2 Tinjauan Pustaka 2.1 Struktur dan Sintesis Flavon merupakan salah satu kerangka penting dari kelompok flavonoid. Jenis senyawa ini memiliki kerangka C6-C3-C6, dimana bagian C3 mengalami siklisasi dengan salah satu cincin aromatik membentuk cincin kromen. Senyawa flavon umumnya dihasilkan di dalam jaringan tumbuhan melalui jalur gabungan biosintesis asetat malonat dan fenil propana. Hal ini menyebabkan kerangka flavon alami hampir selalu mempunyai pola hidroksilasi cincin Α secara berselang-seling (posisi hidroksi saling meta satu dengan yang lain) (Gambar 2. 1), sementara variasi hidroksilasi terdapat pada cincin Β (Davies dan Schwin, 2006). 3' 4' 2' 1 8 7 R A O 1' C 2 R B HO 5' R O 6' 3 6 4 5 O OH 1 O 2 Gambar 2. 1 Kerangka dasar flavonoid dan pola hidroksilasi cincin Α (1) kerangka dasar flavonoid, (2) pola hidroksilasi cincin A Di laboratorium, senyawa flavon dapat disintesis dengan menggunakan metode BakerVenkataraman (Baker, 1933; Mahal dan Venkataraman, 1934) melalui reaksi antara asetofenon dengan benzoilklorida pada suasana basa. Tahap pertama dari reaksi ini adalah pembentukan ester benzoat yang diikuti dengan siklisasi akibat adanya reaksi antara enolat dari asetofenon dengan karbonil dari ester (Gambar 2. 2). Reaksi domino seperti pada reaksi Baker-Venkataraman ini sangat menguntungkan yaitu diperoleh rendemen yang tinggi karena senyawa antara tidak perlu diisolasi terlebih dahulu. R' O OH RO + R' Cl OR I O basa HO OH O II R' O O RO OR O Gambar 2. 2 Sintesis flavonoid yang dilakukan Beker-Venkataraman O 2 2.2 Analisis Retrosintesis Berdasarkan analisis retrosintesis, senyawa flavonoid teralkilasi dapat disintesis dari turunan asetofenon, turunan benzoil, dan alkil halida (Gambar 2. 3). Adapun tahapan-tahapan reaksi yaitu: sintesis turunan asetofenon, sintesis turunan fenil benzoat, sintesis senyawa β-diketon melalui penataulangan Baker-Venkataraman, dan sintesis flavonoid teralkilasi pada posisi C3. HO R3 O R1 R2 O HO OH R1 R2 R3 X CH3 Cl O O O R1 O OH R1 Gambar 2. 3 Analisis retrosintesis flavonoid teralkilasi 2.3 β-Diketon Senyawa β-Diketon atau 1-(2-fenil)-3-fenilpropan-1,3-dion (5) merupakan senyawa kunci dalam sintesis flavon (Gambar 2. 4). β-Diketon dapat disintesis melalui reaksi AllanRobinson (Allan & Robinson, 1924) melalui kondensasi asetofenon (3) dengan anhidrida asam benzoat (4). 5 Gambar 2. 4 Sintesis β-diketon Alternatif lain, senyawa β-diketon dapat disintesis dengan dua tahap reaksi melalui reaksi Baker-Venkataraman (BK-VK) (Baker, 1933 & Venkataraman, 1934). Metode ini dapat mengkonversi 2-hidroksiasetofenon (3) menjadi benzoilester (6) dengan penambahan basa untuk memicu terjadinya kondensasi intramolekul Claisen membentuk 1,3-diketon (5) (Gambar 2. 5). Gambar 2. 5 Penataulangan Baker-Venkataraman Pada reaksi penataulangan Baker-Venkataraman dapat digunakan berbagai macam basa di antaranya: KOH (Muller, et.al., 2000), K2CO3 (Bois, et.al., 1999), NaOH (Hauteville, et.al.,1996), KOtBu, NaH (Kalinin, et.al., 1998), LDA, LiH, dan LiHMDS (Krohn, et.al., 1996). Siklisasi β-Diketon (5) menjadi senyawa (8) dapat dilakukan dengan bantuan asam asetat yang dikatalisis oleh asam sulfat (0,5 %v) dengan pemanasan selama 30 menit hingga 1 jam. 6 Gambar 2. 6 Siklisasi β-diketon 2.4 Calkon (Perruchon, 2004) 2’-Hidroksicalkon (10) merupakan senyawa antara penting dalam sintesis senyawa flavonoid (Harborne, 1975) seperti flavon, flavonol, 3-hidroksiflavanon, dan auron. Calkon dapat disintesis melalui kondensasi Claisen-Schmidt dengan mereaksikan aldehid aromatik (3) dan benzaldehid (9) dengan bantuan katalis alkali (Gambar 2. 7). Gambar 2. 7 Sintesis calkon Ada banyak cara yang berbeda untuk mensintesis starting material calkon. Senyawa calkon dapat disintesis menggunakan bantuan asam (Kalinin, 1998), basa (Krohn, 1996), silika (Sangwan, 1984), cahaya (Matsushima, 1985), Co(II) Schifft base complexes (Maruyama, 1989), paladium (Kaskara, 1974), platina (Maki, 1988), pemanasan (Harris, 1967), elektrolisis (Sanicanin, 1986), dan sistem reagen nikel klorida/seng/kalium iodida (Ali, 1984). Senyawa antara calkon (11) direaksikan dengan Br2 menghasilkan senyawa dibromida (12) yang selanjutnya direaksikan dengan kalium hidroksida yang akan menghasilkan produk flavon (14). Selain itu, dikembangkan juga reaksi Algar Flynn Oyamada (AFO) untuk mensintesis flavonol dari calkon (13) (Gambar 2. 8). 7 Gambar 2. 8 Siklisasi calkon Siklisasi 3-fenilcalkon (11) dalam medium alkohol dan basa dapat menghasilkan 6- dan 8substituen flavanon (15) (Furlong & Nudelman, 1988) (Gambar 2. 9). Gambar 2. 9 Siklisasi calkon (11) menjadi flavanon (15) 2.5 Epoksidasi Flavon Pengubahan senyawa flavon (15) menjadi senyawa flavonol (16) dapat dilakukan melalui pembentukan epoksida (17), dengan bantuan oksidator H2O2 (Donnelly, 1980), m-CPBA (Sanicanin, 1986), SeO2 (Mahal, 1935), KMnO4 (Kurosawa, 1978), NiO2 (Evans, 1979) namun hasilnya masih belum memuaskan. Oksidator yang paling efisien untuk pembentukan epoksida yaitu dimetildioksiran (DMD) (Waldemar, 1991). Jika pembentukan epoksida telah berhasil dilakukan maka senyawa epoksida (17) akan dengan mudah dikonversi menjadi flavonol (16) (Gambar 2. 10). 8 Gambar 2. 10 Epoksidasi flavon menghasilkan flavon 2.6 Epoksidasi Calkon Penggunaan reagen DMD sebagai pembentuk epoksida dapat digunakan juga untuk epoksidasi senyawa alkena yang kaya elektron seperti calkon (18) untuk mensintesis flavonol (21). Senyawa 2’-hidroksicalkon epoksida (19) dapat dikonversi menjadi senyawa 21 dan senyawa 20 melalui penggunaan alkali dan reagen AFO (Kashara, 1974 & Maki, 1988) (Gambar 2. 11). Gambar 2. 11 Epoksidasi calkon 9 2.7 Reaksi dengan prekursor lain Katalis paladium dapat digunakan dalam sintesis flavon (24) dengan mereaksikan oiodofenol (22) dan asetilen (23) yang dialiri gas karbon monoksida, amina tersier dan kompleks katalis paladium (Kalinin, 1990) (Gambar 2. 12). Gambar 2. 12 Sintesis flavon menggunakan katalis paladium Ellmose (Ellmose, 1995) menggunakan protokol isoxazole (26) dan kopling Heck-Stille untuk mensintesis polihidroksi flavon (27). Gambar 2. 