1 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Proses Penuaan (Aging Process) Penuaan (aging) merupakan proses fisiologis yang dialami oleh setiap manusia (Wibowo, 2003). Proses penuaan didefinisikan sebagai penurunan progresif kemampuan tubuh untuk mempertahankan, melindungi, dan memperbaiki diri agar dapat bekerja secara efisien. Ditandai dengan penurunan fungsi organ-organ tubuh yang menyebabkan ketidakmampuan akibat adanya penurunan fungsi fisik maupun mental. Penurunan fungsi ini akan menyebabkan menurunnya kualitas hidup manusia (Arora, 2008). Menua atau menjadi tua tidak pernah dapat dihindari oleh siapapun, betapapun canggihnya kosmetika dan teknologi dalam dunia kedokteran modern (Santoso dan Ismail, 2009). Setelah mencapai usia dewasa, seluruh komponen tubuh tidak berkembang lagi. Sebaliknya, terjadi penurunan fungsi-fungsi tubuh karena adanya proses penuaan tersebut. Umumnya, manusia tidak pernah mempertanyakan mengapa kita menjadi tua, sakit, dan pada akhirnya meninggal. Manusia hanya menganggap menjadi tua merupakan suatu proses yang memang harus terjadi, sudah ditakdirkan, dan semua masalah yang muncul harus dialami. Bahkan banyak yang berpendapat bahwa usia setiap orang sudah ditentukan oleh Tuhan, dimana usia manusia yang satu dengan yang lainnya tidaklah sama. Manusia tidak mengetahui bahwa ternyata ada banyak faktor dalam proses penuaan yang menyebabkan seseorang menjadi tua, sakit, dan akhirnya meninggal. 2 Pada dasarnya, faktor-faktor tersebut dapat dikelompokkan menjadi faktor internal dan faktor eksternal. Beberapa faktor internal yang mempengaruhi proses penuaan ialah radikal bebas, hormon yang berkurang, glikosilasi, metilasi, apoptosis, sistem kekebalan tubuh yang menurun, dan gen. Faktor eksternal yang utama ialah gaya hidup tidak sehat, diet tidak sehat, kebiasaan yang salah, polusi lingkungan, stress, dan kemiskinan. Karena berbagai faktor itulah seseorang dapat mengalami proses penuaan, yang menyebabkan orang tersebut menjadi tua, sakit, dan akhirnya meninggal. Jika faktor-faktor penyebab itu dapat dihindari, maka proses penuaan dapat dicegah, diperlambat, bahkan mungkin dihambat sehingga kualitas hidup dapat dipertahankan. Permasalahan tersebut mendasari berkembangnya anti-aging medicine, yang bertujuan untuk mencapai atau memperpanjang usia harapan hidup, serta meningkatkan kualitas hidup manusia dengan mencari penyebab penuaan tersebut dan memberikan terapi yang tepat (Pangkahila, 2011), yaitu dengan pola makan (diet) yang baik, olahraga yang cukup, konsumsi antioksidan secukupnya, dan terapi hormonal apabila diperlukan (Arora, 2008). 2.2 Diet Tinggi Lemak Pola makan yang baik mengandung nutrisi yang sehat dan seimbang, dengan komposisi: 50% karbohidrat dengan indeks glikemik rendah, 30% lemak (60% berupa monounsaturated fatty acids (MUFA) dan 10% polyunsaturated fatty acids (PUFA)), dan 20% protein. Kenyataannya, seringkali manusia mempunyai pola makan yang tidak seimbang karena terlalu banyak mengandung 3 karbohidrat dengan indeks glikemik yang tinggi, seperti roti-rotian, gula, makanan penutup, dan juga tinggi lemak hewani, serta terlalu sedikit makanan yang berserat dan buah (Pangkahila, 2011). Seiring kemajuan zaman, ilmu pengetahuan dan teknologi pun berkembang dengan pesat. Teknologi komunikasi yang canggih dan alat-alat lain yang mempermudah pekerjaan manusia pun semakin banyak diciptakan, seperti kendaraan bermotor, lift, handphone, laptop, eskalator, remote TV, dan lain sebagainya. Hal ini menyebabkan gaya hidup yang sedentari dan membuat aktivitas fisik manusia semakin berkurang. Ditambah lagi dengan konsumsi energi tinggi melalui konsumsi makanan yang mengandung lemak jenuh tinggi, akan menyebabkan menumpuknya lemak sehingga menyebabkan kelebihan kalori dan lemak di dalam tubuh. Kelebihan lemak tersebut akan disimpan sebagai cadangan energi di dalam sel lemak dan jaringan lemak (adiposit dan jaringan adiposa) dalam bentuk trigliserida dan kolesterol. Banyaknya lemak yang disimpan di dalam adiposit dan jaringan adiposa menyebabkan terjadinya hipertrofi adiposit dan akumulasi jaringan adiposa membentuk adiposit patogenik dan efek jaringan adiposa, yang disebut adiposapathy. Hal ini menyebabkan peningkatan TNF-α, sehingga mengakibatkan meningkatnya sirkulasi lipid. Patogenesis ini yang sekarang dipercaya sebagai landasan teori relasi kelebihan lemak tubuh dan dislipidemia (Bays et al., 2013). 4 Gambar 2.1 Adiposapathy: hubungan patogenik jaringan adiposa, dislipidemia, dan penyakit kardiovaskular (Bays et al., 2013) 5 Gambar 2.2 2.3 Adiposit dan jaringan adiposa pada keadaan Adiposapathy (pada diet tinggi lemak) (Bays et al., 2013) Hubungan Dislipidemia dengan Penuaan (Aging) Penuaan berkaitan dengan disfungsi multipel dan sistemik dari tubuh dan bersamaan dengan gangguan metabolisme lipid dan status inflamasi kronik yang berperan dalam atherosclerotic CVD (ASCVD) (Liu et al., 2014). Angka kejadian terjadinya dislipidemia ini akan meningkat seiring dengan bertambahnya usia, dimana fungsi tubuh dan organ-organnya sudah mengalami penurunan. 2.3.1 Definisi Dislipidemia Dislipidemia adalah kelainan metabolisme lipid yang ditandai dengan peningkatan atau penurunan fraksi lipid di dalam plasma. Kelainan fraksi lipid yang utama adalah kenaikan kadar kolesterol total, kolesterol LDL, dan trigliserida, serta penurunan kadar kolesterol HDL (Gordon, 2003). Dislipidemia bukanlah penyakit, melainkan lebih tepat disebut sebagai kekacauan metabolik akibat sekunder dari beberapa macam penyakit yang kemudian akan berdampak pada terjadinya aterosklerosis dan selanjutnya akan 6 menyebabkan terjadinya penyakit kardiovaskular (Gordon, 2003). Dislipidemia biasanya tidak menimbulkan gejala, namun kadar LDL yang tinggi dapat menyebabkan beberapa penyakit, seperti xanthelasma kelopak mata, arcus cornea, dan penumpukan LDL pada tendon achilles, siku, dan tendon lutut, serta sendi metakarpofalangealis yang bila penumpukan ini terjadi dalam jangka panjang, dapat menyebabkan terjadinya aterosklerosis. Sedangkan kadar trigliserida yang tinggi (>1000mg/dl) dapat menyebabkan pankreatitis akut (Bays et al., 2013). Dislipidemia pada manusia bila terdapat kadar level plasma, total kolesterol > 240 mg/dl, LDL > 160 mg/dl, trigliserida > 200 mg/dl, atau HDL < 40 mg/dl. Pada tikus, kadar normal kolesterol total adalah 10-54 mg/dL (Kusumawati, 2004). Kadar normal kolesterol LDL tikus adalah 17-22 mg/dL dan kadar normal HDL tikus adalah 77-84 mg/dL (Margareth, 2014), sedangkan kadar normal trigliserida tikus adalah 26-145 mg/dL (Nichols, 2003). Jadi, tikus dapat dikatakan dislipidemia