1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang “Theatre, as a simulacrum of the cultural and historical processes itself, seeking to depict a full range of human actions within their physical context, has always provided society with its own tangible record of its attempt to understand its own operations. It is the repository of cultural memory, but, like the memory of each individual, it is also subject of continual adjusment and modification as the memory is recalled in new circumstances and context.”1 (Teater, adalah simulakra dari budaya dan proses sejarah, bertujuan untuk menggambarkan keseluruhan tindakan manusia dalam konteks ruangnya. Teater selalu menyuguhkan kepada masyarakat jejak dan catatan yang telah dikenali atas usaha untuk memahami bagaimana teater bekerja. Teater adalah tempat penyimpanan ingatan kultural, akan tetapi seperti halnya ingatan bagi tiap individu, teater juga subyek atas penyesuaian dan modifikasi ketika memori dipanggil dalam keadaan dan konteks yang baru) Marvin Carlson memulai paparan panjangnya tentang teater dan ingatan tentang masa lalu, dengan membayangkan kehadiran hantu-hantu di atas panggung teater. Hantu-hantu yang berasal dari masa lalu, menurut Carlson adalah bagian dari tradisi dramatik dalam teater dari waktu ke waktu, di berbagai wilayah di dunia. Ketika satu pertunjukan dipentaskan berulangulang, Carlson menambahkan, repetisi merupakan usaha teater 1 Marvin Carlson, The Haunted Stage: Theatre as Memory Machine, (Ann Arbor: University of Michigan Press, 2001). Hlm. 2 2 untuk tidak hanya melakonkan tokoh-tokoh dari masa lalu tapi juga untuk menghadirkan tokoh tersebut dari masa lalu di masa kini. Dalam istilah Carlson, masa lalu adalah hantu yang tampil secara tangible maupun intagible di panggung teater.2 Pertunjukan Saidja: Once Upon a Time In The East (selanjutnya disebut Saidja) adalah pertunjukan hasil kerjasama Papermoon Puppet Theatre, Indonesia dan Het Volksoperahuis, Belanda yang dipentaskan di Auditorium Lembaga Indonesia Perancis pada tanggal 26-27 Februari 2015. Saidja merupakan hasil perkembangan dari teks dramatik Once Upon a Time in The East yang ditulis oleh anggota Het Volksoperahuis, Jeff Hofmeister dan Kees Scholten. Teks dramatik Once Upon a Time in The East merupakan intrepretasi Het Volksoperahuis atas tokoh Odah yang mereka temukan dalam buku biografi H.J.C. Prinsen, seorang prajurit Belanda yang membelot ke TNI dan kemudian hingga akhir hayatnya tinggal di Indonesia. Menurut mereka, tokoh Odah yang terbunuh dalam satu sergapan tentara Belanda di Sukabumi pada tahun 1949, hanya disebut dalam beberapa baris saja di buku biografi tersebut. Mereka kemudian mengembangkan narasi fiktif tentang karakter Odah, seorang perempuan berdarah Indo, sebelum bertemu dengan Jan Prinsen. 2 Carlson, 2001. hlm. 3 3 Penulis memilih untuk mengangkat pertunjukan Saidja karya Papermoon Puppet Theatre dan Het Volksoperahuis karena beberapa sebab. Diantaranya adalah karakter Simbah yang diperankan oleh sosok boneka yang digerakkan oleh seorang puppeteer sementara karakter-karakter lain ditampilkan/disuarakan oleh para aktor. Menurut pendapat penulis, bloking dan tata ruang membantu karakter Simbah untuk “hidup” dalam pertunjukan. Tata ruang dan objek-objek yang dihadirkan di atas panggung dalam pertunjukan Saidja termasuk sederhana dan tidak terlalu rumit, meskipun begitu pertunjukan ini menggunakan bermacam media untuk menghadirkan dimensi ruang (wilayah fiktif bernama Kampung Tebu) dan waktu (masa kini dan masa lalu) yang saling melengkapi dan membentuk ruang representasi yang mewakili ingatan-ingatan tentang masa revolusi di Indonesia. Lanskap Kampung Tebu di masa lalu, ditampilkan pada layar yang terletak di tengah dan bagian belakang panggung. Kemudian sebuah kafe musik di masa kini, ditampilkan dengan menghadirkan musisi dan pengunjung kafe. Tempat tinggal keluarga Simbah di masa kini ditunjukkan dengan hadirnya karakter Simbah dan cucu-cucunya, serta dengan menghadirkan tamu/orang asing yang masuk ke wilayah privat keluarga Simbah. 4 Peristiwa masa lalu dan masa kini, disusun ulang-alik dalam jalannya pertunjukan. Adegan-adegan berjalan sebagai potongan-potongan peristiwa yang terjadi pada masa lalu yang berkait pada peristiwa yang terjadi masa kini. Penghubung antara dua kurun waktu yang berbeda tersebut adalah ingatan-ingatan Simbah yang dibacakan serta divisualisasikan di panggung. Alasan pemilihan pertunjukan Saidja yang berikutnya adalah bahwa pertunjukan ini berbeda dengan pertunjukanpertunjukan Papermoon Puppet Theatre maupun Het Volksoperahuis sebelumnya. Papermoon Puppet Theater seperti Secangkir Kopi Dari Playa, Mwahithrika, atau Lunang seluruh karakternya diperankan oleh boneka. Pada pertunjukan- pertunjukan yang disebutkan sebelumnya, boneka-boneka dalam pertunjukan Papermoon tidak berdialog, sehingga pertunjukan lebih banyak peristiwa menitikberatkan melalui Volksoperahuis berbagai pada macam memproduksi visualisasi-visualisasi media. pertunjukan Sementara Het dengan gaya storytelling, yaitu narasi cerita mendapat porsi yang banyak lewat pelisanan seorang pendongeng (aktor) yang diiringi dengan lagu dan musik. Pertunjukan Saidja merupakan kerjasama pertama bagi kedua kelompok dengan disiplin yang berbeda ini (antara disiplin visual dan disiplin naratif), sehingga hasil dari kerjasama ini menunjukkan negosiasi antara dua disiplin tersebut. 