihan terhadap naṣ, seperti
dipromosikan oleh faham ortodoksi, telah membuat prinsip maṣlaḥah hanya
sebagai jargon kosong, dan syariah-yang pada mulanya adalah jalan-telah menjadi
jalan bagi dirinya sendiri.94
Sesungguhnya pendirian yang mengatakan bahwa hukum Islam, atau syariah
Islam, harus bersumber pada al-Qur’an dan hadis tidak salah. Tetapi pernyataan
tergantung pada apa yang dimaksud dengan al-Qur’an dan hadis Nabi itu. Jika
yang dimaksud dengan al-Qur’an dan hadis sebagai sumber hukum adalah
ayat-ayat al-Qur’an dan hadis-hadis Nabi yang—secara langsung atau tidak—
mengemukakan perihal sistem keyakinan dan sistem nilai (seperti nilai keadilan,
persamaan manusia di depan hukum, persaudaraan, dan sebagainya), pernyataan
itu benar. Akan tetapi, jika yang dimaksud sebagai dasar hukum Islam adalah
ayat-ayat al-Qur’an atau hadis Nabi yang pada dasarnya ia sendiri merupakan ayat
dan hadis hukum, pernyataan tersebut memang tidak tepat.
Hukum haruslah didasarkan pada sesuatu yang harus tidak disebut hukum,
tetapi lebih mendasar dari hukum. Yaitu sebuah sistem nilai yang dengan sadar
dianut sebagai keyakinan yang harus diperjuangkan: maṣlaḥah, keadilan. Proses
93
Muṣṭafā Zayd, Al-Maṣlaḥah, hlm. 127-132 dan Ḥusain Ḥāmid Ḥasan, Naẓariah al-Maṣlaḥah
fī al-Fiqh al-Islāmī, (Kairo: Dār al-Nahḍah al-ˋArabiyyah, 1971), hlm. 529. 94
Masdar F. Mas’udi, “Meletakkan Kembali Maslahat Sebagai Acuan Syari’ah”, dalam Jurnal
Ilmu dan Kebudayaan Ulumul Qur’an, No. 3, Vol. VI, Tahun 1995, hlm. 94. 53
pendasaran hukum atas hukum hanya bisa dimengerti dalam konteks formal,
misalnya melalui cara qiyās. Akan tetapi, seperti diketahui, qiyās haruslah dengan
ˋillah, sesuatu yang lebih merupakan patokan hukum, bukan hukum itu sendiri.
Dalam bahasa kalam, itulah yang disebut dengan “dawr”, yang seharusnya tidak
boleh terjadi. Akan tetapi itulah struktur pemikiran hukum Islam selama ini. Oleh
sebab itu, tidak mengherankan apabila dunia pemikiran hukum Islam ditandai oleh
ciri dan watak yang sangat patut dipertanyakan.95 Tidak mengherankan apabila
wajah fikih selama ini tampak menjadi dingin, suatu wajah fikih yang secara
keseluruhan kurang menunjukkan pemihakan (engagement) terhadap kepentingan
masyarakat manusia.96
Dengan demikian, jelas bahwa yang fundamental dari bangunan pemikiran
hukum Islam adalah maṣlaḥah, maṣlaḥah manusia universal, atau- dalam
ungkapan yang lebih operasional—“keadilan sosial”. Tawaran teoritik (ijtihādī)
apa pun dan bagaimana pun, baik didukung dengan naṣ atau pun tidak, yang bisa
menjamin terwujudnya maṣlaḥah kemanusiaan, dalam kacamata Islam adalah sah,
dan umat Islam terikat untuk mengambilnya dan merealisasikannya. Sebaliknya,
tawaran teoritik apa pun dan yang bagaimana pun, yang secara meyakinkan tidak
mendukung terjaminnya maṣlaḥah, lebih lebih yang membuka kemungkinan
terjadinya kemudaratan, dalam kacamata Islam, adalah fāsid, dan umat Islam
secara orang perorang atau bersama-sama terikat untuk mencegahnya.97 Dengan
paradigma di atas, kaidah yang selama ini dipegang oleh dunia fikih yang
berbunyi, “Apabila suatu hadis teks ajaran telah dibuktikan kesahihannya, itulah
mazhabku”, secara meyakinkan perlu ditinjau kembali. Kaidah inilah yang secara
sistematis telah menggerakkan dunia pemikiran, khususnya pemikiran hukum,
dalam Islam lebih mengutamakan bunyi harfiyah naṣ daripada kandungan substan 95
Ibid, hlm. 94-95. 96
Ibid, hlm. 96. 97
Ibid, hlm. 97. 54
sialnya. Atau, dalam dunia pemikiran fikih, lebih mengutamakan—atau bahkan
hanya memperhatikan—bunyi ketentuan legal-formal, daripada tuntutan maṣlaḥah
(keadilan), yang notabene merupakan jiwanya. Sebagai gantinya, kita perlu
menegakkan kaidah yang berbunyi, “Jika tuntutan maṣlaḥah, keadilan telah
menjadi sah, melalui kesepakatan dalam musyawarah, itulah mazhabku.98
Dengan tawaran kaidah yang lebih menekankan pada substansi, yaitu
maṣlaḥah -keadilan, bukan berarti segi formal dan tekstual dari ketentuan hukum
harus diabaikan. Ketentuan legal-formal-tekstual yang sah, bagaimana pun, harus
menjadi acuan tingkah laku manusia dalam kehidupan bersama, kalau tidak ingin
menjadi anarki. Akan tetapi, pada saat yang sama, haruslah disadari
sedalam-dalamnya bahwa patokan legal-formal dan tekstual hanyalah merupakan
cara bagaimana cita maṣlaḥah, keadilan, itu diaktualisasikan dalam kehidupan
nyata. Ini berarti bahwa ketentuan formal-tekstual, yang bagaimana pun dan
datang dari sumber apa pun, haruslah selalu terbuka dan atau diyakini terbuka
untuk, kalau perlu, diubah atau diperbarui sesuai dengan tuntutan maṣlaḥah, cita
keadilan.
Apabila jalan pikiran di atas disepakati, secara mendasar kita pun perlu
meninjau kembali pemahaman kita terhadap konsep ushul fiqh tentang apa yang
disebut qaṭˋī (yang pasti dan tidak bisa diubah-ubah oleh ijtihad) dan ẓannī (yang
tidak/kurang pasti dan bisa diubah-ubah oleh ijtihad) dalam hukum Islam. Fikih
selama ini mengatakan bahwa yang qaṭˋī adalah apa-apa (hukum-hukum) yang
secara ṣarīḥ ditunjuk oleh naṣ al-Qur’an/hadis Nabi. Sedangkan yang ẓannī
adalah apa-apa (hukum) yang petunjuk naṣ-nya kurang/tidak ṣarīḥ, ambigu dan
mengandung pengertian yang bisa berbeda-beda.99 Sesungguhnya, yang qaṭˋī
dalam hukum Islam—sesuai dengan makna harfiyahnya, sebagai sesuatu yang
bersifat pasti, tidak berubah-ubah dan karena itu bersifat fundamental—adalah
98
Ibid. 99
Ibid. 55
nilai maṣlaḥah atau keadilan itu sendiri, yang nota bene merupakan jiwanya
hukum. Sedang yang masuk kategori ẓannī (tidak pasti dan bisa diubah-ubah)
adalah seluruh ketentuan batang tubuh atau teks, ketentuan normatif, yang
dimaksudkan sebagai upaya yang menerjemahkan yang qaṭˋī (nilai maṣlaḥah atau
keadilan) dalam kehidupan nyata. Sehingga, kalau dikatakan bahwa ijtihad tidak
bisa terjadi untuk daerah qaṭˋī, dan hanya bisa dilakukan untuk hal-hal yang ẓannī,
itu memang benar adanya. Cita “maṣlaḥah dan keadilan” sebagai hal yang qaṭˋī
dalam hukum Islam, memang tidak bisa—bahkan juga tidak perlu—untuk
dilakukan ijtihad guna menentukan kedudukan hukumnya, apakah wajib, mubah
atau bagaimana.
Yang harus diijtihadi dengan seluruh kemampuan mujtahid adalah hal-hal
yang ẓannī, yang tidak pasti, yang memang harus diperbarui terus-menerus sesuai
dengan tuntutan ruang dan waktu yang juga terus bergerak. Yakni, pertama,
definisi tentang maṣlaḥah, keadilan, dalam konteks ruang dan waktu nisbī di mana
kita berada; kedua, kerangka normatif yang memadai sebagai pengejawantahan
dari cita maṣlaḥah-keadilan dalam konteks ruang dan waktu tertentu; dan ketiga,
kerangka kelembagaan yang memadai bagi sarana aktualisasi norma-norma
maṣlaḥah-keadilan, seperti dimaksud pada poin pertama dan kedua, dalam realitas
sosial yang bersangkutan.
BAB III
PENGATURAN ABORSI BAGI KORBAN PERKOSAAN
A. Pengaturan Aborsi bagi Korban Perkosaan di Indonesia Sebelum Tahun
2009
1. Pengaturan Praktik Aborsi dalam KUHP
Di Indonesia, aborsi diatur dalam beberapa peraturan perundangundangan yang terpisah. Di antaranya diatur dalam KUHP dan Undang-Undang
(UU) No. 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan. Kemudian pada tahun 2009, UU
No. 23 Tahun 1992 diamandemen dengan UU No. 36 Tahun 2009. Dalam
KUHP dijelaskan bahwa segala macam aborsi dilarang—dengan tanpa
pengecualian—sebagaimana yang diatur dalam Pasal 283, 299, 346, 347, 348,
349, dan 340 sebagai berikut:1
Pasal 283 ayat (1):
Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau denda
paling banyak enam ratus rupiah, barang siapa menawarkan, memberikan
untuk terus maupun untuk sementara waktu, menyerahkan atau
memperlihatkan tulisan, gambaran atau benda yang melanggar
kesusilaan, maupun alat untuk mencegah atau menggugurkan hamil,
kepada seorang yang belum cukup umur, dan yang diketahui atau
sepatutnya harus diduga, bahwa umurnya belum tujuh belas tahun, jika isi
tulisan, gambaran, benda atau alat itu telah diketahuinya.
Pasal 299:
(1) Barang siapa dengan sengaja mengobati seorang wanita atau
menyuruh seorang wanita supaya diobati dengan memberitahu atau
menerbitkan pengharapan bahwa oleh karena pengobatan itu dapat
gugur kandungannya, dipidana dengan pidana penjara selamalamanya empat tahun atau denda sebanyak-banyaknya empat puluh
lima ribu rupiah.
1
Moeljatno, KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) (Jakarta: Bumi Aksara, 2007), hlm.