13 Metode Isoxazole dan kopling Heck-Stille Sintesis dihidroksifenalsilidin trifenilfosparan dari 2,4- atau 2,5-dibenzoiloksiasetofenon (28) telah berhasil dilakukan oleh Le Floc’H dan Lefeuvre (Le Floc’H dan Lefeuvre, 1986). Asilasi gugus hidroksi dari ilida diikuti dengan olefinasi intramolekul gugus ester karbonil dan hidrolisis gugus ester kedua menghasilkan senyawa 6- atau 7-hidroksikromon (31) (Gambar 2. 14). 10 Gambar 2. 14 Sintesis kromon dari ilida Subramanian dan Balasubramanian menggunakan trifluoroasetat untuk mensintesis flavon. Senyawa γ-bromo (33) dengan mereaksikan senyawa 31 dengan NBS dengan kehadiran perak nitrat. Selanjutnya senyawa 33 ditransformasi menjadi flavon (34) dengan kehadiran raksa (II) trifluoroasetat (Gambar 2. 15). Gambar 2. 15 Sintesis flavon (44) menggunakan raksa(II) trifluoroasetat Sintesis polihidroksiflavon dapat disintesis juga dengan mereaksikan di-/tri- hidroksiasetofenon dan mono-/dihidroksibenzaldehid dengan kehadiran katalis asam borat dalam campuran reaksi (Chan, 1996). Kondensasi bromonitrometan (36) dengan benzaldehid (35) menjadi (2-kloro-2-nitroetenil)benzen dapat bereaksi lebih lanjut menjadi dihidrobenzopiran (38) (Dauzonne, 1997). Senyawa dihidrobenzopiran (38) akan dioksidasi menjadi senyawa (39) dengan oksidator piridium klorokromat (PCC) (Dauzonne, 1992) yang dapat ditransformasi lebih lanjut menjadi 3-aminoflavon (41) dengan bantuan katalis paladium atau dapat ditransformasi 11 menjadi flavanon (40) dengan bantuan 2,2’-azobisisobutilonitril (AIBN) (Dauzome, 1997) (Gambar 2. 16). Gambar 2. 16 Rute sintesis flavavon (50) dan 3’-aminoflavon (51) 2.8 Sintesis fotokimia Brack (Brack, 1999) melakukan sintesis fotokimia 4’-N,N-dimetilamino-2’-hidroksicalkon (42) dalam larutan hidrokarbon yang menghasilkan 4’-N,N-dimetilamino-3-hidroksiflavon (45) (Gambar 2. 17). 12 Gambar 2. 17 Reaksi fotokimia 4’-N,N-dimetilamino-2’-hidroksicalkon (42) 2.9 Penataulangan Fries (Bagno, 2006) Penataulangan Fries merupakan reaksi yang mentransformasi ester aril menjadi senyawa hidroksi karbonil dengan bantuan asam Lewis. Pada tahun 2006, Bagno et.al. mengusulkan mekanisme penataulangan Fries aril format dengan bantuan BF3 menggunakan spektroskopi 1 H, 2H, 11B NMR, dan melakukan studi komputasi dengan DFT untuk mengetahui energetika beberapa jalur reaksi. Bagno melaporkan hasil spektroskopi NMR ditemukan tiga langkah utama penataulangan Fries (Gambar 2. 18). Gambar 2. 18 Tiga langkah utama penataulangan Fries hasil spektroskopi NMR Bagno mengusulkan mekanisme reaksi penataulangan Fries aril format dengan katalis BF3 seperti pada Gambar 2. 19. 13 Gambar 2. 19 Koordinat reaksi mekanisme penataulangan Fries yang diusulkan Bagno 2.10 Bioaktivitas Senyawa flavonoid dilaporkan memiliki sifat antioksidan. Bahkan literatur mutakhir menyebutkan adanya kemungkinan penggunaan senyawa flavonoid dalam kemoterapi kanker (Matsui, 2005). Beberapa senyawa flavonoid alam memberikan sifat sitotoksik terhadap sel kanker murine leukemia P388. Hasil yang dilaporkan menunjukkan adanya gugus orto dihidroksi pada cincin B dan gugus alkil pada posisi C-3 bertanggung jawab terhadap tingginya sifat sitotoksisitas dari senyawa-senyawa flavonoid (Hakim et.al., 2006). Senyawa orto dihidroksi dan alkil pada C-3 tersebut telah dipatenkan para peneliti Jepang sebagai struktur yang memiliki bioaktivitas tinggi (Japan Pat., 1992) (Gambar 2. 20). HO HO O OH OH OH O 46 Gambar 2. 20 Senyawa flavonoid alam yang dipatenkan Jepang Meskipun telah banyak publikasi yang mengungkapkan peran pola hidroksilasi cincin B pada kerangka flavon sebagai faktor penting terhadap tingginya aktivitas biologi pada 14 senyawa flavonoid, namun pengujian sifat sitotoksisitas tersebut masih terbatas hanya pada senyawa yang telah berhasil diisolasi dari alam saja. 2.11 Kimia Komputasi Kimia komputasi adalah cabang kimia teori yang bertujuan menghitung sifat-sifat molekul (seperti energi total, momen dipol, frekuensi vibrasi, dan spektroskopi molekul) dan perubahannya maupun simulasi terhadap molekul-molekul besar (seperti protein dan asam nukleat, atau sistem gas, cairan, dan padatan) menggunakan perangkat komputer dan menerapkan program tersebut pada sistem kimia nyata. Sifat-sifat molekul yang dapat dihitung contohnya konformasi struktur keadaan stabil maupun keadaan transisi, energi dan selisih energi, muatan, momen dipol, kereaktifan, frekuensi getaran, dan spektroskopi lainnya. Kimia teori didefinisikan sebagai deskripsi matematika untuk kimia, sedangkan kimia komputasi umumnya menggunakan metode matematika yang telah dikembangkan dengan bantuan komputer untuk menyelesaikan suatu permasalahan-permasalahan di dalam ilmu kimia (Martoprawiro, 2008). Dalam mengkaji molekul (yang terdiri dari inti dan elektron) diperlukan metode mekanika kuantum. Kimiawan komputasi sering berusaha memecahkan persamaan Schrödinger nonrelativistik dengan menambahkan koreksi relativistik, meskipun dalam perkembangannya telah dilakukan juga pemecahan persamaan Schrödinger yang sepenuhnya relativistik. Persamaan Schrödinger yang dapat diselesaikan secara analitis hanyalah pada atom hidrogen. Untuk atom-atom lain, penyelesaian persamaan Schrödinger dilakukan secara numerik. Ada beberapa kajian yang dapat dilakukan melalui perhitungan komputasi. Kajian komputasi dapat dilakukan untuk menentukan titik awal dalam sintesis di laboratorium. Kajian komputasi dapat digunakan untuk menjelajahi mekanisme reaksi dan menjelaskan pengamatan pada reaksi di laboratorium. Selain itu, kajian komputasi dapat digunakan juga untuk memahami sifat dan perubahan pada sistem makroskopik melalui simulasi yang berlandaskan hukum-hukum interaksi yang ada dalam sistem (Martoprawiro, 2008). Berdasarkan tingkat teori yang digunakan, kimia komputasi dikelompokkan menjadi dua, yaitu mekanika molekul dan teori struktur elektron (Foresman dan Frisch, 1996). Mekanika molekul menggunakan pendekatan mekanika klasik dalam menyelesaikan permasalahan komputasinya sedangkan teori struktur elektron menggunakan mekanika kuantum dalam menyelesaikan permasalahan komputasinya. Tetapi dalam beberapa hal keduanya melakukan dasar perhitungan yang sama, yaitu: 15 • Perhitungan energi suatu struktur molekul tertentu. • Optimasi geometri, untuk mencari konformasi struktur molekul yang memiliki energi terendah untuk mendekati konformasi struktur keadaan sebenarnya. • Perhitungan frekuensi vibrasi molekul yang diperoleh dari gerakan antar atom dalam molekul. 