BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Model standar merupakan skenario panggabungan tiga interaksi dasar yang ada di alam semesta dalam bentuk teori medan tera, dengan grup simetri SU (3)C ⊗ SU (2)L ⊗ U (1)Y . Teori panggabungan ini bersifat fenomenologis. Rapat Lagrangan medan kuantum yang invarian terhadap transformasi grup simetri SU (3)C menggambarkan dinamika interaksi kuat. Sedangkan untuk rapat lagrangan medan kuantum yang invarian terhadap transformasi grup simetri SU (2)L ⊗ U (1)Y menggambarkan dinamika interaksi elektro-lemah, yaitu gabungan antara interaksi lemah dan elektromagnetik. Sehingga bentuk perkalian langsung dari grup-grup simetri ini dipercaya sebagai grup tera yang mengakomodasi ketiga interaksi tersebut. Sebenarnya ada satu lagi interaksi dasar yang ada di alam, yaitu interaksi gravitasi. Jikalau ditemukan perumusan grup simetri yang mampu menjelaskan interaksi gravitasi, maka bukan tidak mungkin untuk menggabungkan semua interaksi dasar yang ada di alam dalam satu teori. Sayangnya perumusan teori medan tera tentang gravitasi masih jauh dari memadai (lihat misal: Barger dan Philips, 1987). Penggabungan interaksi lemah dan elektromagnetik menjadi elektro-lemah, pertama kali, diinisiasi oleh Glashow (1961) dengan menggunakan teori medan tera yang didasarkan pada grup simetri SU (2)L ⊗ U (1)Y . Masalah pembangkitan massa partikel yang terlibat dalam dinamika elektrolemah diselesaikan dengan menerapkan konsep perusakan simetri tera secara spontan dan mekanisme Higgs. Konsep ini diajukan oleh Weinberg (1967) dan Salam (1968). Sehingga teori penggabungan interaksi elektro-lemah sering disebut model standar GWS yang diambil dari inisial namanama penggagasnya, Glashow, Weinberg dan Salam (lihat misal: Huang, 1989). Meskipun sesuai dengan data-data eksperimen, model standar masih belum mampu menjelaskan beberapa masalah. Diantaranya, massa neutrino, masalah hirarki massa, kemungkinan eksistensi dari materi gelap (dark matter), dan dominasi materi ketimbang anti-materi di alam semesta. Selain itu, jumlah partikel dalam model standar juga tidak simetri, misalnya tidak adanya neutrino tak-kidal dan mengapa jumlah fermion lebih banyak daripada boson. Hal ini memotivasi Wess dan Zumino (1974) untuk mengenalkan konsep simetri antara fermion dan boson, yang disebut super- 1 2 simetri (Super-Symmetry SUSY). SUSY memperkenalkan bentuk transformasi baru yang memasangkan setiap fermion dengan boson skalar s-partikel dan setiap boson (skalar dan tera) dipasangkan dengan fermion bosino, sehingga jumlah partikel dasar menjadi dua kali lipat dari sebelumnya. Sayangnya partikel-partikel SUSY ini belum terdeteksi hingga saat ini, padahal secara teoritik partikel-partikel SUSY memiliki spektrum massa yang sama dengan partikel model standar. Ada dua kemungkinan, pertama SUSY salah, atau kedua SUSY bukan simetri yang eksak sehingga dapat diasumsikan partikel SUSY lebih masif dari partikel model standar dan belum terdeteksi oleh pemercepat partikel sekarang. Kebanyakan fisikawan memilih yang kedua, karena simetri ini terlalu sayang untuk dibuang begitu saja, (lihat misal: de Boer, 1994). Sehingga banyak fisikawan yang mencoba memodifikasi atau mengadopsi ide SUSY. Pada tahun 2013, penulis bersama Panuluh, Istikomah dan Satriawan mengenalkan model baru yang memperluas model standar melalui konsep simetri korespondensi yang mirip dengan SUSY, yaitu sebuah konsep simetri yang mengasumsikan adanya korespondensi antara partikel fermion (spinor) dengan partikel skalar (boson Higgs). Simetri ini tidak memasangkan partikel boson tera dengan partikel apapun, sehingga model yang selanjutnya dinamakan model Korespondensi SkalarSpinor (KSS) ini memiliki jumlah partikel yang lebih sedikit daripada SUSY (Fauzi dkk, 2013). Secara filosofis, model KSS menarik untuk dikaji, karena berbagai alasan. Pertama, jumlah partikel skalar sama dengan jumlah fermion. Kedua, model KSS memungkinkan untuk menjelaskan keberadaan materi gelap. Dan ketiga, dalam model ini terdapat leptoquark yang memungkinkan untuk menjelaskan ketidaksimetrian baryon di alam. Selain daripada itu, model KSS memiliki konsekuensi berupa peluruhan proton dan peluruhan neutron yang tidak terjadi dalam model standar, dengan kata lain belum ada eksperimen yang mengkonfirmasi kebenaran proses ini. Oleh karena itu, dibutuhkan kajian lebih lanjut mengenai peluruhan ini untuk memberi batas kelayakan pada model KSS. 1.2 Batasan Masalah 1. Partikel yang ditinjau dalam skripsi ini merupakan partikel generasi pertama. 