5 Turunan dari alasan di atas adalah, penelitian ini juga dapat mengikuti dua disiplin (naratif dan visual) bekerjasama atau bersinggungan dalam menyusun dan menciptakan ruang di panggung. Misalnya, apakah ruang di panggung disusun dengan narasi-narasi? Atau ruang di panggung disusun dengan tampilan visual? Atau bagaimana keduanya digunakan guna menciptakan ruang imajinatif yang menjadi latar pertunjukan? Alasan lain memilih pertunjukan Saidja sebagai obyek penelitian ruang pertunjukan di auditorium IFI-LIP Yogyakarta yang digunakan auditorium IFI-LIP sebagai tempat Yogyakarta presentasi. yang relatif Pilihan lebih ruang kecil dan kapasitas penontonnya lebih kecil dibandingkan ruang-ruang pertunjukan lain di Yogyakarta. Pemilihan ruang presentasi di auditorium seleksi IFI-LIP penonton, Yogyakarta, serta isi barangkali dari berkaitan pertunjukan yang dengan hendak disampaikan, hal-hal tersebut yang hendak dicari tahu dalam penelitian ini. Dengan mengangkat pertunjukan Saidja, penelitian ini diharapkan dapat melihat bagaimana ruang digunakan di atas panggung. Panggung yang berukuran kecil dan sederhana dapat berfungsi sebagai sebuah ruang di masa kini, maupun sebuah ruang di masa lalu, di saat lain ruang tersebut dapat menjadi proyeksi mimpi/imajinasi/pikiran yang tidak berbatas ruang dan 6 waktu. Cair dan tegasnya ruang di panggung menunjukkan bagaimana ruang diciptakan, dibentuk, serta dimanfaatkan di dalam pertunjukan. Menurut asumsi penulis ruang yang tercipta di panggung, serta ruang presentasi pertunjukan itu sendiri membentuk makna yang hendak ditelusuri dalam penelitian ini. Penelitian ini hendak melihat bagaimana ruang-ruang di dalam teks dramatik diwujudkan dan disusun di atas panggung pertunjukan. Dalam pertunjukan Saidja, ada tiga ruang yang menjadi setting dari peristiwa. Tiga ruang tersebut merupakan bagian dari wilayah geografis fiktif yang diciptakan dalam pertunjukan Saidja, yaitu sebuah wilayah bernama “Kampung Tebu.” “Kampung Tebu” dalam pertunjukan Saidja terdiri dari halaman rumah dan bagian dalam rumah Saidja di masa kini, Kafe Musik Mong di masa kini, lingkungan sekitar pabrik gula di masa lalu. Lanskap “Kampung Tebu” secara luas, dan ruangruang kecil di “Kampung Tebu” dihadirkan melalui penandapenanda berupa; suara, kostum, gerak dan bloking aktor, tata cahaya, dan peletakan benda-benda properti panggung. “Halaman rumah” Simbah pada pertunjukan adalah ruang di panggung yang seakan-akan dimaknai sebagai halaman rumah di dalam realitas- yang disapu dan dibersihkan, seperti yang dilakukan karakter Simbah kepada ruang di atas panggung. Di waktu yang lain, ruang yang sama dapat berubah pemaknaannya 7 ketika tanda-tanda yang digunakan tidak lazim, misalnya bayangbayang serangga raksasa yang muncul di adegan lain menekankan pada pemaknaan yang lain pada ruang tersebut, tidak lagi halaman rumah yang biasa melainkan juga halaman rumah yang menyimpan kenangan dan rasa bersalah dari masa lalu. Masa lalu dikisahkan melalui medium bayang-bayang, lewat tokoh-tokoh wayang yang ditampilkan bayang-bayangnya di layar di tengah panggung. Lewat cara ini masa lalu, hampir selalu tampil dalam bentuk dua dimensi dalam pertunjukan Saidja. Menurut Paul Riceour, ingatan selalu berkaitan dengan citraancitraan tentang masa lalu yang digambarkan sebagai peristiwa yang terjadi dalam konteks ruang- seperti gambar, lukisan, fotografi, atau misalnya wayang.3 Penelitian ini kemudian berusaha untuk membaca bagaimana keterhubungan antara masa lalu dan masa kini diproyeksikan dalam penggunaan ruang dalam pertunjukan Saidja 3 “If a memory is an image in this sense, it contains a positional dimensions that, from this point of view, brings it closer to perception. In another vocabulary, which i am adopting, one speaks of having-been of the remembered past, the ultimate referent memory in action. What will then pass to forefront from phenomenological point of view, will be the split between the unreal and the real (whether it be present, past, or future)...” (... Jika ingatan adalah citraan visual dalam pengertian ini, maka ingatan mengandung dimensi keruangan yang diambil dari sudut pandang tertentu, membuat ingatan lebih dekat pada persepsi. Kosa kata lain yang saya adopsi, seseorang dapat berbicara jika ia telah menjadi bagian dari masa lalu yang diingatnya, tindakan orang tersebut adalah rujukan paling tinggi kedudukannya. Apa yang dilanjutkan ke generasi/waktu berikutnya dari sudut pandang fenomenologi adalah perpecahan antara yang tak nyata dan yang nyata (apakah itu di masa kini, masa lalu, atau masa depan...) dikutip dari Paul Ricoeur. Memory, History, Forgetting terj. Kathleen Blamey & David Pellauer (London: Chicago University Press. 