2.12 Metode Ab Initio Ab initio berasal dari bahasa Latin yang berarti prinsip pertama (first principle). Pada metode ini, perhitungan diturunkan secara langsung dari prinsip-prinsip teoretis yang mendasar, tanpa memerlukan data eksperimen. Metode ini menggunakan pendekatan kuantum dalam penyelesaiannya. Beberapa pendekatan dalam dilakukan untuk menyelesaikan perhitungan dengan metode ab initio. Pendekatan pertama yaitu pendekatan Born-Oppenheimer yang memisahkan gerakan elektron dengan inti. Setelah itu, digunakan pendekatan dengan metode variasi atau metode perturbasi. Pada prinsip variasi, digunakan fungsi gelombang coba-coba untuk pendekatan terhadap fungsi gelombang sebenarnya. Selanjutnya, penyelesaian persamaan Schrödinger dilakukan berdasarkan pencarian nilai parameter dalam fungsi gelombang coba-coba yang memberikan energi seminimum mungkin. Salah satu metode penyelesaian persamaan Schrödinger dengan metode ab initio yaitu perhitungan Hartree-Fock (HF) dengan pendekatan medan pusat (central field approximation). Tolakan Coulomb antar elektron tidak secara spesifik dimasukkan ke dalam perhitungan, tetapi efek tolakan tersebut diperhitungkan sebagai tolakan antara suatu elektron tertentu dengan suatu fungsi kerapatan yang mewakili elektron-elektron lainnya yang bersifat statis (tetap). Penyelesaian persamaan Hartree-Fock dilakukan melalui metode berulang atau iteratif. Dalam penyelesaiannya, dibuat suatu operator Fock yang menghasilkan pembentukan orbital baru. Orbital baru yang dihasilkan digunakan untuk menentukan operator Fock baru. Prosedur tersebut diulang-ulang hingga mencapai harga konvergensi dimana orbital baru yang dihasilkan sama dengan orbital sebelumnya. Dengan alasan inilah, metode HartreeFock sering disebut juga dengan medan konsisten diri (Self-Consistent Field, SCF). Metode HF memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihan metode HF yaitu akurat dalam meramalkan geometri molekul. Akan tetapi karena metode HF tidak memperhitungkan korelasi elektron maka metode ini kurang baik dalam meramalkan energi molekul. 16 Untuk memperbaiki peramalan energi, dikembangkanlah metode-metode yang memperhitungkan korelasi elektron yang dikenal dengan istilah Post-SCF. Beberapa contoh metode ini yaitu metode Møller-Plesset (Møller-Plesset Perturbation Theory, MPn), dimana n menunjukkan tingkat korelasi; metode konsistensi diri multikonfigurasi (Multi Configurational Self-Consistent Field, MC-SCF), interaksi konfigurasi (Configuration Interaction, CI), dan Coupled Cluster Theory, CC. 2.13 Postulat Mekanika Kuantum (House, 2004) Postulat I Untuk suatu keadaan yang mungkin untuk suatu sistem, terdapat sebuah fungsi, Ψ, terhadap koordinat bagian-bagian sistem dan waktu, dan fungsi tersebut secara lengkap menggambarkan sistem tersebut. Ψ ( x, y , z , t ) Ψ ( x1 , y1 , z1 ; x2 , y2 , z2 ;...; t ) (1) Ψ ( qi , t ) dimana, Ψ, merupakan fungsi gelombang; x,y,z merupakan koordinat sumbu kartesius; t adalah waktu; q merupakan koordinat secara umum; i menggambarkan keadaan kuantum. Makna fisik dari fungsi di atas adalah bahwa kebolehjadian untuk menemukan partikelpartikel penyusun sistem dalam elemen volume dτ sama dengan Ψ * Ψdτ . Kebolehjadian untuk menemukan partikel-partikel penyusun sistem dalam batas-batas ruang tertentu adalah: ∫ Ψ Ψdτ * (2) Nilai kebolehjadian untuk seluruh ruang harus bernilai satu. Jika belum bernilai satu, maka fungsi gelombang tersebut perlu dinormalkan. Adapun syarat suatu fungsi gelombang yang menggambarkan sistem, yaitu: tertentu (finite), bernilai tunggal (single-valued), dan kontinu (continue). ∞ ∫ Ψ Ψdτ = 1 * (3) −∞ Postulat II Untuk setiap variabel dinamik (besaran fisik teramati) terdapat sebuah operator yang berkaitan. 17 Beberapa operator yang sering digunakan: Tabel 2. 1 Beberapa operator yang sering digunakan Besaran Operator Lambang Koordinat x, y, z, r x, y, z, r Momentum px p y p z = ∂ = ∂ = ∂ , , i ∂x i ∂y i ∂z Energi kinetik Energi T= p2 2m − =2 ⎛ ∂ 2 ∂2 ∂2 ⎞ ⎜ 2+ 2+ 2⎟ ∂y ∂z ⎠ 2m ⎝ ∂x V V Lz =⎛ ∂ ∂ ⎞ = ∂ ⎜x − y ⎟, ∂x ⎠ i ∂φ i ⎝ ∂y potensial Momentum sudut Postulat III Nilai yang dapat dimiliki oleh suatu variabel dinamik bisa beberapa nilai yang memenuhi ˆ = aφ αφ (4) dimana φ adalah fungsi eigen dari operator α̂ , yang berkaitan dengan nilai yang teramati dari besaran a. Jika persamaan dalam postulat di atas tidak dapat diperoleh, maka nilai besaran tersebut tidaklah pasti, maka nilai yang teramati dari besaran tersebut merupakan nilai rata-rata, yang dapat ditentukan melalui persamaan: 18 a = ∫ ˆ dτ φ *αφ all − space ∫ φ φ dτ * (5) Postulat IV Fungsi gelombang, Ψ, merupakan solusi dari persamaan Ĥ Ψ = EΨ , dimana Ĥ adalah operator Hamiltonian, E adalah energi total. Dengan nilai Hamiltonian (Ĥ) sebagai berikut: e2 Z k e2 Z k Zl e2 =2 2 =2 2 Hˆ = −∑ ∇i − ∑ ∇ k − ∑∑ +∑ +∑ rik rkl i 2me j 2mk i k i < j rij k <l (6) 2.14 Fungsi Gelombang, Orbital, dan Fungsi Basis Menurut teori mekanika kuantum, keberadaan elektron-elektron dapat digambarkan dengan suatu fungsi orbital. Secara umum, fungsi orbital elektron dapat dinyatakan dalam bentuk fungsi gelombang (Martoprawiro, 1998). Perlu ditekankan bahwa fungsi gelombang, Ψ, sebenarnya tidak mempunyai makna fisik. Tetapi ketika fungsi gelombang tersebut dikuadratkan, Ψ2, barulah kuadrat fungsi gelombang tersebut mempunyai makna yaitu rapat kebolehjadian keberadaan elektron dalam ruang. Secara visual, keragaman nilai fungsi gelombang dinyatakan dengan titik-titik dengan kerapatan yang berbeda. Daerah dengan kemungkinan terbesar untuk menemukan elektron disebut “orbital”. Jika orbital divisualisasikan dengan garis tegas, bisa ditafsirkan bahwa kebolehjadian untuk menemukan elektron di dalam garis tegas tersebut adalah 95% dan masih ada kemungkinan berada di luarnya dengan kebolehjadian sebesar 5%. (Martoprawiro, 2007). Seperti disebutkan di atas, fungsi gelombang orbital diperoleh dengan menyelesaikan persamaan Schrödinger. Solusi persamaan diferensial Schrödinger untuk atom hidrogen diperoleh: φnlm (r ,θ ,φ ) = Rnl (r , E )Ylm (θ ,φ ) dengan Rnl (r , E ) merupakan fungsi radial dan Ylm (θ ,φ ) merupakan fungsi sudut. Fungsi radial tidak mempunyai makna, yang mempunyai arti fisik adalah fungsi distribusi radial yaitu rapat kebolehjadian menemukan elektron (Gambar 2. 