BIDANG ILMU FILSAFAT HUKUM ISLAM LAPORAN PENELITIAN PENGATURAN ABORSI BAGI KORBAN PERKOSAAN DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF MAṢLAḤAH NAJM AL-DĪN AL-ṬŪFĪ Peneliti: Dr. Rohidin, M.Ag. Buheti, S.H. PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA YOGYAKARTA 2012 HALAMAN REKOMENDASI 1. Judul Penelitian Pengaturan Aborsi Bagi Korban Perkosaan di Indonesia dalam PerspeKif Maslahah Najm AlDin Al-Tufi 2. Ketua Peneliti a. bC. d. e. Nama lengkap -lenis Kelamin NIP/ NIK Jabatan Struktural Jabatan Fungsional f, Prodirurusan g. Fakultas i. Alamat h. rerpon/ rax i. Alamat Rumah j. Telepon/Fax/Email 3. Jangka Waktu Penelitian 4. Pembiayaan Rohidin, Dr. Drs. l4A. Laki-laki 924100103 Sekretaris Program PKPA FH UII IV/ a Hukum/ IImu Hukum Hukum Universitas Islam Indonesia Yogyakarta Jl. Tamansiswa 158 PO gOX 1133 Yogyakarta 55151 (0274) 8984,14 ext. 2503 Warungboto UH IV/ 815 Yogyakarata 0at22954322 6 (enam) bulan Pascasajrana Fakultas Hukum UII (5.000.000,J Yogyakarta, 8 November 2012 Menyetujui, Ketua Program PPs Fak Hukum UII PeneliU idin, Dr. Drs. MA. SURATPERNYATAAN Yang bertandatangan d i barvah ini kamir Nama ROHIDIN, Dr., M.Ag. Jabatan Ketua Pencliti Alamat Rumah Warungboto Umbullrarjo Telp./HP +62274 4r8 4t5 M8l5 Rt. 30/07 Yogyakarta Tirjaw MaSlahah I'erspektif Najm al-Drn al-Tufi atas Pengatumn Aborsi bagi Korban Perkosaan di Indonesia (Studi Kasus UU No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan) Judul Penelitian Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa: 1. Laporan Penelitian yang kami ajukan bcnar asli karya ilmiah yang kami tulis sendiri, 2. Apabila di kcmudian hari tcrnyata diketahui bahwa karya tersebut bukan karya ilmiah kami (plagiasi). maka kami berscdia menanggung sebagimana yang berlaku. Demikian pernyataan ini kami buat dcngan sebenar-benamya. Yogyakafta, I 1 Kami yang M sanksi DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i HALAMAN PERNYATAAN ....................................................................... ii DAFTAR ISI .................................................................................................. iii TRANSLITERASI ........................................................................................ v BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................. 1 A. Latar Belakang Masalah ................................................................................ 1 B. Rumusan Masalah ......................................................................................... 5 C. Tujuan ............................................................................................................ 5 D. Kajian Pustaka ............................................................................................... 5 E. Kerangka Teori .............................................................................................. 9 F. Metode ........................................................................................................... 15 G. Sistematika Pembahasan ............................................................................... 17 BAB II ABORSI DAN KONSEP MAṢLAḤAH PERSPEKTIF NAJM AL-DĪN AL-ṬŪFĪ ........................................................................................................... 19 A. Pengertian dan Macam-Macam Aborsi.......................................................... 19 B. Metode Aborsi............................................................................................... 24 C. Aborsi dalam Kontroversi Ulama Konvensional........................................... 27 D. Tinjauan Umum Tentang Maṣlaḥah ............................................................. 35 E. Biografi Najm al-Dīn al-Ṭūfī ......................................................................... 40 F. Pandangan Najm al-Dīn al-Ṭūfī Terhadap Konsep Maṣlaḥah ...................... 46 iii BAB III PENGATURAN ABORSI BAGI KORBAN PERKOSAAN ....................... 55 A. Pengaturan Aborsi bagi Korban Perkosaan di Indonesia Sebelum Tahun 2009 ............................................................................................................... 55 B. Legalitas Praktik Aborsi bagi Korban Perkosaan dalam UU No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan ....................................... ........................................ 65 C. Analisis atas Struktur Materi Hukum Aborsi bagi Korban Perkosaan dalam UU No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan dengan Tinjauan Maṣlaḥah alṬūfī ................................................................................................................ 70 BAB IV PENUTUP ......................................................................................................... 82 A. Kesimpulan .................................................................................................... 82 B. Rekomendasi dan Saran ................................................................................ 83 DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 84 iv PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN Transliterasi yang digunakan dalam penulisan skripsi ini, bersumber dari pedoman Arab-Latin yang diangkat dari Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Nomor 158 Tahun 1987 dan Nomor 0543 b/U/1987, selengkapnya adalah sebagai berikut : 1. Konsonan Fonem konsonan bahasa Arab, yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan huruf, dalam tulisan transliterasi ini sebagian dilambangkan dengan huruf, sebagian dengan tanda, dan sebagian dengan huruf dan tanda sekaligus, sebagai berikut : Huruf Arab Nama Huruf Latin Keterangan ا Alif Tidak dilambangkan tidak dilambangkan ب Ba’ B be ت Ta’ T te ث Sa Ṡ es (dengan titik di atas) ج Jim J je ح Ha Ḥ ha (dengan titik di bawah) خ Kha Kh ka dan ha د Dal D de ذ Zal Ż zet (dengan titik di atas) ر Ra R er ز Zai Z zet v س Sin S es ش Syin Sy es dan ye ص Sad Ṣ es (dengan titik di bawah) ض Dad Ḍ de (dengan titik di bawah) ط Ta Ṭ te (dengan titik dibawah) ظ Za Ẓ zet (dengan titik di bawah) ع `Ain ` koma terbalik (di atas) غ Ghain G ge ف Fa F ef ق Qaf Q qi ك Kaf K ka ل Lam L el م Mim M em ن Nun N en و Wau W we ه Ha H ha ء Hamzah ’ apostrof ي Ya’ Y ya 2. Vokal a. Vokal tunggal : Tanda Vokal Nama Huruf Latin Keterangan َ◌ Fathah A a vi ◌ِ Kasrah I i ◌ُ Dammah U u Tanda Nama Huruf Latin Keterangan ي َ Fathah dan ya Ai a-i َو Fathah dan Wau Au a-u b. Vokal Rangkap : Contoh : كيف---- kaifa حول----- ḥaula c. Vokal Panjang (maddah) Tanda Nama Huruf Latin Keterangan َا Fathah dan alif Ā a dengan garis di atas ي َ Fathah dan ya Ā a dengan garis di atas ي ٍ Kasrah dan ya Ī i dengan garis di atas ُو Dammah dan wau Ū u dengan garis di atas Contoh : قال---- qāla قيل---- qīla رمى---- ramā يقول---- yaqūlu vii 3. Tā’ Marbūṭah a. Transliterasi ta’ marbūṭah hidup adalah "t". b. Transliterasi ta’ marbūṭah mati adalah "h". c. Jika ta’ marbūṭah diikuti kata yang menggunakan kata sandang ""( "الal-"), dan bacaannya terpisah, maka ta’ marbūṭah tersebut ditransliterasikan dengan "h". Contoh : روضة االطفال------- rauḍatul aṭfāl, atau rauḍah al-aṭfāl المدينة المنورة------- al-Madīnatul Munawwarah, atau al-Madīnah al- Munawwarah طلحة------------ Ṭalḥatu atau Ṭalḥah 4. Huruf Ganda (Syaddah atau Tasydīd) Transliterasi syaddah atau tasydīd dilambangkan dengan huruf yang sama, baik ketika berada di awal atau di akhir kata. Contoh : نزل------ nazzala البر------- al-birru viii 5. Kata Sandang Alif + Lām Kata sandang alif + lām ditransliterasikan dengan "al" diikuti dengan tanda penghubung "-", baik ketika bertemu dengan huruf qamariyyah maupun huruf syamsiyyah. Contoh : القلم-------- al-qalamu الشمس------ al-syamsu 6. Huruf Kapital Meskipun tulisan Arab tidak mengenal huruf kapital, tetapi dalam transliterasi huruf kapital digunakan untuk awal kalimat, nama diri, dan sebagainya seperti ketentuan dalam EYD. Awal kata sandang pada nama diri tidak ditulis dengan huruf kapital, kecuali jika terletak pada permulaan kalimat. Contoh : ومامحمد االرسول-----Wa mā Muḥammadun illā rasūl ix BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Fenomena perkosaan merupakan bagian dari tindak kekerasan seksual. Di Indonesia, kasus tersebut berbanding lurus dengan fenomena aborsi itu sendiri, dalam arti sama-sama maraknya.1 Bahkan, akhir-akhir ini gencar diberitakan bahwa perkosaan sering dilakukan di tempat-tempat umum, seperti dalam angkutan umum.2 Farha Ciciek menjelaskan pada tahun 1997 kasus perkosaan yang dilaporkan kepada Pihak Kepolisian berjumlah 299, dan di tahun berikutnya (1998) jumlah tersebut meningkat menjadi 338 kasus.3 Lembaga Rifka Annisa yang berkantor di Yogyakarta mem-publish dalam situs resminya bahwa pada tahun 2000-2003 menerima 1 Di Indonesia, dan mungkin seluruh dunia, praktik aborsi seakan menjadi fenomena abadi. Sebagai sebuah bangsa yang mengklaim dirinya religious lagi berkeadaban, dan bahkan berbudi luhur, justru grafik praktik aborsi tidak pernah mengalami penurunan. Sebut saja misalnya data hasil penelitian yang dihimpun oleh Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia (UI) menunjukkan bahwa pada tahun 2000 di Indonesia diperkirakan sekitar dua juta aborsi telah terjadi. Angka ini dihasilkan dari penelitian yang dilakukan berdasarkan sampel yang diambil dari fasilitas-fasilitas kesehatan di enam wilayah, dan juga termasuk jumlah aborsi spontan yang tidak diketahui jumlahnya walaupun dalam hal ini diperkirakan jumlahnya kecil. Namun demikian, estimasi aborsi tersebut merupakan data yang paling komprehensif yang terdapat di Indonesia sampai saat ini. Estimasi dalam penelitian tersebut berdasarkan angka tahunan aborsi sebesar 37 aborsi untuk setiap 1.000 perempuan usia reproduksi (15-49 tahun). Estimasi ini bagi Gutmacher Institute tampak cukup tinggi bila dibandingkan dengan negara-negara lain di Asia, di mana dalam skala regional sekitar 29 aborsi terjadi untuk setiap 1.000 perempuan usia reproduksi. Diadaptasi dari Gutmacher Institute, Aborsi di Indonesia (New York: Gutmacher Institute, 2008), hlm. 1. Baca, Amnesty Internasional, Tak Ada Pilihan, Rintangan atas Kesehatan Reproduktif di Indonesia: Ringkasan Eksekutif (London: Amnesty International Publication, 2010), hlm. 8-9. Telusuri lebih lanjut dalam, Utomo B (dkk.), Insidence and Social-Psychological Aspects of Abortion in Indonesia: A Community-Base Survey in 10 Major Cities and 6 Districts, Year 2000 (Jakarta: Pusat Penelitian Kesehataan UI, 2001). 2 Baca, “Waduh! Terjadi Lagi Penumpang Angkot Diperkosa Sopir”, dalam http://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/11/10/13/lt0g3x-waduh-terjadi-lagi-penumpangangkot-diperkosa-sopir (Diakses pada tanggal 22 Nopember 2011)., “Baru Enam Bulan di Jakarta, Pengasuh Bayi Diperkosa Sopir Angkot”, dalam http://www.tempo.co/read/news/2011/10/14/064361333/Baru-Enam-Bulan-di-Jakarta-Pengasuh-BayiDiperkosa-Sopir-Angkot (Diakses pada tanggal 22 Nopember 2011)., “Bocah Lima Tahun Diperkosa Sopir Angkot “, dalam http://www.tempo.co/read/news/2011/09/30/064359209/Bocah-Lima-TahunDiperkosa-Sopir-Angkot (Diakses pada tanggal 22 Nopember 2011). 3 Farha Ciciek, “Perkosaan Terhadap Perempuan di Ruang Domestik dan Publik”, dalam S. Edi Santosa, Islam dan Konstruksi Seksualitas (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 108-109. 2 pengaduan perkosaan rata-rata 250 kasus di setiap tahunnya.4 Lebih jauh, Komnas Perempuan melaporkan bahwa dari tahun 1998 hingga 2010 sejumlah 8.326 kasus kekerasan seksual telah terjadi. Dari jumlah tersebut, jenis kasus perkosaan menempati urutan tertinggi, yakni 4.391 kasus, sementara kasus percobaan perkosaan mencapai 109 kasus.5 Estimasi tersebut bukanlah data faktual yang terjadi di lapangan. Masalahnya, banyak korban perkosaan tidak bersedia untuk melaporkan kepada Pihak Kepolisian karena stigma negatif yang akan ia terima. Lebih dari itu, perempuan korban perkosaan sering menjadi objek yang dipersalahkan. Dalam pada itu, diakui atau tidak, di antara sejumlah kasus tersebut terdapat kasus-kasus perkosaan hingga mengakibatkan kehamilan.6 Di sinilah letak urgensitas diangkatnya topik aborsi bagi korban perkosaan dalam penelitian ini. Pertanyaanya kemudian manakah yang lebih diutamakan antara haknya dan hak hidup si janin? Legalkah jika ia melakukan aborsi sebagai bentuk pemenuhan haknya? Jika memang legal, bagaimana ketentuannya? Di Indonesia, aborsi bagi korban perkosaan pada dasarnya telah diatur oleh beberapa ketentuan perundang-undangan. Di antaranya adalah Kitab Hukum Pidana 4 Lihat, http://rifka-annisa.or.id/go/rifka-goes-to-school-gender-seksualitas-dan-kekerasan/ (Diakses pada tanggal 16 Oktober 2011). 5 Tim Partisipasi Masyarakat, “Dukung Perempuan Korban Kekerasan Seksual”, dalam Berita Komnas Perempuan, Edisi 6, februari, 2011, hlm. 4. 6 Baca, “Santri Diperkosa Sampai Hamil Dua Kali”, dalam http://nasional.kompas.com/read/2008/11/22/09091350/santri.diperkosa.sampai.hamil.dua.kali (Diakses pada tanggal 02 Oktober 2011), “Santriwati Itu Diperkosa Sampai Hamil 6 Bulan”, dalam http://megapolitan.kompas.com/read/2010/01/13/14425834/Santriwati.Itu.Diperkosa.Sampai.Hamil.6. Bulan (Diakses pada tanggal 02 Oktober 2011), “Ini di Palembang, Anak Diperkosa Ayah Hingga Hamil”, dalam http://makassar.tribunnews.com/2011/07/05/ini-di-palembang-anak-diperkosa-ayahhingga-hamil, (Diakses pada tanggal 02 Oktober 2011), “Diperkosa Ayah Tiri, Siswi SMP Hamil 5 Bulan”, dalam http://www.surya.co.id/2011/07/14/diperkosa-ayah-tiri-siswi-smp-hamil-5-bulan (Diakses pada tanggal 02 Oktober 2011), “Diperkosa Hingga Hamil, Seorang Buruh Pabrik di Nganjuk Lapor Polisi”, dalam http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2011/01/08/75004 (Diakses pada tanggal 02 Oktober 2011), “Gadis 9 Tahun Hamil Bayi Kembar Akibat Diperkosa Ayah Tiri”, dalam http://www.detiknews.com/read/2009/03/02/043237/1092489/10/gadis-9-tahun-hamil-bayikembar-akibat-diperkosa-ayah-tiri (Diakses pada tanggal 02 Oktober 2011), dan “Siswi I SMP Diperkosa Kakak lpar, Hamil 4 Bulan”, dalam http://megapolitan.kompas.com/read/2010/02/05/09323161/Siswi.I.SMP.Diperkosa.Kakak.lpar.Hamil. 4.Bulan (Diakses pada tanggal 02 Oktober 2011). 3 (KUHP) Pasal 283, 299, 346, 348, 349, dan 535, serta Undang-undang (UU) No. 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan Pasal 15 dan 80. Pada tahun 2009, UU No. 23 Tahun 1992 diamandemen dengan UU No. 36 Tahun 2009. Di dalamnya juga termasuk mengamandemen pasal-pasal yang mengatur tentang aborsi bagi korban perkosaan, yakni melalui Pasal 75, 76, dan 77. Pasca-disahkannya UU No. 36 Tahun 2009 ini, perbincangan boleh dan tidaknya aborsi secara umum dan dari Kehamilan yang Tidak Dikehendaki (KTD) akibat perkosaan kerap diperbincangkan. Dalam konteks pengaturan aborsi, materi undang-undang tersebut menuai kontroversi yang berkepanjangan. Di satu pihak dianggap memasung kebebasan perempuan dan di sisi yang lain juga terdapat sekelompok kecil yang menganggap sebagai bentuk ketidakhormatan kepada manusia. Di antara dua pandangan tersebut, tidak sedikit juga masyarakat yang mendukung adanya undang-undang tersebut. Cara pandang yang digunakan oleh masing-masing kelompok berbeda satu sama lain, seperti agama, Hak asasi Manusia (HAM), dan feminisme.7 Dalam pada itu, ajaran agama merupakan tinjauan yang sering digunakan oleh masyarakat Muslim Indonesia. Maraknya penggunaan cara pandang ini menjadi wajar mengingat kasus aborsi—dalam kasus-kasus tertentu—erat kaitannya dengan persoalan zina. Sementara zina bagi masyarakat Indonesia merupakan bagian dari pelanggaran berat agama. Terlebih lagi, jika diikuti dengan kasus aborsi yang syarat dengan nuansa pemutusan kehidupan anak manusia yang tidak berdosa, sudah barang tentu jika bobot yang ditimbulkan akan lebih berat lagi. Namun, hal tersebut tentu berbeda dengan kasus aborsi dari KTD akibat perkosaan. 7 Lihat, “Tokoh Agama Tentang Aturan Aborsi”, dalam http://matanews.com/2009/10/13/tokohagama-tentang-aturan-aborsi/ (Diakses pada tanggal 24 November 2011), “DPR: Silahkan UU Kesehatan Dibawa Ke MK”, dalam http://matanews.com/2009/10/14/dpr-silahkan-uu-kesehatandibawa-ke-mk/ (Diakses pada tanggal 24 November 2011), “MUI: Korban Perkosaan Boleh Aborsi”, dalam http://www.merdeka.com/pernik/mui-korban-perkosaan-boleh-aborsi-p8ribrd.html (Diakses pada tanggal 24 November 2011), Sri Nelis, Aborsi dan Hukumnya di Indonesia, dalam http://www.sumbaronline.com/berita-4240-aborsi-dan-hukumnya-di-indonesia--.html (Diakses pada tanggal 24 November 2011), dan Yulianti Muthmainnah , Mengkritisi Undang-Undang Kesehatan Kita, dalam http://www.komnasperempuan.or.id/2010/03/mengkritisi-undang-undang-kesehatan-kita/ (Diakses pada tanggal 24 November 2011). 4 Istilah agama sendiri oleh masyarakat Muslim Indonesia identik dengan fikih itu sendiri. Artinya, jika terjadi praktik aborsi yang dibicarakan masyarakat adalah bagaimana fikih memandang itu. Padahal, agama Islam sendiri pada hakikatnya adalah syariah, al-Qur’an dan hadis, bukan semata mata fikih. Sementara itu, Islam sendiri diturunkan oleh Allah melalui Muhammad dalam bentuk al-Qur’an hanya untuk kemaslahatan manusia. Dalam proses penurunannya yang bersifat gradual tidak terlepas dari adanya tujuan-tujuan (maqāṣid al-syarīˋah) yang ingin dicapai. Kemaslahatan inilah yang seharusnya digunakan dalam memandang praktik aborsi— terlebih bagi korban perkosaan yang syarat dengan persoalan—jika hal pembicaraannya terbingkai dalam wilayah agama. Inilah yang kemudian menjadi alasan peneliti untuk memilih maṣlaḥah sebagai tinjauan analisisnya. Konsep maṣlaḥah sendiri dipahami oleh para ahli secara beragam. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan konsep maṣlaḥah perspektif Najm al-Dīn alṬūfī (kemudian disebut al-Ṭūfī). Pemilihan ini bukan tanpa alasan, tetapi lebih dikarenakan titik tekan al-Ṭūfī atas rasionalitas manusia yang lebih diunggulkan dari pada teks keagamaan dalam aras konseptual maṣlaḥah-nya.8 Penekanan rasionalitas manusia dalam konsep maṣlaḥah menjadi relevan mengingat fokus kajian penelitian ini adalah KTD akibat perkosaan, bukan KTD akibat kelalaian atau “kecelakaan” lain. Sebagaimana telah disebutkan bahwa di Indonesia praktik aborsi bagi korban perkosaan telah dilegalkan dengan ketentuan UU, seperti yang terdapat dalam UU No. 36 Tahun 2009. Sementara itu, di hadapan publik materi undang-undang ini sendiri masih menuai banyak perdebatan. Pada saat yang bersamaan, KTD akibat perkosaan merupakan dilema tersendiri bagi korban. Untuk itu, urgen kiranya jika 8 Inilah sisi perbedaan maṣlaḥah al-Ṭūfī dengan rumusan maṣlaḥah yang lain, seperti Abū Ḥāmid al-Gazalī, Abū Isḥāq al-Syāṭibī, dan Ibn al-Qayyim al-Jawziyyah. Lihat dan bandingkan, Abū Ḥāmid al-Gazalī, Al-Muṣtasfā fī ˋIlm al-Uṣūl (Beirut: Dār al-Kutub al-ˋIlmiyyah, 1980), hlm. 286., Abū Isḥāq Ibrāhim Ibn Muḥammad al-Syāṭibī, Al-Muwāfaqāt fī Uṣūl al-Syarīˋah (Beirut: Dār alMaˋrifah, 1973), juz II, hlm. 8-12., dan Ibn al-Qayyim al-Jawziyyah, Aˋlām al-Muwaqqiˋīn (Beirut: Dār al-Jalīl, 1973), hlm. 14. 5 dilakukan kajian secara mendalam terkait dengan pengaturan aborsi bagi korban perkosaan tersebut dengan tinjauan maṣlaḥah al-Ṭūfī sebagai perangkat analisisnya. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, permasalahan yang perlu diteliti adalah, “Bagaimana pengaturan aborsi bagi korban perkosaan di Indonesia ditinjau dari perspektif maṣlaḥah al-Ṭūfī? C. Tujuan Penelitian ini memiliki dua tujuan, yakni teoretis dan praktis. Tujuan teoretis penelitian ini adalah memahami dan mendeskripsikan pengaturan aborsi bagi korban perkosaan di Indonesia dilihat dengan prinsip-prinsip maṣlaḥah al-Ṭūfī sebagai perangkatnya. Sementara tujuan praktisnya, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap pengembangan ilmu pengetahuan di bidang hukum. Selain itu, penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan pemikiran dalam menjawab pertanyaan yang sering muncul di tengah masyarakat mengenai hukum aborsi bagi korban perkosaan dalam Islam. D. Kajian Pustaka Sebagai sebuah fenomena sosial yang abadi, persoalan aborsi telah banyak dibicarakan, demikian halnya dengan aborsi bagi korban perkosaan. Akan tetapi, seiring dengan munculnya UU No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan yang di dalamnya juga mengatur tentang aborsi bagi korban perkosaan, penelitian atau karyakarya tulis yang langsung berkaitan dengan undang-undang tersebut belum banyak dilakukan. Kalaupun ada, pembahasannya pun tidak dilakukan secara komprehensif. Artikel yang ditulis oleh Titik Triwulan Tutik, misalnya, karya yang berjudul Analisis Hukum Islam Terhadap Praktik Aborsi Bagi Kehamilan Tidak Diharapkan (KTD) Akibat Perkosaan Menurut Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan 6 secara sepintas memang memiliki kemiripan dengan penelitian ini tetapi dalam analisisnya Tutik justru bukan menggunakan syari’ah,9 tetapi menggunakan fikih Islam. Dalam hal ini fikih yang digunakan adalah karya Yūsuf al-Qardawī, Muhammad Mekki Naciri, intelektual bermazhab Ḥanafiyyah, dan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI).10 Dalam kesimpulannya, Tutik mengungkapkan bahwa hukum Islam –fikih- maupun UU No. 36 Tahun 2009 sama-sama memandang bahwa aborsi adalah suatu kejahatan (tindak pidana), sehingga memberikan kobolehan aborsi pada kasus, 1) apabila kehamilan tersebut akan membahayakan bagi ibu dan janin, dan 2) kehamilan tidak diharapkan akibat perkosaan. Kebolehan tersebut, bagi Tutik, hanya merujuk pada ketentuan-ketentuan medis, sehingga dalam praktiknya tidak membawa akibat yang lebih buruk bagi si ibu, dan terutama dalam hukum Islam yang harus merujuk pada syariah.11 Selain dari artikel tersebut hasil penelusuran peneliti menunjukkan bahwa belum ada satu karya pun—baik berupa artikel maupun buku—yang mengupas legalitas praktik aborsi menurut UU No. 36 Tahun 2009, terlebih jika ditinjau dari konsep maṣlaḥah. Karya-karya ilmiah yang ada secara umum masih berkutat pada kajian atas materi perundang-undangan sebelumnya. Buku Abortus Provokatus Bagi Korban Perkosaan: Perspektif Viktimologi Kriminologi dan Hukum Pidana, misalnya, karya bersama dari Suryono Ekotomo, Harum Pudjiarto, dan Widiartana tersebut masih menggunakan KUH Pidana, KUH Perdata, dan UU No. 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan sebagai objek kajiannya. Dalam kesimpulannya mereka 9 Bagi peneliti terma hukum Islam dan fikih Islam berbeda. Jika hukum Islam adalah ketentuanketentuan syariah yang diformalisasikan dalam bentuk perundangan oleh suatu pemerintahan, sementa fikih adalah hasil ijtihad para intelektual Muslim yang terdokumentasikan dalam literatur fikih maupun hanya sebatas fatwa yang diverbalkan. Lihat, Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam Indonesia: Tinjauan dari Aspek Metodologis, Legislasi, dan Yusipudensi (Jakarta: Raja Grafindo persada, 2007), hlm. 57-66. 10 Baca ulasannya dalam Titik Triwulan Tutik, “Analisis Hukum Islam Terhadap Praktik Aborsi Bagi Kehamilan Tidak Diharapkan (KTD) Akibat Perkosaan Menurut Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan”, Makalah (Semarang: Undip, 2010), hlm. 12-15. 