bila terjadi kenaikan berat badan > 20% atau kadar kolesterol serum > 200 mg/dL (Hardini et al., 2007). Kolesterol plasma akan meningkat seiring dengan bertambahnya usia, begitu juga dengan insiden kejadian coronary artery disease (CAD). Angka patokan kadar lipid yang memerlukan penatalaksanaan, penting dikaitkan dengan terjadinya komplikasi kardiovasular ini. Dari berbagai penelitian jangka panjang yang dilakukan di negara-negara Barat, yang dikaitkan dengan besarnya risiko untuk terjadinya penyakit kardiovaskular, terdapat beberapa patokan kadar kolesterol sebagai berikut: 7 Tabel 2.1 Pedoman Klinis untuk Menghubungkan Profil Lipid dengan Risiko Terjadinya Penyakit Kardiovaskular (PKV) (Anwar, 2004) Diinginkan Diwaspadai Berbahaya (mg/dl) (mg/dl) (mg/dl) Kolesterol Total <200 200 – 239 >240 Kolesterol LDL - Tanpa PKV - Dengan PKV Kolesterol HDL Trigliserida - Tanpa PKV - Dengan PKV 130 – 159 >160 >45 36 – 44 <35 <200 200 – 399 >400 <150 250 – 499 >500 <130 <100 Di Indonesia sendiri, prevalensi kejadian dislipidemia semakin meningkat. Pada penelitian yang dilakukan oleh Sudijanto Kamso pada tahun 2004 terhadap 656 responden di 4 kota besar di Indonesia, yaitu Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan Padang, didapatkan bahwa keadaan dislipidemia berat (total kolesterol >240 mg/dl) pada orang berusia di atas 55 tahun, paling banyak terdapat di Padang dan Jakarta (>56%), kemudian Bandung (52,2%), dan Yogyakarta (27,7%). Pada penelitian tersebut juga didapatkan bahwa prevalensi dislipidemia lebih banyak terjadi pada wanita (56,2%) dibandingkan pria (47%). Dan dari keseluruhan wanita yang menderita dislipidemia tersebut, didapatkan prevalensi dislipidemia terbesar terjadi pada wanita dengan rentang usia 55 – 59 tahum (62,1%) bila dibandingkan dengan rentang usia 60 – 69 tahun dan usia di atas 70 tahun (52,6%). 8 2.3.2 Penyebab Dislipidemia Penyebab dislipidemia dibagi menjadi 2, yaitu: (AACE, 2012) A. Dislipidemia Primer Berkaitan dengan gen yang mengatur enzim dan apoprotein yang terlibat di dalam metabolisme lipoprotein maupun reseptornya. B. Dislipidemia Sekunder Karena adanya suatu penyakit atau keadaan yang mendasari. Tabel 2.2 Penyebab Dislipidemia Lipid Kolesterol total Penyebab dan - dan - kolesterol LDL Trigliserida kolesterol VLDL - Hipotiroid Sindrom nefrotik SLE, multiple myeloma Progestin, pengobatan anabolik steroid Penyakit hati obstruktif, sirosis Protease inhibitor pada pengobatan infeksi HIV Gagal ginjal kronik DM tipe 2 Obesitas Alkohol Hipotiroid Obat anti hipertensi (Tiazid, Beta Bloker) Terapi kortikosteroid ( steroid endogen akibat stres berat) Estrogen oral, kontrasepsi oral, kehamilan Very low fat diet 9 2.3.3 Diagnosis Dislipidemia Ditegakkan dengan menggunakan pemeriksaan laboratorium, antara lain: 1. Pemeriksaan penyaring Dianjurkan pada setiap orang dewasa berusia lebih dari 20 tahun. Kadar lipid plasma yang diperiksa meliputi kolesterol total, kolesterol LDL, kolesterol HDL, dan trigliserida. Apabila ditemukan hasil yang normal maka dianjurkan pemeriksaan ulangan setiap 5 tahun. 2. Cara pemeriksaan Persiapan pemeriksaan untuk pemeriksaan kadar kolesterol total, kolesterol LDL, dan kolesterol HDL dengan menggunakan cara direk tidak perlu berpuasa. Sebaliknya, untuk pemeriksaan kadar trigliserida diharuskan berpuasa 12-16 jam, agar mendapatkan kadar trigliserida endogen (bukan dari makanan). Oleh karena untuk pemeriksaan penyaring mutlak diperiksa keseluruhan profil lipid, maka pasien dianjurkan agar berpuasa 12-16 jam pada malam sebelumnya. 3. Kadar lipid normal dalam plasma National Cholesterol Education Program, Adult Treatment Panel III (NCEP ATP III), pada tahun 2001 membuat suatu batasan kadar lipid plasma yang sampai saat ini masih digunakan. 10 Gambar 2.3 Interpretasi Kadar Lipid Plasma (National Cholesterol Education Program, 2001) 2.3.4 Penatalaksanaan Dislipidemia Terdiri atas terapi non farmakologis dan farmakologis. A. Terapi Non Farmakologis Beberapa cara yang dapat dilakukan untuk memperbaiki profil lipid ialah mengurangi asupan kolesterol dan asam lemak jenuh, pemilihan makanan yang berhubungan dengan aturan makan untuk mengurangi LDL serta peningkatan asupan serat larut, penurunan berat badan, dan peningkatan aktivitas fisik atau berolahraga. Terapi non farmakologis ini hendaknya menjadi terapi utama untuk dislipidemia, kecuali untuk pasien dengan dislipidemia bawaan (genetik mempunyai kelainan metabolisme lipoprotein/kolesterol) atau hiperlipidemia gabungan yang bersifat familial, penanganan terapinya dengan pengaturan makanan dan terapi obat dapat dimulai secara bersamaan (Grundy, 2006). Secara khusus, terapi non farmakologis dapat dibagi menjadi terapi nutrisi medis dan aktivitas fisik. 11 a. Terapi nutrisi medis Sebelumnya perlu dilakukan anamnesis nutrisi, pengukuran status nutrisi, dan diagnosis nutrisi. Pasien dengan kadar kolesterol LDL atau kolesterol total yang tinggi dianjurkan untuk mengurangi asupan lemak (saturated fatty acid/SAFA), dan meningkatkan asupan lemak tidak jenuh rantai tunggal dan ganda (mono and poly unsaturated fatty acid). Pada pasien dengan kadar trigliserida yang tinggi, perlu adanya pengurangan asupan karbohidrat, alkohol, dan lemak. b. Aktivitas fisik Kegagalan penatalaksanaan non-farmakologis terutama karena kurangnya kepatuhan pasien dalam mengikuti petunjuk diet yang dianjurkan, demikian juga dengan aktivitas fisik. Pada prinsipnya, pasien dianjurkan untuk meningkatkan aktivitas fisik sesuai dengan kondisi dan kemampuan pasien, serta melakukan aktivitas fisik secara rutin dan teratur. B. Terapi Farmakologis Dengan pemberian obat anti-dislipidemia yang bertujuan untuk memperbaiki kadar lemak di dalam darah. Obat ini diberikan, apabila dengan terapi diet dan olahraga, kondisi pasien tidak merespon dengan baik (Illingworth, 2007). Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam pemberian obat tersebut ialah kemampuan obat-obatan tersebut dalam mempengaruhi kolesterol HDL, trigliserida, fibrinogen, kolesterol LDL, dan juga perlu diperhatikan pengaruh atau 12 efek samping daripada obat-obatan tersebut. Beberapa golongan obat antidislipidemia yang ada saat ini ialah: (ACC/AHA, 2013) 1. Golongan statin (HMG-CoA Reductase Inhibitor: simvastatin, atorvastatin, dan lain-lain) 2. Derivat asam fibrat (gemfibrozil, fenofibrat) 3. Asam nikotinat (niacin) 4. Golongan resin (sequestran) 5. Kolesterol absorbsi inhibitor (ezetemibe) 2.3.5 Komplikasi Dislipidemia Keadaan dislipidemia yang dibiarkan, dapat menimbulkan berbagai macam komplikasi, antara lain: 1. Aterosklerosis 2. Penyakit jantung koroner 3. Stroke 4. Kelainan pembuluh darah lainnya 5. Pankreatitis akut (bila kadar trigliserida > 1000 mg/dl) 2.4 Lipid Lemak atau lipid adalah suatu zat yang kaya energi dan berfungsi sebagai sumber energi utama untuk proses metabolisme tubuh. Lemak diperoleh dari dua sumber, yaitu lemak yang berasal dari asupan makanan sehari-hari dan lemak yang dibentuk oleh tubuh sendiri (hasil produksi organ hati), yang disimpan di 13 dalam sel-sel lemak (adiposit) dan jaringan adiposa sebagai cadangan energi (Nugroho, 2009). Fungsi utama jaringan adiposa ialah menyimpan trigliserida sampai tubuh memerlukannya untuk pembentukan energi. Fungsi tambahan jaringan adiposa ialah untuk menyediakan penyekat panas untuk tubuh. Secara umum, fungsi lemak ialah sebagai sumber energi, pelindung organ tubuh, pembentukan sel, sumber asam lemak esensial, alat angkut vitamin larut dalam lemak, memberi rasa kenyang dan kelezatan, sebagai pelumas, dan memelihara suhu tubuh (Nugroho, 2009). Lemak tersusun atas berbagai komponen penting, antara lain fosfolipid, trigliserida (lemak netral), kolesterol, dan asam lemak (Lichtenstein et al., 2006). 2.4.1 Trigliserida Suatu ester gliserol yang terbentuk dari 3 asam lemak dan gliserol. Trigliserida merupakan lemak pada daging, produk susu, minyak goreng, dan sebagai sumber energi utama bagi tubuh. Trigliserida juga ditemukan dalam simpanan lemak di dalam tubuh dan berasal dari pemecahan lemak di hati. Sama dengan kolesterol, trigliserida juga merupakan lemak yang bersirkulasi di dalam darah. Di alam ini, sebagian besar lemak dan minyak terdiri atas trigliserida (97%), sisanya berbentuk kolesterol dan fosfolipid. Lemak disimpan di dalam tubuh dalam bentuk trigliserida. Apabila sel membutuhkan energi, enzim lipase dalam sel lemak akan memecah trigliserida menjadi gliserol dan asam lemak bebas, serta melepaskannya ke dalam pembuluh darah (Mahan et al., 2012). 14 2.4.1.1 Hidrolisis Trigliserida Tahap pertama dalam penggunaan trigliserida untuk energi ialah hidrolisis dari trigliserida menjadi asam lemak dan gliserol. Kemudian, asam lemak dan gliserol ditranspor ke jaringan aktif dimana keduanya dapat dioksidasi untuk menghasilkan energi. 2.4.2 Kolesterol Kolesterol adalah salah satu lemak tubuh, bisa berada dalam bentuk bebas maupun dalam bentuk kolesterol dengan asam lemak atau ester kolesterol, serta merupakan komponen utama selaput sel otak dan saraf (Murray et al., 2003). Kolesterol ini sangat diperlukan dalam berbagai proses metabolisme tubuh, antara lain (Murray et al., 2003): 1. Sebagai bahan pembentuk dinding sel. 2. Membuat asam empedu untuk mengemulsikan lemak. 3. Untuk membentuk vitamin D. 4. Berperan sebagai bahan pembuat hormon-hormon seks dan kortikosteroid atau hormon yang dapat mempengaruhi volume dan tekanan darah, kadar gula darah, otot, serta kekebalan tubuh. Delapan puluh persen kolesterol dihasilkan dari dalam tubuh (dibentuk oleh hati) dan 20% sisanya berasal dari luar tubuh, yaitu dari makanan yang dikonsumsi sehari-hari. Kolesterol merupakan produk khas dari hasil metabolisme hewan dan produk olahannya, seperti kuning telur, daging, hati, otak, susu, keju, mentega, dan lain-lain. Kolesterol yang berasal dari makanan ini jarang dalam 15 bentuk kolesterol bebas, biasanya dalam bentuk kolesterol dengan asam lemak atau sering disebut ester kolesterol. 2.4.2.1 Biosintesis Kolesterol Hati mensintesis kolesterol dengan menggunakan asetil Koenzim-A (Asetil KoA) yang merupakan hasil dari metabolisme karbohidrat, protein, atau lemak. Biosintesis kolesterol ini terbagi menjadi empat tahap. Tahap pertama, melibatkan perubahan asetil koA menjadi 3-hidroksi-3-metilglutaril-KoA (HMGKoA) yang dikatalisis oleh enzim HMG-KoA sintase, kemudian dilanjutkan sintesis HMG-KoA menjadi Mevalonat yang diubah menjadi molekul dasar isoporen yaitu isopentenyl pyrophospat (IPP) bersamaan dengan hilangnya CO2. Tahap ketiga ialah terjadinya proses polimerisasi enam molekul isoprenoid untuk membentuk molekul skualen. Tahap paling akhir ialah proses terbentuknya inti steril dari skualen yang kemudian diubah menjadi kolesterol (Koolman, 2005). 16 Gambar 2.4 Biosintesis Kolesterol (Koolman, 2005) 2.4.3 Lipoprotein Lemak bersifat tidak dapat larut dalam air, berarti lemak juga tidak dapat larut dalam plasma darah. Agar lemak dapat diangkut ke dalam peredarah darah, maka lemak akan berikatan dengan protein spesifik di dalam plasma darah, membentuk suatu kompleks makro molekul yang larut di dalam air. Ikatan yang terbentuk antara lemak (kolesterol, trigliserida, dan fosfolipid) dengan protein disebut dengan lipoprotein (Mahley et al., 2003). 17 Gambar 2.5 Partikel Lipoprotein (Fauzi, 2012) Fungsi utama lipoprotein ialah mengangkut komponen-komponen lipid di dalam darah (mentranspor kolesterol dan fosfolipid). Lipoprotein densitas sangat rendah mengangkut trigliserida yang disintesis di dalam hati terutama ke jaringan adiposa, sedangkan lipoprotein yang lain penting dalam tahap-tahap transpor fosfolipid dan kolesterol yang berbeda dari hati menuju jaringan perifer atau dari jaringan perifer kembali ke hati. Berdasarkan komposisi, densitas, dan mobilitasnya, lipoprotein dibedakan menjadi beberapa macam: kilomikron, Very Low Density Lipoprotein (VLDL), Intermediate Density Lipoprotein (IDL), Low Density Lipoprotein (LDL), dan High Density Lipoprotein (HDL). Setiap jenis lipoprotein ini memiliki fungsi yang berbeda dan dipecah serta dibuang dengan cara yang berbeda pula (Rader dan Hobbs, 2005). 2.4.3.1 Kilomikron Bertugas mengangkut lemak menuju hati, dibentuk di usus halus dengan komposisi asam lemak dari trigliserida. Kilomikron merupakan lipoprotein dengan berat molekul terbesar dan lebih dari 80 persen nya terdiri dari trigliserida yang berasal dari makanan dan kurang dari 5 persen nya terdiri dari kolesterol 18 ester. Pada saat masuk ke dalam darah, kilomikron akan berinteraksi dengan LPL (Lipoprotein Lipase) yang terdapat pada permukaan endotel kapiler, jaringan lemak, dan otot, sehingga trigliserida dapat dilepaskan dari kilomikron dan diangkut oleh HDL ke hati untuk dimetabolisme. Kilomikron membawa trigliserida dari makanan ke jaringan lemak dan otot rangka, dan membawa kolesterol makanan ke hati (Rader dan Hobbs, 2005). 