Sintesis Senyawa Flavonoid Teralkilasi dengan Metode Reaksi

advertisement
2 Tinjauan Pustaka
2.1 Struktur dan Sintesis
Flavon merupakan salah satu kerangka penting dari kelompok flavonoid. Jenis senyawa ini
memiliki kerangka C6-C3-C6, dimana bagian C3 mengalami siklisasi dengan salah satu
cincin aromatik membentuk cincin kromen. Senyawa flavon umumnya dihasilkan di dalam
jaringan tumbuhan melalui jalur gabungan biosintesis asetat malonat dan fenil propana. Hal
ini menyebabkan kerangka flavon alami hampir selalu mempunyai pola hidroksilasi cincin Α
secara berselang-seling (posisi hidroksi saling meta satu dengan yang lain) (Gambar 2. 1),
sementara variasi hidroksilasi terdapat pada cincin Β (Davies dan Schwin, 2006).
3'
4'
2'
1
8
7
R
A
O
1'
C
2
R
B
HO
5'
R
O
6'
3
6
4
5
O
OH
1
O
2
Gambar 2. 1 Kerangka dasar flavonoid dan pola hidroksilasi cincin Α
(1) kerangka dasar flavonoid, (2) pola hidroksilasi cincin A
Di laboratorium, senyawa flavon dapat disintesis dengan menggunakan metode BakerVenkataraman (Baker, 1933; Mahal dan Venkataraman, 1934) melalui reaksi antara
asetofenon dengan benzoilklorida pada suasana basa. Tahap pertama dari reaksi ini adalah
pembentukan ester benzoat yang diikuti dengan siklisasi akibat adanya reaksi antara enolat
dari asetofenon dengan karbonil dari ester (Gambar 2. 2). Reaksi domino seperti pada reaksi
Baker-Venkataraman ini sangat menguntungkan yaitu diperoleh rendemen yang tinggi
karena senyawa antara tidak perlu diisolasi terlebih dahulu.
R'
O
OH
RO
+
R'
Cl
OR
I
O
basa
HO
OH
O
II
R'
O
O
RO
OR
O
Gambar 2. 2 Sintesis flavonoid yang dilakukan Beker-Venkataraman
O
2
2.2 Analisis Retrosintesis
Berdasarkan analisis retrosintesis, senyawa flavonoid teralkilasi dapat disintesis dari turunan
asetofenon, turunan benzoil, dan alkil halida (Gambar 2. 3). Adapun tahapan-tahapan reaksi
yaitu: sintesis turunan asetofenon, sintesis turunan fenil benzoat, sintesis senyawa β-diketon
melalui penataulangan Baker-Venkataraman, dan sintesis flavonoid teralkilasi pada posisi
C3.
HO
R3
O
R1
R2
O
HO
OH
R1
R2
R3
X
CH3
Cl
O
O
O
R1
O
OH
R1
Gambar 2. 3 Analisis retrosintesis flavonoid teralkilasi
2.3 β-Diketon
Senyawa β-Diketon atau 1-(2-fenil)-3-fenilpropan-1,3-dion (5) merupakan senyawa kunci
dalam sintesis flavon (Gambar 2. 4). β-Diketon dapat disintesis melalui reaksi AllanRobinson (Allan & Robinson, 1924) melalui kondensasi asetofenon (3) dengan anhidrida
asam benzoat (4).
5
Gambar 2. 4 Sintesis β-diketon
Alternatif lain, senyawa β-diketon dapat disintesis dengan dua tahap reaksi melalui reaksi
Baker-Venkataraman (BK-VK) (Baker, 1933 & Venkataraman, 1934). Metode ini dapat
mengkonversi 2-hidroksiasetofenon (3) menjadi benzoilester (6) dengan penambahan basa
untuk memicu terjadinya kondensasi intramolekul Claisen membentuk 1,3-diketon (5)
(Gambar 2. 5).
Gambar 2. 5 Penataulangan Baker-Venkataraman
Pada reaksi penataulangan Baker-Venkataraman dapat digunakan berbagai macam basa di
antaranya: KOH (Muller, et.al., 2000), K2CO3 (Bois, et.al., 1999), NaOH (Hauteville,
et.al.,1996), KOtBu, NaH (Kalinin, et.al., 1998), LDA, LiH, dan LiHMDS (Krohn, et.al.,
1996).
Siklisasi β-Diketon (5) menjadi senyawa (8) dapat dilakukan dengan bantuan asam asetat
yang dikatalisis oleh asam sulfat (0,5 %v) dengan pemanasan selama 30 menit hingga 1 jam.
6
Gambar 2. 6 Siklisasi β-diketon
2.4 Calkon (Perruchon, 2004)
2’-Hidroksicalkon (10) merupakan senyawa antara penting dalam sintesis senyawa flavonoid
(Harborne, 1975) seperti flavon, flavonol, 3-hidroksiflavanon, dan auron. Calkon dapat
disintesis melalui kondensasi Claisen-Schmidt dengan mereaksikan aldehid aromatik (3) dan
benzaldehid (9) dengan bantuan katalis alkali (Gambar 2. 7).
Gambar 2. 7 Sintesis calkon
Ada banyak cara yang berbeda untuk mensintesis starting material calkon. Senyawa calkon
dapat disintesis menggunakan bantuan asam (Kalinin, 1998), basa (Krohn, 1996), silika
(Sangwan, 1984), cahaya (Matsushima, 1985), Co(II) Schifft base complexes (Maruyama,
1989), paladium (Kaskara, 1974), platina (Maki, 1988), pemanasan (Harris, 1967),
elektrolisis (Sanicanin, 1986), dan sistem reagen nikel klorida/seng/kalium iodida (Ali,
1984). Senyawa antara calkon (11) direaksikan dengan Br2 menghasilkan senyawa
dibromida (12) yang selanjutnya direaksikan dengan kalium hidroksida yang akan
menghasilkan produk flavon (14). Selain itu, dikembangkan juga reaksi Algar Flynn
Oyamada (AFO) untuk mensintesis flavonol dari calkon (13) (Gambar 2. 8).
7
Gambar 2. 8 Siklisasi calkon
Siklisasi 3-fenilcalkon (11) dalam medium alkohol dan basa dapat menghasilkan 6- dan 8substituen flavanon (15) (Furlong & Nudelman, 1988) (Gambar 2. 9).
Gambar 2. 9 Siklisasi calkon (11) menjadi flavanon (15)
2.5 Epoksidasi Flavon
Pengubahan senyawa flavon (15) menjadi senyawa flavonol (16) dapat dilakukan melalui
pembentukan epoksida (17), dengan bantuan oksidator H2O2 (Donnelly, 1980), m-CPBA
(Sanicanin, 1986), SeO2 (Mahal, 1935), KMnO4 (Kurosawa, 1978), NiO2 (Evans, 1979)
namun hasilnya masih belum memuaskan. Oksidator yang paling efisien untuk pembentukan
epoksida yaitu dimetildioksiran (DMD) (Waldemar, 1991). Jika pembentukan epoksida telah
berhasil dilakukan maka senyawa epoksida (17) akan dengan mudah dikonversi menjadi
flavonol (16) (Gambar 2. 10).
8
Gambar 2. 10 Epoksidasi flavon menghasilkan flavon
2.6 Epoksidasi Calkon
Penggunaan reagen DMD sebagai pembentuk epoksida dapat digunakan juga untuk
epoksidasi senyawa alkena yang kaya elektron seperti calkon (18) untuk mensintesis
flavonol (21). Senyawa 2’-hidroksicalkon epoksida (19) dapat dikonversi menjadi senyawa
21 dan senyawa 20 melalui penggunaan alkali dan reagen AFO (Kashara, 1974 & Maki,
1988) (Gambar 2. 11).
Gambar 2. 11 Epoksidasi calkon
9
2.7 Reaksi dengan prekursor lain
Katalis paladium dapat digunakan dalam sintesis flavon (24) dengan mereaksikan oiodofenol (22) dan asetilen (23) yang dialiri gas karbon monoksida, amina tersier dan
kompleks katalis paladium (Kalinin, 1990) (Gambar 2. 12).
Gambar 2. 12 Sintesis flavon menggunakan katalis paladium
Ellmose (Ellmose, 1995) menggunakan protokol isoxazole (26) dan kopling Heck-Stille
untuk mensintesis polihidroksi flavon (27).
Gambar 2. 13 Metode Isoxazole dan kopling Heck-Stille
Sintesis dihidroksifenalsilidin trifenilfosparan dari 2,4- atau 2,5-dibenzoiloksiasetofenon (28)
telah berhasil dilakukan oleh Le Floc’H dan Lefeuvre (Le Floc’H dan Lefeuvre, 1986).