11 Ibid., 28. 7 mengungkapkan bahwa aborsi yang dilakukan oleh korban perkosaan seharusnya bukan sebagai tindakan kriminal. Korban seharusnya mendapatkan perhatian dari hukum. Akan tetapi, kenyataannya selama ini korban malah dianggap sebagai pemicu terjadinya perkosaan. Dengan menggunakan pendekatan viktimologi dan kriminologi, ketiganya beranggapan bahwa mayoritas korban perkosaan masih belum mendapatkan perlidungan yang layak.12 Lebih jauh lagi adalah karya Istibsjaroh dengan judul, Menimbang Hukum Pornografi, Pornoaksi, dan Aborsi dalam Perspektif Islam. Tidak hanya melihat pada aspek materi hukum sebelum UU No. 36 Tahun 2009, Istibsjaroh juga mengupasnya dari sudut pandang keagamaan. Dengan menyandarkan pada pendapat M. Saˋīd Ramaḍān al-Būṭī, Istibsjaroh mengungkapkan bahwa aborsi yang disebabkan karena perkosaan diperbolehkan jika kelahiran anak tersebut dipastikan akan membawa dampak buruk bagi jiwa dan raga si ibu di kemudian hari. Aborsi untuk kasus seperti ini boleh karena perempuan yang diperkosa akan memperoleh status rukhṣah untuk melakukan aborsi, terlebih perempuan tersebut hamil bukan atas kemauannya sendiri melainkan dipaksa.13 Apa yang dilakukan oleh Istibsjaroh sepadan dengan Afwah Mumtazah dan Yulianti Muthmainnah. Dalam karya kecilnya, Menimbang Penghentian Kehamilan Tidak Diinginkan: Perspektif Islam dan Hukum Positif, dua pegiat kesetaraan gender tersebut mengkaji kasus aborsi bagi korban perkosaan dengan Islam (fikih) dan hukum positif sebagai perspektifnya. Sebagaimana Istibsjaroh, hukum positif yang 12 Suryono Ekotomo (dkk.), Abortus Provokatus Bagi Korban Perkosaan: Perspektif Viktimologi Kriminologi dan Hukum Pidana (Yogyakarta: Universitas Atmajaya Press, 2000), hlm. 206. 13 Istibsjaroh, Menimbang Hukum Pornografi, Pornoaksi, dan Aborsi dalam Perspektif Islam (Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press, 2007), hlm. 67. Dalam pada itu, Istibsjaroh memberikan catatan bahwa nila-nilai moral yang mendasari seluruh bangunan hukum—baik agama maupun negara— tentang aborsi ternyata mengalami kesulitan penerapan dan perbenturan di tingkat lapangan. Terlebih lagi, hukum positif maupun fikih Islam, menurutnya, hingga sekarang belum memasukkan agenda hakhak reproduksi perempuan, dan bahkan dalam kasusu-kasus tertentu dinafikan sama sekali. Di tengah dilema antara nilai moral dan tuntutan kebebasan perempuan untuk menjalankan hak-hak reproduksinya, menurutnya sudah saatnya agama Islam menyatakan pendirian yang tegas dengan segala konsekuensinya. Ibid., 72-73. 8 digunakan juga sebelum munculnya UU No. 36 tahun 2009. Dalam kesimpulannya, dua aktifis Rahima tersebut mengungkapkan bahwa perempuan korban perkosaan, ataupun kehamilan yang berhadapan dengan masalah ḍarūriyyah dapat dilakukan tindakan aborsi, karena secara psikis—terutama korban perkosaan—ibu hamil yang tertekan dapat berimbas serius terhadap kehamilannya, sehingga dalam jangka panjang ikut pula mengganggu kesehatan sang ibu.14 Sejalan dengan Istibsjaroh, Afwah Mumtazah, dan Yulianti Muthmainnah adalah Husein Muhammad. Sosok Kyai Pesantren ini mengalokasikan halaman karyanya untuk mengupas persoalan aborsi dalam dua buku dengan judul, Fiqh Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender (2001) dan Islam Agama Ramah Perempuan: Pembelaan Kiai Pesantren (2004). Dalam buku yang pertama Husein hanya melakukan pemetaan pandangan fuqahā’ (para pakar fikih) berkaitan dengan kasus tersebut, sementara dalam buku kedua sama sekali tidak menyentuh persoalan aborsi bagi korban perkosaan, melainkan aborsi secara umum dan terfokus pada kajian waktu diperbolehkannya aborsi di kalangan fuqahā’. Dari hasil pemetaannya Husein berkesimpulan bahwa aborsi bagi korban perkosaan diperbolehkan hanya ketika dalam kondisi dilematis. Demikian itu, menurut Husein, dalam bahasa fikih disebut dengan al-akhż bi akhaff al-ḍarūrain (mengambil pilihan yang buruk daripada yang lebih buruk), sebagaimana bunyi kaidah, iżā taˋāraḍa almafsadatān rūˋiya aˋẓamuhumā ḍarāran (jika berhadapan pada dua bahaya, maka yang harus dijaga adalah yang paling buruk).15 Apa yang dilakukan oleh para pengkaji di atas dalam masing-masing karyanya jelas berbeda dengan penelitian ini. Perbedaan ini tentunya menjadi titik kebaruan dari penelitian ini. Kebaruan yang dimaksud dapat dilihat dari dua aspek, yaitu 1) objek material-formalnya—di mana objek materialnya berupa aborsi bagi korban 14 Afwah Mumtazah dan Yulianti Muthmainnah, Menimbang Penghentian Kehamilan Tidak Diinginkan: Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif (Jakarta: Rahima, 2007), hlm. 23. 15 Husein Muhammad, Fiqh Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender (Yogyakarta: LKiS, 2002), hlm. 166. 9 perkosaan, sementara objek formalnya pengaturannya dalam ketentuan perundangundangan yang mengikut sertakan UU No. 36 Tahun 2009, dan 2) perangkat analisisnya yang berupa konsep maṣlaḥah perspektif al-Ṭūfī. Titik kebaruan ini sekaligus menjadi alasan akan urgennya penelitian ini untuk dilakukan. E. Kerangka Teori Bunyi redaksi judul di atas dapat dipahami bahwa penelitian ini memiliki dua variabel pokok yang menjadi titik utama kajiannya, yaitu materi hukum dari pengaturan aborsi bagi korban perkosaan dan tinjauan maṣlaḥah perspektif al-Ṭūfī atas struktur materi hukum tersebut. Dalam pada itu, Satjipto Rahardjo mengungkapkan bahwa hukum dibuat untuk (kepentingan/kemaslahatan) manusia, bukan sebaliknya. Hukum bukan sebagai institusi yang bersifat mutlak dan final, melainkan sebagai institusi bermoral, bernurani, dan karena itu sangat ditentukan oleh kemampuannya untuk mengabdi kepada manusia. Hukum adalah suatu institusi yang bertujuan untuk mengantarkan manusia kepada kehidupan yang berkemanusiaan yang adil beradab, sejahtera, serta membuat manusia bahagia. Oleh karena itu, jika terjadi problematika hukum, maka hukumlah yang harus ditinjau dan diperbaiki, bukan manusianya yang dipaksa-paksa untuk dimasukan ke dalam skema hukum.16 Posisi yang demikian mengantarkan satu predisposisi bahwa hukum itu selalu berada pada status ‘law in the making’ (hukum yang selalu berproses untuk menjadi).17 Adanya tujuan hukum yang hendak dicapai tersebut menunjukkan bahwa aspek kemaslahatan manusia menjadi pertimbangan penting dalam memunculkan sebuah hukum, termasuk aborsi bagi korban perkosaan. Sementara itu, sebagaimana telah 16 Satjipto Rahardjo,”Hukum Progresif: Hukum yang Membebaskan”, dalam Jurnal Hukum Progresif, Vol. 1, No. 1, April 2005, hlm. 3. Lihat pula Satjipto Rahardjo, “Konsep dan Karakteristik Hukum Progresif”, Makalah, dalam Seminar Nasional Hukum Progresif I, Diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Bekerjasama dengan Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro dan Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Jakarta di Semarang, 15 Desember 2007, hlm. 11. 17 Ibid., hlm. 6. 10 diungkap dalam latar belakang masalah bahwa membicarakan praktik aborsi, umumnya, dan bagi korban perkosaan, khususnya, senantiasa menjadikan agama sebagai salah satu tinjauannya. Agama (baca: Islam) sendiri diturunkan oleh Allah, dengan kitab al-Qur’an—sebagai perwujudan tekstualnya—dan melalui Muhammad—sebagai perantara, dalam bingkai kemaslahatan manusia. Berkaitan dengan itu, para intelektual Muslim terdahulu telah mengkonsepsikan kemaslahatan tersebut untuk kemudian dijadikan pertimbangan-pertimbangan dalam mengeluarkan hukum (istinbāṭ al-ḥukm). Dalam karyanya, Ḍawābiṭ al-Maṣlaḥah, M. Saˋīd Ramaḍān al-Būṭī mengemukakan bahwa al-maṣlaḥah adalah manfaat yang dimaksudkan oleh Allah Swt. untuk kepentingan hambanya, baik berupa pemeliharaan terhadap agama, jiwa, akal, keturunan, maupun harta mereka, sesuai dengan urutan tertentu yang terdapat di dalam kategori pemeliharaan tersebut.18 Dilihat dari tingkat kebutuhan dan skala prioritasnya, maṣlaḥah dibedakan menjadi tiga peringkat, yakni ḍarūriyyah, ḥājjiyyah, dan taḥsīniyyah. Peringkat ini akan terlihat dalam kepentingannya, manakala kemaslahatan yang ada pada masing-masing peringkat itu satu sama lain bertentangan. Jika terjadi demikian, maka peringkat ḍarūriyyah menempati urutan pertama, disusul oleh peringkat ḥājjiyyah, kemudian disusul peringkat taḥsīniyyah. Namun dari sisi lain, kelima tujuan tersebut bersifat komplementer, artinya peringkat ketiga melengkapi peringkat kedua dan peringkat kedua melengkapi peringkat pertama.19 Memelihara kelompok ḍarūriyyah berarti memelihara kebutuhan-kebutuhan esensial bagi kehidupan manusia. Kebutuhan yang esensial itu adalah memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta dalam batas tidak sampai terancam eksistensinya kelima pokok itu. Tidak terpenuhinya atau tidak terpeliharanya Muḥammad Saˋīd Ramaḍān al-Būṭī, Dawābiṭ al-Maṣlaḥah fī al-Syarīˋah al-Islāmiyyah (Kairo: Mu’assasah al-Risālah, 1965), hlm. 27. 18 19 Al-Syāṭibī, Al-Muwāfaqāt, juz II, hlm. 24-25. 11 kebutuhan-kebutuhan itu akan berakibat terancamnya eksistensi kelima hal pokok tersebut.20 Empat hal dari kelima hal pokok tersebut, dalam konteks aborsi di Indonesia saat ini dapat diejawantahkan dalam bentuk beban psikis (akal), nyawa ibu dan anak (jiwa), keturunan (status anak), dan beban ekonomi (harta). Berbeda dengan kelompok ḍarūriyyah, kebutuhan dalam kelompok ḥājjiyyah tidak termasuk kebutuhan yang esensial, melainkan termasuk kebutuhan yang dapat menghindarkan manusia dari kesulitan dalam hidupnya,21 tidak terpeliharanya hal tersebut tidak akan mengancam eksistensi kelima pokok di atas tetapi hanya akan menimbulkan kesulitan bagi seseorang. Kelompok ini erat hubunganya dengan rukhṣah atau keringanan. Sedangkan kebutuhan dalam kelompok taḥsīniyyah adalah kebutuhan yang menunjang martabat seseoranng dalam masyarakat dan dihadapan Tuhannya sesuai dengan kebutuhan.22 Pandangan al-Ṭūfī tentang maṣlaḥah berangkat dari maqāṣid al-syarīˋah bahwa tujuan tasyrīˋ adalah mewujudkan kemaslahatan kemanusiaan universal. Pemikirannya tentang maṣlaḥah bertolak dari hadis Nabi Saw.: “Tidak boleh memudaratkan dan tidak boleh pula dimudaratkan orang lain”.23 Hadis ini, menurutnya adalah “Tidak sah tindakan yang menyebabkan kerugian (pada orang lain) kecuali karena sebab yang memaksa (seperti hukuman bagi pelanggar hukum yang dibenarkan oleh syaraˋ). Sanksi hukum atau kerugian semacam ini merupakan pengecualian dari aturan umum mengenai tidak bolehnya tindakan merugikan.24 Hadis lā ḍarara wa lā ḍirāran di atas, baginya memberikan prinsip umum mengenai tidak bolehnya melakukan tindakan yang merugikan, yaitu tidak boleh melakukan 20 Ibid., 17-18. 21 Ibid., 21. 22 Ibid., 22. 23 Hadis Riwayat al-Baihaqī dalam al-Sunan al-Baihaqī al-Kubrā, al-Daruquṭnī dalam Sunan al-Dāruqutnī, dan Aḥmad bin Ḥanbal dalam Musnad Aḥmad bin Ḥanbal. Najm al-Dīn Sulaimān bin ˋAbd al-Qawiy al-Ṭūfī, Syarḥ al-Arbaˋīn al-Nawawiyyah (Beirut: Dār al-Fikr, tt), hlm. 13. 24 12 atau menyebabkan kerugian atau kerusakan sosial, harus diberi prioritas pertimbangan di atas seluruh sumber hukum tradisional atau argumen-argumen mazhab-mazhab hukum umat Muslim; penggunaan sumber-sumber hukum tersebut harus dibatasi dalam rangka mengakhiri terciptanya kerugian dan kejahatan sosial sebagai upaya merealisasikan kebaikan atau kemaslahatan sosial dalam praktik aktual.25 Sumber-sumber hukum tradisional yang paling kuat, menurut al-Ṭūfī, adalah konsensus para ahli hukum (ijmāˋ) dan teks-teks keagamaan (al-Qur’an dan hadis). Jika dua sumber ini sejalan dengan kemasalahatan manusia, maka tidak ada yang perlu dipermasalahkan. Namun, jika tidak sejalan, maka perlidungan kemaslahatan diprioritaskan dari kedua sumber tersebut. Pemberian prioritas kepada perlindungan kemaslahatan, tidak dimaksudkan untuk menghentikan secara total validitas dua sumber tersebut, tetapi untuk menjelaskan fungsinya yang proposional, tuturnya.26 Menurut al-Ṭūfī, perlindungan terhadap kemaslahatan manusia merupakan prinsip hukum paling tinggi karena ia merupakan tujuan pertama agama dan pokok dari maksud syariah. Untuk mendukung pendapat ini, ia menyatakan bahwa perlindungan terhadap kemaslahatan manusia sebagai tujuan di balik semua aturan hukum, di balik petunjuk Tuhan, dan penciptaan manusia, serta cara-cara untuk memperoleh mata pencaharian mereka.27 Konsekuensinya, hakim tertinggi atau otoritas paling tinggi dari kemaslahatan hukum dan sosial manusia menurutnya adalah akal atau intelegensia manusia sendiri. Sebab, baginya kemaslahatan hukum atau sosial dapat diketahui oleh mereka melalui sinaran intelegensi, akal, atau pengalaman hidup mereka. Pengetahuan atau pola pemahaman seperti ini sangat 25 Ibid., 16. 26 Ibid., 17. Najm al-Dīn Sulaimān bin ˋAbd al-Qawiy al-Ṭūfī, Syarḥ Mukhtaṣar Rawḍah al-Nāẓir (Saudi Arabiyah: Mamlakah al-ˋArabiyyah, al-ˋAudiyyah, 1998), hlm. 55. 27 13 alami dan telah dianugerahkan oleh Tuhan.28 Oleh sebab itu, perlindungan terhadap kemaslahatan manusia baginya merupakan sesuatu yang riil di dalam dirinya dan tidak diperdebatkan. Lain halnya dengan teks-teks keagamaan, yang menurutnya saling berbeda dan bertentangan, tidak seperti perlindungan terhadap kemaslahatan manusia, yang dipandang sebagai sesuatu yang riil dan subtansial.29 Dalam pada itu, prinsip yang dipegang oleh al-Ṭūfi adalah sebagai berikut:30 1. Akal bebas menentukan maṣlaḥah dan ke-mafsadat-an, lebih-lebih dalam persoalan sosial. 2. maṣlaḥah merupakan petunjuk syarˋī mandiri yang ke-ḥujjah-annya tidak tergantung pada konfirmasi teks, tetapi hanya tergantung padanya semata. 3. Maṣlaḥah hanya berlaku dalam persoalan sosial, sedangkan dalam persoalan spiritual dan koridor syarˋī, seperti waktu solat, jumlah rakaˋat, dan lain-lain tidak termasuk objek maṣlaḥah, karena persoalan tersebut merupakan hak prerogarif Allah semata. 4. Maṣlaḥah merupakan petunjuk syarˋī yang paling kuat. Teks-teks keagamaan, menurut al-Ṭūfī terkadang bersifat mutawātir dan kadang bersifat āḥād, kadang jelas dalam pernyataannya (secara literal dalam aturan hukumnya atau qaṭˋī) dan terkadang juga muhtamal (ẓannī). Konsekuensinya, jika teks tersebut mutawātir dan qaṭˋī maka bersifat meyakinkan atau pasti, tetapi bisa jadi ia muhtamal atau ẓannī dari segi keumuman atau ketidakterbatasan signifikansinya. Jika demikian, ia menyatakan, maka kepastian absolut disangkal atau diragukan, termasuk jika teks hadis adalah āḥād, atau tidak mutawātir, maka ia dikatakan tidak meyakinkan, tidak peduli apakah ia jelas dalam pernyataannya ataukah tidak, karena otentisitas periwayatannya meragukan. Oleh sebab itu, baginya 28 Dikutip dari Harun, “Pemikiran Najmuddin al-Thufi Tentang Konsep Maslahah Sebagai Teori Istinbath Hukum Islam”, dalam Jurnal Ishraqi, Vol. 5, No. 1, Januari-Juni 2009, hlm. 30. Al-Ṭūfī, Syarḥ Mukhtaṣar Rawḍah, hlm. 30. 29 Muṣṭafā Zayd, Al-Maṣlaḥah fī al-Tasyrīˋ al-Islāmī: Risālah ˋIlmiyyah (Kairo: Dār al-Yasar li al-Ṭabāˋah wa al-Nasyar, 1424 H.), hlm. 259. 30 14 perlindungan terhadap kemaslahatan manusia dipandang lebih kuat atau lebih meyakinkan dari teks.31 Sementara itu, dalam tinjauan hukum pidana, materi suatu hukum harus betulbetul jelas hingga tidak menimbulkan multitafsir. Untuk kemudian, materi hukum tersebut dapat menegakan rasa keadilan dan menghindari tindakan kesewenangwenangan dari penguasa, yang dalam hal ini penegak hukum. Telah dikatakan bahwa pemidanaan seseorang atau suatu kelompok tidak bisa dilakukan berdasarkan suatu opini, melainkan harus memenuhi prinsip-prinsip pemidanaan. Dengan mengutip pendapat Jescheck dan Weigend, Machteld Boot mengungkapkan: (1) nullum crimen, noela poena sine lege praevia (tidak ada pidana tanpa undang-undang sebelumnya), (2) nullum crimen, nulla peona sine lege scripta (tidak ada perbuatan pidana, tidak ada pidana tanpa undang-undang tertulis), (3) nullum crimen nulla poena sine lege certa (tidak ada perbuatan pidana, tidak ada pidana tanpa aturan undang-undang yang jelas), dan (4) nullum crimen noela poena sine lege stricta (tidak ada perbuatan pidana, tidak ada pidana tanpa undang-undang yang ketat).32 Dengan demikian, kerangka kerja penelitian ini dimulai dari deskripsi materi hukumnya. Apakah memang adanya hukum tersebut diproduk berdasarkan nilai-nilai humanistis, ataukah manusia yang harus mengikuti hukum. Kemudian, struktur materi hukum tersebut dianalisa melalui prinsip-prinsip maṣlaḥah al-Ṭūfī. Dilihat dari skala prioritasnya, maka persoalan aborsi bagi korban perkosaan termasuk kategori ḍarūriyyah. Sehingga, pertimbangan-pertimbangan yang digunakan adalah lima hal pokok, yakni agama, akal, jiwa, keturunan, dan harta. Model analisa ini dapat dijelaskan melalui ragaan berikut: 31 Al-Ṭūfī, Syarḥ Mukhtaṣar Rawḍah, hlm. 30. 32 Lihat, Eddy O.S Hiariej, Asas Legaltas dan Penemuan Hukum dalam Hukum Pidana (Jakarta: Erlangga, 2009), hlm 4-5. 15 Pengaturan Aborsi bagi Korban Perkosaan di Indonesia UU No. 23 Tahun 1992 KUHP UU No. 36 Tahun 2009 Struktur Materi Ḥifẓ al-Dīn Ḥifẓ al-̀Aql Hukum Progressif Ketentuan Hukum Pidana Maṣlaḥah al-Ṭūfī Ḥifẓ al-Nafs Ḥifẓ al-Nasl Hasil Penelitian Ḥifẓ al-Māl F. Metode 1. Jenis Penelitian Penelitian ini termasuk dalam kategori penelitian yang bersifat deskriptifanalisis berupa penggambaran tentang materi hukum aborsi bagi korban perkosaan di Indonesia. Tidak berhenti hanya pada penggambaran, analisis terhadap struktur materinya dengan menggunakan konsep maṣlaḥah al-Tūfī juga telah dilakukan. 2. Pendekatan Penelitian Menurut Peter Mahmud Marzuki, pendekatan dalam penelitian hukum terdapat lima macam, yaitu pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis (historical approach), pendekatan perbandingan (comparative approach), dan pendekatan konseptual (conceptual approach).33 Dalam penelitian ini, pendekatan yang 33 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Jakarta: Kencana, 2009), hlm. 93. 16 dianggap relevan dengan permasalahan yang diangkat di antaranya adalah pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Pendekatan perundang-undangan dianggap relevan karena dalam penelitian ini, peneliti telah menganalisa pengaturan aborsi bagi korban perkosaan di Indonesia, sementara pendekatan konseptual digunakan untuk menganalisa struktur konseptual dari materi pengaturan tersebut dengan perspektif maṣlaḥah al-Ṭūfī. 3. Jenis Pengumpulan Data Pengumpulan data dalam penelitian pada umumnya dibedakan antara data yang diperoleh secara langsung dari masyarakat dan dari data yang diperoleh dari bahan-bahan pustaka. Data yang dipeoleh pada jenis pertama dinamakan data primer, sementara jenis kedua dinamakan data sekunder. Apabila penelitiannya bersifat kepustakaan, maka data yang diperlukan adalah data sekunder. Sebagaimana tampak dari redaksi judul di atas, maka penelitian ini termasuk dalam kategori normatif. Sebagaimana lazimnya, penelitian normatif berbasis pada studi dokumen dan wawancara. Namun demikian, sumber data utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, yakni data yang diperoleh dari bahan kepustakaan.34 Dalam penelitian hukum, data sekunder dilihat dari kekuatan mengikatnya digolongkan menjadi:35 a. Bahan Hukum Primer 1) KUHP 2) UU No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan 3) Karya al-Ṭūfī berupa: Syarḥ al-Arbaˋīn al-Nawawiyyah, Syarḥ Mukhtaṣar Rawḍah al-Nāẓir, dan Risālah fi Riˋāyah al-Maṣlaḥah. 34 Soerjono Soekamto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: UI Press, 1986), hlm. 51. 35 Ibid., hlm. 52. 17 b. Bahan Hukum Sekunder Termasuk dalam kategori ini adalah bahan-bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, misalnya hasil penelitian dan karya-karya yang berkaitan dengan fokus penelitian ini. c. Bahan Hukum Tersier Termasuk dalam kategori ini dalah bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus atau ensiklopedia. 4. Teknik Pengumpulan Data Metode yang digunakan dalam pengumpulan data ini adalah dokumentasi data literer. Sehingga, langkah yang akan dilakukan peneliti adalah mencari sumber-sumber data di atas baik di perpustakaan fisik maupun di perspustakaan elektronik. 5. Teknik Analisis Data Teknik yang digunakan dalam menganalisis data dalam penelitian ini adalah deskriptif-kualitatif, yaitu data yang disajikan secara deskriptif dan dianalisis secara kualitatif (content analysis) dengan langkah-langkah, seperti: klasifikasi, sistematisasi, dan analisis dasar suatu simpulan. G. Sistematika Pembahasan Rangkaian pembahasan dalam sebuah penelitian harus berkaitan satu sama lain dalam satu bingkai kajian. Untuk itu, agar dapat dilakukan lebih runtut dan terarah, penelitian ini dibagi dalam empat bab pembahasan. Adapun sistematisasi empat bab tersebut adalah sebagai berikut: Bab pertama berisi pendahuluan yang medeskripsikan secara utuh seputar penelitian ini. Karenanya, ulasan bab ini terdiri dari; latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan, kajian pustaka, metode penelitian yang digunakan, dan sistematika pembahasan. Bab ini sebagai 18 kerangka dari seluruh isi penelitiannya. Sedangkan secara rinci, hasil penelitian tersebut peneliti ulas dalam beberapa bab selanjutnya. Bab kedua berisi ulasan tentang aborsi dalam tinjauan umum. Yang dimaksud dengan tinjauan umum adalah gambaran umum berkaitan dengan persoalan aborsi. Pembahasan dirangkai melalui tinjauan definitif, macam-macam aborsi, metode yang digunakan, dan pandangan intelektual Muslim konvensional terhadap kasus aborsi. Intelektual Muslim konvensional yang dijadikan miniaturnya adalah pandangan empat imam mazhab fikih atau yang mewakilinya (aṣḥāb al-mażhab) dan MUI. Dalam struktur pembahasan penelitian, bab ini dimaksudkan sebagai pengantar untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan mengenai konsep maṣlaḥah. Untuk melihat titik-titik perbedaan rumusan al-Ṭūfī dari rumusan intelektual Muslim yang lain, uraian mengenai konsep maṣlaḥah konvensional diulas sebelum mengurai secara detai konsep maṣlaḥah perspektif al-Ṭūfī. Biografi al-Ṭūfī juga menjadi bagian pembahasan ini guna mencegah distorsi pembacaan suatu pemikiran tokoh. Adapun jawaban atas permasalahan di atas akan diuraikan dalam bab ketiga. Sebagaimana dijelaskan dalam kerangka teori bahwa terdapat dua variabel pokok yang menjadi titik utama penelitian ini, yaitu materi hukum dari pengaturan aborsi bagi korban perkosaan di indonesia dan tinjauan maṣlaḥah atas struktur materi hukum tersebut. Adapun aspek-aspek yang dikaji dalam bab ini meliputi, latar belakang pembentukan, struktur materi hukum, kontroversi atas materi hukum tersebut, dan analisis atas struktur materi hukum aborsi bagi korban perkosaan dalam perundang-undangan di Indonesia dengan tinjauan maṣlaḥah al-Ṭūfī. Sedangkan bab kelima adalah penutup yang berisikan kesimpulan dan rekomendasi dari seluruh hasil penelitian serta saran-saran untuk para peneliti selanjutnya. BAB II ABORSI DAN KONSEP MAṢLAḤAH PERSPEKTIF NAJM AL-DĪN AL-ṬŪFĪ A. Pengertian dan Macam-Macam Aborsi Secara etimologi aborsi berasal dari bahasa Inggris, yaitu abortion dan dari bahasa Latin, yaitu abortus, yang artinya pengguguran kandungan, keluron (Jawa), keguguran.1 Sementara itu, aborsi dalam bahasa Arab diartikan al-ijhāḍ, yang merupakan bentuk maṣdar dari kata ajhaḍa, yang artinya lahirnya janin karena dipaksa atau lahir dengan sendirinya sebelum tiba saatnya.2 Sementara itu, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata aborsi diartikan lebih detail, yaitu: (1) terpancarnya embrio yang tidak mungkin hidup lagi (sebelum bulan keempat dari kehamilannya); keguguran atau keluron; (2) keadaan terhentinya pertumbuhan yang normal (untuk mahluk hidup); (3) guguran (janin).3 Secara terminologi (istilāḥī)—mengutip penelitian dari Jurnalis Udin dkk., fuqahā memberikan definisi aborsi dengan redaksi berbeda, namun bermuara pada substansi yang sama. Ibrāhim al-Nakhaˋī mengatakan bahwa aborsi adalah pengguguran janin dari rahim ibu hamil, baik sudah berbentuk sempurna atau belum. Tidak jauh berbeda dengan al-Nakhaˋī adalah definisi ˋAbdullāh bin Aḥmad, yang menyatakan bahwa aborsi adalah merusak mahluk yang ada dalam rahim perempuan. Demikian pula menurut ˋAbdul Qadir Audah, di mana ia berpendapat bahwa aborsi adalah pengguguran kandungan dan perampasan hak 1 M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyah pada Masalah-Masalah Kontemporer Hukum Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998), hlm. 44. 