73 IMPLIKASI PRINSIP BIMBINGAN DAN KONSELING TERHADAP KOMPETENSI MULTIKULTURAL KONSELOR Arina Mufrihah (Dosen Prodi Bimbingan dan Konseling STKIP PGRI Sumenep) Email: [email protected] Abstrak Ada dua belas prinsip program bimbingan dan konseling (awalnya hanya ada lima) minimal 2 dari 12 item tersebut menjadi prinsip penting yang sangat erat hubungannya dengan wawasan multikultural dalam menjalankan layanan bimbingan di sekolah. Dalam kurikiulum 2013 (K13), layanan konseling multikultural atau panduan untuk konselor tidak menjelaskan secara ekplisit. Namun kedua prinsip tersebut membuat para konselor memahami akan perbedaan diantara siswa. Dua prinsip tersebut juga membantu para konselor untuk memberikan layanan secara objektif dan layak yang disesuaikan dengan budaya Indonesia. Berbagai literature telah banyak mengupas tentang pentingnya kesadaran dan kemampuan tentang bagaimana cara menangani masalah “Kompetensi Multikultural” yang seharusnya dikuasai oleh para konselor karena terdapat berbagai macam perbadaan di sekolah seperti jenis kelamin, umur, latar belakang kehiduapan budaya sosial, maupun kepercayaan diri sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya. Dengan memahami kompetensi multukultural, para konselor bisa mengadakan layanan konseling yang alami dan sesuai. Kata Kunci: Prinsip Bimbingan dan Konseling, Multikultura, Kompetensi Abstract There are twelve principles in Guidance and Counseling program (Initially there were only five); at least 2 out of the 12 items become important principles which are closely related to multicultural insight in organizing counseling services at schools. In Curriculum 2013 (K13), multicultural counseling service or guide for counselors is not explictely explained. However, the two principles make counselors aware of the differences among students. They also help councelors to give services objectively and appropriatly suited with Indonesian cultural practices. Various literatures have proposed awareness and ability of how to deal with “multicultural competencies”, which should be mastered by counselors since there are various kinds of differences at school such as gender, age, background of socio-cultural life, as well as self-confidence in accordance with the teaching of the religious subjects. With adequate multicultural competence, counselors can carry out adaptive cultural counseling services. Key Words: Guidance and counseling principles, multicultural, Competencies A. Pendahuluan Sekolah tempat konselor bekerja merupakan lahan subur bagi terselenggaranya layanan bimbingan dan konseling. Di sana dapat ditemukan banyak siswa yang memiliki karakteristik dan kebutuhan yang berbeda, bahkan banyaknya jumlah siswa belum tentu dapat menggambarkan berbagai keragaman siswa baik dari diri pribadi maupun lingkungan sosial-budaya yang melingkupinya, kecuali jika konselor dapat mengenal siswanya; salah satunya dengan kesadaran dan kepekaan terhadap kondisi siswa sebagai makhluk individu sekaligus sosial yang akhirnya dapat membangun kompetensi multikultural konselor. Pembahasan layanan konseling multikultural tidak hanya pada keberagaman siswa, tetapi juga perbedaan budaya yang disandang antara konselor dengan siswanya.Perbedaan antar siswa menuntut konselor agar memberikan layanan sesuai dengan perbedaan itu.Namun tidak berarti konselor hanya memilih Volume 7, Nomor 1, Desember 2014 74 IMPLIKASI PRINSIP BIMBINGAN DAN KONSELING siswa tertentu yang mendapatkan layanan BK, misalkan konselor hanya memberikan layanan pada siswa laki-laki, pada siswa yang memiliki masalah, siswa yang berprestasi, dan lainnya. Sedangkan perbedaan budaya, nilai-nilai, dan keyakinan antara konselor dengan siswa sebagai konseli mengharuskan konselor memiliki kebijaksanaan dalam layanan BK sehingga konselor tidak memaksakan nilai budaya dan agamanya pada konseli.Pada intinya, konselor diperkenankan memiliki wawasan multikultural untuk dapat memiliki kompetensi multikultiral yang bisa didapatkan dari mengembangkan bahan bacaan dan atau melakukan praktik konseling berbasis nilainilai multikultural yang berlaku dalam kehidupan sosial-budaya masyarakat. Konselor dan konseli membawa banyak karakteristik personal dalam kontak mereka satu sama lain. Dan selama 60 tahun terakhir, ada interes yang semakin besar pada konseling yang sensitif-diversity (Jones, 2005:429). Perbedaan-perbedaan yang ada tentunya akan memengaruhi cara mempersepsi suatu masalah sehingga akan menentukan nasib dari hubungan konseling. Di samping itu, adanya perbedaan yang dapat bersumber dari budaya, nilai-nilai, keyakinan, ajaran agama, jenis kelamin dan seks, pengalaman, orang-orang terdekat, usia, dan identitas kelompok mengharuskan konselor memiliki kompetensi multikultural. Maka dalam tulisan ini, penulis mencoba membangun sebuah pemahaman