Asilasi gugus hidroksi dari ilida diikuti dengan olefinasi intramolekul gugus ester karbonil
dan hidrolisis gugus ester kedua menghasilkan senyawa 6- atau 7-hidroksikromon (31)
(Gambar 2. 14).
10
Gambar 2. 14 Sintesis kromon dari ilida
Subramanian dan Balasubramanian menggunakan trifluoroasetat untuk mensintesis flavon.
Senyawa γ-bromo (33) dengan mereaksikan senyawa 31 dengan NBS dengan kehadiran
perak nitrat. Selanjutnya senyawa 33 ditransformasi menjadi flavon (34) dengan kehadiran
raksa (II) trifluoroasetat (Gambar 2. 15).
Gambar 2. 15 Sintesis flavon (44) menggunakan raksa(II) trifluoroasetat
Sintesis
polihidroksiflavon
dapat
disintesis
juga
dengan
mereaksikan
di-/tri-
hidroksiasetofenon dan mono-/dihidroksibenzaldehid dengan kehadiran katalis asam borat
dalam campuran reaksi (Chan, 1996).
Kondensasi bromonitrometan (36) dengan benzaldehid (35) menjadi (2-kloro-2-nitroetenil)benzen dapat bereaksi lebih lanjut menjadi dihidrobenzopiran (38) (Dauzonne, 1997).
Senyawa dihidrobenzopiran (38) akan dioksidasi menjadi senyawa (39) dengan oksidator
piridium klorokromat (PCC) (Dauzonne, 1992) yang dapat ditransformasi lebih lanjut
menjadi 3-aminoflavon (41) dengan bantuan katalis paladium atau dapat ditransformasi
11
menjadi flavanon (40) dengan bantuan 2,2’-azobisisobutilonitril (AIBN) (Dauzome, 1997)
(Gambar 2. 16).
Gambar 2. 16 Rute sintesis flavavon (50) dan 3’-aminoflavon (51)
2.8 Sintesis fotokimia
Brack (Brack, 1999) melakukan sintesis fotokimia 4’-N,N-dimetilamino-2’-hidroksicalkon
(42) dalam larutan hidrokarbon yang menghasilkan 4’-N,N-dimetilamino-3-hidroksiflavon
(45) (Gambar 2. 17).
12
Gambar 2. 17 Reaksi fotokimia 4’-N,N-dimetilamino-2’-hidroksicalkon (42)
2.9 Penataulangan Fries (Bagno, 2006)
Penataulangan Fries merupakan reaksi yang mentransformasi ester aril menjadi senyawa
hidroksi karbonil dengan bantuan asam Lewis. Pada tahun 2006, Bagno et.al. mengusulkan
mekanisme penataulangan Fries aril format dengan bantuan BF3 menggunakan spektroskopi
1
H, 2H, 11B NMR, dan melakukan studi komputasi dengan DFT untuk mengetahui energetika
beberapa jalur reaksi. Bagno melaporkan hasil spektroskopi NMR ditemukan tiga langkah
utama penataulangan Fries (Gambar 2. 18).
Gambar 2. 18 Tiga langkah utama penataulangan Fries hasil spektroskopi NMR
Bagno mengusulkan mekanisme reaksi penataulangan Fries aril format dengan katalis BF3
seperti pada Gambar 2. 19.
13
Gambar 2. 19 Koordinat reaksi mekanisme penataulangan Fries yang diusulkan Bagno
2.10 Bioaktivitas
Senyawa flavonoid dilaporkan memiliki sifat antioksidan. Bahkan literatur mutakhir
menyebutkan adanya kemungkinan penggunaan senyawa flavonoid dalam kemoterapi
kanker (Matsui, 2005). Beberapa senyawa flavonoid alam memberikan sifat sitotoksik
terhadap sel kanker murine leukemia P388. Hasil yang dilaporkan menunjukkan adanya
gugus orto dihidroksi pada cincin B dan gugus alkil pada posisi C-3 bertanggung jawab
terhadap tingginya sifat sitotoksisitas dari senyawa-senyawa flavonoid (Hakim et.al., 2006).
Senyawa orto dihidroksi dan alkil pada C-3 tersebut telah dipatenkan para peneliti Jepang
sebagai struktur yang memiliki bioaktivitas tinggi (Japan Pat., 1992) (Gambar 2. 20).
HO
HO
O
OH
OH
OH
O
46
Gambar 2. 20 Senyawa flavonoid alam yang dipatenkan Jepang
Meskipun telah banyak publikasi yang mengungkapkan peran pola hidroksilasi cincin B
pada kerangka flavon sebagai faktor penting terhadap tingginya aktivitas biologi pada
14
senyawa flavonoid, namun pengujian sifat sitotoksisitas tersebut masih terbatas hanya pada
senyawa yang telah berhasil diisolasi dari alam saja.
2.11 Kimia Komputasi
Kimia komputasi adalah cabang kimia teori yang bertujuan menghitung sifat-sifat molekul
(seperti energi total, momen dipol, frekuensi vibrasi, dan spektroskopi molekul) dan
perubahannya maupun simulasi terhadap molekul-molekul besar (seperti protein dan asam
nukleat, atau sistem gas, cairan, dan padatan) menggunakan perangkat komputer dan
menerapkan program tersebut pada sistem kimia nyata. Sifat-sifat molekul yang dapat
dihitung contohnya konformasi struktur keadaan stabil maupun keadaan transisi, energi dan
selisih energi, muatan, momen dipol, kereaktifan, frekuensi getaran, dan spektroskopi
lainnya. Kimia teori didefinisikan sebagai deskripsi matematika untuk kimia, sedangkan
kimia komputasi umumnya menggunakan metode matematika yang telah dikembangkan
dengan bantuan komputer untuk menyelesaikan suatu permasalahan-permasalahan di dalam
ilmu kimia (Martoprawiro, 2008).
Dalam mengkaji molekul (yang terdiri dari inti dan elektron) diperlukan metode mekanika
kuantum. Kimiawan komputasi sering berusaha memecahkan persamaan Schrödinger
nonrelativistik
dengan
menambahkan
koreksi
relativistik,
meskipun
dalam
perkembangannya telah dilakukan juga pemecahan persamaan Schrödinger yang sepenuhnya
relativistik. Persamaan Schrödinger yang dapat diselesaikan secara analitis hanyalah pada
atom hidrogen. Untuk atom-atom lain, penyelesaian persamaan Schrödinger dilakukan
secara numerik.
Ada beberapa kajian yang dapat dilakukan melalui perhitungan komputasi. Kajian komputasi
dapat dilakukan untuk menentukan titik awal dalam sintesis di laboratorium. Kajian
komputasi dapat digunakan untuk menjelajahi mekanisme reaksi dan menjelaskan
pengamatan pada reaksi di laboratorium. Selain itu, kajian komputasi dapat digunakan juga
untuk memahami sifat dan perubahan pada sistem makroskopik melalui simulasi yang
berlandaskan hukum-hukum interaksi yang ada dalam sistem (Martoprawiro, 2008).
Berdasarkan tingkat teori yang digunakan, kimia komputasi dikelompokkan menjadi dua,
yaitu mekanika molekul dan teori struktur elektron (Foresman dan Frisch, 1996). Mekanika
molekul menggunakan pendekatan mekanika klasik dalam menyelesaikan permasalahan
komputasinya sedangkan teori struktur elektron menggunakan mekanika kuantum dalam
menyelesaikan permasalahan
komputasinya. Tetapi dalam beberapa hal keduanya
melakukan dasar perhitungan yang sama, yaitu:
15
•
Perhitungan energi suatu struktur molekul tertentu.
•
Optimasi geometri, untuk mencari konformasi struktur molekul yang memiliki energi
terendah untuk mendekati konformasi struktur keadaan sebenarnya.
•
Perhitungan frekuensi vibrasi molekul yang diperoleh dari gerakan antar atom dalam
molekul.
2.12 Metode Ab Initio
Ab initio berasal dari bahasa Latin yang berarti prinsip pertama (first principle). Pada metode
ini, perhitungan diturunkan secara langsung dari prinsip-prinsip teoretis yang mendasar,
tanpa memerlukan data eksperimen. Metode ini menggunakan pendekatan kuantum dalam
penyelesaiannya.