2.4.3.2 Very Low Density Lipoprotein (VLDL) Trigliserida endogen dengan densitas sangat rendah. Lipoprotein ini terdiri dari 60 persen trigliserida endogen dan 10 – 15 persen kolesterol. Dibentuk dari asam lemak bebas di hati dan berfungsi sebagai alat transportasi lemak dari hati ke jaringan. Bagian terbesar dari VLDL ialah trigliserida dan ukuran VLDL ditentukan dari jumlah trigliserida yang ada (Rader dan Hobbs, 2005). Trigliserida VLDL dihidrolisis oleh lipoprotein lipase (LPL) dan diubah menjadi VLDL remnan (Mahley et al., 2003). VLDL remnan dapat ditangkap kembali oleh hati melalui reseptor atau tetap berada di dalam sirkulasi, dan setelah diambil komponen trigliseridanya, akan dihidrolisis oleh hepatik lipase (HL) menjadi partikel IDL dan LDL (Rader dan Hobbs, 2005), sehingga dapat terjadi peningkatan kadar LDL serum mengikuti penurunan hipertrigliserida. 2.4.3.3 Intermediate Density Lipoprotein (IDL) IDL kurang mengandung trigliserida (30 persen), lebih banyak kolesterol (20 persen), dan relatif lebih banyak mengandung apoprotein B dan E. IDL adalah zat perantara yang terjadi sewaktu VLDL dikatabolisme menjadi LDL. 19 2.4.3.4 Low Density Lipoprotein (LDL) LDL ialah lipoprotein dengan densitas rendah yang merupakan alat transportasi kolesterol yang utama, mengangkut sekitar 70 – 80 persen dari kolesterol total yang merupakan metabolit VLDL. Mengandung trigliserida sebanyak 10% dan kolesterol sebanyak 60%. Fungsi LDL ialah membawa kolesterol dari hati ke jaringan perifer, termasuk ke sel otot jantung, otak, dan lain-lain agar dapat berfungsi dengan baik (untuk sintesis membran plasma dan hormon steroid). 2.4.3.5 High Density Lipoprotein (HDL) HDL merupakan lipoprotein protektif yang menurunkan risiko penyakit jantung koroner. Efek protektifnya diduga karena mengangkut kolesterol dari perifer untuk dimetabolisasi di hati dan menghambat modifikasi oksidatif LDL melalui paraoksonase, suatu protein antioksidan yang bersosialisasi dengan HDL. HDL berfungsi untuk membawa kolesterol dari jaringan perifer ke hati untuk dimetabolisme dan dibuang ke dalam kandung empedu sebagai asam empedu, sehingga penimbunan kolesterol di perifer berkurang. HDL terdiri dari 13 persen kolesterol, kurang dari 5 persen trigliserida, dan 50 persen protein. Kadar HDL yang tinggi berhubungan dengan menurunnya insiden penyakit dan kematian akibat aterosklerosis. Fungsi HDL antara lain: 1. Mengangkut kelebihan kolesterol dari jaringan ekstrahepatik dan sel pembersih (scavenger cells), dan setelah berinteraksi dengan enzim LCAT (Lecithin Cholesterol Acyl Transferase) akan melepaskan 20 kolesterol ke VLDL remnan dan hati, yang kemudian akan dikeluarkan ke dalam empedu. 2. Sebagai sumber apoprotein untuk metabolisme VLDL remnan dan kilomikron remnan. 3. Diduga sebagai sumber bahan pembentukan prostasiklin yang bersifat anti trombosis. 4. Meningkatkan sintesis reseptor LDL. Inti dari HDL ialah kolesterol ester, yang dibentuk di dalam sirkulasi melalui pengambilan kolesterol di jaringan perifer dengan pertolongan enzim LCAT (Rader dan Hobbs, 2005). 2.5 Metabolisme Lemak Terjadi di hati. Fungsi utama hati dalam metabolisme lemak antara lain: Memecahkan asam lemak menjadi senyawa kecil untuk energi. Mensintesis trigliserida, terutama dari karbohidrat tetapi juga dari protein dalam jumlah yang lebih sedikit. Mensintesis lipid lain dari asam lemak, terutama kolesterol dan fosfolipid. Sel hati selain mengandung trigliserida juga mengandung sejumlah besar fosfolipid dan kolesterol, yang secara kontinu disintesis oleh hati. Sel hati juga lebih mampu mendesaturasi asam lemak daripada jaringan lain sehingga trigliserida hati secara normal lebih tidak jenuh daripada trigliserida dari jaringan adiposa. Kemampuan hati untuk mendesaturasi asam lemak secara fungsional 21 penting untuk semua jaringan tubuh, sebab banyak struktur bagian dari seluruh sel mangandung jumlah asam lemak tidak jenuh yang cukup banyak, dan sumber utamanya adalah hati. Desaturasi ini dilakukan oleh enzim dehidrogenase di dalam sel hati. Gambar 2.6 Sumber Kolesterol Hati (influx) dan Jalur Kolesterol Keluar dari Hati (efflux) (Ferrier, 2014) Hasil akhir dari pemecahan lipid dari makanan ialah asam lemak dan gliserol. Jika sumber energi dari karbohidrat telah mencukupi, maka asam lemak akan mengalami esterifikasi, yaitu pembentukan ester dengan gliserol menjadi trigliserida yang berfungsi sebagai cadangan energi jangka panjang. Jika sewaktuwaktu tidak tersedia sumber energi dari karbohidrat, asam lemak kemudian akan dioksidasi, baik asam lemak dari diet maupun dari cadangan trigliserida jaringan. 22 Gambar 2.7 Metabolisme Lipid (Lichtenstein dan Jones, 2006) 2.6 Transportasi Lemak Di dalam darah, lemak diangkut dengan dua cara, yaitu melalui jalur eksogen dan jalur endogen. Yang berperan pada jalur eksogen ialah kilomikron, sedangkan pada jalur endogen ialah VLDL, IDL, dan HDL (Mayes et al., 2003). 2.6.1 Jalur Endogen Hati mensintesis trigliserida dan kolesterol, kemudian diangkut melalui jalur endogen dalam bentuk VLDL kaya trigliserida. VLDL akan mengalami hidrolisis oleh lipoprotein lipase yang juga menghidrolisis kilomikron menjadi VLDL remnan. VLDL remnan kemudian diambil oleh hati atau diubah menjadi IDL (Intermediate Density Lipoprotein). Partikel IDL ini akan diambil oleh hati atau mengalami pemecahan lebih lanjut menjadi produk akhir yaitu LDL. LDL 23 akan diambil oleh reseptor LDL di hati, kemudian mengalami katabolisme. HDL bertugas untuk mengambil kolesterol bebas di jaringan perifer. Kolesterol bebas di dalam HDL kemudian diesterifikasi oleh enzim LCAT (Lecithin Cholesterol Acyl Transferase) menjadi kolesterol ester. Kolesterol ester akan mengalami perpindahan dari HDL ke VLDL atau IDL, begitu juga dengan trigliserida yang terdapat pada partikel VLDL dan IDL, dipindahkan ke partikel HDL melalui enzim CETP (Cholesterol Ester Transfer Protein) sehingga terjadi kebalikan arah transpor kolesterol (reverse cholesterol transport) dari perifer menuju hati untuk dikatabolisasi, lalu dibuang ke dalam kandung empedu sebagai asam empedu, dan penimbunan kolesterol di perifer akan berkurang. Aktivitas ini mungkin berperan dalam sifat antiaterogenik. Gambar 2.8 Jalur Metabolisme Lipoprotein Eksogen dan Endogen (Harrison’s Principles of Internal Medicine, 2011) 24 2.7 Teh (Camellia Sinensis) 2.7.1 Klasifikasi Teh (Anonim (a), 2014) Kerajaan : Plantae Divisi : Magnoliophyta Kelas : Magnoliopsida Ordo : Ericales Famili : Theaseae Genus : Camellia Spesies : Camellia sinensis Gambar 2.9 Daun Tanaman Teh (Handoko, 2007) 2.7.2 Jenis-jenis Teh Berdasarkan proses pembuatannya, teh dibedakan menjadi empat jenis: 1. Teh Hitam (Black Tea) Didapat dari hasil penggilingan yang menyebabkan daun teh terluka dan mengeluarkan getah. Getah bersentuhan dengan udara sehingga menghasilkan senyawa teaflavin dan tearubigin. Daun teh ini mengalami proses fermentasi sempurna. Warna hijau pada daun berubah menjadi kecoklatan dan selama pengeringan berubah menjadi 25 hitam. Teh hitam paling dikenal luas dan paling banyak dikonsumsi (Sujayanto, 2008). 