bahwa kompetensi multikultural konselor dapat dibangun sesuai prinsip-prinsip bimbingan dan konseling, yang tentunya juga berangkat dari pemahaman akan diferensiasi peserta didik dan pemahaman terhadap kompetensi multikultural itu sendiri. Dari pada itu konselor seyogyanya memiliki kesadaran untuk membentuk kompetensi multikulturalnya agar maksimal dalam menjalankan tugas-tugasnya di sekolah yang syarat akan kekayaan karakteristik para siswa sebagai gambaran dari masyarakat multikultural. Jurnal Pelopor Pendidikan B. Prinsip Bimbingan Dan Konseling Prinsip bimbingan dan konseling ini tercantum dalam lampiran Permendikbud No. 111 Tahun 2014 tentang Bimbingan dan Konseling Pada Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah. Terdapat 12 prinsip BK yang hendaknya dipegang teguh oleh guru BK/ konselor di satuan pendidikan dasar dan menengah, yaitu: 1) Bimbingan dan konseling diperuntukkan bagi semua peserta didik/ konseli dan tidak diskriminatif. Prinsip ini berarti bahwa bimbingan diberikan pada seluruh peserta didik/ konseli, baik yang tidak memiliki masalah maupun yang memiliki masalah; baik pria maupun wanita; baik anak-anak, remaja, maupun dewasa tanpa ada diskriminasi. 2) Bimbingan dan konseling sebagai proses individuasi. Setiap peserta didik bersifat unik dan dinamis, jadi melalui bimbingan peserta didik dibantu untuk menjadi didirinya sendiri secara utuh. 3) Bimbingan dan konseling menekankan nilai-nilai yang positif. Bimbingan dan konseling merupakan upaya memberikan bantuan pada konseli agar membangun pandangan serta mengembangkan nilai-nilai yang positif yang ada pada diri konseli dan lingkungannya. 4) Bimbingan dan konseling merupakan tanggung jawab bersama. Artinya, bimbingan dan konseling bukan hanya tanggung jawab konselor atau guru BK, akan tetapi juga menjadi tanggung jawab guru-guru dan pimpinan satuan pendidikan sesuai tugas, kewenangan, dan peran masing-masing personil sekolah. 5) Pengambilan keputusan merupakan hal yang esensial dalam bimbingan dan konseling. Bimbingan dan konseling diarahkan untuk membantu konseli agar dapat melakukan pilihan dan pengambilan keputusan serta mereali- Arina Mufrihah sasikan keputusannya dengan penuh tanggung jawab. 6) Bimbingan dan konseling berlangsung dalam berbagai setting kehidupan, tidak hanya berlangsung pada satuan pendidikan, tetapi juga di lingkungan keluarga, perusahaan, lembaga pemerintah/ swasta, dan masyarakat pada umumnya. 7) Bimbingan dan konseling merupakan bagian integral dalam pendidikan karena tidak terlepas dari upaya mewujudkan tujuan pendidikan nasional. 8) Bimbingan dan konseling dilaksanakan dalam bingkai budaya Indonesia. Interkasi antara guru BK dengan peserta didik haris selaras dan serasi dengan nilai-nilai kebudayaan di mana layanan tersebut dilaksanakan. 9) Bimbingan dan konseling bersifat fleksibel dan adaptif serta berkelanjutan dengan mempertimbangkan situasi dan kondisi serta daya dukung sarana dan prasarana yang tersedia. 10) Bimbingan dan konseling dilaksanakan oleh tenaga profesional dan kompeten, yaitu oleh guru BK/ konselor yang berkualifikasi akademik Sarjana Pendidikan (S-1) dalam bidang Bimbingan dan Konseling dan telah lulus Pendidikan Profesi Konselor dari Lembaga Pendidikan Tinggi Kependidikan yang terakreditasi. 11) Proram bimbingan dan konseling disusun berdasarkan hasil analisis kebutuhan peserta didik/ konseli dalam berbagai aspek perkembangan. 12) Program bimbingan dan konseling dievaluasi untuk mengetahui keberhasilan layanan dan pengembangan program lebih lanjut. Prinsip nomor 1, 2, 4, 5, dan 6 merupakan prinsip yang tertera dalam Depdiknas (2008:203). Sedangkan 7 prinsip lainnya merupakan prinsip baru yang tercantum dalam program BK terkini yang disebut dengan peminatan siswa. Dan yang ingin penulis angkat sebagai prinsip dalam membentuk kompetensi multikultural konselor ialah prinsip nomor 1 dan 8. 1. Analisa Nilai-nilai Multikultural dalam Prinsip Nomor 1 Prinsip nomor 1 pada awalnya berbunyi “bimbingan dan konseling diperuntukkan bagi semua konseli.Artinya konselor berkewajiban memberikan layanan bagi seluruh siswa yang ada di sekolah, baik siswa itu memiliki masalah ataupun tidak memiliki masalah”. Dari redaksi tersebut dapat dipahami keseluruhan siswa yang dimaksudkan berdasarkan pengertian “siswa yang memiliki maupun tidak memiliki masalah”. Prinsip ini sesuai dengan komponen pelayanan dasar bimbingan dan konseling.Jadi pengertian keseluruhan pada awalnya tidak berpijak pada nilai keseluruhan yang berkonotasi pada multikultural. Kemudian pada saat ini arahnya berganti pada keseluruhan yang berarti multikultural dengan redaksi: ”bimbingan dan konseling diperuntukkan bagi semua peserta didik/ konseli dan tidak diskriminatif. Prinsip ini berarti bahwa bimbingan diberikan pada seluruh peserta didik/ konseli, baik yang