prosiding seminar nasional kebidanan dan call for paper.24.24

advertisement
HAMBATANDAN MANFAAT DALAM PROGRAM SKRINING INFEKSI
ENULAR SEKSUAL DENGAN VOLUNTARY COUNSELLING AND
TESTING BAGI NARAPIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN
WANITA KLAS II A KOTA MALANG
Rosyidah Alfitri1), Argyo Demartoto2), Eti Poncorini Pamungkasari3
1)
Diploma III Kebidanan Poltekkes RS dr Soepraoen Malang
2)
Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta
3)
Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta
[email protected]
ABSTRAK
Permasalahan IMS dan HIV ini merupakan permasalahan kesehatan masyarakat yang
sangat penting. Berdasarkan penelitian prevalensi HIV dan Sifilis pada narapidana
pria 1,1% dan 5,1% sedangkan pada narapidana perempuan lebih tinggi yaitu
mencapai 6% dan 8,5%. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengeksplor hambatan
dan manfaat dalam program skrining IMS dengan VCT bagi Narapidana di Lembaga
Pemasyarakatan Wanita Klas II A Kota Malang. Penelitian ini adalah penelitian
kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Informan kunci dalam penelitian ini
adalah petugas kesehatan poliklinik LP Wanita Klas II A Kota Malang yang kemudian
mengarahkan kepada tim IMS mobile Puskesmas Arjuno Kota Malang dan narapidana
yang mengikuti skrining. Cakupan rata-rata dalam setiap bulannya 21 WBP yang
mengikuti VCT, belum semua WBP mengikuti tes HIV. Hambatan dalam pelaksanaan
program skrining IMS dengan VCT ini terdiri dari keterbatasan sarana prasarana,
tenaga kesehatan, dan waktu pelaksanaan. Manfaat dari program ini diantaranya aspek
kasus, pengobatan, efisiensi dan skill.Hasil temuan ini didapatkan melalui observasi
partisipan dan wawancara mendalam kepada informan kunci, utama dan pendukung.
Hambatan dariprogram skrining IMS dengan VCT di LP Wanita Klas II A Kota
Malang terdiri dari sarana praarana, tenaga kesehatan dan waktu. Manfaat dari
program ini diantaranya aspek kasus, pengobatan, efisiensi dan skill.
Kata Kunci: hambatan, skrining IMS dengan VCT
168 |
PENDAHULUAN
Infeksi menular seksual merupakan
rangkaian penyakit dengan berbagai
etiologi infeksi, dimana penularan melalui
hubungan seksual berperan utama dalam
epidemiologi,
meskipun
terkadang
penularannya melalui cara yang berbeda
seperti dari ibu ke anak melalui darah dan
transfer jaringan. Risiko penularan IMS
yang tidak diketahui oleh kelompok yang
berisiko, serta rendahnya kesadaran dalam
pemeriksaan secara sukarela, dengan
demikian kasus Acquired Immunodeficiency Syndrome masih banyak
ditemukan pada stadium lanjut di Rumah
Sakit.
Untuk
memperkuat
upaya
pengendalian IMS dan HIV AIDS di
Indonesia, kita dapat menggunakan cara
dengan memadukan upaya pencegahan
dengan perawatan dimana keduanya
merupakan cara yang efektif yang saling
melengkapi (Kemenkes, 2011; Diez et al,
2011).
Pelaporan dan pemeriksaan IMS
secara rutin tidak hanya dilakukan pada
masyarakat umum saja namun di Lembaga
Pemasyarakatan juga sangat diperlukan.
Karena warga binaan dalam hal ini
narapidana maupun tahanan menghadirkan
persoalan dan tantangan tertentu bagi pihak
petugas Lembaga Pemasyarakatan atau
Lapas dikarenakan latar belakang maupun
profil dan penyebab dipenjarakan para
penghuni Lapas yang beragam. Kesalahankesalahannya sebagian besar adalah
pengguna narkoba dengan cara suntik
adalah pengguna narkoba suntik atau
berlatarbelakang pekerja seksual yang
jumlahnya tidak sedikit. Ketika mereka
berada
dalam
Lapas
tentunya
membutuhkan
dukungan
psikologis,
perawatan dan kesehatan serta sosial yang
berbeda bentuk penangannya dari penghuni
Lapas laki-laki (UNAIDS, 2008).