21 & Gambar 2. 22). Sedangkan fungsi sudut menggambarkan bentuk orbital (Gambar 2. 23) (Huheey, 1993). 19 Gambar 2. 21 Fungsi radial orbital 1s, 2s, 2p, 3s, dan 3p Gambar 2. 22 Fungsi distribusi radial orbital 2s dan 2p Dari solusi tersebut dapat diperoleh fungsi gelombang untuk masing-masing orbitalnya, seperti: 3 ψ 100 1 ⎛Z⎞2 = 1 ⎜ ⎟ e− Zr / a , untuk orbital 1s π 2⎝a⎠ ψ 200 Zr ⎞ − Zr / 2 a ⎛Z⎞ ⎛ , untuk orbital 2s = ⎟ ⎜ 2 − ⎟e 1/ 2 ⎜ a ⎠ 4 ( 2π ) ⎝ a ⎠ ⎝ ψ 210 ⎛Z⎞ − Zr / 2 a = cosθ , untuk orbital 2Pz ⎟ re 1/ 2 ⎜ a 4 ( 2π ) ⎝ ⎠ 1 1 3 5 2 2 5 (8) ⎛Z⎞ − Zr / 2 a ψ 21−1 = sin θ e− iφ ⎟ re 1/ 2 ⎜ 4 ( 2π ) ⎝ a ⎠ 1 5 2 ⎛Z⎞ − Zr / 2 a sin θ e + iφ ψ 211 = ⎟ re 1/ 2 ⎜ 4 ( 2π ) ⎝ a ⎠ 1 2 20 dengan a merupakan jari-jari Bohr dan Z merupakan muatan inti. Untuk memvisualisasikan orbital, kimiawan menemukan bahwa fungsi gelombang ψ 21−1 dan ψ 211 sulit divisualisasi, tetapi ketika fungsi gelombang ψ 21−1 dan ψ 211 dijumlahkan barulah gabungan orbital ini dapat divisualisasikan yaitu fungsi gelombang orbital 2px, sedangkan hasil operasi pengurangan ψ 21−1 dan ψ 211 diperoleh fungsi gelombang orbital 2py. Gambar 2. 23 Bentuk orbital 1s, 2s, dan px,py,pz Fungsi Basis Untuk atom-atom lain selain atom hidrogen, sebagai pendekatan fungsi gelombang atomnya digunakan fungsi gelombang atom hidrogen. Pada tahun 1930, J.C. Slater mengusulkan persamaan matematika baru yang berdasarkan fungsi orbital atom hidrogen yang dapat digunakan untuk atom berelektron banyak (Quinn, 2002). Fungsi gelombang yang diusulkan Slater ini selanjutnya dikenal sebagai Slater type orbital (STO). ( 2ζ ) φSTO ( r , θ , φ; ζ , n, l , m ) = r r −1e − ζr Yl m ( θ , φ ) l /2 ⎡⎣( 2n ) !⎤⎦ n+l / 2 (9) Keunggulan STO yaitu terdapat pada kemiripan fungsi gelombangnya dengan orbital hidrogen. Meski demikian, pendekatan ini mengandung kesalahan yang cukup besar, karena usaha untuk membuat aturan yang bisa digeneralisasi untuk sejumlah besar atom. Untuk mengatasi hal tersebut, pada tahun 1950, Boys mengusulkan untuk menggunakan fungsi Gaussian. Fungsi gelombang yang diusulkan ini selanjutnya lebih dikenal sebagai orbital bertipe Gaussian (Gaussian Type Orbital, GTO) (Quinn, 2002). 21 ⎛ 2α ⎞ φGTO ( x, y , z; α , i , j , k ) = ⎜ ⎟ ⎝ π ⎠ 3/4 1/2 ⎡ ( 8α )i + j + k i ! j ! k ! ⎤ ⎢ ⎥ ⎢⎣ ( 2i ) !( 2 j ) !( 2k ) ! ⎥⎦ xi y j z k e ( − α x2 + y 2 + z 2 ) (10) Kelebihan GTO yaitu GTO sangat unggul secara komputasi dibandingkan dengan STO. Tetapi GTO belum dapat menandingi STO dalam hal kemiripannya dengan orbital hidrogen (Gambar 2. 24). Gambar 2. 24. Perbandingan antara orbital tipe Slater dan tipe Gaussian Untuk mengatasi hal tersebut, Reeves mengusulkan untuk menggunakan kombinasi beberapa fungsi Gaussian untuk mendekati bentuk fungsi Slater, yang selanjutnya dikenal sebagai Gaussian-terkontraksi (STO-MG). M ϕ STO − MG ( x, y, z; [α ], i, j , k ) = ∑ c aφ ( x, y, z; α a , i, j , k ) (11) a =1 Nilai M di ruas kanan menunjukkan jumlah fungsi Gaussian yang dipakai untuk menyusun orbital tersebut. Fungsi-fungsi Gaussian tersebut dikenal sebagai fungsi Gaussian primitif. Kinerja yang optimal diperoleh dengan menggunakan tiga primitif Gaussian (M=3) (Cramer, 2004). Dengan demikian, suatu orbital bukan hanya diwakili oleh satu fungsi, melainkan merupakan kombinasi dari beberapa fungsi yang lebih sederhana. Selanjutnya, dari hal inilah muncul konsep himpunan basis (Gambar 2. 25). 22 Gambar 2. 25 Kombinasi linear dari tiga fungsi Gaussian membentuk satu fungsi basis Slater Minimal basis set Jumlah orbital yang terdapat pada kulit atom menentukan jumlah minimal fungsi basis yang dibutuhkan untuk menggambarkan semua elektron dalam atom. Misalnya untuk atom H dan He yang mempunyai satu kulit, diperlukan minimal fungsi basisnya yaitu orbital 1s. Sedangkan atom Li sampai atom Ne diperlukan minimal lima fungsi basis, yaitu 1s, 2s, 2px, 2py, dan 2pz. Tabel 2. 2 menyajikan jumlah fungsi basis minimal untuk beberapa atom. Tabel 2. 2. Jumlah minimal basis set untuk berbagai atom Atom H, He Li sampai Ne Na sampai Ar K dan Ca Sc sampai Kr Jenis Orbital atom 1s 1s 2s 2px, 2py, 2pz 1s 2s 2px, 2py, 2pz 3s 3px, 3py, 3pz 1s 2s 2px, 2py, 2pz 3s 3px, 3py, 3pz 4s 4px, 4py, 4pz 1s 2s 2px, 2py, 2pz 3s 3px, 3py, 3pz 3d2z2 −x2 − y2 , 3dx2 − y2 ,3dxy 3dyz ,3dxz Jumlah 1 5 9 13 18 4s 4px, 4py, 4pz Himpunan Basis (Foresman, 1996 & Levine, 2000) Peningkatan kualitas himpunan basis dilakukan dengan cara yang mirip dengan pembentukan himpunan terkontraksi. Terdapat sebuah keteraturan bahwa semakin besar ukuran basis set maka akan semakin dekat dengan orbital STO. Namun, semakin tinggi kualitas himpunan basis harus “dibayar” dengan biaya komputasi yang lebih tinggi (waktu, kapasitas komputer, dsb.). 23 Himpunan basis merupakan deskripsi matematika dari sekumpulan orbital sistem yang telah diketahui, yang dikombinasikan untuk mendekati fungsi gelombang total dari sistem yang dikaji. Untuk mendekati orbital-orbital yang lebih akurat, dilakukan tiga cara perbaikan himpunan basis, yaitu: 1) Himpunan basis valensi terpisah Pada himpunan basis valensi terpisah ditambahkan sejumlah fungsi basis per atom untuk elektron kulit valensi dan elektron kulit dalam. Himpunan basis yang diperluas di antaranya zeta ganda (Double Zeta, DZ) yang mengandung dua kali fungsi basis dari basis minimal. Zeta rangkap tiga (Triplet Zeta, TZ) yang mengandung tiga kali fungsi dari minimal basis (Tabel 2. 3). Himpunan basis valensi terpisah zeta ganda dilambangkan dengan X-YZG. Dimana X menunjukkan jumlah primitif Gaussian yang digunakan setiap orbital fungsi basis atom. Y dan Z menunjukkan jumlah primitif untuk perluasan di kulit valensi. Untuk himpunan basis valensi terpisah zeta rangkap tiga dilambangkan dengan XYZWG. YZW menunjukkan jumlah primitif untuk perluasan di kulit valensi. Contoh himpunan basis valensi yaitu 3-21G dan 6-31, memiliki dua atau lebih ukuran fungsi basis untuk tiap orbital valensi. Sebagai contoh untuk atom hidrogen dan karbon: H : 1s, 1s’ C : 1s, 2s, 2s’, 2px, 2py, 2pz, 2px’, 2py’, 2pz’ setiap orbital yang diberi tanda kutip berbeda ukurannya dengan orbital tanpa tanda kutip. Sedangkan notasi 3-21G menandakan bahwa di dalam himpunan basis terdapat tiga fungsi Gaussian yang mewakili orbital elektron kulit dalam, dua fungsi Gaussian untuk orbital elektron bagian terkontraksi, dan satu fungsi Gaussian yang mewakili orbital elektron yang berdifusi (Gambar 2. 