5 BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Definisi Istilah bronkitis mengacu pada radang di bronkus (jalur pernapasan yang berukuran medium atau lebar dalam paru) (Stauffer, 2010). Bronkitis terbagi menjadi 2 jenis, yaitu : a. Bronkitis Akut Bronkitis akut adalah penyakit traktus respiratori yang sering dijumpai, yang ditandai oleh batuk yang mengalami perkembangan, dengan atau tanpa produksi sputum. Gejala umum lainnya antara lain sakit tenggorokan, hidung berair, hidung buntu, demam ringan, radang pleura, dan malaise. Bronkitis akut sering terjadi selama dalam keadaan penyakit yang diakibatkan oleh virus, seperti pilek atau influenza. Kebanyakan kasus bronkitis yang disebabkan oleh virus dapat sembuh sendiri dalam beberapa minggu, sehingga pemakaian antibiotik tidak dianjurkan. Pemakaian antibiotik dilakukan jika ditemukan hasil dari pemeriksaan gram dari sputum menunjukkan bakteri dalam jumlah cukup banyak (Buhagiar, 2009). b. Bronkitis Kronik Bronkitis kronik adalah salah satu jenis penyakit paru obstruktif kronik, yang ditandai dengan batuk produktif selama 3 bulan atau lebih dalam setahun selama sedikitnya 2 tahun. Gejala lain meliputi wheezing 5 6 dan napas yang memendek, terutama ketika melakukan kegiatan fisik. Batuk sering bertambah parah saat bangun dari tidur, sputum mungkin berwarna kuning atau hijau, dan mungkin disertai garis darah (Kuschner et al, 2009). 2. Faktor Resiko Penyakit bronkitis kronik lebih sering terjadi pada seseorang dengan faktor resiko : a. Kebiasaan merokok merupakan satu - satunya penyebab kausal yang terpenting, jauh lebih penting dari faktor penyebab lainnya. b. Riwayat terpajan polusi udara di lingkungan dan tempat kerja c. Hipereaktivitas bronkus d. Riwayat infeksi saluran napas bawah berulang e. Defisiensi antitripsin alfa-1, umumnya jarang terdapat di Indonesia (PDPI, 2003). 3. Gejala Penderita bronkitis kronik biasanya disertai dengan beberapa gejala, antara lain : a. Batuk yang sangat produktif, purulen dan mudah memburuk dengan inhalasi iritan, udara dingin atau infeksi b. Produksi mucus dalam jumlah yang sangat banyak c. Dyspnea (PDPI,2003). 7 4. Patofisiologi Asap mengiritasi jalan nafas dan menyebabkan hipersekeresi dan inflamasi. Karena iritasi konstan menyebabkan hipertrofi dan hiperplasia kelenjar yang mensekresi mucus. Secara umumnya, jumlah sel goblet pada saluran pernafasan turut bertambah pada pasien dengan bronkitis kronis terutama di bagian perifer dari saluran pernafasan dengan fungsi silia yang menurun. Perubahan ini menyebabkan sekresi mucus meningkat dan dengan komposisi yang lebih kental. Sebagai akibat lumen bronkiolus menyempit dan tersumbat. Selain itu alveoli yang berdekatan bronkiolus menjadi rusak dan membentuk fibrosis yang kemudian mengakibatkan perubahan fungsi makrofag alveolar yang berperan penting dalam menghancurkan partikel asing. Hal ini menyebabkan pasien lebih rentan terhadap infeksi pernafasan. Pada dinding bronkial juga ditemukan terjadinya proses inflamasi dengan infiltrasi sel-sel radang dan jaringan fibrosis yang menyebabkan penyempitan lebih lanjut pada bronkial. Pada waktunya mungkin terjadi perubahan yang ireversibel. Temuan patologis utama pada bronkitis kronik adalah hipertrofi kelenjar mukosa bronkus, hipertrofi dan hiperplasia sel-sel goblet, infiltrasi sel-sel radang dengan edema pada mukosa bronkus. Pembentukan mukus yang meningkat menyebabkan gejala yang khas yaitu batuk produktif (Sudoyo, 2006). 