2 Mahjuddin, Masailul Fiqhiyah Berbagai Kasus yang Dihadapi Hukum Islam Masa Kini (Jakarta: Kalam Mulia, 2005), hlm. 76. Selain diartikan dengan istilah al-ijhāḍ, aborsi juga diartikan para fuqahā dengan istilah isqāṭ (menjatuhkan), ṭarḥ (membuang), ilqā’ (melempar), dan imlāṣ (melahirkan dalam keadaan mati). Lihat, Jurnalis Uddin, dkk., Reinterpretasi Hukum Islam Tentang Aborsi (Jakarta: Universitas Yarsi, 2006), hlm. 130. 3 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan & Balai Pustaka, 1940), hlm. 2. 20 hidup janin atau perbuatan yang dapat memisahkan antara janin dengan ibunya. Sedangkan bagi al-Gazalī, aborsi adalah pelenyapan nyawa janin atau merusak sesuatu yang sudah terkonsepsi (mawjūd al-ḥaṣil).4 Definisi aborsi lebih detail terurai dalam Grolier Family Encyclopedia. Sebagaimana dikutip Khairuddin Nasution, aborsi didefinisikan dengan, “..is the termination of a pregnancy by loss or destruction of the fetus before birth. An abortion may be spontaneous or induced. The latter is an act with ethical and legal ramifications”.5 Secara medis, bagi William Obstetric, aborsi dipahami sebagai tindakan penghentian kehamilan di bawah 20 minggu atau saat berat janin kurang dari 500 gram.6 Senada dengan pemahaman itu adalah definisi WHO, baginya aborsi adalah penghentian kehamilan sebelum janin dapat hidup di luar kandungan atau berat janin kurang dari 500 gram.7 Definisi lebih sederhana dirumuskan oleh Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran, baginya aborsi merupakan pengeluaran buah 4 Maksud pernyataan al-Gazalī di atas adalah setelah terjadinya pertemuan antara sperma dan ovum. Jika berdasarkan tes urin positif, maka itulah awal kehidupan. Akan tetapi jika dirusak, maka itu adalah pelanggaran pidana (jināyah). Hal ini dikarenakan bahwa fase kehidupan janin bermula dari terpancarnya sperma ke dalam vagina, yang kemudian bertemu dengan ovum perempuan, atau sebut dengan konsepsi. Setelah konsepsi berarti sudah ada kehidupan. Baca, Jurnalis Uddin, dkk., Reinterpretasi Hukum Islam…, hlm. 131. 5 Khoiruddin Nasution, “Pandangan Islam Tentang Aborsi”, dalam Musawa: Jurnal Studi Gender dan Islam, Vol. 2, Tahun 2003, hlm. 114. Lihat juga, Jurnalis Uddin, dkk., Reinterpretasi Hukum Islam…, hlm. 130. 6 Aborsi secara medis dan hukum, biasa disebut dengan istilah abortus provokatus, yang dalam ensiklopedia Islam diartikan sebagai penghentian dan pengeluaran hasil kehamilan dari rahim sebelum janin bisa hidup di luar kandungan (viability). Lihat, Redaksi, Ensiklopedi Islam (Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1994), hlm. 33. Lebih lanjut, aborsi diartikan pengeluaran, karena keluarnya janin itu dilakukan secara sengaja oleh campur tangan manusia—baik melalui alat mekanik, obat, atau cara yang lainnya dan dengan alasan-alasan tertentu. Di antara alasan yang menyebabkan wanita melakukan aborsi adalah: (1) alasan sosial ekonomi untuk mengakhiri kehamilan dikarenakan tidak mampu membiayai atau membesarkan anak, (2) adanya alasan bahwa seorang wanita tersebut ingin membatasi atau menangguhkan perawatan anak karena ingin melanjutkan pendidikan atau ingin mencapai suatu karir tertentu, (3) alasan usia terlalu muda atau terlalu tua untuk mempunyai bayi, (4) akibat adanya hubungan yang bermasalah (hamil diluar nikah) atau kehamilan karena perkosaan dan incest, dan (5) alasan bahwa kehamilan akan dapat mempengaruhi kesehatan baik bagi si ibu maupun bayinya. Lihat, Lysa Angrayni, “Aborsi dalam Pandangan Islam dan Hukum Positif di Indonesia”, dalam Jurnal Hukum Islam, Vol. VII, No. 5, Juli 2007, hlm. 537. 7 WHO, Safe Abortion: Technical and Policy Guidance for Health System (4 September 2000). 21 kehamilan ketika masih sedemikian kecilnya, sehingga tidak dapat hidup di luar rahim.8 Berangkat dari beberapa definisi aborsi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa sebuah tindakan disebut aborsi, jika ada beberapa unsur. Di antaranya adalah unsur kesengajaan, terjadi pada masa kehamilan belum sempurna, dan sebagian anggota tubuhnya telah terbentuk. Bertolak dari definisi aborsi versi fuqahāˋ dan aborsi versi ahli kedokteran, maka titik temu antara keduanya yaitu, adanya upaya tertentu untuk mengakhiri kehamilan dan dilakukan pada saat janin belum bisa hidup di luar kandungan. Karena itu, peneliti mendefinisikan bahwa aborsi adalah penghentian kehamilan dengan cara pelenyapan atau merusak janin pada fetus sebelum kelahiran. Aborsi ini dapat dilakukan dengan cara spontan atau paksa. Sementara aborsi paksa ini adalah tindakan yang erat hubungannya dengan masalah etika dan hukum. Berdasarkan segi kejadiannya, menurut Masjfuk Zuhdi, aborsi dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu aborsi spontan dan aborsi buatan/disengaja.9 Aborsi spontan (abortus spontanea) adalah pengguguran secara tidak disengaja dan terjadi tanpa tindakan apapun. Pengguguran dalam bentuk ini lebih sering terjadi karena faktor di luar kemampuan manusia, seperti pendarahan dan kecelakaan. Pengguguran seperti ini tidak menimbulkan akibat hukum. Sementara aborsi buatan (abortus provocatus) adalah pengguguran yang terjadi sebagai akibat dari suatu tindakan. Artinya, ada campur tangan dari manusia akan kejadian tersebut. Aborsi dalam bentuk ini dapat dibedakan dalam dua macam, yaitu therapicus dan criminalis. Abortus provocatus therapicus adalah pengguguran yang dilakukan oleh dokter karena indikasi medis.10 Jika kehamilan diteruskan, maka akan 8 Lihat Jurnalis Uddin, dkk., Reinterpretasi Hukum Islam…, hlm. 131. 9 Masjfuk Zuhdi, Islam dan Keluarga Berencana di Indonesia (Bina Ilmu: Surabaya,1986), hlm. 39. 10 Di Indonesia, yang dimaksud dengan indikasi medis adalah demi menyelamatkan nyawa ibu. Namun demikian terdapat enam syarat yang menjadi ketentuannya. Pertama, dilakukan oleh tenaga kesehatan yang memiliki keahlian dan kewenangan untuk melakukannya (yaitu seorang dokter ahli 22 membahyakan jiwa si calon ibu; karena ada penyakit berat, misalnya. Sementara abortus provocatus criminalis adalah pengguguran yang dilakukan tanpa dasar indikasi medis. Model yang terakhir ini dapat dicontohkan dengan aborsi yang dilakukan untuk meniadakan hasil hubungan seks di luar nikah atau untuk mengakhiri kehamilan yang tidak dikehendaki. Lebih lanjut dijelaskan bahwa abortus provocatus criminalis sering disebut dengan aborsi illegal dan ada ancaman hukumannya—baik hukum pidana maupun hukum Islam. Sedangkan untuk dua macam aborsi yang lain abortus spontanea dan abortus provocatus therapicus, hukum pidana dan hukum Islam memberikan kualifikasi dan ketentuan yang berbeda-beda dengan melihat pada faktor penyebabnya, ringan atau beratnya, serta jenis dan sifatnya. Bertolak dari pembagian aborsi di atas, aborsi sebenarnya memiliki arti yang luas, yaitu mencakup pengguguran secara sengaja maupun tidak disengaja (spontan). Pengertian ini tentu sangat berbeda dengan definisi aborsi yang telah dijelaskan di atas, yaitu aborsi definisikan hanya dilakukan secara sengaja. Berbeda dengan Masjfuk Zuhdi, dalam hal pembagian aborsi ini, Kusmaryanto membedakan jenis aborsi ke dalam Sembilan macam :11 1. Miscarriage, yaitu berhentinya kehamilan sebelum bayi bisa hidup di luar kandungan, tanpa campur tangan manusia. 2. Abortus provocatus, yaitu penghentian hasil kehamilan dari rahim sebelum janin bisa hidup di luar kandungan. kebidanan dan penyakit kandungan) yang sesuai dengan tanggung jawab profesi. Kedua, harus meminta pertimbangan tim ahli (ahli medis lain, agama, hukum, psikologi). Ketiga, harus ada persetujuan tertulis dari penderita atau suaminya atau keluarga terdekat. Keempat, dilakukan di sarana kesehatan yang memiliki tenaga/peralatan yang memadai, yang ditunjuk oleh pemerintah. Kelima, prosedur tidak dirahasiakan. Keenam, dokumen medik harus lengkap. Lihat, Arti Rosaria Dewi, Abortus dalam Pandangan Islam, hlm. 3-4, dalam http://ebookbrowse.com/abortus-dalam-pandanganislam-ppt-d149342242, diakses tanggal 7 Febuari 2012. 11 CB. Kusmaryanto, Kontroversi Aborsi (Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 2002), hlm. 11-18. 23 3. Abortus provocatus therapicus, yaitu penghentian kehamilan dengan indikasi medis untuk menyelamatkan nyawa ibu. 4. Abortus provocatus criminalis, yaitu penghentian kehamilan sebelum janin bisa hidup di luar kandungan dengan alasan-alasan selain untuk terapi. 5. Abortus Eugenetik, yaitu penghentian kehamilan untuk menghindari kelahiran bayi yang cacat atau bayi yang mempunyai penyakit genetis. 6. Aborsi langsung-tidak langsung. Aborsi langsung adalah tindakan medis yang tujuannya secara langsung ingin membunuh janin yang ada dalam rahim ibu. Sedangkan aborsi tidak langsung adalah tindakan medis yang mengakibatkan aborsi, meskipun aborsinya sendiri bukan tujuan dalam tindakan tersebut. 7. Selective Abortion, yaitu penghentian kehamilan karena janin yang dikandung tidak memenuhi kriteria yang diinginkan. 8. Embryo reduction, yaitu pengurangan janin dengan menyisakan satu atau dua janin saja, karena dikhawatirkan mengalami hambatan perkembangan, atau bahkan tidak sehat perkembangannya. 9. Partial Birth Abortion, yaitu penghentian kehamilan dengan memberikan obat-obatan kepada wanita hamil, dengan tujuan agar cervix (leher rahim) terbuka secara prematur. Selanjutnya dokter menggunakan alat khusus untuk memutar posisi bayi, sehingga yang keluar lebih dulu adalah kakinya. Kemudian bayi itu ditarik keluar, tetapi tidak seluruhnya, agar kepala bayi tetap berada dalam tubuh ibunya. Ketika di dalam itulah dokter menusuk kepala si bayi, sehingga si bayi mati. Sesudah bayi itu mati, baru dikeluarkan semuanya. Proses semacam ini dilakukan untuk menghindari masalah hukum, sebab jika bayi itu dibunuh setelah lahir, maka pelakunya akan dihukum . 24 Menurut Syaltūṭ, sebagaimana yang dikutip oleh Jurnalis Udin dkk., aborsi berdasarkan sisi peniupan ruh ke dalam janin yang ada di dalam rahim ibunya, dapat dibedakan menjadi dua macam. Pertama, aborsi yang dilakukan sebelum peniupan ruh. Berkaitan dengan aborsi pada waktu ini, ulama berbeda pendapat, ada yang membolehkan dan ada yang melarang secara mutlak. Kedua, aborsi yang dilakukan sesudah peniupan ruh ke dalam janin. Berkaitan dengan aborsi pada waktu ini, jumhur ulama sepakat bahwa aborsi ini diharamkan, kecuali dalam keadaan darurat.12 Bertolak dari pemaparan pembagian aborsi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa aborsi bisa terjadi baik secara spontan maupun disengaja. Dalam hal ini, aborsi karena KTD (Kehamilan Tidak Dikehendaki)—di dalamnya mencakup aborsi akibat perkosaan—termasuk ke dalam aborsi yang disengaja/abortus provokatus, khususnya masuk pada bagian abortus provokatus criminalis. Sementara itu, mengenai waktunya, aborsi dapat terjadi kapan pun, baik sebelum maupun sesudah peniupan ruh. B. Metode Aborsi 1. Tradisional Banyak cara yang dapat ditempuh untuk melakukan aborsi, di antaranya adalah dengan menggunakan jasa ahli medis rumah sakit. Cara seperti ini pada umumnya dilakukan di negara-negara yang melegalkan aborsi. Sementara di negara-negara yang melarang aborsi, banyak wanita yang datang kepada para dukun untuk menggugurkan kandungannya. Hal ini terpaksa dilakukan karena jika menggunakan jasa medis tentu pelaku aborsi akan khawatir jika hukum akan ikut campur tangan. Penggunaan jasa dukun yang tidak memiliki keahlian ini sudah barang tentu berpotensi menimbulkan resiko yang tinggi. Di antara resiko yang terjadi adalah meningkatnya AKI (Angka Kematian Ibu). AKI manjadi meningkat karena pelayanannya—dalam hal ini metode aborsi 12 Baca, Jurnalis Uddin, dkk., Reinterpretasi Hukum Islam…, hlm. 75. 25 tradisional—tidak sesuai dengan standar profesi medis. Ada beberapa cara dalam metode aborsi tradisional, di antaranya adalah: 13 a. Penggunaan ramuan, dengan jamu peluruh rahim, atau dengan meminum nanas muda yang dicampur lada (merica). b. Manipulasi fisik, seperti dengan melakukan pijatan pada rahim, agar janin lepas dari rahim. c. Menggunakan alat bantu tradisional yang tidak steril, dan berakibat negatif pada rahim. Berangkat dari fakta aborsi dan berbagai cara yang dilakukan metode aborsi tradisional, ia kerap diklaim sebagai metode yang tidak aman dan ilegal.14 Di anggap tidak aman dan illegal karena tidak dilakukan dengan tenaga ahli dan dilakukan tanpa dasar peraturan perundang-undangan yang berlaku. 2. Modern Aborsi yang dilakukan secara modern, dalam hal ini yaitu secara medis. Aborsi secara modern ini tentu aborsi yang aman, karena dilakukan oleh dokter atau tenaga kesehatan yang terlatih, dan dilaksanakan di tempat yang memenuhi persyaratan medis, serta dilakukan dengan metode yang memenuhi syaratsyarat kesehatan. Dengan demikian resiko kematian sangat kecil. Meskipun demikian, tidak berarti bahwa aborsi secara modern ini legal, karena pada faktanya banyak dokter yang melakukan aborsi secara illegal, yaitu tanpa medasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Lebih jelasnya, aborsi secara modern biasanya menggunakan cara sebagai berikut:15 13 Suharyo, “Masalah Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD) di Kalangan Remaja dan Dampak Ketidakadilan Gender”, dalam Jurnal Kemas, Vol. 4, No. 1, Juli-Desember 2008, hlm. 92. Telusuri juga, Romli Atmasasmita, dkk., Penelitian Tentang Aspek Hukum Pelaksanaan Aborsi Akibat Perkosaan (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, 2004), hlm. 24. 14 WHO mendefinisikan aborsi tidak aman sebagai terminasi (penghentian) kehamilan yang dilakukan oleh tenaga tidak terlatih atau di tempat yang tidak memenuhi standar medik. Baca, Jurnalis Uddin, dkk., Reinterpretasi Hukum Islam, hlm. 8. 15 Suharyo, Masalah Kehamilan Tidak Diinginkan, hlm. 92-93. 26 a. Curattage & Dilatage (C&D), yaitu pengerokan dengan sendok kuret maupun vacuum kuret pada dinding tempat menempelnya janin. b. Memasukkan cairan NaCI Hipertosis pada lapisan amnion, untuk melepaskan janin dari dinding rahim. c. Pemberian prostaglandin PgF2 melalui pembuluh darah balik, dan memasukkannya melalui vagina dan uterus, dengan dosis tertentu. d. Dengan melakukan vacuum aspiration, yaitu menggunakan semacam selang plastik berdiameter tertentu, untuk menghisap janin dari rongga rahim. e. Selain itu, ada metode aborsi yang terbaru, yaitu dengan menggunakan pil aborsi (RU-486) atau yang dalam istilah kimianya “mifepristone”.16 Berangkat dari kedua metode aborsi di atas, tentu resiko aborsi modern sangat kecil dibandingkan dengan aborsi tradisional, yang dilakukan oleh tenaga yang tak terlatih. Beberapa penyebab utama resiko tersebut antara lain: Pertama, sepsis yang disebabkan oleh aborsi yang tidak lengkap, sebagian atau seluruh produk pembuahan masih tertahan dalam rahim. Jika infeksi ini tidak segera ditangani akan terjadi infeksi yang menyeluruh sehingga menimbulkan aborsi septik. Kedua, perdarahan. Hal ini disebabkan oleh aborsi yang tidak lengkap, atau cedera organ panggul atau usus. Ketiga, efek samping jangka 16 Pil aborsi ini pertama kali ditemukan di Prancis, dan mulai dipakai di sana sejak 1988. Selain di Prancis, pil aborsi ini dipakai di 11 negara lain dan 15 negara Uni Eropa. Setelah masa pertimbangan lama di Amerika Serikat, pil aborsi ini baru disetujui oleh Food and Drug Administration pada tahun 2000. Di Belanda, banyak kritik atas metode ini, karena dinilai mahal dan mempunyai efek yang tidak nyaman bagi si perempuan tersebut, seperti rasa sakit, mual, dan pendarahan. Meskipun timbul berbagai efek samping yang menyakitkan, namun perlu diakui bahwa sistem ini lebih menjamin privasi bagi si perempuan, karena ia tidak perlu ke klinik untuk menjalani prosedur aborsi secara medis, yang beritanya akan dikonsumsi publik. Baca, Mien Rukmini, dkk., Penelitian Tentang Aspek Hukum Pelaksanaan Aborsi Akibat Perkosaan (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, 2004), hlm. 45. 27 panjang berupa sumbatan atau kerusakan permanen pada tuba fallopi (saluran telur) yang menyebabkan kemandulan.17 C. Aborsi dalam Kontroversi Ulama Konvensional Dalam fikih, perdebatan intelektual Muslim mengenai aborsi lebih banyak berkisar pada sebelum peniupan ruh kepada janin (qabla nafkh al-rūḥ). Sedangkan sesudah peniupan ruh (baˋda nafkh al-rūḥ), semua ulama sepakat melarangnya, kecuali dalam kondisi darurat, yaitu untuk melindungi nyawa ibunya. Jika demikian, pertanyaan yang muncul kemudian adalah, kapan kehidupan manusia itu dimulai? Jawaban dari pertanyaan tersebut akan terkemas dalam ragam pandangan intelektual Muslim terhadap aborsi. 1. Pandangan Empat Imam Mazhab Fikih Kontroversi ulama mengenai aborsi tidak hanya terjadi antar mazhab, akan tetapi juga terjadi pada tubuh internal mazhab. Secara khusus, ikhtilāf hukum terjadi untuk aborsi di bawah usia 120 hari (4 bulan). a. Mazhab al-Syāfiˋī Mengenai hukum aborsi qabla nafkh al-rūḥ—sebagaimana yang dikutip oleh Jurnalis Udin dkk., ulama Mazhab al-Syāfiˋī berselisih pendapat. Di antara ulama Mazhab al-Syāfiˋī yang mengharamkan aborsi qabla nafkh al-rūḥ adalah al-ˋImdān. Pendapatnya ini sebagaimana alGazalī18 yang sangat tidak menyetujui pelenyapan janin, meskipun baru 17 Titik Triwulan Tutik, “Analisis Hukum Islam Terhadap Praktik Aborsi Bagi Kehamilan Tidak Diharapkan (KTD) Akibat Perkosaan Menurut Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan”, Makalah (Semarang: Undip, 2010), hlm. 6. 18 Imam al-Gazalī adalah penganut mazhab Syāfiˋī beraliran sufi. Dia sangat tidak menyetujui aborsi, meskipun baru pada ranah konseptual. Al-Gazalī menganggap tindakan aborsi adalah bagian dari tindakan jināyah, meski kadarnya kecil. Al-Gazalī menggambarkan konsepsi atau percampuran antara sperma dan ovum sebagai transaksi serah terima (ijāb-qabūl), yang tidak boleh dirusak. Sementara itu, lanjut al-Gazalī, tindakan yang diperbolehkan adalah senggama terputus (ˋazl). Abū Ḥāmid al-Gazalī, Ihyā ˋUlūm al-Dīn (Beirut: Dār al-Maˋrifah, 1983), Juz II, hlm. 51. Baca juga, Maria Ulfah, “Aborsi dan Dilema Kesehatan Reproduksi Perempuan”, dalam Rumadi dkk., Perempuan dalam Relasi Agama dan Negara: Komisi Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, (Jakarta: Komnas 28 berbentuk nuṭfah (air mani). Berbeda dengan mereka adalah Abū Saˋd. Baginya, hal itu boleh dilakukan selama masih berupa nuṭfah (air mani) dan ˋalaqah (segumpal darah). Demikian juga dengan ulama Mazhab al-Syāfiˋī lainnya yang memperbolehkan aborsi sebelum janin berusia 120 hari—yakni sebelum janin ditiupkan ruh dan terbentuk anggota-anggota tubuhnya. Sementara ulama Mazhab al-Syāfiˋī yang lainnya lagi, seperti al-Ramlī dan al-Nawawī memperbolehkan aborsi sebelum berbentuk muḍghah (segumpal daging)—yakni belum melewati 42 hari.19 Dalam pada itu, ulama yang memperbolehkan aborsi qabla nafkh alrūḥ, ber-ḥujjah bahwa di dalam janin belum ada kehidupan sebelum peniupan ruh, maka bila digugurkan berarti tidak termasuk jināyah. Sedangkan ulama yang mengharamkannya—dalam hal ini aborsi qabla nafkh al-rūḥ, ber-ḥujjah bahwa pada hakikatnya sebelum janin ditiupkan ruh, ia sudah memiliki kehidupan yang tetap meski belum nampak. Namun demikian, perbedaan-perbedaan tersebut bermuara pada satu pendapat bahwa aborsi baˋda nafkh al-rūḥ hukumnya haram.20 b. Mazhab Ḥanafī Ulama Ḥanafī memperbolehkan aborsi qabla nafkh al-rūḥ, akan tetapi harus disertai syarat-syarat yang rasional. Alasan yang dipakai adalah kemaslahatan, baik untuk ibu maupun janinnya. Kebolehan di sini bukan berarti pelaku bebas dari dosa, sebab jika janin yang diaborsi telah memasuki tahap muḍgah (segumpal daging), maka pelakunya perlu dikenakan taˋzīr, karena telah merampas hak janin.21 Namun demikian, ada seorang ulama Ḥanafiyyah yang melarang aborsi qabla nafkh al-rūḥ secara Perempuan, 2010), hlm. 147. Lihat juga, Istibsjaroh, Menimbang Hukum Pornografi, Pornoaksi, dan Aborsi dalam Perspektif Islam (Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press, 2007), hlm. 63. 19 Jurnalis Uddin, dkk., Reinterpretasi Hukum Islam, hlm.76-77. 20 Ibid., hlm. 79. 21 Ibid., hlm. 82-84. 29 mutlak, ulama tersebut bernama ˋĀbidīn. Dia mengatakan bahwa aborsi qabla nafkh al-rūḥ tidak ada bedanya dengan membunuh anak manusia. Menurutnya, jika janin yang diaborsi dalam keadaan mati, maka pelaku wajib membayar ghurrah dan disunnatkan membayar kifarat. Akan tetapi, jika janin keluar dalam keadaan hidup lalu mati, disunnatkan membayar diyah kāmilah dan kafarat.22 c. Mazhab Mālikī Ulama Mālikī adalah ulama yang paling berhati-hati dalam menyikapi masalah aborsi. Bagi mereka, aborsi dalam bentuk apapun diharamkan, meskipun air mani baru tersimpan di dalam rahim ibu—apalagi jika janin sudah berusia 40 hari. Pengharaman ini dianggap sebagai jināyah dan merampas hak hidup janin. Jika dilanggar, maka pelakunya wajib dikenai hukuman. Semakin tua usia kandungannya, maka semakin besar pula hukumannya.23 Dalam pada itu, bagi pelaku kasus aborsi qabla nafkh al-rūḥ, maka Imām Mālik sangat ekstrim, yaitu mewajibkan gurrah. Meskipun 22 Dalam persoalan kifarat ini, intelektual Muslim Ḥanafiyyah sejalan dengan kelompok Mālikiyah, yakni menghukumi kifarat sebagai hal yang tidak wajib, tetapi baik untuk dikerjakan (istihsān/mandūb). Sedangkan ulama Syāfiˋiyyah dan Ḥanabilah, menganggap kifarat sebagai hal yang wajib, karena aborsi baˋda nafkh al-rūḥ dikategorikan sebagai bentuk pembunuhan terhadap manusia. Sementara semua mazhab empat sepakat, jika janin keluar dari kandungan ibunya dalam keadaan hidup, kemudian mati, maka pelaku dibebani kifarat selain diyat kāmilah, Baca lebih lanjut, Ibid., hlm. 90. 