Beberapa pendekatan dalam dilakukan untuk menyelesaikan perhitungan dengan metode ab
initio. Pendekatan pertama yaitu pendekatan Born-Oppenheimer yang memisahkan gerakan
elektron dengan inti. Setelah itu, digunakan pendekatan dengan metode variasi atau metode
perturbasi. Pada prinsip variasi, digunakan fungsi gelombang coba-coba untuk pendekatan
terhadap fungsi gelombang sebenarnya. Selanjutnya, penyelesaian persamaan Schrödinger
dilakukan berdasarkan pencarian nilai parameter dalam fungsi gelombang coba-coba yang
memberikan energi seminimum mungkin.
Salah satu metode penyelesaian persamaan Schrödinger dengan metode ab initio yaitu
perhitungan
Hartree-Fock
(HF)
dengan
pendekatan
medan
pusat
(central
field
approximation). Tolakan Coulomb antar elektron tidak secara spesifik dimasukkan ke dalam
perhitungan, tetapi efek tolakan tersebut diperhitungkan sebagai tolakan antara suatu
elektron tertentu dengan suatu fungsi kerapatan yang mewakili elektron-elektron lainnya
yang bersifat statis (tetap).
Penyelesaian persamaan Hartree-Fock dilakukan melalui metode berulang atau iteratif.
Dalam penyelesaiannya, dibuat suatu operator Fock yang menghasilkan pembentukan orbital
baru. Orbital baru yang dihasilkan digunakan untuk menentukan operator Fock baru.
Prosedur tersebut diulang-ulang hingga mencapai harga konvergensi dimana orbital baru
yang dihasilkan sama dengan orbital sebelumnya. Dengan alasan inilah, metode HartreeFock sering disebut juga dengan medan konsisten diri (Self-Consistent Field, SCF).
Metode HF memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihan metode HF yaitu akurat dalam
meramalkan geometri molekul. Akan tetapi karena metode HF tidak memperhitungkan
korelasi elektron maka metode ini kurang baik dalam meramalkan energi molekul.
16
Untuk
memperbaiki
peramalan
energi,
dikembangkanlah
metode-metode
yang
memperhitungkan korelasi elektron yang dikenal dengan istilah Post-SCF. Beberapa contoh
metode ini yaitu metode Møller-Plesset (Møller-Plesset Perturbation Theory, MPn), dimana
n menunjukkan tingkat korelasi; metode konsistensi diri multikonfigurasi (Multi
Configurational Self-Consistent Field, MC-SCF), interaksi konfigurasi (Configuration
Interaction, CI), dan Coupled Cluster Theory, CC.
2.13 Postulat Mekanika Kuantum (House, 2004)
Postulat I
Untuk suatu keadaan yang mungkin untuk suatu sistem, terdapat sebuah fungsi, Ψ, terhadap
koordinat bagian-bagian sistem dan waktu, dan fungsi tersebut secara lengkap
menggambarkan sistem tersebut.
Ψ ( x, y , z , t )
Ψ ( x1 , y1 , z1 ; x2 , y2 , z2 ;...; t )
(1)
Ψ ( qi , t )
dimana, Ψ, merupakan fungsi gelombang; x,y,z merupakan koordinat sumbu kartesius; t
adalah waktu; q merupakan koordinat secara umum; i menggambarkan keadaan kuantum.
Makna fisik dari fungsi di atas adalah bahwa kebolehjadian untuk menemukan partikelpartikel penyusun sistem dalam elemen volume dτ sama dengan Ψ * Ψdτ . Kebolehjadian
untuk menemukan partikel-partikel penyusun sistem dalam batas-batas ruang tertentu adalah:
∫ Ψ Ψdτ
*
(2)
Nilai kebolehjadian untuk seluruh ruang harus bernilai satu. Jika belum bernilai satu, maka
fungsi gelombang tersebut perlu dinormalkan. Adapun syarat suatu fungsi gelombang yang
menggambarkan sistem, yaitu: tertentu (finite), bernilai tunggal (single-valued), dan kontinu
(continue).
∞
∫ Ψ Ψdτ = 1
*
(3)
−∞
Postulat II
Untuk setiap variabel dinamik (besaran fisik teramati) terdapat sebuah operator yang
berkaitan.
17
Beberapa operator yang sering digunakan:
Tabel 2. 1 Beberapa operator yang sering digunakan
Besaran
Operator
Lambang
Koordinat
x, y, z, r
x, y, z, r
Momentum
px p y p z
= ∂ = ∂ = ∂
,
,
i ∂x i ∂y i ∂z
Energi
kinetik
Energi
T=
p2
2m
−
=2 ⎛ ∂ 2
∂2
∂2 ⎞
⎜ 2+ 2+ 2⎟
∂y
∂z ⎠
2m ⎝ ∂x
V
V
Lz
=⎛ ∂
∂ ⎞ = ∂
⎜x − y ⎟,
∂x ⎠ i ∂φ
i ⎝ ∂y
potensial
Momentum
sudut
Postulat III
Nilai yang dapat dimiliki oleh suatu variabel dinamik bisa beberapa nilai yang memenuhi
ˆ = aφ
αφ
(4)
dimana φ adalah fungsi eigen dari operator α̂ , yang berkaitan dengan nilai yang teramati
dari besaran a.
Jika persamaan dalam postulat di atas tidak dapat diperoleh, maka nilai besaran tersebut
tidaklah pasti, maka nilai yang teramati dari besaran tersebut merupakan nilai rata-rata, yang
dapat ditentukan melalui persamaan:
18
a =
∫
ˆ dτ
φ *αφ
all − space
∫ φ φ dτ
*
(5)
Postulat IV
Fungsi gelombang, Ψ, merupakan solusi dari persamaan Ĥ Ψ = EΨ , dimana Ĥ adalah
operator Hamiltonian, E adalah energi total.
Dengan nilai Hamiltonian (Ĥ) sebagai berikut:
e2 Z k
e2 Z k Zl
e2
=2 2
=2 2
Hˆ = −∑
∇i − ∑
∇ k − ∑∑
+∑ +∑
rik
rkl
i 2me
j 2mk
i
k
i < j rij
k <l
(6)
2.14 Fungsi Gelombang, Orbital, dan Fungsi Basis
Menurut teori mekanika kuantum, keberadaan elektron-elektron dapat digambarkan dengan
suatu fungsi orbital. Secara umum, fungsi orbital elektron dapat dinyatakan dalam bentuk
fungsi gelombang (Martoprawiro, 1998).
Perlu ditekankan bahwa fungsi gelombang, Ψ, sebenarnya tidak mempunyai makna fisik.
Tetapi ketika fungsi gelombang tersebut dikuadratkan, Ψ2, barulah kuadrat fungsi
gelombang tersebut mempunyai makna yaitu rapat kebolehjadian keberadaan elektron dalam
ruang. Secara visual, keragaman nilai fungsi gelombang dinyatakan dengan titik-titik dengan
kerapatan yang berbeda. Daerah dengan kemungkinan terbesar untuk menemukan elektron
disebut “orbital”. Jika orbital divisualisasikan dengan garis tegas, bisa ditafsirkan bahwa
kebolehjadian untuk menemukan elektron di dalam garis tegas tersebut adalah 95% dan
masih ada kemungkinan berada di luarnya dengan kebolehjadian sebesar 5%. (Martoprawiro,
2007).
Seperti disebutkan di atas, fungsi gelombang orbital diperoleh dengan menyelesaikan
persamaan Schrödinger. Solusi persamaan diferensial Schrödinger untuk atom hidrogen
diperoleh:
φnlm (r ,θ ,φ ) = Rnl (r , E )Ylm (θ ,φ )
dengan Rnl (r , E ) merupakan fungsi radial dan Ylm (θ ,φ ) merupakan fungsi sudut. Fungsi
radial tidak mempunyai makna, yang mempunyai arti fisik adalah fungsi distribusi radial
yaitu rapat kebolehjadian menemukan elektron (Gambar 2. 21 & Gambar 2. 22). Sedangkan
fungsi sudut menggambarkan bentuk orbital (Gambar 2. 23) (Huheey, 1993).
19
Gambar 2. 21 Fungsi radial orbital 1s, 2s, 2p, 3s, dan 3p
Gambar 2. 22 Fungsi distribusi radial orbital 2s dan 2p
Dari solusi tersebut dapat diperoleh fungsi gelombang untuk masing-masing orbitalnya,
seperti:
3
ψ 100
1 ⎛Z⎞2
= 1 ⎜ ⎟ e− Zr / a , untuk orbital 1s
π 2⎝a⎠
ψ 200
Zr ⎞ − Zr / 2 a
⎛Z⎞ ⎛
, untuk orbital 2s
=
⎟ ⎜ 2 − ⎟e
1/ 2 ⎜
a ⎠
4 ( 2π ) ⎝ a ⎠ ⎝
ψ 210
⎛Z⎞
− Zr / 2 a
=
cosθ , untuk orbital 2Pz
⎟ re
1/ 2 ⎜
a
4 ( 2π ) ⎝ ⎠
1
1
3
5
2
2
5
(8)
⎛Z⎞
− Zr / 2 a
ψ 21−1 =
sin θ e− iφ
⎟ re
1/ 2 ⎜
4 ( 2π ) ⎝ a ⎠
1
5
2
⎛Z⎞
− Zr / 2 a
sin θ e + iφ
ψ 211 =
⎟ re
1/ 2 ⎜
4 ( 2π ) ⎝ a ⎠
1
2
20
dengan a merupakan jari-jari Bohr dan Z merupakan muatan inti.