124. 56
(2) Kalau yang bersalah berbuat karena mencari keuntungan, atau
melakukan kejahatan itu sebagai mata pencaharian atau kebiasaan
atau kalau ia seorang dokter, bidan atau juru obat, pidana dapat dapat
ditambah sepertiganya.
(3) Kalau yang bersalah melakukan kejahatan itu dalam pekerjaannya,
maka dapat dicabut haknya melakukan pekerjaan itu.
Pasal 346:
Wanita yang dengan sengaja menyebabkan gugur atau mati
kandungannya, atau menyuruh orang lain menyebabkan itu dipidana
penjara selama-lamanya empat tahun.
Pasal 347:
(1) Barang siapa dengan sengaja menyebabkan gugur atau mati
kandungan seorang wanita tidak dengan izin wanita itu, dipidana
dengan pidana penjara selama-lamanya dua belas tahun.
(2) Jika perbuatan itu berakibat wanita itu mati, ia dipidana dengan
pidana penjara selama-lamanya lima belas tahun.
Pasal 348:
(1) Barang siapa dengan sengaja menyebabkan gugur atau mati
kandungan seorang wanita dengan izin wanita itu, dipidana dengan
pidana penjara selama-lamanya lima tahun enam bulan.
(2) Jika perbuatan itu berakibat wanita itu mati, ia dipidana dengan
pidana penjara selama-lamanya tujuh tahun.
Pasal 349:
Bila seorang dokter, bidan atau juru obat membantu kejahatan tersebut
dalam pasal 346, atau bersalah melakukan atau membantu salah satu
kejahatan diterangkan dalam pasal 347 dan 348, maka pidana yang
ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah sepertiganya dan dapat dicabut
haknya melakukan pekerjaannya yang dipergunakan untuk menjalankan
kejahatan itu.
Pasal 350:
Dalam pemidanaan karena pembunuhan, karena pembunuhan dengan
rencana, atau karena salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal
344, 347, 348, dapat dijatuhkan pencabutan hak tersebut pasal 35 no. 1-5.
Pasal 335:
Barang siap secara terang-terangan mempertunjukkan sesuatu sarana
untuk menggugurkan kandungan, maupun secara terang-terangan atau
tanpa diminta menawarkan, ataupun secara terang-terangan atau dengan
57
menyiarkan tulisan tanpa diminta, menunjuk sebagai bisa didapat, sarana
atau perantaraan yang demikian itu, diancam dengan kurungan paling
lama tiga bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah.
Secara singkat dapat dijelaskan bahwa yang dapat dihukum, menurut
KUHP dalam kasus aborsi ini adalah:2
a) Pelaksanaan aborsi, yakni tenaga medis atau dukun atau orang lain
dengan hukuman maksimal 4 tahun ditambah sepertiganya dan bisa
juga dicabut hak untuk berpraktik.
b) Wanita
yang
menggugurkan
kandungannya,
dengan
hukuman
maksimal 4 tahun.
c) Orang-orang yang terlibat secara langsung dan menjadi penyebab
terjadinya aborsi itu dihukum dengan hukuman yang bervariasi.
Larangan pelaksanaan aborsi dalam KUHP—yang berasal dari Wet boek van
strafrecht (WvS) tahun 1918, ditujukan bagi tabib, dukun beranak atau tukang
obat yang melakukan aborsi tanpa dibekali keterampilan dan teknik yang
terpercaya, sehingga mengancam keselamatan jiwa ibu.3 Sementara KUHP di
Belanda sendiri sudah lama direvisi, sedangkan di Indonesia masih menjadi
kitab hukum pidana. Pertanyaannya, apakah masih relevan pengaturan yang ada
dalam KUHP, mengingat dunia kedokteran yang sudah mempunyai teknologi
canggih?
Dalam KUHP, berbagai pendapat dikemukakan tentang kelemahan pasalpasal yang mengatur tentang aborsi. Pertama, pasal-pasal tersebut dimasukkan
dalam Bab Penghilangan Nyawa, sedangkan dalam penghentian kehamilan
belum tentu terjadi penghilangan nyawa. Kedua, KUHP tidak melihat alasan
mengapa terjadi pengguguran. Artinya, perempuan tersebut tidak pernah
2
Romli Atmasasmita, dkk., Penelitian Tentang Aspek Hukum Pelaksanaan Aborsi Akibat
Perkosaan (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, 2004), hlm. 33. 3
Anita Rahman, “Hukum dan Hak Kesehatan Reproduksi: Masalah Aborsi”, dalam Sulistyowati
Irianto, Perempuan dan Hukum: Menuju Hukum yang Berprespektif Kesetaraan dan Keadilan
(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006), hlm. 523. 58
ditanya alasan mengapa dia melakukan aborsi. Ketiga, KUHP tidak
mempertimbangkan bahwa teknologi sudah jauh berkembang dibandingkan
pada saat KUHP ini mulai diberlakukan.
Pada prinsipnya, berdasarkan analisis dari Romli dkk., terhadap aturan
KUHP tersebut, dapat diuraikan hal-hal sebagai berikut:4
a. Kejahatan aborsi sering terjadi karena ada dua faktor. Pertama, adanya
seorang wanita yang bersedia untuk digugurkan kandungannya.
Kedua, adanya orang lain yang bersedia membantu pengguguran
kandungan wanita tersebut.
b. Bahwa apabila dianalisis dari pasal 346-349 dapat disimpulkan bahwa
yang menggugurkan kandungan bisa oleh si wanita itu sendiri, bisa
juga oleh orang lain—yang statusnya sebagai orang yang membantu—
pidananya dapat ditambah 1/3 sebagai pemberatan dan haknya untuk
menjalankan praktek bisa dicabut. Di sini nampak adanya unsur
penyimpangan dari pasal 56, jo. 57 KUHP.5
c. Dari rangkaian pasal-pasal tersebut di atas tidak dijelaskan apakah
janin yang digugurkan itu dalam keadaan hidup atau mati. Selain itu
juga pasal-pasal tersebut tidak menyebutkan metode yang dipakai
untuk menggugurkan kandungan.
d. Terdapat hal-hal yang meringankan, apabila pengguguran kandungan
dilakukan atas persetujuan si wanita tersebut.
e. Dalam pasal 356 KUHP, terdapat ketidakadilan di dalam penuntutan,
karena yang selalu dituntut adalah pihak ketiga yang disuruh untuk
menggugurkan kandungannya.
Jika ditelusuri dari pasal-pasal KUHP tersebut, maka pengguguran
tersebut
tidak
mempermasalahkan
cara
melakukannya
dan
tidak
4
Romli Atmasasmita, dkk., Penelitian Tentang Aspek Hukum, hlm. 36-37. 5
Dalam KUHP pasal 56 dan 57, pembantu kejahatan (medeplichtige), dijatuhi hukuman pokok
kejahatan dikurangi 1/3. Lihat, KUHP. 59
mempermasalahkan usia kandungan. Dengan demikian, usia kandungan tidak
menjadi persoalan hukum, apakah berusia satu hari, satu bulan, maupun empat
bulan sama saja. Hal yang menjadi catatan penting adalah janin itu dikeluarkan
secara paksa, namun hal ini tidak berlaku bagi janin yang sudah mati ketika
dalam kandungan.6
Di dalam KUHP sendiri, istilah, aborsi lebih dikenal dengan sebutan
“pengguguran dan pembunuhan kandungan” yang merupakan perbuatan aborsi
yang bersifat kriminal (abortus provokatus criminalis). Istilah kandungan dalam
konteks tindak pidana ini, menunjuk pada pengertian kandungan yang sudah
berbentuk manusia maupun kandungan yang belum berbentuk manusia. Selain
itu, tindak pidana pengguguran dan pembunuhan kandungan sebagaimana yang
diatur dalam KUHP terdiri dari 4 (empat) macam tindak pidana, yaitu:7
a. Tindak pidana pengguguran atau pembunuhan kandungan yang
dilakukan sendiri, yang diatur dalam Pasal 346 KUHP.
b. Tindak pidana pengguguran dan pembunuhan kandungan yang
dilakukan oleh orang lain tanpa persetujuan dari wanita itu sendiri,
yang diatur dalam Pasal 347 KUHP.
c. Tindak pidana pengguguran dan pembunuhan kandungan yang
dilakukan oleh orang lain dengan
persetujuan
wanita
yang
mengandung, yang diatur dalam pasal 348 KUHP.
d. Tindak pidana pengguguran dan pembunuhan kandungan yang
dilakukan oleh orang lain yang mempunyai kualitas tertentu, yaitu
dokter, bidan, atau juru obat baik yang dilakukan atas persetujuan dari
wanita itu atau tidak atas persetujuan dari wanita tersebut, yang diatur
dalam Pasal 349 KUHP.
6
Istibsjaroh, Menimbang Hukum Pornografi, hlm. 70. 7
Tongat, Hukum Pidana Materil Tinjauan atas Tindak Pidana Terhadap Subyek Hukum dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Jakarta: Djambatan, 2003), hlm. 53. 60
Berdasarkan aturan-aturan yang terdapat dalam KUHP terlihat jelas
bahwa tindakan aborsi disini merupakan suatu tindakan yang melanggar hukum
karena perbuatan aborsi yang dilakukan tanpa alasan kesehatan atau alasan
medis yang jelas. Pelaku melakukan perbuatan aborsi karena memang sejak
awal tidak menginginkan keberadaan bayi yang akan dilahirkan, biasanya hal
ini dilakukan karena kehamilan yang terjadi di luar nikah atau karena takut akan
kemiskinan dan tidak mampu membiayai hidup anak tersebut kelak apabila
telah lahir ke dunia. Selain itu, jika melihat pada ketentuan yang terdapat dalam
KUHP, perbuatan aborsi (baik pengguguran maupun pembunuhan kandungan)
harus dapat dipertanggungjawabkan secara pidana oleh wanita hamil yang
melakukan aborsi maupun orang yang membantu proses aborsi tersebut.