2. Teh Merah (Oolong Tea) Teh hasil semifermentasi (semioksidasi enzimatis), dimana daun teh tidak bersentuhan lama dengan udara pada saat pengolahan, fermentasi hanya sebagian (30 – 70%). Hasilnya, warna teh menjadi coklat kemerahan. 3. Teh Hijau (Green Tea) Teh hijau diolah tanpa mengalami oksidasi dan fermentasi. Setelah daun teh layu, langsung digulung, dikeringkan, dan dikemas. Biasanya pucuk teh langsung diproses dengan menggunakan uap panas (steam) atau frying untuk menghentikan aktivitas enzim, sehingga warna hijau tetap bertahan dan kandungan taninnya relatif tinggi. 4. Teh Putih (White Tea) Merupakan teh yang sangat istimewa, karena berasal dari pucuk daun teh yang sangat muda dan masih menggulung, pada saat dipetik dilindungi dari sinar matahari. Daun teh yang sangat muda ini diuapkan dan dikeringkan segera setelah dipetik untuk mencegah terjadinya oksidasi. Daun teh muda ini juga tidak melalui proses fermentasi, sehingga teh putih mengandung katekin dan kafein tertinggi (Dias et al., 2013). 26 Gambar 2.10 Teh Putih, Teh Hijau, Teh Merah, Teh Hitam (Anonim (b), 2011) 27 Camellia sinensis Buds of young leaves Young Leaves Withered Steamed (Polyphenol oxidase Inactivation) Withered Steamed/fried (Polyphenol oxidase Ruised by shaking Rolled Inactivation) Rolled/shaped Partially oxidized Fully oxidized (10 – 80%) Dried Dried Fried/Dried Fried/Dried White Tea Green Tea Oolong Tea Black Tea Theaflavins and Thearubigins Catechin Gambar 2.11 Skema Representasi Proses Pembuatan Teh (Dias et al., 2013) 2.7.3 Kandungan Kimia dalam Teh Di dalam daun teh terdapat berbagai macam bahan atau senyawa kimia yang dapat digolongkan ke dalam empat kelompok besar, yaitu substansi fenol, substansi bukan fenol, substansi penyebab aroma (senyawa aromatis), dan enzim (Alamsyah, 2006). 28 1. Substansi Fenol a. Flavanol Polifenol utama di dalam teh berupa katekin. Derivat katekin terdiri dari katekin (C), epikatekin (EC), galokatekin (GC), epigalokatekin (EGC), epikatekin galat (ECG), galokatekin 3-galat (GCG), dan epigalokatekin 3-galat (EGCG) (Alamsyah, 2006). b. Flavonol Flavonol merupakan senyawa golongan flavonoid yang memiliki oksidasi paling rendah. Komposisi kimia flavonol pada teh mirip dengan katekin. Flavonol pada teh meliputi quersetin, kaemferol, dan mirisetin. Flavonol berfungsi sebagai antioksidan alami yang mempunyai kemampuan untuk mengikat logam. 2. Substansi Bukan Fenol a. Karbohidrat Di dalam daun teh terkandung karbohidrat berbentuk gula sederhana sampai komplek. Karbohidrat yang penting antara lain: sukrosa, glukosa, dan fruktosa. Keseluruhan karbohidrat pada teh sebanyak 0,75% dari berat kering (Alamsyah, 2006). b. Substansi Pektin Pektin akan diurai menjadi asam pektat dan metil alkohol dengan bantuan enzim pektin metal esterase. Metil alkohol akan menguap dan sebagian lagi diubah menjadi asam organik yang akan menghasilkan aroma khas pada teh (Rohdiana, 2009). 29 c. Alkaloid Berfungsi sebagai penyegar. Alkaloid utama dalam teh ialah kafein. Kafein akan bereaksi dengan katekin dan menimbulkan rasa segar pada seduhan teh (Alamsyah, 2006). d. Klorofil dan Zat Warna Lain Warna hijau pada daun teh disebabkan oleh adanya klorofil. Dalam proses inaktivasi enzim, terjadi pemanasan senyawa klorofil yang menyebabkan perubahan warna hijau segar pada daun teh menjadi hijau tua/zaitun karena klorofil tersebut diubah menjadi feofitin. Jika terjadi suasana sangat asam, feofitin akan diubah menjadi feoforbid yang berwarna hijau kecoklatan (Alamsyah, 2006). e. Protein dan Asam Amino Asam amino, karbohidrat, dan katekin akan membentuk senyawa aromatis. Asam amino yang berpengaruh pada proses ini ialah alanin, fenil alanin, valin, leusin, dan isoleusin. Seluruh kandungan protein dan asam amino bebas ialah 1,4 – 5% dari berat daun kering. Reaksi asam amino dengan katekin pada temperatur tinggi akan menghasilkan aldehida yang memberikan aroma pada teh (Alamsyah, 2006). f. Substansi Resin Kandungan resin sekitar 3% dari berat daun kering. Fungsi resin ialah menaikkan daya tahan tanaman teh terhadap kondisi beku (Alamsyah, 2006). 30 g. Vitamin Di dalam daun teh terkandung beberapa vitamin, yaitu vitamin C, K, A, B1, dan B2. Kandungan vitamin C pada teh sebesar 100 – 250 mg. Kandungan vitamin C sebesar itu hanya terdapat pada teh putih dan teh hijau. Sedangkan kandungan vitamin K dalam teh putih dan teh hijau sebesar 300 – 500 IU/g (Alamsyah, 2006). h. Mineral Berfungsi dalam pembentukan enzim di dalam tubuh, sumber mineral yang penting dalam proses metabolisme. Kandungan mineral di dalam daun teh: - Magnesium Berfungsi membantu proses metabolisme protein, reaksi seluler, mengatur elektrolit tubuh, reseptor hormon, metabolisme vitamin D (Rohdiana, 2009). - Flouride Berfungsi menguatkan gigi agar terhindar dari karies, pembentukan plak gigi, dan membunuh bakteri penyebab pembengkakan gusi (Alamsyah, 2006). - Natrium Berfungsi mengatur keseimbangan elektrolit untuk mencegah menurunnya cairan seluler akibat tekanan osmotik. 31 - Kalsium Berfungsi membantu pembentukan tulang dan gigi, transmisi impuls saraf, kontraksi otot, dan meningkatkan efektifitas kerja enzim. - Seng Berperan dalam metabolisme tubuh, sintesis vitamin A, peningkatan sistem kekebalan tubuh, dan membentuk enzim pemusnah radikal bebas. 3. Substansi Penyebab Aroma (Senyawa Aromatis) Aroma teh berasal dari likosida yang terurai menjadi gula sederhana dan senyawa yang beraroma atau dari oksidasi karotenoid yang menghasilkan senyawa yang mudah menguap (aldehida dan keton tak jenuh). Substansi penyebab aroma ini meliputi klorofil, karotenoid, dan senyawa volatil. 4. Enzim Berfungsi sebagai biokatalisator reaksi kimia pada daun teh. Enzim yang terkandung di dalam daun teh ialah invertase, amylase, glukosidase, oximetilase, protease, peroksidase, dan polifenol oksidase (Alamsyah, 2006). 