2004). Hlm. 48 8 oleh Papermoon Puppet Theatre dan Het Volksoperahuis. Dalam proyeksi tersebut dilihat pula faktor-faktor yang melatarbelakangi pilihan-pilihan yang digunakan dalam menampilkan masa kini dan masa lalu Kampung Tebu yang digambarkan menjadi bagian dari narasi sejarah Indonesia. Mengikuti Marvin Carlson, teater merupakan tempat ingatan-ingatan tentang masa lalu dipanggil dan diwujudkan dalam konteksnya yang baru di hari ini. Carlson membaca makna yang hadir dalam pertunjukan teater merupakan makna yang muncul jejaring relasi dari bermacam makna yang telah hadir sebelum pertunjukan. Penelitian ini akan membaca makna yang muncul dalam pertunjukan Saidja dari jejaring ruang yang menghasilkan makna tersebut. Jejaring tersebut adalah relasi ruang presentasi dan ruang di dalam pertunjukan, konstruksi ingatan/imajinasi dan realita lewat pemisahan ruang di panggung, serta bagaimana karakter dan tokoh ditempatkan di panggung, sehingga menghasilkan makna terwujud dalam pertunjukan. B. PERTANYAAN PENELITIAN Dari rumusan di atas, penelitian dibatasi guna menjawab pertanyaan-pertanyaan di bawah: 1. Apakah pengaruh ruang pertunjukan Auditorium IFI-LIP Yogyakarta pada pertunjukan Saidja? 9 2.Bagaimana ruang digunakan sebagai mnemonic device dalam pertunjukan Saidja? 3.Bagaimanakah teks dramatik pertunjukan dan performative text diwujudkan dalam pertunjukan Saidja oleh Papermoon Puppet Theatre dan Het Volksoperahuis? C. TUJUAN PENELITIAN Penelitian dengan studi kasus pertunjukan Saidja oleh Papermoon Puppet Theatre dan Het Volksoperahuis ini mempunyai beberapa tujuan yang hendak dicapai, yang akan dijabarkan dalam beberapa poin di bawah, yaitu: 1. Penelitian untuk mengkaji relasi antara gedung pertunjukan dan bentuk pertunjukan teater 2. Penelitian untuk mengkaji elemen-elemen yang membentuk ruang konkrit dan ruang abstrak dalam pertunjukan teater 3. Penelitian untuk mengkaji teks dramatik dihadirkan atau diwujudkan sebagai performative text 4. Penelitian untuk mengkaji relasi antara ruang, karakter, dan pesan yang disampaikan dalam pertunjukan teater 10 D. TINJAUAN PUSTAKA Beberapa penelitian tentang Papermon Puppet Theatre sudah pernah ditulis sebelumnya. Kajian-kajian tentang pertunjukan Papermoon Puppet Theatre yang sudah dilakukan merupakan penelitian tentang bagaimana cara mereka “menghidupkan” boneka dalam pertunjukan, serta tentang simbolsimbol yang mereka gunakan dalam pertunjukan. Adapun kajian tentang fungsi atau makna ruang dalam pertunjukan Papermoon belum ditemukan oleh penulis. Penulis tidak menemukan kajian tentang Het Volksoperahuis, baik dalam Bahasa Indonesia maupun Bahasa Inggris. Sehingga pada bab Tinjauan Pustaka, posisi penelitian ini pada penelitian-penelitian yang sudah dilakukan sebelumnya akan difokuskan pada kelompok Papermoon Puppet Theatre. Dua orang mahasiswa sarjana yaitu Tika Savitri dan Suryo Hapsoro telah mengangkat Theatre sebagai obyek pertunjukan penelitian Papermoon mereka. Tika Puppet Savitri, mengerjakan skripsi berjudul Menjelajah Bersama Boneka (Studi Kasus Interaksi Pemain Boneka dan Penonton Dalam Pertunjukan “Men Of The Sea: Finding Lunang” karya Papermoon Puppet Theatre) di Jurusan Antropologi Fakultas Ilmu Budaya UGM pada 11 tahun 2014. 4 Sementara Suryo Hapsoro meneliti pertunjukan Mwahithrika dalam skripsi berjudul Menolak Lupa, Terus Bercerita (Studi Tentang Proses Penceritaan Kembali Mengenai Sejarah Tragedi 1965 Dalam Versi Berbeda Melalui Pertunjukan Teater Boneka) di Jurusan Sosiologi FISIPOL UGM pada tahun 2014.5 Tika Savitri menyinggung soal munculnya “ruang interaksi” antara boneka yang digunakan dalam pertunjukan dengan penonton dalam pertunjukan Finding Lunang karya Papermoon Puppet Theatre, yang dipentaskan pada tahun 2013 di Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta. Tika Savitri menelaah pertunjukan Papermoon Puppet Theatre sebagai performative text dengan fokus kepada metode para pemain boneka untuk “menghidupkan” karakter boneka yang mereka mainkan. Suryo Hapsoro menulis karya skripsi dengan judul Menolak Lupa, Terus Bercerita (Studi Tentang Proses Penceritaan Kembali Mengenai Sejarah Tragedi 1965 Dalam Versi Berbeda Melalui Pertunjukan Teater Boneka) fokus penelitiannya adalah pertunjukan Mwahithrika yang dipentaskan Papermoon Puppet Theatre sejak tahun 2009. Suryo Hapsoro membaca Mwahitrhika Tika Savitri. “Menjelajah Bersama Boneka (Studi Kasus Interaksi Pemain Boneka dan Penonton Dalam Pertunjukan Men Of The Sea: Finding Lunang karya Papermoon Puppet Theatre)” (naskah skripsi Jurusan Antropologi FIB UGM, 2014). Tidak diterbitkan 5 Suryo Hapsoro. “Menolak Lupa, Terus Bercerita (Studi Tentang Proses Penceritaan Kembali Mengenai Sejarah Tragedi 1965 Dalam Versi Berbeda Melalui Pertunjukan Teater Boneka)” (naskah skripsi Jurusan Sosiologi Fisipol UGM, 2014). Tidak diterbitkan. 