Dengan demikian, baik pelaku maupun yang membantu perbuatan aborsi dapat
dikenakan sanksi pidana.8
Dalam praktek, umumnya yang diajukan ke pengadilan adalah pihak yang
membantu melakukan pengguguran kandungan, bukan si pemilik janin. Hal ini
dikarenakan ketidakjelasan identitas mereka, selain itu juga para terdakwa tidak
mau mengungkap identitas perempuan yang digugurkan kandungannya, karena
jika diungkap justru memberatkan hukumannya.9
Pelayanan aborsi sebagai bentuk pelayanan kesehatan reproduksi
perempuan, juga diatur dalam Konferensi Internasional tentang Kependudukan
dan
Pembangunan
(International
Conference
on
Population
and
Development—ICDP), di Kairo, yaitu pada tahun 1994. Dalam konferensi
tersebut, ada 10 program kesehatan reproduksi, salah satunya adalah pelayanan
aborsi—dalam hal ini, pelayanan aborsilah yang masih menjadi perdebatan
8
Lysa Angrayni, “Aborsi dalam Pandangan Islam dan Hukum Positif di Indonesia”, dalam
Jurnal Hukum Islam, Vol. VII, No. 5, Juli 2007, Hlm. 541. 9
Harkistuti Harkrisnowo, “Aborsi ditinjau dari Perspektif Hukum”, Makalah (Jakarta: PPFNU,
2000), hlm. 6-8. 61
hukum.10 Di samping 10 program kesehatan reproduksi tersebut, juga diakui
hak reproduksi perempuan yang dikukuhkan dalam Deklarasi Beijing tahun
1995.11 Tujuan utama dari kedua deklarasi tersebut—Deklarasi ICPD dan
Deklarasi Beijing—adalah untuk mengurangi Angka Kematian Ibu (AKI) dan
kesakitan/kecacatan akibat aborsi.
Dalam himbauan WHO, negara harus memberikan pelayanan aborsi yang
aman (safe abortion). Dengan adanya himbauan ini, berarti Deklarasi ICPD dan
Deklarasi Beijing mengakomodasi hak perempuan untuk menentukan apa yang
terbaik bagi tubuhnya—tidak seperti aturan aborsi yang terdapat dalam KUHP
dan UU No. 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan, yang secara tegas melarang
praktik aborsi.
2. Pengaturan Praktik Aborsi dalam UU No. 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan
Sebelum diamandemen, dalam UU Kesehatan—yakni UU No. 23 Tahun
1992 Tentang Kesehatan—pasal yang mengatur masalah aborsi terdapat pada
Pasal 15. Menurut undang-undang ini, aborsi dapat dilakukan apabila ada
indikasi medis.
Pasal 15 UU No. 23 Tahun 1992:
(1) Dalam keadaan darurat sebagai upaya untuk menyelamatkan jiwa ibu
hamil dan atau janinnya, dapat dilakukan tindakan medis tertentu.
10
Kesepuluh program kesehatan reproduksi tersebut terdiri dari: (a) pelayanan sebelum, semasa
kehamilan dan pascakehamilan; (b) pelayanan kemandulan; (c) pelayanan KB yang optimal; (d)
pelayanan dan penyuluhan HIV/AIDS; (e) pelayanan aborsi; (f) pelayanan dan pemberian Komunikasi,
Informasi, dan Edukasi (KIE) yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi; (g) pelayanan kesehatan
seksual dan reproduksi remaja; (h) tanggung jawab keluarga; (i) peniadaan sunat dan mutilasi anak
perempuan; (j) pelayanan kesehatan lansia. Baca lebih lanjut, Anita Rahman, “Hukum dan Hak
Kesehatan Reproduksi, hlm. 520-521. 11
Hak reproduksi perempuan tersebut meliputi: (a) hak individu untuk menentukan kapan ia
akan mempunyai anak, berapa jumlah anak dan berapa lama jarak kelahiran; (b) hak unyuk mendapat
pelayanan yang berkaitan dengan fungsi reproduksi; (c) hak untuk mendapatkan informasi, komunikasi
dan edukasi yang berkaitan dengan hak tersebut; (d) hak melakukan kegiatan seksual tanpa paksaan,
diskriminasi dan kekerasan. Baca lebih lanjut: Anita Rahman, “Hukum dan Hak Kesehatan Reproduks,
hlm. 521. 62
(2) Tindakan medis tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya
dapat dilakukan:
(a) berdasarkan indikasi media yang mengharuskan diambilnya tindakan
tersebut,
(b) oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan
untuk itu dan dilakukan sesuai dengan tanggung jawab profesi serta
berdasarkan pertimbangan tim ahli,
(c) dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan atau suami atau
keluarganya,
(d) pada sarana kesehatan tertentu.
Berdasarkan pasal di atas, undang-undang ini seakan-akan tampak
memperbolehkan pengguguran kandungan dengan alasan tertentu. Akan tetapi,
dalam penjelasan resmi dari ayat (1) itu dikatakan:
“Tindakan medis dalam bentuk pengguguran kandungan dengan alasan
apapun dilarang karena bertentangan dengan norma hukum, norma
agama, norma kesusilaan, dan norma kesopanan. Namun dalam keadaan
darurat sebagai upaya menyelamatkan jiwa ibu dan atau janin yang
dikandungnya, dapat diambil tindakan medis tertentu”.12
Bagi beberapa orang, “tindakan medis tertentu” diartikan sebagai aborsi.
Akan tetapi, pemerintah dan pengadilan bisa saja menafsirkannya sebagai
tindakan selain aborsi, sebab pada kalimat awal ditegaskan bahwa pengguguran
kandungan atas alasan apapun dilarang. Yang boleh diambil adalah “tindakan
medis tertentu”. Bahkan kalimat terakhir menyebutkan “untuk menyelamatkan
ibu dan atau janin”, yang sudah pasti bukan tindakan aborsi, karena aborsi tidak
pernah menyelamatkan jiwa janin.13 Dengan demikian, dalam uu tersebut terasa
ada keragu-raguan dari si pembuat uu dalam menangani aborsi. Alasan medis
memang dikemukakan dalam konteks menjaga nilai-nilai moral, namun tidak
12
Penjelasan UU No. 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan. 13
Kartono Muhammad, Kontradiksi dalam Kesehatan Reproduksi (Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 1998), hlm, 65-66. 63
jelas apakah aborsi—khususnya aborsi korban perkosaan—termasuk salah satu
tindakan yang diperbolehkan.14
Apabila dicermati, ketentuan Pasal 15 uu tersebut merupakan suatu
rumusan yang ambigu dan bertentangan dengan prinsip pembuatan suatu
undang-undang, yaitu clear, complete, and coherent (jelas, lengkap dan
terpadu). Dari ketentuan Pasal 15 ini terlihat tidak adanya kejelasan,
keserbatercakupan dan keterpaduan antara ketentuan yang satu dengan yang
lainnya. Penggunaan istilah “tindakan medis tertentu” dapat dijadikan
justifikasi bagi para dokter yang melakukan tindakan yang secara materi satu
merupakan tindakan aborsi sehingga ia dapat berlindung dibalik Pasal 15
Undang-Undang Kesehatan. Ketentuan ini sangat membuka peluang semakin
maraknya praktik aborsi yang terjadi akhir-akhir ini.15
Karena ketentuan yang ambigu tadi, seorang dokter atau bidan bisa saja
membantu seorang wanita hamil untuk menggugurkan kandungannya dengan
alasan kesehatan, padahal alasan tersebut tidak masuk akal. Misalnya seorang
wanita yang hamil diluar nikah karena takut kehamilannya diketahui oleh orang
lain atau suatu aib, sehingga harus digugurkan, bisa saja mendatangi klinik
dokter terselubung yang mau melakukan aborsi. Jika dilihat dari ketentuan
Pasal 349 KUHP, perbuatan yang demikian patut diduga dan sangat berindikasi
kuat bahwa hal yang dilakukan tersebut merupakan perbuatan pidana. Namun
karena adanya ambiguitas undang-undang kesehatan yang menghindari
penyebutan aborsi dan hanya menggunakan istilah “tindakan medis tertentu”,
para tenaga medis lebih cenderung berlindung dibalik undang-undang tersebut
dengan mengedepankan azas “lex specialis derogat lex generalis” (aturan
hukum yang lebih khusus dapat mengenyampingkan aturan hukum yang lebih
bersifat umum) agar terbebas dari jerat hukum. Dengan kata lain, apabila
14
Istibsjaroh, Menimbang Hukum Pornografi,hlm. 71. 15
Lysa Angrayni, “Aborsi dalam Pandangan Islam, hlm. 542. 64
seorang tenaga medis membantu perbuatan aborsi dan perbuatannya tersebut
diduga sebagai tindak pidana, maka orang yang mempunyai kualitas tertentu
tadi (dalam hal ini tenaga medis tersebut) dapat saja berlindung dibalik
Undang-Undang Kesehatan dengan mengedepankan prinsip “lex specialis” agar
tidak dikenai sanksi.
Bahwa keadaan darurat yang dimaksud dalam pasal tersebut—dalam hal
ini pasal 15 UU No. 23 Tahun 1992 ayat (1), menurut Yayasan Kesehatan
Perempuan (YKP) dengan Tim Pusat Studi IAIN Syarif Hidayatullah—yang
terdiri dari Ahli Fikih dan Dekan Fakultas Syari’ah—bahwa keadaan darurat
tersebut mencakup fisik maupun psikis. Kondisi psikis di sini, artinya bahwa
perempuan yang hamil tersebut mengalami stres dan depresi karena kehamilan
yang tidak diinginkan.16
Bertolak dari pasal-pasal dalam uu tersebut, pada prinsipnya ada dua jenis
aborsi—yaitu yang bersifat criminalis dan medicalis—yang kemudian oleh
analisis Romli dkk., dapat diuraikan hal-hal sebagai berikut:17
a. Aborsi hanya boleh dilakukan dalam keadaan darurat sebagai cara
untuk menyelamatkan ibu. Jadi, aborsi yang dilakukan karena alasan
lain, jelas-jelas dilarang. Misalnya, alasan karena bayi cacat, incest,
gagal KB, dsb.
b. Indikasi medis tidak secara langsung disebutkan dalam uu tersebut,
akan tetapi tafsir pasal 15 ayat (1) itu kemudian diperluas menjadi
indikasi medis.
c. Indikasi medis tidak sama dengan indikasi kesehatan.
d. Rumusan uu tersebut dirasakan tidak mencukupi untuk menyelesaikan
masalah aborsi dewasa ini.
