tinjauan pustaka

advertisement
5
TINJAUAN PUSTAKA
Daerah Asal dan Penyebaran
Cabe jawa atau lada panjang (Piper retrofractum Vahl.), dikenal juga
dengan nama cabe jamu (Balitro 2004). Nama daerah cabe jawa adalah campli
puta (Aceh), lada panjang (Minang), cabe jamu/cabe sula (Jawa Barat), cabe
jamo/cabe onggu (Madura), cabe (Jawa Tengah/Jawa Timur/umum) (Balitro
2003).
Selain di Indonesia jenis tanaman ini dapat tumbuh di kawasan Indochina,
Thailand sampai bagian Selatan Asia Tenggara (Balitro 2004). Awalnya
penanaman cabe jawa hanya terkonsentrasi di Jawa, namun saat ini tanaman cabe
jawa banyak ditanam di berbagai daerah, di antaranya Jawa, Madura, Lampung,
Sulawesi dan Ambon (Rukmana 2006).
Botani dan Morfologi
Cabe jawa (Piper retrofractum Vahl; long pepper) termasuk famili
Piperaceae yang tumbuh merambat seperti lada. Karakteristik morfologi tanaman
cabe jawa mirip dengan tanaman lada. Menurut Dirjenbun (2007) tanaman cabe
jawa mempunyai dua jenis akar, yaitu akar utama berada di dalam tanah yang
berfungsi untuk menyerap unsur hara dan air dari dalam tanah, dan akar lekat
yang berfungsi untuk melekatkan batang sehingga tanaman dapat memanjat.
Menurut Balitro (2003) ciri tanaman cabe jawa di antaranya adalah
sebagai berikut :
-
Buah muda berwarna hijau, setelah cukup tua berwarna kuning gading
dan setelah tua berwarna merah.
-
Daun berbentuk bundar telur sampai lonjong, dari pangkal daun bentuk
jantung membundar dan ujungnya meruncing.
-
Mempunyai batang yang memiliki akar panjat pada ruasnya, sehingga
tanaman ini dapat melekat erat pada tiang panjat atau batang pohon.
Batang ini disebut juga sulur panjat. Tanaman ini juga memiliki sulur
cabang buah, yaitu batang tempat keluarnya buah dan sulur cacing, yaitu
6
batang yang keluar dari pangkal batang yang menjalar di permukaan
tanah.
-
Batang yang telah tua berkayu, berwarna hijau tua.
-
Buah berbentuk silinder, pendek-panjang.
Direktorat Budidaya Tanaman Rempah dan Obat (2007) menambahkan
ciri-ciri morfologi cabe jawa sebagai berikut :
-
Daun berbentuk bulat telur sampai lonjong, tunggal berseling, pangkal
tumpul, ujung meruncing, bertulang menyirip terdiri dari 3–5 pasang,
permukaan daun bagian atas licin dan bagian bawah berbintik, daun
muda berwarna hijau muda kekuningan dan daun tua berwarna hijau tua
mengkilap, lebar daun dapat mencapai 5–10 cm serta panjang 14–19 cm.
Panjang tangkai daun antara 1.5–2.5 cm.
-
Bunga majemuk, berkelamin tunggal. Bunga majemuk tersebut tersusun
dalam bentuk bulir. Panjang tangkai bunga tersebut dapat mencapai 0.5
–2.0 cm. Benang sari berjumlah 2–3 buah, tangkai sari pendek, dan
berwarna kuning.
Putik berjumlah 2–3 buah dan berwarna hijau
kekuningan.
-
Buah cabe jawa berbentuk silinder, berukuran 4–6 cm. Buah muda
berwarna hijau, setelah cukup tua berwarna kuning gading dan setelah
masak akan berwarna merah
-
Batang berupa sulur, berbuku-buku, dan bentuk silindris. Batang muda
berwarna hijau agak lunak, sedangkan batang tua berwarna cokelat dan
berkayu agak keras. Diameter batang dapat mencapai 4–6 cm. Panjang
ruas batang atau jarak antar buku mencapai 5–12 cm. Panjang sulur atau
tinggi tanaman dapat mencapai 8–10 m. Setiap ruas akan tumbuh akar
lekat, kadang-kadang juga tumbuh daun dan cabang. Batang utama yang
memanjat ini juga disebut sulur panjat.
Cabang tumbuh dari buku
batang utama. Cabang-cabang yang keluar dari batang utama juga
disebut cabang atau sulur buah karena dari sulur ini akan keluar buah.
Sulur buah ini tumbuh mendatar dan tidak memiliki akar lekat.
-
Tanaman cabe jawa mempunyai dua jenis akar, yaitu : Akar utama,
berada di dalam tanah yang berfungsi untuk menyerap unsur hara dan air
7
dari dalam tanah. Akar lekat berada di atas permukaan tanah yang
berfungsi untuk melekatkan batang sehingga tanaman dapat memanjat.
Khasiat dan Manfaat
Penggunaan cabe jawa dalam bentuk simplisia termasuk dalam 10 besar
bahan baku yang diserap oleh industri obat tradisional, dan menempati peringkat
ke-enam, yaitu 9.5% dari total simplisia. Pemakaian simplisia ini menunjukkan
adanya peningkatan rata-rata per tahun 20.81% dalam kurun waktu 1985-1990
(Januwati et al. 2000). Kebutuhan cabe jawa berdasarkan ragam penggunaan
(khasiat obat) adalah 47.73% (Kemala et al. 2003). Cabe jawa merupakan salah
satu dari 9 tanaman unggulan Badan Pengawasan Obat dan Makanan dan
dikelompokkan sebagai tanaman berkhasiat afrodisiak (Sampurno 2003).
Cabe jawa merupakan salah satu jenis tanaman budidaya yang diketahui
memiliki efek stimulan terhadap sel-sel syaraf sehingga meningkatkan stamina
tubuh.
Efek hormonal atau non hormonal dari tumbuhan seperti itu dikenal
sebagai afrodisiak. Secara umum kandungan senyawa tumbuhan yang memiliki
efek afrodisiak adalah turunan steroid, saponin, alkaloid, tannin dan senyawa lain
yang dapat melancarkan peredaran darah (Anwar 2001).
mengandung
minyak
atsiri,
piperina,
piperidina,
asam
Buah cabe jawa
palmitat,
asam
tetrahidropiperat, undecylenyl 3-4 methylenedioxy benzene, N-isobutyl decatrans2 trans-4 dienamida, sesamin, eikosadienamida, eikosatrienamida, guinensia,
oktadekadienamida, protein, karbohidrat, gliserida, tannin, kariofelina (Aliadi et
al. 1996; Depkes 1977; Hargono 1992; Kardono 1992). Diduga bahan bioaktif
yang berkhasiat afrodisiak di dalam buah cabe jawa adalah piperin.
Syukur dan Hernani (2002) menyatakan bahwa cabe jawa banyak digunakan
untuk bahan baku pembuatan obat tradisional, obat modern, dan campuran
minuman. Selain itu, cabe jawa bermanfaat sebagai obat kolera, influenza, lemah
syahwat, bronkitis, dan sesak nafas. Selanjutnya Permadi (2008) menambahkan
bahwa cabe jawa berkhasiat sebagai obat masuk angin, gangguan pencernaan,
penguat lambung, obat kumur, dan pereda kejang perut. Bagian tanaman yang
digunakan dan dimanfaatkan adalah daun dan biji dalam keadaan segar serta
seluruh bagian tanaman yang dikeringkan dengan cara diangin-anginkan.
8
Yuniarti (2008) dan Muslihah (2007) juga menambahkan bahwa buah cabe
jawa bermanfaat untuk mengobati kejang perut, muntah-muntah, perut kembung,
mulas, sukar buang air besar, disentri, diare, sakit kepala, sakit gigi, batuk,
demam, sukar melahirkan, hidung berlendir, dan tekanan darah rendah. Bagian
akar dari cabe jawa berfungsi untuk mengobati perut kembung, pencernaan
terganggu, tidak dapat hamil karena rahim dingin, membersihkan rahim setelah
melahirkan, badan terasa lemah, dan stroke. Bagian daun cabe jawa berfungsi
untuk mengobati kejang perut dan sakit gigi.
Lingkungan Tumbuh Tanaman
Tanaman cabe jawa dapat tumbuh baik pada ketinggian 1-600 m dpl, dari
daerah pantai sampai di kaki perbukitan. Suhu yang cocok berkisar antara 20ºC
(minimum) dan 34ºC (maksimum). Kisaran suhu terbaik adalah 23-32ºC dengan
suhu rata-rata siang hari 29ºC dan mempunyai derajat kelembaban dengan kisaran
60– 80%. Cabe jawa menghendaki daerah dengan curah hujan antara 1500–3000
mm/tahun. Tidak terdapat bulan-bulan kering dengan curah hujan < 60 mm/bulan,
karena pertumbuhan tanaman dapat tertekan dan menjadi layu (Balitro 2003;
Dirjenbun-Deptan 2009). Cabe jawa dapat tumbuh pada lahan terbuka atau pada
lahan agak terlindung (radiasi surya 50-75%) (Dirjenbun 2009).
Tanaman cabe jawa dapat tumbuh dengan baik pada jenis tanah Andosol,
Latosol, Grumosol, Regosol, dan Podsolik; tekstur liat yang mengandung pasir,
subur, gembur, porous, drainase yang baik dengan kemasaman tanah (pH) antara
5.5 –7.0. Tempat tumbuh tanaman merambat pada tembok, pagar, pohon lain,
atau rambatan yang dibuat khusus. Cabe jawa cocok ditanam di tanah yang tidak
lembab dan banyak mengandung pasir ( Balitro 2003).
Budidaya cabe jawa di tingkat petani biasanya diperlakukan sebagai
tanaman sela di bawah tanaman tahunan. Tanaman ini mempunyai sulur panjat
yang memerlukan pohon panjat di dalam pertumbuhannya. Jenis pohon panjat
bermacam-macam antara lain kayu jaran (Lannea grandis), dadap (Erythrina
subumbran), glirisidia (Glyrisidia sepium), kedawung (Parkia roxburghi) yang
berfungsi pula sebagai tanaman obat. Apabila penanaman dilakukan di bawah
tegakan pepohonan dengan kanopi yang cukup rindang tidak perlu dibuat naungan
(Balitro 2004). Cabe jawa dapat diusahakan sebagai tanaman liana (memanjat)
9
dengan memakai berbagai pohon panjat yang ditanam di sepanjang galengan atau
batas petakan kebun dalam pola budidaya tumpangsari. Namun akhir-akhir ini
telah banyak diusahakan penanaman secara khusus monokultur. Petani di Jawa
Timur, seperti di daerah Madura dan Kabupaten Lamongan menanam cabe jawa
pada galengan/guludan dan pembatas dengan jarak yang cukup lebar, dengan
maksud agar petani dapat menanam palawija pada musim penghujan sebagai
tanaman tumpangsari dengan tanaman cabe jawa (Bermawie et al. 2007).
Januwati dan Yuhono (2003) menyatakan bahwa di Tawangmangu, Jawa
Tengah misalnya, cabe jawa tidak dapat berbuah dengan sempurna dan cenderung
menghasilkan daun daripada buah. Di Wonogiri-Jateng tanaman asli Indonesia ini
menghasilkan daun dan buah yang kecil-kecil. Sebaliknya, di Madura-Jatim cabe
yang tidak pedas ini membentuk buah dengan ukuran yang lebih besar. Menurut
Purbani dan Puspita (2006), Madura adalah tempat ideal bagi pertumbuhan cabe
jawa, karena kondisi lingkungannya, baik suhu maupun tanah di sana, dirasa
paling cocok. Saat ini daerah pengembangan cabe jawa meliputi Jawa Tengah,
Jawa Timur dan Lampung.
Naungan
Tanaman memerlukan intensitas cahaya dalam jumlah yang berbeda-beda.
Tanaman yang memerlukan cahaya dalam jumlah sedikit memerlukan adanya
naungan.
Menurut Rezkiyanti (2000), naungan dilakukan untuk mengurangi
intensitas cahaya yang sampai pada tanaman dan berfungsi untuk menghindari
dari terpaan air hujan secara langsung pada tanaman saat musim hujan. Selain itu
naungan juga berfungsi untuk memodifikasi lingkungan mikro, yaitu dengan
mengurangi atau menurunkan kualitas dan kuantitas faktor-faktor lingkungan
yang ada di sekitar tanaman.
Pertumbuhan suatu tanaman di bawah kondisi yang kurang optimum
menunjukkan adanya penurunan kemampuan tumbuh dan berproduksi pada
tanaman tertentu. Kondisi tersebut menyebabkan perlunya tambahan masukan
yang dapat mendukung pertumbuhan dan hasil tanaman yaitu dengan pemberian
pupuk alami. Industri obat masih mensyaratkan penanaman tanaman obat
menggunakan bahan alami saja.
10
Cabe jawa memerlukan naungan dan tempat rambatan berupa pohon
panjat. Pengaruh naungan terhadap karakter morfologi, fisiologi dan produksi
bahan bioaktif cabe jawa dapat dicari dengan suatu pendekatan, mempelajari
pengaruh naungan terhadap jenis tanaman obat lainnya yang sama-sama toleran
atau memerlukan naungan.
Januwati dan Muhammad (1992) menyatakan bahwa salah satu jenis
tanaman obat yang toleran terhadap naungan adalah pegagan. Perbedaan jumlah
daun pegagan yang tumbuh di bawah naungan dipengaruhi oleh adanya perbedaan
intensitas cahaya yang diperoleh sehingga energi foton yang dibutuhkan untuk
proses fotosintesis menjadi berkurang. Laju fotosintesis berkurang mengakibatkan
fotosintat yang dihasilkan berkurang sehingga pertumbuhan vegetatif terutama
pertumbuhan daun terhambat. Dwijoseputro (1980) menambahkan bahwa tingkat
naungan yang ekstrim untuk tanaman tertentu bisa mengakibatkan kematian
jaringan tanaman dan diikuti kematian tanaman itu sendiri.
Semakin tinggi tingkat naungan maka semakin besar luas daun yang
merupakan salah satu mekanisme adaptasi tanaman terhadap cekaman intensitas
cahaya rendah yang berfungsi untuk memperbesar area penangkapan cahaya. Hale
dan Orcutt (1987) mengemukakan bahwa tanaman beradaptasi terhadap cekaman
naungan melalui dua cara yaitu dengan peningkatan luas daun sebagai
photosynthetic area dan pengurangan jumlah cahaya yang ditransmisikan dan
yang direfleksikan.
Fitter dan Hay (1998) serta Taiz dan Zeiger (2002) menyatakan bahwa
daun tanaman yang ternaungi menjadi lebih tipis dibanding daun tanaman yang
tidak ternaungi, disebabkan oleh pengurangan lapisan palisade dan sel-sel mesofil.
Sugito (1999) menyatakan bahwa daun yang tipis dimaksudkan agar lebih banyak
radiasi matahari yang dapat diteruskan ke bawah sehingga distribusi cahaya
merata sampai pada bagian daun bagian bawah. Penurunan tebal daun diiringi
dengan pelebaran atau penambahan luas daun dimaksudkan agar penerimaan
cahaya matahari lebih banyak.
Misalnya pada tanaman pegagan dapat tumbuh dengan baik di tempat
dengan naungan yang cukup.
Pada kondisi tersebut, tanaman akan tumbuh
dengan helaian daun lebih besar dan tipis dibandingkan tanaman yang tumbuh di
11
tempat terbuka. Apabila pegagan tumbuh pada tempat yang terlalu kurang cahaya
helaian daun akan menipis dan warnanya memucat (Januwati dan Muhammad
1992). Tanaman ini juga dapat tumbuh baik dengan intensitas cahaya 30–40 %,
sehingga dapat dikembangkan sebagai tanaman sela musiman maupun tahunan
(Januwati dan Yusron 2004).
Semakin tinggi tingkat naungan yang diberikan maka tanaman akan
melakukan adaptasi atau penghindaran terhadap cekaman naungan dengan cara
meningkatkan efisiensi penangkapan cahaya tiap unit area fotosintetik. Adaptasi
yang dilakukan tanaman adalah dengan meningkatkan jumlah klorofil per unit
luas daun dan rasio klorofil b/a (Levitt 1980). Hale dan Orcutt (1987) menyatakan
bahwa efisiensi penangkapan cahaya tergantung pada jumlah klorofil per unit luas
daun, untuk sebagian tanaman tetap konstan terhadap cakupan intensitas cahaya
yang luas. Pembentukan klorofil pada daun yang ternaungi dipengaruhi antara
lain oleh cahaya, karbohidrat dalam bentuk gula serta komponen utama
pembentuk klorofil yaitu unsur N dan Mg (Dwijoseputro 1980).
Lada tergolong satu famili dengan cabe jawa, yaitu famili Piperaceae. Oleh
karena itu cabe jawa memiliki sifat morfologi dan fisiologi yang menyerupai lada.
Syarat tumbuh dan teknologi budidaya tanaman cabe jawa dapat menggunakan
pendekatan menggunakan syarat tumbuh dan teknologi budidaya lada, baik lada
merambat maupun lada perdu, karena kedua lada tersebut memiliki syarat tumbuh
tanaman yang sama.
Lada tergolong tanaman adaptif terhadap naungan, namun untuk mendukung
pertumbuhan dan produksinya memerlukan kisaran radiasi surya yang optimal.
Menurut Syakir (1994) tanaman lada berproduksi baik pada tingkat intensitas
radiasi minimal 50% atau setara dengan energi radiasi rata-rata 251.8
kalori/cm2/hari. Lebih jauh Wahid et al. (1999) melaporkan bahwa di antara
varietas tanaman lada perdu terdapat perbedaan respon terhadap intensitas radiasi
surya. Intensitas radiasi 100% (cahaya penuh) produksi tanaman lada perdu
terbaik oleh varietas Petaling 1. Intensitas radiasi 50-75% produksi terbaik
ditunjukkan oleh varietas Bengkayang. Secara umum tanaman lada perdu tumbuh
dan berproduksi dengan baik pada kisaran intensitas radiasi surya 50-75%.