Prevalensi HIV dan Sifilis pada
narapidana pria adalah 1,1% dan 5,1%,
sedangkan pada narapidana wanita lebih
tinggi yaitu mencapai 6% dan 8,5%
(Kemenkes RI & Kemenkumham RI,
2012). Di Kota Malang orang dengan HIV
terdapat penurunan pada 3 tahun terakhir,
pada tahun 2014 adalah 466 orang, tahun
2015 adalah 304.
Penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan yang terjangkau dan dapat dimanfaatkan secara efektif merupakan hal yg
utama dalam upaya pemberantasan dan
penanggulangan IMS. Di negara maju
maupun berkembang, pemeriksaan IMS
dapat dipilih oleh pasien IMS dengan
kemungkinan tiga pilihan diantaranya:
pengobatan
yang
dilakukan
Klinik
Pemerintah (bila di Indonesia, diberikan
oleh Rumah Sakit Pemerintah atau
Puskesmas), Klinik Swasta atau sektor
informal. Dalam menjamin terlaksananya
program IMS perlu untuk diketahui bahwa
pasien IMS akan mencari kombinasi dari
ketiga tempat pemeriksaan. Dalam perencanaan program yang paripurna perlu
dilaksanakan kegiatan dalam meningkatkan
kompetensi petugas kesehatan agar mampu
memberikan pelayanan IMS yang baik
(Kemenkes, 2011).
Penelitian ini bertujuan untuk
menggali informasi mengenai hambatan
dan manfaat dari program skrining IMS
dengan VCT di LP Wanita Klas II A Kota
Malang.
| 169
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode
kualitatif dengan pendekatan fenomenologi.
Peneliti menggali informasi kepada
informan
mengenai
hambatanhambatanserta manfaaat atas pelaksanaan
skrining IMS dengan VCT di LP Wanita
Klas II A Kota Malang. Informan tersebut
dari petugas kesehatan dan pejabat lapas,
tim IMS Mobile Puskesmas Arjuno Kota
Malang dan Narapidana.
Informan dalam penelitian ini dipilih
dengan menggunakan teknik purposive
sampling dengan kriteria pelaksana program baik dari lapas maupun Puskesmas
dan narapidana yang telah mengikuti
skrining IMS dan VCT. Informan terdiri
dari informan kunci, yaitu petugas kesehatan Lapas yang mengarahkan kepada
informan utama dan triangulasi. Informan
utama terdiri dari tim IMS mobile puskesmas Arjuno Kota Malang dan narapidana
yang mengikuti skrining. Informan triangulasi dalam penelitian ini merupakan
pejabat LP Wanita Kota Malang.
Pengumpulan data dilakukan melalui
wawancara mendalam dan observasi.
Peneliti menggunakan instrumen berupa
panduan wawancara, dan instrumen lain
menggunakan alat perekam suara serta
kamera, catatan lapangan hasil observasi.
Dari data penelitiankemudian dianalisis,
dilakukan reduksi data, penyajian data, dan
penarikan
kesimpulan.
Data
yang
didapatkan dilakukan triangulasi untuk
memastikan informasi yang didapatkan
(Idrus, 2009; Miles dan Huberman, 2014).