32 2.8 Teh Hijau Teh hijau serupa dengan teh putih, tidak mengalami proses fermentasi, tidak seperti teh hitam yang difermentasi seluruhnya dan teh oolong yang difermentasi sebagian. Teh hijau diproses dengan cara penguapan (steaming) langsung setelah dipetik agar tidak terfermentasi, sehingga kandungan polifenol yang dipertahankan juga lebih banyak. Setelah di-steaming atau frying, daun teh hijau kemudian digulung dan baru dikeringkan, sehingga masih ada sedikit proses oksidasi yang terjadi dan menyebabkan kandungan polifenol pada daun teh hijau sedikit lebih rendah daripada teh putih. Polifenol pada daun teh ini berfungsi sebagai antioksidan yang baik bagi kesehatan tubuh (Hatma, 2011). Daun segar Inaktivasi Enzim (steaming) Penggilingan OTR Penggilingan CTC Pengeringan Gambar 2.12 Skema Proses Pengolahan Teh Hijau (Dahlia, 2014) Zat aktif utama dari polifenol ialah katekin. Beberapa jenis derivat katekin yang terkandung pada teh hijau, antara lain: Epicatechin (EC), Epicatechin 3Gallate (ECG), Epigallocatechin (EGC), Epigallocatechin 3-Gallate (EGCG), Catechin (C), dan Gallocatechin (GC) (Nagao et al., 2007). EGCG merupakan komponen yang paling banyak dan paling aktif di dalam teh hijau, serta merupakan antioksidan yang lebih kuat dibandingkan dengan vitamin C dan E. Satu gelas teh hijau biasanya mengandung 100 – 200 mg EGCG (Roy et al., 2007). EGCG pada teh hijau ini mempunyai kemampuan unik untuk merusak pathway dari proses patologis penyakit, seperti kanker, penyakit kardiovaskular, diabetes, obesitas, Alzheimer, dan Parkinson. Selain itu, EGCG juga memiliki 33 efek sebagai anti-aterosklerosis, anti-hiperkolesterolemia, anti-hipertensi, antihiperglisemia, antibakterial, dan antiviral (Kao, 2000). EGCG dapat memperlambat pelepasan sitokin-sitokin, sehingga proses inflamasi serta proliferasi otot polos vaskular terhambat. Hal ini mencegah terjadinya aterosklerosis yang merupakan salah satu faktor risiko utama terjadinya penyakit kardiovaskular. Maka dapat dikatakan bahwa EGCG berfungsi dalam mencegah terjadinya aterosklerosis, serta meningkatkan fungsi endotelial dan arteri. Oleh karena itu, banyak penelitian menyatakan bahwa konsumsi teh hijau secara rutin dan dengan dosis yang sesuai, dapat menurunkan risiko terkena penyakit kardiovaskular dan infark miokard (serangan jantung) (Roy et al., 2007). Selain katekin dan derivatnya, teh hijau juga mengandung tanin, saponin, vitamin B, asam folat, mangan, kalium, magnesium, dan kafein yang juga sangat bermanfaat bagi tubuh. Hasil fitokimia teh hijau dibandingkan dengan teh putih dapat dilihat pada tabel 2.3 Tabel 2.3 Hasil Analisis Flavonoid, Total Fenol, Tanin, Saponin, Kapasitas Antioksidan, dan IC50% (Adeline, 2016) Beberapa manfaat teh hijau bagi tubuh menurut Sulaksono ialah untuk memperbaiki profil lipid, mengontrol berat badan, menurunkan risiko terhadap penyakit 34 kardiovaskular, membantu melawan radikal bebas di dalam tubuh, menghindari penuaan dini, dan lain sebagainya. Gambar 2.13 Teh Hijau (Anonim (d), 2015) Gambar 2.14 Seduhan Teh Hijau (Resdiyanto, 2015) 2.9 Teh Hijau dan Dislipidemia Beberapa penelitian pada binatang telah menunjukkan manfaat teh hijau dalam menurunkan profil lipid (kolesterol total, kolesterol LDL, dan trigliserida) di dalam darah. Salah satu penelitian tersebut menemukan bahwa kandungan aktif flavonoid di dalam teh hijau memiliki efek penurunan kadar kolesterol LDL yang sama atau lebih besar dibandingkan dengan diet rendah lemak. Beberapa penelitian lain pada binatang juga menyatakan bahwa hasil penurunan kadar 35 kolesterol total dan kolesterol LDL tidak berbeda antara teh hijau yang diseduh dengan ekstrak teh hijau (Babu et al., 2006). Penurunan kadar kolesterol merupakan efek langsung dan tidak langsung dari teh hijau. Beberapa studi mengemukakan bahwa flavonoid di dalam teh hijau terbukti dapat memperbaiki profil lipid darah dan memiliki efek vasoprotektif (Shipp dan Abdel-Aal, 2010). Flavonoid memiliki kemampuan untuk menginhibisi CETP (cholesteryl ester transfer protein). Dengan menekan CETP, maka dapat meningkatkan kadar kolesterol HDL dan menurunkan kadar kolesterol LDL (Qin et al., 2009). Katekin dapat meningkatkan pengeluaran energi, sehingga terjadi pengurangan lemak tubuh. Efek dari pengurangan lemak tubuh tersebut ialah penurunan kadar kolesterol (Roy et al., 2007). Mekanisme lain yang dikemukakan ialah penurunan kadar kolesterol yang terjadi akibat inhibisi dari absorbsi kolesterol dan trigliserida. EGCG ditemukan dapat menghambat sistem micelle bilier di dalam lumen intestinal dengan cara membentuk endapan kolesterol yang tidak larut, sehingga dapat meningkatkan ekskresi lemak di feses (Roy et al., 2007). Studi lain menemukan bahwa katekin dapat menginhibisi langsung sintesis kolesterol. Penelitian in vitro menyatakan bahwa katekin di dalam teh hijau merupakan inhibitor kuat dan sangat selektif terhadap squalene epoxidase, enzim biosintesis kolesterol. Oleh karena itu, menurut mekanisme kerja tersebut, dapat dikatakan bahwa kerja teh hijau mirip dengan statin, yaitu menurunkan sintesis kolesterol dan meningkatkan reseptor LDL (Nagao et al., 2007). 36 Kandungan tanin yang tinggi di dalam teh hijau mampu meningkatkan penyerapan glukosa pada jaringan adiposit tikus GLUT4 (Hayashi et al., 2002). Selain itu, pemberian senyawa aktif turunan tanin pada konsentrasi 0,1 mg/mL diketahui dapat menurunkan proliferasi adiposit hingga mencapai 62% – 64% (Liu et al., 2001; Hayashi et al., 2002). Pada penelitian lain ditemukan bahwa kandungan saponin di dalam teh hijau memiliki efek sebagai antihiperlipidemia, dengan cara menghambat kerja 3Hydroxy-3-methylglutaryl CoA reductase (HMGCR) dan Acyl-CoA: cholesterol O-acyltransferase 2 (ACAT 2) (Shi et al., 2014). HMGCR adalah enzim yang meregulasi biosintesis kolesterol. Inhibisi dari ekspresi atau aktivitas enzim HMGCR akan menghambat sintesis de novo kolesterol dalam hati dan dengan demikian akan mengurangi kadar kolesterol serum (Jurevics et al., 2000). Sedangkan ACAT2 mengkonversi kolesterol bebas menjadi kolesterol ester sebagai respon terhadap biosintesis kolesterol intraseluler yang berlebihan. Ekspresis ACAT2 yang berlebihan meningkatkan produksi kolesterol ester yang akan bereaksi terhadap hepatik lipoprotein yang mengandung apoB dan disekresi ke dalam plasma, jadi ACAT2 memainkan peran penting dalam produksi lipoprotein aterogenik (Lee et al., 2005). Selain itu saponin juga meningkatkan ekspresi cholesterol 7-alpha-hydroxylase (CYP7A1) yang merupakan enzim yang terlibat dalam jalur biosintesis asam empedu dan setidaknya terlibat dalam 75% dari proses produksi asam empedu (Chiang, 2004). Peningkatan ekspresi maupun aktivitas dari enzim CYP7A1 meningkatkan jalur katabolik kolesterol dan 37 menyebabkan pengurangan kadar kolesterol total dalam serum dan hati (Del-Bas et al., 2005). 