16
Anita Rahman, “Hukum dan Hak Kesehatan Reproduksi: Masalah Aborsi”, dalam
Sulistyowati Irianto, Perempuan dan Hukum: Menuju Hukum yang Berprespektif Kesetaraan dan
Keadilan (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006), hlm. 526. 17
Romli Atmasasmita, dkk., Penelitian Tentang Aspek Hukum Pelaksanaan Aborsi…, hlm 37-
38. 65
B. Legalitas Praktik Aborsi bagi Korban Perkosaan dalam UU No. 36 Tahun
2009 Tentang Kesehatan
1. Latar Belakang Pembentukan
Dengan dikeluarkannya undang-undang kesehatan yang baru, yaitu UU
No. 36 Tahun 2009, maka secara otomatis undang-undang kesehatan yang
lama, yaitu UU No. 23 Tahun 1992 sudah tidak berlaku lagi. Kemunculannya
ini dilatarbelakangi oleh beberapa hal, salah satunya undang-undang kesehatan
yang lama sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan, tuntutan, dan
kebutuhan hukum dalam masyarakat. Latar belakang ini diungkapkan di dalam
lampiran undang-undang kesehatan yang baru, khususnya pada bagian awal,
yaitu bagian menimbang. Kesemua latar belakang pembentukan UU No. 36
Tahun 2009 tersebut ada enam hal, yang akan diliput sebagai berikut:18
a. bahwa kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur
kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa setiap kegiatan dalam upaya untuk memelihara dan meningkatkan
derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dilaksanakan
berdasarkan prinsip nondiskriminatif, partisipatif, dan berkelanjutan dalam
rangka pembentukan sumber daya manusia Indonesia, serta peningkatan
ketahanan dan daya saing bangsa bagi pembangunan nasional;
c. bahwa setiap hal yang menyebabkan terjadinya gangguan kesehatan pada
masyarakat Indonesia akan menimbulkan kerugian ekonomi yang besar
bagi negara, dan setiap upaya peningkatan derajat kesehatan masyarakat
juga berarti investasi bagi pembangunan negara;
18
Lihat, menimbang dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan. 66
d. bahwa setiap upaya pembangunan harus dilandasi dengan wawasan
kesehatan dalam arti pembangunan nasional harus memperhatikan
kesehatan masyarakat dan merupakan tanggung jawab semua pihak baik
Pemerintah maupun masyarakat;
e. bahwa Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan sudah
tidak sesuai lagi dengan perkembangan, tuntutan, dan kebutuhan hukum
dalam masyarakat sehingga perlu dicabut dan diganti dengan UndangUndang tentang Kesehatan yang baru;
f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a,
huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e perlu membentuk Undang-Undang
tentang Kesehatan.
Dengan disahkannya UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
menggantikan undang-undang kesehatan sebelumnya yaitu UU No. 23 Tahun
1992, maka permasalahan aborsi lebih memperoleh legitimasi dan penegasan.
Secara eksplisit, dalam undang-undang kesehatan yang baru ini terdapat pasal
yang mengatur kebolehan aborsi KTD akibat perkosaan, yakni pasal 75 ayat 2.
Meskipun
demikian,
dalam
praktek,
materi
undang-undang
tersebut
menimbulkan berbagai reaksi dan kontroversi di berbagai lapisan masyarakat.
2. Struktur Materi Hukum
Menurut UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, setiap orang dilarang
melakukan aborsi,19 namun larangan tersebut tidak berlaku jika ada indikasi
kedaruratan medis, seperti kesehatan ibu dan janin terancam, atau kehamilan
dalam kasus perkosaan.20 Persyaratan aborsi ini dilakukan pada usia kehamilan
19
Lihat pasal 72 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan. 20
Lihat pasal 72 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan. 67
maksimal enam minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir,21 termasuk di
dalamnya aborsi dari KTD akibat perkosaan. Sementara itu, jika ada indikasi
kedaruratan medis, maka usia maksimal kehamilan tidak berlaku—dengan kata
lain, pada keadaan ini, aborsi kapanpun dapat dilakukan. Dengan demikian,
pelayanan aborsi legal karena ada indikasi kedaruratan medis dirasa tidak ada
masalah.22 Lain halnnya dengan aborsi kehamilan akibat perkosaan, hal ini
mengingat pemberian aborsi legal hanya diizinkan dalam waktu enam minggu
dihitung dari hari pertama haid terakhir.23 Pemberian izin aborsi dalam waktu
enam minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir, tentu tidak sama dengan
enam minggu usia kehamilam. Hal ini dikarenakan masa subur seorang
perempuan (ovulasi) itu sekitar 6-11 hari setelah haid—masa subur ini
ditentukan oleh siklus haid masing-masing perempuan.24 Jadi, kehamilan akan
terjadi hanya ketika berhubungan intim pada masa subur ini. Dengan demikian,
penggunaan waktu maksimal aborsi enam minggu dihitung dari hari pertama
haid terakhir, sama artinya dengan lima minggu usia kehamilan. Dalam jarak
waktu yang terbatas ini tentu membuat korban perkosaan tidak bisa
mendapatkan aborsi yang aman. Hal ini dikarenakan kemungkinan adanya
ketidaktahuan bahwa mereka telah hamil pada saat itu. Dalam kondisi ini,
korban perkosaan tentu memerlukan waktu yang lebih lama untuk mengakui
dan melaporkan kepada pihak yang berwenang bahwa mereka telah diperkosa,
21
Lihat Pasal 75 poin a Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan. 22
Terkadang aborsi dalam keadaan ini tidak selalu mudah, Hal ini dikarenakan ada sejumlah
persoalan yang menghambat akses pelayanan aborsi, khususnya bagi perempuan dan gadis yang
tinggal di daerah terpencil atau yang memiliki akses terbatas terhadap layanan perawatan kesehatan
yang umumnya terjadi karena faktor jarak dan atau sosial-budaya. Amnesty International, Tak Ada
Pilihan (Rintangan atas Kesehatan Reproduktif di Indonesia) (Inggris: Amnesty International
Publications, 2010), hlm. 8. 23
Lihat Pasal 76 poin a Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan. 24
Telusuri, www.danpacpharma.com . Telusuri juga, www.sensitif.info.com. 68
apalagi ditambah latar belakang yang menstigmakan negatif terhadap seks di
luar nikah.25
Selain itu, dalam UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, untuk
mendapatkan layanan aborsi yang sah terhadap kehamilan yang mengancam
nyawa ibu atau janin, maka undang-undang kesehatan menuntut adanya
persetujuan dari suami.26 Dengan kata lain, seorang perempuan tidak diizinkan
undang-undang kesehatan ini untuk mendapatkan layanan aborsi yang sah di
Indonesia, kecuali jika dia memiliki suami, dan suaminya menyetujui.
Ketetapan yang menyangkut adanya persetujuan suami ini tentu bersifat
diskriminatif. Hal ini membuktikan bahwa ketetapan ini mengabaikan
perempuan dan gadis yang tidak menikah dari pelayanan aborsi aman yang sah.
Dengan demikian, materi UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan ini tidak
sejalan dengan latar belakang pembentukan undang-undang tersebut.27
Mengenai kemunculan undang-undang kesehatan yang baru ini beserta
materinya, berdasarkan penelitian Amnesty International, banyak ketidaktahuan
di antara perempuan dan gadis dari komunitas miskin dan termarginalisasi
mengenai aturan baru yang berkaitan dengan pengecualian diperbolehkannya
aborsi bagi korban perkosaan dalam UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
ini. Selain mereka, ketidaktauan juga ada pada diri para pekerja kesehatan,
25
Amnesty International, Tak Ada Pilihan…, hlm. 9. 26
Lihat, Pasal 76 poin d Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan. 27
Dalam latar belakang pembentukan uu kesehatan ini dinyatakan “bahwa setiap kegiatan
dalam upaya untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggitingginya dilaksanakan berdasarkan prinsip nondiskriminatif, partisipatif, dan berkelanjutan dalam
rangka pembentukan sumber daya manusia Indonesia, serta peningkatan ketahanan dan daya saing
bangsa bagi pembangunan nasional. Lihat menimbang poin b dalam Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Selain bertentangan dengan latar belakang
pembentukan uu ini, Pasal 76 poin d ini juga bertentangan dengan Pasal 2, yang berisi tentang asas dan
tujuan uu kesehatan tersebut, yaitu bahwa “Pembangunan kesehatan diselenggarakan dengan
berasaskan perikemanusiaan, keseimbangan, manfaat, pelindungan, penghormatan terhadap hak dan
kewajiban, keadilan, gender dan nondiskriminatif dan norma-norma agama. Lihat, Pasal 2 UndangUndang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. 69
seperti dokter. Sebagaimana yang diwawancarai oleh Amnesty International
pada bulan Maret 2010, bahwa pekerja kesehatan umumnya hanya mengetahui
adanya satu pengecualian aborsi, yaitu layanan aborsi sah yang berkaitan
dengan kesehatan ibu atau janin. Sementara pengecualian yang berhubungan
dengan layanan aborsi sah untuk korban perkosaan, rata-rata mereka tidak
mengetahui. Selain mereka, ketidaktauan tentang ketentuan baru ini juga ada
pada diri pejabat pemerintah.28 Dengan adanya kenyataan di atas, menunjukkan
kurangnya sosialisasi atas materi UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
3. Kontroversi atas Materi Hukum
Dalam konteks pengaturan aborsi, materi UU No. 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan, khususnya yang mengatur tentang aborsi, menuai kontroversi yang
berkepanjangan. Di satu pihak dianggap memasung kebebasan perempuan, dan
di sisi yang lain juga terdapat sekelompok kecil yang menganggap sebagai
bentuk ketidakhormatan kepada manusia. Di antara dua pandangan tersebut,
tidak sedikit juga masyarakat yang mendukung adanya undang-undang tersebut.
Hal ini mungkin menimbulkan kontroversi, karena cara pandang yang
digunakan oleh masing-masing kelompok berbeda satu sama lain, seperti
agama, feminisme, HAM, dan lain sebagainya.
Dengan menggunakan kacamata feminisme, maka undang-undang
tersebut dianggap memasung kebebasan perempuan. Hal ini dikarenakan untuk
mendapatkan layanan aborsi yang sah terhadap kehamilan yang mengancam
nyawa ibu atau janin, maka uu kesehatan menuntut adanya persetujuan dari
suami.29 Hal ini tentu membuat seorang perempuan tidak mendapatkan
kebebasan atas dirinya. Sementara itu, jika menggunakan kacamata HAM,
maka pelegalan aborsi sebagaimana yang diatur dalam uu tersebut, tentu
28
Amnesty International, Tak Ada Pilihan, hlm. 9. 29
Lihat, Pasal 76 poin d Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan 70
bertentangan dengan Undang-Undang Hak Asasi Manusia Pasal 53, yang
menyatakan bahwa mengenai hak hidup anak dari mulai janin sampai
dilahirkan. Demikian juga, jika menggunakan kacamata agama, maka aborsi
dianggap sebagai bentuk ketidakhormatan kepada manusia. Dalam hal ini
melanggar prinsip maṣlaḥah, yaitu hifẓ al-nafs. Namun, hal tersebut tentu
berbeda dengan kasus aborsi dari KTD akibat perkosaan, sebagaimana yang
diatur dalam uu tersebut. Selain banyak yang menentang, namun ada juga
sebagian masyarakat yang mendukung adanya uu tersebut. Hal ini dikarenakan
undang-undang tersebut memberikan solusi yang tepat bagi perempuan yang
hamil akibat perkosaan. Bertolak dari berbagai cara pandang di atas, maka
terilihat bahwa masih banyak terjadi kontroversi terhadap materi UU No. 36
Tahun 2009 tentang Kesehatan, khususnya tentang pengaturan aborsi KTD
akibat perkosaan.