8 5. Pengobatan 1. Terapi Non Farmakologi a. Menghindari rokok Berhenti merokok dapat meningkatkan batuk pada banyak pasien dengan bronkitis kronik dengan meningkatkan fungsi mukosiliar dan dengan mengurangi hiperplasia sel goblet. Berhenti merokok juga telah terbukti mengurangi cedera saluran napas dan menurunkan kadar lendir dikelupas sel tracheobronchial dahak dibandingkan dengan mereka yang terus merokok. Sebuah studi lanjutan longitudinal besar ditemukan bahwa tingkat kejadian bronkitis kronik jauh lebih tinggi di saat perokok dibandingkan dengan mantan perokok (Kim dan Gerard, 2013). Merokok merupakan penyebab utama penyakit paru obstruksi kronik atau PPOK dan berhenti merokok merupakan terapi yang sejauh ini dapat mengurangi progeresiviti penyakit. Proses inflamasi di jaringan masih terus berlangsung walaupun sudah berhenti merokok. Kecanduan nikotin merupakan masalah utama yang menjadi target terapi. Terapi pengganti nikotin hanya menunjukkan keberhasilan 5-15%. Saat ini sedang dikembangkan vaksin yang mampu menetralisir nikotin dalam darah. Bupropion yang merupakan suatu anti depresan cukup berhasil bila digunakan sebagai terapi berhenti merokok. Pemberian bupropion selama 6-9 minggu memberikan keberhasilan berhenti merokok sebesar 18% 9 dibandingkan dengan nikotin skin patch 9% dan plasebo 6%. Obat ini ditoleransi dengan baik dan hanya menimbulkan efek samping berupa serangan epilepsi sekitar 0,1% pada penderita (PDPI, 2003). b. Rehabilitasi Rehabilitasi meliputi tindakan fisioterapi, rehabilitasi psikis dan rehabilitasi pekerjaan. Fisioterapi dilakukan untuk mobilisasi dahak, latihan bernapas menggunakan otot-otot dinding perut sehingga didapatkan kerja napas yang efektif. Latihan relaksasi berguna untuk menghilangkan rasa takut dan cemas dan mengurangi kerja otot yang tidak perlu. Rehabilitasi psikis perlu untuk menghilangkan rasa cemas dan takut (PDPI, 2003). 2. Terapi Farmakologi a. Mukolitik dan ekpetoran Guaifenesin bekerja dengan peningkatan vagally dimediasi dalam jalan napas. Meskipun telah ditunjukkan penggunaan jangka panjang umum guaifenesin belum terbukti bermanfaat dalam PPOK atau bronkitis kronik (Kim dan Gerard, 2013). b. Methylxanthines and Short-Acting b-Adrenergic Receptor Agonists (SABA) Keduanya meningkatkan mucus clearance dengan menurunkan viskositas mukus, memungkinkan untuk transportasi lebih mudah dengan silia pernafasan. Pada percobaan dalam model hewan, jangka pendek b-agonis dikaitkan dengan up regulation clearance mukosiliar. 10 Demikian pula, methylxanthines meningkatkan mukosiliar tidak hanya melalui sifat bronkodilator, tetapi juga dengan merangsang frekuensi pergerakan silia, menambah saluran napas transport ion epitel untuk meningkatkan lendir hidrasi dan mempromosikan sekresi lendir di saluran udara lebih rendah. Studi klinis theophylline di bronkitis kronik telah menunjukkan fungsi paru-paru meningkat tapi tidak ada perubahan konsisten dalam batuk dan produksi sputum (Kim dan Gerard, 2013). c. Long-Acting b-Adrenergic Receptor Agonists Efek dari long-acting-b adrenergic receptor agonists (LABAs) pada fungsi mukosiliar telah dikaitkan dengan manfaatnya efek pada fungsi paru-paru. LABAs juga mengurangi hiperinflasi dan meningkatkan arus puncak ekspirasi, itu merupakan komponen esensial dari batuk efektif. Bukti in vitro menunjukkan salmeterol yang dapat merangsang frekuensi pergerakan silia. Demikian pula, formoterol secara signifikan meningkatkan bersihan mukosiliar dibandingkan dengan plasebo pada pasien dengan bronkitis (Kim dan Gerard, 2013). d. Anticholinergics Antikolinergik yang bekerja pada reseptor muskarinik dipercaya dapat membantu mucus clearance oleh peningkatan diameter lumen dan dengan menurunkan permukaan dan submukosa kelenjar sekresi musin. Namun, antikolinergik mungkin bisa mengeringkan saluran 11 nafas dengan depleting lendir permukaan saluran napas, sehingga membuat pengeluaran dahak lebih sulit. In vivo, literatur tidak mendukung penggunaan antikolinergik untuk pengobatan bronkitis kronik. Ipratropium bromida telah ditunjukkan untuk mengurangi kuantitas dan tingkat keparahan batuk di bronkitis kronis namun tidak efektif dalam meningkatkan pembersihan mukosiliar pada PPOK. Sebuah studi dari 470 pasien dengan FEV1 39 % diprediksi, tiotropium meningkatkan fungsi paru-paru, tetapi tidak mempengaruhi gejala batuk. Dalam studi lain dari 39 pasien dengan PPOK, tiotropium mengurangi jumlah batuk, tetapi pembersihan muskosiliar tidak diperbaiki (Kim dan Gerard, 2013). e. Glucocorticoids Ada bukti in vitro bahwa glukokortikoid mengurangi peradangan dan produksi lendir. Dalam asma, kortikosteroid inhalasi menurunkan hiperplasia sel goblet. Mereka juga dapat mempercepat pembersihan mukosiliar. Kortikosteroid inhalasi dapat mengurangi frekuensi eksaserbasi dan meningkatkan kualitas hidup pada PPOK (Kim dan Gerard, 2013). f. Phosphodiesterase-4 Inhibitors Phosphodiesterase-4 (PDE-4) penghambatan menurunkan peradangan dan membuat relaksasi otot polos saluran napas dengan mencegah hidrolisis adenosin monofosfat siklik untuk tidak aktif. Cilomilast dan roflumilast adalah generasi kedua sangat spesifik PDE- 12 4 inhibitor. Sebuah metaanalisis dari 23 acak uji coba roflumilast atau cilomilast dibandingkan dengan placebo menemukan bahwa pengobatan dengan inhibitor PDE-4 hanya sedikit meningkat FEV1. Roflumilast signifikan meningkatkan prebronkodilator FEV1 dan penurunan tingkat sedang sampai parah eksaserbasi dalam uji coba secara acak pasien dengan PPOK. Dibandingkan dengan plasebo, roflumilast menurun eksaserbasi sebesar 17 %. Dalam dua uji coba 24 minggu, 933 pasien dengan PPOK sedang sampai berat secara acak ditugaskan untuk roflumilast ditambah salmeterol atau salmeterol saja, dan 743 pasien secara acak ditugaskan untuk roflumilast ditambah tiotropium atau tiotropium saja. Jadi, pada bronkitis kronik PDE-4 inhibitor mungkin memainkan peran preventif dalam mencegah perkembangan eksaserbasi pada pasien dengan bronkitis kronik dan PPOK (Kim dan Gerard, 2013). g. Antioksidan Oksidan yaitu zat yang terdapat pada asap rokok dan udara yang terpolusi mempunyai andil untuk terjadinya bronkitis kronik. Antioksidan melindungi dan mempertahankan paru dari radikalradikal anion superoksid, hidrogen peroksid, radikal hidroksil dan anion hipohalida yang diproduksi oleh sel radang. Antioksidan dapat mengubah oksidan menjadi molekul yang tidak berbahaya terhadap jaringan paru dan menekan efek radikal bebas dari asap rokok. Nasetilsistein merupakan suatu antioksidan, yaitu sumber glutation. 