2.10 Teh Putih Teh putih berasal dari pucuk daun Camellia sinensis yang sangat muda dan masih menggulung, mempunyai rambut-rambut sangat halus berwarna putih keperakan, dan pada saat dipetik harus dilindungi dari sinar matahari untuk mencegah terbentuknya formasi klorofil, sehingga memberikan penampakan berwarna putih pada daun teh muda tersebut (Dias et al., 2013). Teh putih ini harus dipetik sebelum kira-kira pukul 06.30 pagi atau sebelum matahari terik agar tidak terjadi oksidasi enzimatis dini di tangan pemetik ataupun saat pengumpulan dan pengangkutan pucuk daun teh segar. Jika pucuk daun teh segar ini terkena sinar matahari terik yang lama, maka kuncup yang menggulung akan perlahan terbuka (flaky open) dan tidak mulus, sehingga akan mengurangi kandungan antioksidan di dalamnya. Oleh karena itu, setelah dipetik, pucuk daun teh muda segar ini harus sesegera mungkin sampai di pabrik. Teh putih di Indonesia pertama kali ditanam dan dikembangkan di daerah Gambung, Bandung Selatan, Jawa Barat oleh seorang berkebangsaan Belanda bernama R. E. Kerkhoven pada tahun 1878, dan kini menjadi lokasi dari Pusat Penelitian Teh dan Kina. Teh putih ini diproduksi menjadi teh unggulan yang diberi nama Excellent Gamboeng White Tea, Premium Tea of Indonesia, oleh Pusat Penelitian Teh dan Kina, Bandung. Teh putih Gambung memiliki kandungan antioksidan yang sangat tinggi, karena berasal dari tanaman klon 38 unggul teh varietas Assamica seri GMB 1-11, yaitu hasil dari persilangan klonklon teh yang memiliki kandungan antioksidan yang sangat tinggi, sehingga dapat menghasilkan superior tea clones. Kandungan antioksidan di dalam teh putih dipengaruhi beberapa faktor antara lain, jenis tanaman teh (varietas atau klon) yang menghasilkan pucuk daun teh yang segar, cara penanganan pucuk daun teh tersebut, dan cara pengolahan, hingga cara pengemasannya. Berbeda dengan teh yang berasal dari negeri Cina yang banyak menanam teh varietas Sinensis, sebagian besar tanaman teh di Indonesia berasal dari varietas Assamica. Perbedaan kedua varietas tersebut antara lain: Tabel 2.4 Perbedaan Teh Varietas Sinensis dan Varietas Assamica (Hilal dan Engelhardt, 2007) Varietas Sinensis Paling banyak ditemukan di Cina Varietas Assamica Sekitar 95% dari tanaman teh di Indonesia Antioksidan (katekin) lebih rendah: 6,2 Antioksidan (katekin) lebih tinggi: 11,1 – 14,3% – 26,5% Aroma lebih kuat Aroma tidak terlalu kuat Rasa tidak terlalu kuat Rasa lebih kuat Gambar 2.15 Teh Putih (Yusi, 2015) 39 Gambar 2.16 Seduhan Teh Putih (Anonim (c), 2014) Proses produksi teh putih dimulai dengan daun teh yang masih sangat muda, segera dipetik untuk menghindari terjadinya oksidasi, kemudian diuapkan dan dikeringkan dengan segera. Proses ini menghasilkan seduhan teh yang terasa ringan dan sangat spesial, sehingga teh putih ini sangat disukai oleh masyarakat di Eropa (Almajano et al., 2008). Oleh karena teh putih tidak melalui proses fermentasi dan oksidasi, maka teh putih mempunyai kandungan polifenol yang tinggi dibandingkan dengan jenis teh lainnya. Polifenol utama pada teh putih terutama berasal dari derivat katekin, yang merupakan antioksidan poten yang bermanfaat bagi kesehatan. Sifat antioksidan pada teh putih dapat mencegah radikal bebas dan dapat menginhibisi stres oksidatif dan inflamasi, dimana stres oksidatif dan inflamasi berkaitan dengan terjadinya bermacam-macam penyakit, seperti obesitas, dislipidemia, diabetes, kardiovaskular, neurodegeneratif, dan kanker (Dias et al., 2013). 40 2.10.1 Manfaat Teh Putih Beberapa manfaat teh putih, yaitu sebagai proteksi terhadap penyakit kardiovaskular, kanker, diabetes melitus, obesitas, sistem saraf pusat, dan penyakit infeksi. Proteksi terhadap penyakit kardiovaskular didapat dari sifat teh putih sebagai antitrombogenik, aktivitas hipotensif, anti inflamasi, aktivitas hipokolesterolemia, aktivitas lipolitik, dan anti angiogenik (Dias et al., 2013). Tabel 2.5 Efek Protektif Potensial dari Teh Putih (Dias et al., 2013) Cardiovascular diseases Antithrombogenic activity (Dias et al., 2013) Hypotensive activity (Green DJ et al., 2011) Antiinflammatory activity (Stang V et al., 2006) Antioxidant activity (Cheng To et al., 2000) Cancer Antimutagenic activity (Battacharya U et al., 2011) Anticarcinogenic activity (Carvalho M et al., 2010) Antiinflammatory activity (Deka A et al., 2011) DNA damage reduction (Sharangi A, 2009) Antioxidant activity (Han MK, 2003) Antiangiogenic activity (Sharangi A, 2009) Diabetes mellitus Anti-diabetic activity (Albofathi AA et al., 2012) Obesity CNS Stimulation of hepatic lipid metabolism (Murase T et al., 2002) Inhibition of lipase (Chantre P et al., 2002) Anti-stress activity (Kimura K et al., 2007) Stimulant activity (Liu K et al., 2011) Anti-fungal activity (Hirasawa et al., 2004) Insulin Thermogenic resistance activity reduction (Dullo A et (Islam M, al., 2000) 2011) Antioxidant Modulation activity (Song of appetite EK et al., (Liao S, 2003) 2001) Hypocholesterolemic activity (Maron DJ et al., 2003) Antidepressant activity (Zhu WL et al., 2011) Antioxidant activity (Lopez V et al., 2011) Anti-viral activity (Weber JM et al., 2003) Hypoglycemic activity (Mackenzie T et al., 2007) Lipolytic and antiadipogenic activity (Sohle J et al., 2009) Hypolipidemic activity (Huang et al., 2012) Microorganism induced diseases Anti-microbial activity (Wang X et al., 2010) 41 2.10.2 Komposisi Kimia Teh Putih Komposisi utama yang terkandung di dalam teh putih meliputi, protein, polisakarida, polifenol, mineral, trace element, asam amino organik, lignan, dan metilxantin, yaitu kafein, teofilin, dan teobromin (Seeram et al., 2006; Moderno et al., 2009). Polifenol pada teh putih yang merupakan derivat utama dari katekin ialah epicatechin (EC), epigallocatechin (EGC), epicatechin-3-gallate (ECG), dan epigallocatechin-3-gallate (EGCG). 2.11 Teh Putih terhadap Dislipidemia Diet tinggi lemak dapat menyebabkan kelebihan trigliserida di dalam tubuh yang akan diakumulasi oleh adiposit dan jaringan adiposa. Hipertrofi adiposit dan akumulasi jaringan adiposa membuat adiposit dan jaringan adiposa dalam keadaan patogenik atau disebut dengan Adiposapathy (Bays et al., 2013). Keadaan adiposapathy ini menstimulasi terjadinya pelepasan sitokin, yaitu Tumor Necrosis Factor-alpha (TNF-α). Kadar TNF-α yang meningkat dapat menyebabkan terjadinya resistensi insulin. Resistensi insulin pada adiposit dapat menurunkan aktivitas enzim lipoprotein lipase (LPL), sehingga clearance VLDL menurun, akibatnya kadar VLDL di dalam darah meningkat. Selain itu, resistensi insulin juga dapat meningkatkan hidrolisis trigliserida, sehingga terjadi peningkatan FFA. FFA akan masuk ke dalam sirkulasi darah, lalu ke hati. Peningkatan FFA di hati akan merangsang sekresi dari VLDL, sehingga terjadi hipertrigliseridemia. 