Demo Serikat Pekerja. - Universitas Mercu Buana

advertisement
MODUL PERKULIAHAN 7
HUBUNGAN INDUSTRIAL
Perselisihan Kerja
Bentuk-Bentuk Konflik dan
Demo Serikat Pekerja
Fakultas
Program Studi
Psikologi
Psikologi
Tatap Muka
07
Kode MK
Disusun Oleh
A81611EL
Rizky Dwi Pradana, M.Si
Abstract
Kompetensi
Pembahasan kali ini tentang
perselisihan kerja, bentuk-bentuk
konflik dan demo serikat pekerja
melingkupi :
Setelah perkuliahan ini mahasiswa
diharapkan memahami permasalahan
hubungan industrial di Indonesia.
1. perselisihan kerja
2. bentuk-bentuk konflik dan
3. demo serikat pekerja
2013
1
Hubungan Industrial
Rizky Dwi Pradana, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Perselisihan Kerja;
Bentuk-Bentuk Konflik;
Demo Serikat Pekerja.
A.
Perselisihan Kerja
Dalam kehidupan manusia, di mana masing-masing individu maupun kelompok
mempunyai kepentingan yang berbeda-beda, maka perselisihan tidak dapat dihindari. Demikian
pula dalam suatu hubungan kerja, antara individu satu dengan individu lain, antara pihak satu
dengan pihak yang lain potensial timbul perselisihan. Karena perselisihan merupakan hal yang
potensial atau bahkan tidak dapat dihindari, maka bagi pihak-pihak yang terlibat dalam
hubungan kerja perlu memahami hal-hal yang berhubungan dengan perselisihan hubungan
industrial dan prosedur penyelesaiannya.
Hubungan industrial yang merupakan keterkaitan kepentingan antara pekerja/buruh
dengan pengusaha, berpotensi menimbulkan perbedaan pendapat, bahkan perselisihan antara
kedua belah pihak. Perselisihan di bidang hubungan industrial yang selama ini dikenal dapat
terjadi mengenai hak yang telah ditetapkan, atau mengenal keadaan ketenagakerjaan yang
belum ditetapkan baik dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama
maupun peraturan perundang-undangan. Perselisihan hubungan industrial dapat pula
disebebkan oleh pemutusan hubungan kerja.
Penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang disebabkan oleh :
1. Perbedaan pendapat atau kepentingan mengenai keadaan ketenagakerjaan yang belum
diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau
peraturan perundang-undangan;
2. Kelalaian atau ketidakpatuhan salah satu atau para pihak dalam melaksanakan
ketentuan normatif yang telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan,
perjanjian kerja bersama, atau peraturan perundang-undangan;
3. Pengakhiran hubungan kerja;
4. Perbedaan pendapat antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan
mengenai pelaksanaan hak dan kewajiban berserikatpekerjaan.
2013
2
Hubungan Industrial
Rizky Dwi Pradana, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Sementara itu, jika kita merujuk pada Pasal 1 angka 1 UU No. 2 Tahun 2004 tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial juncto Pasal 1 angka 22 UU No. 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan mendefinisikan bahwa yang dimaksud dengan perselisihan hubungan
industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha
atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena
adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan
hubungan kerja dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.
Dari pengertian tersebut maka, jenis perselisihan hubungan industrial dalam
ketenagakerjaan meliputi (Pasal 2 UU PPHI) :
a. perselisihan hak;
b. perselisihan kepentingan;
c. perselisihan pemutusan hubungan kerja; dan
d. perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.
Lebih lanjut, setelah kita mengetahui pengertian atau definisi dari perselisihan hubungan
industrial dan jenis hubungan industrial maka untuk lebih memberikan pemahaman menyeluruh
dalam perselisihan hubungan industrial kita akan diterangkan pengertian atau definisi dari
masing-masing jenis perselisihan dalam hubungan industrial sebagai berikut :
Perselisihan hak (Pasal 1 angka 2 UU PPHI) adalah perselisihan yang timbul karena
tidak dipenuhinya hak akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap
ketentuan peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau
perjanjian kerja bersama.
Perselisihan kepentingan (Pasal 1 angka 3 UU PPHI) adalah perselisihan yang timbul
dalam hubungan kerja karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan,
dan/atau perubahan syarat-syarat kerja yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, atau peraturan
perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Perselisihan pemutusan hubungan kerja (Pasal 1 angka 4 UU PPHI) adalah perselisihan
yang timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja
yang dilakukan oleh salah satu pihak.
Perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh (Pasal 1 angka 5 UU PPHI) adalah
perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh dengan serikat pekerja/serikat buruh lain
hanya dalam satu perusahaan, karena tidak adanya persesuaian paham mengenai
keanggotaan, pelaksanaan hak, dan kewajiban keserikatpekerjaan.
2013
3
Hubungan Industrial
Rizky Dwi Pradana, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Sementara itu, menurut Pasal 136 angka 1 UU Ketenagakerjaan menjelaskan bahwa
perselisihan hubungan industrial wajib dilaksanakan oleh pengusaha dan pekerja/buruh atau
serikat pekerja/serikat buruh secara musyawarah untuk mufakat; sedangkan dalam hal
penyelesaian secara penyelesaian secara musyawarah untuk mufakat sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) tidak tercapai, maka pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat
buruh menyelesaikan perselisihan hubungan industrial melalui prosedur penyelesaian
perselisihan hubungan industrial yang diatur dengan undang-undang.
Berikut ini merupakan jenis penyelesaian sengketa perselisihan hubungan industrial
yang menurut penulis dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua) yaitu : proses penyelesaian melalui
jalur litigasi dan non-litigasi.
Penyelesaian Sengketa Pekerja/Buruh di Luar Pengadilan (non-litigasi) :
1. Penyelesaian Melalui KOMNAS HAM
Penyelesaian sengketa buruh melalui Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (non-litigasi)
Undang-undang Hak Asasi Manusia No. 39 Tahun 1999 memberi peluang bagi buruh
dan tenaga kerja dalam menyelesaikan sengketa buruh. Undang-undang No. 39 Tahun
1999 memberi peluang sengketa buruh dapat diselesaikan melalui Komisi Hak Asasi
Manusia (KOMNAS HAM). Pada Pasal 89 angka 3 huruf h, dikemukakan Komnas HAM
dapat menyelesaikan dan memberi pendapat atas sengketa publik, baik terhadap
perkara buruh yang sudah disidangkan maupun yang belum disidangkan.
Penjelasan Undang-undang tersebut mengatakan sengketa publik yang dimaksud di
dalam Undang-undang Hak Asasi Manusia tersebut termasuk 3 (tiga) golongan
sengketa besar, antara lain sengketa pertanahan, sengketa ketenagakerjaan, dan
sengketa lingkungan hidup. Sengketa ketenagakerjaan tergolong sengketa publik yang
dapat menganggu ketertiban umum dan stabilitas nasional, maka peluang pengaduan
pelanggaran Hak-hak Buruh tersebut dapat disalurkan ke Komnas HAM sesuai dengan
isi Pasal 90 Undang-undang No. 39 Tahun 1999 yang berbunyi pada angka 1 “setiap
orang atau kelompok orang yang memiliki alasan kuat bahwa Hak Asasinya telah
dilanggar dapat memajukan laporan dan pengaduan lisan atau tertulis pada Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia”. Kemudian dikuatkan lagi dalam Bab VIII Pasal 101
Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tersebut Lembaga Komnas HAM dapat
menampung seluruh laporan masyarakat tentang terjadinya pelanggaran Hak Asasi
Manusia.
2013
4
Hubungan Industrial
Rizky Dwi Pradana, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
2. Penyelesaian Melalui Bipartit
Penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui Bipartit ini merupakan tahapan
awal dalam mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial, dan para pihak
yang bersengketa berkewajiban mengupayakan penyelesaian perselisihannya melalui
Perundingan bipartit ini terlebih dahulu sebelum melakukan penyelesaian perselisihan
hubungan industrial di tingkat mediasi, konsiliasi, arbitrase ataupun melalui Pengadilan
Hubungan Industrial.
Sebagaimana Pasal 3 ayat 1 UU No. 2 Tahun 2004 menyebutkan :
“Perselisihan hubungan industrial wajib diupayakan penyelesaiannya terlebih dahulu
melalui perundingan bipartit secara musyawarah untuk mencapai mufakat”.
Adapun yang dimaksud dengan Perundingan Bipartit ini menurut Pasal 1 Angka 10
UU No. 2 Tahun 2004 adalah perundingan antara pekerja/buruh atau serikat
pekerja/serikat buruh dengan pengusaha untuk menyelesaikan perselisihan hubungan
industrial.
Penyelesaian perselisihan melalui Bipartit ini, diadakan oleh para pihak dengan cara
salah satu pihak baik itu dari pihak pengusaha ataupun pekerja/serikat pekerja
melakukan permintaan perundingan secara Bipartit. Permenaker Nomor PER.
31/MEN/XII/2008 melampirkan Permintaan Perundingan secara Bipartit.
Penyelesaian perselisihan melalui Bipartit ini memiliki jangka waktu selama 30 hari kerja
sejak dimulainya perundingan, sedangkan apabila jangka waktu terlampau maka
perundingan dinyatakan batal demi hukum. Ketentuan perundingan tersebut setidaktidaknya harus memuat antara lain mengenai nama lengkap, tanggal dan tempat
perundingan, pokok masalah, pendapat para pihak, kesimpulan atau hasil perundingan,
serta tanda tangan para pihak. Hasil perundingan kedua belah pihak atas perjanjian
tersebut acapkali disebut dengan perjanjian bersama yang wajib didaftarkan pada
pengadilan hubungan industrial di wilayah para pihak membuat perjanjian bersama
tersebut.
3. Penyelesaian Melalui Mediasi
Mediasi ialah penyelesaian perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan
PHK, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu
perusahaan, melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang mediator yang netral
(Pasal 1 angka 11 UU PPHI). Pemerintah dapat mengangkat seorang Mediator yang
bertugas melakukan Mediasi atau Juru Damai yang dapat menjadi penegah dalam
2013
5
Hubungan Industrial
Rizky Dwi Pradana, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
menyelesaikan sengketa antara Buruh dan Majikan. Seorang Mediator yang diangkat
tersebut mempunyai syarat-syarat sebagaimana dituangkan dalam Pasal 9 UU PPHI.
Pengangkatan dan akomodasi mediator ditetapkan oleh Menteri Tenaga Kerja. Bila
telah tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan melalui Mediator tersebut
dibuatkan “perjanjian bersama” yang ditandatangani para pihak dan mediator tersebut,
kemudian perjanjian tersebut didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial pada
Pengadilan Negeri setempat.
Apabila tidak terjadi kesepakatan antara pihak bersengketa maka dapat dilakukan
mediasi. Mediasi dapat dikatakan sebagai salah satu upaya dari pihak yang dapat
dilakukan oleh para pihak, sebelum sampai ke Pengadilan. Penyelesaian masalah di
tahap mediasi sangat cepat tidak lebih dari 30 hari kerja, dan mediator wajib untuk
memulai sidang mediasi selambat-lambatnya 7 hari sejak dilimpahkan (Pasal 10 dan 15
UU PPHI).
4. Penyelesaian Melalui Konsiliator
Penyelesaian melalui Konsiliator yaitu pejabat Konsiliator yang diangkat dan
diberhentikan oleh Menteri Tenaga Kerja berdasarkan saran organisasi serikat
pekerja/serikat buruh. Segala persyaratan menjadi pejabat Konsiliator tersebut didalam
Pasal 19 UU PPHI di mana tugas terpenting dari Konsiliator adalah memanggil para
saksi atau para pihak terkait dalam tempo selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sejak
menerima penyelesaian Konsiliator tersebut.
Pejabat Konsiliator dapat memanggil para pihak yang bersengketa dan membuat
perjanjian bersama apabila kesepakatan telah tercapai. Pendaftaran perjanjian bersama
yang diprakarsai oleh Konsiliator tersebut dapat didaftarkan didepan Pengadilan Negeri
setempat. Demikian juga eksekusinya dapat dijalankan di Kepaniteraan Pengadilan
Negeri setempat.
5. Penyelesaian Melalui Arbitrase
Penyelesaian perselisihan melalui arbitrase pada umumnya, telah diatur di dalam
Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa yang berlaku di bidang sengketa perdagangan. Oleh karena itu Arbitrase
hubungan industrial yang diatur dalam undang-undang ini merupakan pengaturan
khusus bagi penyelesaian sengketa di bidang hubungan industrial.
2013
6
Hubungan Industrial
Rizky Dwi Pradana, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Penyelesaian perselisihan melalui Arbitrase meliputi perselisihan kepentingan dan
perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dan majikan di dalam suatu perusahaan.
Untuk ditetapkan sebagai seorang Arbiter sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31
angka (1). Para pihak yang bersengketa dapat memilih Arbiter yang mereka sukai
seperti yang ditetapkan oleh Menteri Tenaga Kerja. Putusan Arbiter yang menimbulkan
keraguan dapat dimajukan tuntutan ingkar kepada Pengadilan Negeri setempat dengan
mencantumkan alasan-alasan otentik yang menimbulkan keraguan tersebut.
Putusan Pengadilan Negeri dalam Pasal 38 UU PPHI, dapat membuat putusan
mengenai alasan ingkar dan di mana tidak dapat diajukan perlawanan lagi. Bila tercapai
perdamaian, maka menurut isi Pasal 44 UU PPHI seorang Arbiter harus membuat Akte
Perdamaian yang ditandatangani oleh kedua belah pihak dengan disaksikan seorang
Arbiter atau Majelis Arbiter.
Penetapan Akte Perdamaian tersebut didaftarkan di muka Pengadilan, dan dapat pula di
eksekusi oleh Pengadilan atas putusan tersebut, sebagaimana lazimnya. Putusan
kesepakatan Arbiter tersebut dibuat rangkap 3 (tiga) dan diberikan kepada masingmasing pihak satu rangkap, serta didaftarkan didepan Pengadilan Hubungan Industrial
terhadap putusan tersebut yang telah berkekuatan hukum tidak dapat dimajukan lagi
atau sengketa yang sama tersebut tidak dapat dimajukan lagi ke Pengadilan Hubungan
Industrial.
Penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui Arbitrase dilakukan atas
kesepakatan kedua belah pihak berdasarkan perjanjian kerja bersama, dan apabila
dalam perjanjian kerja bersama tidak diatur tentang penyelesaian perselisihan hubungan
industrial secara Arbitrase, maka para pihak dapat membuat perjanjian pendahuluan
yang berisikan penyelesaian perselisihan melalui Arbitrase pada saat sengketa telah
terjadi.
Penyelesaian perselisihan
hubungan industrial melalui Arbitrase yang dilakukan
berdasarkan kepekatan para pihak, tidak dapat diajukan Gugatan ke Pengadilan
Hubungan Industrial karena putusan Arbitrase bersifat akhir dan tetap, kecuali dalam
hal-hal tertentu dapat dilakukan pembatalan ke Mahkamah Agung RI.
6. Penyelesaian Perselisihan Melalui Pengadilan (litigasi)
Dalam UU PPHI, disebutkan bahwa Hakim yang bersidang terdiri dari 3 Hakim, 1 Hakim
karir dan 2 Hakim ad hoc. Hakim ad hoc adalah anggota Majelis Hakim yang ditunjuk
dari organisasi pekerja dan organisasi pengusaha. Hakim ad hoc, sambungnya
2013
7
Hubungan Industrial
Rizky Dwi Pradana, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
dianggap orang yang mengerti dan memahami hukum perburuhan saat ini dengan baik.
Berbeda dengan Hakim Peradilan Umum yang merupakan murni hukum.
Sebelum keluarnya UU Hubungan Industrial, penyelesaian sengketa perburuhan diatur
di dalam UU No. 22 Tahun 1957 melalui Peradilan P4D dan P4P. Untuk mengantisipasi
penyelesaian dan penyaluran sengketa buruh dan tenaga kerja sejalan dengan tuntutan
dan kemajuan zaman dibuat dan di undangkan UU No. 2 Tahun 2004 tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial bertugas dan berwenang memeriksa
dan memutuskan (Pasal 56 UU PPHI) :
-
di tingkat pertama mengenai perselisihan hak;
-
di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan kepentingan;
-
di tingkat pertama mengenai perselisihan pemutusan hubungan kerja (PHK);
-
di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan antar serikat pekerja/serikat
buruh dalam satu perusahaan.
Sementara itu, Pasal 57 UU PPHI menerangkan bahwa hukum acara yang berlaku pada
Pengadilan Hubungan Industrial adalah hukum acara perdata yang berlaku pada Pengadilan
dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali diatur secara khusus dalam undang-undang ini.
B.
Bentuk-Bentuk Konflik
Perselisihan atau disebut pula sengketa atau dalam bahasa Inggris disebut dengan
conflict atau dispute merupakan sutau akibat yang terjadi dari hubungan antar manusia.
Menurut Ronny Hanitijo Soemitro (1984) dalam Lalu Husni (2003), yang dimaksud dengan
konflik adalah situasi atau keadaan di mana dua atau lebih pihak memperjuangkan tujuan
mereka masing-masing yang tidak dapat dipersatukan dan di mana tiap-tiap pihak mencoba
meyakinkan pihak lain mengenai kebenaran tujuannya masing-masing. Sebagai makhluk sosial
yang selalu berinteraksi dengan manusia lain, maka merupakan suatu hal yang wajar jika dalam
interaksi tersebut terjadi perbedaan paham yang mengakibatkan konflik antara satu dengan
yang lain. Karena merupakan sesuatu yang lumrah, maka yang penting adalah bagaimana
meminimalisir atau mencari penyelesaian dari konflik tersebut, sehingga konflik yang terjadi
tidak
menimbulkan
ekses-ekses
negatif.
Demikian
halnya
dalam
bidang
perburuhan/ketenagakerjaan, meskipun para pihak yang terlibat di dalamnya sudah diikat
dengan perjanjian kerja namun terjadi konflik tetap tidak dapat dihindari.
2013
8
Hubungan Industrial
Rizky Dwi Pradana, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Sementara itu, menurut Sutinah (2008), konflik industrial merupakan suatu realitas
sosial yang tidak pernah dan akan pernah berhenti sepanjang dalam masyarakat ada dua
kelompok yang memiliki kepentingan yang berbeda. Sebagaimana Marx menjelaskan bahwa
selama dalam masyarakat terdapat dua kelompok dalam relasi produksi ini, yaitu kelompok
yang memiliki/pemilik dan kelompok yang tidak memiliki/bukan pemilik (struktur kelas), maka
pemisahan antara kelompok sosial yang menghasilkan profit dan karenanya menguasai capital
dan kelompok sosial dan kelompok sosial yang hanya mampu menjual tenaga kerjanya saja
menentukan hubungan kelas, itulah yang menjadi basis terjadinya eksploitasi dan konflik sosial
dalam masyarakat modern.
Kondisi semacam ini menunjukkan bahwa konflik industrial umumnya, dan masalah
perburuhan khususnya benar-benar merupakan permasalahan bukan hanya bagi buruh tetapi
juga masyarakat dan bangsa Indonesia.
Lebih lanjut, Sutinah (2008) menyampaikan studi telah banyak dilakukan, akan tetapi
studi-studi semacam itu dilakukan pada masa Orde Baru yang merupakan rezim otoriter, di
mana pada saat itu kebebasan berserikat dan kebebasan mengemukakan pendapat masih
dikebiri, dibius oleh rejim militer Orde Baru. Studi yang dilakukan oleh Susetiawan dalam
Disertasinya yang berjudul Cultural Values, Organizations and Work Performan of Industrial
Worker in Indonesia, a Study of Industrial Relation in Two Textile Enterprices in Yogyakarta.
Yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia : Konflik Sosial: kajian Sosiologis Hubungan
Buruh, Perusahaan dan Negara di Indonesia, yang antara lain menemukan bahwa pada
hubungan industrial Pancasila (pada masa Orde Baru) ada dua elemen utama dalam
memahami hubungan industrial yaitu prinsip “harmoni” serta eliminasi terhadap konflik. Kedua
nilai tersebut diinterpretasikan secara berbeda oleh majikan dan manajemen di satu sisi dan
buruh/pekerjaan di sisi yang lain. Bagi majikan dan manajemen harmoni mengandung kondisi
“ketentraman industrial”, di mana konflik tidak ada. Konflik dianggap sebagai “deviasi patologis”
dari sebuah tipe ideal hubungan industrial yang damai, sehingga jika terjadi konflik harus
dieliminasi dengan segala cara. Hal itu mendorong munculnya dan legitimasi terhadap kontrol
ketat manajemen dan intervensi Negara dalam hubungan industrial dengan tujuan untuk
mengeliminasi terjadinya konflik dan membangun kembali harmoni. Selain itu, hubungan
industrial di Indonesia dicirikan oleh frekuensi tingginya pelanggaran aturan ketenagakerjaan
oleh majikan dan manajemen, pemerintah cenderung melindungi kepentingan majikan daripada
pekerja dalam realitas “Hubungan Industrial Pancasila”. Intervensi militer dalam perselisihan
perburuhan di Indonesia pun semakin meluas. Manajemen dan buruh tidak menekankan
sebuah consensus yang berdasarkan norma sosial dan legal, tetapi berfungsi sebagai sebuah
2013
9
Hubungan Industrial
Rizky Dwi Pradana, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
instrument untuk meligitimasi sistem kontrol yang berorientasi pada profit ekonomi politik.
Manajemen akan mengacam PHK jika menentang keputusan atasan.
Sutinah, dkk (2009) menemukan bahwa konflik industrial sudah merupakan gejala yang
selalu terjadi pada setiap tahun, dengan isu yang sangat bervariasi sesuai dengan periode
(waktu terjadinya demo), namun secara umum bahwa isu yang menjadi tuntutan buruh masih
terkait dengan hak-hak primer buruh, seperti masalah upah, THR, buruh kontrak/buruh
outsourcing, dan masalah PHK. Oleh karena itu setiap isu melahirkan suatu model pengelolaan
konflik dan penyelesaiannya secara berbeda-beda.
Marx mengakui bahwa konflik bersumber dari perubahan yang terjadi dalam Model
produksi (mode of production), komunis primitif, kuno, feodal, kapitalis dan komunis. Model
produksi (mode of production) terdiri atas kekuatan produksi (forces of production) dan
hubungan/relasi produksi (relations of production). Kekuatan produksi meliputi sarana produksi
(means of production) yaitu bahan mentah dan alat produksi (instrument of production) atau
sarana/alat produksi yang mengolah. Kekuatan produksi menghasilkan komoditas yang
dibutuhkan masyarakat pada waktu itu, dan kekuatan produksi ini akan menentukan bentuk
hubungan/relasi produksi. Hanya ada dua kelompok dalam relasi produksi ini, yaitu kelompok
yang memiliki/pemilik dan kelompok yang tidak memiliki/bukan pemilik. Inilah yang oleh Marx
disebut struktur kelas.
Pemisahan antara kelompok sosial yang menghasilkan profit – dan karenanya
menguasai kapital- dan kelompok sosial yang hanya mampu menjual tenaga kerja saja,
menentukan hubungan kelas, yang menjadi basis eksploitasi dan konflik sosial dalam
masyarakat modern. Di dalamnya menyangkut relasi sosial : pertama, hubungan-hubungan
produksi yang bersifat primer seperti hubungan buruh dan majikan; kedua, hubungan-hubungan
produktif yang bersifat sekunder seperti serikat buruh, asosiasi pemilik modal dan pola-pola
dasar kehidupan keluarga yang berkaitan erat dengan sistem produksi kapitalistik; ketiga,
hubungan-hubungan politik dan sosial yang bersumber dari hubungan produksi primer dan
sekunder,
lembaga-lembaga
pendidikan,
dan
lembaga-lembaga
sosial
lainnya
yang
mencerminkan hubungan buruh dan majikan. Itulah pandangan teori Marxian.
Sementara konflik adalah terbangunnya hubungan-hubungan beberapa pihak dalam
arena dan struktur sosial tertentu akibat adanya perbedaan kepentingan dan tujuan sebagai
bentuk penerjemahan kebutuhan yang diperjuangkan secara individual dan maupun kolektif
(Susan, 2009, Bartos and Wehr, 2003; Burton, 1990). Dahrendorf berpendapat bahwa, konflik
hadir dalam masyarakat dan konteks wilayah sosial (social field) yang mana ada hubunganhubungan sosial khusus seperti arena sosial pertentanggaan, arena sosial sekolah, arena
2013
10
Hubungan Industrial
Rizky Dwi Pradana, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
sosial perkantoran, dan arena sosial industri. Dahrendorf menyebutnya sebagai “integrated into
a common frame of reference“ (Dahrendorf, 1959: 165). Berbagai dimensi konflik tersebut
memiliki karakter sosiologis dan dinamika yang unik. Pada level praktis seperti pada usaha
pemecahan masalah, setiap konteks dimensi konflik membutuhkan model pengelolaan konflik
yang spesifik juga.
Dalam kaitannya dengan konflik dalam konteks wilayah sosial industri, Ralf Dahrendorf
melalui buku fenomenalnya mengenai Conflict and Industrial Conflict (1959) memperlihatkan
bagaimana konflik industrial terbangun melalui proses dari ketidakpuasan individual buruh,
menuju pada ketidakpuasaan kolektif yang tidak teroganisir, dan sampai pada tingkat
pengorganisasian ketidakpuasan kolektif buruh dalam rangka perjuangan untuk mencapai
tujuan.
Akar masalah konflik (the root causes of conflict) bisa dikatakan sebagai sebab yang
paling mendasar dari munculnya hubungan-hubungan konflik dan dinamika yang dikarakteri
oleh berbagai bentuk strategi konflik. perspektif structural dalam sosiologi konflik memiliki
pandangan bahwa akar masalah konflik selalu berkaitan dengan kekuasaan (power) dan angka
kepentingan di dalamnya (Rubenstein, 1996). Kekuasaan secara sosiologis dimanifestasikan
pada bentuk wewenang legal formal, dan modal-modal ekonomi dan budaya. Walaupun
demikian dalam konteks konflik industrial, kekuasaan lebih didefiniskan oleh wewenang leghal
formal negara dan modal ekonomi pasar. Kekuasaan legal formal negara yang mampu
menciptakan regulasi bekerjasama dengan kekuasaan ekonomi pasar yang bisa menentukan
keberhasilan ekonomi suatu negara. Pada pengertian struktural ini, bisa dilihat bagaimana dua
kekuasaan tersebut melakukan perselingkuhan untuk kepentingan dan tujuan masing-masing
pemegang kekuasaan.
Dalam konteks hubungan industri, kekuasaan yang hanya menguntungkan diri sendiri
dan mengabaikan fakta hubungan-hubungan kerja memiliki kecenderungan menciptakan
kekerasan (Sale, 2003). Johan Galtung membagi dua konsep kekerasan, yaitu kekerasan
struktural dan langsung. Kekerasan langsung seringkali didasarkan atas penggunaan
kekuasaan sumber (resource power), dan kekerasan struktural yang didasarkan pada
penggunaan kekuasan struktural. Kekuasaan sumber dibedakan menjadi kekuasaan punitif
yang bersifat menghancurkan, kemudian kekuasaan ideologis dan kekuasaan renumeratif. Baik
kekuasaan sumber dan kekuasan struktural saling berkaitan, saling memperkuat. Galtung
mengungkapkan kekerasan struktural dan personal dapat menghalangi untuk memenuhi
kebutuhan dasar. Kebutuhan-kebutuhan dasar ini adalah kelestarian atau keberlangsungan
hidup, kesejahteraan, kebebasan, dan identitas. Jika empat kebutuhan dasar ini mengalami
2013
11
Hubungan Industrial
Rizky Dwi Pradana, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
tekanan atau kekerasan dari kekuasaan personal dan struktural, maka konflik kekerasan akan
muncul ke permukaan sosial.
Pada saat negara dan pasar menggunakan kekuasaan mereka untuk menciptakan
kekerasan dalam bentuk pemberian upah yang kecil dan tiadanya jaminan keselamatan kerja
pada para buruh, yang terjadi adalah proses respon dalam bentuk kekerasan juga. Akibatnya
pola hubungan konflik adalah conflict spiral, suatu kondisi yang membuat para pihak berkonflik
terus melakukan aksi balasan. Pada kasus-kasus aksi buruh yang muncul dalam bentuk
anarkisme, perusakan kantor perusahaan, dan berbagai bentuk aksi kekerasan pada
pengertian ini tidak lebih dari respon terhadap praktek kekerasan pemerintah dan perusahaan
terhadap buruh.
C.
Demo Serikat Pekerja
Lebih dari sepuluh tahun setelah era kebebasan berserikat dimulai, maka gerakan buruh
di Indonesia dilukiskan sebagai gerakan yang tercerai berai dan tidak mampu menggunakan
kebebasannya untuk membangun kekuatan politik yang diperhitungkan. Salah satu indikator
terjadinya fragmentasi yang tampak adalah adanya kompetisi dan konflik di antara organisasi
serikat buruh yang semakin banyak bermunculan. Banyak ahli, pengamat dan bahkan pengurus
serikat buruh sendiri yang menilai munculnya organisasi serikat buruh bak jamur di musim
hujan ini mengarah pada terjadinya perpecahan dan berakibat akan lemahnya kekuatan politik
kelas buruh.
Dalam perjalanannya gerakan buruh pasca reformasi (selama lebih dari sepuluh tahun
terakhir ini), dapat dilihat bahwa kehidupan buruh tidak banyak mengalami perubahan. Hal ini
dapat dilihat misalnya, meskipun pada saat ini pemerintah sudah mengeluarkan beberapa
regulasi mengenai perburuhan, akan tetapi buruh tetap saja menerima upah yang relatif rendah
dengan jam kerja panjang dan keselamatan kerja yang kurang memadai. Apalagi jika dilihat
lebih lanjut, adanya lembur paksa, pengebirian peran serikat buruh/serikat pekerja (SB/SP)
serta ancaman Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sepihak yang akhiri-akhir ini selalu
membayangi kehidupan buruh.
Kebangkitan gerakan buruh yang makin meluas di berbagai daerah dewasa ini
merupakan perkembangan yang penting sekali dalam usaha bangsa kita untuk membela
kepentingan
rakyat
dalam
perjuangan
bersama
meraih
perbaikan
hidup
melalui
penyelenggaraan negara yang lebih baik. Berkembangnya gerakan buruh di Indonesia
merupakan kebutuhan yang mutlak ketika rakyat sedang mengalami berbagai penderitaan yang
2013
12
Hubungan Industrial
Rizky Dwi Pradana, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
disebabkan oleh banyaknya korupsi, dan juga oleh jeleknya berbagai politik pemerintah yang
tidak berpihak pada kepentingan rakyat.
Tidak dapat dipungkiri bahwa pada saat ini, kesadaran dan sikap kritis warga
masyarakat, terutama kaum buruh/pekerja terhadap hak-hak ekonomi, sosial, budaya dan
bahkan hak-hak politiknya telah mengalami peningkatan secara signifikan. Akan tetapi
meningkatnya kesadaran buruh/pekerja akan berbagai haknya tersebut, tidaklah berarti
persoalan kesejahteraan dan perlindungan bagi pekerja menjadi terpenuhi dan tidak lagi
menjadi masalah. Inilah persoalannya, buruh/pekerja semakin sadar akan hak-hak sipilnya,
sementara kesejahteraan mereka justru semakin jauh dari kenyataan.
Bagi negara, seringkali upaya untuk memenuhi hak-hak ekonomi, sosial dan budaya
para pekerja serta warga masyarakat secara keseluruhan tidak dapat dilakukan secara
maksimal karena mereka dihadapkan pada dilema antara: (1) kepentingan negara menarik
investasi yang notabene diyakini membutuhkan jaminan keamanan dan kondisi yang tanpa
gejolak, dengan (2) tuntutan bahwa negara harus memenuhi hak-hak pekerja sesuai
kesepakatan yang telah ditandatangani dan isi pasal-pasal dalam Kovenan Internasional Hak
Ekonomi, Sosial dan Budaya.
Dalam Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, telah tercantum
sejumlah hak pekerja dan hak warga masyarakat yang harus dipenuhi negara, yaitu: hak untuk
bekerja (pasal 6), hak untuk memperoleh kondisi kerja yang aman dan sehat, upah yang adil,
bayaran yang sama untuk pekerjaan yang sama dan liburan dengan tetap memperoleh gaji
(pasal 7), hak untuk mendirikan dan bergabung dengan serikat kerja, termasuk hak untuk
melakukan pemogokan (pasal 8), dan hak atas jaminan sosial (pasal 9). Pengalaman selama ini
telah membuktikan, bahwa di mata negara, jika berbagai hak ekonomi, sosial dan budaya para
pekerja ini dipenuhi, maka pada titik-titik tertentu dikhawatirkan implikasinya justru dapat
mengganggu keseimbangan sistem yang dibutuhkan untuk menciptakan iklim yang kondusif
bagi para pemilik modal atau investor.
Secara garis besar, dua kecenderungan yang biasanya terjadi adalah: Pertama, demi
kepentingan investasi dan pertumbuhan ekonomi yang dibutuhkan untuk menciptakan peluang
kerja baru dan kesejahteraan rakyat, tidak sekali-dua kali negara pada akhirnya lebih memilih
jalan yang sangat pragmatis, yakni dengan cara untuk sementara waktu meminta para pekerja
dan masyarakat bersabar, tidak banyak mengumbar energi untuk melakukan aksi unjuk rasa,
singkat kata bersikap dan berusaha untuk mendemonstrasikan kepada dunia internasional
bahwa iklim sosial-politik di Indonesia memang layak bagi keamanan dan kelangsungan
investasi. Bahkan, tidak jarang pula terjadi negara dalam kasus-kasus tertentu memilih jalan
2013
13
Hubungan Industrial
Rizky Dwi Pradana, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
kekerasan
dan
mengandalkan
pada
langkah-langkah
yang
sifatnya
represif
untuk
mengendalikan situasi agar tidak terjadi gejolak unjuk rasa buruh yang dapat merusak citra
aman bagi dunia investasi.
Di berbagai daerah, sudah lazim terjadi bahwa yang namanya aksi unjuk rasa dan
demonstrasi buruh, sedini mungkin akan selalu dicoba diregulasi dan dibatasi ruang geraknya
agar tidak sampai merusak image dunia investasi. Meskipun pada
tidak lagi dilakukan
seintensif pada masa Orde Baru. Tetapi, ketika posisi tawar kaum buruh merosot drastis akibat
krisis, jumlah pengangguran terus meluas dan tak kunjung tertangani, maka yang terjadi
kemudian justru ketidakberdayaan yang makin kronis, dan tanpa jalan kekerasan pun
tampaknya kaum buruh sudah menyadari benar posisinya yang serba sulit. Dalam konteks
relasi yang sangat tidak seimbang dan ketika tidak banyak pilihan alternatif yang dapat diakses
pekerja dan warga masyarakat miskin pada umumnya untuk melakukan deversifikasi usaha,
maka ruang yang tersisa pada akhirnya adalah menerima nasib: pasrah dengan keadaan dan
bahkan tidak sedikit buruh yang berpikiran bahwa tidak perlu cari penyakit ikut-ikutan demo,
karena tidak di-PHK pun dalam suasana dunia usaha yang lesu seperti sekarang ini sudah
untung.
Kedua, selain membatasi ruang gerak dan hak pekerja untuk berpartisipasi secara
politik dan melakukan demonstrasi, upah yang layak, yang semestinya menjadi hak pekerja,
dalam banyak kasus juga dibatasi oleh negara, dan bahkan tak jarang dikorbankan dalam
rangka memperkuat daya tarik bagi investor. Persaingan yang makin ketat, di mana sejumlah
negara lain berusaha keras menawarkan iklim investasi yang kompetitif, maka salah satu cara
yang kemudian dianggap dapat menjadi daya tarik bagi investor agar bersedia menanamkan
modalnya ke Indonesia adalah dengan cara menawarkan upah buruh yang murah. Cuma, yang
kemudian ironis: ketika di satu sisi upah buruh yang murah ditawarkan sebagai daya tarik,
ternyata di saat yang sama yang namanya biaya siluman dan biaya yang harus dikeluarkan
investor dari meja satu ke meja yang lain dalam mata rantai perijinan birokrasi ternyata tetap
dikeluhkan tinggi.
Pihak investor atau pemilik modal sendiri, dalam menjalankan usahanya sudah tentu
tidak mau dirugikan atau merugi atas berbagai biaya yang telah mereka keluarkan. Sudah
bukan rahasia lagi, ketika investor harus mengeluarkan dana untuk biaya perijinan dan memberi
amplop pada setiap meja birokrasi, maka jika tidak dialihkan kepada konsumen dan
dipertimbangkan ke dalam penghitungan harga jual produk mereka, biasanya yang paling
mudah dilakukan adalah dengan cara mengalihkan beban itu pada upah buruh atau gaji
pekerja. Bagi pemilik modal atau investor, seringkali jauh lebih mudah mereka menekan upah
2013
14
Hubungan Industrial
Rizky Dwi Pradana, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
buruh tetap bertahan rendah daripada harus berhadapan dengan kekuatan birokrasi yang
berkuasa.
Posisi tawar pekerja dan masyarakat miskin yang rendah di tengah melimpahnya jumlah
pencari kerja, pengangguran dan meningkatnya jumlah penduduk migran yang mencoba
mengadu nasib mencari kerja di kota besar adalah titik-titik lemah yang seringkali disadari
benar oleh para investor untuk membuat para pekerjanya pasrah menerima nasib menerima
upah yang tak pernah beringsut ke taraf yang terkategori layak dan adil. Menurut catatan, pada
tahun 2004, misalnya, jumlah angkatan kerja yang ada di Indonesia sebanyak 103,97 juta
orang, dan 10,25 juta di antaranya masih dalam kondisi menganggur. Tingkat pengangguran
pada tahun 2004 lalu diperkirakan sebesar 9,86 persen, dan di tahun 2007 ini bukan tidak
mungkin malah bertambah karena perkembangan kondisi perekonomian yang fluktuatif.
Sementara Yudi Rahman (2005) dalam Sutinah (2008) dalam penelitiannya tentang
Respons Serikat Buruh Terhadap Neo-liberalisme menunjukkan bahwa respon buruh terhadap
neo-liberalisme ternyata sangat sinis, hal ini terlihat dari gerakan yang menetang kebijakan
neo-liberalisme.
Gerakan yang dibangun oleh buruh dan para pendukung anti neo-liberalisme ini
memang masih dalam taraf gerakan sosial reformatif hal tersebut bisa dilihat dari isu-isu
tuntutan yang dibawakan serta cara-cara perjuangan seperti aksi-aksi unjuk rasa, mogok kerja
maupun perjuangan secara legal formal melalui parlemen ataupun lembaga peradilan.
Tuntutan dan cara perlawanan masih dalam batas melakukan tekanan kepada
pemerintah dan pemilik modal atau melakukan perubahan terbatas pada seluruh masyarakat.
Belum mengarah kepada gerakan sosial revolusioner yaitu melakukan transformasi secara
mendasar yang meliputi segenap anggota masyarakat. Misalnya dengan menduduki dan
menguasai kantor pemerintahan ataupun menguasai alat produksi milik para pengusaha.
Walaupun beberapa memiliki konsep-konsep sistem sosial alternatif dan bercita-cita
mewujudkannya serta memiliki karakter gerakan yang militan dan radikal seperti menduduki
pabrik atau melakukan konfrontasi fisik dengan aparat keamanan.
Kesadaran yang lebih maju tidak sekedar pada tuntutan normatif walaupun hal itu juga
penting dan menjadi agenda gerakan buruh seperti tuntutan kenaikan upah, dan turunkan
harga, stop buruh kontrak serta jaminan kerja dan kondisi kerja yang layak tetapi wacana
tentang penolakan terhadap globalisasi modal dalam bentuk neo-liberalisme merupakan
agenda penting bagi gerakan buruh dalam menjawab permasalahan-permasalahan perburuhan
yang dihadapi baik menyangkut kebijakan nasional maupun internasional. Identifikasi buruh
sebagai kelompok yang paling tertindas tetapi mempunyai peranan yang signifikan dalam
2013
15
Hubungan Industrial
Rizky Dwi Pradana, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
struktur ekonomi kapitalisme menjadi alasan utama bagi para aktivis gerakan sosial lainnya
seperti aktifis mahasiswa, LSM, Akademisi dan lainnya untuk melakukan perjuangan demokrasi
dan keadilan sosial bersama gerakan buruh.
2013
16
Hubungan Industrial
Rizky Dwi Pradana, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Daftar Pustaka
2013
•
Lalu Husni, SH., M.Hum., Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia (edisi revisi),
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007.
•
Sutinah, Konflik Industrial : Suatu Kajian Kritis Terhadap Konflik Industrial, Jurnal
Universitas Airlangga Surabaya, 2008.
•
Gunarto, SH, SE, Akt, M.Hum., Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, tanpa
tahun.
•
Drs. Agus Guntur PM, MM., Hubungan Industrial, Jakarta : STEKPI, 2010.
•
Sri Haryani, Hubungan Industrial Di Indonesia, Yogyakarto: UPP AMP YKPN, 2002.
•
Agusmidah dkk, Bab-Bab Tentang Hukum Perburuhan Indonesia, Depansar: Pustaka
Larasan, Jakarta: Universitas Indonesia; Universitas Leiden, Universitas Groningen,
2012.
•
Mulyadi, SH., Tata Cara Penyelesaian Perselisihan Hubungan
http://www.nasution.co.id/2012/07/800x600-normal-0-false-false-falseen.html#.Vvi67NJ97IX diakses pada 28 Maret 2016.
17
Hubungan Industrial
Rizky Dwi Pradana, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Industrial,
Download