26). = Gambar 2. 26 Gambar himpunan basis terpisah 24 Tabel 2. 3 menunjukkan single-ζ untuk elektron pada kulit dalam dan double-ζ (zeta ganda) untuk kulit valensi Atom H, He Li sampai Ne Na sampai Ar K sampai Ca Sc sampai Kr Jenis Orbital atom 1s’ 1s” 1s 2s’ 2px’, 2py’, 2pz” 2s” 2px”, 2py”, 2pz” 1s 2s 2px, 2py, 2pz 3s’ 3px’, 3py’, 3pz” 3s” 3px”, 3py”, 3pz” 1s 2s 2px, 2py, 2pz 3s3px,3py,3pz 4 s’ 4px’, 4py’, 4pz” 4s” 4px”, 4py”, 4pz” 1s 2s 2px, 2py, 2pz 3s3px,3py,3pz Jumlah 2 9 13 17 27 3d'2z2−x2−y2 , 3d'x2−y2 ,3d'xy 3d'yz ,3d', 3d"2z2−x2−y2 , 3d";x2−y2 ,3d"xy 3d"yz ,3d"xz 4s 4px, 4py, 4pz 2) Himpunan basis terpolarisasi Pada himpunan basis valensi terpisah diperbolehkan mengubah ukuran orbital tanpa mengubah bentuk orbital. Sedangkan pada himpunan basis terpolarisasi kesulitan penanganan bentuk orbital yang berubah dapat diatasi dengan menambah orbital-orbital yang momentum sudutnya lebih tinggi daripada yang dibutuhkan. Sebagai contoh dengan menambah fungsi orbital p untuk atom hidrogen dan menambah fungsi orbital d pada atom nonhidrogren. Penggunaan tanda asterisk (*) digunakan untuk menunjukkan penggunaan himpunan basis terpolarisasi. Misalnya, 6-31G* mengacu pada himpunan basis 6-31G dengan fungsi polarisasi pada atom nonhidrogen dengan menambahkan satu orbital kosong p atau d kosong di atasnya. Sedangkan himpunan basis 6-311G** mengacu pada himpunan basis 6-311G dengan menambahkan dua orbital kosong di atasnya misalnya orbital 3p dan 3d pada atom karbon (Gambar 2. 27). = Gambar 2. 27 Gambar himpunan basis terpolarisasi 25 3) Himpunan basis difusi Himpunan basis terpolarisasi kurang mampu menggambarkan kerapatan elektron yang jauh dari inti seperti anion atau molekul yang memiliki pasangan elektron bebas. Hal ini disebabkan amplitudo fungsi Gaussian bernilai rendah pada daerah yang jauh dari inti. Untuk mengatasinya digunakan himpunan basis difusi. Himpunan basis difusi ditandai oleh tanda “+”. Misalnya himpunan basis 6-311+G** merupakan himpunan basis yang mengacu pada himpunan basis 6-311G** dengan penambahan fungsi difusi pada atom nonhidrogennya. Sedangkan himpunan basis 6-311++G** menambahkan fungsi difusi juga pada atom hidrogennya (Gambar 2. 28). = Gambar 2. 28 Gambar himpunan basis difusi 2.15 Hampiran Born-Oppenheimer Persamaan Schrödinger hanya dapat diselesaikan dapat secara eksak untuk sistem-sistem yang sederhana, seperti atom hidrogen atau atom mirip hidrogen (hydrogen-like) dan molekul H2+(Krane, 1996). Fungsi gelombang yang memenuhi persamaan Schrödinger untuk atom hidrogen biasanya disebut orbital. Untuk sistem-sistem yang lebih kompleks, penyelesaian persamaan Schrödinger tidak dapat diselesaikan secara eksak sehingga perlu digunakan beberapa pendekatan. Pendekatan pertama yang diterapkan molekul yaitu pendekatan Born-Oppenheimer. Karena massa inti jauh lebih besar dari massa elektron maka kecepatan inti atom jauh lebih kecil dibanding dengan kecepatan elektron sehingga inti dapat dianggap diam. Selanjutnya karena inti dianggap diam maka energi kinetik inti (Tn) dapat diabaikan. Secara umum, untuk sistem N partikel, operator Hamiltoniannya mengandung komponenkomponen energi kinetik (T) dan energi potensial (V) untuk seluruh partikel. H = Te + Tn + Vne + Vee + Vnn (12) n = inti, e = elektron 26 Dengan hampiran Born-Oppenheimer, operator Hamiltoniannya menjadi : H e = Te + Vne + Vee + Vnn N H e = −∑ i =1 1 2 ∇i − 2 N M ∑∑ i =1 A =1 ZA + riA N −1 ∑ i =1 N 1 + ∑ j = i + 1 rij M −1 ⎛ ∂2 ∂2 ∂2 ⎞ ∇ i2 = ⎜⎜ 2 + 2 + 2 ⎟⎟ ⎝ ∂ xi ∂ yi ∂ zi ⎠ M ∑ ∑ A =1 B = A +1 Z AZ B r AB (13) i dan j adalah indeks elektron, A dan B indeks inti, Z muatan inti, N jumlah elektron, dan M adalah jumlah inti. 2.16 Prinsip Variasi (Cramer, 2004 & Martoprawiro, 2008) Prinsip variasi menyatakan bahwa jika digunakan fungsi gelombang coba-coba atau “sembarang”, maka energi hasil perhitungan selalu lebih besar dari energi sebenarnya. Prinsip ini dapat digunakan untuk melakukan penyempurnaan fungsi gelombang hingga diperoleh energi seminimal mungkin. Dari prinsip variasi ini akhirnya muncul istilah metode variasi. Salah satu penerapan dari metode variasi yaitu dengan mencoba-coba fungsi gelombang untuk suatu sistem kimia tertentu, dimana fungsi gelombang “coba-coba” (trial wavefunction) tersebut berupa kombinasi linear dari fungsi-fungsi lainnya. Φ = ∑ c iψ i (14) i dengan memasukkannya ke E = ∫ ΨHˆΨd τ , ∫ Ψ dτ 2 akan diperoleh ungkapan energi sebagai fungsi dari cj. Fungsi gelombang yang paling baik merupakan fungsi gelombang yang menghasilkan energi seminimum mungkin. Untuk mencari nilai-nilai cj yang paling baik, digunakan: ∂E = 0 , agar diperoleh nilai energi minimum ∂c i 27 2.17 Pendekatan Himpunan Basis LCAO (Cramer, 2004) Dalam pendekatan ini, fungsi gelombang orbital molekul dapat dianggap sebagai kombinasi linear fungsi gelombang orbital atom-atom penyusunnya N φ = ∑ a i ϕi (15) i =1 dimana sekumpulan fungsi-fungsi ϕi disebut sebagai “basis set” Salah satu contoh penggunaan pendekatan teori orbital molekul adalah teori Huckel. Prinsip pendekatannya yaitu dengan menggunakan fungsi gelombang dan Hamiltonian yang hanya melibatkan elektron-elektron pada orbital π dalam molekul. Karena tidak melibatkan seluruh elektron dalam molekul, maka diperlukan beberapa parameter yang harus ditentukan dengan membandingkannya dengan data percobaan (umumnya data spektroskopi). Oleh karena itu, pendekatan ini disebut juga sebagai pendekatan semiempiris. 