4 12 sebagai pertunjukan yang menceritakan versi berbeda dari narasi sejarah tentang peristiwa 1965 di Indonesia. Memakai pendekatan rememorasi Suryo Hapsoro menempatkan Mwahitrhika sebagai usaha untuk mengingat kembali apa yang terjadi pasca peristiwa 1965, khususnya pada peristiwa pembunuhan/penghilangan secara paksa hak hidup orang-orang yang dituduh sebagai anggota atau simpatisan partai komunis di Indonesia. Mwahitrhika maupun Saidja mempunyai kesamaan dalam hal memberikan alternatif narasi sejarah dari narasi sejarah yang resmi dari negara. Perbedaan mendasar dari kedua pertunjukan tersebut adalah Mwahitrhika dipentaskan tanpa menggunakan dialog, sementara Saidja menggunakan dialog. Pada Mwahitrhika simbol-simbol visual merupakan kekuatan yang menggerakkan cerita, sementara pada Saidja simbol-simbol visual tersebut masih nampak namun bukan satu-satunya yang menggerakkan cerita. Pada penelitian Suryo Hapsoro, aspek konteks latar belakang politik yang menjadi awal mula kelahiran Mwahitrika diberi porsi yang jauh lebih banyak daripada hal-hal yang nampak dan muncul dalam pertunjukan. Konteks latar belakang politik ditempatkan pada posisi yang penting pada Mwahitrika karena selama pertunjukan tidak ada informasi atau simbol yang menyatakan korelasi antara apa yang terjadi di panggung pertunjukan dengan apa yang terjadi pada sejarah Indonesia. 13 Cerita yang nampak pada Mwahitrhika adalah cerita yang universal, peristiwa tersebut dapat terjadi di mana saja, barangkali di masa lalu atau mungkin di masa depan. 6 Pertunjukan Mwahithrika menampilkan kisah yang jamak dalam masyarakat Indonesia mengenai tahun 1965, kisah tentang penculikan, pembunuhan, dan rasa kehilangan yang tidak mendapat tempat dalam narasi historiografi Indonesia. Simbol-simbol visual dalam pertunjukan Mwahithrika dapat merujuk pada peristiwa yang terjadi di Indonesia, namun di panggung tidak secara tajam menunjukkan bahwa kisah tersebut berlatar belakang sejarah Indonesia. Mwahithrika juga menjadi bagian dari penelitian disertasi Tamara Aberle, dalam disertasinya yang berjudul Socially-engaged Theatre Performance in Indonesia.7 Tamara Aberle memberi porsi yang cukup besar pada Papermoon Puppet Theatre dan Mwahithrika di Bab II yang bertema Performance as Sites of Memory and Trauma of Indonesia. Papermoon Puppet Theatre dan Mwahitrhika bersanding dengan PM Toh (Agus Nur Amal) dan TV Eng Ong. Kedua pertunjukan yang ditelaah Tamara Aberle di Bab 6 “ ...kisah yang terjadi di Mwahithrika dapat saja terjadi di mana saja,” wawancara Tamara Aberle dengan Maria Tri Sulistyani, sutradara Papermoon Puppet Theatre. Dikutip dari Tamara Aberle, “Socially-engaged Theatre Performance in Indonesia”, Naskah disertasi di Royal Holloway University, London. Tidak diterbitkan. Hlm. 91. Baca juga http://latitudes.nu/the-tale-of-mwathirika-and-the-papermoon-puppet-theatre/ (diakses 22 Oktober 2015). 7 Tamara Aberle, “Socially-engaged Theatre Performance in Indonesia”, Naskah disertasi di Royal Holloway University, London. Tidak diterbitkan. 14 II penelitiannya berbicara tentang trauma, Mwahithrika berbicara tentang trauma politik pada peristiwa 1965, sementara PM Toh berbicara tentang trauma pada trauma politik di masa Aceh menjadi Daerah Operasi Militer. Pada pembahasan tentang Mwahithrika, Tamara Aberle memaparkan analisisnya tentang bagaimana simbol dan tata ruang panggung menunjukkan gagasan Papermoon tentang narasi sejarah alternatif. Tamara Aberle menunjukkan penataan ruang belakang dan depan panggung menunjukkan relasi tingkatan antara sejarah besar dan sejarah kecil. Pembacaan Tamara pada Mwahitrhika menunjukkan bahwa bagian belakang panggung merupakan tempat keputusan-keputusan dibuat petinggi politik, sementara bagian depan panggung merupakan kehidupan masyarakat sehari-hari di mana tokoh-tokoh dalam kehidupan Mwahithrika hidup. Penghubung antara dua bagian, atau dua tingkatan tersebut adalah karakter-karakter yang berseragam militer dan menutupi wajahnya dengan topeng, merekalah yang mengambil karakter dari kehidupannya di depan panggung, dan kemudian membawanya ke bagian belakang panggung. Tamara pembahasan Aberle tentang tidak memberi bagaimana lebih banyak ruang ruang dalam penggunaan pertunjukan Mwahithrika menghasilkan makna, karena ia memilih fokus pada diskursus keterhubungan teater kontemporer 15 Indonesia dengan isu-isu yang berkembang di masyarakat. Penelitian yang penulis lakukan pada pertunjukan Saidja, memilih fokus pada ruang pada pertunjukan, dan makna yang dihasilkan. Pemilihan fokus ini yang membedakan kerangka penelitian yang penulis lakukan pada pertunjukan Saidja dengan yang dilakukan Tamara pada pertunjukan Mwahithrika. Penelitian yang dilakukan penulis pada pertunjukan Saidja ditempatkan dalam kerangka pengkajian seni, di mana obyek penelitian adalah apa yang nampak dan muncul di panggung sebagai jalan masuk untuk membicarakan konteks pertunjukan dengan hal yang berada di luar panggung. Kerangka ini membedakan penelitian yang dilakukan penulis dengan penelitian pertunjukan Suryo pada Hapsoro diskursus yang berangkat historiografi dari Indonesia konteks untuk membingkai pembacaan pada pertunjukan Mwahithrika, dan penelitian Tika Savitri pada pertunjukan Finding Lunang yang memfokuskan diri pada penelitian pada bagaimana teater boneka digunakan sebagai medium komunikasi antara penampil dan penonton. E. LANDASAN TEORI Pada panggung pertunjukan Saidja peristiwa masa lalu dan masa kini dipisahkan berdasarkan ruang kemunculannya. Masa 16 lalu nampak di layar sebagai bayang-bayang, sementara masa kini muncul di bagian depan panggung. Jalan cerita dalam pertunjukan Saidja ulang alik antara masa kini dan masa lalu. Dalam peristiwa-peristiwa di masa lalu, kisah Saidja di Kampung Tebu menjadi foreground dari peristiwa-peristiwa dalam historiografi Indonesia. Peristiwa-peristiwa dalam historiografi Indonesia