tidak memiliki masalah maupun yang memiliki masalah; baik pria maupun wanita; baik anak-anak, remaja, maupun dewasa tanpa ada diskriminasi”. Dalam redaksi tersebut tidak berhenti pada “memiliki maupun tidak memiliki masalah”, namun sudah muncul kata “tidak diskriminatif” dan kata “keseluruhan” dipakai untuk menggambarkan sasaran yang lebih luas dan penekanannya pada keberagaman sasaran layanan BK di sekolah, dengan perincian “siswa yang memiliki masalah maupun yang tidak memiliki masalah”, “siswa pria maupun wanita”, “baik anak-anak, remaja, maupun pria”, dan sekali lagi ditekankan dengan “tanpa ada diskriminasi”. Perincian keberagaman sasaran layanan BK yang disebutkan dalam prinsip nomor 1 tersebut Volume 7, Nomor 1, Desember 2014 75 76 IMPLIKASI PRINSIP BIMBINGAN DAN KONSELING sejalan dengan kajian multikultural.Dan salah satu alasan dibahasnya kajian multikultural ialah agar masayarakat, termasuk konselor yang bekerja di sekolah tidak melakukan diskriminasi baik disadari maupun tidak disadari. Untuk itu, penegasan dalam prinsip multikultural yang terkandung dalam prinsip BK butir pertama adalah agar konselor dapat menyadari bahwa para siswa bisa saja menjadi korban diskriminasi dari layanan konseling jika konselornya tidak sadar/ peka/ sensitif terhadap keragaman yang kerap dijadikan masalah. 2. Analisa Nilai-nilai Multikultural dalam Prinsip Nomor 8 Kemudian pada prinsip nomor 8 tersusun kalimat “bimbingan dan konseling dilaksanakan dalam bingkai budaya Indonesia. Interkasi antara guru BK dengan peserta didik harus selaras dan serasi dengan nilai-nilai kebudayaan di mana layanan tersebut dilaksanakan”. Jadi paradigma multikultural yang harus dipahami dan digunakan oleh konselor ialah pandangan keragaman budaya di Indonesia, bukan keragaman budaya yang ada pada negara lainnya. Berbicara budaya Indonesia, berarti terdapat banyak ragam budaya, dengan ragam budaya itu berarti konselor perlu mengenal budaya-budaya itu, untuk berusaha memahami ragam budaya yang ada berarti konselor perlu selektif terutama terhadap budaya di tempat ia bekerja atau tempat layanan konseling itu diselenggarakan, sehingga konselor dapat menerapkan nilai-nilai multikultural yang adaptif dan efektif dalam setiap pertemuan konseling. Prinsip nomor 8 berbicara mengenai konteks hubungan antara konselor dengan siswa sebagai konseli dalam lingkup budaya tempat keduanya melakukan kegiatan layanan BK. Itulah mengapa terdapat redaksi “ interaksi antara konselor-konseli harus selaras dan serasi dengan nilai-nilai kebudayaan di mana Jurnal Pelopor Pendidikan layanan diselenggarakan”.Implikasinya, penerapan nilai budaya dikatakan adaptif bukan jika konselor dan konseli sama-sama dapat mempertahankan praktik budayanya masing-masing, namun bagaimana agar praktik budaya nenek moyangnya dapat diendapkan sehingga selaras dengan budaya yang berlaku, katakanlah di sekolah tempat layanan konseling itu diadakan. Selaras bukan berarti merubah keseluruhan keyakinan nilai-nilai budaya yang selama ini diyakini agar dikalahkan demi nilai budaya yang berlaku di sekolah, namun lebih kepada bagaimana keduanya memahami dan beradapatsi dengan cara tidak memaksakan nilai budaya yang dibawanya kemudian berusaha berdamai dengan budaya yang berlaku di sekolah. Namun di sini yang lebih cenderung memiliki tanggung jawab moral dan profesional dalam membangun layanan konseling yang serasi dengan budaya sekolah adalah pada diri konselor. Jika konselor cukup peka terhadap nilai serta keyakinan yang dibawanya dapat memengaruhi arah konseling dan cara konseli mengambil keputusan, maka konselor akan lebih berhati-hati dalam merancang tahapan konseling, agar tidak sampai terjadi pemaksaan yang tidak disadari dari konselor terhadap konselinya. Seperti yang dikatakan Corey (2007: 376) bahwa konselor sebenarnya tidak dapat begitu saja menyingkirkan nilai-nilai dan keyakinan-keyakinannya dalam hubungan dengan konselinya, kecuali jika konseor secara berkelanjutan melatih diri agar dapat menyelenggarakan layanan BK secara rutin dan mekanis. Selanjutnya Corey (2007: 378) menegaskan bahwa konselor yang secara etis peka adalah konselor yang sadar atas nilai-nilainya sendiri dan yang mendorong pada konselinya untuk mengembangkan nilainilainya sendiri. Arina Mufrihah C. Diferensiasi Peserta Didik Kalimat yang selalu digunakan untuk menekankan pentingnya mengenal perbedaan individu ialah “setiap individu itu unik”. Dengan pengetahuan bahwa setiap individu itu berbeda dalam berbagai aspek perkembangannya, maka konselor akan mampu menyediakan layanan BK yang sesuai dengan kebutuhan peserta didik/ konseli. Merupakan sebuah tantangan bagi konselor agar dirinya dapat mengenal siapa peserta didik yang akan ia layani, namun tidak semua konselor mau menerima tantangan itu dan menyamaratakan model layanan konseling pada