Untuk memvisualisasikan orbital, kimiawan menemukan bahwa fungsi gelombang ψ 21−1 dan
ψ 211 sulit divisualisasi, tetapi ketika fungsi gelombang ψ 21−1 dan ψ 211 dijumlahkan barulah
gabungan orbital ini dapat divisualisasikan yaitu fungsi gelombang orbital 2px, sedangkan
hasil operasi pengurangan ψ 21−1 dan ψ 211 diperoleh fungsi gelombang orbital 2py.
Gambar 2. 23 Bentuk orbital 1s, 2s, dan px,py,pz
Fungsi Basis
Untuk atom-atom lain selain atom hidrogen, sebagai pendekatan fungsi gelombang atomnya
digunakan fungsi gelombang atom hidrogen. Pada tahun 1930, J.C. Slater mengusulkan
persamaan matematika baru yang berdasarkan fungsi orbital atom hidrogen yang dapat
digunakan untuk atom berelektron banyak (Quinn, 2002). Fungsi gelombang yang diusulkan
Slater ini selanjutnya dikenal sebagai Slater type orbital (STO).
( 2ζ )
φSTO ( r , θ , φ; ζ , n, l , m ) =
r r −1e − ζr Yl m ( θ , φ )
l /2
⎡⎣( 2n ) !⎤⎦
n+l / 2
(9)
Keunggulan STO yaitu terdapat pada kemiripan fungsi gelombangnya dengan orbital
hidrogen. Meski demikian, pendekatan ini mengandung kesalahan yang cukup besar, karena
usaha untuk membuat aturan yang bisa digeneralisasi untuk sejumlah besar atom.
Untuk mengatasi hal tersebut, pada tahun 1950, Boys mengusulkan untuk menggunakan
fungsi Gaussian. Fungsi gelombang yang diusulkan ini selanjutnya lebih dikenal sebagai
orbital bertipe Gaussian (Gaussian Type Orbital, GTO) (Quinn, 2002).
21
⎛ 2α ⎞
φGTO ( x, y , z; α , i , j , k ) = ⎜ ⎟
⎝ π ⎠
3/4
1/2
⎡ ( 8α )i + j + k i ! j ! k ! ⎤
⎢
⎥
⎢⎣ ( 2i ) !( 2 j ) !( 2k ) ! ⎥⎦
xi y j z k e
(
− α x2 + y 2 + z 2
)
(10)
Kelebihan GTO yaitu GTO sangat unggul secara komputasi dibandingkan dengan STO.
Tetapi GTO belum dapat menandingi STO dalam hal kemiripannya dengan orbital hidrogen
(Gambar 2. 24).
Gambar 2. 24. Perbandingan antara orbital tipe Slater dan tipe Gaussian
Untuk mengatasi hal tersebut, Reeves mengusulkan untuk menggunakan kombinasi beberapa
fungsi Gaussian untuk mendekati bentuk fungsi Slater, yang selanjutnya dikenal sebagai
Gaussian-terkontraksi (STO-MG).
M
ϕ STO − MG ( x, y, z; [α ], i, j , k ) = ∑ c aφ ( x, y, z; α a , i, j , k )
(11)
a =1
Nilai M di ruas kanan menunjukkan jumlah fungsi Gaussian yang dipakai untuk menyusun
orbital tersebut. Fungsi-fungsi Gaussian tersebut dikenal sebagai fungsi Gaussian primitif.
Kinerja yang optimal diperoleh dengan menggunakan tiga primitif Gaussian (M=3) (Cramer,
2004). Dengan demikian, suatu orbital bukan hanya diwakili oleh satu fungsi, melainkan
merupakan kombinasi dari beberapa fungsi yang lebih sederhana. Selanjutnya, dari hal inilah
muncul konsep himpunan basis (Gambar 2. 25).
22
Gambar 2. 25 Kombinasi linear dari tiga fungsi Gaussian membentuk satu fungsi basis Slater
Minimal basis set
Jumlah orbital yang terdapat pada kulit atom menentukan jumlah minimal fungsi basis yang
dibutuhkan untuk menggambarkan semua elektron dalam atom. Misalnya untuk atom H dan
He yang mempunyai satu kulit, diperlukan minimal fungsi basisnya yaitu orbital 1s.
Sedangkan atom Li sampai atom Ne diperlukan minimal lima fungsi basis, yaitu 1s, 2s, 2px,
2py, dan 2pz. Tabel 2. 2 menyajikan jumlah fungsi basis minimal untuk beberapa atom.
Tabel 2. 2. Jumlah minimal basis set untuk berbagai atom
Atom
H, He
Li sampai Ne
Na sampai Ar
K dan Ca
Sc sampai Kr
Jenis Orbital atom
1s
1s
2s 2px, 2py, 2pz
1s
2s 2px, 2py, 2pz
3s 3px, 3py, 3pz
1s
2s 2px, 2py, 2pz
3s 3px, 3py, 3pz
4s 4px, 4py, 4pz
1s
2s 2px, 2py, 2pz
3s 3px, 3py, 3pz
3d2z2 −x2 − y2 , 3dx2 − y2 ,3dxy 3dyz ,3dxz
Jumlah
1
5
9
13
18
4s 4px, 4py, 4pz
Himpunan Basis (Foresman, 1996 & Levine, 2000)
Peningkatan kualitas himpunan basis dilakukan dengan cara yang mirip dengan
pembentukan himpunan terkontraksi. Terdapat sebuah keteraturan bahwa semakin besar
ukuran basis set maka akan semakin dekat dengan orbital STO. Namun, semakin tinggi
kualitas himpunan basis harus “dibayar” dengan biaya komputasi yang lebih tinggi (waktu,
kapasitas komputer, dsb.).
23
Himpunan basis merupakan deskripsi matematika dari sekumpulan orbital sistem yang telah
diketahui, yang dikombinasikan untuk mendekati fungsi gelombang total dari sistem yang
dikaji. Untuk mendekati orbital-orbital yang lebih akurat, dilakukan tiga cara perbaikan
himpunan basis, yaitu:
1) Himpunan basis valensi terpisah
Pada himpunan basis valensi terpisah ditambahkan sejumlah fungsi basis per atom untuk
elektron kulit valensi dan elektron kulit dalam. Himpunan basis yang diperluas di antaranya
zeta ganda (Double Zeta, DZ) yang mengandung dua kali fungsi basis dari basis
minimal. Zeta rangkap tiga (Triplet Zeta, TZ) yang mengandung tiga kali fungsi dari
minimal basis (Tabel 2. 3). Himpunan basis valensi terpisah zeta ganda dilambangkan
dengan X-YZG. Dimana X menunjukkan jumlah primitif Gaussian yang digunakan setiap
orbital fungsi basis atom. Y dan Z menunjukkan jumlah primitif untuk perluasan di kulit
valensi. Untuk himpunan basis valensi terpisah zeta rangkap tiga dilambangkan dengan XYZWG. YZW menunjukkan jumlah primitif untuk perluasan di kulit valensi. Contoh
himpunan basis valensi yaitu 3-21G dan 6-31, memiliki dua atau lebih ukuran fungsi basis
untuk tiap orbital valensi. Sebagai contoh untuk atom hidrogen dan karbon:
H : 1s, 1s’
C : 1s, 2s, 2s’, 2px, 2py, 2pz, 2px’, 2py’, 2pz’
setiap orbital yang diberi tanda kutip berbeda ukurannya dengan orbital tanpa tanda kutip.
Sedangkan notasi 3-21G menandakan bahwa di dalam himpunan basis terdapat tiga fungsi
Gaussian yang mewakili orbital elektron kulit dalam, dua fungsi Gaussian untuk orbital
elektron bagian terkontraksi, dan satu fungsi Gaussian yang mewakili orbital elektron yang
berdifusi (Gambar 2. 26).
=
Gambar 2. 26 Gambar himpunan basis terpisah
24
Tabel 2. 3 menunjukkan single-ζ untuk elektron pada kulit dalam dan double-ζ (zeta
ganda) untuk kulit valensi
Atom
H, He
Li sampai Ne
Na sampai Ar
K sampai Ca
Sc sampai Kr
Jenis Orbital atom
1s’ 1s”
1s
2s’ 2px’, 2py’, 2pz” 2s” 2px”, 2py”, 2pz”
1s
2s 2px, 2py, 2pz
3s’ 3px’, 3py’, 3pz” 3s” 3px”, 3py”, 3pz”
1s
2s 2px, 2py, 2pz
3s3px,3py,3pz
4 s’ 4px’, 4py’, 4pz” 4s” 4px”, 4py”, 4pz”
1s
2s 2px, 2py, 2pz
3s3px,3py,3pz
Jumlah
2
9
13
17
27
3d'2z2−x2−y2 , 3d'x2−y2 ,3d'xy 3d'yz ,3d', 3d"2z2−x2−y2 , 3d";x2−y2 ,3d"xy 3d"yz ,3d"xz
4s 4px, 4py, 4pz
2) Himpunan basis terpolarisasi
Pada himpunan basis valensi terpisah diperbolehkan mengubah ukuran orbital tanpa
mengubah bentuk orbital. Sedangkan pada himpunan basis terpolarisasi kesulitan
penanganan bentuk orbital yang berubah dapat diatasi dengan menambah orbital-orbital yang
momentum sudutnya lebih tinggi daripada yang dibutuhkan. Sebagai contoh dengan
menambah fungsi orbital p untuk atom hidrogen dan menambah fungsi orbital d pada atom
nonhidrogren.
Penggunaan tanda asterisk (*) digunakan untuk menunjukkan penggunaan himpunan basis
terpolarisasi. Misalnya, 6-31G* mengacu pada himpunan basis 6-31G dengan fungsi
polarisasi pada atom nonhidrogen dengan menambahkan satu orbital kosong p atau d kosong
di atasnya. Sedangkan himpunan basis 6-311G** mengacu pada himpunan basis 6-311G
dengan menambahkan dua orbital kosong di atasnya misalnya orbital 3p dan 3d pada atom
karbon (Gambar 2. 27).
=
Gambar 2. 27 Gambar himpunan basis terpolarisasi
25
3) Himpunan basis difusi
Himpunan basis terpolarisasi kurang mampu menggambarkan kerapatan elektron yang jauh
dari inti seperti anion atau molekul yang memiliki pasangan elektron bebas. Hal ini
disebabkan amplitudo fungsi Gaussian bernilai rendah pada daerah yang jauh dari inti. Untuk
mengatasinya digunakan himpunan basis difusi. Himpunan basis difusi ditandai oleh tanda
“+”. Misalnya himpunan basis 6-311+G** merupakan himpunan basis yang mengacu pada
himpunan basis 6-311G** dengan penambahan fungsi difusi pada atom nonhidrogennya.
Sedangkan himpunan basis 6-311++G** menambahkan fungsi difusi juga pada atom
hidrogennya (Gambar 2. 28).
=
Gambar 2. 28 Gambar himpunan basis difusi
2.15 Hampiran Born-Oppenheimer
Persamaan Schrödinger hanya dapat diselesaikan dapat secara eksak untuk sistem-sistem
yang sederhana, seperti atom hidrogen atau atom mirip hidrogen (hydrogen-like) dan
molekul H2+(Krane, 1996). Fungsi gelombang yang memenuhi persamaan Schrödinger untuk
atom hidrogen biasanya disebut orbital. Untuk sistem-sistem yang lebih kompleks,
penyelesaian persamaan Schrödinger tidak dapat diselesaikan secara eksak sehingga perlu
digunakan beberapa pendekatan.
Pendekatan pertama yang diterapkan molekul yaitu pendekatan Born-Oppenheimer. Karena
massa inti jauh lebih besar dari massa elektron maka kecepatan inti atom jauh lebih kecil
dibanding dengan kecepatan elektron sehingga inti dapat dianggap diam. Selanjutnya karena
inti dianggap diam maka energi kinetik inti (Tn) dapat diabaikan.
Secara umum, untuk sistem N partikel, operator Hamiltoniannya mengandung komponenkomponen energi kinetik (T) dan energi potensial (V) untuk seluruh partikel.
H = Te + Tn + Vne + Vee + Vnn
(12)
n = inti, e = elektron
26
Dengan hampiran Born-Oppenheimer, operator Hamiltoniannya menjadi :
H e = Te + Vne + Vee + Vnn
N
H e = −∑
i =1
1 2
∇i −
2
N
M
∑∑
i =1 A =1
ZA
+
riA
N −1
∑
i =1
N
1
+
∑
j = i + 1 rij
M −1
⎛ ∂2
∂2
∂2 ⎞
∇ i2 = ⎜⎜ 2 + 2 + 2 ⎟⎟
⎝ ∂ xi ∂ yi ∂ zi ⎠
M
∑ ∑
A =1 B = A +1
Z AZ B
r AB
(13)
i dan j adalah indeks elektron, A dan B indeks inti, Z muatan inti, N jumlah elektron, dan M
adalah jumlah inti.
2.16 Prinsip Variasi (Cramer, 2004 & Martoprawiro, 2008)
Prinsip variasi menyatakan bahwa jika digunakan fungsi gelombang coba-coba atau
“sembarang”, maka energi hasil perhitungan selalu lebih besar dari energi sebenarnya.
Prinsip ini dapat digunakan untuk melakukan penyempurnaan fungsi gelombang hingga
diperoleh energi seminimal mungkin. Dari prinsip variasi ini akhirnya muncul istilah metode
variasi.
Salah satu penerapan dari metode variasi yaitu dengan mencoba-coba fungsi gelombang
untuk suatu sistem kimia tertentu, dimana fungsi gelombang “coba-coba” (trial wavefunction) tersebut berupa kombinasi linear dari fungsi-fungsi lainnya.
Φ = ∑ c iψ i
(14)
i
dengan memasukkannya ke E =
∫ ΨHˆΨd τ ,
∫ Ψ dτ
2
akan diperoleh ungkapan energi sebagai
fungsi dari cj. Fungsi gelombang yang paling baik merupakan fungsi gelombang yang
menghasilkan energi seminimum mungkin. Untuk mencari nilai-nilai cj yang paling baik,
digunakan:
∂E
= 0 , agar diperoleh nilai energi minimum
∂c i
27
2.17 Pendekatan Himpunan Basis LCAO (Cramer, 2004)
Dalam pendekatan ini, fungsi gelombang orbital molekul dapat dianggap sebagai kombinasi
linear fungsi gelombang orbital atom-atom penyusunnya
N
φ = ∑ a i ϕi
(15)
i =1
dimana sekumpulan fungsi-fungsi ϕi disebut sebagai “basis set”
Salah satu contoh penggunaan pendekatan teori orbital molekul adalah teori Huckel. Prinsip
pendekatannya yaitu dengan menggunakan fungsi gelombang dan Hamiltonian yang hanya
melibatkan elektron-elektron pada orbital π dalam molekul. Karena tidak melibatkan seluruh
elektron dalam molekul, maka diperlukan beberapa parameter yang harus ditentukan dengan
membandingkannya dengan data percobaan (umumnya data spektroskopi). Oleh karena itu,
pendekatan ini disebut juga sebagai pendekatan semiempiris.
2.18 Teori Hartree-Fock (Self Consistent Field Theory, SCF) (Cramer, 2004 &
Martoprawiro, 2008)
Pada teori Hartree-Fock, Hamiltonian untuk sistem berelektron banyak dapat diungkapkan:
N
H = ∑ hi
(16)
i =1
M
Z
1
dimana hi = − ∇i2 − ∑ k
2
k =1 rik
Dari persamaan Schrödinger untuk pendekatan ini, dengan mengabaikan interaksi elektronelektron, diperoleh hi ψ i = ε i ψ i untuk per elektron. Sedangkan untuk elektron keseluruhan:
H Ψ = EΨ
⎛
⎞
⎛ N ⎞
h
Ψ
=
⎜∑ i ⎟
⎜ ∑εi ⎟ Ψ
⎝ i =1 ⎠
⎝ i =1 ⎠
N
(17)
Dari ungkapan terakhir dapat dibuktikan bahwa fungsi gelombang untuk sistem keseluruhan
(sistem berelektron banyak), merupakan perkalian dari fungsi gelombang untuk masingmasing elektron.
Ψ = ψ 1ψ 2ψ 3ψ 4 ...
(18)
28
Ungkapan ini selanjutnya disebut sebagai Hartree-product.
Selanjutnya, Hartree mengusulkan untuk merumuskan tolakan antar elektron, sebagai
tolakan antara satu elektron tertentu dengan keadaan rata-rata elektron yang lain. Dengan
memperhitungkan tolakan antar elektron, maka hi disempurnakan menjadi:
Zk
+V i { j }
k =1 rik
1
2
M
hi = − ∇i2 − ∑
Vi { j } = ∑ ∫
j ≠i
ρj
dr
rij
(19)
Dari persamaan Schrödinger hi ψ i = ε i ψ i maka nilai ρ{j} ditentukan oleh nilai fungsi
gelombangnya, yaitu ψj. Pada tahun 1928, Hartree mengusulkan suatu metode iterasi dengan
membuat parameter untuk fungsi gelombang molekul yang merupakan kombinasi linear dari
orbital-orbital atom (LCAO).
Spin Elektron dan Antisimetri
Pada kenyataannya, elektron tidak hanya memiliki karakteristik fungsi gelombang (spasial,
spatial wave-function) yang menggambarkan distribusi geraknya dalam ruang, tetapi juga
memiliki spin. Untuk spin elektron terdapat fungsi gelombang juga, yaitu α ( i ) dan β ( i ) .
Misalnya untuk sistem dengan 2 elektron, fungsi gelombangnya adalah:
Ψ HP = ψ a (1) α (1) ψb ( 2 ) α ( 2 ) , atau
Ψ HP = ψ a (1) α (1) ψb ( 2 ) β ( 2 )
(20)
Untuk menyederhanakan penulisan, sering ditulis:
Ψ HP = ψ a (1)ψ b ( 2 ) , atau
Ψ HP = ψ a (1)ψ b ( 2 )
(21)
Prinsip Pauli menyatakan bahwa fungsi gelombang sistem banyak elektron bersifat
“antisimetri”, artinya nilai fungsi gelombang tersebut harus mempunyai nilai mutlak yang
sama tetapi berlawanan tanda jika ada dua elektron yang dipertukarkan.
29
Determinan Slater
Untuk sistem dua elektron, agar sifat antisimetri dari Pauli terpenuhi, maka fungsi
gelombang (untuk molekul keseluruhan) harus berbentuk:
Ψ (1,2 ) = χ1 (1) χ 2 ( 2 ) − χ1 ( 2 ) χ 2 (1)
Ψ ( 2,1) = χ1 ( 2 ) χ 2 (1) − χ1 (1) χ 2 ( 2 ) = −Ψ (1,2 )
(22)
Ternyata bentuk yang disarankan oleh Slater berupa determinan:
Ψ SD (1,2 ) =
1 χ1 (1) χ 2 (1)
2 χ1 ( 2 ) χ 2 ( 2 )
(23)
Secara umum untuk sistem banyak elektron, fungsi gelombang molekul keseluruhan dalam
bentuk determinan Slater adalah
Ψ SD =
1
N!
χ1 (1)
χ1 ( 2 )
χ 2 (1)
χ2 ( 2 )
#
#
χ1 (N ) χ 2 (N )
... χN (1)
... χN ( 2 )
%
#
... χN (N )
(24)
Fungsi gelombang hasil determinan Slater ini telah ternomalisasi (integral keseluruhan ruang
sudah menghasilkan kebolehjadian 100%), memenuhi prinsip Pauli tentang sifat antisimetri
fungsi gelombang, dan merupakan LCAO untuk masing-masing orbital molekul yang ada
dalam determinan.
Penyelesaian persamaan gelombang Schrödinger dengan metode Hartree-Fock tidak
menggunakan perhitungan energi keseluruhan dengan fungsi gelombang Ψ SD , melainkan
menggunakan persamaan Schrödinger per elektron dengan hamiltonian:
1
2
Zk
+V i HF { j }
r
k =1 ik
M
f i = − ∇i2 − ∑
(25)
yang disebut operator Fock.
Energi diminimumkan dengan memvariasikan koefisien pada orbital molekul yang
merupakan LCAO. Ketika menyelesaikan untuk elektron pertama menggunakan f1
dilakukan variasi koefisien untuk orbital molekul yang pertama. Permasalahannya, koefisien-
30
koefisien untuk orbital molekul yang lain diperlukan untuk menentukan V1HF {2,3, 4,...} .
Karena itu diberikan nilai awal ci untuk orbital-orbital molekul yang lain.
Selanjutnya, hal yang sama dilakukan terhadap operator Fock yang kedua, untuk orbital
molekul yang kedua. Fungsi V 2HF {1,3, 4,...} didasarkan atas fungsi gelombang yang telah
ditemukan untuk elektron pertama dan harga-harga koefisien sementara untuk elektronelektron yang lain. Hal yang sama dilakukan untuk fungsi gelombang orbital molekul
elektron-elektron yang lain. Walaupun tolakan antar-elektron sudah diperhitungkan dalam
metode Hartree-Fock, tetap dikatakan bahwa teori ini mengabaikan “electron correlation”.
Metode HF dapat dibedakan menjadi dua yaitu RHF (restricted Hartree-Fock) dan UHF
(unrestricted Hartree-Fock). Metode RHF hanya dapat digunakan untuk molekul yang
semua elektronnya berpasangan, sedangkan UHF bisa untuk sebarang molekul. Teori HF
sudah sangat baik untuk meramalkan geometri molekul, tetapi kurang baik untuk
meramalkan energi molekul dan energi orbital.
2.19 Teori Gangguan Møller-Plesset (Møller Plesset Perturbation Theory)
Kelemahan metode Hartree-Fock, yaitu: membayangkan gerak satu elektron dalam medan
yang bersifat statis. Padahal pada kenyataannya, kerapatan elektron yang lain akan berubah
seiring dengan gerakan satu elektron tersebut. Untuk mengatasi kelemahan ini,
dikembangkan beberapa metode. Salah satunya yaitu metode gangguan atau perturbasi.
Teori gangguan Møller-Plesset merupakan suatu metode yang mengkoreksi metode HartreeFock. Metode ini sering disingkat dengan MPn, dimana n adalah orde tingkat koreksi. Dalam
metode ini digunakan pendekatan gangguan (perturbation) dalam menyelesaikan persamaan
Schrödinger, sedangkan metode Hartree-Fock digunakan pendekatan variasi. Persamaan
Hamiltonian tanpa gangguan, dilambangkan dengan Ĥ0:
^
H 0 Ψ (i
0)
= E o(
0)
Ψ (i
0)
(26)
Perbedaan antara Ĥ - Ĥ0 disebut dengan gangguan terhadap Ĥ0.
dimana:
^
Ĥ - Ĥ0 = λ V atau
^
Ĥ = Ĥ0 + λ V
dimana λ adalah parameter gangguan yang menunjukkan besarnya gangguan.
31
Sebagai ekspansi gangguan digunakan penyelesaian persamaan yang mengandung gangguan
sebagai berikut:
Ψi = Ψi(0 ) + λ Ψi(0 ) + λ(1) Ψi(1) + λ(2 ) Ψi(2 ) + ...
Ei = Ei(0 ) + λ Ei(0 ) + λ(1) Ei(1) + λ(2 ) Ei(2 ) + ...
(27)
dimana suku pertama persamaan berorde nol, suku kedua dan ketiga berturut-turut berorde
satu dan orde dua. Ei1 adalah koreksi orde pertama, sedangkan Ei2 adalah koreksi energi
orde kedua dan seterusnya.
Selanjutnya bila disubstitusikan ekspansi gangguan ke dalam persamaan Schrödinger
diperoleh berbagai persamaan gelombang elektron dan energi dengan variasi orde koreksi
sebagai berikut:
^
Ei(0 ) = Ψi(0 ) | H | Ψi(0 )
^
Ei(1) = Ψi(0 ) | V | Ψi(0 )
(28)
(0 )
(2 )
Ei
(0 )
^
(2 )
= Ψi | V | Ψi
=
∑
Ψi
^
(0 )
2
| V | Ψi
Ei(0 ) − E (j0 )
I ≠1
Operator Fock untuk Hamiltonian tanpa gangguan:
H (0 ) =
∑ F (i ) = ∑ [h(i ) + (J (i ) K (i ))]
n
j
j
(29)
i
i
Dari perbedaan antara Hamiltonian tanpa gangguan yang dipilih dan Hamiltonian yang
sebenarnya untuk sistem n-elektron, dapat diperoleh gangguan sebagai berikut:
V =
1
∑r
i< j
i, j
−
∑ (J (i ) − K (i ) )
j
j
(30)
i, j
yang berakibat, energi tingkat nol secara sederhana merupakan jumlah energi orbital terisi,
Ψ (0 ) :
32
^
H Ψ (0 ) = E 0(0 ) Ψ0(0 )
⎛ N ⎞
⎞
⎛ N ^
⎜ ∑ F ( xi )⎟Ψ (0 ) = ⎜ ∑ ε i ⎟Ψ0(0 )
⎝ i =1 ⎠
⎠
⎝ i =1
E 0(0 ) =
N
∑ε
i =1
i
(31)
= E otb
Koreksi orde pertama diperoleh:
^
^
^
E 0(1) = Ψi(0 ) | V | Ψi(0 ) = Ψi(0 ) | H − H 0 | Ψi(0 ) = E HF −
N
∑ε
i =1
(32)
i
Dari penurunan di atas, diperoleh bahwa penjumlahan koreksi orde nol dan orde pertama
merupakan energi keadaan dasar dari persamaan Hartree-Fock.