23 Ada beberapa sanksi bagi pelaku atau penyebab aborsi, sanksi ini disesuaikan dengan akibat yang ditimbulkannya. Sanksi tersebut ada empat macam. Pertama, gurrah, yaitu denda yang nilainya 5% dari diyat penuh atau senilai lima ekor unta. Kedua, kifarāt, yaitu ganti rugi. Ketiga, diyat, yakni tebusan. Keempat, taˋzīr, yaitu hukuman atas pertimbangnan hakim. Dalam pada itu, sanksi berupa gurrah berlaku jika aborsi telah memenuhi lima syarat. Pertama, adanya tindakan tertentu yang menyebabkan janin gugur. Kedua, janin gugur setelah terjadinya tindakan tertentu. Ketiga, janin keluar dalam keadaan meninggal. Keempat, janin sudah melewati masa muḍgah (sudah terbentuk). Kelima, orang tua janin bukan kafir ḥarbī kedua-duanya. Sementara diyat penuh berlaku bagi pelaku aborsi di atas enam bulan. Diyat penuh juga berlaku jika janin diketahui hidup di dalam rahim ibunya, kemudian terbunuh karena tindakan kriminal terhadap ibunya, dan bukan dimaksudkan untuk membunuh janin itu sendiri. Namun demikian, jika tindakan tersebut dimaksudkan untuk mencelakai si janin itu sendiri, maka pelakunya wajib membayat kifarat. Demikian pendapat mayoritas ulama, termasuk Syāfiˋiyyah dan Ḥanabilah. Lihat al-Syarbinī, Mugnī al-Muḥtaj (Beirut: Ihyā’ al-Turāṡ al-ˋArabī), Juz IV, hlm. 105. 30 ekstrim, namun Imām Mālik memberikan kelonggaran untuk melakukan aborsi, yaitu apabila dalam keadaan darurat, misalnya kehamilan akibat perkosaan atau untuk menyelamatkan nyawa si ibu.24 d. Mazhab Ḥanbalī Menurut Mazhab Ḥanbalī, aborsi dihalalkan sebelum usia janin 40 hari—ini artinya jika janin lebih dari usia tersebut, maka aborsi diharamkan. Aborsi di sini diperbolehkan, namun harus dengan alasan-alasan yang dibenarkan oleh syaraˋ. Meskipun adanya kelonggaran ini, akan tetapi pelaku tetap berdosa, akan tetapi dosa tersebut tidak sampai pada hukuman. Alasan berdosa adalah, karena pelaku aborsi dianggap telah merusak sesuatu yang sangat berharga—yakni mawjūd al-ḥāṣil (hasil pembuahan).25 Sedangkan mengenai aborsi baˋda nafkh al-rūḥ, Imam al-Ḥanafī menyatakan bahwa pelaku tindak aborsi ini patut dijatuhi hukuman keras, yakni jika janin sudah mencapai usia 6 bulan ke atas.26 Bertolak dari ikhtilāf pendapat para fuqahā’ di atas, maka dapat disimpulkan bahwa hukum aborsi qabla nafkh al-rūḥ adalah sebagai berikut:27 a) Boleh aborsi sebelum usia janin 120 hari. Pendapat ini dikemukakan oleh sebagian besar ulama Ḥanafiyyah dan sebagian kecil ulama Syāfiˋiyyah. 24 Jurnalis Uddin, dkk., Reinterpretasi Hukum Islam, hlm. 86. 25 Ibid. Mengenai aborsi baˋda nafkh al-rūḥ, dalam pernyataan Imam Ḥanbalī, bahwa seseorang yang menyerang ibu hamil sampai ia menggugurkan kandungannya, baik laki-laki maupun perempuan, maka diyat-nya adalah 1/10 diyat ibunya, dan jika ibu hamil yang diserang tadi menggugurkan kandungannya dalam keadaan hidup lalu mati, maka diyat-nya adalah kāmilah, dengan syarat bayi yang gugur tersebut telah berusia 6 bulan ke atas, dan apabila pelakunya adalah ibunya sendiri, misalnya dengan meminum obat-obatan, sehingga bayinya keluar dalam keadaan sudah mati, maka ia wajib membayar gurrah, dan jumlah gurrah disesuaikan dengan jumlah janin yang gugur. Baca, Ibid., hlm. 90. 26 27 Diadaptasi dari Istibsjaroh, Menimbang Hukum Pornografi, hlm. 64-65. 31 b) Boleh aborsi sebelum usia janin 40-45 hari (taḥalluq). Pendapat ini dinyatakan oleh sebagian besar fuqahā’ Syāfiˋiyyah, sebagian besar fuqahā’ Ḥanabilah, dan sebagian kecil fuqahā’ Ḥanafiyyah. c) Makruh taḥrīm, baik sebelum maupun sesudah 40 hari. Pendapat ini dikemukakan sebagian kecil fuqahā’ Ḥanafiyyah. d) Haram secara mutlak. Pendapat ini dinyatakan oleh sebagian besar fuqahā’ Mālikiyyah, Imām al-Gazalī, Ibn al-Jawzī, dan Ibn Ḥazm alẒāhirī. 2. Pandangan Intelektual Muslim Kontemporer terhadap Aborsi Pandangan ulama kontemporer mengenai aborsi sebenarnya merupakan pengembangan dari pandangan para imam mazhab sebelumnya. Misalnya saja, Muḥammad Sallām Mażkūr dalam bukunya al-Janīn wa al-Aḥkām alMutaˋalliqah bih fī al-Fiqh al-Islāmī (Baḥs Muqāran). Dengan menguraikan pandangan dari beragam mazhab, ia menguatkan pendapat yang mengharamkan aborsi, baik sebelum ditiupkan ruh maupun sesudahnya. Begitu pun juga dengan Wahbah al-Zuḥailī yang menguatkan pendapat al-Gazalī, ia menganggap sekalipun aborsi dilakukan sejak konsepsi tetap saja merupakan suatu kejahatan terhadap mahluk yang sudah tercipta. Kelonggaran disampaikan oleh Jāmil Mubārak ibn Mubārak, dia menguraikan bahwa jika terdapat keadaan darurat yang mengharuskan dilakukannya aborsi, maka dapat diberi dispensasi (rukhṣah), dan jika tidak ada, maka tidak dibenarkan. Hukum ini berlaku, baik sebelum atau pun sesudah ditiupkannya ruh.28 Pengharaman aborsi dalam semua fase kehidupannya—baik sebelum ataupun sesudah ditiupkan ruh—juga terdapat dalam sejumlah fatwa para muftī kontemporer. Misalnya saja Syaltūṭ dalam al-Fatawā, dengan mengutip 28 Jurnalis Uddin, dkk., Reinterpretasi Hukum Islam, hlm. 134-135. 32 pendapatnya al-Gazalī ia mengatakan bahwa sebenarnya kehidupan sudah ada sejak awal konsepsi, sehingga aborsi haram secara mutlak. Dengan alasan yang berbeda namun bermuara pada kesimpulan yang sama adalah pandangan Quraish Shihab. Dia mengungkapkan bahwa aborsi tidak ada bedanya dengan pembunuhan terhadap anak, karena keduanya—aborsi dan pembunuhan— sama-sama berdampak pada penghilangan nyawa yang telah siap untuk berpartisipasi dalam tugas kekhalifahan. Menurutnya, perdebatan mengenai aborsi selama ini lebih ditekankan pada kadar dosa dan sanksi hukum yang harus dikenakan kepada pelakunya, padahal permasalahan aborsi terkait dengan masalah etika. Oleh karena itu, dia berpendapat bahwa aborsi dilarang, meskipun belum berumur 120 hari, kecuali ada alasan-alasan medis.29 Dewasa ini, kontroversi aborsi tidak hanya berlaku di negara-negara Muslim, akan tetapi juga di negara sekuler—misalnya Amerika. Sebagaimana disampaikan oleh Alwi Shihab, bahwa Amerika sangat memperhatikan aspek agama dalam menilai aborsi. Agama-agama besar dunia sepakat untuk membatasi aborsi dalam kondisi-kondisi tertentu (keadaan darurat) yang membahayakan jiwa ibu. Mengenai keadaan darurat ini, Konferensi Islam Rabat memutuskan bahwa aborsi diizinkan hanya ketika nyawa ibu terancam atau tidak ada harapan bagi kelangsungan kehidupan janin.30 Dalam pada itu, menurut Husein Muhammad, dalam kasus aborsi, kematian ibu lebih berat daripada janin. Hal ini dikarenakan ibu adalah induk dari mana janin itu berasal, dan dia sudah memiliki eksistensi yang pasti—memiliki hak dan kewajiban, sementara janin belum. Karena itu, ia (calon ibu) tidak boleh dikorbankan demi menyelamatkan janin yang eksistensinya belum pasti dan belum memiliki kewajiban.31 29 Ibid., hlm. 136-137. 30 Ibid., hlm. 137-138. 31 Husein Muhammad, Aborsi dalam Perspektif Fiqh Kontemporer (Jakarta: Makalah SemiLoka PPFNU, 2001), hlm. 6-7. 33 Sementara itu, mengenai aborsi akibat perzinaan, Saˋīd Ramaḍān al-Būṭī dengan tegas mengatakan bahwa aborsi dalam kasus ini hukumnya haram secara mutlak.32 Hal ini dikarenakan janin tidak menanggung dosa ibunya dan ia tidak bersalah. Oleh karenanya, aborsi akibat perzinaan dipandang sebagai tindak kriminal yang berkaitan erat dengan moralitas social. Meskipun demikian, al-Būṭī memberikan pengecualian, namun pengecualian tersebut hanya berlaku jika si ibu mendapat ancaman pembunuhan jika tidak melakukan aborsi. Maka, dalam kasus ini, aborsi diperbolehkan karena untuk menyelamatkan jiwa si ibu. Sementara aborsi dalam kasus perkosaan, al-Būṭī memperbolehkan jika kelahiran anak tersebut dipastikan akan membawa dampak buruk bagi jiwa dan raga si ibu di kemudian hari. Aborsi untuk kasus ini diperbolehkan karena perempuan korban perkosaan bukanlah sebagai pelaku tindak pidana, sehingga rukhṣah aborsi diberlakukan.33 Akhirnya, bertolak pada pendapat para ulama kontemporer di atas, maka dapat disimpulkan bahwa para ulama kontemporer sependapat dengan ulama klasik, bahwa hukum aborsi adalah haram, kecuali dalam keadaan darurat yang mengancam jiwa ibu. Dengan demikian, di balik keharamannya, ada kemungkinan hukum sebaliknya, yakni berhukum boleh atau makruh. 32 Al-Būṭī mengemukakan tiga dalil sebagai berikut: (1) surat al-Isra’, (17):16. Berdasarkan ayat ini, seorang janin tidak menanggung dosa ibunya. Ia tidak bersalah, karena itu tidak boleh digugurkan baik sebelum maupun sesudah takhalluq (tercipta); (2) Hadis mengenai perempuan Ghamidiyyah yang diriwayatkan Muslim dari Buraidah ra., yang datang kepada Nabi dengan membawa pengakuan ia telah berzina dengan Maˋiz bin Mālik dan sedang hamil karenanya. Maˋiz kemudian dirajam lebih dulu setelah empat kali membuat pengakuan zina dan meminta Nabi mensucikannya. Namun terhadap perempuan tersebut, Nabi rnenangguhkan hukuman rajam sampai ia melahirkan anaknya dan menyapihnya. Setelah si anak disapih dan diserahkan kepada orang lain, barulah ia dirajam; (3) Kebolehan aborsi untuk janin dibawah usia 40 hari hanya berlaku untuk nikah yang sah dan kebolehan tersebut bersifat rukhṣah. Padahal ada kaedah ushuliyyah yang mengatakan “al-rukhaṣ lā tunāṭu bi al-ma ˋāṣī” (rukhsah tidak berlaku untuk perbuatan maksiat). Oleh karena itu kehamilan itu sendiri disebabkan oleh perbuatan haram, maka aborsi dengan sendirinya juga haram; dan (4) Aborsi terhadap janin hasil hubungan di luar nikah juga bertentangan dengan kaedah ushuliyyah, “saż al-żariˋah” (menutup jalan kemudharatan). Telusuri, al-Būṭī, hlm. 143. 33 Ibid., hlm. 159-160. 34 3. Fatwa MUI Tentang Aborsi Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tahun 2005 mengeluarkan fatwanya tentang aborsi. Fatwa ini dikeluarkan atas pertimbangan bahwa dewasa ini semakin banyak terjadi tindakan aborsi yang dilakukan oleh masyarakat tanpa memperhatikan tuntunan agama. Selain itu, aborsi juga banyak dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak memiliki kompetensi di bidangnya, sehingga banyak masyarakat yang mempertanyakan hukumnya—apakah haram secara mutlak ataukah boleh dalam kondisi-kondisi tertentu. Inilah alasan MUI mengeluarkan fatwa tentang aborsi. Dengan mendasarkan pada al-Qur’an, hadis, kaidah fikih, dan pendapat para ulama klasik, maka MUI mengeluarkan fatwa yang dituangkan dalam Fatwa MUI No. 4 Tahun 2005 tentang Aborsi, yang isinya sebagai berikut: Pertama: Ketentuan umum 1. Darurat adalah suatu keadaan di mana seseorang apabila tidak melakukan sesuatu yang diharamkan, maka ia akan mati atau hampir mati. 2. Hajat adalah suatu keadaan di mana seseorang apabila tidak melakukan sesuatu yang diharamkan, maka ia akan mengalami kesulitan besar. Kedua: Ketentuan Umum 1. Aborsi haram hukumnya sejak terjadinya implantasi blastosis pada dinding rahim ibu (nidasi). 2. Aborsi dibolehkan karena adanya uzur, baik yang bersifat darurat ataupun hajat. a. Keadaan darurat yang berkaitan dengan kehamilan yang membolehkan aborsi adalah: a) Perempuan hamil menderita sakit fisik berat seperti kanker stadium lanjut, TBC dengan cavern dan penyakit-penyakit fisik berat lainnya yang harus ditetapkan oleh tim dokter. b) Dalam keadaan di mana kehamilan mengancam nyawa si ibu. b. Keadaan hajat yang berkaitan dengan kehamilan yang dapat membolehkan aborsi adalah: a) Janin yang dikandung dideteksi menderita cacat genetik yang kalau lahir kelal sulit disembuhkan. b) Kehamilan akibat perkosaan yang ditetapkan oleh tim yang berwenang yang di dalamnya terdapat antara lain keluarga korban, dokter dan ulama. 35 c. Kebolehan aborsi sebagaimana dimaksud huruf b harus dilakukan sebelum janin berusia 40 hari. 3. Aborsi haram hukumnya dilakukan pada kehamilan yang terjadi akibat zina. Berangkat dari Fatwa MUI di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya MUI sepakat dengan ulama’ klasik maupun kontemporer, bahwa aborsi qabla nafkh al-rūḥ diharamkan, bahkan MUI sangat ketat, sebagaimana pendapatnya al-Gazalī, bahwa aborsi qabla nafkh al-rūḥ dilarang sejak terjadinya implantasi blastosis pada dinding rahim ibu (nidasi). Meskipun demikian, MUI memberikan pengecualian aborsi jika ada indikasi yang bersifat darurat maupun hajat. Pengecualian ini dibatasi sampai janin berusia 40 hari, tentu ini sama dengan pendapat yang dinyatakan oleh sebagian besar fuqahā’ Syāfiˋiyyah, sebagian besar fuqahā’ Ḥanabilah, dan sebagian kecil fuqahā’ Ḥanafiyyah. Sementara aborsi akibat perzinaan, maka MUI secara mutlak mengharamkannya. Hal ini sejalan dengan pendapat al-Buṭī yang telah dikemukakan di atas. D. Tinjauan Umum Tentang Maṣlaḥah Kata maṣlaḥah merupakan derivasi dari kata ṣalaḥa-yaṣlaḥu-ṣuluḥan wa ṣulaḥan wa ṣalaḥiyatan. Dalam bentuk maṣdar, ia memiliki arti sesuatu yang berkesesuaian dengan dan di dalamnya memiliki arti penting atau sesuatu yang mendatangkan nilai manfaat atau faidah baik materi ataupun in-materi.34 Maṣlaḥah merupakan antonim dari fasad (kerusakan), sehingga kata iṣlāḥ merupakan antonim dari ifsād. Secara kuantitatif ia bermakna tunggal, sementara dalam bentuk plural kata tersebut disebut dengan maṣāliḥ. ˋIzzuddīn bin ˋAbd alSalām dalam karyanya, Qawāˋid al-Aḥkām fī maṣāliḥ al-Anām, menjelaskan Kāmil Iskandar Hāsyimah, Al-Munjid al-Wasīṭ fī al-ˋArabiyyah al-Muˋāṣirah (Beirut: Libanon, Dār al-Masyriq, 2003), hlm. 629. 34 36 bahwa makna literal dari maṣlaḥah dan antonimnya, mafsadah, adalah suatu kebaikan dan keburukan, manfaat dan maḍarat, bagus dan jelek.35 Secara sederhana, maṣlaḥah dalam tinjauan terminologis adalah upaya pengambilan manfaat dan pencegahan mafsadat (jalb al-maṣālih wa dafˋ almafāsid).36 Sementara jika dikaitkan dengan kepentingan manusia, maṣlaḥah adalah aktivitas yang bertujuan untuk pemanfaatan dan pencegahan maḍarat dalam kehidupan manusia di dunia maupun di akhirat.37 Maṣlaḥah sendiri dapat dikatakan sebagai salah satu unsur dalam syariah yang berhubungan langsung dengan manusia sebagai objeknya. Sehingga dapat dikatakan bahwa maṣlaḥah adalah menjadi tujuan utama (gāyah) dan maksud ditetapkannya syariah (almaqāṣid al-syarīˋah) di dunia dan di akhirat.38 Pada saat disesuikan dengan ˋurf (bi ḥasb al-ˋurf), maṣlaḥah dianggap sebagai faktor penyebab yang membawa pada suatu kebaikan39 dan kemanfaatan. Karena itu, ia merupakan faktor penyebab yang mengantarkan pada maksud pembuat hukum (Syārīˋ) dalam masalah-masalah ibadah, maupun adat kebiasaan. Pengertian maṣlaḥah menurut istilah juga dapat ditemukan pada kajian uṣūliyyīn Izzuddin bin Abd al-Salam, Qawāˋid al-Aḥkām fī Maṣāliḥ al-Anˋām (Kairo: Maktabah alKuliyyah al-Azhariyah, 1994), hlm. 5. 35 Muṣṭafā Zayd, Al-Maṣlaḥah fī al-Tasyrīˋ, hlm. 22 36 37 ˋAbdullāh Darrās, Pengantar, dalam Abū Isḥāq Ibrāhim bin Mūsā al-Syāṭibī, Al-Muwāfaqāt fī Uṣūl al-Syarīˋah (Beirut: Dār al-Fikr al-ˋArabī, t.t.), juz hlm. 3. Adapun dalam upaya menemukan makna al-maqāṣid al-syarīˋah kurang lebih menggunakan tiga paradigm. Pertama, paradigma skriptualisme, yang memandang bahwa al-Qur’an dan Sunnah dipandang sebagi naṣ, yang memuat segala kehendak Syāriˋ, dan teks-teks al-Qur’an dan sunnah dianggap telah merekam seluruh makna subtantif (bahasa wahyu yang hidup berkembang pada masa itu. Kedua, paradigma subtantifisme. Paradigma ini terbagi manjadi dua, yaitu al-baṭūniyyah dan almutaˋammiqīn fī al-qiyās. Paradigma ini merupakan kebalikan dari paradigma yang pertama. Ketiga, paradigma konvegensisme, adalah suatu paradigma yang memadukan antara paradigma skriptualisme dan paradigma substantifisme. Konvegegensisme memandang bahwa naṣ sebagai akumulasi teks dan makna yang dipesankan tuhan sekaligus. Marzuki Wahid, “Teori Pendekatan dalam Memahami alQur’an dan al-Sunnah Perspektif Pemikiran al-Syatibi”, Majallah Nahdlah al-Ulama, No. 03 Tahun 1998, XX Maret, hlm. 73-75. 38 39 ˋAbdullāh Darrās, Pengantar, hlm. 101. 37 (para pakar ushul fiqh), yang tertera pada bab ˋillat atau kausalitas hukum. Di antaranya terdapat pengertian yang dirumuskan oleh al-Khawarizmī. Baginya, yang dimaksud dengan maṣlaḥah adalah memelihara tujuan hukum Islam dengan menolak bencana atau kerusakan hal-hal yang merugikan dari mahluk (manusia).”40 Pengertian-pengertian di atas juga sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Jalāluddīn ˋAbd al-Raḥmān al-Suyūṭī. Dalam al-Asybah wa al-Naẓā’ir ia mengatakan bahwa bahwa dar’ al-mafasid muqaddamun ˋalā jalb al-maṣāliḥ41 berarti menolak kerusakan (mafsadah) lebih utama dari pada menarik maṣlaḥah. Dalam hal ini, al-maṣlaḥah diartikan dengan pengambilan manfaat. Ia memberikan alasan demikian karena menghindari suatu kerusakan adalah berdampak besar terhadap keberlangsungan hidup manusia, sedangkan jalb almaṣāliḥ42 merupakan pelengkap dan kewajiban hidup yang pada dasarnya menjahui ke-mafsadat-an harus lebih dijaga agar dapat melaksanakan kebaikan secara maksimal. Hal ini tidak diragukan lagi, bahwa konsep maṣlaḥah merupakan bagian dari doktrin dalam syariah. Adapun legislasi (tasyrīˋ) atas hukum Allah yang tidak luput dari cakupan maṣlaḥah, baik dalam bentuk perintah ataupun dalam bentuk larangan, harus diyakini bahwa sesungguhnya dalam taklīf (pembebanan hukum) atas hamba-hamba-Nya, akan senantiasa memberikan manfaat yang berupa maṣlaḥah, baik berupa balasan baik secara langsung atau tidak. Karena itu, 40 Wahbah al-Zuḥailī, Uṣūl al-Fiqh al-Islamī (Beirut: Dār al-Fikr, 1986), juz II, hlm. 757. Jalāluddīn ˋAbd al-Raḥmān al-Suyuṭī, Al-Asybah wa al-Naẓā’ir (Surabaya: al-Hidayah), hlm. 41 7. Jalb al-maṣāliḥ adalah berperan sebagai penentu kesesuaian (munāsabah) agar segala sesuatu dapat serasi dan imbang, sedangkan jalb al-maṣāliḥ merupakan kaidah yang diformulasikan dalam bentuk metode istiṣlāḥ, yang merupakan metode fundamental dalam membangun dan memverivikasi sebuah rasio, di mana hal ini disebabkan oleh hubungan antara rasio, dan keseimbangan maṣlaḥah adalah bagian dari ushul al-Fiqh yang membawa prinsip kesesuaian. Wael b. Hallaq, Sejarah Teori Hukum Islam: Pengantar Untuk Ushul Fiqh Madzab Sunni, terj. Abdul Haris (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000), hlm. 165. 42 38 sesungguhnya tujuan syaraˋ adalah tidak bertujuan lain kecuali mendatangkan kemaslahatan. Hal ini sebagaimana tersirat dalam Q.S. al-Anbiyā’, 107, “Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam”. Salah satu metode yang dikembangkan oleh ulama ushul fiqh dalam mengistinbāṭ-kan hukum dari naṣ (dalil) lewat pendekatan istiṣlāḥī adalah maṣlaḥah mursalah. Dalam maṣlaḥah mursalah suatu kemaslahatan yang tidak ada naṣ juz’ī (rinci) yang mendukungnya, tidak ada yang menolaknya, dan tidak ada pula ijmāˋ yang mendukungnya. Akan tetapi, kemaslahatan ini didukung oleh sejumlah naṣ dengan cara induksi dari sejumlah naṣ.43 Pendekatan istiṣlāḥī digunakan bila tidak ada dalil khusus yang berhubungan dengan kasus hukum baru sehubungan dengan kemajuan dan perkembangan zaman.44 Al-Gazālī memandang bahwa suatu kemaslahatan harus sejalan dengan tujuan syarˋi, sekalipun bertentangan dengan tujuan manusia, karena kemaslahatan manusia tidak selamanya didasarkan kepada kehendak syarˋi, tetapi sering didasarkan pada hawa nafsu. Oleh sebab itu, yang dijadikan patokan dalam mentukan kemaslahatan itu adalah kehendak dan tujuan syarˋi, bukan kehendak dan tujuan manusia.45 Kemaslahatan yang dapat dijadikan pertimbangan untuk menetapkan hukum menurut al-Gazālī adalah apabila; (1) maṣlaḥah itu sejalan dengan tindakan syara’, (2) maṣlaḥah itu tidak meninggalkan atau bertentangan dengan naṣ syarˋī, (3) maṣlaḥah itu termasuk ke dalam kategori maṣlaḥah yang ḍarūrī, baik yang menyangkut kemaslahatan pribadi maupun orang banyak dan universal, yaitu berlaku sama untuk semua orang.46 43 Al-Syāṭibī, Al-Muwāfaqāt, juz II, hlm. 8-12. 44 Al Yasa Abu Bakar, “Fiqh Islam dan Rekayasa Sosial”, dalam Ari Anshori dan Slamet Warsidi (ed.), Fiqh Indonesia dalam Tantangan (Surakarta: FAI UMS, 1991), hlm. 23. Abū Ḥāmid al-Gazālī, Al-Mustaṣfā fī ˋIlm al-Uṣūl (Beirut: Dār al-Kutub al-ˋIlmiyyah, 1980), hlm. 286. 45 46 Ibid. 39 Maṣlaḥah menurut Abū Isḥāq al-Syāṭibī dapat dibagi ke dalam dua segi. Pertama, dari segi kualitas dan kepentingan kemaslahatan. Segi ini terdapat tiga macam, yaitu: ḍarūriyyah, ḥājiyah, dan taḥsīniyah. Kemaslahatan jenis pertama berhubungan dengan kebutuhan pokok umat manusia di dunia dan di akhirat, yakni memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Kelima kemaslahatan ini disebut dengan al-maṣāliḥ al-khamsah. Kemaslahatan jenis kedua dibutuhkan untuk menyempurnakan atau mengoptimalkan kemaslahatan pokok (al-maṣāliḥ al-khamsah) yaitu berupa keringanan untuk mempertahankan dan memelihara kebutuhan mendasar manusia (al-maṣāliḥ al-khamsah) diatas. Sedangkan jenis kemaslahatan ketiga bersifat komplementer (pelengkap), berupa keleluasan dan kepatutan yang dapat melengkapi kemaslahatan sebelumnya (maṣlaḥah ḥājiyah). Kedua, dari segi keberadaan maṣlaḥah. Segi ini terdapat tiga macam, yaitu muˋtabarah, mulgah, dan mursalah. Kemaslahatan jenis pertama didukung oleh dalīl syarˋī. Artinya, terdapat dalil khusus yang menjadi dasar dari bentuk atau jenis kemaslahatan tersebut. Jenis kedua adalah kemaslahatan yang ditolak oleh dalil syarˋī, karena bertentangan dengan ketentuannya. Sedangkan jenis ketiga kemaslahatan yang keberadaannya tidak didukung oleh dalil syarˋī dan tidak pula dibatalkan atau ditolak melalui dalil yang rinci, tetapi didukung oleh sekumpulan makna naṣ. Kemaslahatan dalam jenis ketiga ini terbagi lagi menjadi dua, yaitu garībah dan mursalah. Garībah adalah jenis kemaslahatan yang asing, atau kemaslahatan yang sama sekali tidak ada dukungan syarˋi, baik secara rinci maupun umum. Al-Syāṭibī mengatakan kemaslahatan seperti ini tidak ditemukan dalam praktik, sekalipun ada dalam teori. Sedangkan mursalah adalah kemaslahatan yang tidak didukung dalil syarˋi atau naṣ yang rinci, tetapi didukung oleh sekumpulan makna naṣ.47 47 Al-Syāṭibī, Al-Muwāfaqāt, juz II, hlm. 8-12. 40 Mayoritas ulama Ushul Fiqh (Ḥānafiyyah, Syāfiˋiyyah, Mālikiyyah dan Ḥanabilah) menetapkan bahwa maṣlaḥah dapat dijadikan dalil untuk menetapkan hukum, apabila memenuhi tiga syarat. Pertama, kemaslahatan itu sejalan dengan kehendak syarˋi dan termasuk dalam jenis kemaslahatan yang didukung naṣ secara umum. Kedua, kemaslahatan itu bersifat rasional dan pasti, bukan sekedar perkiraan sehingga hukum yang diterapkan melalui maṣlaḥah mursalah itu benarbenar menghasilkan manfaat dan menghindari atau menolak kemudaratan. Ketiga, kemaslahatan itu menyangkut kepentingan orang banyak, bukan kepentingan pribadi atau kelompok kecil tertentu.48 Alasan Jumhur ulama Ushul Fiqh, di antaranya adalah: (a) hasil induksi terhadap ayat atau hadis menunjukkan bahwa setiap hukum mengandung kemaslahatan bagi umat manusia, (b) kemaslahatan manusia senantiasa dipengaruhi perkembangan tempat, zaman, dan lingkungan mereka sendiri, sementara apabila syariah Islam terbatas pada teks-teks hukum yang ada, akan membawa kesulitan, (c) merujuk kepada tindakan yang dilakukan oleh beberapa sahabat Nabi saw., antara lain ˋUmar ibn al-Khaṭṭāb tidak memberi zakat kepada para mu’allaf, karena kemaslahatan orang banyak menuntut hal itu.49 E. Biografi Najm al-Dīn al-Ṭūfī Najm al-Dīn al-Ṭūfī adalah seorang ulama fiqh dan ushul fiqh Mazhab Ḥanbalī yang dilahirkan di desa Ṭūfī, Ṣaṣar, dekat Bagdad, Irak.50 Ṭūfī adalah kata sifat yang berhubungan dengan kata Tawfā, jadi al-Ṭūfī adalah “orang yang berasal dari Tawfā”. Najm al-Dīn yang berarti “bintangnya agama”, merupakan nama panggilan atau gelar yang diberikan oleh para muridnya. Sedang nama 48 Al-Syāṭibī, Al-Muwāfaqāt, juz II, hlm. 8-12 dan Ibn al-Qayyim al-Jawziyyah, Aˋlam alMuwaqqiˋīn (Dār al-Jail, 1973), hlm. 14. Al-Gazalī, Al-Mustaṣfā, hlm. 139 dan Al-Syāṭibī, Al-Muwāfaqāt, juz II, hlm. 8-12. 