2. Tidak menganalisa massa neutrino dalam model Korespondensi Skalar-Spinor. 3. Kedua proses yang dianalisa dalam skripsi ini adalah orde rendah (tree level) 3 dari diagram Feynman. 1.3 Tujuan Penelitian 1. Membangun model baru yang memperluas model standar melalui konsep korespondensi antara sektor skalar dan sektor spinor. 2. Menganalisa dua dari enam proses peluruhan nukleon yang tidak terjadi dalam model standar namun terjadi pada model Korespondensi Skalar-Spinor, yaitu peluruhan proton kidal menjadi pion netral dan positron kidal; dan peluruhan neutron kidal menjadi pion negatif dan positron kidal. 3. Menentukan batas bawah massa partikel leptoquark ξ yang muncul pada model KSS. 1.4 Tinjauan Pustaka Wess dan Zumino (1974) mengenalkan konsep supersimetri (Supersymmetry SUSY) yang mentransformasikan fermion (spinor ψ) menjadi boson Φ dan sebaliknya melalui transformasi δΦ = 2¯ψ, δψ = −iγ µ (∂µ Φ) (1.1) dimana adalah spinor infinitesimal yang menggambarkan transformasi (analog dengan δθ dalam transformasi ruang), dan ¯ = † γ 0 adalah adjointnya. Secara umum SUSY mengasumsikan setiap partikel berspin j memiliki pasangan berupa partikel SUSY berspin j − 1/2 yang dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu multiplet boson dan multiplet chiral. Dalam energi rendah, simetri SUSY dapat digunakan untuk memperluas model standar dengan cara mengaplikasikan transformasi SUSY pada partikel model standar (tabel.1.4). Yang demikian disebut model standar SUSY minimal (Minimal SUSY Standard Model MSSM) (lihat misal: Weinberg, 2005). Model Korespondensi Skalar-Spinor (KSS) merupakan model perluasan dari model standar, yang pertama kali diperkenalkan oleh penulis bersama Panuluh, Istikomah dan Satriawan, dengan mengasumsikan adanya korespondensi antara medan spinor dan medan skalar (ψ ↔ Φ) tanpa melalui transformasi SUSY. Medan skalar yang terlibat dalam model ini memiliki bilangan kuantum hiper-muatan (hypercharge) 4 Tabel 1.1: Wakilan multiplet boson dan multiplet chiral dalam SUSY Multiplet Boson Multiplet chiral Spin 1/2 Spin 0 Spin 1 Spin 1/2 g, γ g̃, γ̃ qL , uR , dR Q̃L , ŨR , D̃R + − + − ˜ ˜ W ,W W ,W lL , e R L̃L , ẼR Z Z̃ H̃1 , H̃2 H1 , H2 dan dimensi wakilan grup tera yang sama dengan medan spinor. Oleh karena itu, ditambahkan sejumlah partikel di sektor skalar sedemikian sehingga setiap partikel tersebut memiliki koresponden di sektor spinor (Fauzi dkk, 2013). Dalam model ini diperkenalkan 4 leptoquark (partikel yang mampu mengubah lepton menjadi quark dan sebaliknya), χ1 , χ2 , ω dan ξ, yang membuat bilangan baryon dan lepton tidak lagi lestari. Leptoquark sendiri merupakan partikel hipotetis yang membawa bilangan baryon dan lepton. Partikel ini selalu diharapkan muncul dalam berbagai model yang memperluas model standar, misalnya model GUT, SUSY, dan model KSS. Jika leptoquark muncul dengan spin 1 maka dinamakan leptoquark vektor, dan disebut leptoquark skalar jika muncul dengan spin 0 (Rolly dan Tanabashi, 2012). Ketidaklestarian bilangan baryon dalam model KSS membuat model ini mengijinkan adanya peluruhan proton dan peluruhan neutron dengan dimediasi oleh leptoquark ω dan ξ, yang tidak boleh terjadi dalam model standar (skala energi rendah). Peluruhan proton juga ditemukan pada model-model pemekaran yang memperkenalkan leptoquark, seperti model GUT SU (5) (Georgi dan Glashow, 1974). Model GUT SU (5) memperkenalkan leptoquark vektor (X dan Y) (Yanagida dan Yoshimura, 1980) dan leptoquark skalar (Barr dkk, 1979) (Nanopoulos dan Weinberg, 1979) yang menjadi mediator dalam peluruhan proton. Massa dari leptoquark vektor berorde 1013 