C. Analisis atas Struktur Materi Hukum Aborsi bagi Korban Perkosaan dalam
UU No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan dengan Tinjauan Maṣlaḥah alṬūfī
Sebagaimana telah terurai pada bab sebelumnya, bahwa ketentuan tentang
hukum aborsi di dalam hukum positif di Indonesia diatur di dalam KUHP (Lex
Generalis) dan Undang-Undang Kesehatan (Lex Spesialis)30—dalam hal ini UU
No. 23 Tahun 1992, kemudian diamandemen dengan UU No. 36 Tahun 2009.
Ketentuan dalam KUHP, aborsi tidak diperbolehkan dengan alasan apapun dan
oleh siapapun juga. Sementara itu, berdasarkan UU No. 23 Tahun 1992 tentang
Kesehatan, aborsi diperbolehkan apabila terdapat indikasi medis dalam keadaan
30
Supriyadi, “Politik Hukum Kesehatan terhadap Pengguguran Kandungan”, Makalah
disampaikan dalam Diskusi Ilmiah tanggal 2 Juli 2002, “Aborsi dari kajian Ilmu Politik Hukum”
(Hukum Kesehatan dan Hukum Pidana), (Yogyakarta: Bagian Hukum Pidana, FH-UAJY, 2001), hlm.
12. 71
darurat dan untuk menyelamatkan jiwa ibu.31 Kemudian dalam UU No. 36 Tahun
2009 tentang Kesehatan, permasalahan aborsi lebih memperoleh legitimasi dan
penegasan, karena terdapat pasal yang mengatur tentang diperbolehkannya aborsi
bagi korban perkosaan.
Mengingat ketentuan dalam KUHP, tindakan aborsi—apapun alasannya—
merupakan suatu tindakan pidana, baik bagi pelaksana aborsi (seperti tenaga
medis, dukun atau orang lain), wanita yang diaborsi, maupun orang yang terlibat
secara langsung terhadap aborsi.32 Dalam pada itu, wawancara Amnesty
International terhadap para pekerja kesehatan, mengisyaratkan bahwa, adanya
ancaman kriminalisasi tersebut memiliki efek penghambat besar bagi profesi
kesehatan dalam memberikan pelayanan.33 Dengan demikian, jika ada ancaman
kriminalisasi—sebagaimana yang tersebut dalam KUHP—mereka akan enggan
melakukan pelayanan aborsi. Sementara itu, berfikir menggunakan logika a
contrario, dengan mendekriminalisasi aborsi di Indonesia, maka pelayanan aborsi
yang aman akan lebih mungkin diakses oleh para perempuan. Para dokter di
Indonesia akan lebih mungkin memberikan pelayanan aborsi dalam kasus di mana
mereka memang dimaksudkan untuk memberikan layanan itu. Bertolak dari fakta
di atas, maka untuk mendapatkan pelayanan aborsi yang aman, seharusnya pekerja
kesehatan jangan ditakut-takuti dengan ancaman pidana, sebagaimana yang
tersebut dalam KUHP. Dengan mengutip ungkapannya Satjipto Rahardjo, bahwa
jika terjadi problematika hukum, maka hukumlah yang harus ditinjau dan
diperbaiki, bukan manusianya yang dipaksa-paksa untuk dimasukan ke dalam
31
Menurut Guttmacer Institute, meskipun bahasa yang digunakan untuk aborsi dalam UU No.
23 Tahun 1992 tentang Kesehatan adalah samar-samar, namun secara umum hukum tersebut
mengizinkan aborsi bila perempuan yang akan melakukan aborsi mempunyai surat dokter yang
mengatakan bahwa, kehamilannya membahayakan kehidupannya, surat dari suami atau anggota
keluarga yang mengizinkan pengguguran kandungan, tes laboratorium yang menyatakan perempuan
tersebut positif dan pernyataan yang menjamin bahwa setelah melakukan aborsi, perempuan tersebut
akan menggunakan kontrasepsi. Lihat, Guttmacer Institute, Aborsi di Indonesia, Seri 2008, No. 2, hal.
1. 32
Lihat, KUHP Pasal 283, 299, 346, 347, 348, 349, dan 340. 33
Amnesty International, Tak Ada Pilihan, hlm. 9. 72
skema hukum.34 Untuk itu, dalam hal ini, pemerintah perlu melakukan upaya
pembaharuan peraturan KUHP, yang mulanya menganggap aborsi sebagai
tindakan kriminal, maka mengubahnya menjadi dekriminalisasi.35 Dekriminalisasi
di sini, tentu dengan catatan tertentu, yaitu bukan untuk semua pelaku aborsi,
namun pemerintah harus mengkhususkan bagi pelaku aborsi dalam keadaan
darurat, termasuk di dalamnya aborsi KTD akibat perkosaan.36
Sementara itu, pengaturan normatif legal formal aborsi berdasarkan UU No.
23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, khususnya pasal 15, telah terjadi kontradiktif
antara aturan dan penjelasannya. Di mana dalam aturannya, aborsi diperbolehkan
jika ada indikasi medis tertentu, sementara dalam penjelasannya, tindakan medis
dalam bentuk pengguguran kandungan dengan alasan apapun dilarang. Dengan
adanya fakta bahwa Pasal 15 dalam UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan ini
tidak adanya kejelasan, keserbatercakupan dan keterpaduan antara ketentuan yang
satu dengan yang lainnya, berarti aturan tersebut dinilai ambigu dan bertentangan
dengan prinsip pembuatan suatu undang-undang, yaitu clear, complete, and
coherent.37 Selain itu, dengan adanya fakta bahwa sampai sekarang PP (Peraturan
Pelaksana) dari UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan tersebut belum
dibentuk, berarti ada keragu-raguan pemerintah
dalam menangani persoalan
aborsi.
34
Satjipto Rahardjo, ”Hukum Progresif, hlm. 3. Lihat pula Satjipto Rahardjo, “Konsep dan
Karakteristik Hukum Progresif” , hlm. 11. 35
Untuk mewujudkan hal tersebut, maka perlu memperhatikan empat hal. Pertama,
Keseimbangan sarana-sarana yang digunakan dalam hubungannya dengan hasil yang ingin dicapai.
Kedua, Analisa biaya terhadap hasil-hasil yang diperoleh dalam hubungannya dengan tujuan-tujuan
yang dicari. Ketiga, Penilaian atau penaksiran tuujuan-tujuan yang ingin dicari itu dalam kaitannya
dengan prioritas-prioritas lainnya dalam pengalokasian SDM. Keempat, Memelihara atau
mempertahankan integritas pandangan-pandangan dasar tertentu mengenai keaadilan social, martabat
kemanusiaan, dan keadilan individu. Lihat, Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif dalam
Penanggulangan Kejahatan dalam Pidana Penjara (Semarang: UNDIP Semarang, 1994), hlm. 37. 36
Amnesty International, Tak Ada Pilihan, hlm. 8-10. 37
Baca, Lysa Angrayni, Aborsi dalam Pandangan Islam, hlm. 542. 73
Selanjutnya, karena UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan dinilai sudah
tidak sesuai lagi dengan perkembangan, tuntutan, dan kebutuhan hukum dalam
masyarakat,38 maka uu tersebut diamandemen dengan undang-undang kesehatan
yang baru, yaitu UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Dalam pada itu,
perbedaan yang signifikan dalam pengaturan aborsi antara kedua undang-undang
kesehatan tersebut adalah, bahwa dalam undang-undang kesehatan yang baru,
secara eksplisit memperbolehkan aborsi karena KTD akibat perkosaan. Hal itu
dinyatakan dalam pasal 75 ayat 2 UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Di
sana dinyatakan bahwa aborsi dapat dikecualikan bagi “kehamilan akibat
perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan”.
Ketentuan dengan kalimat tersebut tentu masih menimbulkan pertanyaan, apakah
diperbolehkannya aborsi hanya bagi korban perkosaan yang dapat menyebabkan
trauma psikologis saja? Lalu, bagaimanakah ukuran dari trauma psikologis
tersebut? Hal ini tentu perlu mendapatkan penjelasan lebih lanjut, namun hal ini
tidak tersentuh dalam penjelasan resmi atas undang-undang tersebut. Selain itu,
dalam ketentuan pasal 75 ayat 4, menyebutkan bahwa ketentuan lebih lanjut
mengenai hal tersebut, sebagaimana dengan Peraturan Pemerintah, namun sampai
sekarang PP belum dikeluarkan.
Lebih lanjut, aborsi bagi korban perkosaan ini dapat dilakukan sebelum
enam minggu usia kehamilan, dihitung dari hari pertama haid terakhir.39
Sebagaimana yang telah dibahas sebelumnya, bahwa waktu enam minggu dihitung
dari haid terakhir ini, sama artinya dengan lima minggu usia kehamilan. Hal ini
dikarenakan masa subur seorang wanita (ovulasi), agar terjadi kehamilan adalah
sekitar 6-11 hari setelah haid.40 Pemberian waktu ini, tentu memerlukan alasan,
38
Lihat, menimbang poin e dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009
tentang Kesehatan. 39
Lihat Pasal 75 poin a Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan. 40
Telusuri, www.danpacpharma.com . Telusuri juga, www.sensitif.info.com. 74
mengapa aborsi hanya diperbolehkan sebelum waktu enam minggu dihitung dari
haid terakhir. Namun, alasan ini juga tidak ditemukan dalam penjelasan resmi atas
undang-undang tersebut.
Pada prinsipnya, tujuan penetapan hukum adalah untuk kemasalahatan
manusia. Demi terwujudnya kemaslahatan tersebut, maka ada lima hal yang harus
terpelihara, atau biasa didistilahkan dengan al-uṣūl al-khamsah.41 Kelima hal
tersebut yaitu, memelihara agama (hifẓ al-dīn), memelihara jiwa (hifẓ al-nafs),
memelihara akal (hifẓ al-̀aql), memelihara keturunan (hifẓ al-nasl), dan
memelihara harta (hifẓ al-māl). Kelimanya tersebut dapat dibedakan menjadi tiga
peringkat, yakni ḍarūriyyah, ḥājjiyyah, dan taḥsīniyyah.42 Sementara itu, jika
antara antar maṣlaḥah dan mafsadah terdapat pada satu persoalan, maka jalan
keluar yang ditempuh adalah merinci kepentingan maṣlaḥah-nya dan menghindari
efek buruk (mafsadah) jika itu memungkinkan. Demikian pula saat terdapat
pertentangan antar maṣlaḥah atau di antara mafsadah yang ada maka bagi al-Ṭūfī
mengunggulkan salah satunya, dan jika keduanya sepadan maka pilih salah satu.43
Pertanyaannya kemudian, bagimana dengan pengaturan aborsi yang ada dalam UU
No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Di satu sisi, terdapat perempuan yang
menderita akibat hamil yang tidak dikehendaki sebab perkosaan, di sisi lain
terdapat bayi dalam kandungan yang harus dijaga keselamatan nyawanya karena ia
Abū Ḥāmid al-Gazalī, Al-Muṣtasfā, hlm. 174. 41
Memelihara kelompok ḍarūriyyah berarti memelihara kebutuhan-kebutuhan esensial bagi
kehidupan manusia. Kebutuhan yang esensial itu adalah memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan
harta dalam batas tidak sampai terancam eksistensinya kelima pokok itu. Tidak terpenuhinya atau tidak
terpeliharanya kebutuhan-kebutuhan itu akan berakibat terancamnya eksistensi kelima pokok di atas.