170 |
HASIL
Hambatan dalam program skrining IMS
dengan VCT di LP Wanita Klas II A Kota
Malang terdiri dari beberapa diantaranya:
Berdasarkan
observasi
yang
dilakukan oleh peneliti, hambatan pada
kegiatan skrining IMS dengan VCT itu
terletak pada sarana prasarana Lapas terkait
tidak adanya Laboratorium dan tenaga
analis laborat, selain dari pihak Lapas,
hambatan juga muncul pada pihak tim IMS/
VCT mobile Puskesmas Arjuno Kota
Malang diantaranya adalah tidak ada tim
khusus untuk layanan Mobile, sehingga
tenaga kesehatan dalam tim mempunyai
peran
yang
juga
penting
dalam
menjalankan layanan kepada masyarakat
dalam Puskesmas dan menjalankan masingmasing program yang menjadi tanggung
jawab mereka. Sehingga hal ini membuat
jadwal pelaksanaan juga tidak dapat
dipastikan atau sesuai dengan kesepakatan
awal yaitu hari Jumat minggu ketiga setiap
bulannya.
Dari
hambatan-hambatan
tersebut juga menyebabkan pada jumlah
keikutsertaan WBP tidak dapat maksimal.
Berdasarkan wawancara mendalam yang
dilakukan pada para informan Hambatan
dalam program skrining IMS dengan VCT
di LP Wanita Klas II A Kota Malang pada
sarana prasarana yang dimiliki oleh
poliklinik LP Wanita Kota Malang yaitu
tidak tersedianya laboratorium dan tenaga
laboran. Kemudian jadwal IMS mobile dari
Puskesmas Arjuno Kota Malang hanya satu
bulan sekali karena tidak adanya petugas
khusus yang bertugas di IMS mobile
sehingga menyesuaikan waktu kegiatan di
dalam Puskesmas, kemudian tenaga laboran
Puskesmas hanya satu, sehingga bila
skrining IMS Mobile dilaksanakan maka
laboran di Puskesmas tidak ada.
Terbatasnya peralatan contohnya spekulum
yang tersedia hanya sekitar 15 sehingga tes
IMS tidak bisa dilaksanakan dengan
maksimal pasien.
Hambatan tersebut juga disampaikan oleh
tenaga kesehatan Tim IMS mobile
Puskesmas Arjuno Kota Malang melalui
wawancara mendalam
―keterbatasan dalam petugasnya karena
tidak ada petugas khusus yang menangani
program ini, jadi kami ini merangkap
dengan tugas-tugas di sini, pihak
laboratnya
satu.
Jadi
harus
mengkondisikan puskesmas dulu, jadi kalo
sudah janjian dengan pasien hari itu kan
jadi gak bisa langsung mobile begitu.
Untuk alat spekulum nya 17 atau berapa,
masih memenuhi sih‖ (IU 1)
(Sumber: Hasil Wawancara, November
2016)
―Ya hambatannya ya personil dan waktu
itu, hambatan yang paling saya rasakan ini
ya lab nya ini, ketika lab nya ikut ke Lapas
ya disini jadi kosong. Padahal pasien sini
kan butuh. Dan lab dan dokter kan gak bisa
ninggal‖ (IU 2)
(Sumber: Hasil Wawancara, Oktober 2016)
Hambatan juga dikemukakan oleh petugas
kesehatan serta pejabat Binpas LP Wanita
Klas II A Kota Malang. Berikut
pernyataannya:
―Hambatan untuk IMS: dalam layanan
sehari-hari pemberian terapi dengan
keluhan duh tubuh vagina (dtv) hanya
dengan pendekatan symptom (gejala) saja
karena pendekatan laboratorium hanya
dapat dilakukan sebulan sekali pada saat
ada tim IMS mobile datang. Hambatan
untuk VCT: jumlah tahanan dan napi baru
yang diskrining dan bersedia banyak
sedangkan puskesmas dalam sekali
kunjungan membatasi jumlah yang di tes‖
(IK 1)
(Sumber: Hasil Wawancara, November
2016)
―Cakupan VCT dan IMS belum bisa 100%
karena petugas IMS atau VCT Mobile tidak
selalu bisa datang dan kemampuan mereka
memeriksa/tes HIV terbatas. Konselor juga
mempunyai tugas ganda sebagai pejabat
struktural sehingga cakupan konseling
belum maximal, Post test terkendala
dengan waktu dan teknis pengebonan
narapidana‖ (IK 2)
(Sumber: Hasil Wawancara, November
2016)
―Ya fasilitas, tenaga medis, laboratorium,
kalo misalkan kita punya kan gak perlu lagi
kerjasama dengan dinas, bisa melakukan
sendiri. Mereka kan juga kalo datang kesini
ya mempunyai keterbatasan karena waktu
mereka, sehingga gak banyak yang
diperiksa‖
(IP2)
(Sumber:
Hasil
Wawancara, November 2016).