13 Pemberian N-asetilsistein pada perokok dapat mencegah kerusakan parenkim paru oleh efek oksidan yang terdapat dalam asap rokok. Di samping sebagai anti oksidan, obat ini bersifat mukolitik yaitu mengencerkan sekret bronkus sehingga mudah dikeluarkan. Pemberian N-asetilsistein selama enam bulan pada penderita bronkitis kronik memberikan perbaikan dalam hal jumlah sputum, purulensi sputum, banyaknya eksaserbasi dan lamanya hari sakit secara bermakna (Kim dan Gerard, 2013). 6. Bronkitis Kronik Eksaserbasi Akut (BKEA) Bronkitis kronik eksaserbasi akut ditandai dengan 3 kriteria klinis mayor yaitu : a) peningkatan purulensi sputum (batuk dengan produksi sputum yang purulen/mukopurulen atau sputum berwarna kuning/hijau) b) peningkatan dyspnea c) peningkatan volume sputum Semakin sering terjadi fase eksaserbasi akan menyebabkan semakin cepatnya perburukan faal paru (Sutoyo, 2009). Terdapat tambahan kriteria minor dari gejala BKEA, diantaranya : a) infeksi saluran pernafasan atas selama 5 hari b) peningkatan wheezing c) peningkatan batuk d) demam tanpa sumber yang jelas 14 e) peningkatan 20% dari respiratory rate atau heart rate. (Balter et al, 2003) Penderita dengan bronkitis kronik mengalami eksaserbasi yang cukup sering tiap tahunnya, terutama saat musim penghujan atau musim dingin pada negara dengan 4 musim. Penyebab tersering dari eksaserbasi adalah infeksi virus pernapasan dan infeksi bakteri, penyebab lainnya seperti polusi lingkungan, gagal jantung kongestif, emboli paru, pemberian oksigen yang tidak tepat, obat-obatan seperti narkotik dan lain-lain. Proses yang kompleks merupakan kombinasi berbagai mekanisme yang bertanggung jawab atas terjadinya bronkitis kronik. Efek kombinasi tersebut menghasilkan kolonisasi bakteri dan infeksi kronik yang berkontribusi terhadap kejadian eksaserbasi dan kerusakan mekanisme pertahanan paru yang berakibat memudahkan terjadinya eksaserbasi dan demikian seterusnya (Sethi, 2000). Berbagai faktor risiko untuk terjadinya bronkitis kronik (rokok, polusi udara, infeksi berulang) menimbulkan kondisi inflamasi pada bronkus. Inflamasi ini melibatkan berbagai sel, mediator, dan menimbulkan banyak efek. Sel makrofag yang banyak terdapat pada lumen jalan napas dan parenkim paru pada cairan bronkoaveolar, teraktivasi. Aktivasi makrofag menghasilkan TNF α dan berbagai mediator inflamasi lainnya serta protease sebagai respon terhadap asap rokok dan polutan. Mediator inflamasi tersebut sebagian bersifat kemokin dan bertanggung jawab terhadap kemotaktik dan aktivasi sel neutrofil (Sethi, 15 2000). Hipotesis Vicious circle pada bronkitis mengungkapkan kerusakan jalan napas akibat kronik dengan infeksi kronik dan kolonisasi bakteri adalah melalui penglepasan mediator inflamasi yang terus menerus. Kondisi tersebut melemahkan pertahanan paru dan menyebabkan infeksi persisten sehingga mengakibatkan inflamasi kronik dengan konsekuensi penurunan fungsi paru secara progresif. Kondisi ini seperti lingkaran setan atau lingkaran yang tak jelas ujung pangkalnya (Sutoyo, 2009). 