Berbeda dengan kelompok ḍarūriyyah, kebutuhan dalam kelompok ḥājjiyyah tidak termasuk
kebutuhan yang esensial, melainkan termasuk kebutuhan yang dapat menghindarkan manusia dari
kesulitan dalam hidupnya, tidak terpeliharanya hal tersebut tidak akan mengancam eksistensi kelima
pokok di atas tetapi hanya akan menimbulkan kesulitan bagi seseorang. Kelompok ini erat hubunganya
dengan rukhṣah atau keringanan. Sedangkan kebutuhan dalam kelompok taḥsīniyyah adalah
kebutuhan yang menunjang martabat seseorang dalam masyarakat dan dihadapan Tuhannya sesuai
dengan kebutuhan. Baca, al-Ṭūfī, Syarakh Mukhtaṣar Rawḍah, juz II, hlm. 754-756. 42
Al-Ṭūfī, Risālah fī Rìāyah al-Maṣlaṣah, hlm. 46. Lihat pula, Muṣṭafā Zayd, Al-Maṣlaḥah,
hlm. 83. 43
75
juga memiliki hak hidup. Di sini terdapat problem berupa berkumpulnya
kemaslahatan si perempuan dan kemafsadatan si anak jika dilakukan aborsi.
Berdasarkan kepentingannya, memelihara agama (hifẓ al-dīn) dapat
dibedakan menjadi tiga peringkat. Pertama, memelihara agama dalam peringkat
ḍarūriyyah, yaitu memelihara dan melaksanakan kewajiban keagamaan yang
termasuk peringkat primer. Kedua, memelihara agama dalam peringkat ḥājiyyah,
yaitu melaksanakan ketentuan agama dengan maksud menghindari kesulitan.
Ketiga, memelihara agama dalam peringkat taḥsīniyyah, yaitu mengikuti petunjuk
agama guna menunjung tinggi martabat manusia. Dalam prinsip maṣlaḥah hifẓ aldīn ini, jika dikaitkan dengan aborsi secara umum, maka perbuatan ini akan
melanggar prinsip maṣlaḥah hifẓ al-dīn, khususnya dalam peringkat ḍarūriyyah.
Hal ini wajar karena mengingat dosa besar yang ditimbulkan dari aborsi tersebut.
Namun, tentu hal ini berbeda dengan aborsi KTD akibat perkosaan, yang diatur
dalam UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Aborsi dalam keadaan ini dapat
menghindarkan kesulitan bagi perempuan korban perkosaan. Sementara jika janin
tetap dibiarkan hidup di dalam kandungan, sampai ia lahir, maka akan
menimbulkan kesulitan bagi kehidupan perempuan tersebut. Dengan demikian,
aborsi KTD akibat perkosaan termasuk memelihara agama dalam peringkat
ḥājiyyah.
Hal yang perlu diperhatikan kedua untuk mewujudkan kemaslahatan adalah
memelihara jiwa (hifẓ al-nafs). Berdasarkan tingkat kepentingannya, dapat
dibedakan menjadi tiga peringkat. Pertama, memelihara jiwa dalam peringkat
ḍarūriyyah. Jika peringkat ḍarūriyyah ini diabaikan, maka eksistensi jiwa manusia
akan terancam, dan ini dilarang oleh Allah Swt. Kedua, memelihara jiwa dalam
peringkat ḥājiyyah. Jika kegiatan ini diabaikan, maka tidak akan mengancam
eksistensi manusia, melainkan dalam peringkat ini hanya mepersulit hidupnya.
Ketiga, memelihara jiwa dalam peringkat taḥsīniyyah. Kegiatan ini hanya
berhubungan dengan kesopanan dan etika, sama sekali tidak akan mengancam
76
eksistensi jiwa manusia, ataupun mempersulit kehidupan seseorang. Dalam prinsip
maṣlaḥah hifẓ al-nafs ini, jika dikaitkan dengan aborsi, maka jelas akan
bertentangan dengan prinsip maṣlaḥah ini. Dalam aborsi, tentu hanya jiwa ibu
yang diselamatkan, sementara jiwa anak sengaja dimusnahkan. Dengan demikian,
aborsi melanggar prinsip maṣlaḥah memelihara jiwa, khususnya dalam peringkat
ḍarūriyyah. Namun, lain halnya dengan aborsi KTD akibat perkosaan, yang diatur
dalam UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, maka perbuatan ini
berhubungan dengan keselamatan jiwa ibu dan anak. Dalam aborsi ini, tentu jiwa
ibu yang diselamatkan, sementara jiwa anak sengaja dimusnahkan. Hal ini dapat
dimaklumi karena, jika anak tersebut dilahirkan justru akan menimbulkan
kesulitan bagi perempuan korban perkosaan. Dengan demikian, aborsi KTD akibat
perkosaan termasuk memelihara jiwa dalam peringkat ḥājiyyah.
Selanjutnya, prinsip maṣlaḥah yang ketiga adalah memelihara akal (hifẓ al̀aql). Dilihat dari segi kepentingannya, memelihara akal dapat dibedakan menjadi
tiga peringkat. Pertama, memelihara akal dalam peringkat ḍarūriyyah. Contohnya
adalah diharamkannya meminum minuman keras. Jika ketentuan ini tidak
diindahkan maka akan berakibat pada terancamnnya eksistensi akal dan
merupakan perbuatan dosa. Kedua, memelihara akal dalam peringkat ḥājjiyyah,
seperti dianjurkan untuk menuntut ilmu pengetahuan. Sekiranya kegiatan ini tidak
dilakukan, maka tidak akan merusak akal, tetapi akan mempersulit kehidupan
seseorang
dalam
kaitannya
mengembangkan
ilmu
pengetahuan.
Ketiga,
memelihara akal dalam peringkat taḥsīniyyah, seperti menghindarkan diri dari
menghayal atau mendengarkan sesuatu yang tidak bermanfaat. Hal ini erat
kaitannya dengan etika dan tidak akan mengancam eksisitensi akal secara
langsung. Dalam prinsip maṣlaḥah hifẓ al-̀aql ini, jika dikaitkan dengan aborsi,
maka perbuatan ini berhubungan dengan beban psikis si perempuan yang
mengandung. Bisa jadi dia akan selalu terbayang-bayang akan perbuatannya yang
tidak manusiawi terhadap darah dagingnya sendiri, bahkan bisa stress akut.
77
Dengan demikian, aborsi melanggar prinsip maṣlaḥah dalam memelihara akal,
khususnya dalam peringkat ḍarūriyyah. Namun, jika prinsip maṣlaḥah hifẓ al-̀aql
ini, jika dikaitkan dengan aborsi KTD akibat perkosaan, yang diatur dalam UU
No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, maka perbuatan ini berhubungan dengan
beban psikis yang akan ditanggung perempuan korban perkosaan. Jika aborsi
dilakukan, maka paling tidak dapat mengurangi beban psikis tersebut. Dengan
demikian, aborsi KTD akibat perkosaan termasuk memelihara akal dalam
peringkat ḍarūriyyah.
Prinsip maṣlaḥah yang keempat adalah memelihara keturunan (hifẓ al-nasl).
Dilihat dari segi kebutuhannya, dapat dibedakan menjadi tiga peringkat. Pertama,
memelihara keturunan dalam peringkat ḍarūriyyah. Untuk kelangsungan
kehidupan manusia perlu adanya keturunan yang jelas dan sah. Jika ini diabaikan,
maka akan mengancam eksistensi keturunan. Kedua, memelihara keturunan dalam
peringkat ḥājjiyyah seperti ditetapkan ketentuan menyebutkan mahar bagi suami
pada waktu akad nikah dan diberikan hak talak baginya. Jika hal ini diabaikan,
maka akan mengalami kesulitan. Ketiga, memelihara keturunan dalam peringkat
taḥsīniyyah, seperti disyariatkan khiṭbah dan atau walīmah dalam perkawinan.
Jika hal ini diabaikan, maka tidak akan mengancam eksistensi keturunan, dan tidak
pula mempersulit orang yang melakukan perkawinan. Dalam prinsip maṣlaḥah
hifẓ al-nasl ini, jika dikaitkan dengan aborsi, maka perbuatan ini mengancam
eksistensi keturunan. Dengan demikian, aborsi melanggar prinsip maṣlaḥah
memelihara keturunan, khususnya dalam peringkat ḍarūriyyah. Dalam prinsip
maṣlaḥah hifẓ al-nasl ini, jika dikaitkan dengan aborsi KTD akibat perkosaan,
yang diatur dalam UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, maka perbuatan ini
berhubungan dengan status anak yang lahir dari korban perkosaan. Jika anak tetap
dilahirkan, maka ia hanya punya hubungan nasab dengan ibunya. Dengan
demikian, aborsi KTD akibat perkosaan termasuk memelihara keturunan dalam
peringkat ḍarūriyyah.