dituturkan lewat narasi personal, dari sudut pandang “orang biasa” yaitu tokoh Simbah yang tinggal di Kampung Tebu. Peristiwa pada masa kini ditampilkan di bagian depan panggung, dilakonkan oleh karakter boneka dan aktor. Melalui tokoh Simbah peristiwa di masa lalu berpengaruh pada kehidupan sehari-hari di masa kini. Pertunjukan Saidja menunjukkan proses mengingat berlangsung dan berefek pada karakter Simbah. Menurut Paul Riceour untuk melatih daya ingat seseorang harus dapat mengasosiasikan masa lalu dalam bentuk berupa images (gambaran) dengan tempat. Berikut kutipan dari Riceour: “...essentially in associating images and places (topoi, loci) organized in rigorous system corresponding to a house, a public place, an architectural setting. The rules of this art are two sort: the first govern the selection of the place, the second govern the mental images of the places selected. The images stored in this way are 17 supposed to be easy to recall at the appropriate moment, the order of the places preserving the order of the things.”8 (... penting diperhatikan dalam mengasosiasikan citraan visual dan tempat (topoi, loci) yang ditata dalam sistem yang ketat berhubungan dengan satu rumah, satu tempat umum, sebuah setting arsitektural. Aturan dalam menata citraan visual dan tempat adalah sebagai berikut, pertama memilih tempat, kedua mengatur gambaran mental dari tempat yang dipilih. Citraan visual yang disimpan/diingat dengan cara seperti ini seharusnya lebih mudah dipanggil dalam waktu yang segera, tata struktur tempat mendahului tata struktur hal-hal yang melekat pada tempat tersebut.) Paul Riceour tidak berbicara spesifik tentang seni atau teater, ia sedang menyelidiki bagaimana proses mengingat (dan melupakan) dapat dimanipulasi dan dipengaruhi. Dalam konteks pertunjukan Saidja, hal ini nampak pada bagaimana ruang di panggung pertunjukan disusun sehingga ada relasi antara tempat dan peristiwa. Setelahnya relasi antara tempat dan peristiwa tersebut kemudian menjadi gambaran konseptual/ideologi atas apa yang ada di balik peristiwa tersebut. Misalnya penempatan layar di belakang panggung, secara fisik layar tersebut berfungsi sebagai pembatas. Ketika di layar 8 Riceour. 2004. hlm. 24 18 muncul proyeksi peristiwa dari masa lalu, maka layar tersebut menjadi bagian dari konsep masa lalu yang berada di belakang, atau masa lalu yang tidak dapat sepenuhnya nyata sehingga hanya berupa bayang-bayang. Pada tingkatan konseptual, dapat diturut ingatan siapa yang muncul di layar, apa yang nampak dan apa yang tidak nampak di layar tersebut dalam peristiwa-peristiwa dari masa lalu? Jay Winter yang berbicara lebih spesifik pada kasus pertunjukan berpendapat bahwa, “ the performance of memory both a mnemonic device and a way in which individual memories are relived, revived, and refashioned.” 9 (Penampilan ingatan adalah perangkat mnemonic dan usaha membagi, menyimpan, dan memaknai ulang ingatan individual). Riceour menyebut penggunaan perangkat mnemonic10 sebagai pemanfaatan ingatan yang dapat digunakan untuk mengingat dan dapat dipergunakan pula untuk memanipulasi ingatan. Jay Winter menempatkannya sebagai perangkat yang digunakan penampil dalam pertunjukan Jay Winter. The Performance of The Past: Memory, History, Identity, dalam Karin Tilmans (et.al), Performing The Past: Memory, History, and Identity in Modern Europe (Amsterdam University Press, 2001). Hlm. 11 10 Mnemonic: a system such as pattern of letters, ideas, or association which assists in remembering something (satu sistem misalnya pola huruf, ide, atau asosiasi yang membantu untuk mengingat sesuatu. Contohnya misalnya: ORBA untuk Orde Baru, warna merah untuk ideologi Komunis, warna hijau untuk Partai Islam). Mnemonic menurut Riceour berasal dari tradisi Yunani yang mengagungkan pengetahuan sehingga mereka harus menciptakan sistem mengingat, ingatan yang paling kuat adalah yang dapat merangkum tempat dan ide, sehingga misalnya ketika orang menulis ORBA di poster maka ia akan dirangkai dengan gambar/foto Suharto maka orang akan mendapatkan gambaran tentang peristiwa-peristiwa kekerasan yang terjadi dari masa lalu. 9 19 untuk mengingatkan pada sesuatu dari masa lalu. Misalnya warna tertentu akan menjadi simbol dari pandangan atau partai politik tertentu. Pada pertunjukan penataan dan penyusunan simbolsimbol tersebut di panggung dapat menghasilkan makna yang dituju penampil ketika ditempatkan di posisi yang tepat. Dalam konteks pertunjukan Saidja, proses karakter Simbah mengingat masa lalu menunjukkan bagaimana panggung “dimanipulasi” sehingga bayang-bayang yang nampak di layar (masa lalu) berhubungan dengan apa yang nampak di depan layar (masa kini). Pada pertunjukan Saidja ada pola yang muncul di panggung, misalnya pemisahan tempat antara masa kini dan masa lalu, atau pada bloking pemain yang menunjukkan relasi antar tokoh. Kedua pola tersebut berkait dengan pemanfaatan tata ruang dalam pertunjukan. Kecenderungan pola pemanfaatan ruang yang menjadi bagian dari makna ini nampaknya muncul dari Papermoon Puppet Theatre jika menilik penelitian yang dilakukan Suryo Hapsoro dan Tamara Aberle pada pertunjukan Mwahithrika. Pada pertunjukan Papermoon Puppet Theatre yang seminimal