setiap peserta didik yang dilayaninya. Akibatnya, kebutuhan konseli tidak dapat dicapai, konseli tidak dapat mandiri dalam kehidupannya, dan potensi konseli tidak berjalan maksimal, itu semua akibat dari layanan konseling yang tidak efektif.Jika demikian maka layanan konseling dinilai tidak dapat menjawab kebutuhankebutuhan konseli.Kenyataan ini merupakan alasan mengapa konselor perlu mengenal perbedan-perbedaan pada diri peserta didiknya. Hartinah (2010: 18-20) mengatakan bahwa perbedaan pada diri peserta didik idealnya dihadapi dengan pendekatan idividual, namun bukan berarti hanya untuk mengembangkan individu sebagai individu, tetapi juga mengembangkan individu dalam kehidupan masyarakat yang bervariasi. Kondisi yang perlu dipertimbangkan sebelum menentukan layanan konseling bagi siswa ialah pertumbuhan & perkembangan anak dan kondisi pribadi siswa, yang meliputi: fungsi kognitif, fungsi konatif dinamik, fungsi afeksi, fungsi sensori-motorik, dan fungi biologis, fungsi sosial dan moral, kondisi mental, dan kondisi lingkungan siswa. Perbedaan serta keragaman antar peserta didik menjadi pertimbangan dalam menentukan layanan BK. Dan untuk memahami perbedaan serta keragaman tersebut konselor perlu memetakan bagian-bagian yang terdapat dalam perbedaan dan keragaman yang tidak dapat dihindarkan dari kegiatan layanan BK. Di mana keduanya akan mengantarkan konselor pada konsep awal multikultural. Jones (2005: 430) menyebutkan 10 bagian keragaman dalam hubungan konseling. Dari kotak tersebut dapat dipahami bahwa perbedaan dan keragaman yang menjadi kajian multikultural ialah budaya asal, ras, kelas sosial, seks biologis, identitas peran gender, status pernikahan, orientasi seksual, disabilitas fisik, usia, serta agama dan falsafah hidup. Ke10 bagian keragaman di atas merupakan karakteristik kunci bagi konselor agar lebih peka terhadap isu-isu etik layanan konseling multikultural yang membutuhkan kompetensi multikultural dari diri konselor. D. Kompetensi Multikultural Konselor Kompetensi multikultural diartikan sebagai “approach the counseling process from the context of the personal culture of the client” (Sue, Arrendodo & McDavis, 1994; Sue & Sue 2007; Ahmed, dkk: 2011: 18). Dengan demikian dapat dipahami bahwa kompetensi multikultural merupakan kemampuan (personal dan profesional) konselor menggunakan pendekatan dalam proses konseling dengan konseli yang membawa kultur tersendiri. Artinya, konselor menyeleksi pendekatan yang ia gunakan dalam proses konseling dengan mempertimbangakan nilai-nilai dalam kultur bawaan konseli. Pertimbangan itu dilakukan agar pihak konselor maupun pihak konseli beradaptasi dan saling memahami selama proses konseling, walaupun kedua pihak membawa kultur asalnya masing-masing. Volume 7, Nomor 1, Desember 2014 77 78 IMPLIKASI PRINSIP BIMBINGAN DAN KONSELING McCoy’s (2005; Dodson, 2013: 24) berdasarkan observasinya menemukan bahwa multikulturalisme tidak cukup dibentuk melalui satu aspek saja, namun harus menjadi bagian dari seluruh aspek dari konseling sekolah dan dari obervasi tersebut juga dibuktikan bahwa konselor yang dapat mengatasi bias-bias kebudayaan akan dapat mengatasi problem konseli dan keluarganya juga dapat memberikan perubahan dalam prestasi siswa, terutama prestasi siswa dari kalangan minoritas. 1. Kompetensi Multikultural Konselor Secara Umum Association for Multicultural Counseling and Development (AMCD) mengeluarkan kompetensi multikultural bagi konselor, kompetensi tersebut ditulis oleh Arrdondo, dkk, (1996) meliputi 3 kompetensi: a. Counselor awareness of own cultural values and biases 1) Attitudes and Beliefs: konselor memiliki kesadaran dan sensitifitas akan warisan budaya yang dimiliki konselor merupakan hal yang esensial, konselor berhati-hati terhadap latar belakang budaya dan pengalaman memengaruhi sikap, nilai, dan bias yang berkaitan dengan proses konseling, dan konselor dapat memahami sumber dari ketidaknyamanan akan adanya perbedaan yang ada pada dirinya dengan para konseli dalam hal ras, etnik, dan budaya. 2) Knowledge: (1) konselor memiliki pengetahuan tentang ras dan kebudayaan asal (warisan) dan bagaimana hal tersebut secara personal dan profesional memengaruhi pemahamannya dalam proses konseling; (2) konselor memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang bagaimana penindasJurnal Pelopor Pendidikan an, rasisme, diskriminasi, dan stereotip memengaruhinya secara personal dan dalam pekerjaannya; dan (3) konselor mengetahui pengaruh dari social impact dengan pihak lainnya, termasuk dengan konseli. 