| 171
Matrik 4.14 Proses pada Hambatan
Kategori
Sub Kategori
Kode
Sarana Prasarana
- Tidak
tersedianya
fasilitas
Laboratorium
di
Lapas
- Tidak
tersedianya
reagen
Hambatan
Tenaga Kesehatan
- Tidak adanya tenaga analis
laborat di Lapas
- Terbatasnya
tenaga
kesehatan pada Tim IMS/
VCT mobile puskesmas
- Tenaga Analis Laborat
Puskesmas berjumlah satu
orang
Waktu
- Hanya dilaksanakan
1 kali dalam satu
bulan
- Menyesuaikan
dengan kegiatan dan
kesibukan Tim IMS/
VCT mobile
(Sumber: Data Primer, November 2016)
Manfaat dalam program skrining
IMS dengan VCT di LP Wanita Klas II A
Kota Malang terdiri dari beberapa
diantaranya:
Berdasarkan wawancara yang dilakukan
peneliti, manfaat dalam program skrining
IMS dengan VCT di LP Wanita Klas II A
Kota
Malang
diantaranya
adalah:
ditemukannya segera pasien dengan IMS
dan HIV reaktif sehingga pengobatan lebih
cepat dimulai, pemeriksaan dalam satu
waktu dengan cukup banyak pasien dan
lebih efesien, menurunkan angka kesakitan
dan kematian akibat IMS dan HIV, dan
meningkatkan
keterampilan
tenaga
kesehatan karena lebih banyak menangani
pasien dalam skrining ini.
Hal ini sama dengan yang diungkapkan
oleh petugas kesehatan LP Wanita Klas II
A Kota Malang. Berikut pernyataannya:
―Ditemukan segera pasien dengan IMS dan
reaktif HIV sehingga menurunkan angka
kesakitan dan kematian akibat IMS dan
HIV‖ (IK 1)
(Sumber: Hasil Wawancara, November
2016)
―Dengan skrining dini IMS dan HIV
cakupan penemuan kasus baru dapat
ditambah, pengobatan lebih cepat dimulai‖
(IK 2)
172 |
(Sumber: Hasil Wawancara, November
2016)
―para napi yang terkena HIV kemudian
IMS itu mereka sangat terawat’, mereka
jadi sehat. Jadi untuk akses ARV nya juga
mudah jadi bisa tertangani. Kemudian
pemerintah kota malang itu sangat
mendukung jadi RSSA itu sangat welcome
bila ada rujukan dari kita ataupun akses
ARV nya. Kemudian apapun itu ditangani.
Kita membawa pasien ke UGD itu ya
ditangani sama dengan pasien lainnya.
Mau operasi apa aja gratis disana‖ (IP2)
(Sumber: Hasil Wawancara, November
2016)
Dari pihak puskesmas terutama pada Tim
IMS/VCT mobile juga mempunyai
pernyataan manfaat dari sudut pandang
pihak
Puskesmas.