49 50 Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I (Jakarta: Logos, 1996), hlm. 124. 41 aslinya adalah Sulaimān ibn ˋAbd al-Qāwī ibn ˋAbd al Karīm ibn Saˋīd.51 Ia adalah seorang ilmuwan yang haus akan berbagai ilmu pengetahuan, sehingga dalam sejarah tercatat bahwa ia belajar fiqh, ushul fiqh, bahasa arab, ilmu manthiq, ilmu kalam, hadis, tafsir, sejarah, dan ilmu jadal (ilmu berdiskusi). Pada tahun 691 H., ia telah menghafal buku al-Muḥarrar fī al-Fiqh al-Ḥanbalī (rujukan fikih dalam Mazhab Ḥanafī) dan mendiskusikannya dengan Taqī al-Dīn al-Zarziratī, ulama besar Mazhab Ḥanbalī ketika itu. Kebanyakan gurunya adalah ulama-ulama besar Mazhab Ḥanbalī di zamannya, sehingga tidak mengherankan al-Ṭūfī dianggap sebagai penganut mazhab tersebut.52 Al-Ṭūfī meninggalkan tidak kurang dari 42 karya yang ia tulis mengenai berbagai topik, terutama menyangkut tema-tema al-Qur’an, logika, bahasa arab, dan sastra. Sebagian besar karya tersebut telah lapuk dalam manuskrip-manuskrip yang masih disimpan di berbagai perpustakaan, atau bahkan hilang dari dokumentasi perpustakaan.53 Sebagian informasi yang bisa diketahui mengenai kehidupannya telah diteliti dan dipublikasikan oleh Muṣṭafā Zayd dalam karyanya “al-Maṣlaḥah fī al-Ṭūfī al-Islām wa Najm al-Dīn al-Ṭūfī.54 Berbekal berbagai ilmu pengetahuan yang ia kuasai, al-Ṭūfī berupaya untuk mengembangkan pemikirannya dan mengajak para ulama di zamannya untuk berpegang teguh pada al-Qur’an dan Sunnah secara langsung dalam mencari kebenaran, tanpa terikat kepada pendapat orang lain atau madzhab fikih manapun. Ajakannya ini dituangkan dalam kitabnya, al-Akbār fī Qawāˋid al-Tafsīr, kitab yang membahas kaidah-kaidah tafsir.55 51 Muṣṭafā Zayd, Al-Maṣlaḥah, hlm. 6. 52 Haroen, Ushul Fiqh, hlm. 24. 53 Harun, “Pemikiran Najmuddin ath-Thufi tentang Konsep Maslahah Sebagai teori Istinbath Hukum Islam”, dalam Ishraqi, Vol. V, No. 1, Januari-Juni 2009, hlm. 27. Muṣṭafā Zayd, Al-Maṣlaḥah, hlm. 63-91. 54 55 Haroen, Ushul Fiqh, hlm. 125. 42 Dalam rangka kebebasan berpikir untuk mencari kebenaran tersebut, al-Ṭūfī tidak saja mempelajari berbagai kitab dalam Mazhab Sunnī, tetapi juga banyak mempelajari literatur-literatur Syīˋah di zamannya. Ketika itu dikotomi SunnīSyīˋah sangat kuat, tetapi al-Ṭūfī tidak terpengaruh dengan dikotomi tersebut. AlṬūfī pernah terpengaruh dan menganut Mazhab Syīˋah. Namun demikian, ternyata dari beberapa karya tulisnya menunjukkan bahwa ia jauh dari pengikut kaum Syīˋah, karena menolak beberapa pendapat Syīˋah, karena dinilai kaum Syīˋah sangat berpegang pada hadis-hadis versi mereka sendiri, yang mana propagandapropaganda partai mereka selama masa Abbasiyah sama-sama dinisbatkan kepada Nabi, termasuk hal-hal yang bertentangan dengan akal pikiran dan prinsip-prinsip universal al-Qur’an.56 Tetapi, sampai pada akhir hayatnya al-Ṭūfī tetap penganut Mazhab Ḥanbalī. Namun demikian, pemikiran intelektual al-Ṭūfī yang terbiasa berpikir bebas tidak pernah terhenti.57 Tampaknya, hal yang penting adalah kemampuannya untuk membebaskan diri dari pengaruh mazhab-mazhab hukum tradisional, khususnya dari kritik dan kebencian mereka terhadap akal yang kritis dan pangabaian terhadap prinsip-prinsip universal al-Qur’an, seperti perlindungan terhadap kemaslahatan manusia.58 Menurut riwayat, salah satu dari karya-karya alṬūfī yang hilang atau yang mendapat kritikan pedas berjudul Daˋ al-Malam ˋan Ahl al-Mantiq wa al-Kalām (Bantahan atau Catatan terhadap Pendukung Logika dan Teologi Sistematis), menegaskan bahwa adalah masuk akal membela prinsipprinsip logika dan teologi rasional, dan membela terhadap kaum Muslim awal yang telah menegakkannya, khususnya Muˋtazilah.59 Dalam riwayat lain, al-Ṭūfī Selama tinggal di Mesir, pernah disiksa, diarak dijalan-jalan Kairo. dipenjarakan dan kemudian dibuang oleh penguasa politik atas permintaan para ahli hukum 56 Muṣṭafā Zayd, Al-Maṣlaḥah, hlm. 32. 57 Haroen, Ushul Fiqh, hlm. 125. 58 Harun, “Pemikiran Najmuddin ath-Thufi, hlm. 27-28. Muṣṭafā Zayd, Al-Maṣlaḥah, hlm. 91. 59 43 tradisional, terutama oleh hakim yang mewakili Mazhab Ḥanbalī di Kairo pada masa itu, Saˋd al-Dīn al-Ḥāriṡī.60 Konspirasi melawan al-Ṭūfī oleh ulama atau para ahli hukum, tampaknya terjadi karena penghormatannya terhadap akal dipandang telah menantang legitimasi, otoritas, kebenaran, atau otentisitas asumsi-asumsi dasar dari mazhab hukum mereka, khususnya asumsi-asumsi mereka berkaitan dengan Sunnah Nabi. Karena itu, penindasan-penindasan dan penyiksaan terhadap akal pikiran dan pembelanya telah terjadi sejak masa al-Mutawakkil (w. 247 H/861 M).61 Anehnya, pandangan-pandangan al-Ṭūfī yang unik mengenai kemaslahatan manusia yang menolak sumber-sumber hukum tradisional para cendekiawan dan kesimpulan mereka karena tidak Islami dan bertentangan dengan akal manusia dan kemaslahatannya tidak disebutkan oleh para penuduh atau rekan sezamannya dalam tulisannya perihal kehidupan al-Ṭūfī dan isi pendapat-pendapatnya (terutama mengenai kemaslahatan manusia) yang berbeda dengan para ahli hukum yang memusuhi dan menyiksanya tidak dijelaskan atau diriwayatkan. Meskipun ia dikatakan telah dikenal oleh ahli hukum Mazhab Ḥanbalī sampai akhir abad ke-10 Hijriyah dan ia dipandang sebagai ulama yang terkemuka.62 Di antara ulama semasa al-Ṭūfī yang menuduh, mengkritik, dan menganiayanya adalah Ibn Rajab, ahli hukum dan ahli hadis Mazhab Ḥanbalī, yang menuduh al-Ṭūfī sebagai pembohong tidak bermoral. Dia berkata bahwa yang mengikuti pendapat al-Ṭūfī dan berbagi pendapat dengannya adalah lebih buruk dari dia.63 Bahkan. Muḥammad Zāhid al-Kawṡarī menyatakan pendapat al-Ṭūfī mengenai prioritas hukum terhadap kemaslahatan manusia sebagai atheisme yang terang-terangan dan 60 Ibid., hlm. 30. 61 Harun, “Pemikiran Najmuddin ath-Thufi, hlm. 28. 62 Ibid. Muṣṭafā Zayd, Al-Maṣlaḥah, hlm. 34. 63 44 memusnahkan hukum agama. Hanya ahli hadis kontemporer yang merespon positif terhadap pandangan al-Ṭūfī, yaitu Muḥammad Syaˋlabī.64 Serangan keras Ibn Rajab terhadap al-Ṭūfī tidak banyak disebutkan dalam karya tulisnya, meski fakta menyebutkan adanya bukti bahwa ia menyadari eksistensi dan isinya. Hal ini didasarkan atas dua argument. Pertama, Ibn Rajab telah mendaftar banyak buku yang dinisbatkan pada al-Ṭūfī, sekitar 30 jumlahnya, termasuk satu buku yang berisi satu-satunya pendapat yang masih bertahan mengenai kemaslahatan manusia, yaitu Syarḥ al-Arbaˋīn al-Nawawiyyah. Kedua, ia telah mengutip satu bagian dari tesis al-Ṭūfī tentang kemaslalahatan manusia, hanya saja tampaknya ia sengaja menyalahgunakan untuk mendiskreditkan penulisnya (al-Ṭūfī). Pada akhirnya, teks-teks yang masih bertahan yang memuat pandangan-pandangan hukumnya mengenai kemaslahatan, dapat diamankan pada abad ini. Misal, Jamāl al-Dīn al-Qāsimī setelah mengedit pandangan al-Ṭūfī, serta perselisihan, saling membenci dan menfitnah di antara mazhab-mazhab hukum yang berbeda yang telah dipublikasikan oleh Rasyid Riḍā di Jurnal Mesir, alManār, 9-10, 1324 H./1906 M. Sebagian perbaikan terhadap bagian-bagian yang masih ada dipublikasikan oleh Muṣṭafā Zayd dalam karyanya, al-Maṣlaḥah fī alTasyrīˋ al-Islām wa Najm al-Dīn al-Ṭūfī.65 Namun respon kontemporer terhadap pandangan al-Ṭūfī sangat negatif, karena absolutisme politik dan sektarianisme tradisional dari masa lampau tampak belum berubah, pandangan akal atau intlegensia yang obyektif, baik dalam kehidupan politik, hukum, dan sosial masih belum dipandang sebagai kreteria kebenaran atau standar rujukan, meskipun aplikasinya selaras dengan prinsip-prinsip al-Qur’an tentang kebenaran universal. Sebaliknya, perhatian diberikan kepada ketetapan-ketetapan politik atau dari otoritas tradisional yang memusuhi pencarian manusia akan kebenaran dan 64 Harun, “Pemikiran Najmuddin ath-Thufi, hlm. 28. 65 Harun, “Pemikiran Najmuddin ath-Thufi, hlm. 29. 45 kebebasan ekspresi akal pikirannya.66 Dengan kata lain, penekanan-penekanan terhadap prinsip-prinsip al-Qur’an yang universal tentang keadilan, kebebasan, penekanan terhadap akal atau intlegensia objektif sebagai pedoman tindakan dan persamaan dibidang hukum, yang merupakan esensi-esensi dari kemaslahatan manusia diabaikan oleh para yuris, ahli-ahli hukum Islam tradisional ketika itu. Seruan al-Ṭūfī mengenai tujuan Islam adalah perlindungan kemasalahatan manusia sebagai sumber atau prinsip hukum tertinggi, didorong oleh tekanan politik, hukum, dan sosial yang ia alami atau praktik-praktik hukum dan politik saat itu telah melumpuhkan kehidupan umat Muslim.67 Otoritas politik dan hukum untuk menghukum para pendukung akal pikiran, kebebasan berpikir dalam awal sejarah Muslim bermula dari pengambilan tindakan keras terhadap kaum Khawārij dan kaum Muˋtazilah, para pengkritik terhadap hadis palsu yang dimasukkan ke dalam ajaran-ajaran dan hukum Islam.68 Atmosfir politik, hukum, dan sosial yang demikian, terjadi ketika penguasa Mamluk menduduki jabatan puncak, sultan, sebagian besar merupakan akibat dari berlakunya prinsip yang kuat adalah yang menang. Prinsip ini terus dipraktikkan oleh penguasa-penguasa Muslim Mongol, ide-ide al-Qur’an tentang keadilan sosial, syūrā, kesamaan di bidang hukum, dan kebebasan menyatakan pendapat, secara permanen ditolak oleh para ahli-ahli hukum Islam, yang berakibat para ahli hukum abad ke-9 hijriah (abad 15 M.) yang menyatakan bahwa syariah bukan instrumen yang terus-menerus beroposisi, yaitu oposisi terhadap para penguasa dinasti atau militer atau terhadap para gubernur yang tidak mewakili mereka dan ketetapan-ketetapannya, tetapi seperangkat aturan-aturan yang tertutup yang diterapkan pada masyarakat tanpa kaitan praktis dengan kehidupan orang-orang yang berkuasa. Inilah yang kemudian menjadi rumusan final para ahli hukum mengenai makna tertutupnya “pintu ijtihad” dan 66 Ibid. 67 Ibid. 68 Ibid. 46 penerapan “doktrin taqlid”. Akibatnya, para penguasa dan para pejabat pemerintah lainnya bukanlah para pelayan masyarakat, tetapi para tuan yang harus dilayani, ditakuti atau disogok, dirangkai dengan sikap tidak toleran mereka terhadap semua bentuk oposisi, tanpa peduli pada nilainya atau kontribusinya bagi kemanusian yang lebih baik. Dalam suasana kondisi politik, hukum, dan sosial semacam ini, al-Ṭūfī menyerukan perlindungan terhadap kemaslahatan manusia sebagai tujuan hukum yang tertinggi.69 F. Pandangan Najm al-Dīn al-Ṭūfī Terhadap Konsep Maṣlaḥah Pandangan al-Ṭūfī tentang maṣlaḥah berasal dari komentarnya (syarḥ) atas hadis nomor 32 dari kitab al-Arbaˋīn al-Nawawiyyah. Hadis tersebut berbunyi, “la ḍarara wa lā ḍirara (tidak memudaratkan diri sendiri dan tidak memudaratkan orang lain)”. Hadis tersebut memiliki pengertian bahwa menetapkan maṣlaḥah dan menafikan (meniadakan) mudarat. Sebab, mudarat adalah kerusakan. Jika dilarang oleh syariah, maṣlaḥah haruslah dipertahankan karena keduanya merupakan dua hal yang bertentangan bagai air dan minyak.70 Menurut al-Ṭūfī, dalil-dalil syaraˋ itu terdiri dari sembilan belas macam, yaitu: (1) al-Kitāb, (2) sunnah, (3) ijmāˋ al-ummah, (4) ijmāˋ ahl al-madīnah, (5) al-qiyās, (6) perkataan sahabat Rasul, (7) maṣālih al-mursalah, (8) al-istiṣḥāb, (9) al-bara’ah al-aṣliyyah, (10) al-ˋawā’id, (11) istiqrā’, (12) saż al-żarāˋī, (13) istidlāl, (14) istiḥsān, (15) al-akhż bi al-akhaff (mengambil yang lebih ringan), (16) al-ˋismāḥ, (17) ijmāˋ ahl al-kūfah, (18) ijmāˋ ahl al-uṡrah (keluarga Nabi), (19) ijmāˋ al-khulafā’ al-rāsyidūn.71 Dari sembilan belas dalil tersebut, dalil terkuat adalah naṣ dan ijmāˋ. Keduanya ini terkadang selaras dan terkadang 69 Ibid., hlm. 30. Aḥmad bin ˋAbd al-Rāḥim al-Sāyiḥ, Risālah fī Riˋāyah al-Maṣlaḥah li al-Imām al-Ṭūfī (Mesir: Dār al-Miṣriyah li al-Banāniyah, 1993), hlm. 23. 70 71 Ibid., hlm. 13-18. 47 bertentangan dengan kemaslahatan. Jika selaras dengan kemaslahatan, tidak perlu dipertentangkan lagi. Hal ini karena telah adanya kesepakatan tiga dalil sekaligus bagi suatu hukum, yakni naṣ, ijmāˋ dan maṣlaḥah, yang diambil dari pengertian sabda Rasulullah saw., lā ḍarara wa lā dirāra. Jika antara keduanya bertentangan, yang harus didahulukan adalah penggunaan maṣlaḥah daripada naṣ dan ijmāˋ. Caranya mengadakan taḥṣīṣ atau tabyīn terhadap pengertian naṣ dan ijmāˋ, bukan membekukan berlakunya salah satu dari keduanya. Sama halnya dengan penjelasan Sunnah terhadap ayat al-Qur’an, kemudian mengamalkan pengertian Sunnah.72 Ringkasnya, naṣ dan ijmāˋ itu terkadang tidak mengandung segi maḍarah dan mafsadah, atau memang mengandung maḍarah. Jika tidak mengandung maḍarah sama sekali, berarti keduanya sama dengan maṣlaḥah. Akan tetapi, jika mengandung maḍarah, terkadang maḍarah itu bersifat menyeluruh atau sebagian. Jika maḍarah yang ada itu bersifat keseluruhan, hal itu termasuk pengecualian dari hadis Rasulullah saw.73 Dalam pandangan al-Ṭūfī bahasan lafal maṣlaḥah berdasarkan wazan mafˋalatun dari bentuk kata kerja lampau ṣalaḥa. Artinya, sesuatu dibuat sedemikian rupa sesuai dengan kegunaannya. Sedangkan definisi maṣlaḥah adalah sarana yang menyebabkan adanya maṣlaḥah dan manfaat. Pengertian berdasarkan syariah adalah sesuatu yang menjadi penyebab untuk sampai kepada maksud Syāriˋ, baik berupa ibadat maupun adat. Kemudian, maṣlaḥah ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu perbuatan yang memang merupakan kehendak Syāriˋ, yakni ibadat dan apa yang dimaksudkan untuk kemanfaatan semua umat manusia dan tatanan kehidupan, seperti adat-istiadat.74 Al-Ṭūfī menganggap bahwa maṣlaḥah hanya ada pada masalah-masalah yang berkaitan dengan muˋamalah dan yang sejenis, bukan pada masalah-masalah 72 Ibid, hlm. 23-24. 73 Ibid, hlm. 24. 74 Ibid, hlm. 25. 48 yang berhubungan dengan ibadat atau yang serupa. Sebab, masalah ibadat merupakan hak preogratif Syāriˋ. Tidak mungkin seseorang mengetahui hakikat yang terkandung di dalam ibadat, baik kualitas maupun kuantitas, waktu atau tempat, kecuali hanya berdasarkan petujuk resmi Syāriˋ. Kewajiban hamba hanyalah menjalankan apa saja yang telah diperintahkan oleh Tuhannya. Sebab, seseorang pembantu tidak akan dikatakan sebagai seorang yang taat jika tidak menjalankan perintah yang telah diucapkan oleh tuannya, atau mengerjakan apa saja yang sudah menjadi tugasnya. Demikian halnya dalam masalah ibadat. Karenanya, ketika para filosof telah mulai mempertuhankan akal, dan mulai menolak syariah, Allah swt. amat murka terhadap mereka. Mereka tersesat jauh dari kebenaran. Bahkan mereka sangat menyesatkan. Berbeda halnya dengan kaum mukallaf, hak-hak mereka di dalam memutuskan hukum adalah perpaduan antara siyasah dan syariah yang sengaja oleh pencipta dicanangkan untuk maṣlaḥah umat manusia. Itulah yang menjadi ukuran berpikir mereka.75 Kami tidak mengatakan bahwa syariah lebih mengetahui maṣlaḥah-maṣlaḥah manusia karena dalil-dalilnya harus diambil dan diamalkan sesuai dengan pengertiannya. Kami menetapkan bahwa maṣlaḥah adalah termasuk salah satu dalil syariah, bahkan boleh dikatakan sebagai dalil terkuat dan teristimewa. Karenanya, kami lebih mendahulukan maṣlaḥah.76 Berdasarkan ungkapan tersebut, bagi al-Ṭūfī maṣlaḥah-maṣlaḥah yang tidak dapat diketahui adalah maṣlaḥah yang terkandung di dalam ibadat. Namun, mengenai maṣlaḥah yang bertalian dengan kehidupan sosial kaum mukallaf dan hak-hak mereka, hal ini dapat diketahui oleh mereka melalui akal pikiran mereka. Dengan kata lain, jika tidak melihat dalil syariah yang tidak menyebutkan maṣlaḥah-nya, ia berpegang bahwa syariah telah membolehkan untuk mencari maṣlaḥah sendiri. 75 Ibid, hlm. 47. 76 Ibid. 49 Pandangan al-Ṭūfī tentang maṣlaḥah nampaknya bertitik tolak dari konsep maqāṣid al-tasyrīˋ (al-syarīˋah) yang menegaskan bahwa hukum Islam disyariahkan untuk mewujudkan dan memelihara maṣlaḥah umat manusia. Konsep ini telah diakui oleh para ulama dan oleh karena itu mereka memformulasikan suatu kaidah yang cukup populer, "Di mana ada maṣlaḥah, di sana terdapat hukum Allah."77 Signifikansi ini membuat para pakar teori hukum menjadikan maqāṣid al-syarīˋah sebagai salah satu kriteria (di samping kriteria lainnya) bagi mujtahid yang melakukan ijtihad. Adapun inti dari konsep maqāṣid al-syarīˋah adalah untuk mewujudkan kebaikan sekaligus menghindarkan keburukan atau menarik manfaat dan menolak mudarat, istilah yang sepadan dengan inti dari maqāṣid al-syarīˋah tersebut adalah maṣlaḥah, karena penetapan hukum dalam Islam harus bermuara kepada maṣlaḥah. Imam al-Ḥaramain al-Juwainī dapat dikatakan sebagai ahli teori pertama yang menekankan pentingnya memahami maqāṣid al-syarīˋah dalam menetapkan hukum Islam. Ia secara tegas mengatakan bahwa seseorang tidak dapat dikatakan mampu menetapkan hukum dalam Islam, sebelum ia memahami benar tujuan Allah mengeluarkan perintah-perintah dan larangan-larangan-Nya.78 Al-Juwainī kemudian mengelaborasi lebih jauh maqāṣid al-syarīˋah itu ke dalam hubungannya dengan ˋillah-aṣl, yang dibedakan menjadi lima bagian, yaitu: aṣl yang masuk kategori ḍarūriyyah (primer), al-ḥājah al-ˋāmmah (sekunder), makramah (tersier), dan sesuatu yang tidak masuk kelompok ḍarūriyyah, ḥājiyyah, taḥsīniyyah.79 Dengan demikian, pada prinsipnya al-Juwainī membagi aṣl atau tujuan tasyrīˋ itu menjadi tiga macam, yaitu ḍarūriyyah, ḥājiyyah, taḥsīniyyah. 77 Ramaḍān al-Būṭī, Dawābiṭ al-Maṣlaḥah, hlm.12. ˋAbd al-Mālik ibn Yūsuf Abū al-Maˋālī al-Juwainī, Al-Burhān fī Uṣūl al-Fiqh (Kairo: Dār al-Anṣār, 1400 H.), juz I, hlm. 295. 78 79 Ibid., hlm. 923-930. 50 Pemikiran al-Juwainī tersebut dikembangkan oleh muridnya, al-Gazalī. Al-Gazalī menjelaskan maqāṣid al-syarīˋah dalam kaitannya dengan pembahasan al-munāsabah al-maṣlāḥiyah dalam qiyās80 yang dalam pembahasannya yang lain, dan ia menerangkan dalam tema istiṣlāh.81 Maṣlaḥah bagi al-Gazalī adalah memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.82 Kelima macam maṣlaḥah di atas bagi al-Gazalī berada pada skala prioritas dan urutan yang berbeda jika dilihat dari sisi tujuannya, yaitu peringkat primer, sekunder, dan tersier.83 Dari keterangan ini jelaslah bahwa teori maqāṣid al-syarīˋah sudah mulai tampak bentuknya. Pemikir dan teoretisi hukum Islam berikutnya yang secara khusus membahas maqāṣid al-syarīˋah adalah ˋIzzuddīn ibn ˋAbd al-Salām dari kalangan Syāfiˋiyyah. Ia lebih banyak menekankan dan mengelaborasi konsep maṣlaḥah secara hakiki dalam bentuk menolak mafsadat dan menarik manfaat.84 Menurutnya, maṣlaḥah keduniaan tidak dapat dilepaskan dari tiga tingkat urutan skala prioritas, yaitu: ḍarūriyyah, ḥājiyah, dan takmīlah atau tatimmah.85 Lebih jauh lagi, ia menjelaskan bahwa taklīf harus bermuara pada terwujudnya maṣlaḥah manusia, baik di dunia maupun di akhirat.86 Berdasarkan penjelasan ini, dapat dikatakan bahwa ˋIzzuddīn ibn ˋAbd al-Salām telah berusaha mengembangkan konsep maṣlaḥah yang merupakan inti pembahasan dari maqāṣid al-syarīˋah. Pembahasan tentang maqāṣid al-syarīˋah secara khusus, sistematis, dan jelas dilakukan oleh al-Syāṭibī dari kalangan Mālikiyyah. Dalam karyanya 80 Abū Ḥāmid al-Gazalī, Syifā’ al-Gazalī fī Bayān al-Syibh wa al-Mukhil wa Masālik al-Taˋlīl (Bagdad: Maṭbaˋah al-Irsyād, 1971), hlm. 159. Al-Gazalī, Al-Mustaṣfā, hlm. 250. 81 82 Ibid., hlm. 251. 83 Ibid. ˋIzzuddīn ibn ˋAbd al-Salām, Qawāˋid al-Aḥkām fī Maṣāliḥ al-Anˋām (Kairo: al-Istiqāmah, t.t.), juz I, hlm. 9. 84 85 Ibid., hlm. 60 dan 62. 86 Ibid. 51 al-Muwāfaqāt, ia menghabiskan lebih kurang sepertiga pembahasannya mengenai maqāṣid al-syarīˋah. Sudah tentu, pembahasan tentang maslahat pun menjadi bagian yang sangat penting dalam tulisannya. Ia secara tegas mengatakan bahwa tujuan utama Allah menetapkan hukum-hukum-Nya adalah untuk terwujudnya maṣlaḥah hidup manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Karena itu, taklīf dalam bidang hukum harus mengarah pada dan merealisasikan terwujudnya tujuan hukum tersebut.87 Seperti halnya ulama sebelumnya, ia juga membagi urutan dan skala prioritas maṣlaḥah menjadi tiga urutan peringkat, yaitu ḍarūriyyah, ḥājiyyah, dan taḥsīniyyah.88 Yang dimaksud maṣlaḥah menurutnya seperti halnya konsep al-Gazalī, yaitu memelihara lima hal pokok, yaitu: agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.89 Konsep maqāṣid al-syarīˋah atau maṣlaḥah yang dikembangkan oleh al-Syāṭibī di atas sebenarnya telah melampaui pembahasan ulama abad-abad sebelumnya. Konsep maṣlaḥah al-Syāṭibī tersebut melingkupi seluruh bagian syariah dan bukan hanya aspek yang tidak diatur oleh naṣ. Sesuai dengan pernyataan al-Gazalī, al-Syāṭibī merangkum bahwa tujuan Allah menurunkan syariah adalah untuk mewujudkan maṣlaḥah. Meskipun begitu, pemikiran maṣlaḥah al-Syāṭibī ini tidak seberani gagasan al-Ṭūfī.90 Pandangan al-Ṭūfī mewakili pandangan yang radikal dan liberal tentang maṣlaḥah.91 Al-Ṭūfī berpendapat bahwa prinsip maṣlaḥah dapat membatasi (takhṣīṣ) al-Qur’an, sunnah, dan ijmāˋ jika penerapan naṣ ketiganya itu akan menyusahkan manusia.92 Al-Ṭūfī membangun pemikirannya tentang maslahat 87 Al-Syāṭibī, Al-Muwāfaqāt, hlm. 4. 88 Ibid. 89 Ibid, hlm. 5. 90 Nur A. Fadhil Lubis, Hukum Islam dalam Kerangka Teori Fikih dan Tata Hukum Indonesia (Medan: Pustaka Widyasarana, 1995), hlm. 34-35. 91 Ibid. Al-Ṭūfī, Syarḥ al-Arbaˋīn, hlm. 46. 92 52 tersebut berdasarkan atas empat prinsip, yaitu: (a) akal bebas menentukan maṣlaḥah dan ke-mafsadat-an, (b) maṣlaḥah merupakan petunjuk syarˋī mandiri yang ke-ḥujjah-annya tidak tergantung pada konfirmasi teks, (c) maṣlaḥah hanya berlaku dalam persoalan sosial, dan (d) maṣlaḥah merupakan petunjuk syarˋī yang paling kuat.93 Sejak awal syariah Islam sebenarnya tidak memiliki tujuan lain kecuali kemaslahatan manusia. Ungkapan standar bahwa syariah Islam dicanangkan demi kebahagiaan manusia, lahir-batin; duniawi-ukhrawi, sepenuhnya mencerminkan maṣlaḥah. Akan tetapi keterikatan yang berlebihan terhadap naṣ, seperti dipromosikan oleh faham ortodoksi, telah membuat prinsip maṣlaḥah hanya sebagai jargon kosong, dan syariah-yang pada mulanya adalah jalan-telah menjadi jalan bagi dirinya sendiri.94 Sesungguhnya pendirian yang mengatakan bahwa hukum Islam, atau syariah Islam, harus bersumber pada al-Qur’an dan hadis tidak salah. Tetapi pernyataan tergantung pada apa yang dimaksud dengan al-Qur’an dan hadis Nabi itu. Jika yang dimaksud dengan al-Qur’an dan hadis sebagai sumber hukum adalah ayat-ayat al-Qur’an dan hadis-hadis Nabi yang—secara langsung atau tidak— mengemukakan perihal sistem keyakinan dan sistem nilai (seperti nilai keadilan, persamaan manusia di depan hukum, persaudaraan, dan sebagainya), pernyataan itu benar. Akan tetapi, jika yang dimaksud sebagai dasar hukum Islam adalah ayat-ayat al-Qur’an atau hadis Nabi yang pada dasarnya ia sendiri merupakan ayat dan hadis hukum, pernyataan tersebut memang tidak tepat. Hukum haruslah didasarkan pada sesuatu yang harus tidak disebut hukum, tetapi lebih mendasar dari hukum. Yaitu sebuah sistem nilai yang dengan sadar dianut sebagai keyakinan yang harus diperjuangkan: maṣlaḥah, keadilan. Proses 93 Muṣṭafā Zayd, Al-Maṣlaḥah, hlm. 127-132 dan Ḥusain Ḥāmid Ḥasan, Naẓariah al-Maṣlaḥah fī al-Fiqh al-Islāmī, (Kairo: Dār al-Nahḍah al-ˋArabiyyah, 1971), hlm. 529. 