7. Antibiotik a. Definisi Antibiotika adalah zat-zat kimia oleh yang dihasilkan oleh fungi dan bakteri, yang memiliki khasiat mematikan atau menghambat pertumbuhan kuman, sedangkan toksisitasnya bagi manusia relatif kecil. Turunan zat-zat ini, yang dibuat secara semi-sintesis, juga termasuk kelompok ini, begitu pula senyawa sintesis dengan khasiat antibakteri (Tjay & Rahardja, 2007). b. Penggolongan Antibiotik Berdasarkan struktur kimianya pengglongan antibiotik menurut Tjay dan Rahardja, (2007) adalah : a) Golongan Beta-Laktam, antara lain golongan sefalosporin (sefaleksin, sefazolin, sefuroksim, sefadroksil, seftazidim), golongan monosiklik, dan golongan penisilin (penisilin, amoksisilin). Penisilin adalah suatu 16 agen antibakterial alami yang dihasilkan dari jamur jenis Penicillium chrysogenum. b) Antibiotik golongan aminoglikosida, aminoglikosida dihasilkan oleh jenis jenis fungi Streptomyces dan Micromonospora. Semua senyawa dan turunan semi-sintesisnya mengandung dua atau tiga gula-amino di dalam molekulnya, yang saling terikat secara glukosidis. Spektrum kerjanya luas dan meliputi terutama banyak bacilli gram-negatif. Obat ini juga aktif terhadap gonococci dan sejumlah kuman grampositif. Aktifitasnya adalah bakterisid, berdasarkan dayanya untuk menembus dinding bakteri dan mengikat diri pada ribosom di dalam sel. Contohnya streptomisin, gentamisin, amikasin, neomisin, dan paranomisin. c) Antibiotik golongan tetrasiklin, khasiatnya bersifat bakteriostatis, hanya melalui injeksi intravena dapat dicapai kadar plasma yang bakterisid lemah. Mekanisme kerjanya berdasarkan diganggunya sintesa protein kuman. Spektrum antibakterinya luas dan meliputi banyak cocci gram positif dan gram negatif serta kebanyakan bacilli. Tidak efektif Pseudomonas dan Proteus, tetapi aktif terhadap mikroba khusus Chlamydia trachomatis (penyebab penyakit mata trachoma dan penyakit kelamin), dan beberapa protozoa (amuba) lainnya. Contohnya tetrasiklin, doksisiklin, dan monosiklin. d) Antibiotik golongan makrolida, bekerja bakteriostatis terhadap terutama bakteri gram-positif dan spectrum kerjanya mirip Penisilin- 17 G. Mekanisme kerjanya melalui pengikatan reversibel pada ribosom kuman, sehingga sintesa proteinnya dirintangi. Bila digunakan terlalu lama atau sering dapat menyebabkan resistensi. Absorbsinya tidak teratur, agak sering menimbulkan efek samping lambung-usus, dan waktu paruhnya singkat, maka perlu ditakarkan sampai 4x sehari. e) Antibiotik golongan linkomisin, dihasilkan oleh Streptomyces lincolnensis. Khasiatnya bakteriostatis dengan spektrum kerja lebih sempit daripada makrolida, terutama terhadap kuman gram positif dan anaerob. Berhubung efek sampingnya hebat kini hanya digunakan bila terdapat resistensi terhadap antibiotika lain. Contohnya linkomisin. f) Antibiotik golongan kuinolon, senyawa-senyawa kuinolon berkhasiat bakterisid pada fase pertumbuhan kuman, berdasarkan inhibisi terhadap enzim DNA-gyrase