3) Skills: konselor berusaha mengembangkan diri dengan pendidikan, berkonsultasi, dan mengikuti pelatihan agar dapat memperbaiki pemahaman dan keefektifan menghadapi konseli yang berbeda secara kultural, dan konselor secara terus menerus membangun pemahaman untuk memhami dirinya sebagai bagian dari ras dan kultur tertentu serta berusaha membangun identitas konseling yang tidak rasisme. b. Counselor awareness of client’s worldview 1) Attitudes and Beliefs:konselor menyadari reaksi-reaksi emosi positif dan negatif dalam dirinya saat menghadapi konseli yang berasal dari kelompok ras dan etnik yang berbeda dan menyadari adanya stereotip dan dugaan yang mungkin muncul terhadap kelompok minoritas. 2) Knowledge: konselor memiliki pengetahuan dan informasi spesifik tentang fakta-fakta kelompok yang berhubungan dengannya, konselor memahami bagaimana ras, kultur, etnik yang memengaruhi keadaan personal, pilihan pekerjaan, potensi gangguan mental konseli, dan konselor memahami juga memiliki pengetahuan tentang sosiopolitik yang berpengaruh Arina Mufrihah terhadap kehidupan ras dan etnik minoritas. 3) Skills:(1) konselor harus membiasakan diri dengan penelitian dan temuan-temuan terbaru tentang kesehatan dan gangguan mental yang memengaruhi berbagai kelompok ras dan etnik; dan (2) konselor aktif membawa diri mengenal individu-individu dari kelompok minoritas di luar setting konseling. c. Culturally appropiate intervention strategies 1) Attitudes and Beliefs: konselor respek terhadap kepercayaan atau kepercayan dan nilai-nilai spritual konseli, konselor respek terhadap budaya lokal, dan tidak menggunakan hal-hal yang dapat menghambat proses konseling. 2) Knowledge: konselor mengetahui karakteristik umum dari konseling dan psikoterapi, konselor mengetahui pihakpihak yang dapat menghalangi konseli dari kalangan minoritas untuk mendapatkan layanan kesehatan mental, konselor memiliki pengetahuan potensi bias dalam instrumen asesmen, konselor memiliki pengetahuan tentang struktur keluarga-keturunan-nilaikeyakinan dari perspektif berbagai kultur, dan konselor harus menyadari hubungan antara perlakuan diskriminasi dalam komunitas sosial yang bisa mengancam psikologis kelompok selama mendapatkan layanan konseling. 3) Skills: (1) konselor mampu menggunakan berbagai respon vebal dan non-verbal; (2) konselor mampu mengatasi intervensi-intervensi dari konseli; (3) konselor bersedia berkonsultasi dengan pihakpihak yang memiliki power dalam praktik agama dan budaya, seperti dukun dan kyai; (4) konselor mampu mengembangan tanggung jawab selama berinteraksi dengan konseli, dan jika tidak mampu dapat melakukan referal; (5) konselor mengikuti pelatihan penggunaan asesmen dan instrumen tradisional; dan (6) konselor memberikan tanggung jawab pada konseli agar dapat memahami intervensi psikologi, pencapaian tujuan, dan orientasi konselor. 2. Kompetensi Multikultural Konselor Berdasarkan Prinsip Bimbingan dan Konseling Sebelumnya penulis telah menganalisa nilai-nilai multikultural yang terkandung dalam prinsip BK nomor 1 dan 8. Dari analisa tersebut penulis kemudian merumuskan kompetensi multikultural bagi konselor berdasarkan kedua prinsip tersebut sebagai berikut: a. Kesadaran terhadap keberagaman siswa 1) Konselor menyadari perbedaan yang melekat antara siswa perempuan dan laki-laki; anakanak, remaja, dan dewasa; siswa yang memiliki masalah dan tidak memiliki masalah 2) Perbedaan layanan terhadap masing-masing siswa bukan untuk melakukan diskriminasi, tetapi atas dasar kesadaran tentang relevansi layanan dengan kebutuhan khusus setiap siswa. Volume 7, Nomor 1, Desember 2014 79 80 IMPLIKASI PRINSIP BIMBINGAN DAN KONSELING 3) Konselor memiliki kesadaran bahwa perbedaan antara siswa mendapatkan pengaruh besar dari latar belakang kebudayaanya 4) Konselor menyadari pentingnya melakukan penelitian terhadap kondisi siswa yang berbedabeda untuk mengenal siswa sebagai produk budaya b. Pemahaman terhadap terminologi multikultural 1) Konselor memahami perbedaan istilah-istilah dalam kajian mmultikultural, seperti kultur, etnik, emic, etic, ras, kelompok minoritas/ mayoritas 2) Konselor memiliki pemahaman tentang konsep-konsep yang senada dengan multikultural, seperti lintas-budaya dan antar-budaya 3) Konselor memahami kenyatankenyataan budaya pembentuk pribadi konselinya yang harus selalu dihadapi dalam sesi konseling 4) Konselor memahami tujuan dari kajian multikultural dan mengapa perlu menjadi bagian dari aktifitas konseling c. Pengetahuan akan berbagai budaya yang memengaruhi siswa 1) Konselor memiliki pengetahuan tentang faktor-faktor pemicu timbulnya konflik kebudayaan antara siswa 2) Konselor memiliki pengetahuan dan informasi tentang berbagai praktik budaya di Indonesia yang melekat pada perilaku siswa di sekolah 3) Konselor memiliki pengetahuan tentang seberapa besar penghayatan siswa terhadap nilai dan keyakinan yang berasal dari budaya asalnya Jurnal Pelopor Pendidikan 4) Konselor memiliki pengetahuan tentang intervensi-intervensi dari kebudayaan lokal dapat mengontrol perilaku siswa 5) Konselor memiliki pengetahuan tentang