ii. tinjauan pustaka

advertisement
II.
2.1
TINJAUAN PUSTAKA
Karakteristik ikan nila merah Oreochromis sp.
Ikan nila merupakan ikan yang berasal dari Sungai Nil (Mesir) dan danau-
danau yang berhubungan dengan aliran sungai itu. Ikan nila merah sendiri
pertama kali didatangkan pada tahun 1981 ke Indonesia dari Filipina. Menurut
penelitian, ikan nila merah memiliki pertumbuhan yang lebih cepat dari nila
biasa/hitam. Ikan nila banyak dibudidayakan di berbagai daerah karena
kemampuan adaptasinya yang bagus di berbagai jenis air, baik air tawar, payau,
maupun laut. Kelebihan lainnya ialah ikan ini tahan terhadap perubahan
lingkungan, bersifat omnivora, mampu mencerna makanan secara efisien,
pertumbuhannya relatif cepat, dan tahan terhadap serangan penyakit (Chapman,
1992).
Nila merah merupakan hasil persilangan antara dua spesies ikan nila
yang berbeda yaitu Oreochromis niloticus dan Oreochromis mossambicus
(Durant et al., 1995). Klasifikasi ikan nila merah menurut Linnaeus (1758) dalam
Anonim (2009) ialah sebagai berikut:
Kingdom
: Animalia
Filum
: Chordata
Kelas
: Acanthoptherygii
Ordo
: Perciformes
Famili
: Cichlidae
Genus
: Oreochromis
Spesies
: Oreochromis sp.
Gambar 1. Ikan nila merah Oreochromis sp.
Ikan ini termasuk jenis ikan yang memelihara telur di dalam mulutnya atau
disebut juga mouth brooders. Ikan nila merah mulai memijah pada bobot 100-150
g, sepanjang tahun, setiap 1,5 bulan sekali. Induk yang paling produktif berbobot
antara 500-600 g. Setiap pemijahan, ikan nila dapat menghasilkan 300-1500 butir
telur. Telur yang dikeluarkan oleh nila betina akan dibuahi nila jantan pada
substrat, kemudian segera diambil oleh induk betina untuk diinkubasi 6-7 hari di
dalam mulutnya. Larva akan menetas di dalam mulut induk betina dan masih
memiliki kuning telur. Setelah kuning telur larva habis, larva dapat berenang
keluar dari mulut induk untuk mencari makanan sendiri, tetapi larva tersebut
masih lemah dan masih di dalam perlindungan induk betina, sehingga ketika ada
gangguan larva akan segera diserap induk betina masuk ke dalam mulutnya lagi
(Hepher and Pruginin, 1981). Lingkungan optimal untuk pemeliharaan ikan ini
ialah sebagai berikut, kandungan O 2  3 ppm; pH 6,5-8,5; suhu 25-28 C dengan
fluktuasi suhu harian tidak lebih dari 15 C; serta kisaran salinitas 0-10 ppt
(Popma and Masser, 1999).
Untuk membedakan ikan jantan dan betina dapat dilakukan dengan
memperhatikan perbedaan bentuk dan sifat kelamin sekunder ikan. Ikan jantan
memiliki bentuk tubuh lonjong dengan perut pipih dan dagu kemerah-merahan,
warna tubuh cenderung lebih gelap, ujung sirip punggung lebih panjang dari
pangkal ekor, genitalnya berupa tonjolan memanjang dan meruncing dimana
pada ujungnya terdapat satu lubang pengeluaran air seni dan sperma. Pada
induk jantan yang telah matang gonad, ujung-ujung sirip punggung dan ekor
tampak lebih merah tua daripada warna bagian tubuh lainnya. Sedangkan ikan
nila merah betina memiliki warna tubuh yang cenderung lebih cerah, gerakan
yang lebih lamban, dan genitalnya berupa tonjolan membulat (Popma dan
Masser, 1999).
Nila dapat ditentukan jenis kelaminnya dengan mengamati genital papila
yang terletak tepat di belakang anus. Pada ikan nila jantan, genital papilanya
hanya memiliki satu lubang untuk pengeluaran urin dan juga sperma. Pada nila
betina, telur akan keluar dari lubang yang berbeda dengan lubang pengeluaran
urin. Penambahan setetes pewarna seperti methylene blue atau pewarna
makanan pada daerah genital akan membantu menunjukkan papila dan
bukaannya (Popma dan Masser, 1999).
Gambar 2. Perbedaan urogenital ikan nila merah jantan dan betina
2.2
Diferensiasi kelamin dan sex reversal
Jenis kelamin individu ditentukan oleh faktor genetik dan lingkungan
(Silverin et al., 2000). Secara genetik, jenis kelamin ditentukan oleh kromosom
yang telah terbentuk pada saat pembuahan. Proses diferensiasi kelamin
merupakan proses perkembangan gonad ikan menjadi suatu jaringan yang
definitif. Pada kondisi normal, individu dengan genotipe XX akan berkembang
menjadi betina yang memiliki ovari, sedangkan individu dengan genotipe XY
akan berkembang menjadi jantan yang memiliki testis. Tetapi dengan perlakuan
menggunakan bahan-bahan tertentu, misalnya hormon, maka perkembangan
gonad dengan genotipe tersebut dapat diarahkan berlawanan dengan kondisi
seharusnya (Park et al., 2004). Pada kondisi ini terjadi pengarahan morfologi
jenis kelamin ikan, tingkah laku, serta fungsi pada saat periode kritis dimana otak
embrio
yang
telah
terbentuk masih
dalam keadaan
bipotensial untuk
mengarahkan jenis kelamin. Diferensiasi kelamin pada ikan nila terjadi hingga 30
hari setelah penyerapan kuning telur, atau 37 hari setelah menetas (Kwon et al.,
2000).