42 Pemberian ekstrak teh putih yang mengandung EGCG dapat menurunkan TNF-α, sehingga oksidasi asam lemak pada hati meningkat, menghambat sintesis kolesterol oleh sel hati, serta meningkatkan sensitivitas insulin. Sensitivitas insulin yang meningkat, akan meningkatkan pula aktivitas enzim LPL dan menurunkan FFA, serta menghambat aktivitas CETP (Kersshaw dan Flier, 2004). Gambar 2.17 CETP (Eckardstein, 2010) CETP adalah protein plasma yang memediasi pertukaran cholesteryl ester dari HDL ditukar dengan molekul trigliserida dari LDL, VLDL, maupun kilomikron, sehingga VLDL kaya kolesterol, sedangkan HDL menjadi kaya trigliserida atau dikenal sebagai lipoprotein kaya trigliserida (TGrL). Apo A-1 memisahkan diri dari HDL kaya trigliserida. Apo A-1 bebas ini dibersihkan dari plasma melalui ginjal, sehingga mengurangi kemampuan HDL untuk reverse cholesterol transport. Akibatnya, kadar HDL dalam darah menurun. Sedangkan pada LDL kaya trigliserida, mengalami lipolisis menjadi small dense LDL 43 (Shulman, 2000). EGCG menghambat CETP, sehingga terjadi peningkatan kadar HDL kolesterol dan penurunan kadar LDL kolesterol (Liu Di et al., 2009). Epigallocatechin 3-gallate (EGCG) TNF-α Oksidasi asam lemak FFA Sintesis kolesterol Sensitivitas insulin Kolesterol Lipoprotein Lipase FFA Trigliserida Clearing VLDL Sintesis VLDL hati Trigliserida CETP HDL Gambar 2.18 EGCG dan Profil Lipid (Dahlia, 2014) LDL 44 2.12 Hewan Percobaan 2.12.1 Tikus Putih Jantan Galur Wistar sebagai Hewan Coba Percobaan ini menggunakan tikus putih sebagai binatang percobaan, karena tikus putih lebih dapat dikendalikan, reproduksinya cepat, efek metabolismenya cepat, mempunyai reaksi biokimia/genetik yang dekat dengan manusia, dan karena tikus putih lebih besar dari mencit, memudahkan dalam hal pengambilan darah. Tikus putih sebagai hewan coba juga relatif resisten terhadap infeksi dan sangat cerdas. Tikus putih tidak begitu bersifat fotofobik seperti halnya mencit dan kecenderungan untuk berkumpul dengan sesamanya tidak begitu besar. Aktivitasnya tidak terganggu oleh adanya manusia di sekitarnya. Dalam percobaan ini dipilih tikus putih jantan sebagai binatang percobaan, dengan alasan dapat memberikan hasil penelitian yang lebih stabil karena tidak dipengaruhi oleh adanya siklus menstruasi dan kehamilan seperti pada tikus putih betina. Tikus putih jantan juga mempunyai kecepatan metabolisme obat yang lebih cepat dan kondisi biologis tubuh yang lebih stabil dibandingkan dengan tikus betina (Ngatijan, 2006). Ada dua sifat yang membedakan tikus putih dari hewan percobaan lainnya, yaitu tikus putih tidak dapat muntah karena struktur anatomi yang tidak lazim di tempat esofagus bermuara ke dalam lambung dan tikus putih tidak mempunyai kandung empedu (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988; Krinke, 2000). Tikus laboratorium jantan jarang berkelahi seperti mencit jantan. Tikus putih dapat tinggal sendirian di dalam kandang, asalkan dapat melihat dan mendengar tikus lain. Jika dipegang dengan cara yang benar, tikus-tikus ini bisa tenang dan mudah 45 ditangani di laboratorium. Tikus putih juga lebih besar daripada mencit, sehingga untuk percobaan laboratorium, tikus putih lebih menguntungkan daripada mencit. Usia tikus 2,5 bulan memiliki persamaan dengan manusia usia dewasa muda dan belum mengalami proses penuaan instrinsik (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988). Klasifikasi tikus putih dalam sistematika hewan percobaan ialah: Filum : Chordata Subfilum : Vertebrata Classis : Mammalia Subclassis : Placentalia Ordo : Rodentia Familia : Muridae Genus : Rattus Species : Rattus norvegicus Gambar 2.19 Tikus Wistar (Rattus norvegicus) (Dahlia, 2014) Terdapat beberapa galur tikus yang mempunyai kekhususan tertentu, antara lain galur Wistar Albino dengan kepala besar, telinga panjang, dan ekor pendek; galur Sprague Dawley yang albino putih berkepala kecil dan berekor panjang; dan galur Long Evans yang mempunyai badan berwarna putih, 46 sedangkan kepala dan ekstremitasnya berwarna hitam. Galur Sprague Dawley dan Long Evans berasal dari pengembangan galur Wistar (Hubrecht dan Kirkwood, 2010). Panjang badan tikus diukur dari ujung hidung sampai pertengahan anus, sedangkan panjang ekor diukur dari pertengahan anus sampai dengan ujung ekor. Tikus Wistar memiliki panjang ekor yang selalu lebih pendek daripada panjang badannya, sedangkan tikus Sprague Dawley memiliki panjang ekor yang sama atau lebih panjang daripada badannya (Krinke, 2000). Tabel 2.6 Data Biologis Tikus Wistar (Krinke, 2000; Hubrecht dan Kirkwood, 2010) Berat badan lahir 4,5 – 6 gram Berat badan dewasa Jantan 250 – 300 gram Betina 180 – 220 gram Usia maksimum 2 – 4 tahun Usia reproduksi 8 – 10 minggu Konsumsi makanan 15 – 30 g/hari Konsumsi air minum 20 – 45 g/hari Defekasi 9 – 13 g/hari Produksi urin 10 – 15 ml/hari Untuk tikus di laboratorium, makanan dan air minum sebaiknya diberikan secara ad libitum, dan pencahayaan ruangan diatur sebagai 12 jam terang dan 12 jam gelap. Tikus, terutama tikus albino, sangat sensitif terhadap cahaya, maka intensitas cahaya laboratorium sebaiknya tidak melebihi 50 lux (Hubrecht dan Kirkwood, 2010). Kondisi optimal untuk tikus di laboratorium (Krinke, 2000; Hubrecht dan Kirkwood, 2010): 47 a. Kandang tikus harus cukup kuat dan tidak mudah rusak, mudah dibersihkan (satu kali seminggu), mudah dipasang kembali, hewan tidak mudah lepas, harus tahan gigitan, dan hewan tampak jelas dari luar. Alas tempat tidur harus mudah menyerap air, pada umumnya digunakan serbuk gergaji atau sekam padi. b. Menciptakan suasana lingkungan yang stabil dan sesuai dengan keperluan fisiologis tikus (suhu, kelembaban, dan kecepatan pertukaran udara yang ekstrim harus dihindari). Suhu ruangan yang baik berkisar antara 20–220C, sedangkan kelembaban udara sekitar 50%. c. Untuk tikus dengan berat badan 200 – 300 gram, luas lantai tiap ekor tikus ialah 600 cm2 dan dengan tinggi 20 cm. Jumlah maksimal tikus per kandang ialah 3 ekor tikus. d. Transportasi jarak jauh sebaiknya dihindari karena dapat menimbulkan stres pada tikus. Jika kondisi di atas tidak terpenuhi, maka tikus menjadi sakit. Beberapa indikator yang dapat digunakan untuk menilai apakah tikus dalam keadaan sehat atau sakit (Hubrecht dan Kirkwood, 2010): Penampilan umum Pada tikus yang sakit dapat terlihat piloereksi, bulu rontok, kulit kendur, berat badan menurun, kelopak mata tertutup. 48 Feses Feses lembek dan tikus yang diare menunjukkan gangguan pada saluran pencernaan. Tingkah laku Tikus yang sakit akan menjadi lebih agresif pada awalnya, namun lama kelamaan akan menjadi pasif. Postur Umumnya tikus yang sakit akan sering tiduran di lantai kandang, dengan posisi kepala menyentuh abdomen. Pergerakan Pergerakan pada tikus yang sakit akan sangat berkurang. Suara Tikus yang sakit akan lebih banyak mencicit ketika dipegang. Fisiologi Dapat terjadi bersin, hipotermia, serta penampilan yang pucat.