berbagai budaya (praktik, adat, ritual, dll) sebelum menentukan jenis layanan/ pendekatan konseling terhadap siswa d. Kemampuan menyelenggara-kan layanan konseling yang adaptif budaya 1) Konselor mampu mengendapkan nilai dan keyakinannya, mendorong siswa untuk mengembangkan nilai dan keyakinannya ke arah yang positif dan adaptif, mempertemukan budayanya dengan bidaya sekolah, dan membimbing konseli agar mampu memahami dan beradaptasi dengan budaya sekolah 2) Konselor memiliki kemampuan menyelenggarakan layanan konseling yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat di mana layanan konseling di selelnggarakan 3) Konselor dapat fleksibel dengan layanan konselingnya, tidak memaksakana jenis dan pendekatan layanan konseling tertentu di semua tempat walaupun dinilai efektif di tempat tertentu 4) Konselor mampu menyaring nilai-nilai kebudayaan yang bertentangan di tempat-tempat tertentu atau bagi anggota kelompok tertentu agar aktifitas konseling mendapat dukungan dari anggota masyarakat. Arina Mufrihah 5) Konselor mampu mengalahkan ego untuk mengungkapkan pendapat dan keyakinan pribadi yang tidak dapat diterima di lingkungan sekolah maupun masyarakat selama menyelenggarakan layanan konseling 6) Konselor mampu mengombinasikan dan mengembangkan layanan konseling dengan nilai-nilai budaya yang berlaku secara universal maupun yang berlaku secara khusus di manapun layanan konseling diadakan. E. Konselor Dalam Konseling Multikultural Tentunya konselor akan selalu menghadapi seorang konseli yang berbeda secara kultural dengan dirinya, walaupun menganut agama yang sama, namun berasal dari latar belakang historis dan budaya yang berbeda juga membuat konselor dan konseli berada pada situasi konseling multikultural, begitu pula dengan perbedaan lainnya seperti usia, seks biologis, peran gender, status pernikahan, dan lainnya merupakan hal-hal esensial yang perlu disadari dalam konseling multikultural. Multikultural tidak berhenti pada keragaman atau perbedaan semata, namun lebih pada bagaimana konselor bersama konseli dapat mengenal, menerima, dan memahami perbedaan yang tak dapat ditanggalkan dalam layanan konseling. Jadi, terselenggaranya layanan konseling yang melibatkan seorang konselor dan seorang/ sejumlah konseli bukan hanya untuk menunjukkan adanya perbedaan dan keragaman, tapi lebih jauh dapat berdamai dengan kenyataan tersebut sehingga layanan konseling berjalan sesuai rencana; konselor tidak mengintervensi konseli berdasarkan nilai dan keyakinannya, dan konseli terus dapat mengembangkan nilai dan keyakinannya ke arah yang positif. Latipun (2008: 242) berpendapat bahwa aspek nilai dalam konseling me- ruapakan hal yang fundamental dan sehubungan dengan layanan konseling, maka konselor perlu memiliki kematangan dan kemantapan pada nilai-nilainya sendiri untuk diselaraskan dengan nilai-nilai para konselinya. 1. Konseling Multikultural Konseling pada umumnya merupakan hubungan dua orang, yang secara normal melibatkan seorang konselor dan seorang konseli.dan selama bertahun-tahun bahwa terciptanya empathetic terhadap konseli cukup membuat hubungan konseling yang efektif (Ivey, 1986; Dayaksini & Yuniardi, 2008: 175). Namun seiring dengan perubahan sistem kehidupan masyarakat, terutama berbagai perubahan dalam kehidupan sosial-budaya seperti nilai-nilai dan keyakinan-keyakinan yang mulai bergeser, bahkan memudar, perkawinan antar ras/ etnik/ suku/ budaya baik berasal dari bangsa yang sama maupun antar bangsa, perubahan kebijakan pendidikan, perubahan gaya kepemimpinan, dan lainnya juga berimplikasi bagi model dan pendekatan yang dipakai dalam layanan konseling. Jika berpijak pada lingkup multikultural, hubungan konseling tidaklah sederhana, sebab masing-masing konseli membawa suatu latar belakang historis dan budaya khusus yang memiliki implikasi kuat bagi hasil konseling.oleh karenanya pemahaman tentang konseling multikultural sangat diperlukan. Konseling multikultural menurut VonTress (1988) dalam Dayaksini & Yuniardi (2008: 175) merupakan “konseling di mana konselor dan konselinya berbeda secara kultural karena proses sosialisasi yang berbeda dalam budaya, subkultur, rasial, etnik, atau sosial-ekonomi”. Sementara Sue, dkk. (1982) menggambarkan konseling multikultural sebagai hubungan konseling di mana konselor dan konseli berbeda latar belakang budaya, nilai-nilai, dan gaya hidup. Di sini istilah Volume 7, Nomor 1, Desember 2014 81 82 IMPLIKASI PRINSIP BIMBINGAN DAN KONSELING multikultural cenderung lebih diminati karena sama sekali tidak menyiratkan adanya keunggulan satu kultur di atas kultur lainnya. Heims & Cook (1997; Sciarra, 2004: 144) merinci konsep kunci dalam konseling multikultural: Haims & Cook menyebutnya dengan konsep kunci karena tidak mungkin konselor dapat menyelenggarakan layanan konseling multikultural jika tidak dapat memahami istilah atau konsep yang terhimpun dalam konseling multikultural itu sendiri. Konselor akan menghadapi berbagai persoalan latar belakang budaya yang dibawa oleh konselinya. Apakah konseli seorang yang merasa tertindas karena ia minoritas, apakah konseli disepelekan karena ia bagian dari ras tertentu, apakah konseli berpikir untuk bertindak di luar kebiasaan lingkungan sosial-budayanya. Begitu pula dengan konselor, apakah ia merasa kesulitan saat melayani konseli yang berbeda secara kultural dengannya, apakah konselor selalu merasa tidak nyaman saat konseli mengungkapkan nilai yang berbeda dengan nilai yang diyakini konselor, dan apakah konselor akan menjadi netral nilai dalam suasana konseling multikultural. Pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat konselor jawab jika ia memahami konsep dari konseling multikultural dan mau mengambil sikap untuk terus melakukan pengembangan diri. Jurnal Pelopor Pendidikan Dengan demikian, konseling multikultural dapat dipahami sebagai “suatu bentuk konseling di mana konselor dengan konseli (perorangan/ kelompok) memiliki perbedaan-perbedaan nilai dan keyakinan yang berasal dari lingkungan historis, sosial, budaya, agama, perkembangan fisik (usia dan seks biologis), dan peran identitas-gender”. Jadi situasi yang terjadi dalam konseling multikultural meliputi: (a) konselor memiliki budaya dan konseli juga membawa budayanya sendiri; (b) mungkin saja konselor dan konseli berasal dari sistem budaya yang sama namun berbeda secara usia, peran dalam anggota masyarakat, status perkawinan, orientasi seksual, dan kelas sosialekonomi; dan (c) konselor dan konseli berasal dari lingkup budaya yang sama atau berbeda namun perlu menyesuaikan dirinya dengan praktik budaya yang berlaku dalam lingkungan tempat layanan konseling diselenggarakan. 1. Karakteristik Konselor Efektif Secara Multikultural Beberapa karakteristik konselor yang dapat menjadikan konseling multikultural menjadi efektif: a. Mengenali nilai-nilai dan asumsi yang mereka pegang sebagai dasar menilai perilaku manusia yang diinginkan atau tidak diinginkan b. Menyadari karakteristik umum dari konseling c. Dapat berbagi pandangan dengan konseli tanpa meniadakan hakhaknya d. Dapat menerapkan metode konseling yang eklektik e. Memiliki kesadaran dan kepekaan terhadap budaya yang dimiliki f. Menyadari nilai-nilai dan bias yang dapat memengaruhi konseli yang berbeda budaya dengan diri konselor Arina Mufrihah g. Merasa tidak terganggu dengan perbedaan dirinya dengan konseli yang berkaitan dengan ras dan kepercayaan h. Menguasai informasi dan pengetahuan spesifik tentang kelompok tertentu yang bekerja sama dengan diri konselor i. Mampu menghasilkan tanggapan verbal dan non-verbal yang luas j. Mampu mengeirimkan dan menerima pesan baik secara verbal maupun non-verbal secara wajar dan teliti. Pemahaman terhadap konseling multikultural dapat mengantarkan konselor untuk menyadari hal atau keterampilan apa saja yang perlu dimiliki atau mungkin perlu dikembangkan agar dapat memaksimalkan terselenggaranya konseling multikultural yang efektif sesuai dengan prinsip bimbingan dan konseling. Lebih lanjut karakteristik konselor yang efektif secara kultural juga akan sangat memengaruhi keterampilan konselor dalam praktik layanan konseling multikultural yang tidak dapat muncul begitu saja dalam diri konselor, namun perlu latihan dan evaluasi secara berkelanjutan dan berkesinambungan. 2. Pengembangan Diri Konselor Sejalan dengan kompetensi yang harus dimiliki konselor dalam berbagai bidang yang berkenaan dengan layanan konseling, maka untuk mengembangkan diri sebagai konselor multikultural juga diperlukan awareness, knowledge, and skills. a. Multicultural Awareness: konselor perlu memiliki kesadaran terhadap perilakunya yang berhubungan dengan konseli yang berbeda secara kultural dengan dirinya (McCoy, 2013: 8). Perilaku konselor akan memengaruhi persepsi konseli sekaligus arah dari konseling yang sedang berjalan. Jika konselor tidak menyadari bahwa karateristik perilakunya merupakan bentukan dari kebudayaan asalnya maka akan dapat memengaruhi perilaku konseli selama sesi konseling. b. Multicultural Knowledge: melaksanakan konseling multikultural berarti konselor menerima konsekuensi berupa pentingnya memiliki pengetahuan tentang konsep multikultural sehingga dapat menjadi bagian dalam layanan konseling. Pengetahuan yang harus dimiliki konselor kaitannya dengan konseling multikultural ialah kebudayaan, ras, etnik, etik dan emik, kelompok minoritas dan mayoritas, dan tentunya prinsipprinsip multikultralisme. Pengetahuan tersebut bisa didapatkan dari para konseli yang dilayani, melakukan studi/ kajian literatur, dan melakukan penelitian yang berhubungan dengan permasalahan multikultural para siswanya. c. Multicultural Skills: keterampilan multikultural