78
Prinsip maṣlaḥah yang kelima adalah memelihara harta (hifẓ al-māl). Dilihat
dari segi kepentingannya, pemeliharaan harta dapat dibedakan menjadi tiga
peringkat. Pertama, memelihara harta dalam peringkat ḍarūriyyah. Untuk
mempertahankan kehidupannya manusia memerlukan harta dalam rangka
memenuhi kebutuhan hidupnya, sehingga mereka berupaya mendapatkan harta
dengan cara yang halal dan baik. Apabila aturan ini dilanggar, maka akan
berakibat terancam eksistensi harta Kedua, memelihara harta dalam peringkat
ḥājjiyyah, seperti disyariatkannya jual-beli salam, kerjasama dalam pertanian
(muzaraˋah) dan perkebunan (musāqah) serta perdagangan (muḍārabah). Apabila
cara ini tidak dilaksanakan, maka tidak akan mengancam eksistensi harta,
melainkan akan mempersulit orang yang memerlukan modal. Ketiga, memelihara
harta dalam peringkat taḥsīniyyah seperti adanya ketentuan agar menghindarkan
diri dari pengecohan dan penipuan. Hal ini erat kaitannya dengan etika
bermuamalah atau etika berbisnis, serta akan mempengaruhi kesahan jual-beli,
sebab peringkat yang ketiga ini juga merupakan syarat adanya peringkat yang
kedua dan pertama. Dalam prinsip maṣlaḥah hifẓ al-māl ini, jika dikaitkan dengan
aborsi, maka perbuatan ini justru malah menganggarkan harta hanya untuk
perbuatan yang sia-sia. Hal ini wajar mengingat biaya aborsi yang mahal, apalagi
jika dilakukan oleh tenaga medis yang tidak profesional, justru akan menimbulkan
berbagai penyakit. Dengan demikian, aborsi melanggar prinsip maṣlaḥah
memelihara keturunan, khususnya dalam peringkat ḍarūriyyah. Dalam prinsip
maṣlaḥah hifẓ al-māl ini, jika dikaitkan dengan aborsi KTD akibat perkosaan,
yang diatur dalam UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, maka perbuatan ini
berhubungan dengan beban ekonomi. Jika anak tetap dilahirkan, maka beban
ekonomi yang besar akan ditanggung oleh si ibu korban perkosaan untuk
mengasuh anaknya. Lebih-lebih, di Indonesia saat ini belum ada jaminan penuh
atas kesejahteraan bagi bayi yang baru lahir. Dengan demikian, aborsi KTD akibat
perkosaan termasuk memelihara harta dalam peringkat ḍarūriyyah.
79
Bertolak dari kelima kemaslahatan di atas, jika dihubungkan dengan aborsi,
maka perbuatan tersebut telah melanggar kelima prinsip maṣlaḥah, khususnya
dalam peringkat ḍarūriyyah. Artinya, jika aborsi dilakukan, maka akan berakibat
terancamnya eksistensi kelima pokok maṣlaḥah di atas. Dengan demikian, aborsi
merupakan perbuatan yang menimbulkan mafsadah. Namun, lain halnya dengan
aborsi KTD akibat perkosaan, yang diatur dalam UU No. 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan, maka perbuatan ini justru lebih banyak mendatangkan maṣlaḥah dari
pada mafsadah. Dengan demikian, ada pengecualian aborsi dalam kondisi ini.
Untuk membenarkan tindakan mengambil resiko buruk untuk mempertahankan
kepentingan yang lebih utama itu ulama menggunakan kaidah, “Kedaruratan itu
membolehkan adanya larangan”.44
Mengetahui peringkat maṣlaḥah dalam kelima pokok kemaslahatan di atas
menjadi penting untuk dihubungkan dengan skala prioritas penerapannya. Ketika
kemaslahatan yang satu berbenturan dengan kemasalahatan yang lainnya. Dalam
hal ini tentu peringkat pertama, ḍarūriyyah, harus didahulukan daripada peringkat
kedua, ḥājjiyyah, dan peringkat ketiga, taḥsīniyyah.45 Ketentuan ini menunjukkan
bahwa dibenarkan mengabaikan hal-hal yang termasuk peringkat kedua dan ketiga
manakala kemaslahatan peringkat pertama terancam eksistensinya. Jadi, harus
didahulukan memelihara jiwa dalam peringkat ḍarūriyyah daripada peringkat
ḥājjiyyat. Begitu pula halnya dalam peringkat taḥsīniyyah berbenturan dalam
peringkat ḥājjiyyah harus didahulukan dari pada taḥsīniyyah.
Keadaan di atas hanya pada yang berbeda peringkat. Adapun kasus yang
peringkatnya sama, seperti peringkat ḍarūriyyah dengan peringkat ḍarūriyyaḥ
namun berbeda dalam urutan kepentingannya didahulukan urutan yang lebih
tinggi. Bila kepentingan memelihara agama berbenturan dengan kepentingan
Ṣāliḥ bin Muḥammad al-Asmurī, Majmūˋat al-Fawā’id al-Bahiyyah ‘alā Manẓūmah alQawāˋid al-Bahiyyah (T.t.p.: Dār al-Ṣamīˋī, 2000) hlm. 102. 44
45
Ibid., hlm 24. 80
memelihara jiwa, maka didahulukan memelihara agama. Dalam menyelesaikan
adanya benturan-benturan pada tingkat ḍarūriyyah ini para pakar menetapkan
kaidah yang berbunyi, “Kemudaratan yang lebih besar dapat dihilangkan dengan
kemudaratan yang lebih kecil”.46
Selanjutnya dapat dilihat bila kelima bentuk ḍarūriyyah itu berbenturan,
prioritas pertama yang harus dipelihara, yaitu agama kemudian jiwa, setelah itu
keturunan, serta akal, dan terakhir harta. Untuk membenarkan tindakan mengambil
resiko buruk untuk mempertahankan kepentingan yang lebih utama itu ulama
menggunakan kaidah, “Kedaruratan itu membolehkan adanya larangan”.47 Untuk
mencapai pemeliharaan terhadap lima unsur yang pokok secara sempurna, maka
ketiga tingkatan ini tidak dapat dipisahkan. Sejalan dengan itu adalah komentar alSyāṭibī, “Jika ketentuan tersebut telah dipahami, maka orang yang berakal tidak
ragu bahwa perkara yang bersifat ḥājjiyyah adalah bagian yang berkisar pada
perkara-perkara ḍarūriyyah, yang merupakan tujuan pokok. Begitu juga perkaraperkara yang bersifat taḥsīniyyah adalah bagiannya, sebab ia pelengkap bagi
ḥājjiyyah, sementara ḥājjiyyah itu pelengkap ḍarūriyyah. Ini berarti taḥsīniyyah
merupakan pelengkap ḍarūriyyah. Karena itu, secara otomatis tujuan yang bersifat
pelengkap (taḥsīniyyah) ini adalah bagian yang primer (ḍarūriyyah) dan sebagai
pelengkap.48 Keterangan ini menunjukkan keuniversalan kemaslahatan yang
pemeliharaan dan penegakkannya menjadi tujuan syariah. Kemasalahatan itu tidak
hanya bersifat duniawi, material, dan individual, tetapi yang dimaksud adalah
kemaslahatan yang menjadi pondasi tegaknya syariah, baik dalam bentuk totalitas
ataupun parsial, ia juga merupakan kemaslahatan yang memperhatikan
kepentingan dunia dan akhirat dan keseimbangan individu dan masyarakat.
46
Abū Zahrah, Uṣūl al-Fiqh (Beirut: Dār al-Fikr, 1958), hlm. 127. Ṣāliḥ bin Muḥammad al-Asmurī, Majmūˋāt al-Fawā’id al-Bahiyyah ̀alā Manẓūmah alQawāˋid al-Bahiyyah (T.t.p.: Dār al-Ṣamīˋī, 2000) hlm. 102. 47
48
Al-Syāṭibī, Al-Muwāfaqāt, juz II, hlm 25-26. 81
Kesimpulan yang diperoleh adalah bahwa aborsi bagi korban perkosaan
mendapatkan legalitas hukum kebolehan tanpa adanya batasan waktu, asalkan
pertimbangan-pertimbangan
kemaslahatan
dan
penghindaran
mafsadat,
sebagaimana telah dijelaskan di atas, telah terpenuhi. Sehingga, adanya batasanbatasan waktu yang ada dalam UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan justru
tidak sejalan jika ditinjau dari konsep maslahah al-Ṭūfī. Hal ini di dasarkan atas
terdapatnya kemaslahatan sang ibu dan mafsadah pembunuhan anak dalam satu
persoalan, yakni aborsi bagi KTD akibat perkosaan. Di mana dalam kasus ini
memenangkan maslahah lebih diutamakan daripada penghindaran mafsadah.
Namun demikian, tentu hal itu berbeda jika sang ibu menerima kehamilan
tersebut. Dalam arti, kebolehan hanya berlaku jika memang menimbulkan
kemafsadatan-kemafsadatan pada diri sang ibu.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pengaturan aborsi bagi korban perkosaan di Indonesia telah diatur dalam UU
No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Di dalamnya dikatakan bahwa setiap orang
dilarang melakukan aborsi, namun larangan tersebut tidak berlaku jika ada indikasi
kedaruratan medis, seperti kesehatan ibu dan janin terancam, atau kehamilan
dalam kasus perkosaan. Persyaratan aborsi ini dilakukan pada usia kehamilan
maksimal enam minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir, termasuk di
dalamnya aborsi dari KTD akibat perkosaan. Sementara itu, jika ada indikasi
kedaruratan medis, maka usia maksimal kehamilan tidak berlaku—dengan kata
lain, pada keadaan ini, aborsi kapanpun dapat dilakukan. Dengan demikian,
pelayanan aborsi legal karena ada indikasi kedaruratan medis dirasa tidak ada
masalah, karena dalam kondisis ini, aborsi kapanpun dapat dilakukan. Lain
halnnya dengan aborsi kehamilan akibat perkosaan, hal ini mengingat pemberian
aborsi legal hanya diizinkan dalam waktu enam minggu dihitung dari hari pertama
haid terakhir. Dalam jarak waktu yang terbatas ini tentu membuat korban
perkosaan tidak bisa mendapatkan aborsi yang aman. Hal ini dikarenakan
kemungkinan adanya ketidaktahuan bahwa mereka telah hamil pada saat itu.
Secara prinsipil materi hukum aborsi bagi korban perkosaan yang diatur
dalam UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan sejalan dengan konsep maṣlaḥah
yang digagas oleh al-Ṭūfī. Namun demikian, adanya batasan usia kehamilan
maksimal enam minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir menjadi hal yang
menyebabkan undang-undang tersebut tidak lagi sejalan dengan konsep maṣlaḥah
al-Ṭūfī. Ketidakselarasan ini disebabkan adanya kemungkinan kondisi psikis yang
dialami oleh perempuan hamil korban perkosaan yang mengakibatkan
ketidaktahuan awal kehamilan. Dalam arti, bisa jadi perempuan tersebut baru
83
mengetahui kehamilannya melebihi batas waktu tersebut. Namun demikian,
kebolehan ini juga harus melalui pertimbangan-pertimbangan perbandingan
kemaslahatan dan kemafsadatan yang ada sesuai dengan kasusnya masing-masing.
B. Rekomendasi dan Saran
Berdasarkan dua temuan di atas dan analisis yang telah dilakukan, peneliti
merekomendasikan beberapa hal sebagai berikut:
1. Melihat maraknya kasus aborsi dan perkosaan di Indonesia serta
kehamilan akibat kasus tersebut, pemerintah seyogiyanya untuk sesegera
mungkin menerbitkan Peraturan Pemerintah yang membahas mekanisme
aborsi, khususnya bagi korban perkosaan.