Berikut
yang
dikemukakan:
―manfaatnya ya kalo dari puskesmas, kalo
pelaksanaan
dari
mobile
ya
keuntungannya kita bisa memeriksa dalam
suatu waktu karena dikumpulkan orangnya,
jadi lebih menghemat waktu. Kalo dari sisi
skill semakin banyak kita ke pasien kita
lebih terlatih‖ (IU 1)
(Sumber: Hasil Wawancara, November
2016)
―dari sisi petugas, ya jam terbangnya jadi
lebih tinggi untuk misal inspekulo gitu
keterampilan jadi terdongkrak gitu, dan
pasien-pasien yang IMS hiv, secara
keilmuan ya kita jadi meningkat. Karena
Kategori
Sub
Kategori
Kode
Kasus
- Segera
ditemukan
kasus
HIV
dan IMS
- Kasus
baru
HIV dan IMS
teori kan harus diimbangi dengan praktek,
karena mendiagnosis juga itu kan jadi lebih
tepat dan mahir gitu‖ (IU 2)
(Sumber: Hasil Wawancara, Oktober 2016)
Matrik 2. Proses pada Manfaat
Manfaat
Pengobatan
Efisiensi
- Pengobatan dapat
dilakukan
lebih
dini
- Mendapatkan
layanan
pengobatan pada
WBP
PEMBAHASAN
Setiap program yang telah dilaksanakan
tentunya memiliki hambatan-hambatan
dalam
pelaksanaannya.
Hambatanhambatan ini dapat terjadi karena salah satu
komponen input yang lemah dan saling
ketergantungan dengan sarana yang lain.
Hambatan dalam program ini meliputi
sarana prasarana, sumber daya manusia
yang terbatas dan waktu atau jadwal
pelaksanaan program.
Hambatan dalam tenaga kesehatan
atau sumber daya manusia dalam program
ini adalah tidak adanya tenaga analis
laborat pada poliklinik Lapas dan petugas
tim IMS/VCT mobile juga memiliki tugas
pokok dalam layanan di puskesmas, tidak
terdapat petugas khusus mobile IMS/ VCT
yang melayani di tempat atau di hotspot
berisiko. Hal ini menyebabkan skrining
IMS dengan VCT dilaksanakan hanya satu
bulan sekali.
Tenaga kesehatan yang terlibat
dalam pelaksanaan skrining IMS dengan
- Program
lebih
efisien
- Peserta
lebih
banyak
dalam satu
waktu
Skill
- Skill petugas lebih
meningkat
- Meningkatkan
pengalaman
VCT merupakan tenaga kesehatan yang
terlatih, layanan VCT diselenggarakan baik
di Puskesmas, Rumah sakit maupun mobile
dilakukan oleh tenaga yang terlatih (Cheng
et al, 2016).
Tenaga kesehatan yang
terlatih sudah menjadi syarat dalam
memberikan layanan atau melaksanakan
tindakan sesuai dengan SOP.
Pada tenaga kesehatan terlatih yang
bertugas didalam Lapas memberikan
informed consent kepada setiap narapidana
atau tahanan baru dengan menyetujui
pemeriksaan tuberkulosis dan sifilis yang
bersifat wajib, sedangkan tes HIV bersifat
sukarela (Rosena et al, 2015). Pada LP
Wanita Klas II A Kota Malang,
dilaksanakan pemeriksaan namun terbatas
oleh sarana prasarana dan jadwal
pemeriksaan yang dilaksanakan satu bulan
sekali.
Hambatan berikutnya adalah sarana
prasarana yang dimiliki oleh poliklinik
Lapas yang masih terbatas. Tidak ada
sarana laboratorium sehingga Lapas harus
| 173
bekerja sama atau membuat MoU dengan
Dinas Kesehatan Kota Malang untuk
melaksanakan skrining pada WBP. Hal ini
membuat para WBP maupun narapidana
baru yang berisiko tidak bisa langsung
melakukan pemeriksaan. Pada pemeriksaan
IMS juga sifatnya berdasarkan gejala yang
muncul pada hari mendekati jadwal
skrining dapat mengikuti tes IMS.
Setiap kegiatan atau program
skrining tentunya memperoleh manfaat dari
kegiatan tersebut, meskipun terdapat
hambatan-hambatan dalam kegiatannya
program skrining adalah suatu program
yang baik untuk meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat khususnya WBP.