E 0(0 ) + E 0(1) = E HF
(33)
sedangkan untuk energi koreksi orde kedua:
(2)
E0
=
∑∑∑∑
i
j
p
q
(ΨΨ
p
q
| g | ΨiΨ j
εi
+
εj
−
−
Ψ pΨqΨiΨ j
−
εp
εq
)
2
(34)
dimana i dan j adalah orbital terisi (occupied) sedangkan p dan q adalah orbital tidak terisi
(unoccupied, virtual).
Energi MP2 (orde kedua MP) merupakan penjumlahan energi HF dengan energi orde kedua:
E MP 2 = E 0(0 ) + E 0(1) + E 0(2 ) = E
HF
+ E 0(0 )
(35)
Besarnya koreksi Møller-Plesset orde tiga (MP3) dan Møller-Plesset orde empat (MP4)
dapat dihitung dengan cara memperluas perlakuan seperti di atas untuk memperbaiki harga
energi. Energi MP3 dan MP4 dapat dinyatakan dengan:
E MP 3 = E 0(0 ) + E 0(1) + E 0(2 ) + E 0(3) = E
HF
+ E 0(2 ) + E 0(3 )
E MP 4 = E 0(0 ) + E 0(1) + E 0(2 ) + E 0(3 ) + E 0(4 ) = E
HF
(36)
+ E 0(2 ) + E 0(3) + E 0(4 )
33
2.20 Parameter Struktur (Bakken, 2002)
Ada dua cara yang dapat digunakan untuk menggambarkan struktur pada input file Gaussian,
yaitu dengan menggunakan koordinat Kartesius dan koordinat internal (z-matriks). Dalam
koordinat z-matriks dengan parameter: jarak, sudut anguler, dan sudut dihedral. Parameter
jarak digunakan untuk menunjukkan seberapa jauh jarak suatu titik ke titik yang lain
(Gambar 2. 29).
Gambar 2. 29 Dua titik yang dihubungkan oleh komponen jarak qb
Parameter sudut anguler digunakan untuk menunjukkan sudut yang dibentuk oleh dua garis
yang saling berpotongan pada satu titik tertentu.
Gambar 2. 30 Tiga titik yang dihubungkan dua komponen jarak (u dan v) serta satu sudut
angular qa
Parameter sudut dihedral dibentuk oleh empat titik yang saling berhubungan melalui
komponen sudut anguler.
Gambar 2. 31 Empat titik yang dihubungkan oleh tiga komponen jarak (u’, v’, w’), dua sudut
angular (φu dan φv) serta satu sudut dihedral qd
34
Dalam perhitungan komputasi, koodinat z-matriks lebih disukai dibandingkan dengan
koordinat kartesius. Hal ini disebabkan koordinat z-matriks akan selalu menghasilkan
maksimal enam variabel lebih sedikit dibandingkan dengan koordinat kartesius. Selain itu,
penggunaan koordinat z-matriks juga membantu fokus perhitungan misalnya pada saat
memodelkan pemutusan ikatan parameter yang berperan dominan yaitu jarak ikatan.
2.21 Optimasi Geometri (Bakken, 2002, Cramer, 2004, dan Schlegel, 1981)
Dalam menentukan hubungan struktur suatu sistem dengan energi digunakan pendekatan
dengan mendefinisikan vektor g yang menunjukkan arah gradien energi E pada setiap
parameter struktur q.
⎡ ∂E
⎢ ∂q
⎢ 1
⎢ ∂E
g (q ) = ⎢ ∂q 2
⎢ #
⎢ ∂E
⎢
⎣⎢ ∂q N
⎤
⎥
⎥
⎥
⎥
⎥
⎥
⎥
⎦⎥
(37)
Parameter q merupakan suatu vektor yang dibentuk oleh koordinat setiap komponen
penyusun sistem. Ukuran vektor ini bergantung pada jumlah komponen penyusun sistem dan
jenis koordinat yang digunakan. Untuk koordinat kartesius, parameter struktur q memiliki
ukuran 3N, dengan N merupakan jumlah komponen penyusun sistem. Sedangkan pada
koordinat z-matrik, ukuran vektornya adalah 3N-6.
Tujuan optimasi geometri yaitu menentukan suatu bentuk struktur q yang memiliki energi
paling rendah. Secara matematis, syarat ini diungkapkan sebagai:
g (q ) = 0 dan
∂2E
>0
∂qi2
Pada pencarian titik stasioner dilakukan pemilihan struktur awal dan penentuan vektor
gradien q struktur tersebut. Selanjutnya struktur akan diubah-ubah hingga diperoleh vektor
gradien sebesar nol. Salah satu metode pengulangan yang umum digunakan adalah metode
Newton-Rhapson. Dalam metode ini, didefinisikan hubungan umum energi dengan struktur
q sebagai deret Taylor tingkat dua multidimensi,
35
∂E
E(q) = E(qeq ) + ∑ (qi − qi,eq )
∂qi
i =1
3N −6
q=qeq
1 3N −6 3N −6
∂2 E
+ ∑ ∑ (qi − qi,eq )(q j − q j ,eq )
2! i=1 j =1
∂qi ∂q j
q=qeq
(39)
yang dapat dituliskan dalam bentuk matriks seperti:
(
)
E (q ( k +1) ) = E (q ( k ) ) + q ( k +1) − q ( k ) g ( k ) ) +
(
)
(
1 ( k +1)
q
− q ( k ) H ( k ) q ( k +1) − q ( k )
2
)
(40)
dengan q merupakan suatu konfigurasi struktur tertentu (k), g mewakili vektor gradien, dan
H dikenal sebagai matriks Hessian. Dengan demikian elemen matriks Hessian dapat
dituliskan sebagai:
H ij( k ) =
∂2E
∂qi ∂q j
(41)
q =q
(k)
Pada titik stasioner berlaku ungkapan:
(
)
(
0 = g (k) + H (k) q (k +1 ) − q (k) atau q (k +1 ) = q (k) − H (k)
)
-1
g (k)
(42)
Optimasi geometri struktur ke-k (q(k)) dilakukan dengan menghitung vektor gradien g dan
matriks Hessian untuk struktur tersebut. Prosedur tersebut akan dilakukan berulang-ulang
hingga diperoleh struktur baru yang memiliki nilai vektor gradien sebesar nol.
Kemudian Schlegel (Schlegel, 1981) mengembangkan metode kuasi-Newton. Istilah kuasi
muncul dikarenakan pada setiap tahap iterasi, nilai Hessiannya tidak diperoleh secara
analitis, namun digunakan berbagai cara lain. Perbedaan metode kuasi-Newton yang satu
dengan yang lainnya umumnya terletak pada persamaan untuk menentukan nilai pendekatan
Hessian tersebut.
Untuk optimasi struktur keadaan transisi digunakan metode yang sama. Namun harus
dipenuhi: g (q) = 0 dengan nilai turunan kedua energi terhadap bernilai positif untuk seluruh
parameter kecuali satu parameter struktur (qj) bernilai negatif.
∂2E
< 0 untuk satu parameter saja
∂q 2j
(43)
36
2.22 Perhitungan Energi Satu Titik
Perhitungan energi satu titik merupakan perhitungan energi dan sifat-sifat suatu struktur
tertentu tanpa mengubah parameter struktur tersebut. Perhitungan ini berguna untuk melihat
secara mendalam pengaruh beberapa parameter struktur terhadap energi. Selain itu,
perhitungan ini juga digunakan untuk mempelajari sifat struktur menggunakan tingkat teori
yang lebih tinggi. Umumnya, optimasi geometri dilakukan menggunakan tingkat teori yang
lebih rendah, hasil optimasi tersebut selanjutnya dipakai untuk melakukan perhitungan satu
titik dengan menggunakan teori yang lebih tinggi.