mungkin menggunakan narasi, dan lebih memanfaatkan bunyi daripada dialog bisa dipahami bahwa pemanfaatan ruang adalah bagian dari visualisasi peristiwa yang narasi/dialog dalam pertunjukan. berfungsi mengganti posisi 20 Untuk menelusuri tentang bagaimana makna dapat dimunculkan pada setting ruang tertentu, atau bagaimana setting ruang dapat menjadi simpul makna dari peristiwa yang terjadi di dalamnya maka penelitian ini akan meminjam beberapa kerangka pemikiran untuk membaca makna ruang. Pemikiran memperkenalkan pertama dari Erving teori-teori pertunjukan Gofmann, untuk yang menganalisis peristiwa dalam kehidupan sehari-hari. Goffman menunjukkan bagaimana perisitiwa selalu hadir di dalam ruang: “First, there is the “setting”, involving furniture décor, physical layout, and other background items which supply the scenery and stage props for the spate of human action played out before, within or upon it. A setting tends to stay put, geographically speaking, so that those would use a particular setting as part of their performance cannot begin their performance until they have brought themselves to the appropriate place and must terminate their performance when they leave it.”11 (Pertama, ada “setting,” di dalam setting terdapat dekorasi furnitur, tata letak benda-benda, dan bermacam ornamen di latar belakang yang menyediakan pemandangan dan properti yang menunjukkan adanya tanda-tanda tindakan manusia sebelum, pada saat, atau sesudah tindakan tersebut berlangsung. Bicara dari sudut pandang geografis, setting pada umumnya statis, sehingga apabila seseorang yang akan tampil biasanya menggunakan setting yang khusus dan khas. Penampilannya akan dimulai pada saat orang tersebut berada di wilayah setting yang khusus dan khas, dan berakhir ketika ia meninggalkannya.) Dalam pandangan Goffman, manusia (aktor) membangun relasi dengan setting dan latar belakang untuk menghadirkan keberadaan dirinya. Tidak hanya relasi antara aktor dan ruang 11 Erving Goffman, The Presentation of Self in Everyday Life (University of Edinburgh Press; 1956). Hlm. 13 21 serta benda-benda di dalamnya yang membentuk peristiwa, melainkan relasi antara aktor dan aktor lain di dalam batas ruang tertentu. Mengikuti pendapat Goffmann, proyeksi ruang di panggung tidak hanya ditunjukkan lewat batas-batas fisik dari ruang tersebut, tapi juga lewat aksi aktor-aktor yang berada di dalamnya. Pada pertunjukan teater hal ini ditunjukkan lewat pola lantai yang digunakan pada pertunjukan, dialog atau tindakan yang ia lakukan pada setting yang khusus dan khas. Melalui penyusunan pola lantai adegan interaksi antara karakter Simbah dan karakter Dewi di pertunjukan Saidja maka nampak masing-masing karakter tersebut mempunyai ruang di panggung tanpa perlu batas fisik yang menjadi sekat. Penelusuran pada penempatan karakter dan pola lantai yang nampak di panggung dapat pula menunjukkan kelas sosial, serta gambaran masyarakat yang menjadi latar pertunjukan. Pemikiran kedua yang dipinjam untuk membangun kerangka pembacaan pada pertunjukan Saidja adalah pemikiran Amos Rapoport tentang makna non-verbal. Untuk membaca makna pada ruang Rapoport membagi makna tersebut dalam tiga elemen, yaitu fixed feature, semi-fixed feature, dan non-fixed feature.12 12 Amos Rapoport. The Meaning of Built Environment: a Non-Verbal Communication Approach; with a new epilogue by the author (The University of Arizona Press, 1990) Hlm. 88, 89, 96. 22 Elemen fixed feature adalah elemen ruang yang tidak berubah, atau hanya dapat berubah dalam waktu yang sangat lambat. Dalam konteks pertunjukan Saidja, elemen fixed feature adalah sekat yang berupa tiga layar yang membagi panggung menjadi bagian depan dan belakang. Elemen semi-fixed feature adalah elemen ruang yang dapat berubah dengan cepat tapi dalam pola yang teratur. Dalam konteks pertunjukan Saidja, elemen semi-fixed adalah layar yang berfungsi sebagai sekat, namun juga difungsikan untuk memproyeksikan bayangan masa lalu. Contoh lainnya dari elemen semi-fixed dalam pertunjukan Saidja adalah jalur keluar masuk panggung yang menunjukkan latar setting dari tiap adegan. Elemen non-fixed feature adalah elemen ruang yang dapat berubah sewaktu-waktu tanpa ada pola yang melingkupi, elemen non-fixed ini menurut Rapoport adalah faktor manusia/aktor yang berada di dalam ruang tersebut. 13 Penjelasan dan penerapan elemen non-fixed yang dipaparkan Rapoport mirip dengan pendekatan semiotika teater yang diterapkan Erika Fischer Lichte. 14 Baik Rapoport atau Lichte menempatkan faktor manusia/aktor sebagai salah satu faktor yang memberikan makna di dalam ruang, berdasarkan kemampuan komunikasi non-verbal Amos Rapoport, 1990. Hlm. 96 Erika Fische-Lichte. Semiotics of Theatre terj. Jeremy Gaines & Doris L. Jones (Indiana University Press, 1992) 13 14 23 yang ada di dalam manusia. Tanda yang muncul antara lain, bloking, ekspresi wajah, postur dan posisi tubuh, dan kedipan mata dapat menyumbangkan tanda yang dapat dibaca atas makna ruang.15 Teori Goffman dan Rappoport saling melengkapi satu sama lain untuk dipergunakan menganalisis untuk pertunjukan mengananlisis Saidja. pergerakan Goffman aktor dalam konteks dengan identitas “ruang fiksi” yang mereka hidupkan di panggung, Rappoport digunakan untuk melihat pengaruh pergerakan aktor dan narasi pertunjukan pada ruang tersebut. Pada penelitian pertunjukan Saidja, pembagian elemen ruang Rapoport berguna untuk membaca relasi antara karakter dan ruang, atau membaca makna relasi antara peristiwa dan ruang. Di dalam analisis pada pertunjukan Saidja elemen semifixed & non-fixed merupakan elemen yang digunakan untuk menganalisis ruang dan peristiwa yang terjadi di panggung. Gay McAuley pada penelitiannya tentang performance space membagi-bagi ruang di gedung pertunjukan ke dalam beberapa kategori yang saling berpengaruh. Menurut McAuley, gedung pertunjukan mempengaruhi pertunjukan-pertunjukan yang ditampilkan di dalamnya. 