94 Masdar F. Mas’udi, “Meletakkan Kembali Maslahat Sebagai Acuan Syari’ah”, dalam Jurnal Ilmu dan Kebudayaan Ulumul Qur’an, No. 3, Vol. VI, Tahun 1995, hlm. 94. 53 pendasaran hukum atas hukum hanya bisa dimengerti dalam konteks formal, misalnya melalui cara qiyās. Akan tetapi, seperti diketahui, qiyās haruslah dengan ˋillah, sesuatu yang lebih merupakan patokan hukum, bukan hukum itu sendiri. Dalam bahasa kalam, itulah yang disebut dengan “dawr”, yang seharusnya tidak boleh terjadi. Akan tetapi itulah struktur pemikiran hukum Islam selama ini. Oleh sebab itu, tidak mengherankan apabila dunia pemikiran hukum Islam ditandai oleh ciri dan watak yang sangat patut dipertanyakan.95 Tidak mengherankan apabila wajah fikih selama ini tampak menjadi dingin, suatu wajah fikih yang secara keseluruhan kurang menunjukkan pemihakan (engagement) terhadap kepentingan masyarakat manusia.96 Dengan demikian, jelas bahwa yang fundamental dari bangunan pemikiran hukum Islam adalah maṣlaḥah, maṣlaḥah manusia universal, atau- dalam ungkapan yang lebih operasional—“keadilan sosial”. Tawaran teoritik (ijtihādī) apa pun dan bagaimana pun, baik didukung dengan naṣ atau pun tidak, yang bisa menjamin terwujudnya maṣlaḥah kemanusiaan, dalam kacamata Islam adalah sah, dan umat Islam terikat untuk mengambilnya dan merealisasikannya. Sebaliknya, tawaran teoritik apa pun dan yang bagaimana pun, yang secara meyakinkan tidak mendukung terjaminnya maṣlaḥah, lebih lebih yang membuka kemungkinan terjadinya kemudaratan, dalam kacamata Islam, adalah fāsid, dan umat Islam secara orang perorang atau bersama-sama terikat untuk mencegahnya.97 Dengan paradigma di atas, kaidah yang selama ini dipegang oleh dunia fikih yang berbunyi, “Apabila suatu hadis teks ajaran telah dibuktikan kesahihannya, itulah mazhabku”, secara meyakinkan perlu ditinjau kembali. Kaidah inilah yang secara sistematis telah menggerakkan dunia pemikiran, khususnya pemikiran hukum, dalam Islam lebih mengutamakan bunyi harfiyah naṣ daripada kandungan substan 95 Ibid, hlm. 94-95. 96 Ibid, hlm. 96. 97 Ibid, hlm. 97. 54 sialnya. Atau, dalam dunia pemikiran fikih, lebih mengutamakan—atau bahkan hanya memperhatikan—bunyi ketentuan legal-formal, daripada tuntutan maṣlaḥah (keadilan), yang notabene merupakan jiwanya. Sebagai gantinya, kita perlu menegakkan kaidah yang berbunyi, “Jika tuntutan maṣlaḥah, keadilan telah menjadi sah, melalui kesepakatan dalam musyawarah, itulah mazhabku.98 Dengan tawaran kaidah yang lebih menekankan pada substansi, yaitu maṣlaḥah -keadilan, bukan berarti segi formal dan tekstual dari ketentuan hukum harus diabaikan. Ketentuan legal-formal-tekstual yang sah, bagaimana pun, harus menjadi acuan tingkah laku manusia dalam kehidupan bersama, kalau tidak ingin menjadi anarki. Akan tetapi, pada saat yang sama, haruslah disadari sedalam-dalamnya bahwa patokan legal-formal dan tekstual hanyalah merupakan cara bagaimana cita maṣlaḥah, keadilan, itu diaktualisasikan dalam kehidupan nyata. Ini berarti bahwa ketentuan formal-tekstual, yang bagaimana pun dan datang dari sumber apa pun, haruslah selalu terbuka dan atau diyakini terbuka untuk, kalau perlu, diubah atau diperbarui sesuai dengan tuntutan maṣlaḥah, cita keadilan. Apabila jalan pikiran di atas disepakati, secara mendasar kita pun perlu meninjau kembali pemahaman kita terhadap konsep ushul fiqh tentang apa yang disebut qaṭˋī (yang pasti dan tidak bisa diubah-ubah oleh ijtihad) dan ẓannī (yang tidak/kurang pasti dan bisa diubah-ubah oleh ijtihad) dalam hukum Islam. Fikih selama ini mengatakan bahwa yang qaṭˋī adalah apa-apa (hukum-hukum) yang secara ṣarīḥ ditunjuk oleh naṣ al-Qur’an/hadis Nabi. Sedangkan yang ẓannī adalah apa-apa (hukum) yang petunjuk naṣ-nya kurang/tidak ṣarīḥ, ambigu dan mengandung pengertian yang bisa berbeda-beda.99 Sesungguhnya, yang qaṭˋī dalam hukum Islam—sesuai dengan makna harfiyahnya, sebagai sesuatu yang bersifat pasti, tidak berubah-ubah dan karena itu bersifat fundamental—adalah 98 Ibid. 99 Ibid. 55 nilai maṣlaḥah atau keadilan itu sendiri, yang nota bene merupakan jiwanya hukum. Sedang yang masuk kategori ẓannī (tidak pasti dan bisa diubah-ubah) adalah seluruh ketentuan batang tubuh atau teks, ketentuan normatif, yang dimaksudkan sebagai upaya yang menerjemahkan yang qaṭˋī (nilai maṣlaḥah atau keadilan) dalam kehidupan nyata. Sehingga, kalau dikatakan bahwa ijtihad tidak bisa terjadi untuk daerah qaṭˋī, dan hanya bisa dilakukan untuk hal-hal yang ẓannī, itu memang benar adanya. Cita “maṣlaḥah dan keadilan” sebagai hal yang qaṭˋī dalam hukum Islam, memang tidak bisa—bahkan juga tidak perlu—untuk dilakukan ijtihad guna menentukan kedudukan hukumnya, apakah wajib, mubah atau bagaimana. Yang harus diijtihadi dengan seluruh kemampuan mujtahid adalah hal-hal yang ẓannī, yang tidak pasti, yang memang harus diperbarui terus-menerus sesuai dengan tuntutan ruang dan waktu yang juga terus bergerak. Yakni, pertama, definisi tentang maṣlaḥah, keadilan, dalam konteks ruang dan waktu nisbī di mana kita berada; kedua, kerangka normatif yang memadai sebagai pengejawantahan dari cita maṣlaḥah-keadilan dalam konteks ruang dan waktu tertentu; dan ketiga, kerangka kelembagaan yang memadai bagi sarana aktualisasi norma-norma maṣlaḥah-keadilan, seperti dimaksud pada poin pertama dan kedua, dalam realitas sosial yang bersangkutan. BAB III PENGATURAN ABORSI BAGI KORBAN PERKOSAAN A. Pengaturan Aborsi bagi Korban Perkosaan di Indonesia Sebelum Tahun 2009 1. Pengaturan Praktik Aborsi dalam KUHP Di Indonesia, aborsi diatur dalam beberapa peraturan perundangundangan yang terpisah. Di antaranya diatur dalam KUHP dan Undang-Undang (UU) No. 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan. Kemudian pada tahun 2009, UU No. 23 Tahun 1992 diamandemen dengan UU No. 36 Tahun 2009. Dalam KUHP dijelaskan bahwa segala macam aborsi dilarang—dengan tanpa pengecualian—sebagaimana yang diatur dalam Pasal 283, 299, 346, 347, 348, 349, dan 340 sebagai berikut:1 Pasal 283 ayat (1): Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau denda paling banyak enam ratus rupiah, barang siapa menawarkan, memberikan untuk terus maupun untuk sementara waktu, menyerahkan atau memperlihatkan tulisan, gambaran atau benda yang melanggar kesusilaan, maupun alat untuk mencegah atau menggugurkan hamil, kepada seorang yang belum cukup umur, dan yang diketahui atau sepatutnya harus diduga, bahwa umurnya belum tujuh belas tahun, jika isi tulisan, gambaran, benda atau alat itu telah diketahuinya. Pasal 299: (1) Barang siapa dengan sengaja mengobati seorang wanita atau menyuruh seorang wanita supaya diobati dengan memberitahu atau menerbitkan pengharapan bahwa oleh karena pengobatan itu dapat gugur kandungannya, dipidana dengan pidana penjara selamalamanya empat tahun atau denda sebanyak-banyaknya empat puluh lima ribu rupiah. 1 Moeljatno, KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) (Jakarta: Bumi Aksara, 2007), hlm. 124. 56 (2) Kalau yang bersalah berbuat karena mencari keuntungan, atau melakukan kejahatan itu sebagai mata pencaharian atau kebiasaan atau kalau ia seorang dokter, bidan atau juru obat, pidana dapat dapat ditambah sepertiganya. (3) Kalau yang bersalah melakukan kejahatan itu dalam pekerjaannya, maka dapat dicabut haknya melakukan pekerjaan itu. Pasal 346: Wanita yang dengan sengaja menyebabkan gugur atau mati kandungannya, atau menyuruh orang lain menyebabkan itu dipidana penjara selama-lamanya empat tahun. Pasal 347: (1) Barang siapa dengan sengaja menyebabkan gugur atau mati kandungan seorang wanita tidak dengan izin wanita itu, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya dua belas tahun. (2) Jika perbuatan itu berakibat wanita itu mati, ia dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima belas tahun. Pasal 348: (1) Barang siapa dengan sengaja menyebabkan gugur atau mati kandungan seorang wanita dengan izin wanita itu, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun enam bulan. (2) Jika perbuatan itu berakibat wanita itu mati, ia dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya tujuh tahun. Pasal 349: Bila seorang dokter, bidan atau juru obat membantu kejahatan tersebut dalam pasal 346, atau bersalah melakukan atau membantu salah satu kejahatan diterangkan dalam pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah sepertiganya dan dapat dicabut haknya melakukan pekerjaannya yang dipergunakan untuk menjalankan kejahatan itu. Pasal 350: Dalam pemidanaan karena pembunuhan, karena pembunuhan dengan rencana, atau karena salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 344, 347, 348, dapat dijatuhkan pencabutan hak tersebut pasal 35 no. 1-5. Pasal 335: Barang siap secara terang-terangan mempertunjukkan sesuatu sarana untuk menggugurkan kandungan, maupun secara terang-terangan atau tanpa diminta menawarkan, ataupun secara terang-terangan atau dengan 57 menyiarkan tulisan tanpa diminta, menunjuk sebagai bisa didapat, sarana atau perantaraan yang demikian itu, diancam dengan kurungan paling lama tiga bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah. Secara singkat dapat dijelaskan bahwa yang dapat dihukum, menurut KUHP dalam kasus aborsi ini adalah:2 a) Pelaksanaan aborsi, yakni tenaga medis atau dukun atau orang lain dengan hukuman maksimal 4 tahun ditambah sepertiganya dan bisa juga dicabut hak untuk berpraktik. b) Wanita yang menggugurkan kandungannya, dengan hukuman maksimal 4 tahun. c) Orang-orang yang terlibat secara langsung dan menjadi penyebab terjadinya aborsi itu dihukum dengan hukuman yang bervariasi. Larangan pelaksanaan aborsi dalam KUHP—yang berasal dari Wet boek van strafrecht (WvS) tahun 1918, ditujukan bagi tabib, dukun beranak atau tukang obat yang melakukan aborsi tanpa dibekali keterampilan dan teknik yang terpercaya, sehingga mengancam keselamatan jiwa ibu.3 Sementara KUHP di Belanda sendiri sudah lama direvisi, sedangkan di Indonesia masih menjadi kitab hukum pidana. Pertanyaannya, apakah masih relevan pengaturan yang ada dalam KUHP, mengingat dunia kedokteran yang sudah mempunyai teknologi canggih? Dalam KUHP, berbagai pendapat dikemukakan tentang kelemahan pasalpasal yang mengatur tentang aborsi. Pertama, pasal-pasal tersebut dimasukkan dalam Bab Penghilangan Nyawa, sedangkan dalam penghentian kehamilan belum tentu terjadi penghilangan nyawa. Kedua, KUHP tidak melihat alasan mengapa terjadi pengguguran. Artinya, perempuan tersebut tidak pernah 2 Romli Atmasasmita, dkk., Penelitian Tentang Aspek Hukum Pelaksanaan Aborsi Akibat Perkosaan (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, 2004), hlm. 33. 3 Anita Rahman, “Hukum dan Hak Kesehatan Reproduksi: Masalah Aborsi”, dalam Sulistyowati Irianto, Perempuan dan Hukum: Menuju Hukum yang Berprespektif Kesetaraan dan Keadilan (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006), hlm. 523. 58 ditanya alasan mengapa dia melakukan aborsi. Ketiga, KUHP tidak mempertimbangkan bahwa teknologi sudah jauh berkembang dibandingkan pada saat KUHP ini mulai diberlakukan. Pada prinsipnya, berdasarkan analisis dari Romli dkk., terhadap aturan KUHP tersebut, dapat diuraikan hal-hal sebagai berikut:4 a. Kejahatan aborsi sering terjadi karena ada dua faktor. Pertama, adanya seorang wanita yang bersedia untuk digugurkan kandungannya. Kedua, adanya orang lain yang bersedia membantu pengguguran kandungan wanita tersebut. b. Bahwa apabila dianalisis dari pasal 346-349 dapat disimpulkan bahwa yang menggugurkan kandungan bisa oleh si wanita itu sendiri, bisa juga oleh orang lain—yang statusnya sebagai orang yang membantu— pidananya dapat ditambah 1/3 sebagai pemberatan dan haknya untuk menjalankan praktek bisa dicabut. Di sini nampak adanya unsur penyimpangan dari pasal 56, jo. 57 KUHP.5 c. Dari rangkaian pasal-pasal tersebut di atas tidak dijelaskan apakah janin yang digugurkan itu dalam keadaan hidup atau mati. Selain itu juga pasal-pasal tersebut tidak menyebutkan metode yang dipakai untuk menggugurkan kandungan. d. Terdapat hal-hal yang meringankan, apabila pengguguran kandungan dilakukan atas persetujuan si wanita tersebut. e. Dalam pasal 356 KUHP, terdapat ketidakadilan di dalam penuntutan, karena yang selalu dituntut adalah pihak ketiga yang disuruh untuk menggugurkan kandungannya. Jika ditelusuri dari pasal-pasal KUHP tersebut, maka pengguguran tersebut tidak mempermasalahkan cara melakukannya dan tidak 4 Romli Atmasasmita, dkk., Penelitian Tentang Aspek Hukum, hlm. 36-37. 5 Dalam KUHP pasal 56 dan 57, pembantu kejahatan (medeplichtige), dijatuhi hukuman pokok kejahatan dikurangi 1/3. Lihat, KUHP. 59 mempermasalahkan usia kandungan. Dengan demikian, usia kandungan tidak menjadi persoalan hukum, apakah berusia satu hari, satu bulan, maupun empat bulan sama saja. Hal yang menjadi catatan penting adalah janin itu dikeluarkan secara paksa, namun hal ini tidak berlaku bagi janin yang sudah mati ketika dalam kandungan.6 Di dalam KUHP sendiri, istilah, aborsi lebih dikenal dengan sebutan “pengguguran dan pembunuhan kandungan” yang merupakan perbuatan aborsi yang bersifat kriminal (abortus provokatus criminalis). Istilah kandungan dalam konteks tindak pidana ini, menunjuk pada pengertian kandungan yang sudah berbentuk manusia maupun kandungan yang belum berbentuk manusia. Selain itu, tindak pidana pengguguran dan pembunuhan kandungan sebagaimana yang diatur dalam KUHP terdiri dari 4 (empat) macam tindak pidana, yaitu:7 a. Tindak pidana pengguguran atau pembunuhan kandungan yang dilakukan sendiri, yang diatur dalam Pasal 346 KUHP. b. Tindak pidana pengguguran dan pembunuhan kandungan yang dilakukan oleh orang lain tanpa persetujuan dari wanita itu sendiri, yang diatur dalam Pasal 347 KUHP. c. Tindak pidana pengguguran dan pembunuhan kandungan yang dilakukan oleh orang lain dengan persetujuan wanita yang mengandung, yang diatur dalam pasal 348 KUHP. d. Tindak pidana pengguguran dan pembunuhan kandungan yang dilakukan oleh orang lain yang mempunyai kualitas tertentu, yaitu dokter, bidan, atau juru obat baik yang dilakukan atas persetujuan dari wanita itu atau tidak atas persetujuan dari wanita tersebut, yang diatur dalam Pasal 349 KUHP. 6 Istibsjaroh, Menimbang Hukum Pornografi, hlm. 70. 7 Tongat, Hukum Pidana Materil Tinjauan atas Tindak Pidana Terhadap Subyek Hukum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Jakarta: Djambatan, 2003), hlm. 53. 60 Berdasarkan aturan-aturan yang terdapat dalam KUHP terlihat jelas bahwa tindakan aborsi disini merupakan suatu tindakan yang melanggar hukum karena perbuatan aborsi yang dilakukan tanpa alasan kesehatan atau alasan medis yang jelas. Pelaku melakukan perbuatan aborsi karena memang sejak awal tidak menginginkan keberadaan bayi yang akan dilahirkan, biasanya hal ini dilakukan karena kehamilan yang terjadi di luar nikah atau karena takut akan kemiskinan dan tidak mampu membiayai hidup anak tersebut kelak apabila telah lahir ke dunia. Selain itu, jika melihat pada ketentuan yang terdapat dalam KUHP, perbuatan aborsi (baik pengguguran maupun pembunuhan kandungan) harus dapat dipertanggungjawabkan secara pidana oleh wanita hamil yang melakukan aborsi maupun orang yang membantu proses aborsi tersebut. Dengan demikian, baik pelaku maupun yang membantu perbuatan aborsi dapat dikenakan sanksi pidana.8 Dalam praktek, umumnya yang diajukan ke pengadilan adalah pihak yang membantu melakukan pengguguran kandungan, bukan si pemilik janin. Hal ini dikarenakan ketidakjelasan identitas mereka, selain itu juga para terdakwa tidak mau mengungkap identitas perempuan yang digugurkan kandungannya, karena jika diungkap justru memberatkan hukumannya.9 Pelayanan aborsi sebagai bentuk pelayanan kesehatan reproduksi perempuan, juga diatur dalam Konferensi Internasional tentang Kependudukan dan Pembangunan (International Conference on Population and Development—ICDP), di Kairo, yaitu pada tahun 1994. Dalam konferensi tersebut, ada 10 program kesehatan reproduksi, salah satunya adalah pelayanan aborsi—dalam hal ini, pelayanan aborsilah yang masih menjadi perdebatan 8 Lysa Angrayni, “Aborsi dalam Pandangan Islam dan Hukum Positif di Indonesia”, dalam Jurnal Hukum Islam, Vol. VII, No. 5, Juli 2007, Hlm. 541. 9 Harkistuti Harkrisnowo, “Aborsi ditinjau dari Perspektif Hukum”, Makalah (Jakarta: PPFNU, 2000), hlm. 6-8. 61 hukum.10 Di samping 10 program kesehatan reproduksi tersebut, juga diakui hak reproduksi perempuan yang dikukuhkan dalam Deklarasi Beijing tahun 1995.11 Tujuan utama dari kedua deklarasi tersebut—Deklarasi ICPD dan Deklarasi Beijing—adalah untuk mengurangi Angka Kematian Ibu (AKI) dan kesakitan/kecacatan akibat aborsi. Dalam himbauan WHO, negara harus memberikan pelayanan aborsi yang aman (safe abortion). Dengan adanya himbauan ini, berarti Deklarasi ICPD dan Deklarasi Beijing mengakomodasi hak perempuan untuk menentukan apa yang terbaik bagi tubuhnya—tidak seperti aturan aborsi yang terdapat dalam KUHP dan UU No. 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan, yang secara tegas melarang praktik aborsi. 2. Pengaturan Praktik Aborsi dalam UU No. 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan Sebelum diamandemen, dalam UU Kesehatan—yakni UU No. 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan—pasal yang mengatur masalah aborsi terdapat pada Pasal 15. Menurut undang-undang ini, aborsi dapat dilakukan apabila ada indikasi medis. Pasal 15 UU No. 23 Tahun 1992: (1) Dalam keadaan darurat sebagai upaya untuk menyelamatkan jiwa ibu hamil dan atau janinnya, dapat dilakukan tindakan medis tertentu. 10 Kesepuluh program kesehatan reproduksi tersebut terdiri dari: (a) pelayanan sebelum, semasa kehamilan dan pascakehamilan; (b) pelayanan kemandulan; (c) pelayanan KB yang optimal; (d) pelayanan dan penyuluhan HIV/AIDS; (e) pelayanan aborsi; (f) pelayanan dan pemberian Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE) yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi; (g) pelayanan kesehatan seksual dan reproduksi remaja; (h) tanggung jawab keluarga; (i) peniadaan sunat dan mutilasi anak perempuan; (j) pelayanan kesehatan lansia. Baca lebih lanjut, Anita Rahman, “Hukum dan Hak Kesehatan Reproduksi, hlm. 520-521. 11 Hak reproduksi perempuan tersebut meliputi: (a) hak individu untuk menentukan kapan ia akan mempunyai anak, berapa jumlah anak dan berapa lama jarak kelahiran; (b) hak unyuk mendapat pelayanan yang berkaitan dengan fungsi reproduksi; (c) hak untuk mendapatkan informasi, komunikasi dan edukasi yang berkaitan dengan hak tersebut; (d) hak melakukan kegiatan seksual tanpa paksaan, diskriminasi dan kekerasan. Baca lebih lanjut: Anita Rahman, “Hukum dan Hak Kesehatan Reproduks, hlm. 521. 62 (2) Tindakan medis tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan: (a) berdasarkan indikasi media yang mengharuskan diambilnya tindakan tersebut, (b) oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu dan dilakukan sesuai dengan tanggung jawab profesi serta berdasarkan pertimbangan tim ahli, (c) dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan atau suami atau keluarganya, (d) pada sarana kesehatan tertentu. Berdasarkan pasal di atas, undang-undang ini seakan-akan tampak memperbolehkan pengguguran kandungan dengan alasan tertentu. Akan tetapi, dalam penjelasan resmi dari ayat (1) itu dikatakan: “Tindakan medis dalam bentuk pengguguran kandungan dengan alasan apapun dilarang karena bertentangan dengan norma hukum, norma agama, norma kesusilaan, dan norma kesopanan. Namun dalam keadaan darurat sebagai upaya menyelamatkan jiwa ibu dan atau janin yang dikandungnya, dapat diambil tindakan medis tertentu”.12 Bagi beberapa orang, “tindakan medis tertentu” diartikan sebagai aborsi. Akan tetapi, pemerintah dan pengadilan bisa saja menafsirkannya sebagai tindakan selain aborsi, sebab pada kalimat awal ditegaskan bahwa pengguguran kandungan atas alasan apapun dilarang. Yang boleh diambil adalah “tindakan medis tertentu”. Bahkan kalimat terakhir menyebutkan “untuk menyelamatkan ibu dan atau janin”, yang sudah pasti bukan tindakan aborsi, karena aborsi tidak pernah menyelamatkan jiwa janin.13 Dengan demikian, dalam uu tersebut terasa ada keragu-raguan dari si pembuat uu dalam menangani aborsi. Alasan medis memang dikemukakan dalam konteks menjaga nilai-nilai moral, namun tidak 12 Penjelasan UU No. 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan. 13 Kartono Muhammad, Kontradiksi dalam Kesehatan Reproduksi (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1998), hlm, 65-66. 63 jelas apakah aborsi—khususnya aborsi korban perkosaan—termasuk salah satu tindakan yang diperbolehkan.14 Apabila dicermati, ketentuan Pasal 15 uu tersebut merupakan suatu rumusan yang ambigu dan bertentangan dengan prinsip pembuatan suatu undang-undang, yaitu clear, complete, and coherent (jelas, lengkap dan terpadu). Dari ketentuan Pasal 15 ini terlihat tidak adanya kejelasan, keserbatercakupan dan keterpaduan antara ketentuan yang satu dengan yang lainnya. Penggunaan istilah “tindakan medis tertentu” dapat dijadikan justifikasi bagi para dokter yang melakukan tindakan yang secara materi satu merupakan tindakan aborsi sehingga ia dapat berlindung dibalik Pasal 15 Undang-Undang Kesehatan. Ketentuan ini sangat membuka peluang semakin maraknya praktik aborsi yang terjadi akhir-akhir ini.15 Karena ketentuan yang ambigu tadi, seorang dokter atau bidan bisa saja membantu seorang wanita hamil untuk menggugurkan kandungannya dengan alasan kesehatan, padahal alasan tersebut tidak masuk akal. Misalnya seorang wanita yang hamil diluar nikah karena takut kehamilannya diketahui oleh orang lain atau suatu aib, sehingga harus digugurkan, bisa saja mendatangi klinik dokter terselubung yang mau melakukan aborsi. Jika dilihat dari ketentuan Pasal 349 KUHP, perbuatan yang demikian patut diduga dan sangat berindikasi kuat bahwa hal yang dilakukan tersebut merupakan perbuatan pidana. Namun karena adanya ambiguitas undang-undang kesehatan yang menghindari penyebutan aborsi dan hanya menggunakan istilah “tindakan medis tertentu”, para tenaga medis lebih cenderung berlindung dibalik undang-undang tersebut dengan mengedepankan azas “lex specialis derogat lex generalis” (aturan hukum yang lebih khusus dapat mengenyampingkan aturan hukum yang lebih bersifat umum) agar terbebas dari jerat hukum. Dengan kata lain, apabila 14 Istibsjaroh, Menimbang Hukum Pornografi,hlm. 71. 15 Lysa Angrayni, “Aborsi dalam Pandangan Islam, hlm. 542. 