Teknologi untuk membalikkan arah perkembangan kelamin menjadi
berlawanan seperti tersebut di atas disebut dengan sex reversal. Teknik ini
dilakukan pada saat dimulainya diferensiasi kelamin dan berlanjut hingga
diferensiasi kelamin terjadi (Devlin, 2002). Dalam teknik ini, fenotipe ikan akan
berubah, akan tetapi genotipenya akan tetap seperti semula. Teknik ini mungkin
dilakukan karena pada waktu menetas, gonad ikan belum terdiferensiasi secara
jelas menjadi jantan atau betina. Tujuan utama dilakukannya sex reversal ialah
untuk memperoleh populasi monoseks yang memiliki beberapa manfaat seperti
pertumbuhan yang cepat, mencegah pemijahan liar, mendapatkan penampilan
yang lebih baik, dan untuk menunjang genetika ikan, yaitu teknik pemurnian ras.
Salah satu bahan yang dapat digunakan untuk sex reversal ialah hormon
androgen sintetik 17 -metiltestosteron yang memiliki rumus kimia C 20H30O2,
berbobot molekul 302,05 (Martin, 1979). Hormon 17 -metiltestosteron telah
diketahui cukup stabil dan efektif diberikan secara oral (Yamazaki, 1983).
Beberapa
penelitian
menunjukkan
bahwa
pemberian
hormon
17
-
metiltestosteron mampu mempengaruhi perkembangan gonad beberapa ikan.
Hormon ini telah terbukti mampu menghasilkan 100 % jantan pada ikan nila yang
diberikan melalui pakan dengan dosis 50 mg/kg pakan serta menghasilkan 98 %
ikan nila jantan yang diberikan secara oral melalui pakan dengan dosis hormon
60 mg/kg (Subagyo et al., 1992). Namun karena bersifat karsinogenik dan tidak
ramah lingkungan maka perlu dicari bahan alternatif yang lain.
2.3
Aromatase dan aromatase inhibitor
Aromatase
merupakan
enzim
kompleks
Cytochrome
P450
yang
bertanggungjawab pada biosintesis estrogen dan mengkonversi androgen,
seperti testosteron dan antostenedione, menjadi estrogen estradiol dan estrone.
Aromatase ini terdapat pada ovari, plasenta, uterus, testis, otak, dan jaringan
lemak ekstraglandular (Simpson et al., 1997). Menurut Silverin et al. (2000),
aktivitas aromatase terdapat di otak yang berpengaruh terhadap pengendalian
tingkah laku dan terjadi pada ovari yang berpengaruh terhadap maturasi folikel
dan tingkat ovulasi. Aktivitas aromatase ini tinggi pada periode kritis yang
memberikan pengaruh terhadap diferensiasi kelamin.
Aromatase memegang peranan penting dalam produksi estrogen
sehingga menimbulkan efek feminisasi (Smith et al., 1994). Aktivitas aromatase
yang tinggi pada larva akan mengarah pada pembentukan ovari, sedangkan
aktivitas aromatase yang rendah mengarah pada pembentukan testis. Selain itu
peningkatan aktivitas aromatase dan sintesis estrogen selama perkembangan
betina berkorelasi dengan waktu diferensiasi dari ovari (D’Cotta et al., 2001).
Aromatase juga berperan dalam vitelogenesis.
Aromatase inhibitor berfungsi untuk menghambat kerja enzim aromatase
dalam sintesis estrogen, sehingga konsentrasi estrogen menurun dan mengarah
pada tidak aktifnya transkripsi dari gen aromatase sebagai pengaruh umpan balik
(D’Cotta et al., 2001). Penurunan konsentrasi estrogen ini mengakibatkan
perubahan penampakan hormonal dari betina menjadi menyerupai jantan
(maskulinisasi) dan juga dapat menghambat vitelogenesis, sehingga mencegah
pematangan gonad yang terlalu cepat.
Aromatase inhibitor menghambat aromatase dengan cara menghambat
proses
transkripsi
dari
gen-gen
aromatase
yang
menyebabkan
tidak
terbentuknya mRNA sehingga enzim aromatase menjadi tidak ada (Sever et al.,
1999), atau dengan cara bersaing dengan substrat alami (testosteron) sehingga
aktivitas aromatase tidak berjalan (Brodie et al., 1999).
Terdapat dua jenis aromatase inhibitor yaitu aromatase inhibitor steroid
dan aromatase inhibitor non steroid. Aromatase inhibitor non steroid (imidazole)
lebih efektif dalam menghambat aktivitas aromatase dibandingkan dengan
aromatase inhibitor steroid (ATD atau 4-OH-A) (Wozniac et al., 1992). Menurut
Anonim (2007), imidazole memiliki sifat biodegradable.
Tabel 1. Karakteristik imidazole (Anonim 2007)
Nama Bahan Kimia
Nama lain
Formula kimia
Sifat fisik
Bentuk
Titik didih/titik leleh
Kelarutan dalam air
Toksikologi
Imidazole
1,3-diaza-2,4-cyclopentadience
1,3-diazole
Glyoxalin
C3H4N2
Bubuk kristal berwarna putih kekuningan
256oC/89-91oC
> 10%
Non karsinogenik
Periode waktu yang paling sensitif untuk perlakuan aromatase inhibitor
adalah 7-14 hari setelah menetas, tetapi masa diferensiasi ikan nila masih terjadi
hingga 30 hari setelah penetasan telur (Kwon et al., 2000).
Download