16 Contoh pengaruh tersebut dapat Rapoport, 1990. Hlm. 96-101. Baca juga Lichte, 1992. Gay Mcauley. Performance Space: Making Meaning in The Theatre (Michigan University Press, 1999) 15 16 24 dilihat misalnya pada perubahan yang terjadi pada kethoprak dan pertunjukan wayang orang yang pada awalnya dipentaskan di panggung arena yang terbuka, kemudian harus disesuaikan ketika ditampilkan di panggung gedung pertunjukan yang menggunakan panggung prosenium.17 Pemikiran McAuley ini akan digunakan pada Bab II untuk mengulas pilihan ruang pertunjukan Saidja merupakan pilihan yang tidak sekadar berdasarkan pertimbangan estetis, melainkan juga pilihan yang berdasar pilihan konstruksi pertunjukan Saidja dan sasaran penonton yang dituju dalam pertunjukan. Uraian Kris Budiman tentang jenis tanda “ikon” menurut Charles S. Peirce digunakan untuk membaca bagaimana masa kini dan masa lalu disambungkan melalui simbol-simbol citraan visual yang di setting ruang pertunjukan Saidja. “Ikon adalah tanda yang mengandung kemiripan “rupa” (resemblance) sebagaimana dapat dikenali oleh para pemakainya. Di dalam ikon hubungan antara represantamen dan objeknya terwujud sebagai “kesamaan dalam beberapa kualitas.”18 17 Soedarsono. Metodologi Penelitian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa. (Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia, 2001). Baca juga Cohen, Matthew Isaac dalam Bijdragen vol. 157, no. 2 (2001), “On The Origin of Komedie Stamboel Popular Culture, Colonial Society, and Parsi Movement”. hlm 313-357. 18 Kris Budiman. 2011. Semiotika Visual: Konsep, Isu, dan Problem Ikonisitas. Jalasutra: Yogyakarta. Hlm. 20 25 Komponen-komponen dalam pertunjukan dibaca berdasarkan bantuan pembagian sistem tanda dalam teater oleh Tadeusz Kowzan. Tanda-tanda dalam pertunjukan teater dibagi menjadi 13 satuan tanda (kata, nada, mime, gestur, pergerakan, make-up, tata rambut, kostum, properti, dekorasi, tata cahaya, musik, sound effect) yang saling terhubung satu sama lain. 19 Sistem tanda Tadeusz Kowzan tersebut berkaitan dengan komponen-komponen yang berperan dalam pertunjukan, yaitu aktor, ruang, dan suara. F. METODE PENELITIAN Penelitian ini termasuk dalam kategori penelitian kualitatif, yaitu penelitian yang mengambil data-data kualitatif dari pertunjukan teater berjudul Saidja oleh Papermoon Puppet Theatre dan Het Volksoperahuis di Auditorium LIP Yogyakarta pada tanggal 26-27 Februari 2015. Menurut RM Soedarsono, penelitian kualitatif adalah “secuil dunia yang harus dicermati daripada hanya mendapatkan ukuran-ukuran (dalam penelitian kuantitatif).” 20 Dalam penelitian kualitatif, data-data yang 19 Frantiśek Deák. “Structuralism in Theatre: The Prague School Contribution” dalam The Drama Review Vol. 20 No. 4, Theatrical Theory Issue (Dec, 1976) hlm. 85-87 20 Soedarsono. 2001. Hlm. 46, dalam kurung adalah tambahan dari penulis. 26 didapatkan adalah hasil observasi terhadap obyek penelitian yang dianalisis dengan teori-teori yang digunakan peneliti. 1. Teknik Pengumpulan Data Untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini dilakukan observasi pada proses latihan untuk pertunjukan Saidja, hingga ke hari pertunjukan. Ada dua latihan yang bertempat di rumah kecil di Jalan Brigjen Katamso Yogyakarta dan satu kali gladi resik di auditorium LIP yang diobservasi untuk mendapatkan data-data dalam penelitian ini. Proses observasi di saat latihan dan gladi resik terdiri dari pengamatan terhadap proses latihan dan lingkungannya, serta wawancara kepada para pendukung pertunjukan. Proses observasi di hari pertunjukan terdiri dari pengamatan terhadap jalannya pertunjukan. Data-data yang dikumpulkan terdiri dari pemanfaatan dan penggunaan ruang pertunjukan dalam proses latihan dan di dalam pertunjukan. Data primer yang digunakan dalam penelitian ini bersumber pada pengamatan langsung pada pertunjukan dan pada dokumentasi rekaman audio visual dan dokumen fotografi dari pertunjukan Saidja. Rekaman audio visual yang digunakan adalah rekaman dari pertunjukan Saidja pada tanggal 27 Februari untuk pertunjukan yang dimulai dari pukul 20.00. 