64 seorang tenaga medis membantu perbuatan aborsi dan perbuatannya tersebut diduga sebagai tindak pidana, maka orang yang mempunyai kualitas tertentu tadi (dalam hal ini tenaga medis tersebut) dapat saja berlindung dibalik Undang-Undang Kesehatan dengan mengedepankan prinsip “lex specialis” agar tidak dikenai sanksi. Bahwa keadaan darurat yang dimaksud dalam pasal tersebut—dalam hal ini pasal 15 UU No. 23 Tahun 1992 ayat (1), menurut Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP) dengan Tim Pusat Studi IAIN Syarif Hidayatullah—yang terdiri dari Ahli Fikih dan Dekan Fakultas Syari’ah—bahwa keadaan darurat tersebut mencakup fisik maupun psikis. Kondisi psikis di sini, artinya bahwa perempuan yang hamil tersebut mengalami stres dan depresi karena kehamilan yang tidak diinginkan.16 Bertolak dari pasal-pasal dalam uu tersebut, pada prinsipnya ada dua jenis aborsi—yaitu yang bersifat criminalis dan medicalis—yang kemudian oleh analisis Romli dkk., dapat diuraikan hal-hal sebagai berikut:17 a. Aborsi hanya boleh dilakukan dalam keadaan darurat sebagai cara untuk menyelamatkan ibu. Jadi, aborsi yang dilakukan karena alasan lain, jelas-jelas dilarang. Misalnya, alasan karena bayi cacat, incest, gagal KB, dsb. b. Indikasi medis tidak secara langsung disebutkan dalam uu tersebut, akan tetapi tafsir pasal 15 ayat (1) itu kemudian diperluas menjadi indikasi medis. c. Indikasi medis tidak sama dengan indikasi kesehatan. d. Rumusan uu tersebut dirasakan tidak mencukupi untuk menyelesaikan masalah aborsi dewasa ini. 16 Anita Rahman, “Hukum dan Hak Kesehatan Reproduksi: Masalah Aborsi”, dalam Sulistyowati Irianto, Perempuan dan Hukum: Menuju Hukum yang Berprespektif Kesetaraan dan Keadilan (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006), hlm. 526. 17 Romli Atmasasmita, dkk., Penelitian Tentang Aspek Hukum Pelaksanaan Aborsi…, hlm 37- 38. 65 B. Legalitas Praktik Aborsi bagi Korban Perkosaan dalam UU No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan 1. Latar Belakang Pembentukan Dengan dikeluarkannya undang-undang kesehatan yang baru, yaitu UU No. 36 Tahun 2009, maka secara otomatis undang-undang kesehatan yang lama, yaitu UU No. 23 Tahun 1992 sudah tidak berlaku lagi. Kemunculannya ini dilatarbelakangi oleh beberapa hal, salah satunya undang-undang kesehatan yang lama sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan, tuntutan, dan kebutuhan hukum dalam masyarakat. Latar belakang ini diungkapkan di dalam lampiran undang-undang kesehatan yang baru, khususnya pada bagian awal, yaitu bagian menimbang. Kesemua latar belakang pembentukan UU No. 36 Tahun 2009 tersebut ada enam hal, yang akan diliput sebagai berikut:18 a. bahwa kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. bahwa setiap kegiatan dalam upaya untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dilaksanakan berdasarkan prinsip nondiskriminatif, partisipatif, dan berkelanjutan dalam rangka pembentukan sumber daya manusia Indonesia, serta peningkatan ketahanan dan daya saing bangsa bagi pembangunan nasional; c. bahwa setiap hal yang menyebabkan terjadinya gangguan kesehatan pada masyarakat Indonesia akan menimbulkan kerugian ekonomi yang besar bagi negara, dan setiap upaya peningkatan derajat kesehatan masyarakat juga berarti investasi bagi pembangunan negara; 18 Lihat, menimbang dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. 66 d. bahwa setiap upaya pembangunan harus dilandasi dengan wawasan kesehatan dalam arti pembangunan nasional harus memperhatikan kesehatan masyarakat dan merupakan tanggung jawab semua pihak baik Pemerintah maupun masyarakat; e. bahwa Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan, tuntutan, dan kebutuhan hukum dalam masyarakat sehingga perlu dicabut dan diganti dengan UndangUndang tentang Kesehatan yang baru; f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e perlu membentuk Undang-Undang tentang Kesehatan. Dengan disahkannya UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menggantikan undang-undang kesehatan sebelumnya yaitu UU No. 23 Tahun 1992, maka permasalahan aborsi lebih memperoleh legitimasi dan penegasan. Secara eksplisit, dalam undang-undang kesehatan yang baru ini terdapat pasal yang mengatur kebolehan aborsi KTD akibat perkosaan, yakni pasal 75 ayat 2. Meskipun demikian, dalam praktek, materi undang-undang tersebut menimbulkan berbagai reaksi dan kontroversi di berbagai lapisan masyarakat. 2. Struktur Materi Hukum Menurut UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, setiap orang dilarang melakukan aborsi,19 namun larangan tersebut tidak berlaku jika ada indikasi kedaruratan medis, seperti kesehatan ibu dan janin terancam, atau kehamilan dalam kasus perkosaan.20 Persyaratan aborsi ini dilakukan pada usia kehamilan 19 Lihat pasal 72 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. 20 Lihat pasal 72 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. 67 maksimal enam minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir,21 termasuk di dalamnya aborsi dari KTD akibat perkosaan. Sementara itu, jika ada indikasi kedaruratan medis, maka usia maksimal kehamilan tidak berlaku—dengan kata lain, pada keadaan ini, aborsi kapanpun dapat dilakukan. Dengan demikian, pelayanan aborsi legal karena ada indikasi kedaruratan medis dirasa tidak ada masalah.22 Lain halnnya dengan aborsi kehamilan akibat perkosaan, hal ini mengingat pemberian aborsi legal hanya diizinkan dalam waktu enam minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir.23 Pemberian izin aborsi dalam waktu enam minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir, tentu tidak sama dengan enam minggu usia kehamilam. Hal ini dikarenakan masa subur seorang perempuan (ovulasi) itu sekitar 6-11 hari setelah haid—masa subur ini ditentukan oleh siklus haid masing-masing perempuan.24 Jadi, kehamilan akan terjadi hanya ketika berhubungan intim pada masa subur ini. Dengan demikian, penggunaan waktu maksimal aborsi enam minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir, sama artinya dengan lima minggu usia kehamilan. Dalam jarak waktu yang terbatas ini tentu membuat korban perkosaan tidak bisa mendapatkan aborsi yang aman. Hal ini dikarenakan kemungkinan adanya ketidaktahuan bahwa mereka telah hamil pada saat itu. Dalam kondisi ini, korban perkosaan tentu memerlukan waktu yang lebih lama untuk mengakui dan melaporkan kepada pihak yang berwenang bahwa mereka telah diperkosa, 21 Lihat Pasal 75 poin a Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. 22 Terkadang aborsi dalam keadaan ini tidak selalu mudah, Hal ini dikarenakan ada sejumlah persoalan yang menghambat akses pelayanan aborsi, khususnya bagi perempuan dan gadis yang tinggal di daerah terpencil atau yang memiliki akses terbatas terhadap layanan perawatan kesehatan yang umumnya terjadi karena faktor jarak dan atau sosial-budaya. Amnesty International, Tak Ada Pilihan (Rintangan atas Kesehatan Reproduktif di Indonesia) (Inggris: Amnesty International Publications, 2010), hlm. 8. 23 Lihat Pasal 76 poin a Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. 24 Telusuri, www.danpacpharma.com . Telusuri juga, www.sensitif.info.com. 68 apalagi ditambah latar belakang yang menstigmakan negatif terhadap seks di luar nikah.25 Selain itu, dalam UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, untuk mendapatkan layanan aborsi yang sah terhadap kehamilan yang mengancam nyawa ibu atau janin, maka undang-undang kesehatan menuntut adanya persetujuan dari suami.26 Dengan kata lain, seorang perempuan tidak diizinkan undang-undang kesehatan ini untuk mendapatkan layanan aborsi yang sah di Indonesia, kecuali jika dia memiliki suami, dan suaminya menyetujui. Ketetapan yang menyangkut adanya persetujuan suami ini tentu bersifat diskriminatif. Hal ini membuktikan bahwa ketetapan ini mengabaikan perempuan dan gadis yang tidak menikah dari pelayanan aborsi aman yang sah. Dengan demikian, materi UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan ini tidak sejalan dengan latar belakang pembentukan undang-undang tersebut.27 Mengenai kemunculan undang-undang kesehatan yang baru ini beserta materinya, berdasarkan penelitian Amnesty International, banyak ketidaktahuan di antara perempuan dan gadis dari komunitas miskin dan termarginalisasi mengenai aturan baru yang berkaitan dengan pengecualian diperbolehkannya aborsi bagi korban perkosaan dalam UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan ini. Selain mereka, ketidaktauan juga ada pada diri para pekerja kesehatan, 25 Amnesty International, Tak Ada Pilihan…, hlm. 9. 26 Lihat, Pasal 76 poin d Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. 27 Dalam latar belakang pembentukan uu kesehatan ini dinyatakan “bahwa setiap kegiatan dalam upaya untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggitingginya dilaksanakan berdasarkan prinsip nondiskriminatif, partisipatif, dan berkelanjutan dalam rangka pembentukan sumber daya manusia Indonesia, serta peningkatan ketahanan dan daya saing bangsa bagi pembangunan nasional. Lihat menimbang poin b dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Selain bertentangan dengan latar belakang pembentukan uu ini, Pasal 76 poin d ini juga bertentangan dengan Pasal 2, yang berisi tentang asas dan tujuan uu kesehatan tersebut, yaitu bahwa “Pembangunan kesehatan diselenggarakan dengan berasaskan perikemanusiaan, keseimbangan, manfaat, pelindungan, penghormatan terhadap hak dan kewajiban, keadilan, gender dan nondiskriminatif dan norma-norma agama. Lihat, Pasal 2 UndangUndang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. 69 seperti dokter. Sebagaimana yang diwawancarai oleh Amnesty International pada bulan Maret 2010, bahwa pekerja kesehatan umumnya hanya mengetahui adanya satu pengecualian aborsi, yaitu layanan aborsi sah yang berkaitan dengan kesehatan ibu atau janin. Sementara pengecualian yang berhubungan dengan layanan aborsi sah untuk korban perkosaan, rata-rata mereka tidak mengetahui. Selain mereka, ketidaktauan tentang ketentuan baru ini juga ada pada diri pejabat pemerintah.28 Dengan adanya kenyataan di atas, menunjukkan kurangnya sosialisasi atas materi UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. 3. Kontroversi atas Materi Hukum Dalam konteks pengaturan aborsi, materi UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, khususnya yang mengatur tentang aborsi, menuai kontroversi yang berkepanjangan. Di satu pihak dianggap memasung kebebasan perempuan, dan di sisi yang lain juga terdapat sekelompok kecil yang menganggap sebagai bentuk ketidakhormatan kepada manusia. Di antara dua pandangan tersebut, tidak sedikit juga masyarakat yang mendukung adanya undang-undang tersebut. Hal ini mungkin menimbulkan kontroversi, karena cara pandang yang digunakan oleh masing-masing kelompok berbeda satu sama lain, seperti agama, feminisme, HAM, dan lain sebagainya. Dengan menggunakan kacamata feminisme, maka undang-undang tersebut dianggap memasung kebebasan perempuan. Hal ini dikarenakan untuk mendapatkan layanan aborsi yang sah terhadap kehamilan yang mengancam nyawa ibu atau janin, maka uu kesehatan menuntut adanya persetujuan dari suami.29 Hal ini tentu membuat seorang perempuan tidak mendapatkan kebebasan atas dirinya. Sementara itu, jika menggunakan kacamata HAM, maka pelegalan aborsi sebagaimana yang diatur dalam uu tersebut, tentu 28 Amnesty International, Tak Ada Pilihan, hlm. 9. 29 Lihat, Pasal 76 poin d Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan 70 bertentangan dengan Undang-Undang Hak Asasi Manusia Pasal 53, yang menyatakan bahwa mengenai hak hidup anak dari mulai janin sampai dilahirkan. Demikian juga, jika menggunakan kacamata agama, maka aborsi dianggap sebagai bentuk ketidakhormatan kepada manusia. Dalam hal ini melanggar prinsip maṣlaḥah, yaitu hifẓ al-nafs. Namun, hal tersebut tentu berbeda dengan kasus aborsi dari KTD akibat perkosaan, sebagaimana yang diatur dalam uu tersebut. Selain banyak yang menentang, namun ada juga sebagian masyarakat yang mendukung adanya uu tersebut. Hal ini dikarenakan undang-undang tersebut memberikan solusi yang tepat bagi perempuan yang hamil akibat perkosaan. Bertolak dari berbagai cara pandang di atas, maka terilihat bahwa masih banyak terjadi kontroversi terhadap materi UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, khususnya tentang pengaturan aborsi KTD akibat perkosaan. C. Analisis atas Struktur Materi Hukum Aborsi bagi Korban Perkosaan dalam UU No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan dengan Tinjauan Maṣlaḥah alṬūfī Sebagaimana telah terurai pada bab sebelumnya, bahwa ketentuan tentang hukum aborsi di dalam hukum positif di Indonesia diatur di dalam KUHP (Lex Generalis) dan Undang-Undang Kesehatan (Lex Spesialis)30—dalam hal ini UU No. 23 Tahun 1992, kemudian diamandemen dengan UU No. 36 Tahun 2009. Ketentuan dalam KUHP, aborsi tidak diperbolehkan dengan alasan apapun dan oleh siapapun juga. Sementara itu, berdasarkan UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, aborsi diperbolehkan apabila terdapat indikasi medis dalam keadaan 30 Supriyadi, “Politik Hukum Kesehatan terhadap Pengguguran Kandungan”, Makalah disampaikan dalam Diskusi Ilmiah tanggal 2 Juli 2002, “Aborsi dari kajian Ilmu Politik Hukum” (Hukum Kesehatan dan Hukum Pidana), (Yogyakarta: Bagian Hukum Pidana, FH-UAJY, 2001), hlm. 12. 71 darurat dan untuk menyelamatkan jiwa ibu.31 Kemudian dalam UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, permasalahan aborsi lebih memperoleh legitimasi dan penegasan, karena terdapat pasal yang mengatur tentang diperbolehkannya aborsi bagi korban perkosaan. Mengingat ketentuan dalam KUHP, tindakan aborsi—apapun alasannya— merupakan suatu tindakan pidana, baik bagi pelaksana aborsi (seperti tenaga medis, dukun atau orang lain), wanita yang diaborsi, maupun orang yang terlibat secara langsung terhadap aborsi.32 Dalam pada itu, wawancara Amnesty International terhadap para pekerja kesehatan, mengisyaratkan bahwa, adanya ancaman kriminalisasi tersebut memiliki efek penghambat besar bagi profesi kesehatan dalam memberikan pelayanan.33 Dengan demikian, jika ada ancaman kriminalisasi—sebagaimana yang tersebut dalam KUHP—mereka akan enggan melakukan pelayanan aborsi. Sementara itu, berfikir menggunakan logika a contrario, dengan mendekriminalisasi aborsi di Indonesia, maka pelayanan aborsi yang aman akan lebih mungkin diakses oleh para perempuan. Para dokter di Indonesia akan lebih mungkin memberikan pelayanan aborsi dalam kasus di mana mereka memang dimaksudkan untuk memberikan layanan itu. Bertolak dari fakta di atas, maka untuk mendapatkan pelayanan aborsi yang aman, seharusnya pekerja kesehatan jangan ditakut-takuti dengan ancaman pidana, sebagaimana yang tersebut dalam KUHP. Dengan mengutip ungkapannya Satjipto Rahardjo, bahwa jika terjadi problematika hukum, maka hukumlah yang harus ditinjau dan diperbaiki, bukan manusianya yang dipaksa-paksa untuk dimasukan ke dalam 31 Menurut Guttmacer Institute, meskipun bahasa yang digunakan untuk aborsi dalam UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan adalah samar-samar, namun secara umum hukum tersebut mengizinkan aborsi bila perempuan yang akan melakukan aborsi mempunyai surat dokter yang mengatakan bahwa, kehamilannya membahayakan kehidupannya, surat dari suami atau anggota keluarga yang mengizinkan pengguguran kandungan, tes laboratorium yang menyatakan perempuan tersebut positif dan pernyataan yang menjamin bahwa setelah melakukan aborsi, perempuan tersebut akan menggunakan kontrasepsi. Lihat, Guttmacer Institute, Aborsi di Indonesia, Seri 2008, No. 2, hal. 1. 32 Lihat, KUHP Pasal 283, 299, 346, 347, 348, 349, dan 340. 33 Amnesty International, Tak Ada Pilihan, hlm. 9. 72 skema hukum.34 Untuk itu, dalam hal ini, pemerintah perlu melakukan upaya pembaharuan peraturan KUHP, yang mulanya menganggap aborsi sebagai tindakan kriminal, maka mengubahnya menjadi dekriminalisasi.35 Dekriminalisasi di sini, tentu dengan catatan tertentu, yaitu bukan untuk semua pelaku aborsi, namun pemerintah harus mengkhususkan bagi pelaku aborsi dalam keadaan darurat, termasuk di dalamnya aborsi KTD akibat perkosaan.36 Sementara itu, pengaturan normatif legal formal aborsi berdasarkan UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, khususnya pasal 15, telah terjadi kontradiktif antara aturan dan penjelasannya. Di mana dalam aturannya, aborsi diperbolehkan jika ada indikasi medis tertentu, sementara dalam penjelasannya, tindakan medis dalam bentuk pengguguran kandungan dengan alasan apapun dilarang. Dengan adanya fakta bahwa Pasal 15 dalam UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan ini tidak adanya kejelasan, keserbatercakupan dan keterpaduan antara ketentuan yang satu dengan yang lainnya, berarti aturan tersebut dinilai ambigu dan bertentangan dengan prinsip pembuatan suatu undang-undang, yaitu clear, complete, and coherent.37 Selain itu, dengan adanya fakta bahwa sampai sekarang PP (Peraturan Pelaksana) dari UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan tersebut belum dibentuk, berarti ada keragu-raguan pemerintah dalam menangani persoalan aborsi. 34 Satjipto Rahardjo, ”Hukum Progresif, hlm. 3. Lihat pula Satjipto Rahardjo, “Konsep dan Karakteristik Hukum Progresif” , hlm. 11. 35 Untuk mewujudkan hal tersebut, maka perlu memperhatikan empat hal. Pertama, Keseimbangan sarana-sarana yang digunakan dalam hubungannya dengan hasil yang ingin dicapai. Kedua, Analisa biaya terhadap hasil-hasil yang diperoleh dalam hubungannya dengan tujuan-tujuan yang dicari. Ketiga, Penilaian atau penaksiran tuujuan-tujuan yang ingin dicari itu dalam kaitannya dengan prioritas-prioritas lainnya dalam pengalokasian SDM. Keempat, Memelihara atau mempertahankan integritas pandangan-pandangan dasar tertentu mengenai keaadilan social, martabat kemanusiaan, dan keadilan individu. Lihat, Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dalam Pidana Penjara (Semarang: UNDIP Semarang, 1994), hlm. 37. 36 Amnesty International, Tak Ada Pilihan, hlm. 8-10. 37 Baca, Lysa Angrayni, Aborsi dalam Pandangan Islam, hlm. 542. 73 Selanjutnya, karena UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan dinilai sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan, tuntutan, dan kebutuhan hukum dalam masyarakat,38 maka uu tersebut diamandemen dengan undang-undang kesehatan yang baru, yaitu UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Dalam pada itu, perbedaan yang signifikan dalam pengaturan aborsi antara kedua undang-undang kesehatan tersebut adalah, bahwa dalam undang-undang kesehatan yang baru, secara eksplisit memperbolehkan aborsi karena KTD akibat perkosaan. Hal itu dinyatakan dalam pasal 75 ayat 2 UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Di sana dinyatakan bahwa aborsi dapat dikecualikan bagi “kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan”. Ketentuan dengan kalimat tersebut tentu masih menimbulkan pertanyaan, apakah diperbolehkannya aborsi hanya bagi korban perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis saja? Lalu, bagaimanakah ukuran dari trauma psikologis tersebut? Hal ini tentu perlu mendapatkan penjelasan lebih lanjut, namun hal ini tidak tersentuh dalam penjelasan resmi atas undang-undang tersebut. Selain itu, dalam ketentuan pasal 75 ayat 4, menyebutkan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai hal tersebut, sebagaimana dengan Peraturan Pemerintah, namun sampai sekarang PP belum dikeluarkan. Lebih lanjut, aborsi bagi korban perkosaan ini dapat dilakukan sebelum enam minggu usia kehamilan, dihitung dari hari pertama haid terakhir.39 Sebagaimana yang telah dibahas sebelumnya, bahwa waktu enam minggu dihitung dari haid terakhir ini, sama artinya dengan lima minggu usia kehamilan. Hal ini dikarenakan masa subur seorang wanita (ovulasi), agar terjadi kehamilan adalah sekitar 6-11 hari setelah haid.40 Pemberian waktu ini, tentu memerlukan alasan, 38 Lihat, menimbang poin e dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. 39 Lihat Pasal 75 poin a Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. 40 Telusuri, www.danpacpharma.com . Telusuri juga, www.sensitif.info.com. 74 mengapa aborsi hanya diperbolehkan sebelum waktu enam minggu dihitung dari haid terakhir. Namun, alasan ini juga tidak ditemukan dalam penjelasan resmi atas undang-undang tersebut. Pada prinsipnya, tujuan penetapan hukum adalah untuk kemasalahatan manusia. Demi terwujudnya kemaslahatan tersebut, maka ada lima hal yang harus terpelihara, atau biasa didistilahkan dengan al-uṣūl al-khamsah.41 Kelima hal tersebut yaitu, memelihara agama (hifẓ al-dīn), memelihara jiwa (hifẓ al-nafs), memelihara akal (hifẓ al-̀aql), memelihara keturunan (hifẓ al-nasl), dan memelihara harta (hifẓ al-māl). Kelimanya tersebut dapat dibedakan menjadi tiga peringkat, yakni ḍarūriyyah, ḥājjiyyah, dan taḥsīniyyah.42 Sementara itu, jika antara antar maṣlaḥah dan mafsadah terdapat pada satu persoalan, maka jalan keluar yang ditempuh adalah merinci kepentingan maṣlaḥah-nya dan menghindari efek buruk (mafsadah) jika itu memungkinkan. Demikian pula saat terdapat pertentangan antar maṣlaḥah atau di antara mafsadah yang ada maka bagi al-Ṭūfī mengunggulkan salah satunya, dan jika keduanya sepadan maka pilih salah satu.43 Pertanyaannya kemudian, bagimana dengan pengaturan aborsi yang ada dalam UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Di satu sisi, terdapat perempuan yang menderita akibat hamil yang tidak dikehendaki sebab perkosaan, di sisi lain terdapat bayi dalam kandungan yang harus dijaga keselamatan nyawanya karena ia Abū Ḥāmid al-Gazalī, Al-Muṣtasfā, hlm. 174. 41 Memelihara kelompok ḍarūriyyah berarti memelihara kebutuhan-kebutuhan esensial bagi kehidupan manusia. Kebutuhan yang esensial itu adalah memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta dalam batas tidak sampai terancam eksistensinya kelima pokok itu. Tidak terpenuhinya atau tidak terpeliharanya kebutuhan-kebutuhan itu akan berakibat terancamnya eksistensi kelima pokok di atas. Berbeda dengan kelompok ḍarūriyyah, kebutuhan dalam kelompok ḥājjiyyah tidak termasuk kebutuhan yang esensial, melainkan termasuk kebutuhan yang dapat menghindarkan manusia dari kesulitan dalam hidupnya, tidak terpeliharanya hal tersebut tidak akan mengancam eksistensi kelima pokok di atas tetapi hanya akan menimbulkan kesulitan bagi seseorang. Kelompok ini erat hubunganya dengan rukhṣah atau keringanan. Sedangkan kebutuhan dalam kelompok taḥsīniyyah adalah kebutuhan yang menunjang martabat seseorang dalam masyarakat dan dihadapan Tuhannya sesuai dengan kebutuhan. Baca, al-Ṭūfī, Syarakh Mukhtaṣar Rawḍah, juz II, hlm. 754-756. 42 Al-Ṭūfī, Risālah fī Rìāyah al-Maṣlaṣah, hlm. 46. Lihat pula, Muṣṭafā Zayd, Al-Maṣlaḥah, hlm. 83. 