12
Berdasarkan kebutuhan intensitas radiasi surya, tanaman lada perdu
sebaiknya dikembangkan di bawah tegakan tanaman tahunan yang dapat
meloloskan radiasi surya 50-75%. Di antara tanaman tahunan tersebut, kelapa
merupakan tanaman yang sangat berpotensi dan sering dipolatanamkan dengan
lada perdu. Hal ini disebabkan terdapat kesesuaian lingkungan antara prasyarat
tumbuh tanaman kelapa dan kondisi lahan di bawahnya dengan prasyarat tumbuh
tanaman lada perdu. Pengembangan tanaman lada perdu di bawah tegakan
tanaman tahunan juga dapat menekan tingkat kematian tanaman akibat cekaman
lingkungan. Hasil penelitian Wahid et al. (1995) menunjukkan bahwa akibat
tingkat cekaman air tanaman lada perdu yang ditanam di bawah tegakan kelapa
mencapai 28.9%, sedangkan secara monokultur 34.1%.
Tanaman tahunan lainnya yang cukup berpotensi untuk dipolatanamkan
dengan tanaman lada perdu adalah sengon (Paraserianthes falcataria).
Disamping tanaman sengon memiliki bintil akar yang dapat mengikat nitrogen
bebas, hasil pengamatan Pramudya (2000) menunjukkan bahwa rata-rata
intersepsi radiasi surya pada tanaman sengon berbagai umur yang ditanam
dengan jarak lebih dari 3 m x 3 m dapat mencapai 49.92%, artinya tanaman
sengon masih dapat meloloskan intensitas radiasi surya sebesar 50.08%. Ratarata suhu dan kelembaban udara pada areal pertanaman sengon tersebut masingmasing mencapai 7.92oC dan 79.17%, artinya iklim mikro, di bawah tegakan
sengon yang ditanam dengan jarak lebih dari 3 m x 3 m masih sesuai dengan
prasyarat tumbuh lada perdu.
Awad et al. (2001) menyatakan bahwa cahaya pada kondisi naungan
memiliki kandungan sinar UV-A, biru, hijau dan sinar merah yang sedikit,
namun kaya akan sinar infra merah. Hal ini berpengaruh terhadap produksi
bahan bioaktif yang terkandung pada tanaman.
Aksesi
Tanaman cabe jawa di Indonesia banyak dibudidayakan di lahan kering
Madura, Lamongan dan Wonogiri serta daerah pengembangan baru di Sumatera
yaitu Jambi (Dirjenbun 2007). Hasil inventarisasi tanaman cabe jawa di sentra
produksi tahun 1992/1993 memperlihatkan bahwa di Madura ditemukan cabe
jawa dengan tipe buah yang berbeda ukuran buah (besar, sedang dan kecil)
13
dengan warna bervariasi dan mutu berlainan. Cabe jawa dari Kabupaten Sumenep
memiliki kandungan minyak 1.56-1.66% (Rostiana et al. 1994; Yuliani et al.
2001).
Hasil eksplorasi tahun 2003 menunjukkan bahwa kandungan piperin,
oleoresin dan minyak atsiri aksesi cabe jawa yang berhasil dikumpulkan dari
beberapa sentra produksi juga berbeda-beda. Kadar piperin tertinggi (17.24%)
diperoleh pada aksesi asal Bali, dengan bentuk buah lonjong, pipih dan kecil serta
berwarna kuning. sedangkan kadar minyak atsiri tertinggi(1.40%) diperoleh dari
aksesi asal Pamekasan, Cabe jawa yang berasal dari Sumenep menunjukkan
kadar oleoresin tertinggi, yaitu 6.10% (Rostiana et al. 2003). Dengan demikian
perbedaan komponen produksi dari masing-masing tipe cabe jawa yang tersebar
di sentra produksi belum diketahui dengan jelas. Sampai saat ini belum diketahui
apakah karakteristik tanaman yang dibudidayakan tersebut sama atau tidak
(Rostiana et al. 1994).
Perolehan sediaan jamu atau fitofarmaka afrodisiak dari cabe jawa yang
terstandar, perlu didukung dengan penyediaan hulu yang memadai. Industri
afrodisiak mengharapkan mutu simplisia dan ekstrak yang akan digunakan
terjamin kebenarannya. Faktor yang berpengaruh terhadap mutu simplisia adalah
kejelasan spesies/varietas tumbuhan serta potensi genetiknya, lingkungan tumbuh,
bagian yang digunakan, waktu panen dan perlakuan pasca panen (Sinambela
2003).
Download