2.18 Teori Hartree-Fock (Self Consistent Field Theory, SCF) (Cramer, 2004 & Martoprawiro, 2008) Pada teori Hartree-Fock, Hamiltonian untuk sistem berelektron banyak dapat diungkapkan: N H = ∑ hi (16) i =1 M Z 1 dimana hi = − ∇i2 − ∑ k 2 k =1 rik Dari persamaan Schrödinger untuk pendekatan ini, dengan mengabaikan interaksi elektronelektron, diperoleh hi ψ i = ε i ψ i untuk per elektron. Sedangkan untuk elektron keseluruhan: H Ψ = EΨ ⎛ ⎞ ⎛ N ⎞ h Ψ = ⎜∑ i ⎟ ⎜ ∑εi ⎟ Ψ ⎝ i =1 ⎠ ⎝ i =1 ⎠ N (17) Dari ungkapan terakhir dapat dibuktikan bahwa fungsi gelombang untuk sistem keseluruhan (sistem berelektron banyak), merupakan perkalian dari fungsi gelombang untuk masingmasing elektron. Ψ = ψ 1ψ 2ψ 3ψ 4 ... (18) 28 Ungkapan ini selanjutnya disebut sebagai Hartree-product. Selanjutnya, Hartree mengusulkan untuk merumuskan tolakan antar elektron, sebagai tolakan antara satu elektron tertentu dengan keadaan rata-rata elektron yang lain. Dengan memperhitungkan tolakan antar elektron, maka hi disempurnakan menjadi: Zk +V i { j } k =1 rik 1 2 M hi = − ∇i2 − ∑ Vi { j } = ∑ ∫ j ≠i ρj dr rij (19) Dari persamaan Schrödinger hi ψ i = ε i ψ i maka nilai ρ{j} ditentukan oleh nilai fungsi gelombangnya, yaitu ψj. Pada tahun 1928, Hartree mengusulkan suatu metode iterasi dengan membuat parameter untuk fungsi gelombang molekul yang merupakan kombinasi linear dari orbital-orbital atom (LCAO). Spin Elektron dan Antisimetri Pada kenyataannya, elektron tidak hanya memiliki karakteristik fungsi gelombang (spasial, spatial wave-function) yang menggambarkan distribusi geraknya dalam ruang, tetapi juga memiliki spin. Untuk spin elektron terdapat fungsi gelombang juga, yaitu α ( i ) dan β ( i ) . Misalnya untuk sistem dengan 2 elektron, fungsi gelombangnya adalah: Ψ HP = ψ a (1) α (1) ψb ( 2 ) α ( 2 ) , atau Ψ HP = ψ a (1) α (1) ψb ( 2 ) β ( 2 ) (20) Untuk menyederhanakan penulisan, sering ditulis: Ψ HP = ψ a (1)ψ b ( 2 ) , atau Ψ HP = ψ a (1)ψ b ( 2 ) (21) Prinsip Pauli menyatakan bahwa fungsi gelombang sistem banyak elektron bersifat “antisimetri”, artinya nilai fungsi gelombang tersebut harus mempunyai nilai mutlak yang sama tetapi berlawanan tanda jika ada dua elektron yang dipertukarkan. 29 Determinan Slater Untuk sistem dua elektron, agar sifat antisimetri dari Pauli terpenuhi, maka fungsi gelombang (untuk molekul keseluruhan) harus berbentuk: Ψ (1,2 ) = χ1 (1) χ 2 ( 2 ) − χ1 ( 2 ) χ 2 (1) Ψ ( 2,1) = χ1 ( 2 ) χ 2 (1) − χ1 (1) χ 2 ( 2 ) = −Ψ (1,2 ) (22) Ternyata bentuk yang disarankan oleh Slater berupa determinan: Ψ SD (1,2 ) = 1 χ1 (1) χ 2 (1) 2 χ1 ( 2 ) χ 2 ( 2 ) (23) Secara umum untuk sistem banyak elektron, fungsi gelombang molekul keseluruhan dalam bentuk determinan Slater adalah Ψ SD = 1 N! χ1 (1) χ1 ( 2 ) χ 2 (1) χ2 ( 2 ) # # χ1 (N ) χ 2 (N ) ... χN (1) ... χN ( 2 ) % # ... χN (N ) (24) Fungsi gelombang hasil determinan Slater ini telah ternomalisasi (integral keseluruhan ruang sudah menghasilkan kebolehjadian 100%), memenuhi prinsip Pauli tentang sifat antisimetri fungsi gelombang, dan merupakan LCAO untuk masing-masing orbital molekul yang ada dalam determinan. Penyelesaian persamaan gelombang Schrödinger dengan metode Hartree-Fock tidak menggunakan perhitungan energi keseluruhan dengan fungsi gelombang Ψ SD , melainkan menggunakan persamaan Schrödinger per elektron dengan hamiltonian: 1 2 Zk +V i HF { j } r k =1 ik M f i = − ∇i2 − ∑ (25) yang disebut operator Fock. Energi diminimumkan dengan memvariasikan koefisien pada orbital molekul yang merupakan LCAO. Ketika menyelesaikan untuk elektron pertama menggunakan f1 dilakukan variasi koefisien untuk orbital molekul yang pertama. Permasalahannya, koefisien- 30 koefisien untuk orbital molekul yang lain diperlukan untuk menentukan V1HF {2,3, 4,...} . Karena itu diberikan nilai awal ci untuk orbital-orbital molekul yang lain. Selanjutnya, hal yang sama dilakukan terhadap operator Fock yang kedua, untuk orbital molekul yang kedua. Fungsi V 2HF {1,3, 4,...} didasarkan atas fungsi gelombang yang telah ditemukan untuk elektron pertama dan harga-harga koefisien sementara untuk elektronelektron yang lain. Hal yang sama dilakukan untuk fungsi gelombang orbital molekul elektron-elektron yang lain. Walaupun tolakan antar-elektron sudah diperhitungkan dalam metode Hartree-Fock, tetap dikatakan bahwa teori ini mengabaikan “electron correlation”. Metode HF dapat dibedakan menjadi dua yaitu RHF (restricted Hartree-Fock) dan UHF (unrestricted Hartree-Fock). Metode RHF hanya dapat digunakan untuk molekul yang semua elektronnya berpasangan, sedangkan UHF bisa untuk sebarang molekul. Teori HF sudah sangat baik untuk meramalkan geometri molekul, tetapi kurang baik untuk meramalkan energi molekul dan energi orbital. 2.19 Teori Gangguan Møller-Plesset (Møller Plesset Perturbation Theory) Kelemahan metode Hartree-Fock, yaitu: membayangkan gerak satu elektron dalam medan yang bersifat statis. Padahal pada kenyataannya, kerapatan elektron yang lain akan berubah seiring dengan gerakan satu elektron tersebut. Untuk mengatasi kelemahan ini, dikembangkan beberapa metode. Salah satunya yaitu metode gangguan atau perturbasi. Teori gangguan Møller-Plesset merupakan suatu metode yang mengkoreksi metode HartreeFock. Metode ini sering disingkat dengan MPn, dimana n adalah orde tingkat koreksi. Dalam metode ini digunakan pendekatan gangguan (perturbation) dalam menyelesaikan persamaan Schrödinger, sedangkan metode Hartree-Fock digunakan pendekatan variasi. Persamaan Hamiltonian tanpa gangguan, dilambangkan dengan Ĥ0: ^ H 0 Ψ (i 0) = E o( 0) Ψ (i 0) (26) Perbedaan antara Ĥ - Ĥ0 disebut dengan gangguan terhadap Ĥ0. dimana: ^ Ĥ - Ĥ0 = λ V atau ^ Ĥ = Ĥ0 + λ V dimana λ adalah parameter gangguan yang menunjukkan besarnya gangguan. 