43 75 juga memiliki hak hidup. Di sini terdapat problem berupa berkumpulnya kemaslahatan si perempuan dan kemafsadatan si anak jika dilakukan aborsi. Berdasarkan kepentingannya, memelihara agama (hifẓ al-dīn) dapat dibedakan menjadi tiga peringkat. Pertama, memelihara agama dalam peringkat ḍarūriyyah, yaitu memelihara dan melaksanakan kewajiban keagamaan yang termasuk peringkat primer. Kedua, memelihara agama dalam peringkat ḥājiyyah, yaitu melaksanakan ketentuan agama dengan maksud menghindari kesulitan. Ketiga, memelihara agama dalam peringkat taḥsīniyyah, yaitu mengikuti petunjuk agama guna menunjung tinggi martabat manusia. Dalam prinsip maṣlaḥah hifẓ aldīn ini, jika dikaitkan dengan aborsi secara umum, maka perbuatan ini akan melanggar prinsip maṣlaḥah hifẓ al-dīn, khususnya dalam peringkat ḍarūriyyah. Hal ini wajar karena mengingat dosa besar yang ditimbulkan dari aborsi tersebut. Namun, tentu hal ini berbeda dengan aborsi KTD akibat perkosaan, yang diatur dalam UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Aborsi dalam keadaan ini dapat menghindarkan kesulitan bagi perempuan korban perkosaan. Sementara jika janin tetap dibiarkan hidup di dalam kandungan, sampai ia lahir, maka akan menimbulkan kesulitan bagi kehidupan perempuan tersebut. Dengan demikian, aborsi KTD akibat perkosaan termasuk memelihara agama dalam peringkat ḥājiyyah. Hal yang perlu diperhatikan kedua untuk mewujudkan kemaslahatan adalah memelihara jiwa (hifẓ al-nafs). Berdasarkan tingkat kepentingannya, dapat dibedakan menjadi tiga peringkat. Pertama, memelihara jiwa dalam peringkat ḍarūriyyah. Jika peringkat ḍarūriyyah ini diabaikan, maka eksistensi jiwa manusia akan terancam, dan ini dilarang oleh Allah Swt. Kedua, memelihara jiwa dalam peringkat ḥājiyyah. Jika kegiatan ini diabaikan, maka tidak akan mengancam eksistensi manusia, melainkan dalam peringkat ini hanya mepersulit hidupnya. Ketiga, memelihara jiwa dalam peringkat taḥsīniyyah. Kegiatan ini hanya berhubungan dengan kesopanan dan etika, sama sekali tidak akan mengancam 76 eksistensi jiwa manusia, ataupun mempersulit kehidupan seseorang. Dalam prinsip maṣlaḥah hifẓ al-nafs ini, jika dikaitkan dengan aborsi, maka jelas akan bertentangan dengan prinsip maṣlaḥah ini. Dalam aborsi, tentu hanya jiwa ibu yang diselamatkan, sementara jiwa anak sengaja dimusnahkan. Dengan demikian, aborsi melanggar prinsip maṣlaḥah memelihara jiwa, khususnya dalam peringkat ḍarūriyyah. Namun, lain halnya dengan aborsi KTD akibat perkosaan, yang diatur dalam UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, maka perbuatan ini berhubungan dengan keselamatan jiwa ibu dan anak. Dalam aborsi ini, tentu jiwa ibu yang diselamatkan, sementara jiwa anak sengaja dimusnahkan. Hal ini dapat dimaklumi karena, jika anak tersebut dilahirkan justru akan menimbulkan kesulitan bagi perempuan korban perkosaan. Dengan demikian, aborsi KTD akibat perkosaan termasuk memelihara jiwa dalam peringkat ḥājiyyah. Selanjutnya, prinsip maṣlaḥah yang ketiga adalah memelihara akal (hifẓ al̀aql). Dilihat dari segi kepentingannya, memelihara akal dapat dibedakan menjadi tiga peringkat. Pertama, memelihara akal dalam peringkat ḍarūriyyah. Contohnya adalah diharamkannya meminum minuman keras. Jika ketentuan ini tidak diindahkan maka akan berakibat pada terancamnnya eksistensi akal dan merupakan perbuatan dosa. Kedua, memelihara akal dalam peringkat ḥājjiyyah, seperti dianjurkan untuk menuntut ilmu pengetahuan. Sekiranya kegiatan ini tidak dilakukan, maka tidak akan merusak akal, tetapi akan mempersulit kehidupan seseorang dalam kaitannya mengembangkan ilmu pengetahuan. Ketiga, memelihara akal dalam peringkat taḥsīniyyah, seperti menghindarkan diri dari menghayal atau mendengarkan sesuatu yang tidak bermanfaat. Hal ini erat kaitannya dengan etika dan tidak akan mengancam eksisitensi akal secara langsung. Dalam prinsip maṣlaḥah hifẓ al-̀aql ini, jika dikaitkan dengan aborsi, maka perbuatan ini berhubungan dengan beban psikis si perempuan yang mengandung. Bisa jadi dia akan selalu terbayang-bayang akan perbuatannya yang tidak manusiawi terhadap darah dagingnya sendiri, bahkan bisa stress akut. 77 Dengan demikian, aborsi melanggar prinsip maṣlaḥah dalam memelihara akal, khususnya dalam peringkat ḍarūriyyah. Namun, jika prinsip maṣlaḥah hifẓ al-̀aql ini, jika dikaitkan dengan aborsi KTD akibat perkosaan, yang diatur dalam UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, maka perbuatan ini berhubungan dengan beban psikis yang akan ditanggung perempuan korban perkosaan. Jika aborsi dilakukan, maka paling tidak dapat mengurangi beban psikis tersebut. Dengan demikian, aborsi KTD akibat perkosaan termasuk memelihara akal dalam peringkat ḍarūriyyah. Prinsip maṣlaḥah yang keempat adalah memelihara keturunan (hifẓ al-nasl). Dilihat dari segi kebutuhannya, dapat dibedakan menjadi tiga peringkat. Pertama, memelihara keturunan dalam peringkat ḍarūriyyah. Untuk kelangsungan kehidupan manusia perlu adanya keturunan yang jelas dan sah. Jika ini diabaikan, maka akan mengancam eksistensi keturunan. Kedua, memelihara keturunan dalam peringkat ḥājjiyyah seperti ditetapkan ketentuan menyebutkan mahar bagi suami pada waktu akad nikah dan diberikan hak talak baginya. Jika hal ini diabaikan, maka akan mengalami kesulitan. Ketiga, memelihara keturunan dalam peringkat taḥsīniyyah, seperti disyariatkan khiṭbah dan atau walīmah dalam perkawinan. Jika hal ini diabaikan, maka tidak akan mengancam eksistensi keturunan, dan tidak pula mempersulit orang yang melakukan perkawinan. Dalam prinsip maṣlaḥah hifẓ al-nasl ini, jika dikaitkan dengan aborsi, maka perbuatan ini mengancam eksistensi keturunan. Dengan demikian, aborsi melanggar prinsip maṣlaḥah memelihara keturunan, khususnya dalam peringkat ḍarūriyyah. Dalam prinsip maṣlaḥah hifẓ al-nasl ini, jika dikaitkan dengan aborsi KTD akibat perkosaan, yang diatur dalam UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, maka perbuatan ini berhubungan dengan status anak yang lahir dari korban perkosaan. Jika anak tetap dilahirkan, maka ia hanya punya hubungan nasab dengan ibunya. Dengan demikian, aborsi KTD akibat perkosaan termasuk memelihara keturunan dalam peringkat ḍarūriyyah. 78 Prinsip maṣlaḥah yang kelima adalah memelihara harta (hifẓ al-māl). Dilihat dari segi kepentingannya, pemeliharaan harta dapat dibedakan menjadi tiga peringkat. Pertama, memelihara harta dalam peringkat ḍarūriyyah. Untuk mempertahankan kehidupannya manusia memerlukan harta dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya, sehingga mereka berupaya mendapatkan harta dengan cara yang halal dan baik. Apabila aturan ini dilanggar, maka akan berakibat terancam eksistensi harta Kedua, memelihara harta dalam peringkat ḥājjiyyah, seperti disyariatkannya jual-beli salam, kerjasama dalam pertanian (muzaraˋah) dan perkebunan (musāqah) serta perdagangan (muḍārabah). Apabila cara ini tidak dilaksanakan, maka tidak akan mengancam eksistensi harta, melainkan akan mempersulit orang yang memerlukan modal. Ketiga, memelihara harta dalam peringkat taḥsīniyyah seperti adanya ketentuan agar menghindarkan diri dari pengecohan dan penipuan. Hal ini erat kaitannya dengan etika bermuamalah atau etika berbisnis, serta akan mempengaruhi kesahan jual-beli, sebab peringkat yang ketiga ini juga merupakan syarat adanya peringkat yang kedua dan pertama. Dalam prinsip maṣlaḥah hifẓ al-māl ini, jika dikaitkan dengan aborsi, maka perbuatan ini justru malah menganggarkan harta hanya untuk perbuatan yang sia-sia. Hal ini wajar mengingat biaya aborsi yang mahal, apalagi jika dilakukan oleh tenaga medis yang tidak profesional, justru akan menimbulkan berbagai penyakit. Dengan demikian, aborsi melanggar prinsip maṣlaḥah memelihara keturunan, khususnya dalam peringkat ḍarūriyyah. Dalam prinsip maṣlaḥah hifẓ al-māl ini, jika dikaitkan dengan aborsi KTD akibat perkosaan, yang diatur dalam UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, maka perbuatan ini berhubungan dengan beban ekonomi. Jika anak tetap dilahirkan, maka beban ekonomi yang besar akan ditanggung oleh si ibu korban perkosaan untuk mengasuh anaknya. Lebih-lebih, di Indonesia saat ini belum ada jaminan penuh atas kesejahteraan bagi bayi yang baru lahir. Dengan demikian, aborsi KTD akibat perkosaan termasuk memelihara harta dalam peringkat ḍarūriyyah. 79 Bertolak dari kelima kemaslahatan di atas, jika dihubungkan dengan aborsi, maka perbuatan tersebut telah melanggar kelima prinsip maṣlaḥah, khususnya dalam peringkat ḍarūriyyah. Artinya, jika aborsi dilakukan, maka akan berakibat terancamnya eksistensi kelima pokok maṣlaḥah di atas. Dengan demikian, aborsi merupakan perbuatan yang menimbulkan mafsadah. Namun, lain halnya dengan aborsi KTD akibat perkosaan, yang diatur dalam UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, maka perbuatan ini justru lebih banyak mendatangkan maṣlaḥah dari pada mafsadah. Dengan demikian, ada pengecualian aborsi dalam kondisi ini. Untuk membenarkan tindakan mengambil resiko buruk untuk mempertahankan kepentingan yang lebih utama itu ulama menggunakan kaidah, “Kedaruratan itu membolehkan adanya larangan”.44 Mengetahui peringkat maṣlaḥah dalam kelima pokok kemaslahatan di atas menjadi penting untuk dihubungkan dengan skala prioritas penerapannya. Ketika kemaslahatan yang satu berbenturan dengan kemasalahatan yang lainnya. Dalam hal ini tentu peringkat pertama, ḍarūriyyah, harus didahulukan daripada peringkat kedua, ḥājjiyyah, dan peringkat ketiga, taḥsīniyyah.45 Ketentuan ini menunjukkan bahwa dibenarkan mengabaikan hal-hal yang termasuk peringkat kedua dan ketiga manakala kemaslahatan peringkat pertama terancam eksistensinya. Jadi, harus didahulukan memelihara jiwa dalam peringkat ḍarūriyyah daripada peringkat ḥājjiyyat. Begitu pula halnya dalam peringkat taḥsīniyyah berbenturan dalam peringkat ḥājjiyyah harus didahulukan dari pada taḥsīniyyah. Keadaan di atas hanya pada yang berbeda peringkat. Adapun kasus yang peringkatnya sama, seperti peringkat ḍarūriyyah dengan peringkat ḍarūriyyaḥ namun berbeda dalam urutan kepentingannya didahulukan urutan yang lebih tinggi. Bila kepentingan memelihara agama berbenturan dengan kepentingan Ṣāliḥ bin Muḥammad al-Asmurī, Majmūˋat al-Fawā’id al-Bahiyyah ‘alā Manẓūmah alQawāˋid al-Bahiyyah (T.t.p.: Dār al-Ṣamīˋī, 2000) hlm. 102. 44 45 Ibid., hlm 24. 80 memelihara jiwa, maka didahulukan memelihara agama. Dalam menyelesaikan adanya benturan-benturan pada tingkat ḍarūriyyah ini para pakar menetapkan kaidah yang berbunyi, “Kemudaratan yang lebih besar dapat dihilangkan dengan kemudaratan yang lebih kecil”.46 Selanjutnya dapat dilihat bila kelima bentuk ḍarūriyyah itu berbenturan, prioritas pertama yang harus dipelihara, yaitu agama kemudian jiwa, setelah itu keturunan, serta akal, dan terakhir harta. Untuk membenarkan tindakan mengambil resiko buruk untuk mempertahankan kepentingan yang lebih utama itu ulama menggunakan kaidah, “Kedaruratan itu membolehkan adanya larangan”.47 Untuk mencapai pemeliharaan terhadap lima unsur yang pokok secara sempurna, maka ketiga tingkatan ini tidak dapat dipisahkan. Sejalan dengan itu adalah komentar alSyāṭibī, “Jika ketentuan tersebut telah dipahami, maka orang yang berakal tidak ragu bahwa perkara yang bersifat ḥājjiyyah adalah bagian yang berkisar pada perkara-perkara ḍarūriyyah, yang merupakan tujuan pokok. Begitu juga perkaraperkara yang bersifat taḥsīniyyah adalah bagiannya, sebab ia pelengkap bagi ḥājjiyyah, sementara ḥājjiyyah itu pelengkap ḍarūriyyah. Ini berarti taḥsīniyyah merupakan pelengkap ḍarūriyyah. Karena itu, secara otomatis tujuan yang bersifat pelengkap (taḥsīniyyah) ini adalah bagian yang primer (ḍarūriyyah) dan sebagai pelengkap.48 Keterangan ini menunjukkan keuniversalan kemaslahatan yang pemeliharaan dan penegakkannya menjadi tujuan syariah. Kemasalahatan itu tidak hanya bersifat duniawi, material, dan individual, tetapi yang dimaksud adalah kemaslahatan yang menjadi pondasi tegaknya syariah, baik dalam bentuk totalitas ataupun parsial, ia juga merupakan kemaslahatan yang memperhatikan kepentingan dunia dan akhirat dan keseimbangan individu dan masyarakat. 46 Abū Zahrah, Uṣūl al-Fiqh (Beirut: Dār al-Fikr, 1958), hlm. 127. Ṣāliḥ bin Muḥammad al-Asmurī, Majmūˋāt al-Fawā’id al-Bahiyyah ̀alā Manẓūmah alQawāˋid al-Bahiyyah (T.t.p.: Dār al-Ṣamīˋī, 2000) hlm. 102. 47 48 Al-Syāṭibī, Al-Muwāfaqāt, juz II, hlm 25-26. 81 Kesimpulan yang diperoleh adalah bahwa aborsi bagi korban perkosaan mendapatkan legalitas hukum kebolehan tanpa adanya batasan waktu, asalkan pertimbangan-pertimbangan kemaslahatan dan penghindaran mafsadat, sebagaimana telah dijelaskan di atas, telah terpenuhi. Sehingga, adanya batasanbatasan waktu yang ada dalam UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan justru tidak sejalan jika ditinjau dari konsep maslahah al-Ṭūfī. Hal ini di dasarkan atas terdapatnya kemaslahatan sang ibu dan mafsadah pembunuhan anak dalam satu persoalan, yakni aborsi bagi KTD akibat perkosaan. Di mana dalam kasus ini memenangkan maslahah lebih diutamakan daripada penghindaran mafsadah. Namun demikian, tentu hal itu berbeda jika sang ibu menerima kehamilan tersebut. Dalam arti, kebolehan hanya berlaku jika memang menimbulkan kemafsadatan-kemafsadatan pada diri sang ibu. BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan Pengaturan aborsi bagi korban perkosaan di Indonesia telah diatur dalam UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Di dalamnya dikatakan bahwa setiap orang dilarang melakukan aborsi, namun larangan tersebut tidak berlaku jika ada indikasi kedaruratan medis, seperti kesehatan ibu dan janin terancam, atau kehamilan dalam kasus perkosaan. Persyaratan aborsi ini dilakukan pada usia kehamilan maksimal enam minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir, termasuk di dalamnya aborsi dari KTD akibat perkosaan. Sementara itu, jika ada indikasi kedaruratan medis, maka usia maksimal kehamilan tidak berlaku—dengan kata lain, pada keadaan ini, aborsi kapanpun dapat dilakukan. Dengan demikian, pelayanan aborsi legal karena ada indikasi kedaruratan medis dirasa tidak ada masalah, karena dalam kondisis ini, aborsi kapanpun dapat dilakukan. Lain halnnya dengan aborsi kehamilan akibat perkosaan, hal ini mengingat pemberian aborsi legal hanya diizinkan dalam waktu enam minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir. Dalam jarak waktu yang terbatas ini tentu membuat korban perkosaan tidak bisa mendapatkan aborsi yang aman. Hal ini dikarenakan kemungkinan adanya ketidaktahuan bahwa mereka telah hamil pada saat itu. Secara prinsipil materi hukum aborsi bagi korban perkosaan yang diatur dalam UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan sejalan dengan konsep maṣlaḥah yang digagas oleh al-Ṭūfī. Namun demikian, adanya batasan usia kehamilan maksimal enam minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir menjadi hal yang menyebabkan undang-undang tersebut tidak lagi sejalan dengan konsep maṣlaḥah al-Ṭūfī. Ketidakselarasan ini disebabkan adanya kemungkinan kondisi psikis yang dialami oleh perempuan hamil korban perkosaan yang mengakibatkan ketidaktahuan awal kehamilan. Dalam arti, bisa jadi perempuan tersebut baru 83 mengetahui kehamilannya melebihi batas waktu tersebut. Namun demikian, kebolehan ini juga harus melalui pertimbangan-pertimbangan perbandingan kemaslahatan dan kemafsadatan yang ada sesuai dengan kasusnya masing-masing. B. Rekomendasi dan Saran Berdasarkan dua temuan di atas dan analisis yang telah dilakukan, peneliti merekomendasikan beberapa hal sebagai berikut: 1. Melihat maraknya kasus aborsi dan perkosaan di Indonesia serta kehamilan akibat kasus tersebut, pemerintah seyogiyanya untuk sesegera mungkin menerbitkan Peraturan Pemerintah yang membahas mekanisme aborsi, khususnya bagi korban perkosaan. 2. Pembatasan waktu bagi kasus aborsi selain perkosaan bisa jadi dianggap relevan, tetapi pembatasan tersebut untuk kasus aborsi akibat perkosaan justru mengarahkan pengaturan tersebut pada ketidakmungkinan aborsi bagi korban perkosaan. Sehingga, adanya pengaturan tersebut seharusnya tidak diberlakukan kepada perempuan hamil akibat perkosaan yang tidak ada jalan keluar keculai melakukan aborsi. Hasil yang dicapai dalam penelitian ini memang sangat jauh dari kesempurnaan, di samping karena kemampuan dan waktu peneliti, keterbatasan literatur dan batasan-batasan lain juga turut mewarnainya. Betapa tidak, tampak di berbagai segi masih banyak persoalan yang perlu dikaji secara mendalam. Paling tidak, hal tersebut menjadi peluang bagi para pengkaji selanjutnya untuk samasama melengkapi kajian hukum interdisipliner. 84 DAFTAR PUSTAKA A. Buku, Jurnal, Laporan Penelitian, Makalah, dan Majalah Al-Būṭī, Muḥammad Saˋīd Ramaḍān, Dawābiṭ al-Maṣlaḥah fī al-Syarīˋah alIslāmiyyah, Kairo: Mu’assasah al-Risālah, 1965. ________, Mas’alah Taūdīd al-Nasl: Wiqāyatan wa ˋIlājan, Syiria: Maktabah alFarabī, 2000. Al-Gazalī, Abū Ḥāmid Al-Muṣtasfā fī ˋIlm al-Uṣūl (Beirut: Dār al-Kutub alˋIlmiyyah, 1980. Ali, Atabik dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia, Yogyakarta: Multikarya Grafika, 1999. Al-Jawziyyah, Ibn al-Qayyim, Aˋlām al-Muwaqqiˋīn, Beirut: Dār al-Jalīl, 1973. Al-Syāṭibī, Abū Isḥāq Ibrāhim Ibn Muḥammad, Al-Muwāfaqāt fī Uṣūl al-Syarīˋah, Beirut: Dār Ibn ˋAffān, 1997. Al-Ṭūfī, Najm al-Dīn Sulaimān bin ˋAbd al-Qawiy, Syarḥ al-Arba’in alNawawiyyah, Beirut: Dār al-Fikr, t.t. __________, Syarḥ Mukhtaṣar Rawḍah al-Nāẓir, Saudi Arabiyah: Mamlakah alˋArabiyyah, al-ˋAudiyyah, 1998. __________, Risālah fi Riˋāyah al-Maṣlaḥah, T.t.t.: al-Dār al-Miṣriyyah, 1993. Ciciek, Farha “Perkosaan Terhadap Perempuan di Ruang Domestik dan Publik”, dalam S. Edi Santosa, Islam dan Konstruksi Seksualitas, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002. Ebrahim, Mohsin AF., Aborsi, Kontasepsi, dan Mengatasi Kemandulan: Isu-isu Biomedis dalam Perspektif Islam, terj. Sari Meutia, Bandung: Mizan, 1998. Ekotomo, Suryono (dkk.), Abortus Provokatus Bagi Korban Perkosaan: Perspektif Viktimologi Kriminologi dan Hukum Pidana, Yogyakarta: Universitas Atmajaya Press, 2000. Indraswari, “Fenomena Kawin Muda dan Aborsi: Gambaran Kasus”, dalam Syafiq Hasyim (ed.), Menakar “Harga” Perempuan, Bandung: Mizan, 1999. Institute, Gutmacher, Aborsi di Indonesia, New York: Gutmacher Institute, 2008 Internasional, Amnesty, Tak Ada Pilihan, Rintangan atas Kesehatan Reproduktif di Indonesia: Ringkasan Eksekutif, London: Amnesty International Publication, 2010. 85 Istibsjaroh, Menimbang Hukum Pornografi, Pornoaksi, dan Aborsi dalam Perspektif Islam, Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press, 2007. Manan, Abdul, Reformasi Hukum Islam Indonesia: Tinjauan dari Aspek Metodologis, Legislasi, dan Yusipudensi, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007. Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana, 2009. Muhammad, Husein, Fiqh Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender, Yogyakarta: LKiS, 2002. _________, Islam Agama Ramah Perempuan: Pembelaan Kiai Pesantren, Yogyakarta: LKiS, 2004. Mumtazah, Afwan dan Yulianti Muthmainnah, Menimbang Penghentian Kehamilan Tidak Diinginkan: Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif, Jakarta: Rahima, 2007. Munawwir, A. Warson, Kamus Al-Munawwir: Arab-Indonesia Terlengkap, Surabaya: Pustaka Progressif, 2002. MUI, Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, Jakarta: MUI, 2010. Rahardjo, Satjipto, “Hukum Progresif: Hukum yang Membebaskan”, dalam Jurnal Hukum Progresif, Vol. 1, No. 1, April 2005. _______, “Konsep dan Karakteristik Hukum Progresif”, Makalah, dalam Seminar Nasional Hukum Progresif I, Diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Bekerjasama dengan Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro dan Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Jakarta di Semarang, 15 Desember 2007. Soekamto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 1992. Tutik, Titik Triwulan, “Analisis Hukum Islam Terhadap Praktik Aborsi Bagi Kehamilan Tidak Diharapkan (KTD) Akibat Perkosaan Menurut UndangUndang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan”, Makalah, Semarang: Undip, 2010. Zayd, Muṣṭafā, Al-Maṣlaḥah fī al-Tasyrīˋ al-Islāmī: Risālah ˋIlmiyyah, Kairo: Dār al-Yasar li al-Ṭabāˋah wa al-Nasyar, 1424 H. B. Surat Kabar, Buletin, dan Internet “Baru Enam Bulan di Jakarta, Pengasuh Bayi Diperkosa Sopir Angkot”, dalam http://www.tempo.co/read/news/2011/10/14/064361333/Baru-Enam-Bulan- 86 di-Jakarta-Pengasuh-Bayi-Diperkosa-Sopir-Angkot (Diakses pada tanggal 22 November 2011). “Bocah Lima Tahun Diperkosa Sopir Angkot “, dalam http://www.tempo.co/read/news/2011/09/30/064359209/Bocah-LimaTahun-Diperkosa-Sopir-Angkot (Diakses pada tanggal 22 November 2011). “Diperkosa Ayah Tiri, Siswi SMP Hamil 5 Bulan”, dalam http://www.surya.co.id/2011/07/14/diperkosa-ayah-tiri-siswi-smp-hamil-5bulan (Diakses pada tanggal 02 Oktober 2011). “Diperkosa Hingga Hamil, Seorang Buruh Pabrik di Nganjuk Lapor Polisi”, dalam http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2011/01/08/75004 (Diakses pada tanggal 02 Oktober 2011). “DPR: Silahkan UU Kesehatan Dibawa Ke MK”, dalam http://matanews.com/2009/10/14/dpr-silahkan-uu-kesehatan-dibawa-ke-mk/ (Diakses pada tanggal 24 November 2011). “Gadis 9 Tahun Hamil Bayi Kembar Akibat Diperkosa Ayah Tiri”, dalam http://www.detiknews.com/read/2009/03/02/043237/1092489/10/gadis-9tahun-hamil-bayi-kembar-akibat-diperkosa-ayah-tiri (Diakses pada tanggal 02 Oktober 2011). http://www.rifka-annisa.net.co.id (Diakses pada tanggal 16 Oktober 2011). “Ini di Palembang, Anak Diperkosa Ayah Hingga Hamil”, dalam http://makassar.tribunnews.com/2011/07/05/ini-di-palembang-anakdiperkosa-ayah-hingga-hamil, (Diakses pada tanggal 02 Oktober 2011). “Memperingati Hari Ibu: Mengapa Aki Masih Tinggi Juga?”, Harian Kompas, 22 Desember 2003. “MUI: Korban Perkosaan Boleh Aborsi”, dalam http://www.merdeka.com/pernik/mui-korban-perkosaan-boleh-aborsip8ribrd.html (Diakses pada tanggal 24 November 2011). Muthmainnah, Yulianti, Mengkritisi Undang-Undang Kesehatan Kita, dalam http://www.komnasperempuan.or.id/2010/03/mengkritisi-undang-undangkesehatan-kita/ (Diakses pada tanggal 24 November 2011). Nelis, Sri, Aborsi dan Hukumnya di Indonesia, dalam http://www.sumbaronline.com/berita-4240-aborsi-dan-hukumnya-diindonesia--.html (Diakses pada tanggal 24 November 2011). “Santriwati Itu Diperkosa Sampai Hamil 6 Bulan”, dalam http://megapolitan.kompas.com/read/2010/01/13/14425834/Santriwati.Itu.Di perkosa.Sampai.Hamil.6.Bulan (Diakses pada tanggal 02 Oktober 2011). 87 “Santri Diperkosa Sampai Hamil Dua Kali”, dalam http://nasional.kompas.com/read/2008/11/22/09091350/santri.diperkosa.sam pai.hamil.dua.kali (Diakses pada tanggal 02 Oktober 2011). “Siswi I SMP Diperkosa Kakak lpar, Hamil 4 Bulan”, dalam http://megapolitan.kompas.com/read/2010/02/05/09323161/Siswi.I.SMP.Dip erkosa.Kakak.lpar.Hamil.4.Bulan (Diakses pada tanggal 02 Oktober 2011). Tim Partisipasi Masyarakat, “Dukung Perempuan Korban Kekerasan Seksual”, dalam Berita Komnas Perempuan, Edisi 6, Februari, 2011. “Tokoh Agama Tentang Aturan Aborsi”, dalam http://matanews.com/2009/10/13/tokoh-agama-tentang-aturan-aborsi/ (Diakses pada tanggal 24 November 2011). “Waduh! Terjadi Lagi Penumpang Angkot Diperkosa Sopir”, dalam http://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/11/10/13/lt0g3x-waduhterjadi-lagi-penumpang-angkot-diperkosa-sopir (Diakses pada tanggal 22 November 2011). C. Undang-Undang Undang-Undang Repubik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Undang-Undang Repubik Indonesia Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana