Menyelamatkan Hutan Mangrove Oleh: Rudianto Shut Pemanfaatan hutan mangrove yang tidak seimbang mengakibatkan luasannya semakin menurun. Kondisi ini tentunya mengancam kelangsungan hidup manusia. Hutan mangrove merupakan sumberdaya alam yang sangat potensial dan mendukung bagi kelangsungan hidup manusia, baik dari segi ekonomi, sosial maupun lingkungan (ekologi). Berfungsi ekologi, hutan mangrove sebagai penghasil sejumlah detritus dan perangkap sedimen dan merupakan habitat berbagai jenis satwa baik sebagai habitat pokok maupun sebagai habitat sementara. Fungsi ekonomis, dapat bermanfaat sebagai sumber penghasil kayu, bahan arang, alat tangkap ikan dan sumber bahan lain seperti tannin dan pewarna. Mangrove juga mempunyai peran penting sebagai pelindung pantai dari hempasan gelombang air laut. Oleh karena itu, keberadaan dan kelestarian hutan mangrove sangatlah penting untuk kesejahteraan manusia. Lalu Bagaimana dengan kondisi hutan Mangrove di Kalimantan Selatan? Berdasarkan hasil inventariasi dan identifikasi BP DAS Barito didasarkan hasil intrerpretasi citra satelit tahun 2006, kawasan mangrove di Kalimantan Selatan yang kondisinya telah terdegradasi (rusak) mencapai 106.700 hektare (91 persen). Di Kabupaten Barito Kuala, Banjar, dan Tanah Laut, seluruh areal kawasan mangrove rusak. Lahan mangrove yang tidak rusak hanya di Kabupaten Tanah Bumbu dan Kotabaru yang luasnya sekitar 10.124 hektare (9 persen). Data terakhir, hutan mangrove di Kalimantan Selatan tinggal tersisa empat persen atau sekitar 4.800 hektare (Banjarmasin Post, 29/04 2007). Artinya, selama kurun waktu dua tahun ini hutan mangrove di Kalimantan Selatan berkurang 5 persen atau dengan kata lain kurang lebih dua tahun lagi hutan mangrove di Kalimantan Selatan akan habis bila kecepatan kerusakannya sama. Dari hasil kajian BP DAS Barito, faktor utama penyebab kerusakan hutan mangrove adalah faktor tekanan sosial ekonomi penduduk dan tuntutan pasar yang mendorong aktivitas pembukaan areal mangrove. Di antaranya untuk lahan usaha tambak rakyat, penebangan kayu baku untuk bahan bangunan dan arang, serta konversi areal mangrove untuk pembangunan infrastruktur pelabuhan khusus pengangkutan batu bara serta program Pengembangan Kawasan Ekonomi Terpadu (Kapet). Pengelolaan mangrove idealnya didasarkan atas tiga tahapan utama, yaitu isu ekologi dan sosial ekonomi, isu kelembagaan dan perangkat hukum, serta strategi dan pelaksanaan rencana. Isu ekologi meliputi dampak ekologis intervensi manusia terhadap ekosistem mangrove. Berbagai dampak kegiatan manusia terhadap ekosistem mangrove harus diidentifikasi, baik yang telah terjadi maupun yang akan terjadi di kemudian hari. Adapun isu sosial ekonomi mencakup aspek kebiasaan manusia (terutama masyarakat sekitar hutan mangrove) dalam memanfaatkan sumberdaya mangrove. Begitu pula kegiatan industri, tambak, perikanan tangkap, pembuangan limbah, dan sebagainya di sekitar hutan mangrove harus diidentifikasi dengan baik. Isu kelembagaan dan perangkat hukum merupakan proses bagaimana kegiatan ini dapat dilaksanakan oleh para pihak. Koordinasi antarinstansi yang terkait dengan pengelolaan mangrove mendesak untuk dilakukan saat ini. Departemen Pertanian, Departemen Kehutanan, dan Departemen Kelautan dan Perikanan, merupakan lembaga yang sangat berkompeten dalam pengelolaan mangrove. Aspek perangkat hukum adalah peraturan dan undang-undang yang terkait dengan pengelolaan mangrove. Dalam isu strategi dan pelaksanaan rencana, terdapat dua konsep utama yang dapat diterapkan yang akan memberikan legitimasi dan pengertian bahwa mangrove sangat memerlukan pengelolaan dan perlindungan agar dapat tetap lestari. Kedua konsep tersebut adalah perlindungan hutan mangrove dan rehabilitasi hutan mangrove (Bengen, 2001). Salah satu cara melindungi hutan mangrove adalah dengan menunjuk suatu kawasan hutan mangrove sebagai kawasan konservasi, dan sebagai bentuk sabuk hijau di sepanjang pantai dan tepi sungai. Kegiatan yang menjadi poin penting perencanaan adalah penataan zona, kegiatan reboisasi dan pengembangan sylvofishery. Penataan zona adalah pembagian kawasan ekosistem hutan mangrove menjadi zona pemanfaatan dan zona perlindungan atau konservasi. Pola pengelolaan kawasan mangrove, khususnya kegiatan rehabilitasi areal mangrove yang terdegradasi perlu mempertimbangan kebutuhan/ kepentingan sosial-ekonomi masyarakat dalam jangka pendek dan jangka panjang. Reboisasi diperlukan untuk kawasan ekosistem hutan mangrove yang sudah terlanjur digunakan untuk usaha perikanan tetapi dengan proporsi yang tidak seimbang. Pemilihan jenis tanaman mangrove untuk tujuan rehabilitasi kawasan mangrove selain memperhatikan aspek kesesuaian jenis terhadap lingkungan biofisik tempat tumbuh habitat mangrove, juga perlu mempertimbangkan aspek manfaat sosial ekonomi bagi masyarakat sekitar. Identifikasi jenis yang pernah ada di tempat tersebut, adalah cara yang paling mudah untuk kegiatan species site matching. Jenis yang biasa ada dan dikembangkan antara lain bakau (Rhizophora mucronata), api-api (Avicennia sp), rambai (Sonneratia sp), nipah (Nypa frusticans), dan pandan laut (Pandanus spp). Penerapan slyvo-fishery di kawasan ekosistem hutan mangrove diharapkan dapat tetap memberikan lapangan kerja bagi petani di sekitar kawasan tanpa merusak hutan dan adanya pemerataan luas lahan bagi masyarakat. Adapun sistem slyvo-fishery yang dapat diaplikasikan adalah sistem empang parit dan sistem empang inti. Sistem empang parit adalah sistem mina hutan di mana hutan bakau berada di tengan dan kolam berada di tepi mengelilingi hutan. Sebaliknya, sistem empang inti adalah sistem mina hutan dengan kolam di tengah dan hutan mengelilingi kolam. Kegiatan Sylvo-fishery tersebut tetap harus mempertimbangkan kondisi, tata kawasan dan kondisi wilayah serta masyarakatnya. Dengan garis besar perencanaan tersebut, dengan keterlibatan multipihak dan sektoral diharapkan mampu menyelamatkan dan merehabilitasi hutan mangrove. Kalau tidak sekarang, kapan lagi? Sumber: http://www.banjarmasinpost.co.id/content/view/39197/309/