31 Sebagai ekspansi gangguan digunakan penyelesaian persamaan yang mengandung gangguan sebagai berikut: Ψi = Ψi(0 ) + λ Ψi(0 ) + λ(1) Ψi(1) + λ(2 ) Ψi(2 ) + ... Ei = Ei(0 ) + λ Ei(0 ) + λ(1) Ei(1) + λ(2 ) Ei(2 ) + ... (27) dimana suku pertama persamaan berorde nol, suku kedua dan ketiga berturut-turut berorde satu dan orde dua. Ei1 adalah koreksi orde pertama, sedangkan Ei2 adalah koreksi energi orde kedua dan seterusnya. Selanjutnya bila disubstitusikan ekspansi gangguan ke dalam persamaan Schrödinger diperoleh berbagai persamaan gelombang elektron dan energi dengan variasi orde koreksi sebagai berikut: ^ Ei(0 ) = Ψi(0 ) | H | Ψi(0 ) ^ Ei(1) = Ψi(0 ) | V | Ψi(0 ) (28) (0 ) (2 ) Ei (0 ) ^ (2 ) = Ψi | V | Ψi = ∑ Ψi ^ (0 ) 2 | V | Ψi Ei(0 ) − E (j0 ) I ≠1 Operator Fock untuk Hamiltonian tanpa gangguan: H (0 ) = ∑ F (i ) = ∑ [h(i ) + (J (i ) K (i ))] n j j (29) i i Dari perbedaan antara Hamiltonian tanpa gangguan yang dipilih dan Hamiltonian yang sebenarnya untuk sistem n-elektron, dapat diperoleh gangguan sebagai berikut: V = 1 ∑r i< j i, j − ∑ (J (i ) − K (i ) ) j j (30) i, j yang berakibat, energi tingkat nol secara sederhana merupakan jumlah energi orbital terisi, Ψ (0 ) : 32 ^ H Ψ (0 ) = E 0(0 ) Ψ0(0 ) ⎛ N ⎞ ⎞ ⎛ N ^ ⎜ ∑ F ( xi )⎟Ψ (0 ) = ⎜ ∑ ε i ⎟Ψ0(0 ) ⎝ i =1 ⎠ ⎠ ⎝ i =1 E 0(0 ) = N ∑ε i =1 i (31) = E otb Koreksi orde pertama diperoleh: ^ ^ ^ E 0(1) = Ψi(0 ) | V | Ψi(0 ) = Ψi(0 ) | H − H 0 | Ψi(0 ) = E HF − N ∑ε i =1 (32) i Dari penurunan di atas, diperoleh bahwa penjumlahan koreksi orde nol dan orde pertama merupakan energi keadaan dasar dari persamaan Hartree-Fock. E 0(0 ) + E 0(1) = E HF (33) sedangkan untuk energi koreksi orde kedua: (2) E0 = ∑∑∑∑ i j p q (ΨΨ p q | g | ΨiΨ j εi + εj − − Ψ pΨqΨiΨ j − εp εq ) 2 (34) dimana i dan j adalah orbital terisi (occupied) sedangkan p dan q adalah orbital tidak terisi (unoccupied, virtual). Energi MP2 (orde kedua MP) merupakan penjumlahan energi HF dengan energi orde kedua: E MP 2 = E 0(0 ) + E 0(1) + E 0(2 ) = E HF + E 0(0 ) (35) Besarnya koreksi Møller-Plesset orde tiga (MP3) dan Møller-Plesset orde empat (MP4) dapat dihitung dengan cara memperluas perlakuan seperti di atas untuk memperbaiki harga energi. Energi MP3 dan MP4 dapat dinyatakan dengan: E MP 3 = E 0(0 ) + E 0(1) + E 0(2 ) + E 0(3) = E HF + E 0(2 ) + E 0(3 ) E MP 4 = E 0(0 ) + E 0(1) + E 0(2 ) + E 0(3 ) + E 0(4 ) = E HF (36) + E 0(2 ) + E 0(3) + E 0(4 ) 33 2.20 Parameter Struktur (Bakken, 2002) Ada dua cara yang dapat digunakan untuk menggambarkan struktur pada input file Gaussian, yaitu dengan menggunakan koordinat Kartesius dan koordinat internal (z-matriks). Dalam koordinat z-matriks dengan parameter: jarak, sudut anguler, dan sudut dihedral. Parameter jarak digunakan untuk menunjukkan seberapa jauh jarak suatu titik ke titik yang lain (Gambar 2. 29). Gambar 2. 29 Dua titik yang dihubungkan oleh komponen jarak qb Parameter sudut anguler digunakan untuk menunjukkan sudut yang dibentuk oleh dua garis yang saling berpotongan pada satu titik tertentu. Gambar 2. 30 Tiga titik yang dihubungkan dua komponen jarak (u dan v) serta satu sudut angular qa Parameter sudut dihedral dibentuk oleh empat titik yang saling berhubungan melalui komponen sudut anguler. Gambar 2. 31 Empat titik yang dihubungkan oleh tiga komponen jarak (u’, v’, w’), dua sudut angular (φu dan φv) serta satu sudut dihedral qd 34 Dalam perhitungan komputasi, koodinat z-matriks lebih disukai dibandingkan dengan koordinat kartesius. Hal ini disebabkan koordinat z-matriks akan selalu menghasilkan maksimal enam variabel lebih sedikit dibandingkan dengan koordinat kartesius. Selain itu, penggunaan koordinat z-matriks juga membantu fokus perhitungan misalnya pada saat memodelkan pemutusan ikatan parameter yang berperan dominan yaitu jarak ikatan. 2.21 Optimasi Geometri (Bakken, 2002, Cramer, 2004, dan Schlegel, 1981) Dalam menentukan hubungan struktur suatu sistem dengan energi digunakan pendekatan dengan mendefinisikan vektor g yang menunjukkan arah gradien energi E pada setiap parameter struktur q. ⎡ ∂E ⎢ ∂q ⎢ 1 ⎢ ∂E g (q ) = ⎢ ∂q 2 ⎢ # ⎢ ∂E ⎢ ⎣⎢ ∂q N ⎤ ⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎦⎥ (37) Parameter q merupakan suatu vektor yang dibentuk oleh koordinat setiap komponen penyusun sistem. Ukuran vektor ini bergantung pada jumlah komponen penyusun sistem dan jenis koordinat yang digunakan. Untuk koordinat kartesius, parameter struktur q memiliki ukuran 3N, dengan N merupakan jumlah komponen penyusun sistem. Sedangkan pada koordinat z-matrik, ukuran vektornya adalah 3N-6. Tujuan optimasi geometri yaitu menentukan suatu bentuk struktur q yang memiliki energi paling rendah. Secara matematis, syarat ini diungkapkan sebagai: g (q ) = 0 dan ∂2E >0 ∂qi2 Pada pencarian titik stasioner dilakukan pemilihan struktur awal dan penentuan vektor gradien q struktur tersebut. Selanjutnya struktur akan diubah-ubah hingga diperoleh vektor gradien sebesar nol. Salah satu metode pengulangan yang umum digunakan adalah metode Newton-Rhapson. Dalam metode ini, didefinisikan hubungan umum energi dengan struktur q sebagai deret Taylor tingkat dua multidimensi, 35 ∂E E(q) = E(qeq ) + ∑ (qi − qi,eq ) ∂qi i =1 3N −6 q=qeq 1 3N −6 3N −6 ∂2 E + ∑ ∑ (qi − qi,eq )(q j − q j ,eq ) 2! i=1 j =1 ∂qi ∂q j q=qeq (39) yang dapat dituliskan dalam bentuk matriks seperti: ( ) E (q ( k +1) ) = E (q ( k ) ) + q ( k +1) − q ( k ) g ( k ) ) + ( ) ( 1 ( k +1) q − q ( k ) H ( k ) q ( k +1) − q ( k ) 2 ) (40) dengan q merupakan suatu konfigurasi struktur tertentu (k), g mewakili vektor gradien, dan H dikenal sebagai matriks Hessian. Dengan demikian elemen matriks Hessian dapat dituliskan sebagai: H ij( k ) = ∂2E ∂qi ∂q j (41) q =q (k) Pada titik stasioner berlaku ungkapan: ( ) ( 0 = g (k) + H (k) q (k +1 ) − q (k) atau q (k +1 ) = q (k) − H (k) ) -1 g (k) (42) Optimasi geometri struktur ke-k (q(k)) dilakukan dengan menghitung vektor gradien g dan matriks Hessian untuk struktur tersebut. Prosedur tersebut akan dilakukan berulang-ulang hingga diperoleh struktur baru yang memiliki nilai vektor gradien sebesar nol. Kemudian Schlegel (Schlegel, 1981) mengembangkan metode kuasi-Newton. Istilah kuasi muncul dikarenakan pada setiap tahap iterasi, nilai Hessiannya tidak diperoleh secara analitis, namun digunakan berbagai cara lain. Perbedaan metode kuasi-Newton yang satu dengan yang lainnya umumnya terletak pada persamaan untuk menentukan nilai pendekatan Hessian tersebut. Untuk optimasi struktur keadaan transisi digunakan metode yang sama. Namun harus dipenuhi: g (q) = 0 dengan nilai turunan kedua energi terhadap bernilai positif untuk seluruh parameter kecuali satu parameter struktur (qj) bernilai negatif. ∂2E < 0 untuk satu parameter saja ∂q 2j (43) 36 2.22 Perhitungan Energi Satu Titik Perhitungan energi satu titik merupakan perhitungan energi dan sifat-sifat suatu struktur tertentu tanpa mengubah parameter struktur tersebut. Perhitungan ini berguna untuk melihat secara mendalam pengaruh beberapa parameter struktur terhadap energi. Selain itu, perhitungan ini juga digunakan untuk mempelajari sifat struktur menggunakan tingkat teori yang lebih tinggi. Umumnya, optimasi geometri dilakukan menggunakan tingkat teori yang lebih rendah, hasil optimasi tersebut selanjutnya dipakai untuk melakukan perhitungan satu titik dengan menggunakan teori yang lebih tinggi. 