dimaksudkan untuk membantu konseli mengembangkan teknik dan strategi yang tepat, yaitu efektif bagi siswa yang berbeda-beda secara kultural dengan siswa lain dan dengan konselor (McCoy, 2013: 12). Hal demikian dilakukan karena bisa saja teknik dan strategi tertentu baik bagi siswa tertentu, atau dinilai efektif oleh konselor, namun ternyata tidak demikian saat dilakukan oleh siswa lain dengan latar belakang budaya yang berbeda. Cara menentukan strategi dan teknik ini tergantung Volume 7, Nomor 1, Desember 2014 83 84 IMPLIKASI PRINSIP BIMBINGAN DAN KONSELING pada kepiawaian konselor sesuai dengan kadar pengetahuan dan tingkatan kesadaran konselor akan isu-isu multikulturalisme. Studi yang dilakukan oleh Dodson (2013: 21) salah satunya membuktikan bahwa konselor yang berasal dari minoritas atau yang memiliki latar belakang multirasial akan merasa dirinya lebih memiliki kemampuan multikultural dibandingkan dengan konselor yang tidak berasala dari kelompok minoritas atau tidak memiliki latar belakang multirasial. Hal itu dapat terjadi karena konselor dengan latar belakang multirasial secara “alami” mempelajari berbagai interaksi dalam lingkungan yang terdiri dari anggota masyarakat dari berbagai ras, sehingga tidak canggung lagi saat menerima konseli yang berbeda secara kultural dengan dirinya. Kemudian konselor dari masyarakat minoritas lebih peka dan memiliki kesadaran yang tinggi terhadap isu-isu dan fenomena diferensiasi kultural seperti penindasan dan diskriminasi yang pernah dialaminya. Kedua tipe konselor ini lebih mudah untuk membentuk kompetensi multikultural baik secara personal maupun profesional. Kenyataan tersebut tidak berarti bahwa konselor lainnya tidak dapat memiliki kompetensi multikultural. Melainkan harus lebih bersungguhsungguh, menumbuhkan rasa ingin tahu yang lebih besar lagi, belajar berinteraksi dengan anggota masyarakat yang plural yang kaya akan kebudayaan, terutama yang berbeda dari kultur konselor. Karena bagaimanapun juga seseorang akan sulit berempati pada sesuatu yang belum pernah dialami sebelumnya, atau belum pernah dilihat/ diketahui dari masa lalu.Intinya adalah persiapan, pelatihan, dan pelaksanaan yang berkelanjutan yang menyuluh dalam berbagai aspek konseling sekolah. Jurnal Pelopor Pendidikan F. Penutup Nilai-nilai multikutural dalam prinsip BK nomor 1 adalah penyelenggaraan layanan BK yang non-diskriminatif dan ditujukan untuk seluruh siswa, baik laki-laki maupun perempuan; anak-anak, remaja, dan dewasa; siswa yang memiliki masalah maupun yang tidak memiliki masalah. Perbedaan pendekatan dalam layanan adalah untuk memecahkan persoalan serta kesesuaiannya dengan kebutuhan siswa/konseli.Kemudian nilai-nilai multikultural dalam prinsip nomor 8 ialah layanan BK tidak bertentangan dengan budaya Indonesia, terlebih budaya di mana layanan BK itu diselenggarakan.Artinya layanan BK harus adaptif budaya. Kompetensi multikultural konselor ialah kemampuan konselor dalam menentukan pendekatan konseling yang efektif dansesuai dengan gambaran latar belakang budaya yang dibawa konseli.Dan berdasarkan kedua prinsi BK tadi penulis merumuskan kompetensi multikultural konselor berupa: (1) kesadaran tentang keragaman siswa; (2) pemahaman terhadap terminologi kultural; (3) pengetahuan akan berbagai budaya yang memengaruhi siswa; dan (4) Kemampuan menyelenggarakan layanan konseling yang adaptif budaya.[] DAFTAR PUSTAKA: Ahmed, Shamshad, dkk. 2011. In the Special Issue on Multicultural Social Justice Leadership Development, Journal for Action in Counseling and Psychology, Volume 3, Number 1 Spring 2011, hlm. 17-28. Arredondo, P. 1996. Operationalizational of the Multicultural Counseling Competencies. AMCD: Alexandria. Corey, Gerald. 2007. Praktek dan Teori Konseling dan Psikoterapi, terj. E. Koswara, Bandung: PT Refika Aditama. Dayaksini, Tri & Yuniardi, Salis. 2008. Psikologi Lintas Agama. Malang: UMM Press. Depdiknas. 2008. Penataan Pendidikan Profesional Konselor dan Layanan Arina Mufrihah Bimbingan dan Konseling Dalam Jalur Pendidikan Formal, t.t.p.: t.p. Dodson, Fallon K. 2013. Exploring the Multicultural Competence of School Counselors, e-Journal. http: // repository.wcsu.edu/jcps/vol5/iss2/2. Hartinah, Sitti. 2010. Pengembangan Peserta Didik. Bandung: Refika Aditama. Jones, Richard Nelson. 2005. Practical Counseling and Helping Skills, 5 th edition, London: Sage Publications. Ltd. Latipun. 2008. Psikologi Konseling, Malang: UMM Press. Willis, Sofyan S. 2013. Konseling Individual, Teori dan Praktek, Bandung: Alfabeta. Volume 7, Nomor 1, Desember 2014 85 86 IMPLIKASI PRINSIP BIMBINGAN DAN KONSELING Konselor hendaknya memiliki kesadaran untuk membentuk kompetensi multikulturalnya agar maksimal dalam menjalankan tugas-tugas di sekolah yang syarat akan kekayaan karakteristik para siswa Jurnal Pelopor Pendidikan