TeV, sedangkan leptoquark skalar berorode 109 TeV. Model GUT SU (5) memprediksikan proton akan meluruh dengan waktu hidup τp ∼ 1 2 αGU T MX4 m5p ! ∼ 1030 tahun (1.2) Beberapa eksperimen yang dirancang untuk menyelidiki peluruhan proton haruslah melibatkan materi dalam jumlah yang sangat besar. Misalnya saja, 1.000 5 ton materi yang berarti mengandung kira-kira 6 × 1032 inti, jika waktu hidup proton ∼ 1030 tahun, akan menghasilkan beberapa ratus peristiwa peluruhan dalam satu tahun. Salah satu contoh tipe detektor yang demikian adalah detektor Cherenkov yang terdiri dari ribuan ton air dan diselingi photomultiplier tube. Detektor ini disiapkan untuk mendeteksi cahaya Cherenkov yang dihasilkan oleh, misalnya, peluruhan p → e+ π 0 → e+ γγ. Detektor harus diatur sedemikian rupa jauh di bawah tanah untuk meminimalkan efek sinar kosmis. Belum ada data yang meyakinkan tentang adanya peluruhan proton, sampai sekarang hanya dapat diketahui batas bawah waktu hidup proton τp > 1032 tahun. Batas ini sangat mengkwatirkan karena kalau saja hasil detektor menunjukkan τp > 1034 maka proses tersebut sudah tidak dapat dibedakan lagi apakah proses peluruhan proton atau proses efek sinar kosmik tipe ν̄e p → e+ nπ 0 dengan neutron tidak terkangkap oleh detektor (lihat misal: Collins dkk, 1989). Pembahasan dalam skripsi ini akan dititikberatkan pada konsekuensi yang dihasilkan oleh model KSS, yaitu peluruhan nukleon yang tidak terjadi dalam model standar namun diperbolehkan terjadi dalam model ini. Sedikitnya ada enam proses peluruhan, namun dalam skripsi ini hanya dibahas dua peluruhan, yaitu pL → π 0 +e+ L + − dan nL → π + eL . Sedangkan empat peluruhan lainnya telah dibahas oleh Panuluh (2013) dan Istikomah (2013), yang masing-masing dari mereka membahas dua peluruhan. 1.5 Metode Penelitian Penelitian dalam skripsi ini menggunakan metode studi literatur dan bantuan perhitungan matematis dengan software maple.16. Adapun tahapannya sebagai berikut: 1. Mempelajari model standar, meliputi bentuk rapat lagrangannya, mekanisme pembentukan massa partikel model standar dan kelemahan-kelemahnnya. 2. Membangun model Korespondensi Skalar-Spinor (KSS), dimulai dengan mengasumsikan adanya konsep korespondensi skalar-spinor dalam model standar sampai pembentukan rapat lagrangan Higgs dan Yukawa yang invarian terhadap transformasi Lorentz dan grup simetri SU (3)C ⊗ SU (2)L ⊗ U (1)Y . 3. Menyelidiki semua proses peluruhan nukleon yang terjadi dalam model KSS namun tidak terjadi dalam model standar. 6 4. Menganalisa dua proses peluruhan nukleon non-model standar, yaitu peluruhan proton kidal menjadi pion netral dan positron kidal; dan peluruhan neutron kidal menjadi pion negatif dan positron kidal. 5. Menentukan batas bawah dari leptoquark ξ yang memediasi dua peluruhan tersebut. Dalam skripsi ini digunakan sistem satuan Heaviside-Lorentz, dimana h = c = 1, dan notasi Einsten, dimana indeks yang berulang menunjukkan penjumlahan terhadap indeks-indeks tersebut. Jika indeks ditulis huruf latin (α, β, δ...) maka menunjukkan 0, 1, 2, 3... dan menunjukkan 1, 2, 3... , jika indeks ditulis dengan huruf alfabet. 1.6 Sistematika Penulisan Skripsi ini terdiri dari lima bab utama disertai satu bab lampiran. Kesemua bab utama dirinci menjadi beberapa subbab agar penyajian skripsi ini lebih sistematis. • BAB I: Pendahuluan, meliputi latar belakang masalah, batasan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan. • BAB II: Model Elektro-Lemah GWS, meliputi pembahasan tentang rapat lagrangan GWS, mekanisme Higgs dan perusakan simetri secara spontan serta pembangkitan massa partikel dalam model GWS. • BAB III: Model Korespondensi Spinor-Skalar (KSS), meliputi pembahasan tentang medan-medan KSS, mekanisme Higgs dan lagrangan Yukawa dalam model ini. • BAB IV: Peluruhan Nukleon Kidal Menjadi Pion dan Positron Kidal dalam Model Korespondensi Spinor-Skalar, meliputi analisa peluruhan pL → π 0 + e+ L + − dan nL → π + eL dan penentuan batas bawah massa leptoquark ξ. • BAB V: Kesimpulan dan Saran, berisi kesimpulan dan saran untuk penelitian yang lebih lanjut.