27 Data yang terkumpul berupa catatan-catatan tentang amatan di dalam latihan dan pertunjukan, serta wawancarawawancara pendek yang dilakukan di sela-sela kesibukan latihan atau menjelang pertunjukan. Data-data yang akan mendapat perhatian khusus dalam penelitian tentang bagaimana ruang dimunculkan adalah data-data yang berkaitan dengan: benda (kostum, penempatan properti, penataan setting), suara (ilustrasi musik, lagu, dialog), cahaya (tata cahaya), gerak (tubuh aktor, citraan tubuh aktor). Dalam kategorisasi data, data-data yang terkumpul ini merupakan pembacaan atas performative text yaitu perwujudan dari teks dramatik di atas panggung pertunjukan. Pada penelitian ini perhatian lebih ditekankan pada elemen benda dan gerak, sementara elemen suara dan cahaya dicatat ketika keduanya mendukung kehadiran dua elemen pertama. Pilihan ini diambil pada saat penulisan laporan tesis dikerjakan. Elemen suara tidak merujuk langsung pada konstruksi ruang pada pertunjukan Saidja di luar pada beberapa dialog yang menyebutkan identitas tempat setting peristiwa. Tidak ada pemisahan antara masa kini dan masa lalu pada elemen suara. Pada penulisan laporan tesis ini elemen suara dicatat ketika mendiskripsikan benda dan pergerakan aktor dalam pertunjukan. Elemen cahaya membantu konstruksi ruang yang muncul di area permainan, ia membatasi dan meluaskan ruang 28 dalam pertunjukan, adapun deskripsi pada penggunaan elemen cahaya untuk membentuk ruang disebutkan ketika mendeskripsikan kemunculan benda atau pergerakan aktor di area permainan. 2. Sampel Penelitian Pertunjukan Saidja berlangsung pada tanggal 26-27 Februari 2015, terdiri dari tiga pertunjukan. Pada tanggal 26 Februari pertunjukan dimulai pukul 20.00, sementara pada tanggal 27 Februari diadakan dua pertunjukan, pertunjukan pertama dimulai pukul 16.00, dan pertunjukan kedua dimulai pukul 20.00. Pertunjukan di Auditorium IFI-LIP ini dipilih karena pertunjukan Saidja di Indonesia hanya dipanggungkan di Auditorium IFI-LIP dan setelahnya akan dibawa tur ke Belanda selama dua bulan.21 Sampai dengan laporan ini ditulis, belum ada rencana berikutnya untuk memanggungkan pertunjukan Saidja di Indonesia setelah pulang dari Belanda. 3. Metode Analisis Penelitian a. Klasifikasi Data berdasarkan sumber Pengelompokan data-data yang diperoleh selama penelitian. Pengelompokan pertama berdasarkan pada sumber data (data Analisis pada laporan penelitian ini hanya berlaku untuk pertunjukan yang berlangsung di Yogyakarta pada tanggal 26-27 Februari 2015. Pada pertunjukan yang sama di tempat lain, hasil analisis mungkin berbeda. 21 29 wawancara, catatan pengamatan lapangan, arsip dokumen- dokumen panggung milik IFI-LIP Yogyakarta, artefak pertunjukan, arsip naskah pertunjukan Saidja, arsip foto dokumentasi pertunjukan, dan arsip video dokumentasi pertunjukan). b. Pembacaan dan Penyiapan Data Berdasarkan data yang telah terkumpul dan diklasifikasikan, data-data tersebut dipersiapkan untuk dianalisis. Penyiapan menggunakan alat-alat bantu sebagai berikut: b.1. Deskripsi performative text yang nampak di dokumentasi audio visual pertunjukan Saidja b.2. seleksi arsip foto/video yang mewakili data-data tentang profil penggunaan panggung Auditorium IFI-LIP Yogyakarta b.3. seleksi arsip foto/video yang mewakili data-data tentang bagaimana konstruksi ruang dalam pertunjukan Saidja b.4. model gambar panggung tampak atas untuk menunjukkan penataan setting dan bloking pemain/aktor b.5 model gambar panggung tampak depan untuk menunjukkan tata letak dan bloking karakter yang dimainkan di layar c. data-data yang telah diklasifikasikan dianalisis menggunakan teori-teori yang dikemukakan di sub-bab landasan 30 teori. Pada proses analisis data dan penulisan laporan penelitian beberapa data harus dikerucutkan untuk memfokuskan arah penelitian. Pada pemisahan setting antara masa kini dan masa lalu misalnya, tidak semua setting tempat masa lalu dianalisis karena perubahan yang terjadi pada setting tersebut tidak mempengaruhi bentuk fisik ruang. Semua tempat masa kini dianalisis karena menunjukkan perubahan fisik antara satu tempat ke tempat lain. Ruang pada setting masa lalu dibaca secara umum sebagai visualisasi narasi ingatan personal tentang masa lalu, sedangkan ruang pada setting masa kini dibaca dengan lebih detail untuk menunjukkan bagaimana konstruksi ruang mempengaruhi makna tentang relasi masa kini dan masa lalu, serta bagaimana relasi antara ruang dan peristiwa yang terjadi di dalamnya. G. SISTEMATIKA PENULISAN Laporan penelitian ditulis berdasarkan skema berikut: Bab I : Pendahuluan Terdiri dari sub-bab sebagai berikut: A. Latar Belakang B. Pertanyaan Penelitian C. Tujuan Penelitian D. Tinjauan Pustaka 31 E. Landasan Teori F. Metode Penelitian G. Sistematika Penulisan. Bab II: Auditorium IFI-LIP Yogyakarta dan Peristiwa Pertunjukan Saidja Terdiri dari sub-bab sebagai berikut: A. Deskripsi Ruang Auditorium IFI-LIP Yogyakarta B. Papermoon Puppet Theatre dan Het Volksoperahuis Sebelum Saidja C. Ruang Auditorium IFI-LIP Yogyakarta Pada Peristiwa Pertunjukan Saidja Bab III: Deskripsi Performative Text Pertunjukan Saidja Terdiri dari sub-bab sebagai berikut: A. Deskripsi Karakter Tokoh Pertunjukan Saidja B. Sinopsis Pertunjukan Saidja C. Deskripsi Setting Area Permainan D. Konstruksi Ruang Kampung Tebu Dalam Komunikasi Verbal dan Non-Verbal Bab IV: Konstruksi Ruang, Ingatan, dan Peristiwa Terdiri dari sub-bab sebagai berikut: 32 B. Analisis Ruang Menggunakan Teori Erving Goffman C. Analisis Ruang Menggunakan Teori Amos Rappoport D. Fungsi Ruang Sebagai Mnemonic Device Bab V: Penutup Daftar Pustaka Lampiran