2.23 Perhitungan Frekuensi (Cramer, 2004)
Perhitungan energi hasil optimasi geometri maupun hasil perhitungan satu titik merupakan
hasil perhitungan energi pada saat molekul tersebut berada dalam keadaan diam. Pada
keadaan nyata, molekul selalu berada dalam keadaan dinamis tidak statis. Untuk itu, hasil
perhitungan energi tersebut perlu ditambahkan koreksi energi. Pada suhu nol Kelvin molekul
tetap bervibrasi, besarnya energi vibrasi molekul pada saat nol Kelvin sering disebut ZPE
atau ZPVE (Zero Point Vibrational Energy).
∆ZPVE =
modus
1
∑ 2 =ω
i
(44)
i
Untuk suhu lain di atas nol Kelvin ditambahkan koreksi termal seperti akan dijelaskan di
bawah.
Dari hasil perhitungan frekuensi dapat diramalkan spektrum IR dan Raman suatu molekul.
Selain itu, perhitungan frekuensi digunakan juga untuk memastikan apakah struktur
konformasi suatu molekul berada dalam keadaan paling stabil atau berada pada keadaan
transisi. Untuk konformasi struktur pada keadaan stabil diperoleh nilai frekuensi yang
semuanya bernilai positif. Sedangkan untuk konformasi struktur pada keadaan transisi
diperoleh satu nilai frekuensi imaginer.
2.24 Perhitungan Fungsi Partisi dan Koreksi Termal (McQuarrie, 1976)
Dalam perhitungan koreksi termal perlu diketahui fungsi partisi molekul tersebut. Fungsi
partisi adalah suatu deret dimana masing-masing suku dari deret tersebut menggambarkan
kebolehjadian partikel berada di tingkat tersebut. Fungsi partisi total (QN) untuk sistem
adalah sebagai berikut.
37
QN =
∑g
i
i
⎛ −ε ⎞
exp⎜ i ⎟
⎝ kT ⎠
(45)
dimana gi merupakan degenerasi tingkat energi εi dan εi menyatakan energi tingkat ke-i.
Energi total molekul merupakan penjumlahan energi elektronik, vibrasi, rotasi, dan translasi.
Oleh karena itu, fungsi partisi merupakan hasil kali dari semua fungsi partisi masing-masing
energi yang terdapat pada molekul.
Q N = Qtrans × Qrot × Qelek × Qvib
dengan Qtrans
⎛ 2π mkT ⎞
= V⎜
⎟
2
⎠
⎝ h
Qrot =
3
(46)
2
8π 2 IkT
σ h2
Qvib = e − hυ / 2 kT
1
e
(47)
− hυ / kT
Qelec = ∑ ωε i e −ε i / kT ≈ ωε i
dimana V dan m adalah volume dan massa molekul, νi adalah frekuensi vibrasi masingmasing i, σ adalah bilangan simetri, I menyatakan momen inersia, k merupakan tetapan
Boltzman, h merupakan tetapan Planck, T menyatakan suhu, dan ω menyatakan degenerasi.
Dengan diketahuinya fungsi partisi suatu molekul maka besaran-besaran termodinamika lain
seperti: energi dalam (U), entalpi (H), entropi (S), energi bebas Gibbs (G), dan energi bebas
Helmholtz (A) dapat dihasilkan dari fungsi partisi ini berdasarkan prinsip-prinsip yang
terdapat dalam mekanika statistik.
2.25 Perhitungan Entalpi Reaksi dan Energi Pengaktifan (Cramer, 2004)
Dalam pembahasan reaksi kimia, umumnya digunakan data entalpi untuk melihat aspek
termodinamikanya. Entalpi reaksi didefinikan:
H = E + PV
(48)
Entalpi pembentukan molekul M pada suhu 298 K diperoleh:
atom
atom
z
z
∆H of , 298 (M ) = E (M ) + ZPVE (M ) + [H 298 (M ) − H 0 (M )] − ∑ E ( X z ) + ∑ H of , 0 ( X z )
(49)
38
dengan X merupakan atom penyusun molekul tersebut. Berdasarkan persamaan tersebut,
TS
C
maka entalpi reaksi: A + B ⎯⎯→
dapat diungkapkan sebagai:
o
∆H 298
= E ( C ) + ZPVE ( C ) + ⎡⎣ H 298 ( C ) − H 0 ( C ) ⎤⎦ −
{E ( A) + ZPVE ( A) + ⎡⎣ H
298
( A) − H 0 ( A)⎤⎦ + E ( B ) + ZPVE ( B ) + ⎡⎣ H 298 ( B ) − H 0 ( B )⎤⎦}
(50)
Sedangkan besar energi pengaktifan yang berjalan melalui mekanisme:
Ea
A ⎯⎯→
TS ⎯
⎯→ B
memiliki energi pengaktifan sebesar:
o
Ea298
= E (TS ) + ZPVE (TS ) + ⎡⎣ H 298 (TS ) − H 0 (TS ) ⎤⎦
− E ( A) + ZPVE ( A) + ⎡⎣ H 298 ( A) − H 0 ( A) ⎤⎦
(51)
2.26 Perhitungan Laju Reaksi secara Termodinamika Statistik (Rahayu, 2003)
Penurunan tetapan laju reaksi dari prinsip-prinsip termodinamika statistik menghasilkan
rumusan:
k =
⎛ E ⎞
k BT Q ‡
exp ⎜ − c ⎟
h Q
⎝ k BT ⎠
(52)
dimana Q dan Q‡ adalah fungsi partisi total untuk pereaksi dan keadaan transisi, dan Ec
adalah energi kritis.
Hubungan tetapan kesetimbangan K c‡ dan hubungan van’t Hoff untuk energi bebas Gibbs,
∆G0‡ .
K C‡ =
⎛ E ⎞
Q‡
exp⎜⎜ − c ⎟⎟
Q
⎝ k BT ⎠
∆G0‡ = − RT ln K c‡
(53)
dapat dihasilkan nilai k:
39
k=
=
k BT ‡
Kc
h
⎛ ∆G0‡ ⎞
k BT
⎟
exp⎜⎜ −
⎟
h
⎝ RT ⎠
Nilai ∆G ‡ = ∆H ‡ − T∆S ‡
maka k =
(54)
(55)
⎛ ∆H 0‡ ⎞
∆S ‡
k BT
⎟
exp 0 exp⎜⎜ −
⎟
h
R
RT
⎝
⎠
dimana ∆H 0‡ dan ∆S 0‡ adalah perubahan entalpi dan entropi standar
2.27 Teori Tumbukan dan Teori Keadaan Transisi (Rahayu, 2003)
Penurunan laju reaksi berdasarkan dinamika rinci seluruh partikel yang terlibat dalam reaksi
merupakan hal yang amat sulit dilakukan. Diperlukan suatu teori yang dapat
menggambarkan perilaku rata-rata sejumlah besar partikel. Pendekatan yang digunakan yaitu
teori tumbukan dan teori keadaan transisi.
Menurut teori tumbukan yang paling sederhana, molekul-molekul pereaksi akan
bertumbukan terlebih dahulu sebelum membentuk produk, dimana setiap tumbukan yang
terjadi akan selalu menghasilkan produk. Kelemahan teori ini yaitu adanya anggapan bahwa
semua tumbukan selalu menghasilkan produk. Perbaikannya dilakukan melalui suatu faktor
koreksi, yang mengaitkan energi relatif saat tumbukan. Berdasarkan model Present, energi
paling efektif yang menghasilkan reaksi adalah yang terjadi akibat tumbukan pada poros
antar-pusat.
Selain teori tumbukan, proses terjadinya reaksi berusaha dijelaskan juga dengan teori
keadaan transisi. Pada teori keadaan transisi digunakan pendekatan termodinamika statistik.
Dalam suatu reaksi yang sederhana, molekul pereaksi akan membentuk kompleks transisi
terlebih dahulu sebelum terbentuknya produk, yang selanjutnya disebut keadaan transisi.
Energi molekul pada saat struktur tersebut berada dalam keadaan transisi dibandingkan
dengan energi pereaksi disebut energi pengaktifan. Suatu reaksi akan menghasilkan produk
jika energi tumbukan molekul tersebut cukup besar untuk melampaui energi pengaktifan
reaksi. Jika energi tumbukan molekul pereaksi lebih kecil dibanding energi pengaktifan yang
diperlukan maka produk reaksi tidak akan diperoleh sebaliknya jika energi tumbukan yang
melampaui energi pengaktifan, terjadinya reaksi masih tergantung pada orientasi tumbukan.
40
Download