Dari berbagai kalangan dan latar belakang
WBP, resiko terjadinya IMS serta HIV
sangatlah
tinggi. Oleh
sebab
itu
pelaksanaan skrining dilaksanakan untuk
mencapai manfaat dari program ini
diantaranya:
meningkatkan
derajat
kesehatan WBP, menurunkan angka
morbiditas
dan
mortalitas,
serta
melaksanakan pengobatan lebih dini.
Sama halnya dalam teori berikut,
program skrining IMS dengan VCT
merupakan sarana layanan kesehatan
dengan upaya untuk menanggulangi HIV/
AIDS dengan menemukan kasus lebih awal
kemudian pemberian pengobatan dan
dukungan dapat dilakukan untuk mencegah
penularan serta meningkatkan kualitas
hidup bagi ODHA (Tasa et al, 2016).
Pada IMS/ VCT mobile yang terdiri
dari petugas kesehatan, konselor, teknisi
laboratorium, tenaga administrasi dan
pembantu umum. Dilakukan pra dan pasca
konseling yang bertujuan untuk mengetahui
kelompok risiko, prosedur ini telah
dikembangkan oleh Pusat Pengendalian dan
174 |
Pencegahan
Penyakit.
Dilakukan
pendekatan dengan konseling yang
berpusat pada penilaian individu yang
berisiko (Rooyen et al, 2013).
Dalam temuan hambatan-hambatan
dalam pelaksanaan program skrining IMS
dengan VCT di LP Wanita Klas II A Kota
Malang ini, stake holder dapat meningkatkan pelayanan program skrining melalui
penyediaan sarana dan prasarana yang
menunjang di poliklinik lapas serta
merekrut tenaga analis laboran di Lapas
sehingga dapat menyelenggarakan skrining
IMS dengan VCT secara mandiri.
REFERENSI
Cheng, et al (2016). Late Presentation of
HIV Infection: Prevalence, Trends,
and the Role of HIV Testing
Strategies in Guangzhou, China,
2008–2013. BioMed Research
International 2016:7 Article ID
1631878
Díez & Díaz (2011). Sexually transmitted
infections:
Epidemiology
and
control. Epidemiology Department
on HIV and Risk Behaviors.
National Centre for Epidemiology.
Health Institute Carlos IIIRev Esp
Sanid Penit; 13: 58-66.
Idrus M. (2008). Metode Penelitian Ilmu
Sosial; Pendekatan Kualitatif dan
Kuantitatif Edisi Kedua. Jakarta:
Erlangga
Miles M, Huberman A. (2014). Analisis
data Kualitatif; Buku Sumber
tentang Metode-Metode Baru.
Jakarta: UI-Press
Kebijakan Kesehatan Indonesia (2013).
Konteks
Kebijakan
AIDS:
Epidemiologi
dan
Perilaku
Beresiko. [online]
Kementerian Kesehatan RI (2011).
Pedoman Nasional Penanganan
Infeksi Menular Seksual. Jakarta:
Dirjen Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan.
Kementerian Kesehatan RI & Kementerian
Hukum dan HAM RI (2012).
Pedoman Pelayanan Komprehensif
HIV AIDS & IMS di Lapas, Rutan
dan
Bapas.
Direktorat
Pengendalian
Penyakit
&
Penyehatan Lingkungan Kemenkes
RI dan Direktorat Pemasyarakatan
Kemenkumham RI.
Rosena DL, et al (2015). Opt-out HIV
testing in prison: Informed and
voluntary? AIDS Care; 27(5): 545–
554.
doi:10.1080/09540121.2014.98948
6.
Rooyen et al. 2013. Mobile VCT: Reaching
men and young people in urban and
rural South African pilot studies.
AIDS
Behav;
17(9):
.
doi:10.1007/s10461-012-0368-x.
WHO, UNODC and UNAIDS. 2007.
Evidence For Action Technical
Papers Interventions to Address
HIV in Prisons Prevention of
Sexual Transmission. Geneva
| 175
Download