2.23 Perhitungan Frekuensi (Cramer, 2004) Perhitungan energi hasil optimasi geometri maupun hasil perhitungan satu titik merupakan hasil perhitungan energi pada saat molekul tersebut berada dalam keadaan diam. Pada keadaan nyata, molekul selalu berada dalam keadaan dinamis tidak statis. Untuk itu, hasil perhitungan energi tersebut perlu ditambahkan koreksi energi. Pada suhu nol Kelvin molekul tetap bervibrasi, besarnya energi vibrasi molekul pada saat nol Kelvin sering disebut ZPE atau ZPVE (Zero Point Vibrational Energy). ∆ZPVE = modus 1 ∑ 2 =ω i (44) i Untuk suhu lain di atas nol Kelvin ditambahkan koreksi termal seperti akan dijelaskan di bawah. Dari hasil perhitungan frekuensi dapat diramalkan spektrum IR dan Raman suatu molekul. Selain itu, perhitungan frekuensi digunakan juga untuk memastikan apakah struktur konformasi suatu molekul berada dalam keadaan paling stabil atau berada pada keadaan transisi. Untuk konformasi struktur pada keadaan stabil diperoleh nilai frekuensi yang semuanya bernilai positif. Sedangkan untuk konformasi struktur pada keadaan transisi diperoleh satu nilai frekuensi imaginer. 2.24 Perhitungan Fungsi Partisi dan Koreksi Termal (McQuarrie, 1976) Dalam perhitungan koreksi termal perlu diketahui fungsi partisi molekul tersebut. Fungsi partisi adalah suatu deret dimana masing-masing suku dari deret tersebut menggambarkan kebolehjadian partikel berada di tingkat tersebut. Fungsi partisi total (QN) untuk sistem adalah sebagai berikut. 37 QN = ∑g i i ⎛ −ε ⎞ exp⎜ i ⎟ ⎝ kT ⎠ (45) dimana gi merupakan degenerasi tingkat energi εi dan εi menyatakan energi tingkat ke-i. Energi total molekul merupakan penjumlahan energi elektronik, vibrasi, rotasi, dan translasi. Oleh karena itu, fungsi partisi merupakan hasil kali dari semua fungsi partisi masing-masing energi yang terdapat pada molekul. Q N = Qtrans × Qrot × Qelek × Qvib dengan Qtrans ⎛ 2π mkT ⎞ = V⎜ ⎟ 2 ⎠ ⎝ h Qrot = 3 (46) 2 8π 2 IkT σ h2 Qvib = e − hυ / 2 kT 1 e (47) − hυ / kT Qelec = ∑ ωε i e −ε i / kT ≈ ωε i dimana V dan m adalah volume dan massa molekul, νi adalah frekuensi vibrasi masingmasing i, σ adalah bilangan simetri, I menyatakan momen inersia, k merupakan tetapan Boltzman, h merupakan tetapan Planck, T menyatakan suhu, dan ω menyatakan degenerasi. Dengan diketahuinya fungsi partisi suatu molekul maka besaran-besaran termodinamika lain seperti: energi dalam (U), entalpi (H), entropi (S), energi bebas Gibbs (G), dan energi bebas Helmholtz (A) dapat dihasilkan dari fungsi partisi ini berdasarkan prinsip-prinsip yang terdapat dalam mekanika statistik. 2.25 Perhitungan Entalpi Reaksi dan Energi Pengaktifan (Cramer, 2004) Dalam pembahasan reaksi kimia, umumnya digunakan data entalpi untuk melihat aspek termodinamikanya. Entalpi reaksi didefinikan: H = E + PV (48) Entalpi pembentukan molekul M pada suhu 298 K diperoleh: atom atom z z ∆H of , 298 (M ) = E (M ) + ZPVE (M ) + [H 298 (M ) − H 0 (M )] − ∑ E ( X z ) + ∑ H of , 0 ( X z ) (49) 38 dengan X merupakan atom penyusun molekul tersebut. Berdasarkan persamaan tersebut, TS C maka entalpi reaksi: A + B ⎯⎯→ dapat diungkapkan sebagai: o ∆H 298 = E ( C ) + ZPVE ( C ) + ⎡⎣ H 298 ( C ) − H 0 ( C ) ⎤⎦ − {E ( A) + ZPVE ( A) + ⎡⎣ H 298 ( A) − H 0 ( A)⎤⎦ + E ( B ) + ZPVE ( B ) + ⎡⎣ H 298 ( B ) − H 0 ( B )⎤⎦} (50) Sedangkan besar energi pengaktifan yang berjalan melalui mekanisme: Ea A ⎯⎯→ TS ⎯ ⎯→ B memiliki energi pengaktifan sebesar: o Ea298 = E (TS ) + ZPVE (TS ) + ⎡⎣ H 298 (TS ) − H 0 (TS ) ⎤⎦ − E ( A) + ZPVE ( A) + ⎡⎣ H 298 ( A) − H 0 ( A) ⎤⎦ (51) 2.26 Perhitungan Laju Reaksi secara Termodinamika Statistik (Rahayu, 2003) Penurunan tetapan laju reaksi dari prinsip-prinsip termodinamika statistik menghasilkan rumusan: k = ⎛ E ⎞ k BT Q ‡ exp ⎜ − c ⎟ h Q ⎝ k BT ⎠ (52) dimana Q dan Q‡ adalah fungsi partisi total untuk pereaksi dan keadaan transisi, dan Ec adalah energi kritis. Hubungan tetapan kesetimbangan K c‡ dan hubungan van’t Hoff untuk energi bebas Gibbs, ∆G0‡ . K C‡ = ⎛ E ⎞ Q‡ exp⎜⎜ − c ⎟⎟ Q ⎝ k BT ⎠ ∆G0‡ = − RT ln K c‡ (53) dapat dihasilkan nilai k: 39 k= = k BT ‡ Kc h ⎛ ∆G0‡ ⎞ k BT ⎟ exp⎜⎜ − ⎟ h ⎝ RT ⎠ Nilai ∆G ‡ = ∆H ‡ − T∆S ‡ maka k = (54) (55) ⎛ ∆H 0‡ ⎞ ∆S ‡ k BT ⎟ exp 0 exp⎜⎜ − ⎟ h R RT ⎝ ⎠ dimana ∆H 0‡ dan ∆S 0‡ adalah perubahan entalpi dan entropi standar 2.27 Teori Tumbukan dan Teori Keadaan Transisi (Rahayu, 2003) Penurunan laju reaksi berdasarkan dinamika rinci seluruh partikel yang terlibat dalam reaksi merupakan hal yang amat sulit dilakukan. Diperlukan suatu teori yang dapat menggambarkan perilaku rata-rata sejumlah besar partikel. Pendekatan yang digunakan yaitu teori tumbukan dan teori keadaan transisi. Menurut teori tumbukan yang paling sederhana, molekul-molekul pereaksi akan bertumbukan terlebih dahulu sebelum membentuk produk, dimana setiap tumbukan yang terjadi akan selalu menghasilkan produk. Kelemahan teori ini yaitu adanya anggapan bahwa semua tumbukan selalu menghasilkan produk. Perbaikannya dilakukan melalui suatu faktor koreksi, yang mengaitkan energi relatif saat tumbukan. Berdasarkan model Present, energi paling efektif yang menghasilkan reaksi adalah yang terjadi akibat tumbukan pada poros antar-pusat. Selain teori tumbukan, proses terjadinya reaksi berusaha dijelaskan juga dengan teori keadaan transisi. Pada teori keadaan transisi digunakan pendekatan termodinamika statistik. Dalam suatu reaksi yang sederhana, molekul pereaksi akan membentuk kompleks transisi terlebih dahulu sebelum terbentuknya produk, yang selanjutnya disebut keadaan transisi. Energi molekul pada saat struktur tersebut berada dalam keadaan transisi dibandingkan dengan energi pereaksi disebut energi pengaktifan. Suatu reaksi akan menghasilkan produk jika energi tumbukan molekul tersebut cukup besar untuk melampaui energi pengaktifan reaksi. Jika energi tumbukan molekul pereaksi lebih kecil dibanding energi pengaktifan yang diperlukan maka produk reaksi tidak akan diperoleh sebaliknya jika energi tumbukan yang melampaui energi pengaktifan, terjadinya reaksi masih tergantung pada orientasi tumbukan. 40