2. Pembatasan waktu bagi kasus aborsi selain perkosaan bisa jadi dianggap
relevan, tetapi pembatasan tersebut untuk kasus aborsi akibat perkosaan
justru mengarahkan pengaturan tersebut pada ketidakmungkinan aborsi
bagi korban perkosaan. Sehingga, adanya pengaturan tersebut seharusnya
tidak diberlakukan kepada perempuan hamil akibat perkosaan yang tidak
ada jalan keluar keculai melakukan aborsi.
Hasil yang dicapai dalam penelitian ini memang sangat jauh dari
kesempurnaan, di samping karena kemampuan dan waktu peneliti, keterbatasan
literatur dan batasan-batasan lain juga turut mewarnainya. Betapa tidak, tampak di
berbagai segi masih banyak persoalan yang perlu dikaji secara mendalam. Paling
tidak, hal tersebut menjadi peluang bagi para pengkaji selanjutnya untuk samasama melengkapi kajian hukum interdisipliner.
84
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku, Jurnal, Laporan Penelitian, Makalah, dan Majalah
Al-Būṭī, Muḥammad Saˋīd Ramaḍān, Dawābiṭ al-Maṣlaḥah fī al-Syarīˋah alIslāmiyyah, Kairo: Mu’assasah al-Risālah, 1965.
________, Mas’alah Taūdīd al-Nasl: Wiqāyatan wa ˋIlājan, Syiria: Maktabah alFarabī, 2000.
Al-Gazalī, Abū Ḥāmid Al-Muṣtasfā fī ˋIlm al-Uṣūl (Beirut: Dār al-Kutub alˋIlmiyyah, 1980.
Ali, Atabik dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia,
Yogyakarta: Multikarya Grafika, 1999.
Al-Jawziyyah, Ibn al-Qayyim, Aˋlām al-Muwaqqiˋīn, Beirut: Dār al-Jalīl, 1973.
Al-Syāṭibī, Abū Isḥāq Ibrāhim Ibn Muḥammad, Al-Muwāfaqāt fī Uṣūl al-Syarīˋah,
Beirut: Dār Ibn ˋAffān, 1997.
Al-Ṭūfī, Najm al-Dīn Sulaimān bin ˋAbd al-Qawiy, Syarḥ al-Arba’in alNawawiyyah, Beirut: Dār al-Fikr, t.t.
__________, Syarḥ Mukhtaṣar Rawḍah al-Nāẓir, Saudi Arabiyah: Mamlakah alˋArabiyyah, al-ˋAudiyyah, 1998.
__________, Risālah fi Riˋāyah al-Maṣlaḥah, T.t.t.: al-Dār al-Miṣriyyah, 1993.
Ciciek, Farha “Perkosaan Terhadap Perempuan di Ruang Domestik dan Publik”,
dalam S. Edi Santosa, Islam dan Konstruksi Seksualitas, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2002.
Ebrahim, Mohsin AF., Aborsi, Kontasepsi, dan Mengatasi Kemandulan: Isu-isu
Biomedis dalam Perspektif Islam, terj. Sari Meutia, Bandung: Mizan, 1998.
Ekotomo, Suryono (dkk.), Abortus Provokatus Bagi Korban Perkosaan:
Perspektif Viktimologi Kriminologi dan Hukum Pidana, Yogyakarta:
Universitas Atmajaya Press, 2000.
Indraswari, “Fenomena Kawin Muda dan Aborsi: Gambaran Kasus”, dalam Syafiq
Hasyim (ed.), Menakar “Harga” Perempuan, Bandung: Mizan, 1999.
Institute, Gutmacher, Aborsi di Indonesia, New York: Gutmacher Institute, 2008
Internasional, Amnesty, Tak Ada Pilihan, Rintangan atas Kesehatan Reproduktif
di Indonesia: Ringkasan Eksekutif, London: Amnesty International
Publication, 2010.
85
Istibsjaroh, Menimbang Hukum Pornografi, Pornoaksi, dan Aborsi dalam
Perspektif Islam, Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press, 2007.
Manan, Abdul, Reformasi Hukum Islam Indonesia: Tinjauan dari Aspek
Metodologis, Legislasi, dan Yusipudensi, Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2007.
Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana, 2009.
Muhammad, Husein, Fiqh Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan
Gender, Yogyakarta: LKiS, 2002.
_________, Islam Agama Ramah Perempuan: Pembelaan Kiai Pesantren,
Yogyakarta: LKiS, 2004.
Mumtazah, Afwan dan Yulianti Muthmainnah, Menimbang Penghentian
Kehamilan Tidak Diinginkan: Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif,
Jakarta: Rahima, 2007.
Munawwir, A. Warson, Kamus Al-Munawwir: Arab-Indonesia Terlengkap,
Surabaya: Pustaka Progressif, 2002.
MUI, Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, Jakarta: MUI, 2010.
Rahardjo, Satjipto, “Hukum Progresif: Hukum yang Membebaskan”, dalam
Jurnal Hukum Progresif, Vol. 1, No. 1, April 2005.
_______, “Konsep dan Karakteristik Hukum Progresif”, Makalah, dalam Seminar
Nasional Hukum Progresif I, Diselenggarakan oleh Fakultas Hukum
Universitas Diponegoro Bekerjasama dengan Program Doktor Ilmu Hukum
Universitas Diponegoro dan Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Jakarta di
Semarang, 15 Desember 2007.
Soekamto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 1992.
Tutik, Titik Triwulan, “Analisis Hukum Islam Terhadap Praktik Aborsi Bagi
Kehamilan Tidak Diharapkan (KTD) Akibat Perkosaan Menurut UndangUndang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan”, Makalah, Semarang:
Undip, 2010.
Zayd, Muṣṭafā, Al-Maṣlaḥah fī al-Tasyrīˋ al-Islāmī: Risālah ˋIlmiyyah, Kairo: Dār
al-Yasar li al-Ṭabāˋah wa al-Nasyar, 1424 H.
B. Surat Kabar, Buletin, dan Internet
“Baru Enam Bulan di Jakarta, Pengasuh Bayi Diperkosa Sopir Angkot”, dalam
http://www.tempo.co/read/news/2011/10/14/064361333/Baru-Enam-Bulan-
86
di-Jakarta-Pengasuh-Bayi-Diperkosa-Sopir-Angkot (Diakses pada tanggal
22 November 2011).
“Bocah
Lima
Tahun
Diperkosa
Sopir
Angkot
“,
dalam
http://www.tempo.co/read/news/2011/09/30/064359209/Bocah-LimaTahun-Diperkosa-Sopir-Angkot (Diakses pada tanggal 22 November 2011).
“Diperkosa
Ayah
Tiri,
Siswi
SMP
Hamil
5
Bulan”,
dalam
http://www.surya.co.id/2011/07/14/diperkosa-ayah-tiri-siswi-smp-hamil-5bulan (Diakses pada tanggal 02 Oktober 2011).
“Diperkosa Hingga Hamil, Seorang Buruh Pabrik di Nganjuk Lapor Polisi”, dalam
http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2011/01/08/75004
(Diakses pada tanggal 02 Oktober 2011).
“DPR:
Silahkan
UU
Kesehatan
Dibawa
Ke
MK”,
dalam
http://matanews.com/2009/10/14/dpr-silahkan-uu-kesehatan-dibawa-ke-mk/
(Diakses pada tanggal 24 November 2011).
“Gadis 9 Tahun Hamil Bayi Kembar Akibat Diperkosa Ayah Tiri”, dalam
http://www.detiknews.com/read/2009/03/02/043237/1092489/10/gadis-9tahun-hamil-bayi-kembar-akibat-diperkosa-ayah-tiri (Diakses pada tanggal
02 Oktober 2011).
http://www.rifka-annisa.net.co.id (Diakses pada tanggal 16 Oktober 2011).
“Ini
di Palembang, Anak Diperkosa Ayah Hingga Hamil”, dalam
http://makassar.tribunnews.com/2011/07/05/ini-di-palembang-anakdiperkosa-ayah-hingga-hamil, (Diakses pada tanggal 02 Oktober 2011).
“Memperingati Hari Ibu: Mengapa Aki Masih Tinggi Juga?”, Harian Kompas, 22
Desember 2003.
“MUI:
Korban
Perkosaan
Boleh
Aborsi”,
dalam
http://www.merdeka.com/pernik/mui-korban-perkosaan-boleh-aborsip8ribrd.html (Diakses pada tanggal 24 November 2011).
Muthmainnah, Yulianti, Mengkritisi Undang-Undang Kesehatan Kita, dalam
http://www.komnasperempuan.or.id/2010/03/mengkritisi-undang-undangkesehatan-kita/ (Diakses pada tanggal 24 November 2011).
Nelis,
Sri,
Aborsi
dan
Hukumnya
di
Indonesia,
dalam
http://www.sumbaronline.com/berita-4240-aborsi-dan-hukumnya-diindonesia--.html (Diakses pada tanggal 24 November 2011).
“Santriwati
Itu
Diperkosa
Sampai
Hamil
6
Bulan”,
dalam
http://megapolitan.kompas.com/read/2010/01/13/14425834/Santriwati.Itu.Di
perkosa.Sampai.Hamil.6.Bulan (Diakses pada tanggal 02 Oktober 2011).
87
“Santri
Diperkosa
Sampai
Hamil
Dua
Kali”,
dalam
http://nasional.kompas.com/read/2008/11/22/09091350/santri.diperkosa.sam
pai.hamil.dua.kali (Diakses pada tanggal 02 Oktober 2011).
“Siswi I SMP Diperkosa Kakak lpar, Hamil 4 Bulan”, dalam
http://megapolitan.kompas.com/read/2010/02/05/09323161/Siswi.I.SMP.Dip
erkosa.Kakak.lpar.Hamil.4.Bulan (Diakses pada tanggal 02 Oktober 2011).
Tim Partisipasi Masyarakat, “Dukung Perempuan Korban Kekerasan Seksual”,
dalam Berita Komnas Perempuan, Edisi 6, Februari, 2011.
“Tokoh
Agama
Tentang
Aturan
Aborsi”,
dalam
http://matanews.com/2009/10/13/tokoh-agama-tentang-aturan-aborsi/
(Diakses pada tanggal 24 November 2011).
“Waduh! Terjadi Lagi Penumpang Angkot Diperkosa Sopir”, dalam
http://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/11/10/13/lt0g3x-waduhterjadi-lagi-penumpang-angkot-diperkosa-sopir (Diakses pada tanggal 22
November 2011).
C. Undang-Undang
Undang-Undang Repubik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan
Undang-Undang Repubik Indonesia Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Download