kuman, sehingga sintesis DNAnya dihindarkan. g) Antibiotik golongan kloramfenikol, kloramfenikol mempunyai spektrum luas. Berkhasiat bakteriostatis terhadap hampir semua kuman gram positif dan sejumlah kuman gram negatif. Mekanisme kerjanya berdasarkan perintangan sintesa polipeptida kuman. Contohnya kloramfenikol. c. Penggunaan Antibiotik a) Pada Bronkitis Kronik Antibiotik umumnya tidak diindikasikan untuk pasien dengan emfisema atau bronkitis kronis. Terapi makrolida, bagaimanapun, 18 telah terbukti memiliki sifat antiinflamasi dan mungkin memiliki peran dalam pengobatan dengan bronkitis kronis. Mereka telah terbukti menghambat sitokin proinflamasi, menurunkan ledakan neutrofil, menghambat migrasi dan mengurangi peradangan eosinofilik, mukosiliar, mengurangi sekresi sel meningkatkan meningkatkan goblet, dan apoptosis, transportasi mengurangi bronkokonstriksi. Efek terapi macrolide kronis pada PPOK dinilai dalam 109 pasien dengan PPOK yang secara acak ditugaskan untuk menerima eritromisin 250 mg atau plasebo dua kali sehari selama 1 tahun. Kelompok eritromisin memiliki eksaserbasi secara signifikan lebih sedikit dibandingkan kelompok plasebo (Kim dan Gerard, 2013). b) Pada Bronkitis Kronik Eksaserbasi Akut Perawatan suportif termasuk bronkodilator (albuterol, ipratropium bromide), kortikosteroid, oksigen. Antibiotik paling umum digunakan untuk bronkitis akut yaitu azitromisin diikuti oleh amoksisilin dan klaritromisin. Antibiotik yang sering digunakan pada bronkitis kronik eksaserbasi akut atau BKEA dapat dilihat pada Tabel I. Tabel I. Daftar antibiotik yang disarankan pada BKEA (Johns hopkins, 2015). No Antibiotik Rute pemberian Frekuensi Durasi 1 Amoxicillin 500-875 mg Oral 3x1 10-14 hari 2 Doxycycline Oral 2x1 10-14 hari 19 Daftar antibiotik alternative yang digunakan pada BKEA dapat dilihat pada tabel II. Tabel II. Daftar antibiotik alternatif BKEA (Johns Hopkins, 2015). No Antibiotik Rute Pemberian Frekuensi Durasi 1 Amoxicillin/ clavulanate 875 mg Oral 2x1 10-14 hari 2 Azitromicin 500 mg, kemudian 250 mg Oral 1x1 selama 4 hari 10-14 hari 3 Klaritomisin 500 mg Oral 2x1 10-14 hari 4 Cefuroksim asetil 500 mg Oral 2x1 10-14 hari 5 Cefprozil 500 mg Oral 2x1 10-14 hari 6 Cefpodoksim 200400 mg Oral 2x1 10-14 hari 7 Cefdinir 600 mg Oral 1x1 10-14 hari Daftar terapi spesifik sesuai dengan patogen dapat dilihat pada Tabel III. Tabel III. Daftar terapi spesifik patogen (Johns Hopkins, 2015). Pathogen H. influenzae M. catarrhalis S. pneumoniae First-Line Agent Amoxicillin/clavulanate PO Cefuroxime axetil PO Cefpodoxime PO Cefprozil PO Azithromycin PO/IV Cefotaxime IV Ceftriaxone IV Amoxicillin/clavulanate PO Cefuroxime axetil PO Cefpodoxime PO Cefprozil PO Azithromycin PO Clarithromycin PO Amoxicillin PO (preferred) Second-Line Agent Clarithromycin PO Doxycycline PO/IV TMP/SMX PO/IV Telithromycin PO Levofloxacin PO/IV Moxifloxacin PO/IV Ciprofloxacin PO/IV Levofloxacin PO/IV Telithromycin Moxifloxacin PO/IV Doxycycline PO/IV Erythromycin PO Doxycycline PO/IV 20 Levofloxacin PO/IV Moxifloxacin PO Telithromycin PO Cefotaxime IV Cefuroxime PO/IV Ceftriaxone IV Cefpodoxime PO Cefprozil PO Amoxicillin/clavulanate PO Azithromycin PO/IV Clarithromycin PO