Komersialisasi Public Service Obligation (PSO)

advertisement
Komersialisasi Public Service Obligation (PSO)
oleh Bin Nahadi
Ekonom The Indonesia Economic Intelligence
Bisnis Indonesia, Selasa, 17 April 2007
Sesuai dengan amanat UUD 1945 pasal 34 ayat 3, negara bertanggung jawab atas
penyediaan fasilitas kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak atau biasa
disebut kewajiban pelayanan umum (public service obligation/PSO). Untuk ini
pemerintah dapat melibatkan seluruh pihak termasuk BUMN dan swasta.
Awalnya instansi pemerintah menjalankan beberapa peran sekaligus seperti
pengembangan kebijakan, implementasi regulasi, hingga penyediaan jasa tertentu yang
terkait dengan kebijakan.
Perangkapan peran ini pada prosesnya mengalami tuntutan pemisahan secara formal
yakni sebagai regulator yang independen dan sebagai penyedia jasa yang efisien. Pada
kasus ini pemerintah bertindak sebagai pembeli (purchaser), sedangkan BUMN atau
swasta sebagai penyedia (provider) jasa (purchaser-provider model).
Sejauh ini PSO hanya ditugaskan ke BUMN sebagai provider. Karena pertimbangan
bisnis, swasta masih enggan terlibat. Kecilnya keterlibatan swasta dapat disebabkan dari
dua sisi yaitu permintaan dan penawaran.
Dari sisi permintaan, rendahnya daya beli masyarakat menyebabkan kecilnya jumlah
permintaan. Hal ini tidak cukup memberikan insentif bagi swasta untuk masuk ke pasar
tersebut. Sedangkan dari sisi penawaran, tingginya capital requirement, karakter industri
yang tidak menguntungkan, hingga tingginya risiko bisnis bisa jadi entry barriers yang
menyebabkan enggannya swasta untuk masuk. Upaya komersialisasi atau bahkan
swastanisasi bisa dijadikan sebuah alternatif solusi.
Anggaran pemerintah
Pada 2006 pemerintah mengalokasikan dana Rp99,5 triliun untuk membiayai program
PSO pada 16 BUMN (lihat tabel). Sedangkan tahun ini anggaran APBN untuk
membiayai program PSO direncanakan naik menjadi Rp101,5 triliun. Ini berarti hampir
mencapai 3% dari total PDB.
Pembebanan PSO ke BUMN selama ini sering hanya dilihat dari paradigma penugasan,
bukan dari sudut pandang bisnis komersial. Hubungan pemerintah-BUMN adalah
hubungan pemberi dan penerima penugasan.
Akibatnya, ini sering merugikan BUMN sebagai sebuah entitas bisnis. BUMN lebih
dianggap sebagai 'alat negara' untuk mengeksekusi tugas negara, bukan sebagai entitas
bisnis yang mendapat proyek bisnis dari negara. Untuk melakukan perubahan paradigma
dari konsep penugasan ke komersialisasi PSO, beberapa hal penting perlu dilakukan.
Masalah pertama dari tahapan komersialisasi PSO adalah penetapan aktivitas PSO.
Dalam banyak kasus, BUMN adalah inisiator dari pengajuan program PSO kepada
pemerintah. Bukan hanya itu, estimasi nilai PSO juga diajukan oleh BUMN.
Dengan melalui beberapa tahap pembahasan dan negosiasi akhirnya pemerintah menolak
atau menyetujui program PSO. Proses seperti ini, menurut penulis adalah tidak sehat.
Pemerintah sebagai pemilik proyek sudah semestinya menjadi pihak pertama dan utama
dalam pengajuan suatu proyek PSO.
Selain rawan moral hazard, proses tersebut juga dikhawatirkan dapat menjadi cara bagi
BUMN untuk menutupi loss-making activities-nya dengan mengklaimnya sebagai PSO.
Pada akhirnya ini dapat mengaburkan kinerja BUMN yang sesungguhnya.
Minimal ada tiga tes yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi apakah suatu kegiatan
bisa dikategorikan sebagai PSO. Pertama, apakah kegiatan tersebut dilakukan sebagai
tindak lanjut instruksi pemerintah, bukan karena desakan pasar.
Kedua, apakah kegiatan tersebut dapat digolongkan sebagai non-commercial activities
yang jika tidak ada intervensi pendanaan dari pemerintah, maka suatu entitas bisnis
komersial akan melakukan penyesuaian terhadap jasa yang disediakannya.
Ketiga, materialitas. Jika non-commercial activities tersebut tidak cukup material dari sisi
nilai maka aktivitas tersebut tidak perlu dikategorikan sebagai PSO. Ketika suatu
aktivitas diyakini dapat dikategorikan sebagai PSO maka pemerintah perlu menetapkan
ruang lingkup penugasan beserta kualifikasi dan spesifikasi yang jelas dan terukur.
Ini bisa meliputi batasan wilayah penugasan, estimasi jumlah pengguna, hingga hal-hal
yang sifatnya kualitatif seperti tingkat kenyamanan.
Hal-hal tersebut penting untuk membantu pemerintah dalam memperkirakan besaran
biaya penugasan, termasuk mekanisme dan dasar pemberian kompensasinya. Salah satu
isu terpenting dalam kaitan ini adalah costing basis.
Profesionalisme
Komersialiasi PSO dimaksudkan untuk mengenalkan mekanisme pasar dan
mengembangkan profesionalisme antara pemerintah sebagai pembeli dan korporasi
sebagai penyedia. Kejelasan dan kedisiplinan komitmen dapat diwujudkan antara lain
dengan kejelasan kontrak antara kedua belah pihak.
Kontrak semestinya mengatur secara jelas hak dan kewajiban masing-masing pihak.
Perlu dimasukkan dalam kontrak adalah kualifikasi dan spesifikasi yang jelas dan
terukur, seperti batasan wilayah penugasan dan estimasi jumlah pengguna.
Satu isu pokok yang juga penting adalah masalah pembayaran atas penugasan PSO.
BUMN sebagai pihak pelaksana PSO sering mengeluhkan keterlambatan pelunasan atas
biaya yang sudah dikeluarkan.
Tujuan lain dari komersialisasi PSO adalah untuk meningkatkan transparansi dan
akuntabilitas pelaksanaan PSO. Selama ini BUMN sebagai pelaksana PSO belum
memisahkan laporan keuangan penugasan PSO dari laporan kegiatan komersialnya.
Hal ini rawan akan terjadinya cross subsidy negara atas loss making activities pada
BUMN tersebut. Untuk itu, provider semestinya diharuskan untuk memisahkan laporan
pelaksanaan PSO-nya dari laporan keuangan non PSO. Selanjutnya atas laporan
pelaksanaan PSO tersebut perlu dilakukan audit oleh auditor independen dengan opini
terpisah dari laporan keuangan umum perusahaan.
Komersialisasi PSO dapat diperluas maknanya menjadi swastanisasi. Efisiensi dan
transaparansi adalah concern utama keterlibatan BUMN sebagai provider PSO. Untuk
mendapatkan provider yang dapat menyediakan barang/jasa dengan kualitas yang lebih
kompetitif dengan harga penawaran yang bersaing, maka pemerintah perlu membuka
kesempatan bagi swasta untuk ambil bagian dalam penugasan PSO.***
Download