Erythromy Keterangan : PO : Peroral, IV : Intravena 8. Evaluasi penggunaan antibiotik Penggunaan antibiotik dievaluasi dalam dua hal yaitu kuantitas dan kualitas. Kuantitas yaitu jumlah antibiotik yang digunakan sedangkan kualitas yaitu ketepatan dalam memilih jenis antibiotik, dosis serta lama pemberian. Berdasarkan Kementrian Kesehatan RI (2011) penggunaan obat rasional (POR) dianalisis dari : a. Hasil analisa kuantitatif : a) Persentase pasien berdasarkan usia. b) Persentase pasien berdasarkan jenis kelamin. c) Persentase penggunaan antibiotika tunggal dan kombinasi d) Persentase jenis antibiotika yang digunakan b. Hasil analisa kualitatif : a) Tepat indikasi Setiap obat memiliki spektrum terapi yang spesiļ¬k. Antibiotik, misalnya diindikasikan untuk infeksi bakteri. Dengan demikian, pemberian obat ini hanya dianjurkan untuk pasien yang memberi gejala adanya infeksi bakteri b) Tepat pemilihan obat antibiotika 21 Keputusan untuk melakukan upaya terapi diambil setelah diagnosis ditegakkan dengan benar. Dengan demikian, obat yang dipilih harus yang memiliki efek terapi sesuai dengan spektrum penyakit. c) Tepat dosis Dosis, cara dan lama pemberian obat sangat berpengaruh terhadap efek terapi obat. Pemberian dosis yang berlebihan, khususnya untuk obat yang dengan rentang terapi yang sempit akan sangat beresiko timbulnya efek samping. Sebaliknya dosis yang terlalu kecil tidak akan menjamin tercapainya kadar terapi yang diharapkan. d) Tepat rute pemberian obat Tidak semua obat memiliki rute pemberian yang sama. Misalnya obat Antasida seharusnya dikunyah dulu baru ditelan. Demikian pula antibiotik tidak boleh dicampur dengan susu, karena akan membentuk ikatan, sehingga menjadi tidak dapat diabsorpsi dan menurunkan efektivtasnya. 22 B. Kerangka Pemikiran Terjadi peningkatan pasien bronkitis kronik di Indonesia. Bronkitis kronik menduduki peringkat ketiga sebagai penyebab angka kesakitan umum di Indonesia Peningkatan resiko penggunaan antibiotik Pengambilan data rekam medis pasien bronkitis kronik Dilakukan analisis dan pengolahan data tentang evaluasi penggunaan antibiotik pada pasien bronkitis kronik dan bronkitis kronik dengan eksaserbasi akut dibandingkan dengan standar American Journal Of Respiratory And Critical Care Medicine dan Johns Hopkins Guideline For Acute Exacerbation Of Chronic Bronchitis 2015 Gambar I. Kerangka Pemikiran C. Keterangan Empirik Penelitian Sanni dkk (2015) mengenai evaluasi kerasionalan penggunaan antibiotik pada pengobatan bronkitis kronik pasien rawat jalan 23 di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado Periode Juni 2013 - juni 2014 berdasarkan standar pengobatan Canadian Guidelines for The Management of Acute Exacerbations of Chronic Bronchitis menunjukan evaluasi penggunaan antibiotik yang rasional berdasarkan kriteria tepat pasien sebanyak 22 pemberian antibiotik (100%), tepat indikasi sebanyak 22 pemberian antibiotik (100%), tepat obat sebanyak 10 pemberian antibiotik (45,46 %), tepat dosis sebanyak 22 pemberian antibiotik (100%), dan tepat lama pemberian sebanyak 20 pemberian antibiotik (90,9%). Jenis antibiotik yang paling banyak digunakan untuk pengobatan bronkitis kronik adalah sefadroksil (44,45%).